You are on page 1of 6
141 INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT) Nanang Sukmana PENDAHULUAN Kecepatan dan ketepatan penanganan intoksikasi (keracunan) sangatlah penting agar penderita dapat. segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai penanganan kasus keracunan mendapat kesulitan karena penyebab yang sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami kerusakan akibat zat/bahan penyebab. Setiap keadaan yang menunjukkan keleinan multi- sistem dengan penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan, misalnya bila ditemukan ppenurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada. aritmia yang mengancam nyawa atau pekerja yang menunjukkan gejala Klinis di lingkungan kerja yang mengandung bahan kimia, asidosis metabolik yang suker dicari penyebabnya, tingkah laku aneh ataupun kelainan neurologis dengan kausa yang suker diketahui Dari keadean tersebut di atas maka setiap Klinikus harus mempunyai kemampuan dan penalaran yang baik untuk dapat menegakkan diagnosis keracunan meskipun dihadapkan dengan kasus yang rumit. Pada tulisan ini akan dibahas ‘simtomatologi dan penetalaksenaan darurat pade pengguna zat adiktif ‘Simtomatologi Opiat Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatologi yang hampir sama yaitu golongan opiat (morpin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif: 1). narkotika 2), barbiturat. 3). benzodiazepin. 4). meprebamat.§). etandl. Tanda dan gejala yang sering ditemukan : koma, depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat) PRINSIP PENATALAKSANAAN KASUS KERACUNAN Mengingat kecepatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya keracunan dapat mengancam nyawe maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan kepada hal seperti berikut: 1). Penatalaksanaan kegawatan 2),Penilaian klinis. 3). Dekontaminasi racun. 4), Pemberian antidotum. 5), Terapi suportif.6). Observasi dan konsultasi 7), Rehabilitasi. Dari rincian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa yang paling utama adalah menentukan besar masalah yang muncul untuk segera diatasi. Penatalaksanaan Kegawatan Berhubung setiap keracunan dapat mengancem nyawe maka walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan make setiap kasus keracunan harus diperlakukan seperti pads keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secare cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Semua urutan resusitasi seperti yang ‘umumnya dilakukan, yaitu : A (Airways), bebaskan jalan napas dari sumbatan behen, muntahan, lendir, gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat penghisap lendir. (Breathing), jaga agar pemapasan sebaik mungkin dan bila memang diperlukan dapat dengan alat respirator. (Circulation), tekanan darah dan volume cairan harus dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid) Bila terjadi henti jantung lakukan RIP (Resusitasi Jantung Panu) 1054. INTOKSIKAS! NARKOTIKA (OPIAT) Penilaian Klinis Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penatalaksanaan keracunan harus segera dilakuken tanpa menunggu hasil penapisan toksikologis. Walaupun diagnosis etiologi hampir sebaglan sullt ditegakkan akan tetepi dengan penilaian dan pemeriksaan klinis yang cermat dapat ditemukan beberapa kelompok kelainan yang memberi arah kepada diagnosis etiologi. Oleh karena itu pada kasus keracunan bukan saja hasil laboratorium toksikologis yang selalu harus diperhatikan akan tetapi stander pemeriksaan kasus keracunan yang telah disetujui di masing-masing rumah, sakit perlu dibuat untuk memucahkan penanganan yang, bertepat guna. Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat perhatian karena dapat mengancam nyawa ialah: koma, kejang, henti jantung, henti napas dan syok ‘Anamnesis. Upaya yang paling penting adalah anamnesis, atau allo-anamnesis yang rinci. Beberapa pegangan, anamnesis yang penting dalam upaya mengatasi keracunan ialah : + Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan termasuk obat yang sering dipakei. + Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas tentang obat yang digunakan. + Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksiko- logis) sisa obat, muntahan yang masih ada. + Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis. Pemeriksaan Fisis. Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda atau kelainan akibat keracunan yaitu pemeriksean kesaderan, tekanan darah, nadi, denyut Jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan Iainnya. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fisik harus dilakukan berulang, Dekontaminasi Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi saluran cera ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan kumbah lambung. Beberapa upaya lain untuk mengelvarkan bahan/ ‘obat dapat dilakukan dengan dialisis, akan tetapi kadang- kadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan pengganti 1055 Pemberian Antidotum Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip, tutama adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Apalagi antidotum belum tentu tersedia setiap saat. Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara holistik dan cost effectivenes disesuaikan dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan, OPIAT Umumnya kelompok opiat digunakan untuk mengatasi nyeri melalu mekanisme efek depresi pada otak (depressant effect on the brain). Morfin yang merupakan bagian dari kelompok ini sering digunakan (untuk medis) pada nyeri dada, edema paru dan untuk mengatasi rasa sakit berlebih pada keganasan. Akan tetapi dalam perkembangannya sering disalahgunakan. Untuk mengetahui lebih jauh beberapa obat yang termasuk golongan narkotika yang sering dijumpai di lapangan yaitu: walaupun penyalahgunaan obat tersebut sering dilaporkan, misalnya di New York 1970 terjadi kematian 1200 penderita karena overdosis dan di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 10.000 kematian karena kelebihan, dosis, akan tetapi angka kematian (karena over dosis) di Indonesia belum ada pelaporen. Belum adanya laporan ini jangan sampai melengahkan para klinisi karena mungkin ssaja kasus penyalahgunaan obat akan bertambah seiring dengan kemajuan zaman. Pengaruh obat terhadap susunan saraf pusat (SSP) sangat bervariasi dari berbagai obat tersebut di atas. Sedanyken penemuan secara patologis pada kematian yang disebabkan overdosis gambarannya tidak khas. Farmakologi Opiat Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putaw) di dalam ‘tubuh akan dihidrolisis oleh hati (6 ~ 10 menit) menjadi een TASS oF ise eer reuters pe tee ie rt Souci ae ee oa Se Loperamid (imodium) 05 ee ee Morfin 0,2 10 Naloxone (Narcan) *) Opium (Papaversomniferum) 03 Pentazocaine (Talwin) 03 *) Antagonis narkotika. Dosis s/d 5 mg tidak menyebabkan kematian 1056 6 monoacetyl morphine dan setelah itu akan diubah menjadi morfin, Yang selanjutnya diubah menjadi Mo 3 ‘monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut di dalam air. Sentuk metabolit ini yang dapat di tes di dalam utin Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan tersebut (+ 60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu yang cepat. Mekanisme Toksisitas Pada umumnya kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner yang akut (non kardiogenik) mekanismenya masin belurn jeles. Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing Jenis obat opiat tergantung cara (rute) pemberian, efek toleransi (pernakai kronik), lama kerja dan masa paruh obat. yang akhimnya akan menentukan tingkat toksisitas. Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak) maka mekanisme toksisitas dan antidotnya dapat diterangkan melalui reseptor Beberapa jenis reseptor ialah + Reseptor Mut (m1) : berefek analgesik, euforia, dan hipotermia + Mu2 (m2): bradikardi, depresi nepas, miosis, euforie, penurunan kontraksi usus dan ketergantungan fisk + Reseptor Kappa (k) : spinal analgesik, depresi napas dan miosis, hipotermia. + Reseptor Delta (a): depresi napas, dispori vasomotor stimulasi.. + Reseptor Gamma (y) analgesik. halusinasi, Inhibisi Otol polos, spinal DIAGNOSIS Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi napas dan membaik setelah pemberian nalokson) maka penegakan secara klinis dapat dengan mudah. Kadang- kadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle track sign), Pemeriksaan laboratorium tidak selalu selring dengan gejala Klinis, Pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan diagnosis keracunan opiat dan zat adiktif lainnya. GAMBARAN KLINIK Umumnya kasus keracunan dari golongan narkotike cenderung adanya penurunan kesadaran (sampai koma) ‘TOKSIKOLOG: ¥ x cee Morin Ag Ronee inne ee a Meperidin ant ag Ag 0 @) 3 Nolorpin ant Ag (Ag) ; i eae Nalokson Ant Ant Ag Ant ey oO (oa dan gangguen sistem pernapasan (depresi napas). Kits perlu mengetahui tande dan gejala keracunan akut bail karena pemakaian per oral maupun parenteral. Dosis toksis selalu akan menyebakan kesadaran yang turun sampai koma, pupil yang pin point dapat teres dilatasi pupil pada anoksia yang berat, pernapasan yang pelan (depresi pernapasan), sianosis, nadi yang lemah hipotensi, spasme dari saluran cerna dan bilier, dapat terjadi edema paru, dan kejang. Kematian karena gags! napas dapat terjadi dalam 2 - 4 jam setelah pemakeian ‘oral maupun subkutan, sedang pada pemakaian secere intravena dapat berlangsung lebih cepat lagi. Beberaps tanda gejala yang dapat terjadi ialah hipertermi, aritmis Jantung, hipertensi, bronkospasme, parkinson like syndrome, nekrosis tubular akut yang terjadi karena rabdomiolisis dan mioglobulinuria, gagal ginjal. Kult dapat berwara kemerahan, dapat terjadi leukositosis dan hipogtikemia (pernah dilaporkan). Kasus-kasus keracunan opiat merupakan bagian keci dari seluruh pemakai sesuai dengan fenomena gunung es seperti tertera di bawah i Gambar 1. Fenomena gunung es pemakai narkoba Pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar dalam darah tidak selalu diperlukan karena pengobatan berdaser, besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi kadar/jenis obat. Pada evaluasi perlu pemeriksaan analise darah serial, penilaian fungsi paru dan foto dada untuk kasus dengan kelainan paru, di samping pemeriksaan glukosa darah dan elektrolit. INTOKSIKAS! NARKOTIKA (OPIAT) 1057 PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT Sebelum melangkah pada pengobatan maka para klinisi perlu mengetahui alur penatalaksanaan keracunan opiat seperti dibawah In! agar mendapat suatu gambaran yang Jjelas. Intoksikasi golongan opiat ‘Aloanamnesa Riayat pemakaian obat Bekes suntiken (Needle track sign) Pemeriksaan urin Trias intoksikasi opiat Depresi napas Pupil pin-point Kesadaran menurun (koma) Suport sistem pernapasan dan sirkulasi Nalokson intravena (ihat protokol) ‘Observasi/pengawasan tanda vital dan dipuasakan selama 6 jam Gambar 2. Alur tatalaksana intoksikasi opiat Gejala Klinis Penurunan kesadaran disertai salah satu dari 1), Frekuens! pernapasan < 12 kali/menit; 2). Pupil miosis (seringkall pin-point); 3). Adanya riwayat pemakaian morfin/heroing terdapat needle track sign. Tindakan + Penanganan kegawatan: 1). Bebaskan jalan napas:2) Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan; 3). Pasang infus dektrose 5% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan koloid bila diperlukan + Pemberian antidotum nalokson: 1). Tanpa hipo- ventilasi: Dosis awal diberikan 04 mg iv; 2). Dengan hipoventilasi: Dosis awal diberikan 1 2 mg iv 2). Bila tidak ada respons dalam 5 menit, diberikan nalokson 1-2. mg vhingga timbul respons perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil atau telah mencapai dosis maksimal 10mg. Bila tetap tidak ada respons lapor konsulen tim narkoba; 4). Efek nnalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda-tanda penurunan kesadaran, pernapasan dan perubahan pada pupil serta tanda vital lainnya selama 24 jam. Untuk pen- cegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 cc D5% atau NaC! 0,9% diberikan dalam 4-6 jam; 5). Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto dada; 6). Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube) bila: a). Per- napasan tidak adekuat, b). Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, ©). Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson ke- 2; 7). Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik + Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian !imu Penyakit Dalam untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi. + Dalam menjalankan semua tindakan harus memper- hatikan prinsip-prinsip kewaspadaan universal oleh karena tingginya angka prevalensi hepatitis C dan HIV. + Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspiresi PENGOBATAN + Nalokson. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi ‘opiat baik kasus dewasa maupun anak. Dosis dewasa 042.0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat dengan pemanduan perbaikan gejala klinik. Dapat dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek nnalokson sekitar 2 - 3 jam. Bila dalam observasi tidak ada respon setelah pemakaian total 10 mg (nalokson) diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang. (Gambar 3) + Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu pemberian nelokson disamping oksigen dan respirator bila dipertukan. + Hipotensi diberikan cairan intravena yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin dengen dosis 2 - § mcg/Kg 88/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan. + Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral) + Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral , awasi jalan napas dengan bak 1058 TOKSIKOLOG Pasien Pengguna Opiat Emergensi komplikasi (ARDS, AIDS, dll) (HCV, pneumonia drug abuse, HIV dll) | | Isp POLIKLINIK RAWAT JALAN r Penanganan sesuai besar masalah Penanganan sesuai besar masalah INDIKASI RAWAT INDIKASI RAWAT. TAK Ya TIDAK YA J serosa init ontrot mtn) Rang Rawat Tans ides laisesces ee aa ma Perburukan Pulang Hou eae POLIKLINIK RAWAT JALAN Detoksifikasi konvensional di RS/berobat jalan Detoksifikasi cepat dengan anestesi REHABILITASI Gambar 3. Protokol penanganan intoksikasi opiat di unit gawat darurat, * Activated Charcoal dapet diberikan pada intoksikasi_ - REFERENSI peroral dengan memberikan 240 mi cairan dengan 30 sol ; Scekbeleas a g charcoal. Dapat diberikan sampai 100 gram. Bitikofer JA. Toxicology. Dalam : Bishop ML. Fody EP, Duben + Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam iv 5 - ee ees ee he ate gea Lrinca 10 mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor Bronstein AL Currance PL. Morphine sulfate, Dalam: Weiner R- tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi Culverwell (Editors). Emergency carefor Hazarciousmaterials epee ailadkat Inline exposure. Missouri: Mosby Company, 1988: 280-1 (Chiu LPW. Diagnosis and Management of drug abuser. Medicine Digest 1996; 14: 18 -25 INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT) 1059 Dreisbach RH, Robertson WO, editors. Handbook of poisoning ‘Narcotic analgesic. Norwalk: Appleton & Lange, 1987 : 204-8 Grant HD, Murray RH, Bergeron JD, editors. Basic life support ‘Theairway and pulmonary resuscitation. Emergency care. Fift ‘edition. London ; Prontice Hall Intemational Faitione 1990 Handley AJ, Fisher JM. Dalam : Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR (Editors). Dalam : ABC of Resuscitation. London BM] Publishing Group, 1995:1 ~5, Hung OL, Hoffman RS, Opioid Intoxication, Reversal, Medical Progress 1997; 24:39 - 43, Micromédex, Inc. Volume 93. 1997. Olson KR. Opiats and Opioids. Dalam : Olson KR, Anderson 1B, Blanc PD, Benowitz NL, Keamey TE, Osterloh JD dan Woo OF (Editors) Poisoning & Drug Overdose. Norwalk: Appleton 1994: 238 = 40 Sukmana N. Penatalaksanaan kasus keracunan bahan kimia cobat-obatan. In service training for National and Provincial level poison information centre and hospital statt: Uiektorat Pengawasan Narkotika dan Bahan berbahaya, Jakarta 5-17 Desember 1994, Widodo D, Sukmana N, Basti, Husni Azis, Muchtar A, Latif A. Kasus keracunan akut di RSUPN Cipto Manguniusumo (ahun 1996 - 1997). Tim Penanggulangan dan Informasi Keracunan RSCM - Jakarta. Widodo D.Pelatihan tatalaksana perawatan kasus penyalahgunaan, bat dan bahan berbahaya. Jakarta 25 ~ 29 Nopember 1996 Schrank KS. Poisoning. Dalam : Gardner LB (Editors). Acute Internal Medicine. New York : Elsevier Science Publishing, Co, 1986: 467 - 82 Snodgrass WR. Dalain : Klaassen CD, Amdur MO, Dowll J. (Editors). Toxicology. The basic science of Poisons. New York: ‘McGraw ~ Hill, 1996: 969 - 86.

You might also like