Professional Documents
Culture Documents
Jurnal TTG INA CBGs PDF
Jurnal TTG INA CBGs PDF
https://doi.org/10.26911/thejhpm.2016.01.02.05
ABSTRACT
Background: Hospital has an important referral system role in the implementation on the
National Health Insurance (NHI) Scheme. BPJS Kesehatan (NHI Implementing Agency) pays
hospitals by Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) method. This payment method may
potentially cause loss or profit to the hospital, when there is discrepancy between hospital inpatient
cost and INA-CBGs tariff of inpatient care. This study aimed at investigating the discrepancy
between hospital inpatient cost and INA-CBGs tarif of inpatient care and the determinants of
hospital inpatient cost.
Subjectsand Method: This was an analytic and observational study cross sectional approach.
This study was conducted in 2 publichospitals and 2 private hospitals, from October to December
2016. A total sample of 100 inpatients was selected at random for this study. The dependent
variables were hospital inpatient cost and INA-CBGs tariff. The independent variables included
hospital type, inpatients class, disease severity, use of ICU, and length of stay. The data were
analyzed by a multiple linear regression model.
Results: Averagehospital inpatient cost (mean= Rp. 2,280,000; SD=1,690,000) was lower than
average INA-CBGs (mean=Rp. 3,060,000). There were negative relationships between hospital
type, inpatient class, disease severity, and hospital inpatient cost. Private hospital inpatient cost
(b=-5.66; 95% CI= -1.20 to 0.06; p= 0.078) was lower than public hospital inpatient cost. Class 2
inpatient care (b= -0.34; 95% CI=-1.09 to 0.41, p =0.371), class 3 inpatient care (b =-0.50; 95% CI
=-1.23 to 0.23, p=0.177), had lower hospital inpatient cost than class 1 inpatient care.Severe disease
(b=-0.12; 95% CI= -1.95 to 1.71; p= 0.894) had lower hospital inpatient cost than mild disease,
although it was not statistically significant. There were positive relationships between use of ICU,
disease severity, length of stay, and hospital inpatient cost. Using ICU (b= 1.58; 95% CI= 0.76 to
2.4; p= <0.001) had higher hospital inpatient cost than not using ICU. Moderate disease severity
(b= 0.55; 95% CI = -0.20 to 1.30; p= 0.150) had higher hospital inpatient cost than mild disease.
Longer stay (b= 0.27; 95% CI= 0.08 to 0.45; p= 0.005) had higher hospital inpatient cost than
shorter stay.
Conclusion: Average hospital inpatient cost was lower than average INA-CBGs tariff. Hospital
type, use of ICU, and length of stay, are important determinants of hospital inpatient cost.
Correspondence:
Indriyati Oktaviano Rahayuningrum. Faculty of Medicine, Muhammadiyah University Surakarta.
Email: indriyatioktaviano@yahoo.com
litan untuk membayar pelayanan kesehat- sakit (RS) sebagai fasilitas pelayanan kese-
an. Belanja kesehatan seperti ini merupa- hatan lanjutan; sekunder atau tertier ter-
kan belanja kesehatan katastropik karena gantung dari tipe RS tersebut (Ambarriani,
melebihi kapasitas membayar (capacity to 2014). Rumah sakit sebagai fasilitas kese-
pay) rumah tangga (Thabrany, 2014). Di hatan rujukan tingkat lanjutan merupakan
negara maju seperti Jerman dengan rata salah satu komponen penting bagi penyedia
rata Gross Domestic Product (GDP) se- dan pemberi pelayanan kesehatan pada
besar 32,680 dolar amerika, pembiayaan pelaksanaan program JKN. Program JKN
kesehatan 10% menggunakan out of pocket. merupakan bagian dari kebijakan publik
Sedangkan Indonesia menganggarkan seki- sebagai hasil dari good will Pemerintah.
tar 2.5% GDP untuk kesehatan, 70% meng- Keberhasilan program Pemerintah dalam
gunakan out of pocket (Kemenko Kesra RI, JKN antara lain bergantung pada sejauh
2012). Dibandingkan dengan negara negara mana kebijakan ini terimplementasi di
lain seperti India, thailand, Vietnam, Brazil, rumah sakit (Thabrany, 2014). Seperti
Korea dan lain lain, Indonesia masih me- pengalaman di Iran, bahwa sejak 1990 Iran
nempati urutan terbawah dalam belanja telah berhasil mencapai cakupan pelayanan
kesehatan (Li dan Hilsenrath, 2016). kesehatan semesta pada fasilitas pelayanan
Untuk mengatasi hal itu, World primer, namun hingga kini masih memiliki
Health Assembly (WHA) ke-58 tahun 2005 kendala pada fasilitas kesehatan tingkat
di Jenewa mendorong setiap negara meng- lanjut (Bazyar dan Rashidian,2016).
embangkan Universal Health Coverage Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
(UHC) atau cakupan kesehatan semesta Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar
bagi seluruh penduduknya. Maka pemerin- Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas
tah Indonesia melaksanakannya melalui Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas
program Jaminan Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Tingkat Lanjutan, untuk pela-
Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN yanan kesehatan yang diberikan kepada
dimulai dengan diberlakukannya undang- peserta oleh fasilitas kesehatan rujukan
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan melaku-
Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU kan pembayaran berdasarkan cara Indo-
SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 nesian Case Based Groups (INA CBGs).
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Maksud dari Tarif INA CBGs adalah be-
Jaminan Sosial (UU BPJS) (Thabrany, saran pembayaran klaim oleh BPJS Kese-
2014). hatan kepada fasilitas kesehatan tingkat
Asuransi kesehatan dalam UU SJSN lanjutan atas paket layanan yang dida-
dan UU BPJS memiliki prinsip kegotong- sarkan kepada pengelompokan diagnosis
royongan yang merupakan karakter agung penyakit. Pengelompokan diagnosis penya-
bangsa Indonesia, dimana dalam konsep kit ini penting sesuai dengan paparan
barat hal ini disebut sebagai social respon- Cooper dan Craig (2015) yang menunjuk-
sibility atau merupakan tanggung jawab kan adanya variasi pembiayaan kesehatan
bersama (share responsibility) (Thabrany, meskipun dengan diagnosis yang sama.
2014). Pada JKN, keterjangkauan akses Namun penggunaan sistem INA CBGs
pelayanan kesehatan salah satunya dengan ini dilihat belum efektif, hal tersebut diper-
pelayanan kesehatan yang berjenjang, pus- oleh dari hasil penelitian yang menun-
kesmas atau dokter praktek sebagai fasilitas jukkan kecenderungan besaran biaya INA
pelayanan kesehatan primer, dan rumah CBGs lebih besar dibanding Fee For Servi-
ce terutama untuk kasus-kasus Non Bedah. dan apakah terdapat hubungan antara tarif
Sebaliknya untuk kasus-kasus Bedah ke- RS dengan jenis RS, kelas perawatan, ting-
cenderungan biaya INA CBGs jauh lebih kat keparahan, penggunaan ICU dan lama
rendah dibanding Fee For Service (Putra perawatan.
et al., 2014). Selain itu, Puspandari et al.,
(2015) menyatakan bahwa faktor – faktor SUBJEK DAN METODE
yang berkaitan dengan pembiayaan pelaya- Penelitian ini merupakan penelitian kuan-
nan kesehatan diantaranya adalah: biaya titatif menggunakan studi analytic obser-
obat, lama dirawat, penggunaan Intensive vational dengan pendekatan cross sectio-
Care Unit (ICU), dan lokasi RS. Penelitian nal. Penelitian dilakukan di dua RS peme-
yang dilakukan oleh Ambarriani (2014) rintah dan dua rumah sakit swasta. Waktu
menunjukkan bahwa kelas perawatan dan penelitian dilakukan pada bulan Oktober-
tingkat keparahan juga berkaitan dengan Desember 2016. Jumlah subjek penelitian
pembiayaan pelayanan kesehatan dan biaya sebanyak 100 subjek dengan teknik peng-
penyakit katastropik mencapai 32% dari ambilan sampel consecutive sampling. Tek-
total biaya pelayanan kesehatan. Penelitian nik pengumpulan data dengan observasi
yang dilakukan Yuniarti et al., (2015) me- pada catatan medis pasien yang telah
nunjukkan bahwa terdapat selisih biaya diverifikasi oleh BPJS. Analisis data meng-
terapi penyakit Diabetes mellitus pasien gunakan analisis regresi linear ganda.
JKN antara tarif RS dan tarif INA CBGs
yang berpotensi menimbulkan kerugian HASIL
bagi rumah sakit. 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Berdasar pemaparan di atas menun- Hasil penelitian terhadap distribusi fre-
jukkan bahwa pembiayaan kesehatan me- kuensi karakteristik subjek penelitian me-
rupakan masalah penting dan masih ada nunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih
kontroversi dari berbagai penelitian terse- tinggi dari laki-laki. Dan subjek penelitian
but. Maka penulis ingin lebih mengetahui terbanyak pada rentang usia 35-88 tahun.
dan tertarik untuk meneliti mengenai apa- Dapat dilihat pada Tabel 1.
kah tarif RS lebih tinggi dari tarif INA CBGs
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia
Subjek
Karakteristik
n %
Jenis kelamin
Laki - laki 40 40.00
Perempuan 60 60.00
Usia
0-20 tahun 11 11.00
21-35 tahun 25 25.00
35-88 tahun 64 64.00
Pada analisis univariat, selain des- nyak 30 orang (30%). Tingkat keparahan
kripsi tarif dan lama perawatan juga dida- ringan menempati urutan terbanyak (77%),
patkan deskripsi variabel kelas perawatan, dikuti tingkat keparahan sedang (20%) dan
tingkat keparahan dan penggunaan ICU tingkat keparahan berat sebesar 3%. Peng-
seperti pada Tabel 3. gunaan ICU sebesar 17%, dan yang tidak
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 100 menggunakan ICU sebanyak 83 pasien
sampel didapatkan data sebagai berikut: (83%). Data dari keempat rumah sakit
kelas perawatan terbanyak adalah perawat- masing-masing sebanyak 25 sampel atau
an kelas 3 sebanyak 39 orang (39%), kelas 2 sebesar 25%.
sebanyak 31 orang (31%) dan kelas 1 seba-
Tabel 3. Deskripsi variabel penelitian
Variabel n %
Kelas perawatan
Kelas 1 30 30.00
Kelas 2 31 31.00
Kelas 3 39 39.00
Tingkat keparahan
Ringan 77 77.00
Sedang 20 20.00
Berat 3 3.00
Penggunaan ICU
Tidak 83 83.00
Ya 17 17.00
Rumah sakit
RS swasta A 25 25.00
RS pemerintah A 25 25.00
RS pemerintah B 25 25.00
RS swasta B 25 25.00
R2linear = 0.258
Tarif RS
Tabel 7 menunjukkan bahwa hubung- tidak terlalu kuat dan secara statistik sig-
an tarif RS dengan penggunaan ICU memi- nifikan.
liki hubungan yang positif dan secara sta- Hasil penelitian ini selaras dengan
tistik menunjukan signifikan (b=1.29 x Rp penelitian Sari (2014) yang menunjukkan
1,000,000; CI 95%; p=0.003). Hubungan hasil bahwa terdapat perbedaan antara tarif
tarif RS dan lama perawatan juga memiliki RS dengan tarif INA CBGs pada pasien
hubunganyang positif dan secara statistik diabetes mellitus. Pada penelitian tersebut
menunjukan signifikan (b=0.23 x Rp juga menunjukkan bahwa tarif INA CBGs
1,000,000, CI 95%; p=0.017). Sedangkan lebih tinggi dari tarif RS. Meskipun pene-
berdasarkan jenis RS, tarif RS dan jenis RS litian lain yang dilakukan Wang et al (2015)
berhubungan secara negatif dan secara sta- menunjukkan bahwa pada kasus kasus pe-
tistik mendekati signifikan (b=-5.66 x Rp nyakit tertentu tarif yang dibayarkan asu-
1,000,000; CI 95%; p=0.078). ransi lebih rendah bila dibandingan tarif
Selain itu, analisis mulivariat juga di- RS. Penelitian Yuniarti et al., (2015) juga
lakukan pada selisih tarif dan variabel- menunjukkan tarif INA CBGs lebih rendah
variabel: jenis RS, kelas perawatan, peng- dibanding dengan tarif RS.
gunaan ICU, lama perawatan dan tingkat Tarif RS merupakan aspek yang
keparahan. sangat diperhatikan baik oleh RS swasta
dan RS pemerintah. Tarif RS pemerintah
PEMBAHASAN ditetapkan berdasar peraturan daerah, dan
Pembahasan hasil penelitian yang telah tarif RS swasta ditetapkan berdasar peratu-
peneliti laksanakan sesuai dengan hasil ran menteri kesehatan (Trisnantoro, 2004).
penelitian alur kerangka konsep yang ada, Tiap RS akan menetapkan tarif sesuai
dengan menghubungkan teori dan temuan dengan misinya masing-masing. Perhitung-
peneliti sebelumnya. an tarif RS pada umumnya berdasarkan
1. Tarif RS dibandingkan dengan tarif INA pada perhitungan biaya retrospektif, arti-
CBGs nya biaya ditagih setelah pelayanan dilak-
Pada hasil analisis didapatkan tarif INA sanakan. Sehingga tidak mendorong tim
CBGs lebih tinggi dari tarif RS. Ditunjuk- penyedia pelayanan kesehatan untuk mela-
kan dengan hubungan positif meskipun kukan efisiensi (Thabrany, 1998). Sedang-
kan tarif INA CBGs sebagaimana yang kita
ketahui disusun berdasarkan metode pros- sehatan akan berupaya mengurangi penge-
pektif, sehingga di masa mendatang, menu- luaran dengan menurunkan kualitas. Bila
rut peneliti perhitungan tarif RS tidak lagi klaim terlalu tinggi, penyedia pelayanan ke-
berdasarkan perhitungan biaya retrospek- sehatan tidak memiliki upaya untuk mela-
tif. Sehingga penting bagi RS untuk menen- kukan efisiensi dan tentu saja hal ini akan
tukan prosedur standar menangani penya- menyia-nyiakan sumberdaya yang ada (Qu-
kit dengan clinical pathways. Sehingga di entin et al., 2012). Telah banyak ditun-
era JKN, tim RS dapat melakukan pelayan- jukkan di berbagai penelitian bahwa antara
an yang optimal, efisien dan efektif. Meski- tarif dan kualitas pelayanan kesehatan me-
pun menurut Trisnantoro (2004), pelayan- rupakan dua hal yang saling berhubungan
an rumah sakit tidak saja melayani secara (Younis et al., 2005), meskipun seringkali
medis, namun juga mengarah ke barang para pembuat kebijakan menganggap bah-
komoditi yang mengacu pada kekuatan wa tarif dan kualitas pelayanan kesehatan
pasar dalam perekonomian masyarakat. itu merupakan dua hal yang terpisah (Jiang
Sebagai suatu organisasi, RS mulai berubah et al, 2006). Sehingga terjadi permasalahan
dari organisasi yang normatif (sosial) ke terkait tarif dan kualitas pelayanan kese-
arah organisasi utilitarian (ekonomis). Se- hatan, bagaimanapun sulit untuk mencapai
hingga RS menjadi organisasi yang ber- tujuan secara simultan; tarif yang memadai
fungsi secara mediko-sosio-ekonomis. dengan kualitas pelayanan kesehatan yang
Maka tarif klaim INA CBGs yang lebih optimal (Chang dan Lan, 2010).Kualitas
tinggi daripada tarif RS akan memberikan pelayanan kesehatan yang baik dapat
keuntungan pada RS. meningkatkan keuntungan RS sebesar
2. Keuntungan dan Kerugian RS terkait 7.90% melalui metode pembayaran pro-
klaim tarif INA CBGs. spektif (Hsia dan Ahern, 1992). Maka, efi-
Pada hasil analisa didapatkan bahwa tarif siensi merupakan penyeimbang terbaik
INA CBGs lebih tinggi daripada tarif RS, antara tarif dan kualitas pelayanan kese-
sehingga RS mendapatkan keuntungan. hatan (Schwartz et al., 2002). Determinan
Sebaliknya, bila tarif INA CBGs lebih ren- yang menunjukkan efisiensi RS dian-
dah dari tarif RS, maka RS akan mengalami taranya: persaingan, pemakaian tempat
kerugian. Penelitian terdahulu menunjuk- tidur rata-rata, jumlah dokter, jumlah pera-
kan bahwa tarif INA CBGs lebih rendah wat, pemakaian teknologi, struktur keluar-
daripada tarif RS pada kasus pasien diabe- ga, lama hari perawatan, serta kebijakan
tes mellitus (Yuniarti et al., 2015). kesehatan (Chang dan Lan, 2010)
Menurut Cleverly (2002) pengendali- 3. Hubungan faktor jenis RS, kelas pera-
an tarif sangat esensial bagi penyedia pela- watan, penggunaan ICU, tingkat keparahan
yanan kesehatan untuk mempertahankan dan lama perawatan terhadap tarif RS
keberlangsungan finansial dalam per- a. Jenis RS
saingan secara ekonomis. Selain tarif, pe- Hasil analisis multivariat menunjukkan
ningkatan kualitas pelayanan kesehatan bahwa tarif RS swasta lebih rendah dari
juga menjadi hal yang harus diperhatikan tarif RS pemerintah. Hal ini selaras dengan
oleh penyedia pelayanan kesehatan dan penelitian yang dilakukan oleh Mathauer
pembuat kebijakan (Anderson et al., 2000). dan Wittenbecher (2013) mengenai pemba-
Apabila klaim terlalu rendah, maka tidak yaran RS dengan metode prospektif di ber-
dapat membiayai treatment cost yang telah bagai negara miskin dan berkembang, tarif
dikeluarkan, maka penyedia pelayanan ke- RS swasta lebih rendah dibanding klaim
DRGs. Efisiensi yang diharapkan terlaksana lebih mengutamakan value daripada se-
lebih baik pada RS sawasta dibanding di RS kedar kuantitas (Clewer dan Perkins, 1998).
pemerintah, Tarif RS swasta rendah karena bisa saja
Tarif RS swasta lebih rendah dari tarif memiliki tujuan mengurangi persaingan,
RS pemerintah terjadi karena perbedaan memaksimalkan pendapatan, meminimal-
dasar pengambilan keputusan dalam pe- kan penggunaan dan menciptakan corpo-
nyusunan tarif. RS swasta bersifar corpo- rate image (Trisnantoro, 2004). Namun
rate, menentukan tarif seefisien mungkin bisa saja penetapan tarif RS swasta yang
agar dapat bersaing di tengah kompetisi. rendah karena penetapan tarif yang hanya
Sedangkan RS pemerintah, tarif disesuai- melihat harga pesaing dan kemudian
kan dengan peraturan daerah masing- diambil jalan tengahnya (Thabrany, 1998).
masing. Selain itu, penting mengetahui me- Penelitian yang dilakukan Tamtomo ( 1995)
kanisme supply dan demand. Secara teo- yang dilakukan pada RS Swasta memiliki
ritis makin kecil tarif diharapkan akan me- tarif yang rendah, namun ternyata setelah
ningkatkan demand. Hukum permintaan dihitung berdasarkan unit cost dan analisis
ekonomi menyatakan bahwa bila harga pembebanan biaya, ternyata tarif RS swasta
suatu barang akan naik, maka ceteris tersebut masih jauh dari revenue (peneri-
paribus jumlah yang diminta konsumen maan yang seharusnya diterima). Sedang-
akan barang tersebut turun (Trisnantoro, kan RS pemerintah yang “non-profit” sebe-
2004). narnya juga telah efisien- social efficiency,
Tarif RS lebih rendah dari tarif RS bahkan cenderung overproduce (Folland et
pemerintah juga dipengaruhi hal yang lain, al., 2001).
seperti efisiensi. Efisiensi internal RS b. Kelas perawatan
seringkali jauh lebih tinggi pada RS swasta Hasil analisis menunjukkan bahwa antara
dibanding dengan RS pemerintah (Tha- tarif RS dan kelas perawatan terdapat
brany, 1998). RS swasta bisa lebih efisien hubungan dan secara statistik tidak signi-
karena bekerja sama dalam jejaring, se- fikan. Pada penelitian yang dilakukan Putra
hingga dapat saling menunjang dalam ber- et al., (2014), rata rata pasien memilih kelas
bagai aspek manajemen seperti akuntansi, 3. Pada berbagai RS di Indonesia bisa
pembelian barang, pembelian obat, labo- ditemukan bahwa ruang perawatan kelas 3
ratorium dan sumber daya manusia. Je- lebih banyak daripada kelas perawatan
jaring RS ini dapat meningkatkan efisiensi lainnya. Penelitan lain juga menunjukkan
karena akan menimbulkan economies of bahwa tarif RS kelas 1 lebih meningkatkan
scale. (Trisnantoro, 2004). tarif RS dibanding kelas 2 dan 3 (Yuniarti et
Pada penelitian yang dilakukan oleh al., 2015).
Van den heever (2012) disimpulkan bahwa Dalam manajemen RS diharapkan
penyedia pelayanan kesehatan swasta me- terdapat kebijakan agar masyarakat eko-
miliki peran penting dalam upaya pening- nomi kuat dapat ikut meringankan pembia-
katan kesehatan masyarakat. Bahkan sektor yaan pelayanan RS bagi masyarakat ekono-
swasta lebih produktif dibandingkan sektor mi lemah. Dengan konsep subsidi silang ini
pemerintah. Efisiensi baik secara alokatif maka tarif bangsal kelas 1 atau kelas di
maupun tehnik. amat penting dalam me- atasnya harus lebih tinggi dari unit cost
ningkatkan produksi. Efisiensi tehnik mem- agar dapat tetap survive (Trisnantoro,
berikan kuantitas output dengan biaya yang 2004). Penghitungan tarif ruang rawat inap
paling sedikit. Sedangkan efisiensi alokatif tergantung pada volume layanan yang