You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

Ulkus pada kaki, sepsis, dan amputasi adalah suatu hal yang paling ditakuti oleh orang
pengidap diabetes. Terjadinya ulkus pada kaki adalah merupakan komplikasi dari diabetes
mellitus dan sering kali harus diakhiri dengan mengamputasi ekstremitas bagian bawah.
Penyebab terbanyak yang mendasarinya adalah neuropati, trauma , deformitas, tekanan tinggi
pada plantar kaki, dan penyakit arteri perifer. Klasifikasi yang sering dipakai dalam diabetic
foot adalah klasifikasi menurut wagner, yang bisa menentukan staging dan prognosis. Terapi
yang tepat dan cepat pada diabetic foot dapat mencegah terjadinya eksaserbasi dan
mengurangi kemungkinan terjadinya amputasi. Tujuan dari terapi adalah untuk secara dini
menyembuhkan suatu lesi pada kaki, dan mencegah kekambuhannya.1

Identifikasi faktor resiko adalah suatu dasar manajemen pencegahan terjadinya


diabetic foot pada orang diabetes. Resiko terjadinya ulkus dan amputasi meningkat pada
orang yang sudah mengidap diabetes selama lebih dari 10 tahun, orang laki-laki, orang yang
jarang mengontrol gulanya, dan pada orang yang mempunyai komplikasi pada
kardiovaskuler, retina dan ginjal.2 Orang pengidap diabetes seharusnya secara rutin
diperiksakan keadaan kakinya, untuk mengidentifikasi faktor resiko terjadinya diabetic foot.
Pemeriksaan meliputi sensasi, struktur kaki, dan biomekanik, vaskuler, dan ketahanan kulit.
Evaluasi status neurologi dengan memakai metode quantitative somatosensory theshold test,
menggunakan Semmes-Weinstein 5.07 monofilament. Skrining untuk penyakit vaskuler
perifer, dengan cara mencari riwayat adanya klaudikasio. Pada pemeriksaan kulit harus
diperiksa tentang ketebalan dan ketahanannya khususnya pada ibu jari kaki dan telapak kaki.
Adanya eritema, dan terbentuknya kallus, mengindikasikan adanya jaringan yang rusak.
Deformitas tulang, terbatasnya pergerakan sendi, dan gangguan pada gaya jalan juga harus
dicatat dan diperiksa.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetic Foot


Infeksi didefinisikan sebagai adalah suatu invasi dari mikroorganisme yang mengadakan
proliferasi ke suatu jaringan yang menyebabkan kerusakan jaringan tanpa atau dengan diikuti
oleh respon inflamasi host. Infeksi pada diabetic foot biasanya terjadi secara sekunder pada
kulit yang luka. 3

2.2 Etiologi Diabetic Foot


Etiologi diabetic foot, biasanya bersumber dari banyak komponen. Baru-baru ini sebuah hasil
studi multisenter memperoleh data bahwa sekitar 63% diabetic foot disebabkan oleh
neuropati perifer, trauma, dan deformitas. Penyebab yang lainnya adalah iskemia,
terbentuknya kallus, dan edema. Walaupun adanya infeksi jarang di implikasikan sebagai
penyebab diabetic foot, tapi jika suatu luka mengalami infeksi itu akan menyebabkan
terjadinya diabetic foot. Banyak faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki, juga merupakan
faktor predisposisi amputasi, ini dikarenakan adanya ulkus merupakan penyebab amputasi.1

Adanya keterbatasan pada mobilitas pada pasien tua, deformitas, dan yang dalam
keadaan sakit menyebabkan penambahan tekanan pada kulit yang mengalami ulkus.
Keterbatasan mobilitas pada keadaan odem dan penyakit vaskuler merupakan faktor yang
utama untuk terjadinya sebuah ulkus.5

2.3 Epidemiologi
Penyakit pada kaki seperti ulkus, gangren dan infeksi, adalah penyebab terbanyak
orang dengan diabetes mellitus harus masuk rumah sakit. 15-20 % dari 16 juta pengidap
diabetes di Amerika, menjalani rawat inap di rumah sakit karena komplikasi dari
penyakitnya. Dan alangkah tidak beruntungnya, sebagian besar akan mengalami amputasi
karena adanya infeksi berat dan iskemi perifer pembuluh darah. Neuropati adalah faktor
predisposisi untuk terjadinya ulkus dan amputasi.1 Karakteristik lesi yang paling sering pada
diabetic foot adalah mal perforans ulceration, yang biasanya adalah faktor resiko terjadinya
amputasi. Kira-kira 85 % dari pengidap diabetes yang diamputasi disebabkan oleh adanya
diabetic foot. Orang pengidap diabetes mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena
infeksi dibandingkan dengan populasi yang sehat, dan biasanya terjadi infeksi pada kaki. 15-

2
25 % pasien diabetes menderita ulkus kaki pada saat hidupnya dan 40-80% ulkus itu akan
menjadi terinfeksi. 3

2.4 Gambaran Klinis


Progresivitas dari suatu infeksi disebabkan oleh banyak faktor yang berhubungan dengan
karakteristik luka, patogenitas bakteri dan host. Diagnosis dari adanya infeksi ditegakkan dari
adanya paling sedikit 2 tanda seperti : bengkak, indurasi, eritema di sekitar lesi, nyeri, hangat
dan adanya pus. Infeksi yang berat ditegakkan berdasarkan International Consensus on the
Diabetic Foot clasification system. 3

Gambaran klinis infeksi pada diabetic foot adalah : 3

• Infeksi superfisial yaitu infeksi yang menyangkut lapisan jaringan seperti fasia
superfisial dan adanya gambaran acute bacterial cellulitis

• Selulitis yaitu adanya infeksi pada subdermis. Gambaran klinisnya adalah


adanya gambaran infeksi lokal seperti eritema disekitar lesi dan menyebar.

3
Hipertermi, limfangitis asending dan limfadenopati regional kadang-kadang
bisa terjadi.

• Selulitis nekrotikan yaitu ditandai infeksi yang menyebabkan nekrosis pada


subdermis kemudian dermis.

• Wet gangrene (gangren basah) yaitu gambaran infeksi yang menyebabkan


jaringan yang mengalami nekrosis dan kehitaman. Ini perlahan-lahan akan
menyebabkan pelepasan jaringan kulit dan keluarnya pus yang keabu-abuan
dengan bau yang tidak enak dan menyebabkan perburukan keadaan umum
pasien menjadi sepsis, gangguan metabolik, dan gagal ginjal.

• Abses dan phlegmon

• Osteomyelitis dan infeksi pada tulang.

Neurophatic foot, dengan gambaran ulkus bermula dari ibu jari dan bagian plantar
dari metatarsal dan seringkali tampak gambaran callus. Jika callus tidak dihilangkan,
kemudian jika callus itu berdarah sehingga jaringan pada callus itu mengalami
nekrosis maka ini akan menyebabkan terjadinya ulkus. Biasanya ulkus ini akan
terinfeksi oleh stafilokokus, streptokokus, organisme gran negatif, bakteri anaerob,
sehingga infeksi ini akan menyebabkan selulitis, abses, dan osteomyelitis. Adanya
ulkus ini juga dapat menyebabkan in situ trombosis pada arteri, sehingga
menyebabkan timbulnya gangren dari ibu jari.4

Ischaemic foot, tidak adanya denyut nadi pada kaki harus menjadi perhatian seorang
dokter untuk menduga terjadinya iskemia, yaitu dengan pemeriksaan dan
penatalaksanaan secara spesifik. Karakteristinya adalah lesi pada pinggiran kaki dan
4
tidak disertai bentukan callus. Identifikasi kemungkinan terjadinya iskemia adalah
dengan melihat karakteristik yaitu lesi yang berwarna merah muda, nyeri, denyutan
yang melemah, dan kadang-kadang pada perabaan kaki pasien terasa dingin. Nyeri
yang dirasakan sangat hebat dan dirasakan persisten baik siang maupun malam.
Pemeriksaan ankle – brachial pressure index dengan doppler dapat membantu kita
untuk mengetahui ada tidaknya iskemia. 4

2.5 Patofisiologi Diabetic Foot


Orang pengidap diabetes mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi
dibandingkan dengan populasi yang sehat, dan biasanya terjadi infeksi pada kaki. 15-25 %
pasien diabetes menderita ulkus kaki pada saat hidupnya dan 40-80% ulkus itu akan menjadi
terinfeksi. Patofisiologi dari diabetic foot sampai saat ini masih kontroversi. Banyak hipotesis
dikemukakan antara lain : 3

• Mekanisme defisiensi cell-mediated immune, pada mekanisme ini diterangkan


bahwa pada keadaan hiperglikemia yang dapat merubah fungsi leukosit.

• Efek dari terjadinya neuropati dan penambahan tekanan pada luka yang sudah
terjadi

• Terdapatnya lesi kronis yang alami

5
• Hipoksia yang diakibatkan oleh berkurangnya perfusi lokal dan keadaan
hipermetabolik host dan juga metabolisme mikroba seluler. Hipoksia ini
menyebabkan pertambahan infeksi kuman anaerob dan menurunkan aktivitas
bakterisidal.

• Penyakit arteri menyebabkan penurunan suplai darah pada luka dan sebagai
akibatnya masuknya faktor eksogen dan endogen yang melawan infeksi.

• Anatomi daripada kaki yang terdiri dari beberapa kompartemen, yang dapat
menyebabkan penyebaran infeksi secara luas.

2.6 Evaluasi Ulkus


Seperti kita ketahui bahwa adanya ulkus harus kita evaluasi secara teliti, untuk dilakukan
manajemen secara tepat. Pendeskripsian karakteristik ulkus seperti, ukuran, kedalaman,
bentuk dan lokasi berguna untuk merencanakan pengobatan yang tepat. Evaluasi yang
dilakukan harus bisa menjelaskan tentang etiologi dan jenis lesinya seperti neuropati, iskemi
atau neuro-iskemi. Setelah menjelaskan tentang gambaran dari sebuah ulkus, seorang dokter
harus memeriksanya dengan menggunakan blunt sterile probe. Gentle probing bisa
mendeteksi sinus tract formation, kerusakan yang terjadi pada margin ulkus, penyebaran
ulkus pada tendon, tulang, dan sendi. 1

Pada umumnya adanya penyebaran infeksi pada tungkai disebabkan oleh adanya
selulitis yang menyebar dan berada dekat dengan ulkus seperti, abses, osteomyelitis, dan
iskemia yang berat. Pemeriksaan kultur bakteri harus dilakukan bila terdapat tanda-tanda
infeksi seperti inflamasi dan pus yang purulen. Pemeriksaan hasil kultur paling baik diambil
dari drainage pus atau kerokan pada dasar ulkus. Pada dasarnya semua ulkus sudah
terkontaminasi bakteri, pemeriksaan kultur pada luka yang tidak terinfeksi tidak perlu
dilakukan. Infeksi polymicrobial biasanya ditemukan pada infeksi diabetic foot yang berat
dan termasuk didalamnya adalah bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerob.1

Pemeriksaan radiologi seharusnya dilakukan pada setiap pasien dengan ulkus yang
lama dan dalam, untuk menyingkirkan adanya osteomyelitis, akan tetapi pemeriksaan
radiologi tidak sensitif sebagai indikator untuk infeksi tulang akut.1

Status vaskularisasi seharusnya diperiksa karena adanya iskemi menandakan


prognosis yang buruk untuk adanya penyembuhan. Pemeriksaan palpasi nadi pada kedua

6
pedis dan poplitea adalah indikasi mutlak untuk menentukan perfusi arteri pada kaki. Tidak
adanya denyut nadi pada pedis dan adanya denyutan pada poplitea adalah gambara terjadinya
diabetic foot. 1

2.7 Klasifikasi Diabetic Foot


Pengklasifikasian dari ulkus bisa membantu kita dalam menentukan pengobatan dan
prognosis. Banyak sistem pengklasifikasian yang dibuat, menurut parameter seperti
penyebaran infeksi, neuropati, iskemi, dalam dan luasnya kerusakan jaringan, dan lokasi.
Klasifikasi yang secara umum dipakai untuk lesi dan ulkus pada diabetic foot adalah sistem
klasifikasi Wagner, berdasarkan dari adanya kedalaman dan penetrasi ulkus, adanya
osteomyelitis atau gangren, luasnya kerusakan jaringan.

2.8 Penatalaksanaan Diabetic Foot


Lesi pada diabetic foot yang sudah terinfeksi haruslah diobati dengan keahlian dan fasilitas
yang memadai. Seorang dokter umum pada umumnya jarang mempunyai keahlian yang
cukup dan untuk itu harus dirujuk ke perawatan spesialis. 4

Penatalaksanaan pada ulkus itu sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu menghilangkan
kallus, eradikasi infeksi, dan mengurangi tekanan yang berlebihan pada kaki. Adanya lapisan
keratin pada kaki harus dipotong dengan pisau bedah untuk membuka dasar ulkus dan
sebagai berguna drainase. Pemeriksaan radilogi harus dilakukan untuk melihat adanya

7
kemungkinan osteomyelitis ketika ulkus sudah melakukan penetrasi kedalam atau ketika lesi
gagal untuk sembuh dan terjadi kemungkinan untuk kambuh. 4

Pemeriksaan swab bakteri yang diambil dari dasar luka, setelah kallus dihilangkan.
Pasien dengan ulkus yang superfisial bisa pengobatan rawat jalan dan diberi antibiotik oral
sampai luka/ulkusnya sembuh. Bakteri yang biasanya menyebabkan infeksi pada ulkus yang
superfisial adalah stapillokokus, streptokokus dan kuman anaerob. Pengobatannya adalah
dengan memberikan antibiotik berupa amoxicillin, flucloxacillin dan metronidazole kemudian
dan antibiotik yang diberikan disesuaikan dengan hasil kultur bakteri. Pada luka yang dalam
memerlukan perawatan luka secara lokal dan antibiotik. Pemakaian total contact plaster cast,
lightweight scotch cast boot, atau air cast boot bisa membantu penyembuhan. Itu sangatlah
cocok dengan bentuk kaki dan bisa mengurangi tekanan keras pada plantar kaki. Perawatan
yang terbaik harus dilakukan untuk mencegah terjadinya luka yang dengan bentukan lain baik
pada kaki ataupun pada pergelangan kaki. Pasien harus diberikan informasi bahwa harus
dilakukan dressing luka setiap hari. Non-adherent dressing sederhana dilakukan setelah ulkus
dibesihkan dengan larutan fisiologis. Pada luka/ulkus yang tidak sembuh lebih dari sebulan
harus mendapat pengobatan dan perawatan yang berbeda. 4

Pada pasien dengan tanda-tanda klinis diabetic foot yang jelek, hal ini perlu dirujuk
kerumah sakit dengan segera untuk mendapat perawatan secepatnya. Pasien tersebut
seharusnya harus dirawat dan mendapat antibiotik intravena. Antibiotik yang dipakai pada 24
jam sebelum adanya hasil kultur bakteri adalah antibiotik spektrum luas. Terapi secara
kuadrupel kadang-kadang juga diperlukan seperti amoxicillin, flucoxacillin, metronidazole
untuk bakteri anaerob dan ceftazidim 1 gram atau gentamicin untuk bakteri gram negatif. Jika
ditemukannya bakteri stapilokokus aureus, maka hal ini akan menjadi masalah serius, karena
penyebaran stapilokokus aureus bisa menyebabkan sepsis. Pengobatan yang diberikan
biasanya vancomycin secara intravena atau teicoplanin secara intramuskular. Insulin
intravena juga diperlukan untuk mengontrol konsentrasi kadar gula darahnya. 4

Debridement diperlukan untuk mengeluarkan pus atau abses dan juga untuk
menghilangkan jaringan yang mengalami infeksi dan jaringan yang sudah nekrosis. Jika
nekrosis yang terjadi sudah mengenai ibu jari, maka amputasi pada ibu jari bisa dilakukan,
dan juga pada bagian yang berhubungan dengan metatarsal, dan hal ini biasanya berhasil
pada neuropatic foot dengan sirkulasi yang masih bagus. Skin grafting kadang-kadang
dilakukan untuk membantu proses penyembuhan.4
8
2.9 Metode Debridemen Luka pada Diabetic Foot 6

• Surgical and sharp debridement, metode ini menggunakan pisau bedah,


gunting dan beberapa instrumen lain. Podiatrist biasanya mengunakan metode
ini dengan beberapa cara yang berbeda-beda. Pada metode ini memerlukan
beberapa latihan khusus dan alat yang khusus pula. Pada saat dilakukan
debridement agar pasien tidak merasa nyeri, harus dilakukan anestesi baik
lokal maupun umum.

• Mechanical debridement, pada metode ini memakai tehnik hydrotherapy,


whirlpool dan irigasi. Untuk mengurangi nyeri pada waktu dilakukan
debridement dapat dilakukan hydration of eschar. Mechanical debridement

9
menghasilkan hasil yang signifikan. Akan tetapi metode ini sangatlah lambat
dan memerlukan waktu yang lama dan hanya sedikit bukti yang dapat
mendukung penggunaan metode ini. Infeksi bisa terjadi jika dokter tidak
secara teliti atau bagus pada saat melakukan prosedur atay metode ini.

• Autolytic debridement, metode ini menggunakan hidrokoloid atau hidrogel.


Hidrasi pada jaringan nekrotik dengan menggunakan hidrogel atau hidrokoloid
adalah untuk merawat luka yang basah dan selanjutnya dilakukan debridement
enzimatis dengan menggunakan enzim tubuhnya sendiri. Sel fagosit dan
protein digesting enzymes diubah menjadi proteinase dan peptidase,
ditemukan pada cairan luka pasien dan bertanggunga jawab dalam proses
tersebut. Seorang dokter biasanya menggunakan metode ini, tapi metode ini
sangatlah lambat jika dibandingkan dengan metode debridement yang lain.

• Enzymatic debridement, metode ini menggunakan exogenous derive enzim


proteolitik seperti streptokinase atau papain urea. Fungsinya adalah untuk
merangsang terjadinya hidrolisis dan degradasi dari proteinaceous devitalized
tissue. Metode ini biasanya akan menyebabkan rasa sakit dan harus dikerjakan
secara hati-hati untuk menghindari adanya kerusakan pada jaringan lain yang
masih sehat.

• Biological debridement, metode ini menggunakan larva atau belatung untuk


debridemen luka. Di Amerika metode ini sangat sedikit sekali diterima dalam
penggunaannya, akan tetapi di Eropa sudan sering digunakan. Larva dari
Lucillia sericata dapat mencerna jaringan nekrotik dan patogen. Metode ini
merupakan metode yang cepat dan selektif, walaupun bukti-bukti yang
menyokong penggunaan metode ini hanya bersifat anekdot. Rasa sakit dan
ketidaknyamanan pada pasien hanya bersifat sementara.

• Chemical debridement, metode ini menggunakan pengobatan topikal seperti


larutan kalsium atan sodium hipoklorit. Metode ini tidak begitu banyak
dilakukan karena metode ini menyebabkan rasa sakit yang cukup hebat dan
menyebabkan kerusakan jaringan yang lain.

2.10 Pencegahan 3

10
• Mendeteksi pasien diabetes yang mempunya resiko tinggi terjadinya diabetic
foot yaitu dengan cara mengidentifikasi faktor resiko seperti riwayat adanya
ulkus dan amputasi, hilangnya saraf sensoris yang diketahui dengan
menggunakan monofilament test, PVD dan adanya riwayat deformitas kaki.
Identifikasi faktor resiko tersebut adalah untuk mengetahui tingkatan resiko
pasien itu sendiri, menurut International Consensus Clasification

• Edukasi pada pasien dan keluarga seperti waspada terhadap hilangnya perasa
sensoris dan komplikasinya, berkurangnya suplai darah dan komplikasinya,
rutin memeriksa atau merawat kaki, memakai sepatu yang tidak melukai kaki.

• Memberikan edukasi pada perawat dengan menekankan pentingnya


pemeriksaan kaki yang rutin pada pasien diabetes, membuat skoring tentang
resiko masalah pada kaki, menilai ulang kembali tentang strategi pencegahan
yang akan diberikan berdasarkan edukasi penderita.

• Perawatan podiatric seperti menghilangkan hyperkeratosis dan perawatan


kuku.

DAFTAR PUSTAKA

11
1. Frykberg, RG. Diabetic Foot Ulcers : Phatogenesis and Management. American
Family Physician volume 66, November 1 2002. Available at : www.aafp.org/afp
(Accessed : 3 April 2008)

2. American Diabetes Association. Preventive Care in People With Diabetes. Diabetes


Care Volume 25, January 2002. Available at : http ://www. podiatrytoday.com
(Accessed : 3 April 2008)

3. Medicine et maladise infectieuses. Management of diabetic foot infection. J medmal


November 2006. Available at : http//france.elsevier.com/direct/MEDMAL
(Accessed : 3 April 2008

4. Watkins, PJ. ABC of diabetes : The diabetic foot. BMJ Volume 326, 3 May 2003.
Available at : http ://www.bmj.com (Accessed : 3 April 2008)

5. Moore J et al. Continuing Education : How To Manage Heel Ulcers In Patients With
Diabetes. Podiatry Today Volume 18, March 2005. Available at : http ://www.
podiatrytoday.com (Accessed : 3 April 2008)

6. Espensen EH. Continuing Education : Assessing Debridement Options For Diabetic


Foot. Podiatry Today Volume 20, March 2007. Available at : http ://www.
podiatrytoday.com (Accessed : 3 April 2008)

12

You might also like