You are on page 1of 266
Part 01 Perjodohan? Aku berjalan dengan gontai ke arah kamarku setelah melihat keadaan rumah yang cukup sepi. Menghidupkan kipas angin dan berbaring di kasur yang selama ini aku anggap paling empuk di rumahku. Aku anak tunggal dari pasangan suami istri Rahmat dan Rani. Kehidupan kami biasa saja, tidak berlebih ataupun kekurangan. Terdengar Ibu mengetuk pintu kamarku pelan sambil memanggilku untuk keluar dan duduk berkumpul bersama Ayah di ruang keluarga. "Safira, keluar Nak Ayah sudah tungguin kamu itu." "Iya, Bu." Aku berjalan keluar kamar, menghampiri Ibu dan Ayahku. Lalu bertanya "Ada apa, Yah?" "Kamu sudah besar kan? Sudah mau 20 tahun. Ayah hanya memiliki sebuah permintaan dan mungkin itu bisa menjadi hadiah ulang tahunmu." Aku menatap Ibu bingung, tapi Ibu hanya menganggukkan kepalanya seolah berkata tidak masalah. Ada apa dengan Ayahku? "Sebenarnya ada apa ya, Yah?" "Tidak ada apa-apa, nanti malam ada tamu. Kamu siap- siap ya, dandan yang cantik." Alhasil aku hanya mengangguk pelan, Ayah tidak pernah bisa dibantah. Satu satunya jalan hanya mematuhi. Aku masuk ke dalam kamar, melirik jam dinding sebentar. Ah pukul 4 sore, itu tandanya sebentar lagi. Aku memutuskan mandi sebentar di kamar mandiku. Kamar mandi tanpa bathub ataupun shower PO2310-1 jadi jangan salah sangka kalau aku akan berendam dengan damai untuk menenangkan pikiran ya. Setelahnya kulirik kembali jam dindingku, hanya 15 menit terlewat. Kuputuskan untuk mengeringkan rambutku sejenak kemudian merebahkan badanku dengan harapan yang akan terjadi nanti akan baik-baik saja. ek Ttok ttok "Ra, siap-siap nak sebentar lagi tamunya datang." Berulang-ulang Ibu mengatakan itu. Tidurku pun terusik, aku bangun dan mulai mengganti bajuku dengan dress selutut berwarna Navy. Merapikan rambutku lalu memoles bedak dan sedikit pewarna bibir yang tidak mencolok. Wah ternyata aku bisa terlihat cantik juga. Lalu terdengar suara mesin mobil dari luar, hah mobil? Siapa itu? Aku mengintip di balik kaca jendela. Mobil mewah? Bagaimana Ayah dan Ibu bisa mengenal mereka? Saat aku masih bergelut dengan pikiranku, Ibu mengajakku keluar dari kamar. Dan kemudian aku melihat dua orang tua yang sebaya Ayah dan Ibu lalu seorang pria berperawakan tinggi, tidak tampan namun memiliki wajah yang manis, aku rasa. Dan ada lagi, bayi? Aku melihat seorang bayi perempuan berusia sekitar lima atau enam bulan mungkin. Sangat cantik. Aku bersalaman dengan mereka satu persatu lalu Ayah memperkenalkan mereka kepadaku. "Safira ini teman Ayah namanya Pak Bagas dan istrinya Buk Aulia lalu itu putra sulungnya Andi dan anaknya Naftalena." "Wah seperti nama senyawa kimia.” Itulah yang terpikir olehku. “Memang nama senyawa." Pria bernama Andi itu menyahuti. "Hah lya. Lucu sekali bayinya, umur berapa sih kamu Nafta?" Aku tertawa canggung mendengar pengakuannya. Safira -2 "Enam bulan tujuh belas hari, kamu bisa panggil dia Tata." Sahut Andi lagi sambil menggendong Tata dan mengarahkannya padaku. Aku menerima dengan senang hati, Tata menggeliat dalam pelukanku seolah mencari tempat yang nyaman untuk mulai tertidur. Padahal tadi gadis kecil ini masih asyik dengan mainannya. Aku menatap bingung ke arah Andi. "Mungkin dia ingin tidur." Ah, aku mengerti. Aku tepuk bokongnya sesekali agar dia lebih cepat terlelap. Dan ternyata benar tidak lama setelahnya Tata tertidur pulas di pelukannya. Perhatian orang tua mulai teralih ketika tak mendengar lagi anak-anaknya berbicara. "Kalian sudah cocok ya jadi keluarga.” Ujar Bu Aulia, Mamanya Andi dengan riang. "Nggak kok Tante." Elakku merasa malu. “Niat kami kemari memang untuk itu Safira." Suara berat dari Pak Bagas terdengar. "Hah maksudnya Om?" Aku terkejut sungguh, bahkan sangat. Aku tau Tata ini anaknya Andi, lalu apa maksudnya ini? “Andi memang sudah pernah menikah dan pernikahan itu gagal. Saat Tata lahir, Ibunya pergi meninggalkannya." Mama Andi mulai menjelaskan. “Meninggal?" Gumamku pelan. "Bukan, tapi pergi dengan laki-laki lain dan semua impian dia." Kali ini Andi yang menjawab. Kulihat raut wajahnya menegang, seolah sangat membenci orang yang sekarang sedang dibahasnya. "Oke, jadi maksud yang tadi?" Hening sejenak hingga Ayah buka suara. "Ini yang Ayah maksud permintaan sekaligus kado untuk kamu. Kamu akan menikah dengan Andi." Aku terdiam lalu mulai merasa kebingungan. Jadi kado ulang tahunku suami berserta anak gitu?! "Tapi bagaimana bisa? Safira bahkan belum genap 20 tahun, Yah." 02310 - 3 “Bulan depan kamu genap 20 tahun dan bulan depan juga akan dilangsungkan pernikahan." Final, kata Ayah dengan pasti. Aku masih diam, hingga Ibuku akhirnya berbicara. "Lihat Tata nak, bayi yang kamu peluk. Dia butuh kamu dan Andi. Andi tidak mungkin bisa menjadi Ayah tunggal dan dia juga butuh istri." Aku pandangi wajah gadis mungil yang sedang meringkuk di pelukanku. Tangannya kini memegang erat beberapa bagian bajuku yang dapat dia genggam. Dan aku menitikkan air mata. “Jika dia tidak mau kalian tidak perlu memaksanya." Suara Andi menginterupsi. Tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa menolaknya. Hatiku sudah jatuh sangat dalam pada Tata. Aku menyayanginya. Dan apa boleh buat, aku pikir ini yang terbaik. “Aku mau.” Safira -4 Part 02 Keputusanku “Aku mau." Aku memberanikan diri untuk mengatakan itu, membuat Bu Aulia menghambur memelukku. Untungnya Andi dengan cekatan mengambil Tata yang masih terlelap dalam pelukanku. "Terima kasih sayang, Terima kasih. Mama sangat berterima kasih sama kamu." Aku membalas pelukannya. Kulihat Pak Bagas, Ibu dan Ayahku tersenyum bangga padaku. Ah inilah akhir masa lajangku. Menikah dengan duda beranak satu. Setelahnya kami bertukar kontak dan mulai menyantap makan malam yang sudah disediakan Ibuku. Tata? Dia kini sudah dipindahkan ke kamarku. Aku harap dia tidak akan digigiti nyamuk ataupun merasa panas. Setelah makan malam, orang tua masih sIbuk berbincang. Kami berdua memutuskan untuk keluar sebentar, tidak ada taman di sekitar rumah. Namun setidaknya lantai terasku cukup bersih untuk diduduki. Aku mulai duduk di lantai. Duduk bersila, lalu menepuk Jantai sebelahku agar dia ikut duduk. "Aku harus memanggil kamu apa?" Aku mulai pembicaraan yang memang sedikit membuatku bingung. "Terserah kamu saja, mana yang nyaman tapi jangan panggil nama saya di depan Mama atau kamu bakal dimarahi" Aku mulai merasa tidak nyaman karena dress ini membuat sulit ketika duduk lesehan seperti ini. Kemudian dia menanggalkan jasnya dan memberikannya padaku. “Tutupi pahamu." 02310 -5 "Terima kasih Mas Andi" sebenarnya aku bingung juga, mengapa dia terlalu formal sampai menggunakan jas hanya untuk ke rumahku? Bodolah. Dia menoleh ketika aku memanggilnya 'Mas'. "Not bad," balasnya singkat. “Mas umur berapa?" Setidaknya aku harus tahu umurnya, siapa tahu dia sudah tua walaupun muka muda kan harus antisipasi juga. "27 tahun, saya menikah umur 24. Bisa dikatakan menikah muda." Beda 7 tahun dong sama aku. Ya sudah gak masalah juga toh sudah diiyakan tadi. "Kamu benaran mau menikah dengan saya? Dengan tanggung jawab Tata juga?" Kini dia bertanya. “Aku pikir kalau memang ini yang terbaik apa salahnya, toh masih ada satu bulan lagi. Jika ini memang bukan jalan kita, bisa saja semuanya batal. Aku cuma mengikuti takdir." Hening. Kami sama-sama diam, hingga aku mendengar suara tangisan bayi-Tata- aku beranjak dari dudukku mengembalikan jas Mas Andi dan berjalan dengan cepat ke kamar untuk menemui Tata. Sesampainya aku dikamar, kulihat dia sedang menggenggam selimutnya kuat sambil terisak. Ah kasihan. Aku meraihnya ke gendonganku menepuk pelan punggungnya lalu mengusap kepalanya. Tangisnya sudah mulai reda. Lalu terdengar ketukan pintu. "Masuk saja." Kulihat Mas Andi masuk dengan botol susu formula ditangannya. Membiarkan pintu tetap terbuka lalu dia menyerahkan botol susu itu padaku. Aku memasukkannya pada mulut Tata dan membantunya untuk memegang botol yang masih sulit untuk dipegangnya. Mas Andi duduk di sebelahku, mengusap kepala Tata pelan lalu menghapus sisa-sisa air mata Tata. "Selama enam bulan ini dia gak tau bagaimana kasih sayang Mamanya." Jelasnya yang dapat aku pahami. “Mulai sekarang Tata bakalan terus dapat kasih sayang Mama iya kan nak. Mama atau Bunda ya? Atau Mami? Mas Safira-6 dia memanggil kamu apa?" tanyaku tidak tahu malu. Aku harus memilih panggilan yang bagus untukku dari calon anakku. "Kamu kelihatan banget ABG labilnya. Dia memanggil saya Daddy." Jawabnya sambil menghinaku. "Biarkan saja namanya juga calon Mama muda, oke Tata panggil Mommy ya." Kataku dan dapat kulihat senyuman Tata saat masih mengompeng dotnya. "Kamu kuliah semester berapa sekarang?" “Empat, di fakultas Ekonomi." Aku menjawab sekaligus agar dia tidak susah bertanya lagi. Ah iya ada yang tidak aku tau, apa pekerjaannya? Seharusnya aku tanyakan tapi nanti aku dianggap matre karena bertanya pekerjaannya terus nanti dikira lagi hitung-hitung gaji dia. "Saya bekerja sebagai manager perusahaan.” Begitu dia menyebutkan pekerjaan dan nama perusahaannya mataku membulat tanda aku terkejut. Dia orang berada. Ah iya lupa tadi kan mobilnya juga mobil mewah. "Ternyata kamu tidak tau apa-apa." Responnya melihat ekspresiku. "Boro-boro bakal tau, kenal aja baru tadi. Ya kan Tata sayang?" Tanyaku pada Tata yang tidak mengerti apa-apa. Aku melihat mulutnya berlepotan susu, aku usap sisa-sisa susu dari mulutnya dengan tanganku lalu aku usap kembali jariku ke baju Mas Andi. Entahlah kenapa aku seberani ini. "Kamu jail ya." Lalu Mas Andi mencubit pipiku. “Aw sakit Mas, ih Tata Daddy cubiti Mommy." aduku pada Tata yang ternyata sudah mulai terlelap kembali. Mudah sekali gadis mungil ini tertidur. Aku menoleh saat mendengar suara dari depan pintu kamar. "Kalian tidak sabaran ya, sudah main di kamar aja." tegur Mamanya Andi. "Th enggak Ma, ini Tata tadi ke bangun." Elakku dengan cepat. Aku sudah mengikuti panggilan Mas Andi 'Mama dan Papa' begitu pula dengan dia. "Sudah malam, yuk kita pulang Ma, Ndi." Ajak Pak Bagas. 02310 -7 Mas Andi mengambil Tata dari pelukanku dan beranjak keluar mengikuti orang tuanya dan orang tuaku. “Aku masih mau sama Tata." Gumamku pelan. Mas Andi berbalik. "Besok kamu bisa mengunjunginya di rumah saya, bukankah besok hari minggu? Saya ada di rumah bersama Tata." Mataku berbinar "Sungguh? Kirimkan alamat Mas, aku akan ke sana" Mas Andi mengangguk lalu menggerakkan tangan Tata kiri kanan, kebetulan Tata sudah bangun saat digendong tadi. "Bye Mommy." Ujarnya pelan. "Bye Tata and... Daddy." Balasku berani, yang aku pikirkan hanya bagaimana menciptakan hubungan ini menjadi hubungan yang benar-benar kami inginkan bukan paksaan. Safira-8 Part 03 Minggu Pagi ini setelah berlari keliling kompleks aku benar-benar bersiap untuk ke rumah Mas Andi dan Tata. Tadi setelah menghubunginya aku diminta langsung saja ke rumahnya dan dia juga sudah mengirimkan alamat rumahnya. Jadilah pagi ini berbekal nasi goreng buatan Ibu aku berangkat ke rumah Mas Andi dengan ojol yang sudah dipesan. Sesampainya di alamat yang Mas Andi kirim, kukira aku salah alamat. Tapi saat aku menelepon Mas Andi, dia berkata tunggu saja di depan. Tidak lama kemudian pintu pagar terbuka menampakkan sosok Mas Andi dengan baju kaus polonya dan celana pendek. Terlihat sangat santai. Rumahnya sangat besar terlihat dari luar dan saat aku masuk ke dalamnya mendadak aku menjadi orang kampung. Rumah ini sangat megah dan mewah. "Rumah ini pembangunannya dibantu dengan papa, jadi gak semuanya saya yang mengusahakan." Seolah mengerti yang aku pikirkan. Aku mengikutinya, meletakkan bawaanku di meja makan. Kemudian berjalan ke lantai dua. Kamar. Itulah yang terlihat, dia mulai membuka pintu kamarnya. Terlihatlah seorang bayi mungil yang sedang tertidur di atas ranjang. "Lihat Tata sebentar, saya mau menyiapkan air mandinya." Titahnya yang aku balas dengan anggukan. Aku berjalan ke atas ranjang di mana Tata berada. Memotret posenya saat ini dan mengupdate ke akun sosial media milikku. Safira_fira annyeong baby gurl 3 comments 02310 -9 Azzahrall Omg cutes baby Britney_ anak siapa yang lo culik? Balikin ke bapaknye Faley_Nata ih lucu parah, anak siapa tu woi Safira_fira jelas lah kiyut, kan anak gue @azzahral1 @britney_ @faley_nata Setelah membalas komentar, aku kembali memusatkan diri pada Tata. Ikut naik ke atas ranjang dan mulai menoel pipi anak kesayanganku ini. Awalnya dia biasa saja namun setelahnya Tata menangis karena merasa tidurnya terganggu. "Yes bangun," dengan cepat kuraih dia ke gendonganku dan kutenangkan seperti tadi malam, tangisnya mulai mereda dan bapaknya kemudian tiba-tiba muncul. "Kenapa? Kok nangis?" Tanyanya panik. "Hehe gak kenapa-kenapa, cuma aku foe aja pipinya terus ke bangun." Balasku sambil menyengir dan menunjukkan jariku yang berbentuk V tanda berdamai. "Ya sudah berikan, biar saya mandikan dia dulu." Aku memberikan Tata padanya. Mengikutinya dan melihat Mas Andi yang lihai saat memandikan Tata. “Daripada di sini mending kamu carikan bajunya di lemari sana." Perintahnya yang lagi-lagi kuturuti. Membuka lemari melihat berbagai macam baju lalu menetapkan pilihanku. Aku menatap puas dengan apa yang kupilih, tidak lama setelahnya Tata sudah selesai mandi. Aku mengambilnya dan mendudukkannya di atas ranjang. Lalu dengan cepat aku mengambil bedak, minyak telon, minyak rambut, parfum, dan segala kebutuhannya. Mulai membuka baju mandinya dan memasangkan satu persatu kebutuhannya yang sudah aku pelajari lalu memakaikan baju yang sudah kupilih. "Sangat cantik." ek Andi POV Aku terus memperhatikannya, bagaimana dia ketika datang tadi hingga kini dia yang sedang mengurusi putri kecilku. Mungkin aku belum memperkenalkan diri, namaku Safira-10 Andi Putra Bagaskara. Seorang Ayah tunggal berumur 27 tahun yang akan menikahi gadis berumur 20 tahun. Awalnya semua ini di luar keinginanku, aku hanya memikirkan Tata dan permintaan orang tuaku. Tapi sejak tadi malam hingga kini aku tersentuh dengannya, dia yang terlihat sangat bergembira bersama Tata tanpa memperdulikan Tata bukan darah dagingnya. "Ehm Mas aku sudah selesai nih, lihat cantik kan Tata?" Tanya Safira padaku sambil memperlihatkan gadis mungilku yang sudah cantik. "Iya." Balasku dengan senyuman tipis, tanda aku bangga padanya. "Yaiyalah siapa dulu Mommynya." Ini yang kusukai darinya, dia akan bersenang hati mengungkapkan kalau dia adalah Mommynya Tata. "Sudah waktunya Tata makan." Aku mengambil Tata dari gendongannya dan mulai berjalan menuruni tangga menuju dapur. Jika hari libur seperti ini, tidak ada pembantu di rumahku. Jadi aku mengurusi segalanya sendiri. Safira berjalan di belakangku, mengikutiku dan Tata, hingga saat aku terhenti dia hampir menabrakku jika dia tidak cekatan. “Pegang Tata dulu, saya mau masakin nasi tim untuk dia." Safira menyambut Tata dengan sukarela, lalu berjalan lagi mengikutiku. "Mas bisa masak?" tanyanya yang sepertinya penasaran. "Tidak terlalu, hanya paling setidaknya bisa dimakan. Kalau untuk tim Tata, saya sudah diajarkan Mama." Jelasku panjang padanya. Kulihat dia hanya mengangguk tanda mengerti. Aku mulai melanjutkan kegiatan memasakku sambil sesekali memperhatikan Safira dan Tata. ee Safira POV 02310 - 11 Kini aku sedang bermain dengan Tata. Bukan bermain sebenarnya, hanya sesekali mengajaknya berbicara dan menoel pipi tembamnya. Ah imut sekali anakku ini. “Mommy sayang Tata." Kuucapkan satu persatu kata itu sambil membuat ekspresi lucu. Kemudian dia tertawa dan menepuk tangannya. Aku langsung saja menciumi pipinya karena gemas. Tidak lama setelah itu, Mas Andi datang dengan mangkuk kecil yang berisi nasi tim panas yang masih di aduknya agar panasnya berkurang. Aku pun beranjak, mengambil piring dan gelas untuk Mas Andi. Aku yakin dia belum sarapan. "Aku bawakan nasi goreng Ibu Mas, dimakan ya." Langsung saja aku membuka wadah yang membungkus nasi goreng yang kubawa tadi dan menyalinnya ke atas piring Mas Andi. “Mas mau minum yang lain atau air putih aja?" Tanyaku lagi. Sudah berasa pelayan. "Kamu bisa buatkan saya kopi?" Aku tersenyum lalu menjawab. "Bisa." Kemudian berlalu ke dapur dan mulai membuatkan kopi. Setelahnya, aku membawa kopi buatanku dan meletakkannya di atas meja makan di samping kiri tangannya. “Terima kasih." Ujarnya tulus. Kulihat nasi goreng Ibu sudah menghilang setengah. Dan lagi kulihat dia makan sambil mengaduk nasi tim Tata tadi. Kuraih mangkuk tersebut, lalu aku aduk tanpa memperdulikan Mas Andi yang terlihat sedikit bingung. "Lanjutkan makannya Mas, aku bantu kamu." Kulanjutkan acara mengaduk nasi tim yang sempat tertunda. Setelah dirasa suhunya pas, aku mulai menyuapkannya pada Tata. Makan Tata sangat lahap, membuatku tersenyum senyum bahagia tanpa memperdulikan Mas Andi yang menatapku. Hingga sendok terakhir sudah masuk semua ke perut Tata. Mommy bangga, Nak. Safira - 12 Kulihat Mas Andi mulai meminum kopi buatanku. Aku memandangnya dengan mewanti-wanti. "Enak." Aku langsung berteriak kegirangan. Maklum, bukankah setiap orang punya selera berbeda? Siapa sangka seleranya sama denganku. Tata memandangku bingung, lalu aku mengusap kerutan di dahinya. “Mommy senang, haha." “Mamamamamama." celoteh Tata yang makin membuatku senang. "Ih Tata sudah bisa bilang Mama Mas, berarti dia memanggilku dong." Lagi-lagi aku bersorak kegirangan. Hingga aku rasakan tangan besar yang mengacak rambutku. Lalu turun ke wajahku, berhenti di pipiku dan aku rasakan jemarinya mengusap wajahku pelan. "Kamu memang calon istri dan Ibu yang baik." 02310 - 13, Aku masih merasa malu dan senang ketika mendengar perkataan Mas Andi. "Ingin menghabiskan waktu di luar?" Tanya Mas Andi padaku. Tentu saja aku balas anggukan semangat. "Tata mau ya Nak, kita jalan-jalan YEY." Seruku pada Tata yang hanya tersenyum senyum saja sejak tadi. "Saya siap-siap dulu ya, kamu jaga Tata sambil menunggu saya." Titahnya yang akan kupatuhi. Tentu saja akan kupatuhi karena aku ini adalah calon istri dan Ibu yang baik. Haha. Aku menggendong Tata ke arah ruang keluarga, di sana terdapat sofa bed dan TV. Ku nyalakan TV-nya lalu aku cari siaran kartun favoritku. Aku dudukkan Tata dalam pelukanku kemudian kami mulai menonton film dengan damai. Aku rasakan sofa di sebelahku mulai bergerak, ternyata Mas Andi. "Kita berangkat?" “Ayuk." Kami menuju garasi, Mas Andi mengeluarkan mobilnya lalu aku naik tepat di sebelahnya. Mobil yang berbeda dari yang semalam. Berapa banyak mobilnya? Entahlah. "Kita ke Mall aja ya? Sekalian beli pampers untuk Tata." "Oke Mas." Balasku. Aku memangku anak gadisku dengan semangat. Sesekali mengelus kepalanya berharap dia merasa nyaman. Eh malah bobok. "Tata bobok karena aku usap kepalanya." Infoku pada Mas Andi. Safira-14 Dia melirik sekilas lalu menggenggam tanganku yang bebas. "Dia senang sama kamu, Mommy." Aduh melted ini bagaimana dong. Aku hanya bisa tersenyum memandangnya. Kami tiba di Mall dengan keadaan sehat wal afiat. Mas Andi mengeluarkan kereta dorong Tata. Meletakkan Tata di dalamnya dan kami mulai berjalan memasuki Mall seperti keluarga bahagia. "Ada yang mau kamu beli?" Tanya Mas Andi padaku. "Nggak ada kayaknya” balasku singkat. Kami langsung saja menuju supermarket yang tersedia Jalu mengambil satu stroller dan mulai berbelanja. Diawali dari pampers, minyak telon, bedak bayi, sabun mandi bayi, sampo bayi, parfum bayi, tisu basah, beberapa cream bayi, bubur instan, dan beberapa kotak susu. Lalu lanjut keperluan si bapak yang aku tau cuma sabun cuci muka, sabun mandi, pisau cukur, deodorant, dan tidak tau lagi entah apa yang akan dibelinya. Tunggu dulu, aku membutuhkan sesuatu. Pembalut, oh my god aku harus bagaimana. Malu tau. Lagi datang tamu lagi, bentar lagi kan harus ganti kalau nggak bisa bocor ini. Bodoh banget sih masa bisa lupa. "Kamu benaran gak ada butuh apa-apa?" “Hm-itu apa itu- "Yang jelas Safira!" "Kamu tunggu di sini, aku ambil sendiri." Dengan cepat aku berlari mengambil satu pak pembalut. Lalu kembali ke tempat Mas Andi berada. "Jangan lihat." Dengan cepat kuhalangi pandangan mata Mas Andi lalu menyeludupkan pembalutku ke balik barang yang lain. "Sudah, saya tau kamu mengambil pembalut. Enggak usah malu, toh besok saya juga bakal tau semuany‘ Benar juga ya, aduh bikin malu diri sendiri aja. "Ya sudah sana bayar, bayar sekalian." dengan mood sedikit rusak aku memilih untuk memegang Tata daripada ikut menemani si ‘bos' bayar belanjaan. P02310- 15 Setelahnya, Mas Andi menghampiri kami. "Sudah? Kita letakan dulu barang- barangnya di mobil baru lanjut jalan-jalan ya." Aku menuruti, mengikutinya meletakkan belanjaan dan juga kereta dorong Tata di mobil. Sekarang Tata digendong aja sama Daddynya. "Kita mau ke mana Mas?" Tanyaku yang sudah seperti babu atau anak hilang sih. Lalu terasa tangan besar melingkup, menggenggam tanganku. Tangan Mas Andi. Yang sebelah menggendong tata, satunya lagi menggandeng diriku. "Ikut aja dulu yuk." Pertama, Mas Andi mengajakku ke toko baju baju bayi. Dia menyuruhku untuk memilih baju yang tersedia di sana. Aku memandang ke seluruh tempat. Banyak baju bayi yang kusuka, langsung saja ku pilih beberapa dan aku bayar dengan kartu yang telah diberikan Mas Andi. Tanpa aku sadari mas Andi ternyata juga berbelanja sendiri di tempat itu. tek Setelah kami tiba di kamar Mas Andi yang sudah seperti kamar Tata, jadi jangan nethink. Aku melihat banyak kantung belanja, setauku aku belanja tidak sebanyak ini. Lalu Mas Andi masuk dengan membawa Tata di gendongannya. Dia mengambil satu kantung belanja dan memberikannya padaku. "Coba kenakan!" Aku menurutinya. Masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti bajuku. Lalu ada sebuah pita di sana, aku pun menggunakannya. Saat aku keluar, aku lihat Tata juga menggunakan baju yang sama denganku. Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku. Aku bergegas ke arahnya lalu memeluknya hingga limbung dan terjatuh di atas ranjang. Syukurlah Tata sudah masuk ke dalam box bayinya. "Terima kasih." gumamku yang dibalas dengan ciuman di keningku. Aku merasa hangat, nyaman dan tersanjung. "Sini saya foto kalian berdua." Hasil foto yang manis, pikirku. Ah aku sangat bahagia memiliki mereka. Padahal kalau dipikir kami belum di sahkan.. Safira-16 Sudah cukup lama aku di sini, aku pun pamit pulang namun Mas Andi menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku pulang bersamanya dan tidak lupa Tata juga ikut mengantarku. Tata akan tertidur selama di mobil dalam pangkuanku. Dan terbangun saat dilepas. Sesampainya di rumah, Mas Andi langsung pamit pada Ibu dan Ayah. Kuciumi Tata habis-habisan. Aku akan merindukannya. Lalu kuantar mereka hingga mobil. Kejadian tidak aku sangka . Mas Andi mengecup pipiku kilat dan langsung masuk ke dalam mobil. Aku terdiam seribu bahasa. Mengapa kami bisa sedekat ini padahal kami baru bertemu tadi malam? Kami baru saling mengenal, mengapa seolah sudah lama kenal? Kau percaya takdir? Aku rasa ini lah yang dinamakan takdir. Ketika takdir sudah bermain, tak perlu waktu lama untuk menyatukan kedua insan. P02310- 17 Tanpa Mereka Siang ini mata kuliahku habis. Sudah berhari-hari aku tidak bertemu anakku, Tata. Lebay sekali bukan? Aku pun tak menyangka beginilah aku sekarang. Rasanya juga seperti tanggung jawab yang masih coming soon itu sudah bertengger manis di pundakku. Lalu aku pun mencoba untuk menghubungi Mas Andi yang untungnya diangkat. “Halo, Mas?” “Ada apa Ra?” “Mas lagi di mana?” “Masih di kantor.” “Tata di mana, Mas?” “Ada di rumah, sama pengasuh.” “Aku ke rumah Mas ya?” “Tya langsung aja, nanti saya usahakan pulang cepat.” “Oke, bye.” Aku menyimpan ponselku lalu bergegas menuju ke rumah Mas Andi. Sesampainya di sana kulihat Tata sedang menangis sedangkan pengasuhnya hanya diam sibuk dengan ponselnya. Otomatis emosiku naik ke ubun-ubun. Dengan cepat kuraih Tata ke pelukanku sedangkan dia masih tidak menyadari pergerakanku. Kubawa Tata ke kamar, dan aku letakkan di atas box bayinya. Lalu dengan cepat aku turun dan melihatnya sedang panik. "Kamu maling ya, mana non Tata? Kamu kemanakan dia?” Pengasuh ini berteriak ke arahku. Safira-18 "Kamu kalau kerja yang benar dong, niat kerja gak sih. Dari tadi saya lihat cuma main Hp aja, sampai saya bawa Tata kamu juga gak tau kan?! Jangan bisanya makan gaji buta kamu ya! Saya laporkan kamu sama Pak Andi biar dipecat! " "Kamu itu siapa sih? Mana non Tata?! Ke mana kamu bawa dia?! Apa urusan kamu sama saya, mendingan kamu kasih tahu di mana non Tata habis itu kamu keluar. Gak mempan ancaman kamu!" Balasnya sengit padaku. Aku makin emosi "Saya gak mengancam kamu, kamu tu yang kerja gak becus. Tata aman sama saya, kamu gak usah banyak omong mending kamu aja sana yang siap-siap keluar dari rumah ini!" "Siapa sih kamu sebenarnya, enggak usah sok mengancam saya ya!" Kali ini dia membentak kuat. "Dia calon istri saya. Sebaiknya anda keluar sekarang juga." Mas Andi? Tidak aku sangka dia datang disaat yang tepat. Pengasuh itu langsung mati kutu. "Kok cepat banget pulangnya?" Tanyaku bingung. “Aku usahakan langsung pulang pas tau kamu mau ke rumah. Tunggu apalagi anda?! Keluar dari rumah saya." Ternyata pengasuh itu masih di sini. Dia langsung pergi meninggalkan rumah Mas Andi. "Sekarang kamu gak punya pengasuh?" "Saya memang gak pakai pengasuh." Balasannya yang membuatku berdecak kesal. “Maksud aku Tata Mas, pengasuhnya gak ada lagi kan." "Masih ada, dia punya 2 pengasuh. Cuma yang satu lagi masih cuti 3 hari lagi baru balik." "Ya sudah aku yang bakal jaga Tata." Aku tersenyum padanya, lalu seolah rumah sendiri aku naik ke atas untuk bertemu Tata. "Tata Mommy datang." a Kini kami sedang makan siang ala kadarnya karena hanya ada ayam goreng dan saus sambal. Oke tak masalah. 02310 - 19 "Kapan-kapan belanja Mas, kayak gini jadi susah." Protesku karena juga berimbas pada gadis kecilku yang terpaksa makan bubur instan. "Iya nanti kita belanja bahan dapur. Selama ini jarang yang masak makanya kadang lupa buat mengisi kulkas." Jelas Mas Andi padaku. "Mending kita percepat aja nikahkannya," tambahnya yang membuatku kaget. "Ya-ya terserah aja sih kalau aku." Ujarku ragu-ragu. “Saya bercanda, hari minggu kita lihat desain baju. Saya yang bakal jemput kamu." Aku mengangguk tanda paham, lalu sebuah permintaan muncul di benakku. "Nanti baju aku bikin sama dengan Tata ya Mas?" Mas Andi terdiam sejenak tampak berpikir. "Nanti kita usahakan." "Makasih Daddy." Kataku yang berimbas pada wajah Mas Andi yang tiba-tiba memerah. Sesudah makan, Mas Andi membawa Tata ke taman belakang. Hanya sekedar berbincang antara Ayah dan anak sambil mencari udara segar. Sedangkan aku kini sedang mencuci piring bekas makan kami tadi. Setelahnya, aku bergegas ke tempat mereka. Ingin ikut bergabung. Kulihat mereka sedang asyik berdua di ayunan dengan Tata yang menelungkup di atas dada Daddynya seolah sedang memeluk. Ah romantisnya anak dan Ayah ini. Aku pun ikut duduk di sebelah Mas Andi, mulai mengayun kembali dan menikmati angin di siang menjelang sore ini. Syukurlah ada pohon yang melindungi sinar matahari ke arah kami. Kulihat lagi Tata yang berada di atas dada Mas Andi, kini dia hampir terlelap. Terlihat dari matanya yang sudah sedikit tertutup. "Tata suka banget tidur ya, Mas." "Iya, kalau sudah dipangku atau dipeluk gini memang cepat tidurnya." Jawab mas Andi yang kini mulai menepuk Safira -20 pelan punggung Tata. Tata benar-benar tertidur pulas. Tinggal lah kami dengan keheningan. Lalu aku rasakan tangan yang besar mulai menyelimuti jari-jariku, menggenggam dengan lembut. Aku tersentak, lalu aku tatap pemilik tangan tersebut yang kini juga sedang menatapku. "Mas..." "Terima kasih, sudah bisa menerima saya dan Tata. Terima kasih sudah mau menjadi calon istri saya dan semoga benar menjadi istri saya, dan juga sudah mau menjadi Ibu dari Tata dan anak kita kelak. Saya... Bangga sama kamu." Aku tersentuh dengan perkataannya, air mataku mulai menetes namun segera aku hapus. Lalu terasa bahuku dirangkul olehnya, diarahkannya kepalaku pada dadanya yang tidak ditempati oleh Tata. Langsung saja aku lingkarkan tanganku di pinggangnya, yang membuat wajahku berpapasan dengan wajah mungil Tata. Jujur aku masih tetap merasa tidak adil, tapi aku sangat menyayangi Tata. Mau tidak mau aku harus menutupi egoku. Aku rasakan tangan besar itu mulai membelai kepalaku, seolah menenangkanku yang kini sedang tersedu-sedu. 02310 - 21 Tata: Mamamama Setelah acara tangis-tangisan itu, Mas Andi mengantarkan ku pulang ke rumah. Aku menerima tawarannya karena aku pikir aku perlu menenangkan diri. Tidak mudah menjalani semuanya, meskipun aku tampak baik-baik saja tapi yang sebenarnya adalah aku berusaha untuk baik-baik saja. Menutup kesedihanku dengan alasan ‘demi Tata’ si gadis kecil yang sudah mencuri hatiku. "Jangan terlalu memikirkannya, jalani jika menurutmu ini yang terbaik. Saya pulang dulu salam sama orang tua kamu." Ujar Mas Andi sebelum beranjak dari pekarangan rumahku. “Hati-hati di jalan." Sahutku pelan. Aku pun melangkah memasuki rumah, kulihat Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi sorenya dan Ibu dengan secangkir tehnya. Beginilah kebiasaan santai sore hari keluargaku. "Safira pulang." Ujarku yang langsung mengalihkan pandangan orang tua yang sedang bercengkerama itu. “Dari mana tadi, Nak?" Tanya Ibu, aku lupa memberitahunya jika aku langsung ke rumah Mas Andi. “Dari rumah Mas Andi Bu, kangen sama Tata." “Jangan terlalu sering, kalian belum sah. Gak enak dilihat orang." Titah Ayah padaku. Benar juga, aku selalu ke sana terlebih lagi pasti berakhir di kamar Mas Andi yang tentunya dengan Tata. "Iya Ayah, Fira masuk dulu" aku pun melangkahkan kakiku menuju kamar. Memilih membersihkan diri, kemudian berbaring sejenak. Safira - 22 Teringat dengan foto yang kuambil tadi siang, aku pun memilih untuk meng-uploadnya ke salah satu akun media sosialku yang pasti akan ramai karena teror dari sahabatku. Aku memang belum bertemu dengan teman-temanku, karena Britney yang saat itu sedang pulang ke rumah orang tuanya di kota seberang, sedangkan Faley sedang sibuk dengan pekerjaan paruh waktunya dan Zahra? Dia akan menikah muda. Sama seperti diriku. Hanya saja Zahra mendapat suami yang diinginkannya. Sudah ta‘aruf sejak tamat SMA. Kan keren. Lalu mengapa aku tak menghubungi mereka? Karena aku tak ingin mereka heboh di sosmed. Pernikahan Zahra pertengahan bulan ini, itu tandanya sekitar dua minggu dari sekarang. Otomatis kami semua akan berkumpul bukan? Nah saat itulah mungkin aku akan membicarakannya. Saat aku sedang berusaha untuk mencapai alam tidurku, terdengar ketukan pintu kamar yang kuyakini adalah Ibu. Kubuka pintu tersebut dan benar saja ada Ibu. "Apa Bu?" "Makan malam dulu yuk." Ajaknya. "Tapi Fira lagi gak lapar Bu, ingin langsung tidur saja." Tolakku, karena aku benar-benar lelah. "Loh Ya sudah, nanti Ibu sisakan lauknya. Jadi kalau kamu ke bangun tinggal panaskan saja." “Iya Bu, Fira tidur dulu ya." Ibu pun melangkah menjauh dari kamarku. Aku mulai memejamkan mata sebelum akhirnya terdengar suara pesan masuk. Arghh, ini sangat menyebalkan. “Kamu sedang apa? “ Pertanyaan macam apa ini, aku sudah mengantuk tapi dia mengacaukannya. “Sedang tidur. “ “Maaf saya mengganggu, tapi bagaimana bisa orang yang tertidur mengetik pesan? “ Betapa polosnya si papah muda ini. Tentu saja dia tidak tertidur. Hal ajaib apa yang bisa membuat orang tertidur mengetik pesan? Tidak ada. 02310 - 23, “Aku bercanda, ada perlu apa? “ “Jika tidak mengganggu, bisakah saya telepon kamu? “ “Bisa. “ Dengan sedikit malas aku iyakan ajakannya. Entah mengapa aku sendiri tidak kuasa untuk menolak, setelah terdengar dering ketiga dari ponselku, langsung saja aku angkat telepon darinya. "Ya?" "Kamu sudah mengantuk?" “Aku rasa sudah." Nah loh dia tau aku ngantuk kok masih telepon sih Mas. "Saya rasa saya sangat mengganggu.” "Sepertinya iya.". Dengan tidak tau malunya aku menjawab. "“Mamamamama." Aku terpaku dengan suara gadis mungilku. Dia baru saja memanggilku bukan? Rasanya hatiku begitu berbunga-bunga mendengar kata pertamanya. "Dia sedang berbicara denganmu, itulah sebab saya menelepon. Sedari tadi dia memanggil-memanggil kamu." "Iya Tata, Mommy di sini." Aku mulai mengajaknya berbicara. "Tata bobok dong Nak, sudah malam kasihan Daddy besok bakalan kerja.” "Kini dia sedang menatap saya dengan mata bulatnya, sepertinya dia mengerti apa yang kamu maksud." "Ya sepertinya, coba berikan botol susunya siapa tau dia akan tertidur." "Baiklah, benar dia meminumnya. Padahal tadi dia sangat menolak. Besok kamu kemari?” "Sepertinya tidak, bagaimana jika Mas yang mengantar Tata ke rumahku. Jika kamu percaya padaku." "Tentu, kamu tidak ada kuliah besok?" "Kebetulan kosong." "“Baiklah saya akan mengantar Tata sebelum saya bekerja besok. Selamat malam Safira." "Selamat Malam juga Mas Andi, Tata." Safira-24 Sambungan telepon terputus setelah ucapan selamat malam itu. Besok Tata akan kemari dan aku tidak sabar menunggu hari esok. Kantuk kembali menyerang. Dan aku pun mulai tertidur. 02310 - 25 Aku, Ibu dan Tata. Terdengar suara klakson mobil, aku segera berlari keluar rumah dan aku lihat mobil Mas Andi sudah terparkir di depan rumahku. Aku dengan segera membuka pintu mobilnya dan kulihat Tata tengah tersenyum disela-sela tangannya yang kini sedang bermain di sekitar mulutnya. Langsung kuraih dia dalam gendonganku, aku ciumi pipinya dan aku peluk erat. "Tata anak Mommy datang." Seruku girang. Mas Andi melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahku, memohon izin untuk Tata yang dititipkan padaku. Dan berharap orang tuaku tidak terganggu. Tentu saja orang tuaku merasa setuju dengan harapan aku akan lebih terbiasa menjadi seorang Ibu untuk Tata. Mas Andi pun langsung berpamitan dengan alasan bahwa sebentar lagi jam masuk kantor. Dia berhenti di hadapanku, memperhatikan Tata yang berada di gendonganku lalu mencium pipi gembul Tata. "Daddy berangkat dulu, jangan rewel ya Nak." Ujarnya pada Tata. Lalu tatapannya beralih padaku. "Tata belum makan, dia baru minum susu. Tolong kasih dia sarapan ya, dan jangan lupa dengan makan siangnya." "Oke aku paham." "Saya pamit." Aku anggukan kepalaku dan kuantar dia sampai depan mobilnya. Setelah Mas Andi pergi aku pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur dan melihat bahan-bahan yang ada. "Kamu mau ngapain?" Tanya Ibu. Safira- 26 "Mau masak nasi tim buat Tata Bu, Ibu pegang Tata dulu ya" Aku serahkan Tata pada Ibu. Dan kulihat Ibu membawa Tata ke ruang tengah. Mengelus-ngelus punggungnya pelan dan sesekali bercengkerama. Kulanjutkan acara masakku. Aku ambil wortel dan kentang lalu kulihat juga ada ayam di dalam kulkas. Lalu aku potong dadu wortel dan juga kentangnya tidak terlalu kecil. Melainkan ukuran sup lah. Lalu aku bersihkan ayamnya. Mengapa aku lebih memilih memasak sup? Karena lebih instan dan bisa sekalian makan siang Tata. Sembari menunggu supnya matang, kuambil sesendok nasi kemudian taruh di atas saringan. Lulu ulet nasi dengan sendok di atas saringan tadi, dan terlihat lah nasi yang halus di bawahnya. Setelah sup matang, lakukan hal yang sama pada wortel, kentang dan ayam. Jadi nasi timnya. Langsung saja aku bawa ke tempat Ibu dan Tata berada. “Ayah mana Bu?" "Sudah berangkat kerja, kamu bisa menyuapi sendiri? Ibu mau mencuci." "Bisa dong. Berikan Tatanya." Ibu pun meletak Tata di pangkuanku. Lalu pergi meninggalkan kami berdua. Kuambil sesendok air putih hangat untuk suapan pertamanya. Basmallah. Dia meminumnya dengan sedikit menyerngit. Lalu kusendokkan tim yang tadi kubuat. Ternyata dia menyukainya, wah betapa senangnya aku. Dia terus melahap setiap sendok yang aku berikan. "Pintar ih anak Mommy." Seruku saat suapan terakhir. Kuraih dia kembali ke gendonganku, membawa_bekas makannya ke dapur lalu aku tepuk punggungnya pelan sambil menunggunya bersendawa. Setelah bersendawa kulihat dia mulai memejamkan matanya, aku rasa dia akan tertidur kembali. Kini aku membawanya ke kamarku. Aku menghidupkan kipas angin dengan ukuran sedang. Lalu kurebahkan dia di atas ranjang kesayanganku ini. 02310 - 27 Setelah dia terlelap, aku mulai mengotak-atik ponselku dan iseng-iseng melihat situs belanja online. Bukankah sabtu ini pernikahan Zahra? Itu berarti aku membutuhkan baju dan juga si kecil ini akan ikut bersamaku dan Mas Andi juga. Karena saat itulah aku akan memperkenalkan mereka. Aku mencari baju couple antara Ibu dan anak yang cocok untuk pergi ke pesta pernikahan. Lama aku memilah kudapatkan dua jenis baju yang sangat kusuka. Dan itu artinya aku harus membongkar celengan ayamku untuk membelinya. Oke tidak masalah. Langsung saja aku memesan baju itu. Setelahnya aku meletak ponselku di nakas dan mulai terlelap bersama si kecilku yang manis. ek Aku merasakan getaran ponsel yang membuatku bangun, aku mengangkat telepon dari seseorang yang mengganggu ketenanganku. "Halo." "Tata bagaimana?" "Tidur, di sebelah aku." Jawabku meraba kasur bagian sebelahku. Kosong? "TATA MANA?" "Hei, kenapa kamu bertanya sama saya. Bukankah katamu Tata sedang tertidur?" “Bentar Mas." Aku langsung berlari keluar kamar dan betapa leganya aku melihat Tata sedang bersama Ibu. "Tata sama Ibu, aku tutup dulu ya bye." Langsung saja aku matikan telepon Mas Andi takut dia mengomel padaku. "Kok Ibu gak bilang-bilang sih ambil anak aku." "Kamu juga sih tidur kayak kebo." "Tbu kok gitu, sudah jam berapa ini?" Tanyaku pada Ibu. “Jam di rumah kita cuma tiga, satu di ruang tamu, satu di kamar kamu, satu di kamar Ibu. Kalau pukul yang kamu tanya 12.30 jawabannya.” "Lebay banget sih Ibu. Berarti sudah jam makan siang Tata dong." Ibu mengangguk tanda iya, aku pun berjalan Safira- 28 menuju dapur menyiapkan nasi tim yang tadi aku buat. Lagi- lagi Tata makan dengan lahap membuatku senang karena aku rasa dia menyukainya. Setelahnya kuajak Tata keluar rumah tepatnya hanya di teras karena cuaca yang sedang panas terik. Beberapa tetanggaku lewat dan menyapaku dengan ramah. Sampai salah seorang menanyakan siapa yang sedang aku gendong. "Ponakannya ya Fir?" “Bukan, Bu. Ini anak saya." "Kok bisa? Kamu kan masih kuliah terus juga belum nikah." Tanya Ibu itu mulai sinis. Kok bisa juga saya punya ponakan bu kalau sayanya aja anak tunggal. "Anak calon suami saya, Bu." "Ooh kamu mau nikah toh, berarti duda ya?" Balasnya lagi. Penasaran sekali Ibu ini. “Alhamdulillah iya, Bu. Saya masuk dulu ya, Bu." Langsung saja aku masuk kembali ke dalam rumahku. Ternyata mulut tetangga masih pada iseng, ingin tau aja habis itu dihujat. "Kenapa kok buru-buru banget masuknya?" Tanya Ibu melihatku. "Biasa Ibu-Ibu komplek, kan jadi malas." Jawabku kembali duduk di sofa ruang keluarga. Sepertinya Tata sudah mengantuk kembali kulihat dia menyeludupkan kepalanya di sekitaran leherku. Ku elus punggungnya pelan dan kulihat dia mulai tertidur. Aku melangkahkan kaki ke kamarku, meletak Tata di atas Ranjang dan mengarahkan kipas ke arahnya agar dia lebih nyaman. Ku lihat sekitaran dahinya yang berkeringat, lalu aku mengusapnya pelan. "Panas banget ya di rumah Mommy" ujarku miris. Anak ini sudah terlahir di keluarga kaya yang sejak di rahimnya merasakan hidup dengan segala berkecukupan. Tapi sayangnya orang yang mengandungnya tidak memperdulikannya lagi. Tapi aku? Aku merasakan getaran 02310 - 29 saat di dekatnya. Rasa sayang yang dengan cepat tumbuh meskipun belum dengan bapaknya. Safira - 30 Britney, Faley dan Zahra Hari ini pengasuh Tata sudah kembali, jadi aku tidak perlu menjaga Tata untuk sekarang. Jadwal kampus yang padat pun menjadi salah satu faktor. Tadi Mas Andi sempat mengabari sejenak hanya tentang bagaimana kabar Tata, jadwal kuliahku yang hari ini penuh dan lainnya. Hanya perbincangan ringan. Kini aku sedang kumpul dengan tiga sahabat baikku yang sayangnya sedikit gila dan goblok. Maafkan. Kami sudah berteman sejak masa putih abu-abu. Ya walaupun kini berbeda jurusan dan fakultas, tapi kami masih bisa menyesuaikan jadwal lalu berkumpul seperti saat ini. Namun sialnya kali ini aku malah jadi bahan interogasi. "Lo jelaskan ke kami sekarang juga!" Titah Faley padaku. "Apa?" aku berpura-pura polos. "Gak usah sok polos! Anak siapa itu? Setau gue lo gak mungkin punya yang namanya ponakan disaat lo sendiri anak tunggal, so siapa dedek comel yang ada difoto itu?." kini Britney mulai berbicara. Sedangkan Zahra? Dia hanya diam walaupun juga penasaran. "Ehm jadi gini..." Semuanya mengalir begitu saja, padahal rencananya aku baru ingin cerita saat pernikahan Zahra. Aku percaya pada mereka begitulah dengan mereka yang aku yakin percaya padaku. Segelintir kisah tentang Mas Andi dan Tata yang mereka simak dengan baik. “Lo kok mau sih Fir di jodohkan begitu sama duda beranak satu lagi?!” Aku memaklumi perkataan Faley karena diumur segini, diumur kami saat ini seharusnya kami masih menjelajah dari satu hati ke hati yang lain untuk mencari 02310 - 31 seorang Pangeran yang akan menempati tahta untuk selamanya. Tapi aku? Aku mendapatkan seorang Raja. Seorang Raja dengan tuan Putri kecilnya yang sangat memikat hati. “Jujur, sampai sekarang gue juga masih belum sepenuhnya menerima. Tapi dari awal gue membuat keputusan ini, dari pertama kali mata gue bertatapan dengan gadis kecilnya, gue tahu di situ takdir Gue. Entah karena didukung takdir atau murni perasaan gue aja, tapi gue benar-benar jatuh hati sama anaknya. Gue membayangkan bayi sekecil dia, secantik dia, belum pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ibu sama sekali di situ hati nurani gue tersentuh. Ditambah Ayah gue juga yang meminta secara langsung, apa mungkin gue tolak? Itulah sebabnya gue menerima dengan lapang dada dan berusaha dekat dengan dia.” Jelasku kelewat panjang dan lebar. Britney menatapku dalam, aku menaikkan sebelah alisku Jalu tiba-tiba dia tersenyum. Merinding disko gue lihat senyumnya. “Jangan mellow dong, status mah gak masalah kalau memang jodoh, apalagi yang kayak begitu pasti lebih berpengalaman.” OMG, segera aku jitak kepalanya yang berisi otak kotor itu. “Bangsat lo ukhti.” Umpatnya, aku mengabaikannya dan beralih menatap Zahra yang sedari tadi diam mendengarkan. "Jadi Zahra? Lo kok masih kuliah sih?" Tanyaku padanya sekalian mengalihkan topik pembicaraan tadi yang sudah kuanggap selesai. "Besok gue mulai libur, lagian masih dua minggu lagi. Lo pada jangan lupa buat datang ke pernikahan gue. Kalau bisa bawa gandengan." Perintahnya pada kami. "Gue jomblo." Britney bersuara. "Gue juga." Timpal Faley. "Gue kagak." Aku pun ikut bersuara lalu menyengir kuda mendapatkan tatapan sinis dari teman-temanku. “Bawa anak sama calon suami lo, kenalkan sama kita- kita!" Titah mereka padaku yang kuhadiahi anggukan mantap. Safira - 32 Setelahnya kami pun tertawa bersama membahas hal-hal kecil sederhana yang membuat senyum bahagia. ee Matahari telah berganti dengan bulan, sinar matahari pun hilang ditelan kegelapan. Seusai makan malam, aku langsung menuju kamar. Berencana untuk menghubungi Mas Andi tentang acara Zahra yang berlangsung beberapa hari lagi. Maukah Mas Andi pergi denganku? Aku masih menimang-nimang hingga akhirnya terdengar deringan ponsel di Hpku. Siapa yang menelepon malam- malam ? Tumben. Ku raih benda pipih itu, lalu melihatnya sekilas. Mas Andi. Sungguh suatu keberuntungan karena pulsaku tidak akan habis jika aku yang menghubunginya duluan. Maklum mahasiswa, wajar dong kalau ‘hemat'. "Halo?" "Selamat malam, saya ganggu?" Kaku banget ini orang ya ampun. "Malam Mas, nggak kok. Kebetulan juga sih kamu menelepon aku juga mau bicara sesuatu." "Kamu mau bicara apa sama saya?” "Mas aja duluan, ada apa menelepon?" "Tidak ada yang penting sebenarnya. "Ohh gitu, aku juga gak penting sih-“ "Siapa bilang kamu gak penting.” Dia memotong pembicaraanku dengan cepat dan berhasil membuatku kaget. "Bukan gitu maksud aku, yang aku bicarakan juga gak penting." "Oh, bicarakan saja. Saya akan mendengarkan." "Mas ada waktu luang sabtu depan?" "Sepertinya ada, kenapa bertanya?” "Ehm itu aku... Mau ajak ke pernikahan teman sama Tata juga." "Oke saya ikut dengan kamu." "Terima kasih Mas." "Tidak perlu sungkan" 02310 - 33, "Ehm ya, Tata mana Mas?" "Sedang tertidur, tadinya masih bangun tapi pas kamu mulai bicara dia tertidur." "Oh gitu, sebaiknya Mas juga istirahat." "Baiklah. Mimpi indah Safira." "Kamu juga, Mas Andi." Tut Panggilan terputus, ada rasa senang di hatiku kala Mas Andi menyetujui permintaanku. Aku harap hari esok lebih cepat untuk tiba. Kupejamkan mataku perlahan lalu mulai terlelap dengan perasaan bahagia. sek Ting tong Terdengar suara bel rumah berbunyi diikuti suara seseorang di luar sana. Aku yang sedang menyelesaikan cucian bajuku pun terpaksa pergi keluar untuk mengeceknya. Kebetulan Ayah sudah berangkat kerja sedangkan Ibu sedang ke pasar. "Ya Pak, ada apa ya?" Tanyaku sopan pada bapak-bapak di hadapanku. “Paketnya neng, tanda tangan di sini." "Oh iya, Terima kasih." Aku pun membawa pakait tersebut masuk ke dalam kamar. Meletakkannya di ranjang lalu keluar menuju cucianku yang tersisa. Setelah selesai, aku pun beranjak menuju kamar sambil membawa gunting. Ku buka plastik dan isolasi yang menutup pakait tersebut. Ternyata pesanan baju yang kemarin. Memuaskan. Aku memesan dua baju kemarin, satunya baju untuk ke pesta dan satu lagi baju santai. Navy, warna yang kupilih untuk pesta Zahra. Kami memang sepakat untuk menggunakan warna itu sebagai keseragaman. Dan untuk Mas Andi kuharap dia mau menyesuaikan. Aku menelepon Mas Andi dengan maksud menyuruhnya untuk mengambil baju Tata. Jika bisa aku harap dia mau membawa Tata juga karena hari ini aku free. Safira-34 Ketika nada sambung ketiga terdengar saat itu juga terdengar suara serak Mas Andi seperti bangun tidur. Mengapa dia bangun begitu telat? Ntahlah. “Halo Mas?" "Ya, ada apa, Fir?" “Aku ganggu? Kamu baru bangun tidur?" "Tidak, tidak masalah. Saya hanya terlambat tidur kemarin. Kerjaan sedang menumpuk dan Tata rewel.” Kasihan sekali dia. "Kamu bisa ke rumahku?" "Apa ada masalah?" "Tidak, hanya menjemput sesuatu untuk Tata. Kamu juga boleh meninggalkan Tata hari ini denganku. Aku free." "Baiklah, sebentar lagi saya ke sana." "Hati-hati di jalan." Sambungan pun terputus. Terkadang aku memang merasa kasihan pada Mas Andi yang menjadi Ayah tunggal untuk seorang bayi. Itulah sebabnya aku mulai meyakini ini adalah jalan terbaik. Ya. Jalan terbaik. 02310 - 35, Part 09 Nenda? Ting tong Terdengar suara bel rumah berbunyi, Ibu tadi sempat pulang dulu sebentar namun pergi lagi dengan alasan menemui temannya. Aku membuka pintu rumah dan dapat aku lihat Mas Andi sedang berdiri di depan pintu dengan tangan kokohnya yang menggendong Tata. "Masuk Mas." Aku mempersilahkannya masuk, duduk di ruang tamu dengan Tata di pangkuannya. Langsung saja aku ke dapur membuat secangkir kopi. Kulihat wajahnya yang tampak lelah, dengan mata panda dan juga dasinya yang tidak terpasang rapi. Aku menghidangkan kopi yang aku buat, lalu mengambil alih Tata dari gendongannya. "Diminum Mas," suguhku. Yang langsung diangguki olehnya. Ku lihat dia mulai menyesap kopi yang aku buat. Sebentar, hanya butuh waktu yang sebentar untuk menghabiskan secangkir kopi itu. Dia sedang tergesa. Terlihat ketika kopinya habis dia mulai berdiri dari duduknya. Aku hanya melihat saat dia merapikan baju dan dasinya. Tidak berniat menolong karena tanganku pun sIbuk menggendong Tata. "Saya pamit, titip Tata ya." Ujarnya lalu mencium wajah Tata namun melewati wajahku. "Belum saatnya,” gumamnya masih dapat aku dengar. “Hati-hati, Mas." Ucapku sebelum akhirnya mengantar dia hingga depan pintu. Setelah jejak mobilnya menghilang, aku pun masuk dan menutup pintu. Safira -36 "Tata sudah makan Nak?" Tanyaku pada Tata yang jelas saja tidak dia mengerti. Kutekan sedikit perutnya lalu terasa sedikit keras tandanya dia sudah makan. Lalu kubawa dia ke kamar, menghidupkan kipas ke arah kami dan berbaring di ranjang. QOtime ala kami berdua, aku mengajaknya mengobrol meskipun dia tak mengerti tapi tetap saja ada kebahagiaan di hatiku. "Tata lebih sayang Mommy atau Daddy?" Tanyaku sambil mengusap pipinya pelan. “Mamamamama." Seru Tata sambil menepuk-nepuk tangannya. "Pintar anak Mommy.” Ujarku walaupun aku tau Tata memang baru bisa mengucapkan kata asal seperti itu tapi tetap saja aku anggap jawaban. Lama kami bermain hingga suara bel rumah berbunyi. Lagi. Ketika aku buka pintu ternyata Ibu yang baru pulang dari rumah temannya. "Th ada cucu Ibu, sini Sayang." Serunya heboh ketika melihat Tata. Langsung saja diraihnya Tata dari gendonganku. Membawanya duduk di ruang keluarga. "Sama siapa tadi sayang kesininya?" Tanya Ibu pada Tata. "Sama bapaknya lah, mau sama siapa lagi." Balasku malas. Aneh-aneh saja pertanyaan Ibuku ini. "Sudah sana buatkan susu, mengganggu acara Nenda sama cucu aja kamu." Balas Ibu ikutan sengit. "Nenda? Apaan, Bu?" “Nenek Muda" Aku langsung berjalan menuju dapur membuat susu untuk Tata. Kulihat memang Tata dan Ibu sesekali tertawa bersama terkadang ekspresinya diam dengan mata membulat seolah mengerti apa yang Ibu katakan. Bahagia. Baru ini yang aku dapatkan tapi aku sudah merasa sangat bahagia. Dan semoga kelak juga seperti ini. Setelahnya, aku pun membawa botol susu itu ke dekat Ibu. Meminta Tata agar kami dapat pindah ke kamar, sedari tadi 02310 - 37 Tata belum ada tertidur. Nanti takutnya dia kelelahan karena keasyikan bermain. Ibu memberikannya walau ada rasa tidak rela di sana. Lebay. Aku membawanya menuju kamar, seperti sedia kala menghidupkan kipas lalu membantu memegang botol susunya. “Bobok ya sayang, Mommy sayang banget sama kamu." Ujarku ketika botol susunya sudah kosong, dan matanya sudah tertutup rapat. Ku cium keningnya pelan lalu beranjak dari kamar. ek "Bantu Ibu masak, pasti nanti calon suami kamu kesini kan?" tanya Ibu padaku. "Nggak, anaknya sudah dikasih ke aku jadi dia gak kesini lagi." Balasku. "Sembarangan!" Ketus Ibu. Beginilah aku dan Ibu sering berdebat, walaupun terlihat selalu aku yang memulai tapi satu yang jelas, kami saling menyayangi. "Mau masak apa memangnya?" "Kamu bikin nasi tim Tata dulu, nanti kalau Ibu belum siap baru bantu Ibu." Pembagian tugas dari Ibu yang kuangguki. Aku mengambil sayur sayuran dari kulkas, aku potong dadu seperti biasa lalu beberapa bumbu lainnya kemudian memasaknya bersama dengan beras yang dijadikan bubur. Jadi bukan nasi yang diulet lagi ya. Setelah siap aku lihat Ibu yang masih menggoreng ayamnya. "Ibu mau masak apa?" "Semur ayam, bantu potong kentangnya" Aku pun memotong kentang itu, potongan panjang dan tidak terlalu kecil. Setelahnya aku cuci kentangnya di air mengalir lalu meletaknya lagi pada wadah bersih. Hanya itu tugasku. "Sudah sana lihat anak kamu, nanti takutnya jatuh dari kasur" usirnya padaku. "Yah mengusir, Ya sudah deh bye." Kataku berlari ke arah kamar. Safira-38 Ku lihat memang Tata sudah sedikit diujung. Syukurlah aku memberi beberapa bantal di sekitar Tata jadi itu akan membantu menghalanginya. Aku mengangkat Tata lalu menggeser tubuhnya ke tempat semula. Terjadi beberapa pergerakan kecil hingga kulihat tangan Tata kini sedang menggenggam jariku. Aku pandangi dia, masih merasa terpukau dengan kecantikan bayi ini. Aku mengusap kepalanya pelan, merasakan rambutnya yang halus kemudian turun ke pipi tembamnya. Gadis kecil ini benar-benar membuat ketertarikan besar pada diriku. Entah betapa besarnya rasa sayang yang kini kupunya untuknya. Sangat besar mungkin. Tidak lama setelahnya Tata mulai gelisah dalam tidurnya, Jalu membuka mata pelan sebelum akhirnya menangis kuat. Aku yang sedikit panik langsung menggendongnya lalu membawanya keluar kamar. "Kamu apakan Tatanya Fira?" Tanya Ibu padaku. "Baru bangun tidur, Bu." Jawabku sambil mengusap punggung Tata yang kini masih sesenggukan karena menangis. "Biar Ibu buatkan susu dulu ya." Tawar Ibu. Wah betapa aku menyayangi Ibuku yang pengertian ini. "Iya makasih, Bu." Balasku yang melihat Ibu beranjak meninggalkan aku dan Tata. "Jangan nangis dong anak Mommy, Tata kan cantik, pintar, terus kesayangan Mommy Daddy." Ujarku masih mengusap punggungnya. Tidak lama setelah itu Ibu datang membawa sebotol susu. Langsung saja ku turunkan Tata dari gendonganku, lalu mengarahkan botol susu itu ke mulutnya. Benar saja dia haus. Sebenarnya Tata bangun sudah cukup siang kala ku lihat jam dinding yang menunjukkan pukul 13.25 sudah masuk jam makan siangnya juga. Aku melirik Ibu lalu menunjuk jam di dinding seolah mengkode sudah jam makan Tata. Ibu seolah mengerti Jangsung berkata "Kamu ambil sana nasinya, susunya juga Ibu bikin sedikit tadi. Sinikan Tatanya." 02310 - 39 Wah kode yang tidak sampai. Padahal aku ingin meminta Ibu yang mengambilkan nasi Tata, eh malah ke balik, tapi setidaknya Ibu sudah membantu bukan. Rutinitas seperti biasa, mengambil nasi tim lalu menyuapi Tata. Rasanya hal seperti ini sudah biasa aku lakukan. Kemudian duduk menonton kartun walaupun sebenarnya Tata tidak mengerti dan hanya memelukku atau memainkan jarinya saja hingga tertidur lagi, memang hobi tidur ini kayanya. Hingga sore menjelang Mas Andi pun tiba di rumahku. “Baru balik Mas?" Tanyaku berbasa-basi. "Iya." Jawabnya singkat dan terlihat lelah. Langsung saja dia masuk dan duduk di ruang keluarga. "Mas sudah makan?" Tanyaku yang hanya dijawab gelengan. "Serius belum makan dari siang? Atau kebetulan lapar aja?" Tanyaku kaget. "Belum makan dari pagi malah, tadi saya cuma sempat minum kopi buatan kamu." Astaga bapak ini keterlaluan, masa gak ingat sudah punya anak sama calon istri. Kalau dia sakit bagaimana? “Ayuk makan dulu." Ajakku sambil menarik tangannya. Berat. Kebetulan Tata sedang tidur, aku tarik tangannya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Tanpa disangka dia malah menarik tanganku yang langsung membuatku terduduk di sampingnya. Dapat aku rasakan kepalanya yang mulai mendekat ke arah ceruk leherku, hanya sekedar untuk bersandar. "Sebentar saja, saya terlalu lelah hari ini.” Ku biarkan dia yang menyender, duh untung aku sudah mandi kalau belum kan barabe. 10 menit aku rasa cukup, dia juga butuh makan bukan? "Mas... makan dulu yuk." Ajakku lagi, terasa tarikan napas panjang di sekitarnya leherku sebelum akhirnya dia berdiri. Aku ajak dia ke meja makan, lalu memanaskan semur ayam buatan Ibu dan menghidangkannya di atas meja dan juga menu pendamping lainnya. Safira- 40 "Makan Mas!" Titahku padanya. Lalu dia menyodorkan piring nasi padaku yang langsung saja aku pahami dia minta ambilkan nasi. Aku mengambil dua sendok nasi, lalu sepotong ayam, tempe, tahu dan sedikit sambal lalu aku letakkan di hadapannya . Setelahnya dia memulai acara makannya. Saat tengah asyik mengunyah nasi, aku dengar Tata kembali menangis. Aku izin sebentar dengannya untuk menjemput Tata dikamar. Lalu aku bawa Tata ikut ke meja makan. Tata langsung menghentikan tangisnya ketika melihat Daddy kesayangannya. Tangannya menggapai-gapai berharap untuk digendong. “"Nanti ya Nak, Daddy lagi makan." Ujarku berharap dia mengerti. Tapi tidak, Tata tetaplah bayi biasa yang jika keinginannya tidak dituruti maka dia akan menangis. "Berikan saja pada saya, jika tidak dia akan menangis lagi. Lihat wajahnya." Kata Mas Andi sambil menunjuk wajah Tata. Benar saja, wajahnya murung memperlihatkan bahwa dia mau menangis lagi. Segera ku berikan Tata pada Mas Andi yang Jangsung meletakkannya di atas pangkuannya. Lalu melanjutkan memakan makanannya kembali. Super Daddy. P02310- 41 Telat Bangun Setelah acara makan tadi, kami bertiga hanya duduk santai di ruang keluarga sambil menikmati tayangan sore hari. Tidak lama setelahnya, Ayah pulang dari tempatnya bekerja. “Assalamualaikum." Setelahnya terdengar langkah kaki Ayah memasuki rumah. Aku langsung saja berdiri dan mendekat menyalami tangan Ayah. Mas Andi yang melihatnya, juga melakukan hal yang sama. “Baru pulang, Om?" Tanyanya basa-basi. “Iya, kamu sudah lama?" "Tidak juga.” Aku hanya melihat interaksi antara mereka, sebelum akhirnya Ayah beralih padaku. "Ibumu mana Nak?" "Ada di kamar, Ayah mau Fira siapkan makan?" "Nanti saja, Ayah ke kamar dulu ya. Mari Nak Andi." Pamit Ayah pada kami yang diangguki Mas Andi. Setelah Ayah pergi, kami kembali duduk bersama. Hanya ada ocehan Tata yang mendominasi. Mungkin karena masih ada rasa canggung antara aku dan Mas Andi. "Sudah terlalu sore, lebih baik saya pamit." Ujar Mas Andi membuka suara. “Yabhh, Tatanya ikut juga dong?" Tanyaku merengut. "Iya." "Boleh gak kalau Tata di tinggal aja Mas? Yayaya?" Mohonku padanya. “Jangan, kamu belum terbiasa mengurus Tata. Takutnya dia rewel nanti malam." Jelas Mas Andi. Safira - 42 Aku hanya diam, berat rasanya berpisah dengan Tata. Aku ingin selalu bersamanya.. “Tunggu Mas,” aku baru ingat baju yang tadi. “Kenapa?” Aku mengabaikannya dan _ bergegas mengambil bungkusan lalu menyerahkannya kepada Mas Andi. “Apa ini?” Tanyanya bingung. “Untuk Tata, dipakai waktu menikahkan teman aku ya.” Kataku yang dibalas anggukan mengerti olehnya. “Hari minggu saya jemput ya, kita fitting baju pengantin." Ucap Mas Andi yang ku balas anggukan. Aku mengantar mereka hingga masuk ke dalam mobil, lalu melambai hingga mobil Mas Andi tidak terlihat lagi. ek Minggu pagi, aku terbangun tepat pukul 10. HAHA. Sungguh kemarin adalah hari yang melelahkan, iya melelahkan untuk menamatkan satu drama dalam sehari.. Aku keluar kamar berniat mengambil segelas air. Tapi Jangkahku terhenti saat aku melihat Mas Andi sedang duduk berbincang dengan orang tuaku. "Itu anaknya yang di tunggu dari tadi." Omel Ibu begitu melihatku. Pandangan yang lain pun mulai tertuju padaku. "Mas Andi ngapain kesini pagi-pagi?" Tanyaku bingung dan mengabaikan perkataan Ibu. "Bukankah saya sudah mengatakan kita akan pergi fitting baju di hari minggu, Safira?" Aku yang mendengarnya hanya menepuk kening pelan. Aku benar-benar lupa. "Maaf Mas." "Sudah sekarang kamu mandi sana, kasihan Andi sudah menunggu sejak jam 8." Jelas Ayah padaku yang membuatku cengo. Dengan cepat aku membalik badan dan berjalan menuju kamar. "Buset, pagi banget itu orang datangnya." Omelku sambil berjalan. Dengan cepat aku meraih handuk mandi dan langsung pergi ke kamar mandi. Mandi bebek aja biar cepat, siram, sabun, bilas dan jangan lupa sikat gigi. Siap. 02310 - 43, Memeriksa lemari yang isinya itu-itu saja tapi tak masalah lah ya yang penting ada. Aku mengambil celana jeans lalu blouse kotak-kotak berwarna biru. Aku berjalan ke luar kamar. Berjalan menuju Ayah lalu duduk di sampingnya. “Lama banget kamu. Sarapan dulu sana." Omel Ibu lagi saat melihatku bersantai di sebelah Ayah. Sedangkan Ayah? Masih larut dalam obrolan dengan Mas Andi. "Elah, sudah mandi bebek itu Bu. Enggak usah deh, gak lapar." Ayah menyudahi obrolannya. Mas Andi kemudian menatapku seolah mengisyaratkan untuk mereka berangkat sekarang. "Yuk Mas berangkat" "Om, Tante saya bawa Safira dulu." Pamit Mas Andi pada Ayah dan Ibu sambil menyalami tangan mereka satu per satu. "Iya hati-hati ya Nak" jawab Ayah sedangkan Ibu hanya tersenyum. "Dadahhhbh Ayah Ibu." Pamitku ikut menyalami orang tuaku. Lalu berjalan mengikuti Mas Andi. Mas Andi langsung masuk ke dalam mobilnya. Lah kagak ada acara bukakan pintu nih? Aku hanya mengekorinya saja. Masuk ke dalam mobilnya, duduk diam menjadi anak yang baik. Ingat pesan Ibu "Kamu jadi anak kalau di rumah asyik-asyik grasuk-grusuk gak jelas, di tempat orang jangan. Malu kita" Jaga image ceritanya. "Kamu gak mau sarapan dulu?" Tanya Mas Andi. Kalau dibayarin mah mau aja kali Mas. "Nggak usah, Mas juga sudah lama menunggu dari tadi." Tolakku sungkan. Tidak ada balasan lagi, aku pun juga hanya diam dan sesekali memainkan ponselku. Aku rasakan mobil berhenti. Ah sebuah cafe. “Mari turun," ajaknya langsung keluar dari mobil. Aku hanya mengikuti. Kami duduk di salah satu meja di ujung Safira-44 sebelah kanan dari pintu masuk. Mas Andi memanggil pelayan yang langsung memberikan menu. "Kamu pesan dulu. Saya tau kamu pasti lapar." Aku melihat-lihat buku menu. Wahh ada pancake boleh ini dicoba. Bukan apa-apa ya, sebagai mahasiswa yang baik walaupun tinggal bersama orang tua aku juga melakukan penghematan. Sayang aja gitu beli pancake di cafe, mahal dan tidak kenyang. Intinya aku belum pernah coba, puas?! Mas Andi kembali memanggil pelayan . "Kamu pesan apa, Fira?" "Ehm, pancake satu sama jus jeruk." Jawabku ragu-ragu. "Pesan yang mengenyangkan Safira. Kita belum tentu bisa makan siang tepat waktu." Titah Mas Andi. "Tapi sedang ingin." Ujarku padanya dengan wajah memelas. “Tambah nasi goreng satu, saya Jattenya satu." Mas Andi menambah pesanan, lalu menyerahkan kembali buku menunya. Setelahnya kami sama-sama diam. Iya sebelum aku yang membuka pembicaraan, tidak akan pernah ada obrolan di antara kami sepertinya. "Tata mana Mas?" "Saya tinggalkan di rumah Mama." Jawabnya yang aku balas anggukan. "Kemarin kamu ada membahas tentang pesta temanmu? Kapan? Biar saya bisa mengosongkan waktu." Tanyanya. Wah panjang sekali kalimatnya. "Sabtu depan. Jangan lupa ya Mas, sama Tata juga." Jawabku yang dibalas anggukan olehnya. Tidak lama setelahnya, pelayan kembali tiba membawa pesanan kami. Mataku seketika membulat, nikmat betul tampaknya makanan ni. Aku mulai mengambil garpu dan pisau kemudian memakan pancake yang aku pesan tadi. Hm, manis. Enak. Jadi gini toh rasanya. Aku melihat Mas Andi yang ternyata juga melihatku. "Mau Mas?" Tanyaku basa-basi. P02310- 45 Tidak, terlalu manis menurut saya." "Siapa? Aku?" "Pancakenya." Alah mak jang, tertipu aku olehmu Ferguso. Tertipu atau emang aku yang gak nyambung sih. "Makan nasi gorengnya juga." Perintahnya sambil menyesap /attenya nikmat. "Iya sabar, sesuap lagi habis ini." Jawabku memasukkan potongan terakhir ke mulut. "Tapi Mas nanti aku gendutan kalau makan banyak- banyak." "Terus kenapa?" Tanya Mas Andi polos. "Masa enggak tau sih, padahal Mas kan sudah pernah nikah duluan." "Terus kalau saya sudah pernah nikah kenapa?"” Tanya Mas Andi dengan muka datarnya. "Mm... Maaf" Lirihku. "Saya hanya bertanya Safira, kalau saya sudah pernah menikah kenapa?" “Ma-maksudnya aku pikir Mas tahu biasalah cewek pasti menjaga tubuhnya, nanti bajunya enggak muat bagaimana kalau aku gendutan. Maaf." Aku menunduk, takut menatapnya. Aku tahu aku salah, tidak seharusnya aku menyinggung status seolah-olah aku adalah orang yang paling mulia di muka bumi. “Makan Safira." Titahnya lagi. Aku menegakkan kepalaku, mataku memerah aku tahu itu. Entah kenapa rasanya begitu takut jika dia marah. "Saya tidak marah, lanjutkan makanmu." Jelasnya yang membuatku sedikit bernapas lega. Dia mengambil sendok nasi goreng, aku pikir dia ingin memakannya tapi tidak. Dia malah mengarahkan sendok tersebut ke arahku. “Makan, lelah saya bersuara tapi tidak kamu turuti.” "...iiya." Jawabku sambil memakan suapan darinya lalu mengambil alih sendok. Aku kan malu suap-suapan di cafe gini. Safira- 46 "Mas mau?" tanyaku padanya. Lalu aku lihat mulutnya menganga. Spontan saja aku sendokkan nasi goreng itu ke mulutnya. "Terima kasih." jawabnya. Kami makan silih berganti. Hingga nasi goreng tersebut tandas. "Mas..." "Apa?" "Mau kopinya." Malu sebenarnya, tapi ingin. Alya salah satu pencinta kopi. Iya kopi dari tempat yang lumayan mahal itu loh starbak. "Kamu suka kopi?" Tanya Mas Andi padaku. “Lumayan, biasanya beli di tempat kopi mahal itu loh. Itu pun cuma sekali sebulan, mahal soalnya. Tapi ini sudah lama gak minum kopi makanya ingin." Jelasku padanya dengan sedikit menyombong tapi juga merendah. Dia menyerahkan cangkir kopinya padaku yang masih tersisa setengahnya. Jangan salah-salah ini masih sisa setengah padahal gelasnya kecil karena dia dari tadi minum jus jeruk aku. Makanya aku juga berani minta. P02310- 47 Setelah acara sarapan terlambat tadi berakhir, aku dan Mas Andi langsung menuju? Menuju ke mana? Aku juga gak tau. "Mas tempatnya di mana?" "Florance Flo." Aku tercengang, pasalnya tempat yang Mas Andi bilang adalah tempat impian para gadis untuk hari bahagianya. Aku tahu memang karena beberapa waktu terakhir aku mulai sering nge-stalk koleksi wedding dress di internet. Ya salah satunya ya Florance Flo. Aku manggut-manggut setelah tercengang beberapa detik. Hingga mobil kini sudah terparkir di tempat tersebut. Wah indahnya. Baru toko aja padahal. jangan toko deh, boutique. "Ayo!" Ajak Mas Andi langsung menggenggam tanganku. Duh malu, jarang-jarang seperti ini. Aku melangkah masuk ke dalamnya melihat sekeliling. Seketika mataku berbinar. Oh my god. Spectacular. “Atas nama siapa, Pak?" Tanya seseorang. "Andi Putra Bagaskara" Jawabnya. Aku baru tau kalau nama panjangnya itu. Iya sebelumnya kan dia gak pernah kasih tau. "Mari Pak silahkan." Ujarnya. Kami mengikuti mbak yang tadi masuk lebih dalam. Sesampainya di tujuan, Mas Andi seolah sudah biasa dia langsung duduk di tempat ya seperti tempat tunggu. Jelas banget sudah pernah nikahnya pikirku. Astagfirullah Safira, berdosa Nak itu calon suamimu. Seketika tersadar. Safira-48 "Mari mbak, silahkan memilih koleksi yang sudah di siapkan." Kata mbak yang tadi. Aku melihat-lihat baju yang tergantung di sekelilingku. Pilihanku jatuh pada satu baju yang pastinya memperlihatkan lekuk tubuhku. bolehlah sesekali kan. Aku menunjuk dress tersebut dan si mbak membawanya ke ruang ganti, membantuku menggunakannya. Setelahnya tirai ruang ganti terbuka. Aku melihat Mas Andi yang masih duduk diam di tempatnya. Melihatku dengan pandangan. Heng entahlah. Sebenarnya aku sadar dress ini terlalu terbuka, tapi kan namanya juga mau menikah. "Ganti." Satu kata terucap dari mulut Mas Andi. Aku Jangsung cemberut dIbuatnya. "Mbak suruh dia coba yang itu." Tunjuk Mas Andi kesalah satu dress. Si mbak langsung membawa baju tersebut ke ruang ganti, aku langsung saja menggunakannya. Subhanallah Mas, ini mah benar-benar tertutup. "Mas..." Aku merengek padanya. Kan yang lain. Bilang deh aku banyak tingkah, kegatalan, ingin yang kebuka. "Enggak usah yang kebuka. Ngapain umbar-umbar hal yang bakal jadi milik saya. Mau kamu maharnya saya kurangi?" Astagfirullah. Sabar kan hamba. Ini laki kok mengancam sih. Aku masih mencoba membujuknya dengan pandangan memelas. "Ya sudah sana cari, tapi tetap lengannya harus panjang. Mengerti?" Ujarnya yang aku balas anggukan cepat. Setelah mengganti baju yang tadi, aku melangkah ke arah koleksi baju yang masih tersedia. Pilihanku jatuh kepada satu buah baju berwarna peach dengan brokat di sekitar badannya. Terlihat indah. Tapi aku kembali termenung setelah melihat harganya. Gila saja ini mah. "Kenapa?" Suara Mas Andi mengagetkanku. 02310 - 49 "Hm gak apa-apa kok, yuk lihat ke sana." Aku melangkah berniat menjauh untuk mencari pilihan lain yang setidaknya ya kurang lah ya harganya dari yang itu. "Coba aja dulu." Ujarnya padaku. "Hah?" Aku terkejut. “Baju ini." "Enggak usah deh, cari yang lain aja lagi pula ini punggungnya kebuka." "Mbak tolong baju yang ini dicoba ke dia." Mas Andi memanggil pegawai yang tadi tanpa memperdulikan penolakanku. “Mari mbak ke ruang ganti." Aku terpaksa menurut. Mau bagaimana pun juga aku masih punya rasa segan jika harus membebani terlalu banyak untuk acara pernikahan ini. Tirai terbuka memperlihatkanku yang sudah mengenakan dress tersebut. "Cantik." Gumam Mas Andi yang masih dapat aku dengar. "Saya ambil yang ini mbak." Ujarnya lagi yang membuatku membelalakkan mata. "Mas!" panggilku. "Saya tau kamu menyukainya." Dia mendekat ke arahku. "Tapi mas harga-" Bisikku yang langsung di potong olehnya. “Saya harap ini akan menjadi pernikahan terakhir kamu, bersama saya dan tentunya dengan hal yang kamu sukai pula, saya berharap semuanya akan sangat berkesan untuk dirimu." Aku terenyuh. Oh my good mas. Na chuaheyo. Aku tresno karo koe. Suko denai jo uda. Suke aku same kau ni. Ihnhh dugun dugun kan jantung. Hampir aja aku menangis dibuatnya. Masa dia melamar di depan ruang ganti. Iya aku aja yang menganggap melamar sih, dianya nggak. "Terima kasih, Mas." "Sekarang giliran saya." Dia masuk ke ruang ganti yang lainnya dengan jas berwarna abu-abu. Hanya itu yang aku lihat. Safira -50 Lalu aku yang sudah selesai berganti pakaian hanya duduk di tempat yang dia duduki tadi. Dia keluar dari ruang ganti. Mau respon kayak mana ya? Ini orang mah suruh pakai baju robek-robek juga ganteng kayaknya. "Saya gak perlu pendapat kamu." Lah? Pak tadi situ banyak maunya. Sekarang saya gak boleh ngapa-ngapa. "Baju pria gak ribet kayak wanita. Jadi saya rasa ini sudah cukup bagus.” Iya deh iya. Aku hanya menganggukkan kepala. Suka hatimu saja Mas. Setelahnya, dia kembali lagi mengganti pakaiannya dengan yang semula. Lalu menggandeng tanganku menuju kasir. "Tutup mata kamu" Ujarnya saat mengeluarkan kartu debitnya. “Lah ngapa?" "Siapa tahu nanti kamu kaget liat nominalnya." Jadi ceritanya anda menyindir saya yang tidak pernah beli baju mahal atau bagaimana ini Pak?! "Ck." Aku melangkah pergi meninggalkan dia yang masih sibuk dengan pembayarannya. "Jangan jauh-jauh, nanti saya susah carinya." Dikira aku anak kecil kali ya. Setelah selesai, dia menyusulku yang hanya berakhir duduk di sofa yang disediakan. Aku teringat baju si gadis kecilku yang belum ada. "Mas baju Tata bagaimana? Katanya kemarin mau di samakan dengan punya aku." Ujarku saat sudah masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kita cari di babyshop aja, pernikahan kita hanya tersisa 2 minggu lagi, tidak mungkin untuk memesan baju yang sama. Makanya kamu tadi cuma di perlihatkan koleksi yang sudah tersedia saja. Maafkan saya." "Hm iya gak apa-apa. Itu aja sudah lebih dari cukup." Kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu babyshop yang sepertinya sudah sering Mas Andi datangi. 02310 - 51. "Mari Pak Bu, silahkan masuk." Ujar pelayannya menyambut kami. “Saya mau lihat dress bayi umur enam sampai tujuh bulan yang cocok untuk pernikahan mbak." "Mari ikut saya." Kami mengarah ke tempat koleksi dress bayi yang aku lihat di dominasi warna putih. Wah cantik-cantik sekali. "Silahkan dilihat beberapa pilihan yang ada." Mataku mengarah pada satu dress yang aku pikir paling indah di antara dress yang lainnya. "Mas yang itu." Tunjukku. "Yang itu satu mbak." Ujar Mas Andi langsung menurut. Mungkin karena bentuknya yang sedikit mirip dengan bajuku atau bagaimana tidak tau juga lah ya. "Mas boleh belikan baju lagi gak untuk Tata?" Tanyaku ragu-ragu. Pasalnya aku melihat banyak baju yang lucu-lucu berteriak minta dibeli.. "Boleh." Siap suami idaman ini mah. Aku berjalan meninggalkan Mas Andi. Memilih beberapa baju untuk Tata. Dua aja deh ya. Enggak usah banyak-banyak kasihan Mas Andinya sudah banyak banget mengeluarkan duit buat hari ini. “Sudah?" Tanyanya yang aku balas anggukan semangat. "Saya bayar dulu ya." Ujarnya berlalu ke kasir. Aku memilih mengekor di belakangnya seperti anak yang takut kehilangan bapaknya. "Sini jalannya kalau mau ikut." Dia sadar aku mengikutinya. Dia pun menarik lenganku hingga tiba di sampingnya. Setelah membayarnya kami pun kembali ke dalam mobil. Aku lihat kini sudah pukul 15.08 WIB, benar saja kata mas Andi kalau kami belum tentu bisa makan siang tepat waktu. "Kamu mau makan dulu?" tanyanya. “Terserah Mas aja" "Kalau kita langsung pulang gak masalahkan? Saya lelah. Atau kamu mau ikut ke rumah Mama sekalian melihat Tata?" Tawarnya yang tentunya membuatku senang. Safira - 52 "Boleh?" Tanyaku antusias. "Tentu." Yessss. “Mau ikut aja deh kalau gitu" Mas Andi menganggukkan kepalanya _ singkat membawaku ke rumah Mamanya. 02310 - 53 Kami tiba di rumah orang tuanya Mas Andi. Saat keluar dari mobil, aku langsung digandeng olehnya menuju pintu masuk. Kami berjalan perlahan, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Tapi terdengar sedikit berisik di ruang keluarga. Benar saja, aku melihat orang tua Mas Andi sedang duduk di sofa, sedangkan Tata bermain di karpet dengan beberapa mainannya yang berserakan. Ada satu wanita yang aku pikir masih SMA mungkin? "Eh ada calon mantu Mama." Sapa Mama Mas Andi begitu melihatku. "Iya Ma, lama tidak berjumpa." Jawabku sambil tertawa renyah. Aku menyalami Papanya Mas Andi juga. Tapi terhenti di gadis yang tadi bersama Tata. "Adik saya, Naya." "Hai kakak ipar. Namaku Naya, adiknya Andi dan sekarang tengah menyelesaikan pendidikan SMA kelas 12." Sapanya ramah. Aku kira dia tadi tidak akan seramah ini. "Oh hai, aku Safira." Balasku sedikit kikuk. “Suka oppa-oppa korea gak?" Tanya Naya lagi. "Ehm lumayan." "Yesss." "Maafkan adik saya, dia memang sedikit gila." Mas Andi menyela. “Enak aja gila!" Balas Naya tidak mau kalah. “Maaf ya Nak Fira, emang kelakuan mereka seperti ini." Ujar papa yang merasa malu dengan tingkah anaknya. Safira -54 "Tidak masalah, Pa." "Mamamamama." Tata merangkak ke arah kakiku. Aku melihat tangannya yang menggapai-gapai minta di gendong. "Cie Mama-Mama. Eomma dong Nak biar Imo senang." Ujar Naya yang membuat semuanya bingung. Aku hanya tertawa melihatnya. Kuraih gadis kecilku masuk ke dalam gendonganku lalu menciumnya tanpa puas. Dia memeluk leherku kuat seolah tidak mau lagi kehilangan. "Anak Mommy rindu ya." Semua mata memandang haru melihat interaksi antara aku dengan Tata. Mas Andi menepuk sofa sampingnya, menyuruhku duduk bersamanya. Tata masih memelukku erat. Menyandarkan kepalanya di dadaku, terkadang naik ke ceruk leherku. Beberapa kali Mas Andi ingin mengambilnya tapi dia tidak mau lepas. Aku hanya tertawa melihatnya. "Anak siapa sih kamu sebenarnya, kok gak mau sama Daddy?" Yah merajuk dia guys. Ngambek ceritanya. Aku yang melihatnya seperti itu langsung tertawa kembali. Ah senangnya seperti ini. Aku meletakkan Tata tepat di atas dadanya. Awalnya Mas Andi enggan untuk balas memeluk Tata. Tapi setelah diciumi oleh Tata dia pun luluh. "Daddy kangen tau anak." Ujar Mas Andi mengecup pipi gembul Tata. "Kalian makan malam di sini kan?" tanya Mama pada kami. Aku hanya menatap ke arah Mas Andi seolah menyuruhnya menjawab. "Iya." Balas Mas Andi tidak ingin mengecewakan Mamanya. "Saya bawa Tata ke kamar dulu, sepertinya dia mengantuk." Izin Mas Andi yang aku cegat. "Aku aja boleh?" Tanyaku ragu-ragu. "Ikut aja sana kak, paling kalau kalian berbuat tidak senonoh tinggal dinikahinya aja langsung." Ujar Naya santai. Karena terlalu santai-nya ingin rasanya aku menggorok Jehernya. P02310- 55 “Mulut kamu itu disaring dulu kalau ngomong. Cewek kok kayak gini." Papa menasihati putri semata wayangnya. “Ayo ikut saja, mungkin kamu mau istirahat juga. Saya tau kamu lelah." Pengertian banget sih ini orang. Kan jadi suka. Aku mengekori Mas Andi yang berjalan ke arah kamarnya. Ketika tiba di satu pintu berwarna putih dengan tulisan di depan pintu kamar yang menandakan dialah pemilik kamar ini. 'ANDI' sebuah tulisan pahatan kayu yang tergantung di depan pintu kamar. Aku terkekeh pelan melihatnya. “Ttu karena Naya sering salah kamar makanya papa bikin nama di setiap kamar yang ada di rumah ini." Jelas Mas Andi tanpa aku pinta. Aku mengangguk paham, Mas Andi meletakkan Tata di kasur. Gadis kecilku masih belum tidur ternyata. "Lihat dia sebentar ya, saya mau ke kamar mandi." Aku memandangi Tata yang juga memandangiku sambil tertawa, ah gadis kecilku benar-benar manis. Aku merasa beruntung dengan semua ini. Karena Tata aku memiliki gadis yang manis, karena Tata aku memiliki pria yang dapat melindungiku, karena Tata aku bisa menikmati fasilitas mewah yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Karena si gadis kecil yang tengah tersenyum padaku sekarang ini. "Waktunya tidur anak Mommy." Seruku menggendongnya lalu menimangnya dengan _ sesekali bersenandung ria. Mas Andi keluar dari kamar mandinya dengan wajah segar, wangi harum dan pakaian yang telah berganti. Ternyata dia habis mandi. "Kamu mau bersih-bersih juga?" tanyanya yang tidak aku jawab. Bagaimana mau mandi kalau tidak ada baju ganti Ferguso? Seolah tau dengan kebingunganku dia kembali berkata. "Biar saya pinjam baju Naya dulu sebentar." Mas Andi berlalu keluar kamar. Aku kembali menimang Tata yang sudah memejamkan matanya. Menunggu tidurnya benar-benar lelap. Safira -56 Setelah memastikannya, aku melihat ada box bayi disudut kamar ini. Saat aku ingin meletakkannya, aku merasakan banyak debu di sana. Tidak jadi, bisa-bisa gadis kecilku terkena flu karena debu. Aku meletakkannya di atas kasur, mengatur bantal agar mengelilinginya lalu menaikkan selimut sebatas dadanya. "Selamat tidur anak Mommy" ucapku sebelum mengecup keningnya lama. Aku mendengar pintu dibuka, Mas Andi masuk ke dalam kamar. Melihat Tata yang sudah tertidur membuat hatinya tenang. "Mas box bayinya kok berdebu banget sih?" Protesku sambil menunjuk box bayi di sudut ruangan. "Ehm, kamu tau kan kalau saya cuma berdua dengan Tata. Jadi kalau menginap saya lebih memilih menidurkan Tata di dekat saya ketimbang harus mengeletakkan dia di sana." Jelas Mas Andi panjang lebar. Aku terenyuh. Sungguh malang lelaki kesepian ini. Aku akan menemanimu Mas. "Ini, kamu mandi aja dulu. Dalamannya masih baru kok kata Naya." Ujar Mas Andi sembari menyerahkan baju lengkap dengan dalamannya pula yang kuyakini dipinjamnya pada Naya. Oh my God? Dalaman? Warna merah pula. Astaga anak SMA mana yang punya dalaman warna merah terang gini? Oh iya lupa ini ada, Naya namanya. Dengan pipi memerah aku meraihnya dari tangan Mas Andi. Mustahil sekali dia tidak melihatnya. Aku pun langsung Jari ke kamar mandi. Aku melihat kamar mandinya yang terbilang mewah, ternyata ada ruang ganti pakaian juga di sini. Pantaslah Mas Andi tadi bisa langsung mandi tanpa perlu membawa pakaian lagi. Aku menyalakan air di bathub, seumur hidup aku cuma pernah mandi di bathub kalau menginap di hotel doang. Selebihnya mah kagak. Punya shower aja syukur. 02310 - 57 Melirik sabun, yaya aku rasa ini sabun milik Mas Andi. Tak masalah lah ya. Aku menuangkannya secukupnya. Lalu menggulung Rambutku ke atas. Tidak ingin basah karena hanya ada sampo lelaki di sini. Ketika aku mulai berendam rasanya sangat nyaman, rasa lelahku tadi seketika hilang. Ah indahnya dunia. Sekitar 20 menit aku berendam, syukurlah tidak ada protes dari Mas Andi. Coba bayangkan jika dia tiba-tiba menggedor gedor pintu menyuruhku keluar karena terlalu lama. Malu lah saya mak. Aku memakai si dalaman merah tadi, ternyata pas ya walaupun sedikit sesak ya. Toh kami cuma beda 2 atau 3 tahunan. Aku melihat baju yang dibawa Mas Andi tadi. Ya ampun ini mah gaya ala-ala Korea. Ni anak bajunya gini semua kali ya. Ada rok berwarna peach, baju mini gitu warna abu-abu dan jaket denim. Entah karena aku yang lebih tinggi dari Naya atau emang ini roknya yang kependekan. Rasanya begitu asing karena aku belum pernah memakai baju seperti ini sebelumnya. “Mas, baju Adek kamu kayak gini semua?" Tanyaku pada Mas Andi begitu aku keluar dari kamar mandi. Rasanya risih. Aku terus menarik rok ku ke bawah, merasa yang aku kenakan kini sangat-sangat pendek. Mas Andi menggeleng pelan menyadari betapa kurang bahannya baju milik adiknya itu. "Baju Naya emang kayak gitu semua, kalau kamu mau celana ya robek-robek atau hotpants. Gak masalah?" Tanya Mas Andi padaku. "Ta...Tapi ini pendek banget." Aku terus menarik roknya ke bawah. Mas Andi meraih tanganku. "Jangan di tarik lagi, kamu... Cantik kok pakai baju ini tapi cukup hanya di rumah dan disaat ada saya." Mas Andi mengecup pelipis ku. Ibu serangan jantung ini, si bapak bisa-bisanya menggombal disaat situasi kayak gini. Safira -58 Mama Mertua Dengan malu-malu aku berjalan keluar dari kamar. Setidaknya aku masih memiliki otak dengan tidak tidur nyenyak padahal mama sedang pontang-panting memasak di dapur. Sedangkan Mas Andi sedang menemani Tata tidur. "Ma." Sapaku saat tiba di dapur melihat mama yang sibuk menggiling cabai dengan ulekan. Mama the best. "Ya sayang?" Jawab mama membuatku tersipu. “Ada yang bisa aku bantu, Ma?" tanyaku dengan tingkah sok cantik. Iya sadar kok sadar. "Kamu gak istirahat aja? Gak capek emang seharian ke sana kemari?" Mama balik bertanya. "Nggak kok. Sini aku bantu bikin makanan Tata ya, Ma? Bisa kita makan juga kok." Tawarku yang mendapat anggukan semangat dari Mama. "Baju Naya ya?" Tanya Mama. Ya aku ternotice. "Iya Ma, pendek banget ini roknya." Aduku karena memang risih. “Iya itu anak gak mau di kasih tau, bajunya gini semua. Belum lagi celana-celananya ya ampun pusing Mama lihatnya." Curahan hati Mama padaku. “Aku rasa juga gak masalah sih Ma, mengingat dia masih SMA. Lagipula ini masih batas wajar kok, mungkin akunya aja yang gak biasa pakai jadi agak risih" "Besok-besok kamu mulai aja deh bawa baju kamu beberapa tinggalkan di lemari kamar Andi. Daripada ribet gini kan? Atau kita beli aja. Iya kita pergi shopping berempat sama 02310 - 59 Tata. Girls time begitu." Ya ampun ini mak-mak tau juga sama girls time. “Iya Ma, besok deh ya." Jawabku santai mulai membuka kulkas dan melihat persediaan di sana. Aku dapati ikan, tahu dan beberapa bumbu rempah dan juga santan. Okey kita masak. “Benaran besok nih ya?" Eh buset aku salah ngomong lah kayaknya. "Hah besok nih Ma? Aku ada kelas pagi." Lah aku pikir besok-besok. Eh besok benaran. "Kan pagi sayang, besok Naya kan juga sekolah. Tenang deh nanti Mama atur." Aku mengangguk pelan. Mulai melanjutkan aktivitasku, memotong ikan menjadi beberapa bagian dan mencucinya dengan jeruk nipis agar tidak amis. Lalu mengupas bawang putih dan bawang merah serta kunyit. Kemudian membasuhnya hingga bersih lalu blender. Setelah halus, aku mengambil panci kecil karena hidanganku yang tidak seberapa lalu masukkan bumbu, tumis sebentar dan tuang santan. Aduk hingga merata, setelahnya aku memasukkan deh itu ikan. Tunggu sampai ya kira-kira 10 menit baru masukkan tahu yang sudah di potong dadu. Setelah matang, aku mengambil mangkuk putih bersih lalu menuangkannya dengan rapi. Siap deh, kok jadi tutorial masak ya? Hehe. Tanpa aku sadari ternyata Mama memperhatikanku dari tadi. Tepat saat aku berbalik ke arah meja makan Mama memandangku dengan senyuman hangatnya. "Mama gak salah pilih kamu." Aku tersenyum, tersenyum bangga. Pada diriku yang mampu membuat orang lain tersenyum. Ingat tugasku belum selesai, aku hanya baru selesai memasak. Tapi belum membuat makanan untuk Tata. It's so simple guys. Buat mama muda sepertiku, Mama muda. Aku mengambil tempat makan Tata, lalu saringan dan sesendok nasi yang masih hangat. Paham gak lo pada? Jadi, kita tinggal benyek-benyek nasi di ayas saringan. Kan nasi yang ke saring tentunya lebih halus. Lalu ambil deh sepotong ikan yang tadi pilih dagingnya dan juga tahu, lakukan Safira - 60 hal yang sama. Setelahnya ambil kuah secukupnya, aduk sampai rata. Siap lagi kan. Sama Safira mah semuanya beres. "Sudah?" Tanya Mama yang aku balas anggukan. "Ya sudah kamu panggil Andi ya, biar Mama panggil yang lain." Aku berjalan ke kamar Mas Andi. Yang pertama kali aku lihat adalah Mas Andi yang sepertinya tertidur sambil memeluk Tata. Tapi Tatanya sudah bangun. Kasihan deh Nak dikepit gitu. Aku ingin tertawa rasanya, si bapak juga ngapa gak pakai baju sih. Masa bodo lah, aku berjalan ke arahnya mengguncang tubuhnya pelan. "Mas bangun, makan malam dulu yuk." Dia mulai mengerjapkan matanya tapi malah mempererat pelukannya pada Tata. Tata yang dirasa sepertinya risih mulai merengek. "Mas, kasihan itu Tatanya ke jepit." Aku membuka paksa tangan Mas Andi agar aku dapat mengambil Tata tapi yang terlihat malah yang bukan-bukan. Ya ampun itu dada gak baik dilihat sebelum sah. Aku tarik selimut menutupi badannya, lalu aku pukul sekuat tenaga agar dia terbangun. Kebo banget sih. Dan akhirnya bangun juga, kuraih Tata berniat mengganti pakaiannya. "Gak sakit Mas?" Tanyaku sedikit merasa bersalah. "Nggak." Jawabnya. Bodo deh bodo. Aku beralih pada lemari pakaian berniat mencari baju Tata. “Ngapain?" Tanya Mas Andi. "Ganti baju Tata, sudah malam dianya belum mandi kan karena tidur tadi." Betapa lucunya dia, si gadis kecil dengan badan yang berisi dan kepala botak. Ah betapa beruntungnya aku. "Sudah yuk keluar." Kami keluar dari kamar. Melihat yang lain sedang menunggu di ruang keluarga. "Ma itu mereka, ayo makan." Seru Naya sambil berlari ke meja makan. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. Saat semuanya sudah di meja makan, setelah Mama mengambilkan 02310 - 61 nasi untuk Papa, aku juga mengambilkan nasi untuk Mas Andi. Ada banyak masakan yang di buat Mama, mulai dari gurame asam pedas, telur balado, capcay dan tentunya gulai kuning ikan yang aku buat tadi. "Mau yang mana Mas?" tanyaku — sebelum mengambilkannya lauk. "Telur sama ini." Tunjuknya pada masakanku. Ah tau saja dia kalau itu aku yang masak. Aku mengambilkan apa yang dia minta. Lalu mengambil alih Tata dari pangkuannya agar dia lebih mudah untuk makan. Aku menjangkau nasi tim Tata yang sudah aku buatkan tadi, lalu menyendokkan air putih terlebih dahulu baru setelahnya menyuapinya nasi tim. Aku melihatnya makan dengan lahap, selalu begini setiap aku memberinya makan. Sangat senang tentunya. "Kamu juga harus makan nak." Kata Papa kepadaku. "Iya Pa, habis Tata makan aku juga bakal makan kok, Pa." Jawabku. Di luar dugaan semua orang Mas Andi malah mengarahkan sendok yang di penuhi dengan nasi dan lauk ke arah mulutku. "Makan." Ujarnya singkat. Aku membuka mulutku dengan malu dan menerima suapannya. Lalu dia kembali menyuapi dirinya sendiri begitu berulang-ulang. Nasi Tata sudah habis, nasi Mas Andi pun juga. Tiba-tiba Mas Andi mengambil Tata dari tanganku. "Saya mau tambah nasi lagi." Aku tercengang sejenak sebelum mengambilkan apa yang dia minta. Sepotong ikan patin lagi tanpa telur kali ini. Baiklah dia menyukainya. Lagi-lagi dia menyuapiku. "Tanggung mengotori piring lagi, mending berdua saja." Bisa saja bapak ini. "Gue jomblo please." Sedari tadi Naya selalu berkata seperti itu. Sampai-sampai Mama menyumbat mulutnya dengan sesuap nasi penuh. Tentunya langsung dapat protes dari Naya. Safira - 62 Setelah makan malam selesai, setiap orang di rumah ini akan memiliki waktu sendiri. Sedangkan aku dan Mas Andi memilih pamit pulang. "Ma, Pa Andi antar Fira pulang dulu. Takutnya terlalu Jarut." Pamit Mas Andi pada orang tuanya. "Kamu juga pulang? Tata?" Tanya mama. "Iya kami pulang aja Ma, aku pamit ya." Izinnya sekali lagi diikuti olehku. Kami masuk ke mobil dan mulai berkendara menuju rumahku. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Mas Andi sibuk menyetir, sedangkan Tata mulai bersandar ke dadaku tanda dia mulai mengantuk. Aku menepuk pelan punggungnya, berharap dia akan segera tertidur. Dan benar saja hanya hitungan menit dia sudah memejamkan matanya. Gadis yang pintar. "Dia tidur?" Suara Mas Andi terdengar. "Ya seperti biasa." Kami tiba di rumahku, Tata diletakkan dalam babycar seat miliknya yang ada di mobil Mas Andi. Dia masih tenang dalam tidurnya. “Saya pamit, Terima kasih untuk hari ini dan makanannya. Saya suka, saya harap saya akan seterusnya menikmati masakan kamu di setiap harinya. Ya secepatnya." Aku tersentuh, secara tidak langsung Mas Andi mengutarakan keinginannya untuk ingin secepatnya bersamaku dalam ikatan yang lebih jelas tentunya. 02310 - 63 Part 14 Belanja & Pernikahan Zahra Hari ini benar saja, Mama menjemputku di kampus. Awalnya aku bingung tapi katanya dia tau dari Mas Andi. Iya sih aku sempat kontakkan sama Mas Andi, terus dia nanya- nanya aku pulang jam berapa. Jadi ini sebenarnya. Kami menuju ke sekolah Naya. Sekolahnya sangat bagus, swasta sepertinya. Berbeda denganku yang sekolah di negeri dan berusaha untuk masuk kuliah dengan SNMPTN jadi enggak usah tanya perjuangan SBM ya. Fighting aja. Naya masuk ke dalam mobil Mama, bajunya sudah berganti. Mantap kali anak ini. "Pasti Kak Fira bingung kan kenapa baju aku sudah ganti?" Tanyanya padaku yang aku balas anggukan. "Tau gak bagaimana caranya?" Tanyanya lagi yang aku tanggapi dengan gelengan. "Kakak pendiam ya? Asyik-asyik angguk geleng aja. Jadi dari rumah aku sudah pakai celana pendek, terus kaus dalam. Bawa deh jaket di tas. Pas mama jemput tinggal lepas. Hebat kan aku." Gak penting dek. Aku hanya terkekeh pelan. Dan soal aku pendiam? Enak saja, kau hanya belum tau Garcia. Jika kalian bertanya apa Tata jadi ikut, jawabannya ya. Aku lupa mengatakannya, dia sedang tidur di babycar seat miliknya. Kami tiba di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota ini. Berjalan keluar dari mobil sambil mengeluarkan stroller = milik Tata dari __bagasi. Memindahkannya lalu kami masuk ke dalam mall tersebut. Kami berjalan dengan santai, masuk dari toko ke toko. Melihat-lihat beberapa baju rumahan serta dalaman. Mama Safira - 64 memilihkan baju-baju yang aku rasa sangat bagus dan tentunya membuatku merasa sungkan. Aku bukannya tidak tau jika semuanya akan dia yang membayar. Aku hanya tidak ingin terus-terus merepotkan keluarga ini. Seolah aku hanya mengharapkan hartanya. Beberapa pajama yang Mama pilihkan untukku. Ada dua warna dan aku memilih mengambil yang warna_ putih, sedangkan yang satunya untuk Naya. Sedangkan untuk Naya satu lagi pilihannya sendiri, benar- benar unik menurutku. Dia pandai memilih baju. Lucu sekali baju-bajunya. Setelahnya kami memilih untuk pergi makan siang. Aku hanya mengikuti kemauan mama, karena rasanya sangat tidak sopan terlalu banyak tingkah disaat Mama sudah sangat baik kepadaku. Kami makan di salah satu restoran nusantara, aku rasa keluarga mereka memang lebih suka masakan daerah daripada masakan luar. Kami makan sambil sesekali berbincang dan tertawa bersama. Setelahnya, Mama mengantarku pulang. Sekalian bertemu dengan Ibuku, karena Ayah pasti belum pulang karena sekarang masih pukul 15.00. "Bu, ada Mamanya Mas Andi." Panggilku begitu memasuki rumah. Ibu berjalan dari dapur dengan tergesa. "Aduh, masuk jeng. Saya lagi bersih-bersih ini di belakang." “Iya enggak apa-apa jeng, cuma mau menyampaikan aja kalau persiapan sudah siap. Undangan juga, nanti hubungi aja ya butuh berapa biar saya kirimkan." "Aduh, Terima kasih banyak ya. Maaf merepotkan, semoga kedepannya lancar.” Balas Ibu sambil menjabat tangan Mama. "Iya gak apa atuh jeng, kita kan bakal jadi besan. Saya juga senang. Pamit ya jeng." "Iya hati-hati di jalan ya, salam sama yang lainnya." Aku mengantar mama sampai ke depan. Melambaikan tangan dengan senyum terbaikku. Sungguh keluarga yang sangat baik. P02310- 65 ak Minggu ini adalah hari pernikahan Zahra, aku sudah berjanji akan datang dengan Mas Andi dan Tata. Sebenarnya kemarin malam aku sudah ke sana juga saat akad dan kini saatnya resepsi. Aku mengenakan baju berwarna navy yang waktu itu aku beli serasi dengan Tata. Menggunakan lapisan make up sederhana, lalu heels dengan tinggi 5 cm. Aku menunggu Mas Andi yang katanya sudah berangkat sejak 25 menit yang lalu. Suara deru mesin terdengar, dengan cepat ku buka pintu. Wah aku terpukau, bajunya pas dengan tubuh Tata. Sangat cantik anak gadisku ini. Mas Andi menggunakan kemeja biru dengan jas berwarna navy. Secara tidak langsung senyumanku terbit karenanya. Kami benar- benar terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. "Kamu cantik." Astaga, begitu masuk dia langsung membisikanku kata-kata seperti itu. Lemah hati ini Mas. Aku hanya tersenyum malu. Kami pamit kepada Ibu dan Ayah. “Sampaikan selamat aja ya dari Ibu sama Ayah, maaf gak bisa datang.” ujar Ibu padaku yang aku angguki. “Hati-hati di jalan anak." Ujar Ayah setelah kami menyalaminya. "Dadah Ayah Ibu." Ucapku ketika keluar dari rumah. Yah begitulah masih seperti anak-anak bukan. Anak-anak yang sudah bisa buat anak. Aku duduk di dalam mobil Mas Andi sambil memangku Tata. Sesekali aku bergelut dengan Tata, merapikan rambutnya, kemudian tertawa bersama. "Kamu gak masalah bawa Tata?" Tanya Mas Andi membuka pembicaraan. “Masalah? Ngapain Tata jadi masalah?" Tanyaku balik. "Ya... Kamu membawa anak di depan teman-temanmu. Tata bisa aja menghambat kamu nanti waktu ingin bersama dengan temanmu." Ujar Mas Andi. Wah aku tercengang dengan kata-katanya. Sangat bagus. "Terus tujuan Mas mau nikah in aku apa? Demi Tata kan? Aku juga menerima Mas tujuannya apa? Demi Tata juga kan? Aku Safira - 66 bisa memahami situasi apa yang akan aku hadapi setelah kita terikat ataupun nanti saat di pesta Zahra. Aku gak terbebani sama sekali." Jelasku dengan sedikit emosi. Entah lah apa maksudnya bertanya seperti itu. "Maaf saya tidak bermaksud seperti itu." Aku diam. Malas menanggapi. Aneh tau gak. ke Setibanya di pesta Zahra, aku terpaksa menekan egoku untuk berbaik hati dengan Mas Andi. Dia menggendong Tata di lengannya , sedangkan tangan yang lain menggenggam tanganku. "Safira." Panggil seseorang. Britney, si besar suara yang tidak mempunyai gandengan. Oh ada, dia sedang menggandeng Faley. Miris sekali kalian. "Mana Zahra?" Tanyaku bodoh. "Tuh di pelaminan, perlu gue tarik kesini?" Jawab Faley ikutan bodoh. "Kalian gila? Hai cogan siapa sih namanya?" Tanya Britney sambil melepas tangan Faley dan langsung pindah ke sebelah Mas Andi. “Enggak usah jadi PELAKOR lo, gak liat di tangan sudah ada anak." Jawabku sarkas. Memang anak ini tidak bisa melihat yang tampan sedikit aja langsung modus. "Laki lo? Aduh maaf ya Mas ganteng, saya gak tau. Kenalkan Britney, dia Faley terus yang nikah Zahra. Terus yang ini Safira." Dia memperkenalkan semua dari kami. "Sudah kenal goblok." Balasku lagi-lagi sarkas padanya yang langsung dihadiahi tatapan mematikan dari Mas Andi. Gila aja mulut gak di rem jelas lah marah dia, depan anak gadisnya lagi. Aduh salah banget ini hidup gue. "So guys, biar gue kenalkan dengan benar. Dia Mas Andi calon imam gue terus yang di gendong anaknya atau sebut saja anak gue. Dan Mas Andi mereka teman-teman aku." Ucapku saling memperkenalkan mereka. Mas Andi hanya mengangguk paham. 02310 - 67 "Dan lagi?" Tanya Faley. Apalagi? Perasaan sudah aku ceritakan semua. “Ambilkan gue makanan dulu baru gue ceritain." Tapi aku tetap meladeni kebodohan Faley, siapa tahu untung kan seperti saat ini. "Ya sudah enggak usah cerita gue gak masalah, yang jelas lo bakalan nikah sama Mas ganteng ini kan. Terus dia anak lo yang sangat lucu itu kan. Gue paham." Faley memang manusia paling malas. “Lagian si bego, Safira itu sudah menjelaskan kemarin tapi lo tanya lagi.” Emosi Britney tersulut dengan kepintaran Faley yang di atas rata-rata. “Santai dong mulut lo, gue manusia yang bisa lupa.” Duh bisa-bisa berantem ini. "Ekhm, gue siapa yang ambilkan makan?" Selaku di antara perdebatan mereka. "“Ambil sendiri oon, sudah jadi emak orang malas juga hidup lo." Aku memberengut mendengar perkataan kasar Britney. “Pegang Tata, biar saya ambilkan." Ujar Mas Andi sambil menyerahkan Tata padaku. Aku mencekal tangannya. "Enggak usah Mas, aku cuma bercanda. Nanti aku ambil sendiri." Mas Andi duduk kembali. Gila aja bisa-bisa dikira lebay banget makan aja harus diambilin. "Anak lo lucu banget sih Fir." Kata Faley sambil menoel pipi Tata. "Anak gue gitu loh. Lo pada sudah jadi Aunty." "Iyaya kita auntynya. Aunty Britney, Aunty Faley, Aunty Zahra." Britney mengucapkan satu persatu nama mereka dengan embel-embel Aunty. Safira- 68 Part 15 Pernikahan Zahra(2) Setelah selesai menikmati hidangan, aku bersama yang lainnya seolah diberi waktu luang untuk bersenang-senang oleh Mas Andi. Terbukti dengan dia yang memilih mengambil Tata dari pelukanku dan menyibukkan dirinya dengan si buah hati. Aku sibuk bercanda dan tertawa dengan teman-temanku. Tidak lupa pula memberi taukan rencana pernikahanku yang akan di gelar kurang dari dua minggu lagi. "Terus lo libur dong Fir." Kata Britney menengahi pembicaraan. "Iya minggu depan, minggu depan waktu bebas gue sebelum dipingit. So mari kita cari seragam yang pas untuk kalian bertiga." Ajakku yang dibalas antusias dengan mereka semua. "Calon laki lo anteng banget ya, baik juga kelihatannya." Faley memandang Mas Andi yang sedang sibuk dengan Tata. "Iya jelaslah anteng, mau ngapain juga dia ribut-ribut di nikahan orang. Menurut kalian ini pilihan yang tepat gak sih?" Tanyaku. Britney dan Faley memandangku menyelidik. "Kenapa lo baru tanya sekarang bodoh?! Sudah dekat juga pernikahannya . Mana mungkin mau di batalkan." Sergah Britney santai. Suaranya besar sekali, Mas Andi yang sepertinya mendengar langsung berdeham gelisah. "Suara lo toa banget sih, dengar itu orangnya. Gue juga gak bilang mau batalkan." Jawabku gusar karena melihat Mas Andi yang sepertinya sudah tidak senyaman tadi. 02310 - 69 "Iya maaf, gue kelepasan. Panas dengarnya tau gak. Itu laki lo sudah ganteng, mapan, baik juga kelihatannya, sayang anak masa lo mau mempertanyakan kembali. Gak salah lo." Timpal Britney lagi. Ahh benar juga perkataan Britney. "Tumben waras lo." Balasku yang kemudian membuat kami tertawa. "Sudah yuk, kita salam dulu deh ya. Kasihan anak gue capek nanti." "Kasihan sama bapaknya juga mbak, jangan pilih kasih." Goda Faley yang hanya membuatku terkekeh. Aku beralih pada Mas Andi dan Tata. Ingin mengambil alih Tata darinya tapi seperti tidak diperkenankan. "Biar saya saja yang gendong Tata. Kamu sama teman-temanmu saja sana." Katanya mengabaikan tanganku yang menggantung. "Kita sudah mau salam sama pengantinnya. Ayuk Mas." Aku mencoba menetralisir keterkejutanku. Setidaknya Mas Andi kini tidak melepas tanganku yang sedang menggandeng lengannya. "Ah kalian datang, gue kira pada enggak mau datang. Kenalkan ini suami gue Mas Raka." Jelas Zahra begitu melihat teman-temannya. Kami hanya bersalam sapa satu persatu sambil mengucapkan nama masing-masing. "Selamat ya Zahra, gue senang lo sudah ada yang jaga." Ucapan Faley yang terdengar sedikit sok peduli. "Selamat ya Ra, jangan lupa yang biasa gue ajari di praktikkan. Pasti mantap pakai b." Ucapan nyeleneh Britney. Aku langsung saja menoyor kepalanya. "Sinting lo, sok mengajari orang. Punya yang halal juga kagak lo." "Apa sih Fir, lo kira gue mengajari apa ke Zahra? Gue cuma mengajari cara bikin sambal terasi yang enak sudah itu saja." Ya kali gue percaya bego. Aku mengabaikannya saja. Sedangkan Zahra yang menjadi pusat hanya terkekeh melihat sahabat-sahabatnya. "Selamat ya Zahra, doain gue bisa lancar kayak lo. Supaya kita sama-sama punya gandengan halal. Beda sama mereka berdua." Ucapku memeluk Zahra. Safira- 70 "Drama banget sih lo berdua." Britney mendecak malas. Tapi aku abaikan. "Oh iya Ra, ini yang mau gue kenalkan. Mas Andi, Mas ini Zahra. Dan ini gadis kecil gue Tata." Mereka saling berjabat dan dapat gue dengar Zahra mengatakan sesuatu pada Mas Andi. "Jaga Safira ya Mas, maklumi juga mulutnya suka kelepasan kalau bicara jadi jangan diambil hati kalau dia bicara aneh." Terang Zahra yang diangguki Mas Andi. Entah Mas Andi mengerti atau tidak perkataan Zahra yang jelas Zahra mengamanatkan diriku pada Mas Andi. Memang Zahra ini adalah sahabat terbaikku. "Saya pasti akan menjaganya." Aku langsung menoleh ke Mas Andi. Wahh tidak disangka jawabannya, padahal aku kira dia sedang marah. seek Setelah berpamitan kami langsung pulang ke rumah. Ke rumahku maksudnya. Saat di perjalanan, keadaan hanya hening mengingat Tata yang kini sedang tertidur. "Kamu... Masih bisa berpikir ulang untuk kedepannya." Tiba-tiba Mas Andi memecah keheningan. "Kedepannya?" "Ya, pernikahan. Sebelum terlambat. Kalau kamu ragu, kita bisa aja batalkan semuanya." Suaranya merendah di akhir kalimat. Aku menatapnya dalam. Menghela napas dan memutar kepala melihat keluar jendela. Hening lagi. "Sudah deh Mas, aku tadi gak serius menanyakan hal itu ke mereka. Aku tulus, untuk Mas, untuk Tata dan untuk kita. Aku siap menghadapi apapun yang akan terjadi di masa depan." Wah ternyata aku bijak juga geng. Gak menyangka bisa bicara gitu. Mas Andi diam, entah merasa bersalah atau masih ada perdebatan di hatinya. Aku memberanikan diri memegang tangannya yang sedang menyetir. Dia menatapku, menatapku P02310- 71 seolah meminta bersama-sama berjuang dengannya. Ya berjuang bersama di masa depan. Untuk rasa yang belum ada. Hanya sekedar nyaman dengan peran yang dimiliki satu sama lain. Kami tiba di halaman rumahku masih pukul tiga sore memang. Aku masih berdiam di dalam mobilnya. "Aku masuk dulu ya Mas." Aku membuka sabuk pengaman di mobil ini yang diikuti juga olehnya. Padahal tadi saat kutanya dia tidak mau mampir terus ngapain ikut-ikutan segala. "Sebentar." Pintanya yang aku turuti saja. Kami duduk dalam keheningan. Mungkin karena hari ini minggu komplek jadi sepi. Rumah juga masih ke tutup enggak tau tuh ada apa enggak Ibu Ayah di dalam. “Awalnya saya pikir ini tindakan bodoh, menikah lagi disaat baru bercerai sekitar 5 bulanan. Sama anak umur 20 tahun yang masih perawan. Kadang saya juga mikir, kenapa sih kamu bisa mau nikah sama duda beranak satu disaat kamu masih sangat-sangat muda-" “Jangan salah-salah, ‘anak umur 20 tahun’ ini sudah bisa buat anak aku elus." Aku memotong pembicaraan. 1...2...3... Astaga apa yang barusan aku bilang? Buat anak? Dasar goblok, singa dikasih mangsa ini namanya. “Ekhm, bukan itu maksud saya. Kamu kebiasaan ya suka motong pembicaraan orang." Mas Andi berdeham. Untung dia sudah jadi bapak orang coba kalau anak ingusan seumuran, sudah dijabanin ini. Eh apa? Anak ingusan? Gak boleh, bukan anak ingusan. Pria seumuran baru benar. Gak pakai anak, remaja, dll. "Ya sudah maap, lanjutin deh." Balasku sambil menunjukkan tanda v di jari telunjuk dan manis. “Sudah gak ada lagi feel nya. Malas saya." Lah. "Ya sudah masuk dulu ya." Sa bodo toh Mas mau feel apa kagak. Safira- 72 Mas Andi mencegat tanganku hingga aku terduduk kembali lalu dia maju dan mendaratkan bibirnya tepat di pelipisku. Aku terdiam saat merasakan bibir lembutnya. "Di sini dulu, saat kita selesai akad pindah kesini lalu..." Dia menyentuh dahiku lembut sebelum akhirnya suaranya merendah dan tangannya turun ke pipi dan berakhir mengusap ujung bibirku pelan. Blush. Maksudnya pelipis dulu baru dahi baru... Tbuuuuu, ada om-om cabul di sini. Hah gila untung Tata bobok ya. Eh. Untung? 02310 - 73, Part 16 Akad Hari ini tepat sehari sebelum pernikahanku, aku sengaja tidak memberi tau kalian, akan panjang ceritanya karena banyak acara adat yang harus dilalui sedangkan kalian pada minta aku nikah. Untuk hari ini aku gak kayak orang-orang lain yang bakalan tidur bareng sahabat menjelang masa lajang yang terlepas. Jadi malam ini setelah semua orang membereskan semua perlengkapan buat besok, mereka semua saudara-saudaraku dan juga Ibu Ayah masuk ke kamar dan tempat istirahat yang sudah di sediakan. Aku berjalan menuju kamar Ibu Ayah. Mengetuk pintunya pelan. "Ibu... Ayah." panggilku. Ibu keluar bertanya kenapa, ada butuh apa, dan segala macamnya. Aku hanya menggeleng. "Fira tidur sama Ibu Ayah ya." Pintaku. Ibu tersenyum memandangku sebelum akhirnya mengangguk menyetujui. Aku bersorak girang langsung memeluk Ibuku. "Fira mau ikut tidur sama Ayah." Kataku begitu tiba di dalam kamar. “Sudah gede kok masih mau tidur sama Ayah, malu dong sama anak." Tata, yang Ayah maksud Tata. "Hahaha, enggak apa-apa dong ya." Jawabku langsung naik ke kasur dan memeluk Ayah diikuti dengan Ibu yang merentangkan tangannya ingin memeluk kami berdua. Safira-74 Aku menelentang, tidur diapit Ibu dan Ayah. Memandang langit-langit kamar yang masih terang dihiasi lampu. Sepertinya tidak ada yang mau tidur duluan. "Anak Ibu sama Ayah sudah besar, besok sudah mau nikah, sudah mau menjadi istri orang, sudah jadi Ibu, sudah memiliki tanggung jawab yang besar..." Kata Ibu memecah keheningan. Ibu memutar badannya menyamping, kemudian mengusap rambutku pelan. "Iya, iya Bu, anak gadis yang biasanya manja sekarang sudah mau di serahkan sama pria lain. Gak jadi anak sayang Ayah lagi." Aku mendengarkan ocehan orang tuaku sebelum akhirnya protes. "Fira bakalan tetap dan selalu sayang sama Ibu, Ayah. Fira. ira sayang banget sama kalian." Tiba-tiba aku tergagap dan tangisanku pun pecah. Aku bingung harus memeluk siapa, kanan atau kiri. Melihat kebingunganku, Ayah dan Ibu mendekat kemudian merengkuhku dengan hangat. "Anak Ayah kok nangis sih, Ayah cuma bercanda. Di sini, di hati Ayah ada Fira sama Ibu yang gak mungkin Ayah lupakan. Walaupun nanti Fira gak sama-sama Ayah Ibu lagi." Tangisku semakin kuat. Ini dia yang selama ini aku pikirkan, jika aku menikah bagaimana dengan orang tuaku? Hanya aku anak yang mereka miliki. "Nanti Fira tinggalnya sama Mas Andi terus Ibu sama Ayah bagaimana?" Tanyaku pada mereka dengan sesenggukan. Ibu yang dari tadi diam ternyata mulai mengusap sudut matanya. Anak satu-satunya akan berpindah tangan, tanggung jawabnya akan diambil alih oleh orang lain. "Tbu kan sama Ayah berdua sayang, nanti Fira juga sering- sering main ke rumah. Ajak Tata biar Ibu gak kesepian." Sepertinya Ibu salah bicara untuk kata terakhir. Tangis gadis semata wayangnya malah makin membesar karena merasa bersalah. "Fira enggak mau ikut Mas Andi, mau sama Ibu Ayah saja." P02310- 75 "Hey, kamu kok ngomong gitu sih Nak. Dengarkan Ayah, kamu sebagai istri harus ikut di mana pun suamimu tinggal. Ibu dulu juga gitu, di mana Ayah di situ Ibu seperti sekarang ini. Lagipula kan rumah Masmu itu besar, kamu bakalan senang kok di sana." Ayah menambah gurauan di akhir kalimatnya. “Berasa dijual masa." Jawabku yang langsung di pukul pelan sama Ayah. "Sembarangan kalau ngomong, kamu kira Ayah ini apa menjual anaknya. Dapat se-peserpun juga nggak, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Bukan masalah harta dia yang banyak, tapi bagaimana dia bisa membahagiakan kamu lebih dari kami. Kamu paham kan?" Tanya Ayah yang aku balas anggukan. "Sudah tangis menangisnya, masa iya manten matanya bengkak. Kan gak lucu, kayak dipaksa aja padahal jelas anaknya mau. Ayuk tidur." Ibu membersihkan wajahku yang tadinya penuh air mata. Dia mengusapnya pelan, tidak tanggung-tanggung segala hidung ikutan dipencet keluar deh itu cairan. Cairan kalau nangis yang di hidung, coba ingat-ingat. Begitulah orang tua, bagaimana pun buruknya tingkah anak, menjijikkan sekalipun dia tetap sayang. Malam ini berakhir dengan kecupan dari Ibu dan Ayah di keningku. Sudah berapa tahun sih ini gak dicium. Sebelum akhirnya menuju alam bawah sadar masing-masing. sek Pagi ini semua orang sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Akad nikah di kediamanku pada tanggal tujuh bulan tujuh 2018 tidak ada definisi yang spesifik sebenarnya tapi boleh juga dibuat. Kami menikah saat umur Tata 7 bulan, umur Mas Andi 27 dan umurku 20(18). Sip, terlalu memaksa. Untuk mas kawin tidak usah repot-repot cukup seperangkat alat shalat dan juga satu set perhiasan senilai 20 gram dan uang tunai 20 juta. Lah umur gue setahun dinilai sejuta segram doang. Mendadak songong. Safira- 76 Selesai mandi, para penata rias masuk ke dalam kamarku yang sebelumnya sudah di rias. Mereka membantuku memakai pakaian akad kemudian mulai menata diriku dengan baik. Make up yang tidak terlalu menor termasuk poin penting untuk hari ini. Setelahnya aku menatap takjub diriku sendiri, tubuhku berbalut pakaian adat jawab-Sunda untuk akad pagi ini. Sebenarnya aku bukan orang Jawa-sunda, karena ini permintaan dari keluarga Mas Andi jadi kami hanya menuruti. Rumah kami pun sudah dihias dengan serba putih, warna putih untuk hari yang sakral. Mas kawin yang tadi aku sebutkan. juga sudah tertata rapi. Kini kami sedang menunggu keluarga Mas Andi. Jika tidak ada keterlambatan akad nikah akan dimulai pukul 10 pagi ini. Tbu masuk ke dalam kamarku. Aku melihatnya dari pantulan cermin. "Anak Ibu cantik banget ya." Ujarnya. Aku tersenyum manis, sangat manis. "Namanya juga anak Ibu, kan Ibunya juga cantik." Balasku. Aku melihat mata Ibu yang berkaca, kenapa jadi mellow terus ini. "Iya anak Ibu pasti cantik, cantik raganya juga hatinya." Tbu mengusap bahuku pelan. “Masmu sudah datang." Lah, kaget saya Ibu. Mendadak tanganku dingin, teman-temanku datang ikut masuk ke kamar. Katanya di bawah Mas Andi sudah siap-siap untuk ijab. Aku semakin deg-degan. Aduh jantung maraton ini. Terdengar suara mic yang mulai diatur. Tbu memandangku sebelum akhirnya menuntunku ke luar. Aku duduk tepat di sebelah Mas Andi. Entah karena dia gugup atau bagaimana, dia bahkan tidak melihat ke arahku. Lalu selendang yang tadinya menutupi kepalaku diarahkan ke kepala Mas Andi juga. Semuanya sudah siap, akad akan dimulai. "Saya nikahkan engkau Andi Putra Bagaskara bin Bagaskara dengan anak saya Safira Rinandani binti Rahmat Prasetyo dengan mas kawin seperangkat alat shalat, perhiasan 20 gram beserta uang tunai 20 juta dibayar tunai!" Aku P02310-77 mendengar suara lantang Ayah yang turun tangan sendiri untuk menikahkan anak gadisnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Safira Rinandani binti Rahmat Prasetyo dengan mas kawin tersebut tunai." Satu kali helaan nafas. Satu kali pelafalan. “Bagaimana saksi? Sah?" "Alhamdulillahirabbillamin." Air mataku menetes, aku sudah menjadi istri orang, aku tidak sendiri lagi terlebih sekarang aku juga punya Tata. Kini aku seorang istri dan seorang Ibu. Aku menerima uluran tangan Mas Andi, mencium tangannya. Lalu dia mengecup keningku lembut. Ini yang dia katakan saat itu, dia akan mengecup keningku setelah ijab kabul. Setelahnya kami bertukar cincin, cincin pilihannya yang sangat menarik hati. Kami menandatangani beberapa berkas terlebih dahulu. Baru sungkeman memohon maaf dan berterima kasih untuk segalanya pada orang tua. Aku berhadapan dengan Ibuku. Orang yang melahirkanku, ketika aku ingin merunduk dia langsung menegakkanku dan memelukku erat. “Safira minta maaf untuk semuanya, untuk Fira yang nakal, gak mau nurut sama Ibu, yang sering jahili Ibu, Fira yang gak mau beresin kamar. Terima kasih sudah lahirkan Fira, sudah jaga Fira, sudah besarkan Fira dengan kasih sayang yang sangat besar. Fira sayang Ibu." Ujarku masih memeluk Ibuku erat. Ibu hanya menangis dan sesekali mengangguk. Kini aku beralih pada Ayah. Ayah yang sedari tadi menatap kami sambil mengusap ujung matanya pelan. “Fira minta maaf sama Ayah, Fira nakal suka minta jajan banyak. Fira juga belum bisa membanggakan Ayah. Besok- besok Fira masih boleh peluk sama cium Ayah kan? Walaupun Fira sudah jadi istri Mas Andi." Ucapku yang malah memancing tawa Ayah. "Kamu lucu tentu saja boleh, jadi istri yang baik ya sayangnya Ayah." Safira-78 Kini aku beralih pada Mamanya Mas Andi. "Terima kasih sudah mau menerima Safira sebagai mantu Mama, padahal Fira cuma gadis umur 20 tahun yang bisa aja masih diragukan. Dan lagi Terima kasih karena sudah mempertemukan Fira dengan Tata." Kataku yang disambut dengan pelukan hangat Mama. "Terima kasih sudah menerima Fira Pa, semoga kita kompak ya Pa sebagai mertua dan menantu. Besok-besok kita perang catur lagi." Selalu ada yang aneh keluar dari mulutku. Waktu itu kami pernah main catur, aku sama Papa dan Papa kalah. Aku mendengar tutur kata Mas Andi. Tidak banyak dan pastinya wajar ya. Pada orang tuaku dia hanya mengatakan, “Terima kasih sudah mau menerima saya sebagai menantu, meskipun saya pernah gagal sebelumnya. Saya akan membahagiakan putri kalian." Sedangkan sama Mama Papanya dia cuma diam sambil salam. Mama Papanya aja yang heboh. Punya laki irit bicara. Kami akan disandingkan sebentar di rumahku, ya hanya sebentar hingga zuhur tiba. Lalu istirahat sebelum malamnya resepsi di salah satu hotel di kota ini. Kata Mama biar sekali aja capeknya, jadi langsung satu hari tuntas. Kami duduk berdua, menunggu tamu yang sedang menikmati hidangan. "Kamu... Cantik." puji Mas Andi. "Bisa aja, Tata mana Mas? Aku gak liat dari tadi." Kataku mengalihkan pembicaraan. "Ttu sama Naya." Tunjuknya. Aku panggil Naya, melihat si gadis kecilku. Aku meminta Tata diletakkan di tengah-tengah kami. Cantiknya kamu naik. Dia tertawa melihatku dengan konde dan bunga-bunga di kepala. Bingung ini pasti, ujung-ujungnya cuma bisa ketawa. Lucu ih. Beberapa dari tamu undangan datang dan mengucapkan selamat sambil bertanya si kecil ini siapa. Aku jawab saja dia anakku. Paling nanti juga tanya lagi ke Ibuku lalu akan dijelaskan oleh Ibu. Biasa mak-mak rempong gitu. 02310 - 79 Teman-temanku datang dan memberi ucapan selamat, aku mewanti-wanti Britney. "Selamat ya Mas, Fir. Semoga kalian jadi keluarga yang samawa berkah amin." Jelas benget siapa yang benar-benar kayak gini. "Iya makasih banyak ya Ra, Mas Raka, sudah datang. Jangan lupa nanti malam." Balasku. Mas Andi hanya membalas dengan sekedar ucapan Terima kasih. "Selamat ya Mas, Fir. Semoga cepat kasih Adek buat Tata. Hahaha." Faley menjadi yang kedua. "Ada-ada aja lo. Cepat menyusul, gue sama Zahra aja sudah." Balasku. Nah ini nih yang satu lagi, bahaya. Britney. "Selamat masbro, mbakbro. Semoga... Ekhm semoga langgeng sampai kakek nenek ya." Lah tumben benar. Saat mereka berjalan turun, Britney berhenti tepat di sampingku, lalu berbisik. "Kalau lo sudah jebol kasih tau gue ya, secara laki lo kan sudah berpengalaman. Biar gue tau harus nikah sama yang pengalaman atau yang sama-sama belajar." "BRITNEY." Sorakku. Mas Andi menatapku ngeri. Tiba- tiba bersorak, untung ini di rumah ya cuma ada saudara sama tetangga. Sedangkan yang aku soraki tadi hanya tertawa terpingkal, Faley dan Zahra hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Britney. Safira - 80 Part 17 Resepsi Setelah selesai sanding menyandingkan, kini aku, Mas Andi dan Tata masuk ke kamar pengantin. Tenang, kami bawa anak kok jadi gak akan ada adegan buat anak. "Saya tau kamu pasti lama mandinya kan? Jadi saya duluan ya, kamu pegangi Tata." Ujar Mas Andi padaku seraya memberikan Tata. "Tau dari mana coba?" "Mayoritas wanita seperti itu." Balasnya. Lah aku kan minoritas gak masuk dong. Biarlah, untung kamarku punya kamar mandi sendiri. Kan kasihan manten harus keluar dulu buat mandi, ketemu orang banyak terus masuk lagi terus manten yang satunya lagi terus anaknya lagi terus orang lain lagi terusssssssssssss saja sampe mampos. Aku duduk tepat di depan kipas, tangan mungil Tata sesekali menggapai-gapai bunga yang ada di kondeku. Untung acaranya sudah selesai jadi gak masalah kalau rusak. "Tarik terus naik, bantu Mommy bukanya." Seruku membuatnya tertawa. Tidak lama Mas Andi keluar dengan celana pendek coklat susu dan kaus polo hitamnya. Memang mandi pilihan yang tepat, cukup gerah walaupun cuma berdiri sebentar. Aku pangling melihatnya, karena selama ini melihat dia hanya dengan setelan kerja celana bahan, kemeja dan jas. Aku tidak mengatakan perutnya enam pack ya, belum kelihatan soalnya kan masih pakai baju. "Besok-besok jangan keseringan di depan kipas ya, kita belum tau bagaimana reaksi tubuh Tata dengan hamparan angin langsung seperti itu. Bisa saja nanti dia masuk angin." Mas Andi menegurku dengan lembut. Aku menganggukkan 02310 - 81 kepala sambil berkata maaf padanya, dia terkekeh dan membantuku membuka konde yang masih terpasang. Setelahnya, aku mengambil pakaian ganti dan berjalan menuju kamar mandi. Aroma harum yang berbeda tercium begitu aku tiba di dalam. Sepertinya Mas Andi membawa beberapa perlengkapannya. Ah ya setidaknya dia harus menyimpan baju di sini agar tidak repot ketika menginap, cerdas juga laki gue. Aku mulai melaksanakan ritualku, tidak lama-lama kan sudah aku katakan kalau aku minoritas. Sekitar 10 menit aku keluar dari kamar mandi dengan celana pendek setengah paha dan baju kaus oblong bertuliskan ‘J love kota gue’. Buat malu gak tuh? Gak dong ya. Aku memandang Mas Andi yang juga tengah memandang ke arahku. Tata sedang menyusu dengan dotnya yang terlihat masih banyak. Aku beralih ke meja rias, mengambil hairdryer, menyalakannya lalu mengarahkan ke rambutku yang basah. Setelah kering, aku memakai bedak bayi yang sudah setia menemani sejak orok. Aku beranjak ikut naik ke atas kasur di mana Mas Andi dan Tata kini tengah berbaring. “Bobok dia Mas?" Tanyaku melihat mata Tata yang setengah terbuka. "Hampir." Balas Mas Andi. Aku beralih pada ponsel pipih keluaran dua tahun lalu milikku. Berbeda dengan Mas Andi yang ponselnya keluaran sebulan yang lalu. Mulai membuka sosial media yang penuh notif ucapan selamat dari beberapa temanku, aku hanya membalas dengan stiker Terima kasih. Capek mengetik satu- satu. Terasa tempat tidur yang sedikit bergoyang, aku mengalihkan pandanganku. Ternyata Mas Andi yang merubah posisi setelah Tata terlelap. Dia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke ponsel. Tapi beberapa detik kemudian terdengar deheman dari Mas Andi. "Ekhm Safira." Panggilnya. Safira - 82 "Ya?" Jawabku santai. "Ingin menjadi istri yang baik?" "Tentu.” "Simpan ponsel kamu saat bersama saya, gunakan hanya jika memang perlu atau setidaknya jangan acuhkan saya." Titahnya yang membuatku tidak percaya. 1...2...3... "Oke." Aku langsung meletakkan ponselku ke nakas. Sebenarnya ini yang tidak enak, kami masih canggung dengan hubungan baru ini. Tapi jika aku menggunakan ponselku tidak akan ada yang memulai apa-apa hanya akan ada keheningan hingga malam tiba. "Istirahat Nak, jangan ngapa-ngapain ingat Tata sama kalian." Teriak Mama dari luar, Mas Andi memandangku sebelum akhirnya mengatakan "Istirahat, sebentar lagi kita akan bersiap untuk resepsi." Mas Andi mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping menghadapku dengan Tata di tengah-tengah kami. Aku mengikutinya, awalnya kami saling memandang sebelum akhirnya terlelap menuju alam bawah sadar masing- masing dengan kipas angin yang berputar-putar. Setidaknya masih sejuk juga lah dikit. ak Pukul empat sore kamarku eh kamar kami digedor-gedor. “Bangun Fira, Andi. Kita mau langsung ke hotel." Aku mengerjapkan mataku mendengar suara Ibu beserta ocehan- ocehannya. Sedangkan Mas Andi masih tertidur lelap, sepertinya dia lelah atau kurang tidur? Aku membuka pintu, Ibu menghentikan gedorannya. “Siap-siap kita ke hotel sekarang. Mertuamu sudah menunggu di sana." Kata ibu padaku. "Iya ini mau siap-siap." Jawabku. Setelahnya Ibu pun kembali ke kamarnya, aku masuk lagi. Aku melihat Tata yang juga belum bangun dan malah posisinya sudah berubah memeluk lengan Mas Andi. Aku berjalan mendekati Mas Andi. 02310 - 83, "Mas... Bangun Mas, sudah disuruh siap-siap ke hotel Mas." Aku mengguncang tubuhnya pelan. Gak tega sebenarnya tapi bagaimana ya? Harus bangun ini masa gagal resepsi kan gak lucu. Mas Andi mulai membuka matanya, dia melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum kikuk. “Jam berapa sekarang?" Tanya Mas Andi. "Em... Pukul 16.15." Aku melirik jam yang ada di dinding kamarku. "Kamu mandi duluan sana." Suruhnya. Aku menatapnya bingung, tadi katanya cewek mandinya lama _sekarang menyuruh duluan. "Saya tau kamu mandinya mandi bebek jadi cepat." Dari tadi ‘saya tau' terus sotoy banget ini si bapak. Ya sudah sih ya, malas berdebat aku langsung saja menuju kamar mandi dan melakukan ritual ‘mandi bebek'. Sedangkan Mas Andi? Lanjut tidur bok. Setelah kami bersiap-siap. Kini kami sudah berada di mobil perjalanan menuju hotel tempat resepsi. Aku dan Mas Andi duduk di belakang sambil memangku Tata. Karena Mas Andi yang sedang tidak ingin menyetir jadi pakai sopir deh. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke bahuku. “Biarkan kayak gini dulu, saya tidak tidur semalaman." Ujarnya mulai memejamkan mata. “Siapa juga yang menyuruh gak tidur." Gumamku pelan. “Walaupun ini yang kedua tetap saja saya gugup bahkan melebihi yang pertama." sek Kami sedang berada di dalam salah satu kamar di hotel ini. Aku dan Mas Andi sudah siap untuk turun. Aku dengan gaun panjang berwarna peach lengkap dengan tiara berwarna silver dan tataan mutiara di atasnya sedang duduk dengan anggun menutupi kegugupan yang melanda. Bagaimana jika nanti terjatuh karena menginjak gaunku sendiri? Malu dong. Safira - 84 Sedangkan Mas Andi sudah lengkap dengan setelan jas abu-abunya hanya duduk diam di sebelahku tanpa berniat memulai obrolan. Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Kami hanya tinggal menunggu untuk di panggil saja untuk turun dan berjalan ke ballroom. Aku melirik Mas Andi sekilas, dia tampak tenang. Ahh tanganku dingin. Aku merasakan tangan hangat yang mulai menggenggam tanganku. Aku menatap ke arahnya. "Gak perlu gugup." Ujarnya lembut. “Ayo naik turun." Mama masuk bersama Ibu ke kamar yang tadi kami tempati. Mas Andi berdiri kemudian aku mengikutinya, menarik napas dalam kemudian menggandeng Jengan Mas Andi. Kami turun menuju ballroom, berjalan dengan anggun hingga tiba tepat di depan pintu besar yang terlihat megah setelah dihias dengan bunga-bunga yang cantik. Setelah mendengar aba-aba, kami masuk ke dalam ballroom. Semua pandang mata beralih pada aku dan Mas Andi. Aku semakin gugup tapi tetap mencoba tersenyum dengan manis. Setelahnya kami diarahkan ke pelaminan, lagi-lagi bersanding. Capek tau gak di pajang gini. Di kiri dan kanan ada orang tuaku dan juga orang tua Mas Andi. Tata sedang bersama Naya dan juga teman-temanku. Ingat aku mengatakan kami akan mencari baju untuk mereka? Batal semuanya batal, Ibu tidak memperbolehkan jadi terpaksa kami beli online. Sepertinya bagus juga, mereka terlihat cantik. Kenapa biru? Kok bukan peach juga? Karena mereka yang mau, ya aku mah nurut aja. Sedangkan Naya menggunakan dress selutut berwarna peach, senada dengan kami semua. Kayaknya di atas lutut deh, di pendekin lagi sama ini anak? Enggak tau Mama sudah marah-marah apa sama dia kalau pakai yang pendek-pendek gitu, besok-besok di ceramahi ini. Kasih siraman rohani. 02310 - 85 Aku sebenarnya ingin berkeliling, tapi baju yang panjang gini membuatku sulit untuk berjalan. Makanya kami sedari tadi hanya duduk tegak di pelaminan. Pukul 8.00 malam. Aku bersiap untuk acara pelemparan bunga. Kami berbalik membelakangi para tamu yang sudah berdiri mendekati panggung. Aku melihat ke belakang sebentar, mencari posisi Faley dan Britney. Ah bertindak tidak sportif tidak masalahkan? Kan ini bungaku terserah dong mau lempar ke mana. 123 Bunga dilempar. Hap. Semuanya riuh, aku berbalik. Ternyata bunganya ditangkap Britney, tapi naasnya Britney malah terjatuh Menghimpit tubuh seorang pria. Semuanya bertepuk tangan riuh, aku memandang prihatin ke temanku yang satu ini. Blingsatan sih, kalau gak bisa dapati enggak usah maksa kali. Percaya deh kalau dia diem di posisinya terus terima aja kalau gak dapet pasti gak bakalan jatuh. Aku melirik Mas Andi yang menatap mereka juga dengan prihatin. "Kamu kenal cowoknya Mas?" Tanyaku. "Klien sekaligus teman saya." “Masih jomblo? Mukanya tuan dia loh Mas dari kamu ya walaupun tetap aja ganteng." Balasku. "Kamu memuji pria lain di hadapan suamimu sendiri Safira." Jawabnya yang membuatku langsung menutup mulut rapat. "Maaf, hehe muji doang Mas ya iya lah." "Dia memang lebih tua dari saya." Aku manggut-manggut paham. Semoga mereka berjodoh ya. Amin. Kini jam menunjukkan pukul 9.45 malam. Beberapa tamu sudah mulai pulang, inilah untungnya jika membuat pesta malam hari. Paling lama hanya sampai pukul sebelas dan kali ini sedikit lebih cepat, aku rasa pukul sepuluh kami sudah bisa ke kamar. Safira- 86 Aku mulai gelisah dengan kakiku. "Kamu capek?" Tanya Mas Andi. “Hn, sakit kakinya karena pakai heels dari tadi." Balasku. “Lepaskan saja." "Enggak mau, nanti aku kelihatan pendek." "Siapa peduli?” Benar juga, aku sudah akan melepaskan sepatuku. Tapi teman-temanku datang menghampiri. Mereka belum pulang, katanya tadi makanan masih banyak. Mungkin sekarang baru akan pulang. "Kami pamit ya, hati-hati perih." Hah? Apaan coba Faley, kayak tau aja. "Perih pala lo ke jedot." Jawabku malas. "Gue juga pulang ya Fir, Mas. Kasihan Mas Raka sudah capek dari tadi." "Iya makasih ya Ra, Mas Raka." Jawabku membalas jabatan tangan dari Mas Raka yang lagi-lagi mengucapkan selamat. Aku menatap bingung ke arah Britney yang seperti orang gila. Tersenyum, menyerngit, tersenyum, menyerngit. "Kenapa itu anak?" "Oh kesensem sama yang jatuh sama dia tadi, tapi malu juga karena kejadian itu. Katanya dia habis banyak makan, pasti berat deh itu badan." Jelas Faley. Aku manggut-manggut. “Woy, sadar lo ikan asin." Faley menggeplak kepala Britney kasar. Astaga teman gue gini amat ya. "Om-om yang gue impit tadi siapa Fir?" Tanya Britney begitu sadar. "Temannya Mas Andi," balasku. Tenang kalau kalian bertanya Mas Andi mana? Maka akan aku jelaskan, sekarang Mas Andi sedang berbincang bersama Mas Raka, suami Zahra. Mungkin nyambung kali ya, padahal tadi sudah pamit tapi ketahan karena Britney. "Ya sudah deh pulang lo sana semua, kaki gue pegal benget sumpah." Aku mengusir mereka. Sungguh hanya mereka yang tersisa. Aku lelah dan butuh tidur. 02310 - 87 "Cie yang mau malam pertama." Goda Faley. "Pulang kalian sialan!" Balasku dengan umpatan yang ternyata terdengar oleh Mas Andi. “Ekhm, perhatikan kata-katamu Safira." Suaranya berat dan dingin sangat mengintimidasi. “Maaf." Aku mengalihkan tatapan ke arah temanku yang sudah menahan tawa. Safira- 88 Part 18 Malam Pertama? Akhirnya kami tiba di kamar hotel, aku benar-benar lelah. Malam ini Tata tidak bersama kami, melainkan bersama Mama dan Papanya Mas Andi. Mungkin mereka tidak ingin mengganggu istirahat kami setelah seharian melalui acara pernikahan yang sangat melelahkan ini. Aku duduk bersandar di sofa, Mas Andi baru masuk mulai mengunci pintu. Lalu dia duduk di sebelahku. "Siapa yang mau mandi duluan?" Tanyaku padanya. "Saya." "Jangan deh, nanti aku rematik kalau mandi kemalaman. Duluan ya Mas." Aku berlari ke kamar mandi, meninggalkan Mas Andi yang cengo. Mungkin dia sedang merutuk dalam hati. ‘Lah kenapa tanya kalau memutuskan sendiri' Tenang-tenang, jangan membayangkan aku setelah masuk kamar mandi bakalan keluar lagi terus minta membukakan kaitan baju di belakang. Salah besar, coba diingat-ingat bajuku ini belakangnya kebuka cukup lebar kan. Jadi, tinggal putar tangan tarik deh kaitannya siap. Gak boleh manja! Aku mulai membersihkan make up kemudian seluruh tubuhku. Seperti biasa, hanya sekitar 20 menit waktu berlalu. Aku keluar menggunakan bathrobe putih yang disediakan hotel. Kalau ada yang tebak aku lupa bawa baju ke kamar mandi benar. Aku melihat Mas Andi yang sedang menutup mata. Tidur apa bagaimana itu? "Mas, mandi sana." Mas Andi bangun menatapku sebentar lalu berdiri langsung ke kamar mandi. 02310 - 89 "Mas." panggilku lagi. Dia membuka pintu kamar mandi yang hampir ditutupnya. “Jangan keluar tanpa izin aku ya, aku mau pakai baju." Ujarku tidak ada malu-malunya. Ya bagaimana, nunggu dia Jama. Keburu masuk angin, mending jujur aja deh. Kalau aku pakai baju duluan, kasian dianya kelamaan nunggu. Jangan ada yang tebak lagi kalau isi koper aku sudah ganti sama baju tidur transparan ataupun lingerie dkk. Karena, gak ada yang begituan. Aku meraih baju tidur berwarna hitam dengan motif ceri. Dengan cepat aku memakainya, cemas-cemas Mas Andi keluar terus lihat anak perawan lagi pakai baju. Setelahnya aku menuju meja rias yang sebelumnya sudah aku letakkan beberapa skin care bawaanku yang memang biasa aku pakai. Mulai membersihkan wajah, kemudian beberapa cream. Ada lagi jangan lupa pakai deodorant. Aku menyisir rambutku yang sebelumnya bergelombang indah kini hanya lurus seperti biasa. Setelahnya aku berlalu melihat bagian barang bawaan Mas Andi. Ada ekhm underwear, singlet, celana pendek, dan juga baju kaus polo berwarna hitam dan putih. Karena aku tidak tau bagaimana kebiasaannya memakai baju di malam hari, apakah dipakai semua atau tidak jadi aku memilih untuk tidak menyiapkannya. Aku beralih duduk Kembali ke sofa dan memainkan ponselku. "Safira... Saya sudah bisa keluar?" Teriak Mas Andi dari kamar mandi. "Bisa Mas, keluar saja." Mas Andi keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Aku masih sibuk dengan ponselku, memperhatikan beberapa postingan teman-temanku di Instagram. Postingan saat acara resepsi tadi. Tanpa sadar ternyata Mas Andi sudah mengenakan celana pendeknya. Dia menarik ponselku, aku terkejut, sungguh. "Tadi siang saya bilang apa Safira?" Tanyanya dingin. Safira - 90 "Cuma lihat postingan teman aja kok Mas. Itu pun yang di nikahan kita." Aku menjelaskan. Mas Andi diam, ku pun ikut diam. Ponselku masih bersamanya. Dia mengambil baju kaus hitamnya lalu duduk di kasur. Aku masih dalam keadaan duduk di sofa tadi, ponselku bersamanya. Dan kini dia sedang menggunakan ponsel juga. Apa-apaan ini?! "Katanya gak boleh main ponsel kalau lagi berdua, taunya dia yang mainin." Gerutuku kesal. "Saya hanya mengecek pekerjaan. Tidak suka diabaikan benar?" Aku menangguk. Mas Andi menepuk sisi kasur di sebelahnya. "Sini." Ujarnya. Aku mendekat, mau bilang gak deg-degan tapi bohong. Mau bilang biasa aja tapi bohong. Aduh. Aku naik ke atas kasur dengan pelan. Mungkin sangat pelan. Mas Andi menarik lenganku agar lebih cepat, benar saja aku langsung mendarat di bawah keteknya. "Mas pakai deodorant kan tadi?!" tanyaku heboh begitu mendarat. "Tidak penting. Mau pakai atau tidak saya tetap wangi" Balasnya. Aku memberanikan diri melingkarkan lenganku di pinggangnya. Menyandar dengan nyaman, mencium aromanya yang benar-benar harum. Jika tidak ada yang memulai, maka akan terus ada jarak di antara kami. Walaupun cuma hal-hal kecil, tapi setidaknya akan selalu ada perkembangan hingga dia menjadi besar. Kami hanya diam menikmati, Mas Andi mengusap-usap Jenganku perlahan. Lalu satu kecupan mendarat tepat di dahiku. Aku berdebar, sungguh. "Ingin tidur sekarang?" Tanyanya. Aku yang terlalu gugup hanya menganggukkan kepala. Dia merubah posisinya dari duduk bersandar di kepala kasur menjadi rebahan. Dia kembali menepuk sisi sebelahnya, menyuruhku kembali ke posisi tadi. 02310 - 91. Aku menurutinya, mencari posisi yang pas lalu memeluk tubuhnya yang juga membalas pelukanku. Dia mengusap punggungku pelan. “Selamat tidur, Safira." "Selamat tidur juga, Mas." sek Pagi harinya aku bangun lebih dulu, ingat bukan kalau Mas Andi kemarin kurang tidur. Jadi aku tidak tega untuk membangunkannya. Kini aku sudah selesai mandi, berganti baju dengan dress santai berwarna cream dengan motif bunga berwarna biru gelap. Pintu kamar terdengar diketuk, aku beralih untuk membukanya. Ternyata mama. "Mama check out duluan ya Nak, Andi pasti belum bangun kan?" "Iya Ma katanya kurang tidur kemarin. Tata bagaimana Ma?" Tanyaku. "Mama bawa, Mama pulang dulu ya." Balasnya. Aku mencium punggung tangan mama, lalu menutup pintu setelah Mama pergi. Aku memandang Mas Andi yang masih tertidur, ingin mengambil ponsel sebenarnya tapi sepertinya memandanginya lebih baik. Dia... Terlihat tampan. “Mama sudah pulang?" Tanyanya tiba-tiba dengan mata tertutup. “Astagfirullah. Bangun sejak kapan?" Astaga kaget. "Baru, saat Mama mengetuk pintu." Jawabnya mulai membuka mata. Dia merenggangkan kedua tangannya. Aku memandangnya penuh minat. Walaupun badannya tidak terlalu bagus, tidak ada kotak 6 di perutnya tapi lengannya cukup berotot. "Saya boleh minta tolong?” Aku melihat ke arahnya yang sudah tiba di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang tersampirkan di bahu. "Minta tolong apa?” Tanyaku. Safira - 92 "Tolong ambilkan baju saya, hanya baju dan celana panjang. Mungkin kamu masih bingung, tapi belajarlah. Semua akan membaik seiring berjalannya waktu." Aku mengangguk paham. Ketika dia sudah menghilang dibalik pintu kamar mandi, aku langsung melihat barang bawaannya. Ada celana hitam dan coklat susu, kaus polo hitam dan putih. Hanya itu-itu saja. Lalu aku putuskan mengambil kaus polo hitam dan celana coklat susu. Lalu, meletakkannya di atas kasur. Setelahnya aku beralih ke meja rias, mulai memoles wajahku dengan BB cream, bedak, lalu mempoles bibir dengan lipstick tipis berwarna bibir. Selesai, tidak ribet karena kami hanya akan berakhir di rumah membereskan barang-barangku. Mas Andi keluar dengan handuk yang terlilit di pinggang, aku melihatnya sejenak. Tadi malam aku katakan badannya biasa saja kan? Ternyata tidak terlalu biasa. Meskipun kotak enam tidak terlalu membentuk, tapi aku masih bisa melihat garis-garisnya yang menyebabkan dadanya terlihat sangat bidang. Ah dada itu tempatku bersandar kemarin, yang menyebabkan tidurku menjadi sangat nyenyak. "Ada yang salah?" Tanya Mas Andi membuyarkan Jamunanku. "Apa?" "Kamu memperhatikan saya sebegitunya, ada yang salah?" Tanyanya lagi. "Ah, tidak. Tidak ada." Mas Andi hanya mengangkat bahunya, lalu memilih mengambil pakaian yang aku sediakan tadi dan masuk kembali ke kamar mandi. ek Kini kami sedang dalam perjalanan ke rumahku. Iya, setelah sarapan tadi kami langsung check out dari hotel. Aku butuh mengambil beberapa barang-barangku. Dengan tentunya masih disopiri karena dia malas membawa mobil. Kami tiba di rumahku, masih ramai. Sepertinya sanak saudara masih berkumpul. 02310 - 93, "Eh pengantin baru datang." Heboh Pak’cik Indra begitu kami tiba. *pak'cik= sebutan untuk paman. Mak'cik= bibi. Uncu= Om dan lain sebagainya. Pak'cik Sofyan ini adalah abangnya Ibuku. Dia kesini bersama istrinya yaitu Mak'cik Safa. Sedangkan ada lagi adik Ibu, aku memanggilnya uncu Indra. Dia masih muda, anak bungsu. Umurnya baru 32 tahun. Belum menikah. Ada yang mau? Tenang, kalian gak bakal dikasih makan cinta kok. Dia seorang kontraktor. "Eh iya Cik, kami mau ambil barang Fira." Kataku menjelaskan. "Oh, mari duduk sini dulu. Berkumpul same kite ini." Ajak Pak'cik. Mas Andi menuruti ikut duduk bersama keluargaku, sedangkan aku disuruhnya untuk berkemas saja. Oh iya sebelumnya aku tidak mengatakan bukan kalau keluargaku keturunan melayu, ya walaupun tidak melayu asli. Keluarga Ibuku hanya tiga bersaudara, pak'cik Sofyan yang akhirnya menikah dengan orang melayu asli sehingga memilih tinggal di bumi melayu, kemudian Ibuku yang menikah dengan Ayah dari keturunan jawab. Kemudian uncu Indra yang sedang berjuang mencari jodoh di daerah yang sama dengan yang kami tinggali. Jadi kalau ada kesalahan dalam penjelasan mohon dimaafkan ye. Aku melihat semua barang-barangku, baiklah pusing. Mari mulai dari meja rias. Aku mengemasi semuanya dalam tas khusus, karena hanya ini yang ku punya jadi aku harus membawa semuanya. Memasukkannya secara perlahan, aku takut mereka rusak ataupun pecah. Butuh perjuangan untuk membeli kosmetik ini, aku harus rela menahan belanja sebulan hanya untuk membeli foundation. Lalu terus berlanjut untuk kawan-kawannya. Pintu kamar terbuka, aku menoleh melihat Mas Andi yang masuk. Safira-94 "Tidak usah membawa semua baju, yang penting-penting saja. Mama sudah menyiapkan juga baju-baju untuk kamu di rumah saya." Jelas Mas Andi. "Ta-tapi kenapa harus beli lagi? Bajuku masih banyak kok Mas." Aku segan, sungguh. "Kata Mama biar kamu tidak susah jika ingin menginap di sini.” Aku mengangguk paham. Aku meraih koper yang ada di sudut dinding, mengambil baju kuliah dan beberapa baju kesayanganku lalu buku-buku kuliahku saat ini lalu memasukkannya ke koper. Tidak muat, Ya kali buku dimasukkan ke koper bakal muat. Terpaksa aku turun dan mengambil kardus indomie lalu memasukkan bukuku ke sana. Sudah siap. Ah malam ini aku tidak lagi tidur di sini. Aku melihat bonekaku, tidak bisa ditinggali ini. "Mas aku bawa ya?" Tanyaku padanya. Mereka telah berjasa menemaniku tidur sendiri di kamar ini. Mas Andi menganggukkan kepalanya. Aku bersorak riang. "Kita berangkat sekarang?” Tanyanya padaku. "Tya." ek Kami tiba di rumah Mas Andi, walaupun sebelumnya aku sudah pernah ke sini tapi tetap saja ada rasa yang berbeda karena hari ini tujuanku kemari adalah untuk menetap di sini bersamanya. Mas Andi membawaku ke lantai dua, awalnya aku mengira kamarnya adalah kamar yang pernah aku masuki sebelumnya tapi ternyata tidak. "Sebelah sini Safira, sebenarnya kamar utama ada di sini. Namun sebelum ada kamu, saya memilih kamar Tata untuk istirahat." Jelasnya sambil berjalan menuju pintu berwarna hitam. Mungkin dia tidak ingin terkenang dengan mantan istrinya. Mungkin saja. Mas Andi membuka pintunya, mempersilahkanku masuk. Aku tercengang, kamarnya suram. Hitam semua gini. 02310 - 95 Mungkin Mas Andi melihat ekspresi wajahku yang sedikit berubah. "Kamu bisa mendekornya kapanpun kamu mau." Tawarnya padaku. Aku mengulas senyum. "Oke." Kataku sumringah. Ku lihat dia tersenyum tipis, sangat sedikit. Mungkin dia masih canggung denganku, entahlah. Aku melangkah masuk, ada ruangan bertuliskan walk in closet. Aku masuk ke dalamnya, seketika aku menganga. Maklum norak. Ada baju dan sepatu wanita di sini. Punya mantan istrinya kah? “Semua pakaian dan sepatu wanita baru dibeli oleh Mama. Tidak ada satu pun yang bekas mantan istri saya. Kamu jangan khawatir." Aku kaget, tiba-tiba mendengar suara Mas Andi. Aku menoleh ke arahnya, dia punya kekuatan cenayang? Kok bisa tau. "Hm... Makasih Mas" Ujarku malu-malu mau. “Saya hanya menjelaskan. Berterima kasihlah pada Mama, walaupun belinya pakai duit saya." Safira - 96 Part 19 Menjadi Istri dan Ibu Malam ini pun sama, tidak ada Tata bersama kami. Awalnya aku dan Mas Andi ingin menjemputnya namun dilarang oleh Mama. Katanya ‘Nikmatin aja dulu waktu berdua.' Yah terpaksa menurut saja. Aku sedang duduk bermalas-malasan di depan TV. Mas Andi tadi izin ke ruang kerjanya sebentar untuk memeriksa beberapa file. Ah perutku keroncongan. Aku berjalan ke arah kulkas. Keadaan kulkas kini bahkan lebih parah sejak saat terakhir kali aku ke sini. Kosong melompong. Tidak ada apapun. Ah salah, masih ada sekotak ice cream, teh pucuk wangi, dan... Tidak ada lagi. Hah, seharusnya kami belanja tadi sore. "Kamu lapar?" Terdengar suara Mas Andi. Tanpa menoleh ke arahnya aku mengangguk. Aku mengambil kotak ice cream yang ada di kulkas tadi. Lalu mengambil sendok dan mulai menyuapnya. Mas Andi hanya diam memperhatikanku. Gak pakai izin dong ya main makan aja. Aku mengarahkan satu suapan ke mulutnya yang di terima dengan mata masih melihatku. "Gak apa-apa kan kalau ice cream-nya aku makan?" Tanyaku merasa seolah ada yang salah dengan diriku. “Ayo pesan makanan. Kamu mau makan apa?" Tanyanya balik. Aku tampak berpikir. Tapi belum sempat memutuskan dia lebih dulu memotong. "Ganti baju kamu, kita keluar cari 02310 - 97 makan sambil jalan-jalan." Aku mengangguk dengan semangat. Langsung menuju kamar dan melupakan ice cream tadi. Mungkin ini yang dinamakan pacaran setelah menikah. ak Kami sedari tadi masih di dalam mobil, berkeliling kota dengan melihat-lihat keramaian yang ada. Jangan nyanyi! "Mas kita mau makan di mana sih? Sudah lapar banget sumpah." Aku memelas padanya. Karena sedari tadi dia tidak bertanya dan tidak pula memutuskan. Aku segan juga kalau ingin meminta ke sana-sini. "Ehm... Kamu mau makan apa?" Akhirnya dia bertanya. “Makan apa aja deh Mas, yang penting perut keisi.” Jawabku malas. “Maaf" balasnya singkat. Sebenarnya tidak ada yang salah. Mungkin memang kami saja yang masih canggung ketika berdua. Aku hanya mengangguk singkat. Sepuluh menit kemudian mobil ini akhirnya berhenti. Berhenti di salah satu restoran yang cukup padat pengunjung. “Rame Mas." Kataku setelah melihat tempat ini. "Tidak masalah." Balasnya langsung turun dari mobil. Tungguin atuh Mas suami. Aku mengikutinya. Pelayan bertanya apa dia sudah reservasi tempat, tapi Mas Andi hanya menjawab dengan namanya. Langsung dibawa masuk dan diarahkan ke salah satu meja kosong yang ada. "Mas tadi ditanya reservasi? Memangnya sudah?" tanyaku penasaran. Dia menggeleng. "Tempat ini punya teman saya, jadi saya dan teman yang lainnya cukup memberitahu nama saja mereka akan paham dan menyediakan tempat." Jelasnya rinci yang aku angguki tanda paham. “Kamu mau pesan apa?" "Gak tahu." Balasku. Sebab aku belum pernah ke tempat ini sekalipun. Jadi ya gak tau mau mesan apa. Safira- 98 "Mau saya pilihkan?" Ini dia yang di tunggu pak bos. Aku mengangguk dengan semangat. Lalu membisikkan "Jangan yang aneh-aneh ya Mas." Dia mengangguk dan tersenyum tipis. Memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan kami. Aku mengambil ponselku dan mulai memainkannya. "Ehm, sangat penting Safira?" Tanya Mas Andi. Ah ya tidak boleh bermain ponsel saat bersamanya. “Hanya Naya yang mengirimi pesan jika Tata rewel." Balasku langsung menyimpan ponsel ke dalam tas. "Nanti kita jemput." Aku mengangguk paham. Jujur, aku tidak keberatan dengan peraturannya yang tidak memperbolehkan main ponsel kecuali penting. Karena jika tidak begitu, tidak akan ada waktu untuk saling mengenal dan memahami. Kalian tau aku juga termasuk penggila ponsel yang akan lupa waktu. So anggap saja perubahan menjadi lebih baik. Makanan kami datang. Aku menatapnya dengan lapar. Sungguh perutku keroncong. "Ini...-" Aku merasa kenal dengan menu yang satu ini. "Mushroom Risotto." Jawabnya. Ah iya aku pernah melihat risotto di Master Chef. Tapi saat itu warnanya hijau, mungkin karena ini pakai jamur kali ya. Aku meraih sendok kemudian mencicipinya. Not bad, masih lebih enak nasi Padang atau bubur ayamlah kira-kira. Aku melihat menu Mas Andi, dia hanya memesan pasta sepertinya. "Mau coba?" Tawarnya. Aku mengangguk singkat. Dia mengarahkan sesendok penuh ke arah mulutku. Aku tertegun. Bukan karena mulutku yang tidak muat, tapi dia yang memilih menyuapiku. Ah malu. Aku melahap satu sendok penuhnya. Lebih enak yang ini. Kan jadi ingin. "Ini Fettucini Alfredo. Kamu kurang suka Risotto?" Aku sebenarnya malas mengakui. Tapi ini bagi aku emang aneh, teksturnya tidak seperti bubur juga tidak seperti nasi. Jadi, aku mengangguk saja. 02310 - 99 Tanpa disangka, Mas Andi mengarahkan piringnya padaku. Lalu dia mengambil makananku. “Makan punya saya saja." "Eh!!" gak tolak dong. Aku mulai makan dengan lahap. ek Kami tiba di rumah orang tuanya Mas Andi. Yang kemudian disambut dengan sangat heboh. Ya! Tadi setelah makan kami langsung bergegas karena Tata yang katanya rewel. Tapi sepertinya mama tidak tau kalau sebenarnya Naya sudah melaporkan keadaan saat ini kepadaku. "Kenapa kesini? Aduh pengantin baru berdua aja dulu. Mumpung libur, kalian juga belum ada rencana bulan madu kan? Ya sudah sekarang aja menikmati." Heboh mama setelah memelukku sejenak. Mas Andi yang malas mendengar ocehan mama langsung saja duduk di sebelah papanya. "Tata mana Pa?" Tanyanya singkat. "Sama adikmu." Balas Papa. "NAYA BAWA SINI ANAK ABANG!" Teriak Mas Andi. Aku kaget, Mama Papanya juga kaget. Tapi kagetku berbeda, pasalnya aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Aku lihat Naya keluar dari kamar Mama dan Papa dengan tergesa-gesa sambil menggendong Tata. "Enggak usah teriak gitu bisa gak sih? Kebiasaan banget, gak malu dilihat istri!" Naya mengoceh dengan kesal. Pasalnya abangnya ini jika sudah berteriak seperti itu maka anaknya harus segera tiba dalam kurun waktu dua menit. Jika tidak, siap-siap jatah belanja bulanan dari abang akan menghilang, begitu katanya ketika keesokan harinya aku tanyakan. Tata berpindah ke pangkuan Mas Andi. Aku yang juga semangat melihat si gadis kecilku langsung duduk tepat di samping mereka. "Ih anak Mommy mukanya merah, matanya bengkak." Ujarku melihat wajahnya, matanya kembali berkaca melihatku. Aku langsung meraihnya dalam pelukanku lalu mengusap rambutnya pelan. Safira - 100 "Mommy sudah di sini loh sayang, jangan nangis lagi dong." Kataku menenangkannya. "Tumben banget loh dia gini, dulu Andi keluar kota sampai seminggu pun dia gak masalah. Tapi tadi rewel banget, terus kalian datang itu baru diam sama Naya di kamar." Jelas Mama. "Naya ini pasti, kamu apain anak abang?" Tanya Mas Andi. “Lah aku? Sudah syukur anak abang mau tenang sama aku, eh malah aku yang di salahkan." Naya mencibir. "Sudahlah, kalian berantem terus kerjanya." Akhirnya Papa menengahi. Aku menepuk-nepuk Tata sedari tadi, dan ternyata dia tertidur. "Mas, kita pulang?" tanyaku. "Mau pulang atau di sini aja?" Lah dia balik tanya. "Terserah Mas saja." Kataku pelan. "Ma, aku pulang ya." Ujar Mas Andi. Mama menatapnya tajam, sepertinya akan heboh. "Ya sudah pulang aja. Ingat anak ya! Jangan terlalu berisik, kalau Tatanya ke bangun kan susah. Jadi kalau main tenang saja." Ya ampun pesannya. Kami pamit, tidak memperdulikan kata-kata Mama tadi. Hari yang cukup melelahkan. ak Aku sedang membersihkan wajahku dengan sabun pencuci wajah dan air bersih yang mengalir. Harga toner dkk mahal, jadi sejak orok pakai yang begini aja. Setelahnya aku keluar kamar, melihat Mas Andi yang berbaring menghadap Tata sambil memainkan tangan anaknya. "Ganti baju dulu Mas." Ujarku padanya. Yang langsung menuruti. Aku mengambilkan baju tidurnya. Lalu mengecek ponsel sebentar. Masih sama, tidak ada apa-apa selain pesan heboh dari tiga orang sahabatku yang hanya bertanya ‘Bagaimana malam pertamanya?' malas banget. Mas Andi keluar dari kamar mandi, _ setelah membersihkan wajahnya. Rambutnya sedikit basah, 02310 - 101 tampannya. Dia mengambil baju tadi lalu kembali lagi ke kamar mandi. Kalau kami sudah terbiasa dia bisa saja ganti baju langsung bukan pikiranku. Aku meletakkan ponselku di nakas. Takutnya dia keburu keluar terus mengomel lagi. Ya walaupun satu dua kalimat gak bisa dibilang mengomel juga kayaknya. Dia keluar dari kamar mandi. Merebahkan diri di kasur sebelah kanan. Dengan Tata di tengah kami. Aku menghadap Tata yang otomatis juga menghadap ke arahnya. "Kamu libur sampai kapan?" Tanyanya padaku. "Rabu sudah ada jam kuliah sih sebenarnya. Tapi kemarin mintanya sampai minggu depan." Kataku padanya. "Kalau gitu rabu kamu masuk aja ya. Maaf kita belum bisa Honeymoon. Saya pikir lebih baik saat kamu liburan semester saja. Sebentar lagi bukan?" “Iya sekitar satu bulan lagi" Honeymoon? Rasanya kurang cocok untuk kami. “Tidur Safira" Aku tidak membalas perkataannya dan memilih memejamkan mata. Entahlah, aku hanya belum terbiasa dan aku rasa itu terlalu formal. Kami hanya ingin tidur bukan? Mungkin ini hanya pendapatku saja. eK Pukul 05.56 WIB. Aku terbangun, mentari pagi sudah terpancar dari balik gorden. Aku melihat pandangan di depanku. Mas Andi dan Tata yang masih terlelap. Sangat indah. Aku tidak tau kapan Tata berubah posisi menjadi dalam pelukan Mas Andi. Mungkin dia sempat terbangun tapi akunya aja yang kebo kali ya jadi enggak tau. Aku beranjak dari kasur dengan pelan, menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Mengganti baju dengan celana pendek dan salah satu kaus kesayanganku. Ingin tau kini tulisannya apa? Welcome to kota saya. Mantap gak tuh? Aku turun menuju dapur berniat ingin memasak. Betapa bodohnya memang, sudah jelas tidak ada bahan makanan. Tapi Safira - 102 bersyukurlah masih ada roti tawar, margarin, susu, dan juga ice cream kemarin. Aku memanggang roti tawar yang sudah diolesi margarin. Setelahnya menuangkan susu ke dalam gelas lalu meletakkan dua potong roti bakar di atas piring. Lalu memindahkannya ke meja makan. Aku ke atas sejenak untuk membangunkan Mas Andi. "Mas, bangun yuk. Aku buat roti bakar." Aku mengguncang tubuhnya pelan. Tidak tanggung-tanggung bukan hanya Mas Andi yang terbangun tapi Tata pun juga. Aku meraih Tata dalam gendonganku. Lalu menarik tangan Mas Andi kuat menuju kamar mandi. Lucunya Tata tidak merengek ketika bangun. Aku menyalakan air panas sejenak berencana memandikan Tata. Tenang kini aku sudah di kamar Tata, Mas Andi sedang mandi di kamar mandi yang ada di kamar kami. Aku mengambil semacam sarung tangan yang digunakan untuk mengelap bayi. Ya aku sadar ini terlalu pagi, kasihan kalau di mandikan. Jadi aku hanya mengelap seluruh badannya. Setelahnya, aku membalut seluruh badan Tata dengan handuk yang tersedia di sana. Lalu merebahkannya di kasur dan memasangkan beberapa cream yang dia punya. Bahkan produk kecantikan Tata lebih banyak dariku. Aku hanya menggunakan yang tersedia, membaca petunjuknya. Selesai. Melihat isi lemari si gadis kecil ini, dan mencari baju santai yang tidak akan membuatnya gerah, susah bergerak, intinya nyaman lah ya. Satu hal yang ingin aku pertanyakan setelah sekian kali melihat lemarinya. Mengapa baju kausnya rata-rata tulisannya ‘Daddy princess’, "Best daddy’ gak ada gitu tulisan Mommy? Baiklah, akan aku hemat uang jajan minggu depan dan beli baju yang pakai tulisan Mommy. Setelah kami selesai, aku langsung menuju meja makan dengan tata di gendonganku. Aku melihat Mas Andi yang sudah santai di ruang keluarga. "Ayok Mas." Ajakku. 02310 - 103 Aku mendudukkan Tata di kursinya. Lalu bergegas ke belakang untuk mengambil ice cream lalu mengambil dua sendok untuk setiap piring. "Cuma ini yang ada di kulkas. Nanti belanja ya Mas?" Ajakku yang dibalas anggukan. "Bisa buatkan saya kopi?" tanyanya. “Tapi aku sudah menyiapkan susu." Aku menunjuk ke arah gelas susu yang tadi sudah aku sediakan. "Saya minum juga, itu pun kalau kamu gak keberatan." Aku mengangguk paham, sepertinya kopi adalah kebiasaan setiap paginya. Aku balik ke dapur membuatkan kopi Mas Andi sekalian dengan makanan Tata. Hanya ada bubur instan rasa pisang, tidak apalah. Aku menyeduhnya dengan menambahkan dua sendok susu bubuk. Aku pernah melihat sepupuku membuat makanan bayinya dulu jadi aku hanya mengikuti. Naluri. Setelahnya aku membawa kopi dan bubur tadi ke meja makan. Kami makan dalam diam, Mas Andi sepertinya tidak berniat membuka suara sedangkan aku lebih memilih sibuk dengan menyuapi Tata lalu bergantian menyuapi diriku sendiri. Hah ternyata begini rasanya menjadi istri sekaligus Ibu. Bahkan aku belum merasakan mengandung dan melahirkan. ek Safira - 104 Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah lagi setelah menyandang status baru, istri orang. Karena jadwal kuliah hari ini pagi, jadi terpaksa aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan lalu sedikit bersih-bersih rumah yang syukurnya tidak terlalu kotor. Hanya berantakan. Hanya. Dan syukurnya lagi kami sudah berbelanja untuk persiapan seminggu ke depan. Aku bersyukur untuk yang satu ini karena jika tidak kami hanya akan berakhir dengan sepiring nasi putih dan telur dadar di pagi hari ini. Mas Andi tadi mengantarku terlebih dahulu ke kantor sebelum menitipkan Tata pada mamanya. Sebenarnya sudah aku katakan aku tidak perlu diantar segala, karena bisa saja aku pergi dengan gojek. Tapi Mas Andi menolak. "Biar saya antar Safira!" dengan aura dingin tidak ingin dibantah. Ya sudah turuti saja, toh sekalian hemat jajan. Saat mobilnya tiba di kampus, satu menit sebelum aku turun dia menyodorkan sebuah kartu. Bukan kartu nama, bukan kartu pelajar apalagi kartu tanda penduduk. Kartu yang mungkin debit? Atau kredit? Entahlah. "Kamu bisa pakai yang ini dulu untuk belanja sebelum saya buatkan yang atas nama kamu sendiri. Pinnya ulang tahun Tata." Ujarnya. Aku mengambilnya, melihat sekilas lalu mengembalikannya lagi. "Enggak mau, susah kalau jajan pakai itu." Jawabku kelewat polos. Yaiyalah, ribet tau gak kalau mau beli gorengan aja harus gesek menggesek dulu. 02310 - 105 "Terus? Kamu gak mau belanja?" Balasnya dengan alis terangkat bingung. "Ya sudah kamu kasih aku duit jajan." Kataku menadahkan tangan. Mas Andi membuka dompetnya lagi, bingung ingin memberiku berapa. Saat tangannya mulai menghitung beberapa lembar uang kertas aku pun bersuara. "Yang merah itu aja satu, kalau mau kasih bonus tambah satu lagi." Kataku malas memperpanjang waktu. Bisa telat ini cuma karena duit jajan yang gak sampai. Akhirnya dia menurutiku memberikan dua lembar seratus ribuan. Aku meraih telapak tangannya untuk salim, pamit mau cari ilmu. Bohong kalau aku tidak mau dapat jajan lebih. Siapa coba yang enggak mau? Coba jujur di sini. Cuma namanya juga sudah suami istri, duit suami duit istri. Toh sekarang cuma ke kampus doang. sek Kini, aku dan tiga orang sahabat sedang berkumpul di kantin. Kenapa mereka semua hanya bertanya tentang 'malam pertama’. Oh tidak, Zahra tidak bertanya. Aku maklum, karena mungkin dia sudah merasakannya. “Cepat dong ceritain. Lo mah gak asyik." Seru Britney dari tadi. Camkan itu sedari tadi. "Lo gak mau cerita atau lo belum merasakan ?" Skak mati. Faley memang perasa. Sepertinya dia bisa membaca ekspresi gue yang bingung mau jawab apa karena gak tau sama sekali. ”Ekhm, lo tanya Zahra aja dia kan juga sudah nikah." Aku menghindar dari pertanyaannya. "Zahra sudah biasa. Lo yang luar biasa, laki lo berpengalaman. Laki Zahra mah baru sama-sama _belajar." Britney menceletuk pedas. "Lo gak tau kalau cowok mau perjaka sekalipun itu punya insting soal begituan?" Ya kali ini Zahra ikutan. "Sttt, gue ini dalam rangka pencarian jodoh. Butuh referensi." Elak Britney. Safira - 106 Faley menatapku lagi. "Lo belum pernah diapa-apain kan sama laki lo? Jujur! Laki lo kok bisa tahan sih, jangan-jangan jajan di luar." Dia bertanya, dia menjawab. "Bisa aja karena kami baru kenal kali Fal, lo jangan negatif gitu lah." Balasku. Ada-ada saja dia, bikin parno tau gak. Kan ketahuan lo, akhirnya jujur kan lo kalau belum nananina." Heboh Britney. Sumpah bikin malu. Ini kantin woy. "Bisa santai gak sih itu mulut lo. Ngapa gak pakai toa sekalian? Hah?" "Kita harus beli sesuatu buat lo- "Lingerie. Lo punya duit kan? Kita bantu pilih aja, yang bayar tetap lo." Tanya Britney kampret. Zahra sedari tadi diam saja dengan ponsel di tangannya yang sedari tadi berbunyi tanda chat masuk. Ting. Kini ponselku yang berbunyi. Mas Suami “Hubungi saya jika sudah pulang, nanti saya jemput.” Begitu katanya. "Lo ada duit gak Fir?" Tanya Faley mengulangi Britney. "Nggak." Jawabku yang juga malas membeli kain tipis yang gak guna itu. "Loh kok bisa? Padahal laki lo kaya." Britney kepo banget sih. "Yang kaya kan dia, bukan gue." "Iya juga ya." Aku malas menghadapi teman yang ‘tidak waras'. Jadi aku meminta Mas Andi untuk menjemputku sekarang, pas kira-kira jam makan siang kantor. Jadi aku rasa tidak akan merepotkan. Mereka masih mendebat hal yang tidak penting. Zahra juga katanya sebentar lagi di jemput. Jadi tinggallah kalian para jomblo karatan. "Entar ini lo di rumah buat gestur semenggoda mungkin..." Emang nikah cuma buat nananina? Ingin banget gue gampar mulut mereka satu persatu. 02310 - 107 "Gue pulang." Kataku begitu melihat pesan dari Mas Andi. Aku langsung pergi tanpa peduli dengan mereka yang masih memanggilku. Bodo guys bodo. ek "Sudah makan siang?" Tanya Mas Andi membuka pembicaraan. "Belum" Ujarku. "Kita beli makan siang dulu tidak apa kan? Tapi dibungkus, kerjaan saya masih banyak. Kamu ikut aja, nanti istirahat di kantor saya." Tawaran yang bagus, aku mengangguk singkat. Mas Andi berhenti di salah satu Restoran Nusantara yang cukup ramai. Dia bertanya aku ingin makan apa, sudah pasti masakan padang akan menjadi idola di siang hari. Aku menunggu di mobil. Mas Andi datang sepuluh menit kemudian dengan satu kantong yang berisi dua bungkus nasi di dalamnya. Aku sumringah. Tanpa banyak bicara, Mas Andi menjalankan mobilnya kembali menuju ke kantornya. ek "Kamu masuk duluan, saya mau parkir mobil dulu." Perintahnya ketika berhenti tepat di depan lobby. Aku juga tidak tau mengapa harus menurunkan ku di sini, kan bisa aja kami jalan sama-sama dari tempat parkir. Aneh. Dan lagi, aku tidak tau ruangannya di mana? Terus aku harus apa? “Ada yang bisa dibantu mbak?" Tanya resepsionis dengan ramah. "Saya mau ke ruangan Mas-eh Pak Andi mbak" “Mohon maaf mbak sudah membuat janji? Jika mengantar makanan anda bisa meletakkannya di sini atau menunggu saja karena beliau sedang tidak di tempat." Dia mengiraku pengantar makanan? Manusia sekece ini dikira pengantar makanan? Ya kali. "Tapi mbak saya bukan-" "Dia istri saya." Safira - 108 Baru saja aku ingin mengatakan kalau aku bukan pengantar makanan tapi sudah di potong oleh Mas Andi. Jadi suka mendengar kata ‘istri' dari bibirnya. Resepsionis tadi cengo. Orang yang di sekitaran juga. Pasalnya hanya beberapa yang diundang dari kantor Mas Andi saat kami menikah makanya mereka tidak tau siapa sosok nyonya Andi itu saat ini. "Mm... -mmaaf Pak, Bu." Resepsionis tadi menunduk takut. "Tidak masalah, anda hanya tidak tau. Mulai saat ini dia bebas berkeliaran di kantor saya. Dan tolong suruh OB mengantarkan perlengkapan makan ke ruangan saya. Terima kasih." siapa yang mau keliaran coba?! Dan satu lagi poin penting dari Mas Andi. Kata 'Terima kasih’ yang selalu terucap. Dia menarik tanganku, jalan bersisian dengannya. Aku hanya menurut mengikutinya menuju lift. "Kenapa tidak langsung bilang saja tadi?" Tanya Mas Andi begitu pintu lift tertutup. "Bilang apa?" "Kamu istri saya.” "Tadi kan sudah mau bilang, tapi keburu kamu potong kan." Mas Andi mengangguk paham. Bunyi berdenting terdengar tanda kami sudah tiba di lantai 10. Gedung ini hanya anak cabang dari perusahaan pusat yang masih di kelola Papa. Iya dia bekerja sebagai manager di sini. Dan aku rasa itu hanya formalitas saja karena akhirnya dia juga yang akan mengelola ini semua, ya ampun mimpi apa aku bisa menikah dengannya. Ya sebelumnya aku tidak mengetahui apapun tentangnya. Hanya sekedar mereka kenal dekat dengan orang tuaku lalu aku di jodohkan. Tidak juga sebenarnya karena tidak ada unsur paksaan di sini. Kami memasuki ruangannya, sebelumnya aku melihat seorang gadis dengan pakaian sopan yang mungkin sekretarisnya. Terdapat papan nama bertuliskan Nina Permata. 02310 - 109 Padahal aku mengira sekretarisnya bakalan tante-tante kurbel. Syukurnya nggak. "Tadi itu sekretaris kamu Mas?" tanyaku memastikan. "Iya, duduk dulu saya ambilkan minum." Untuk minum, memang tersedia di ruangannya. Aku duduk di sofa hitam yang sangat empuk. Ruangan ini cukup besar, dengan satu meja kerja dan satu set sofa. Ada juga lemari yang memuat berkas dan mini bar beserta kulkas mini. Ini ruangan sekalian ngerangkap rumah kali ya. “Dulu waktu masih bujangan saya emang sering tidak pulang." Jelasnya. Aku mengangguk singkat. Terdengar ketukan pintu, seorang OB masuk dengan dua piring dan sendok di tangannya. "Ini Pak, ada yang lain?" Tawarnya. "Tidak, Terima kasih." OB tadi langsung meninggalkan ruangan. Mas Andi membuka jas yang masih membalut tubuhnya, kemudian menyingsingkan lengan baju hingga ke siku. Pemandangan indah macam apa ini. Lalu dia duduk di depanku. Mengambil bungkusan nasi kemudian membukanya di atas piring. Ah ternyata itu milikku. Dia meletakkannya tepat ke depan ku. "Makan." "Iya, kamu juga." Dia melakukan hal yang sama. Aku menyuap dengan lahap, nasi Padang memang nikmat. Tidak ada tandingannya. "Makannya pelan-pelan." Katanya menyodorkan minum yang tadi dia ambil. Padahal kan aku gak tersedak. "Minum tidak perlu tunggu tersedak dulu kan?" Ah iya paham, aku mengambil gelas dari tangannya dan meminumnya seteguk. Lalu melanjutkan makan lagi. Aku selesai beberapa menit kemudian, Mas andi pun sama. Aku membereskan sisa sampah tadi. Lalu membuangnya ke tong sampah. Selesai, sekarang mau ngapain? Enggak tau. Mas Andi menuju meja kerjanya, mulai menyalakan laptop kemudian mengambil beberapa berkas. Terus aku Safira - 110 ngapain? Enggak tau. Aku masih tegak diam dekat tong sampah sambil mikir mau ngapain. "Kamu ngapain masih di sana?" Tanya Mas Andi begitu perhatiannya teralih. "Hah?! Enggak tau." Aku berjalan menuju sofa. "Mas, boleh main ponsel gak?" Tanyaku. "Boleh." Jawabnya singkat. Aku mengotak-atik ponsel, buka Instagram, buka youtube, buka twitter, main hago, dll samapi bosan. Baru lima menit berlalu sejak aku diperbolehkan main ponsel. Dan sekarang rasanya ingin bertanya 'mas kapan pulang sih?' tapi segan karena dia sedang bekerja. Terus ngapain bawa aku kesini? Enggak tau. Enggak tau semuanya enggak tau. "Mas aku keluar ya." Akhirnya hanya kata-kata ini yang terucap. Di sini ada kantin kan ya, mending juga nongkrong di sana ditemani teh pucuk enak ni. "Tunggu." Katanya menghentikanku yang bodohnya belum di iyakan tapi sudah jalan. Dia menekan salah satu tombol di telepon kantor lalu sekretarisnya masuk. “Nin, tolong kamu temani istri saya. Bisa?" "Baik, Pak." Jawabnya menurut. "Mari, Bu." Tambahnya. "Tadi di bawah katanya boleh keliaran, sekarang ditemani. Bagaimana sih?!" Cibirku pelan. "Jaga-jaga siapa tau kamu tersesat." Ck, sombong. Sementang kantornya gede. Aku menghentakkan kaki kesal, pasalnya aku dan dia belum saling kenal. Dan aku selalu bingung bagaimana berkenalan dengan baik. Mas Andi hanya menggeleng melihatku yang sedang kesal. Aku melihatnya dari sudut mataku yang masih meliriknya sinis. P02310- 111 Aku berjalan keluar dengan Nina di belakangku. Hingga tiba di lift, aku tidak tau harus menekan angka mana untuk menuju kantin. Pasalnya aku tidak tau kantin di lantai berapa. "Ingin ke mana Bu?" Tanya Nina sangat formal. "Kantin." Jawabku singkat. Dia menekan tombol 3. Hening lagi. Hingga bunyi berdenting dari lift, kami masih diam- diaman. Hanya Nina yang bersuara menunjukkan arah yang benar. Hingga tiba di kantin, aku langsung menuju lemari es yang tersedia mengambil teh pucuk dua lalu membayarnya. Aku melihat Nina yang sudah mengisi satu meja kosong, aku berjalan ke tempatnya. "Ini, buat kamu." Aku menyerahkan teh pucuk tadi. “Terima kasih Bu." Lama-lama muak juga dengar 'Bu' di sini. "Kayaknya saya belum bisa dipanggil ‘Ibu' deh." kataku membuka pembicaraan. “Tapi kamu istri atasan saya." Jelasnya. "Iya, santai aja...-" “Panggil Nina saja." "Tidak masalah meski kamu lebih tua dari saya?" Tanyaku bimbang. "Emang saya lebih tua ya?" Tanyanya. “Terus umur kamu sekarang berapa 19 atau malah 17?" Balasku sedikit sarkas. "Hah?\" "Soalnya saya masih 20 jadi kalau kamu lebih muda berarti belasan kan?" Jelasku. "Hah iya, tidak masalah panggil Nina saja." jawabnya. "Kamu juga panggil saya Safira, tanpa embel-embel bus" Pintaku. “Baiklah" Hening lagi. Safira - 112

You might also like