Professional Documents
Culture Documents
com/doc/38376787/Ruang-Publik-Atau-Public-Sphere
Gagasan ruang publik atau public sphere merupakan gagasan yang belum tua.
Dan dalam hal ini filsuf Jerman Jurgen Habermas dianggap sebagai pencetus
gagasan tersebut, sekalipun sebagian orang menganggap benih-benih pemikiran
ruang publik sudah dikemukakan oleh sosilogis dan ekonomis Jerman Maximilian
Carl Emil Weber (1864-1920). Ia Jurgen Habermas mengenalkan gagasan ruang
publik melalui bukunya Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer
Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The
Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of
Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.
Melalui buku tersebut dan buku Civil Society and the Political Public Sphere, Jurger
Habermas memaparkan bagaimana sejarah dan sosiologis ruang public.
Menurutnya, ruang publik di Inggris dan Prancis sudah tercipta sejak abad ke-18.
Pada zaman tersebut di Inggris orang biasa berkumpul untuk berdiskusi secara
tidak formal di warung-warung kopi (coffee houses). Mereka di sana biasa
mendiskusikan persoalan-persoalan karya seni dan tradisi baca tulis. Dan sering
pula terjadi diskusi-diskusi ini melebar ke perdebatan ekonomi dan politik.
Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-
perdebatan semacam ini biasa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa
mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik, di
sana.
Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak
saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga
ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang
tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Di media massa itu masyarakat
membicarakan kasus-kasus yang terjadi di lingkungannya. Penguasa yang tidak
menerima dikritik dan media massa yang menolak memuat sebuah artikel karena
takut kepada penguasa juga sebagai tanda bahwa sebuah ruang publik belum
tercipta.
Topik ini saya kira sangat relevan dengan konteks Indonesia, dengan makin
tumbuhnya media elektronik (televisi) di berbagai kota, sejak era reformasi. Saat ini
sedikitnya ada 11 stasiun TV yang bersiaran secara nasional. Belum lagi ditambah
puluhan stasiun TV lokal, seperti TV Bali, TV Banten, Jak TV, dan sebagainya.
Sementara ada keterbatasan alokasi frekuensi bagi keberadaan media-media
tersebut. Pada saat yang sama, banyak media TV dianggap belum menyajikan
program-program yang mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sementara
mereka memanfaatkan frekuensi yang terbatas (ranah publik) tersebut lebih untuk
kepentingan komersial dirinya sendiri.
Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik,
seperti suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub
politik, salon, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan
ruang-ruang publik lain, di mana diskusi sosio-politik berlangsung. Konsep ranah
publik yang diangkat Habermas ini adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi
semua orang. Pada ranah publik ini, warga privat (private people) berkumpul untuk
membentuk sebuah publik, di mana nalar publik tersebut akan bekerja sebagai
pengawas terhadap kekuasaan negara.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk
opini publik, memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan kepentingan
mereka, seraya mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis memungkinkan
terbentuknya area aktivitas opini publik, yang menentang kekuasaan negara yang
opresif, serta kepentingan-kepentingan kuat yang membentuk masyarakat borjuis.
Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu
yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif
(bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk
menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian
mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak
untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan
keputusan.
Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-
kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat
diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi
politik. Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah
publik borjuis. Mulai dari ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era
heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah publik yang lebih
privat dari pengamat politik dalam masyarakat industri birokratis. Pada masyarakat
semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah publik.
Sesudah menyatakan gagasan tentang ranah publik borjuis, opini publik, dan
publisitas, Habermas menganalisis struktur sosial, fungsi-fungsi politis, dan konsep
serta ideologi ranah publik. Kemudian, Habermas menggambarkan transformasi
sosial-struktural ranah publik, perubahan-perubahan dan fungsi publiknya, serta
pergeseran-pergeseran dalam konsep opini publik dalam tiga bab penyimpulan.
Dua tema utama dari buku Habermas itu mencakup analisis kelahiran historis
ranah publik borjuis, yang diikuti dengan ulasan tentang perubahan struktural
ranah publik di era kontemporer. Habermas menganalisis kemerosotan ranah
publik itu pada abad ke-20. Yaitu, dengan bangkitnya kapitalisme negara, industri
budaya, dan posisi yang semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis
besar dalam kehidupan publik. Dalam ulasannya ini, ekonomi besar dan organisasi
pemerintah telah mengambil alih ruang publik, di mana warga negara hanya diberi
kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan, administrasi politik, dan
pertunjukan publik.
Menurut analisis Habermas, dalam ranah publik borjuis, opini publik dibentuk oleh
konsensus dan perdebatan politik. Sedangkan dalam ranah publik yang sudah
merosot kualitasnya di kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism),
opini publik diatur oleh para elite politik, ekonomi, dan media, yang mengelola opini
publik sebagai bagian dari manajemen sistem dan kontrol sosial.
Jadi, pada tahapan yang lebih awal dari perkembangan borjuis, opini publik
dibentuk dalam debat politik terbuka, berkaitan dengan kepentingan umum
bersama, dalam upaya membentuk sebuah konsensus yang menghargai
kepentingan umum. Sebaliknya, dalam tahapan kapitalisme kontemporer, opini
publik dibentuk oleh kalangan elite yang dominan, dan dengan demikian sebagian
besar mewakili kepentingan privat partikular mereka.
Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok, demi
kepentingan artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma.
Sebaliknya, yang terjadi adalah pertarungan di antara berbagai kelompok untuk
memajukan kepentingan privat mereka sendiri, dan inilah yang menjadi ciri
panggung politik kontemporer.
Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang berasal
dari Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke ranah
publik yang didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya ‘kapitalisme
negara kesejahteraan dan demokrasi massa.
Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis
Horkheimer dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana
perusahaan-perusahaan raksasa mengambil alih ranah publik, dan mengubah
ranah publik itu dari ranah perdebatan rasional menjadi ranah konsumsi yang
manipulatif dan pasifitas.
Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang muncul
dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak
pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah
digantikan oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan
dan badan-badan konsultasi politik.
Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi
wacana dan perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk,
mengkonstruksi, dan membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan
disetujui oleh perusahaan-perusahaan media. Maka, saling-hubungan antara
ranah debat publik dan partisipasi individu sudah patah, dan berubah bentuk ke
dalam lingkungan aktivitas informasi politik atau pertunjukan publik. Dalam
lingkungan semacam itu, warga-konsumen menyerap dan mencernakan hiburan
dan informasi secara pasif.
Ranah publik itu sendiri bergeser dengan bangkitnya gerakan-gerakan sosial baru,
teknologi baru, dan ruang-ruang baru bagi interaksi publik, seperti Internet.
Sedangkan Mary Ryan mencatat adanya ironi bahwa bukan saja Habermas telah
mengabaikan ranah publik kaum perempuan. Namun, Habermas juga menandai
kemerosotan ranah publik persis pada momen ketika kaum perempuan mulai
mendapatkan kekuasaan politik dan menjadi aktor.
Vitalitas ranah publik kaum perempuan memang terjadi pada abad ke-19 di
Amerika. Terlihat dengan adanya usaha-usaha pengorganisasian oleh Susan B.
Anthony, Elizabeth Cary Stanton, dan lain-lain dari tahun 1840-an sampai masuk
abad ke-20, dalam suatu perjuangan yang berkelanjutan, demi memperoleh hak-
hak memberi suara dalam pemilu dan hak-hak kaum perempuan. Selain kritik-kritik
di atas, juga diragukan, apakah politik demokratis pernah disemangati oleh norma
rasionalitas atau opini publik, yang dibentuk lewat konsensus dan perdebatan
rasional, sampai ke tahapan ciri-ciri (ideal) konsep Habermas tentang ranah publik
borjuis. Politik di sepanjang era modern selalu menjadi permainan kepentingan dan
kekuasaan, serta diskusi dan perdebatan.
Mungkin hanya sedikit masyarakat borjuis Barat yang telah mengembangkan
ranah publik dalam ciri-ciri ideal yang dinyatakan Habermas. Meskipun patut
dihargai, usaha mengkonstruksi model masyarakat yang baik, yang bisa
membantu mewujudkan nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang disepakati,
adalah suatu kekeliruan jika kita berlebih-lebihan mengidealisasi dan
menguniversalkan suatu ranah publik spesifik, sebagaimana yang dilakukan
Habermas.
http://sulfikar.com/teori-ruang-publik-3-kritik-terhadap-habermas.html