You are on page 1of 100

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

ABSTRACT

Andri Kurniawan, E0006072. 2010. An Analysis on the Personal Guarantee


accountability relating to the bankrupt statement request in the perspective
of Act Number 37 of 2004 about bankruptcy and debt payment obligation
delay. Law Faculty of Sebelas Maret University.

The objectives of this law writing are to find out the role and responsibility
of third party binding itself as the personal guarantee in fulfilling the debtor’ debt
payment obligation, the personal guarantee in the perspective of Act Number 37
of 2004 about bankruptcy and debt payment obligation delay related to bankrupt
statement proposed by the creditor and to find out the legal deliberation the Judge
takes to the personal guarantee’s accountability in a bankruptcy case.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive and
applied in nature. The writer employed a statute approach and case approach case,
based on Commercial Court’s Verdicts about the bankruptcy case numbers
74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, 13/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST and
51/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST. The law materials employed were primary
and secondary law materials. Techniques of collecting law material used were
documentary study and library study. An analysis on law material was done using
syllogism and interpretation methods.
The result of research shows that the personal guarantee is obliged to
fulfill all obligations of debtor to the creditor prevailing when the debtor is
negligent or promise denying. Personal guarantee can request bankrupt statement
based on the Act Number 37 of 2004 about bankruptcy and debt payment
obligation delay, with the fulfillment of bankruptcy elements in the article 2
clause (1) by considering the provision of Articles 1831 and 1832 of Civil Code,
that is, by proposing the bankrupt request first to the primary debtor or by
proposing directly the bankrupt request of personal guarantee that has released the
privileges it has. Considering the analysis on the three verdicts of persona
guarantee’s bankruptcy, the judge in his legal rationale uses ratio decidendi that
the elements of bankruptcy have been fulfilled regulated in the article 2 clause (1)
of Act Number 37 of 2004 about bankruptcy and debt payment obligation delay.

Keywords: Accountability, Personal Guarantee, Bankruptcy.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PERSONAL GUARANTEE TERKAIT

PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT

DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna


Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh
ANDRI KURNIAWAN
NIM. E0006072

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
PERSETUcoJm
UmAiNt tP
o EuM
serBIMBING

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PERSONAL GUARANTEE TERKAIT


PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Oleh
ANDRI KURNIAWAN
NIM. E0006072

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum


(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 8 Desember 2010

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H.,MH Yudho Taruno M ,S.H.,Mhum


NIP 1963202091988031000 NIP1977010720050110

PENGESAHAN PENGUJI
commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penulisan Hukum (Skripsi)


ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PERSONAL GUARANTEE TERKAIT
PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Oleh
ANDRI KURNIAWAN
NIM. E0006072

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan


Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :Rabu
Tanggal :29 Desember 2010

DEWAN PENGUJI
1. Suraji, S.H.,Mhum :...........................................................
Ketua
2. Yudho Taruno M, S.H.,Mhum :...........................................................
Sekretaris
3. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H.,MH :...........................................................
Anggota

Mengetahui
Dekan,

Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum


NIP.196109301986011001

PcEoR
mNmY
itAtoTuAsA
erN

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nama : Andri Kurniawan


NIM : E0006072
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul “ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PERSONAL
GUARANTEE TERKAIT PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG’’ adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 8 Desember 2010


yang membuat pernyataan

Andri Kurniawan
NIM. E0006072

ABSTRAK
commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Andri Kurniawan, E 0006072. 2010. ANALISIS PERTANGGUNG


JAWABAN PERSONAL GUARANTEE TERKAIT PERMOHONAN
PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan dari penulisan hukum ini ialah untuk mengetahui peran dan
tanggung jawab pihak ketiga yang mengikatkan diri sebagai penjamin (personal
guarantee) dalam pemenuhan kewajiban pembayaran utang debitor, posisi
penjamin (personal guarantee) dalam perspektif Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terkait dengan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor dan
mengetahui pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim terhadap pertanggung
jawaban penjamin (personal guarantee) di dalam suatu perkara kepailitan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
perskriptif dan terapan. Penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue
approach) dan pendekatan kasus (case approach), berdasarkan Putusan
Pengadilan Niaga tentang perkara Kepailitan yaitu Putusan Nomor 74/Pailit/2009/
PN.NIAGA.JKT.PST, Putusan Nomor 13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST
dan Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau bahan
pustaka. Analisis bahan hukum dengan menggunakan metode silogisme dan
interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal guarantee wajib
memenuhi segala kewajiban debitor terhadap kreditor yang berlaku saat debitor
lalai atau cidera janji. Personal guarantee dapat dimohonkan pailit berdasarkan
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, dengan terpenuhinya unsur-unsur kepailitan Pasal
2 ayat (1) dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832
KUH Perdata yaitu dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pailit
terhadap debitor utama atau dengan langsung mengajukan permohonan pailit
personal guarantee yang telah melepaskan hak-hak istimewa yang dimilikinya.
Berdasarkan analisis ke tiga (3) putusan kepailitan personal guarantee hakim
dalam pertimbangan hukumnya menggunakan dasar putusan (ratio decidendi)
telah terpenuhinya unsur-unsur kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Kata kunci : Pertanggungjawaban, Personal guarantee, Kepailitan

MOTTO
commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang


demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' ”
(Q. S. Al Baqarah : 45)

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila


kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh -
sungguh (urusan)yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap”
(Q. S. Al. Nasyrah : 6 – 8).

Tiada hidup yang mudah dilalui, tiada jalan yang selalu lurus ke depan. Ketika
kau menemukan sebuah halangan maupun rintangan dalam perjalananmu
mencapai cita, ketika kau gagal setelah mencoba, ketika semua tak seperti yang
kau minta, janganlah menyerah, tetap berusaha karena Allah selalu bersamamu
dan kau akan temukan jawaban dari semua pertanyaan hidup yang kau cari dalam
liku - liku hidup ini. Buatlah berwarna dunia dengan cerita - cerita bahagia.

(Andri Kurniawan)

PERSEMBAHAN
commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Karya ini, Penulis persembahkan


kepada :
1. Allah SWT, Tiada Tuhan selain
Engkau dan tiada sekutu bagi-
Nya;
2. Rasul-ku Muhammad SAW, suri
tauladan yang terbaik;
3. Ibu dan Bapak yang selalu
menyayangi dan mencintaiku,
terima kasih tak terhingga ananda
ucapkan;
4. Segenap Keluarga ananda yang
selalu memberikan dukungan moriil
maupun materiil hingga ananda
bisa seperti sekarang ini;
5. Prof. DR. Adi Sulistiyono,
S.H.,M.H., yang penulis anggap
sebagai orang tua dan panutan
penulis dalam berkarya mengejar
cita;
6. Sahabat dan teman-temanku...

KATA PENGANTAR
commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga mampu menyelesaikan tugas
penulisan hukum dengan sebaik-baiknya yang berjudul “ANALISIS
PERTANGGUNG JAWABAN PERSONAL GUARANTEE TERKAIT
PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG’’.
Penulisan hukum ini disusun guna memenuhi dan melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan penulisan hukum ini masih terdapat kekurangan maupun
ketidaksempurnaan di dalamnya, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
wawasan yang dimiliki. Atas kekurangan tersebut, penulis mengharapkan kritik
maupun saran yang bersifat membangun guna ke depan menjadi lebih baik lagi.
Penyusunan penulisan hukum ini juga tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan dari segala pihak hingga terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
yang kepada :
1. Allah SWT yang telah menciptakan seluruh alam semesta dan memberikan
limpahan nikmat kepada semua makhluk-Nya.
2. Nabi Besar Muhammad SAW, junjungan dan juga suri tauladan yang terbaik.
3. Ibu dan Bapak, yang selalu menjaga, menyayangi dan mencintai, terimakasih
tak terhingga penulis ucapkan
4. Bapak Moh. Jamin, S.H, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret atas kesempatannya belajar di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
5. Ibu Ambar Budi S. S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang
telah sedikit banyak memberikan petunjuk dalam penulisan hukum ini.

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Bapak Prof. DR. Adi Sulistiyono, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I dan Bapak
Yudho Taruno,S.H.,M.Hum selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan petunjuk dan pengarahan dalam penulisan hukum ini.
7. Ibu Adriana Grahani Firdausy, S.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa selama menempuh studi di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Seluruh Bapak dan Ibu Penjaga Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
10. Keluarga besar yang selalu mendukung penulis.
11. Seluruh Sahabat dan Kawan di Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penyusunan penulisan hukum ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat memberi manfaat bagi
semua pihak. Penulis memohon maaf jika terdapat kekeliruan ataupun kesalahan
dalam penyusunan penulisan hukum ini. Semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada kita semua. Amiin Yaa Robbal Alamiin.

Surakarta, 8 Desember 2010


Penulis,

Andri Kurniawan
E0006072

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
MOTTO ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 10
E. Metode Penelitian.......................................................................... 11
F. Sistematika Penelitian ....................................... 14
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 18
A. Kerangka Teori 18
1. Tinjauan tentang Kepailitan .................................................... 18
a. Sejarah Kepailitan ............................................................. 18
b. Pengertian Kepailitan ........................................................ 21
c. Asas-Asas dalam Kepailitan ............................................. 23
d. Syarat-syarat Pernyataan Kepailitan ................................. 24
e. Proses Pengajuan Permohonan Perkara Pailit ................... 28
f. Akibat Hukum Kepailitan ................................................. 30
commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Tinjauan tentang Jaminan ....................................................... 31


a. Pengertian Jaminan 31
b. Bentuk-bentuk Jaminan..................................................... 32
c. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Jaminan ....................... 36
d. Tujuan Jaminan 38
3. Tinjauan Penjamin 39
a. Pengertian penjamin .......................................................... 39
b. Lahirnya Penjaminan ........................................................ 41
c. Bentuk–Bentuk Khusus Penjaminan ................................. 43
d. Berakhirnya Perjanjian Penjamin (Personal Gurantee) 45
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 47
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................... 50
A. Peran dan Tanggung Jawab Personal guarantee dalam
Peraturan Perundang-undangan .................................................... 50
B. Permohonan Pernyataan Pailit Personal guarantee dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ........... 59
C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pertanggung Jawaban
Personal guarantee di dalam Perkara Kepailitan ......................... 69
PENUTUP............................................................................................................. 83
A. Simpulan… ...................................................................................... 83
B. Saran… ............................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 87
LAMPIRAN

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 : Alur Kerangka Pemikiran. ............................................................... 47

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Salinan Putusan Pengadilan Niaga Nomor


51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST

commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan di dalam era globalisasi saat ini, menuntut kita supaya harus selalu
bisa survive atau bertahan menghadapi segala tantangan dan rintangan yang
menghadang, dimana era globalisasi merupakan suatu era persaingan global yang
merupakan titik dari awal perkembangan kemajuan suatu bangsa untuk bisa bersaing
dengan bangsa yang lain. Dalam sudut pandang dunia bisnis yang semakin ketat dan
kompetitif, dimana bertahannya suatu perusahaan atau suatu industri, harus bisa
memenuhi kebutuhan pasar yang semakin kompleks juga terkadang melakukan
berbagai macam cara supaya perusahaan atau industri tersebut bisa berdiri di puncak
persaingan dengan perusahaan atau industri kompetitor yang lainnya.

Permasalahan sering kali muncul selama perkembangan suatu perusahaan atau


industri tersebut adalah kebutuhan akan dana bagi perusahaan guna menjalankan
kegiatan usahanya tidak diragukan lagi sebagai salah satu kebutuhan yang sangat
esensial atau mendasar. Dana yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut dapat
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dapat berupa modal atau dapat berupa
utang. Perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak selalu mendapatkan
keuntungan, dan terkadang mengalami kerugian. Untuk melanjutkan usaha,
perusahaan tersebut kemudian meminjam dana dari sumber yang lain yang lebih
dikenal dengan utang. Terkadang apabila suatu utang tidak dapat dikembalikan sesuai
dengan kesepakatan atau perjanjian mengenai utang tersebut maka pihak pemberi
utang akan menuntut ganti rugi, yang berupa utang pokok tersebut, bunga maupun
biaya-biaya lain yang timbul karena utang tersebut. “Prinsip dasarnya adalah bahwa
wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian, yang diganti meliputi ongkos,
kerugian dan bunga”(J. Satrio, 1999: 144).

commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dana yang berupa utang dapat diperoleh perusahaan tersebut dari berbagai
sumber seperti bank-bank, lembaga pembiayaan, pasar uang yang memperjual-
belikan surat-surat utang jangka pendek, pasar modal yang memperjual-belikan surat-
surat utang jangka panjang, maupun sumber-sumber pembiayaan lainnya yang bisa
digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan utang yang disertakan dengan bunga.
Pihak yang memberikan pinjaman uang disebut dengan kreditor atau si berpiutang,
sedangkan pihak yang menerima pinjaman uang disebut debitor atau si berutang.
Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan oleh pihak yang berpiutang atau
kreditor kepada pihak yang berhutang atau debitor dilakukan karena adanya asas
kepercayaan, yang berbunyi :

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat


menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak satu sama lain akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka
perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan
kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang (Mariam Darus Badrul
Zaman, 1994: 42).
Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan oleh kreditor kepada debitor
dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitor dapat mengembalikan pinjaman
tersebut kepada kreditor tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayaan dari
kreditor, tidaklah mungkin kreditor mau memberikan pinjaman kepada debitor, hal
ini disebut dengan kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti
kepercayaan atau Trust (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 6).

Pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter yang melanda hampir seluruh
belahan dunia dimana Indonesia juga terkena dampaknya. Nilai tukar rupiah sebagai
mata uang negara Indonesia terpuruk sampai Rp. 17.000,- setiap US dollar. Krisis
tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian nasional dan dunia usaha saat itu.
Dunia usaha merupakan dunia yang paling merasakan dimana dampak krisis yang
melanda mengakibatkan tidak sedikit para pengusaha yang gulung tikar karena krisis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tersebut. Dalam kondisi yang tidak menentu dan sangat tidak menguntungkan, pada
saat itu persoalan pokok yang membebani para pengusaha tersebut adalah bagaimana
penyelesaian utang-piutang yang mereka alami di kalangan dunia usaha dimana
sekitar $67 milliar utang yang telah jatuh tempo. Para kreditor yang telah
memberikan kredit sebelumnya baik dari asing maupun lokal dengan segala upaya
mendesak agar para debitor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional untuk
segera melunasi segala kewajibannya (Adi Sulistiyono. 2009: 6).

Situasi dunia usaha saat itu yang sedang mengalami krisis yang berdampak
buruk perekonomian bangsa membuat para pengusaha nasional semakin terbebani
dikarenakan situasi yang tidak kondusif dalam melunasi utang. Utang yang semula
mampu dilunasi segera, dikarenakan krisis dalam waktu yang sangat singkat telah
berkembang menjadi berlipat ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
semua mata uang asing lainnya. Terlebih sebagian besar pinjaman yang dilakukan
oleh para pengusaha nasional adalah dengan mata uang asing, sedangkan pendapatan
usaha dalam bentuk rupiah. Selain itu segala kegiatan usaha telah lumpuh sebagai
akibat dari krisis moneter di Indonesia yang pada waktu itu telah berubah menjadi
krisis multi dimensional.

Pemerintah sebagai pelaksana kehidupan bernegara kemudian turun tangan


dengan melakukan segala upaya untuk mengantisipasi adanya krisis global yang
berdampak multi dimensional terutama pada dunia usaha. Hal tersebut dimulai
dengan melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan
perundang-undangan, salah satunya dengan merevisi Undang-undang kepailitan yang
ada. Revisi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Undang-undang kepailitan
tersebut sebenarnya timbul dari tekanan yang dilakukan oleh International Monetery
Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum
yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor.
International Monetery Fund (IMF) berpendapat untuk mengatasi dan menyelesaikan
utang piutang di Indonesia dilakukan dengan cara memberikan bantuan dana. Adanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

keharusan penyelesaian utang-utang kepada luar negeri di kalangan dunia usaha dan
upaya penyelesaian kredit macet perbankan yang terjadi mensyaratkan pemerintah
Republik indonesia segera mengganti atau merubah peraturan tentang kepailitan yang
berlaku di Indonesia, hal ini dikarenakan peraturan-peraturan tentang kepailitan yang
berlaku dianggap tiadak lagi efektif sebagai sarana penyelesaian utang-utang
pengusaha nasional kepada para kreditornya.

Penyelesaian utang-piutang antara pihak debitor kepada pihak kreditor guna


melaksanakan kewajibannya sebelumnya dapat dilakukan dengan berbagai alternatif
penyelesaian. Misalnya dengan melakukan perundingan permintaan penghapusan
utang baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Para pengusaha dapat pula melakukan
penjualan sebagian aset atau bahkan seluruh asetnya. Selain itu dapat pula dengan
mengubah pinjaman yang diberikan oleh kreditor menjadi pernyataan saham. Para
kreditor dapat pula menggugat debitor berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk melunasi semua utang-utangnya. Selain upaya-upaya tersebut bila
pihak debitor tidak memiliki harta atau aset yang cukup maka dapat melalui jalan
peraturan kepailitan yaitu Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU) dengan cara melakukan
permohonan pailit yang dilakukan oleh para kreditor kepada Pengadilan Niaga di
daerah wilayah hukumnya.

Kepailitan merupakan proses dimana apabila seorang debitor tidak mampu


membayar utangnya kepada lebih dari dua kreditornya dan utang tersebut telah jatuh
tempo yang diputus oleh Pengadilan Niaga sesuai dengan peraturan kepailitan.
Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,


baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang


mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali antara para berpiutang itu ada alsaan-alasan yang sah didahulukan”.
Dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum memberikan
jaminan kepada kreditor bahwa apabila debitor tidak melunasi hutangnya dikarenakan
suatu hal pada waktu yang ditentukan, maka harta kekayaan debitor baik yang
bergerak maupun tidak bergerak yang telah ada di kemudian hari, akan menjadi
agunan hutangnya yang dapat dijual untuk pelunasan pinjaman atau kredit yang
diberikan oleh kreditor kepada debitor. Sedangkan pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, memberikan jaminan kedudukan yang seimbang pada para
kreditornya. Kedudukan yang seimbang tersebut antar kreditor dapat dikecualikan
apabila ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku.

Pernyataan pailit merupakan hal yang sangat ditakuti oleh para pengusaha
selaku debitor, terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan. Sebelumnya pada tahun 90-an masalah kepailitan dianggap tidak
penting, bahkan konsultan hukum dalam memberikan nasihat hukum kepada kliennya
bahkan lebih memilih untuk mengabaikan peraturan kepailitan dan menganggap
kepailitan adalah pasal mati yang tidak patut diperhitungkan konsekuensi hukumnya
di Indonesia. Menurunnya popularitas kepailitan mungkin dapat dijelaskan dengan
merujuk pada riwayat hukum kepailitan itu sendiri. Sejak revisi terakhir dalam
Staatsbald 1906:348, praktis tidak terdapat perubahan yang berarti terhadap substansi
peraturan kepailitan. Sejak kemerdekaan Indonesia struktur ekonomi Indonesia yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

semakin berkembang telah sedikit banyak merubah karakteristik dunia usaha


Indonesia, dari yang tadinya didominasi oleh pedagang-pedagang yang bermodal
kecil dan menengah, kepada struktur usaha yang semakin industrialis, dimana
bermunculan pengusaha-pengusaha dengan sekala kegiatan yang membutuhkan
modal yang sangat besar dengan transaksi bisnis yang semakin kompleks. Yang
merubah sudut pandang dunia bisnis yang dimana dulu merupakan proses yang
tertutup menjadi fokus publik (Aria Suyudi dkk, 2004:23).

Perubahan sudut pandang di dunia bisnis mengakibatkan kepailitan menjadi


sorotan utama para pengusaha, dimana guna mengatasi kepailitan tersebut sebuah
perusahaan atau badan hukum selaku debitor memberikan suatu jaminan kepada
pihak kreditor dalam pelunasan hutangnya. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan
materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil yaitu perseorangan atau badan hukum.
Jaminan imateriil atau perseorangan maupun badan hukum yang menjamin disebut
dengan guarantee. Penjamin atau penanggung lebih dikenal dengan guarantor.
Guarantor adalah pihak yang memberikan jaminan kepada penerima jaminan dan
yang bertanggung jawab untuk menggantikan posisi atau kewajiban-kewajiban pihak
terjamin kepada pihak penerima jaminan apabila pihak terjamin tidak dapat
memenuhi kewajibannya dimaksud (http://pulse.yahoo.com/, Surakarta 27 Juni
20010). Guarantor yang memberikan jaminan terbagi menjadi dua, yaitu seorang
penjamin atau penanggung yang memberikan jaminan (personal guarantee), dan
badan hukum yang memberikan jaminan (corporate guarantee).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai penjaminan


penanggungan yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850.
Penanggungan lebih ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang menyatakan :

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga,


guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya
perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Jaminan yang diberikan perorangan atau jaminan yang diberikan perusahaan


berwujud pernyataan oleh pihak ketiga (penjamin/guarantor) yang tidak memiliki
kepentingan apa-apa terhadap debitor maupun terhadap kreditor, bahwa debitor dapat
dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dengan syarat bahwa
apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia
untuk melaksanakan kewajiban debitor tersebut (M. Yahya Harahap, 1982: 315).
Dengan adanya jaminan guarantor tersebut (personal guarantee dan corporate
guarantee) maka pihak kreditor dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar
hutang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya
tersebut.

Pertanggung jawaban guarantor terjadi ketika pihak debitor tidak mampu


membayar hutangnya, sebagai guarantor memiliki kewajiban untuk melunasi utang
pihak debitor tersebut. Permasalahan muncul jika guarantor tersebut juga tidak
mampu membayar dari utang debitor dan harta kekayaan dari guarantor selaku
penjamin tidak dapat memenuhi kewajiban pelunasan utang dari pihak debitor.
Kondisi tersebut terlihat ketika seorang personal guarantee yang bertanggung jawab
memenuhi kewajiban pelunasan utang debitor dipailitkan oleh kreditornya karena
tidak dapat memenuhi kewajibannya selaku guarantor. Kepailitan seorang personal
guarantee tersebut mengubah pradigma hukum yang telah ada dan berkembang di
masyarakat dimana pihak yang dapat diajukan permohonan pernyataan pailit
hanyalah pihak debitor saja berdasar peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU).

Pernyataan pailit seorang personal guarantee terlihat di dalam beberapa


Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara
permohonan pernyataan Kepailitan pada tingkat Pertama, sebagai contoh yaitu
Putusan Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan Pengadilan Niaga
tersebut antara PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL), selaku Pemohon Pailit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan Alex Korompis (personal guarantee dari PT. Hutan Domas Raya) selaku
Termohon Pailit. Alex Korompis selaku pihak termohon pailit dipailitkan oleh pihak
pemohon pailit dikarenakan tidak dapat memenuhi kewajibannya selaku personal
guarantor dari PT. Hutan Domas Raya. Hakim yang memutus perkara tersebut
berpendapat bahwa Putusan pailit terhadap Alex Korompis telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU). Undang-undang Nomor 37
tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(KPKPU) dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan :

“Debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan Putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”.
Putusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap personal guarantee juga
terlihat di dalam Putusan Nomor 74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST antara PT
Rabobank International Indonesia selaku Pemohon Palit dan Gunawan Tjandra
(personal guarantee dari PT Pratama Jaringan Nusantara) selaku Termohon Pailit.
Gunawan Tjandra dipailitkan selaku personal guarantee dikarenakan PT Pratama
lalai menunaikan kewajiban kepada PT Rabobank yang telah jatuh tempo. Selain itu
terdapat pula Putusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST yaitu antara Citibank NA selaku Pemohon
Pailit dan Danny Lukita (personal guarantee PT Fit-U Garment Industry) selaku
Termohon Pailit. Majelis hakim menilai Danny selaku personal guarantee
bertanggung jawab atas sisa utang PT Fit-U terhadap Citibank sebesar AS$1,626 juta.

Putusan Pailit terhadap personal guarantee di dalam beberapa kasus kepailitan


tersebut, diputus oleh Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas dasar terpenuhinya
syarat-syarat kepailitan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berdasarkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim tersebut terhadap pertanggung


jawaban personal guarantee di dalam perkara kepailitan, maka penulis ingin
menyusun skripsi dengan judul: ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN
PERSONAL GUARANTEE TERKAIT PERMOHONAN PERNYATAAN
PAILIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN
2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG.

B. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas permasalahan yang ada agar dapat dibahas lebih terarah,
maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai
berikut:

1. Bagaimanakah peran dan tanggung jawab Penjamin (Personal Guarantee)


dalam peraturan perundang-undangan?
2. Apakah Penjamin (Personal Guarantee) dapat dimohonkan pailit oleh kreditor
apabila tidak memenuhi kewajibannya dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang?
3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap pertanggung jawaban
Penjamin (Personal Guarantee) di dalam perkara kepailitan?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak
dicapai, dan suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab pihak ketiga yang
mengikatkan diri sebagai penjamin (personal guarantee) dalam pemenuhan
kewajiban pembayaran utang debitor.
b. Untuk mengetahui posisi penjamin (personal guarantee) dalam perspektif
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang terkait dengan permohonan pernyataan
pailit yang diajukan oleh kreditor.
c. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim
terhadap pertanggung jawaban penjamin (personal guarantee) di dalam
suatu perkara kepailitan.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman penulis di
bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Kepailitan dan Hukum Jaminan.
b. Untuk dapat dijadikan suatu referensi dan untuk menambah wawasan dan
pengentahuan terkait dengan pertanggung jawaban penjamin (personal
guarantee) dalam suatu perkara kepailitan kepada kalayak ramai.
c. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan maanfaat yang berguna,


khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

1) Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan
Hukum Perdata pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pertangguang jawaban guarantor atas
penyelesaian utang-piutang dalam perspektif Undang-undang kepailitan.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2) Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas
terkait dengan penjamin (personal guarantee) dalam kepailitan.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi hukum
(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35).

Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan
baik dan dapat dipertanggung jawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu memahami
konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi (system dan ilmunya) dan metodologi
penelitian disiplin ilmu tersebut (Jhony Ibrahim, 2006:26). Di dalam penelitian
hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya
tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya (Jhony Ibrahim, 2006:28).

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan


metode penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis ialah penelitian normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian normatif atau penelitian hukum
kepustakaan menurut Jhony Ibrahim adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya (Jhony Ibrahim, 2006:57).
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian
hukum doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan
hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-
bahan hukum primer dan sekunder (Jhony Ibrahim, 2006:44).
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat perskriptif dan terapan.
Ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat perskriptif mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-
norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2006: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum memiliki beberapa macam pendekatan. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2006: 93). Adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

menggunakan beberapa pendekatan antara lain, pendekatan undang-undang


(statue approach) yang dilakukan dengan menelaah undang-undang yang
menyangkut dengan isu hukum yang ditangani dalam hal ini yaitu Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan pendekatan kasus (case approach), dilakukan dengan
mempelajari perkembangan mengenai isu yang dihadapi di dalam masyarakat
dengan memberikan contoh Putusan Pengadilan Niaga tentang perkara
Kepailitan yaitu Nomor 74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, Nomor
13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST dan Putusan Pengadilan Niaga Nomor
51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-
jurnal hukum.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal yang
sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang
digunakan dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau bahan
pustaka baik dari media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorikan
menurut jenisnya. Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut disebut studi
pustaka.
6. Teknik Analisis
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif
dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme
dan interpretasi, dengan menggunakan pola berfikir deduktif. Interpretasi atau
penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
gamblang terkait teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Silogisme yang penulis
gunakan adalah menggunakan silogisme pendekatan deduktif yaitu proses
penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus kemudian
ditarik kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung kebenaran.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika


penulisan hokum, serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi
penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang
terdiri dari empat bab.

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari subbab-subbab, yaitu latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini merupakan
awal sebagai dasar, bahan pertimbangan, serta patokan dari penulisan
hukum ini. Berupa wujud pertanggung jawaban personal guarantee
terkait dengan permohonan pernyataan pailit dalam perspektif Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang merubah pradigma masyarakat yang
menganggap hanya debitor saja yang dapat dipailitkan. Hal tersebut
berdampak pada tanggung jawab seorang personal guarantee dimana
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara tegas
terkait kepailitan seorang personal guarantee.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori dan
subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori ini memuat berbagai
pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan
para pembacanya. Dimulai dari tinjauan mengenai Kepailitan yang di
dalamnya memuat sejarah kepalitan, pengertian kepailitan, asas-asas
dalam kepailitan, syarat-syarat pernyataan pailit, proses pengajuan
perkara pailit dan akibat hukum kepailitan. Tinjauan yang kedua yaitu
tinjauan mengenai Jaminan yang terdiri dari pengertian jaminan, bentuk-
bentuk jaminan, pihak-pihak yang terkait dalam jaminan dan tujuan dari
jaminan. Tinjauan yang ketiga yaitu tinjauan tentang Penjamin yang
terdiri dari pengertian penjamin, lahirnya penjaminan, bentuk-bentuk
khusus penjaminan, dan berakhirnya penjaminan. Pada subbab Kerangka
Pemikiran, dibuat sebuah bagan untuk menyederhanakan pola pikir serta
alur arah dari tulisan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan
dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis
menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju.
1. Peran dan Tanggung Jawab Personal Guarantee dalam peraturan
perundang-undangan. Mencakup mengenai peran dan tanggung
jawab personal guarantee yang berlaku saat debitor lalai atau cidera
janji atau dengan kata lain debitor tidak mampu membayar 1 (satu)
atau lebih utang yang harus segera dibayar atau telah jatuh tempo
dan dapat ditagih maka personal guarantee berkewajiban untuk
memenuhinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Perundang-undangan tersebut yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang dan Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Permohonan pailit Personal Guarantee oleh kreditor dalam
perspektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Memaparkan mengenai pendapat para ahli tentang kepailitan
seorang personal guarantee. Syarat-syarat pengajuan permohonan
pernyataan palit yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan ketentuan mengenai peran dan tanggung
jawab Personal Guarantee yang diatur di dalam Pasal 1831 dan
Pasal 1832 KUH Perdata yang tetap berlaku tetapi tetap mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sesuai dengan asas
lex specialis derogat lex generalis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

3. Pertimbangan hukum Hakim terhadap pertanggung jawaban


Personal Guarantee di dalam perkara kepailitan. Dalam hal ini,
penulis memaparkan mengenai pertimbangan-pertimbangan hukum
yang dambil oleh Hakim terkait dengan pengambilan putusan
Personal Guarantee di dalam perkara kepailitan yang harus
mempertimbangkan unsur yuridis, unsur filosofis, dan unsur
sosiologis. Penulis mengambil contoh pertimbangan hukum Hakim
dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Perkara
Nomor 13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST, putusan Nomor
74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST dan Putusan Nomor
51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat tersebut digunakan untuk melihat pertimbangan-
pertimbangan Hukum Hakim terkait dengan pengajuan kepailitan
seorang Personal Guarantee dimana Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang hanya mengatur mengenai syarat-syarat
kepailitan seorang debitor, dan tidak mengatur secara tegas
mengenai kepailitan seorang Personal Guarantee terkait dengan
pertanggung jawabannya selaku penjamin dan melihat unsur yang
diutamakan oleh hakim dalam memutus perkara kepailitan seorang
personal guarantee.
BAB IV :PENUTUP
Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang
ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Untuk saran lebih
bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan
lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TNJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kepailitan
a. Sejarah Kepailitan
Era persaingan global telah membawa perubahan mendasar dalam
tata kehidupan suatu negara, salah satunya adalah negara Indonesia.
Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu produk hukum yang
terkait dan penting dengan perkembangan saat ini yaitu mengenai
peraturan perundang-undangan tentang kepailitan.
Sejarah kepailitan di Indonesia sebelumnya berasal dari penjajahan
bangsa Belanda ke Indonesia. Sejak tanggal 1 Oktober 1838 Belanda
telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van
Koophandel (W.v.K) yang di dalamnya mengatur tentang kepailitan yang
semula diatur untuk kasus pedagang (pengusaha). Kepailitan diatur dalam
Buku Ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van
onvermogen van kooplieden (Peraturan Tentang Ketidakmampuan
Pedagang) yang berlaku hanya untuk pedagang saja.
Pengaturan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur
dalam Reglement op de Rechtsvoedering (Rv) Stb.1847-52 jo. 1849-63,
Buku Ketiga Bab Ketujuh yang berjudul Van den Staat van Kennelijk
Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu).
Adanya dua buah peraturan tersebut telah menimbulkan banyak
kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah:
1) Banyak formalitas yang harus ditempuh;
2) Biaya tinggi;
3) Terlalu sedikit bagi kreditor untuk dapat ikut campur tangan
terhadap jalannya proses kepailitan; dan
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

4) Pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.


Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan
untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang
tidak banyak, agar mudah dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan
maksud tersebut, maka pada tahun 1906 telah diundangkan
Faillissementsverordening op het Faillissement en de Surseance van
Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan untuk
Kepailitan dan Penundaan untuk Orang-orang Eropa) atau
Faillissementsverordening (S. 1905-271 jo. S. 1906-348) yang mulai
berlaku pada tanggal 1 November 1906. Pemberlakuan peraturan ini
kemudian secara otomatis mencabut seluruh Buku Ketiga yang berjudul
Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden
(Peraturan Tentang Ketidakmampuan Pedagang) dan pengaturan
kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op
de Rechtsvoedering (Rv) Stb.1847-52 jo. 1849-63, Buku Ketiga Bab
Ketujuh yang berjudul Van den Staat van Kennelijk Onvermogen
(Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu) (Sutan Remy Sjahdeini,
2002: 25-26).
Pemberlakuan Faillissementsverordening sebenarnya diperuntukan
bagi golongan Eropa saja, namun golongan penduduk Hindia Belanda
selain golongan Eropa, dapat pula menggunakan
Faillissementsverordening tersebut. Golongan Timur Asing Cina dapat
menggunakan melalui lembaga penerapan hukum (toepasselijkverklaring)
yang diatur dalam ketentuan yang termuat dalam S. 1924 no. 556.
Golongan yang lain yaitu golongan Pribumi dan golongan Timur Asing
bukan Cina dapat menggunakannya dengan menerapkan lembaga
penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige onderwerping) yang diatur
dalam S. 1917 no. 12.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Pada tahun 1945 Indonesia merdeka, pengaturan kepailitan produk


Belanda tersebut masih berlaku berdasar Aturan Peralihan UUD 1945
yang berbunyi : “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”. Dengan ketentuan tesebut
Faillissementsverordening (S. 1905-271 jo. S. 1906-348) masih berlaku
yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Peraturan Kepailitan.
Dimana disempurnakan menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April
1988 yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun
1998.
Perubahan Perpu No. 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 tersebut pada prinsipnya isinya masih merupakan tambal
sulam saja, karena hanya sekedar mengubah dan menambah
Faillissementsverordening (S. 1905-271 jo. S. 1906-348), yang terdiri
dari 279 pasal, sedangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mencabut 6
pasal (Pasal 14A, 19, 218, 219, 221, dan 272) dan 1 ayat (Pasal 149 ayat
(3)). Terdapat 93 pasal yang diubah dan menambah 10 pasal baru.
Dengan demikian jumlah pasal Undang-undang No. 4 Tahun 1998 adalah
282 pasal.
Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 kemudian dianggap
kurang memenuhi kebutuhan perkembangan dunia usaha, dimana
kebutuhan guna menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat,
terbuka dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang
mendukungnya. Oleh karena itu dilakukan perubahan atas Undang-
Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan
ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Hasil dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

perubahan tersebut maka terbentuklah Undang-Undang No. 37 Tahun


2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

b. Pengertian Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan
dengan pailit. Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah
the state or condition of a person (individual, partnership, corporation,
municipality) who is unable to pay is debt as they are, or become due.
The term includes a person against whom an involuntary petition has
been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been
adjudged a bankrupt.
Black’s Law Dictionary mengartikan pengertian pailit dihubungkan
dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus
disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang
dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan
pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke
Pengadilan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 2002:11-12).
Kepailitan atau Bankruptcy is one way of dealing with debts you
cannot pay. The bankruptcy proceedings:
1) free you from overwhelming debts so you can make a fresh start,
subject to some restrictions; and
2) make sure your assets are shared out fairly among your creditors
(http://www.insolvency.gov.uk/bankruptcy/whatisbankruptcy,
Surakarta 9 Maret 2010).
Kepailitan atau Bankruptcy is “The relatively tight connection
between debt levels and bankruptcy rates” (Gordon Bermant dan Ed
Flynn, 2001: 7). Kepailitan dalam hal ini memiliki hubungan erat dengan
utang dan kebangkrutan. Kepailitan merupakan suatu cara untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

berurusan dengan utang dan tidak bisa membayar dimana suatu proses
membebaskan utang sehingga dapat membuat awal baru dengan
memastikan aset yang cukup guna memenuhi utang kepada para kreditor.
Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata
pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti
kebangkrutan, bangkrut dan faillissement untuk istilah kepailitan yang
berarti keadaan bangkrut. Sedangkan dalam bahasa Inggris untuk istilah
pailit dan kepailitan digunakan istilah bankrupt dan bankruptcy. Berikut
adalah pendapat beberapa ahli (http://mkn-unsri.blogspot.com, Surakarta
8 Maret 2010) :
1) Menurut Subekti, pailisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk
mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.
2) Menurut Soekardono, kepailitan adalah penyitaan umum atas
kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga
Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan
serta pemberesan boedel dari orang yang pailit.
3) Menurut Kartono, kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas
seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya
bersama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit
mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing
kreditor miliki pada saat itu.
Berdasar pendapat beberapa ahli di atas tentang definisi atau
pengertian tentang kepailitan, maka dapat ditarik unsur-unsur sebagai
berikut yaitu:
1) Kepailitan dimaksudkan guna menjamin pembagian yang sama
terhadap harta kekayaan Debitor di antara para Kreditornya.
2) Kepailitan mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

3) Kepailitan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad


baik dari para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan
utang.
Menurut Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dalam Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit


yang pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagai mana diatur dalam Undang-
Undang ini”
Dari berbagai macam pendapat dan pengertian di atas maka
kepailitan secara sederhana adalah dapat diartikan sebagai suatu
penyitaan semua aset debitor yang tidak mampu untuk membayar, yang
dimasukkan ke dalam permohonan pailit. Debitor pailit kehilangan
kemampuan untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang
termasuk ke dalam boedel pailit terhitung sejak pernyataan kepailitan
tersebut.

c. Asas-Asas dalam Kepailitan


Asas-asas hukum dalam kepailitan tercermin dalam Undang-undang
mengenai Kepailitan, yakni sebagai berikut (Adi Sulistiyono. 2009: 9) :
1) Asas Keseimbangan
Undang-undang Kepailitan diadakan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada para kreditor maupun debitor.
Perlindungan diberikan kepada debitor guna mencegah kreditor
yang tidak jujur, dan perlindungan hukum juga diberikan kepada
kreditor guna memperoleh akses terhadap harta kekayaan debitor
yang dinyatakan pailit karena tidak mampu lagi membayar utang-
utangnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

2) Asas Kelangsungan Usaha


Undang-undang Kepailitan juga memungkinkan atau memberikan
kesempatan kepada debitor dimana apabila pihak debitor dinilai
masih memiliki itikad baik dan dipandang mempunyai prospek
untuk melangsungkan usahanya, untuk melanjutkan usahanya dan
melunasi utang-utangnya kepada kreditor.
3) Asas Keadilan
Undang-undang Kepailitan menjamin keadilan bagi seluruh pihak
yang berkepentingan guna pembagian harta pailit. Sesuai dengan
asas Pari Passu yang tercermin di dalam Pasal 1132 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dimana membagi harta pailit secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada kreditor konkruen.
4) Asas Integrasi
Adanya integrasi antara sistem hukum formil dengan materiel
dalam Undang-undang Kepailitan. Dimana adanya suatu kaitan atau
kesatuan yang mengatur tentang masalah kepailitan.

d. Syarat-syarat Pernyataan Kepailitan


Pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitor harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
kepailitan yang berlaku. Permohonan pernyataan pailit tersebut kemudian
diajukan melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat dalam pengajuan
permohonan pernyataan pailit tersebut tercermin di dalam Pasal 2 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 yang menyebutkan :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditornya dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang
berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

Syarat pengajuan permohonan kepailitan yang telah tercermin


dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut dapat dibagi
menjadi :
1) Debitor minimal mempunyai dua kreditor
Syarat yang mengharuskan adanya debitor yang memiliki
minimal dua kreditor merupakan syarat yang wajib dipenuhi sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat yang
mengatur minimal memiliki dua kreditor tersebut dikenal dengan
syarat “concursus creditorium”. Syarat tersebut merupakan “raison
d’entre-nya” Undang-Undang Kepailitan, karena eksistensi Undang-
Undang Kepailitan diperlukan untuk mengatur mengenai salah
satunya adalah bagaimana cara membagi harta kekayaan debitor di
antara para kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari seorang
kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 63).
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitor kehilangan
hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang
dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu
sendiri, yang meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat
pernyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang
diperoleh selama kepailitan.
Debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika hanya memiliki
seorang kreditor, hal itu disebabkan karena jika hanya memiliki satu
orang kreditor maka tidak ada keperluan untuk membagi aset
debitor di antara para kreditor. Kreditor berhak dalam perkara ini
atas semua aset debitor. Pembagian aset debitor yang diperoleh
dengan sita umum terhadap harta kekayaan debitor dibagi secara
adil diantara para kreditornya, kecuali apabila ada diantara para
kreditornya yang harus didahulukan menurut ketentuan Pasal 1132
KUH Perdata yang berbunyi:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi


semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila di antara para kreditornya itu ada alasan-alasan sah
untuk didahulukan”.

2) Adanya minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Utang menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Kepailitan
No. 37 Tahun 2004 meyatakan bahwa:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi
hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitor”.

Pengertian utang dalam pernyataan kepailitan harus telah


jatuh tempo atau jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang yang telah
jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan
yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu
dan karena itu pula kreditor berhak menagihnya (Sutan Remy
Sjahdeini, 2002: 68).
Utang yang telah jatuh waktu dapat disebut pula hutang yang
telah expired dengan sendirinya menjadi utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, namun hutang yang telah dapat ditagih
belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Utang
tersebut dapat ditagih karena terjadi salah satu peristiwa-peristiwa
yang disebutkan dalam perjanjian (events of default). Adalah lazim
dalam suatu perjanjian kredit mencantumkan klausul events of
default, yaitu klausul yang meberikan hak kepada bank untuk
menyatakan kepada nasabah debitor telah cidera janji apabila salah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

satu peristiwa yang tercantum dalam events of default terjadi (Sutan


Remy Sjahdeini, 2002: 69).
Apabila dalam suatu perjanjian kredit tidak ditentukan suatu
waktu tertentu mengenai telah dapat ditagihnya suatu utang, maka
dapat merujuk dalam pada Pasal 1238 KUH Perdata, yang
menyatakan:
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah
atau dengan sebuah akta sejenis itu telah lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si
berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan”.

Menurut Pasal 1238 KUH Perdata berarti bila debitor


dianggap lalai jika ada suatu perintah atau akta pernyataan lalainya
debitor yang dikirim oleh kreditor. Akta pernyataan lalainya debitor
biasa berbentuk surat teguran atau somasi yang di dalamnya
menyatakan bahwa debitor telah lalai dan di dalam surat tersebut
debitor diberikan waktu tertentu untuk melunasi hutangnya.
3) Diputus pengadilan yang berwenang
Permohonan pernyataan pailit diputus oleh pengadilan yang
berwenang. Pengadilan yang berwenang dalam hal ini adalah
Pengadilan Niaga. Pihak yang berwenang mengajukan permohonan
pernyataan pailit diatur di dalam Pasal 2 Undang-undang No. 37
Tahun 2004, yaitu:
a) Kreditornya, satu orang atau lebih
b) Debitor sendiri (dalam hal debitornya telah menikah dan
terjadi pencampuran harta harus dengan persetujuan suami
atau istrinya)
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum
d) Bank Indonesia (BI) apabila debitornya adalah bank

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila


debitornya adalah perusahaan efek
f) Menteri Keuangan, jika debitornya Perusahaan Asuransi,
Reasuransi, BUMN bergerak untuk kepentingan publik
Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh para pemohon
kepada pengadilan dengan mempertimbangkan bahwa pengadilan
tidak boleh menolak suatu perkara dimana merupakan kewenangan
hakim/ pengadilan untuk menerima ataupun menolak suatu
permohonan tersebut (Amir Syamsuddin, 2005:87).

e. Proses Pengajuan Permohonan Perkara Pailit


Proses pengajuan permohonan pailit diajukan di Pengadilan Niaga
berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yaitu sebagai
berikut:
1) Permohonan pernyataan pailit didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga, tempat domisili debitor
2) Panitera menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Niaga selama 2 (dua) hari, sejak pendaftaran dilakukan
3) Pengadilan akan mempelajari permohonan dan menetapkan hari
sidang 3 (tiga) hari sejak pendaftaran dilakukan
4) Pemanggilan sidang dilakukan 1 (satu) minggu sebelum sidang
pertama dilaksanakan
5) Sidang harus dilaksanakan paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak
hari pendaftaran
6) Penundaan sidang boleh dilakukan paling lama 25 (dua puluh lima)
hari sejak pendaftaran
7) Putusan permohonan pailit harus sudah jatuh/ diputuskan 60 (enam
puluh) hari sejak didaftarkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

8) Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang berkepentingan


dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan dijatuhkan
9) Pengajuan dan pendaftaran permohonan kasasi kepada Panitera
Pengadilan Niaga selama 8 (delapan) hari sejak putusan dijatuhkan
10) Panitera Pengadilan Niaga mengirim permohonan kasasi kepada
pihak terkasasi 2 (dua) hari sejak pendaftaran permohonan kasasi
11) Pihak terkasasi menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak
Panitera Pengadilan Niaga selama 7 (tujuh) hari sejak pihak
terkasasi menerima dokumen kasasi
12) Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan berkas kasasi kepada
Mahkamah Agung selama 2 (dua) minggu sejak pendaftaran
permohonan kasasi
13) Mahkamah mempelajari dan menetapkan sidang selama 2 (dua) hari
sejak permohonan diterima
14) Sidang pemeriksaan permohonan kasasi dilaksanakan 20 (dua
puluh) hari sejak permohonan didaftarkan
15) Putusan kasasi sudah harus jatuh paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak permohonan kasasi didaftarkan
16) Penyampaian putusan kepada pihak yang berkepentingan selama 3
(tiga) hari sejak putusan kasasi dijatuhkan
17) Apabila hendak melakukan Peninjauan Kembali (PK) sesuai dengan
ketentuan prosedur pengajuan kasasi (Pasal 14 Undang-Undang No.
37 Tahun 2004)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

f. Akibat Hukum Kepailitan


Secara umum suatu pernyataan kepailitan memiliki akibat :
1) Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitor pada saat
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan.
2) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
3) Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri
pribadi debitor pailit.
4) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua
para kreditor dan debitor. Hakim pengawas memimpin dan
mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
5) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
6) Segala perbutan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit,
apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar
dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan
oleh kurator atau kreditor.
7) Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan
(boedel pailit).
8) Perikatan selama kepailitan yang dilakukan oleh debitor, apabila
perikatan tersebut menguntungkan bisa diteruskan. Namun apabila
perikatan tersebut merugikan, maka kerugian sepenuhnya
ditanggung oleh debitor secara pribadi, atau perikatan tersebut dapat
dimintakan pembatalan.
9) Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta,
diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut (Adi
Sulistiyono. 2009: 29).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

2. Tinjauan Tentang Jaminan


a. Pengertian Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu
zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-
cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggung
jawaban umum debitor terhadap barang-barangnya atau dapat dikatakan
pengertian jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari perikatan hukum (Salim HS,
2004:21).
Konstruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang
dikemukakan oleh Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan, dimana
Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang
diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor
akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul
dari suatu perikatan (Salim HS, 2004:22).
Kedua definisi yang jaminan dipaparkan di atas adalah :
1) Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (bank);
2) Wujud jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan materiil);dan
3) Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor dengan
debitor.
Sedangkan M. Bahsan menggunakan istilah jaminan, dimana ia
berpendapat bahwa jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditor
dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam
masyarakat (Salim HS, 2004:22).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak mengatur
secara tegas tentang definisi jaminan, tetapi dapat dilihat arti jaminan
dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

“Segala kebendaan si berhutang (debitor), baik yang bergerak


maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan suatu segala
perikatan pribadi debitor tersebut”.

Pasal 1131 KUH Perdata tersebut mengandung pengertian bahwa


setiap orang yang mempunyai utang memiliki tanggung jawab untuk
melunasinya dengan segala harta kekayaan yang dimilikinya. Dengan
menjadi jaminan atas pelunasan utang tersebut.
Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa :
“Kebendaan tersebut dalam Pasal 1131 menjadi jaminan bersama
bagi para kreditor, dan hasil pelelangan kebendaan tersebut dibagi
diantara para kreditor seimbang menurut besar kecilnya piutang
mereka masing-masing, kecuali alasan-alasan yang sah untuk
mendahulukan piutang yang satu daripada piutang yang lain”.

Pasal 1132 KUH Perdata tersebut menyatakan bahwa apabila


seorang debitor memiliki beberapa orang kreditor maka kedudukan antara
para kreditor tersebut adalah seimbang, terkecuali dengan alasan-alasan
yang sah yang dapat terbentuk karena undang-undang ataupun karena ada
perjanjian.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan jaminan adalah
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit (Salim HS,
2004: 6).
b. Bentuk-bentuk Jaminan
Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di
Indonesia dan yang berlaku di Luar Negeri. Jaminan merupakan syarat
untuk mendapatkan kredit dari bank. Undang-Undang Perbankan yaitu
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari
Undag-undang Nomor 7 Tahun 1992, mengatur mengenai kredit yaitu di

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

dalam Pasal 8 ayat (1) dimana bank dalam memberikan kredit wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad
dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Hasil Seminar Badan Pembinaan Badan Hukum Nasional yang
diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai 30 Juli 1997, Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, membagi jaminan menjadi dua macam,
yaitu jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan perorangan (Salim H.S,
2004:24).
1) Jaminan Materiil (Kebendaan), yaitu Jaminan yang berupa hak
mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai
hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan
terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan unsur-unsur yang
tercantum dalam jaminan materiil yaitu:
a) Hak mutlak atas suatu benda
b) Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu
c) Dapat dipertahankan terhadap siapapun
d) Selalu mengikuti bendanya
e) Dapat dialihkan kepada pihak lainnya
Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu (H.
Salim, 2004:25) :
a) Gadai
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal
1150, Gadai adalah:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang


tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya-
biaya mana harus didahulukan”.

b) Jaminan Fidusia
Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu
fiducie, seangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary
transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Mo. 42 Tahun 1999 tentang jaminan
fidusia menyebutkan pengertian jaminan fiducia adalah:
“Pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasr
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya yang diadakan tersebut dalam
penguasaan pemilik benda itu”.

c) Hipotek atas Kapal Laut


Menurut Pasal 1162 KUH Perdata Hipotek adalah:

“Suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak,


untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan bagi suatu perikatan.”

Vollmar mengartikan hipotek adalah:

“Sebuah hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak


tidak bermaksud untuk memberikan orang yang berhak
(pemegang hipotek) sesuatu nikmat dari suatu benda,
tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi
pelunasan sebuah hutang dengan dilebih dahulukan.”

d) Hak Tanggungan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggungan
diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Dalam Pasal

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 disebutkan


pengertian hak tanggungan adalah sebagai berikut:
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya. “

2) Jaminan Imateriil (Perorangan dan Badan Hukum), yaitu jaminan


yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan atau badan
hukum tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor
tertentu, terhadap harta kekayaan debitor umumnya (H. Salim,
2004:24). Artinya yang menjadi jaminan adalah penjaminnya.
Jaminan merupakan janji yang dibuat oleh penjamin guna
membayar hutang debitor.
“A guaranty is a promise made by a guarantor to answer for
the debt or obligation (the "underlying debt") of an obligor
(the "principal") that is owed to a creditor or other obligee
(the "underlying creditor" or "lender"). A guaranty is,
therefore, a collateral promise by the guarantor to pay the debt
or obligation of the underlying obligor for the benefit of the
lender” ( Business Lawyer 59.3, 2004: p.897(78) ).

Penjamin yang memberikan jaminan disebut juga penjamin atau


penanggung (guarantor) yang memberikan jaminan terbatas pada
harta kekayaan penjamin. Guarantor adalah pihak yang
memberikan jaminan kepada penerima jaminan dan yang
bertanggung jawab untuk menggantikan posisi atau kewajiban-
kewajiban pihak terjamin kepada pihak penerima jaminan apabila
pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya dimaksud
(http://pulse.yahoo.com/, Surakarta 27 Juni 20010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Unsur-unsur jaminan Imateriil yaitu:


a) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu
b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu
c) Terhadap harta kekayaan debitor umumnya
Jaminan Imateriil adalah orang ketiga (borg) yang akan
menanggung pengembalian uang pinjaman, apabila pihak peminjam
tidak sanggup mengembalikan pinjamannya tersebut (Purwahid
Patrik, Kashadi, 2001:91).
Jaminan Imateriil sendiri terbagi menjadi personal guarantee dan
corporate guarantee. Personal guarantee adalah seorang penjamin
atau penanggung yang memeberikan jaminan, sedangkan corporate
guarantee adalah badan hukum atau perusahaan yang memberikan
jaminan.

c. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Jaminan


Pihak-pihak yang terkait dalam jaminan atas penyelesaian utang-
piutang dalam kepailitan antara lain:
1) Pihak Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Pihak yang
berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit diatur di
dalam Pasal 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004, yaitu:
a) Kreditornya, satu orang atau lebih
b) Debitor sendiri (dalam hal debitornya telah menikah dan
terjadi pencampuran harta harus dengan persetujuan suami
atau istrinya)
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum
d) Bank Indonesia (BI) apabila debitornya adalah bank

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila


debitornya adalah perusahaan efek
f) Menteri Keuangan, jika debitornya Perusahaan Asuransi,
Reasuransi, BUMN bergerak untuk kepentingan publik
2) Pihak Termohon Pailit
Pihak termohon pailit adalah pihak debitor yang dimohonkan
pailit oleh pihak pemohon yang berwenang dimana debitor tersebut
memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya
satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Aria Suyudi,
dkk, 2004: 93).
Dalam hal penanggungan, maka terdapat dua perjanjian yang
berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Perjanjian itu
adalah perjanjian pokok yang dijamin dan perjanjian
penanggungan. Sifat perjanjian penanggungan adalah bersifat
“accecoir” (tambahan). Hal ini berarti perjanjian penanggungan
adalah tergantung pada perjanjian pokoknya, dimana perjanjian
pokok tersebut adalah perjanjian utama perjanjian kredit atau
perjanjian uang antara debitor dengan kreditor (Salim H.S,
2004:219).
Perjanjian pokok mengatur kedudukan debitor sebagai pihak
yang berhutang yang memiliki kewajiban untuk melunasi
hutangnya. Sedangkan dalam perjanjian penanggungan, meskipun
terpisah dan bersifat accecoir (tambahan), perjanjian penanggungan
mengatur tentang hubungan debitor dengan pihak ketiga (borg)
3) Pihak pemberi Jaminan sebagai Pihak Ketiga (borg)
Pihak pemberi jaminan atau penanggung hutang lebih dikenal
dengan Borgtocht. Hubungan borg atau pihak ketiga diatur dalam
perjanjian tambahan. Meskipun borg berkedudukan sebagai pihak
ketiga, tetapi borg telah secara sukarela mengikatkan diri sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

debitor atau penjamin atau penanggung (guarantor) kepada kreditor


untuk berprestasi sama dengan debitor.
Prestasi tersebut dilakukan oleh penjamin bila debitor tidak
bisa memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutang-hutangnya
kepada kreditor atau melakukan wanprestasi terhadap perjanjian
pokoknya. Penanggungan diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata.
Pemberi jaminan berkedudukan sebagai debitor yang berdasar
perjanjian penanggungannya bertanggung jawab seluruh harta
kekayaannya. Selain itu Penanggungan diatur dalam Pasal 1820
sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata dan diatur dalam Pasal
141, Pasal 164 dan Pasal 165 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

d. Tujuan Jaminan
Jaminan memiliki tujuan yaitu untuk melindungi kepentingan
kreditor. Kepentingan kreditor yang berhubungan dengan pemberian dana
yang telah diberikan oleh kreditor kepada debitor agar dikembalikan
sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.Adanya jaminan yaitu
untuk meyakinkan kreditor, bahwa debitor memiliki kemampuan untuk
mengembalikan atau melunasi utang atau kreditnya yang diberikan
kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian hutang atau kredit
yang telah disepakati bersama antara kreditor dengan debitor.
Pembuatan perjanjian jaminan adalah untuk menjamin pelaksanaan
perikatan debitor terhadap kreditor yang ada dalam suatu perjanjian lain
yang hendak dijamin pelaksanannya disebut saja perjanjian pokok yang
melahirkan perikatan-perikatan pokok. Dengan demikian, kausa
perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat perjanjian pokoknya
(J. Satrio, 1999: 60).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

3. Tinjauan Tentang Penjamin


a. Pengertian penjamin
Pengertian penjamin atau penanggung dalam Pasal 1820 KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa:

“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak


ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”
Penjaminan biasanya terdapat dalam perjanjian pinjam meminjam
uang, pihak kreditor meminta kepada debitor agar menyediakan jaminan
berupa sejumlah harta kekayaannya atau perorangan yang merupakan
pihak ketiga yang disepakati dalam perjanjian untuk kepentingan
pelunasan utang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata
debitor tidak melunasi. Jaminan adalah suatu perikatan antara kreditor
dengan debitor, dimana debitor memperjanjikan sejumlah hartanya untuk
pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran
utang si debitor (Gatot Suparno, 1995:56).
Fungsi utama jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor
bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang
diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati
bersama. Setiap ada perjanjian jaminan pasti ada perjanjian yang
mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian
pokok karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian
pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian
jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian
pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian
jaminannya juga selesai atau bersifat accessoir. Kewajiban borgtocht/
penjamin secara resmi juga mengakibatkan hapus apabila perjanjian
pokok telah hapus (M. Yahya Harahap, 2002:6).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

Kedudukan perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat


accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri (Edy Putra Tje’Aman,
1985:41):
1) Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok
2) Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok
3) Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok
Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan
mengamankan kredit, jaminan yang ideal itu adalah ( Rachmadi Usman,
2008:70) :
1) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya
2) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk
melakukan (meneruskan) usahanya
3) Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti bahwa yaitu bila
perlu mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitor
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal
1132 KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan
berdasarkan sifatnya, yaitu (Rachmadi Usman, 2008:76):
1) Hak jaminan yang bersifat umum
Yaitu jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh
kreditor dan mengenai segala kebendaan debitor. Hak jaminan yang
bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena undang-undang,
sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan
sebelumnya.
2) Hak jaminan bersifat khusus
Hak jaminan khusus ini timbul karena diperjanjikan secara khusus
antara debitor dengan kreditor. Hak jaminan khusus dapat
dibedakan menjadi :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

a) Hak jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke


zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu kebendaan tertentu
yang dibebani dengan utang. Diatur dalam Pasal 1150
KUHPerdata, Pasal 1162 KUHPerdata, Pasal 314 KUHD, UU
No. 4 Tahun 1996, UU No. 42 Tahun 1999. Jaminan ini dapat
berupa gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia.
b) Hak jaminan yang bersifat perseorangan (persoonlijke
zekerheidsrechten), yaitu adanya seseorang yang bersedia
menjamin pelunasan utang tertentu bila debitor wanprestasi.
Diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata, Pasal 1278 KUH
Perdata, Pasal 1316 KUH Perdata
KUH Perdata menggunakan istilah pertanggungan, namun selain
dari istilah tersebut terdapat istilah lain yang sama artinya dengan
penanggungan yang digunakan oleh beberapa sarjana yaitu penanggungan
utang dan risiko penanggungan. Selain itu penanggungan dalam bahasa
Belanda disebut “borgtocht” dan dalam bahasa Inggris disebut
“guaranty”. Dan orang yang melakukan penanggungan itu disebut
penanggung, penjamin, borg, atau guarantor (J. Satrio, 1996:5)

b. Lahirnya Penjaminan
Lahirnya suatu penjaminan dapat juga dikatakan sebagai
terbentuknya atau telah dilakukan atas dibuatnya suatu penjaminan baik
oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha
(corporate guarantee) harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih
dahulu, baik itu perjanjian kredi bank maupun perjanjian lainnya. Secara
umum perjanjian penjaminan/ penanggungan dapat timbul dari hal-hal
sebagai berikut (J. Satrio, 1996:87) :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

1) Penjaminan yang lahir dari undang-undang


Penjamin yang lahir dari undang-undang maksudnya adalah
penjamin yang timbulnya berdasarkan penetapan undang-undang,
karena dalam beberapa hal undang-undang mewajibkan adanya
seorang penjamin untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu.
Misalnya pewarisan.
2) Penjaminan yang lahir dari perjanjian
Pada umumnya perjanjian ini lahir sebagai akibat adanya perjanjian
pokok yang menyebutkan secara khusus adanya suatu
penanggungan. Hal ini dapat terjadi karena kreditor kadangkala
baru mau mengadakan suatu hubungan perhutangan jika pihak
lawan ini dapat mengajukan penjamin. Penjamin ini dapat ditunjuk
oleh kreditor ataupun debitor.
3) Penjaminan yang lahir secara sukarela
Dalam penjaminan ini, orang yang menjamin bisa disebut sebagai
borg sukarela atau biasanya juga hanya dikatakan sebagai borg. Ini
gunanya untuk membedakan dari borg wajib. Borg sukarela ini juga
dapat diartikan sebagai orang yang dengan sukarela atau atas
keinginannya sendiri untuk menjadi penjamin/penanggung (borg).
Dalam hal ini berati bukan atas penetapan hakim atau telah
ditetapkan oleh undang-undang.
4) Penjaminan yang lahir karena adanya penetapan hakim.
Penjaminan ini timbul karena adanya putusan hakim atau ketetapan
hakim (beschiking) yang memutuskan adanya penjamin yang
menjamin dipenuhinya perutangan. Dalam hal ini menetapkan
debitor diwajibkan memberi borg, maka borg yang diajukan
tersebut haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

a) Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk menguatkan


diri
b) Cukup mampu (kemampuan ekonomi) untuk dapat memenuhi
peraturan yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau
secara khusus menurut keadaannya dimana hakim bebas
untuk menentukan penilaian.
c) Harus berada di wilayah RI.

c. Bentuk–Bentuk Khusus Penjaminan


Undang-undang dalam prakteknya mengenal beberapa macam
bentuk khusus dari penjaminan/penanggungan yang terdiri dari (F.N
Follmar, 1995:99) :
1) Penjaminan belakang yaitu sipenjamin menjanjikan kepada kreditor
dari kewajiban-kewajiban penjamin atau penjamin utama. Jadi
penjamin belakangan ini tidak menjaminkan diri terhadap debitor
utama, karena penjamin belakangan ini merupakan suatu yang lain
daripada penjaminan bersama.
2) Penjaminan bersama ini dapat terjadi bila 2 (dua) orang atau lebih
menjaminkan diri secara bersamaan untuk utang yang sama.
Penjamin bersama ini bertanggung jawab atas bagian yang sama
kecuali jika penjaminan dari seorang atau lebih diantara mereka
mempunyai sifat subsidair sedemikian rupa, sehingga mereka
menjadi bagian dari debitor utama hanya apabila penjamin utama
atau pertama ternyata tidak mampu membayar utangnya ( in
sulken).
3) Penjaminan yang mempunyai hak regres yaitu seseorang yang
menyediakan diri untuk menjadi borg bagi debitor terhadap
penjaminan yang sudah ada yang hanya mempunyai hak regres.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

Dalam hal ini hak regresnya adalah hak regres borg terhadap
debitor utama. Secara lebih jelas juga dapat dikatakan bahwa
penjaminan jenis ini adalah penjaminan yang kreditornya hanya
mendapatkan pelunasan dari debitor utama.
4) Penjaminan tidak terbatas atau tertentu yaitu penjaminan yang tidak
meliputi banyak penjamin pokok tetapi juga meliputi segala akibat
utangnya, bahkan terhitung biaya-biaya gugatan, biaya peringatan
dan biaya lainnya. Apabila sampai ke pengadilan, meliputi segala
akibat utang disini bukan berarti meliputi utang yang akan muncul
kemudian, tetapi yang didasarkan pada perikatan pokok tertentu
saja yang sudah ada pada saat penjaminan diberikan yang telah
disebutkan secara tegas dalam perjanjian penjaminan, seperti yang
diatur dalam Pasal 1825 KUH Perdata.
5) Penjaminan bangunan (bowborgtocht) lebih banyak ditemui pada
zaman dahulu daripada sekarang, terdapat pada pemborong pekerja
bangunan. Yaitu penjamin mengikat diri untuk mengurus dan
menanggung/menjamin prestasi yang masih terutang oleh
pemborong dalam hal pemborong yang lalai, sehingga si borg wajib
untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung atau dengan
kata lain ada seseorang yang mengikatkan diri sehingga borg
terhadap pemberi proyek untuk pelaksanaan bangunan.

Bentuk khusus penjaminan selain yang disebutkan diatas, dalam


praktek baik di dalam maupun di luar negeri dapat dijumpai jenis lainnya
yang terdiri dari (Sri Soedewi Masjchun Sofwan, 1982:114) :
1) Penjaminan kredit (crediet borgtocht) ini terjadi bila seseorang atau
borg yang mengikatkan dirinya untuk menjamin semua utang
debitor utama yang muncul sehubungan kredit antara bank sebagai
kreditor dengan pribadi sebagai debitor utama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

2) Penjaminan bank (bank borgtocht) ini terjadi bila seorang borg


yang menjamin semua dan atas dasar apa saja, yang pada saat itu
atau dikemudian hari akan terutang oleh debitor utama kepada
kreditor.
3) Penjaminan saldo (saldo borgtocht), penjamin dalam hal ini
menanggung saldo yang akan dapat ditagih oleh kreditor pada saat
penutupan rekening.
4) Penjaminan atau jaminan oleh lembaga pemerintah (staatsborgtocht
atau staatsgaransi) ini sudah lazim terdapat diluar negeri seperti di
Belanda, dimana pemberian kredit dengan jaminan pemerintah ini
diberikan oleh gemeenten yaitu pemerintah Tingkat II yang
berbentuk Kota Madya. Dalam hal ini akta penjaminan
ditandatangani oleh walikota. Dengan demikian walikota bertindak
selaku penjamin untuk memenuh prestasi debitor, manakala debitor
wanprestasi.

d. Berakhirnya Perjanjian Penjamin (Personal Gurantee)


Hal-hal yang menyebabkan berakhirnya suatu personal guarantee
adalah sebagai berikut (Gunawan Widjaja,1996:169) :
1) Hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa personal guarantee itu adalah
perjanjian accesoir yaitu perjanjian yang mengikuti perjanjian
pokoknya. Jika perjanjian pokok itu batal atau berakhir maka
dengan sendirinya menurut hukum perjanjian penjamin/personal
guarantee itupun berakhir. Perjanjian pokok itu dapat berakhir
disebabkan beberapa hal, yaitu:
a) Perjanjian pokok telah dilunasi oleh debitor
b) Perjanjian pokok dinyatakan batal (nietig verklaard) atas
alasan si debitor tidak berwenang melakukan perjanjian. Ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

sesuai dengan ketentuan Pasal 1821 KUH Perdata yang


menyebutkan tiada suatu perjanjian penanggungan jika tidak
ada suatu perikatan yang sah
c) Adanya homologasi accord antara kreditor dan debitor
apabila debitor dinyatakan pailit. Dengan adanya persetujuan
resmi (homologasi accord) dalam pembayaran utang dalam
kepailitan, berarti terjadi pengakhiran perjanjian pokok dan
dengan sendirinya menghapuskan penjaminan yang diberikan
oleh penjamin.
2) Perjanjian penjaminan dapat juga hapus sekalipun perjanjian pokok
masih tetap ada, yaitu:
a) Karena kreditor sendiri yang menghapuskan kewajiban
penjamin, kreditor dengan sukarela membebaskan penjamin
dari beban sebagai penjamin.
b) Jika terjadi suatu keadaan yang mengakibatkan bersatunya
kedudukan penjamin dan debitor dalam satu pribadi yang
sama. Hal ini terjadi karena adanya percampuran utang pada
diri seseorang (schuld vermeging)
c) Perjanjian penjamin/personal guarantee ini berakhir jika telah
membayar kepada kreditor sekalipun benda yang dibayarkan
itu bukan milik debitor dan disita kembali oleh pihak ketiga
(Pasal 1849 KUH Perdata)
d) Penjamin dapat menuntut supaya debitor melaksanakan
pembayaran utang dan menuntut pembebasan penjamin dari
perjanjian personal guarantee. Penuntutan ini diajukan oleh
penjamin jika kreditor memberikan izin kepada debitor untuk
mengundurkan pembayaran utang (Pasal 1850 KUH Perdata).
Pemberian izin oleh kreditor kepada debitor untuk
pembayaran utang tidak berarti bahwa perjanjian personal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

guarantee itu hapus sama sekali. Kreditor hanya memberikan


hak kepada si penjamin untuk menuntut pembebasan diri dari
perjanjian personal guarantee atau untuk menuntut debitor
melaksanakan pemenuhan prestasi

B. Kerangka Pemikiran

Kreditur Debitur

Peran dan
Perjanjian Pertimbangan
Kredit Tanggung jawab Hakim
Penjamin
(Personal
Guarantor)

Debitur
Wanprestasi

UU Nomor 37 Bisa diajukan


Tahun 2004 Permohonan Pailit/
tentang KPKPU Tidak?

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

Keterangan :

Penyelesaian hutang terkait dengan suatu perjanjian kredit antara pihak kreditor
maupun pihak debitor telah selesai jika pihak debitor mampu memenuhi semua
kewajibannya kepada pihak kreditor. Penyelesaian tersebut dapat menggunakan
berbagai macam alternatif penyelesaian misalnya dengan melakukan perundingan
permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian maupun seluruhnya, melakukan
penjualan sebagian aset atau bahkan seluruh asetnya. Selain itu dapat pula dengan
mengubah pinjaman yang diberikan oleh kreditor menjadi pernyataan saham. Selain
upaya-upaya tersebut bila pihak debitor tidak memiliki harta atau aset yang cukup
maka dapat melalui jalan peraturan kepailitan yaitu Undang-undang Kepailitan No.
37 Tahun 2004 dengan cara melakukan permohonan pailit yang dilakukan oleh para
kreditor kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya.

Lain halnya jika suatu perjanjian kredit yang dilakukan oleh debitor memiliki
jaminan berupa jaminan imateriil. Jaminan imateriil berwujud pernyataan oleh pihak
ketiga (penjamin/ guarantor) yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap
debitor maupun terhadap kreditor, bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan
kewajiban yang diperjanjikan dengan syarat bahwa apabila debitor tidak
melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan
kewajiban debitor tersebut (M. Yahya Harahap, 1986: 315).

Permasalahan yang muncul dan menjadi pertanyaan penulis adalah terkait


dengan tanggung jawab penjamin atau guarantor dalam hal ini tanggung jawab
personal guarantor tersebut guna menyelesaikan hutang dari pihak debitor yang tidak
mampu membayar hutangnya atau wanprestasi. Pihak ketiga atau guarantor yang
tidak memiliki kepentingan kemudian terikat hubungan hukum untuk membayar
hutang pihak debitor kepada pihak kreditor sebagai wujud jaminan atas penyelesaian
hutang debitor. Hubungan hukum tersebut mengakibatkan adanya permohonan
pernyataan pailit yang dilakukan oleh pihak kreditor terhadap personal guarantor

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

karena debitor wanprestasi atau tidak mampu untuk membayar hutangnya dan
sebagai wujud tanggung jawab pihak ketiga selaku penjamin atau guarantor.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa pihak
yang dapat dinyatakan pailit hanyalah pihak debitor. Hal itu menambah permasalahan
tersendiri terkait dengan pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim guna
memutus perkara Kepailitan Nomor 74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, perkara
Kepailitan Nomor 13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST dan perkara Kepailitan
Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST yang memutus Kepailitan seorang
personal guarantor yang menjadikan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai dasar untuk
memutus suatu perkara kepalitan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran dan Tanggung Jawab Personal guarantee dalam Peraturan


Perundang-undangan

Personal guarantee berkewajiban dalam pemenuhan utang pihak debitor


apabila debitor telah lalai atau tidak mampu memenuhi segala kewajibannya
kepada pihak kreditor, dimana personal guarantee terikat dalam suatu hubungan
dengan kreditor. Hubungan tersebut mengikat seperti suatu perjanjian, “The
relationship between the guarantor and creditor a guaranty creates is contractual
in nature and is generally subject to the laws of contract. Unlike the liability of a
letter of credit issuer, a guarantor is not primarily liable on the underlying debt
but instead has a secondary liability that will be required to be paid only when the
underlying obligor has defaulted in its obligation to pay the underlying debt. ”(
Business Lawyer 59.3, 2004: p.897(78) ). Penulis mengartikan bahwa hubungan
antara penjamin dan kreditor yang menciptakan adalah kontrak dan tunduk pada
hukum kontrak, dimana berbeda dengan kewajiban surat penerbit kredit. Penjamin
tidak bertanggung jawab terutama pada utang yang mendasari tetapi memiliki
kewajiban sekunder yang nanti harus dilakukan jika debitor tidak mampu
memenuhi kewajibannya untuk membayar utang.
Berbeda dengan jaminan kebendaan dimana kreditor memiliki hak secara
langsung dalam pemenuhan utang debitor. Hak tersebut berarti kreditor memiliki
hak penuh atas suatu barang yang menjadi jaminan atas pemenuhan utang si
debitor, apabila debitor lalai atau cidera janji maka kreditor dapat berhak langsung
menyita barang yang menjadi jaminan pemenuhan utang si debitor tersebut. Di
dalam jaminan perorangan, kreditor tidak berhak secara langsung untuk menyita
barang yang dimiliki oleh seorang penjamin (personal guarantee). Kreditor hanya
memiliki hak untuk menagih kepada penjamin untuk melunasi utang dari debitor
yang telah lalai atau cidera janji.
commit to user

50
perpustakaan.uns.ac.id 51c.i
digilib.uns.a
d

Pengaturan mengenai penjamin juga diatur di dalam hukum Negara lain,


antara lain hukum Perancis, Jerman dan Negara Inggris. Hukum Perancis
menyatakan bahwa dengan adanya penjamin, maka menghapuskan hak kreditor
untuk menuntut terhadap debitor dan menjamin seluruh utang itu. “Guaranty
obligations under French law governed financing documents can be, and typically
are, organized as "cautionnement solidaire." If structured as a "caution
solidaire," the guarantor waives the right to require the creditor first to enforce
its rights against the primary obligor and guarantees the entire rather than just a
portion of the debt.”(The International Tax Journal 36.3 (May-June
2010): p.45(17)). Penulis mengartikan bahwa di dalam hukum Perancis kewajiban
penjamin diatur di dalam dokumen pembiayaan, dan biasanya dengan susunan
sebagai solidaritas penjaminan bersama. Jika terstruktur di dalam solidaritas
tersebut, penjamin menghapuskan hak untuk menuntut kreditur terhadap debitur
utama dan penjamin menjamin seluruh bukan hanya sebagian dari utang debitur
tersebut.
Hukum Jerman tidak mengatur mengenai bentuk dari jaminan, penjamin
hanya memberikan dukungan bagi peminjam. Penjamin memiliki kewajiban
untuk membayar kepada pemberi pinjaman yaitu kreditor dimana pinjaman
tersebut tidak sepenuhnya dibayar oleh peminjam. “In a German law governed
commercial loan, financial support for an affiliated borrower is typically
structured as "Garantie" (guaranty). The guaranty is an independent payment
obligation "selbstandiges Zahlungsversprechen" to pay to the lender upon
demand any outstanding amount not fully and irrevocably paid by the borrower.
In contrast to many other forms of collateral or other credit support
arrangements, there is no statutory provision for this type of guaranty in
Germany.” (The International Tax Journal 36.3 (May-June 2010): p.45(17)).
Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, hukum Jeman mengatur mengenai
pinjaman komersial, sebagai dukungan keuangan bagi peminjam yang terafiliasi
sebagai penjamin. Penjaminan memiliki kewajiban secara independen (janji untuk
membayar secara independen) untuk membayar kepada pemberi pinjaman atas
permintaan dengan jumlah yang lcuoamr m
biiat stao duasnertidak dapat dibatalkan yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id 52c.i
digilib.uns.a
d

sepenuhnya dibayar oleh peminjam. Berbeda dengan pengaturan bentuk-bentuk


jaminan atau dukungan kredit lainnya. Tidak ada ketentuan untuk jenis
pengaturan penjaminan di Jerman.
Hukum Inggris menyatakan bahwa penjamin langsung bertanggung jawab
kepada kreditor untuk jumlah yang dijamin tanpa harus memberitahukan kepada
debitor utama. “In the U.K., upon the default of the principal debtor, the
guarantor is immediately liable to the creditor for the amount guaranteed without
any prior requirement to notify the principal debtor of the default or to demand
payment from or exercise recourse against the principal debtor.” (The
International Tax Journal 36.3 (May-June 2010): p.45(17)). Yang penulis artikan
bahwa setelah debitor utama lalai, penjamin langsung bertanggung jawab kepada
kreditor untuk jumlah yang dijamin tanpa ada persyaratan untuk memberitahukan
kelalaian debitor utama atau meminta pembayaran terhadap debitor utama yang
telah lalai.
Hukum Indonesia mengatur mengenai penjamin atau personal guarantee
yaitu diatur di dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Buku III KUH Perdata mengatur mengenai personal guarantee di dalam Pasal
1820 sampai dengan 1850 KUH Perdata. Peran dan tanggung jawab personal
guarantee yaitu:
1. Menurut KUH Perdata
a. Peran personal guarantee
Pasal 1820 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
berbunyi :
“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya”

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53c.i
digilib.uns.a
d

Berdasarkan pengertian penanggungan yang terdapat di dalam


Pasal 1820 KUH Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur, yaitu :
1) Oleh Pihak Ketiga dengan sukarela
2) Guna kepentingan Kreditor
3) Untuk memenuhi kewajiban debitor bila debitor tidak
memenuhinya
Menurut Imran Nating personal guarantee bertanggung jawab
untuk memenuhi kewajiban dari debitor yang telah lalai atau cidera
janji. Di dalam kasus kepailitan penjamin adalah debitor dari
kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh debitor utama (Imran
Nating, 2004:33). Pemenuhan kewajiban seorang personal guarantee
berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata dalam perkara kepailitan dapat
disimpulkan memiliki peran yaitu sebagai pihak ketiga dimana
penjamin tersebut secara sukarela mengikatkan diri kepada kreditor
untuk dapat meyakinkan kreditor tersebut bahwa debitor pasti akan
atau mampu untuk melunasi utang-utang debitor. Peran personal
guarantee tersebut berlaku saat debitor lalai atau cidera janji atau
dengan kata lain debitor tidak mampu membayar 1 (satu) atau lebih
utang yang harus segera dibayar atau telah jatuh tempo dan dapat
ditagih maka personal guarantee berkewajiban untuk memenuhinya.

b. Tanggung jawab personal guarantee


Tanggung jawab personal guarantee sebagai pihak yang secara
sukarela mengikatkan diri guna memenuhi kewajiban debitor telah
diatur dalam Bab III KUH Perdata yaitu antara lain :

1) Pasal 1820 KUH Perdata yang menyatakan bahwa personal


guarantee mengikatkan diri secara sukarela untuk bertanggung
jawab memenuhi perikatan si berutang manakala si berutang
tidak memenuhinya. Hal tersebut berarti personal guarantee
wajib memenuhciomsemgiatltao u
kesewrajiban debitor terhadap kreditor
perpustakaan.uns.ac.id 54c.i
digilib.uns.a
d

dimana berlaku saat debitor lalai atau cidera janji atau dengan
kata lain debitor tidak mampu membayar 1 (satu) atau lebih
utang yang harus segera dibayar atau telah jatuh tempo dan
dapat ditagih. Maka personal guarantee bertanggung jawab
untuk memenuhi kewajiban dari debitor yang telah lalai atau
cidera janji (Imran Nating, 2004:33).

2) Pasal 1831 KUH Perdata yang menyatakan :


“Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si
berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda
si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi utangnya.”

Pemenuhan tanggung jawab personal guarantee berdasar


perikatan si debitor. Personal guarantee tidak diwajibkan
membayar kepada kreditor, selain apabila debitor lalai dalam
memenuhi kewajibannya membayar utang kepada kreditor.
Seorang personal guarantee dalam hal ini dapat disebut sebagai
cadangan dalam pelunasan kewajban debitor, dimana dalam hal
harta debitor tidak mencukupi guna melunasi utang-utangnya.
Tanggung jawab seorang personal guarantee guna pemenuhan
utang-utang debitor dengan terlebih dahulu menyita dan menjual
harta kekayaan debitor untuk melunasi utang-utang dari debitor.
Penjamin hanya dapat dituntut untuk membayar kekurangan
utang yang tidak dapat dilunasi dari harta kekayaan debitor,
sehingga penjamin tidak dapat dinyatakan pailit tanpa
menyatakan debitor pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 86).
Dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab personal guarantee
adalah untuk memenuhi kekurangan utang dari pelunasan utang
debitor dengan terlebih dahulu menyita dan menjual harta
kekayaan debitor untuk melunasi utang-utang dari debitor.
Apabila harta kekayaan debitor tersebut tidak mencukupi untuk
commit to user
melunasi semua utang-utang debitor, maka personal guarantee
perpustakaan.uns.ac.id 55c.i
digilib.uns.a
d

selaku penjamin bertanggung jawab untuk memenuhinya, dan


apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, maka
personal guarantee dapat diajukan pailit dengan terlebih dahulu
mengajukan pailit debitur utama.

3) Pasal 1832 KUH Perdata yang menyatakan :


“Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si
berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk
menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu
disita dan dijual
2. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama
dengan si berutang utama secara tanggung-menanggung,
dalam hal mana akibat-akibat perikatannya diatur menurut
asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-
menanggung
3. Jika si berutang dapat memajukan suatu tangkisan yang
hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi
4. Jika si berutang berada di dalam keadaan pailit
5. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim”

Ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata merupakan ketentuan


pengecualian ketentuan yang diatur dalam Pasal 1831 KUH
Perdata. Dalam Pasal 1832 KUH Perdata personal guarantee
tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu
disita dan dijual untuk melunasi utang-utangnya. Hak istimewa
tersebut hapus sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
Pasal 1832 KUH Perdata ayat (1) dimana apabila personal
guarantee telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual.
Ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata ayat (1) mengakibatkan
personal guarantee dapat diajukan permohonan pernyataan
pailit tanpa mengajukan pailit si debitor hanya setelah penjamin
melepaskan hak istimewa untuk menuntut supaya benda-benda
commit to user
debitor lebih dahulu disita dan dijual (Sutan Remy Sjahdeini,
perpustakaan.uns.ac.id 56c.i
digilib.uns.a
d

2002: 86). Terkait dengan tanggung jawab personal guarantee


tersebut, seorang penjamin dapat pula diajukan permohonan
pailit sesuai dengan ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata dalam
ayat (2), (3) dan ayat (4). Dapat disimpulkan bahwa terkait
dengan tanggung jawab personal guarantee untuk melunasi
utang debitur dan apabila ia tidak dapat memenuhinya maka
personal guarantee dapat diajukan permohonan pernyataan
pailit tanpa harus menyatakan debitor utama palit apabila
personal guarantee tersebut telah melepaskan hak istimewanya
sesuai dengan ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata.

Dengan demikian penulis menyatakan bahwa peran dan tanggung


jawab personal guarantee diatur di dalam KUH Perdata, yang tercermin di
dalam Pasal 1820, 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata. Berdasarkan pasal-
pasal di dalam KUH Perdata tersebut personal guarantee wajib memenuhi
segala kewajiban debitor terhadap kreditor yang berlaku saat debitor lalai
atau cidera janji, maka personal guarantee bertanggung jawab untuk
memenuhi kewajiban dari debitor yang telah lalai atau cidera janji.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang mengatur mengenai
penjaminan atau penanggungan yaitu diatur di dalam ketentuan :
a. Pasal 141, yaitu :
1) “Kreditor yang piutangnya dijamin oleh seorang penanggung
dapat mengajukan pencocokan piutang setelah dikurangi dengan
pembayaran yang telah diterima dari penanggung.
2) Penanggung berhak mengajukan pencocokan sebesar bayaran
yang telah dilakukan kepada Kreditor.
3) Selain hak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2),
penanggung dapat diterima secara bersyarat dalam pencocokan
atas suatu jumlah yang belum dibayar oleh penanggung dan
tidak dicocokan coolm itrteodiutoser”r.
ehmK
perpustakaan.uns.ac.id 57c.i
digilib.uns.a
d

Ketentuan Pasal 141 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur
mengenai pencocokan piutang yang dimiliki oleh kreditor kepada
debitor yang piutangnya tersebut dijamin oleh seorang penjamin atau
personal guarantee. Dimana penjamin juga memiliki hsk guns
mrngsjuksn pencocokan besaran bayaran utang yang telah dilakukan
kepada kreditor.

b. Pasal 164, yaitu:


“Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap merupakan atas hak yang dapat dijalankan terhadap
Debitor dan semua orang yang menanggung pelaksanaan perdamaian
sehubungan dengan piutang yang telah diakui, sejauh tidak dibantah
oleh Debitor Pailit sesuai ketentuan Pasal 132 sebagaimana termuat
dalam berita acara rapat pencocokan piutang”.

Pasal 164 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai
Putusan pengesahan perdamaian sejauh tidak dibantah oleh debitor
pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan atas
hak yang dapat dijalankan terhadap Debitor dan semua orang yang
menanggung pelaksanaan perdamaian sehubungan dengan piutang
yang telah diakui sesuai ketentuan Pasal 132 sebagaimana termuat
dalam berita acara rapat pencocokan piutang

c. Pasal 165 yang berbunyi:


1. “Meskipun sudah ada perdamaian, Kreditor tetap memiliki hak
terhadap para penanggung dan sesama Debitor.
2. Hak Kreditor terhadap benda pihak ketiga tetap dimilikinya
seolah-olah tidak ada suatu perdamaian”.

Pasal 165 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai
hak kreditor terhadap cpoam
rampietntaonugsgeurng dan debitor. Berdasarkan Pasal
perpustakaan.uns.ac.id 58c.i
digilib.uns.a
d

165 tersebut menyatakan bahwa meskipun telah ada perdamaian


antara para pihak tetapi hak kreditor terhadap para penanggung dan
debitor tetap dimilikinya seolah-olah tidak ada suatu perdamaian. Hal
ini berarti kreditor tetap memiliki hak terhadap benda-benda yang
dimiliki oleh penanggung meskipun telah terjadi perdamaian diantara
para pihak.

Penulis mengasumsikan bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun


2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
mengatur mengenai peran dan tanggung jawab personal guarantee,
meskipun hal tersebut tidak terlihat secara eksplisit seperti yang diatur di
dalam KUH Perdata mengenai apa saja kewajiban yang harus dilakukan
oleh seorang personal guarantee yang merupakan wujud dari peran dan
tanggung jawab personal guarantee, tetapi di dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang ditegaskan di dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165
dimana mengatur bahwa personal guarantee memiliki hubungan dengan
debitor dan kreditor terutama dalam hal mengenai pencocokan utang dan
hak kreditor terhadap benda-benda penanggung. Pengaturan tersebut terkait
dengan kewajiban penanggung yang merupakan bagian dari tanggung jawab
personal guarantee sebagai penjamin untuk memenuhi kewajiban debitor
yang telah lalai atau cidera janji.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 59c.i
digilib.uns.a
d

B. Permohonan Pernyataan Pailit Personal guarantee dalam Perspektif


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Perkara kepailitan selalu menjadi kekawatiran para pengusaha, dimana di


dalam dunia bisnis suatu putusan pailit yang diputus oleh Hakim Pengadilan
Niaga menimbulkan suatu dampak negatif yang identik dengan kebangkrutan
suatu usaha. Putusan pailit tersebut menjadi hal yang sangat ditakuti bagi para
pengusaha saat ini, dimana kelangsungan dari suatu usaha dipertaruhkan. Semua
harta benda maupun kekayaan yang dimiliki oleh debitor kemudian menjadi
boedel pailit atau harta kepailitan dimana harta tersebut disita dan dilelang guna
pemenuhan segala kewajiban debitor. Harta boedel pailit tersebut termasuk di
dalamnya berupa jaminan, baik jaminan materiil maupun imateriil.
Jaminan tersebut memiliki tujuan yaitu untuk melindungi kepentingan
kreditor yang berhubungan dengan pemberian dana yang telah diberikan oleh
kreditor kepada debitor agar dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan. Jaminan materiil berwujud jaminan kebendaan, dimana jaminan
tersebut dapat secara langsung disita dan dilelang guna kepentingan pemenuhan
tanggung jawab debitor, sedangkan jaminan imateriil berwujud jaminan
perorangan (borg) yang terdiri dari corporate guarantee dan personal guarantee.
Debitor yang memiliki jaminan perorangan atau personal guarantee
memiliki tanggung jawab guna pemenuhan kewajiban pembayaran utang si
debitor. Personal guarantee sebagai pihak ketiga dimana penjamin tersebut secara
sukarela mengikatkan diri kepada kreditor untuk dapat meyakinkan kreditor
tersebut bahwa debitor pasti akan atau mampu untuk melunasi utang-utang
debitor, hal tersebut berlaku saat debitor lalai atau cidera janji atau dengan kata
lain debitor tidak mampu membayar 1 (satu) atau lebih utang yang harus segera
dibayar atau telah jatuh tempo dan dapat ditagih maka personal guarantee
berkewajiban untuk memenuhinya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 60c.i
digilib.uns.a
d

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai jaminan personal guarantee,
yaitu terdapat di dalam Pasal 141, Pasal 164 dan Pasal 165. Tetapi pengaturan di
dalam pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan mengenai tanggung jawab seorang
personal guarantee di dalam perkara kepailitan. Apabila terjadi permohonan
pernyataan pailit kepada seorang personal guarantee tetap harus sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pendapat para ahli
terkait dengan kepailitan seorang personal guarantee antara lain sebagai berikut :
1. Elijana S., (Hakim Tinggi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia)
berpendapat bahwa yang dapat dipalitkan adalah seorang debitor. Guarantor
adalah debitor apabila debitor lalai atau cidera janji, jadi guarantor dapat
saja dipalitkan.
2. Denny Kailimang, berpendapat bahwa sebagai debitor, penanggung atau
guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat penanggung atau guarantor
tersebut mempunyai lebih dari 1 kreditor, bararti selain mempunyai
kewajiban membayar utang kepada kreditor (pemohon pailit) juga
mempunya utang kepada kreditor lainnya dan salah satu utang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
3. Yahya Harahap berpendapat bahwa Borg atau Guarantor menurut Pasal
1820 KUH Perdata, bukan debitor. Tetapi hanya seseorang yang mengikat
diri untuk memenuhi perikatan apabila debitor sendiri tidak memenuhi.
Dalam kedudukan perikatan yang dmikian baik secara teknis dan subtantif,
penjamin bukan berubah menjadi debitor. Kedudukannya secara yuridis
telah dilembagakan secara murni sebagai borgtocht (http://staff.blog.uc.id.
Surakarta 10 Oktober 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61c.i
digilib.uns.a
d

Permohonan pernyataan pailit oleh kreditor diatur di dalam ketentuan Pasal


2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa :

“Debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan Putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih Kreditornya”.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut dapat
ditafsirkan bahwa unsur kepailitan adalah sebagai berikut:

1. Adanya debitor.
KUH Perdata tidak mengenal kata debitor. Dalam KUH Perdata istilah
debitor dikenal dengan kata si berutang (schul denaar). Si berutang adalah
pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu berkenaan dengan perikatannya baik timbul karena perjanjian
maupun karena Undang-undang (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 111).
Debitor menurut US Bankruptcy Code diatur di dalam beberapa chapter,
tetapi dapat disimpulkan bahwa pengertian debitor tergantung dari aturan
main di dalam suatu negara, di Indonesia dalam hal ini Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 115).
Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam Pasal 1 ayat (3)
menyebutkan bahwa debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan. Seorang penjamin atau personal guarantee yang ikut
mengikatkan dirinya untuk menjamin pelunasan utang dari debitor tersebut,
berubah kedudukannya menjadi debitor ketika debitor utama tidak dapat
melunasi utang-utangnya. Personal guarantee bertanggung jawab untuk
melunasi utang-utang debitocrotm
ermseitbtuot.user
perpustakaan.uns.ac.id 62c.i
digilib.uns.a
d

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara eksplisit mengenai
tanggung jawab personal guarantee kecuali dalam hal pencocokan utang
dan hak kreditor terhadap benda-benda penanggung yang ditegaskan di
dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165. Dari beberapa pengertian tersebut
penulis menyimpulkan bahwa debitor adalah pihak yang berutang termasuk
di dalamnya personal guarantee yang bertanggung jawab melunasi utang
debitor utama yang lalai atau cidera janji. Dalam kasus kepailitan, debitor
adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk melunasi utang-utangnya
kepada kreditor. Debitor yang memiliki seorang penjamin atau personal
guarantee bertanggung jawab untuk melunasi utang-utangnya, apabila harta
kekayaan debitor yang disita dan dijual tidak mencukupi untuk melunasi
semua utang-utangnya maka personal guarantee terikat untuk bertanggung
jawab melunasi kekurangan utang-utang debitor tersebut.
Pengaturan mengenai tanggung jawab personal guarantee selaku penjamin
dari debitor tersebut, selain Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur pula di
dalam ketentuan Pasal 1831 dan 1832 KUH Perdata. Dimana ketentuan
yang diatur dalam KUH Perdata tersebut tetap berlaku asalkan tidak
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal tersebut
mengacu berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis. Yang berarti
undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum, tetapi asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ketentuan Pasal 1831 dan 1832 KUH Perdata tetap
masih berlaku yang berimplikasi personal guarantee bertanggung jawab
untuk melunasi utang-utang debitor yang telah lalai atau cidera janji.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 63c.i
digilib.uns.a
d

2. Adanya dua (2) atau lebih keditur


Istilah Kreditor tidak dikenal di dalam KUH Perdata. KUH Perdata hanya
mengenal istilah si berpiutang (schul deischer). Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kreditor adalah orang
yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 111). Dalam
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur mengenai jenis-jenis kreditor.
Syarat adanya dua (2) atau lebih kreditor di dalam Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang berlaku untuk sembarang kreditur, baik itu kreditor konkruen maupun
kreditor preferen (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 65)

3. Adanya minimal satu (1) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Pengertian utang dapat dilihat di dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dimana pengertian utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan Debitor. Syarat kepailitan harus terdapat minimal satu (1) utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, hal tersebut berarti utang yang
dimiliki debitor telah lewat dari jangka waktu yang ditetapkan dan utang
tersebut dapat ditagih oleh kreditor.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 64c.i
digilib.uns.a
d

Unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut
menjadikan syarat wajib dari suatu permohonan pernyataan pailit. Pengajuan
permohonan pernyataan pailit seorang personal guarantee tidak diatur secara
eksplisit di dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkecuali dalam hal
pencocokan utang dan hak kreditor terhadap benda-benda penanggung yang
ditegaskan di dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165. Pasal 2 ayat (1) tersebut
mengatur bahwa yang dapat diajukan pernyataan permohonan pailit adalah
seorang debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor yang memiliki minimal satu
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Lain halnya dengan debitor yang
memiliki seorang penjamin atau personal guarantee.

Personal guarantee berkewajiban memenuhi segala perikatan debitor


kepada kreditor apabila debitor lalai atau cidera janji dalam memenuhi
perikatannya. Personal guarantee berperan untuk meyakinkan pihak kreditor
bahwa debitor mampu untuk melunasi segala utang-utangnya kepada kreditor.
Apabila debitor mampu untuk memenuhi segala kewajibanya tersebut kepada
kreditor maka secara sendirinya kewajiban personal guarantee untuk memenuhi
kewajiban dari debitor telah hapus sesuai dengan sifat perjanjian penanggungan
yang bersifat accecoir sehingga personal guarantee tersebut tidak dapat
dinyatakan pailit terkait dengan tanggung jawabnya karena debitor telah
memenuhi segala kewajibannya.

Permohonan pernyataan pailit personal guarantee terkait tangggung


jawabnya sebagai penjamin untuk melunasi utang-utang debitor sesuai dengan
asas lex specialis derogat lex generalis yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tentang syarat-syarat kapailitan. Ketentuan tersebut
mensyaratkan akan adanya seorang debitor, dimana apabila terdapat debitor yang
memiliki seorang penjamin atau personal guarantee selain Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang KecpoamilmitiatntodaunsePrenundaan Kewajiban Pembayaran
perpustakaan.uns.ac.id 65c.i
digilib.uns.a
d

Utang, berlaku ketentuan di dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata.
Ketentuan di dalam Pasal 1831 dan 1832 KUH Perdata tersebut berlaku karena
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang sejalan dengan
asas lex specialis derogat lex generalis. Ketentuan tersebut antara lain:

1. Pasal 1831 KUH Perdata menyebutkan:


“Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain
jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih
dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.”

Pasal 1831 KUH Perdata mengharuskan kreditor menggugat debitor


utama terlebih dahulu. Setelah harta debitor utama disita dan dilelang tetapi
tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utangnya, kreditor dapat
mengajukan permohonan pailit kepada debitor utama. Ketentuan di dalam
Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa personal guarantee tidak
diwajibkan membayar utang debitor kepada kreditor selain apabila debitor
lalai dan harta kekayaan debitor telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi utangnya. Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata tersebut
mensyaratkan pula bahwa penjamin atau penanggung hanya dapat dituntut
untuk membayar kekurangan utang yang tidak dapat dilunasi dari hasil
penjualan harta kekayaan debitor tersebut. Dengan demikian berdasarkan
ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata, seorang personal guarantee tidak dapat
dinyatakan pailit tanpa sebelumnya menyatakan debitor pailit.

Untuk sisa utang yang belum dibayar, merupakan kewajiban dari


personal guarantee untuk melunasinya. Apabila personal guarantee tidak
mau membayar, maka dapat diajukan permohonan pailit kepada personal
guarantee tersebut, dengan terlebih dahulu kreditor pemohon harus dapat
membuktikan bahwa :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 66c.i
digilib.uns.a
d

a. Kreditor pemohon telah menagih/menggugat debitor utama terlebih


dahulu tetapi ternyata:
1) Debitor utama tidak mempunyai harta sama sekali
2) Harta debitor utama tidak cukup untuk melunasi utangnya.
3) Debitor utama dalam keadaan pailit.
b. Personal Guarantor sebagai debitor mempunyai lebih dari 1 kreditor.
c. Bahwa salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

2. Pasal 1832 KUH Perdata menyebutkan:

“Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih


dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya
benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual
2. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si
berutang utama secara tanggung-menanggung, dalam hal mana akibat-
akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk
utang-utang tanggung-menanggung
3. Jika si berutang dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya
mengenai dirinya sendiri secara pribadi
4. Jika si berutang berad didalam keadaan pailit
5. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan Hakim”

Pasal 1832 KUH perdata merupakan pengecualian Pasal 1831 KUH


Perdata. Dimana seorang penjamin atau personal guarantee memliki hak-
hak istimewa, salah satunya menyebabkan personal guarantee tidak dapat
dimintakan pertanggung jawabannya untuk dinyatakan pailit oleh kreditor
sebelum debitor dipailitkan. Hak-hak istimewa yang dimiliki oleh seorang
personal guarantee yaitu antara lain (Aria Suyudi, dkk, 2004:23) :

1. Hak istimewa untuk menuntut terlebih dahulu (voorrecht van


uitwinning) agar asset debitor disita dan dilelang terlebih dahulu
sebelum diminta melaksanakan kewajibannya selaku penjamin bila
terjadi wanprestasi. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1831 KUH
Perdata yang berbunyico: mmit to user
perpustakaan.uns.ac.id 67c.i
digilib.uns.a
d

“Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang,


selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini
harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.”

2. Hak istimewa untuk meminta pembagian kewajiban diantara para


penjamin secara pro-rata bila penjamin lebih dari satu. Pada dasarnya
masing-masing penjamin terikat untuk memenuhi seluruh jumlah
kewajiban yang telah dijaminnya secara bersama-sama. Prinsip ini
diatur dalam Pasal 1836 KUH Perdata yang berbunyi :
“Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung
untuk seorang berutang yang sama, lagipula untuk utang yang sama,
maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang itu”

3. Hak istimewa untuk menggunakan semua eksepsi atau tangkisan yang


dimiliki oleh debitor (declinatoir exeptie ataupun dilatoire exeptie).
Hal ini datur di dalam Pasal 1847 KUH Perdata yang berbunyi :
“Si penanggung utang dapat menggunakan terhadap si berpiutang
segala tangkisan yang dapat dipakai oleh si berutang utama dan
mengenai utangnya yang ditanggung itu sendiri….”

Personal guarantee dapat langsung dimohonkan pailit dengan


melepaskan hak-hak istimewa tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1832
KUH Perdata. Pengajuan permohonan pernyataan palit bagi personal
guarantee yang telah melepaskan hak-hak istimewanya, dan telah
menyatakan dirinya bertanggung jawab renteng dengan debitor utama
terhadap utang debitor utama kepada kreditor maka kreditor dapat langsung
mengajukan permohonan pailit terhadap personal guarantee dengan
mengajukan sebagai bukti:

1. Surat perjanjian kredit


2. Surat perjanjian penanggungan dimana personal guarantee telah
melepaskan hak-hak istimewanya dan menyatakan bertanggung jawab
renteng dengan debitor utama.
3. Personal guarantee termohon pailit mempunyai utang pada kreditor
commit to user
lain.
perpustakaan.uns.ac.id 68c.i
digilib.uns.a
d

4. Salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi
personal guarantee sebagai pihak yang bertanggung jawab renteng
dengan debitor utama terhadap utang tersebut, tetap tidak dibayar.

Dapat disimpulkan bahwa apabila debitor mampu memenuhi segala


kewajibannya dengan kreditor maka telah hapus perjanjian pokok antara kedua
belah pihak, perjanjian penanggungan yang merupakan pejanjian yang bersifat
accecoir yaitu mengenai kewajiban personal guarantee untuk melunasi utang-
utang debitor ikut hapus. Tetapi berbeda halnya dengan apabila debitor terbukti
telah lalai atau cidera janji, maka personal guarantee selaku penjamin
berkewajiban untuk memenuhinya.

Pengajuan permohonan pailit personal guarantee harus sesuai dengan


ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Apabila
debitor memiliki seorang penjamin atau personal guarantee maka implikasi
yuridisnya terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH
Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata tersebut
berlaku dengan mempertimbangkan asas lex specialis derogat lex generalis
dimana tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan ketentuan di dalam
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Berdasarkan hal tersebut personal guarantee dapat diajukan permohonan


pailit di Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat yang diatur di
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan terlebih dahulu
mengajukan permohonan pailit terhadap debitor utama atau dengan langsung
mengajukan permohonan pailit personal guarantee apabila personal guarantee
tersebut telah melepaskan hak-hak istimewa yang dimilikinya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 69c.i
digilib.uns.a
d

C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pertanggung Jawaban


Personal guarantee di dalam Perkara Kepailitan

Pengadilan adalah suatu lembaga yang berfungsi menyelengarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pacasila dan UUD
1945 demi terselengaranya Negara hukum Republik Indonesia. Hakim sebagai
pelaku utama fungsi pengadilan, maka semua wewenang dan tugas yang dimiliki
oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan (http://pn-sampit.com/info-aktual/lembaga/pedoman-membuat-putusan.
html, 19 Oktober 2010).

Pelaksanaan tugas dan wewenang hakim diatur di dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana
berdasarkan Undang-undang tersebut, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.

Sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, tugas hakim sungguh
sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the
last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable). Dalam posisi tersebut, Hakim
dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, serta moral dan integritas
yang tinggi yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan
menjamin kepastian hukum (http://teguhalexander.blogspot.com/2008/12/kriteria-
putusan-hakim-yang-ideal.html, Surakarta 10 Oktober 2010). Hal tersebut sangat
dibutuhkan oleh hakim dalam menegakkan hukum. Hukum dilaksanakan
bertujuan untuk mencapai keadilan, sehingga dengan ditegakkannya hukum akan
memberikan keadilan bagi masyarakat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 70c.i
digilib.uns.a
d

Menurut kode etik pedoman perilaku hakim, adil bermakna menempatkan


sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan
pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukkannya didepan hukum.
Dengan demikian tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah
memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (Equality and
Fairness) terhadap setiap orang (http://pn-sampit.com/info-
aktual/lembaga/pedoman-membuat-putusan.html, 19 Oktober 2010).

Penegakkan hukum di Indonesia harus selalu memperhatikan tiga unsur,


yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim
untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di pengadilan, bahwa putusan
yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai atau unsur, yaitu nilai yuridis
(kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan nilai filosofis (keadilan)
(Sudikno Mertodikusumo, 2000: 1). Sejalan dengan hal tersebut Mahkamah
Agung telah menentukan pilihan agar hakim dalam membuat putusan berpedoman
3 hal (http://pn-sampit.com/info-aktual/lembaga/pedoman-membuat-putusan.html,
19 Oktober 2010) :

1. Unsur Yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama.


2. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.
3. Unsur Sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.

Putusan adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak
(Sudikno Mertodikusumo, 2000: 167). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
putusan hakim yaitu (http://www.pn-yogyakota.go.id, Surakarta 10 Oktober
2010):

1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri


2. Faktor petugas yang menegakkan hukum
commit to user
3. Faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum
perpustakaan.uns.ac.id 71c.i
digilib.uns.a
d

4. Faktor kebudayaan atau legal culture


5. Faktor sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung
pelaksanaan hukum.

Putusan hakim diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48


Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “ Putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Berdasarkan hal tersebut, putusan
hakim haruslah mengandung dua (2) hal yaitu :

1. Hakim dalam pertimbangan hukumnya menggunakan alasan dasar putusan


atau Ratio Decidendi .
2. Putusan hakim harus mencantumkan pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.

Pemenuhan unsur-unsur putusan dalam pertimbangan hukumnya, yaitu


penerapan unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis, maupun faktor-faktor yang
mempengaruhi hakim dalam memutus suatu perkara kemudian menerapkannya
dengan baik dan seimbang dapat memenuhi kebutuhan keadilan setiap elemen
masyarakat. Tetapi untuk menerapkan unsur-unsur tersebut pada suatu putusan
merupakan hal yang sangat sulit. Terlebih untuk penerapan unsur filosofis dan
unsur sosiologis diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas, serta kerja
keras hingga dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut penulis mengambil 3 (tiga) contoh putusan hakim


terhadap personal guarantee dalam perkara kepailitan guna melihat pertimbangan
hukum hakim terkait pemenuhan unsur-unsur yang mempengaruhi hakim dalam
memutus perkara kepailitan tersebut. Putusan hakim terhadap personal guarantee
tersebut antara lain :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 72c.i
digilib.uns.a
d

a. Putusan pailit Danny Lukita selaku personal guarantee PT Fit-U

Putusan pailit Danny Lukita selaku personal guarantee bertanggung


jawab atas sisa utang PT Fit-U terhadap Citibank sebesar AS$1,626 juta.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan termohon pailit
(Danny Lukita) pailit dengan segala akibat hukumnya dalam amar putusan
No.13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Majelis hakim, dalam
pertimbangan hukum, menyatakan Danny terbukti sebagai penjamin.
Dengan kedudukan itu, Danny melepaskan hak-haknya termasuk hak
istimewa berdasarkan Pasal 1430, 1431, 1821, 1831, 1833, 1837, 1843,
1847, 1848 KUH Perdata. Konsekuensi pelepasan hak itu menjadikan
Citibank sebagai Kreditor dan Danny bebitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) dan (3) UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Pada saat sebelumnya pada 1 Juni 2009 lalu, PT Fit-U mengajukan


permohonan pailit sendiri dalam perkara No.
25/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST. Majelis hakim mengabulkan
permohonan tersebut sehingga PT Fit-U dinyatakan pailit dengan segala
akibat hukumnya. Namun, hasil penjualan aset jaminan fiducia dari PT Fit-
U Citibank mendapat bagian sebesar AS$6.966,56. Dengan begitu, Citibank
masih memiliki tagihan terhadap PT Fit-U sebesar AS$1,626 juta. Dengan
rincian utang pokok sebesar AS$1,410 juta plus bunga yang belum dibayar
terhitung sejak 30 Agustus 2007 sampai dengan 18 Januari 2010 sebesar
AS$216.608,69. Denny Lukita selaku penjamin pribadi bertanggung jawab
melunasi sisa utang itu sesuai kesanggupannya dalam Irrevocable Guaranty
and Indemnity.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 73c.i
digilib.uns.a
d

Majelis hakim menyatakan Danny juga memiliki utang terhadap PT


Chinatrust Indonesia. Berdasarkan Pengumuman Pembagian Penutup Harta
Pailit Chinatrust hanya mendapat Rp23,126 miliar sehingga masih ada sisa
utang. Sebelumnya, Chinatrust memberi kucuran kredit pada PT Fit-U,
Danny bertindak selaku penjamin pribadi. Dengan demikian, Chinatrust
berkedudukan sebagai kreditor lain sehingga persyaratan Pasal 2 ayat (1)
UU Kepailitan telah terpenuhi. Majelis hakim menilai pembuktian dalam
perkara ini sangat sederhana sebab timbulnya utang didasarkan atas
perjanjian sehingga persyaratan dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan
terpenuhi.

b. Putusan pailit Gunawan Tjandra selaku personal guarantee PT Pratama


Jaringan Nusantara

Termohon (Gunawan Tjandra) dinyatakan pailit dengan segala akibat


hukumnya berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam
perkara No. 74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST dalam kapasitasnya selaku
penjamin utang PT Pratama Jaringan Nusantara. Perusahaan pemenang
tender Sistem Kliring Traffic Telekomunikasi (SKTT) yang diadakan
pemerintah tahun 2004 itu yang terikat perjanjian kredit dengan PT Bank
Rabobank International Indonesia. Selaku penjamin utang, Gunawan
Tjandra juga terikat pada perjanjian kredit PT Pratama. Jika debitor lalai
maka Gunawan selaku personal guarantee harus membayar utang PT
Pratama senilai Rp439,099 miliar. Berdasar hal tersebut majelis hakim
menjatuhkan putusan pailit pada Gunawan.
Perjanjian ditanda tangani pertengahan Desember 2004 itu
menentukan Rabobank memberikan fasilitas kredit sebesar Rp310 miliar
pada PT Pratama. Jumlah itu belum termasuk bunga dan biaya lainnya.
Dalam perjalanannya, perjanjian itu direvisi dengan Sub Loan Agreement
No. 112 tanggal 22 Desember 2006 dan Second Amendment to Sub Loan
Agreement pada 10 Agustus 2007. Majelis menyatakan Gunawan sendiri
mengakui utang tersebut dalcaommm
suirtattojauwsearban.
perpustakaan.uns.ac.id 74c.i
digilib.uns.a
d

Beriringan dengan perjanjian tersebut, Rabobank dan Gunawan juga


menjalin perjanjian Continuing Guarantee. Dalam perjanjian itu Gunawan
menjamin tanpa syarat dan tanpa dicabut kembali pembayaran dan
pelunasan secara layak dan tepat waktu atas utang PT Pratama. Putusan
pailit Gunawan Tjandra yang diputus majelis hakim itu disokong dengan
putusan Mahkamah Agung No. 17 PK/IV/1999 juga menegaskan ciri
subsider guarantee yang digariskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata.
Putusan itu menyatakan pada diri penjamin melekat secara identik
perjanjian pokok. Dengan begitu, segala kewajiban yang dipikulkan
terhadap si terjamin sama hakekatnya kewajiban penjamin. Dengan
demikian begitu debitor yang dijamin wanprestasi demi hukum personal
guarantee juga menjadi debitor. Dengan begitu kedudukan pemohon
sebagai kreditor dan kedudukan termohon sebagai debitor sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Putusan pailit Gunawan Tjandra yang diputus majelis hakim telah
memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sesuai perjanjian, utang bunga jatuh tempo tanggal 15 September 2005
hingga 30 Juni 2006 sebesar Rp31,798 miliar. Utang itu jatuh tempo tiap
bulannya sejak 22 Januari 2007 hingga 22 Januari 2010. PT Pratama juga
wajib membayar utang pokok Rp310 miliar yang jatuh tempo tiap bulannya
sejak 22 Januari 2007 sampai November 2011. Ditambah lagi dengan bunga
jatuh tempo dari 30 Juni 2006 sampai 28 Desember 2006 sebesar Rp19,984
miliar. Utang itu jatuh tempo tiap bulannya sejak 10 November 208 hingga
10 Agustus 2010. Selain itu, Gunawan juga terbukti memiliki kreditor lain.
Yakni utang pada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang jatuh tempo pada
31 Januari 2013 dan PT Bank Mega Tbk pada 5 Januari 2010. Dengan
begitu, permohonan pailit memenuhi syarat dua kreditor atau lebih.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 75c.i
digilib.uns.a
d

Majelis hakim menilai permohonan pailit telah memenuhi syarat Pasal


2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Pemenuhan syarat itu sekaligus memenuhi
syarat pembuktian secara sederhana sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (4) UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

c. Putusan pailit Alex Korompis selaku personal guarantee dari PT. Hutan
Domas Raya

Majelis Hakim mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh


PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL), selaku Pemohon Pailit dan
menyatakan bahwa Alex Korompis (personal guarantee dari PT. Hutan
Domas Raya) selaku Termohon Pailit dinyatakan pailit dengan segala akibat
hukumnya berdasar Putusan Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST.
PT. Hutan Domas Raya selaku debitor terbukti telah lalai dan Alex
Korompis telah terbukti tidak dapat memenuhi kewajibannya selaku
personal guarantee dan menunggak USD 755,953.15 (tujuh ratus lima
puluh lima ribu sembilan ratus lima puluh tiga dollar Amerika Serikat lima
belas sen) kepada PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL)

Rangkaian kasus kepailitan tersebut bermula pada tanggal 2 Pebruari


1996, Pemohon dan PT. Hutan Domas Raya telah sepakat untuk membuat
dan menandatangani Perjanjian Induk Sewa Guna Usaha, sebagaimana
Perjanjian Induk Sewa Guna Usaha (Master Lease Agreement) yang
dilegalisir oleh Buntario Tigris Darmawa, NG. SH. CN., Notaris di Jakarta.
Pada tanggal 2 Pebruari 1996, Pemohon bersama-sama dengan Termohon
saling sepakat untuk membuat dan menandatangani Perjanjian
Penanggungan. Bahwa Pemohon tidak akan mengadakan Perjanjian Induk
Sewa Guna Usaha (Master Lease Agreement) dengan PT. Hutan Domas
Raya dan tidak akan menyetujui untuk menyewa belikan barang-barang
apapun kepada PT. Hutan cDoomm
maist tR
o auysaertanpa adanya Penanggung dalam
perpustakaan.uns.ac.id 76c.i
digilib.uns.a
d

Perjanjian Penanggungan. Selanjutnya berdasarkan isi dari perjanjian


Penanggungan tersebut secara jelas disebutkan bahwa Termohon
mengetahui sepenuhnya isi dan ketentuan dalam Perjanjian Induk Sewa
Guna Usaha serta mengikatkan dirinya untuk membayar kewajiban dari PT.
Hutan Domas Raya dalam hal debitor dimaksud lalai memenuhi
kewajibannya kepada Pemohon. Bahwa kelalaian PT. Hutan Domas Raya
untuk membayar hutangnya kepada Pemohon sudah berlangsung sejak lama
sebagaimana diuraikan dalam permohonan Pailit ini. Bahkan jika
seandainya pun hak tagih dari Pemohon dialihkan kepada pihak ketiga,
maka Termohon secara jelas menyatakan tetap terikat untuk memenuhi
kewajibannya sebagai penjamin terhadap pihak ketiga yang menerima
pengalihan dimaksud. Pengalihan tersebut bisa sebagian tagihan atau
seluruhnya.

Adanya Perjanjian Penanggungan tersebut, Pemohon menyewa


usahakan 12 Unit Barang Modal berdasarkan Penawaran Sewa Dan
Penerimaan No.: 0381-001-J-1853 dan No.: 0381-002-J-1895 dan PT.
Hutan Domas Raya menerima penawaran sewa usaha tersebut. Bahwa masa
sewa berdasarkan Penawaran Sewa Dan Penerimaan No.: 0381-001-J-1853
tertanggal 9 Pebruari 1996 berlaku dalam waktu 36 bulan yang dibagi dalam
2 (dua) cermin yakni sejak tanggal 9 Maret 1996 s/d 9 Agustus 1996 (6
bulan) dan sejak tanggal 9 September 1996 s/d 9 Pebruari 1999 (30 bulan)
dengan total sewa sebesar USD.1,020,684 (USD 252,024 + USD. 768,660).
Berdasarkan Penawaran Sewa Dan Penerimaan No : 0381-002-J-1895
tertanggal 11 April 1996, sewa guna usaha berlangsung dalam waktu 48
bulan yang dibagi dalam 2 (dua) termin yakni sejak tanggal 11 Mei 1996 s/d
11 Oktober 1996 (6 bulan) dan sejak tanggal 11 Nopember 1996 s/d 11
April 2000 (42 bulan) dengan total uang sewa sebesar USD 1,868,670 (USD
383,592 + 1,485,078). Sebagian sewa telah dibayar, tetapi sampai dengan
permohonan ini diajukan, utang pokok Termohon yang telah jatuh tempo,
wajib dibayar dan dapat dciotamgm
ihit tteotaupsierbelum dibayar kepada Pemohon
perpustakaan.uns.ac.id 77c.i
digilib.uns.a
d

adalah sebesar USD 755,953.15 (tujuh ratus lima puluh lima ribu sembilan
ratus lima puluh tiga dollar Amerika Serikat lima belas sen), belum
termasuk bunga dan denda keterlambatan.

Putusan hakim Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST antara


PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL), selaku Pemohon Pailit dan
Alex Korompis (personal guarantee dari PT. Hutan Domas Raya) yang
menyatakan bahwa Alex Korompis dinyatakan pailit dengan segala akibat
hukumnya telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Hal ini menyatakan bahwa hakim dalam
memutus perkara antara PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL),
selaku Pemohon Pailit dan Alex Korompis (personal guarantee dari PT.
Hutan Domas Raya) selaku Termohon Pailit telah memenuhi unsur-unsur
kepailitan. Sesuai dengan syarat-syarat kepailitan yaitu antara lain adanya
debitor. Alex Korompis telah terbukti selaku personal guarantee dari PT.
Hutan Domas Raya, dimana Alex Korompis selaku pihak ketiga
mengikatkan diri untuk membayar kewajiban dan menjadi penjamin PT.
Hutan Domas Raya dalam Perjanjian Penanggungan pada tanggal 2 Pebruari
1996. Perjanjian Penanggungan tertanggal 2 Pebruari 1996 pada intinya
berisi pernyataan Termohon untuk menjamin atau menanggung pembayaran
yang layak dan tepat waktu atas seluruh jumlah uang yang terhutang atau
yang akan menjadi terhutang dan debitor PT. Hutan Domas Raya kepada
Pemohon selaku Kreditor. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perjanjian
Penanggungan, pengikatan diri Termohon dilakukan dengan melepaskan
segala hak-hak dan kedudukan istimewanya, dan dengan dilepaskannya hak-
hak dan kedudukan istimewa tersebut maka kedudukan hukum Termohon
selaku Penanggung, Utang adalah sebagai Debitor terhadap Pemohon sama
halnya dengan kedudukan PT. Hutan Domas Raya (sebagai Debitor
terhadap Pemohon).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 78c.i
digilib.uns.a
d

Adanya Dua (2) atau lebih Keditur Hakim berpendapat bahwa syarat
adanya dua atau lebih kreditor telah terpenuhi, hal ini di dasarkan pada
bukti-bukti persidangan, dimana PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT.
CSUL), selaku Pemohon Pailit terbukti sebagai kreditor. Berdasar
pertimbangan Hakim yaitu berupa perjanjian Induk Sewa Guna Usaha
antara PT. Chandra Sakti Utama Leasing dan PT. Hutan Domas Raya,
bertanggal 2 Pebruari 1996 (Master Lease Agreement), telah dapat
dibuktikan adanya Perjanjian Sewa Guna Usaha untuk fasilitas barang
modal yang merupakan Penjualan Dan Penyewaan Kembali (Sale and Lease
Back), antara Pemohon dengan PT. Hutan Domas Raya dan Termohon PT.
Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL) selaku pemberi sewa atau
kreditor. Selain itu adanya kreditor lain yaitu PT. Prima Solusi Sistem telah
terbukti berdasar Akta Nomor 15 tertanggal 6 Desember 2004. Berdasar hal
tersebut maka Majelis Hakim berpendapat adanya dua kreditor atau lebih
telah dipenuhi.

Adanya minimal satu (1) utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang
menjadi syarat kepailitan telah terpenuhi berdasarkan Pertimbangan majelis
Hakim yaitu sampai saat ini utang PT. Hutan Domas Raya yang belum
dibayar adalah USD 755,953.15 (tujuh ratus lima puluh lima ribu sembilan
ratus lima puluh tiga dollar Amerika Serikat lima belas sen), belum
termasuk bunga dan denda keterlambatan. Hal tersebut dapat dibuktikan
secara sederhana, dimana Majelis Hakim memfokuskan pada hubungan
perutangan antara kreditor dan debitor, dimana utang tersebut telah jatuh
tempo dan dapat ditagih. Selain itu terkait dengan adanya hubungan
perutangan antara debitor dengan kreditor lainnya. Majelis Hakim
berpendapat, bahwa pembuktian dalam Kepailitan Alex Korompis telah
dilakukan secara sederhana sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utacnogm
. mit to user
perpustakaan.uns.ac.id 79c.i
digilib.uns.a
d

Berdasarkan beberapa pertimbangan hakim dalam memutus kasus


permohonan pernyataan pailit personal guarantee, dapat disimpulkan bahwa
personal guarantee dapat dipailitkan. Kepailitan personal guarantee tersebut
terlihat di dalam ketiga putusan pailit yang menyatakan kepailitan seorang
penjamin atau personal guarantee yaitu di dalam putusan perkara Nomor
13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST antara Citibank NA melawan penjamin PT
Fit-U Garment Industry, Danny Lukita. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
dalam perkara Nomor 74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST antara PT Rabobank
International Indonesia melawan penjamin PT Pratama Jaringan Nusantara,
Gunawan Tjandra. Putusan Nomor 51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST antara
PT. Chandra Sakti Utama Leasing (PT. CSUL) melawan penjamin PT. Hutan
Domas Raya, Alex Korompis.

Pertimbangan hukum hakim dalam ketiga putusan tersebut menggunakan


alasan dasar putusan atau ratio decidendi yaitu telah memenuhi syarat-syarat
kepailitan yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dimana
pengambilan putusan oleh hakim menggunakan 3 (tiga) unsur tetapi penerapan
unsur yuridis lebih mudah bila dibandingkan dengan penerapan unsur filosofis
dan unsur sosiologis. Dengan menerapkan asas Legalitas unsur yuridis dapat
terpenuhi, karena unsur yuridis merupakan unsur pertama dan utama, maka hakim
merasa lebih aman membuat putusan dengan mengutamakan ketentuan peraturan
perundang-undangan, padahal putusan yang tidak memenuhi unsur filosofis dan
sosiologis dapat bertentangan dengan kehendak masyarakat. Putusan yang
bertentangan dengan kehendak masyarakat tidak akan ditaati dan dilaksanakan
dengan sukarela, sehingga kepercayaan masyarakat kepada pengadilan akan
semakin berkurang (http://pn-sampit.com/info-aktual/lembaga/ pedoman-
membuat-putusan.html, 19 Oktober 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 80c.i
digilib.uns.a
d

Dalam penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat


ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain
bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai
dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum
dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga
unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan
tujuan itu sendiri, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit) (http://hpurwadie.blogspot.com, 30
Oktober 2010).

Penerapan ketiga unsur tersebut sangatlah sulit, terlihat di dalam contoh


Putusan Hakim yang pertama yaitu Putusan pailit Danny Lukita selaku personal
guarantee PT Fit-U No. 13/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dalam amar
putusan tersebut Majelis hakim dalam pertimbangan hukum, menyatakan Danny
terbukti sebagai penjamin. Dengan kedudukan itu, Danny melepaskan hak-haknya
termasuk hak istimewa berdasarkan Pasal 1430, 1431, 1821, 1831, 1833, 1837,
1843, 1847, 1848 KUH Perdata, dimana konsekuensi pelepasan hak tersebut
menjadikan Citibank sebagai Kreditor dan Danny debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain hal tersebut Majelis hakim
menilai pembuktian dalam perkara ini sangat sederhana sebab timbulnya utang
didasarkan atas perjanjian sehingga persyaratan dalam Pasal 8 ayat (4) UU
Kepailitan terpenuhi.

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan amar putusan yang


menyatakan pailit Danny Lukita selaku personal guarantee PT Fit-U berdasarkan
UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang merupakan perwujudan guna pencapaian kepastian hukum. Terlihat pula
dalam pertimbangan hukum hakim dalam contoh putusan yang kedua dan ketiga.
Dalam putusan yang kedua, yaitu putusan pailit Gunawan Tjandra selaku personal
guarantee PT Pratama Jaringan Nusantara, yaitu Putusan
No.74/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKcTo.P
mSmTit tM
o uasjeelris hakim dalam pertimbangan
perpustakaan.uns.ac.id 81c.i
digilib.uns.a
d

hukumnya disokong dengan putusan Mahkamah Agung No. 17 PK/IV/1999.


Majelis hakim menilai permohonan pailit telah memenuhi syarat Pasal 2 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Pemenuhan syarat itu sekaligus memenuhi syarat pembuktian
secara sederhana sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hakim tersebut
menganut aliran Interessenjurisprudenz, dimana dalam pertimbangan hukumnya
menggunakan yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung No. 17 PK/IV/1999,
dimana di dalam hukum Indonesia hakim menggunakan yurisprudensi karena
putusan yang lebih tinggi tersebut meyakinkan untuk diikuti atau “the persuasive
force of precedent” (http://hpurwadie.blogspot.com, 30 Oktober 2010).

Putusan hakim yang ketiga yaitu putusan pailit Alex Korompis selaku
personal guarantee dari PT. Hutan Domas Raya, yaitu putusan No
51/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST, hakim dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), dimana syarat-syarat kepailitan telah terpenuhi sehingga personal
guarantee dapat dipailitkan berdasar Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Ketiga contoh putusan hakim tersebut dapat disimpulkan bahwa personal


guarantee dapat dipailitkan berdasar Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam
pengambilan putusan tersebut, hakim dalam mempertimbangkan hukumnya
mengedepankan unsur kepastian hukum yaitu berdasar Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) dimana syarat-syarat kepailitan diatur. Penulis berpendapat bahwa dalam
ketiga putusan tersebut hakim dalam memutus suatu perkara kepailitan personal
guarantee dalam pertimbangan hukumnya mengedepankan unsur yuridis, yaitu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 ctoemnm tanitgtoKuespearilitan dan Penundaan Kewajiban
perpustakaan.uns.ac.id 82c.i
digilib.uns.a
d

Pembayaran Utang. Dikarenakan penerapan unsur yuridis lebih mudah bila


dibandingkan dengan penerapan unsur filosofis dan unsur sosiologis. Unsur
yuridis merupakan unsur pertama dan utama, maka hakim merasa lebih aman
membuat putusan dengan mengutamakan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dengan menerapkan asas Legalitas unsur yuridis dapat dipenuhi
dimana asas Legalitas tersebut digunakan untuk mendapatkan kepastian hukum,
yaitu kepailitan seorang personal guarantee.

Hari Purwadi dalam blognya berpendapat bahwa tanpa kepastian hukum


orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian
hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta
tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun
yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.
Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara
ketat (lex dura sed tamen scripta) (http://hpurwadie.blogspot.com, 30 Oktober
2010)

Menurut Satjipto Rahardjo kepastian hukum sudah merupakan cap dagang


manakala orang berbicara mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam
kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hukum sudah
menjadi primadona dalam wacana mengenai hukum. Kepastian hukum itu
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian (http://hpurwadie.blogspot.com,
30 Oktober 2010). Pertimbangan hukum hakim yang cenderung mencapai
kepastian hukum yang terdapat di dalam ketiga putusan kepailitan personal
guarantee tersebut menurut penulis seharusnya kembali kepada cita hukum yang
dicapai oleh hakim, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, atau keadilan.
Seharusnya tidak terdapat kecenderungan salah satu unsur dalam pertimbangan
hukum hakim tersebut dalam memutus suatu perkara, dengan demikian putusan
hakim bisa mencapai dari cita hukum yang merupakan tujuan utama dari hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian yang berjudul


Analisis Pertanggung Jawaban Personal Guarantee Terkait Permohonan
Pernyataan Pailit Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Peran dan tanggung jawab personal gurantee berdasarkan KUH Perdata


yaitu sebagai berikut:
a. Personal guarantee wajib memenuhi segala kewajiban debitor
terhadap kreditor yang berlaku saat debitor lalai atau cidera janji
(Pasal 1820 KUH Perdata).
b. Personal guarantee wajib memenuhi kekurangannya utang debitor
dengan terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor
utama. Personal guarantee dapat diajukan permohonan pernyataan
pailit setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan pernyataan
pailit debitor utama (Pasal 1831 KUH Perdata).
c. Personal guarantee dapat diajukan permohonan pernyataan pailit
setelah melepaskan hak-hak istimewanya terlebih dahulu dan
mengikatkan diri dengan debitor utama tanpa harus mengajukan
terlebih dahulu permohonan pernyataan pailit debitor utama (Pasal
1832 KUH Perdata).

commit to user

83
perpustakaan.uns.ac.id 84c.i
digilib.uns.a
d

Peran dan tanggung jawab personal gurantee berdasarkan Undang- Undang


Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu dalam hal pencocokan utang dan hak kreditor
terhadap benda-benda penanggung terkait dengan kewajiban penanggung
yang merupakan bagian dari tanggung jawab personal guarantee sebagai
penjamin untuk memenuhi kewajiban debitor yang telah lalai atau cidera
janji.

2. Personal guarantee dapat dimohonkan pailit berdasarkan Undang-undang


Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, dengan terpenuhinya unsur-unsur kepailitan Pasal 2
ayat (1) yaitu adanya debitor. Personal guarantee termasuk debitor terkait
tanggung jawabnya yang diatur di dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya dua (2) atau lebih keditur dan
adanya minimal (1) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Permohonan pailit personal guarantee juga diatur dalam Pasal 1831 dan
Pasal 1832 KUH Perdata. Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata berlaku
berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis dimana tetap berlaku
karena tidak bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Berdasarkan hal tersebut personal guarantee dapat
diajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi
syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pailit terhadap
debitor utama atau dengan langsung mengajukan permohonan pailit
personal guarantee apabila personal guarantee tersebut telah melepaskan
hak-hak istimewa yang dimilikinya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 85c.i
digilib.uns.a
d

3. Pertimbangan hukum Hakim terhadap pertanggung jawaban Penjamin


(Personal Guarantee) di dalam perkara kepailitan.
Personal guarantee dapat dipailitkan berdasarkan pertanggung jawabannya
selaku penjamin dari si debitor. Hakim dalam pertimbangan hukumnya
menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Meskipun dalam
memutus perkara kepailitan hakim dalam pertimbangan hukumnya terdapat
perbedaan, antara lain selain menggunakan dasar hukum Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, hakim menggunakan dasar hukum pengaturan
mengenai personal guarantee yang diatur di dalam KUH Perdata mengenai
pelepasan hak istimewa, penggunaan yurisprudensi putusan hakim terdahulu
atau hanya menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
untuk menyatakan pailit seorang personal guarantee.

B. SARAN

Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang
terkait antara lain sebagai berikut :

1. Untuk personal guarantee diharapkan tidak memiliki kreditur lain terkait


tanggung jawab pelunasan utang debitor lalai atau cidera janji.
2. Untuk majelis hakim Pengadilan Niaga pada khususnya dan mejelis hakim
secara keseluruhan di Indonesia dalam memutus suatu perkara diharap
putusan tersebut dapat mengakomodasi perkembangan masyarakat terkait
kepentingan-kepentingan sosial (social interests) atau kebutuhan-kebutuhan
sosial (social needs). Selain itu diharapkan dalam pertimbangan hukumnya
hakim dalam memutus perkara mempertimbangkan putusan terdahulu yang
dapat digunakan sebagai salcaohmsm
atuit stuomubseerr hukum atau yurisprudensi.
perpustakaan.uns.ac.id 86c.i
digilib.uns.a
d

3. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, diharapkan


memberikan ketegasan pengaturan mengenai kedudukan dan tenggung
jawab personal guarantee secara lebih rinci di dalam penjelasan undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).

commit to user

You might also like