You are on page 1of 13

BAB II

ANOSMIA

Pengertian tentang penghidu menunjukan adanya hubungan rasa dan kemampuan


kecap. Bersama dengan sistem trigeminus, yang berfungsi sebagai monitor terhadap zat
kimiawi yang terhirup, termasuk bahan-bahan berbahaya seperti gas alam, asap, dan bau
busuk yang sering terhirup di dikehidupan sehari-hari.

Kelainan penghidu yaitu termasuk sebagai berikut: (1) Anosmia ( kehilangan


kemampuan menghidu); (2) Hyposmia (sensitivitas penghidu yang berkurang); (3) Dysosmia
(penyimpangan kemampuan menghidu); (4) Phantosmia (persepsi adanya suatu aroma ketika
tidak ada objek); (5) Agnosia (ketidakmampuan mengklasifikasikan, membedakan, atau
mengidentifikasi suatu aroma secara verbal, meskipun kemampuan untuk membedakan
aroma yang sama yang mungkin masih normal)

Istilah Anosmia berarti hilangnya kemampuan untuk menghidu. Ini juga termasuk
berkurangnya kemampuan untuk menghidu. Ageusia, diartikan untuk hilangnya kemampuan
untuk sensasi perasa. Pasien yang sebenarnya mempunyai anosmia bisa salah mengeluhkan
sebagai Ageusia, walaupun mereka menghalangi kemampuan untuk membedakan rasa asin,
manis, asam, dan pahit (Sensasi rasa yang dimiliki manusia).

Kelainan penghidu disebabkan oleh kondisi yang mengganggu jalannya aroma ke


neuroepitel olfactorius (transport loss), cidera pada bagian reseptor (sensory loss), atau
kerusakan sentral dari jalur olfactorius (neural loss).

II. 1. Klasifikasi

A. Transport Olfactory Loss

Transport olfactory loss dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi berikut:


Pembengkakan membran mukosa hidung pada infeksi saluran pernapasan atas oleh
virus; rhinitis oleh karena bakteri dan sinusitis; rhinitis alergi; kelainan kongenital dan
perubahan struktur rongga hidung (deviasi septum nasi, polip, dan neoplasma). Selain
itu, kelainan sekresi mukosa, dimana cilia olfactorius terpengaruh, dapat
menyebabkan kehilangan sensitivitas menghidu.

B. Sensory Olfactory Loss

Sensory olfactory loss merupakan dampak dari kerusakan neuroepitel olfactorius,


yang dimana kerusakan ini disebabkan oleh: infeksi virus, neoplasma, menghirup zat
beracun, obat-obatan yang mempengaruhi pergantian sel, dan terapi radiasi pada
kepala.

C. Neural Olfactory Loss

Neural olfactory loss dapat terjadi karena : AIDS, alkoholism, alzheimer, malnutrisi,
trauma kepala (dengan atau tanpa fraktur basis cranii bagian anterior atau area
lempeng kribiformis), neoplasma fossa cranii anterior, parkinson, psikosis Korsakoff,
defisiensi vit. B12, defisiensi zinc, tindakan bedah saraf, terpapar zat neurotoxic
(ethanol, amphetamines, kokain topikal, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok),
huntington’s chorea, beberapa kelainan kongenital, seperti Kallmann Syndrome dan
beberapa kelainan endokrin juga dapat mempengaruhi pesepsi penghidu, seperti
Chusing syndrome, hipotiroid, dan diabetes mellitus.

II. 2. Patogenesis

Pada mamalia, kemungkinan terdapat 300-1000 gen reseptor olfactorius pada 20


famili berbeda yang terdapat pada bermacam-macam kelompok kromosom. Gen reseptor
terdapat pada lebih dari 25 lokasi berbeda pada kromosom manusia. Protein reseptor
olfactory adalah protein G yang berpasangan dimana terdapat 7 alpha-helical transmembran.
Setiap neuron olfactorius mengekspresikan hanya satu, atau sedikit gen reseptor, memberikan
dasar molekular dari beranekaragam aroma. Jadi, sistem olfactorius memiliki 3 karakter
penting, yaitu: (1) Gen reseptor yang sangat beragam membuat respon terhadap aroma yang
beragam, (2) Reseptor protein secara spesifik membedakan aroma, (3) Asosiasi aroma
disimpan dengan baik di memory dalam waktu yang lama.

II. 3. Etiologi

Banyak pasien mengalami disfungsi olfactory disebabkan karena satu atau lebih dari
beberapa penyebab sebagai berikut: obstruksi nasal dan penyakit sinus, post infeksi saluran
napas atas, trauma tengkorak, dan kelainan kongenital. Penuaan, paparan toxin, dan penyebab
idiopatik juga berperan dalam hilangnya kemampuan menghidu.

A. Obstruksi nasal dan infeksi saluran napas atas

Aliran udara melewati medial dan anterior ke bagian bawah dari turbinate
medial untuk mencapai olfactory cleft. Obstruksi nasal pada area ini atau yang
diatasnya, dapat disebabkan oleh pembengkakan mukosa yang hebat, tumor, polip
nasi, atau deformitas tulang dapat menyebabkan hyposmia atau anosmia. Pasien
sering mengeluh kehilangan kemampuan menghidu selama infeksi saluran napas
atas. Umumnya, gejala ini disebabkan karena obstruksi jalan napas yang
merupakan akibat sekunder dari pembengkakan mukosa. Kemampuan olfactorius
dapat membaik atau kembali normal dengan menghilangnya sumbatan tersebut.

B. Kerusakan Nervus Olfaktorius

Bisa disebabkan karena infeksi virus, tumor pada N.Olfaktorius itu sendiri,
tumor intrakranial yang menekan N.Olfaktorius. Pada infeksi virus yang
menyebabkan kerusakan N.Olfaktorius dapat menyebabkan anosmia atau sensasi
penghidu yang samar-samar dan tidak ada bedanya untuk semua rangsang bau-
bauan . Pada tumor N.Olfaktorius diagnosis pasti dengan pemeriksaan histologik
dan terapinya dengan pembedahan. Tumor intrakranial yang menekan
N.Olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan
menimbulkan kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang. Osteoma
atau meningioma di dasar tengkorak atau sinus paranasal dapat menimbulkan
anosmia unilateral.

C. Trauma tengkorak

Kurang lebih 5-10% pasien dewasa dengan trauma kepala mengeluh


kehilangan kemampuan menghidu sampai dalam tingkat anosmia. Derajat
kehilangan kemampuan menghidu pada umumnya dihubungkan dengan 2 hal,
yaitu: beratnya trauma dan area yang terkena trauma. Anosmia total kemungkinan
besar didapat lebih sering pada trauma occipital. Sedangkan trauma pada frontal
yang paling sering menyebabkan hilangnya kemampuan menghidu. Kelainan
pengidu ini mungkin dapat sembuh, terjadi beberapa minggu setelah trauma. Bila
setelah 3 bulan tidak membaik kemungkinan prognosa buruk.

D. Anosmia kongenital

Kemungkinan, tipe anosmia congenital yang paling dikenal adalah Kallmann


Syndrome, dimana kelainan yang X-linked. Kallmann syndrome dicirikan dengan
adanya hipogonadotropik hipogonadism, dimana hasilnya ketika neuron reseptor
olfactorius dan neuron sintesis Gn-RH gagal bermigrasi dari placode olfactorius.
Gen yang bertanggung jawab (KAL) sudah di clone.

E. Penuaan

Penuaan dan dementia yang berhubungan dengan penyakit dapat


menyebabkan hilangnya kemampuan menghidu. Sensitivitas menghidu cenderung
menurun drastis pada 6-7 decade kehidupan manusia. Berkurang atau hilangnya
daya penghidu terutama terhadap zat yang berbentuk gas. Secara anatomi, elemen
selluler yang berhubungan dengan penghidu berkurang seiring dengan
bertambahnya usia, misalnya pada volume bulbus olfactorius (pada basis cortex
bagian frontal). Penyakit Alzheimer dan Parkinson dapat dihubungkan juga
dengan disfungsi olfactorius. Pada pasien-pasien ini, mekanisme tersering adalah
kerusakan pada bulbus olfactorius atau cortex sentral olfactorius yang
menyebabkan kehilangan kemampuan deteksi dan rekognisi olfactorius.

F. Kelainan psikologik dan psikiatrik

Merasa rendah diri karena menganggap dirinya bau badan atau bau napas. Jika
setelah diperiksa ternyata tidak ada kelainan perlu diyakinkan dan dihilangkan
gangguan psikologisnya. Kelainan psikiatrik seperti depresi, skizofren, atau
demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Pasien dengan depresi dan
schizophrenia mungkin dapat kehilangan kemampuan menghidu yang juga
sebagai bagian dari penyakit yang dideritanya. Ketika pasien depresi mengalami
perubahan kemampuan mengecap, kemampuan untuk identifikasi aroma biasanya
normal. Apabila tidak demikian, keluhan pada penghidu paling sering berasal dari
masalah pada SSP. Ini mungkin proses kimiawi yang sama yang menyebabkan
gejala depresi mempengaruhi hubungan neural antara sistem limbik dengan
hipotalamus.

G. Toxin dan faktor lainnya

Kehilangan kemampuan menghidu oleh karena toxin dapat terjadi dalam


beberapa hari sampai tahunan. Paparan formalin adalah salah satu contoh
keracunan yang dapat terakumulasi dalam jangka waktu tahunan. Sebagian besar
bahan yang dapat menyebabkan kehilangan kemampuan menghidu, baik gas atau
aerosol yang masuk ke dalam hidung bersama dengan aliran udara respirasi.

II. 4. Gambaran Klinis


A. Tanda dan Gejala

Sangat penting mengetahui onset dan perkembangan dari gangguan penghidu


dalam membuat diagnosa berdasarkan etiologi. Anosmia unilateral jarang
menimbulkan keluhan; ini hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan setiap
rongga hidung secara tidak bersamaan. Lain halnya apabila Anosmia bilateral,
yang menimbulkan keluhan pada pasien. Pasien anosmia biasanya mengeluh
kehilangan kemampuan mengecap meskipun ambang pengecapan mereka
mungkin dalam batas yang normal. Dimana sebenarnya mereka mengeluh
kehilangan kemampuan mendeteksi rasa yang mana sebagian besar merupakan
fungsi dari penghidu.

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan secara lengkap dari telinga,


saluran napas atas, kepala, dan leher. Kelainan di setiap area kepala dan leher
dapat menyebabkan disfungsi olfactory. Dengan adanya otitis media serosa, dapat
memicu terjadinya masa atau inflamasi pada nasofaring. Pemeriksaan hidung yang
teliti mencari masa di hidung, gumpalan sekret, polip, dan inflamasi membran
nasal sangat penting. Bila mungkin, rhinoskopi anterior dan rhinoskopi posterior
untuk melihat apakah ada kelainan anatomik, yang menyebabkan sumbatan
hidung, perubahan mukosa hidung, tanda-tanda infeksi atau adanya tumor.
Pemeriksaan juga dapat didukung dengan pemeriksaan endoskopi rongga hidung
dan nasofaring. Adanya telechantus pada pemeriksaan mata mungkin dapat terjadi
masa atau inflamasi pada sinus. Masa di nasofaring yang menonjol kedalam
rongga mulut atau aliran cairan purulent pada orofaring dapat ditemukan pada
pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mengetahui adanya masa atau
pembesaran tiroid. Pemeriksaan neurologis penting ditekankan pada saraf cranial
dan cerebellar dan fungsi sensorimotorik. Suasana hati pasien secara umum dan
tanda-tanda depresi harus dicatat.

C. Pemeriksaan laboratorium
Teknik sudah berkembang untuk biopsi neuroepitel olfactorius, tetapi karena
degenerasi neuroepitel yang tersebar luas dan adanya epitel pernapasan pada area
olfactorius orang dewasa tanpa disfungsi olfactorius yang jelas, hasil biopsi harus
diinterpretasikan dengan hati-hati.

D. Radiology

CT Scan atau MRI bagian kepala diperlukan untuk menyingkirkan


kemungkinan neoplasma pada fossa cranii anterior, sinusitis paranasal, neoplasma
pada rongga hidung dan sinus paranasal. Abnormalitas tulang paling baik dilihat
dengan CT Scan, sedangkan MRI sangat berguna untuk mengevaluasi bulbus
olfactorius, ventrikel, dan jaringan lunak lain pada otak. Coronal CT sangat baik
untuk memeriksa lempeng kribiform, fossa cranii anterior, anatomi dan penyakit
sinus.

E. Evaluasi sensori

Evaluasi sensori fungsi olfactorius diperlukan untuk menguatkan keluhan


pasien, evaluasi keberhasilan pengobatan, menentukan derajat kerusakan
permanen.

• Step 1: Menentukan sensasi secara kualitatif

Langkah pertama dalam evaluasi sensori adalah menentukan derajat


berdasarkan sensasi yang ada secara kulitataif. Beberapa metode yang dapat
digunakan untuk evaluasi penghidu:

a. The odor six test


The odor six test menggunakan spidol yang menghasilkan aroma. Spidol
dipegang ± 3-6 inch dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi aroma
secara kasar.

b. The twelve-inch alkohol test

Test lain yang berguna untuk memeriksa persepsi terhadap aroma secara
kasar. Twelve inch alkohol test menggunakan paket isopropil alkohol yang
baru dibuka dan dipegang dengan jarak 12 inch dari hidung pasien.

c. Scratch-and-Sniff card

Sekarang sudah dijual bebas scratch and sniff card yang terdiri dari 3
aroma untuk test penghidu secara kasar.

d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)

Test ini sangat direkomendasikan untuk mengevaluasi pasien dangan


gangguan penghidu. Test ini menggunakan 40 objek yang sudah
ditentukan yang seperti aroma yang dihasilkan scratch and sniff card.
Contohnya, pada salah satu objek tertulis, “ Aroma ini paling
kemungkinan besar aroma (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang atau (d) buah-
buahan.” Pasien diinstruksikan untuk memilih salah satu pilihan jawaban.
Tesi ini sangat dapat dipercaya dan sensitive terhadap umur dan gender
yang berbeda-beda. Test ini menentukan secara kualitatif defisit
olfaktorius relatif dengan akurat. Orang dengan fungsi olfactorius yang
hilang total mempunyai skor 7-19 dari 40. Skor rata-rata untuk anosmia
total agak sedikit tinggi dari yang diharapkan karena adanya aroma yang
masuk dan menstimulasi trigemius.

• Step 2: Menentukan ambang deteksi


Setelah menentukan derajat berdasarkan sensasi yang ada secara kulitatif,
langkah kedua evaluasi sensori adalah untuk menetapkan ambang dalam
mendeteksi aroma fenil-etil alkohol. Ambang ini ditetapkan dengan pemberian
stimulus secara bertahap. Sensitivitas tiap sisi hidung ditentukan dengan
mendeteksi ambang penghidu terhadap fenil-etil metil etil karbinol. Resistensi
hidung juga dapat diukur dengan rhinomanometry anterior pada tiap sisi
hidung.

II. 5. Differensial Diagnosis

Saat ini tidak ada metode psikofisik untuk membedakan sensori dari hilangnya
kemampuan olfactorius. Beruntung, dari beberapa pengalaman yang didapat tentang
hilangnya kemampuan olfactorius memberikan petunjuk penting terhadap penyebabnya.
Penyebab tersering gangguan olfactorius adalah trauma kepala dan infeksi virus. Trauma
kepala lebih sering menyebabkan anosmia pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan
infeksi virus lebih sering menyebabkan anosmia pada orang dewasa.

A. Infeksi virus

Infeksi virus merusak neuroepitel olfactorius; dan perannya digantikan oleh


epitel pernapasan. Parainfluenza virus tipe 3 secara khusus merusak penghidu
manusia. Infeksi HIV dihubungkan dengan penyimpangan penghidu dan pengecap
secara subjektif, dimana akan bertambah berat seiring dengan berjalanya proses
penyakit. Lebih penting lagi, kehilangan kemampuan mengecap dan menghidu
berperan penting dalam perkembangan dan progresifitas dari HIV yang sudah
berat.

B. Trauma tengkorak

Trauma tengkorak diikuti oleh kelemahan kemampuan menghidu bilateral atau


unilateral sampai 15% dari kasus yang ada. Anosmia lebih sering terjadi daripada
hyposmia. Disfungsi olfactorius lebih sering berhubungan dengan hilangnya
kesadaran, trauma kepala yang lebih berat (grade II-IV), dan fraktur tengkorak.
Cidera dan fraktur pada bagian frontal yang sampai membentuk lubang dapat
merusak lempeng kribiform dan axon olfactorius. Kadang-kadang ada rhinorrhea
yang berasal dari CSF merupakan dampak dari sobeknya duramater yang
melewati lempeng kribiformis dan sinus paranasal. Anosmia juga dapat terjadi
pada trauma bagian occipital. Sekali anosmia karena trauma berkembang,
biasanya bersifat permanen, hanya kurang dari 10% pasien pernah membaik atau
pulih normal kembali. Perasaan penghidu yang tidak wajar mungkin dapat terjadi
pada fase proses penyembuhan. Terapi dengan zinc-sulfat dapat memberikan
perbaikan pada gangguan penghidu post trauma.

C. Anosmia kongenital

Anosmia kongenital sangat jarang terjadi tetapi sangat penting. Kallmann


Syndrome, dimana kelainan yang X-linked, neuron reseptor olfactorius dan
neuron sintesis Gn-RH gagal bermigrasi dari placode olfactorius, gen (KAL)
sudah di clone. Kallmann syndrome dicirikan dengan adanya anosmia kongenital,
dan hipogonadotropik hipogonadism. Anosmia juga dapat terjadi pada orang
albino. Terdapat sel reseptor tetapi hipoplastik, tidak bercilia, dan tidak
berkembang diantara sel-sel pendukungnya.

D. Meningioma, adenoma, dan aneurisma

Meningioma pada bagian inferior frontal adalah penyebab neoplastic tersering


yang dapat menyebabkan anosmia; jarang anosmia yang disebabkan karena
glioma pada lobus frontalis. Kadang-kadang, adenoma hipofisis,
kraniofaringioma, meningioma suprasellar, dan aneurisma bagian anterior dari
lingkaran Willis mendesak dan merusak struktur olfactorius. Tumor-tumor dan
hamartoma tersebut dapat juga mencetuskan kejang dengan halusinasi penghidu,
yang menandakan keterlibatan uncus pada lobus temporal.

II. 6. Terapi

A. Transport Olfactory Loss


Terapi pasien dengan transport olfactory loss yang disebabkan karena rhinitis
alergi, rhinitis dan sinusitis karena bakteri, polip, neoplasma, dan struktur rongga
hidung yang abnormal dapat diatasi secara rasional dan dengan kemungkinan
besar dapat terjadi perbaikan. Pengobatan berikut ini biasanya efektif dalam
mengembalikan kemampuan penghidu: (1) Management alergi; (2) Terapi
antibiotik; (3) Terapi glukokortikoid topikal dan sistemik; dan (4) Operasi polip
nasi, deviasi septum nasi, dan kronik hiperplastik sinusitis.

B. Sensorineural Olfactory Loss

Tidak ada pengobatan yang bermanfaat untuk sensorineiral olfactory loss.


Beruntung, perbaikan spontan sering terjadi. Beberapa ahli menganjurkan
pengobatan dengan pemberian zinc dan vitamin. Defisiensi Zinc yang berat dapat
menyebabkan kehilangan dan penyimpangan dalam menghidu, tetapi tidak
menimbulkan masalah kesehatan, kecuali pada daerah geografis yang sangat
terbatas. Terapi vitamin lebih dominan kepada pembentukan vitamin A.
Degenerasi epitel yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan anosmia, tetapi defisiensi vitamin A bukanlah masalah kesehatan
yang sering ditemukan di masyarakat negara barat. Paparan asap rokok dan zat
kimia beracun dalam udara dapat menyebabkan metaplasia epitel olfactorius.
Perbaikan spontan dapat terjadi bila paparan dihilangkan; oleh karena itu,
konsultasi pasien sangat membantu pada kasus ini.

C. Presbyosmia

Sebelumnya telah disebutkan, lebih dari setengah jumlah orang dengan usia
lebih dari 60 tahun menderita disfungsi olfactorius. Tidak ada terapi yang efektif
untuk presbyosmia, tetapi sangatlah penting mendiskusikannya dengan pasien
lansia. Hal ini dapat menenangkan pasien ketika dokter mengenali dan
mendiskusikan gangguan penghidu yang sering dialami. Lagipula keuntungannya
dapat mengidentifikasi masalah lebih awal; kejadian kecelakaan yang
berhubungan dengan gas alam sangatlah tidak seimbang pada pasien lansia,
mungkin karena kehilangan kemampuan menghidu yang bertahap. Mercaptan, gas
alam dengan aroma yang tajam, menstimulasi olfactorius bukan trigeminus.
Banyak pasien lansia dengan disfungsi olfactorius mengalami penururnan
kemampuan mengecap. Metode yang paling sering dilakukan yaitu dengan
menambah jumlah garam pada makanan mereka. Konseling yang hati-hati dapat
membantu pasien ini mengembangkan strategi kesehatan untuk mengatasi
masalah penurunan kemampuan menghidu mereka.

II. 7. Prognosis

Dampak dari disfungsi olfactorius sangat tergantung dari etiologinya. Disfungsi


olfactorius karena sumbatan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi
septum dapat kembali normal. Ketika sumbatan dihilangkan, kemampuan olfactorius akan
kembali normal. Sebagian besar pasien yang kehilangan kemampuan menghidunya karena
infeksi saluran napas atas dapat sembuh total; meskipun demikian, beberapa pasien tidak
pernah sembuh setelah gejala di saluran napas atas membaik. Untuk alasan yang kurang jelas,
pasien ini sebagian besar adalah wanita pada 4,5,6 dekade kehidupannya. Prognosa untuk
sembuh secara umum kurang baik. Kemampuan identifikasi olfactorius dan ambang
mengalami kemunduran yang progresif seiring dengan berjalannya usia. Trauma kepala pada
bagian frontal paling sering menyebabkan hilangnya kemampuan olfactorius, meskipun
demikian, anosmia total 5 kali lebih banyak pada cidera ocipital. Perbaikan dari fungsi
olfactorius post trauma tengkorak hanya 10% dan qualitas kemampuan olfactorius setelah
perbaikan biasanya kurang baik. Paparan toxin seperti asap rokok dapat menyebabkan
metaplasia epitel olfactorius. Perbaikan dapat terjadi dengan menghilangkan agen
penyebabnya.

Terapi Alternatif

Menemukan dan mengobati faktor penyebab adalah hal yang pertama kali dilakukan
dalam pengobatan natural. Jika rinitis adalah penyebabnya, mengobati rinitis akut dengan
obat herbal yang mast cell stabilizers dan obat herbal dekongestan dapat memberikan rasa
nyaman sewaktu tubuh mulai menyembuh. Jika terdapat rinitis kronik, ini biasanya
berhubungan dengan iritans dari lingkungan atau alergi makanan. Menghilangkan faktor
penyebab merupakan langkah pertama untuk penyembuhan. Nasal steam dengan
menggunakan essential oils dapat menghilangkan sumbatan dan menguatkan membran.
Sumbatan seringkali dapat diobati dengan terapi spesifik (meluruskan kembali dari nasal
cavities). Sumbatan karena polip dapat diobati melalui pengobatan botanikal yang disebut
dengan hydrotherapy. Kerusakan dari nervus olfaktorius tidak dapat disembuhkan.
Penciuman yang kurang sensitif dapat diselesaikan dengan mengunakan obat-obat
homeopathic.

You might also like