You are on page 1of 15

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN

MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIK


TERHADAP AKTIVITAS SISWA DAN HASIL
BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR

Oleh: Andri Anugrahana


(Universitas Sanata Dharma)

Abstract

This study aims to investigate effects of the realistic mathematics learning


approach on elementary school students’ activities and learning outcomes on the
main topic of fractions.
This study was a quasi-experimental study involving elementary school
students’ mathematics learning outcomes as the dependent variable and the
realistic mathematics approach and the conventional approach as the independent
variable. The research design was the nonequivalent control group design. The
research subjects were 61 students. The data collecting instrument was a
mathematics achievement test and observation sheet. The students activity data
were analyzed using descriptive qualitative and the study result’s data were
analyzed using the analysis of covariance with the pretest score as the covariate at
a significance level of 5% (α = 0.05).
The results show that the realistic mathematics learning approach has
positive effects on elementary school students’ activities and students study
result’s. This can be seen from the analysis of covariant which shows that the
value of sig 0,000 < 0,05. Student taught using realistic approach were able to
answer four question much more compared to those taught using conventional
approach. Results of student activity analysis showed that the activities of the
students who were more active than the activities undertaken by the control group.
Activities, done by experimental group, are visual activities, oral activities,
listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental
activities, and emotional activities. The research’s results shows that PMRI makes
students more active in the mathematics learning process and the results of PMRI
are better than those of the control group.

Key words : students activity, learning outcomes, realistic mathematics learning

PENDAHULUAN

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber


daya manusia yang berkualitas dan mampu berkompetisi dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pendidikan harus dilaksanakan dengan

226
sebaik-baiknya untuk memperoleh hasil maksimal. Pendidikan yang dikelola
dengan baik akan menghasilkan kualitas maupun kuantitas yang baik pula. Hal
tersebut dapat dicapai dengan terlaksananya pendidikan yang tepat waktu dan
tepat guna untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah merupakan lembaga
formal penyelenggara pendidikan. Sekolah Dasar (SD) sebagai salah satu lembaga
formal dasar yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional
mengemban misi dasar dalam memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.

Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk proses belajar mengajar yang


merupakan pelaksanaan dari kurikulum sekolah. Siswa-siswi SD berada pada
tahap operasi konkrit yang dicirikan dengan pemikiran anak yang sudah
berdasarkan logika tertentu dengan sifat reversibilitas dan kekekalan. Anak pada
tahap konkrit sudah mampu berfikir menyeluruh dengan melihat banyak unsur
dalam waktu yang sama (Paul Suparno, 2001: 86). Dengan demikian anak sudah
memiliki potensi untuk menguasai ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan
dasar yang dalam hal ini adalah mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum
SD/MI untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya pada jenjang
pendidikan selanjutnya.

Menurut Gravemeijer (2005: 2) menegaskan bahwa belajar matematika


ialah membuat hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan
yang akan dipelajarinya. Matematika merupakan sulit karena merupakan
pengetahuan abstrak yang formal. Pengetahuan abstrak sulit mengajarkannya
karena menyangkut pengetahuan dalam taraf yang berlainan. Karena itu kesalahan
komunikasi mudah terjadi antara guru dan siswa. Marpaung (2003: 3) juga
menegaskan belajar matematika dengan mengandalkan kekuatan mengingat
rumus dan menghafal konsep-konsep tanpa pemahaman adalah tidak bermakna.
Pembelajaran frontal dengan mempraktekkan hukuman untuk mengurangi dan
menghilangkan tingkah laku aversive yang tidak mendukung proses pembelajaran
matematika tidak memberdayakan siswa memahami konsep-konsep matematika

227
dan keterkaitannya. Semua itu harus ditinggalkan.

Hasil observasi yang peneliti lakukan di SDN Babarsari menunjukkan


bahwa pembelajaran matematika terpusat pada guru. Siswa hanya berperan
sebagai pendengar dan pencatat yang setia. Siswa juga hanya diposisikan sebagai
individu yang “tidak tahu apa-apa”. Hal ini menyebabkan siswa dalam belajar
metematika lebih cenderung menghafal daripada memahami konsep matematika.
Guru menyampaikan pelajaran masih menggunakan metode ceramah atau
ekspositori, sementara siswa mencatatnya pada buku catatan. Kerena
pembelajaran di dalam kelas masih berpusat pada guru maka aktivitas belajar
siswa belum tampak. Hal ini ditunjukkan dengan siswa yang masih takut dan
belum berani untuk mengungkapkan ide maupun gagasannya. Alasan siswa belum
berani karena siswa takut salah dan jika salah menjawab akan ditertawakan teman.
Pandangan siswa bahwa selama siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan guru harus dijawab benar dan tepat.

Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru menjelaskan materi di


kelas, siswa mendengarkan dan mencatat. Selama mengerjakan soal-soal yang
disampaikan, siswa kurang kreatif dalam mengembangkan jawaban-jawaban yang
disampaikan oleh guru. Hal ini dibuktikan dengan hasil jawaban siswa yang hanya
menjawab sesuai dengan contoh-contoh yang disampaikan oleh guru. Siswa tidak
mencoba mengembangkan jawaban dengan cara yang lain. Akibatnya siswa
kurang menghayati dan memahami konsep-konsep matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Guru kurang mampu menggunakan metode yang bervariasi, dan
hanya mengajarkan kemampuan dasar matematika untuk menggerjakan soal tanpa
menggembangkan aspek berfikir logis, kritis dan kreativitas. Akibatnya adalah
siswa tidak mampu memahami konsep matematika, lemah dalam memanipulasi
angka, ketidakmampuan dalam mengubah dan membentuk serta menyelesaikan
soal cerita (Dian Armanto, 2003: 6).

228
Pembelajaran matematika selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa
matematika adalah alat yang siap pakai. Pandangan ini mendorong guru bersikap
memberi tahu konsep/sifat/teorema dan cara menggunakannya (Soedjadi, 2004:
1). Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimiliki ke pikiran anak dan
anak menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Adakalanya siswa menjawab soal
dengan benar namun mereka tidak dapat mengungkapkan alasan atas jawaban
mereka. Siswa dapat menggunakan rumus tetapi tidak tahu darimana asalnya
rumus itu dan mengapa harus itu digunakan. Keadaan demikian mungkin terjadi
karena di dalam proses pembelajaran tersebut siswa kurang diberi kesempatan
dalam mengungkapkan ide-ide dan alasan jawaban mereka sehingga kurang
terbiasa untuk mengungkapkan ide-ide atau alasan dari jawabannyaArtinya bahwa
hasil belajar siswa dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik siswa sendiri
dan pengalaman belajarnya. Guru tidak bertanggung jawab secara langsung pada
hasil belajar itu, tetapi pada pengalaman belajar siswa tersebut. Peran guru bukan
pentansfer pengetahuan tetapi fasilitator atau pembimbing belajar. Penting bagi
guru untuk menciptakan suasana belajar yang tidak tegang (Marpaung, 2004: 6).

Menurut guru matematika kelas III di SDN Babarsari, siswa masih belum
memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam belajar sehingga perlunya
pengalaman belajar dari siswa sendiri. Pengalaman belajar siswa dapat diperoleh
dari siswa yang terlibat secara aktif dalam proses kegiatan pembelajaran.
Pentingnya proses dalam kegiatan pembelajaran matematika karena keberhasilan
siswa dapat diukur setelah siswa mengalami sebuah proses pembelajaran. Dengan
pendekatan realistik diharapkan pembelajaran matematika dapat memberikan
kebebasan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Yang terpenting
dalam pembelajaran matematika bukan hasil, tetapi proses yang digunakan siswa
dalam menyelesaikan masalah matematika (Denny Dwi, 2004: 4).

Kendala yang sering dialami guru adalah bagaimana guru dapat mengemas
proses pembelajaran dan menanamkan konsep kepada siswa. Keterampilan guru
dalam pembelajaran masih dianggap kurang memadai. Hal ini ditunjukkan oleh
sebagian guru belum dapat mengkomunikasikan pengetahuan ke siswa. Guru

229
masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah. Guru menyampaikan
materi di depan kelas sedangkan siswa duduk mendengarkan dan mengerjakan
soal latihan. Salah satu bentuk kurangnya keterampilan guru misalnya siswa kelas
III masih belum memahami konsep-konsep dasar matematika yang seharusnya
sudah diperoleh di kelas sebelumnya. Guru harus mengulang kembali materi yang
seharusnya sudah disampaikan di kelas sebelumnya. Siswa belum memahami
konsep-konsep dasar matematika karena kurangnya penanaman konsep-konsep
dasar di kelas sebelumnya yang ternyata mempengaruhi pembelajaran di kelas
selanjutnya. Guru mengharapkan sebuah proses pembelajaran yang sudah
dikemas dan dapat membantu guru dalam menanamkan konsep-konsep dasar
matematika kepada siswa.

Menghadapi kondisi ini, pembelajaran matematika harus mengubah citra


dari pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang menyenangkan.
Salah satu inovasi pembelajaran matematika untuk memperbaiki keadaan tersebut
yaitu dengan menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang sedang
dikembangkan di Indonesia yaitu pendekatan matematika realistik. Pendekatan
realistik di Indonesia dikenal dengan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia) yang sejalan dengan teori belajar RME (Realistic Mathematics
Education) yang sudah lama dikembangkan dan masih berkembang di negara
Belanda. RME tidak dapat dipisahkan dari institut Fredenthal. Institut ini didirikan
pada tahun 1971, institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis
terhadap pembelajaran metematika yang dikenal dengan RME (Realistic
Mathematics Education). Pendekatan RME di Indonesia dikenal dengan PMRI,
yang dimulai tahun 2001.

Dalam kerangka realistic Mathematics Education, Freudenthal (1991: iii)


menyatakan bahwa “mathematic is human activity”, karenanya pembelajaran
matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Pada dasarnya
pendekatan realistik bukanlah dipandang sebagai pengetahuan yang “siap pakai”,
tetapi “metematika adalah aktivitas manusia”. Pembelajaran tidak lagi hanya
pemberian informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi berubah menjadi

230
aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan manusia. Berdasarkan
permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini, yang pertama adalah mengetahui
pengaruh pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik
terhadap aktivitas siswa di dalam kelas. Kedua, untuk mengetahui pengaruh
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik terhadap
hasil belajar siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dan pendekatan


deskriptif kualitatif. Dalam proses eksperimen dilakukan pengamatan pada dua
kelompok pembelajaran. Kedua kelompok tersebut dipilih karena setara dengan
kharakteristik siswa sama dan mendekati sama, yang membedakan adalah
kelompok eksperimen diberikan treatmen atau perlakuan tertentu. Sedangkan
kelompok kontrol pembelajaran berlangsung seperti biasa/konvensional. Dengan
kata lain, metode eksperimen dapat menunjukkan bahwa pendekatan realistik
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Desain penelitian menggunakan desain kelompok kontrol nonekuivalen


(Ibnu Hadjar, 1996: 334). Rancangan penelitian ini disajikan pada Tabel 1 berikut
ini.

Tabel 1
Desain Penelitian
Eksperimen

Kontrol

Keterangan :
O1 : Pretest
O2 : Posttest
X1 : Treatment / Perlakuan (Pembelajaran Matematika dengan
menggunakan realistik)
X0 : Pembelajaran matematika dengen menggunakan pendekatan
yang biasa guru gunakan

231
Sesuai dengan desain tersebut, maka dalam penelitian kelompok
eksperimen mendapat perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan realistik, sedangkan pembelajaran matematika pada
kelompok kontrol masih menggunakan pendekatan yang biasanya guru gunakan
yaitu pendekatan konvensional.
Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1)
melakukan prasurvei dan mengajukan perizinan ke sekolah 2) pembuatan
instrumen, validasi instrumen dan uji coba instrumen, 3) melakukan survei
penelitian, 4) mengadakan koordinasi dengan guru, 5) melakukan pretest atau tes
awal, 6) pemberian perlakuan eksperimental pada kelompok eksperimen dengan
menggunakan pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika, 7)
memberikan postest pada masing-masing kelompok penelitian, dan 8) analisis
data.
Populasi dalam penelitian ini adalah adalah seluruh siswa SD di desa
Caturtunggal, kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Jumlah seluruh SD yang ada
di desa Caturtunggal berjumlah 22 SD. Sampel penelitian ini diambil secara acak,
sehingga didapatkan SD Negeri SDN Babarsari sebagai kelompok kontrol dan
SDN Deresan sebagai kelompok kontrol. Sekolah yang dijadikan kelompok
eksperimen yaitu yang dikenai perlakuan, adalah SDN Babarsari dengan jumlah
siswa 31 siswa. Sedangkan kelompok yang berikutnya SDN Deresan Sleman
dengan jumlah siswa 30 siswa sebagai kelompok kontrol tidak dikenai perlakuan
(Sugiyono, 2008: 113).
Data dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif dan pengujian
hipotesis. Deskriptif Kualitatif, dimana proses penganalisisan data aktivitas siswa
berdasarkan penelitian ini berpedoman pada analisis data penelitian deskriptif
kualitatif. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menelaah setiap bagian
satu demi satu. Dan pengujian hipotesis, dimaan data hasil tes dianalisis dengan
menggunakan penggujian hipotesis untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik terhadap hasil belajar
siswa. Analisis dilakukan secara kuantitatif mulai dari tahap deskriptif data, tahap
uji prasyarat analisis, dan tahap pengujian hipotesis.

232
PEMBAHASAN

Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik


berpengaruh positif terhadap aktivitas siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil
observasi yang dilakukan peneliti bersama observer lainnya. Pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan realistik pada kelas eksperimen
sudah sesuai dengan prinsip-prinsip dalam pembelajaran matematika realistik.
Salah satunya adalah prinsip aktivitas dimana proses pembelajaran matematika
merupakan aktivitas manusia yaitu pembelajaran matematika yang baik dipelajari
dengan melakukannya. Aktivitas siswa dalam pembelajaran denggan menggunkan
pendekatan realistik melibatkan semua siswa untuk terlibat secara aktif.
Keterlibatan siswa selama proses pembelajaran matematika realistik meliputi
aspek-aspek yang dikembangkan oleh ahli Paul D. Dierich. Aspek-aspek tersebut
adalah Visual activities, Oral Activities, Listening activities, Writing activities,
Drawing activities, Motor Aktivities, Metal Aktivities, Emotional activities.
Aktivitas yang dilakukan siswa pada aspek visual (Visual activities) adalah
siswa membaca perintah yang ada dalam LAS dan memperhatikan setiap petunjuk
dalam LAS. Petunjuk-petunjuk yang ada sudah sangat jelas dan mudah dipahami
siswa. Selanjutnya siswa diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada dalam LAS. Setelah siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan dalam LAS, siswa mempresentasikan dan mendemostrasikan hasil
yang diperoleh di depan kelas.
Aktivitas siswa dalam aspek lisan (Oral Activities), siswa membaca
petunjuk dalam lembar aktivitas siswa dan dengan bimbingan guru siswa
melakukan semua kegiatan dalam LAS. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa
membantu siswa dalam merumuskan dan mengkontruksi pengetahuan. Siswa
menyelesaikan setiap masalah yang diberikan dalam LAS terkait dengan “dunia
nyata”. Siswa melakukan diskusi dengan teman dalam satu kelompok dan berani
untuk mengeluarkan pendapatnya. Siswa juga tidak takut bertanya apabila masih
ada yang belum dimengerti. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dengan
mendiskusikan masalah yang ada menunjukkan bahwa adanya jalinan komunikasi

233
antara siswa dengan guru. Selain itu kepercayaan diri siswa dalam
mempresentasikan ide ataupun gagasan membuktikan bahwa siswa memiliki
kepercayaan diri yang tinggi. Hal ini sesuai dengan lima tahap pembelajaran
realistik menurut Gravemeijer. Lima tahap tersebut yaitu penyelesaian masalah,
penalaran, komunikasi, kepercayaan diri dan representasi.
Aktivitas lain yang dilakukan siswa adalah aspek mendengarkan
(Listening activities), aspek menulis (Writing activities), aspek menggambar
(Drawing activities) dan aspek metrik (Motor Activities). Yang mana keempat
aktivitas tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya dalam mendukung siswa
untuk mengkontruksi pengetahuannya. Siswa mau mendengarkan pendapat dari
siswa yang lain atau penjelasan yang disampaikan oleh guru. Hal ini ditunjukkan
ketika melakukan setiap kegiatan dalam LAS. Siswa tidak terlalu banyak bertanya
tentang tugas tetapi siswa lebih aktif terlibat dalam setiap kegiatan. Keterlibatan
ini meliputi aktivitas menulis, aktivitas menggambar, dan juga aktivitas metrik.
Dalam aktivitas metrik, siswa melakukan percobaan-percobaan dalam setiap
kegiatan di LAS. Percobaan-percobaan yang dilakukan siswa meliputi menulis,
menggambar, memberi tanda, mengunting, mengelem, dan mewarnai. Percobaan-
percobaan yang dilakukan siswa membuktikan bahwa dengan aktivitas-aktivitas
tersebut siswa dapat mengkontruksi pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan
karakteristik pembelajaran matematika realistik yang kedua yaitu dengan
menggunakan model matematika yang dikembangkan oleh siswa menjadi
jembatan dalam siswa memahami matematika yang lebih formal.
Dalam aktivitas metal, aktivitas yang dilakukan siswa adalah mencari
solusi dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang disajikan dalam LAS.
Selain itu dengan bimbingan guru, siswa melihat hubungan atau keterkaitan antara
masalah yang disajikan dengan matematika yang lebih bersifat formal. Siswa
merumuskan pecahan lewat konsep membagi kertas, melipat kertas, memotong
tali, mengunting kertas, memberi tanda pada kayu. Hal ini menunjukkan bahwa
proses pembelajaran matematika sesuai dengan salah satu karakteristik dalam
PMRI yaitu adanya keterkaitan (intertwinment) dalam proses pembelajaran
realistik.

234
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa secara berkelompok ataupun
diskusi dengan bimbingan guru menunjukkan adanya interaksi dalam proses
pembelajaran matematika realistik. Interaksi antar siswa berupa negoisasi,
penjelasan, pembenaran, pernyataan setuju dan tidak setuju. Interaksi ini
menimbulkan aktivitas Mental (Mental Activities) yang dilakukan siswa dengan
memberikan tanggapan ataupun usulan dan berusaha mencari hubungan dari
setiap pengetahuan yang diperoleh siswa. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan
siswa dapat menimbulkan perasaan senang, dan tidak bosan selama mengikuti
kegiatan pembelajaran. Aktivitas siswa dalam aspek emosional (Emotional
activities) sangat baik dengan keterkaitan siswa selama mengikuti kegiatan
pembelajaran dan sikap siswa yang selau siap dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran.
Sedangkan pada kelompok kontrol, tidak terjadi aktivitas-aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran lebih berorientasi atau berpusat
pada guru. Siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
matematika. Siswa adalah passive receivers of ready-made mathematics
(penerima pasif matematika yang sudah jadi).
Dalam pembelajaran matematika realistik, Freudenthal berkeyakinan
bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made
mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan realistik lebih baik dibandingkan
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan konvensional atau
tradisional. Sehingga, Pembelajaran matematika dengan menggunakan
pendekatan realistik berpengaruh positif terhadap aktivitas siswa.
Hasil pengujian hipotesis yang mengatakan bahwa pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan ralistik berpengaruh positif
terhadap hasil belajar matematika siswa SD ternyata terbukti. Pengaruh
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik terhadap
hasil belajar siswa SD ditunjukkan dengan nilai sig. pada tabel rangkuman hasil
analisi ancova. Pada kolom Sig. baris pendekatan terlihat nilai Sig. (0,000) < α
(0,05) yang berarti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan

235
realistik berpengaruh positif terhadap hasil belajar matematika siswa SD. Hasil
yang diperoleh juga menunjukkan bahwa siswa yang belajar matematika dengan
menggunakan pendekatan realistik akan mampu menjawab benar 3,824 atau 4
soal lebih banyak dari pada siswa yang belajar matematika dengan menggunakan
pendekatan konvensional.
Pengaruh pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
realistik terhadap hasil belajar matematika siswa SD juga ditunjukkan dengan
nilai rata-rata skor posttest pada masing-masing kelompok penelitian. Nilai rata-
rata kelompok eksperimen yaitu 16,32, sedangkan nilai rata-rata kelompok
kontrol yaitu 12,50. Kelompok eksperimen yang dalam pembelajaran matematika
menggunakan pendekatan realistik memiliki nilai rata-rata lebih tinggi bila
dibandingkan dengan nilai rata-rata skor posttest pada kelompok kontrol yang
dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konvensional. Hal ini
berarti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik
berpengaruh positif terhadap hasil belajar matematika siswa SD.
Prinsip-prinsip dalam proses pelaksanaan pembelajaran realistik menurut
Freudenthal menjadi dasar dalam keberhasilan pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan realistik. Prinsip-prinsip tersebut adalah activity
principle, reality principle, level principle, intertwinement principle, interaction
principle dan guidance principle. Selain itu prinsip – prinsip dalam teori
perkembangan Peaget juga menjadi dasar yang dapat diterapkan dalam
pendidikan siswa di sekolah dasar adalah pendidikan adalah komunikasi, anak
belajar untuk memperoleh pengetahuan dan anak pada dasarnya adalah makluk
yang berpengetahuan. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh
Soleh Haji (2005) menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa
kemampuan problem solving antara lain, siswa yang diajar melalui pendekatan
matematika realistik secara signifikan lebih baik daripada siswa yang diajar
melalui pendekatan biasa (pendekatan tradisional), siswa laki-laki lebih terbantu
daripada siswa perempuan dalam membentuk kemampuan problem solving oleh
pendekatan realistik. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzan (2002) juga
menguatkan bahwa proses pembelajaran matematika dengan menggunakan

236
pendekatan realistik siswa menjadi lebih aktif dan kreatif dan peran guru berubah
dari pusat proses pembelajaran menjadi pembimbing atau narasumber.
Menurut Bruner, pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan
dua kegiatan yang menuntut proses berfikir yang berbeda. Dalam pemahaman
konsep siswa, konsep-konsep sudah ada sebelumnya sedangkan pembentukan
konsep siswa adalah tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru yang
merupakan suatu tindakan penemuan/pembentukan konsep. Dalam proses
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, siswa
melakukan kegiatan-kegiatan dalam Lembar Aktivitas Siswa. Kegiatan-kegiatan
tersebut melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Penguasaan
konsep dan pembentukan konsep siswa tentang pecahan dengan menggunakan
benda-benda konkrit ataupun dengan masalah “dunia nyata” yang ada disekitar
siswa. Soal-soal yang diangkat dalam pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan realistik diangkat dari berbagai situasi (konteks) yang
secara perlahan berkembang ke pemahaman matematika tingkat formal. Dan
model-model yang dikembangkan dalam pemahaman konsep pecahan dalam
Lembar Aktivitas Siswa mendorong adanya interaksi antara siswa dengan siswa
maupun antara guru dengan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa matematika
merupakan aktivitas manusia. Matematika dekat dengan siswa dan situasi sekitar
siswa. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bantuan dan bimbingan guru. Hal ini menunjukkan adanya
proses matematisasi yang dikembangkan oleh Gravemeijer. Proses penguasaan
konsep dengan mengawali penyelesaian yang berkaitan dengan konteks, adanya
aktivitas siswa, penemuan kembali dengan bimbingan guru ke arah pemahaman
matematika formal.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pembelajaran matematika
dengan menggunakan pendekatan realistik berpengaruh terhadap hasil belajar
matematika siswa SD. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata perolehan skor pretest
maupun skor posttes pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan rata-rata
skor pretest maupun skor posttest pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil
analisis data dengan statistik deskriptif, diketahui bahwa nilai terdapat perbedaan

237
yang yang jauh antara skor posttest kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol. Pada kelompok eksperimen, yang dalam pembelajaran matematika
menggunakan pendekatan realistik terjadi peningkatan 9 (sembilan) skor yaitu
dari skor 7 (tujuh) menjadi 16 (enam belas). Sedangkan pada kelompok kontrol,
yang dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konvensional
terjadi peningkatan 5 (lima) skor, yaitu dari skor 7 (tujuh) menjadi 12 (dua belas).
Perbandingan skor rata-rata dan peningkatan skor rata-rata pada kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dilihat pada histogram berikut ini.

Berdasarkan hasil analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa


pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik berpengaruh terhadap
hasil belajar matematika. Perbedaan rata-rata skor postest pada kedua kelompok
menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik
lebih dapat meningkatkan hasil belajar siswa

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui


pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika konsep pecahan berjalan
dengan baik dan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Dalam hal ini dapat
ditunjukkan dari hasil aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan realistik. Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan realistik meningkatkan aktivitas siswa meliputi aspek Visual
activities, Oral Activities, Listening activities, Writing activities, Drawing
activities, Motor Aktivities, Metal Aktivities, Emotional activities. Aktivitas siswa
dengan menggunakan pendekatan realistik, tampak bahwa siswa lebih terlibat
secara aktif dalam pembentukan konsep pecahan dibandingkan dengan
pendekatan konvensional, dimana siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam
kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah disampaikan, maka


dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika konsep pecahan dengan

238
menggunakan pendekatan realistik berpengaruh positif terhadap hasil belajar
matematika siswa SD. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa dengan
menggunakan pendekatan realistik mampu menjawab benar soal 4 lebih banyak
dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pendekatan konvensional.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa bila dibandingkan dengan
pembelajaran matematika yang bersifat konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, W. O. & Krathwoht, D. R. (2001). A Tasonomy for Learning Teaching


and Assessing. New York : Addison Wesley Longman.

Ahmad Fuzan. (2004). Perkembangan Perangkat Pembelajaran Matematika


Berbasis RME untuk Sekolah Dasar. Jurnal penelitian UNP. Vol. V,
No2. p. 111-109

Campbell, D.T. & Stanley, J.C. (1966) Eksperimental and quasi eksperimental
designs for research. Chicago : Rand mcnally & company.

D’Augustine, C., & Smith, C. W., Jr. (1992). Teaching elementary school
mathematics. New York: HarperCollins Publisher..

Denny Dwi. (2004). Kegiatan mengaktifkan menimbulkan kreativitas siswa.


Majalah PMRI Vol. VI Januari 2004, halaman 4. diambil pada tanggal
Oktober 2004. www. PMRI. or.id

Dian Armanto (2003). Peran soal kontekstual dalam pembelajaran matematika


Seminar Nasional Universitas Negeri Padang: 6 September 2003

Forbes, J. E., & Eicholz R. E. (1971). Mathematics for elementary teachers.


Filipina: Addison-Wesley Publishing Company Inc.

Hamzah B. Uno. (2009). Model pembelajaran (menciptakan proses belajar


mengajar yang kreatif dan efektif), Jakarta: Bumi Aksara.

Haylock, D. & Thangata, F. (2007). Key concepts in teaching primary


mathematics. London: SAGE Publication

Herman Hudojo, (2003). Guru matematika konstruktivis. Paper disajikan pada


seminar Nasional tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.

239
Ibnu Hadjar. (1996). Dasar-dasar metodologi penelitian kuantitatif dalam
pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Koeno, G. (1994). Developing realistic mathematics education. Freudenthal


institute.

Marpaung, Y. (2004). Implementasi KBK pembelajaran matematika di sekolah.


Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma: 4 Desember 2004.

Moch. Masykur & Abdul Halim Fathani. (2007). Mathematical intelligence: cara
cerdas melatih otak dan menanggulangi kesulitan belajar. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.

Nana Syaodih Sukmadinata. (2009). Metode penelitian pendidikan. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Ngalim Purwanto. (2008). Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran.


Bandung: Reamaja Rosdakarya.

Oemar Hamalik. (2009). Proses belajar mengajar. Jakarta : Bumi Aksara

Paul Drijvers. (1999). Student Encountering obstacles using a CAS. Israel :


Freudenthal Intitute

Paul Suparno. (2001). Teori perkembangan kognitif jean piaget. Yogyakarta :


Kanisius (2009).

Purwanto (2009). Evaluasi hasil belajar. Cet. I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sardiman, AM. 2010. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta : Rajawali
Pers.
Sugihartono, dkk (2007). Psikologi pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta.

Sutarto Hadi. (2005). Pendekatan matematika realistik dan implementasinya.


Cetakan pertama, Tulip: Banjarmasin

Tatag Yuli (2006). PMRI : pembelajaran matematika yang mengembangkan


penalaran, kreativitas, dan kepribadian siswa. Seminar Workshop
Pembelajaran Matematika di MI “Nurur Rohmah”. Sidoarjo : 8 Mei
2006.

240

You might also like