Part 01
Perjodohan?
Aku berjalan dengan gontai ke arah kamarku setelah
melihat keadaan rumah yang cukup sepi. Menghidupkan kipas
angin dan berbaring di kasur yang selama ini aku anggap paling
empuk di rumahku. Aku anak tunggal dari pasangan suami istri
Rahmat dan Rani. Kehidupan kami biasa saja, tidak berlebih
ataupun kekurangan.
Terdengar Ibu mengetuk pintu kamarku pelan sambil
memanggilku untuk keluar dan duduk berkumpul bersama
Ayah di ruang keluarga.
"Safira, keluar Nak Ayah sudah tungguin kamu itu."
"Iya, Bu." Aku berjalan keluar kamar, menghampiri Ibu
dan Ayahku.
Lalu bertanya "Ada apa, Yah?"
"Kamu sudah besar kan? Sudah mau 20 tahun. Ayah
hanya memiliki sebuah permintaan dan mungkin itu bisa
menjadi hadiah ulang tahunmu."
Aku menatap Ibu bingung, tapi Ibu hanya
menganggukkan kepalanya seolah berkata tidak masalah. Ada
apa dengan Ayahku? "Sebenarnya ada apa ya, Yah?"
"Tidak ada apa-apa, nanti malam ada tamu. Kamu siap-
siap ya, dandan yang cantik."
Alhasil aku hanya mengangguk pelan, Ayah tidak pernah
bisa dibantah. Satu satunya jalan hanya mematuhi. Aku masuk
ke dalam kamar, melirik jam dinding sebentar. Ah pukul 4 sore,
itu tandanya sebentar lagi. Aku memutuskan mandi sebentar di
kamar mandiku. Kamar mandi tanpa bathub ataupun shower
PO2310-1jadi jangan salah sangka kalau aku akan berendam dengan
damai untuk menenangkan pikiran ya.
Setelahnya kulirik kembali jam dindingku, hanya 15
menit terlewat. Kuputuskan untuk mengeringkan rambutku
sejenak kemudian merebahkan badanku dengan harapan yang
akan terjadi nanti akan baik-baik saja.
ek
Ttok ttok
"Ra, siap-siap nak sebentar lagi tamunya datang."
Berulang-ulang Ibu mengatakan itu. Tidurku pun terusik, aku
bangun dan mulai mengganti bajuku dengan dress selutut
berwarna Navy. Merapikan rambutku lalu memoles bedak dan
sedikit pewarna bibir yang tidak mencolok.
Wah ternyata aku bisa terlihat cantik juga. Lalu terdengar
suara mesin mobil dari luar, hah mobil? Siapa itu? Aku
mengintip di balik kaca jendela. Mobil mewah? Bagaimana
Ayah dan Ibu bisa mengenal mereka?
Saat aku masih bergelut dengan pikiranku, Ibu
mengajakku keluar dari kamar. Dan kemudian aku melihat dua
orang tua yang sebaya Ayah dan Ibu lalu seorang pria
berperawakan tinggi, tidak tampan namun memiliki wajah
yang manis, aku rasa. Dan ada lagi, bayi? Aku melihat seorang
bayi perempuan berusia sekitar lima atau enam bulan mungkin.
Sangat cantik.
Aku bersalaman dengan mereka satu persatu lalu Ayah
memperkenalkan mereka kepadaku. "Safira ini teman Ayah
namanya Pak Bagas dan istrinya Buk Aulia lalu itu putra
sulungnya Andi dan anaknya Naftalena."
"Wah seperti nama senyawa kimia.” Itulah yang terpikir
olehku.
“Memang nama senyawa." Pria bernama Andi itu
menyahuti.
"Hah lya. Lucu sekali bayinya, umur berapa sih kamu
Nafta?" Aku tertawa canggung mendengar pengakuannya.
Safira -2"Enam bulan tujuh belas hari, kamu bisa panggil dia
Tata." Sahut Andi lagi sambil menggendong Tata dan
mengarahkannya padaku.
Aku menerima dengan senang hati, Tata menggeliat
dalam pelukanku seolah mencari tempat yang nyaman untuk
mulai tertidur. Padahal tadi gadis kecil ini masih asyik dengan
mainannya.
Aku menatap bingung ke arah Andi. "Mungkin dia ingin
tidur." Ah, aku mengerti. Aku tepuk bokongnya sesekali agar
dia lebih cepat terlelap. Dan ternyata benar tidak lama
setelahnya Tata tertidur pulas di pelukannya.
Perhatian orang tua mulai teralih ketika tak mendengar
lagi anak-anaknya berbicara. "Kalian sudah cocok ya jadi
keluarga.” Ujar Bu Aulia, Mamanya Andi dengan riang.
"Nggak kok Tante." Elakku merasa malu.
“Niat kami kemari memang untuk itu Safira." Suara berat
dari Pak Bagas terdengar.
"Hah maksudnya Om?" Aku terkejut sungguh, bahkan
sangat. Aku tau Tata ini anaknya Andi, lalu apa maksudnya ini?
“Andi memang sudah pernah menikah dan pernikahan itu
gagal. Saat Tata lahir, Ibunya pergi meninggalkannya." Mama
Andi mulai menjelaskan.
“Meninggal?" Gumamku pelan.
"Bukan, tapi pergi dengan laki-laki lain dan semua impian
dia." Kali ini Andi yang menjawab. Kulihat raut wajahnya
menegang, seolah sangat membenci orang yang sekarang
sedang dibahasnya.
"Oke, jadi maksud yang tadi?"
Hening sejenak hingga Ayah buka suara. "Ini yang Ayah
maksud permintaan sekaligus kado untuk kamu. Kamu akan
menikah dengan Andi."
Aku terdiam lalu mulai merasa kebingungan. Jadi kado
ulang tahunku suami berserta anak gitu?! "Tapi bagaimana bisa?
Safira bahkan belum genap 20 tahun, Yah."
02310 - 3“Bulan depan kamu genap 20 tahun dan bulan depan juga
akan dilangsungkan pernikahan." Final, kata Ayah dengan
pasti.
Aku masih diam, hingga Ibuku akhirnya berbicara. "Lihat
Tata nak, bayi yang kamu peluk. Dia butuh kamu dan Andi.
Andi tidak mungkin bisa menjadi Ayah tunggal dan dia juga
butuh istri."
Aku pandangi wajah gadis mungil yang sedang
meringkuk di pelukanku. Tangannya kini memegang erat
beberapa bagian bajuku yang dapat dia genggam. Dan aku
menitikkan air mata.
“Jika dia tidak mau kalian tidak perlu memaksanya."
Suara Andi menginterupsi. Tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa
menolaknya. Hatiku sudah jatuh sangat dalam pada Tata. Aku
menyayanginya. Dan apa boleh buat, aku pikir ini yang terbaik.
“Aku mau.”
Safira -4Part 02
Keputusanku
“Aku mau."
Aku memberanikan diri untuk mengatakan itu, membuat
Bu Aulia menghambur memelukku. Untungnya Andi dengan
cekatan mengambil Tata yang masih terlelap dalam pelukanku.
"Terima kasih sayang, Terima kasih. Mama sangat
berterima kasih sama kamu." Aku membalas pelukannya.
Kulihat Pak Bagas, Ibu dan Ayahku tersenyum bangga padaku.
Ah inilah akhir masa lajangku. Menikah dengan duda beranak
satu.
Setelahnya kami bertukar kontak dan mulai menyantap
makan malam yang sudah disediakan Ibuku. Tata? Dia kini
sudah dipindahkan ke kamarku. Aku harap dia tidak akan
digigiti nyamuk ataupun merasa panas.
Setelah makan malam, orang tua masih sIbuk berbincang.
Kami berdua memutuskan untuk keluar sebentar, tidak ada
taman di sekitar rumah. Namun setidaknya lantai terasku
cukup bersih untuk diduduki.
Aku mulai duduk di lantai. Duduk bersila, lalu menepuk
Jantai sebelahku agar dia ikut duduk.
"Aku harus memanggil kamu apa?" Aku mulai
pembicaraan yang memang sedikit membuatku bingung.
"Terserah kamu saja, mana yang nyaman tapi jangan
panggil nama saya di depan Mama atau kamu bakal dimarahi"
Aku mulai merasa tidak nyaman karena dress ini
membuat sulit ketika duduk lesehan seperti ini. Kemudian dia
menanggalkan jasnya dan memberikannya padaku.
“Tutupi pahamu."
02310 -5"Terima kasih Mas Andi" sebenarnya aku bingung juga,
mengapa dia terlalu formal sampai menggunakan jas hanya
untuk ke rumahku? Bodolah.
Dia menoleh ketika aku memanggilnya 'Mas'. "Not bad,"
balasnya singkat.
“Mas umur berapa?" Setidaknya aku harus tahu umurnya,
siapa tahu dia sudah tua walaupun muka muda kan harus
antisipasi juga.
"27 tahun, saya menikah umur 24. Bisa dikatakan
menikah muda." Beda 7 tahun dong sama aku. Ya sudah gak
masalah juga toh sudah diiyakan tadi.
"Kamu benaran mau menikah dengan saya? Dengan
tanggung jawab Tata juga?" Kini dia bertanya.
“Aku pikir kalau memang ini yang terbaik apa salahnya,
toh masih ada satu bulan lagi. Jika ini memang bukan jalan kita,
bisa saja semuanya batal. Aku cuma mengikuti takdir."
Hening. Kami sama-sama diam, hingga aku mendengar
suara tangisan bayi-Tata- aku beranjak dari dudukku
mengembalikan jas Mas Andi dan berjalan dengan cepat ke
kamar untuk menemui Tata.
Sesampainya aku dikamar, kulihat dia sedang
menggenggam selimutnya kuat sambil terisak. Ah kasihan.
Aku meraihnya ke gendonganku menepuk pelan
punggungnya lalu mengusap kepalanya. Tangisnya sudah
mulai reda. Lalu terdengar ketukan pintu. "Masuk saja."
Kulihat Mas Andi masuk dengan botol susu formula
ditangannya. Membiarkan pintu tetap terbuka lalu dia
menyerahkan botol susu itu padaku. Aku memasukkannya
pada mulut Tata dan membantunya untuk memegang botol
yang masih sulit untuk dipegangnya.
Mas Andi duduk di sebelahku, mengusap kepala Tata
pelan lalu menghapus sisa-sisa air mata Tata.
"Selama enam bulan ini dia gak tau bagaimana kasih
sayang Mamanya." Jelasnya yang dapat aku pahami.
“Mulai sekarang Tata bakalan terus dapat kasih sayang
Mama iya kan nak. Mama atau Bunda ya? Atau Mami? Mas
Safira-6dia memanggil kamu apa?" tanyaku tidak tahu malu. Aku harus
memilih panggilan yang bagus untukku dari calon anakku.
"Kamu kelihatan banget ABG labilnya. Dia memanggil
saya Daddy." Jawabnya sambil menghinaku.
"Biarkan saja namanya juga calon Mama muda, oke Tata
panggil Mommy ya." Kataku dan dapat kulihat senyuman Tata
saat masih mengompeng dotnya.
"Kamu kuliah semester berapa sekarang?"
“Empat, di fakultas Ekonomi." Aku menjawab sekaligus
agar dia tidak susah bertanya lagi.
Ah iya ada yang tidak aku tau, apa pekerjaannya?
Seharusnya aku tanyakan tapi nanti aku dianggap matre karena
bertanya pekerjaannya terus nanti dikira lagi hitung-hitung gaji
dia.
"Saya bekerja sebagai manager perusahaan.” Begitu dia
menyebutkan pekerjaan dan nama perusahaannya mataku
membulat tanda aku terkejut. Dia orang berada. Ah iya lupa
tadi kan mobilnya juga mobil mewah.
"Ternyata kamu tidak tau apa-apa." Responnya melihat
ekspresiku.
"Boro-boro bakal tau, kenal aja baru tadi. Ya kan Tata
sayang?" Tanyaku pada Tata yang tidak mengerti apa-apa. Aku
melihat mulutnya berlepotan susu, aku usap sisa-sisa susu dari
mulutnya dengan tanganku lalu aku usap kembali jariku ke
baju Mas Andi. Entahlah kenapa aku seberani ini.
"Kamu jail ya." Lalu Mas Andi mencubit pipiku.
“Aw sakit Mas, ih Tata Daddy cubiti Mommy." aduku
pada Tata yang ternyata sudah mulai terlelap kembali. Mudah
sekali gadis mungil ini tertidur.
Aku menoleh saat mendengar suara dari depan pintu
kamar. "Kalian tidak sabaran ya, sudah main di kamar aja."
tegur Mamanya Andi.
"Th enggak Ma, ini Tata tadi ke bangun." Elakku dengan
cepat. Aku sudah mengikuti panggilan Mas Andi 'Mama dan
Papa' begitu pula dengan dia.
"Sudah malam, yuk kita pulang Ma, Ndi." Ajak Pak Bagas.
02310 -7Mas Andi mengambil Tata dari pelukanku dan beranjak
keluar mengikuti orang tuanya dan orang tuaku.
“Aku masih mau sama Tata." Gumamku pelan. Mas Andi
berbalik.
"Besok kamu bisa mengunjunginya di rumah saya,
bukankah besok hari minggu? Saya ada di rumah bersama
Tata."
Mataku berbinar "Sungguh? Kirimkan alamat Mas, aku
akan ke sana"
Mas Andi mengangguk lalu menggerakkan tangan Tata
kiri kanan, kebetulan Tata sudah bangun saat digendong tadi.
"Bye Mommy." Ujarnya pelan.
"Bye Tata and... Daddy." Balasku berani, yang aku
pikirkan hanya bagaimana menciptakan hubungan ini menjadi
hubungan yang benar-benar kami inginkan bukan paksaan.
Safira-8Part 03
Minggu
Pagi ini setelah berlari keliling kompleks aku benar-benar
bersiap untuk ke rumah Mas Andi dan Tata. Tadi setelah
menghubunginya aku diminta langsung saja ke rumahnya dan
dia juga sudah mengirimkan alamat rumahnya.
Jadilah pagi ini berbekal nasi goreng buatan Ibu aku
berangkat ke rumah Mas Andi dengan ojol yang sudah dipesan.
Sesampainya di alamat yang Mas Andi kirim, kukira aku
salah alamat. Tapi saat aku menelepon Mas Andi, dia berkata
tunggu saja di depan. Tidak lama kemudian pintu pagar terbuka
menampakkan sosok Mas Andi dengan baju kaus polonya dan
celana pendek. Terlihat sangat santai.
Rumahnya sangat besar terlihat dari luar dan saat aku
masuk ke dalamnya mendadak aku menjadi orang kampung.
Rumah ini sangat megah dan mewah.
"Rumah ini pembangunannya dibantu dengan papa, jadi
gak semuanya saya yang mengusahakan." Seolah mengerti
yang aku pikirkan.
Aku mengikutinya, meletakkan bawaanku di meja makan.
Kemudian berjalan ke lantai dua. Kamar. Itulah yang terlihat,
dia mulai membuka pintu kamarnya. Terlihatlah seorang bayi
mungil yang sedang tertidur di atas ranjang.
"Lihat Tata sebentar, saya mau menyiapkan air
mandinya." Titahnya yang aku balas dengan anggukan. Aku
berjalan ke atas ranjang di mana Tata berada. Memotret
posenya saat ini dan mengupdate ke akun sosial media milikku.
Safira_fira annyeong baby gurl
3 comments
02310 -9Azzahrall Omg cutes baby
Britney_ anak siapa yang lo culik? Balikin ke bapaknye
Faley_Nata ih lucu parah, anak siapa tu woi
Safira_fira jelas lah kiyut, kan anak gue @azzahral1
@britney_ @faley_nata
Setelah membalas komentar, aku kembali memusatkan
diri pada Tata. Ikut naik ke atas ranjang dan mulai menoel pipi
anak kesayanganku ini. Awalnya dia biasa saja namun
setelahnya Tata menangis karena merasa tidurnya terganggu.
"Yes bangun," dengan cepat kuraih dia ke gendonganku
dan kutenangkan seperti tadi malam, tangisnya mulai mereda
dan bapaknya kemudian tiba-tiba muncul.
"Kenapa? Kok nangis?" Tanyanya panik.
"Hehe gak kenapa-kenapa, cuma aku foe aja pipinya terus
ke bangun." Balasku sambil menyengir dan menunjukkan
jariku yang berbentuk V tanda berdamai.
"Ya sudah berikan, biar saya mandikan dia dulu." Aku
memberikan Tata padanya. Mengikutinya dan melihat Mas
Andi yang lihai saat memandikan Tata.
“Daripada di sini mending kamu carikan bajunya di lemari
sana." Perintahnya yang lagi-lagi kuturuti.
Membuka lemari melihat berbagai macam baju lalu
menetapkan pilihanku.
Aku menatap puas dengan apa yang kupilih, tidak lama
setelahnya Tata sudah selesai mandi. Aku mengambilnya dan
mendudukkannya di atas ranjang.
Lalu dengan cepat aku mengambil bedak, minyak telon,
minyak rambut, parfum, dan segala kebutuhannya. Mulai
membuka baju mandinya dan memasangkan satu persatu
kebutuhannya yang sudah aku pelajari lalu memakaikan baju
yang sudah kupilih. "Sangat cantik."
ek
Andi POV
Aku terus memperhatikannya, bagaimana dia ketika
datang tadi hingga kini dia yang sedang mengurusi putri
kecilku. Mungkin aku belum memperkenalkan diri, namaku
Safira-10Andi Putra Bagaskara. Seorang Ayah tunggal berumur 27
tahun yang akan menikahi gadis berumur 20 tahun.
Awalnya semua ini di luar keinginanku, aku hanya
memikirkan Tata dan permintaan orang tuaku. Tapi sejak tadi
malam hingga kini aku tersentuh dengannya, dia yang terlihat
sangat bergembira bersama Tata tanpa memperdulikan Tata
bukan darah dagingnya.
"Ehm Mas aku sudah selesai nih, lihat cantik kan Tata?"
Tanya Safira padaku sambil memperlihatkan gadis mungilku
yang sudah cantik.
"Iya." Balasku dengan senyuman tipis, tanda aku bangga
padanya.
"Yaiyalah siapa dulu Mommynya." Ini yang kusukai
darinya, dia akan bersenang hati mengungkapkan kalau dia
adalah Mommynya Tata.
"Sudah waktunya Tata makan." Aku mengambil Tata dari
gendongannya dan mulai berjalan menuruni tangga menuju
dapur. Jika hari libur seperti ini, tidak ada pembantu di
rumahku. Jadi aku mengurusi segalanya sendiri.
Safira berjalan di belakangku, mengikutiku dan Tata,
hingga saat aku terhenti dia hampir menabrakku jika dia tidak
cekatan.
“Pegang Tata dulu, saya mau masakin nasi tim untuk dia."
Safira menyambut Tata dengan sukarela, lalu berjalan lagi
mengikutiku.
"Mas bisa masak?" tanyanya yang sepertinya penasaran.
"Tidak terlalu, hanya paling setidaknya bisa dimakan.
Kalau untuk tim Tata, saya sudah diajarkan Mama." Jelasku
panjang padanya.
Kulihat dia hanya mengangguk tanda mengerti. Aku
mulai melanjutkan kegiatan memasakku sambil sesekali
memperhatikan Safira dan Tata.
ee
Safira POV
02310 - 11Kini aku sedang bermain dengan Tata. Bukan bermain
sebenarnya, hanya sesekali mengajaknya berbicara dan menoel
pipi tembamnya. Ah imut sekali anakku ini.
“Mommy sayang Tata." Kuucapkan satu persatu kata itu
sambil membuat ekspresi lucu. Kemudian dia tertawa dan
menepuk tangannya. Aku langsung saja menciumi pipinya
karena gemas.
Tidak lama setelah itu, Mas Andi datang dengan mangkuk
kecil yang berisi nasi tim panas yang masih di aduknya agar
panasnya berkurang. Aku pun beranjak, mengambil piring dan
gelas untuk Mas Andi. Aku yakin dia belum sarapan.
"Aku bawakan nasi goreng Ibu Mas, dimakan ya."
Langsung saja aku membuka wadah yang membungkus nasi
goreng yang kubawa tadi dan menyalinnya ke atas piring Mas
Andi.
“Mas mau minum yang lain atau air putih aja?" Tanyaku
lagi. Sudah berasa pelayan.
"Kamu bisa buatkan saya kopi?" Aku tersenyum lalu
menjawab.
"Bisa." Kemudian berlalu ke dapur dan mulai
membuatkan kopi.
Setelahnya, aku membawa kopi buatanku dan
meletakkannya di atas meja makan di samping kiri tangannya.
“Terima kasih." Ujarnya tulus. Kulihat nasi goreng Ibu
sudah menghilang setengah. Dan lagi kulihat dia makan sambil
mengaduk nasi tim Tata tadi. Kuraih mangkuk tersebut, lalu
aku aduk tanpa memperdulikan Mas Andi yang terlihat sedikit
bingung.
"Lanjutkan makannya Mas, aku bantu kamu."
Kulanjutkan acara mengaduk nasi tim yang sempat tertunda.
Setelah dirasa suhunya pas, aku mulai menyuapkannya pada
Tata. Makan Tata sangat lahap, membuatku tersenyum senyum
bahagia tanpa memperdulikan Mas Andi yang menatapku.
Hingga sendok terakhir sudah masuk semua ke perut Tata.
Mommy bangga, Nak.
Safira - 12Kulihat Mas Andi mulai meminum kopi buatanku. Aku
memandangnya dengan mewanti-wanti.
"Enak." Aku langsung berteriak kegirangan. Maklum,
bukankah setiap orang punya selera berbeda? Siapa sangka
seleranya sama denganku.
Tata memandangku bingung, lalu aku mengusap kerutan
di dahinya.
“Mommy senang, haha."
“Mamamamamama." celoteh Tata yang makin
membuatku senang.
"Ih Tata sudah bisa bilang Mama Mas, berarti dia
memanggilku dong." Lagi-lagi aku bersorak kegirangan.
Hingga aku rasakan tangan besar yang mengacak
rambutku. Lalu turun ke wajahku, berhenti di pipiku dan aku
rasakan jemarinya mengusap wajahku pelan.
"Kamu memang calon istri dan Ibu yang baik."
02310 - 13,Aku masih merasa malu dan senang ketika mendengar
perkataan Mas Andi.
"Ingin menghabiskan waktu di luar?" Tanya Mas Andi
padaku. Tentu saja aku balas anggukan semangat.
"Tata mau ya Nak, kita jalan-jalan YEY." Seruku pada
Tata yang hanya tersenyum senyum saja sejak tadi.
"Saya siap-siap dulu ya, kamu jaga Tata sambil menunggu
saya." Titahnya yang akan kupatuhi. Tentu saja akan kupatuhi
karena aku ini adalah calon istri dan Ibu yang baik. Haha.
Aku menggendong Tata ke arah ruang keluarga, di sana
terdapat sofa bed dan TV. Ku nyalakan TV-nya lalu aku cari
siaran kartun favoritku. Aku dudukkan Tata dalam pelukanku
kemudian kami mulai menonton film dengan damai.
Aku rasakan sofa di sebelahku mulai bergerak, ternyata
Mas Andi.
"Kita berangkat?"
“Ayuk."
Kami menuju garasi, Mas Andi mengeluarkan mobilnya
lalu aku naik tepat di sebelahnya. Mobil yang berbeda dari
yang semalam. Berapa banyak mobilnya? Entahlah.
"Kita ke Mall aja ya? Sekalian beli pampers untuk Tata."
"Oke Mas." Balasku. Aku memangku anak gadisku
dengan semangat. Sesekali mengelus kepalanya berharap dia
merasa nyaman. Eh malah bobok.
"Tata bobok karena aku usap kepalanya." Infoku pada
Mas Andi.
Safira-14Dia melirik sekilas lalu menggenggam tanganku yang
bebas. "Dia senang sama kamu, Mommy." Aduh melted ini
bagaimana dong. Aku hanya bisa tersenyum memandangnya.
Kami tiba di Mall dengan keadaan sehat wal afiat. Mas
Andi mengeluarkan kereta dorong Tata. Meletakkan Tata di
dalamnya dan kami mulai berjalan memasuki Mall seperti
keluarga bahagia.
"Ada yang mau kamu beli?" Tanya Mas Andi padaku.
"Nggak ada kayaknya” balasku singkat.
Kami langsung saja menuju supermarket yang tersedia
Jalu mengambil satu stroller dan mulai berbelanja. Diawali dari
pampers, minyak telon, bedak bayi, sabun mandi bayi, sampo
bayi, parfum bayi, tisu basah, beberapa cream bayi, bubur
instan, dan beberapa kotak susu. Lalu lanjut keperluan si bapak
yang aku tau cuma sabun cuci muka, sabun mandi, pisau cukur,
deodorant, dan tidak tau lagi entah apa yang akan dibelinya.
Tunggu dulu, aku membutuhkan sesuatu. Pembalut, oh
my god aku harus bagaimana. Malu tau. Lagi datang tamu lagi,
bentar lagi kan harus ganti kalau nggak bisa bocor ini. Bodoh
banget sih masa bisa lupa.
"Kamu benaran gak ada butuh apa-apa?"
“Hm-itu apa itu-
"Yang jelas Safira!"
"Kamu tunggu di sini, aku ambil sendiri." Dengan cepat
aku berlari mengambil satu pak pembalut. Lalu kembali ke
tempat Mas Andi berada. "Jangan lihat."
Dengan cepat kuhalangi pandangan mata Mas Andi lalu
menyeludupkan pembalutku ke balik barang yang lain.
"Sudah, saya tau kamu mengambil pembalut. Enggak
usah malu, toh besok saya juga bakal tau semuany‘
Benar juga ya, aduh bikin malu diri sendiri aja. "Ya sudah
sana bayar, bayar sekalian." dengan mood sedikit rusak aku
memilih untuk memegang Tata daripada ikut menemani si ‘bos'
bayar belanjaan.
P02310- 15Setelahnya, Mas Andi menghampiri kami. "Sudah? Kita
letakan dulu barang- barangnya di mobil baru lanjut jalan-jalan
ya."
Aku menuruti, mengikutinya meletakkan belanjaan dan
juga kereta dorong Tata di mobil. Sekarang Tata digendong aja
sama Daddynya.
"Kita mau ke mana Mas?" Tanyaku yang sudah seperti
babu atau anak hilang sih. Lalu terasa tangan besar melingkup,
menggenggam tanganku. Tangan Mas Andi. Yang sebelah
menggendong tata, satunya lagi menggandeng diriku.
"Ikut aja dulu yuk."
Pertama, Mas Andi mengajakku ke toko baju baju bayi.
Dia menyuruhku untuk memilih baju yang tersedia di sana.
Aku memandang ke seluruh tempat. Banyak baju bayi yang
kusuka, langsung saja ku pilih beberapa dan aku bayar dengan
kartu yang telah diberikan Mas Andi. Tanpa aku sadari mas
Andi ternyata juga berbelanja sendiri di tempat itu.
tek
Setelah kami tiba di kamar Mas Andi yang sudah seperti
kamar Tata, jadi jangan nethink. Aku melihat banyak kantung
belanja, setauku aku belanja tidak sebanyak ini.
Lalu Mas Andi masuk dengan membawa Tata di
gendongannya. Dia mengambil satu kantung belanja dan
memberikannya padaku. "Coba kenakan!"
Aku menurutinya. Masuk ke dalam kamar mandi dan
mengganti bajuku. Lalu ada sebuah pita di sana, aku pun
menggunakannya. Saat aku keluar, aku lihat Tata juga
menggunakan baju yang sama denganku. Aku tidak bisa
mengungkapkan perasaanku. Aku bergegas ke arahnya lalu
memeluknya hingga limbung dan terjatuh di atas ranjang.
Syukurlah Tata sudah masuk ke dalam box bayinya.
"Terima kasih." gumamku yang dibalas dengan ciuman di
keningku. Aku merasa hangat, nyaman dan tersanjung.
"Sini saya foto kalian berdua."
Hasil foto yang manis, pikirku. Ah aku sangat bahagia
memiliki mereka. Padahal kalau dipikir kami belum di sahkan..
Safira-16Sudah cukup lama aku di sini, aku pun pamit pulang
namun Mas Andi menawarkan diri untuk mengantarku pulang.
Aku pulang bersamanya dan tidak lupa Tata juga ikut
mengantarku. Tata akan tertidur selama di mobil dalam
pangkuanku. Dan terbangun saat dilepas.
Sesampainya di rumah, Mas Andi langsung pamit pada
Ibu dan Ayah. Kuciumi Tata habis-habisan. Aku akan
merindukannya. Lalu kuantar mereka hingga mobil. Kejadian
tidak aku sangka . Mas Andi mengecup pipiku kilat dan
langsung masuk ke dalam mobil. Aku terdiam seribu bahasa.
Mengapa kami bisa sedekat ini padahal kami baru
bertemu tadi malam? Kami baru saling mengenal, mengapa
seolah sudah lama kenal? Kau percaya takdir? Aku rasa ini lah
yang dinamakan takdir.
Ketika takdir sudah bermain, tak perlu waktu lama untuk
menyatukan kedua insan.
P02310- 17Tanpa Mereka
Siang ini mata kuliahku habis. Sudah berhari-hari aku
tidak bertemu anakku, Tata. Lebay sekali bukan? Aku pun tak
menyangka beginilah aku sekarang. Rasanya juga seperti
tanggung jawab yang masih coming soon itu sudah bertengger
manis di pundakku. Lalu aku pun mencoba untuk
menghubungi Mas Andi yang untungnya diangkat.
“Halo, Mas?”
“Ada apa Ra?”
“Mas lagi di mana?”
“Masih di kantor.”
“Tata di mana, Mas?”
“Ada di rumah, sama pengasuh.”
“Aku ke rumah Mas ya?”
“Tya langsung aja, nanti saya usahakan pulang cepat.”
“Oke, bye.”
Aku menyimpan ponselku lalu bergegas menuju ke rumah
Mas Andi. Sesampainya di sana kulihat Tata sedang menangis
sedangkan pengasuhnya hanya diam sibuk dengan ponselnya.
Otomatis emosiku naik ke ubun-ubun. Dengan cepat kuraih
Tata ke pelukanku sedangkan dia masih tidak menyadari
pergerakanku.
Kubawa Tata ke kamar, dan aku letakkan di atas box
bayinya. Lalu dengan cepat aku turun dan melihatnya sedang
panik.
"Kamu maling ya, mana non Tata? Kamu kemanakan
dia?” Pengasuh ini berteriak ke arahku.
Safira-18"Kamu kalau kerja yang benar dong, niat kerja gak sih.
Dari tadi saya lihat cuma main Hp aja, sampai saya bawa Tata
kamu juga gak tau kan?! Jangan bisanya makan gaji buta kamu
ya! Saya laporkan kamu sama Pak Andi biar dipecat! "
"Kamu itu siapa sih? Mana non Tata?! Ke mana kamu
bawa dia?! Apa urusan kamu sama saya, mendingan kamu
kasih tahu di mana non Tata habis itu kamu keluar. Gak
mempan ancaman kamu!" Balasnya sengit padaku.
Aku makin emosi "Saya gak mengancam kamu, kamu tu
yang kerja gak becus. Tata aman sama saya, kamu gak usah
banyak omong mending kamu aja sana yang siap-siap keluar
dari rumah ini!"
"Siapa sih kamu sebenarnya, enggak usah sok
mengancam saya ya!" Kali ini dia membentak kuat.
"Dia calon istri saya. Sebaiknya anda keluar sekarang
juga."
Mas Andi? Tidak aku sangka dia datang disaat yang tepat.
Pengasuh itu langsung mati kutu.
"Kok cepat banget pulangnya?" Tanyaku bingung.
“Aku usahakan langsung pulang pas tau kamu mau ke
rumah. Tunggu apalagi anda?! Keluar dari rumah saya."
Ternyata pengasuh itu masih di sini. Dia langsung pergi
meninggalkan rumah Mas Andi.
"Sekarang kamu gak punya pengasuh?"
"Saya memang gak pakai pengasuh." Balasannya yang
membuatku berdecak kesal.
“Maksud aku Tata Mas, pengasuhnya gak ada lagi kan."
"Masih ada, dia punya 2 pengasuh. Cuma yang satu lagi
masih cuti 3 hari lagi baru balik."
"Ya sudah aku yang bakal jaga Tata." Aku tersenyum
padanya, lalu seolah rumah sendiri aku naik ke atas untuk
bertemu Tata.
"Tata Mommy datang."
a
Kini kami sedang makan siang ala kadarnya karena hanya
ada ayam goreng dan saus sambal. Oke tak masalah.
02310 - 19"Kapan-kapan belanja Mas, kayak gini jadi susah."
Protesku karena juga berimbas pada gadis kecilku yang
terpaksa makan bubur instan.
"Iya nanti kita belanja bahan dapur. Selama ini jarang
yang masak makanya kadang lupa buat mengisi kulkas." Jelas
Mas Andi padaku.
"Mending kita percepat aja nikahkannya," tambahnya
yang membuatku kaget.
"Ya-ya terserah aja sih kalau aku." Ujarku ragu-ragu.
“Saya bercanda, hari minggu kita lihat desain baju. Saya
yang bakal jemput kamu."
Aku mengangguk tanda paham, lalu sebuah permintaan
muncul di benakku. "Nanti baju aku bikin sama dengan Tata
ya Mas?"
Mas Andi terdiam sejenak tampak berpikir. "Nanti kita
usahakan."
"Makasih Daddy." Kataku yang berimbas pada wajah Mas
Andi yang tiba-tiba memerah.
Sesudah makan, Mas Andi membawa Tata ke taman
belakang. Hanya sekedar berbincang antara Ayah dan anak
sambil mencari udara segar. Sedangkan aku kini sedang
mencuci piring bekas makan kami tadi.
Setelahnya, aku bergegas ke tempat mereka. Ingin ikut
bergabung. Kulihat mereka sedang asyik berdua di ayunan
dengan Tata yang menelungkup di atas dada Daddynya seolah
sedang memeluk. Ah romantisnya anak dan Ayah ini.
Aku pun ikut duduk di sebelah Mas Andi, mulai
mengayun kembali dan menikmati angin di siang menjelang
sore ini. Syukurlah ada pohon yang melindungi sinar matahari
ke arah kami.
Kulihat lagi Tata yang berada di atas dada Mas Andi, kini
dia hampir terlelap. Terlihat dari matanya yang sudah sedikit
tertutup. "Tata suka banget tidur ya, Mas."
"Iya, kalau sudah dipangku atau dipeluk gini memang
cepat tidurnya." Jawab mas Andi yang kini mulai menepuk
Safira -20pelan punggung Tata. Tata benar-benar tertidur pulas. Tinggal
lah kami dengan keheningan.
Lalu aku rasakan tangan yang besar mulai menyelimuti
jari-jariku, menggenggam dengan lembut. Aku tersentak, lalu
aku tatap pemilik tangan tersebut yang kini juga sedang
menatapku.
"Mas..."
"Terima kasih, sudah bisa menerima saya dan Tata.
Terima kasih sudah mau menjadi calon istri saya dan semoga
benar menjadi istri saya, dan juga sudah mau menjadi Ibu dari
Tata dan anak kita kelak. Saya... Bangga sama kamu."
Aku tersentuh dengan perkataannya, air mataku mulai
menetes namun segera aku hapus. Lalu terasa bahuku
dirangkul olehnya, diarahkannya kepalaku pada dadanya yang
tidak ditempati oleh Tata. Langsung saja aku lingkarkan
tanganku di pinggangnya, yang membuat wajahku berpapasan
dengan wajah mungil Tata. Jujur aku masih tetap merasa tidak
adil, tapi aku sangat menyayangi Tata. Mau tidak mau aku
harus menutupi egoku.
Aku rasakan tangan besar itu mulai membelai kepalaku,
seolah menenangkanku yang kini sedang tersedu-sedu.
02310 - 21Tata: Mamamama
Setelah acara tangis-tangisan itu, Mas Andi mengantarkan
ku pulang ke rumah. Aku menerima tawarannya karena aku
pikir aku perlu menenangkan diri. Tidak mudah menjalani
semuanya, meskipun aku tampak baik-baik saja tapi yang
sebenarnya adalah aku berusaha untuk baik-baik saja. Menutup
kesedihanku dengan alasan ‘demi Tata’ si gadis kecil yang
sudah mencuri hatiku.
"Jangan terlalu memikirkannya, jalani jika menurutmu ini
yang terbaik. Saya pulang dulu salam sama orang tua kamu."
Ujar Mas Andi sebelum beranjak dari pekarangan rumahku.
“Hati-hati di jalan." Sahutku pelan.
Aku pun melangkah memasuki rumah, kulihat Ayah yang
sedang menikmati secangkir kopi sorenya dan Ibu dengan
secangkir tehnya. Beginilah kebiasaan santai sore hari
keluargaku.
"Safira pulang." Ujarku yang langsung mengalihkan
pandangan orang tua yang sedang bercengkerama itu.
“Dari mana tadi, Nak?" Tanya Ibu, aku lupa
memberitahunya jika aku langsung ke rumah Mas Andi.
“Dari rumah Mas Andi Bu, kangen sama Tata."
“Jangan terlalu sering, kalian belum sah. Gak enak dilihat
orang." Titah Ayah padaku. Benar juga, aku selalu ke sana
terlebih lagi pasti berakhir di kamar Mas Andi yang tentunya
dengan Tata.
"Iya Ayah, Fira masuk dulu" aku pun melangkahkan
kakiku menuju kamar. Memilih membersihkan diri, kemudian
berbaring sejenak.
Safira - 22Teringat dengan foto yang kuambil tadi siang, aku pun
memilih untuk meng-uploadnya ke salah satu akun media
sosialku yang pasti akan ramai karena teror dari sahabatku.
Aku memang belum bertemu dengan teman-temanku,
karena Britney yang saat itu sedang pulang ke rumah orang
tuanya di kota seberang, sedangkan Faley sedang sibuk dengan
pekerjaan paruh waktunya dan Zahra? Dia akan menikah muda.
Sama seperti diriku.
Hanya saja Zahra mendapat suami yang diinginkannya.
Sudah ta‘aruf sejak tamat SMA. Kan keren.
Lalu mengapa aku tak menghubungi mereka? Karena aku
tak ingin mereka heboh di sosmed. Pernikahan Zahra
pertengahan bulan ini, itu tandanya sekitar dua minggu dari
sekarang. Otomatis kami semua akan berkumpul bukan? Nah
saat itulah mungkin aku akan membicarakannya.
Saat aku sedang berusaha untuk mencapai alam tidurku,
terdengar ketukan pintu kamar yang kuyakini adalah Ibu.
Kubuka pintu tersebut dan benar saja ada Ibu.
"Apa Bu?"
"Makan malam dulu yuk." Ajaknya.
"Tapi Fira lagi gak lapar Bu, ingin langsung tidur saja."
Tolakku, karena aku benar-benar lelah.
"Loh Ya sudah, nanti Ibu sisakan lauknya. Jadi kalau
kamu ke bangun tinggal panaskan saja."
“Iya Bu, Fira tidur dulu ya." Ibu pun melangkah menjauh
dari kamarku. Aku mulai memejamkan mata sebelum akhirnya
terdengar suara pesan masuk. Arghh, ini sangat menyebalkan.
“Kamu sedang apa? “
Pertanyaan macam apa ini, aku sudah mengantuk tapi dia
mengacaukannya.
“Sedang tidur. “
“Maaf saya mengganggu, tapi bagaimana bisa orang
yang tertidur mengetik pesan? “
Betapa polosnya si papah muda ini. Tentu saja dia tidak
tertidur. Hal ajaib apa yang bisa membuat orang tertidur
mengetik pesan? Tidak ada.
02310 - 23,“Aku bercanda, ada perlu apa? “
“Jika tidak mengganggu, bisakah saya telepon kamu? “
“Bisa. “
Dengan sedikit malas aku iyakan ajakannya. Entah
mengapa aku sendiri tidak kuasa untuk menolak, setelah
terdengar dering ketiga dari ponselku, langsung saja aku
angkat telepon darinya.
"Ya?"
"Kamu sudah mengantuk?"
“Aku rasa sudah." Nah loh dia tau aku ngantuk kok masih
telepon sih Mas.
"Saya rasa saya sangat mengganggu.”
"Sepertinya iya.". Dengan tidak tau malunya aku
menjawab.
"“Mamamamama." Aku terpaku dengan suara gadis
mungilku. Dia baru saja memanggilku bukan? Rasanya hatiku
begitu berbunga-bunga mendengar kata pertamanya.
"Dia sedang berbicara denganmu, itulah sebab saya
menelepon. Sedari tadi dia memanggil-memanggil kamu."
"Iya Tata, Mommy di sini." Aku mulai mengajaknya
berbicara.
"Tata bobok dong Nak, sudah malam kasihan Daddy
besok bakalan kerja.”
"Kini dia sedang menatap saya dengan mata bulatnya,
sepertinya dia mengerti apa yang kamu maksud."
"Ya sepertinya, coba berikan botol susunya siapa tau dia
akan tertidur."
"Baiklah, benar dia meminumnya. Padahal tadi dia
sangat menolak. Besok kamu kemari?”
"Sepertinya tidak, bagaimana jika Mas yang mengantar
Tata ke rumahku. Jika kamu percaya padaku."
"Tentu, kamu tidak ada kuliah besok?"
"Kebetulan kosong."
"“Baiklah saya akan mengantar Tata sebelum saya bekerja
besok. Selamat malam Safira."
"Selamat Malam juga Mas Andi, Tata."
Safira-24Sambungan telepon terputus setelah ucapan selamat
malam itu. Besok Tata akan kemari dan aku tidak sabar
menunggu hari esok. Kantuk kembali menyerang. Dan aku pun
mulai tertidur.
02310 - 25Aku, Ibu dan Tata.
Terdengar suara klakson mobil, aku segera berlari keluar
rumah dan aku lihat mobil Mas Andi sudah terparkir di depan
rumahku. Aku dengan segera membuka pintu mobilnya dan
kulihat Tata tengah tersenyum disela-sela tangannya yang kini
sedang bermain di sekitar mulutnya.
Langsung kuraih dia dalam gendonganku, aku ciumi
pipinya dan aku peluk erat. "Tata anak Mommy datang."
Seruku girang.
Mas Andi melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahku,
memohon izin untuk Tata yang dititipkan padaku. Dan
berharap orang tuaku tidak terganggu.
Tentu saja orang tuaku merasa setuju dengan harapan aku
akan lebih terbiasa menjadi seorang Ibu untuk Tata.
Mas Andi pun langsung berpamitan dengan alasan bahwa
sebentar lagi jam masuk kantor. Dia berhenti di hadapanku,
memperhatikan Tata yang berada di gendonganku lalu
mencium pipi gembul Tata.
"Daddy berangkat dulu, jangan rewel ya Nak." Ujarnya
pada Tata. Lalu tatapannya beralih padaku. "Tata belum makan,
dia baru minum susu. Tolong kasih dia sarapan ya, dan jangan
lupa dengan makan siangnya."
"Oke aku paham."
"Saya pamit." Aku anggukan kepalaku dan kuantar dia
sampai depan mobilnya. Setelah Mas Andi pergi aku pun
masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur dan
melihat bahan-bahan yang ada.
"Kamu mau ngapain?" Tanya Ibu.
Safira- 26"Mau masak nasi tim buat Tata Bu, Ibu pegang Tata dulu
ya" Aku serahkan Tata pada Ibu. Dan kulihat Ibu membawa
Tata ke ruang tengah. Mengelus-ngelus punggungnya pelan
dan sesekali bercengkerama.
Kulanjutkan acara masakku. Aku ambil wortel dan
kentang lalu kulihat juga ada ayam di dalam kulkas. Lalu aku
potong dadu wortel dan juga kentangnya tidak terlalu kecil.
Melainkan ukuran sup lah. Lalu aku bersihkan ayamnya.
Mengapa aku lebih memilih memasak sup? Karena lebih instan
dan bisa sekalian makan siang Tata.
Sembari menunggu supnya matang, kuambil sesendok
nasi kemudian taruh di atas saringan. Lulu ulet nasi dengan
sendok di atas saringan tadi, dan terlihat lah nasi yang halus di
bawahnya. Setelah sup matang, lakukan hal yang sama pada
wortel, kentang dan ayam. Jadi nasi timnya.
Langsung saja aku bawa ke tempat Ibu dan Tata berada.
“Ayah mana Bu?"
"Sudah berangkat kerja, kamu bisa menyuapi sendiri? Ibu
mau mencuci."
"Bisa dong. Berikan Tatanya." Ibu pun meletak Tata di
pangkuanku. Lalu pergi meninggalkan kami berdua.
Kuambil sesendok air putih hangat untuk suapan
pertamanya. Basmallah.
Dia meminumnya dengan sedikit menyerngit. Lalu
kusendokkan tim yang tadi kubuat. Ternyata dia menyukainya,
wah betapa senangnya aku. Dia terus melahap setiap sendok
yang aku berikan.
"Pintar ih anak Mommy." Seruku saat suapan terakhir.
Kuraih dia kembali ke gendonganku, membawa_bekas
makannya ke dapur lalu aku tepuk punggungnya pelan sambil
menunggunya bersendawa.
Setelah bersendawa kulihat dia mulai memejamkan
matanya, aku rasa dia akan tertidur kembali. Kini aku
membawanya ke kamarku. Aku menghidupkan kipas angin
dengan ukuran sedang. Lalu kurebahkan dia di atas ranjang
kesayanganku ini.
02310 - 27Setelah dia terlelap, aku mulai mengotak-atik ponselku
dan iseng-iseng melihat situs belanja online. Bukankah sabtu
ini pernikahan Zahra? Itu berarti aku membutuhkan baju dan
juga si kecil ini akan ikut bersamaku dan Mas Andi juga.
Karena saat itulah aku akan memperkenalkan mereka.
Aku mencari baju couple antara Ibu dan anak yang cocok
untuk pergi ke pesta pernikahan. Lama aku memilah
kudapatkan dua jenis baju yang sangat kusuka. Dan itu artinya
aku harus membongkar celengan ayamku untuk membelinya.
Oke tidak masalah.
Langsung saja aku memesan baju itu. Setelahnya aku
meletak ponselku di nakas dan mulai terlelap bersama si
kecilku yang manis.
ek
Aku merasakan getaran ponsel yang membuatku bangun,
aku mengangkat telepon dari seseorang yang mengganggu
ketenanganku.
"Halo."
"Tata bagaimana?"
"Tidur, di sebelah aku." Jawabku meraba kasur bagian
sebelahku. Kosong?
"TATA MANA?"
"Hei, kenapa kamu bertanya sama saya. Bukankah
katamu Tata sedang tertidur?"
“Bentar Mas." Aku langsung berlari keluar kamar dan
betapa leganya aku melihat Tata sedang bersama Ibu.
"Tata sama Ibu, aku tutup dulu ya bye." Langsung saja aku
matikan telepon Mas Andi takut dia mengomel padaku.
"Kok Ibu gak bilang-bilang sih ambil anak aku."
"Kamu juga sih tidur kayak kebo."
"Tbu kok gitu, sudah jam berapa ini?" Tanyaku pada Ibu.
“Jam di rumah kita cuma tiga, satu di ruang tamu, satu di
kamar kamu, satu di kamar Ibu. Kalau pukul yang kamu tanya
12.30 jawabannya.”
"Lebay banget sih Ibu. Berarti sudah jam makan siang
Tata dong." Ibu mengangguk tanda iya, aku pun berjalan
Safira- 28menuju dapur menyiapkan nasi tim yang tadi aku buat. Lagi-
lagi Tata makan dengan lahap membuatku senang karena aku
rasa dia menyukainya.
Setelahnya kuajak Tata keluar rumah tepatnya hanya di
teras karena cuaca yang sedang panas terik. Beberapa
tetanggaku lewat dan menyapaku dengan ramah. Sampai salah
seorang menanyakan siapa yang sedang aku gendong.
"Ponakannya ya Fir?"
“Bukan, Bu. Ini anak saya."
"Kok bisa? Kamu kan masih kuliah terus juga belum
nikah." Tanya Ibu itu mulai sinis. Kok bisa juga saya punya
ponakan bu kalau sayanya aja anak tunggal.
"Anak calon suami saya, Bu."
"Ooh kamu mau nikah toh, berarti duda ya?" Balasnya
lagi. Penasaran sekali Ibu ini.
“Alhamdulillah iya, Bu. Saya masuk dulu ya, Bu."
Langsung saja aku masuk kembali ke dalam rumahku.
Ternyata mulut tetangga masih pada iseng, ingin tau aja habis
itu dihujat.
"Kenapa kok buru-buru banget masuknya?" Tanya Ibu
melihatku.
"Biasa Ibu-Ibu komplek, kan jadi malas." Jawabku
kembali duduk di sofa ruang keluarga.
Sepertinya Tata sudah mengantuk kembali kulihat dia
menyeludupkan kepalanya di sekitaran leherku. Ku elus
punggungnya pelan dan kulihat dia mulai tertidur.
Aku melangkahkan kaki ke kamarku, meletak Tata di atas
Ranjang dan mengarahkan kipas ke arahnya agar dia lebih
nyaman. Ku lihat sekitaran dahinya yang berkeringat, lalu aku
mengusapnya pelan. "Panas banget ya di rumah Mommy"
ujarku miris.
Anak ini sudah terlahir di keluarga kaya yang sejak di
rahimnya merasakan hidup dengan segala berkecukupan. Tapi
sayangnya orang yang mengandungnya tidak
memperdulikannya lagi. Tapi aku? Aku merasakan getaran
02310 - 29saat di dekatnya. Rasa sayang yang dengan cepat tumbuh
meskipun belum dengan bapaknya.
Safira - 30Britney, Faley dan Zahra
Hari ini pengasuh Tata sudah kembali, jadi aku tidak perlu
menjaga Tata untuk sekarang. Jadwal kampus yang padat pun
menjadi salah satu faktor. Tadi Mas Andi sempat mengabari
sejenak hanya tentang bagaimana kabar Tata, jadwal kuliahku
yang hari ini penuh dan lainnya. Hanya perbincangan ringan.
Kini aku sedang kumpul dengan tiga sahabat baikku yang
sayangnya sedikit gila dan goblok. Maafkan. Kami sudah
berteman sejak masa putih abu-abu. Ya walaupun kini berbeda
jurusan dan fakultas, tapi kami masih bisa menyesuaikan
jadwal lalu berkumpul seperti saat ini. Namun sialnya kali ini
aku malah jadi bahan interogasi.
"Lo jelaskan ke kami sekarang juga!" Titah Faley padaku.
"Apa?" aku berpura-pura polos.
"Gak usah sok polos! Anak siapa itu? Setau gue lo gak
mungkin punya yang namanya ponakan disaat lo sendiri anak
tunggal, so siapa dedek comel yang ada difoto itu?." kini
Britney mulai berbicara. Sedangkan Zahra? Dia hanya diam
walaupun juga penasaran.
"Ehm jadi gini..." Semuanya mengalir begitu saja, padahal
rencananya aku baru ingin cerita saat pernikahan Zahra. Aku
percaya pada mereka begitulah dengan mereka yang aku yakin
percaya padaku. Segelintir kisah tentang Mas Andi dan Tata
yang mereka simak dengan baik.
“Lo kok mau sih Fir di jodohkan begitu sama duda
beranak satu lagi?!” Aku memaklumi perkataan Faley karena
diumur segini, diumur kami saat ini seharusnya kami masih
menjelajah dari satu hati ke hati yang lain untuk mencari
02310 - 31seorang Pangeran yang akan menempati tahta untuk selamanya.
Tapi aku? Aku mendapatkan seorang Raja. Seorang Raja
dengan tuan Putri kecilnya yang sangat memikat hati.
“Jujur, sampai sekarang gue juga masih belum
sepenuhnya menerima. Tapi dari awal gue membuat keputusan
ini, dari pertama kali mata gue bertatapan dengan gadis
kecilnya, gue tahu di situ takdir Gue. Entah karena didukung
takdir atau murni perasaan gue aja, tapi gue benar-benar jatuh
hati sama anaknya. Gue membayangkan bayi sekecil dia,
secantik dia, belum pernah mendapatkan kasih sayang seorang
Ibu sama sekali di situ hati nurani gue tersentuh. Ditambah
Ayah gue juga yang meminta secara langsung, apa mungkin
gue tolak? Itulah sebabnya gue menerima dengan lapang dada
dan berusaha dekat dengan dia.” Jelasku kelewat panjang dan
lebar.
Britney menatapku dalam, aku menaikkan sebelah alisku
Jalu tiba-tiba dia tersenyum. Merinding disko gue lihat
senyumnya. “Jangan mellow dong, status mah gak masalah
kalau memang jodoh, apalagi yang kayak begitu pasti lebih
berpengalaman.” OMG, segera aku jitak kepalanya yang berisi
otak kotor itu.
“Bangsat lo ukhti.” Umpatnya, aku mengabaikannya dan
beralih menatap Zahra yang sedari tadi diam mendengarkan.
"Jadi Zahra? Lo kok masih kuliah sih?" Tanyaku padanya
sekalian mengalihkan topik pembicaraan tadi yang sudah
kuanggap selesai.
"Besok gue mulai libur, lagian masih dua minggu lagi. Lo
pada jangan lupa buat datang ke pernikahan gue. Kalau bisa
bawa gandengan." Perintahnya pada kami.
"Gue jomblo." Britney bersuara.
"Gue juga." Timpal Faley.
"Gue kagak." Aku pun ikut bersuara lalu menyengir kuda
mendapatkan tatapan sinis dari teman-temanku.
“Bawa anak sama calon suami lo, kenalkan sama kita-
kita!" Titah mereka padaku yang kuhadiahi anggukan mantap.
Safira - 32Setelahnya kami pun tertawa bersama membahas hal-hal
kecil sederhana yang membuat senyum bahagia.
ee
Matahari telah berganti dengan bulan, sinar matahari pun
hilang ditelan kegelapan. Seusai makan malam, aku langsung
menuju kamar. Berencana untuk menghubungi Mas Andi
tentang acara Zahra yang berlangsung beberapa hari lagi.
Maukah Mas Andi pergi denganku?
Aku masih menimang-nimang hingga akhirnya terdengar
deringan ponsel di Hpku. Siapa yang menelepon malam-
malam ? Tumben.
Ku raih benda pipih itu, lalu melihatnya sekilas. Mas Andi.
Sungguh suatu keberuntungan karena pulsaku tidak akan habis
jika aku yang menghubunginya duluan. Maklum mahasiswa,
wajar dong kalau ‘hemat'.
"Halo?"
"Selamat malam, saya ganggu?"
Kaku banget ini orang ya ampun. "Malam Mas, nggak kok.
Kebetulan juga sih kamu menelepon aku juga mau bicara
sesuatu."
"Kamu mau bicara apa sama saya?”
"Mas aja duluan, ada apa menelepon?"
"Tidak ada yang penting sebenarnya.
"Ohh gitu, aku juga gak penting sih-“
"Siapa bilang kamu gak penting.”
Dia memotong pembicaraanku dengan cepat dan berhasil
membuatku kaget. "Bukan gitu maksud aku, yang aku
bicarakan juga gak penting."
"Oh, bicarakan saja. Saya akan mendengarkan."
"Mas ada waktu luang sabtu depan?"
"Sepertinya ada, kenapa bertanya?”
"Ehm itu aku... Mau ajak ke pernikahan teman sama Tata
juga."
"Oke saya ikut dengan kamu."
"Terima kasih Mas."
"Tidak perlu sungkan"
02310 - 33,"Ehm ya, Tata mana Mas?"
"Sedang tertidur, tadinya masih bangun tapi pas kamu
mulai bicara dia tertidur."
"Oh gitu, sebaiknya Mas juga istirahat."
"Baiklah. Mimpi indah Safira."
"Kamu juga, Mas Andi."
Tut
Panggilan terputus, ada rasa senang di hatiku kala Mas
Andi menyetujui permintaanku. Aku harap hari esok lebih
cepat untuk tiba. Kupejamkan mataku perlahan lalu mulai
terlelap dengan perasaan bahagia.
sek
Ting tong
Terdengar suara bel rumah berbunyi diikuti suara
seseorang di luar sana. Aku yang sedang menyelesaikan cucian
bajuku pun terpaksa pergi keluar untuk mengeceknya.
Kebetulan Ayah sudah berangkat kerja sedangkan Ibu sedang
ke pasar.
"Ya Pak, ada apa ya?" Tanyaku sopan pada bapak-bapak
di hadapanku.
“Paketnya neng, tanda tangan di sini."
"Oh iya, Terima kasih."
Aku pun membawa pakait tersebut masuk ke dalam kamar.
Meletakkannya di ranjang lalu keluar menuju cucianku yang
tersisa.
Setelah selesai, aku pun beranjak menuju kamar sambil
membawa gunting. Ku buka plastik dan isolasi yang menutup
pakait tersebut. Ternyata pesanan baju yang kemarin.
Memuaskan. Aku memesan dua baju kemarin, satunya
baju untuk ke pesta dan satu lagi baju santai. Navy, warna yang
kupilih untuk pesta Zahra. Kami memang sepakat untuk
menggunakan warna itu sebagai keseragaman. Dan untuk Mas
Andi kuharap dia mau menyesuaikan.
Aku menelepon Mas Andi dengan maksud menyuruhnya
untuk mengambil baju Tata. Jika bisa aku harap dia mau
membawa Tata juga karena hari ini aku free.
Safira-34Ketika nada sambung ketiga terdengar saat itu juga
terdengar suara serak Mas Andi seperti bangun tidur. Mengapa
dia bangun begitu telat? Ntahlah.
“Halo Mas?"
"Ya, ada apa, Fir?"
“Aku ganggu? Kamu baru bangun tidur?"
"Tidak, tidak masalah. Saya hanya terlambat tidur
kemarin. Kerjaan sedang menumpuk dan Tata rewel.”
Kasihan sekali dia. "Kamu bisa ke rumahku?"
"Apa ada masalah?"
"Tidak, hanya menjemput sesuatu untuk Tata. Kamu juga
boleh meninggalkan Tata hari ini denganku. Aku free."
"Baiklah, sebentar lagi saya ke sana."
"Hati-hati di jalan."
Sambungan pun terputus. Terkadang aku memang merasa
kasihan pada Mas Andi yang menjadi Ayah tunggal untuk
seorang bayi. Itulah sebabnya aku mulai meyakini ini adalah
jalan terbaik.
Ya. Jalan terbaik.
02310 - 35,Part 09
Nenda?
Ting tong
Terdengar suara bel rumah berbunyi, Ibu tadi sempat
pulang dulu sebentar namun pergi lagi dengan alasan menemui
temannya. Aku membuka pintu rumah dan dapat aku lihat Mas
Andi sedang berdiri di depan pintu dengan tangan kokohnya
yang menggendong Tata.
"Masuk Mas." Aku mempersilahkannya masuk, duduk di
ruang tamu dengan Tata di pangkuannya. Langsung saja aku
ke dapur membuat secangkir kopi. Kulihat wajahnya yang
tampak lelah, dengan mata panda dan juga dasinya yang tidak
terpasang rapi.
Aku menghidangkan kopi yang aku buat, lalu mengambil
alih Tata dari gendongannya.
"Diminum Mas," suguhku. Yang langsung diangguki
olehnya. Ku lihat dia mulai menyesap kopi yang aku buat.
Sebentar, hanya butuh waktu yang sebentar untuk
menghabiskan secangkir kopi itu. Dia sedang tergesa. Terlihat
ketika kopinya habis dia mulai berdiri dari duduknya.
Aku hanya melihat saat dia merapikan baju dan dasinya.
Tidak berniat menolong karena tanganku pun sIbuk
menggendong Tata.
"Saya pamit, titip Tata ya." Ujarnya lalu mencium wajah
Tata namun melewati wajahku. "Belum saatnya,” gumamnya
masih dapat aku dengar.
“Hati-hati, Mas." Ucapku sebelum akhirnya mengantar
dia hingga depan pintu. Setelah jejak mobilnya menghilang,
aku pun masuk dan menutup pintu.
Safira -36"Tata sudah makan Nak?" Tanyaku pada Tata yang jelas
saja tidak dia mengerti. Kutekan sedikit perutnya lalu terasa
sedikit keras tandanya dia sudah makan. Lalu kubawa dia ke
kamar, menghidupkan kipas ke arah kami dan berbaring di
ranjang. QOtime ala kami berdua, aku mengajaknya mengobrol
meskipun dia tak mengerti tapi tetap saja ada kebahagiaan di
hatiku.
"Tata lebih sayang Mommy atau Daddy?" Tanyaku
sambil mengusap pipinya pelan.
“Mamamamama." Seru Tata sambil menepuk-nepuk
tangannya.
"Pintar anak Mommy.” Ujarku walaupun aku tau Tata
memang baru bisa mengucapkan kata asal seperti itu tapi tetap
saja aku anggap jawaban.
Lama kami bermain hingga suara bel rumah berbunyi.
Lagi. Ketika aku buka pintu ternyata Ibu yang baru pulang dari
rumah temannya.
"Th ada cucu Ibu, sini Sayang." Serunya heboh ketika
melihat Tata. Langsung saja diraihnya Tata dari gendonganku.
Membawanya duduk di ruang keluarga.
"Sama siapa tadi sayang kesininya?" Tanya Ibu pada Tata.
"Sama bapaknya lah, mau sama siapa lagi." Balasku malas.
Aneh-aneh saja pertanyaan Ibuku ini.
"Sudah sana buatkan susu, mengganggu acara Nenda
sama cucu aja kamu." Balas Ibu ikutan sengit.
"Nenda? Apaan, Bu?"
“Nenek Muda"
Aku langsung berjalan menuju dapur membuat susu untuk
Tata. Kulihat memang Tata dan Ibu sesekali tertawa bersama
terkadang ekspresinya diam dengan mata membulat seolah
mengerti apa yang Ibu katakan.
Bahagia. Baru ini yang aku dapatkan tapi aku sudah
merasa sangat bahagia. Dan semoga kelak juga seperti ini.
Setelahnya, aku pun membawa botol susu itu ke dekat Ibu.
Meminta Tata agar kami dapat pindah ke kamar, sedari tadi
02310 - 37Tata belum ada tertidur. Nanti takutnya dia kelelahan karena
keasyikan bermain.
Ibu memberikannya walau ada rasa tidak rela di sana.
Lebay. Aku membawanya menuju kamar, seperti sedia kala
menghidupkan kipas lalu membantu memegang botol susunya.
“Bobok ya sayang, Mommy sayang banget sama kamu."
Ujarku ketika botol susunya sudah kosong, dan matanya sudah
tertutup rapat. Ku cium keningnya pelan lalu beranjak dari
kamar.
ek
"Bantu Ibu masak, pasti nanti calon suami kamu kesini
kan?" tanya Ibu padaku.
"Nggak, anaknya sudah dikasih ke aku jadi dia gak kesini
lagi." Balasku.
"Sembarangan!" Ketus Ibu. Beginilah aku dan Ibu sering
berdebat, walaupun terlihat selalu aku yang memulai tapi satu
yang jelas, kami saling menyayangi.
"Mau masak apa memangnya?"
"Kamu bikin nasi tim Tata dulu, nanti kalau Ibu belum
siap baru bantu Ibu." Pembagian tugas dari Ibu yang kuangguki.
Aku mengambil sayur sayuran dari kulkas, aku potong
dadu seperti biasa lalu beberapa bumbu lainnya kemudian
memasaknya bersama dengan beras yang dijadikan bubur. Jadi
bukan nasi yang diulet lagi ya.
Setelah siap aku lihat Ibu yang masih menggoreng
ayamnya. "Ibu mau masak apa?"
"Semur ayam, bantu potong kentangnya"
Aku pun memotong kentang itu, potongan panjang dan
tidak terlalu kecil. Setelahnya aku cuci kentangnya di air
mengalir lalu meletaknya lagi pada wadah bersih. Hanya itu
tugasku.
"Sudah sana lihat anak kamu, nanti takutnya jatuh dari
kasur" usirnya padaku.
"Yah mengusir, Ya sudah deh bye." Kataku berlari ke arah
kamar.
Safira-38Ku lihat memang Tata sudah sedikit diujung. Syukurlah
aku memberi beberapa bantal di sekitar Tata jadi itu akan
membantu menghalanginya. Aku mengangkat Tata lalu
menggeser tubuhnya ke tempat semula. Terjadi beberapa
pergerakan kecil hingga kulihat tangan Tata kini sedang
menggenggam jariku.
Aku pandangi dia, masih merasa terpukau dengan
kecantikan bayi ini. Aku mengusap kepalanya pelan,
merasakan rambutnya yang halus kemudian turun ke pipi
tembamnya. Gadis kecil ini benar-benar membuat ketertarikan
besar pada diriku. Entah betapa besarnya rasa sayang yang kini
kupunya untuknya. Sangat besar mungkin.
Tidak lama setelahnya Tata mulai gelisah dalam tidurnya,
Jalu membuka mata pelan sebelum akhirnya menangis kuat.
Aku yang sedikit panik langsung menggendongnya lalu
membawanya keluar kamar.
"Kamu apakan Tatanya Fira?" Tanya Ibu padaku.
"Baru bangun tidur, Bu." Jawabku sambil mengusap
punggung Tata yang kini masih sesenggukan karena menangis.
"Biar Ibu buatkan susu dulu ya." Tawar Ibu. Wah betapa
aku menyayangi Ibuku yang pengertian ini.
"Iya makasih, Bu." Balasku yang melihat Ibu beranjak
meninggalkan aku dan Tata.
"Jangan nangis dong anak Mommy, Tata kan cantik,
pintar, terus kesayangan Mommy Daddy." Ujarku masih
mengusap punggungnya.
Tidak lama setelah itu Ibu datang membawa sebotol susu.
Langsung saja ku turunkan Tata dari gendonganku, lalu
mengarahkan botol susu itu ke mulutnya. Benar saja dia haus.
Sebenarnya Tata bangun sudah cukup siang kala ku lihat jam
dinding yang menunjukkan pukul 13.25 sudah masuk jam
makan siangnya juga.
Aku melirik Ibu lalu menunjuk jam di dinding seolah
mengkode sudah jam makan Tata. Ibu seolah mengerti
Jangsung berkata "Kamu ambil sana nasinya, susunya juga Ibu
bikin sedikit tadi. Sinikan Tatanya."
02310 - 39Wah kode yang tidak sampai. Padahal aku ingin meminta
Ibu yang mengambilkan nasi Tata, eh malah ke balik, tapi
setidaknya Ibu sudah membantu bukan.
Rutinitas seperti biasa, mengambil nasi tim lalu menyuapi
Tata. Rasanya hal seperti ini sudah biasa aku lakukan.
Kemudian duduk menonton kartun walaupun sebenarnya Tata
tidak mengerti dan hanya memelukku atau memainkan jarinya
saja hingga tertidur lagi, memang hobi tidur ini kayanya.
Hingga sore menjelang Mas Andi pun tiba di rumahku.
“Baru balik Mas?" Tanyaku berbasa-basi.
"Iya." Jawabnya singkat dan terlihat lelah. Langsung saja
dia masuk dan duduk di ruang keluarga.
"Mas sudah makan?" Tanyaku yang hanya dijawab
gelengan.
"Serius belum makan dari siang? Atau kebetulan lapar
aja?" Tanyaku kaget.
"Belum makan dari pagi malah, tadi saya cuma sempat
minum kopi buatan kamu." Astaga bapak ini keterlaluan, masa
gak ingat sudah punya anak sama calon istri. Kalau dia sakit
bagaimana?
“Ayuk makan dulu." Ajakku sambil menarik tangannya.
Berat. Kebetulan Tata sedang tidur, aku tarik tangannya
dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Tanpa disangka dia
malah menarik tanganku yang langsung membuatku terduduk
di sampingnya. Dapat aku rasakan kepalanya yang mulai
mendekat ke arah ceruk leherku, hanya sekedar untuk
bersandar. "Sebentar saja, saya terlalu lelah hari ini.”
Ku biarkan dia yang menyender, duh untung aku sudah
mandi kalau belum kan barabe. 10 menit aku rasa cukup, dia
juga butuh makan bukan?
"Mas... makan dulu yuk." Ajakku lagi, terasa tarikan
napas panjang di sekitarnya leherku sebelum akhirnya dia
berdiri. Aku ajak dia ke meja makan, lalu memanaskan semur
ayam buatan Ibu dan menghidangkannya di atas meja dan juga
menu pendamping lainnya.
Safira- 40"Makan Mas!" Titahku padanya. Lalu dia menyodorkan
piring nasi padaku yang langsung saja aku pahami dia minta
ambilkan nasi.
Aku mengambil dua sendok nasi, lalu sepotong ayam,
tempe, tahu dan sedikit sambal lalu aku letakkan di
hadapannya . Setelahnya dia memulai acara makannya. Saat
tengah asyik mengunyah nasi, aku dengar Tata kembali
menangis. Aku izin sebentar dengannya untuk menjemput Tata
dikamar. Lalu aku bawa Tata ikut ke meja makan. Tata
langsung menghentikan tangisnya ketika melihat Daddy
kesayangannya.
Tangannya menggapai-gapai berharap untuk digendong.
“"Nanti ya Nak, Daddy lagi makan." Ujarku berharap dia
mengerti. Tapi tidak, Tata tetaplah bayi biasa yang jika
keinginannya tidak dituruti maka dia akan menangis.
"Berikan saja pada saya, jika tidak dia akan menangis lagi.
Lihat wajahnya." Kata Mas Andi sambil menunjuk wajah Tata.
Benar saja, wajahnya murung memperlihatkan bahwa dia mau
menangis lagi. Segera ku berikan Tata pada Mas Andi yang
Jangsung meletakkannya di atas pangkuannya. Lalu
melanjutkan memakan makanannya kembali.
Super Daddy.
P02310- 41Telat Bangun
Setelah acara makan tadi, kami bertiga hanya duduk santai
di ruang keluarga sambil menikmati tayangan sore hari. Tidak
lama setelahnya, Ayah pulang dari tempatnya bekerja.
“Assalamualaikum." Setelahnya terdengar langkah kaki
Ayah memasuki rumah. Aku langsung saja berdiri dan
mendekat menyalami tangan Ayah. Mas Andi yang melihatnya,
juga melakukan hal yang sama.
“Baru pulang, Om?" Tanyanya basa-basi.
“Iya, kamu sudah lama?"
"Tidak juga.”
Aku hanya melihat interaksi antara mereka, sebelum
akhirnya Ayah beralih padaku. "Ibumu mana Nak?"
"Ada di kamar, Ayah mau Fira siapkan makan?"
"Nanti saja, Ayah ke kamar dulu ya. Mari Nak Andi."
Pamit Ayah pada kami yang diangguki Mas Andi.
Setelah Ayah pergi, kami kembali duduk bersama. Hanya
ada ocehan Tata yang mendominasi. Mungkin karena masih
ada rasa canggung antara aku dan Mas Andi.
"Sudah terlalu sore, lebih baik saya pamit." Ujar Mas
Andi membuka suara.
“Yabhh, Tatanya ikut juga dong?" Tanyaku merengut.
"Iya."
"Boleh gak kalau Tata di tinggal aja Mas? Yayaya?"
Mohonku padanya.
“Jangan, kamu belum terbiasa mengurus Tata. Takutnya
dia rewel nanti malam." Jelas Mas Andi.
Safira - 42Aku hanya diam, berat rasanya berpisah dengan Tata. Aku
ingin selalu bersamanya..
“Tunggu Mas,” aku baru ingat baju yang tadi.
“Kenapa?” Aku mengabaikannya dan _ bergegas
mengambil bungkusan lalu menyerahkannya kepada Mas Andi.
“Apa ini?” Tanyanya bingung.
“Untuk Tata, dipakai waktu menikahkan teman aku ya.”
Kataku yang dibalas anggukan mengerti olehnya.
“Hari minggu saya jemput ya, kita fitting baju pengantin."
Ucap Mas Andi yang ku balas anggukan. Aku mengantar
mereka hingga masuk ke dalam mobil, lalu melambai hingga
mobil Mas Andi tidak terlihat lagi.
ek
Minggu pagi, aku terbangun tepat pukul 10. HAHA.
Sungguh kemarin adalah hari yang melelahkan, iya melelahkan
untuk menamatkan satu drama dalam sehari..
Aku keluar kamar berniat mengambil segelas air. Tapi
Jangkahku terhenti saat aku melihat Mas Andi sedang duduk
berbincang dengan orang tuaku.
"Itu anaknya yang di tunggu dari tadi." Omel Ibu begitu
melihatku. Pandangan yang lain pun mulai tertuju padaku.
"Mas Andi ngapain kesini pagi-pagi?" Tanyaku bingung
dan mengabaikan perkataan Ibu.
"Bukankah saya sudah mengatakan kita akan pergi fitting
baju di hari minggu, Safira?"
Aku yang mendengarnya hanya menepuk kening pelan.
Aku benar-benar lupa. "Maaf Mas."
"Sudah sekarang kamu mandi sana, kasihan Andi sudah
menunggu sejak jam 8." Jelas Ayah padaku yang membuatku
cengo. Dengan cepat aku membalik badan dan berjalan menuju
kamar.
"Buset, pagi banget itu orang datangnya." Omelku sambil
berjalan.
Dengan cepat aku meraih handuk mandi dan langsung
pergi ke kamar mandi. Mandi bebek aja biar cepat, siram,
sabun, bilas dan jangan lupa sikat gigi. Siap.
02310 - 43,Memeriksa lemari yang isinya itu-itu saja tapi tak masalah
lah ya yang penting ada. Aku mengambil celana jeans lalu
blouse kotak-kotak berwarna biru.
Aku berjalan ke luar kamar. Berjalan menuju Ayah lalu
duduk di sampingnya.
“Lama banget kamu. Sarapan dulu sana." Omel Ibu lagi
saat melihatku bersantai di sebelah Ayah. Sedangkan Ayah?
Masih larut dalam obrolan dengan Mas Andi.
"Elah, sudah mandi bebek itu Bu. Enggak usah deh, gak
lapar."
Ayah menyudahi obrolannya. Mas Andi kemudian
menatapku seolah mengisyaratkan untuk mereka berangkat
sekarang.
"Yuk Mas berangkat"
"Om, Tante saya bawa Safira dulu." Pamit Mas Andi pada
Ayah dan Ibu sambil menyalami tangan mereka satu per satu.
"Iya hati-hati ya Nak" jawab Ayah sedangkan Ibu hanya
tersenyum.
"Dadahhhbh Ayah Ibu." Pamitku ikut menyalami orang
tuaku. Lalu berjalan mengikuti Mas Andi.
Mas Andi langsung masuk ke dalam mobilnya. Lah kagak
ada acara bukakan pintu nih?
Aku hanya mengekorinya saja. Masuk ke dalam mobilnya,
duduk diam menjadi anak yang baik. Ingat pesan Ibu "Kamu
jadi anak kalau di rumah asyik-asyik grasuk-grusuk gak jelas,
di tempat orang jangan. Malu kita"
Jaga image ceritanya.
"Kamu gak mau sarapan dulu?" Tanya Mas Andi. Kalau
dibayarin mah mau aja kali Mas.
"Nggak usah, Mas juga sudah lama menunggu dari tadi."
Tolakku sungkan.
Tidak ada balasan lagi, aku pun juga hanya diam dan
sesekali memainkan ponselku. Aku rasakan mobil berhenti. Ah
sebuah cafe.
“Mari turun," ajaknya langsung keluar dari mobil. Aku
hanya mengikuti. Kami duduk di salah satu meja di ujung
Safira-44sebelah kanan dari pintu masuk. Mas Andi memanggil pelayan
yang langsung memberikan menu.
"Kamu pesan dulu. Saya tau kamu pasti lapar."
Aku melihat-lihat buku menu. Wahh ada pancake boleh
ini dicoba. Bukan apa-apa ya, sebagai mahasiswa yang baik
walaupun tinggal bersama orang tua aku juga melakukan
penghematan. Sayang aja gitu beli pancake di cafe, mahal dan
tidak kenyang. Intinya aku belum pernah coba, puas?!
Mas Andi kembali memanggil pelayan . "Kamu pesan apa,
Fira?"
"Ehm, pancake satu sama jus jeruk." Jawabku ragu-ragu.
"Pesan yang mengenyangkan Safira. Kita belum tentu
bisa makan siang tepat waktu." Titah Mas Andi.
"Tapi sedang ingin." Ujarku padanya dengan wajah
memelas.
“Tambah nasi goreng satu, saya Jattenya satu." Mas Andi
menambah pesanan, lalu menyerahkan kembali buku menunya.
Setelahnya kami sama-sama diam. Iya sebelum aku yang
membuka pembicaraan, tidak akan pernah ada obrolan di
antara kami sepertinya.
"Tata mana Mas?"
"Saya tinggalkan di rumah Mama." Jawabnya yang aku
balas anggukan.
"Kemarin kamu ada membahas tentang pesta temanmu?
Kapan? Biar saya bisa mengosongkan waktu." Tanyanya. Wah
panjang sekali kalimatnya.
"Sabtu depan. Jangan lupa ya Mas, sama Tata juga."
Jawabku yang dibalas anggukan olehnya.
Tidak lama setelahnya, pelayan kembali tiba membawa
pesanan kami.
Mataku seketika membulat, nikmat betul tampaknya
makanan ni. Aku mulai mengambil garpu dan pisau kemudian
memakan pancake yang aku pesan tadi. Hm, manis. Enak. Jadi
gini toh rasanya. Aku melihat Mas Andi yang ternyata juga
melihatku.
"Mau Mas?" Tanyaku basa-basi.
P02310- 45Tidak, terlalu manis menurut saya."
"Siapa? Aku?"
"Pancakenya."
Alah mak jang, tertipu aku olehmu Ferguso. Tertipu atau
emang aku yang gak nyambung sih.
"Makan nasi gorengnya juga." Perintahnya sambil
menyesap /attenya nikmat.
"Iya sabar, sesuap lagi habis ini." Jawabku memasukkan
potongan terakhir ke mulut.
"Tapi Mas nanti aku gendutan kalau makan banyak-
banyak."
"Terus kenapa?" Tanya Mas Andi polos.
"Masa enggak tau sih, padahal Mas kan sudah pernah
nikah duluan."
"Terus kalau saya sudah pernah nikah kenapa?"” Tanya
Mas Andi dengan muka datarnya.
"Mm... Maaf" Lirihku.
"Saya hanya bertanya Safira, kalau saya sudah pernah
menikah kenapa?"
“Ma-maksudnya aku pikir Mas tahu biasalah cewek pasti
menjaga tubuhnya, nanti bajunya enggak muat bagaimana
kalau aku gendutan. Maaf." Aku menunduk, takut menatapnya.
Aku tahu aku salah, tidak seharusnya aku menyinggung status
seolah-olah aku adalah orang yang paling mulia di muka bumi.
“Makan Safira." Titahnya lagi.
Aku menegakkan kepalaku, mataku memerah aku tahu itu.
Entah kenapa rasanya begitu takut jika dia marah.
"Saya tidak marah, lanjutkan makanmu." Jelasnya yang
membuatku sedikit bernapas lega.
Dia mengambil sendok nasi goreng, aku pikir dia ingin
memakannya tapi tidak. Dia malah mengarahkan sendok
tersebut ke arahku.
“Makan, lelah saya bersuara tapi tidak kamu turuti.”
"...iiya." Jawabku sambil memakan suapan darinya lalu
mengambil alih sendok. Aku kan malu suap-suapan di cafe gini.
Safira- 46"Mas mau?" tanyaku padanya. Lalu aku lihat mulutnya
menganga. Spontan saja aku sendokkan nasi goreng itu ke
mulutnya.
"Terima kasih." jawabnya.
Kami makan silih berganti. Hingga nasi goreng tersebut
tandas.
"Mas..."
"Apa?"
"Mau kopinya."
Malu sebenarnya, tapi ingin. Alya salah satu pencinta kopi.
Iya kopi dari tempat yang lumayan mahal itu loh starbak.
"Kamu suka kopi?" Tanya Mas Andi padaku.
“Lumayan, biasanya beli di tempat kopi mahal itu loh. Itu
pun cuma sekali sebulan, mahal soalnya. Tapi ini sudah lama
gak minum kopi makanya ingin." Jelasku padanya dengan
sedikit menyombong tapi juga merendah. Dia menyerahkan
cangkir kopinya padaku yang masih tersisa setengahnya.
Jangan salah-salah ini masih sisa setengah padahal gelasnya
kecil karena dia dari tadi minum jus jeruk aku. Makanya aku
juga berani minta.
P02310- 47Setelah acara sarapan terlambat tadi berakhir, aku dan
Mas Andi langsung menuju? Menuju ke mana? Aku juga gak
tau.
"Mas tempatnya di mana?"
"Florance Flo."
Aku tercengang, pasalnya tempat yang Mas Andi bilang
adalah tempat impian para gadis untuk hari bahagianya. Aku
tahu memang karena beberapa waktu terakhir aku mulai sering
nge-stalk koleksi wedding dress di internet. Ya salah satunya
ya Florance Flo.
Aku manggut-manggut setelah tercengang beberapa detik.
Hingga mobil kini sudah terparkir di tempat tersebut. Wah
indahnya. Baru toko aja padahal. jangan toko deh, boutique.
"Ayo!" Ajak Mas Andi langsung menggenggam tanganku.
Duh malu, jarang-jarang seperti ini.
Aku melangkah masuk ke dalamnya melihat sekeliling.
Seketika mataku berbinar. Oh my god. Spectacular.
“Atas nama siapa, Pak?" Tanya seseorang.
"Andi Putra Bagaskara" Jawabnya. Aku baru tau kalau
nama panjangnya itu. Iya sebelumnya kan dia gak pernah kasih
tau.
"Mari Pak silahkan." Ujarnya. Kami mengikuti mbak
yang tadi masuk lebih dalam. Sesampainya di tujuan, Mas
Andi seolah sudah biasa dia langsung duduk di tempat ya
seperti tempat tunggu.
Jelas banget sudah pernah nikahnya pikirku. Astagfirullah
Safira, berdosa Nak itu calon suamimu. Seketika tersadar.
Safira-48"Mari mbak, silahkan memilih koleksi yang sudah di
siapkan." Kata mbak yang tadi. Aku melihat-lihat baju yang
tergantung di sekelilingku. Pilihanku jatuh pada satu baju yang
pastinya memperlihatkan lekuk tubuhku. bolehlah sesekali kan.
Aku menunjuk dress tersebut dan si mbak membawanya ke
ruang ganti, membantuku menggunakannya. Setelahnya tirai
ruang ganti terbuka. Aku melihat Mas Andi yang masih duduk
diam di tempatnya. Melihatku dengan pandangan. Heng
entahlah.
Sebenarnya aku sadar dress ini terlalu terbuka, tapi kan
namanya juga mau menikah.
"Ganti." Satu kata terucap dari mulut Mas Andi. Aku
Jangsung cemberut dIbuatnya.
"Mbak suruh dia coba yang itu." Tunjuk Mas Andi
kesalah satu dress.
Si mbak langsung membawa baju tersebut ke ruang ganti,
aku langsung saja menggunakannya. Subhanallah Mas, ini mah
benar-benar tertutup.
"Mas..." Aku merengek padanya. Kan yang lain. Bilang
deh aku banyak tingkah, kegatalan, ingin yang kebuka.
"Enggak usah yang kebuka. Ngapain umbar-umbar hal
yang bakal jadi milik saya. Mau kamu maharnya saya
kurangi?"
Astagfirullah. Sabar kan hamba. Ini laki kok mengancam
sih. Aku masih mencoba membujuknya dengan pandangan
memelas.
"Ya sudah sana cari, tapi tetap lengannya harus panjang.
Mengerti?" Ujarnya yang aku balas anggukan cepat.
Setelah mengganti baju yang tadi, aku melangkah ke arah
koleksi baju yang masih tersedia. Pilihanku jatuh kepada satu
buah baju berwarna peach dengan brokat di sekitar badannya.
Terlihat indah. Tapi aku kembali termenung setelah melihat
harganya. Gila saja ini mah.
"Kenapa?" Suara Mas Andi mengagetkanku.
02310 - 49"Hm gak apa-apa kok, yuk lihat ke sana." Aku melangkah
berniat menjauh untuk mencari pilihan lain yang setidaknya ya
kurang lah ya harganya dari yang itu.
"Coba aja dulu." Ujarnya padaku.
"Hah?" Aku terkejut.
“Baju ini."
"Enggak usah deh, cari yang lain aja lagi pula ini
punggungnya kebuka."
"Mbak tolong baju yang ini dicoba ke dia." Mas Andi
memanggil pegawai yang tadi tanpa memperdulikan
penolakanku.
“Mari mbak ke ruang ganti." Aku terpaksa menurut. Mau
bagaimana pun juga aku masih punya rasa segan jika harus
membebani terlalu banyak untuk acara pernikahan ini.
Tirai terbuka memperlihatkanku yang sudah mengenakan
dress tersebut.
"Cantik." Gumam Mas Andi yang masih dapat aku dengar.
"Saya ambil yang ini mbak." Ujarnya lagi yang
membuatku membelalakkan mata.
"Mas!" panggilku.
"Saya tau kamu menyukainya." Dia mendekat ke arahku.
"Tapi mas harga-" Bisikku yang langsung di potong
olehnya.
“Saya harap ini akan menjadi pernikahan terakhir kamu,
bersama saya dan tentunya dengan hal yang kamu sukai pula,
saya berharap semuanya akan sangat berkesan untuk dirimu."
Aku terenyuh. Oh my good mas. Na chuaheyo. Aku tresno
karo koe. Suko denai jo uda. Suke aku same kau ni. Ihnhh dugun
dugun kan jantung.
Hampir aja aku menangis dibuatnya. Masa dia melamar di
depan ruang ganti. Iya aku aja yang menganggap melamar sih,
dianya nggak.
"Terima kasih, Mas."
"Sekarang giliran saya." Dia masuk ke ruang ganti yang
lainnya dengan jas berwarna abu-abu. Hanya itu yang aku lihat.
Safira -50Lalu aku yang sudah selesai berganti pakaian hanya
duduk di tempat yang dia duduki tadi.
Dia keluar dari ruang ganti. Mau respon kayak mana ya?
Ini orang mah suruh pakai baju robek-robek juga ganteng
kayaknya.
"Saya gak perlu pendapat kamu." Lah? Pak tadi situ
banyak maunya. Sekarang saya gak boleh ngapa-ngapa.
"Baju pria gak ribet kayak wanita. Jadi saya rasa ini sudah
cukup bagus.” Iya deh iya. Aku hanya menganggukkan kepala.
Suka hatimu saja Mas.
Setelahnya, dia kembali lagi mengganti pakaiannya
dengan yang semula. Lalu menggandeng tanganku menuju
kasir.
"Tutup mata kamu" Ujarnya saat mengeluarkan kartu
debitnya.
“Lah ngapa?"
"Siapa tahu nanti kamu kaget liat nominalnya." Jadi
ceritanya anda menyindir saya yang tidak pernah beli baju
mahal atau bagaimana ini Pak?!
"Ck." Aku melangkah pergi meninggalkan dia yang masih
sibuk dengan pembayarannya.
"Jangan jauh-jauh, nanti saya susah carinya." Dikira aku
anak kecil kali ya.
Setelah selesai, dia menyusulku yang hanya berakhir
duduk di sofa yang disediakan.
Aku teringat baju si gadis kecilku yang belum ada. "Mas
baju Tata bagaimana? Katanya kemarin mau di samakan
dengan punya aku." Ujarku saat sudah masuk ke dalam
mobilnya.
"Nanti kita cari di babyshop aja, pernikahan kita hanya
tersisa 2 minggu lagi, tidak mungkin untuk memesan baju yang
sama. Makanya kamu tadi cuma di perlihatkan koleksi yang
sudah tersedia saja. Maafkan saya."
"Hm iya gak apa-apa. Itu aja sudah lebih dari cukup."
Kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu babyshop
yang sepertinya sudah sering Mas Andi datangi.
02310 - 51."Mari Pak Bu, silahkan masuk." Ujar pelayannya
menyambut kami.
“Saya mau lihat dress bayi umur enam sampai tujuh bulan
yang cocok untuk pernikahan mbak."
"Mari ikut saya."
Kami mengarah ke tempat koleksi dress bayi yang aku
lihat di dominasi warna putih. Wah cantik-cantik sekali.
"Silahkan dilihat beberapa pilihan yang ada."
Mataku mengarah pada satu dress yang aku pikir paling
indah di antara dress yang lainnya.
"Mas yang itu." Tunjukku.
"Yang itu satu mbak." Ujar Mas Andi langsung menurut.
Mungkin karena bentuknya yang sedikit mirip dengan bajuku
atau bagaimana tidak tau juga lah ya.
"Mas boleh belikan baju lagi gak untuk Tata?" Tanyaku
ragu-ragu. Pasalnya aku melihat banyak baju yang lucu-lucu
berteriak minta dibeli..
"Boleh." Siap suami idaman ini mah. Aku berjalan
meninggalkan Mas Andi. Memilih beberapa baju untuk Tata.
Dua aja deh ya. Enggak usah banyak-banyak kasihan Mas
Andinya sudah banyak banget mengeluarkan duit buat hari ini.
“Sudah?" Tanyanya yang aku balas anggukan semangat.
"Saya bayar dulu ya." Ujarnya berlalu ke kasir. Aku
memilih mengekor di belakangnya seperti anak yang takut
kehilangan bapaknya.
"Sini jalannya kalau mau ikut." Dia sadar aku
mengikutinya. Dia pun menarik lenganku hingga tiba di
sampingnya.
Setelah membayarnya kami pun kembali ke dalam mobil.
Aku lihat kini sudah pukul 15.08 WIB, benar saja kata mas
Andi kalau kami belum tentu bisa makan siang tepat waktu.
"Kamu mau makan dulu?" tanyanya.
“Terserah Mas aja"
"Kalau kita langsung pulang gak masalahkan? Saya lelah.
Atau kamu mau ikut ke rumah Mama sekalian melihat Tata?"
Tawarnya yang tentunya membuatku senang.
Safira - 52"Boleh?" Tanyaku antusias.
"Tentu." Yessss.
“Mau ikut aja deh kalau gitu"
Mas Andi menganggukkan kepalanya _ singkat
membawaku ke rumah Mamanya.
02310 - 53Kami tiba di rumah orang tuanya Mas Andi. Saat keluar
dari mobil, aku langsung digandeng olehnya menuju pintu
masuk. Kami berjalan perlahan, tidak ada siapa-siapa di ruang
tamu. Tapi terdengar sedikit berisik di ruang keluarga. Benar
saja, aku melihat orang tua Mas Andi sedang duduk di sofa,
sedangkan Tata bermain di karpet dengan beberapa mainannya
yang berserakan. Ada satu wanita yang aku pikir masih SMA
mungkin?
"Eh ada calon mantu Mama." Sapa Mama Mas Andi
begitu melihatku.
"Iya Ma, lama tidak berjumpa." Jawabku sambil tertawa
renyah. Aku menyalami Papanya Mas Andi juga. Tapi terhenti
di gadis yang tadi bersama Tata.
"Adik saya, Naya."
"Hai kakak ipar. Namaku Naya, adiknya Andi dan
sekarang tengah menyelesaikan pendidikan SMA kelas 12."
Sapanya ramah. Aku kira dia tadi tidak akan seramah ini.
"Oh hai, aku Safira." Balasku sedikit kikuk.
“Suka oppa-oppa korea gak?" Tanya Naya lagi.
"Ehm lumayan."
"Yesss."
"Maafkan adik saya, dia memang sedikit gila." Mas Andi
menyela.
“Enak aja gila!" Balas Naya tidak mau kalah.
“Maaf ya Nak Fira, emang kelakuan mereka seperti ini."
Ujar papa yang merasa malu dengan tingkah anaknya.
Safira -54"Tidak masalah, Pa."
"Mamamamama." Tata merangkak ke arah kakiku. Aku
melihat tangannya yang menggapai-gapai minta di gendong.
"Cie Mama-Mama. Eomma dong Nak biar Imo senang."
Ujar Naya yang membuat semuanya bingung. Aku hanya
tertawa melihatnya.
Kuraih gadis kecilku masuk ke dalam gendonganku lalu
menciumnya tanpa puas. Dia memeluk leherku kuat seolah
tidak mau lagi kehilangan. "Anak Mommy rindu ya."
Semua mata memandang haru melihat interaksi antara aku
dengan Tata. Mas Andi menepuk sofa sampingnya,
menyuruhku duduk bersamanya.
Tata masih memelukku erat. Menyandarkan kepalanya di
dadaku, terkadang naik ke ceruk leherku. Beberapa kali Mas
Andi ingin mengambilnya tapi dia tidak mau lepas. Aku hanya
tertawa melihatnya.
"Anak siapa sih kamu sebenarnya, kok gak mau sama
Daddy?" Yah merajuk dia guys. Ngambek ceritanya.
Aku yang melihatnya seperti itu langsung tertawa kembali.
Ah senangnya seperti ini. Aku meletakkan Tata tepat di atas
dadanya. Awalnya Mas Andi enggan untuk balas memeluk
Tata. Tapi setelah diciumi oleh Tata dia pun luluh.
"Daddy kangen tau anak." Ujar Mas Andi mengecup pipi
gembul Tata.
"Kalian makan malam di sini kan?" tanya Mama pada
kami. Aku hanya menatap ke arah Mas Andi seolah
menyuruhnya menjawab.
"Iya." Balas Mas Andi tidak ingin mengecewakan
Mamanya.
"Saya bawa Tata ke kamar dulu, sepertinya dia
mengantuk." Izin Mas Andi yang aku cegat.
"Aku aja boleh?" Tanyaku ragu-ragu.
"Ikut aja sana kak, paling kalau kalian berbuat tidak
senonoh tinggal dinikahinya aja langsung." Ujar Naya santai.
Karena terlalu santai-nya ingin rasanya aku menggorok
Jehernya.
P02310- 55“Mulut kamu itu disaring dulu kalau ngomong. Cewek
kok kayak gini." Papa menasihati putri semata wayangnya.
“Ayo ikut saja, mungkin kamu mau istirahat juga. Saya
tau kamu lelah." Pengertian banget sih ini orang. Kan jadi suka.
Aku mengekori Mas Andi yang berjalan ke arah
kamarnya. Ketika tiba di satu pintu berwarna putih dengan
tulisan di depan pintu kamar yang menandakan dialah pemilik
kamar ini. 'ANDI' sebuah tulisan pahatan kayu yang tergantung
di depan pintu kamar. Aku terkekeh pelan melihatnya.
“Ttu karena Naya sering salah kamar makanya papa bikin
nama di setiap kamar yang ada di rumah ini." Jelas Mas Andi
tanpa aku pinta.
Aku mengangguk paham, Mas Andi meletakkan Tata di
kasur. Gadis kecilku masih belum tidur ternyata.
"Lihat dia sebentar ya, saya mau ke kamar mandi."
Aku memandangi Tata yang juga memandangiku sambil
tertawa, ah gadis kecilku benar-benar manis. Aku merasa
beruntung dengan semua ini. Karena Tata aku memiliki gadis
yang manis, karena Tata aku memiliki pria yang dapat
melindungiku, karena Tata aku bisa menikmati fasilitas mewah
yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Karena si gadis
kecil yang tengah tersenyum padaku sekarang ini.
"Waktunya tidur anak Mommy." Seruku
menggendongnya lalu menimangnya dengan _ sesekali
bersenandung ria.
Mas Andi keluar dari kamar mandinya dengan wajah
segar, wangi harum dan pakaian yang telah berganti. Ternyata
dia habis mandi.
"Kamu mau bersih-bersih juga?" tanyanya yang tidak aku
jawab. Bagaimana mau mandi kalau tidak ada baju ganti
Ferguso?
Seolah tau dengan kebingunganku dia kembali berkata.
"Biar saya pinjam baju Naya dulu sebentar."
Mas Andi berlalu keluar kamar. Aku kembali menimang
Tata yang sudah memejamkan matanya. Menunggu tidurnya
benar-benar lelap.
Safira -56Setelah memastikannya, aku melihat ada box bayi disudut
kamar ini. Saat aku ingin meletakkannya, aku merasakan
banyak debu di sana. Tidak jadi, bisa-bisa gadis kecilku
terkena flu karena debu.
Aku meletakkannya di atas kasur, mengatur bantal agar
mengelilinginya lalu menaikkan selimut sebatas dadanya.
"Selamat tidur anak Mommy" ucapku sebelum mengecup
keningnya lama.
Aku mendengar pintu dibuka, Mas Andi masuk ke dalam
kamar. Melihat Tata yang sudah tertidur membuat hatinya
tenang.
"Mas box bayinya kok berdebu banget sih?" Protesku
sambil menunjuk box bayi di sudut ruangan.
"Ehm, kamu tau kan kalau saya cuma berdua dengan Tata.
Jadi kalau menginap saya lebih memilih menidurkan Tata di
dekat saya ketimbang harus mengeletakkan dia di sana." Jelas
Mas Andi panjang lebar. Aku terenyuh. Sungguh malang lelaki
kesepian ini. Aku akan menemanimu Mas.
"Ini, kamu mandi aja dulu. Dalamannya masih baru kok
kata Naya." Ujar Mas Andi sembari menyerahkan baju lengkap
dengan dalamannya pula yang kuyakini dipinjamnya pada
Naya.
Oh my God? Dalaman? Warna merah pula. Astaga anak
SMA mana yang punya dalaman warna merah terang gini? Oh
iya lupa ini ada, Naya namanya.
Dengan pipi memerah aku meraihnya dari tangan Mas
Andi. Mustahil sekali dia tidak melihatnya. Aku pun langsung
Jari ke kamar mandi.
Aku melihat kamar mandinya yang terbilang mewah,
ternyata ada ruang ganti pakaian juga di sini. Pantaslah Mas
Andi tadi bisa langsung mandi tanpa perlu membawa pakaian
lagi.
Aku menyalakan air di bathub, seumur hidup aku cuma
pernah mandi di bathub kalau menginap di hotel doang.
Selebihnya mah kagak. Punya shower aja syukur.
02310 - 57Melirik sabun, yaya aku rasa ini sabun milik Mas Andi.
Tak masalah lah ya. Aku menuangkannya secukupnya. Lalu
menggulung Rambutku ke atas. Tidak ingin basah karena
hanya ada sampo lelaki di sini.
Ketika aku mulai berendam rasanya sangat nyaman, rasa
lelahku tadi seketika hilang. Ah indahnya dunia.
Sekitar 20 menit aku berendam, syukurlah tidak ada
protes dari Mas Andi. Coba bayangkan jika dia tiba-tiba
menggedor gedor pintu menyuruhku keluar karena terlalu lama.
Malu lah saya mak.
Aku memakai si dalaman merah tadi, ternyata pas ya
walaupun sedikit sesak ya. Toh kami cuma beda 2 atau 3
tahunan. Aku melihat baju yang dibawa Mas Andi tadi. Ya
ampun ini mah gaya ala-ala Korea. Ni anak bajunya gini semua
kali ya.
Ada rok berwarna peach, baju mini gitu warna abu-abu
dan jaket denim. Entah karena aku yang lebih tinggi dari Naya
atau emang ini roknya yang kependekan. Rasanya begitu asing
karena aku belum pernah memakai baju seperti ini sebelumnya.
“Mas, baju Adek kamu kayak gini semua?" Tanyaku pada
Mas Andi begitu aku keluar dari kamar mandi. Rasanya risih.
Aku terus menarik rok ku ke bawah, merasa yang aku
kenakan kini sangat-sangat pendek.
Mas Andi menggeleng pelan menyadari betapa kurang
bahannya baju milik adiknya itu. "Baju Naya emang kayak gitu
semua, kalau kamu mau celana ya robek-robek atau hotpants.
Gak masalah?" Tanya Mas Andi padaku.
"Ta...Tapi ini pendek banget." Aku terus menarik roknya
ke bawah. Mas Andi meraih tanganku. "Jangan di tarik lagi,
kamu... Cantik kok pakai baju ini tapi cukup hanya di rumah
dan disaat ada saya." Mas Andi mengecup pelipis ku. Ibu
serangan jantung ini, si bapak bisa-bisanya menggombal disaat
situasi kayak gini.
Safira -58Mama Mertua
Dengan malu-malu aku berjalan keluar dari kamar.
Setidaknya aku masih memiliki otak dengan tidak tidur
nyenyak padahal mama sedang pontang-panting memasak di
dapur. Sedangkan Mas Andi sedang menemani Tata tidur.
"Ma." Sapaku saat tiba di dapur melihat mama yang sibuk
menggiling cabai dengan ulekan. Mama the best.
"Ya sayang?" Jawab mama membuatku tersipu.
“Ada yang bisa aku bantu, Ma?" tanyaku dengan tingkah
sok cantik. Iya sadar kok sadar.
"Kamu gak istirahat aja? Gak capek emang seharian ke
sana kemari?" Mama balik bertanya.
"Nggak kok. Sini aku bantu bikin makanan Tata ya, Ma?
Bisa kita makan juga kok." Tawarku yang mendapat anggukan
semangat dari Mama.
"Baju Naya ya?" Tanya Mama. Ya aku ternotice.
"Iya Ma, pendek banget ini roknya." Aduku karena
memang risih.
“Iya itu anak gak mau di kasih tau, bajunya gini semua.
Belum lagi celana-celananya ya ampun pusing Mama
lihatnya." Curahan hati Mama padaku.
“Aku rasa juga gak masalah sih Ma, mengingat dia masih
SMA. Lagipula ini masih batas wajar kok, mungkin akunya aja
yang gak biasa pakai jadi agak risih"
"Besok-besok kamu mulai aja deh bawa baju kamu
beberapa tinggalkan di lemari kamar Andi. Daripada ribet gini
kan? Atau kita beli aja. Iya kita pergi shopping berempat sama
02310 - 59Tata. Girls time begitu." Ya ampun ini mak-mak tau juga sama
girls time.
“Iya Ma, besok deh ya." Jawabku santai mulai membuka
kulkas dan melihat persediaan di sana. Aku dapati ikan, tahu
dan beberapa bumbu rempah dan juga santan. Okey kita masak.
“Benaran besok nih ya?" Eh buset aku salah ngomong lah
kayaknya.
"Hah besok nih Ma? Aku ada kelas pagi." Lah aku pikir
besok-besok. Eh besok benaran.
"Kan pagi sayang, besok Naya kan juga sekolah. Tenang
deh nanti Mama atur." Aku mengangguk pelan.
Mulai melanjutkan aktivitasku, memotong ikan menjadi
beberapa bagian dan mencucinya dengan jeruk nipis agar tidak
amis. Lalu mengupas bawang putih dan bawang merah serta
kunyit. Kemudian membasuhnya hingga bersih lalu blender.
Setelah halus, aku mengambil panci kecil karena hidanganku
yang tidak seberapa lalu masukkan bumbu, tumis sebentar dan
tuang santan. Aduk hingga merata, setelahnya aku
memasukkan deh itu ikan. Tunggu sampai ya kira-kira 10
menit baru masukkan tahu yang sudah di potong dadu. Setelah
matang, aku mengambil mangkuk putih bersih lalu
menuangkannya dengan rapi. Siap deh, kok jadi tutorial masak
ya? Hehe.
Tanpa aku sadari ternyata Mama memperhatikanku dari
tadi. Tepat saat aku berbalik ke arah meja makan Mama
memandangku dengan senyuman hangatnya. "Mama gak salah
pilih kamu."
Aku tersenyum, tersenyum bangga. Pada diriku yang
mampu membuat orang lain tersenyum. Ingat tugasku belum
selesai, aku hanya baru selesai memasak. Tapi belum membuat
makanan untuk Tata. It's so simple guys. Buat mama muda
sepertiku, Mama muda. Aku mengambil tempat makan Tata,
lalu saringan dan sesendok nasi yang masih hangat. Paham gak
lo pada? Jadi, kita tinggal benyek-benyek nasi di ayas saringan.
Kan nasi yang ke saring tentunya lebih halus. Lalu ambil deh
sepotong ikan yang tadi pilih dagingnya dan juga tahu, lakukan
Safira - 60hal yang sama. Setelahnya ambil kuah secukupnya, aduk
sampai rata. Siap lagi kan. Sama Safira mah semuanya beres.
"Sudah?" Tanya Mama yang aku balas anggukan.
"Ya sudah kamu panggil Andi ya, biar Mama panggil
yang lain." Aku berjalan ke kamar Mas Andi. Yang pertama
kali aku lihat adalah Mas Andi yang sepertinya tertidur sambil
memeluk Tata. Tapi Tatanya sudah bangun. Kasihan deh Nak
dikepit gitu.
Aku ingin tertawa rasanya, si bapak juga ngapa gak pakai
baju sih. Masa bodo lah, aku berjalan ke arahnya mengguncang
tubuhnya pelan. "Mas bangun, makan malam dulu yuk."
Dia mulai mengerjapkan matanya tapi malah mempererat
pelukannya pada Tata. Tata yang dirasa sepertinya risih mulai
merengek.
"Mas, kasihan itu Tatanya ke jepit." Aku membuka paksa
tangan Mas Andi agar aku dapat mengambil Tata tapi yang
terlihat malah yang bukan-bukan. Ya ampun itu dada gak baik
dilihat sebelum sah. Aku tarik selimut menutupi badannya, lalu
aku pukul sekuat tenaga agar dia terbangun. Kebo banget sih.
Dan akhirnya bangun juga, kuraih Tata berniat mengganti
pakaiannya.
"Gak sakit Mas?" Tanyaku sedikit merasa bersalah.
"Nggak." Jawabnya.
Bodo deh bodo. Aku beralih pada lemari pakaian berniat
mencari baju Tata.
“Ngapain?" Tanya Mas Andi.
"Ganti baju Tata, sudah malam dianya belum mandi kan
karena tidur tadi."
Betapa lucunya dia, si gadis kecil dengan badan yang
berisi dan kepala botak. Ah betapa beruntungnya aku. "Sudah
yuk keluar."
Kami keluar dari kamar. Melihat yang lain sedang
menunggu di ruang keluarga. "Ma itu mereka, ayo makan."
Seru Naya sambil berlari ke meja makan.
Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. Saat
semuanya sudah di meja makan, setelah Mama mengambilkan
02310 - 61nasi untuk Papa, aku juga mengambilkan nasi untuk Mas Andi.
Ada banyak masakan yang di buat Mama, mulai dari gurame
asam pedas, telur balado, capcay dan tentunya gulai kuning
ikan yang aku buat tadi.
"Mau yang mana Mas?" tanyaku — sebelum
mengambilkannya lauk.
"Telur sama ini." Tunjuknya pada masakanku. Ah tau saja
dia kalau itu aku yang masak.
Aku mengambilkan apa yang dia minta. Lalu mengambil
alih Tata dari pangkuannya agar dia lebih mudah untuk makan.
Aku menjangkau nasi tim Tata yang sudah aku buatkan
tadi, lalu menyendokkan air putih terlebih dahulu baru
setelahnya menyuapinya nasi tim. Aku melihatnya makan
dengan lahap, selalu begini setiap aku memberinya makan.
Sangat senang tentunya.
"Kamu juga harus makan nak." Kata Papa kepadaku.
"Iya Pa, habis Tata makan aku juga bakal makan kok, Pa."
Jawabku.
Di luar dugaan semua orang Mas Andi malah
mengarahkan sendok yang di penuhi dengan nasi dan lauk ke
arah mulutku.
"Makan." Ujarnya singkat. Aku membuka mulutku
dengan malu dan menerima suapannya. Lalu dia kembali
menyuapi dirinya sendiri begitu berulang-ulang. Nasi Tata
sudah habis, nasi Mas Andi pun juga. Tiba-tiba Mas Andi
mengambil Tata dari tanganku. "Saya mau tambah nasi lagi."
Aku tercengang sejenak sebelum mengambilkan apa yang
dia minta. Sepotong ikan patin lagi tanpa telur kali ini. Baiklah
dia menyukainya. Lagi-lagi dia menyuapiku.
"Tanggung mengotori piring lagi, mending berdua saja."
Bisa saja bapak ini.
"Gue jomblo please." Sedari tadi Naya selalu berkata
seperti itu. Sampai-sampai Mama menyumbat mulutnya
dengan sesuap nasi penuh. Tentunya langsung dapat protes dari
Naya.
Safira - 62Setelah makan malam selesai, setiap orang di rumah ini
akan memiliki waktu sendiri. Sedangkan aku dan Mas Andi
memilih pamit pulang.
"Ma, Pa Andi antar Fira pulang dulu. Takutnya terlalu
Jarut." Pamit Mas Andi pada orang tuanya.
"Kamu juga pulang? Tata?" Tanya mama.
"Iya kami pulang aja Ma, aku pamit ya." Izinnya sekali
lagi diikuti olehku.
Kami masuk ke mobil dan mulai berkendara menuju
rumahku. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Mas Andi
sibuk menyetir, sedangkan Tata mulai bersandar ke dadaku
tanda dia mulai mengantuk. Aku menepuk pelan punggungnya,
berharap dia akan segera tertidur. Dan benar saja hanya
hitungan menit dia sudah memejamkan matanya. Gadis yang
pintar.
"Dia tidur?" Suara Mas Andi terdengar.
"Ya seperti biasa."
Kami tiba di rumahku, Tata diletakkan dalam babycar
seat miliknya yang ada di mobil Mas Andi. Dia masih tenang
dalam tidurnya.
“Saya pamit, Terima kasih untuk hari ini dan makanannya.
Saya suka, saya harap saya akan seterusnya menikmati
masakan kamu di setiap harinya. Ya secepatnya."
Aku tersentuh, secara tidak langsung Mas Andi
mengutarakan keinginannya untuk ingin secepatnya
bersamaku dalam ikatan yang lebih jelas tentunya.
02310 - 63Part 14
Belanja & Pernikahan Zahra
Hari ini benar saja, Mama menjemputku di kampus.
Awalnya aku bingung tapi katanya dia tau dari Mas Andi. Iya
sih aku sempat kontakkan sama Mas Andi, terus dia nanya-
nanya aku pulang jam berapa. Jadi ini sebenarnya. Kami
menuju ke sekolah Naya. Sekolahnya sangat bagus, swasta
sepertinya. Berbeda denganku yang sekolah di negeri dan
berusaha untuk masuk kuliah dengan SNMPTN jadi enggak
usah tanya perjuangan SBM ya. Fighting aja.
Naya masuk ke dalam mobil Mama, bajunya sudah
berganti. Mantap kali anak ini.
"Pasti Kak Fira bingung kan kenapa baju aku sudah
ganti?" Tanyanya padaku yang aku balas anggukan.
"Tau gak bagaimana caranya?" Tanyanya lagi yang aku
tanggapi dengan gelengan.
"Kakak pendiam ya? Asyik-asyik angguk geleng aja. Jadi
dari rumah aku sudah pakai celana pendek, terus kaus dalam.
Bawa deh jaket di tas. Pas mama jemput tinggal lepas. Hebat
kan aku." Gak penting dek. Aku hanya terkekeh pelan. Dan
soal aku pendiam? Enak saja, kau hanya belum tau Garcia.
Jika kalian bertanya apa Tata jadi ikut, jawabannya ya.
Aku lupa mengatakannya, dia sedang tidur di babycar seat
miliknya. Kami tiba di salah satu pusat perbelanjaan yang
cukup besar di kota ini. Berjalan keluar dari mobil sambil
mengeluarkan stroller = milik Tata dari __bagasi.
Memindahkannya lalu kami masuk ke dalam mall tersebut.
Kami berjalan dengan santai, masuk dari toko ke toko.
Melihat-lihat beberapa baju rumahan serta dalaman. Mama
Safira - 64memilihkan baju-baju yang aku rasa sangat bagus dan tentunya
membuatku merasa sungkan. Aku bukannya tidak tau jika
semuanya akan dia yang membayar. Aku hanya tidak ingin
terus-terus merepotkan keluarga ini. Seolah aku hanya
mengharapkan hartanya.
Beberapa pajama yang Mama pilihkan untukku. Ada dua
warna dan aku memilih mengambil yang warna_ putih,
sedangkan yang satunya untuk Naya.
Sedangkan untuk Naya satu lagi pilihannya sendiri, benar-
benar unik menurutku. Dia pandai memilih baju.
Lucu sekali baju-bajunya. Setelahnya kami memilih untuk
pergi makan siang. Aku hanya mengikuti kemauan mama,
karena rasanya sangat tidak sopan terlalu banyak tingkah disaat
Mama sudah sangat baik kepadaku. Kami makan di salah satu
restoran nusantara, aku rasa keluarga mereka memang lebih
suka masakan daerah daripada masakan luar. Kami makan
sambil sesekali berbincang dan tertawa bersama.
Setelahnya, Mama mengantarku pulang. Sekalian
bertemu dengan Ibuku, karena Ayah pasti belum pulang karena
sekarang masih pukul 15.00.
"Bu, ada Mamanya Mas Andi." Panggilku begitu
memasuki rumah.
Ibu berjalan dari dapur dengan tergesa. "Aduh, masuk
jeng. Saya lagi bersih-bersih ini di belakang."
“Iya enggak apa-apa jeng, cuma mau menyampaikan aja
kalau persiapan sudah siap. Undangan juga, nanti hubungi aja
ya butuh berapa biar saya kirimkan."
"Aduh, Terima kasih banyak ya. Maaf merepotkan,
semoga kedepannya lancar.” Balas Ibu sambil menjabat tangan
Mama.
"Iya gak apa atuh jeng, kita kan bakal jadi besan. Saya
juga senang. Pamit ya jeng."
"Iya hati-hati di jalan ya, salam sama yang lainnya."
Aku mengantar mama sampai ke depan. Melambaikan
tangan dengan senyum terbaikku. Sungguh keluarga yang
sangat baik.
P02310- 65ak
Minggu ini adalah hari pernikahan Zahra, aku sudah
berjanji akan datang dengan Mas Andi dan Tata. Sebenarnya
kemarin malam aku sudah ke sana juga saat akad dan kini
saatnya resepsi. Aku mengenakan baju berwarna navy yang
waktu itu aku beli serasi dengan Tata. Menggunakan lapisan
make up sederhana, lalu heels dengan tinggi 5 cm.
Aku menunggu Mas Andi yang katanya sudah berangkat
sejak 25 menit yang lalu. Suara deru mesin terdengar, dengan
cepat ku buka pintu. Wah aku terpukau, bajunya pas dengan
tubuh Tata. Sangat cantik anak gadisku ini. Mas Andi
menggunakan kemeja biru dengan jas berwarna navy. Secara
tidak langsung senyumanku terbit karenanya. Kami benar-
benar terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.
"Kamu cantik." Astaga, begitu masuk dia langsung
membisikanku kata-kata seperti itu. Lemah hati ini Mas. Aku
hanya tersenyum malu. Kami pamit kepada Ibu dan Ayah.
“Sampaikan selamat aja ya dari Ibu sama Ayah, maaf gak
bisa datang.” ujar Ibu padaku yang aku angguki.
“Hati-hati di jalan anak." Ujar Ayah setelah kami
menyalaminya.
"Dadah Ayah Ibu." Ucapku ketika keluar dari rumah. Yah
begitulah masih seperti anak-anak bukan. Anak-anak yang
sudah bisa buat anak.
Aku duduk di dalam mobil Mas Andi sambil memangku
Tata. Sesekali aku bergelut dengan Tata, merapikan rambutnya,
kemudian tertawa bersama.
"Kamu gak masalah bawa Tata?" Tanya Mas Andi
membuka pembicaraan.
“Masalah? Ngapain Tata jadi masalah?" Tanyaku balik.
"Ya... Kamu membawa anak di depan teman-temanmu.
Tata bisa aja menghambat kamu nanti waktu ingin bersama
dengan temanmu." Ujar Mas Andi.
Wah aku tercengang dengan kata-katanya. Sangat bagus.
"Terus tujuan Mas mau nikah in aku apa? Demi Tata kan? Aku
juga menerima Mas tujuannya apa? Demi Tata juga kan? Aku
Safira - 66bisa memahami situasi apa yang akan aku hadapi setelah kita
terikat ataupun nanti saat di pesta Zahra. Aku gak terbebani
sama sekali." Jelasku dengan sedikit emosi. Entah lah apa
maksudnya bertanya seperti itu.
"Maaf saya tidak bermaksud seperti itu." Aku diam. Malas
menanggapi. Aneh tau gak.
ke
Setibanya di pesta Zahra, aku terpaksa menekan egoku
untuk berbaik hati dengan Mas Andi. Dia menggendong Tata
di lengannya , sedangkan tangan yang lain menggenggam
tanganku.
"Safira." Panggil seseorang.
Britney, si besar suara yang tidak mempunyai gandengan.
Oh ada, dia sedang menggandeng Faley. Miris sekali kalian.
"Mana Zahra?" Tanyaku bodoh.
"Tuh di pelaminan, perlu gue tarik kesini?" Jawab Faley
ikutan bodoh.
"Kalian gila? Hai cogan siapa sih namanya?" Tanya
Britney sambil melepas tangan Faley dan langsung pindah ke
sebelah Mas Andi.
“Enggak usah jadi PELAKOR lo, gak liat di tangan sudah
ada anak." Jawabku sarkas. Memang anak ini tidak bisa
melihat yang tampan sedikit aja langsung modus.
"Laki lo? Aduh maaf ya Mas ganteng, saya gak tau.
Kenalkan Britney, dia Faley terus yang nikah Zahra. Terus
yang ini Safira." Dia memperkenalkan semua dari kami.
"Sudah kenal goblok." Balasku lagi-lagi sarkas padanya
yang langsung dihadiahi tatapan mematikan dari Mas Andi.
Gila aja mulut gak di rem jelas lah marah dia, depan anak
gadisnya lagi. Aduh salah banget ini hidup gue.
"So guys, biar gue kenalkan dengan benar. Dia Mas Andi
calon imam gue terus yang di gendong anaknya atau sebut saja
anak gue. Dan Mas Andi mereka teman-teman aku." Ucapku
saling memperkenalkan mereka. Mas Andi hanya mengangguk
paham.
02310 - 67"Dan lagi?" Tanya Faley. Apalagi? Perasaan sudah aku
ceritakan semua.
“Ambilkan gue makanan dulu baru gue ceritain." Tapi aku
tetap meladeni kebodohan Faley, siapa tahu untung kan seperti
saat ini.
"Ya sudah enggak usah cerita gue gak masalah, yang jelas
lo bakalan nikah sama Mas ganteng ini kan. Terus dia anak lo
yang sangat lucu itu kan. Gue paham." Faley memang manusia
paling malas.
“Lagian si bego, Safira itu sudah menjelaskan kemarin
tapi lo tanya lagi.” Emosi Britney tersulut dengan kepintaran
Faley yang di atas rata-rata.
“Santai dong mulut lo, gue manusia yang bisa lupa.” Duh
bisa-bisa berantem ini.
"Ekhm, gue siapa yang ambilkan makan?" Selaku di
antara perdebatan mereka.
"“Ambil sendiri oon, sudah jadi emak orang malas juga
hidup lo." Aku memberengut mendengar perkataan kasar
Britney.
“Pegang Tata, biar saya ambilkan." Ujar Mas Andi sambil
menyerahkan Tata padaku.
Aku mencekal tangannya. "Enggak usah Mas, aku cuma
bercanda. Nanti aku ambil sendiri." Mas Andi duduk kembali.
Gila aja bisa-bisa dikira lebay banget makan aja harus
diambilin.
"Anak lo lucu banget sih Fir." Kata Faley sambil menoel
pipi Tata.
"Anak gue gitu loh. Lo pada sudah jadi Aunty."
"Iyaya kita auntynya. Aunty Britney, Aunty Faley, Aunty
Zahra." Britney mengucapkan satu persatu nama mereka
dengan embel-embel Aunty.
Safira- 68Part 15
Pernikahan Zahra(2)
Setelah selesai menikmati hidangan, aku bersama yang
lainnya seolah diberi waktu luang untuk bersenang-senang
oleh Mas Andi. Terbukti dengan dia yang memilih mengambil
Tata dari pelukanku dan menyibukkan dirinya dengan si buah
hati.
Aku sibuk bercanda dan tertawa dengan teman-temanku.
Tidak lupa pula memberi taukan rencana pernikahanku yang
akan di gelar kurang dari dua minggu lagi.
"Terus lo libur dong Fir." Kata Britney menengahi
pembicaraan.
"Iya minggu depan, minggu depan waktu bebas gue
sebelum dipingit. So mari kita cari seragam yang pas untuk
kalian bertiga." Ajakku yang dibalas antusias dengan mereka
semua.
"Calon laki lo anteng banget ya, baik juga kelihatannya."
Faley memandang Mas Andi yang sedang sibuk dengan Tata.
"Iya jelaslah anteng, mau ngapain juga dia ribut-ribut di
nikahan orang. Menurut kalian ini pilihan yang tepat gak sih?"
Tanyaku.
Britney dan Faley memandangku menyelidik. "Kenapa lo
baru tanya sekarang bodoh?! Sudah dekat juga pernikahannya .
Mana mungkin mau di batalkan." Sergah Britney santai.
Suaranya besar sekali, Mas Andi yang sepertinya mendengar
langsung berdeham gelisah.
"Suara lo toa banget sih, dengar itu orangnya. Gue juga
gak bilang mau batalkan." Jawabku gusar karena melihat Mas
Andi yang sepertinya sudah tidak senyaman tadi.
02310 - 69"Iya maaf, gue kelepasan. Panas dengarnya tau gak. Itu
laki lo sudah ganteng, mapan, baik juga kelihatannya, sayang
anak masa lo mau mempertanyakan kembali. Gak salah lo."
Timpal Britney lagi.
Ahh benar juga perkataan Britney. "Tumben waras lo."
Balasku yang kemudian membuat kami tertawa.
"Sudah yuk, kita salam dulu deh ya. Kasihan anak gue
capek nanti."
"Kasihan sama bapaknya juga mbak, jangan pilih kasih."
Goda Faley yang hanya membuatku terkekeh.
Aku beralih pada Mas Andi dan Tata. Ingin mengambil
alih Tata darinya tapi seperti tidak diperkenankan. "Biar saya
saja yang gendong Tata. Kamu sama teman-temanmu saja
sana." Katanya mengabaikan tanganku yang menggantung.
"Kita sudah mau salam sama pengantinnya. Ayuk Mas."
Aku mencoba menetralisir keterkejutanku. Setidaknya Mas
Andi kini tidak melepas tanganku yang sedang menggandeng
lengannya.
"Ah kalian datang, gue kira pada enggak mau datang.
Kenalkan ini suami gue Mas Raka." Jelas Zahra begitu melihat
teman-temannya. Kami hanya bersalam sapa satu persatu
sambil mengucapkan nama masing-masing.
"Selamat ya Zahra, gue senang lo sudah ada yang jaga."
Ucapan Faley yang terdengar sedikit sok peduli.
"Selamat ya Ra, jangan lupa yang biasa gue ajari di
praktikkan. Pasti mantap pakai b." Ucapan nyeleneh Britney.
Aku langsung saja menoyor kepalanya. "Sinting lo, sok
mengajari orang. Punya yang halal juga kagak lo."
"Apa sih Fir, lo kira gue mengajari apa ke Zahra? Gue
cuma mengajari cara bikin sambal terasi yang enak sudah itu
saja." Ya kali gue percaya bego. Aku mengabaikannya saja.
Sedangkan Zahra yang menjadi pusat hanya terkekeh melihat
sahabat-sahabatnya.
"Selamat ya Zahra, doain gue bisa lancar kayak lo. Supaya
kita sama-sama punya gandengan halal. Beda sama mereka
berdua." Ucapku memeluk Zahra.
Safira- 70"Drama banget sih lo berdua." Britney mendecak malas.
Tapi aku abaikan.
"Oh iya Ra, ini yang mau gue kenalkan. Mas Andi, Mas
ini Zahra. Dan ini gadis kecil gue Tata."
Mereka saling berjabat dan dapat gue dengar Zahra
mengatakan sesuatu pada Mas Andi. "Jaga Safira ya Mas,
maklumi juga mulutnya suka kelepasan kalau bicara jadi
jangan diambil hati kalau dia bicara aneh." Terang Zahra yang
diangguki Mas Andi.
Entah Mas Andi mengerti atau tidak perkataan Zahra yang
jelas Zahra mengamanatkan diriku pada Mas Andi. Memang
Zahra ini adalah sahabat terbaikku.
"Saya pasti akan menjaganya." Aku langsung menoleh ke
Mas Andi. Wahh tidak disangka jawabannya, padahal aku kira
dia sedang marah.
seek
Setelah berpamitan kami langsung pulang ke rumah. Ke
rumahku maksudnya. Saat di perjalanan, keadaan hanya
hening mengingat Tata yang kini sedang tertidur.
"Kamu... Masih bisa berpikir ulang untuk kedepannya."
Tiba-tiba Mas Andi memecah keheningan.
"Kedepannya?"
"Ya, pernikahan. Sebelum terlambat. Kalau kamu ragu,
kita bisa aja batalkan semuanya." Suaranya merendah di akhir
kalimat. Aku menatapnya dalam. Menghela napas dan
memutar kepala melihat keluar jendela.
Hening lagi.
"Sudah deh Mas, aku tadi gak serius menanyakan hal itu
ke mereka. Aku tulus, untuk Mas, untuk Tata dan untuk kita.
Aku siap menghadapi apapun yang akan terjadi di masa
depan." Wah ternyata aku bijak juga geng. Gak menyangka
bisa bicara gitu.
Mas Andi diam, entah merasa bersalah atau masih ada
perdebatan di hatinya. Aku memberanikan diri memegang
tangannya yang sedang menyetir. Dia menatapku, menatapku
P02310- 71seolah meminta bersama-sama berjuang dengannya. Ya
berjuang bersama di masa depan. Untuk rasa yang belum ada.
Hanya sekedar nyaman dengan peran yang dimiliki satu sama
lain.
Kami tiba di halaman rumahku masih pukul tiga sore
memang. Aku masih berdiam di dalam mobilnya.
"Aku masuk dulu ya Mas." Aku membuka sabuk
pengaman di mobil ini yang diikuti juga olehnya. Padahal tadi
saat kutanya dia tidak mau mampir terus ngapain ikut-ikutan
segala.
"Sebentar." Pintanya yang aku turuti saja. Kami duduk
dalam keheningan. Mungkin karena hari ini minggu komplek
jadi sepi. Rumah juga masih ke tutup enggak tau tuh ada apa
enggak Ibu Ayah di dalam.
“Awalnya saya pikir ini tindakan bodoh, menikah lagi
disaat baru bercerai sekitar 5 bulanan. Sama anak umur 20
tahun yang masih perawan. Kadang saya juga mikir, kenapa sih
kamu bisa mau nikah sama duda beranak satu disaat kamu
masih sangat-sangat muda-"
“Jangan salah-salah, ‘anak umur 20 tahun’ ini sudah bisa
buat anak aku elus." Aku memotong pembicaraan. 1...2...3...
Astaga apa yang barusan aku bilang? Buat anak? Dasar goblok,
singa dikasih mangsa ini namanya.
“Ekhm, bukan itu maksud saya. Kamu kebiasaan ya suka
motong pembicaraan orang." Mas Andi berdeham. Untung dia
sudah jadi bapak orang coba kalau anak ingusan seumuran,
sudah dijabanin ini. Eh apa? Anak ingusan? Gak boleh, bukan
anak ingusan. Pria seumuran baru benar. Gak pakai anak,
remaja, dll.
"Ya sudah maap, lanjutin deh." Balasku sambil
menunjukkan tanda v di jari telunjuk dan manis.
“Sudah gak ada lagi feel nya. Malas saya."
Lah.
"Ya sudah masuk dulu ya." Sa bodo toh Mas mau feel apa
kagak.
Safira- 72Mas Andi mencegat tanganku hingga aku terduduk
kembali lalu dia maju dan mendaratkan bibirnya tepat di
pelipisku. Aku terdiam saat merasakan bibir lembutnya.
"Di sini dulu, saat kita selesai akad pindah kesini lalu..."
Dia menyentuh dahiku lembut sebelum akhirnya suaranya
merendah dan tangannya turun ke pipi dan berakhir mengusap
ujung bibirku pelan.
Blush.
Maksudnya pelipis dulu baru dahi baru...
Tbuuuuu, ada om-om cabul di sini. Hah gila untung Tata
bobok ya. Eh. Untung?
02310 - 73,Part 16
Akad
Hari ini tepat sehari sebelum pernikahanku, aku sengaja
tidak memberi tau kalian, akan panjang ceritanya karena
banyak acara adat yang harus dilalui sedangkan kalian pada
minta aku nikah.
Untuk hari ini aku gak kayak orang-orang lain yang
bakalan tidur bareng sahabat menjelang masa lajang yang
terlepas.
Jadi malam ini setelah semua orang membereskan semua
perlengkapan buat besok, mereka semua saudara-saudaraku
dan juga Ibu Ayah masuk ke kamar dan tempat istirahat yang
sudah di sediakan.
Aku berjalan menuju kamar Ibu Ayah. Mengetuk
pintunya pelan.
"Ibu... Ayah." panggilku. Ibu keluar bertanya kenapa, ada
butuh apa, dan segala macamnya. Aku hanya menggeleng.
"Fira tidur sama Ibu Ayah ya." Pintaku. Ibu tersenyum
memandangku sebelum akhirnya mengangguk menyetujui.
Aku bersorak girang langsung memeluk Ibuku.
"Fira mau ikut tidur sama Ayah." Kataku begitu tiba di
dalam kamar.
“Sudah gede kok masih mau tidur sama Ayah, malu dong
sama anak." Tata, yang Ayah maksud Tata.
"Hahaha, enggak apa-apa dong ya." Jawabku langsung
naik ke kasur dan memeluk Ayah diikuti dengan Ibu yang
merentangkan tangannya ingin memeluk kami berdua.
Safira-74Aku menelentang, tidur diapit Ibu dan Ayah. Memandang
langit-langit kamar yang masih terang dihiasi lampu.
Sepertinya tidak ada yang mau tidur duluan.
"Anak Ibu sama Ayah sudah besar, besok sudah mau
nikah, sudah mau menjadi istri orang, sudah jadi Ibu, sudah
memiliki tanggung jawab yang besar..." Kata Ibu memecah
keheningan. Ibu memutar badannya menyamping, kemudian
mengusap rambutku pelan.
"Iya, iya Bu, anak gadis yang biasanya manja sekarang
sudah mau di serahkan sama pria lain. Gak jadi anak sayang
Ayah lagi." Aku mendengarkan ocehan orang tuaku sebelum
akhirnya protes.
"Fira bakalan tetap dan selalu sayang sama Ibu, Ayah.
Fira. ira sayang banget sama kalian." Tiba-tiba aku
tergagap dan tangisanku pun pecah. Aku bingung harus
memeluk siapa, kanan atau kiri. Melihat kebingunganku, Ayah
dan Ibu mendekat kemudian merengkuhku dengan hangat.
"Anak Ayah kok nangis sih, Ayah cuma bercanda. Di sini,
di hati Ayah ada Fira sama Ibu yang gak mungkin Ayah
lupakan. Walaupun nanti Fira gak sama-sama Ayah Ibu lagi."
Tangisku semakin kuat. Ini dia yang selama ini aku pikirkan,
jika aku menikah bagaimana dengan orang tuaku? Hanya aku
anak yang mereka miliki.
"Nanti Fira tinggalnya sama Mas Andi terus Ibu sama
Ayah bagaimana?" Tanyaku pada mereka dengan sesenggukan.
Ibu yang dari tadi diam ternyata mulai mengusap sudut
matanya. Anak satu-satunya akan berpindah tangan, tanggung
jawabnya akan diambil alih oleh orang lain.
"Tbu kan sama Ayah berdua sayang, nanti Fira juga sering-
sering main ke rumah. Ajak Tata biar Ibu gak kesepian."
Sepertinya Ibu salah bicara untuk kata terakhir. Tangis gadis
semata wayangnya malah makin membesar karena merasa
bersalah.
"Fira enggak mau ikut Mas Andi, mau sama Ibu Ayah
saja."
P02310- 75"Hey, kamu kok ngomong gitu sih Nak. Dengarkan Ayah,
kamu sebagai istri harus ikut di mana pun suamimu tinggal. Ibu
dulu juga gitu, di mana Ayah di situ Ibu seperti sekarang ini.
Lagipula kan rumah Masmu itu besar, kamu bakalan senang
kok di sana." Ayah menambah gurauan di akhir kalimatnya.
“Berasa dijual masa." Jawabku yang langsung di pukul
pelan sama Ayah.
"Sembarangan kalau ngomong, kamu kira Ayah ini apa
menjual anaknya. Dapat se-peserpun juga nggak, setiap orang
tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Bukan masalah
harta dia yang banyak, tapi bagaimana dia bisa
membahagiakan kamu lebih dari kami. Kamu paham kan?"
Tanya Ayah yang aku balas anggukan.
"Sudah tangis menangisnya, masa iya manten matanya
bengkak. Kan gak lucu, kayak dipaksa aja padahal jelas
anaknya mau. Ayuk tidur." Ibu membersihkan wajahku yang
tadinya penuh air mata. Dia mengusapnya pelan, tidak
tanggung-tanggung segala hidung ikutan dipencet keluar deh
itu cairan. Cairan kalau nangis yang di hidung, coba ingat-ingat.
Begitulah orang tua, bagaimana pun buruknya tingkah
anak, menjijikkan sekalipun dia tetap sayang.
Malam ini berakhir dengan kecupan dari Ibu dan Ayah di
keningku. Sudah berapa tahun sih ini gak dicium. Sebelum
akhirnya menuju alam bawah sadar masing-masing.
sek
Pagi ini semua orang sudah sibuk dengan urusannya
masing-masing.
Akad nikah di kediamanku pada tanggal tujuh bulan tujuh
2018 tidak ada definisi yang spesifik sebenarnya tapi boleh
juga dibuat. Kami menikah saat umur Tata 7 bulan, umur Mas
Andi 27 dan umurku 20(18). Sip, terlalu memaksa.
Untuk mas kawin tidak usah repot-repot cukup
seperangkat alat shalat dan juga satu set perhiasan senilai 20
gram dan uang tunai 20 juta. Lah umur gue setahun dinilai
sejuta segram doang. Mendadak songong.
Safira- 76Selesai mandi, para penata rias masuk ke dalam kamarku
yang sebelumnya sudah di rias. Mereka membantuku memakai
pakaian akad kemudian mulai menata diriku dengan baik.
Make up yang tidak terlalu menor termasuk poin penting untuk
hari ini.
Setelahnya aku menatap takjub diriku sendiri, tubuhku
berbalut pakaian adat jawab-Sunda untuk akad pagi ini.
Sebenarnya aku bukan orang Jawa-sunda, karena ini
permintaan dari keluarga Mas Andi jadi kami hanya menuruti.
Rumah kami pun sudah dihias dengan serba putih, warna
putih untuk hari yang sakral. Mas kawin yang tadi aku sebutkan.
juga sudah tertata rapi. Kini kami sedang menunggu keluarga
Mas Andi. Jika tidak ada keterlambatan akad nikah akan
dimulai pukul 10 pagi ini.
Tbu masuk ke dalam kamarku. Aku melihatnya dari
pantulan cermin. "Anak Ibu cantik banget ya." Ujarnya. Aku
tersenyum manis, sangat manis. "Namanya juga anak Ibu, kan
Ibunya juga cantik." Balasku. Aku melihat mata Ibu yang
berkaca, kenapa jadi mellow terus ini.
"Iya anak Ibu pasti cantik, cantik raganya juga hatinya."
Tbu mengusap bahuku pelan.
“Masmu sudah datang." Lah, kaget saya Ibu. Mendadak
tanganku dingin, teman-temanku datang ikut masuk ke kamar.
Katanya di bawah Mas Andi sudah siap-siap untuk ijab.
Aku semakin deg-degan. Aduh jantung maraton ini.
Terdengar suara mic yang mulai diatur.
Tbu memandangku sebelum akhirnya menuntunku ke luar.
Aku duduk tepat di sebelah Mas Andi. Entah karena dia gugup
atau bagaimana, dia bahkan tidak melihat ke arahku. Lalu
selendang yang tadinya menutupi kepalaku diarahkan ke
kepala Mas Andi juga.
Semuanya sudah siap, akad akan dimulai.
"Saya nikahkan engkau Andi Putra Bagaskara bin
Bagaskara dengan anak saya Safira Rinandani binti Rahmat
Prasetyo dengan mas kawin seperangkat alat shalat, perhiasan
20 gram beserta uang tunai 20 juta dibayar tunai!" Aku
P02310-77mendengar suara lantang Ayah yang turun tangan sendiri untuk
menikahkan anak gadisnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Safira Rinandani binti
Rahmat Prasetyo dengan mas kawin tersebut tunai." Satu kali
helaan nafas. Satu kali pelafalan.
“Bagaimana saksi? Sah?"
"Alhamdulillahirabbillamin."
Air mataku menetes, aku sudah menjadi istri orang, aku
tidak sendiri lagi terlebih sekarang aku juga punya Tata. Kini
aku seorang istri dan seorang Ibu.
Aku menerima uluran tangan Mas Andi, mencium
tangannya. Lalu dia mengecup keningku lembut. Ini yang dia
katakan saat itu, dia akan mengecup keningku setelah ijab
kabul. Setelahnya kami bertukar cincin, cincin pilihannya yang
sangat menarik hati.
Kami menandatangani beberapa berkas terlebih dahulu.
Baru sungkeman memohon maaf dan berterima kasih untuk
segalanya pada orang tua.
Aku berhadapan dengan Ibuku. Orang yang melahirkanku,
ketika aku ingin merunduk dia langsung menegakkanku dan
memelukku erat.
“Safira minta maaf untuk semuanya, untuk Fira yang
nakal, gak mau nurut sama Ibu, yang sering jahili Ibu, Fira
yang gak mau beresin kamar. Terima kasih sudah lahirkan Fira,
sudah jaga Fira, sudah besarkan Fira dengan kasih sayang yang
sangat besar. Fira sayang Ibu." Ujarku masih memeluk Ibuku
erat. Ibu hanya menangis dan sesekali mengangguk.
Kini aku beralih pada Ayah. Ayah yang sedari tadi
menatap kami sambil mengusap ujung matanya pelan.
“Fira minta maaf sama Ayah, Fira nakal suka minta jajan
banyak. Fira juga belum bisa membanggakan Ayah. Besok-
besok Fira masih boleh peluk sama cium Ayah kan? Walaupun
Fira sudah jadi istri Mas Andi." Ucapku yang malah
memancing tawa Ayah.
"Kamu lucu tentu saja boleh, jadi istri yang baik ya
sayangnya Ayah."
Safira-78Kini aku beralih pada Mamanya Mas Andi. "Terima kasih
sudah mau menerima Safira sebagai mantu Mama, padahal
Fira cuma gadis umur 20 tahun yang bisa aja masih diragukan.
Dan lagi Terima kasih karena sudah mempertemukan Fira
dengan Tata." Kataku yang disambut dengan pelukan hangat
Mama.
"Terima kasih sudah menerima Fira Pa, semoga kita
kompak ya Pa sebagai mertua dan menantu. Besok-besok kita
perang catur lagi." Selalu ada yang aneh keluar dari mulutku.
Waktu itu kami pernah main catur, aku sama Papa dan Papa
kalah.
Aku mendengar tutur kata Mas Andi. Tidak banyak dan
pastinya wajar ya. Pada orang tuaku dia hanya mengatakan,
“Terima kasih sudah mau menerima saya sebagai menantu,
meskipun saya pernah gagal sebelumnya. Saya akan
membahagiakan putri kalian." Sedangkan sama Mama
Papanya dia cuma diam sambil salam. Mama Papanya aja yang
heboh. Punya laki irit bicara.
Kami akan disandingkan sebentar di rumahku, ya hanya
sebentar hingga zuhur tiba. Lalu istirahat sebelum malamnya
resepsi di salah satu hotel di kota ini. Kata Mama biar sekali
aja capeknya, jadi langsung satu hari tuntas.
Kami duduk berdua, menunggu tamu yang sedang
menikmati hidangan. "Kamu... Cantik." puji Mas Andi.
"Bisa aja, Tata mana Mas? Aku gak liat dari tadi." Kataku
mengalihkan pembicaraan.
"Ttu sama Naya." Tunjuknya.
Aku panggil Naya, melihat si gadis kecilku. Aku meminta
Tata diletakkan di tengah-tengah kami. Cantiknya kamu naik.
Dia tertawa melihatku dengan konde dan bunga-bunga di
kepala. Bingung ini pasti, ujung-ujungnya cuma bisa ketawa.
Lucu ih.
Beberapa dari tamu undangan datang dan mengucapkan
selamat sambil bertanya si kecil ini siapa. Aku jawab saja dia
anakku. Paling nanti juga tanya lagi ke Ibuku lalu akan
dijelaskan oleh Ibu. Biasa mak-mak rempong gitu.
02310 - 79Teman-temanku datang dan memberi ucapan selamat, aku
mewanti-wanti Britney.
"Selamat ya Mas, Fir. Semoga kalian jadi keluarga yang
samawa berkah amin." Jelas benget siapa yang benar-benar
kayak gini.
"Iya makasih banyak ya Ra, Mas Raka, sudah datang.
Jangan lupa nanti malam." Balasku. Mas Andi hanya
membalas dengan sekedar ucapan Terima kasih.
"Selamat ya Mas, Fir. Semoga cepat kasih Adek buat Tata.
Hahaha." Faley menjadi yang kedua.
"Ada-ada aja lo. Cepat menyusul, gue sama Zahra aja
sudah." Balasku.
Nah ini nih yang satu lagi, bahaya. Britney. "Selamat
masbro, mbakbro. Semoga... Ekhm semoga langgeng sampai
kakek nenek ya." Lah tumben benar. Saat mereka berjalan
turun, Britney berhenti tepat di sampingku, lalu berbisik.
"Kalau lo sudah jebol kasih tau gue ya, secara laki lo kan
sudah berpengalaman. Biar gue tau harus nikah sama yang
pengalaman atau yang sama-sama belajar."
"BRITNEY." Sorakku. Mas Andi menatapku ngeri. Tiba-
tiba bersorak, untung ini di rumah ya cuma ada saudara sama
tetangga. Sedangkan yang aku soraki tadi hanya tertawa
terpingkal, Faley dan Zahra hanya menggelengkan kepalanya
melihat tingkah Britney.
Safira - 80Part 17
Resepsi
Setelah selesai sanding menyandingkan, kini aku, Mas
Andi dan Tata masuk ke kamar pengantin. Tenang, kami bawa
anak kok jadi gak akan ada adegan buat anak.
"Saya tau kamu pasti lama mandinya kan? Jadi saya
duluan ya, kamu pegangi Tata." Ujar Mas Andi padaku seraya
memberikan Tata. "Tau dari mana coba?"
"Mayoritas wanita seperti itu." Balasnya. Lah aku kan
minoritas gak masuk dong. Biarlah, untung kamarku punya
kamar mandi sendiri. Kan kasihan manten harus keluar dulu
buat mandi, ketemu orang banyak terus masuk lagi terus
manten yang satunya lagi terus anaknya lagi terus orang lain
lagi terusssssssssssss saja sampe mampos.
Aku duduk tepat di depan kipas, tangan mungil Tata
sesekali menggapai-gapai bunga yang ada di kondeku. Untung
acaranya sudah selesai jadi gak masalah kalau rusak.
"Tarik terus naik, bantu Mommy bukanya." Seruku
membuatnya tertawa. Tidak lama Mas Andi keluar dengan
celana pendek coklat susu dan kaus polo hitamnya. Memang
mandi pilihan yang tepat, cukup gerah walaupun cuma berdiri
sebentar. Aku pangling melihatnya, karena selama ini melihat
dia hanya dengan setelan kerja celana bahan, kemeja dan jas.
Aku tidak mengatakan perutnya enam pack ya, belum
kelihatan soalnya kan masih pakai baju.
"Besok-besok jangan keseringan di depan kipas ya, kita
belum tau bagaimana reaksi tubuh Tata dengan hamparan
angin langsung seperti itu. Bisa saja nanti dia masuk angin."
Mas Andi menegurku dengan lembut. Aku menganggukkan
02310 - 81kepala sambil berkata maaf padanya, dia terkekeh dan
membantuku membuka konde yang masih terpasang.
Setelahnya, aku mengambil pakaian ganti dan berjalan
menuju kamar mandi. Aroma harum yang berbeda tercium
begitu aku tiba di dalam. Sepertinya Mas Andi membawa
beberapa perlengkapannya. Ah ya setidaknya dia harus
menyimpan baju di sini agar tidak repot ketika menginap,
cerdas juga laki gue.
Aku mulai melaksanakan ritualku, tidak lama-lama kan
sudah aku katakan kalau aku minoritas. Sekitar 10 menit aku
keluar dari kamar mandi dengan celana pendek setengah paha
dan baju kaus oblong bertuliskan ‘J love kota gue’. Buat malu
gak tuh? Gak dong ya.
Aku memandang Mas Andi yang juga tengah memandang
ke arahku. Tata sedang menyusu dengan dotnya yang terlihat
masih banyak. Aku beralih ke meja rias, mengambil hairdryer,
menyalakannya lalu mengarahkan ke rambutku yang basah.
Setelah kering, aku memakai bedak bayi yang sudah setia
menemani sejak orok.
Aku beranjak ikut naik ke atas kasur di mana Mas Andi
dan Tata kini tengah berbaring.
“Bobok dia Mas?" Tanyaku melihat mata Tata yang
setengah terbuka. "Hampir." Balas Mas Andi.
Aku beralih pada ponsel pipih keluaran dua tahun lalu
milikku. Berbeda dengan Mas Andi yang ponselnya keluaran
sebulan yang lalu. Mulai membuka sosial media yang penuh
notif ucapan selamat dari beberapa temanku, aku hanya
membalas dengan stiker Terima kasih. Capek mengetik satu-
satu.
Terasa tempat tidur yang sedikit bergoyang, aku
mengalihkan pandanganku. Ternyata Mas Andi yang merubah
posisi setelah Tata terlelap. Dia menyandarkan punggungnya
ke kepala ranjang. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke
ponsel. Tapi beberapa detik kemudian terdengar deheman dari
Mas Andi.
"Ekhm Safira." Panggilnya.
Safira - 82"Ya?" Jawabku santai.
"Ingin menjadi istri yang baik?"
"Tentu.”
"Simpan ponsel kamu saat bersama saya, gunakan hanya
jika memang perlu atau setidaknya jangan acuhkan saya."
Titahnya yang membuatku tidak percaya.
1...2...3...
"Oke." Aku langsung meletakkan ponselku ke nakas.
Sebenarnya ini yang tidak enak, kami masih canggung dengan
hubungan baru ini. Tapi jika aku menggunakan ponselku tidak
akan ada yang memulai apa-apa hanya akan ada keheningan
hingga malam tiba.
"Istirahat Nak, jangan ngapa-ngapain ingat Tata sama
kalian." Teriak Mama dari luar, Mas Andi memandangku
sebelum akhirnya mengatakan "Istirahat, sebentar lagi kita
akan bersiap untuk resepsi."
Mas Andi mengubah posisinya menjadi berbaring
menyamping menghadapku dengan Tata di tengah-tengah
kami. Aku mengikutinya, awalnya kami saling memandang
sebelum akhirnya terlelap menuju alam bawah sadar masing-
masing dengan kipas angin yang berputar-putar. Setidaknya
masih sejuk juga lah dikit.
ak
Pukul empat sore kamarku eh kamar kami digedor-gedor.
“Bangun Fira, Andi. Kita mau langsung ke hotel." Aku
mengerjapkan mataku mendengar suara Ibu beserta ocehan-
ocehannya. Sedangkan Mas Andi masih tertidur lelap,
sepertinya dia lelah atau kurang tidur?
Aku membuka pintu, Ibu menghentikan gedorannya.
“Siap-siap kita ke hotel sekarang. Mertuamu sudah menunggu
di sana." Kata ibu padaku.
"Iya ini mau siap-siap." Jawabku.
Setelahnya Ibu pun kembali ke kamarnya, aku masuk lagi.
Aku melihat Tata yang juga belum bangun dan malah
posisinya sudah berubah memeluk lengan Mas Andi. Aku
berjalan mendekati Mas Andi.
02310 - 83,"Mas... Bangun Mas, sudah disuruh siap-siap ke hotel
Mas." Aku mengguncang tubuhnya pelan. Gak tega
sebenarnya tapi bagaimana ya? Harus bangun ini masa gagal
resepsi kan gak lucu.
Mas Andi mulai membuka matanya, dia melihat ke arahku.
Aku hanya tersenyum kikuk.
“Jam berapa sekarang?" Tanya Mas Andi.
"Em... Pukul 16.15." Aku melirik jam yang ada di dinding
kamarku.
"Kamu mandi duluan sana." Suruhnya. Aku menatapnya
bingung, tadi katanya cewek mandinya lama _sekarang
menyuruh duluan.
"Saya tau kamu mandinya mandi bebek jadi cepat." Dari
tadi ‘saya tau' terus sotoy banget ini si bapak. Ya sudah sih ya,
malas berdebat aku langsung saja menuju kamar mandi dan
melakukan ritual ‘mandi bebek'. Sedangkan Mas Andi? Lanjut
tidur bok.
Setelah kami bersiap-siap. Kini kami sudah berada di
mobil perjalanan menuju hotel tempat resepsi. Aku dan Mas
Andi duduk di belakang sambil memangku Tata. Karena Mas
Andi yang sedang tidak ingin menyetir jadi pakai sopir deh.
Dia kembali menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Biarkan kayak gini dulu, saya tidak tidur semalaman."
Ujarnya mulai memejamkan mata.
“Siapa juga yang menyuruh gak tidur." Gumamku pelan.
“Walaupun ini yang kedua tetap saja saya gugup bahkan
melebihi yang pertama."
sek
Kami sedang berada di dalam salah satu kamar di hotel ini.
Aku dan Mas Andi sudah siap untuk turun. Aku dengan gaun
panjang berwarna peach lengkap dengan tiara berwarna silver
dan tataan mutiara di atasnya sedang duduk dengan anggun
menutupi kegugupan yang melanda. Bagaimana jika nanti
terjatuh karena menginjak gaunku sendiri? Malu dong.
Safira - 84Sedangkan Mas Andi sudah lengkap dengan setelan jas
abu-abunya hanya duduk diam di sebelahku tanpa berniat
memulai obrolan.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Kami hanya tinggal
menunggu untuk di panggil saja untuk turun dan berjalan ke
ballroom. Aku melirik Mas Andi sekilas, dia tampak tenang.
Ahh tanganku dingin.
Aku merasakan tangan hangat yang mulai menggenggam
tanganku. Aku menatap ke arahnya. "Gak perlu gugup."
Ujarnya lembut.
“Ayo naik turun." Mama masuk bersama Ibu ke kamar
yang tadi kami tempati. Mas Andi berdiri kemudian aku
mengikutinya, menarik napas dalam kemudian menggandeng
Jengan Mas Andi.
Kami turun menuju ballroom, berjalan dengan anggun
hingga tiba tepat di depan pintu besar yang terlihat megah
setelah dihias dengan bunga-bunga yang cantik. Setelah
mendengar aba-aba, kami masuk ke dalam ballroom. Semua
pandang mata beralih pada aku dan Mas Andi. Aku semakin
gugup tapi tetap mencoba tersenyum dengan manis. Setelahnya
kami diarahkan ke pelaminan, lagi-lagi bersanding. Capek tau
gak di pajang gini. Di kiri dan kanan ada orang tuaku dan juga
orang tua Mas Andi. Tata sedang bersama Naya dan juga
teman-temanku.
Ingat aku mengatakan kami akan mencari baju untuk
mereka? Batal semuanya batal, Ibu tidak memperbolehkan jadi
terpaksa kami beli online. Sepertinya bagus juga, mereka
terlihat cantik.
Kenapa biru? Kok bukan peach juga? Karena mereka
yang mau, ya aku mah nurut aja. Sedangkan Naya
menggunakan dress selutut berwarna peach, senada dengan
kami semua.
Kayaknya di atas lutut deh, di pendekin lagi sama ini anak?
Enggak tau Mama sudah marah-marah apa sama dia kalau
pakai yang pendek-pendek gitu, besok-besok di ceramahi ini.
Kasih siraman rohani.
02310 - 85Aku sebenarnya ingin berkeliling, tapi baju yang panjang
gini membuatku sulit untuk berjalan. Makanya kami sedari tadi
hanya duduk tegak di pelaminan.
Pukul 8.00 malam. Aku bersiap untuk acara pelemparan
bunga. Kami berbalik membelakangi para tamu yang sudah
berdiri mendekati panggung. Aku melihat ke belakang sebentar,
mencari posisi Faley dan Britney. Ah bertindak tidak sportif
tidak masalahkan? Kan ini bungaku terserah dong mau lempar
ke mana.
123
Bunga dilempar.
Hap.
Semuanya riuh, aku berbalik. Ternyata bunganya
ditangkap Britney, tapi naasnya Britney malah terjatuh
Menghimpit tubuh seorang pria. Semuanya bertepuk tangan
riuh, aku memandang prihatin ke temanku yang satu ini.
Blingsatan sih, kalau gak bisa dapati enggak usah maksa kali.
Percaya deh kalau dia diem di posisinya terus terima aja kalau
gak dapet pasti gak bakalan jatuh.
Aku melirik Mas Andi yang menatap mereka juga dengan
prihatin. "Kamu kenal cowoknya Mas?" Tanyaku.
"Klien sekaligus teman saya."
“Masih jomblo? Mukanya tuan dia loh Mas dari kamu ya
walaupun tetap aja ganteng." Balasku.
"Kamu memuji pria lain di hadapan suamimu sendiri
Safira." Jawabnya yang membuatku langsung menutup mulut
rapat.
"Maaf, hehe muji doang Mas ya iya lah."
"Dia memang lebih tua dari saya." Aku manggut-manggut
paham. Semoga mereka berjodoh ya. Amin.
Kini jam menunjukkan pukul 9.45 malam. Beberapa tamu
sudah mulai pulang, inilah untungnya jika membuat pesta
malam hari. Paling lama hanya sampai pukul sebelas dan kali
ini sedikit lebih cepat, aku rasa pukul sepuluh kami sudah bisa
ke kamar.
Safira- 86Aku mulai gelisah dengan kakiku. "Kamu capek?" Tanya
Mas Andi.
“Hn, sakit kakinya karena pakai heels dari tadi." Balasku.
“Lepaskan saja."
"Enggak mau, nanti aku kelihatan pendek."
"Siapa peduli?”
Benar juga, aku sudah akan melepaskan sepatuku. Tapi
teman-temanku datang menghampiri. Mereka belum pulang,
katanya tadi makanan masih banyak. Mungkin sekarang baru
akan pulang.
"Kami pamit ya, hati-hati perih." Hah? Apaan coba Faley,
kayak tau aja.
"Perih pala lo ke jedot." Jawabku malas.
"Gue juga pulang ya Fir, Mas. Kasihan Mas Raka sudah
capek dari tadi."
"Iya makasih ya Ra, Mas Raka." Jawabku membalas
jabatan tangan dari Mas Raka yang lagi-lagi mengucapkan
selamat.
Aku menatap bingung ke arah Britney yang seperti orang
gila. Tersenyum, menyerngit, tersenyum, menyerngit.
"Kenapa itu anak?"
"Oh kesensem sama yang jatuh sama dia tadi, tapi malu
juga karena kejadian itu. Katanya dia habis banyak makan,
pasti berat deh itu badan." Jelas Faley. Aku manggut-manggut.
“Woy, sadar lo ikan asin." Faley menggeplak kepala
Britney kasar. Astaga teman gue gini amat ya.
"Om-om yang gue impit tadi siapa Fir?" Tanya Britney
begitu sadar.
"Temannya Mas Andi," balasku. Tenang kalau kalian
bertanya Mas Andi mana? Maka akan aku jelaskan, sekarang
Mas Andi sedang berbincang bersama Mas Raka, suami Zahra.
Mungkin nyambung kali ya, padahal tadi sudah pamit tapi
ketahan karena Britney.
"Ya sudah deh pulang lo sana semua, kaki gue pegal
benget sumpah." Aku mengusir mereka. Sungguh hanya
mereka yang tersisa. Aku lelah dan butuh tidur.
02310 - 87"Cie yang mau malam pertama." Goda Faley.
"Pulang kalian sialan!" Balasku dengan umpatan yang
ternyata terdengar oleh Mas Andi.
“Ekhm, perhatikan kata-katamu Safira." Suaranya berat
dan dingin sangat mengintimidasi.
“Maaf." Aku mengalihkan tatapan ke arah temanku yang
sudah menahan tawa.
Safira- 88Part 18
Malam Pertama?
Akhirnya kami tiba di kamar hotel, aku benar-benar lelah.
Malam ini Tata tidak bersama kami, melainkan bersama Mama
dan Papanya Mas Andi. Mungkin mereka tidak ingin
mengganggu istirahat kami setelah seharian melalui acara
pernikahan yang sangat melelahkan ini.
Aku duduk bersandar di sofa, Mas Andi baru masuk mulai
mengunci pintu. Lalu dia duduk di sebelahku.
"Siapa yang mau mandi duluan?" Tanyaku padanya.
"Saya."
"Jangan deh, nanti aku rematik kalau mandi kemalaman.
Duluan ya Mas." Aku berlari ke kamar mandi, meninggalkan
Mas Andi yang cengo. Mungkin dia sedang merutuk dalam hati.
‘Lah kenapa tanya kalau memutuskan sendiri'
Tenang-tenang, jangan membayangkan aku setelah
masuk kamar mandi bakalan keluar lagi terus minta
membukakan kaitan baju di belakang. Salah besar, coba
diingat-ingat bajuku ini belakangnya kebuka cukup lebar kan.
Jadi, tinggal putar tangan tarik deh kaitannya siap. Gak boleh
manja!
Aku mulai membersihkan make up kemudian seluruh
tubuhku. Seperti biasa, hanya sekitar 20 menit waktu berlalu.
Aku keluar menggunakan bathrobe putih yang disediakan
hotel. Kalau ada yang tebak aku lupa bawa baju ke kamar
mandi benar. Aku melihat Mas Andi yang sedang menutup
mata. Tidur apa bagaimana itu?
"Mas, mandi sana." Mas Andi bangun menatapku
sebentar lalu berdiri langsung ke kamar mandi.
02310 - 89"Mas." panggilku lagi.
Dia membuka pintu kamar mandi yang hampir ditutupnya.
“Jangan keluar tanpa izin aku ya, aku mau pakai baju."
Ujarku tidak ada malu-malunya. Ya bagaimana, nunggu dia
Jama. Keburu masuk angin, mending jujur aja deh. Kalau aku
pakai baju duluan, kasian dianya kelamaan nunggu.
Jangan ada yang tebak lagi kalau isi koper aku sudah ganti
sama baju tidur transparan ataupun lingerie dkk. Karena, gak
ada yang begituan. Aku meraih baju tidur berwarna hitam
dengan motif ceri.
Dengan cepat aku memakainya, cemas-cemas Mas Andi
keluar terus lihat anak perawan lagi pakai baju. Setelahnya aku
menuju meja rias yang sebelumnya sudah aku letakkan
beberapa skin care bawaanku yang memang biasa aku pakai.
Mulai membersihkan wajah, kemudian beberapa cream. Ada
lagi jangan lupa pakai deodorant.
Aku menyisir rambutku yang sebelumnya bergelombang
indah kini hanya lurus seperti biasa.
Setelahnya aku berlalu melihat bagian barang bawaan
Mas Andi. Ada ekhm underwear, singlet, celana pendek, dan
juga baju kaus polo berwarna hitam dan putih. Karena aku
tidak tau bagaimana kebiasaannya memakai baju di malam hari,
apakah dipakai semua atau tidak jadi aku memilih untuk tidak
menyiapkannya.
Aku beralih duduk Kembali ke sofa dan memainkan
ponselku.
"Safira... Saya sudah bisa keluar?" Teriak Mas Andi dari
kamar mandi.
"Bisa Mas, keluar saja." Mas Andi keluar dengan handuk
yang melilit pinggangnya.
Aku masih sibuk dengan ponselku, memperhatikan
beberapa postingan teman-temanku di Instagram. Postingan
saat acara resepsi tadi.
Tanpa sadar ternyata Mas Andi sudah mengenakan celana
pendeknya. Dia menarik ponselku, aku terkejut, sungguh.
"Tadi siang saya bilang apa Safira?" Tanyanya dingin.
Safira - 90"Cuma lihat postingan teman aja kok Mas. Itu pun yang
di nikahan kita." Aku menjelaskan. Mas Andi diam, ku pun
ikut diam. Ponselku masih bersamanya. Dia mengambil baju
kaus hitamnya lalu duduk di kasur.
Aku masih dalam keadaan duduk di sofa tadi, ponselku
bersamanya. Dan kini dia sedang menggunakan ponsel juga.
Apa-apaan ini?!
"Katanya gak boleh main ponsel kalau lagi berdua, taunya
dia yang mainin." Gerutuku kesal.
"Saya hanya mengecek pekerjaan. Tidak suka diabaikan
benar?"
Aku menangguk.
Mas Andi menepuk sisi kasur di sebelahnya. "Sini."
Ujarnya.
Aku mendekat, mau bilang gak deg-degan tapi bohong.
Mau bilang biasa aja tapi bohong. Aduh.
Aku naik ke atas kasur dengan pelan. Mungkin sangat
pelan. Mas Andi menarik lenganku agar lebih cepat, benar saja
aku langsung mendarat di bawah keteknya. "Mas pakai
deodorant kan tadi?!" tanyaku heboh begitu mendarat.
"Tidak penting. Mau pakai atau tidak saya tetap wangi"
Balasnya.
Aku memberanikan diri melingkarkan lenganku di
pinggangnya. Menyandar dengan nyaman, mencium aromanya
yang benar-benar harum.
Jika tidak ada yang memulai, maka akan terus ada jarak di
antara kami. Walaupun cuma hal-hal kecil, tapi setidaknya
akan selalu ada perkembangan hingga dia menjadi besar.
Kami hanya diam menikmati, Mas Andi mengusap-usap
Jenganku perlahan. Lalu satu kecupan mendarat tepat di dahiku.
Aku berdebar, sungguh.
"Ingin tidur sekarang?" Tanyanya.
Aku yang terlalu gugup hanya menganggukkan kepala.
Dia merubah posisinya dari duduk bersandar di kepala kasur
menjadi rebahan. Dia kembali menepuk sisi sebelahnya,
menyuruhku kembali ke posisi tadi.
02310 - 91.Aku menurutinya, mencari posisi yang pas lalu memeluk
tubuhnya yang juga membalas pelukanku. Dia mengusap
punggungku pelan.
“Selamat tidur, Safira."
"Selamat tidur juga, Mas."
sek
Pagi harinya aku bangun lebih dulu, ingat bukan kalau
Mas Andi kemarin kurang tidur. Jadi aku tidak tega untuk
membangunkannya.
Kini aku sudah selesai mandi, berganti baju dengan dress
santai berwarna cream dengan motif bunga berwarna biru
gelap.
Pintu kamar terdengar diketuk, aku beralih untuk
membukanya. Ternyata mama.
"Mama check out duluan ya Nak, Andi pasti belum
bangun kan?"
"Iya Ma katanya kurang tidur kemarin. Tata bagaimana
Ma?" Tanyaku.
"Mama bawa, Mama pulang dulu ya." Balasnya. Aku
mencium punggung tangan mama, lalu menutup pintu setelah
Mama pergi.
Aku memandang Mas Andi yang masih tertidur, ingin
mengambil ponsel sebenarnya tapi sepertinya memandanginya
lebih baik. Dia... Terlihat tampan.
“Mama sudah pulang?" Tanyanya tiba-tiba dengan mata
tertutup.
“Astagfirullah. Bangun sejak kapan?" Astaga kaget.
"Baru, saat Mama mengetuk pintu." Jawabnya mulai
membuka mata. Dia merenggangkan kedua tangannya. Aku
memandangnya penuh minat. Walaupun badannya tidak terlalu
bagus, tidak ada kotak 6 di perutnya tapi lengannya cukup
berotot.
"Saya boleh minta tolong?”
Aku melihat ke arahnya yang sudah tiba di depan pintu
kamar mandi dengan handuk yang tersampirkan di bahu.
"Minta tolong apa?” Tanyaku.
Safira - 92"Tolong ambilkan baju saya, hanya baju dan celana
panjang. Mungkin kamu masih bingung, tapi belajarlah. Semua
akan membaik seiring berjalannya waktu."
Aku mengangguk paham. Ketika dia sudah menghilang
dibalik pintu kamar mandi, aku langsung melihat barang
bawaannya. Ada celana hitam dan coklat susu, kaus polo hitam
dan putih. Hanya itu-itu saja. Lalu aku putuskan mengambil
kaus polo hitam dan celana coklat susu. Lalu, meletakkannya
di atas kasur.
Setelahnya aku beralih ke meja rias, mulai memoles
wajahku dengan BB cream, bedak, lalu mempoles bibir dengan
lipstick tipis berwarna bibir. Selesai, tidak ribet karena kami
hanya akan berakhir di rumah membereskan barang-barangku.
Mas Andi keluar dengan handuk yang terlilit di pinggang,
aku melihatnya sejenak. Tadi malam aku katakan badannya
biasa saja kan? Ternyata tidak terlalu biasa. Meskipun kotak
enam tidak terlalu membentuk, tapi aku masih bisa melihat
garis-garisnya yang menyebabkan dadanya terlihat sangat
bidang. Ah dada itu tempatku bersandar kemarin, yang
menyebabkan tidurku menjadi sangat nyenyak.
"Ada yang salah?" Tanya Mas Andi membuyarkan
Jamunanku.
"Apa?"
"Kamu memperhatikan saya sebegitunya, ada yang
salah?" Tanyanya lagi.
"Ah, tidak. Tidak ada." Mas Andi hanya mengangkat
bahunya, lalu memilih mengambil pakaian yang aku sediakan
tadi dan masuk kembali ke kamar mandi.
ek
Kini kami sedang dalam perjalanan ke rumahku. Iya,
setelah sarapan tadi kami langsung check out dari hotel. Aku
butuh mengambil beberapa barang-barangku. Dengan tentunya
masih disopiri karena dia malas membawa mobil.
Kami tiba di rumahku, masih ramai. Sepertinya sanak
saudara masih berkumpul.
02310 - 93,"Eh pengantin baru datang." Heboh Pak’cik Indra begitu
kami tiba.
*pak'cik= sebutan untuk paman. Mak'cik= bibi. Uncu=
Om dan lain sebagainya.
Pak'cik Sofyan ini adalah abangnya Ibuku. Dia kesini
bersama istrinya yaitu Mak'cik Safa. Sedangkan ada lagi adik
Ibu, aku memanggilnya uncu Indra. Dia masih muda, anak
bungsu. Umurnya baru 32 tahun. Belum menikah. Ada yang
mau? Tenang, kalian gak bakal dikasih makan cinta kok. Dia
seorang kontraktor.
"Eh iya Cik, kami mau ambil barang Fira." Kataku
menjelaskan.
"Oh, mari duduk sini dulu. Berkumpul same kite ini."
Ajak Pak'cik. Mas Andi menuruti ikut duduk bersama
keluargaku, sedangkan aku disuruhnya untuk berkemas saja.
Oh iya sebelumnya aku tidak mengatakan bukan kalau
keluargaku keturunan melayu, ya walaupun tidak melayu asli.
Keluarga Ibuku hanya tiga bersaudara, pak'cik Sofyan yang
akhirnya menikah dengan orang melayu asli sehingga memilih
tinggal di bumi melayu, kemudian Ibuku yang menikah dengan
Ayah dari keturunan jawab. Kemudian uncu Indra yang sedang
berjuang mencari jodoh di daerah yang sama dengan yang
kami tinggali. Jadi kalau ada kesalahan dalam penjelasan
mohon dimaafkan ye.
Aku melihat semua barang-barangku, baiklah pusing.
Mari mulai dari meja rias. Aku mengemasi semuanya dalam
tas khusus, karena hanya ini yang ku punya jadi aku harus
membawa semuanya.
Memasukkannya secara perlahan, aku takut mereka rusak
ataupun pecah. Butuh perjuangan untuk membeli kosmetik ini,
aku harus rela menahan belanja sebulan hanya untuk membeli
foundation. Lalu terus berlanjut untuk kawan-kawannya.
Pintu kamar terbuka, aku menoleh melihat Mas Andi yang
masuk.
Safira-94"Tidak usah membawa semua baju, yang penting-penting
saja. Mama sudah menyiapkan juga baju-baju untuk kamu di
rumah saya." Jelas Mas Andi.
"Ta-tapi kenapa harus beli lagi? Bajuku masih banyak kok
Mas." Aku segan, sungguh.
"Kata Mama biar kamu tidak susah jika ingin menginap
di sini.” Aku mengangguk paham. Aku meraih koper yang ada
di sudut dinding, mengambil baju kuliah dan beberapa baju
kesayanganku lalu buku-buku kuliahku saat ini lalu
memasukkannya ke koper. Tidak muat, Ya kali buku
dimasukkan ke koper bakal muat. Terpaksa aku turun dan
mengambil kardus indomie lalu memasukkan bukuku ke sana.
Sudah siap. Ah malam ini aku tidak lagi tidur di sini. Aku
melihat bonekaku, tidak bisa ditinggali ini. "Mas aku bawa
ya?" Tanyaku padanya. Mereka telah berjasa menemaniku
tidur sendiri di kamar ini.
Mas Andi menganggukkan kepalanya. Aku bersorak riang.
"Kita berangkat sekarang?” Tanyanya padaku.
"Tya."
ek
Kami tiba di rumah Mas Andi, walaupun sebelumnya aku
sudah pernah ke sini tapi tetap saja ada rasa yang berbeda
karena hari ini tujuanku kemari adalah untuk menetap di sini
bersamanya. Mas Andi membawaku ke lantai dua, awalnya
aku mengira kamarnya adalah kamar yang pernah aku masuki
sebelumnya tapi ternyata tidak.
"Sebelah sini Safira, sebenarnya kamar utama ada di sini.
Namun sebelum ada kamu, saya memilih kamar Tata untuk
istirahat." Jelasnya sambil berjalan menuju pintu berwarna
hitam.
Mungkin dia tidak ingin terkenang dengan mantan
istrinya. Mungkin saja.
Mas Andi membuka pintunya, mempersilahkanku masuk.
Aku tercengang, kamarnya suram. Hitam semua gini.
02310 - 95Mungkin Mas Andi melihat ekspresi wajahku yang sedikit
berubah. "Kamu bisa mendekornya kapanpun kamu mau."
Tawarnya padaku.
Aku mengulas senyum. "Oke." Kataku sumringah.
Ku lihat dia tersenyum tipis, sangat sedikit. Mungkin dia
masih canggung denganku, entahlah.
Aku melangkah masuk, ada ruangan bertuliskan walk in
closet. Aku masuk ke dalamnya, seketika aku menganga.
Maklum norak.
Ada baju dan sepatu wanita di sini. Punya mantan istrinya
kah?
“Semua pakaian dan sepatu wanita baru dibeli oleh Mama.
Tidak ada satu pun yang bekas mantan istri saya. Kamu jangan
khawatir." Aku kaget, tiba-tiba mendengar suara Mas Andi.
Aku menoleh ke arahnya, dia punya kekuatan cenayang?
Kok bisa tau.
"Hm... Makasih Mas" Ujarku malu-malu mau.
“Saya hanya menjelaskan. Berterima kasihlah pada Mama,
walaupun belinya pakai duit saya."
Safira - 96Part 19
Menjadi Istri dan Ibu
Malam ini pun sama, tidak ada Tata bersama kami.
Awalnya aku dan Mas Andi ingin menjemputnya namun
dilarang oleh Mama. Katanya ‘Nikmatin aja dulu waktu
berdua.' Yah terpaksa menurut saja.
Aku sedang duduk bermalas-malasan di depan TV. Mas
Andi tadi izin ke ruang kerjanya sebentar untuk memeriksa
beberapa file. Ah perutku keroncongan.
Aku berjalan ke arah kulkas. Keadaan kulkas kini bahkan
lebih parah sejak saat terakhir kali aku ke sini. Kosong
melompong. Tidak ada apapun. Ah salah, masih ada sekotak
ice cream, teh pucuk wangi, dan... Tidak ada lagi. Hah,
seharusnya kami belanja tadi sore.
"Kamu lapar?" Terdengar suara Mas Andi.
Tanpa menoleh ke arahnya aku mengangguk. Aku
mengambil kotak ice cream yang ada di kulkas tadi. Lalu
mengambil sendok dan mulai menyuapnya. Mas Andi hanya
diam memperhatikanku. Gak pakai izin dong ya main makan
aja.
Aku mengarahkan satu suapan ke mulutnya yang di
terima dengan mata masih melihatku. "Gak apa-apa kan kalau
ice cream-nya aku makan?" Tanyaku merasa seolah ada yang
salah dengan diriku.
“Ayo pesan makanan. Kamu mau makan apa?" Tanyanya
balik.
Aku tampak berpikir. Tapi belum sempat memutuskan dia
lebih dulu memotong. "Ganti baju kamu, kita keluar cari
02310 - 97makan sambil jalan-jalan." Aku mengangguk dengan semangat.
Langsung menuju kamar dan melupakan ice cream tadi.
Mungkin ini yang dinamakan pacaran setelah menikah.
ak
Kami sedari tadi masih di dalam mobil, berkeliling kota
dengan melihat-lihat keramaian yang ada. Jangan nyanyi!
"Mas kita mau makan di mana sih? Sudah lapar banget
sumpah." Aku memelas padanya. Karena sedari tadi dia tidak
bertanya dan tidak pula memutuskan. Aku segan juga kalau
ingin meminta ke sana-sini.
"Ehm... Kamu mau makan apa?" Akhirnya dia bertanya.
“Makan apa aja deh Mas, yang penting perut keisi.”
Jawabku malas.
“Maaf" balasnya singkat. Sebenarnya tidak ada yang salah.
Mungkin memang kami saja yang masih canggung ketika
berdua.
Aku hanya mengangguk singkat. Sepuluh menit
kemudian mobil ini akhirnya berhenti. Berhenti di salah satu
restoran yang cukup padat pengunjung.
“Rame Mas." Kataku setelah melihat tempat ini.
"Tidak masalah." Balasnya langsung turun dari mobil.
Tungguin atuh Mas suami.
Aku mengikutinya. Pelayan bertanya apa dia sudah
reservasi tempat, tapi Mas Andi hanya menjawab dengan
namanya. Langsung dibawa masuk dan diarahkan ke salah satu
meja kosong yang ada.
"Mas tadi ditanya reservasi? Memangnya sudah?"
tanyaku penasaran. Dia menggeleng.
"Tempat ini punya teman saya, jadi saya dan teman yang
lainnya cukup memberitahu nama saja mereka akan paham dan
menyediakan tempat." Jelasnya rinci yang aku angguki tanda
paham.
“Kamu mau pesan apa?"
"Gak tahu." Balasku. Sebab aku belum pernah ke tempat
ini sekalipun. Jadi ya gak tau mau mesan apa.
Safira- 98"Mau saya pilihkan?" Ini dia yang di tunggu pak bos. Aku
mengangguk dengan semangat. Lalu membisikkan
"Jangan yang aneh-aneh ya Mas."
Dia mengangguk dan tersenyum tipis. Memanggil
pelayan lalu menyebutkan pesanan kami. Aku mengambil
ponselku dan mulai memainkannya.
"Ehm, sangat penting Safira?" Tanya Mas Andi.
Ah ya tidak boleh bermain ponsel saat bersamanya.
“Hanya Naya yang mengirimi pesan jika Tata rewel." Balasku
langsung menyimpan ponsel ke dalam tas.
"Nanti kita jemput." Aku mengangguk paham. Jujur, aku
tidak keberatan dengan peraturannya yang tidak
memperbolehkan main ponsel kecuali penting. Karena jika
tidak begitu, tidak akan ada waktu untuk saling mengenal dan
memahami. Kalian tau aku juga termasuk penggila ponsel yang
akan lupa waktu. So anggap saja perubahan menjadi lebih baik.
Makanan kami datang. Aku menatapnya dengan lapar.
Sungguh perutku keroncong.
"Ini...-" Aku merasa kenal dengan menu yang satu ini.
"Mushroom Risotto." Jawabnya. Ah iya aku pernah
melihat risotto di Master Chef. Tapi saat itu warnanya hijau,
mungkin karena ini pakai jamur kali ya.
Aku meraih sendok kemudian mencicipinya. Not bad,
masih lebih enak nasi Padang atau bubur ayamlah kira-kira.
Aku melihat menu Mas Andi, dia hanya memesan pasta
sepertinya.
"Mau coba?" Tawarnya. Aku mengangguk singkat. Dia
mengarahkan sesendok penuh ke arah mulutku. Aku tertegun.
Bukan karena mulutku yang tidak muat, tapi dia yang memilih
menyuapiku. Ah malu.
Aku melahap satu sendok penuhnya. Lebih enak yang ini.
Kan jadi ingin.
"Ini Fettucini Alfredo. Kamu kurang suka Risotto?" Aku
sebenarnya malas mengakui. Tapi ini bagi aku emang aneh,
teksturnya tidak seperti bubur juga tidak seperti nasi. Jadi, aku
mengangguk saja.
02310 - 99Tanpa disangka, Mas Andi mengarahkan piringnya
padaku. Lalu dia mengambil makananku.
“Makan punya saya saja."
"Eh!!" gak tolak dong. Aku mulai makan dengan lahap.
ek
Kami tiba di rumah orang tuanya Mas Andi. Yang
kemudian disambut dengan sangat heboh.
Ya! Tadi setelah makan kami langsung bergegas karena
Tata yang katanya rewel. Tapi sepertinya mama tidak tau kalau
sebenarnya Naya sudah melaporkan keadaan saat ini kepadaku.
"Kenapa kesini? Aduh pengantin baru berdua aja dulu.
Mumpung libur, kalian juga belum ada rencana bulan madu
kan? Ya sudah sekarang aja menikmati." Heboh mama setelah
memelukku sejenak.
Mas Andi yang malas mendengar ocehan mama langsung
saja duduk di sebelah papanya. "Tata mana Pa?" Tanyanya
singkat.
"Sama adikmu." Balas Papa.
"NAYA BAWA SINI ANAK ABANG!" Teriak Mas
Andi. Aku kaget, Mama Papanya juga kaget. Tapi kagetku
berbeda, pasalnya aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
Aku lihat Naya keluar dari kamar Mama dan Papa dengan
tergesa-gesa sambil menggendong Tata.
"Enggak usah teriak gitu bisa gak sih? Kebiasaan banget,
gak malu dilihat istri!" Naya mengoceh dengan kesal. Pasalnya
abangnya ini jika sudah berteriak seperti itu maka anaknya
harus segera tiba dalam kurun waktu dua menit. Jika tidak,
siap-siap jatah belanja bulanan dari abang akan menghilang,
begitu katanya ketika keesokan harinya aku tanyakan.
Tata berpindah ke pangkuan Mas Andi. Aku yang juga
semangat melihat si gadis kecilku langsung duduk tepat di
samping mereka.
"Ih anak Mommy mukanya merah, matanya bengkak."
Ujarku melihat wajahnya, matanya kembali berkaca melihatku.
Aku langsung meraihnya dalam pelukanku lalu mengusap
rambutnya pelan.
Safira - 100"Mommy sudah di sini loh sayang, jangan nangis lagi
dong." Kataku menenangkannya.
"Tumben banget loh dia gini, dulu Andi keluar kota
sampai seminggu pun dia gak masalah. Tapi tadi rewel banget,
terus kalian datang itu baru diam sama Naya di kamar." Jelas
Mama.
"Naya ini pasti, kamu apain anak abang?" Tanya Mas
Andi.
“Lah aku? Sudah syukur anak abang mau tenang sama aku,
eh malah aku yang di salahkan." Naya mencibir.
"Sudahlah, kalian berantem terus kerjanya." Akhirnya
Papa menengahi.
Aku menepuk-nepuk Tata sedari tadi, dan ternyata dia
tertidur. "Mas, kita pulang?" tanyaku.
"Mau pulang atau di sini aja?" Lah dia balik tanya.
"Terserah Mas saja." Kataku pelan.
"Ma, aku pulang ya." Ujar Mas Andi. Mama menatapnya
tajam, sepertinya akan heboh.
"Ya sudah pulang aja. Ingat anak ya! Jangan terlalu
berisik, kalau Tatanya ke bangun kan susah. Jadi kalau main
tenang saja." Ya ampun pesannya.
Kami pamit, tidak memperdulikan kata-kata Mama tadi.
Hari yang cukup melelahkan.
ak
Aku sedang membersihkan wajahku dengan sabun
pencuci wajah dan air bersih yang mengalir. Harga toner dkk
mahal, jadi sejak orok pakai yang begini aja.
Setelahnya aku keluar kamar, melihat Mas Andi yang
berbaring menghadap Tata sambil memainkan tangan anaknya.
"Ganti baju dulu Mas." Ujarku padanya. Yang langsung
menuruti. Aku mengambilkan baju tidurnya. Lalu mengecek
ponsel sebentar. Masih sama, tidak ada apa-apa selain pesan
heboh dari tiga orang sahabatku yang hanya bertanya
‘Bagaimana malam pertamanya?' malas banget.
Mas Andi keluar dari kamar mandi, _ setelah
membersihkan wajahnya. Rambutnya sedikit basah,
02310 - 101tampannya. Dia mengambil baju tadi lalu kembali lagi ke
kamar mandi. Kalau kami sudah terbiasa dia bisa saja ganti
baju langsung bukan pikiranku.
Aku meletakkan ponselku di nakas. Takutnya dia keburu
keluar terus mengomel lagi. Ya walaupun satu dua kalimat gak
bisa dibilang mengomel juga kayaknya.
Dia keluar dari kamar mandi. Merebahkan diri di kasur
sebelah kanan. Dengan Tata di tengah kami. Aku menghadap
Tata yang otomatis juga menghadap ke arahnya.
"Kamu libur sampai kapan?" Tanyanya padaku.
"Rabu sudah ada jam kuliah sih sebenarnya. Tapi kemarin
mintanya sampai minggu depan." Kataku padanya.
"Kalau gitu rabu kamu masuk aja ya. Maaf kita belum bisa
Honeymoon. Saya pikir lebih baik saat kamu liburan semester
saja. Sebentar lagi bukan?"
“Iya sekitar satu bulan lagi" Honeymoon? Rasanya kurang
cocok untuk kami.
“Tidur Safira"
Aku tidak membalas perkataannya dan memilih
memejamkan mata. Entahlah, aku hanya belum terbiasa dan
aku rasa itu terlalu formal. Kami hanya ingin tidur bukan?
Mungkin ini hanya pendapatku saja.
eK
Pukul 05.56 WIB.
Aku terbangun, mentari pagi sudah terpancar dari balik
gorden. Aku melihat pandangan di depanku. Mas Andi dan
Tata yang masih terlelap. Sangat indah.
Aku tidak tau kapan Tata berubah posisi menjadi dalam
pelukan Mas Andi. Mungkin dia sempat terbangun tapi akunya
aja yang kebo kali ya jadi enggak tau. Aku beranjak dari kasur
dengan pelan, menuju kamar mandi untuk bersih-bersih.
Mengganti baju dengan celana pendek dan salah satu kaus
kesayanganku. Ingin tau kini tulisannya apa? Welcome to kota
saya. Mantap gak tuh?
Aku turun menuju dapur berniat ingin memasak. Betapa
bodohnya memang, sudah jelas tidak ada bahan makanan. Tapi
Safira - 102bersyukurlah masih ada roti tawar, margarin, susu, dan juga ice
cream kemarin.
Aku memanggang roti tawar yang sudah diolesi margarin.
Setelahnya menuangkan susu ke dalam gelas lalu meletakkan
dua potong roti bakar di atas piring. Lalu memindahkannya ke
meja makan. Aku ke atas sejenak untuk membangunkan Mas
Andi.
"Mas, bangun yuk. Aku buat roti bakar." Aku
mengguncang tubuhnya pelan. Tidak tanggung-tanggung
bukan hanya Mas Andi yang terbangun tapi Tata pun juga.
Aku meraih Tata dalam gendonganku. Lalu menarik
tangan Mas Andi kuat menuju kamar mandi.
Lucunya Tata tidak merengek ketika bangun. Aku
menyalakan air panas sejenak berencana memandikan Tata.
Tenang kini aku sudah di kamar Tata, Mas Andi sedang mandi
di kamar mandi yang ada di kamar kami.
Aku mengambil semacam sarung tangan yang digunakan
untuk mengelap bayi. Ya aku sadar ini terlalu pagi, kasihan
kalau di mandikan. Jadi aku hanya mengelap seluruh badannya.
Setelahnya, aku membalut seluruh badan Tata dengan handuk
yang tersedia di sana. Lalu merebahkannya di kasur dan
memasangkan beberapa cream yang dia punya. Bahkan produk
kecantikan Tata lebih banyak dariku. Aku hanya menggunakan
yang tersedia, membaca petunjuknya. Selesai.
Melihat isi lemari si gadis kecil ini, dan mencari baju
santai yang tidak akan membuatnya gerah, susah bergerak,
intinya nyaman lah ya.
Satu hal yang ingin aku pertanyakan setelah sekian kali
melihat lemarinya. Mengapa baju kausnya rata-rata tulisannya
‘Daddy princess’, "Best daddy’ gak ada gitu tulisan Mommy?
Baiklah, akan aku hemat uang jajan minggu depan dan beli
baju yang pakai tulisan Mommy.
Setelah kami selesai, aku langsung menuju meja makan
dengan tata di gendonganku. Aku melihat Mas Andi yang
sudah santai di ruang keluarga.
"Ayok Mas." Ajakku.
02310 - 103Aku mendudukkan Tata di kursinya. Lalu bergegas ke
belakang untuk mengambil ice cream lalu mengambil dua
sendok untuk setiap piring. "Cuma ini yang ada di kulkas.
Nanti belanja ya Mas?" Ajakku yang dibalas anggukan.
"Bisa buatkan saya kopi?" tanyanya.
“Tapi aku sudah menyiapkan susu." Aku menunjuk ke
arah gelas susu yang tadi sudah aku sediakan.
"Saya minum juga, itu pun kalau kamu gak keberatan."
Aku mengangguk paham, sepertinya kopi adalah kebiasaan
setiap paginya.
Aku balik ke dapur membuatkan kopi Mas Andi sekalian
dengan makanan Tata. Hanya ada bubur instan rasa pisang,
tidak apalah. Aku menyeduhnya dengan menambahkan dua
sendok susu bubuk. Aku pernah melihat sepupuku membuat
makanan bayinya dulu jadi aku hanya mengikuti. Naluri.
Setelahnya aku membawa kopi dan bubur tadi ke meja
makan. Kami makan dalam diam, Mas Andi sepertinya tidak
berniat membuka suara sedangkan aku lebih memilih sibuk
dengan menyuapi Tata lalu bergantian menyuapi diriku sendiri.
Hah ternyata begini rasanya menjadi istri sekaligus Ibu.
Bahkan aku belum merasakan mengandung dan melahirkan.
ek
Safira - 104Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah lagi setelah
menyandang status baru, istri orang.
Karena jadwal kuliah hari ini pagi, jadi terpaksa aku harus
bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan lalu sedikit
bersih-bersih rumah yang syukurnya tidak terlalu kotor. Hanya
berantakan. Hanya.
Dan syukurnya lagi kami sudah berbelanja untuk
persiapan seminggu ke depan. Aku bersyukur untuk yang satu
ini karena jika tidak kami hanya akan berakhir dengan sepiring
nasi putih dan telur dadar di pagi hari ini.
Mas Andi tadi mengantarku terlebih dahulu ke kantor
sebelum menitipkan Tata pada mamanya. Sebenarnya sudah
aku katakan aku tidak perlu diantar segala, karena bisa saja aku
pergi dengan gojek. Tapi Mas Andi menolak.
"Biar saya antar Safira!" dengan aura dingin tidak ingin
dibantah. Ya sudah turuti saja, toh sekalian hemat jajan.
Saat mobilnya tiba di kampus, satu menit sebelum aku
turun dia menyodorkan sebuah kartu. Bukan kartu nama, bukan
kartu pelajar apalagi kartu tanda penduduk. Kartu yang
mungkin debit? Atau kredit? Entahlah.
"Kamu bisa pakai yang ini dulu untuk belanja sebelum
saya buatkan yang atas nama kamu sendiri. Pinnya ulang tahun
Tata." Ujarnya.
Aku mengambilnya, melihat sekilas lalu
mengembalikannya lagi. "Enggak mau, susah kalau jajan pakai
itu." Jawabku kelewat polos. Yaiyalah, ribet tau gak kalau mau
beli gorengan aja harus gesek menggesek dulu.
02310 - 105"Terus? Kamu gak mau belanja?" Balasnya dengan alis
terangkat bingung.
"Ya sudah kamu kasih aku duit jajan." Kataku
menadahkan tangan.
Mas Andi membuka dompetnya lagi, bingung ingin
memberiku berapa. Saat tangannya mulai menghitung
beberapa lembar uang kertas aku pun bersuara.
"Yang merah itu aja satu, kalau mau kasih bonus tambah
satu lagi." Kataku malas memperpanjang waktu. Bisa telat ini
cuma karena duit jajan yang gak sampai. Akhirnya dia
menurutiku memberikan dua lembar seratus ribuan. Aku
meraih telapak tangannya untuk salim, pamit mau cari ilmu.
Bohong kalau aku tidak mau dapat jajan lebih. Siapa coba
yang enggak mau? Coba jujur di sini. Cuma namanya juga
sudah suami istri, duit suami duit istri. Toh sekarang cuma ke
kampus doang.
sek
Kini, aku dan tiga orang sahabat sedang berkumpul di
kantin. Kenapa mereka semua hanya bertanya tentang 'malam
pertama’. Oh tidak, Zahra tidak bertanya. Aku maklum, karena
mungkin dia sudah merasakannya.
“Cepat dong ceritain. Lo mah gak asyik." Seru Britney
dari tadi. Camkan itu sedari tadi.
"Lo gak mau cerita atau lo belum merasakan ?" Skak mati.
Faley memang perasa. Sepertinya dia bisa membaca ekspresi
gue yang bingung mau jawab apa karena gak tau sama sekali.
”Ekhm, lo tanya Zahra aja dia kan juga sudah nikah." Aku
menghindar dari pertanyaannya.
"Zahra sudah biasa. Lo yang luar biasa, laki lo
berpengalaman. Laki Zahra mah baru sama-sama _belajar."
Britney menceletuk pedas.
"Lo gak tau kalau cowok mau perjaka sekalipun itu punya
insting soal begituan?" Ya kali ini Zahra ikutan.
"Sttt, gue ini dalam rangka pencarian jodoh. Butuh
referensi." Elak Britney.
Safira - 106Faley menatapku lagi. "Lo belum pernah diapa-apain kan
sama laki lo? Jujur! Laki lo kok bisa tahan sih, jangan-jangan
jajan di luar." Dia bertanya, dia menjawab.
"Bisa aja karena kami baru kenal kali Fal, lo jangan
negatif gitu lah." Balasku. Ada-ada saja dia, bikin parno tau
gak.
Kan ketahuan lo, akhirnya jujur kan lo kalau belum
nananina." Heboh Britney. Sumpah bikin malu. Ini kantin woy.
"Bisa santai gak sih itu mulut lo. Ngapa gak pakai toa
sekalian? Hah?"
"Kita harus beli sesuatu buat lo-
"Lingerie. Lo punya duit kan? Kita bantu pilih aja, yang
bayar tetap lo." Tanya Britney kampret.
Zahra sedari tadi diam saja dengan ponsel di tangannya
yang sedari tadi berbunyi tanda chat masuk.
Ting.
Kini ponselku yang berbunyi.
Mas Suami
“Hubungi saya jika sudah pulang, nanti saya jemput.”
Begitu katanya.
"Lo ada duit gak Fir?" Tanya Faley mengulangi Britney.
"Nggak." Jawabku yang juga malas membeli kain tipis
yang gak guna itu.
"Loh kok bisa? Padahal laki lo kaya." Britney kepo banget
sih.
"Yang kaya kan dia, bukan gue."
"Iya juga ya."
Aku malas menghadapi teman yang ‘tidak waras'. Jadi aku
meminta Mas Andi untuk menjemputku sekarang, pas kira-kira
jam makan siang kantor. Jadi aku rasa tidak akan merepotkan.
Mereka masih mendebat hal yang tidak penting. Zahra
juga katanya sebentar lagi di jemput. Jadi tinggallah kalian para
jomblo karatan.
"Entar ini lo di rumah buat gestur semenggoda
mungkin..." Emang nikah cuma buat nananina? Ingin banget
gue gampar mulut mereka satu persatu.
02310 - 107"Gue pulang." Kataku begitu melihat pesan dari Mas Andi.
Aku langsung pergi tanpa peduli dengan mereka yang masih
memanggilku. Bodo guys bodo.
ek
"Sudah makan siang?" Tanya Mas Andi membuka
pembicaraan.
"Belum" Ujarku.
"Kita beli makan siang dulu tidak apa kan? Tapi
dibungkus, kerjaan saya masih banyak. Kamu ikut aja, nanti
istirahat di kantor saya." Tawaran yang bagus, aku
mengangguk singkat.
Mas Andi berhenti di salah satu Restoran Nusantara yang
cukup ramai. Dia bertanya aku ingin makan apa, sudah pasti
masakan padang akan menjadi idola di siang hari.
Aku menunggu di mobil. Mas Andi datang sepuluh menit
kemudian dengan satu kantong yang berisi dua bungkus nasi di
dalamnya. Aku sumringah.
Tanpa banyak bicara, Mas Andi menjalankan mobilnya
kembali menuju ke kantornya.
ek
"Kamu masuk duluan, saya mau parkir mobil dulu."
Perintahnya ketika berhenti tepat di depan lobby.
Aku juga tidak tau mengapa harus menurunkan ku di sini,
kan bisa aja kami jalan sama-sama dari tempat parkir. Aneh.
Dan lagi, aku tidak tau ruangannya di mana? Terus aku
harus apa?
“Ada yang bisa dibantu mbak?" Tanya resepsionis dengan
ramah.
"Saya mau ke ruangan Mas-eh Pak Andi mbak"
“Mohon maaf mbak sudah membuat janji? Jika mengantar
makanan anda bisa meletakkannya di sini atau menunggu saja
karena beliau sedang tidak di tempat." Dia mengiraku
pengantar makanan?
Manusia sekece ini dikira pengantar makanan? Ya kali.
"Tapi mbak saya bukan-"
"Dia istri saya."
Safira - 108Baru saja aku ingin mengatakan kalau aku bukan
pengantar makanan tapi sudah di potong oleh Mas Andi. Jadi
suka mendengar kata ‘istri' dari bibirnya.
Resepsionis tadi cengo. Orang yang di sekitaran juga.
Pasalnya hanya beberapa yang diundang dari kantor Mas
Andi saat kami menikah makanya mereka tidak tau siapa sosok
nyonya Andi itu saat ini.
"Mm... -mmaaf Pak, Bu." Resepsionis tadi menunduk
takut.
"Tidak masalah, anda hanya tidak tau. Mulai saat ini dia
bebas berkeliaran di kantor saya. Dan tolong suruh OB
mengantarkan perlengkapan makan ke ruangan saya. Terima
kasih." siapa yang mau keliaran coba?!
Dan satu lagi poin penting dari Mas Andi. Kata 'Terima
kasih’ yang selalu terucap.
Dia menarik tanganku, jalan bersisian dengannya. Aku
hanya menurut mengikutinya menuju lift.
"Kenapa tidak langsung bilang saja tadi?" Tanya Mas
Andi begitu pintu lift tertutup.
"Bilang apa?"
"Kamu istri saya.”
"Tadi kan sudah mau bilang, tapi keburu kamu potong
kan."
Mas Andi mengangguk paham. Bunyi berdenting
terdengar tanda kami sudah tiba di lantai 10. Gedung ini hanya
anak cabang dari perusahaan pusat yang masih di kelola Papa.
Iya dia bekerja sebagai manager di sini. Dan aku rasa itu hanya
formalitas saja karena akhirnya dia juga yang akan mengelola
ini semua, ya ampun mimpi apa aku bisa menikah dengannya.
Ya sebelumnya aku tidak mengetahui apapun tentangnya.
Hanya sekedar mereka kenal dekat dengan orang tuaku lalu aku
di jodohkan. Tidak juga sebenarnya karena tidak ada unsur
paksaan di sini.
Kami memasuki ruangannya, sebelumnya aku melihat
seorang gadis dengan pakaian sopan yang mungkin
sekretarisnya. Terdapat papan nama bertuliskan Nina Permata.
02310 - 109Padahal aku mengira sekretarisnya bakalan tante-tante kurbel.
Syukurnya nggak.
"Tadi itu sekretaris kamu Mas?" tanyaku memastikan.
"Iya, duduk dulu saya ambilkan minum." Untuk minum,
memang tersedia di ruangannya.
Aku duduk di sofa hitam yang sangat empuk. Ruangan ini
cukup besar, dengan satu meja kerja dan satu set sofa. Ada juga
lemari yang memuat berkas dan mini bar beserta kulkas mini.
Ini ruangan sekalian ngerangkap rumah kali ya.
“Dulu waktu masih bujangan saya emang sering tidak
pulang." Jelasnya.
Aku mengangguk singkat. Terdengar ketukan pintu,
seorang OB masuk dengan dua piring dan sendok di tangannya.
"Ini Pak, ada yang lain?" Tawarnya.
"Tidak, Terima kasih." OB tadi langsung meninggalkan
ruangan.
Mas Andi membuka jas yang masih membalut tubuhnya,
kemudian menyingsingkan lengan baju hingga ke siku.
Pemandangan indah macam apa ini.
Lalu dia duduk di depanku. Mengambil bungkusan nasi
kemudian membukanya di atas piring. Ah ternyata itu milikku.
Dia meletakkannya tepat ke depan ku.
"Makan."
"Iya, kamu juga."
Dia melakukan hal yang sama. Aku menyuap dengan
lahap, nasi Padang memang nikmat. Tidak ada tandingannya.
"Makannya pelan-pelan." Katanya menyodorkan minum
yang tadi dia ambil. Padahal kan aku gak tersedak.
"Minum tidak perlu tunggu tersedak dulu kan?"
Ah iya paham, aku mengambil gelas dari tangannya dan
meminumnya seteguk. Lalu melanjutkan makan lagi.
Aku selesai beberapa menit kemudian, Mas andi pun sama.
Aku membereskan sisa sampah tadi. Lalu membuangnya ke
tong sampah. Selesai, sekarang mau ngapain? Enggak tau.
Mas Andi menuju meja kerjanya, mulai menyalakan
laptop kemudian mengambil beberapa berkas. Terus aku
Safira - 110ngapain? Enggak tau. Aku masih tegak diam dekat tong
sampah sambil mikir mau ngapain.
"Kamu ngapain masih di sana?" Tanya Mas Andi begitu
perhatiannya teralih.
"Hah?! Enggak tau." Aku berjalan menuju sofa.
"Mas, boleh main ponsel gak?" Tanyaku.
"Boleh." Jawabnya singkat. Aku mengotak-atik ponsel,
buka Instagram, buka youtube, buka twitter, main hago, dll
samapi bosan.
Baru lima menit berlalu sejak aku diperbolehkan main
ponsel. Dan sekarang rasanya ingin bertanya 'mas kapan
pulang sih?' tapi segan karena dia sedang bekerja. Terus
ngapain bawa aku kesini? Enggak tau. Enggak tau semuanya
enggak tau.
"Mas aku keluar ya." Akhirnya hanya kata-kata ini yang
terucap. Di sini ada kantin kan ya, mending juga nongkrong di
sana ditemani teh pucuk enak ni.
"Tunggu." Katanya menghentikanku yang bodohnya
belum di iyakan tapi sudah jalan.
Dia menekan salah satu tombol di telepon kantor lalu
sekretarisnya masuk.
“Nin, tolong kamu temani istri saya. Bisa?"
"Baik, Pak." Jawabnya menurut.
"Mari, Bu." Tambahnya.
"Tadi di bawah katanya boleh keliaran, sekarang ditemani.
Bagaimana sih?!" Cibirku pelan.
"Jaga-jaga siapa tau kamu tersesat." Ck, sombong.
Sementang kantornya gede.
Aku menghentakkan kaki kesal, pasalnya aku dan dia
belum saling kenal. Dan aku selalu bingung bagaimana
berkenalan dengan baik.
Mas Andi hanya menggeleng melihatku yang sedang
kesal. Aku melihatnya dari sudut mataku yang masih
meliriknya sinis.
P02310- 111Aku berjalan keluar dengan Nina di belakangku. Hingga
tiba di lift, aku tidak tau harus menekan angka mana untuk
menuju kantin. Pasalnya aku tidak tau kantin di lantai berapa.
"Ingin ke mana Bu?" Tanya Nina sangat formal.
"Kantin." Jawabku singkat.
Dia menekan tombol 3.
Hening lagi.
Hingga bunyi berdenting dari lift, kami masih diam-
diaman. Hanya Nina yang bersuara menunjukkan arah yang
benar.
Hingga tiba di kantin, aku langsung menuju lemari es
yang tersedia mengambil teh pucuk dua lalu membayarnya.
Aku melihat Nina yang sudah mengisi satu meja kosong, aku
berjalan ke tempatnya.
"Ini, buat kamu." Aku menyerahkan teh pucuk tadi.
“Terima kasih Bu." Lama-lama muak juga dengar 'Bu' di
sini.
"Kayaknya saya belum bisa dipanggil ‘Ibu' deh." kataku
membuka pembicaraan.
“Tapi kamu istri atasan saya." Jelasnya.
"Iya, santai aja...-"
“Panggil Nina saja."
"Tidak masalah meski kamu lebih tua dari saya?"
Tanyaku bimbang.
"Emang saya lebih tua ya?" Tanyanya.
“Terus umur kamu sekarang berapa 19 atau malah 17?"
Balasku sedikit sarkas.
"Hah?\"
"Soalnya saya masih 20 jadi kalau kamu lebih muda
berarti belasan kan?" Jelasku.
"Hah iya, tidak masalah panggil Nina saja." jawabnya.
"Kamu juga panggil saya Safira, tanpa embel-embel bus"
Pintaku.
“Baiklah"
Hening lagi.
Safira - 112