You are on page 1of 442
¢ ig \\ 16-1 -1m a CeO} SYAHID MUHAMMAD (ELEFTHERIAWORDS) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH Tentang KALA. Tentang proses, romansa. Ya hidup. Dengan penyampaian yang.. ah, baca saja. Semoga tenggelam. ~ @ghumaydha Novel yang sungguh puitis, bahkan untuk orang-orang yang menyukai puisi dan terlalu manis untuk dilewatkan mereka yang tidak menyukai puisi. Novel ini untuk semua orang yang sempat kehilangan sesuatu dalam dirinya, dan tetap percaya bahwa kelak nanti akan menemukannya kembali. ~ Tia Setiawati (Penulis Buku Perempuan Penggenggam Rindu) Kisah cinta yang lahir dari kolaborasi 2 penulis muda berbakat. Diksi yang indah dari 2 sudut pandang yang berbeda dikemas dengan alur yang menarik membuat pembaca tidak sulit untuk memahami karakter Saka dan Lara. Bacalah, maka kau akan tau bagaimana indahnya menginterpretasikan gambar ke dalam aksara. ~ Hani (bookstagrammer) Satu kisah romansa dari dua penulis muda berbakat yang bisa dikategorikan unik, dengan pemilihan diksi yang tidak umum digunakan oleh penulis-penulis muda zaman sekarang. Alur kisah yang manis, diceritakan dalam sudut pandang masing-masing (Saka dan Lara). ~ F. Annisa (bookstagramer, guru) Sebuah kisah sederhana yang mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi dengan pemilihan kata yang luar biasa indah. Kisah yang ingin terkubur, namun dia akan selalu menemukan celah untuk muncul dalam memorimu. Sebab Saka dan Lara adalah kau dan dia. ~ Elmaria (Master Student in Acturial Science, Kent University) Novel ini recomended banget bagi kalian yang suka bacaan berbau- bau sastra puisi dan yang gagal move on dalam percintaan. ~ Amberr Untuk para penikmat sastra, buku ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk dibaca untuk mengisi waktu senggang, dan untuk awam yang baru atau ingin belajar memahami sastra, buku ini merupakan pilihan yang tepat. ~ alineafajr Untuk pecinta genre romance buku ini sangat romantis. Saya membaca buku ini layaknya orang gila, senyum-senyum sendiri. Diksi dalam cerita ini amat sangat pas bikin baper. Covernya lucu hitam manis gimana gitu. ~ Syabillaptr Aku masih begitu terpukau dengan deretan kalimatnya. Menambah perbendaharaan kataku juga seperti: entitas, enigma, nisbi, dsb. Banyak kata-kata baru yang berseliweran, senang aku mendapatkan pengetahuan lebih. Sekali lagi, tidak picisan. ~ @ra.juwita Cocok buat yang suka novel yang agak puisi-puisi gitu, setelah kamu baca halaman pertama, aku yakin kamu gakan bisa berhenti sampai halaman terakhir. ~ @putridinaryr Kisah cinta dengan akhir yang lucu. Aku pun mau punya ending kaya dibuku ini. Semesta yang tidak mau meninggalkan sepasang manusia yang terluka. ~ irhammaladi (http://www.penar.org) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH STEFANI BELLA {HUJANMIMPI) SYAHID MUHAMMAD ({ELEFTHERIAWORDS) € GRADIEN MEDIATAMA AMOR FATI Penulis: Stefani Bella & Syahid Muhammad ISBN: 978-602-208-161-6 Penyunting: flo Penyelaras Aksara: Tri Prasetyo Desain Sampul dan Tata Letak: eleftheriawords, Techno Penerbit: Gradien Mediatama Redak: Jl. Wora-Wari A-74 Baciro, Yogyakarta 55225 Telp/Faks: (0274) 583 421 E-mail: redaksi@gradienmediatama.com Web: www.gradienmediatama.com Distributor Tunggal: TransMedia Pustaka Jin, Moh, Kahfi 2 No.13-14 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 : (021) 7888 1000 Fax: (021) 7888 2000 emasaran@distributortransmedia.com Cetakan Pertama, November 2017 Cetakan Kedua, Januari 2018 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin dari penerbit Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Stefani Bella & Syahid Muhammad AMOR FATI /Penulis, Stefani Bella & Syahid Muhammad — Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2017. 440 him. ; 13 x 19. cm ISBN 978-602-208-161-6 1. AMOR FATI 1, Judul I. flo 895 “Dalam sebuah KALA tempat kita bermula, pada sebuah percaya kita ingin bermuara.” Thanks To \\ AMOR FATI tak pernah direncanakan sebelumnya. Setelah kelahiran KALA, Tuhan dengan rencana-rencananya membawa kami pada kesempatan yang tidak pernah kami semogakan. Dengan Keromantisan Tuhan, hinggaplah kami pada masa yang siap untuk akhirnya AMOR FATI dapat terlahir dari dua pasang jari-jari kami. Oleh karena itu, kembali kami ingin memanjatkan syukur yang tiada henti tercurah. Izinkan kami mengucapkan terima kasih untuk setiap hal yang sempat bersinggungan di hidup kami. Terima kasih kepada Allah SWT, atas segala kesempatan lainnya, kekuatan, dan seluruh hal yang diberikan kepada kami hingga detik ini. Sebab, jika bukan karena izin-Nya karya ini tidak akan bisa lahir. Kepada keluarga kami, terima kasih atas doa, kasih sayang, dan support yang tidak pernah ada habisnya. Kepada editor kami, Mbak Aning, terima kasih sudah menemukan dan memberikan kesempatan kepada kami untuk menjadikan kolaborasi ini nyata. Dan, tentunya kepada seluruh tim Penerbit Gradien Mediatama yang terlibat—Mas Tepe, Mas Tikno, dan mereka-mereka yang belum kami kenal namanya—terima kasih. Sebab, tanpa kerja keras mereka buku ini tidak akan hadir. Kepada semua pembaca KALA dan tulisan kami lainnya, kalianlah yang sesungguhnya membuat AMOR FATI punya kesempatan untuk hidup di hati kalian. Kepada Fadil dan rekan-rekan di The Point Coffee & Drama di Jogja, terima kasih telah memberikan kami izin untuk menggunakan nama tempat coffee shop-nya. Juga, kepada Kyotown Coffee di Bandung yang menjadi tempat penulis untuk bisa meramu AMOR FATI. Dan, kepada Andry Bem Mandariana terima kasih untuk dukungannya yang tiada henti terhadap kami, juga terhadap KALA. Terima kasih atas kreativitas dan karyanya karena telah dengan luar biasa membuatkan sebuah lagu tentang SAKA dan LARA. Last but not least, kepada seluruh sahabat, teman, dan orang-orang yang mengenal kami—baik yang hanya singgah dan masih bertahan hingga sekarang—terima kasih sudah hadir dan memberikan banyak pelajaran akan kehidupan. Darl Kami with Camu \\ Hai, selamat berjumpa lagi! Bagaimana, sudah bosan dengan kisahku? Atau, justru semakin penasaran dengan ceritaku dengannya? Sebab, menurut kabar yang kudengar, kamu bahkan teman- temanmu cukup gemas dengan akhir yang katanya menggantung. Padahal siapa bilang itu menggantung? Menurutku, yang kemarin itu adalah akhir terbaik yang bisa aku ceritakan. Kamu tahu kan, meminta lebih terkadang justru tak akan berakhir baik? Bagaimana jika nanti pada apa yang kuceritakan ini, malah akan kamu temui hal-hal yang mengecewakan? Jangan protes! Ingat, ini juga maumu kan? Maka, saat ini aku putuskan untuk kembali, menyelesaikan apa-apa yang belum selesai. Ya, aku kembali, pada rangkaian kisah yang belum jua usai. Aku kembali, pada potongan-potongan kejadian yang membawaku untuk mengurai kembali segalanya agar lebih jelas. Bila pada kisah Jalu katamu aku terlalu egois dan menuntut, maka kali ini mungkin saja masih akan atau malah berubah. Entah aku tak tahu juga. Sudahlah, aku tahu kamu tak ingin berlama-lama membaca ini. Justru kamu mungkin lebih tertarik untuk membalik halamannya. Maka, segeralah balik halamannya Jalu lanjutkan cerita yang kemarin sempat tertunda. Tapi ingat, tak usah gemas sendiri. Ajak saja temanmu untuk ikut serta merasakannya. Sebab, kisahku ini bukan hanya tentang perjalanan melainkan juga tentang pelajaran. Sebab, kisahku ini bukan hanya perihal kisah cinta yang manis atau penuh kemelut, tapi juga tentang sebuah penerimaan akan hidup. Tenggelamlah bersama barisan aksaranya, tapi jangan sampai hanyut, karena pagi masih menantimu untuk kembali. Oh ya, jangan selalu berharap akhir dari kisahku ini akan penuh kebahagiaan. Sebab mungkin, definisi bahagiaku denganmu memang tak pernah sama. Salam rindu, Lara 10 \\ =, Kudengar banyak yang sebal denganku pada kisah = Bd sebelumnya? Ayolah, jangan egois. Aku ini lelaki. Aku yang harusnya egois, bukan? Sebetulnya kisah yang lalu sudah selesai, bahkan menurutku tidak menggantung. Karena di sini, perjalananku berbeda. Tidak akan seperti yang kalian harapkan. Oh tentu, kini aku sudah berteman baik dengan semesta untuk mengacaukan harapan kalian. Hanya untuk kalian yang mau untuk menerjemahkan makna di balik semua yang akan aku persembahkan, yang dapat memahaminya. Aku tidak berpikir aku akan berhenti menyebalkan pada kisah ini. Karena, jika beberapa orang terlihat baik, mungkin mereka cukup pandai menyembunyikan keburukannya. Jadi, jika aku terlihat menyebalkan di mata kalian, sempurnakan pandangan kalian. Mubazir rasanya memiliki sepasang mata sempurna nan indah tapi hanya digunakan memandang dengan sebelah mata. Semesta, masih akan mengajak kalian berjelajah. Cerita kami hanya sebuah portal pengingat perihal takdir a yang menuju diri kalian masing-masing. Apakah semua yang terjadi memang sepatutnya demi kebaikan kalian? Atau, justru adalah sebuah tantangan? Bahwa, kalian perlu melakukan hal yang lebih. Karena, hanya kalian yang dapat memahami, kapan kiranya sebuah cukup akhirnya bisa disepakati. Salam syahdu, Saka 12 DAFTAR ISI Thanks to Dari Kami untuk Kamu Semesta CHAPTER | “Kelak Setiap Kenangan Hanya Akan Berakhir Pada Ingatan" CHAPTER Il “Dekat yang Tak Melekat, Tetapi Hanya Memberi Sekat" CHAPTER III “Pergi, dari Satu Titik Ragu Menuju Satu Titik Percaya” CHAPTER IV “Hingga Kemudian Kembali Meragu, Pada Satu Titik yang Berujung Temu" 15 21 87 143 217 13 CHAPTER V 265 “Masing-Masing Kita Membawa Rahasia, yang Menanti untuk Diungkap" CHAPTER VI 319 “Pada Jarak yang Sempat Tercipta, Sebuah Renung Seharusnya Berkuasa” CHAPTER VII 375 “Pada Sebuah Kembali yang Seutuhnya, Ada Sebuah Penerimaan yang Sepenuhnya" Tentang Penulis 437 14 SEMESTA “Mas, iced chocolate satu, ya.” pesan seorang wanita yang baru datang. Ia duduk di kursi bar sambil tersenyum. “Siap, Mbak. Gulanya mau manis aja apa manis banget?” tanya seorang barista sedikit menggoda untuk mencairkan dan mengakrabkan suasana. Terlebih, perempuan itu sepertinya bukan salah satu tamu reguler yang sering datang ke coffee shop tersebut. “Manisnya yang cukup aja, asal nyaman.” Si perempuan balik menggoda. Sambil tersenyum, barista tadi dengan sigap menyiapkan gelas untuk membuat pesanan perempuan itu. Tidak butuh waktu lama, segelas iced chocolate pun ready. “Silakan Mbak, iced chocolate-nya. Gulanya sengaja saya pisahin aja. Saya enggak punya hak untuk nentuin seberapa manisnya Mbak. Eh, seberapa manis minumannya buat Mbak.” 15 Perempuan itu kemudian tertawa mendengar kelakar si barista. “Eh, Kev. Gue cabut ya.” Barista itu mendadak pamit seraya melepaskan vest berwarna biru tuanya. “Lah, tumben balik cepet lu.” Lelaki yang bernama Kevin itu menjawab keheranan. “Yoi, ada janji gue,” ucap barista itu sambil memamerkan senyuman yang menyiratkan tanda tanya bagi yang melihat. “Mas Saka pasti mau ketemu cewek sih ini. Enggak pernah kayaknya Mas Saka pamit pulang on time,” timpal seorang perempuan bernama Narni dari salah satu kursi yang tidak jauh dari bar. Di mejanya tampak segelas Americano dingin di samping buku dan tumpukan diktat. “Serius lu? Ajegilee... akhirnya, pergi sama cewek lagi doi,” goda Kevin. “Ah, kalian enggak bisa apa liat temennya seneng? Udah ya, gue cabut dulu.” Saka meninggalkan teman-temannya setelah sebelumnya sempat kembali menyapa barista yang lain. “Eh, Gil, cabut duluan ya!” Yang disapa kemudian ikut tersenyum sambil menggoda Saka, “Mas Saka, sukses ya! Lain kali diajak ke sini toh temen perempuannya.” “lya, diajak Mas. Jangan disembunyiin lagi, terus tiba- tiba cerita udah putus aja.” Narni masih menggoda. Saka tersenyum namun tak mengindahkan godaan 16 teman-temannya. Ia hanya melambaikan satu tangannya sebagai tanda pamit. YO. “Siaaal...! Kok, ilustrasinya enggak kayak yang diharepin sih,” gerutu seorang perempuan dari balik mejanya. Mata perempuan itu terus menatap kertas-kertas yang menampilkan sederet gambar. Ia acuh saja meski jam di dinding sudah menunjukkan hari semakin malam. “Kenapa, Ra? Enggak sesuai lagi? Udah dibilang kalau buat ilustrasi buku romance tuh mending sama yang freelancer satunya lagi aja.” Temannya kemudian menasihati. “Ya, masalahnya kemarin tuh udah ditanya sanggup apa enggak? Doi jawab sanggup. Ya, udah aja kasih ke dia. Lagian juga, gue pikir enggak ada salahnya ngasih kesempatan buat orang lain biar bisa berkembang. Eh, enggak tahunya, hasilnya bikin naik darah gini. Mampus, deh!” Perempuan itu terlihat kesal. Ia membanting kertas- kertas yang ada di mejanya, “Kalau dia belum paham konsep- nya tuh harusnya bilang, elah. Mana deadline besok lagi. Minggu depan harus udah up buat cetak. Sekarang, kalau begini jadinya, kan kacau semua.” Si perempuan lalu menghempaskan diri ke kursi sambil memijat pelipisnya. 17 “Coba lu tanyain sama ilustrator satu lagi, keburu enggak kira-kira kalau dia yang handle?” “Raniiii... ini bukan masalah keburu enggaknya. Tapi, gue telanjur deal sama yang ini. Kalau harus gue tolak padahal udah bolak-balik revisi, kan kasian juga. Lagian, kalau sekarang gue hubungin ilustrator yang itu, bisa kena mahal kali bayarannya. Ya, lu pikir aja, semalem harus selesain sekian ilustrasi, dikira lagi bikin candi?” “Lara, gini deh mending nolak karena enggak sesuai sama konsep. Atau, diterima tapi setengah hati? Ngejalanin yang setengah hati tuh enggak enak loh.” Perempuan bernama Rani itu kembali mengomentari kemarahan si perempuan, Lara, dengan menggodanya. “Lah, kenapa malah curhat? Haha,” Lara kemudian tertawa sambil melirik ke jam tangannya. “Sial, udah hampir telat. Gue cabut duluan deh ya. Ntar malem di rumah aja baru gue pikirin lagi enaknya gimana. Atau, kalau enggak besok lagi baru gue kerjain.” Lara berpamitan seraya membereskan meja kerjanya. “Lah, mau ke mana lu? Tumben amat. Ntaran lagi, Ra. Gue masih nanggung nih. Masa lu tega, gue lembur sendirian sekarang.” “Gue ada janji makan malem. Lupa gue,” ucap Lara sambil meringis memamerkan deretan giginya. Rani sontak menghentikan kegiatannya sambil mem- belalakkan mata menatap Lara. 18 “DEMI APA? Been centuries, akhirnya lu punya janjimakan malem sama cowok?” “Enggak usah lebay dih. Lagian siapa yang bilang, gue janjiannya sama cowok?” “Alah, udah santai kali. Muka lu enggak usah merah kalau emang bukan sama cowok. Lagian, kalau emang iya sama cowok juga enggak apa-apa. Gue malah seneng dengernya.” “Hmm... Ya, udah ah, gue cabut ya. Sampe ketemu besok, Sayang.” Lara kemudian mencium pipi teman kerjanya lalu bergegas pergi. ~” 19 20 Semoga separuh aku yang kamu bawa dapat menemanimu. Karena kamu pergi membawa doa-doa yang aku titipkan. Semoga, doa-doa itu akan selalu bisa menemanimu, bukan hanya saat kamu kesepian. Namun, juga saat kamu bersama seseorang meski tetap merasa sepi. Kupastikan, aku tak kehilangan apa pun kecuali kehadiranmu. Percayalah, kini aku telah menerima kehilanganmu, menerima luka yang tersisa dari kepergianmu. Tak ada yang lebih menenangkan dari sebuah penerimaan. Karena tak ada yang lebih menyiksa dari mempertahankan kebencian. Melangkahlah dengan tegap, tak perlu lagi kamu pikirkan bagaimana aku tanpamu. Nikmatilah kamu yang kini tanpaku. se CHAPTER I. “KELAK SETIAP KENANGAN HANYA AAU laa a CA ;° “Thad it all figured out. So I cut out a little early, who cares? Its probably a good thing. Life sucks, anyway. But I met you and it got weird. And, you were so... Amazing. And I?” “What? What?” “I just wanted a little more time. So all in all, I'd say you’re the worst thing that’s ever happened to me. Goodbye partner.” “I’m staying with you until you leave. I don’t care how much time we have! Give up you stupid jerk.” “th, Mas Saka nangis yaaaa...?” celetuk Narni. “Anjriiiiit... sialan, Narniiii...!” Aku yang tengah “ menikmati scene goodbye dari film Keith harus terganggu oleh celetukan Narni yang tiba-tiba. “Hahahahahahahahahahahahahaha.... terbahak-bahak. “Anjrit, mata lu kok juga basah gitu, Nyet? Hahahaha.” Kevin tertawa Giliran aku menggoda Kevin. “ya, apa? Masa sih?” Kevin segera mengelap genangan di kedua matanya. “Duh, kalian nih ya, cowok-cowok lembut. Bisa banget nangis nonton film drama gini.” Narni masih saja menggoda. “Kita enggak nangis, Narni! Enggak sempet nangis karena udah keburu kamu ganggu duluan!” Aku protes sembari diam-diam menyeka mataku. 23 “Lagian kamu bisa-bisanya lagi nonton malah merhatiin orang sih?” Kevin protes dan berdiri dari tempatnya duduk. Ja menuju dapur, mungkin mau mengambil minum. “Ya, gimana mau merhatiin, Mas? Udah kalian berdua nonton paling depan, berisik bener sama idung. Kukira ingusan, ternyata lagi siap-siap mau nangis. Gimana aku mau konsen coba?” canda Narni. Film yang seharusnya membuatku tergugah, puas akan aksi kedua tokoh dari Natalie dan Keith, harus berakhir mengesalkan karena Narni. Kami masih saja_berisik menyalahkan Narni. Namun, gadis itu sama sekali tidak merasa berdosa. Dia malah asyik menggoda kami terus. Dia yang perempuan seharusnya lebih terharu menonton film drama bukan? Ini malam terakhirku di Jogja. Sebelum pulang, kami ngumpul di rumah Narni. Dia yang memaksaku, karena setelah sekian lama saling kenal tak pernah sempat mengunjungi rumahnya. “Rame juga tapi ya filmnya. Narni nanti nonton sendiri aja ah, biar enggak ada yang ledekin kalau nangis. Hehehe.” Narni berdiri dari ranjang tempatnya duduk. “Ah, sialan Narni. Harusnya aku pulang ke Bandung dalam keadaan bahagia nih. Udah bisa terharu nonton film. Lah, malah jadi mentah gini deh.” Aku kembali protes, lalu segera berdiri menyiapkan barang-barangku. “Lu bawa laptop bukan? Lu nonton aja di kereta 24 ntar. Download dulu aja, bentaran juga kelar pasti.” Kevin menyarankan. “Yakali Sob, terus gimana ntar kalau gue di kereta terenyuh mau nangis gara-gara filmnya? Bayangin penumpang lain harus nahan ketawa ngeliat gue yang gondrong gini, tapi matanya berair nonton drama. Enggak keren lagi gue.” Aku menjawab. “Mas Saka, lakik yang berani nangis tuh keren! Yang enggak keren tuh lakik yang bikin nangis.” Narni membalasku. “Hahaaaaaaaaaa.... Kenaa lu, Nyet. Kena lu! Skak mat! Hahahahaha....” Kevin tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Narni. “Eh, Narni salah ngomong ya?” Narni belagak polos. “Enggak, Narni. Kamu... bener.. banget....” Aku menjawab pelan dengan wajah yang tak keruan. Aku teringat Lara. Teringat apa yang pernah membuatnya menangis. Sebuah penyesalan yang tidak bisa aku bayar. Namun, kini setidaknya keadaan kami sudah cukup untuk membuatku sedikit tenang dari rasa bersalah yang bisa saja masih menghantuiku. “Udah tenang, Sob. Lu sama Lara kan udah baikan. Udah saling merelakan dan saling nerima lagi.” Kevin coba menenangkan. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. “Saling nerima lagi sebagai teman ya, Mas Saka.” Narni masih saja menggodaku dengan ucapannya. 25 “Duh, kok gue dengernya nyelekit gitu ya.” “Man, gue baik-baik aja. Kata-kata lu yang bikin seolah itu nyelekit. Jangan gitu dong. Stop saying like I’m not okay. You guys who make me not okay!” Aku mengeluh sebal sembari mengecek perlengkapanku. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal. “Eh, sori-sori, Sob. Gue enggak maksud, sumpah! Keceplosan gue. Sori!” Kevin meminta maaf. “Mas Kevin tuh, dijaga coba omongannya sama sahabat sendiri.” Narni menyalahkan Kevin. Aku hanya diam dan mengacuhkan permintaan maaf Kevin. “Heh! Kamu juga tuh, Narni. Mentang-mentang cewek bisanya nyalahin doang. Hih,” jawab Kevin ketus. Sementara mereka berseteru, aku masih sibuk dengan barang-barangku untuk menyembunyikan wajahku, dan mencoba memastikan apa aku benar baik-baik saja, atau sebetulnya tidak. Meski sebenarnya tidak apa jika memang aku masih menyimpan sisa-sisa luka. Tidak apa jika aku memang tidak baik-baik saja. Tapi, jika aku harus berpura- pura saat ini, aku memilih untuk berpura-pura baik-baik saja. Ya, dari pada berpura-pura tidak baik-baik saja. “Udah napa, pada berisik mulu. Just please stop making fun of it. Gue tuh enggak kenapa-napa. Lu pada boleh becandain hal itu, tapi please jangan ngomong apa pun yang menyudutkan gue, atau seolah gue nyesek dan enggak baik- 26 baik aja. Becandanya enggak usah nyampah, please.” Aku memberi nada tegas, meski sedikit tidak enak. Tapi, mereka perlu tahu bahwa tidak semua orang bisa menerima gurauan. “Siap, Pak Bos! Maafkan kami!” seru Narni dan Kevin bersamaan. Meski kadang menyebalkan atau kadang ada perkataan dan gurauan mereka yang menyinggung, yang membuatku senang adalah mereka begitu bisa menerima teguran dariku. Bukan teman yang hanya akan lebih menyudutkanku jika aku marah, atau tidak terima atas gurauan mereka. Setelah selesai bersiap, kami melaju menuju Stasiun Tugu untuk mengantarkanku pulang. Jalanan Jogja di tengah malam selalu melambaikan kerinduan. Mengejekku dengan riang, seolah aku akan pulang dengan berat. Aku terhibur saat memandang lampu-lampu jalan yang seolah tersenyum mengantarkan kepulanganku. “Gue balik dulu ya!” Aku pamit setelah menukarkan boarding pass di stasiun Tugu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung akan berangkat 30 menit lagi. “Mas Saka, ini Narni tadi dibawain nasi kucing sama Mama. Buat Mas Saka kalau laper di jalan. Kucingnya udah Narni pisahin kok. Sama ini juga semangka buat makanan penutupnya. Atau, kalau enggak mau repot, makan semangkanya pake nasi aja biar sekalian telan.” Narni 27 tersenyum polos. “Kapan kamu bawa semangka? Kok, enggak ketahuan? Anyway, terima kasih Narni.” Aku berkata dengan gemas, sedang Narni hanya tersenyum. “Tiati, Sob. Jangan lupa bentar lagi gue lulus. Terus, yang gue omongin kemarin dipikirin. Siapa tahu ya, siapa tahu lu masih pengen perjuangin Lara. Kan, biar sekalian. Haha.” Kevin memelukku. “Hahaha... kampret! Ya, gampang lah...” “th! Kalian ngobrolin apaan kemarin. Kok, Narni enggak tahu sih?” Belum selesai aku menjawab, Narni langsung memotong. Mukanya cemberut. “Sstt.... Itu urusan lelaki, kamu jangan dulu ikut-ikutan!” tukas Kevin. “Lah, itu ngomongin Mbak Lara juga, berarti ada urusan perempuannya juga dong,” balas Narni. “th, nih anak enggak bisa dikit aja enggak bawel. Udah, ntar juga kamu tahu. Ini masih rencana, belum bisa dikasih tahu siapa-siapa. Nanti kalau enggak jadi kan malah malu,” jelas Kevin berharap Narni bisa diam. “Yo Mas, mumpung masih rencana siapa tahu aku bisa bantu. Aku nih lagi dilanda tekanan proposal skripsi, sedang teraniaya. Amin dariku tuh bakal didenger ribuan malaikat Joh. Bisa bikin rencana yang kalian obrolin jadi diijabah sama Tuhan.” Narni bersikeras ingin tahu. Aku hanya bisa tertawa terbahak mendengar debat 28 mereka. “Heh, Narni. Itu enggak ada apa-apanya dibanding aku yang bentar lagi mau sidang tesis. Deg-deganku lebih kenceng daripada kamu. Aku nih lebih teraniaya. Amin dariku bisa bikin isi surga ikut ngaminin! Sstt, udah diem!” Kevin kali ini benar-benar gemas. “Emm, penghuni surga sama malaikat banyakan mana ya, Mas?” Narni bertanya polos. Kevin mengelap wajah dengan kedua tangan, tanda tak lagi bisa menahan gemas. Aku masih tertawa melihat mereka berdua. Pulang memang selalu menjadi hal terberat. Harus membawa rindu yang tak bisa aku bawa sendirian. Aku yakin rindu yang aku bawa akan cukup membuatku sendu dalam beberapa hari ke depan. Sejak nanti aku kembali tiba di Bandung. Tidak lama, kami benar-benar berpisah. Aku melangkah masuk ke ruang tunggu penumpang. Terlihat para penumpang yang sedang beristirahat. Entah untuk pulang atau melanjutkan perjalanan. “Bu, air mineralnya satu,” pintaku kepada ibu-ibu di kantin stasiun. Aku lalu melongok isi bungkusan yang diberikan Narni kepadaku. Nasi kucing dan potongan buah semangka. Aku tertawa kecil. Sungguh ada-ada saja kelakuan gadis itu. Langkahku gontai mencari tempat duduk yang menurutku nyaman. Lalu, tak bisa kutolak pikiranku menyapa ingatan 29 tentang Lara. Bahagia dan rindu sedang berpesta dalam diriku. Perutku dibuat geli karena kupu-kupu baru saja keluar dari kepompong. Saat seperti ini, sulit sekali menahan bibirku untuk tidak keras kepala tersenyum. Orang-orang di stasiun bisa menganggapku sedang jatuh cinta. Memang iya. Tapi, mereka tidak tahu bahwa aku tidak jatuh cinta kepada seseorang. Sial, aku merasa kikuk sendiri di antara ratusan orang, padahal mereka tidak sedang memerhatikanku. Aku memutuskan membuka aplikasi notes di smartphone milikku. Rasa ini harus tumpah pada tempat yang tepat. Kepada nurani, Inikah tujuan dari semua langkah? Mengantarkan aku pada rasa yang megah? Membukakan aku sebuah pintu yang penuh berkah? Apa kamu sedang mengejekku dengan senyummu yang merekah? Sial kamu nurani, berani-beraninya mempermainkanku. Tapi, apa daya. Aku pun dibuatnya malu dan terpaku. Dan, akhirnya yang hanya bisa aku lakukan hanya mengaku. Bahwa kamu telah memberiku pemahaman yang sangat membahagiakan aku. 30 Biar saja semua orang melirikku dengan curiga. Tentang senyum yang sedari tadi sombong ingin terus bersinar. Tentang degup yang tak ingin berhenti menggelar perayaan dalam dada. Kukatakan dengan lantang dalam diam. Aku memang sedang jatuh cinta. Tapi, bukan pada seseorang. Biar saja mereka mereka-reka. Rasa ini milikku, takkan kubagi kepada siapa pun yang tak pantas. Kedatangan kereta yang akan membawaku pulang telah meneriakkan semangatnya dari jauh. Aku bergegas berdiri dan bergerak menuju titik tunggu. Bersama para penumpang yang ingin segera pulang, atau ingin segera sampai, atau hanya ingin segera pergi. Kereta api Malabar tujuan Bandung akhirnya tiba di depan kami. Semua penumpang dengan teratur memasuki pintu masuk. Jogja, terima kasih untuk kejutannya, rindu ini akan aku tanggung sendirian. “Lara, sampai tiba-tiba bertemu lagi ya,” ucapku dalam hati. 31 Bandung masih selalu cerah sejak kepulanganku. Mungkin karena seirama dengan suasana hatiku. Meski begitu, sudah beberapa hari aku bermalas-malasan dulu. Menghabiskan rasa bahagia yang masih bersisa. Rasa yang mengganggu mood untuk mulai kembali bekerja. Maksudku, untuk membuka email. Karena aku bisa tahu ada pekerjaan design dari notifikasi email yang ada di smartphone milikku. Sengaja aku biarkan, sekali aja aku ingin bermalas- malasan. Ya, sesekali setelah liburanku selesai. Badanku lesu karena terlalu banyak tertidur dan menonton TV kabel. Sesuatu tiba-tiba muncul dalam kepalaku. Aku ingin berolahraga. Hal yang cukup aneh memang bagiku, tapi entah dari mana datangnya keinginan itu. Apakah Lara mengirim doa agar aku mulai mau hidup sehat? Entah, tapi sepertinya aku ingin. Entah hanya ingin atau memang ingatan tentang Lara yang dulu sering mencerewetiku perihal kesehatan, membuatku ingin memiliki pola hidup yang lebih baik. Aku teringat ada tempat fitness dekat rumahku. Seketika aku bersiap dan setelah menikmati sarapan seadanya di dapur, lalu pergi untuk mendaftarkan diri sebagai anggota. Mulailah aku berolahraga. Ternyata, olahraga cukup membuatku, bahagia. Badanku terasa segar dan lelah di saat yang sama. Sesampainya di rumah aku berniat untuk membuka email yang sejak beberapa hari kemarin aku abaikan. Namun sayang, lelah ini 32 membawa kantuk yang sangat menggoda hingga tak terasa aku terlelap. Drrrtt...dddrrttt... Kepalaku masih pusing. Sepertinya, aku baru terlelap beberapa detik saja. Getar pesan di ponsel membangunkanku. “Man, cek email bisa kali. Sekalian jangan lupa gue tunggu di kantor buat brief desainnya.” Salah satu temanku mengirimi pesan. Ah ya, aku lupa akan membuka email yang sudah menungguku, berserta janji untuk bertemu rekanku di kantornya. Pesan temanku itu belum sempat aku balas. Aku terbangun dan mulai membuka email. Setelah membuka inbox email di layar laptop, aku tiba-tiba merasa lapar. Entah karena olahraga yang ternyata menguras tenaga, atau isi email yang ternyata cukup banyak. Badanku mulai terasa pegal-pegal. Aku seketika mengutuki diri sendiri kenapa bisa-bisanya ingin berolahraga. “Badan segar ternyata hanya ilusi!” Aku merutuk dalam hati. Tak lama aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor temanku. “Udah enak males-malesannya, Kasep? Ganteng?” Suara dari ruang tengah tiba-tiba menyapaku saat aku baru 33 menuruni tangga. “Lah, Mamah, kirain kerja.” “lya, Mamah ngambil libur dulu lagi enggak enak badan,” jawab ibuku santai. Meski begitu, ibuku masih saja sibuk dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya. Aku menangguhkan kepergianku, berjalan ke arah dapur dan membuatkannya teh panas. Bisa-bisanya aku tidak mengetahui jika ibuku sedang sakit. “Nih, santai dulu atuh Mah, kerja mulu. Udah makan?” Aku bertanya seraya duduk di sebelahnya. “Eh, nuhun bageur. Udah udah makan kok tadi. Istirahat teh bikin makin lemes, Mamah mah enggak suka. Mending sambil ngerjain sesuatu biar istirahatnya produktif,” jawab ibuku sembari meneguk teh panas dariku. “Eh, Saka, kamu teh udah umur segini, enggak kepikiran apa pengen nikah?” Ibuku tiba-tiba saja berhenti melakukan pekerjaannya dan bertanya. Seolah pertanyaannya adalah pertanyaan, biasa. Seolah apa yang aku dengar, biasa saja. “Emm... Mamah kepikiran pengen punya mantu?” Aku berbalik bertanya karena belum mendapatkan jawaban yang baik untuk didengar ibuku. Aku masih sibuk terkejut dengan pertanyaannya. “Lah, dari dulu atuh kepikiran pengen punya mantu mah. Mamah teh suka penasaran, Mamah bakal punya mantu kaya gimana. Ya, habis anak Mamah kerjaannya sering pergi- pergian. Sering di rumah cuma buat istirahat atau ngerjain 34 kerjaan.” Ibuku terdengar sedang mengerjaiku. “Emm... Saka juga penasaran Mamah teh kepengen punya mantu kayak gimana?” Aku masih saja menjawab dengan pertanyaan. “Mamah mah, yang penting kamu sayang dan enggak bikin kepaksa. Enggak kepaksa karena Mamah nanyain kamu kapan nikah. Enggak kepaksa karena kamu enggak tahu lagi mau sama siapa. Enggak kepaksa kalau, amit-amit, kamu udah ngebet banget pengen nikah. Pokoknya, jangan kalau bikin kamu kepaksa.” Ibuku meneguk lagi teh panasnya. Kali ini lalu menyimpan laptop di pangkuan dan meletakkannya di meja. Arah duduk ibuku kini menghadapku, seolah perbincangan semakin seru. Aku semakin gemetar. “Terus, Saka tahu kalau itu enggak kepaksa itu gimana?” Lagi-lagi tanyaku pelan. “Yang enggak kepaksa itu, yang bikin kamu sehat. Bikin ibadah kamu sehat. Bikin diri kamu sehat. Bukan hanya badan kamu sehat, tapi yang bikin pikiran kamu juga sehat.” Ibuku menjelaskan. Aku diam. Mataku menatap layar televisi yang menampilkan seseorang berbaju seksi tengah membicarakan kehidupan orang lain. Isi kepala ini bertengkar, ingin mengeluh kenapa ibuku menonton acara seperti ini, atau membahas apa yang sedang ibuku coba bicarakan. “Mamah enggak kepikiran nikah lagi?” Tiba-tiba per- 35 tanyaan itu melayang dari bibirku. Aku hanya berharap, per- tanyaan itu akan mengalihkan pembicaraan tentang diriku. Ingin sekali aku menariknya kembali, namun kata-kata itu kini sudah hinggap di kepala ibuku. Giliran ibuku yang kini diam. Cukup untuk membuatku mengerti bahwa ada yang sedang dipikirkan olehnya. “Mamah tuh takut, Saka...” Ibuku menarik napas, “Takut kalau anak-anak Mamah ada yang enggak setuju. Kalian pasti enggak rela kalau posisi almarhum Bapak ada yang gantikan di hidup kalian.” Ibuku menyelesaikan kalimatnya. Kalimat itu menghujam dadaku, mengobrak-abrik perasaanku, membuat degup kebingungan berdetak. Aku tak tahu pernyataan itu akan keluar dari bibir ibuku. Ada hal yang sedang membuat sesak dan menyeruak dalam dadaku. Ibuku harus takut terhadap anak-anaknya. Harus mengekang keinginannya menemukan orang yang baru untuk menemaninya. Dan, seolah aku dan adik- adikku mengekang dirinya. Hal lainnya, kalimat ibuku jelas menyampaikan kesepiannya. Air mata merajuk ingin tumpah. Semua sel darah dalam diri aku paksa untuk menahannya agar tak sedikit pun berani untuk menggenang di kelopak mataku. Tak aku sangka, ternyata aku memang masih tak rela jika ibuku harus bersama seseorang yang tidak aku kenali. Aku tidak menginginkan ada orang asing berada dalam rumahku. Kini aku hanya ingin menjadi egois, dengan menyesali pertanyaanku yang tidak 36 bisa aku terima jawabannya. “Mamah emang pengen nikah lagi?” Aku beranikan untuk bertanya. Lebih bersiap untuk mendengar apa kata beliau daripada menjawab pertanyaan ibuku perihal keinginanku untuk menikah. “Mamah enggak ingin mengeluh kesepian karena kamu dan adik-adik kamu sibuk sama kegiatannya masing-masing. Adik kamu paling gede, Sinar, udah kerja. Permata, lagi giat-giatnya kuliah dan cari beasiswa sana-sini. Si bungsu, Putri, seneng sama ekskul debat di SMP-nya. Mamah seneng, kalian tuh sibuk buat ngejar cita-cita kalian. Seneng enggak ada dari kalian yang sering di rumah cuma males-malesan. Meskipun Mamah enggak bisa perhatiin kalian semua, tapi dengan tahu kalian sibuk untuk hal positif, Mamah lega. Mamah rela kesepian.” Ibuku meneguk teh yang sepertinya kian menghangat, bersiap melanjutkan perkataannya. “Tapi, Mamah juga pengen ada temen ngobrol. Mamah enggak pengen minta waktu kalian terus-terusan kalau lagi pengen ngobrol. Mamah cuma pengen minta izin kalian kalau Mamah ingin punya ayah baru untuk kalian. Mamah berani ngomongin ini sama kamu, karena kamu anak paling gede. Kamu yang gantiin Bapak untuk bertanggung jawab sama Mamah. Untuk ngasih izin sama Mamah.” Ibuku menyelesaikan kalimat yang selama ini sepertinya menunggu untuk diutarakan. Hal yang kukira akan tentangku, ternyata sebenarnya 37 menyoal ibuku. Kini aku merasakan sebuah beban yang selama ini dipendam oleh ibuku. Sebuah rindu yang lama ibuku sembunyikan. Rindu akan seseorang yang dapat mengayomi selayaknya saat Bapak masih hidup. Aku dan adik-adikku bukan hanya sibuk untuk cita-cita kami. Kami sibuk membiarkan ibuku menelan kesepiannya sendirian. Ddrrttt...ddrrrttt.... Notifikasi pesan baru sampai di ponselku. "Udah di mana lu? Jangan telat yak! Bos gue lagi rewel.” Temanku bertanya lagi. Aku hampir lupa bahwa aku harus pergi. Tapi, aku tak mungkin meninggalkan obrolan dengan ibuku menggantung. “Sok, kalau kamu harus ngerjain kerjaan. Pergi aja dulu ya. Mamah juga mau ngerjain kerjaan lagi. Eh, nanti pulangnya Mamah minta tolong nitip beliin madu hitam ya. Punya Mamah udah habis.” Ibuku mengerti bahwa aku harus pergi. Sungguh tidak adil bagaimana ibuku yang harus selalu mengerti akan kesibukan anak-anaknya. “Nanti, kita ngobrol lagi ya, Mah. Nanti Saka coba ngobrol juga sama yang lain. Saka pergi, dulu. Assalamualaikum.” Aku pamit dan mencium punggung tangan ibuku. Meninggalkan pernyataan yang setidaknya bisa menenangkan ibuku. Tidak menggantung dengan perasaan yang mungkin membuatnya 38 tak keruan karena telah mengatakan hal-hal yang membuatku tidak nyaman. “Walaikumsalam,” ibuku menjawab. Betapa ironis dan egois, pekerjaan yang menunggu harus mengorbankan ibuku sendiri. Seketika aku merasa menjadi anak yang durhaka. Perasaan tak nyaman ini menaungi diriku. Namun, aku yakin ibuku tidak marah dan tidak merasa ditinggalkan. “Ya elah, gue kira lu lagi ngapain. Itu kursor kedip-kedip mulu, capek kali dianggurin.” Ucapan dan tepukan halus Rani sukses mem- buatku terperanjat. Aku yang sedari tadi hanya menatap kosong ke layar monitor sambil bertopang dagu, kemudian menoleh sambil tersenyum menatap wanita berkacamata itu. “Kenapa lu bengong aja? Biasanya jam segini kalau enggak lagi nulis atau ngedit, lu blogwalking. Ini kenapa kayak orang kesambet gitu?” Rani kembali mengajukan pertanyaannya kepadaku usai meneguk air dari gelas yang tadi dibawanya. Rani adalah editor di tempatku bekerja saat ini. Kiranya aku bisa menyebut dia sebagai Kanaya kedua. Sifatnya mirip sekali dengan Kanaya. Hanya saja Rani belum sedekat itu denganku. Percakapan kami pun tidak pernah menyinggung masalah pribadi. Hanya berkutat soal pekerjaan dan 39 gosip-gosip yang memang sedang marak dibicarakan oleh kebanyakan orang. “Enggak tahu nih, enggak ada ide. Males juga ngerjain yang lain. Kalau belum deadline kayaknya kurang berasa dikejar.” “Dikejar banget, Ra? Lagian tumben amat enggak ada ide tulisan. Hidup lu lagi kurang sedih sama kurang patah hati tuh kayaknya,” ucap Rani seraya terkekeh sambil kembali mengamati kertas-kertas di hadapannya. Aku tak menimpali ucapannya sama sekali, justru sibuk memikirkan ucapan Rani tadi. Aku kembali diam dan mengingat-ingat kapan terakhir kali menulis dengan lancar bahkan bekerja dengan teramat sibuk sampai lupa waktu untuk sejenak menjeda. “Mungkin karena ini di Jogja,” pikirku. Hawa santainya membuatku jauh lebih rileks dalam melakukan kegiatan. Tak seperti sedang dikejar waktu, pun tidak seperti sedang mengejar sesuatu. Atmosfernya memang teramat berbeda ketika aku berada di Jakarta. Hingga akhirnya aku tak sempat lagi merasakan kesedihan, karena cukup sibuk menjadi bahagia dengan kehidupanku sekarang. Atau, mungkin juga benar seperti kata Rani tadi. Aku kurang patah hati. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku merasakannya, sampai akhirnya mataku menemukan sebuah tulisan di arsip blogku. Seketika aku terpaku pada akhir 40 kalimat dalam tulisan itu. Tulisan yang sudah cukup lama aku unggah. - Kamu, awal tanpa akhir dan akhir yang tak membutuhkan awalan: = Seketika itu juga pikiranku kembali saat aku dan Saka akhirnya kembali bertemu, tidak dalam kondisi yang salah apalagi bertengkar. Malah pertemuan itu terjadi dalam kondisi yang teramat tepat untuk kemudian membuatku dengannya bisa menyelesaikan apa yang masih mengganjal. Seulas senyum tiba-tiba saja tersungging di bibirku hanya dengan mengingat momen itu. Bahkan aku juga teringat momen saat aku dan Saka lagi-lagi tidak sengaja bertemu di coffee shop, sehari sesudah camping itu berlalu. Mungkin memang benar apa yang tadi Rani katakan, hidupku saat ini kurang mengalami kesedihan pun patah hati tak sedang kurasakan. Hubunganku dengan Saka yang sudah kandas, kukira akan menyisakan namanya dalam barisan tulisanku hingga bertahun-tahun lamanya. Tapi ternyata, sesudah percakapan di pantai itu, aku bisa selega ini melepasnya. Tak merasakan sesak, justru perasaan bahagia tengah menguasaiku dengan terang-terangan. Saka, dia saat ini memanglah bukan siapa-siapa lagi di hidupku. Bukan seseorang yang memiliki status khusus bahkan istimewa untuk membuatku dan dia terikat. Tapi, 41 tanpa status itu sekalipun, kehadirannya di hidupku ternyata membuat segalanya lebih dari sekadar cukup. Hubungan kami bahkan sudah lebih dari sekadar kata baik. “Ra, beneran kesambet lu lama-lama! Tadi bengong, sekarang mesem-mesem. Gih, kerjain itu naskah yang barusan gue email. Dimarahin sama Rio baru tahu rasa lu!” Rani kembali menyadarkanku. “Serba salah mulu gue kayak Raisa hahaha,” aku kemudian tertawa menanggapi ucapan Rani, seraya mulai mengecek inbox. Aku sendiri tak habis pikir dengan apa yang ada di hati dan pikiranku saat ini. Sebuah perasaan yang baru kali ini aku miliki ternyata mampu membuatku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Mungkin memang benar kata orang-orang, lebih mudah menuliskan kesedihan daripada kebahagiaan. “Saka, apa kabar?” tanyaku lirih di dalam hati. a “Loh Lara, kamu enggak makan siang?” Aku yang sedang asyik membaca naskah dari Rani mendadak dikagetkan oleh suara lelaki yang kini tengah memandangiku dengan lekat. Rio, dia adalah pemimpin redaksi di kantor. Saat pertama kali datang ke sini aku jarang 42 bersinggungan dengannya, karena dia baru cuti. Tapi, lain halnya untuk saat ini. Aku bahkan bisa melihatnya berada di kantor setiap hari, pun ketika ada rapat redaksi di tiap Minggu. “Eh iya Pak, ini nanggung, hehe.” Aku menjawab pertanyaannya sembari menggaruk leher yang tidak gatal untuk menutupi kecanggungan yang tiba-tiba saja merebak di sekitarku. “Deadline?” tanyanya sembari menautkan kedua alis. “Belum sih Pak, emang lagi asyik aja.” “Kerjaannya kan bisa ditunda dan enggak ngaruh apa- apa juga. Tapi, kalau makan siang ditunda bisa kena maag kamu.” Aku sedikit tersentil mendengar kalimat itu. Aku ingat sering menasihati Saka seperti ini saat aku masih berpacaran dengannya. Jika dulu aku terbiasa mengingatkan, sekarang justru aku yang perlu diingatkan oleh hal-hal yang sudah aku tahu betul konsekuensinya. “Eh, iya sih. Bentar lagi deh Pak, 5 menit lagi.” “Berapa kali dibilangin sih kalau enggak usah manggil Pak? Panggil nama aja kayak yang lain. Atau, kalau alesanmu biar sopan, ya udah panggil Mas aja.” Umurku dengan Rio memang tak jauh berbeda, hanya terpaut 2 tahun lebih dewasa dia daripada aku. Sejak pertama bertemu dengannya, Rio memang menyuruhku untuk memanggilnya dengan nama saja. Atau, bisa juga dengan 43 embel-embel mas, seperti karyawan lain memanggilnya. Tapi, entah kenapa ketika berpapasan dengannya aku selalu lekat dengan sapaan pak. Mungkin karena pembawaan Rio yang sangat dewasa dan penampilannya yang karismatik, sehingga membuatku segan kepadanya. Padahal cara berpakaiannya tidak menyiratkan kedewasaan umurnya sama sekali. Bahkan cenderung jauh dari umurnya. Mirip dengan Saka, hanya saja ini dalam versi yang lebih rapi. Sepatu new balance cokelat tua dan sweter abu-abu yang sering dikenakannya membuat Rio seperti Jelaki yang baru saja lulus bangku perkuliahan. “Ya, udah buruan beresin kerjaannya, kita makan siang bareng abis itu.” Ucapannya tidak terdengar seperti pertanyaan, justru seperti sebuah perintah. Sejak kapan pula dia menawariku untuk makan siang bersama, dan aku menyetujui ajakannya. Seusai mengatakan hal itu Rio justru segera melangkah ke luar, membuat aku hanya terdiam sambil menatap punggungnya dengan keheranan. Belum usai menelaah apa yang tadi Rio ucapkan, suaranya kembali terdengar. Namun, kali ini setengah berteriak, “Buruan Ra, aku tunggu di mobil ya!” Aku segera menyimpan naskah yang tadi kubaca kemudian mematikan komputer. Buru-buru mengambil gawaiku setelah sebelumnya memasukkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu pada case belakangnya. 44 Jika hanya ke luar untuk makan siang seperti ini, aku memang tak suka membawa banyak barang apalagi tas. Karena, bagiku waktu makan siang bukanlah saat yang tepat untuk disibukkan dengan kegiatan lain yang justru membuatku tidak bisa menikmati hidangan yang tersaji. “Loh Ra, kamu enggak bawa tas?” Rio memandangku yang baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan tatapan penuh keheranan. “Enggak,” aku menoleh sembari menggeleng, lalu memasang seatbelt, “cuma mau makan siang, kan?” “Tya sih, tapi biasanya cewek tuh mau ke mana aja selalu bawa tas,” ucapnya sambil mulai melajukan mobil. “Ya, itu kan cewek biasanya, Pak. Eh, Mas. Nah, aku kan cewek yang enggak seperti biasanya.” Aku kemudian tersenyum memamerkan sederet gigiku kepada Rio. Rasanya baru kali ini aku berbicara sepercaya diri itu kepada seseorang yang masih dibilang cukup baru di hidupku. Rio tertawa mendengar gurauanku, “Haha, ya, ya, ya. Aku tahu itu sejak pertama kali liat kamu.” “Ha? Gimana, gimana?” Aku tersedak mendengar jawabannya. “Enggak, itu tadi ada kucing lewat. Eh, ini mau makan di mana?” Aku menyatukan alis sembari menatapnya heran. Gurauan lelaki itu justru tak lucu sama sekali. Aku tahu ucapannya hanyalah untuk mengalihkan topik saja. 45 Sebetulnya ingin mencari tahu maksud dari perkataan Rio, tapi sudahlah aku terlalu malas untuk sekadar bertanya. “Dih lucu dia mah, segala bawa-bawa kucing. Makan di mana aja, terserah.” “Kalau aku kasih kamu pilihan buat turun sekarang di tengah jalan atau turun di tempat sepi enggak ada angkutan umum, jawabanmu juga terserah?” “Eh, ya itu mah kalau Masnya tega.” Rio melirikku sekilas kemudian menggelengkan kepala. “Ra, Ra, hidup itu selalu ngasih pilihan ke kita. Terserah itu bukan jawaban. Terserah itu milik mereka yang enggak tahu mau dibawa ke mana hidupnya.” Aku tersenyum melihat Rio. Menarik juga pikirku. “Salah, Mas. Terserah itu lebih luas tahu artinya. Gini, ketika kita ngasih jawaban terserah berarti ada hal yang melatarbelakangi itu. Pertama, karena emang seikhlas itu nerima mau diajak ke mana aja dan emang udah sepercaya itu dengan pilihan si pemberi pertanyaan. Kedua, karena emang sedang enggak ada rencana mau milih apa. Ketiga, karena enggak mau sampe melukai keinginan dari si pemberi pertanyaan untuk mendapatkan sesuatu yang dia mau.” “Gimana, gimana, Ra? Coba jelasin, coba.” Rio bertanya, tampak tertarik dengan jawabanku. “lya, gini. Tadi kan yang ngajak makan tuh Mas Rio. Ya, manalah aku tahu kalau sebenernya Mas Rio tuh mau makan miayam misalnya. Terus, ketika aku jawab mau sop ayam kan 46 jadi enggak cocok. Mematahkan keinginan Mas sebelumnya. Padahal siapa tahu tadi Mas udah ngebayangin enaknya mi ayam pake ceker dengan kecap dan sambel yang pedes. lya, enggak?” Rio terlihat sejenak berpikir sebelum kemudian mengangguk dan bersuara. “Oh, I see. Menarik dan cukup masuk akal sih. Tapi, tetep aja sih, Ra. Kalau kita udah dikasih pertanyaan gitu dan bebas nentuin pilihan, berarti si penanya emang udah seikhlas itu untuk ngasih pilihan dan keputusan ke yang dia tanya. Kedewasaan seseorang bisa juga diukur dari dia yang bisa menentukan pilihan loh.” Kini giliran aku yang memikirkan perkataan Rio. “Iya sih, tapi itu juga enggak bisa dijadikan tolok ukur kedewasaan, Mas. Itu malah...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Rio sudah memotongnya, “Ya, udah ya, bahasannya udah dulu. Tuh, di depan ada tongseng, makan itu aja mau?” Rio mengarahkan jari telunjuk pada sebuah warung makan di pinggir jalan. “Mm... “Jawab iya atau enggak, jangan terserah lagi.” “Tya mau,” ucapku sambil memberikan senyuman tipis kepadanya. “Good girl!” Rio tersenyum seraya mulai menepikan a” mobil. 47 48 Memiliki Kita pada akhirnya kembali semesta pertemukan, dengan rencananya yang selalu mencengangkan. Kita pada akhirnya mampu menerima segala hal, dengan lebih terbuka tanpa menyimpan sedikit pun sesal serta amarah. Kita pada akhirnya bisa tersenyum dan saling mendamaikan, usai seluruh perdebatan yang dulu begitu kita kutuk sebagai kesalahan. Kita pada akhirnya sampai pada sebuah pemahaman, yang terbentuk dari sebuah perenungan ketika jarak berkuasa. Kita telah sampai pada titik itu. Kita sampai meski dengan tertatih bahkan sesekali merintih. Untuk kamu yang kembali hadir membawa serta seluruh kenyamanan dan menyingkirkan ketakutan, terima kasih telah memberi banyak pelajaran. Untuk kamu yang kembali datang membawa ribuan pemahaman dengan penerimaan yang tidak pernah aku sangka sebelumnya, terima kasih karena sudah berani untuk menyelesaikan. Dan terima kasih, untuk kamu yang akhirnya membiarkanku kembali memilikimu, sebagai apa pun kamu di hidupku. -L- Aku baru saja mem-posting sebuah tulisan baru di Blog ketika teleponku berdering. Mama calling. “Assalamualaikum. lya Ma, ada apa?” “Waalaikumsalam. Yeee, kamu mah, Mamanya baru nelepon udah ditanya ada apa.” “Hehe, Lara lagi engga konsen tadi, Ma. Jadinya langsung to the point deh.” “Kamu tuh ya, enggak kangen emang sama Mama?” Sebuah pertanyaan terdengar dari seberang telepon dan aku hanya tersipu mendengarnya. Entah, rasanya selalu seperti ini ketika beliau menanyakan kerinduanku kepadanya. “Bilang aja Mama yang kangen, haha. Mau dibawain apa? Minggu ini Lara balik kok, Ma.” Aku tersenyum di ujung telepon sambil menutup laptop. “Bakpia telo ungu ya, tiga. Kejunya dua,” pinta ibuku. “th, banyak banget! Emang Mama sanggup ngabisinnya?” tanyaku lagi. 49 “Ya, kan buat disimpen-simpen. Nanti kalau Mama mau lagi, tinggal makan aja. Enggak usah nungguin kamu balik. Kalau nungguin kamu balik tuh bisa keburu udahan kepinginnya.” Sebuah sindiran halus kini terdengar dan membuatku keki. Tapi, aku tak kehabisan akal, justru sekarang balik menggoda dengan sebuah permintaan yang terselubung. “Makanya, kalau Mama mau bisa makan itu kapan aja, ikut pindah ke Jogja, yuk! Temenin Lara di sini, biar kita engga LDR-an lagi. Hehehe.” “LDR-an banget, Nak? Dulu sama yang kemarin aja betah buat LDR, nyamperin mulu lagi. Ini LDR-an sama Mamanya, malah jarang nyamperin.” Aku dibuat mematung oleh ucapan ibuku barusan. Tiba- tiba saja kembali teringat kebiasaanku untuk berkunjung ke Bandung bila akhir pekan datang. Sudah lama rasanya tidak bertemu Saka. Terakhir kali, itu pun pertemuan tidak sengaja di coffee shop di Jogja. Setelah itu perjanjianku dengannya sebelumnya tetap berlaku. Kami tidak akan saling menghubungi jika aku tidak lebih dulu berkunjung ke kotanya, atau kami kembali dipertemukan secara tidak sengaja. Aku tersenyum mengingat-ingat hal itu hingga suara ibuku di ujung telepon kembali terdengar. 50 “udahan ngelamunnya? Ini Mamamu masih nelepon loh.” “Hahaha, enggak ada yang ngelamun, Ma. Ya, udah nanti Lara beliin pesenan Mama. Ada yang mau dititip lagi?” “Titip bawain calon mantu ya, Nak. Assalamualaikum.” Belum sempat aku protes mengenai omongan ibuku, beliau sudah mematikan sambungan telepon. Meninggalkan aku yang hanya bisa tersenyum menggeleng sambil berucap lirih. “Waalaikumsalam.” Sebetulnya topik itu menjadi salah satu hal yang membuat aku malas bolak-balik ke Jakarta dan berlama-lama ada di rumah. Meski aku senang dengan sifat jahil ibuku dan sering merasakan rindu akan sifatnya itu, tapi tetap saja, aku merasa malas jika beliau sudah mulai merambah ke ranah jodoh dan semacamnya. Ya, aku memang hidup di tengah keluarga yang bisa dibilang cukup kuno. Bila seorang wanita belum menikah di umur twenty something, maka akan banyak pertanyaan ‘kapan’ yang akan hadir. Tak hanya berhenti sampai di situ, pertanyaan kapan adalah momok terbesar di setiap acara keluarga yang kuhadiri. Bila belum juga membawa pasangan maka pertanyaan yang mampir adalah, kapan menikah? Bila sudah menikah dan belum jua dikarunia anak, pertanyaannya 51 akan berganti dengan, kapan punya momongan? Bila sudah menikah dan punya anak, pertanyaannya akan semakin bervariatif dengan, kapan nih dikasih adik? Kasihan masa sendirian aja anaknya? Menarik sebetulnya. Banyak sekali yang lebih peduli dengan kekurangan hidup orang lain dibandingkan dengan kekurangan hidupnya. Sibuk menambal sulam kekurangan dirinya dan memamerkan kesempurnaan semata di depan khalayak umum. Masih dirasa belum cukup, mereka juga menerapkan standar definisi bahagianya kepada orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang yang dia kenal itu belum seperti apa yang ada di bayangan mereka, maka orang itu memang tidak bahagia. Aku memijat kedua pelipis dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari. Menyandarkan kepalaku di kursi sambil memejamkan mata. Berusaha menghentikan isi kepalaku yang terasa semakin melelahkan jika terus-menerus kuberi- kan pemikiran seperti tadi. Mendadak aku dihadiahi semesta sebuah perasaan rindu. Rindu untuk berkisah dan berbagi, setidaknya kepada sahabatku, Kanaya. a 52 Aku mulai kembali pada rutinitas pekerjaan freelance-ku. Karena hampir setiap hari pulang malam, belum sempat lagi aku dan ibuku melanjut- kan perbincangan kami. Belum sempat juga aku mengajak ngobrol adik-adikku perihal apa yang disampaikan ibuku. Meski kadang aku mengerjakan pekerjaan di rumah, ibu dan adik-adikku pasti sudah berangkat untuk bekerja dan sekolah saat aku terbangun. Lalu, tak lama bosan akan datang dan membuatku ingin mendatangi beberapa coffee shop untuk mencari inspirasi dan melanjutkan pekerjaanku. Tidak hanya bergelut dengan rutinitas, aku mulai membeli beberapa buku untuk aku baca. Aku juga semakin aktif untuk menulis di Blog pribadiku. Hal lain yang membuatku tetap merasa hidup dan tidak kesepian. Hal lain juga yang menggantikan hobiku berkutat dengan kamera, karena sudah jarang mengikuti kegiatan komunitas fotografi. Di suatu weekend, aku memutuskan berkumpul dengan beberapa rekan komunitas menulis di salah satu coffee shop di Bandung. Ajakan dari salah satu teman. “Mas Saka kemarin abis dari Jogja katanya ya? Ketemu sama anak-anak nulis di sana?” tanya Nina, salah seorang anggota di komunitas menulis. “Tya. Hehe. Sebenernya enggak sengaja ketemu. Ternyata temenku ada yang ikutan komunitas nulis juga. Hehe.” Aku menjawab sambil asyik menatap layar laptop karena sedang memikirkan tulisan yang akan aku buat. 53 “Ketemu Mbak Lara lagi dong ya? Gimana rasanya, Mas? CLBK enggak? Hahaha,” goda Asri, salah satu anggota lainnya. “Hah? Hehe.” Aku kikuk dan terperangah setengah mati. Bagaimana mereka bisa tahu perihal aku dan Lara? Seketika diriku merasa tak nyaman ada di sekitar mereka. “Hehe, aja nih. Ciyeee...” goda yang lain. Aku hanya bisa tertawa menutupi ketidaknyamananku. Aku tidak pernah suka urusanku dicampuri. Entah sejak kapan, entah bagaimana. Aku hanya tidak suka. Aku yang terbiasa tertutup, membuat hal seperti ini menjadi seperti serangan. Padahal sepatutnya aku bisa biasa saja. Namanya juga komunitas, kabar bisa beredar di antara para anggota. Tapi, aku tidak pernah suka hal itu. Tidak pernah. Ingin sekali aku bercerita kepada Lara. Keadaanku dengannya sudah baik dalam hal apa pun. Ya, kami baik. Perasaanku kepada Lara masih ada, tapi tidak lagi ada ambisi untuk memenangkannya kembali. Entah karena memang benar aku sudah rela, atau aku yang memaksa diri ini untuk rela. Tapi, aku lebih suka seperti ini. Memiliki perasaan kepadanya yang tidak membuatku kelimpungan, tidak membuatku khawatir akan apa pun. Aku bebas. Kami merasa bebas. Tapi, di saat yang sama seolah aku memiliki dirinya, sebagai apa pun dia untukku. “Eh, katanya Mbak Ratih lagi siapin buku yang kedua 54 ya?” Anto, seorang perbankan yang juga anggota komunitas bertanya. “Hehe. lya nih, doakan ya.” Ratih mengangguk sungkan. Ratih adalah salah satu anggota yang diseniorkan. Jam terbang menulisnya sudah tinggi. Dia sudah menulis sejak 2010. Butuh waktu enam tahun hingga bisa dilirik oleh salah satu penerbit yang tak sengaja blogwalking di laman miliknya. Ia kemudian ditawari membuat buku, dan ternyata memiliki pembaca yang cukup banyak. “Gilak, gilak, belum juga ada lima bulan udah bikin buku lagi aja, Mbak. Kapan ya aku juga bisa bikin buku? Hehe,” ucap Rudi, anggota komunitas juga. “Eh, kalian juga bisa tahu. Cuma ya yang konsisten aja kalau nulis. Aku aja enggak pernah kepikiran pengen bikin buku. Aku nulis karena suka. Cuma pengen curahin isi kepala sama hati aja. Tapi, rezeki siapa yang tahu. Setelah bertahun nulis ada yang nawarin buat dibikin buku. Eh, sekarang malah ketagihan. Hahaha. ” Ratih tertawa. Fyi, Ratih adalah seorang guru honorer di salah satu SD di Bandung. Di antara padatnya jadwal untuk mengurusi pelajaran dan nilai-nilai anak didiknya, ia masih bisa menyisakan waktu untuk menulis. “Enam tahun ya, Mbak? Aku masih harus nunggu lima tahun lagi dong biar bisa nerbitin buku. Haha,” canda Rudi. “Waktu akan rezeki orang kan beda-beda. Siapa tahu kalau kamu konsisten bisa lebih cepet. Yang penting, kamu 55 coba pelajarin pembaca. Kamu mungkin awalnya nulis cuma nyampah, cuma curhat. Tapi di stase berikutnya, saat sadar ternyata tulisan kamu banyak yang baca, kamu akan mulai memperhatikan pembaca. Kamu mulai peduli apa yang ingin pembaca dapatkan dari tulisan kamu.” Ratih coba menjelaskan. “Kalau gitu, kita harus ngikutin mau pembaca dong?” Nina bertanya. “Kalau itu menurut aku tergantung pemahaman masing- masing. Tergantung tujuan menulis masing-masing orang. Gimana pun itu, kalau kamu nyaman ya kerjain. Tapi yang harus diperhatikan, gimana pun pembaca adalah salah satu jalan rezeki kita juga. Mereka yang setia baca tulisan kita, yang ngebantu kita untuk bisa terus berkarya.” Ratih menjawab. “Tumben-tumbenan obrolan kita ada faedah nih,” celetuk Anto, dan membuat kami tertawa mendengarnya. “Bikin apa nih sekarang, Mbak? Masih prosa?” tanya Asri. “lya, masih buku prosa atau senandika aja.” Ratih menjawab. “Apa itu senandika, Mbak,” tanya seseorang di sudut meja. “Bentar, gue buka KBBI. Eng... senandika itu wacana seorang tokoh dalam karya sastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, 56 firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut,” papar Asri dengan baik hatinya menjelaskan. “Eh, enggak coba bikin novel non fiksi, Mbak?” Anto ikut bertanya. “Hmm, nah ini aku tuh pengen bahas. Kalau kalian sendiri tuh lebih seneng baca prosa-prosa gitu atau baca novel sih?” Ratih balik bertanya. Pertanyaan Ratih itu bisa jadi terpicu dengan sebuah keanehan yang terjadi dalam komunitasnya. Semua teman dari Blog menerbitkan buku yang serupa. Kalau enggak prosa ya novel. Aku yang belum tahu banyak tentang tulis-menulis hanya bisa menikmati obrolan mereka. Sebuah pengalihan yang baik daripada membahas hubungan seseorang. “Emmm, aku sih lebih seneng prosa. Enggak panjang- panjang, dan langsung ke inti. Jadi, lebih kaya makna tapi tanpa harus baca keseluruhan cerita. Sama kayak quote-quote gitu,” Nina berpendapat. “Aku lebih suka novel. Kalau baca novel itu bisa ngebawa kita sama ceritanya. Jadi, kayak kita cuma perlu duduk, tapi diajak jalan-jalan.” Asri berpendapat. “Tapi, aku juga suka prosa kalau bagus mah. Hehe,” Asri menambahkan. Aku menikmati obrolan ini. Tak pernah terpikirkan juga jika tulisanku akhirnya dibuat buku. Mimpi yang tak pernah berani aku semogakan. Bukan perihal kepandaian dalam menulis, ini tentang diriku yang memang tak pernah berani bermimpi. 57 Aku baru menyadari bahwa aku hidup tanpa mimpi. Aku hanya menjalani hari sesuai inginku saja. Sesuai caraku. Saat ada hal yang harus aku kejar, seolah itu hanya membuatku lemah karena seringkali aku hanya merasa tak akan mampu menggapainya. Selesai ngumpul dengan teman-teman komunitas menulis, aku beranjak pulang, Pembahasan tentang menulis terus terngiang di kepalaku selama aku mengemudikan motor matic milikku. Betapa kesuksesan seseorang bisa terdengar begitu menggoda, seolah kita bisa melakukan hal yang sama. Saat seperti ini, nurani dan nalar seolah akur. Cerita tadi seperti sihir yang dapat membuat keduanya tunduk. Aku tersadar tengah berada di satu kemacetan dalam perjalanan pulang. Suara musik terdengar dari sebuah bangunan yang di lahan parkirnya terlihat penuh oleh kendaraan. Aktivitas yang akhirnya mengakibatkan sedikit kemacetan. Pada suatu hari nanti Suaraku tak terdengar lagi Terdengar sayup sebuah nyanyian dari bangunan itu, menyanyikan sebuah puisi yang sepertinya aku kenali. Tapi di antara larik-larik sajak ini Kamu akan tetap kusiasati 58 Sapardi! Ya, itu puisi Sapardi! Seketika aku mem- berhentikan motor di pelataran parkir. Terlihat orang begitu penuh di dalamnya tengah menikmati alunan musikalisasi puisi yang tengah dimainkan. RUANG PUTIH, tertulis di tembok bagian depan, dekat tangga kecil yang dijadikan tempat masuk. Sepertinya nama dari tempat ini. Pada suatu hari nanti Impianku pun tak dikenal lagi Namun di sela-sela huruf sajak ini Kamu takkan letih-letihnya kucari Alunan musik ditutup oleh tepuk tangan yang meriah. Tak terasa aku pun dibuat merinding mendengarkan alunannya. Mendengarkan tepuk tangan yang berteriak atas jiwa-jiwa yang dibuat puas. Terlalu lama diam di rumah dan mengungkung diri dari kehidupan sosial membuatku kehilangan pengetahuan untuk hal-hal seperti ini. Musikalisasi puisi yang dibawakan Ari Reda itu sanggup menghidupkan sesuatu yang sepertinya telah lama mati dalam diriku. Mimpi. Setelah Ari Reda, giliran pengisi acara lain yang menampilkan musiknya. Aku berkeliling sebentar dan memutuskan untuk memesan kopi sambil mengamati sekitar. Tempat ini seperti sebuah portal khusus yang mem- bawa penikmat musik mana pun bisa berada pada satu titik 59 nyaman. Titik yang tidak bisa didapat dalam keadaan biasa. Cukup menarik bagiku. Sebuah area terbuka di bagian tengah yang dikelilingi oleh satu bar coffee shop, satu buah galeri, satu barber shop, dan dua kedai makanan. Bahkan setelah aku mengecek sosial media Ruang Putih, aku mendapati sebuah hal menarik. Ternyata di tempat ini memang sering diadakan acara musik. Hampir setiap bulan bahkan. Jazz, folk, blues, dan musik lainnya. Aku yang berniat untuk pulang cepat mau tak mau mengurungkan niatku. Ada hal yang lebih menggoda untuk aku nikmati di sini. “Cappuccino panas satu?” Baru saja aku akan memesan kopi, barista di depanku mendahului. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. “Cappuccino panas terus pesennya, Mas? Mau coba yang seger-seger enggak? Ini ada kopi campur susu juga kok,” tawar sang barista. “Oh ya, apa tuh yang nyegerin?” aku bertanya penasaran. “Es Kopi Susu Kioton,” ucapnya sambil tersenyum. Setelah itu sang barista segera membuatkan pesananku setelah aku mengiyakan tawarannya. Sejak acara musik di Ruang putih waktu itu, hampir setiap hari saat aku sedang bosan mengerjakan pekerjaan desain di rumah, aku selalu 60 datang kemari. Tempat ini ternyata sangat cocok untukku. Tempat yang terbuka membuat angin siang bisa dengan bebas menghibur pengunjung yang ada di sini. Dengan sentuhan tumbuhan- tumbuhan morning vibes; tumbuhan berdaun lebar, seperti monstera, kuping gajah, talas; kaktus-kaktus lucu; dan tumbuhan lainnya membuat Ruang Putih terasa sangat hijau dan sejuk. Tambahan lain, satu buah kedai kopi bernama Kyotown Coffee selalu bisa memenuhi kebutuhan kafeinku dengan kopinya yang nikmat. “Es kopi susu Kiotonnya Mas, silakan.” Aku menggumamkan ucapan terima kasih. Sofa yang aku duduki membuatku sedikit malas. Terlalu nyaman hingga aku hanya ingin melamun lalu menuliskannya. Aku sering begitu lelah. Mendengar suara yang terdengar merusak. Semua percakapan terasa egois, dan ingin benar sendiri. Di antara sering itu, aku lebih banyak mendengar. Sepi. Menurutku, sepi adalah sebuah percakapan paling jujur. Aku dapat mendengar lebih banyak kebenaran, ketimbang di keramaian. 61 Bahkan, saat di antara ramai aku seperti kehilangan diriku. Dalam sepi aku dapat menemukan sebenar-benarnya diriku. Dalam sepi, aku bercakap dengan Tuhan, saat ramai tak memberiku ruang bagiku untuk hal itu. Dalam sepi, Tuhan memintaku untuk mendengar, apa yang tak tersampaikan. Mengerti, apa yang tak terdengar. Hingga akhirnya, giliranku yang ingin berbicara. Aku ingin menangkap sebuah gambar. Cerita yang sepi, namun dapat memberi banyak makna dan mengundang banyak paradigma. Untuk menyampaikan pesan tanpa paksaan. Untuk bercerita tanpa harus meminta orang untuk mendengar. Dari sebuah gambar yang ditangkap oleh mata lensa. Semoga mereka, dapat menangkap banyak makna dengan mata hati. Dari sebuah gambar, kuberi mereka sebuah ruang sepi. Agar lebih banyak mendengar, yang hati mereka ceritakan pada dirinya. ‘Klik. Aku memposting tulisan di laman pribadiku, lalu mengeluarkan kamera mirrorless milikku untuk mengambil 62 beberapa gambar dari tempat ini. Aku menemukan beberapa foto diriku sendiri di kamera. Tiba-tiba pikiranku teringat pada kali terakhir aku menghabiskan waktu dengan Lara di salah satu coffee shop di Jogja. Aku tersenyum rindu. Apa yang sedang dilakukan Lara sekarang? Ah, ingin sekali aku menghubunginya. Tapi, kami telah berjanji untuk tidak bertukar kabar hingga bertemu lagi secara tak sengaja, atau setidaknya jika Lara datang ke kota ini. Aku kembali membuka Blog lalu menjelajahi tulisan- tulisan orang lain. Membaca tulisan semua orang seolah tengah mendengar keluh kesah mereka. Mendengar rahasia- rahasia yang tak sempat didengar oleh siapa pun, atau bahkan tak punya tempat di telinga orang-orang. Seandainya semua tulisan yang ada di media sosial seperti ini. Tidak hanya berisi hak-hak yang tengah diperjuangkan namun di saat yang sama menyakiti hak orang lain. Tidak melulu berisi cacian yang hanya tentang kebencian. Seolah berramai-ramai mengajak pembaca untuk ikut membenci. Namun aku sadar, mungkin mereka juga telah lama diam. Telah lama menyuarakan keresahan mereka, tapi tak ada satu pun yang mendengar dan mengerti. Seolah aku pun tak ada bedanya dengan mereka. Tengah memperjuangkan sesuatu. Tiba-tiba sebuah pesan masuk di Blog milikku. Tertulis nama akun, Eleftheriana. 63 “Aku suka semua tulisanmu. Rasanya, semua kata seperti sedang menari di kepalaku :)" Aku tersenyum dan sedikit penasaran. Aku mengunjungi laman Blog miliknya. Ketika kembali membuka tulisan- tulisanku, setelah aku perhatikan ternyata dia selalu meninggalkan sebuah pesan pada kolom komentar. Ia membuat pesan berupa prosa yang seolah-olah tengah membalas tulisanku. Perasaan lucu hadir dalam diriku. Aku tak pernah memerhatikan kolom komentar. Aku pikir, tulisanku tidak ada yang membaca, pun kalau ada ya sudah. Tapi, saat ada sebuah apresiasi yang disampaikan, sampai saat aku mengetahuinya, ada rasa senang yang tak terduga mendatangiku. “Terima kasih. Mungkin suatu saat kita bisa menari bersama :)” Balasan aku kirimkan. Beberapa detik kemudian aku ingin sekali menjitak kepalaku sendiri. Untuk apa aku membalas segombal itu. Sial! Namun, pesan sudah terlanjur terkirim. Aku hanya bisa menertawakan dan memarahi diriku sendiri dalam waktu yang bersamaan. Aku mulai melihat satu demi satu tulisan yang dia tinggalkan di kolom komentar dari setiap tulisanku. 64 Membawaku pada sebuah imajinasi tentang dirinya. Meski avatar miliknya hanya sebuah gambar siluet seorang gadis, tetapi pikiranku membentuk sendiri setiap lekukan wajahnya. Bagaimana mata dan bibir, hidung dan telinganya. Seperti ada kesenangan sendiri dalam salah satu aspek harapan ketika terjadi kontak dengan seseorang yang tidak kita ketahui. Di Sepertiga Malam Pernah ada seseorang berkata, teruslah menulis sebab karenamu aku tahu bagaimana mengungkap rasa. Pernah ada seseorang berkata, teruslah berani mengutarakan rasa melalui tulisanmu, sebab karenanya aku menjadi mampu memikirkan apa yang sebelumnya tak pernah kurenungkan. Aku tersenyum sekaligus tertawa dalam hati. Selama ini, tidak pernah ada yang menganggap apa yang kuukir berarti. Selama ini, tidak pernah ada yang berkata aku berhak atas suara yang kuingin perdengarkan. Lucunya, kata-kata itu hanya mampir di beranda dunia mayaku saja. 65 Aku tak mengenalnya dengan terlalu. Aku bahkan sama sekali tidak dekat dengannya. Namun, sedikit kata-katanya membuatku merasa pantas untuk kemudian berjuang. Setidaknya, perjuangan untuk merasa hidup. Perjuangan untuk merasa bahagia. Perjuangan yang aku tahu adalah jawaban dari doa-doa yang kerap kupanjatkan di sepertiga malam. Perjuangan dari mereka yang juga pernah mendoakanku dan membiarkan aku tetap menumbuhkan mimpi. Ada rasa yang lucu menggerayangi diriku, hingga ke pipi yang sepertinya kini tengah mengembang. “Gimana Mas, es kopi susunya?” Seorang barista tiba-tiba mendatangiku. “Enak, kok.” Aku refleks menjawab, diikuti tanganku yang mengambil gelas es kopi susu dan meneguknya untuk semakin memastikan. Aku baru menyadari bahwa minuman di tanganku ini benar-benar enak. “Masnya tahu Kyotown Coffee dari mana nih kalau boleh tahu? Belakangan seneng banget ke sini kayaknya ya. Hehe.” Barista itu sudah duduk di sofa depanku. “Kebetulan waktu itu ada acara musik gitu kan di sini, terus saya lagi kejebak macet di depan. Penasaran ada rame- rame kayaknya dari sini, terus mampir deh. Eh, ketagihan 66 nongkrong di sini, haha.” Aku menjelaskan. Kami alu kami berbincang lebih jauh tentang kegiatanku, tentang Kyotown Coffee, tentang Ruang Putih yang sering mengadakan acara musik, hingga tentang kopi. “Es kopi susu emang lagi tren banget ya sekarang, Mas?” aku bertanya. Meski aku tidak terlalu tahu bagaimana perkembangan dunia kopi dan meski hanya sebentar belajar menjadi seorang barista, tetapi aku cukup aware bahwa es kopi susu menjadi sebuah fenomena menarik. Fenomena yang sedang terjadi hampir di setiap kedai kopi. “Yah, kayaknya gitu, Mas. Emang lucu sama pasar tuh, bisa-bisanya sesuatu yang baru mengubah budaya.” Timpal sang barista. “Lucunya gimana emang, Mas?” Aku penasaran. “Kayak, katakanlah setiap kedai kopi berusaha menjaga kualitas kopi yang baik demi rasa yang enak di lidah pasar. Rasa kopi juga jadi hal yang idealis bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia kopi. Tapi, mereka akhirnya harus mengakui bahwa kopi enggak melulu tentang rasa. Mereka harus berhenti untuk merasa seperti Tuhan yang selalu tahu tentang kopi yang enak dan baik bagi pasar. Karena akhirnya, pasar yang menentukan. Ada hal lain yang akhirnya membuat pasar beralih. Es kopi susu misalnya, jadi fenomena yang luar biasa di dunia kopi, karena sekarang menu yang satu itu udah kaya lifestyle.” Barista di depanku terlihat bersemangat 67 menjelaskan. “Menurut Mas sendiri, dengan mengikuti tren yang lagi happening kayak sekarang ini, merasa mati di tangan idealisme sendiri enggak sih?” Aku bertanya. Agak riskan memang jika harus membahas idealisme. “Untuk beberapa orang, saya rasa sih iya, Mas. Cuma gimana, kita hidup dari pasar. Kita hanya pelayan yang mau enggak mau harus manut sama tren yang lagi berlangsung. Meski untuk beberapa kedai kopi atau coffee shop besar, es kopi susu atau kopi bukan pemasukan terbesar, tetapi dilihat dari demand yang tinggi terhadap es kopi susu, kedai- kedai kopi kayak kita harus mau ikut hanyut.” Barista itu menjelaskan. Kami beranjak dari perbincangan mengenai kopi yang sedang tren hingga persiapan dan apa yang dibutuhkan bagi orang-orang yang ingin membuat kedai kopi. Ada sesuatu dalam diriku yang sepertinya sangat tertarik perihal kopi. Bukan hanya untuk sekadar ikut-ikutan tren di dunia kopi yang membuat semakin banyaknya kedai kopi. Lebih besar dari sekadar itu. Dunia kopi seperti hidup itu sendiri. Banyak hal yang selalu diperbincangkan tapi tak pernah menemukan titik temu untuk dijadikan jalan keluar. Terlebih, aku selalu suka bagaimana seorang barista selalu memperhitungkan rasa. Sama seperti apa yang pernah aku alami. 68 Bagaimana Jika Bagaimana jika sebuah perkenalan pada akhirnya memang akan berakhir dengan perpisahan? Apakah kamu masih akan semangat untuk menunggu sebuah pertemuan? Bagaimana jika sebuah perjumpaan hanyalah awal untuk kemudian saling meninggalkan? Apakah kamu lantas akan percaya kepada mereka yang mendekat? Menariknya aku masih saja tetap menunggu. Menariknya aku masih saja tetap percaya. Pada siapa katamu? Pada duka setelah kehilangan, aku masih menunggu suka. Pada luka setelah kepergian, aku masih percaya selalu akan ada yang menetap. --L-- 69 “Besok ikut liat sunrise di Mangunan bareng kan, Ra?” A Aku yang sedang asyik mendengarkan lagu sambil membuat tulisan di Blog terperanjat akan kehadiran Rio di sampingku. Senyumnya merekah ketika bertanya kepadaku. Siang ini dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dengan vest rajut tak berlengan warna hitam. Heran, lelaki ini sepertinya memang selalu senang mengenakan baju berlapis-lapis. “Hmmm... enggak, Mas. Aku enggak bisa ikut hehe.” “Loh, kenapa?” ucapnya sambil mengambil kursi di sampingku, lalu membuka toples berisi keripik yang ada di meja. “Harus pulang ke Jakarta. Soalnya, udah dua minggu belum pulang.” Aku mengambil segelas air putih, sembari menutup Blog, dan kembali fokus dengan naskah yang baru saja di-print dan sudah siap untuk aku baca ulang. “Homesick terus ya? Sampe bolak-balik mulu,” tanyanya lagi. “Haha, enggak juga sih. Cuma kan Mama di sana sendirian, jadi enggak enak aja kalau enggak pulang.” “Oh, Mamamu tinggal sendiri? Lalu, Ayahmu?” Aku meliriknya sekilas. Menatap manik mata itu lalu mempertimbangkan apakah harus memberitahu tentang keluargaku. Mungkin sudah bukan saatnya aku terus- menerus mengelak untuk menjawab pertanyaan seperti ini. 70 Pun sudah bukan waktunya aku menjawab pertanyaan itu dengan kebohongan. Lagipula aku semestinya sudah harus mulai terbuka kepada orang lain. Bukankah untuk menjadi diterima, aku harus lebih dulu menerima diriku sendiri? “Divorce, udah lama,” ucapku tenang sambil memberikan senyuman kepadanya. Rio menatapku kikuk. Sebuah perasaan bersalah hadir di wajahnya. Aku yang tidak terkejut akan hal itujustru kembali bersuara sebelum dia mengucapkan kata maaf. “Santai, Mas. Toh, perceraian itu pilihan terbaik jika udah enggak ada kenyamanan lagi di suatu hubungan rumah tangga, kan? Dan, enggak semua anak-anak dari keluarga broken home akan salah kaprah kok. You can see me, right? I’m a good girl, I guess.” “Percaya Ra, percaya. Cuma aku enggak enak aja jadinya pake nyinggung tentang orang tuamu. Lagian, orang kayak kamu mah weekend aja kerjaannya pasti cuma diem baca buku, dengerin musik, kalau enggak ya nyari foto. lya, kan?” “th, sok tahu!” Aku kemudian tertawa mendengar ucapan Rio yang memang benar adanya. Selama di Jogja, jika tidak sedang bertolak ke Jakarta, aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Tak jarang, sesekali aku ke luar hanya untuk memotret sudut-sudut indah di Jogja, menghabiskan senja di pelataran parkir Abu Bakar Ali, atau menyusuri jalanan Jogja di malam hari. 71 “Ye, bukan sok tahu. Tapi, itu berbicara fakta. Kalau enggak kayak gitu ngapain tiap hari isi tasmu kalau bukan buku ya kamera. Well, isi tas itu mencerminkan kebiasaan orang yang memilikinya, Ra.” “Ya, ya, ya, analisa yang menarik. Hehe.” Aku meng- anggukkan kepala sambil menjawabnya. Sekilas aku melihat Rio kini sedang sibuk menggerakkan jemarinya pada gawai yang dipegang. Melihatnya yang sudah kembali sibuk, mau tak mau aku kembali menatap naskah di tanganku sambil membubuhkan beberapa catatan di sampingnya. “Kalau gitu kita flight Jumat malem ya, Ra?” Aku mengernyitkan kening ketika mendengarnya kembali berbicara. “Flight? Jumat? Kita? Apaan sih, Mas? Kok, aku gagal paham.” “Iya, kita. Aku sama kamu berangkat ke Jakarta hari Jumat malem, penerbangan terakhir. Cek email deh, aku udah kirim ke kamu bukti booking-nya.” Aku yang masih kesulitan menelaah ucapan barusan hanya mengedikkan bahu sambil menggelengkan kepala menatapnya. Rio yang tahu aku masih membutuhkan pen- jelasan cuma tersenyum, kemudian mengambil napas dan melanjutkan perkataannya. “Gini ya Lara, hari Jumat malem, aku bakal temenin kamu untuk balik ke Jakarta. Enggak usah ge-er aku mau anterin kamu doang. Kebetulan sepupuku juga ada yang tinggal di 72 Jakarta. Udah lama dia minta aku dateng buat dikenalin ke calonnya. Nah, karena aku enggak tahu jalanan Jakarta terus kebetulan kamu asli sana, lumayan kan aku bisa minta dianterin sama kamu kalau suntuk di tempat saudaraku. Hehe.” “Ha? Kan, ada ojek online kali, Mas. Maps juga ada. Mau ke mana aja kamu engga akan ilang, ih. Lagian ya, aku biasanya ke Jakarta naik kereta tahu.” “Kalau ojek online mana bisa diajak ke tempat-tempat menarik, terus dijelasin kenapa tempat itu bagus. Kalau pake maps juga ribet. Jalanan Jakarta kan enggak pernah sepi. Nanti yang ada aku cuma buang-buang waktu di jalan aja untuk muter kalau ternyata salah arah. Ayolah, sekali-sekali jadi tour guide masa enggak mau? Perkara pesawat, tenang aku enggak akan minta ganti kok.” Rio membujukku dengan memberikan tatapan memelas. Aku yang melihat kelakuannya itu hanya tertawa sambil menggelengkan kepala tak percaya. “Alesannya ih, ada aja. Aku enggak janji, ya. Karena, biasanya kalau balik Jakarta akan sibuk nganterin Mama. Lagian ya Mas, siapa juga yang mau gantiin tiket pesawatnya? Kan, aku enggak minta dibeliin. Kalau pun aku akhirnya nolak dan tiket itu hangus, itu salah Mas Rio sendiri. Kenapa pula beli enggak bilang-bilang?” Rio tertawa sambil mengusap tengkuk. “Kalau aku bilang-bilang juga emangnya kamu udah pasti mau? Lagian 73 ya Ra, banyak hal di dunia ini yang kalau berkaitan dengan kebaikan tuh enggak usah diumbar-umbar. Aku beliin kamu tiket pesawat kan artinya aku sedang berbuat kebaikan, jadi enggak usah disebarluaskan toh?” “Pantes jadi Pemred, ngelesnya pinter. Alesanmu itu loh Mas, maksa banget. Terserah wes, terserahhhhhh....” Aku dan Rio kemudian tertawa. Sesaat setelahnya kami kembali pada kesibukan masing-masing. Aku kembali menekuni naskah yang harus kuselesaikan hari ini, sedang Rio sibuk menanda tangani beberapa kertas yang baru saja dibawakan ke hadapannya. Aku diam dan mencoba fokus. Namun, pikiranku masih sibuk menelaah kedekatan yang baru tercipta antara diriku dengan Rio. Semoga saja selalu akan semenyenangkan ini untuk mengenal orang-orang a baru. “Tara!” Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku masih sibuk mencari-cari hingga kemudian aku melihatnya melambaikan tangan. Aku segera berjalan menuju ke arahnya sambil memasukkan handphone yang sedari tadi kugenggam ke dalam tas. “Langsung check in aja ya, Ra.” 74 Aku mengangguk menyetujui perkataannya, yang kemudian disambut dengan dia yang melangkah lebih dulu di depan. Aku mengekori sambil memerhatikan punggungnya. Terasa aneh sebetulnya. Baru kali ini aku melakukan perjalanan dengan orang yang belum lama kukenal. Biasanya, aku hanya bersedia bepergian dengan orang-orang yang sudah lama kukenal, atau bahkan cukup orang-orang asing yang kutemui selama perjalanan. Tapi, kali ini, aku bersama dengannya. Atasanku yang sebetulnya baru saja dekat denganku selama beberapa pekan terakhir. Tak banyak percakapan yang terjadi di antara kami. Tapi, ketika ada momen yang membuat kami bisa mengobrol, maka arah percakapan itu tidak pernah tidak menyenangkan. Aku menyukainya sejauh ini. Setidaknya aku merasa memiliki teman saat ini. Anggap saja dia Kanaya versi lelaki, yang bisa untuk kubagikan cerita tanpa harus memusingkan tentang rasa. Selesai melakukan check in, aku dan Rio sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku yang baru saja mengabadikan pesawat dengan kamera HP kemudian berbalik. Hendak memotret suasana ruang tunggu di bandara yang cukup ramai kali ini. Namun, ketika kamera ponselku mengarah kepada sosoknya, aku malah tertarik untuk memotret Rio. Ia sedang fokus berbicara dengan seseorang di telepon. Aku baru menyadari bahwa Rio selalu terlihat rapi. Tidak ada sedikit pun yang membuat penampilannya tak sempurna. 75 Yang menarik, dia selalu saja mengenakan outfit luar sejenis waistcoat, puffer vest, atau sleeveless sweater yang dipasangkan dengan kaos maupun kemejanya. Berbeda sekali dengan Saka yang kerap berantakan di setiap waktu. Saka seolah tak pernah peduli dengan penampilannya. Bukan berantakan urakan. Berantakan versi Saka itu menunjukkan kalau ia tak peduli dengan penilaian orang lain. Bagi Saka, asalkan dirinya nyaman dengan apa yang dia kenakan, maka pendapat orang lain tak akan berarti apa-apa. Tapi jangan salah, meski berantakan, penampilan Saka selalu enak untuk dipandang. Tidak hanya olehku, tapi juga orang lain. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku bahkan kebanyakan orang tak bisa mengalihkan pandangan dari dia. Meski tak menampik kalau hal-hal berantakan itulah yang kadang membuatku gemas dengan Saka. Ingin sekali rasanya merapikan dirinya dari ujung rambut hingga kaki. Setidaknya agar penampilannya bisa lebih apik dilihat oleh ibuku. Aku tersenyum sekilas. Membayangkan andai saja Saka berpenampilan seperti Rio saat ini ketika nanti bertemu dengan ibuku, mungkin beliau akan melihat Saka dengan cara yang berbeda. Mungkin ibuku juga tidak akan mempertanyakan perihal pekerjaan Saka, serta tak akan khawatir dengan hubunganku dan Saka. 76 Aku buru-buru mengenyahkan pikiranku yang kembali membuat pengandaian akan hubunganku dengan Saka. Aku dengan Saka mungkin memang lebih baik seperti ini. Sebagai apa pun kami bagi satu sama lain. Ya, setidaknya agar tak saling melukai, lagi. “Ngambil foto orang secara diem-diem tuh termasuk perbuatan enggak baik loh, Ra. Apalagi terus-terusan diliatin kayak gitu.” “Ngeliatin isi HP orang lain secara diem-diem juga termasuk menguntit dan perbuatan enggak baik, Mas.” Aku langsung menoleh ke arahnya yang kini sudah berdiri di belakangku. Cepat aku mematikan layar serta menarik ponsel itu ke dadaku. Berusaha menyembunyikan apa yang tidak sepatutnya untuk dia lihat. Rio terkekeh. “Udah keliatan, enggak usah ditutupin juga ih. Kalau mau foto tuh bilang-bilang, Ra. Biar bisa gaya dan benerin penampilan dulu. Jadi, hasilnya keren.” Ia kemudian kembali memasang senyumnya. Aku mendengus pelan, “Kalau bilang-bilang itu namanya bukan candid. Kalau mau yang kayak gitu mah dateng aja ke studio foto.” Rio kemudian mengacak-acak rambutku dan menyam- pirkan lengannya di bahu. Aku sedikit berjengit akan sikapnya tersebut. Tak nyaman dengan perlakuannya itu aku kemudian buru-buru berlari. “Mumpung belum take off, cari foto yang lain dulu ya!” 77 Tampaknya tak butuh waktu lama untuk membuat Rio mengerti, sebab ia tak mengatakan apa-apa, pun ia tidak berteriak memanggil namaku. Dia hanya mengangguk perlahan sambil tersenyum seolah memahami perkataanku. a Aku terus memandangi gelapnya malam. Alunan lagu Shiver yang dinyanyikan Lucy Rose mengalun indah melalui Ipod. Secara tiba-tiba sebuah perasaan menghinggapiku. Membuatku sedikit gusar karena beragam kata seolah berebut keluar dari kepalaku dan memaksa dituangkan menjadi sebuah tulisan. Aku lekas mengambil buku catatan dan pulpen yang selalu kubawa dari dalam sling bag. Penerimaan Pernah ada yang berkata, bahwa sedikit memberi jarak pada dua hati yang sempat bersitegang itu diperlukan. Semula aku tak setuju, tapi sekarang aku dibuatnya percaya. Sebab bila tak ada jarak, tentu tak ada hal yang kemudian bisa kumaknai. Bila tak ada jarak, 78 mungkin aku masih terus menuduhmu sebagai tersangka atas seluruh luka. Sebab bila tak ciptakan jarak, mungkin kita tidak akan saling terbuka untuk memaafkan segala luka. Bila tak ciptakan jarak, tentu rasa yang kini hadir tidak akan lebih damai lagi. Aku belajar pada saat kita saling berjarak, bahwa rasa sayang semestinya tidak lantas membuat kita merasa paling berhak memiliki. Aku belajar pada saat kita tengah berjarak, bahwa perasaan sayang tak selayaknya membuat kita saling menyalahkan, hingga masing-masing harus berkemas pergi. Aku menyadarinya kini, tepat setelah melihatmu kembali baik-baik saja, setelah banyak hal yang kita lewati dan sempat membuat kita berselisih. Kini aku mengerti, arti cinta tidak hanya sesempit perasaan kita yang saling berbalas. Bukan juga tentang kita yang tidak pernah sekalipun bertengkar apalagi menggores luka. 79 Arti cinta juga bukan hanya perihal aku suka kamu dan kamu menyukai aku, lalu kita akan menua bersama. Cinta lebih luas daripada itu. Cinta juga termasuk menerima segala luka yang pernah disebabkan. Dan bagiku, cinta adalah saat di mana aku kembali berani bersitatap denganmu. Seperti saat ini, saat semua damai dari maaf yang tercipta di antara kita, mampu membuat semesta cemburu. —L-- Aku tenggelam ketika kembali membaca barisan aksara yang kubuat. Seulas senyum seketika hadir begitu saja, kali ini bukan dengan paksaan atau bahkan dibuat-buat. Tapi, senyum itu datang dari kelegaan akan rasa yang sebelumnya kukira akan bercokol lebih lama dari luka yang pernah bersemayam. Nyatanya, sebuah penerimaan mampu membuatku merasa jauh lebih hidup. Nyatanya, sebuah maaf tidak selamanya harus diucapkan, melainkan memang cukup dengan dikomunikasikan saja alasan yang melatar- belakanginya. Aku masih menatap lekat ke arah jendela, menyaksikan 80 pendar lampu yang berkilauan di pekatnya malam. Jakarta. Kota ini tak pernah tidur barang sedetik. Hingga tengah malam pun masih saja ada yang bergulat dengan pekerjaan pun dengan kemacetan lalu lintas. Satu-satunya hiburan yang paling diminati hanyalah pusat perbelanjaan. Perhatikan saja bioskop dan tempat makan yang akan semakin ramai ketika weekend menjelang. “Pernah ngerasa capek enggak pas tinggal di Jakarta?” Rio yang sedari tadi asyik dengan buku bacaannya kini mulai mengajakku berbicara. Aku kemudian mengalihkan pandanganku menatapnya. Tersenyum sambil memutar bola mataku mengingat-ingat memoriku selama tinggal di Jakarta, sembari kembali memasukkan buku catatan ke dalam sling bag. “Capek itu manusiawi, Mas. Mau tinggal di mana aja, kalau kita terus aktivitas pasti capek, kan?” Aku menjawab sekaligus melemparkan pertanyaan kepadanya. “ya, sih. Tapi, kalau di Jakarta akan berkali lipat rasa capeknya, kan?” Rio kembali bertanya. “Bisa iya, bisa enggak. Balik lagi kita mau mensyukuri apa yang sedang dijalani atau enggak. Kalau enggak bersyukur mah, capek dan keluhan bakal dateng terus. Namanya hidup, ya kan?” Rio mengangguk mendengar ucapanku, kemudian kembali menambahkan. “Aku takjub sama orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta, Ra. Salut sama mereka, keren gitu. 81 Kemampuan adaptasi orang-orang itu ngebuat mereka bisa bertahan di mana aja kaki melangkah. Ya, kayak kamu. Keren bisa struggling di kota sekejam ini.” “Wow, baru kali ini aku ketemu sama orang kayak kamu. Yang muji kita yang tinggal di Jakarta itu keren. Kenapa gitu?” Aku bertanya sembari mengencangkan seatbelt. “Kenapa takjub maksudmu?” Rio menatapku lekat. Aku mengangguk untuk memberikannya jawaban. Rio kemudian berdeham halus, seolah sedang menyiapkan jawaban terbaik atas pernyataannya tadi. Aku hanya diam sambil terus menatap, memberikannya ruang untuk kembali melanjutkan kalimat. “Aku takjub karena enggak semua orang tahan untuk hidup dan terus ditekan, berhari-hari, bahkan bertahun- tahun. Kejenuhan pasti udah bersarang gitu.” Aku kemudian mengernyit mendengarnya. Menyadari kebingunganku, Rio mengulasi sebuah senyuman yang menenangkan, setidaknya untukku demikian. “Gini Ra, kalau Jogja ngajarin kamu tentang gimana caranya ngadepin masalah dengan kepala dingin. Nah, menurutku Jakarta ngajarin kamu untuk berpikir cepat dan berani ngadepin masalah meski di bawah tekanan. Semua hal dan masalah tumpah ruah di jalanan, dan penyelesaiannya juga kadang dipikirin di jalanan. Bener enggak?” Aku menyandarkan kepala pada sisi jendela, meletakkan tangan kananku di dagu, tapi pandanganku masih menatap- 82 nya lekat. Jika dipikir-pikir apa yang Rio katakan memang benar. Selama tinggal di Jakarta, semua hal rasanya memang terkuras di jalanan. Aku terus menelaah setiap ucapan lelaki itu kemudian mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. “Jakarta tuh... enggak tahu kenapa putaran waktunya terasa lebih cepet. Karena, mungkin ya itu tadi waktunya hanya dihabiskan di jalanan. Bahkan di hari Minggu aja kalian jarang banget kan punya waktu untuk bernapas dengan tenang di rumah atau di tempat berlibur? Mau ke mal aja harus bermacet-macet ria atau bahkan berdesak-desakan sama orang di halte dan stasiun.” Rio berhenti sebentar, meneguk air mineral lalu melanjutkan perkataannya lagi. “Ttu baru menuju aja tuh, belum lagi pas udah sampe tempat tujuan, enggak jarang harus antri. Itu hari libur, gimana pas hari kerja coba? Mau berangkat kerja, kalau enggak macet ya, desak-desakan. Terus, sampe kantor tiba- tiba kerjaan udah segunung. Mau pergi makan siang, ketemu macet lagi. Belum lagi masih kepikiran sama kerjaan di kantor. Mau marah, cemberut, nangis, tapi inget kalau abis itu mau ketemu klien. See? Sekeren itu loh, bisa banget untuk menghadapi semuanya dengan cepat.” Mata Rio begitu berbinar ketika memberikan penjelasan. Ia begitu bersemangat untuk mengeluarkan seluruh hal yang kutebak selama ini hanya bercokol di kepalanya saja. Mengendap dan seringnya dibiarkan menguap, karena tak 83 menemukan lawan bicara yang pas untuk menceritakan segalanya. Seulas senyum masih tergambar di raut muka Rio. Hening selama beberapa detik sebelum ia akhirnya kembali bersuara. “Kalian yang tinggal di Jakarta tuh terus-menerus dapet tekanan kayak gitu. Tapi, kalian enggak sadar telah terbiasa untuk ngejalaninnya. Itu yang bikin aku selalu percaya, orang-orang yang pernah ngerasain bertahan hidup di Jakarta, bisa banget untuk kerja dan beradaptasi di mana aja. Kamu sendiri Ra, apa yang bikin kamu betah tinggal di Jakarta sebelum akhirnya dipindahin ke Jogja? Aku berani taruhan, kamu enggak pernah sedikit pun punya pikiran mau pindah kerja di Jogja, kan?” Aku terdiam sebentar, menatap ke arah luar jendela, kemudian mengulaskan sebuah senyum ketika melihat deretan gedung pencakar langit yang begitu berlimpah di kota kelahiranku ini. “Hmmm... lya sih, aku enggak pernah ada niatan untuk pindah kerja atau pindah tempat tinggal. Maksudku gini, untuk liburan dan jalan-jalan aku sih selalu mau jauh dari Jakarta. Kayak Jogja, buatku ya cocoknya hanya jadi pelepas penat. Enggak pernah kepikiran buat jadi tempat tinggal apalagi tempat kerja. Karena kalau sampe kerja dan tinggal di Jogja, sewaktu-waktu aku bosen, nanti ngilangin suntuk di mana lagi dong? Kan kalau udah ribet-ribet di Jakarta, enak 84 gitu tiba-tiba ke Jogja dan nikmatin hidup sepelan mungkin. Enggak berasa lagi dikejar-kejar waktu.” Aku kemudian memberikan sedikit jeda untuk sekadar menarik napas lalu kembali berucap. “Kalau kenapa betah? Ya, mungkin karena udah terbiasa kali. Jadinya, terbentuk semacem zona nyaman dengan rutinitas selama di Jakarta. Bener kata Mas Rio, kayaknya aku enggak pernah sadar akan tekanan yang selalu dateng itu karena aku terbiasa dengan semuanya. Bahkan tanpa sadar pola kehidupan yang seperti itulah yang membuatku akhirnya jadi suka kalau semua halnya well-prepared, terencana, udah disusun dari jauh-jauh hari, dan terbiasa untuk on time. Karena, semua hal di Jakarta enggak bisa untuk diprediksi apalagi dikira-kira.” Aku kembali berhenti berbicara, menatap sekilas ke arah Rio yang sedari tadi tampaknya tak mengalihkan pandangan dariku. Dia begitu antusias untuk mendengarkan semua ucapanku yang jika Saka sering bilang terlalu bijaksana dan terus-menerus berpikiran positif. Padahal bisalah untuk sesekali menciptakan hal yang berbeda agar tak selalu terjerat aturan yang mengikat. “Kasarnya gini Mas, sedetik aja enggak merhatiin lampu APILL’ kita harus nunggu lagi sampe satu menit untuk kemudian bisa nyeberang atau lewat. Atau misalnya, jalanan yang tadinya di maps lengang, bisa mendadak macet hanya 1 Lampu APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) atau biasa disebut lampu merah. 85 karena ada kereta lewat atau orang-orang yang belok di sembarang tempat. Seenggak teratur itu, tapi bisa ngebuat kita jadi manusia paling teratur untuk menyiapkan A sampe Z. Hehe.” Aku terkekeh untuk mengakhiri ucapanku yang tampaknya sudah terlalu panjang. Anehnya, Rio tak bosan mendengar aku bicara. Ia justru berkali-kali mengangguk mengiyakan setiap ucapanku. Mengobrol dengan Rio membuatku seperti menemukan diriku dalam wujud seorang lelaki. Bukan menemukan sebagian diri, melainkan sepenuhnya aku. Sial, tampaknya aku mulai nyaman untuk bertukar cerita dengannya. Setidaknya, bersama dengan Rio aku bisa bercerita, bukan hanya sebagai pendengar. Perjalanan memang tidak pernah salah memerangkap dua orang asing untuk kemudian menjadi lebih dekat dan melabuhkan nyaman. Ada banyak hal yang tak perlu dipaksakan untuk bisa dimengerti, tapi memang ternyata semudah itu untuk diterima. Tak lain hanya karena cara berpikirku dengannya yang ternyata begitu sama. a 86 Se CHAPTER Il “DEKAT YANG TAK MELEKAT, Uap aR) a ;° Di sela-sela pekerjaanku yang telah rampung, =<=)¥ aku mendatangi beberapa kedai kopi di Bandung setiap hari. Belajar memerhatikan bagaimana mereka menyuguhkan kopi, bagaimana mereka menyambut tamu dan mengajak mengobrol. Atau, bagaimana mereka berbagi mengenai kopi yang dibuat, serta mengenai apa yang mereka perhitungkan. Benar saja, beberapa tempat kopi di Bandung memiliki menu es kopi susu. Beberapa yang tidak ada, saat aku sekadar bertanya, ternyata mereka sedang dalam tahap persiapan untuk menyajikan menu es kopi susu. Begitulah, begitu besar pengaruh tren yang terjadi pada beberapa kedai kopi. Gimana, Man? Udah lu pikirin? Pesan masuk muncul di layar ponselku. Kevin menanya- kan lagi perihal tawarannya. Nanti kita ngobrol lagi ya, gue beresin kerjaan dulu. Aku menjawab sekenanya. Saat ini aku memang tengah membereskan pekerjaan desain yang harus aku selesaikan dahulu. 89 “Es kopi susunya, Mas.” Barista yang mengajakku ber- bincang saat itu datang membawakan pesananku. Kini, setiap aku datang ke mari, es kopi susu menjadi pesanan wajib untukku. Tidak ada lagi cappuccino yang aku pesan, kecuali jika Bandung sedang dingin-dinginnya. Selesai mengerjakan pesanan desain, aku bersandar di sofa. Melamunkan semua hal yang ingin dikembarakan. Imajinasi mulai membentuk harap. Bagaimana jika aku menerima tawaran Kevin? Bagaimana jika aku akan bisa sering bertemu dengan Lara? Bagaimana aku akan bertemu orang-orang baru? Namun, tiba-tiba aku teringat ibu dan adik-adikku. Aku belum berani membahas lebih lanjut perihal tawaran Kevin. Bukan tidak ingin, tapi aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang belum pasti dapat aku penuhi. Harap akan tumbuh subur dalam diri Kevin. Jika suatu saat ternyata aku tidak bisa meninggalkan Bandung, mungkin Kevin akan dapat memaklumi keadaanku. Tapi, tidak tentangku. Aku akan dihantui perasaan tidak enak. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka, ibu dan adik- adikku. Ada rasa ingin untuk selalu ada dengan mereka. Ada rasa tanggung jawab yang harus aku penuhi. Sebagai anak lelaki paling tua dan satu-satunya, serah-terima jabatan sebagai orang yang harus menjaga dan mengayomi jatuh kepadaku. Sebuah tanggung jawab tanpa persetujuan yang harus aku terima. 90 Beberapa saat, aku merasa sangat ingin untuk egois lagi. Kini, saat aku akhirnya memiliki mimpi, semua tanggung jawab yang aku miliki seolah mengekangku, dan tidak mengizinkanku untuk memiliki mimpi. Seandainya setiap orang dapat memahami bahwa kita tidak bisa dengan mudah bermimpi. Setiap orang akan tidak mudah membangun begitu saja mimpinya di satu tempat. MENJATUHKAN SAUH Aku terbangun dari hujan semalam, yang rintikknya kelelahan saat matahari berencana hadir. Bagaimana kiranya aku bisa sampai di sini? Aku yang memilih, atau tempat ini yang terpilih untukku? Bagaimana aku bisa percaya, pada semua yang dihadirkan untukku? Padahal aku punya kuasa untuk memilih, pada apa dan siapa sauhku akan kujatuhkan. pada apa dan siapa aku akan menetap. Pernahkah ada yang bertanya, bagaimana bisa dirinya bisa ada pada suatu tempat? Hingga pada akhirnya percaya bahwa yang ditempati adalah yang teruntuk dirinya, selain karena tidak ada tempat lain gi yang bisa ditemukan, atau yang bisa ditempati. Kiranya, kita semua begitu terbiasa pada semua hal yang tersaji. Rasa percaya yang hadir, tumbuh bukan berdasarkan pilihan, melainkan karena penerimaan. Hingga akhirnya menyerah, saat percaya mulai melahirkan kekecewaan dan memaksa kita kembali memilih. Setia pada apa yang dihadapkan, atau melangkah mencari yang lain, untuk kembali menancapkan sauh. Aku mem-posting tulisan di laman Blog pribadiku. Menumpahkan sesuatu yang tersirat. Bagaimana pun menulis masih menjadi hal asing yang sedang aku biasakan. Masih sedikit malu-malu untuk sepenuhnya jujur. Seolah mencoba berteman dengan orang baru yang tidak aku ketahui, tapi begitu membuatku tergoda untuk aku selami. Menulis, seperti sebuah pendekatan yang menyenangkan. Namun, yang kudekati adalah diriku sendiri. Lucu bukan? Ada bagian dari diriku yang memaksa untuk jujur. Meraung untuk menyerah pada kebohongan atau pada topeng yang selama ini aku kenakan. Hingga akhirnya, seolah diriku yang asli adalah diriku yang lain. Sedang, aku yang ini adalah 92 diriku yang palsu. Diriku yang telah terkontaminasi oleh pemahaman-pemahaman yang dibentuk oleh kebutuhan sosial. Kepergian Lara saat itu berhasil mempertemukan aku dengan diriku yang lain. Hal itu sepertinya yang dapat membuatku begitu merelakan kepergian Lara. Menerima salahku atasnya, karena membuatku akhirnya memahami bahwa kepergiannya membawaku kepada diriku seutuhnya. Hanya dengan kehilanganlah, aku dapat menemukan diriku yang utuh. Aku menyeruput es kopi susu. Manis dari gula aren terasa menyempurnakan rasa kopi dan susu di dalamnya. Berbeda dengan cappuccino yang biasa aku minum. Manis buatan ini, bukan rasa yang dibuat-buat. Seperti, aku yang kini terkejut melihat notifikasi pesan masuk di laman Blog milikku. Muncul nama Eleftheriana, lagi. “Menarik bukan, kita sama-sama mengirim puisi dan prosa sebagai utusan untuk menyampaikan sapa. Hingga sapa itu bisa jauh lebih puitis dan memiliki irama daripada dua raga yang menulisnya, yang mengirimnya.” Isi pesan itu pun dibuat oleh seseorang yang masih belum aku ketahui. Namun, rasa manis saat membacanya tidak terasa seolah dibuat-buat olehku. Aku benar-benar 93 merasakan manis saat membacanya. Ada rasa manis di balik ketidaktahuanku tentang seorang Eleftheriana. Dirinya benar-benar semenyenangkan es kopi susu yang ternyata sedari tadi masih ada di tangan kiriku. Aku meletakkan es kopi susu di meja dan bersiap membalas pesannya. Jariku tak mau bergerak. Sial! Apa yang sedang terjadi kepadaku? “Oke, Saka kamu harus tenang. Ini adalah perasaan yang bodoh. Kamu sangat, menyedihkan.” Aku berbicara pada diri sendiri. Apa benar aku semenyedihkan ini? Mudah untuk begitu tergoda pada hadir yang begitu samar. Namun, bukankah semua orang sangat tertarik pada hal yang membuat mereka penasaran? “Apakah prosa dan puisi akan tiba di titik lelah untuk saling menyapa? Semoga saja kita tidak lelah untuk tetap menulis rasa.” Jariku menari seinginnya di atas keyboard. Mengetik pesan yang ingin disampaikan oleh nurani. Nalar kali ini tak sempat untuk mencegah atau berkomentar. Aku bingung, apakah ini pertanda baik atau buruk? Diri ini tak semestinya mudah untuk membuka sapa, terlebih pada nama yang tak memiliki rupa. 94 Pesan akhirnya terkirim. Anehnya, kali ini degup sedang kewalahan menunggu balasan. Sial, untuk apa aku menunggu balasan? Rasa seperti ini kembali menjahiliku. Membuatku ragu dan takut, tapi juga penasaran. Aku menyeruput lagi es kopi susu di depanku. Rasanya benar-benar persis seperti ini, seperti es kopi susu! Sial! Isi kepalaku mulai kacau. Aku harus mengalihkan perhatianku, kembali mengerjakan pekerjaan desainku. “Aku rasa kita harus mencari tahu sendiri :)” Pesan balasan masuk. Aku membaca perlahan, percepat, berkali-kali, hingga tak ada arti pasti dari kalimat yang aku baca. Hingga aku tersadar sesuatu, aku tidak merasa ragu atau bahkan takut. Tak seperti kali terakhir dengan Lara yang membuatku harus bertindak sangat hati-hati. Ingatan itu membangunkan nalar yang kini mulai mengerjaiku dengan akal-akalannya. Kali ini aku membiar- kan nalar beraksi, membiarkan diriku dikuasainya. Aku merasa perlu untuk benar hati-hati. Pesan darinya tak kuindahkan, kubiarkan tanpa balasan dariku. Aku kembali mengerjakan pekerjaanku. Hari semakin sore, matahari terlihat mulai menghangatkan kedai kopi ini. Beberapa orang yang sedang menongkrong memetik gitarnya dan mulai memainkan nada serta lagu. 95 Sementara... teduhlah hatiku. Tidak lagi jauh. Belum saatnya kamu jatuh. Lirik lagu Sementara milik Float berhasil menenangkan sekaligus mengacaukan pikiranku. Rindu akan Lara masih saja sering menghampiri. Kurasa, aku cukup paham mengapa banyak sekali orang yang susah untuk move on. Bagaimana tidak, rindu akan kehadiran seseorang di masa lalu memang begitu menyesakkan. Tapi, di saat yang sama harapan seolah sama besar dengan kemungkinan. Rindu juga berbanding lurus dengan luka saat harap semakin ditancapkan. Sebuah euphoria yang kontradiksi. Sebuah rasa yang bertabrakan namun membuat ketagihan. Tenggelam dalam ingatan masa lalu dan hanyut dalam keadaan sekarang merupakan rasa yang memang membuat ketagihan. Kita memang begitu senang menyiksa diri sendiri. Keadaan seperti itu membuatku mengerti, lebih baik terluka dalam ingatan daripada tidak merasa apa pun sama sekali. Ini bukan perkara ingin baik-baik saja namun perkara ingin merasakan sesuatu. Percayalah, hati. Lebih dari ini, pernah kita lalui. Jangan henti di sini. 96 “Jadi, kamu nginep di mana, Mas?” tanyaku begitu kami sampai di depan pintu kedatangan Bandara Soekarno Hatta. “Di Kalibata City, saudaraku tinggal di sana. Kamu sendiri langsung balik ke rumah?” Aku mengangguk sambil membalas pesan yang masuk ke telepon genggamku. Salah satunya pesan dari ibuku yang menanyakan aku sudah berada di mana. “Yap, langsung balik aja, udah malem juga. Kasian Mama kelamaan nungguin aku balik.” “Bareng aja yuk, Ra. Kebetulan aku kan dijemput saudaraku. Masa iya kamu malem-malem gini nunggu ojek online,” ajak Rio sambil menunjuk arah di mana saudaranya memarkirkan kendaraan. Aku menolak ajakannya dengan gelengan kepala ringan. “Enggak usah, Mas. Santai aja, kalau udah balik ke kota sendiri mau pulang semalem apa pun enggak ngerasa was- was. Lagian aku kebetulan dijemput temen kok. Dia udah nunggu di parkiran, jadi enggak perlu order, hehe.” “Wuih, temen apa temen, Ra?” Kali ini pertanyaan Rio menyiratkan keingintahuan yang cukup jelas. “Enggak boleh kepo, nanti suka!” o7 Aku langsung mencari menu kontak untuk menelepon Kanaya dan menanyakan di mana keberadaannya. Sambil menempelkan ponsel di telinga, aku segera berjalan menjauh dan melambaikan tangan kepada Rio. “Udah ya duluan, Mas. See you!” “Hati-hati, Ra! Besok kabarin ya kalau bisa nemenin keliling-keliling.” Samar aku mendengar kalimat Rio itu, dan menjawabnya dengan sebuah senyum simpul dan anggukan kecil. Telepon yang dari tadi hanya terdengar nada sambung kini sudah diangkat. “Lu di parkiran sebelah mana?” Aku kemudian mengedarkan pandangan mencari-cari sosok perempuan yang sedang berbicara di telepon juga saat ini. “Parkiran keluar motor, Ra.” Mataku terbelalak mendengar ucapannya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Kanaya. “Gilaaaa... jauh juga gue jalannya. Lagian kenapa enggak masuk sih, bantuin gue bawa barang. Capek tahu. Kalau enggak ikhlas jemput mah mending enggak usah, Nay.” “Manja banget, baru juga pindah Jogja bentaran udah lembek. Lu enggak jalan kaki sampe lima kilo kali. Udah buruan, gue ngantuk.” 98 Kali ini Kanaya yang menggerutu di ujung telepon. Belum sempat aku membalas perkataannya, Kanaya sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Memang sih jarakku dengan parkiran motor tidak terlalu jauh. Tapi, dengan sisa tenaga yang sudah habis dikuras sejak pagi tadi, ditambah harus membawa tentengan oleh-oleh untuk ibuku dan Kanaya, membuat langkahku terasa semakin berat. Sebetulnya aku tidak meminta Kanaya menjemputku. Tapi, begitu dia tahu aku akan balik ke Jakarta hari ini, ia segera menawarkan diri untuk menjemputku. “Sekalian nginep di rumah lu,” katanya kemarin saat aku a “Dari Mas Rio. Katanya, ‘Siang ini sibuk enggak? Bisa kali jadi pemandu perjalanan. Saudaraku sibuk nganter calonnya mengabarinya. belanja tuh, masa tamu dianggurin. Bosen nih, Ra. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dibuat malas ketika Kanaya dengan kencang membaca pesan masuk itu. Bukan hal yang mengherankan jika Kanaya bisa membuka passcode di ponselku. Di antara kami memang tak pernah ada rahasia apa-apa yang disembunyikan. Kecuali... mungkin tentang rasaku kepada Saka. Aku hanya menghela napas pelan, tak mengindahkan 99 ucapan Kanaya barusan. Memilih untuk terus melangkahkan kaki lalu duduk di atas tempat tidur sambil mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. “Jadi, Rio tuh siapa, Ra? Kok, gue enggak pernah denger lu nyebut namanya,” tanya Kanaya sembari melemparkan ponsel ke pangkuanku. “Pemred gue, di atas gue lah pokoknya. Sebut aja doi, bos gue,” jawabku singkat sambil mulai mengetik balasan untuk Rio. “Bos? Terus, lu udah sedeket apa sama doi sampe dia minta ditemenin gitu. Lagian ya, emangnya doi di Jakarta apa di Jogja sih?” Usai membalas pesan Rio, aku kemudian mengambil guling yang berada di samping Kanaya dan memeluknya erat sembari merebahkan badan di tempat tidur. “Lagi di Jakarta, semalem ke sini bareng gue.” “Bareng lu? Sepesawat maksud lu? Pantes lu belagu naik pesawat, tumben banget. Ternyata sama bos yang merangkap calon, nih?” Kanaya mulai menggodaku kini. “lya, dia mau ke tempat saudaranya. Terus, pas tahu gue juga mau balik ke Jakarta ngajakin bareng deh. Siapa juga yang nolak kalau dikasih tiket gratis?” Sedetik kemudian Kanaya melemparkan bantal ke wajahku. “Gaji udah gede, mental masih gratisan. Hari gini mana ada yang gratis sih, Lara? Tiati lu sama sikap baiknya si Rio itu. Siapa tahu doi lagi usaha deketin lu. Kalau lu nya 100 enggak mau mending ngejauh deh. Nanti anak orang keburu ngarep. Lu dikira PHP, Ra.” “Gini ya, kalau semua orang mikirnya kayak lu, enggak akan ada namanya orang bisa berbuat baik deh gue rasa. Berbuat baik dibilang ada maksud terselubung. Sekalinya tuh orang niat beneran tulus eh, karena takut ini-itu kita malah nolak kebaikan itu. Lu tahu enggak? Ke...” “Enggak, gue enggak tahu, Ra.” Belum selesai aku berbicara, Kanaya dengan iseng langsung memotong omonganku, “Yeee sialan, dengerin gue ngomong dulu makanya.” Aku kemudian duduk bersandar di kepala tempat tidur. “Kemurahan hati dan kebaikan seseorang ke kita tuh enggak sepantesnya kita curigain dan dipikirin macem-macem. Yang perlu kita lakuin tuh, ya udah menerima dengan ikhlas apa yang mereka tawarkan kalau sekiranya itu enggak memberatkan. Karena, sama aja kita udah bantuin orang itu buat dapet pahala. Balik deh situasinya, kalau lu yang niat baik sama orang tapi ditolak karena mikir niatnya macem- macem, lu bakal kesel enggak?” “Omongan lu bener juga sih, Ra. Tapi, gue berasa lagi denger Mamah Dedeh ceramah.” Kanaya terkekeh kemudian. “Eh, tapi ya, Ra, lu yakin itu bos lu enggak ada rasa sama lu?” tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Mencoba melihat apakah aku berbohong atau tidak. Melihat tingkahnya yang seperti itu aku langsung 101 mendorongnya menjauh. “Ya, kalau soal itu mah bukan urusan gue, Nay. Biar aja itu urusan dia sama hatinya sendiri. Lagian orang kayak dia mah mau dapet cewek model apa juga bisa. Mukanya enggak jelek kok, manis malah. Tipikal mas- mas Jawa yang kalau senyum manisnya kayak gula merah. Enggak bikin sakit, tapi nagih.” “Anjir! Lara, Lara, semenjak di Jogja kenapa bisa jadi tukang gombal gini dah? Receh banget, sumpah.” Aku dan Kanaya kemudian tertawa bersama. Aku sendiri heran dengan gurauan yang baru saja kulontarkan. Sebelumnya aku bahkan tak bisa sebebas ini. Rasanya aku seperti sudah mulai menerima segala hal yang pernah terjadi hingga akhirnya bisa lebih menikmati hidup, lengkap dengan lelucon yang bisa diciptakan untuk sekadar melepas penat. Mungkin, Saka lah yang turut ikut andil dalam semua penerimaan yang tengah kureguk. Mungkin, Saka jugalah yang tanpa sadar telah mengubahku untuk bisa terbuka dan mulai lepas mengungkapkan segala rasa dan pendapat. “Lagian elo mancing, Nay. Btw ya, mana bisa gue ngontrol perasaan orang lain. Kalau lu tanya gue ada rasa apa enggak, gue sih bakal dengan yakin bilang enggak ada. Eh, belum ada deng, mana tahu besok jadi ada. Gue nanti ketulah lagi kalau sekarang sok ngomong enggak ada.” “Ya, iyalah mana bisa lu ada rasa ke si Rio-Rio itu, sementara hati lu masih nyangkut di Saka. Geblek, dasar. Eh, ngomong-ngomong ya, apa kabar tuh Saka? Masih tuh kalian 102 enggak komunikasi? Perjanjian macem apa pula sih kalian tuh? Zaman sekarang masih aja sok-sok mengandalkan semesta yang berkonspirasi buat mempertemukan kalian. Lu hidup di Zaman apa sih, Ra? Lu lagi bikin kisah kayak di novel-novel?” Aku mendengus kesal, tidak suka jika segala hal tentang perasaanku masih saja disangkutpautkan dengan Saka yang saat ini bahkan sudah lebih dari kata selesai itu sendiri. Entahlah, rasanya tidak nyaman saja jika harus kembali mengungkit apa yang sudah terjadi. Sebab, mungkin sebagian dari diriku juga masih berusaha untuk menerima apa yang sebaiknya diterima, terutama ketika aku mengingat kesalahan-kesalahanku kepada Saka. “Berisik ah, Nay. Gue sama Saka udah enggak ada rasa apa-apa kali, enggak usah digituin terus. Yang awalnya udah enggak ada, malah bisa jadi ada kalau dicengin mulu.” “Yang enggak ada bisa jadi ada sih emang. Tapi, yang udah ada terus disangkal malah jadi makin berkembang loh, Ra.” Kanaya masih saja mencoba menggodaku dengan ucapannya yang selalu saja bisa untuk membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Karena, terkadang apa yang dia katakan adalah benar adanya. “Serah lu, serah! Lagian ya, lu mau pulang jam berapa? Entar abis zuhur gue mau nemenin si Rio jalan-jalan,” tanyaku berusaha mengalihkan topik. “Gue diusir? Ih, enggak berperikemanusiaan banget sih 103 lu jadi sahabat.” Aku menggeleng malas sambil menatap Kanaya. “Apa deh? Siapa yang ngusir? Maksud gue nanya tuh biar nanti keluarnya bisa bareng kalau gue tahu lu mau balik jam berapa. Hhhh.... Heran jadi orang suudzon amat.” “Hehe, ya maaf, Ra. Gue tidur dulu deh ya, nanti pas zuhur bangunin. Mata gue masih sepet nih abis jemput ibunda ratu tadi malem.” Tanpa menunggu jawabanku, Kanaya langsung meng- ambil selimut dan kembali melanjutkan tidurnya di sebelah- ku. Melihat kelakuannya itu aku hanya bisa terkekeh sambil a “Jadi, mau ke mana kita hari ini, Bu?” menggelengkan kepala. Rio yang sedang sibuk memasang seatbelt di sebelahku bertanya tentang tujuan perjalanan hari ini. Berhubung dia tak mengerti seluk-beluk jalan di Jakarta dan enggan menggunakan Maps, maka kemudi aku yang ambil alih. Sepuluh menit lalu aku sudah tiba di depan apartemen saudaranya. Menunggunya keluar sembari memikirkan akan mengajaknya jalan-jalan ke mana hari ini. “Mas, enggak usah ngejayus manggil ibu, ih. Enggak usah banyak nanya juga ya, percaya aja sama aku. Insya 104 Allah enggak nyasar, tapi kalau macet mah maklumin aja ya. Namanya juga ibukota.” “Macet di jalanan mah biasa, Ra. Asal jalan ke hatimu enggak usah ikutan macet aja.” Aku yang sedari tadi fokus menatap jalanan, kini menautkan kedua alis sambil memandang ke arahnya sekilas. Menariknya, Rio mengucapkan hal itu dengan intonasi paling datar yang pernah kudengar. Tidak ada nada menggoda bahkan senyuman jahil yang biasa ditunjukkan oleh laki-laki yang sedang berusaha menarik perhatian seorang wanita. Bukannya mencari tahu reaksiku setelah mengatakan hal itu, Rio justru sibuk memilih lagu yang akan dia putar. Aku hanya tertawa lirih lalu kembali menatap lurus ke depan, sama sekali tak mengerti dengan gurauannya. Biarlah, mungkin lebih baik memang seperti ini. Tak usah dilanjutkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu terlalu dipikirkan. Lagipula mengapa aku harus memikirkan maksud dari perkataan Rio tadi. Atau, jangan-jangan aku penasaran. “Ah pasti karena ucapan Kanaya nih,” ucapku lirih dalam hati. Aku langsung mengarahkan mobil ke arah Gambir dengan kecepatan standar. Hari Sabtu siang di Jakarta kali ini ternyata cukup lengang. Ya, setidaknya tak terlalu membuat kaki pegal untuk sekadar berpindah pedal. Maklum, mobil yang kupakai hari ini adalah mobil ibuku, bukan matic, maka akan sedikit pegal jika aku harus berjam-jam menghadapi 105 kemacetan. “Tahu enggak Ra, apa yang bikin Jogja tuh selalu ngebuat kita bisa enggak merasa besar? Besar pake tanda kutip ya. Besar karena merasa jabatan kita penting, dan besar yang membuat kita jadi jemawa.” Lagi-lagi Rio membuka obrolan. Bisa dipastikan sepanjang perjalanan ini seluruh percakapan akan didominasi olehnya. Aku hanya menggeleng lemah dan menatapnya meminta penjelasan lebih lanjut. “Karena di Jogja tuh lebih banyak manusianya yang bersyukur. Mungkin karena atmosfernya juga sih ya, budaya juga. Setiap orang di Jogja tuh menghargai pekerjaannya dengan terlalu. Sesepele apa pun pekerjaan itu bagi orang lain yang ngeliat, tapi yang bekerja itu ngejalaninnya sepenuh hati. Itu yang bikin manusianya satu sama lain enggak ngerasa iri dan enggak ngerasa paling besar. Mereka bisa sesadar itu dan nerimo dengan porsi rezeki masing-masing.” Rio melirikku yang sedari tadi masih diam mendengar- kannya berpendapat. “Eh, enggak bermaksud diskriminasi ya, ini hanya pendapatku yang memang asli dan besar di Jogja tapi beberapa kali sering plesiran ke kota lain. Mayoritas penduduknya kayak gitu, selebihnya mah balik lagi ke manusianya masing-masing kok.” Aku yang sedari tadi sibuk memecah isi kepala untuk fokus mendengarkannya dan fokus terhadap jalanan, kini memilih untuk tak lagi diam namun menimpali. “Contohnya kayak gimana tuh?” 106 “Nih Ra, kamu liat di depan, itu tukang parkir.” Aku mengikuti ke mana arah telunjuk Rio bermuara. “Dia mah asal banyak yang markir di lahannya pasti seneng banget karena pemasukannya banyak. Enggak peduli mau orang itu bilang makasih atau enggak. Karena, yang penting buatnya ya, hanya uang parkirannya aja. Beda kalau di Jogja, meski juga butuh uang tapi ada satu hal lain yang lebih penting, yaitu ucapan terima kasih. “Aku pernah sampe diketok kaca mobilku hanya karena lupa bilang makasih. Padahal itu enggak sengaja, aku lagi keasyikan ngobrol sama temenku. Terus, si bapak parkirnya ngetok aja sambil bilang, ‘Jogja Mas, matur nuwun.’ Di situ rasanya aku malu banget, Ra. Malu banget. Aku sampe kepikiran kalau ucapan makasih tuh dari hari ke hari makin terasa susah terucap. Sama kayak susah ngucapin maaf, padahal tahu kalau dirinya salah.” Aku dibuatnya terperangah. Sedikit terkejut dengan cara Rio bercerita dan mengambil hikmah dari sebuah kejadian. Aku jarang bertemu lelaki seperti Rio ini, yang mau melihat sesuatu dengan cara dan penerimaan yang begitu berbeda. Aku jadi penasaran dengan masa lalunya. Setidaknya pasti ada sebuah kejadian yang membuat dirinya menjadi Rio yang seperti ini. Sepanjang satu jam perjalanan, percakapan didominasi oleh Rio yang membahas tentang hal-hal yang cenderung biasa. Namun, ketika dibicarakan olehnya justru menjadi 107 luar biasa, ya seperti percakapan tadi. Jujur saja aku menikmatinya. Rasanya sudah cukup lama aku tidak mengobrol sesuatu yang ringan tapi sarat makna seperti hari ini. Jika dulu Saka yang selalu menyuguhiku ceritanya yang luar biasa, kehadiran Rio seolah menjadi pengobat rindu akan kehadiran Saka. Aku buru-buru mengenyahkan kerinduanku kepada Saka yang sepertinya masih saja sering mampir. Usai memarkirkan mobil di Gambir, aku kemudian mengajak Rio berjalan menuju Galeri Nasional yang letaknya tidak jauh. Hanya perlu menyeberang dan berjalan ke sisi kiri. “Nah, sampe deh!” ucapku sambil merentangkan kedua tangan bak seseorang yang sedang mempersilakan tamu datang ke kediamannya. Rio kemudian mengedarkan pandangannya dari ujung ke ujung. Menatap sekeliling yang cenderung sepi. Aku kemudian kembali bersuara sebelum ia berkomentar apa- apa tentang mengapa aku membawanya ke sini. “Jangan salah ya, Mas. Ini bukan sembarang galeri. Di sini banyak hal bisa kamu dapet. Mau menikmati seni, ya di sini tempatnya. Mau merenung? Di sini juga bisa banget. Main- mainlah ke museum, karena banyak hal yang bisa dibawa pulang. Ini salah satu tempat favorit aku untuk melarikan diri, hehe. Kebetulan aku lagi pengen hunting foto, terus kepikiran sama tempat ini. Enggak keberatan, kan kalau kita 108 ke sini? Nanti pulangnya makan es krim Ragusa deh. Oke, oke?” rayuku sambil menangkupkan kedua tangan di depan mukaku, seakan memohon kepadanya agar tak menolak ajakanku kali ini. “Selama tempat-tempat yang aku datengin beda sama di Jogja, aku mah mau-mau aja, Ra. Enggak ada masalah. Lagian yang penting tuh sama siapa dateng ke sininya, bukan seperti apa indah tempatnya.” Usai mengatakan itu dia kemudian berjalan men- dahuluiku. Meninggalkan aku yang masih terperangah akan ucapannya. Lagi-lagi, Rio berhasil membuatku ingin menggaruk kepala yang tidak gatal saking dibuat bingung oleh ucapan dan tindakannya. Belum usai aku melamun, Rio kemudian berbalik dan menyapaku dengan gurauannya lagi, “Mau sampe kapan berdiri di situ? Panas loh, nanti kamu item. Yuk ah, masuk. Jelasin ke aku mana aja tempat yang menarik di sini.” Aku yang tersadar dari isi kepalaku, lalu setengah berlari menyusulnya sambil mengikat satu rambutku. Membuat angin bisa mengenai tengkuk leher dan membuatku tidak lagi merasakan panas yang menyengat. a” 109 CE “Sinar, sini bentar,” panggilku kepada adikku y yang paling besar. Sinar tengah libur kerja saat \/ itu. “Kak Saka mau tanya. Hmm... Kamu suka mikirin enggak sih kalau Mamah kesepian?” Aku hati-hati bertanya kepadanya. “Hah? Tumben nanyanya begitu? Kenapa emang?” Sinar duduk di sebelahku di kursi ruang tamu. Sudah lama tidak berbincang, aku hampir lupa wajah polosnya kini semakin terlihat dewasa. “Yah, kamu kan tahu Bapak meninggal udah belasan tahun. Belasan tahun juga Mamah sendiri. Yang biasa dulu ada yang rawat, ada temen ngobrol, ada yang perhatiin, ada yang mengayomi, sekarang enggak ada. Selama sebelas tahun kamu emang enggak pernah mikirin kebutuhan Mamah yang kayak gitu?” Aku coba mengarahkan pernyataan untuk membangun pemahaman Sinar dahulu. Tak ingin segera menembaknya dengan pertanyaan inti. “Hmm, iya, ya. Udah sebelas tahun, enggak kerasa. Tapi, emang kita enggak cukup buat nemenin Mamah ya?” Sinar balik bertanya. “Yah, itu menurut kamu. Kita sama adik-adik pada sibuk sama kegiatannya. Ramenya paling cuma malem, itu juga masih sibuk di kamar masing-masing. Yang nongkrong di ruang tengah paling cuma Mamah. Rame juga kalau kebetulan kalian makan malem barengan aja kan? Waktu 110 itu, waktu Mamah lagi cuti karena enggak enak badan, Kakak merhatiin Mamah yang lagi ngerjain kerjaannya di ruang tengah, sendirian. Kakak tiba-tiba ngerasa khawatir sama Mamah.” Aku masih bercerita dengan hati-hati. “Kalau Kakak mau nanya apa Mamah boleh nikah lagi, Insya Allah Sinar mah enggak pernah keberatan, Kak.” Sinar menembakkan maksud yang kuajukkan. Aku hanya tersenyum. Jawaban darinya cukup untuk aku sedikit merasa lebih tenang tapi khawatir juga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku akan bersama seorang lelaki yang tidak kami kenali, tidak aku kenali. Sebuah pikiran muncul di kepalaku mengenai ini. Apakah ibuku pernah khawatir perihal wanita yang aku pilih untuk aku jadikan istri kelak? Apakah kami memiliki kekhawatiran yang serupa satu sama lain? Atau, mungkin hanya aku saja yang masih tidak rela untuk hormat pada seseorang yang tiba-tiba menjabat sebagai ayah. Berhari-hari aku memikirkan ini sejak perbincanganku dengan Sinar. Ingin sekali membicarakan hal ini lagi dengan kedua adikku yang lain, Permata dan Putri, tetapi ada sesuatu yang masih menahanku. Meski sedikit tenang bahwa Sinar sudah menyetujui tapi bagiku jabatan seorang ayah bukan hanya perihal sosok. Ini lebih kepada sejarah dan cerita, yang membentuk sosok itu sendiri. Hormat dan cinta yang kemudian hadir dibentuk oleh cerita dan sejarah itu. a1 Sob, doain gue besok sidaang...! Setelah itu gue tunggu kabar dari lu. You know what | mean. Aku sedang menikmati es kopi susu di Kyotown Coffee Siang ini saat sebuah pesan masuk dari Kevin muncul di layar ponsel. Aku menarik napas panjang. Belum selesai perihal ibuku, kini masih tersimpan satu hal lain yang belum berani aku sampaikan kepada ibuku. Tentang keinginanku untuk tinggal di Jogja beberapa waktu yang lama. Ya, beberapa lama sudah bukan dalam hitungan hari. Bisa beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun tanpa satuan waktu yang pasti. Yoi, mangat, Sob! Make a great shot! Aku membalas pesan singkat Kevin lalu kembali menikmati es kopi susu di siang yang agak terik ini. Desain yang sedang aku kerjakan tinggal finishing. Namun, enggan sekali aku selesaikan. Kepalaku berkecamuk. Seolah banyak hal yang harus aku selesaikan padahal aku hanya terlalu senang membuat perandaian dalam kepalaku. Lagi-lagi andai, andai semua masalah bisa bekerja dan berbanding lurus dengan perandaianku dalam kepala. Saat aku membayangkan semua jalan keluar dari apa yang tengah 12 aku hadapi dan bisa aku selesaikan, apakah akhirnya aku bisa untuk tenang? Kembali pada sebuah pemahaman perihal merasa, bahwasanya manusia adalah mahluk dinamis yang tidak pernah rela untuk diam. Seolah diam berkebalikan dengan makna hidup itu sendiri. Perasaan, pemikiran, kesenangan, kesedihan, adalah sebuah ledakan supernova di angkasa yang akan membentuk kehidupan. Namun, laiknya ledakan, semua ledakan bermula dari ketiadaan. Dan, setiap ledakan hanya bersifat sementara. Maka, jika ledakan berangsur- angsur menyusut dan kembali pada sepi, setiap orang akan mencari dan membuat gesekan apa pun yang bisa menciptakan macam-macam ledakan. Menciptakan macam- macam keadaan agar bisa kembali merasakan sesuatu. Ya, setiap orang memang senang membuat-buat masalah sendiri dalam kepala dan hidupnya. Seperti aku yang senang membesar-besarkan semua hal dalam kepalaku. Aku membuka browser dan blogwalking untuk mencari- cari inspirasi. Mencari tulisan-tulisan yang bisa menstimulus pemahamanku. Meski tak tahu pasti tulisan dan pemahaman apa yang aku butuhkan, setidaknya, aku mencari. Diam dengan isi kepalaku yang hanya selalu berputar di situ-situ saja kadang hanya memperkusut pikiran saja. 113 Kadang kita tidak tahu untuk percaya pada apa dan siapa, semua hal terlihat samar dan membuat kita nanar. Tetapi, itu bukan perihal apa atau siapa. Mungkin doa kita yang tidak cukup baik, untuk membuat kita bisa percaya. Sehingga, ragu masih menjadi teman baik yang selalu kita jaga. Kita saja yang terlalu nyaman dengan ragu. Karena untuk percaya, ternyata dibutuhkan usaha yang lebih. Tulisan itu aku temukan di salah satu Blog milik perempuan dengan rupa yang rahasia, Eleftheriana. Sayangnya, aku tidak bisa untuk tidak setuju. lya kan, betapa kita sebegitu rela untuk diperbudak ragu. Aku ragu jika aku dapat dengan rela memberi izin ibuku untuk menikah lagi dengan seseorang. Aku ragu jika ibuku dapat memilih orang yang tepat, yang tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk aku dan adik-adikku. Aku ragu jika harus pergi mengejar mimpiku membuka kedai kopi di Jogja, dan meninggalkan ibu dan adik-adikku. Ragu, terlalu membuatku nyaman untuk tidak percaya pada sesuatu. Hanya membuatku terlihat egois. Seolah aku tidak membiarkan kesalahan yang mungkin saja terjadi. Seolah semua harus sesuai dengan inginku, dengan caraku, 114 tanpa mau memedulikan orang lain. Lalu, aku teringat pada pesan dari pemilik akun Eleftheriana yang belum aku balas. Aku ragu jika harus membalas pesannya. Entah karena aku masih takut melukai seseorang, atau karena takut aku terlalu mudah untuk mau membalas sapa seseorang. Bisa saja dia hanya wanita kesepian yang melakukan hal itu ke setiap orang yang tulisannya dia sukai. Namun, memang apa salahnya jika begitu? Aku bertanya dalam hati. Pikiranku sejenak melayang saat pertemuanku dengan Lara. Tentang keraguan dan ketakutan. Tentang kesempatan dan kemungkinan. Semua yang terjadi mengarahkan aku pada hal besar. Aku mengerti, pertemuan akan membawaku pada banyak kemungkinan yang akan semakin mendewasakanku, dengan semua kejutan-Nya. Saat ini, aku tidak bisa menghitung apa yang membuatku tertarik dengan nama samaran Eleftheriana. Hanya ada sebuah foto siluet gadis di profilnya. Ketertarikanku tidak memiliki asal muasal selain, tertarik. Entah pada kata- kata yang dia tulis, entah dari sapanya, entah dari caranya mengirim pesan kepadaku. Aku hanya, tertarik. Kemudian... “Ya, kita harus mencari tahunya. Aku ada ide, kamu bisa menebak?” Kalimat itu terkirim menuju kotak masuknya. 115 I’m done doubting! ujarku dalam hati. Aku menyeruput es kopi susu milikku. Manis dan pahitnya menyatu menjadi pengisi daya semangatku untuk menyelesaikan yang selama ini berkecamuk dalam hati. Perjhal ibuku, perihal izin untuk aku pergi, dan memberi izin kepada ibuku untuk mempersilakan dirinya menikah lagi. Kak, lagi di mana? Pesan masuk dari adikku, Sinar. Di tempat ngopi, ngerjain kerjaan. Kenapa? Balasku kemudian. Tak lama Sinar sudah mendatangiku dari kantornya setelah mengajakku untuk bertemu. Sekalian dia tengah beristirahat untuk makan siang. “Di sini cuma kopi doang, kak?” Sinar bertanya. “Tuh, itu ada salad. Belum pernah nyobain sih, tapi kayaknya enak.” Aku menunjuk kedai salad di ujung ruangan. “wah, salad. Pas banget Sinar lagi diet. Hehehe.” Sinar terkekeh dan segera memesan makanan. “Jadi, kenapa tumbenan ngajak ketemu?” Aku langsung menembak dengan pertanyaan. 116 Bukan kebiasaan atau bahkan hal yang normal Sinar mengajakku bertemu di suatu tempat. Kami tidak pernah, sekali pun menikmati waktu berdua, atau berbincang laiknya kakak-adik. “sinar udah ngobrol sama Mama.” Sinar menjawab pasti. Aku sedikit terperanjat. “Hah? Kok bisa?” Aku penasaran. “Hah? Apanya yang kok bisa? Kok, kayak yang aneh gitu?” Sinar tidak terima dengan pertanyaanku. “Ya itu, kok udah ngobrol aja.” Aku masih terkejut. “Ya, bisa, lah. Tinggal ngobrol. Kok, Kak Saka aneh sih, pake kaget segala?” Belum sempat aku menjawab Sinar melanjutkan ucapannya. “Ahhh... Sinar ngerti. Emangnya Kak Saka yang sok-sokan nyari waktu yang tepat buat ngobrol kayak gitu sama Mama. Sibuk terus sih.” Sinar menggodaku. Memang begitu, aku selalu memperhitungkan suasana. Obrolan seserius itu harus aku perhitungkan suasananya. Ini perihal hati ibuku. Meski urusan hati tidak bisa diperhitungkan, setidaknya aku mengkhawatirkan dirinya. Semua diksi yang keluar dari bibirku, harus bisa diterima olehnya secara nyaman. “sinar juga udah ngobrol sama Permata, sama Putri.” Belum selesai aku memikirkan ibuku, Sinar membuatku lebih terkejut lagi. “Hahhhh...?” Aku tak bisa menahan keterkejutanku. Saking lepas kendali, sepertinya tamu lain yang sedang menongkrong ikut terkejut mendengarku yang 7 setengah berteriak. “Heh, pelan aja kali kagetnya. Lebay, ah.” Sinar menegurku. “Ya, lagian kamu kok bisa udah ngobrol sama mereka.” Seolah aku tak terima karena itu adalah tugasku. “Udah Kak, Sinar tahu Kak Saka sibuk. Kak Saka enggak gampang buat ngobrol sama mereka ngomongin hal ini. Itu urusan Sinar, urusan perempuan ke perempuan. Biar lebih bisa diterima sama mereka.” Sinar coba menenangkan. Namun, yang aku terima hanya ketidakmampuanku untuk berbicara dengan adik-adikku. “Eh, jangan marah. Bukan berarti Sinar enggak percaya Kak Saka bisa ngobrol baik-baik sama mereka. Maksud Sinar... Ngerti kan, perasaan perempuan?” Aku mengangguk tersenyum. Setelah pesanan Sinar datang, kami melanjutkan obrolan perihal ibuku. Semua ternyata menyutujui untuk memberi izin ibuku menikah lagi. Putri, hanya sempat bertemu Bapak beberapa tahun. Permata, adalah yag paling dekat dengan ibuku sejauh ini. Dialah yang ingin mewujudkan keinginan ibuku agar salah satu anaknya yang menjadi seorang guru. Permata akan menyetujui apa pun perihal menyenangkan ibu. Sinar, sudah jelas. Dari cara ibuku memberinya restu dan izin untuk dekat dengan seorang lelaki di kantornya yang beberapa kali diajak ke rumah. Dari situ Sinar sudah berada di titik paham. Setiap orang tak terkecuali ibuku, 118 membutuhkan seseorang yang dapat menemaninya, dapat membimbing, di luar mata rantai keluarga inti. Semua persetujuan dari adik-adikku seolah sedang menghakimi dan memperkosa diriku di saat yang sama. Tinggal aku sendiri yang masih menyimpan ketidakrelaan untuk ibuku menikah lagi. Untuk dekat dengan seseorang yang tidak aku kenali. Yang dalam waktu sangat singkat bisa menjadi seorang ayah bagiku. “Kalau boleh jujur, alasan lain kenapa Kakak nanyain persetujuan ini ke kamu adalah untuk mencari alasan yang kuat. Biar Kakak juga bisa ngizinin Mamah untuk nikah lagi, Sinar.” Aku mengakuinya sedikit malu. Sinar tersenyum. Bola mata hitamnya seakan ingin memeluk aku. Ada lega dan khawatir akan perkataanku. “Kalau boleh jujur juga,“ Sinar menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebenernya, Sinarlah yang minta Mamah untuk ngobrol sama Kak Saka, untuk minta ijin.” Kini bola mata tadi berubah sepenuhnya khawatir. Aku tidak bisa lebih terkejut dari yang sudah-sudah dikatakan Sinar. Selama ini mereka menyembunyikan sesuatu dari aku. Seolah aku adalah musuh utama mereka, hambatan terbesar mereka. Dada ini mendegupkan sebuah rasa tidak terima akan apa yang didengarnya. “Kok, gitu sih?” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku tak sedikit pun memiliki hak untuk marah terhadap Sinar. 119 Ada sesuatu yang aku yakini yang membuat Sinar dan ibuku melakukan hal itu kepadaku. “Kak... Kami enggak bermaksud nyembunyiin apa pun dari Kak Saka meski memang terkesan seperti itu.” Sinar membuat jeda pada ucapannya. “Sinar sama Mamah paham banget. Dari kami semua, selain Mamah, Kak Saka yang paling deket sama almarhum Bapak. Kak Saka yang paling lama diasuh, dirawat sama Bapak. Kak Saka tahu itu. Semua kebebasan yang ada di diri Kak Saka. Semua sifat, karakter Bapak, ada di Kak Saka. Kita semua sadar itu. Mungkin Kak Saka yang enggak menyadarinya. Liat adik-adik Kakak. Aku, Permata, Putri, kita semua punya kecenderungan yang sama kayak Mamah.” Sinar terdengar masih belum selesai bercerita. Namun, memang ada benarnya. Aku yang selama ini tidak menyadarinya. Aku, adalah kloningan dari almarhum bapak. “Kerinduan Kak Saka sama Bapak, mengakar di diri Kak Saka. Sampe Kak Saka sendiri terasa seperti Bapak. Seorang yang independen, seorang yang tertutup, tetapi menyembunyikan kasih sayang luar biasa. Seseorang yang tegas sama pilihannya, tapi juga rapuh dan butuh untuk disentuh. Yang kadang pengen manja, tapi malu karena harus tetap kuat di sekitar orang yang disayang. Kak Saka udah bisa ngerasain itu sekarang, bahwa almarhum Bapak ada di diri kak Saka?” ucapan Sinar memeluk nurani. 120 Seketika, diri ini jadi sangat rapuh. Semua sel dalam raga bergegas memojokkan air mata untuk muncul ke kelopak mata. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menangis. Aku tak memberinya izin untuk tumpah di atas pipiku. Biarpun aku menangis, biar aku menangis dalam pikiranku sendiri. “Kak, Bapak emang enggak bakal pernah bisa digantikan posisinya sebagai orang yang luar biasa di hidup kita, di hidup Mamah. Mamah juga enggak berniat sama sekali melupakan atau menggantikan posisi Bapak sama orang lain. Tapi, bagi Sinar, ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Sebuah ibadah. Bayangin, calon Bapak kita yang baru juga kehilangan istrinya, punya anak-anak yang merindukan sosok ibu. Dua keluarga yang memiliki luka-luka yang sama, bergabung untuk saling menyembuhkan. Apakah enggak indah, Kak?” Sinar mengakhiri ucapannya dengan senyum. Namun, ada hal yang lagi-lagi mengejutkanku. “Kehilangan istri? Maksud kamu? Mamah?” Aku ber- tanya penasaran. Gelagapan. “lya, Sinar udah sempet ketemu sama orangnya. Insya Allah, kalau Mamah aja bisa nyaman sama orang tersebut, Sinar juga. Pasti Kakak juga bisa nyaman dan nerima beliau.” Sinar tersenyum. Meskibegituterkejut, semua penjelasandariadikku Sinar, berhasil meluluhkan perasaanku. Membuat pemahaman yang mengindahkan tanpa sama sekali menggurui atau membuatku terpojokkan. Terasa seperti sebuah kasih sayang 121 yang selama ini tidak aku ketahui. “Bapak juga di sana pasti pengen ada yang bisa jagain Mama. Kita kasih restu atau izin bukan perihal hasil perhitungan kelayakan atas seseorang yang dipilih, melainkan titik percaya pada kelayakan seseorang yang memilih orang tersebut. Kita tahu bagaimana Mamah kan?” ucap Sinar pelan. Aku tersenyum. Kami sama-sama menyetujuinya tanpa perdebatan. Kami sepakat. Ibuku pantas mendapatkannya. Pantas mendapatkan kebahagiaan bahkan tanpa harus meminta izin. Aku tengah tertegun memandangi sebuah lukisan karya Dede Eri Supria yang diberi judul ‘Yang Berusaha Tumbuh’, ketika sebuah tepukan halus mampir di pundakku. “Lara!” Aku menoleh dan mendapatinya sudah berdiri di belakang dengan senyuman yang masih sama seperti sebelumnya. Aku masih terpaku menatap sosok itu hingga kemudian ia kembali bertanya. “Menurutmu arti lukisan ini apa?” Aku memandangnya lekat tapi sekilas, kemudian 122 memejamkan mata sebentar. Sebuah tarikan napas yang cukup dalam begitu kuperlukan untuk memberi oksigen pada kepalaku. Berharap sekelebat kejadian yang terus berputar silih berganti di kepalaku segera enyah. Beberapa tahun lalu, hal seperti ini pernah sekali terjadi di hidupku. Sebuah pameran yang membuatku bertemu dengan seseorang. Bukan hanya bertemu, melainkan memutuskan untuk terbuka agar bisa berbagi cerita, bahkan setelahnya malah menjalin cerita bersama. Pertemuan di pameran itu membuatku menutup sebuah luka yang telah lama menganga. Menambalnya dengan sebuah suka cita baru akan sebuah rasa cinta yang ternyata malah memberi luka kembali. Iya, sayangnya menambal luka_ bukan __berarti menyembuhkan. Itu hanyalah upaya untuk melupakan sejenak. Luka yang ada itu kemudian kembali karena memang tak pernah aku terima sebagai sebuah pelajaran. Luka itu kembali karena tak pernah aku pahami dan maknai untuk kemudian diikhlaskan. “Lara, are you okay?” Suara Rio kembali menarikku pada keadaan utuh dan sadar saat ini. “Ya, ya, aku baik-baik aja.” Aku memaksakan sebuah senyum hadir di wajah. Berusaha membuatnyatidak bertanya- tanya lebih lanjut. “Cuma lagi mikir mau nerjemahin maksud tulisan ini kayak gimana ke kamu. Karena, di kepalaku banyak banget kosakata yang berebutan mau keluar. Berisik, 123 Mas. Sampe aku bingung mau ngomong apa aja. Hehe” Rio terkekeh mendengar ucapanku. “Hahaha. Kalem Ra, keluarin aja satu-satu. Aku siap jadi pendengarmu kok. Kalau kamu biasanya nulis di Blog karena enggak ada yang bersedia menjadi telingamu bercerita, now, here I am. Aku dengan senang hati dengerin kamu ngomong, biar kamu enggak capek nuanginnya di tulisan. Ya, itung-itung biar kamu enggak pusing sendiri sama isi kepalamu yang penuh diksi dan kata-kata itu.” Aku tidak tahu apakah ucapan Rio tersebut memang terlontar begitu saja karena dia mengetahui hobiku menulis di Blog, atau dia mengatakannya karena memang semudah itu untuknya membaca dan mengenali diriku. “Menurut Mas ini berat enggak? Hmm, I mean ketika liat lukisan ini, Mas Rio kebayang hal-hal rumit atau bisa nikmatin karya ini begitu aja tanpa berusaha mikir keras maknanya apa?” Menanggapi pertanyanku itu, Rio terlihat berpikir sejenak sambil memerhatikan lukisan yang dimaksud dengan saksama. Matanya menyapu lukisan itu dari keseluruhan sisi, menelitinya sebelum akhirnya bicara. “Aku bisa nikmatin gitu aja sih Ra, enggak ada yang buat jadi mikir. Tapi, ada hal aneh gitu yang bikin aku pengen ngungkapin sesuatu. But, I don’t know how to describe it,” tegasnya sambil menoleh menatapku. Aku yang sedari tadi memerhatikannya kini kembali 124 memandang lukisan di depan kami. Mencoba mulai merangkai kata dan berusaha menyampaikannya kepada Rio. “Mas, liat itu ada persemaian yang tumbuh subur?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lukisan yang berwarna hijau persis seperti padi ataupun tanaman teh di daerah Puncak. Rio mengangguk sebagai jawaban atas tanyaku itu. Membuatku kemudian melanjutkan ucapanku. “Buatku itu artinya kekuatan dan harapan. Tanaman atau tumbuhan adalah salah satu kehidupan. Petani-petani yang menanamnya menggantungkan harapan di sana, harapan untuk menyambung hidup. Sedang, pedagang di pasar dan kita sebagai pembeli menjadikan tumbuhan itu sebagai harapan untuk memberi kekuatan bagi tubuh, dengan mengonsumsinya tentu aja.” Aku menjeda sebentar, melirik ke arah Rio yang bergantian menatapku serta lukisan itu. Seolah sedang menelaah semua yang sedang aku tuturkan. Aku kembali mengarahkan pandangan pada lukisan tersebut, tersenyum sekilas sebelum akhirnya kembali bersuara. “Sementara gedung yang runtuh dan hancur ini,” ucapku sambil membingkai lukisan itu dengan jemariku. “Layaknya simbolis dari kelemahan dan keputusasaan. Dua hal yang bertolak belakang sekali kan? Kekuatan dan kelemahan, harapan dengan keputusasaan. Seolah mengisyaratkan bahwa di balik harapan petani-petani itu tersimpan sebuah keputusasaan ketika tanaman mereka 125 diserang hama dan tak ada bantuan dari Pemerintah, misalnya. Atau, bisa juga mengisyaratkan bahwa ada pihak- pihak yang bisa membeli tanaman itu dalam jumlah banyak tapi membandrolnya dengan harga murah hanya agar mendapatkan untung banyak. Si pihak pembeli itu punya kekuatan, tapi mereka melupakan kelemahan yang juga dimiliki si petani.” Aku kemudian mengulas sedikit senyum, lega karena sebagian isi kepalaku berhasil kukeluarkan dengan baik melalui ucapan. Bukan lagi hanya lewat sederet aksara yang terkadang menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Aku mengalihkan pandangan untuk menatap Rio. “Entah maksud sang pelukis yang sebenarnya apa, tapi aku menangkapnya sebagai sebuah kehidupan yang haruslah berjalan seimbang. Jika ada pihak yang kuat, maka mereka tak boleh lalai dengan si lemah. Jika ada harapan yang merekah, maka orang lain tak boleh lupa sewaktu-waktu putus asa itu bisa aja dateng. Jadi, gitu deh, menurutku tentang arti lukisan ini. Hehe.” Aku menutup penuturanku dengan sedikit tawa ringan agar suasana menjadi sedikit lebih rileks. “Wow, aku enggak ngerti sama isi kepalamu, Ra. But to be honest, I adore you.” Matanya menunjukkan binar kejujuran akan setiap kata yang diucapkan. Aku menunduk karena tersipu malu dibuatnya. “Dan setelah diliat-liat, apa yang kamu bilang tadi tentang 126 lukisan ini tuh masuk akal sih. Menarik, Ra. Aku jadi enggak hanya nikmatin lukisannya aja, tapi bisa menggabungkannya jadi sebuah pemahaman baru setelah denger ceritamu.” Sembari kembali berjalan meninggalkan lukisan tadi menuju lukisan lain, aku menanggapi ucapannya barusan, “Ya, asal enggak semua lukisan di sini harus aku jelasin aja, Mas. Banyak banget loh ini, aku bisa berbusa-busa. Nanti yang ada pemandu tur di tempat ini harus pindah lapak karena aku bisa gantiin mereka,” selorohku yang disambutnya dengan sebuah tawa renyah. Aku menatapnya yang sedang tertawa. Caranya tertawa membuat sebuah perasaan bahagia menyeruak di dadaku. Aku tidak mengerti mengapa bisa, tapi ternyata bahagia memang bisa menular hanya dengan sebuah tawa yang dibagi. Aku masih memerhatikannya hingga kemudian mendapati sebuah kejutan manis yang dia miliki. “Mas, itu... kamu punya, dimple?” tanyaku sambil menaruh telunjuk pada pipiku sendiri. “Oh, ini?” timpalnya sambil menaruh jemarinya pada lekukan kecil di pipi sebelah kanannya. “Iya, punya, tapi cuma satu, yang kanan aja. Itu juga harus ketawa atau senyum yang lebar baru keliatan. Kamu aja baru liat sekarang, kan?” “Hehe, iya sih, baru liat. Itu juga karena kebetulan kamu ketawa dan aku baru merhatiin, Mas.” “Jadi, dari tadi kamu merhatiin aku nih?” Rio kemudian menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapanku 127 dengan menatapku lekat. Aku yang sedari tadi melangkah dibuat terkesiap oleh perkatannya. “Apa sih, Mas? Kebetulan tadi posisiku kan di sebelah kananmu, jadi ya keliatan,” elakku berusaha menyangkal pernyataannya. Malu sebetulnya mengakui bahwa sedari tadi aku memang memerhatikannya. “lya, deh iya. Sekarang ke mana nih? Laper nih, Ra. Tadi belum sempet makan siang udah keburu kamu jemput,” keluhnya sambil memegangi perut. “Lagian dandannya lama sih!” ucapku menggodanya, “Hm, cari makan di Gambir aja deh kalau gitu. Baru abis itu kita beli es krim Ragusa. Soalnya, kalau makan di Ragusa nanti enggak dapet tempat duduk hari libur begini.” a Aku dan Rio kini tengah duduk di trotoar pinggir jalan di depan toko-toko yang sedang tutup, sambil menikmati es krim yang tadi sudah kami beli. Kebetulan tempat duduk di kedai Ragusa sedang penuh. Itu sebabnya aku memilih duduk di sini seperti beberapa pengunjung lain yang tidak kebagian tempat. Aku sendiri memang sengaja tak membawa mobil ke tempat ini. Sudah lama rasanya tidak berjalan kaki di Jakarta, menikmati sudut-sudut keramaian yang sebetulnya 128 menyimpan begitu banyak cerita jika saja kita mau untuk sedikit saja mendengar. Sayang, kebanyakan penduduknya lebih suka mengeluh dan mengaduh tentang rumitnya lalu lintas dan segala pelik kehidupan lain. “Sering ke sini, Ra?” Rio bertanya. Aku menoleh memerhatikannya yang sedang lahap menikmati spaghetti ice cream yang tadi dipilihnya. “Enggak juga, kalau lagi ke Galnas aja mampir ke sini. Sekalian jalan, nanggung kalau enggak mampir.” Rio mengangguk kemudian menatap lurus ke depan, menerawang selama beberapa detik. “Kenapa kamu enggak coba nulis buku aja, Ra?” “Buku harian maksud Mas?” Aku mencoba bercanda menanggapi pertanyannya, yang kemudian dibalasnya dengan mengacak rambutku. “Ya, bukan buku harian juga, Ra. Kamu nih lama-lama ngeselin juga yah, haha.” Rio tertawa sejenak baru melanjutkan lagi omongannya. “Maksudku, kamu kan udah biasa nih edit naskah. Suka nulis juga kan kamunya, dan sejauh yang kuperhatiin tulisanmu enak untuk dibaca. Kenapa enggak coba membukukan tulisan-tulisanmu itu? Mencoba hal baru, Ra. Masa enggak ada sih keinginan untuk membuat karya sendiri. Melahirkan karya orang udah jago, melahirkan karya sendiri masa enggak mau?” “Bukan enggak mau Mas, tapi emang belum ngerasa 129 pantes aja untuk membuat buku sendiri. Belum sepede itu, hehe.” Kilahku singkat. “Yang nilai pantes enggaknya tulisanmu untuk jadi buku emangnya hanya kamu aja? Kan enggak, Ra. Sayang aja sih, menurutku. Kamu punya bakat untuk mengolah kata dan menelaah sebuah peristiwa jadi satu kisah yang menarik.” Rio menjeda dengan kembali menyuap es krim ke mulutnya. “Atau, kamu kan suka fotografi tuh. Kenapa enggak bikin buku yang ada fotonya aja? Kamu yang menangkap gambarnya, dan kamu juga yang menginterpretasikan makna dan perasaanmu ketika mengambil gambar itu. Caramu menceritakan lukisan-lukisan tadi tuh enggak semua orang bisa loh. Maksudku, enggak semua orang mampu menyatukannya dengan pas. Secara foto dan tulisan memiliki dua roh yang berbeda.” Aku yang tengah asyik memakan es krim dibuat tersedak oleh ucapannya barusan. “Mas, bukain botolnya dong,” pintaku sambil menyodorinya sebotol air mineral. “Kamu enggak bisa buka tutup botol ya?” tanyanya sambil membuka botol tersebut lalu memberikannya kembali padaku. Aku hanya menggeleng lemah dan buru-buru meneguk air mineral itu untuk melegakan kerongkongan. Jujur saja, mendengar kata gambar dan tulisan yang disatukan, membuatku kembali teringat pameran foto di Bandung yang akhirnya mempertemukan aku dengan Saka. 130 Aku ingat betul setiap orang yang melihat kolaborasi yang kami ciptakan selalu berdecak dan berkata ada semacam roh yang membuat foto Saka dan tulisanku menjadi sangat terkoneksi. Bahkan, sampai ada beberapa orang yang menawar untuk membelinya. Sepertinya, menarik untuk menciptakan buku seperti yang Rio maksud. Sayang, aku belum merasa semahir itu mengabadikan foto. Aku merasa masih butuh orang semacam Saka yang lebih lihai menempatkan rasa pada sebuah gambar yang diabadikan. “Menarik sih, Mas. Tapi, nanti deh, tunggu aku jago ngambil fotonya dulu. Aku belum ngerasa mampu menyampaikan rasa melalui gambar, hehe.” Aku menjawabnya dengan tertawa sambil berdiri hendak membuang bungkus tempat es krim dan botol air mineral yang sudah kosong. “Nanti sampe kapan? Sampe azan magrib yang bentar lagi mau berkumandang?” Rio mengikuti berdiri lalu membuang sampah bekas makanannya juga. Aku kemudian melihat jam tangan dan mengarahkan pandanganku. Melihat langit yang sudah memperlihatkan semburat oranye. “Eh, iya udah mau magrib. Salat di Istiqlal aja yuk sekalian, Mas. Baru abis itu aku anter kamu balik.” a” 131 So let me know the truth Before I dive right into you You’re a mystery Thave travelled the world And there’s no other girl like you, no one What’s your history? Do you have a tendency to lead some people on? Cause I heard you do Suara Ed Sheeran mengalun memenuhi mobil. Mengisi kekosongan yang hadir antara aku dengan Rio. Aku yang sedari tadi fokus menyetir tak jua membuka obrolan karena sibuk dengan pikiranku sendiri tentang percakapan yang tadi disinggung Rio. Sedangkan, lelaki itu sibuk melihat-lihat foto yang kuambil dengan kameraku. “Ra, ngeliat foto-foto kamu aku kayak diajak dengerin cerita. Semuanya sarat makna, gimana sih caranya? Dari dulu aku juga pengen bisa foto sesuatu kayak gini dan enggak pernah bisa. Emang enggak bakat kali ya,” keluh Rio. “Bukan enggak bisa, hanya belum bisa. Kalau mau belajar mah semua orang juga bisa, Mas. Aku juga awalnya enggak bisa foto dengan fokus, tapi sekarang udah mulai bisa tuh. Semuanya ya karena aku membiasakan diri dan terus belajar. Gimana mau bisa foto kalau jarang-jarang hunting?” 132 Rio mengangguk menyetujui perkataanku. “Iya, juga sih ya. Kalau jarang-jarang pegang kamera, sampe kapan juga tetep enggak akan bisa. Tapi Ra, feel-nya tuh beda gitu kalau liat fotomu. Ada hal lain yang bisa diliat. Beda dari kalau liatnya cuma pake mata aja.” Aku kemudian teringat kembali perkataan Saka saat ia mengajariku. “Itu sih hanya karena sudut pandang aja, Mas. Apa yang mau aku sampein lewat foto itu akan beda dengan jepretan tangan orang lain. Karena rasa yang dibawa memang beda. Hmm...dulu pernah ada yang ngomong sama aku. Dalam ngambil gambar kita hanya perlu fokus sama apa yang ingin diliat. Cari sudut pandang yang membuat mata kita nyaman untuk menikmati hal yang ada di depan kita itu. Jika deket, ya seberapa deket kita nyaman. Tapi kalau jauh, ya seberapa nyaman hal itu bisa untuk kemudian kita nikmati.” “Menarik, Ra!” Rio kemudian mengarahkan kamera ke jalanan melalui jendela yang tertutup dan sudah dibasahi oleh tetesan air hujan. Aku mengira ia akan mengabadikan hujan yang mengalir di kaca jendela, tapi ternyata malah mengarahkan kamera itu kepadaku. Sebelum aku sempat menolak, ia sudah membidikku. “Kenapa jadi aku yang difoto sih, Mas? Padahal tuh ya, kaca jendela lebih romantis buat difoto,” selorohku. “Kalau kaca jendela yang diguyur hujan mah kapan aja bisa diabadiin. Di Jogja juga bisa. Tapi, kalau kamu yang lagi nyetirin aku, kapan lagi bisa diabadiin kalau bukan sekarang? 133 Lagian sekalian mau coba, seberapa deket dan nyaman yang aku rasa kalau lagi liat kamu.” Aku kemudian menoleh sambil tertawa lirih mendengar ucapannya. Tak ada tatapan yang ia lontarkan kepadaku. Ia malah sudah asyik kembali fokus pada kamera, melihat hasil gambarnya dan berkali-kali mencoba mengambil gambar lainnya. Tak ada sikap lanjutan dari ucapannya barusan. Entah sudah kali keberapa di hari ini aku dibuatnya tak mengerti atas semua perkataannya. Ingin menganggapnya hanya sekadar lelucon, tapi dari intonasinya saat berbicara, hal itu tidak terdengar sebagai lelucon. Ingin menganggapnya serius, tapi ia tak menjelaskan apa-apa juga kepadaku. Aku kembali mengedikkan bahu dan melajukan kendaraan lebih cepat dari sebelumnya. Berharap lekas sampai di apartemen saudaranya agar kecanggungan yang tiba-tiba hadir bisa segera berakhir. a Hari Minggu kali ini kuhabiskan dengan menemani ibuku berbelanja kebutuhan rumah serta membeli beberapa bahan untuk membuat kue nastar serta kastengel. Dua camilan kesukaanku yang akan kubawa pulang ke Jogja nanti malam. Ya, malam ini aku akan kembali bertolak ke Jogja, bersama 134 dengan Rio juga tentunya. “Ma, yang waktu itu Lara pernah bilang udah Mama coba pikirin belum?” Aku mengetuk-ngetukkan tanganku pada kemudi sambil sesekali melihat angka penghitung mundur yang menunjukkan detik lampu berwarna hijau akan segera hadir. “Yang mana ya? Oh, Mama tahu nih, yang pindah ke Jogja itu ya?” “Yap!” Aku mengangguk dan kemudian segera melajukan kendaraan karena pusing dengan bunyi klakson di belakang. “Gimana ya Ra, masalahnya tuh pindah bukan cuma perkara beralih ke tempat baru dan memulai segalanya di lingkungan baru aja. Tapi, banyak hal yang harus diselesaiin dulu sebelum akhirnya memutuskan pindah. Mama udah terlalu kerasan di sini. Mama enggak tahu di Jogja nanti bisa betah atau enggak. Lagian kamunya kan juga sibuk kerja. Apa bedanya coba sama Mama yang tinggal di Jakarta?” “Ttu teh kode mah? Kode biar Lara di rumah aja nemenin Mama? lyah, gitu?” Ibuku kemudian menepuk lenganku pelan, sementara aku hanya terkekeh karena berhasil menggodanya. “Hemmm... gini deh. Gimana kalau Mama nyoba dulu tinggal di Jogja sama Lara selama sebulan dua bulan. Kalau emang enggak betah, Mama mau balik lagi juga enggak apa-apa. Sekalian nanti Lara cari kerja baru aja di Jakarta, biar enggak jauh-jauh lagi sama Mama. Biar Mama enggak 135 kebanyakan kangennya sama Lara,” lanjutku. “th, kamu mah! Mama enggak kangen kok, cuma kesepian aja sendirian mulu di rumah. Kalau pagi sih enak, ada karyawan di toko kue yang nemenin. Lah, kalau malem? Sama Bibi aja di rumah. Kamu sih, makanya buruan nikah, terus kasih Mama cucu biar ada temennya di rumah.” Aku menelan ludah mendengar ucapan ibuku. Nalarku sedang bersiteru. Ada sedikit rasa mencelos karena ibuku berkata bahwa beliau kesepian. Namun, di satu sisi aku resah jika sudah mulai disenggol perihal pasangan. Ah, lagi-lagi ajakan untuk pindah malah menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Sebetulnya aku malas untuk menanggapi ucapan itu, tapi di benakku justru terlintas ide untuk kembali menggoda. “Tuh, di kamar Lara ada boneka yang Mama pernah beliin. Peluk aja Ma biar enggak kesepian. Lumayan loh bisa bikin Mama ada temen tidur.” “Th, kamu ya. Bener-bener deh. Mama sendiri malah diisengin.” Ibuku kemudian menjewer telingaku pelan sambill tetap mengomel, sedang aku hanya terbahak melihatnya. Tak lama tangannya kemudian mengelus rambutku. Bila sudah seperti ini, aku tahu ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan. “Ra, Mama udah pernah pesen ke kamu kan ya, kalau Mama enggak mau kamu berhenti kerja kalau nanti udah nikah? Bukan apa ya Nak, Mama cuma enggak mau kamu 136 sepenuhnya bergantung sama suamimu aja. Seenggaknya kamu tetep punya uang tabunganmu sendiri. Atau, ya kamu bisa usaha apa gitu di rumah. Pokoknya, jangan sampe kamu enggak ada pemasukan sendiri. Belajar dari pengalaman Mama ya, Ra.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya yang sedari tadi mengelus rambutku. Menyalurkan kekuatan yang kupunya dan memberinya sedikit ketenangan. Rasanya di mataku saat ini sudah ada air mata yang ingin tumpah. Aku mencegahnya sekuat yang aku mampu. Aku menghela napas pelan. “Tya Ma, tenang aja. Lara inget kok pesen Mama. Doain aja semoga Lara dapet suami yang bertanggung jawab dan sayang sama kita.” Ibuku kemudian mengambil tangannya yang tadi sempat aku cium dan mulai menoyor pipiku pelan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh ibuku bila mulai tak suka dengan perlakuanku yang terlalu manis. Mungkin benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hal itu juga yang membuatku akan mudah jengah dengan lelaki yang baru berkenalan tapi sudah berusaha menarik perhatian dengan seribu jurus gombalan dan rayuan. Bukan berarti aku tak suka diperlakukan romantis, hanya saja aku tak suka diperlakukan terlalu manis secara kontinyu. Roman picisan bagi perempuan seumurku rasanya sudah tak lagi diperlukan. Aku justru lebih tertarik dengan cara 137 Saka mendekatiku. Pun, dengan cara Rio yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Sial, ada apa lagi dengan kepalaku yang sudah mulai menilai dan membandingkan Saka dengan Rio. Tanpa sadar seulas senyum terbentuk ketika aku memikirkan hal tersebut. “Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Eh, kamu beneran udahan sama Saka? Terus, di Jogja nemu mas-mas Jawa yang manis enggak?” “Apa, Ma? Nemu? Manusia loh Ma, masa bahasanya nemu sih. Emangnya barang yang ilang apa?” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sedikit pun menjawab pertanyaan beliau tentang Saka. Ibuku kali ini hanya tertawa mendengar perkataanku. Lupa dengan pertanyaannya yang tak sempat aku jawab. Mungkin aku sudah menerima hubunganku dengan Saka yang tak lagi bersama kini. Mungkin aku bisa menerima dengan ikhlas seluruh luka yang sempat dia torehkan, bahkan aku juga torehkan kepadanya. Namun, ketika membahasnya dengan ibuku, rasanya masih selalu ada kesempatan untuk aku merasa bersalah dan bersedih dengan kandasnya hubungan itu. Hubungan yang kupikir akan berakhir dengan indah meski beberapa kali tak diyakini oleh ibuku. Mengenai kandasnya hubunganku dengan Saka juga sebetulnya tak pernah secara gamblang kuceritakan kepada ibuku. Jangankan bercerita tentang alasannya, berkata kapan 138 semua berakhir saja aku tak pernah. Tapi, mungkin begitulah kepekaan orang tua terhadap anaknya. Beliau justru yang bertanya kepadaku. Kenapa kok udah enggak sama Saka lagi? Pertanyaan itu terlontar sehari sesudah aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan Saka. Aku sempat menanyakan kepadanya bagaimana ibuku bisa mengetahui hal itu. Aku sendiri tak menunjukkan gelagat aneh dan tak berbicara apa pun terkait putusnya hubunganku dengan Saka. Namun, jawaban yang diberikan hanya, “Mama cuma liat kamu gelisah aja. Enggak kayak biasanya yang seneng terus dan senyum mulu. Dari situ Mama tahu kamu udah enggak sama Saka lagi.” Semua rentetan kejadian menari-nari di benakku, seolah sedang terpasang proyektor besar di depan wajahku. Membiarkanakuterusterpekur dan terjebak dalam kenangan. Beruntungnya, ibuku kembali memecah lamunanku dengan sebuah pertanyaan yang menyalakan semangat di hatiku. “Bulan depan deh ya Mama ke Jogja. Sebulan aja tapi, kalau betah ya pindah. Tapi, kalau enggak kamu yang harus pindah lagi ke Jakarta.” “Nah, gitu kek daritadi, Ma. Yey! Bulan depan Lara bisa makan enak lagi di rumah.” Aku kemudian tersenyum lebar sambil mengepalkan tangan. “Ye, dasar maunya tuh biar enggak capek.” “Lah, kan emang gitu niatnya, Ma. Hehehe.” 139 Gelak tawa kemudian menghiasi suasana pagi kami kali ini. Ya, ini yang membuatku selalu senang berkendara dengan ibuku. Selalu ada hal yang bisa dibicarakan dengan lebih personal, dan membuatku selalu bisa merasa dekat dengan ibuku. “Mama masakin. Tenang aja. Asal kamu bawa aja calonmu ke rumah.” Kali ini ucapan ibuku itu membuat keningku kembali berkerut. “Calon apaan sih, ma? Masih aja bahas gituan, heran deh. Mendadak Lara jadi pusing,” jelasku sambil memijat pelipis, seolah-olah aku memang sedang pening karenanya. “th, kamu ya, udah berani main rahasia-rahasiaan. Mama enggak akan ngomong gitu kalau Mama enggak lewat kamarmu kemarin siang, pas ada Kanaya. Kamu pikir Mama enggak denger waktu Kanaya sebut-sebut nama cowok? Kamu juga sempet kan teleponan pas udah sampe rumah kemarin malem.” Aku kemudian mengingat-ingat semuanya, dan menepuk jidatku setelah menyadari bahwa Kanaya memang sempat berteriak ketika menyebut nama Rio waktu itu. Bahkan waktu menerima telepon dari Rio, aku memang baru sampai di rumah dan akan naik ke dalam kamar. Sementara, ibuku saat itu ada di ruang tengah. “Apa? Mau ngelak lagi kamunya?” “Enggak, Ma. Lagian kalau yang itu tuh bukan siapa-siapa, ih. Dia atasan aku di Jogja. Kebetulan dia juga lagi ke Jakarta. 140 Nanti malem berangkat ke Jogja sama aku juga. Bukan siapa- siapa, serius deh,” ucapku dengan nada meyakinkan. “Loh, jadi kamu pulangnya bareng dia? Kalau gitu nanti Mama yang anter kamu. Mama mau tahu orangnya kayak gimana.” “Tapi Ma, nanti tuh....” “Enggak ada penolakan. Sekali Mama bilang Mama mau anter, ya pokoknya Mama.” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, beliau sudah memotong dengan memberi pernyataan yang tak bisa untuk dibantah. Aku akhirnya mengangguk pasrah. Tampaknya salah- ku untuk berkata jujur mengenai keberadaan Rio dan kepulanganku dengannya. “Iya, iya. Ya, udah nanti Lara bilang Kanaya biar enggak usah jemput sama anter Lara.” a” 141 Se CHAPTER III lt. 1C] OY ey VOM EEG TA\CLOn MENUJU SATU TITIK PERCAYA" ;° Kevin telah berhasil membuat dosen penguji bangga atas tesisnya. Kini mimpi lainnya bisa terpenuhi hanya dari sebuah kata iya dariku. Selain itu, proposal Narni juga sudah berhasil diterima dosen, tinggal meneruskan penelitian untuk skripsinya. Sebuah kabar yang membawa pesan kebahagiaan. Saat seseorang yang kita pedulikan berhasil melalui salah satu chapter menantang dalam hidupnya. “Lu mulai siapin semua aja. Bisa atau enggaknya, pokoknya I’m in!” Aku berbicara di telepon. Kevin di ujung telepon sana langsung terdengar kegirangan dan bersemangat. Bahkan suara yang bersemangat itu berhasil membuatku bergelora juga. Rumah tengah sepi. Semua orang di tengah bekerja dan sekolah. Hari ini aku memutuskan untuk mulai mengerjakan semua to do list untuk beberapa minggu ke depan. Pekerjaan dari beberapa klien dan teman harus aku selesaikan. Lalu memberikan kabar kepada mereka bahwa aku tidak bisa menerima pekerjaan desain untuk beberapa bulan ke depan. Mengerjakan semua hal yang harus aku selesaikan di Bandung ini agar dapat dengan mudah pergi ke Jogja untuk beberapa lama. Beberapa lama yang kumaksud kali ini kujanjikan dari satu hingga tiga bulan. Ibuku sedikit terkejut awalnya. Tapi, setelah menceritakan rencanaku, ibuku akhirnya paham dan mengizinkan aku untuk pergi. Untuk sementara waktu tidak di rumah. 145 “Meni lama gening sampe tiga bulan?” tanya ibuku untuk memastikan. “Ttu tergantung, Mah. Kalau emang kafe yang dibuka di sana mengharuskan Saka untuk tinggal beberapa bulan. Atau, kalau Saka juga betah di sana. Hehe.” Aku mencoba menenangkan. Masih ada raut kekhawatiran meski akhirnya ibuku mengizinkan aku untuk bekerja dan membuka kedai kopi di Jogja. Ada ragu yang menyeruak dalam diriku. Tapi, bagaimana pun aku sekarang merasa tenang. Setelah perbincangan dalam dengan derasnya air mata dari ibuku saat aku menyampaikan kunci yang dirinya tunggu-tunggu. Sebuah pernyataan bahwa dirinya sangat dipersilakan untuk menikah. Untuk mendapat perhatian lebih dari orang lain. Untuk mendapat seseorang yang bisa diajak berbincang dan berkeluh kesah kapan pun ibuku membutuhkan. Tangis itu akhirnya tumpah sebagai jelmaan rasa syukur yang selama ini dipendamnya. Sebuah kelegaan yang tak bisa dibayar dengan hal lain kecuali tangis. Setiap rintik airmatanya, memuja Tuhan, memuji aku dan adik-adikku. Menjadi sebuah jatuh yang paling dinanti oleh ibuku. Aku dihadiahi peluk yang akhirnya hanya membuatku kikuk. Membuat air mataku pun ingin ikut-ikutan jatuh. Meski akhirnya hanya jatuh dalam pikiranku sendiri. Senyum dariku, dan tangan yang mengusap punggung ibuku kurasa cukup untuk membuatnya bahagia saat 146 itu. Sejak kejadian itu juga kelegaan terpapar jelas dari senyumku. Ibuku pun berani untuk memperkenalkan aku dengan seseorang yang memang telah layak untuk dikenalkan kepadaku. Seseorang yang tidak lagi bisa membuatku ragu atas pilihan ibuku. Satu titik percaya tentang ibuku, cukup untuk mengerti bahwa ibuku tidak akan memilih seseorang yang tidak pantas bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk anak-anaknya. Bahkan, titik pantas baginya, adalah paham betul bahwal lelaki itu baik untuk anak-anaknya. Hingga kemudian aku berani untuk mengutarakan mimpiku kepadanya. Mengutarakan ingin dan maksudku atas kepergianku ke Jogja kelak. Meminta izinnya untuk sebuah mimpi yang ingin aku kejar. Tapi, ternyata sebuah izin tetap saja membuatku tak kuasa untuk benar-benar pergi dari rumah selama beberapa lama. Lebih lama dari waktu yang biasanya aku pakai untuk berlibur. Ada tanggung jawab atas ibuku dan adik-adikku. Meski kini aku yakin ada yang mulai bisa menjaga mereka. Ada yang bisa membuat mereka merasa aman meski tanpa aku di sekitar. Adalah sebuah rasa tidak rela akan diriku sendiri yang harus tidak ada di sekitar mereka. “Bener, Mamah mah Insya Allah lega. Lega karena kamu akhirnya tahu apa yang ingin kamu kejar buat hidup kamu. Mamah akhirnya tahu kamu punya mimpi. Kamu juga tahu bagaimana caranya merealisasikannya. Kamu udah dikasih 147 jalan. Jangan sampe Mamah dan adik-adik kamu malah jadi penghalang buat kamu.” Ibuku meyakinkanku, dengan suaranya yang selalu ramah dan merdu, sambil memegang pundakku. “Berkah yang besar memang ada di keluarga. Banyak orang yang justru susah untuk bisa terus-terusan berkumpul sama keluarga. Tapi, bukan di situ aja intinya. Berkah itu hadir dari keikhlasan dan kerelaan keluarga. Kepergian kamu untuk menggapai hal yang bisa membanggakan bukan diri kamu aja, tapi juga keluarga. Tentunya dengan seizin Mama, adik-adik kamu. Semoga jadi berkah buat kamu, Saka.” Ibuku masih melanjutkan. Perbincangan seperti inilah yang selalu aku tunggu dengan ibuku. Perbincangan sepi tanpa adik-adikku di rumah. Tanpa satu pun yang mendengar. Sebegitu masih malunya aku untuk hal seperti ini. Seolah masih tak rela sisi-sisi sentimental diriku diketahui orang lain bahkan adik- adikku sendiri. Aku yang terbiasa terlihat cuek dan misterius, padahal menutup diri agar tak terlihat lemah. Yah, egois memang saat aku berada dirumah. Hanya mampu menyayangi mereka sembunyi-sembunyi. Sejak perbincangan dengan ibuku, mimpi seolah hanya selangkah dari tempatku berdiri. Namun untuk membuat langkah, perlu keyakinan luar biasa agar aku bisa bergerak dan menapak hingga pasti di titik itu. 148 Di suatu pelayaran tanpa angin, aku menengadah ke langit. Tempat beribu tanya menguap, menjadi kebingungan-kebingungan yang mendung. Aku sering mengutuk kehilangan. Bukan perkara ditinggalkan, namun sekedar merasa, kehilangan. Aku bahkan bertanya lebih dalam, kapan aku merasa memiliki, hingga harus merasa kehilangan. Apakah aku juga tak bisa memlih, perihal apa saja yang dapat membuatku merasa memiliki dan kehilangan? Sebuah pesan masuk di inbox laman blog pribadiku. Eleftheriana, mengirimkan sebuah tulisan yang meminta untuk aku sambung atau aku balas. Ya, sejak mengirimkan pesan terakhir kali kepadanya, aku akhirnya mengajukkan sebuah ide perihal apa yang bisa kita lakukan selain saling memuji tulisan. Aku mengajaknya untuk menulis bersama, dan dia menyetujuinya. Meski kami hanya sepasang orang asing yang bertemu melalui laman maya, tapi aku merasa ada yang berbeda. Bukan sekadar pesan yang memuji, atau pesan yang mencari 149 perhatian belaka. Bahwa, setiap pesan memiliki roh sendiri yang dikirim oleh penulisnya. Perihal sampai, diterima atau dibalas, itu urusan kecocokan jiwa. Karena aku meyakini, masing-masing manusia saling mengirim gelombang, saling mengundang dan menarik. Entah dalam cara apa pun, entah dalam singgungan ke berapa. Semua hal, semua orang yang memiliki kedekatan atau kesamaan gelombang, akan saling mengarahkan pada satu titik jumpa. Dan, perjumpaanku dengan seorang yang memiliki nama akun Eleftheriana adalah hasil dari tarik-menarik kami melalui lempengan kosmos yang tak kasat mata. Menembus lembaran-lembaran gelombang lain yang berdesakan dan saling bersinggungan. Karena tak ada batas jelas, kapan dan bagaimana tepatnya, rasa tersebut hadir dalam diriku. Hingga jawaban tak kunjung jatuh dari langit, cemas membawaku pada gerah yang membuat pikiranku berpeluh. Terik di lautan bimbang, dengan semilir resah, membawaku pada daratan penuh pertanyaan lainnya. 150 Salah satunya, haruskah aku berhenti bertanya? Atau haruskah aku berhenti mencari jawaban? Selesai aku menuliskan prosa balasan, segera aku kirim. Tulisan miliknya kemudian aku padukan dengan tulisanku, dan aku post di laman Blog pribadiku beserta namaku dan Eleftheriana di catatan kakinya. Tak lama, pesan balasan muncul. ay Sebuah senyum. Apa artinya itu? Dia senang? Ya, tentu saja. Tapi, apa? Hanya senang? Aku kelimpungan menebak dan mencari arti senyum agar lebih banyak penjelasan yang lebih memuaskan. Tapi, akhirnya aku berhenti menebak apa artinya itu. Karena, seharusnya emoticon senyum itu sudah cukup menjelaskan arti pesan balasan itu sendiri. Cukup, setelah aku mengunjungi laman Blog miliknya dan sudah ter-posting hasil tulisan kami berdua. Aku melanjutkan pekerjaanku. Mengecek semua to do list apakah sudah sesuai. Aku kemudian mencatat beberapa ‘keinginan’ dalam sebuah notebook yang baru aku beli beberapa waktu lalu. Ya, aku mulai mencatat keinginan- keinginanku. Memiliki mimpi yang semakin melebar dari 151 hasil kalkulasi harap dalam kepalaku, hanya membuatku kewalahan saat memikirkannya. Sepertinya, sudah banyak orang menceritakan perihal mimpi-mimpi yang mereka catat dalam sebuah buku, atau melalui apa pun. Hingga suatu saat mimpi itu bisa terjadi. Bagiku hal itu lebih besar dari sekadar tabungan mimpi yang disimpan dalam sebuah catatan. Melainkan sebuah daftar untuk dilakukan, untuk mengingatkan, serta untuk memindahkan data mimpi itu agar tidak memberatkan kepalaku. Laiknya sebuah komputer, kepalaku akan terasa berat dan bekerja lamban jika semua data disimpan di dalamnya. Aku perlu menyimpannya di hardisk external dalam bentuk buku catatan. Membuka coffee shop, menjadi seorang barista, menjelajahi beberapa kepulauan di Indonesia lalu beberapa negara dunia karena aku senang berpetualang, hingga menjadi orang yang berguna entah sebagai apa. Semua aku tuliskan dalam bentuk mind mapping. Membuat sebuah urutan kejadian dari satu mimpi ke mimpi selanjutnya. Namun, aku merasa mimpiku terasa terlalu sedikit. Meski aku tak tahu aku akan mati pada umur berapa, tetapi sepatutnya hal yang telah kutuliskan tadi bisa saja terjadi dalam beberapa tahun jika aku memang_benar-benar mengejarnya. Aku perlu mimpi yang lain, entah mimpi yang lebih besar, atau mimpi yang lebih, mimpi. Lebih tidak logis, 152 lebih tidak dapat diperhitungkan oleh kemungkinan yang dapat aku bayangkan. Lalu pada saat aku ingin menulis mimpi yang lain, tanganku menolak untuk bergerak. Meski isi kepalaku punya mimpi lain yang lebih liar, tanganku tidak menyetujuinya. Karena ternyata, sebagian dari otakku tidak bisa mencari perhitungan logis dari mimpi itu. Tidak menemukan titik- titik, urutan kejadian untuk bisa sampai pada mimpi itu. Pada cerita Alice in wonderland, tokohnya pernah berkata bahwa kita semua begitu menginginkan sesuatu terjadi secara magis, secara ajaib, yang bisa memukau kita. Tapi di saat yang sama, kita tidak percaya pada keajaiban. Sialnya, aku sedang merasa seperti itu. Aku sandarkan kursi, sedikit melamun perihal mimpi. “Kehilangan apa yang paling menakutkan bagimu?” Pesan masuk datang lagi, Eleftheriana. Sebuah per- tanyaan random dilayangkan kepadaku. Menarik. Aku tegakkan badan di kursi. Mencoba memikirkan segala jenis kehilangan yang pernah terjadi kepadaku. Kehilangan bapak, adalah hal paling menyedihkan bagiku saat itu. Namun, manusia memang sudah sepatutnya akan selalu kehilangan manusia lainnya. Sebuah ketakutan yang pasti dan tidak terelakkan. Begitupun kita, akan menjadi kehilangan bagi orang lainnya. 153 Aku memikirkan hal lain, sebuah kehilangan yang paling tidak pasti. Sesuatu yang selalu kita perjuangkan, tetapi tak terasa tengah kita perjuangkan. Hingga pada satu titik, hal itu hilang, hancur, melebur, dan menguap entah menjadi apa. “Keyakinan.” Ya, keyakinan. Menjadi sebuah kehilangan yang tak pernah dihiraukan banyak orang. Seolah bukan sesuatu hal yang sangat berharga. Satu-satunya hal yang tak pernah semua orang bayangkan akan bisa, hilang. Eleftheriana membalas pesanku, melanjutkan per- bincangan. Seolah kami memang sedang berbincang berhadapan. Dia ada di depanku secara pararel bukan virtual dan hanya dipisahkan oleh dimensi jarak. Eleftheriana: Menarik, aku tak menduga jawaban seperti itu yang akan sampai di kotak pesanku. Aku: Menarik, saat kamu justru harus bersiap pada jawaban yang sudah kamu duga. Eleftheriana: Menarik, bukan? Bahwa jawaban yang datang, harus membuatku semakin bersiap pada hal mengejutkan lainnya. Aku: Jadi, sekarang kamu akan berhenti menduga? 154 Eleftheriana: Kita tidak akan pernah berhenti men- duga-duga. Seperti kamu, yang kini tengah membuat dugaan perihal apa yang akan aku tanyakan selanjutnya :). Aku: Aku ingin membiarkan dugaanmu_benar, tapi sayang pertanyaan selanjutnya akan datang dariku. Apa yang paling membuatmu lebih sedih? Meninggalkan? Atau, ditinggalkan? Pesan terakhir yang aku kirim berakhir dengan jeda. Dugaanku, dia sedang mencoba memberikan jawaban yang akan membuatku terpukau. Oh, aku yakin ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Lebih lama dari dirinya saat menunggu jawabanku. Eleftheriana: Tentu saja_ ditinggalkan. Aku_ ini perempuan! Ya, tak bisa kupungkiri, aku cukup terpukau karena ternyata dirinya tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. Aku: Waw! Kau hebat! Eleftheriana: Satu, kamu satu-satunya orang yang tidak menertawakan, mengejek, atau mengasihani aku karena ditinggalkan. Kedua, apanya yang hebat? 155 perlombaan siapa yang lebih terluka. Dirinya benar, aku tidak perlu mengajaknya membuktikan bahwa ditinggalkan Karena jumlah luka yang aku simpan? Aku: Bukan, kamu hebat karena kamu tidak pernah meninggalkan seseorang. Eleftheriana: Memang untuk apa meninggalkan seseorang yang kamu cintai? Aku: Kalau begitu tunggu sampai kamu _ingin meninggalkan seseorang. Eleftheriana: Untuk apa? Untuk =membuktikan bahwa meninggalkan lebih menyakitkan daripada ditinggalkan? Apa tidak ada hal lain yang lebih bodoh yang bisa aku dengar? Kamu memang benar-benar, mengejutkan :). Sial, langkahku terbaca. Meski begitu, ini bukan perihal tidak ada apa-apa dibanding meninggalkan seseorang. 156 Aku: Tidak, lupakan. Hehe. Eleftheriana: Apa semua lelaki seperti itu? Aku: Seperti apa? Eleftheriana: Meminta | perempuan melupakan semudah itu?! Aku kelimpungan, kewalahan, dan tertawa terbahak di saat yang sama. Wanita ini, sungguh, gila. Aku berkali-kali tersenyum. Aku: Hahahahahahhahahaha. Eleftheriana: Lucu bukan? Tapi, pertanyaanku serius. Apa kamu memang seperti itu? Hahaha. Aku: Hmm. Entahlah, tapi buatku meninggalkan lebih menyedihkan daripada ditinggalkan. Kamu paham jawabannya? Eleftheriana: Sebuah kata “tidak” yang panjang dan rumit ya. Hehe. Aku: Agar kamu tidak hanya mendengar jawabanya dariku, tapi juga dari hasil olah pikiranmu :). Eleftheriana: Menarik. Anw, aku harus pergi. Jangan lupa tulisan selanjutnya, giliranmu memulai. Kirimkan kapan pun kamu selesai menulisnya. See you!” Aku: K! Eleftheriana: Wanita tidak pernah suka balasan seperti itu. Sekali lagi kamu membalas pesan seperti itu, kamu akan tahu bahwa ditinggalkan lebih menyakitkan daripada meninggalkan! Aku: Hahahahaha. /'l/ see you soonest! 157 Aku tersenyum, lama sekali. “Oh Eleftheriana. Mari kita bertemu. Kamu terasa seperti aku yang lain,” ucapku dalam hati. Perkenalan dengan Eleftheriana, membuatku selalu menunggu percakapan selanjutnya. Caranya berbicara kepadaku seolah kami sudah mengenal lama. Seolah dia adalah sisi lain aku yang tidak ingin menjadi rahasia, yang hanya aku sembunyikan dari siapa pun. Mendapat teman berbincang seperti ini seperti kado rahasia yang dikirim malaikat, seperti keajaiban yang tidak pernah aku percayai. Sama seperti mimpi yang tidak berani aku buat dalam kepalaku. Hingga keajaiban itu datang, hingga membuatku ingin mengejek diriku sendiri karena tidak mempercayainya. Hampir setiap hari kami berbincang, membahas tulisan yang aku dan dia buat. Pernahkah ada yang berencana menyakiti? Seingatku, aku hanya pernah berencana tinggal, hingga menetap jadi salah satu harapanku. Namun, perihal dikecewakan, entah siapa yang pertama mengaku. Atau bahkan, berebut menjadi yang pertama. 158 Saat harus ada yang mengaku, siapa yang mengecewakan, tak satu pun berani, mengangkat keberanian dan menurunkan ego. masing-masing bersembunyi, di balik keangkuhan dan rasa yang benar. Haruskah selalu aku, yang mengalah untuk dihakimi? Haruskah selalu aku, yang rela menjadi penyebab luka? Aku mengirimkan tulisan yang aku buat. Tak berapa lama Eleftheriana membalas pesanku dengan tulisan darinya untuk melengkapi. Tidak ada keadilan dalam perpisahan, pergi dengan duka, atau menetap penuh luka. Biar aku saja yang menyembunyikan kelelahan, aku saja yang menyisakan keraguan. karena aku mungkin memang pantas, untuk disalahkan. Atau, untuk terluka Harapku, pada perjalanan selanjutnya. agar semesta menutup semua pintu kesempatan, untuk aku dilukai Tolong, pertemukan aku dengan apa pun, kecuali penyesalan. 159 Aku gabungkan tulisannya dengan milikku, dan segera aku unggah di laman Blog pribadiku. Eleftheriana: Sungguh, apa kamu_benar-benar semenyedihkan itu karena telah meninggalkan seseorang? Aku: Hei, aku tidak bisa menjelaskan seberapa hancurnya aku saat pergi. Itu bukan hal yang ingin didengar banyak orang. Kamu pun tidak memercayainya sejak awal. Eleftheriana: Aku bukan tidak memercayainya, aku tidak tahu bagaimana rasanya karena aku tidak pernah meninggalkan. Jika kamu ingin aku mengerti, kerahkan hati dan pikiranmu. Cobalah membuat aku mengerti. Setidaknya, agar aku tahu apa yang dipikirkan mereka saat meninggalkanku selain rasa yang menyerah akan aku. Juga, agar aku tidak perlu mengutuk mereka diam-diam yang memutuskan pergi. Aku menyandarkan badan ke sofa kedai kopi yang menjadi tepatku mengerjakan sebagian pekerjaanku hari ini. Kali ini dengan cappuccino panas. Bandung hari ini tengah dingin. Sedingin kepalaku yang sedikit sulit untuk memikirkan jawaban untuk Eleftheriana. 160 Eleftheriana: Dan juga, agar ada yang bisa mengerti akan kepergian-kepergian yang kamu lakukan :). Saat ini, benteng yang aku pertahankan seolah tengah diobrak-abrik dengan pertanyaan yang menggelitik. Sebuah serangan yang lembut, mampu melemahkanku seketika. Aku: Biarkan aku tahu namamu, baru akan aku jawab. Eleftheriana: Akan ada saatnya kamu tahu namaku, sekarang cepat jawab pertanyaanku. Aku: Oh tidak akan :). Eleftheriana: Dengar Anak Muda, kamu mungkin tengah merasa akan memenangkan negosisasi ini. Tapi, sebetulnya tidak. Tidak sama sekali. Wow, mengejutkan. Dia sama sekali tidak terlihat terdesak, memohon, atau bahkan melakukan negosisasi ulang. Aku: Well, itu harga yang harus kamu bayar demi mengetahui sedikit tentang, diriku. Eleftheriana: Sekarang kamu tampak semakin rapuh. Aku: Apa maksudmu? 161 Eleftheriana: Dengar, kebutuhan kamu untuk men- jelaskan sesuatu yang tengah kamu pendam lama agar ada orang yang dapat mengerti lebih besar daripada kebutuhan kamu mengetahui namaku. Semakin kamu mencoba jual mahal, semakin terlihat bahwa apa yang kamu coba jaga itu adalah sesuatu yang sangat rapuh. Aku terbelalak membaca pesan itu. Sebuah bumerang yang aku lemparkan baru saja menghantam kepalaku sendiri. Dia benar, saat ini kebutuhan akan pengertian itu muncul. Kehadiran dirinya ke permukaan hidupku, membuat kebutuhanku untuk dimengerti dan didengar mulai naik. Aku menghela napas dalam. Coba memahami dan memikirkan bagaimana aku akan membalas pertanyaannya. Tapi, pikiranku masih semrawut. Masih kalang-kabut karena pernyataan darinya. Apa aku harus menjawab pertanyaan utamanya atau bersikeras melakukan negosisasi? Tapi, akhirnya pikiranku mengalami kebuntuan. Ada sebuah keyakinan yang hebat bahwa jika aku tetap bersikeras akan negosiasi, aku hanya akan kehilangan keadaan ini. Sebuah keadaan dengan yang tepat aku bisa men- ceritakan sesuatu yang aku pendam. Karena, jika aku menolak keadaan ini, suatu saat akan meledak juga. Usahaku akan lebih besar. Ya, aku akan melawan egoku sendiri karena bagaimanapun suatu saat nanti aku yang membutuhkannya untuk mendengarkan ceritaku. Baiklah... 162 Aku: Apa kamu pernah merasa bahwa kamulah yang membuat semua orang dalam hidupmu pergi? Aku melayangkan satu pertanyaan pembuka. Eleftheriana: Hah? Apa? Aku: Ya, selama kamu mengutuk kepergian orang- orang yang katanya kamu cintai itu, apa pernah kamu mengutuk dirimu sendiri karena membuat mereka pergi? Eleftheriana: Hmm.... Tidak pernah rasanya. Aku: Waw, kamu benar-benar hebat. Eleftheriana: Benarkah? Aku: Kamu tahu, semua yang pergi menyimpan rahasia yang sengaja tidak pernah mereka ungkap kepadamu. Bahwa kamulah yang membuat mereka semua pergi. Namun, hal itu tidak akan mudah dikeluarkan dalam kalimat yang bisa didengar langsung. Pengakuan seperti itu, hanya akan berakhir di atas sebuah kertas atau di dalam sebuah prosa dan puisi, dalam draf pesan, atau notes, atau Blog mereka. Lalu, mereka menyembunyikan rapat-rapat. Karena, rahasia itu tidak ingin didengar oleh siapa pun, tidak ingin didengar olehmu, hingga akhirnya rahasia itu sendiri malu untuk diketahui orang lain. Semua 163 164 rahasia itu hanya berakhir menjadi barisan kata yang bahkan tak ingin tertuliskan. Selain itu, ada satu hal lainnya yang akan melukai dirinya yang memutuskan pergi. Rasa bersalah dan rasa dihakimi. Rasa bersalah yang menyebabkan seseorang yang ditinggalkan terluka atas keputusannya. Dan, rasa dihakimi karena meninggalkan seseorang yang mencintainya. Kamu pernah ada di sana? Menjadi yang rela mengambil keputusan untuk dihakimi? Tanpa ada satu pun pohon yang bahkan mau memberinya teduh? Bersyukurlah jika mereka tak pernah mengungkap- kannya kepadamu, luka yang membuat mereka pergi. Karena artinya, mereka sangat menyayangimu. Dan kamu, terlalu menyayangi dirimu sendiri. Don't be late! Enggak apa-apa, aku check in bareng kamu aja. Aku tunggu di pintu kedatangan ya, Ra. Sebuah notifikasi muncul dari ponselku saat baru saja mematikan kendaraan di area parkir bandara. Padahal aku sudah sengaja datang hampir telat dan menyuruh Rio check in lebih dulu agar ia tak bertemu dengan ibuku. Tapi, semesta sedang tak ingin berkonspirasi denganku untuk tak mempertemukan mereka. Justru saat ini dengan terang-terangan kenyataan meneriakiku bahwa ibuku akan segera bertemu dengan atasanku itu. Dapat dipastikan beliau akan terus-menerus membahas tentang Rio setelah hari ini. “Ayo Ra, udah mau telat kamu tuh. Kenapa masih santai sih ini anak? Ini Mama malah yang panik. Kalau kamu ketinggalan pesawat gimana? Sini barangnya Mama aja yang bawain.” “Enggak usah Ma, Lara bisa kok bawanya. Lagian kalau ketinggalan pesawat mah tinggal beli tiket lagi atuh,” jawabku asal, sambil mulai mengunci mobil dan berjalan mendekatinya. “Ini anak kalau ngomong suka asal deh.” Ibuku kemudian memukul lenganku pelan. Yang sedetik setelahnya aku sambut dengan sebuah tawa untuk menenangkan perasaanku sendiri yang sedari tadi dirundung gelisah. “Ra, bos kamu itu yang mana?” Pertanyaan yang enggan untuk kudengar itu akhirnya meluncur dari mulut ibuku. Baru saja aku ingin menjawab bahwa Rio sudah menanti di ruang tunggu, tiba-tiba saja sebuah suara menyerukan namaku dengan lantang. “Lara!” Sontak aku dan ibuku segera mengalihkan pandangan 165 menuju sumber suara itu. Tak ada omongan apa-apa yang keluar dari mulutku pun dari ibuku. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing sambil tetap melangkah menuju laki-laki yang mengenakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu lengkap dengan puffer vest warna biru dongkernya. Lelaki yang sedari tadi ingin aku lenyapkan tapi justru memanggilku. Saat kami sudah saling berhadapan, aku mengalah untuk membuka suara lebih dulu. “Hmm, kenalin Mas ini ibuku.” Rio kemudian segera mencium tangan ibuku seraya memperkenalkan namanya. “Rio, Bu.” Seulas senyum merekah dari bibir ibuku, entah pertanda baik atau justru akan menjadi bumerang untukku nantinya. “Oh ini toh yang namanya Rio. Lara kerjanya gimana? Bagus enggak? Kalau enggak bagus mah marahin aja. Anaknya suka ngeyel kalau dibilangin.” Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan ibuku, sementara Rio justru terang-terangan senang dengan respon hangat yang diberikan oleh ibuku itu. “Ah, enggak kok, Bu. Lara anaknya workaholic banget. Bahkan sering lembur kalau udah keasyikan kerja.” Selama dua menit keduanya terlibat percakapan basa- basi yang cukup membuatku kesulitan bernapas. Bukan kenapa, hanya saja bosan melihat hal-hal semacam ini. Ya, ibuku memang selalu seperti itu. Cepat akrab dengan siapa pun teman yang kuperkenalkan kepadanya. Tapi, 166 tidak dengan Saka, karena memang aku belum sempat mempertemukan mereka berdua. Tidak hanya lekas akrab pada siapa saja, beliau bisa menganggap mereka seperti anak sendiri. Tak jarang teman- temanku yang pada akhirnya bisa bercerita tentang apa saja dengan beliau. Meski aku sedang tak berada di antara keduanya. Sebut saja Kanaya yang bahkan bisa menginap di rumahku, meski aku sedang berada di Jogja. “Hemm... langsung masuk aja yuk, Mas. Udah hampir telat kan ya, hehe.” Aku buru-buru menghentikan perkenalan dan percakapan yang tampaknya sudah mulai asyik itu. Rio kemudian menatap arlojinya, mengangguk dan segera berpamitan dengan ibuku. “Rio pamit dulu ya, Bu. Nanti Ibu hati-hati pulangnya.” Ibuku balas menepuk punggungnya seraya tersenyum. “Oh iya Nak, hati-hati juga kamunya. Titip Lara ya. Marahin aja kalau bandel.” “Cmon Mom, Lara udah gede ih. Udah ya, Lara pamit, Ma. Jaga kesehatan Mama. Bulan depan Lara dateng sekalian jemput ya.” Aku mencium tangan kemudian memeluknyaerat. Sedikit berat hati sebetulnya bila lagi-lagi harus meninggalkan ibuku sendirian di Jakarta. Namun apa mau dikata, beliau masih tak ingin pindah, pun aku tak bisa begitu saja mengundurkan diri dan berganti profesi. Aku masih tak jua melepaskan pelukan itu hingga sebuah 167 pernyataan terdengar di telingaku. Meski hanya sebuah bisikan tapi mampu membuatku sedikit terkejut. “Ra, kalau kamu sama yang ini Mama kayaknya langsung setuju deh.” Akhirnya, aku melepaskan pelukan itu sambil meng- geleng. Berusaha membuat ibuku mengerti bahwa aku masih belum ingin menjalin hubungan apa pun dengan lawan jenis apalagi itu urusan asmara. a Aku dan Rio tidak terlalu banyak berbicara selama berada di dalam pesawat. Mungkin terlalu lelah dengan aktivitas seharian, atau mungkin juga sibuk dengan isi kepala yang terlalu berisik. Ah sial, itu sih isi kepalaku sendiri tampaknya. Aku kembali sibuk dengan buku catatanku setelah sempat melirik Rio yang sudah fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Satu hal yang kembali mengejutkanku, ternyata Rio mengenakan kacamata. Tapi, kenapa tak pernah dipakai jika sedang bekerja? Bukankah dengan tidak mengenakan kacamata justru akan membuatnya bertambah parah? Aku masih sibuk menerka-nerka alasannya hingga sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari mulutku, padahal sedari tadi coba kusimpan sendirian. “Kamu pake kacamata, Mas?” 168 “Tya, Ra. Cuma jarang aku pake aja kalau lagi enggak baca buku. Males, bikin sakit di hidung.” “Padahal bagusan pake loh.” Sial, aku lagi-lagi kelepasan. “Eh, maksudku bukannya bagusan kalau dipake ya? Soalnya, kalau enggak dipake katanya malah bikin minusnya nambah.” Imbuhku coba membuatnya tak berpikiran macam-macam tentang pendapatku tadi. “Iya, sih Ra, tapi so far kalau aku rajin makan yang sehat dan rajin nambah asupan vitamin A, terus enggak terlalu sering baca di gelap atau sambil tidur, enggak ada masalah sih.” “Ohhh... gitu,” Aku menanggapi seadanya. Seolah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan obrolan. “Tapi Ra, kalau menurutmu bagusan aku pake kacamata, ya udah mulai besok aku pake terus.” Damn, jadi tadi dia ngeh? Aku hanya menunduk malu tak membalas perkataannya sama sekali. Kemudian, beralih melihat ke jendela sampai dia kembali membuka obrolan dan menutup bukunya. “Mamamu emang kayak gitu ke semua orang ya, Ra?” tanya Rio yang kemudian hanya aku balas dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya. “Nggg, I mean selalu bisa akrab ke siapa aja. Asyik gitu soalnya.” Rio menjelaskan. “Oh iya, hampir semua temen yang aku kenalin selalu kayak gitu sambutan Mama. Kenapa? Kaget ya, Mas? Maafin ya, hehe,” ucapku sambil memasang senyum. 169 “No, aku justru seneng banget bisa disambut segitu baiknya, Ra. Enggak nyangka aja.” Aku mengernyit, “Enggak nyangkanya kenapa?” “Karena, ternyata enggak sesusah ngedapetin hati anaknya.” Deg. Aku tak dapat berkata apa-apa, sebab isi kepalaku terlalu sibuk menelaah ucapannya yang tidak ada kelanjutan sama sekali. Alih-alih akan ada penjelasan lagi, Rio justru kembali larut dalam buku yang dibacanya, tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Hal itu sukses membuat keheningan kembali tercipta di antara kami. Sebetulnya aku masih ingin bertanya tentang semua ucapannya yang kerap menggantung. Tapi, melihatnya yang seolah tak lagi peduli dengan apa yang dia katakan, aku kemudian memilih untuk kembali sibuk pada buku catatanku dan menuliskan keresahan di sana. Aku tidak tahu seperti apa aku untukmu. Namun yang aku mengerti, ada hal-hal pada dirimu yang membuatku merasa nyaman berada di dekat. Aku tidak mengerti sebagai apa aku di hidupmu. 170 Namun yang aku pahami, selalu ada tanya pada setiap pernyataan yang kamu lontarkan. Dan aku, masih tidak mengerti akan semuanya itu. a Kita yang Sudah Berakhir :untuk kita yang sudah berakhir Berhentilah mencari alasan, berhentilah menyalahkan, berhentilah melihat ke belakang, dan berhentilah untuk membawa serta luka dan duka. Karena sekarang, segalanya telah berhenti. Di tengah ribuan pilihan, di antara ratusan pemikiran, pada puluhan pengharapan, serta pada banyaknya kenangan. Kita pada akhirnya memutuskan untuk menyudahi segalanya. Untuk beberapa alasan, kita mungkin akan terus menerus merasa bersalah. Hingga kita lupa bahwa setiap langkah yang kita pilih adalah bagian dari perjalanan. Kita lupa bahwa setiap hal yang terjadi pada akhirnya akan berlalu dan memberikan banyak pesan. Untuk membuat kita 171 semakin kuat, untuk memberitahukan siapa kita sebenarnya, dan untuk membuat kita selalu mampu bertahan. Oleh karenanya, berhentilah menyalahkan diri masing- masing bahkan menyalahkan orang lain. Kita terbentuk dari masa lalu yang mungkin menyakitkan, tapi kita dibentuk untuk menjadi lebih berarti kemudian. -L- Aku sedang asyik berselancar, dan memperbarui laman Blog dengan sebuah tulisan baru hingga tak menyadari kehadirannya dibelakangku. Akubahkan baru tahudia sedang memandangiku ketika Rani hendak keluar untuk makan siang, dan memberikan isyarat kepadaku untuk menoleh dengan gerakan dagunya. Sedetik dua detik aku masih tak paham dengan maksud Rani tersebut, hingga kemudian aku mendengar suara ketukan sepatu dari belakang. “Eh Mas, udah lama di situ?” Aku dibuat terperanjat akan kehadirannya yang selalu saja tiba-tiba. Dia hanya membalasnya dengan senyuman. Meneguk minuman dari gelas yang dipegangnya. “Enggak selama nungguin kamu mau untuk buka hati sih, Ra,” imbuhnya datar lalu berlalu begitu saja. “Jangan lupa makan siang, Rara!” teriaknya sesaat sebelum kemudian menghilang dari pandanganku. 172 Menyisakan aku yang kemudian bertanya-tanya tentang kenapa dia mengubah namaku. Tentang apa yang sedang terjadi di antara kami. Tentang kegamangan hatiku akan seluruh sikapnya yang sangat mampu membuatku kembali terjebak oleh perasaan. Sekembalinya dari Jakarta memang segalanya terlihat berbeda. Aku dengan Rio menjadi semakin akrab. Katakan- lah, sekarang aku sudah terbiasa untuk bertukar cerita dengannya. Perihal urusan pekerjaan atau bahkan hal-hal remeh-temeh yang bisa memicu tawa pun sebuah sudut pandang baru yang terbentuk. Aku menghela napas dengan berat. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuatku merasa jengah dengan hal-hal yang aku tahu apa, tapi aku tak ingin untuk menjadi tahu akan hal itu. Aku akhirnya memutuskan membeli makanan dari sebuah restoran cepat saji dan memakannya di kantor. Di saat seperti ini, enggan rasanya harus berhadapan dengan orang lain. Memasang mimik muka penuh bahagia serta senyum yang bisa saja hanya sebuah kepalsuan, mengingat isi kepalaku memang sedang tidak baik. a 173

You might also like