You are on page 1of 14
paasaeoan KOMUNIKASI A. PENDAHULUAN Komunikasi pada manusia terjadi apabila suatu pesan atau informasi berpindah dari seseorang ke orang lain, baik pesan yang memiliki makna ataupun tidak Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya salah satunya adalah kemampuannya dalam berpikir dan mengkomunikasikannya kepada orang lain, Dalam berkomunikasi, manusia di dunia pada umumnya menggunakan bahasa. Di dalam penggunaan bahasa dibutuhkan juga imajinasi atau kemampuan untuk membayangkan, sebelum suatu informasi disampaikan kepada orang Jain. Misalnya ketika dua orang teman bercakap-cakap, dimana salah satunya menjelaskan kepada yang lainnya suatu keadaan teman mereka yang lain kepada “Mereka tadi berkelahi di pasar”. Kedua orang tersebut, baik yang memberi informasi maupun yang menerima informasi harus membayangkan keadaan yang diinformasikan melalui kalimat tersebut. Bahasa membantu pikiran sehingga lebih cepat. Penelitian Bruner (dalam Hardy dan Heyes, 1988) menemukan bahwa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan komunikasi yang menggunakan bahasa ternyata dapat mempercepat perkembangan intelektual. B. KONSEP-KONSEP 204 Konsep adalah kategori-kategori mental untuk mengklasifikasikan suatu objek, kejadian, atau pengalaman (Morris, 1990) atau simbol yang mewakili ciri-citi atau sifat-sifat umum dari suatu objek, kejadian, atau pengalaman (Andayani, 1987). Kucing, buku, pisau, atau. komputer, semuanya adalah konsep-konsep yang kita jadikan untuk mengkategorikan objek-objek di dunia sekeliling kita. Cepat, kuat, atau menarik juga merupakan konsep yang kita gunakan untuk mengkategorikan objek-objek. Ketika kita sedang memikirkan suatu objek, katakanlah komputer pentium 200 Mhz, kita biasanya berpikir dengan konsep-konsep yang dapat diterapkan pada komputer tersebut. Sebagai contoh: cepat, mahal, canggih, dan lebih jelas gambarnya. Konsep-konsep amat membantu kita dalam memikirkan sesuatu agar menjadi lebih efisien. Tanpa adanya kemampuan untuk membentuk konsep, maka bisa dibayangkan kita akan memberikan satu nama yang berbeda untuk setiap objek sendiri-sendiri secara individual (Morris, 1990). Konsep-konsep yang banyak dibahas di atas adalah konsep-konsep yang dapat kita kategorikan sebagai konsep yang sederhana dan objektif atau yang bersifat konkret. Akan tetapi kita juga mengenal adanya konsep yang abstrak dan terinei, seperti konsep tentang “keadilan", “ketuhanan”, “kepahlawanan” (Andayani, 1987). Atkinson dkk. (1994) membagi konsep menjadi empat yaitu: untuk nama suatu benda yang memiliki ciri-ciri tertentu, aktivitas, keadaan, dan hal-hal yang abstrak. Kucing, buku, pisau, atau komputer adalah benda. Makan atau bicara adalah contoh konsep tentang aktivitas, sedangkan cepat, kuat, atau menarik adalah konsep mengenai keadaan. Hal-hal seperti kebenaran -keadilan, ketuhanan, adalah konsep yang bersifat abstrak. Menurut Morris (1990) konsep juga dapat memberikan pengertian terhadap pengalaman- pengalaman baru. Kita tidak dapat menghentikan dan membentuk suatu konsep baru untuk setiap pengalaman baru. Kita gambarkan konsep-konsep yang telah kita bentuk dan kita tempatkan objek baru atau peristiwa-peristiwa baru ke dalam kategori-kategori yang sepantasnya. Dalam proses ini kita dapat membentuk beberapa dari Konsep-konsep tersebut menjadi lebih baik bila dihubungkan dengan dunia sekeliling kita 1, ISI DAN LUAS KONSEP Konsep sebagaimana telah dibahas di muka, umumnya berisikan sifat- sifat atau ciri-ciri dari sesuatu, Sifat-sifat atau ciri-ciri ini dapat dikatakan sebagai isi dan Iuas konsep. Dalam konsep komputer pentium 200 Mhz, isi dari konsep ini adalah cepat, mahal, canggih, dan lebih jelas gambarnya. Dengan diberikan ciri-ciri, maka suatu konsep akan mempunyai anggota- anggota, yang memiliki ciri-ciri seperti yang ditunjukkan konsep tersebut Komputer pentium misainya adalah komputer yang menggunakan prosesor pentium, sementara komputer yang menggunakan prosesor pentium mempunyai anggota seperti “komputer pentium 75 Mhz”, “komputer pentium 90 Mhz”, “komputer pentium 100 Mhz”, “komputer pentium 160 Mhz”, dan “komputer pentium 200 Mhz”. Seberapa banyak jumlah anggota ini menunjukkan seberapa luas konsep tersebut. Semakin banyak anggota, maka semakin luas konsep tersebut. Isi dan Iuas konsep memiliki hubungan yang yang berbanding terbalik, artinya semakin banyak isi atau ciri-ciri yang terdapat dari suatu konsep, semakin sedikit anggota yang dapat dikategorikan di bawah konsep tersebut, dan sebaliknya semakin sedikit isi konsep atau semakin umum suatu konsep, anggotanya akan semakin banyak. Dari isi dan luas tersebut dapat dikatakan bahwa konsep memiliki hirarki. Semakin umum suatu konsep, letaknya semakin ke atas, dan semakin khusus semakin ke bawah. 2. HIRARKI KONSEP Pada bagian-bagian terdahulu telah dipelajari bagaimana suatu konsep memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat. Di samping itu, kita akan mempelajari bagaimana suatu konsep berhubungan dengan dengan konsep lain. Misalnya, kursi adalah anggota dari suatu Kategori yang lebih besar yaitu perabot; perkutut merupakan anggota dari kelompok burung, yang pada gilirannya akan menjadi bagian dari kelompok binatang. Pada gambar 8.1 di bawah ini adalah contoh yang menjelaskan hubungan antara konsep dengan konsep- konsep lainnya, BINATANG ———hidup oo ~~ IKAN hidup bersisik berinsang terbang berenang BLUEJAY hidup IKAN HIU_ hidup IKAN MAS hidup bersayap borsisik bersisik berbulu b borinsang terbang b berenang biru abu-abu runing keemasan Gambar 8.1. Hirarki Konsep (Sumber: Atkinson dkk., 1994) Kata berhuruf besar adalah konsep, sedangkan kata yang berhuruf kecil adalah sifat dari konsep. Percobaan yang telah dilakukan oleh Collin dan Quallian (dalam Atkinson dkk., 1994) menyimpulkan bahwa subjek dapat menggunakan Hirarki Konsep seperti pada gambar 8.1 untuk menjawab pertanyaan. Subjek dihadapkan pada pertanyaan seperti “Burung murai adalah seekor burung” atau “Burung murai adalah seekor binatang”. Subjek harus menyimpulkan apakah setiap pertanyaan itu “benar”, seperti pada beberapa contoh sebelumnya, atau harus menyimpulkan “salah” seperti pada kalimat “Burung aster adalah pohon”. Dengan kalimat yang begitu sederhana, kesalahan jarang dibuat. Collin dan Quallian tertarik pada seberapa cepat subjek mengambil keputusan. Bila subjek mengacu pada hirarki, dia akan mencari suatu jalur yang menghubungkan berbagai konsep. Bila subjek mendapatkan “Burung murai adalah burung”, maka subjek akan mencari akan mengacu pada hirarki burung murai dan mencari jalur pada konsep ‘burung’. Pada gambar 8.1 terlihat bahwa antara burung murai dan burung hanya merupakan garis penghubung yang panjang. Dalam kalimat “Burung murai adalah binatang” terdapat dua penghubung antara konsep-konsep tersebut, sehingga memakan waktu yang lebih lama lagi untuk mendapatkan jalur penghubungnya. Hasil yang didapat akan menguatkan gagasan tersebut, sedangkan waktu yang diperlukan untuk menyimpulkan akan bertambah sesuai dengan jarak antara konsep tersebut dengan hirarki Pada gambar 8.1 terlihat bahwa suatu objek dapat digolong-golongkan menurut peringkat yang berbeda-beda. Objek yang sama sekaligus, merupakan burung murai, burung, dan binatang. Namun demikian, untuk dalam suatu kebudayaan tertentu, satu peringkat merupakan dasar atau peringkat yang lebih dipilih untuk penggolongan. Untuk kebanyakan penduduk di kota, burung merupakan perangkat dasar. Dalam masyarakat kota ini, kemungkinan besar orang akan menyebut seekor burung daripada seekor burung murai. Di lain pihak pada masyarakat pedesaan peringkat dasarnya adalah mura‘. Apa yang menyebabkan suatu konsep dapat dijadikan peringkat dasar? Tampaknya jawabannya adalah bahwa peringkat dasar adalah peringkat yang mengandung sifat pembeda (distinctive properties). Pada gambar 8.1 di atas, burung tidak memiliki sifat pembeda yang tidak dimiliki oleh jenis binatang lainnya (seperti misalnya sayap dan bulu bukanlah merupakan sifat yang dimiliki ikan). Murai memiliki sifat pembeda yang lebih sedikit, karena kebanyakan sifat murai dimiliki oleh bluejay. Namun demikian, murai juga memiliki sifat yang membedakan dari bluejay, demikian pula sebaliknya bluejay juga memiliki sifat yang membedakan dari murai, yaitu “berpindah-pindah tempat” dan “menyanyi”, dimana keduanya tidak disebutkan di dalam hirarki. 207 3. CARA MEMPEROLEH KONSEP Individy dalam memperoleh suatu konsep dari yang sederhana sampai yang kompleks, tentunya melalui tahap-tahap yang disesuaikan dengan perkembangannya dan dimulai pada masa kanak-kanak Pada usia satu tahun anak mulai belajar menandai objek-objek di sekitarnya seperti bapak, ibu, atau binatang piaraan, meskipun belum dapat memberi nama. Apabila anak mulai berbicara dengan menghubungkan pengetahuannya tersebut dengan kata-kata yang diucapkan oleh orang yang lebih dewasa, maka anak telah sampai pada kesimpulan tentang suatu konsep. Pada usia tiga tahun, anak sadah tahu konsep tentang warna dan kata-kata tertentu yang menjadi nama dari warna tersebut, tetapi belum dapat menghubungkan nama tertentu untuk warna yang mana, Agar anak dapat menghubungkannya, maka anak melakukan uji hipotesis, yaitu memperkirakan ciri-ciri apa yang sesuai dan menolak ciri-citi yang tidak sesuai. Selain ciri yang relevan, anak juga mulai belajar aturan-aturan yang terlibat di dalamnya. Dari aturan-aturan yang terlibat, anak dimungkinkan untuk mengidentifikasikan tipe konsepnya. Konsep yang sangat sederhana, biasanya hanya terdiri dari satu ciri, “Merah” biasanya terdapat pada lipstik, darah, atau sirup. Konsep yang terdiri dari penjumlahan beberapa ciri atau konsep konjungtif, berisikan ciri ini dan itu, seperti: “Kuliah yang menjemukan”, dan “ayam berkokok”. Selain itu terdapat pula konsep disjungtif yang berisikan citi ini atau itu, misalnya “bahan bakat” dapar berupa gas, padat, atau cair (Andayani, 1987). Meskipun menggunakan uji hipotesis, kadang-kadang anak melakukan kesalahan fokus pada hal-hal yang tidak berkaitan. Misalnya, ibu memarahi anaknya sambil berkacak pinggang: “Kamu tidak bileh menggoda Adik”. Kemudian bila ia ditanya apa itu “menggoda” jawabannya adalah “berkacak pinggang” (Andayani, 1987). Berikut ini akan dibahas tiga cara dalam memperoleh konsep, yaitu pengujian hipotesis, melalui patokan/contoh yang khas, dan konsep ilmiah. Pengujian Hipotesis. Hal-hal yang telah dibahas di muka adalah pengujian hipotesis pada anak-anak. Bagaimana orang dewasa melakukan uji hipotesis? Penelitian mengenai uji hipotesis pada orang dewasa telah dilakukan oleh Wason dan Johnson-Laird (dalam Atkiason dkk., 1994). Beberapa subjek diberi kartu seperti yang terlihat pada gambar 8.2. Setiap kartu mempunyai | huruf pada satu sisi dan satu angka pada sisi lainnya, Subjek harus dua kartu mana yang harus dibalik supaya dapat menentukan dua kartu mana yang harus dibalik supaya dapat menentukan apakah hipotesis yang dipakai berikut ini benar atau salah. Hipotesisnya adalah “Bila sebuah kartu mengandung sebuah bunyi huruf hidup pada satu sisi, kartu itu akan mempunyai angka yang genap pada sisi yang lain”. Hipotesis ini pada hakikatnya berusaha menghubwogkan antara konsep huruf dengan konsep angka. Kebanyakan subjek dapat dengan tepat membalik membalik kartu yang bertuliskan huruf hidup “E”. Bila kartu ity memuat angka genap pada sisi yang lain,” maka hipotesis benar; apabila sebaliknya karta memuat angka ganjil, maka hipotesis ditolak. Akan tetapi beberapa subjek juga membalik kartu yang bertuliskan angka “2” (“E” dan “7” merupakan kartu yang tepat untuk dibalik). Kartu yang berangka “2” tidak memberikan informasi apa- apa, sebab meski kartu tersebut memiliki sebuah huruf mati dibaliknya, hipotesis tidak akan ditolak (lihat lagi hipotesis). Namun demukian untuk menentokan sebuah huruf hidup pada sisi yang lain tampaknya mendukung hipotesis ini. Kebanyakan subjek gagal untuk membalik kartu yang berangkakan ganjil “7”. Bunyi huruf hidup di baliknya akan menolak hipotesis, tersebut. Namun kartu yang berangka “7” tidak memberikan kemungkinan untuk mendukung hipotesis tersebut, dengan demikian dibiarkan saja untuk tidak dibalik. Gambar 8.2. Kartu Percobaan Wason dan Johson-Laird (Sumber: Atkinson dkk., 1994) Melalui Patokan/Contoh Yang Khas. Walaupun pengujian hipotesis tampaknya merupakan strategi utama dalam memperoleh konsep, terdapat pula strategi lain yang berperan di dalam memperoleh konsep, terutama pada anak (Mervis dan Pani dalam Atkinson dkk., 1994). Seringkali apa yang dipelajari anak tentang sebuah konsep merupakan contoh paling khas dari konsep tersebut atau suatu patokan. Dalam diri anak, bagian apa saja yang 209 yang hampir serupa dengan salah satu patokan yang telah dipelajari akan digolongkan sebagai suatu contoh konsep tersebut. Seperti misalnya konsep anak mengenai perabot. Konsep perabot pada anak mungkin terdiri dari contoh khas saja seperti meja dan kursi. Anak akan menggunakan strategi patokan untuk menggolongkan contoh lain dari Konsep tersebut, seperti bangku atau sofa, karena bangku dan sofa sangat mirip dengan dengan patokan yang telah dipelajari. Akan tetapi seorang anak barangkali tidak bisa menggolongkan dengan tepat contoh konsep yang kelihatannya berbeda dengan patokan yang telah dipelajari, seperti lampu dan rak buku. Belajar dengan cara patokan ini, contoh yang khas akan cocok tetapi contoh yang tidak khas mungkin malah tidak dimasukkan dalam konsep tersebut. Konsep IImiah. Cara memperoleh dua konsep yang telah dibahas terdahulu lebih mengarah kepada cara memperoleh konsep secara umum. Sementara cara memperoleh konsep ilmiah yang dibahas di bawah ini tampaknya berbeda dengan kedua cara terdahulu. Cara memperoleh konsep yang ilmiah dilakukan melalui suatu proses. Proses-proses tersebut adalah analisis, yaitu suatu proses menguraikan, mencari ciri-ciri yang dimiliki oleh semua anggota dalam suatu konsep. Setelah dilakukan analisis, maka tahap berikutnya adalah komparasi, yaitu membandingkan ciri-ciri satu anggota dengan anggota lain. Abstraksi atau kategorisasi adalah tahap selanjutnya yang menggolongkan anggota-anggota suatu konsep, dan akhirnya adalah pengambilan kesimpulan. (Perkembangan bahasa anak akan dibahas dalam sub bab berikutnya) C. BAHASA 210 Setiap kelompok masyarakat memiliki bahasa yang berbeda. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang luar biasa, mengingat banyaknya perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, Sifat khas universal dari bahasa adalah merupakan alat yang amat diperlukan untuk berkomunikasi. Agar komunikasi dapat dicapai, maka seringkali penggunaan bahasa melalui kalimat saja menjadi tidak memadai. Oleh karena itu perlu diketahui sebelumnya beberapa bentuk komunikasi selain komunikasi yang menggunakan bahasa kalimat. Bentuk-bentuk Komunikasi. Bentuk komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi verbal dan non-verbal maupun dalam bentuk komunikasi reflektif dan purposif. Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang sangat efisien yang memberi kesempatan berlangsungnya perpindahan informasi-informasi yang kompleks. Contoh dari komunikasi verbal ini adalah berkata dan menulis. Sementara ketika seseorang sedang melakukan percakapan (komunikasi ver- bal), ia juga melakukan komunikasi non-verbal yang berupa sikap badan, ekspresi wajah, nada suara, dan gerak-gerak isyarat lainnya. Komunikasi yang bersifat verbal tanpa adanya isyarat-isyarat non-verbal seringkali berakibat adanya salah penafsiran. Seperti pada dua orang yang sedang melakukan percakapan melalui telepon (Hardy dan Heyes, 1988). Komunjkasi reflektif menurut Donald Hebb (dalam Davidoff, 1988) adalah komunikasi yang berisikan pola-pola yang terus-menerus sama (stereotipik) seperti misalnya refleks, isyarat-isyarat ekspresi, dan emosi. Manusia seringkali menangis bila merasa sakit atau sedih, dan tersenyum dengan spontan bila merasa bahagia atau senang. Meski isyarat-isyarat tersebut cukup dapat memberikan banyak informasi, tetapi sebenarnya tidak dengan sengaja diadakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sementara itu komunikasi purposif adalah komunikasi yang diadakan secara sengaja dengan maksud si penerima pesan dapat mengerti, dan sambungan komunikasi tersebut tergantung pada reaksi dari si penerima pesan tadi. Dengan mengubah nada suara seseorang ketika mengucapkan suatu kata yang sama, dapat memberi arti yang berbeda bagi yang mendengarkannya. Misalnya: “Wah, bagus betul perbuatanmu!” bila diucapkan dengan nada mengejek akan memiliki makna yang berbeda dengan apa yang dapat ditangkap secara verbal. Dari pembagian kedua bentuk komunikasi di atas, agaknya kita setuju bahwa komunikasi reflektif dan purposif sebenarnya adalah bagian dari komunikasi non-verbal. 1. PROPOSISI Pikiran-pikiran yang diekspresikan dalam bentuk kalimat umumnya mengambil bentuk proposisi. Proposisi ini seringkali kita kenal dalam bentuk Subjek dan Predikat, Semua kalimat, meski kompleks, dapat dipecah menjadi menjadi proposisi. Selain itu proposisi yang sama dapat ditampilkan dalam kalimat yang berbeda (Andayani, 1987), Apakah proposisi memiliki hubungan atau dapat disamakan dengan gagasan (pikiran), Beberapa ahli berpendapat bahwa kedua- nya ternyata memiliki hubungan (Andayani, 1987; Atkinson dkk., 1994). Menurut Kintsch (dalam Atkinson dkk., 1994), seseorang akan membutuhkan waktu yang lebih ait 212 lama untuk membaca kalimat yang mengandung dua proposisi dari pada yang terdiri dari hanya satu proposisi, meskipun kedua kalimat tersebut terdiri dari sejamlah kata yang sama banyaknya. Oleh Karena itu dapat dikatakan bahwa, seseorang di dalam membaca kalimat akan mengambil inti gagasan dalam kalimat. Makin banyak gagasan atau proposisi dalam satu kalimat makin membutukan waktu lama untuk membacanya. 2, MEMECAH KALIMAT DALAM PROPOSISI Suatu kalimat umumnya terdiri dari frase-frase yang masing-masing merupakan subjek atav predikat dari proposisi. Misalnya kita mencoba untuk memecahkan kalimat tunggal seperti “Sinta seorang bankir”, menjadi dua frasa yaitu “Sinta” (subjek) dan “seorang bankir” (predikat). Bagaimana pula dengan kalimat yang sedikit agak kompleks, seperti “Seorang pengusaha sukses sedang bermain golf”. Kalimat tersebut dapat dipecah menjadi “Seorang pengusaha sukses” dan “sedang bermain golf”. Frasa yang pertama berpusat kepada kata benda atau disebut frasa kata benda; dan frasa yang kedua disebut frasa kata kerja. Apabila kita fokuskan kepada frasa kata benda “pengusaha yang sukses”, kita dapat menyatakan bahwa frasa tersebut adalah frasa yang utuh “pengusaha yang sukses”, sementara itu frasa kata kerja yang lain “sedang bermain golf” adalah sebagian dari proposisi yang lain yakni “pengusaha sedang bermain golf”. Jadi dalam contoh ini, frasa kata benda menyatakan suatu proposisi utuh, sedangkan frasa kata kerja hanyalah merupakan bagian dari suatu proposisi (Atkinson dkk., 1994). KALIMAT FRASA PROPOSIS! Seorang pengusaha sukses 5, Pengusaha yang sukses (FRASA KATA BENDA) (SUBJEK) (FREDIKAT) Seorang pengusaha sukses. sedang bermain golt sedang bermain golf > -... sedang bermain gott (FRASA KATA BENDA) (PREDIKAT) Gambar 8.3. Frasa dan Proposisi (Sumber: Atkinson dkk., 1994) D. PERKEMBANGAN BAHASA Salah satu perhatian para ahli psikologi pada bahasa adalah bagaimana manusia memperoleh kemampuan bahasa. Pada bagian ini akan dibahas mengenai perkembangan bahasa manusia. Menurut Sigit Sidi (dalam Munandar, 1988) pada masa bayi usia kurang dari satu tahun, seorang anak telah memiliki bentuk komunikasi reflektif. Satu-satunya cara komunikasi yang dikenal adalah tangisan. Meski demikian, suatu tangisan ternyata tidak mengandung satu pengertian tunggal. Tangis bayi tidak selalu dianggap sebagai pernyataan lapar atau ingin minum saja. Oleh karena itu, tangis bayi memerlukan tanggapan yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang dialami bayi. Karena belum dapat berkata-kata, maka bayi menyatakan hal-hal yang dirasakannya lewat tangisan, seperti lapar, kedinginan, terusik udara panas, atau merindukan belaian ibunya, Para orangtua dengan pengamatan dan beberapa pengalaman, diharapkan mampu membaca makna apa dari isyarat yang dilontarkannya. Jika tidak, maka respon orangtua biasanya hanya berdasarkan satu pengertian saja. Menurut Davidoff (1988) anak-anak di seluruh dunia mulai belajar menggunakan isyarat bahasa pada usia sekitar 2 tahun, yaitu diawali pada usia 1,5 tabun dan diakhiri pada pada usia 3,5 tahun. Ketika berusia 5 tahun, anak sudah mampu menggunakan kata dan kalimat yang sama dengan yang digunakan oleh orang dewasa di sekelilingnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? 1. DARI SUARA KE KATA Selama setengah tahun dalam kehidupan seseorang, tanpa mempedulikan bangsa, lingkungan, ataupun kemampuan belajarnya, seorang anak telah dapat bersuara berupa suara-suara tertentu. Bayi akan menangis bilamana merasa tidak nyaman atau ingin minum seperti telah diuraikan di atas. Ketika seorang bayi berumur 3 bulan, ia sudah dapat menyuarakan suara seperti “mendekut”, bilamana mereka merasa senang Pada umumnya semua bayi memperlihatkan kemampuan yang baik di dalam diskriminasi pendengaran. Jauh sebelum mereka dapat berbicara, bayi akan memperhatikan pembicaraan dan memperlihatkan kesiapsiagaan untuk menerima informasi melalui pembicaraan tersebut. Pada akhir usia pertama, bayi sudah dapat memperlihatkan bunyi-bunyi yang tak beraturan (bubbling). Vokalisasi yang mereka utarakan tersebut berbeda-beda, Tampaknya mereka sedang berlatih bersuara. Bentuk 213 214 komunikasi “pertama” dari seorang bayi seringkali berupa kombinasi suara yang disertai dengan gerakan seperti memandang dan memberikan isyarat- isyarat non-verbal (seperti menggapai, menunjuk, melambai, dan sebagainya). Pada usia 8 sampai 10 bulan, seorang anak akan menggunakan vokalisasi tertentu yang disertai dengan isyarat dan memandang. Tujuannya adalah untuk memberi pesan khusus. Akan tetapi di dalam memberi pesan tersebut, suara- suara yang digunakan untuk mengkomunikasikan keinginannya seringkali dalam bentuk yang berbeda-beda (Davidoff, 1988). Pada usia 12 bulan, bayi tampak menggerakkan tubuhnya ber- irama sesuai dengan ucapan-ucapan yang sedang terjadi di sekitarnya. Mereka dapat mengubah arah dan kecepatan geraknya sesuai dengan ucapan orang dewasa yang ada di sekelilingnya (Davidoff, 1988) Pada usia pertama, seorang anak sudah dapat seringkali telah menguasai beberapa kata yang impresif. Mereka membuat seperangkat suara yang dapat memberikan penekanan serta dapat mengenali pola-pola bahasa yang digunakan oleh orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Mereka juga sudah mengetahui arti beberapa kata. Mereka juga telah dapat menggunakan bahasa sederhana dengan urutan yang terkadang betul. Pada mulanya, sebuah kata cenderung untuk mewakil keseluruhan gagasan. Ungkapan kata “ayah” misalnya, dapat diartikan pula sebagai “ini dia ayah”, atau “ayah, datanglah kemari”, atau “kemanakah ayah?”, tergantung dengan situasinya. Dalam tahap ini, seorang anak biasanya juga menggunakan sebuah kata untuk menunjukkan item-item secara umum. Misalnya kata “mbak” dipakai untuk menunjukkan semua Wanita tanpa kecuali. 2. DARI KATA KE KALIMAT Menatut Davidoff (1988) anak-anak di seluruh dunia pada usia 18 sampai 24 bulan akan mulai menggabung-gabungkan kata. Kemajuan ini dipengarvhi oleh perkembangan motorik anak, dimana anak sudah dapat berjalan kesana- kemari. Anak menjadi semakin banyak mengadakan interaksi dengan dunia sekelilingnya dan menghadapi banyak tantangan. Menurut Braine (dalam Atkinson dkk., 1994) pada masa usia kira-kira 1,5 sampai 2,5 tahun, anak sudah dapat membedakan antara “manusia dan binatang” yang dapat memainkan peran pelaku suatu tindakan, bergerak sendiri, dan menggerakkan benda lain dengan “benda-benda” (seperti balok, meja, dan tempat tidur bayi) yang tidak memiliki kemampuan bergerak dan hanya sebagai objek belaka. Dalam tahap ini, anak-anak memiliki sifat wicara telegrafis yang bermakna dan berirama tertentu, dimana umumnya mereka (dalam kebudayaan dan bahasa Inggris) menghilangkan preposisi (in, on), prefiks (wn, dis), sufiks (ed, s), auxiliary (have, will), artikel (the, an), dan konjungsi (and, or). Misalnya, si pemilik akan mengikuti di belakang kata benda yang dimilikinya; “Duduk kursi Adam” dapat diartikan sebagai “"Duduk di atas kursi Adam”. Kalimat-kalimat sederhana tersebut digunakan oleh anak secara bermakna untuk menjelaskan tujuan-tujuan yang amat luas, yaitu: a. Untuk mengenal dan memberikan nama pada benda (misalnya: “Itu san- dal Ibu”, atau “Itu bola”) b. Untuk memberikan komentar atau meminta sesuatu agar muncul, misalnya: “Lagi air jeruk”, atau “Bola lain”.c. Untuk mengekspresikan milik, misalnya “Baju Ayah” atau “Topi Adam”. d. Untuk menunjukkan bahwa sesuatu benda tidak ada. Misalnya: “Tidak sepatu”. e. Untuk menyatakan suatu tempat, misalnya :"Kursi bayi” f. Untuk menunjukkan seseorang atau sesuatu benda menyebabkan adanya tindakan tertentu, Misalnya: “Ibu pergi” g. Untuk menunjukkan bahwa seseorang atau sesuatu mempunyai sifat khusus, misalnya: “Tangan kotor”. h. Untuk menunjukkan bahwa seseorang atau sesuatu menyebabkan adanya perubahan keadaan, atau menerima akibat paksaan tindakan tertentu. Misalnya: “Dorong mobil”. 3. PROSES BELAJAR Menurut Atkinson dkk. (1994) terdapat tiga kemungkinan bagaimana seorang anak belajar mengucapkan kalimat, yaitu: peniruan (imitasi), pengkondisian (conditioning), dan pengujian hipotesis. Dari ketiga kemungkinan tersebut, yang paling ditekankan dalam mengasosiasikan konsep dengan kata adalah pengujian hipotesis, yang merupakan proses penting dalam belajar bahasa pada anak. Peniruan (Imitasi). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa anak belajar bahasa dari menirukan mimik orang dewasa. Akan tetapi terdapat banyak bukti yang menyimpulkan tidak hanya demikian. Menurut Ervin-Tripp (dalam Atkinson dkk., 1994), seorang anak sering mengucapkan hal-hal yang tidak 215 216 pernah didengar dari orang dewasa, seperti: (dalam bahasa Inggris) “All gone milk” (Semua habis susu). Bahkan pada saat anak pada tahapan berbahasa dengan dua kata, mereka juga mencoba menirukan kalimat kalimat orang dewasa yang lebih panjang seperti: (dalam bahasa Inggris) “Mr. Miller will try” daripada yang biasanya mereka ucapkan melalui wicara telegrafis: Miller try. Di samping itu, kesalahan yang dibuat oleh anak seperti: (dalam bahasa Inggris) “Daddy taked me” (bukannya “Daddy took me” dalam bentuk kata kerja yang tidak beraturan), menunjukkan bahwa mereka mencoba menerapkan semacam aturan, yang tidak hanya menirukan orang dewasa. Meski demikian, peniruan dapat pula berperan dalam belajar kata-kata baru. Seperti misalnya ketika orangtua menunjukkan sebuah telepon dan mengatakan “telepon”, seorang anak akan mengulangi kata tersebut, dan hal ini akan membantu anak mempelajari kata “telepon” (Blomm dkk. dalam Atkinson dkk., 1994). Pengkondisian (Conditioning). Kemungkinan lain dalam mempelajari bahasa pada anak adalah dengan cara pengkondisian. Orangtua akan memberi positive reinforcement (menguatkan secara positif) pada anak apabila mereka berhasil membuat kalimat; dan menyela atau menegurnya (negative rein- forcementimenguatkan secara negatif) apabila membuat kesalahan. Hal ini akan berjalan dengan baik apabila dilakukan respon secara konsisten terhadap setiap detil wicara anak. Pengujian Hipotesis. Pada cara belajar bahasa dengan peniruan dan pengkondisian, anak hanya belajar pada ucapan tertentu. Namun, seringkali anak belajar sesuatu secara garis besar dalam hal katalkanlah suatu aturan tertentu. Anak tampaknya membuat suatu hipotesis tentang beberapa aspek bahasa, kemudian mengetesnya, dan kemudian berpegang teguh pada hal tersebut apabila cocok (Lihat juga dalam sub bab terdahulu mengenai Konsep).

You might also like