You are on page 1of 10
MENGIKIS BUDAYA KORUPSI DALAM PARADIGMA MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY) DI NEGARA KITA Oleh : Abdul Ghofur Anshori* 1. PENDAHULUAN Korupsi yang oleh sebagian abi dikatakan telah menjadi bagian kebudayaan kita” perlu dikikis dengan berbagai cara dan upaya. Masalah korupsi merupakan belantara yang sulit ditundukkan, bahkan di era reformasipun korupsi tetap saja eksis. Menurut Anderson (1990), salah satu mata rantai panjang penyebab ‘isis ekonomi dan politik Indonesia saat ini adalah karena pemerintah Orde Baru penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktik KKN tidak hanya berlangsung secara insidental, tetapi telah menjelma menjadi jaringan kegiatan yang tidak mudah putus tbahkan telah, menjelma dalam bentuk yang terorganisasi, Istilah KKN sebenarnya berasal dari tiga konsep yang berbeda, namun ketiganya ber- muara pada pemahaman yang sama, yaitu me- nyangkut praktik penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan dici sendiri, kelompok atau lembaga lainnya, sebingga merugikan masyarakat luas. Dengan demikian, konsep kolusi dan nepotisme itu sebenarnya juga berarti korupsi, karena dibalik praktik Kolusi dan nepotisme itu berlangsung penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntung- kan dici dan kalangan sendiri, dengan me- ngorbankan kepentingan orang banyak. Di dalam GBHN 1999-2004, disebutkan bahwa untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan ditetapkan misi antara lain: Per- wujudan aparatur negara yang berfungsi me- \ayani masyarakat secara profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Bahwa perwujudan ‘sistem hukum nasional, yang menjamin tegak- nya supremasi hukum dan hak asasi mamusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.”” Lebih Janjut dengan dasar pemikiran bahwa praktek korupsi dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, dan berbangsa, maka diperlukan landasan hukum untuk mencegahnya, schingga lahirlah kemudian Undang-Undang No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.;Undang-Undang No.3} Tahun. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Terakhir dibentuk Tim Gabungan untuk Penyidikan Tindak Pidana Korupsi berupa Peraturan Pemerintah (P.P) Nomer 19 Tahun 2000 Tertanggal, 14 April 2000. ‘Adanya berbagai undang-undang dan per- aturan pelaksanaan yang memadai tersebut di “SH, MHL; Staf pengajar SI dan Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum UGM ' Pendapat tersebut antara lain dikemukakan Bung Hatta, mantan: Wakil Presiden RI ; juga Suhartini dosen UGM dalam Sairin; “Mobilites Sosial dan Beban Kultura: Tinjauan Antropologis Fenomena KKN di Indonesia,” Jurnal ‘Media Inovasi, UMY, No.1 TH X/2000.hal.77. Thid. hal. 76. Rahardja, M.Dawam, "Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: Kajian Konseptual dan Kultural "dalam Suandi Hamid dan M, Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media,1999,hal.19- 32. GBHN 1999-2004, TAP MPR NO.IV/MPR/1998, lihat Bab. IIA angka 1s/d 12 utarvanya angks 3,5 dan 10 juga lebih lanjut Arah Kebijaksanaan Bidang Hukum Bab IV angka 1,2,3 seria bideng Agama D. angka | s/d 5.Ketentuan ini menunjukkan semangat reformasi untuk tegaknya hukum untuk membangun budaya bangsa yang mulia, MIMBAR HUKUM 15 atas menjadi bukti betapa pemerintah bersama rakyat ingin bersungguh-sungguh menghapus- kan korupsi yang telah membudaya itu. Memperbincangkan masalah korupsi yang begitu hidup subur dalam masyarakat kita dari masa lalu hingga kini dengan paradigma me- wujudkan masyarakat madani yang menempat- kan keadilan sebagai salah satu pilar utamanya, Masyarakat madani yang diidam-idamkan itu adalah cerminan wahyu dan rekaman masa dini sejarah Islam antara lain terlihat dalam bentuk sistem politik yang egalitarian, justice-oriented, toleran, dan terbuka. Berbeda dari masyarakat sipil dalam konsep Barat-sekuler, masyarakat madani adalah masyarakat terbuka, inklusif dan berkeadilan yang ditegakkan atas jandasan nilai-nilai etik-moral transendental.’ Karena masyarakat madani adalah justice-oriented, maka supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, ini sejalan dengan kehendak pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa dapat terwujud. Mewujudkan konsep masyarakat madani sebagai acuan reformasi dan pembentukan masyarakat baru Indonesia seperti tercermin pada nama tim yang dibentuk oleh mantan Presiden B.J.Habibie dengan sebutan “Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani” pada tanggal 7 Desember 1998, Selain melakukan kajian mengenai globalisasi dan transformasi ekonomi politik, hukum, sosial dan budaya. Tim juga bertugas merumuskan rekomendasi pemikiran tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju masyarakat madani. I SEBAB-SEBAB KORUPSI MELUAS DAN SOLUSINYA Masalah korupsi menyangkut dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi, politi sosial, budaya, pertahanan keamanan dan lain- lainnya. Muhammad Amin Rais didalam pe- ngukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mengemukakan analisis yang kiranya dapat dipahami banyak pihak bahwa tuna kuasa yang dimiliki oleh masyarakat adalah salah satu penyebab dari praktek KKN itu berkembang secara luas.’ Beberapa ahli lain misalnya Deliar Noer berpendapat bahwa praktek KKN dapat terjadi karena rendahnya gaji yang diterima oleh pegawai. Gaji yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar, dapat menjadi pendorong yang kuat untuk melakukan KKN. Pada awal kemerdeka- an, Bung Hattatelah mengingatkan bagaimana pentingnya memberikan gaji yang memadai kepada pegawai, agar mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak terjerumus untuk melakukan korupsi.’ Hal senada juga dilakukan mantan Perdana Menteri A.Halim yang menulis surat terbuka kepada mantan Presiden Soekarno, dan menyatakan dengan tegas bahwa gaji pegawai yang hanya cukup untuk hidup dua minggu atau paling lama 20 hari, telah menyebabkan mereka menjual harga dirinya dan melibatkan diri dalam korupsi kecil-kecilan (minor corruption), sekali atau dua kali seminggu.’ Namun surat peringatan tersebut tidak mendapat perhatian, dan gaji pegawai negeri tetap belum memadai untuk menopang kehidupan yang layak sampai sekarang. Sejalan + Maarif, Ahmad Syafii, “Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani, "dalam Jurnal Studi Aslam Profetika Program Magister Studi Islam UMS, Vol.1, No.2 Juli 1999, hai. 165. Keppres No.198, 1998 tentang “Pembentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani”, tanggal 7 Desember 1998, lihat juga misalnya Anwar Ibrahim, Zslam dan Pembentukan Masyarakat Madani dalam Aswab Mahasin, et.al, ed., Ruh Islam dan Budaya Bangsa, hal.22. Rais, M Amin, Kuasa, Tuna Kuasa, dan Demokratisasi Kekuasaan. Pidato Pengukuhan Guru Besar ISIPOL UGM tanggal 10 April 1999, baca konsep kekuasaan politik dan demnokratisasi, Amin mengutip dari Lord Action :" power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” hal.7. Noer, Deliar, 1990, “Mohammad Hatta Biografi Politik”, Jakarta, LP3ES Feith,Herbert, “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia”, Ithaca:Comel University Press, dalam Snirin, Mobilitas Sosial Dan Beban Kultural: Tinjauan Antropologis Fenomena KKN di Indonesia. Jurnal Media Inovasi , UMY,No. 1 Th X/2000., Hal.78, 16 MIMBAR HUKUM dengan pendapat di atas rasanya getir bila ingat justru pemerintahan sekarang menaikkan tunjangan struktural bagi pejabat yang telah mendapat fasilitas-fasilitas memadai tetapi kurang mendengar jeritan nasib terbesar pegawai negeri golongan rendah. Tokoh lain Safri Sairin lebih melihat pada faktor mentalitas yang berperanan dalam menentukan ukuran. Korupsi, cukup atau tidaknya gaji seseorang sangat relatif ukurannya, bahkan sering tidak mudah untuk menentukannya. Mungkin dalam ukuran standart yang berlaku dalam masyarakat, sejumlah gaji sudah dipandang cukup untuk menjalani kehidupan secara wajar. Namun dalam keadaan tertentu mungkin saja jumlah gaji yang sama dianggap kurang memadai. Banyak orang yang jumlah gaji yang diterima- nya sudah lebih dari memadai, tetapi tetap saja merasa kekurangan. Ini jelas berkaitan dengan sifat manusia yang tidak cepat puas dengan apa yang telah diperolehnya. Tentu saja pengaruh lingkungan sosial turut memainkan perannya disini. Praktek KKKN jelas berkaitan erat dengan faktor mentalitas, dar tidak berhubungan secara langsung dengan tinggi atau rendahnya tingkat penghasilan. Mentalitas yang dapat men- jerumuskan orang pada praktik KKN itu adalah mentalitas “selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality). Mereka yang memiliki mentalitas ini seperti tidak akan pernah merasa puas dengan penghasilan yang mereka capai, walaupun menurut standart umum, sebenarnya penghasilan itu sudah cukup untuk kehidupan mereka secara wajar. Keinginan untuk men- dapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan sehingga terkesan menjurus kearah serakah. Untuk memuaskan “rasa Kurang” itu mereka menempuh berbagai jalan, baik yang dilakukan sesuai dengan peraturan dan etika, maupun yang berlawanan dengan itu. Bagi mereka yang penting adalah bagaimana dahaga unsatiable mentality yang bersarang dalam diri mereka itu dapat terpuaskan. Lebih jauh Safri Sairin menunjukkan behwa praktik © Bi " Sairin, Safti, Ibid. hal,79 MIMBAR HUKUM KKN dapat pula disebabkan oleh beratnya beban kultural (cultural burden) yang meng- gayut di bahu masyarakat. Kata beban dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu tanggung- an yang bersifat material, seperti memikul barang, beban mengangkat kayu, dan sebagai- nya. Namun kata itu dapat pula dikaitkan dengan tanggungan yang bersifat non-material, dan beban non-material dapat dibagi dua yaitu beban sosial dan beban kultural. Walaupun benang pemisah antara konsep beban dan beban kultural sangat tipis, retapi keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Pengertian beban sosial berhubungan dengan berbagai tanggung- an dan kewajiban yang dipikul manusia dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat, seperti pegawai rendah yang tidak mampu untuk me- nanggung pendidikan anak-anaknya. Berbeda beban sosial yang tidak berkaitan sama sekali dengan tanggungan dan kewajiban manu: dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai mahluk sosial; maka beban kultural berkaitan dengan tanggungan atau kewajiban yang dapat dipikul manusia berupa seperangkat nilai-nilai, baik yang dibangun oleh kelompok primordial- nya ataupun yang datang dari Juar tanggungan dan kewajiban yang melekat pada beban kultural itu akan menjadi lebih berat ketika masyarakat mengalami mobilitas sosial secara vertikal tiba-tiba keluar dari kehidupan yang sudah lama digelutinya.’ Konsep beban kultural misalnya seorang petani yang secara tiba-tiba beralih status men- jadi pegawai negeri, atau seeorang yang tiba- tiba diangkat menjadi pejabat dalam kedudukan yang sangat penting. Mobilitas vertikal yang berlangsung dalam satu alur kegiatan, seperti seorang pegawai negeri yang berpindah status secara vertikal karena kenaikan pangkat, tidak dapat dikenakan konsep beban kultural. Perpindahan status dapat terjadi antara lain karena dipicu oleh perubahan sosial yang terjadi secara revolusioner dan besar-besaran. Setiap perubahan sosial yang terjadi secara revolusi- oner dan diikuti dengan mobilitas secara tiba- tiba, akan membawa berbagai beban kultural kepada masyarakat yang mengalaminya. Victor Tumer (1976) mengatakan bahwa masyarakat yang mengalami proses perpindahan status seperti itu akan terjadi suatu fase perpindahan yang disebutnya dengan istilah Jiminality. Dalam fase seperti ini masyarakat yang terlibat belum pula beranjak dari status lamanya secara keseluruhan dan belum pula menginjak status barunya dengan seutuhnya. Mereka berada dalam suasana ambiguiti dan galau. Untuk begitu saja meninggalkan nilai-nilai dan simbol- simbol budaya dari kehidupan masyarakat yang ditinggalkannya tidak mungkin sama sekali, karena terdapat berbagai hal yang telah menyatu dalam kehidupan mereka. Untuk segera menyerap nilai-nilai baru dari dunia yang baru saja dimasukinya juga tidak mudah, terutama karena makna nilai-nilai dan simbol- simbol baru itu belum mereka pahami sama sekali. Mereka yang sedang dalam /iminality itu hanyut kepada satu bentuk komunitas yang memiliki sistem nilai dan simbol-simbol sendiri yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Warga komunitas inilah yang banyak me- nanggung beban kultural, baik yang berasal dari budaya lamanya ataupun yang dikonstruksi- kannya dari, unsur budaya baru yang sedang dijejakinya.” Terdapat dua peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang berhasil mendorong terjadinya perubahan sosial secara besar-besaran, dan memicu berlangsungnya mobilitas sosial vertikal secara, ‘besar-besaran pula dalam masyarakat. Peristiwa pertama dalah ketika bangsa Indoneia ber- hasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda, peristiwa kedua adalah ketika pemerintah Orde Baru mendapat sukses besar dalam melaksanakan pembangunan ekonomi pada awal tahun 1970, Meminjam terminologi Umar Kayam (1989), kedua peristiwa penting itu merupakan “perintah historis” yang begitu kuat mendorong terjadinya perubahan dalam sejarah sosial masyarakat Indonesia. ‘Kemerdekaan telah membuka berbagai peluang bagi masyarakat untuk menduduki posisi-posisi strategis yang sebelumnya berada di dalam genggaman penjajah Belanda. Kaum ter- didik pribumi yang umumnya berasal dari kalangan bangsawan dan para pejuang ke- merdekaan, yang mayoritas berasal dari kalangan rakyat biasa segera mengisi peluang yang ditinggalkan penjajah. Merakalah yang berada di garda terdepan yang mengisi kantong- kantong kekuasaan yang ditinggalkan pemerintah jajahan. Mobilitas vertikal secara besar-besaran dari kalangan pribumi telah merubah struktur wajah bangsa Indonesia. Mereka yang selama masa penjajahan merupa- kan bagian dari masyarakat “blue collars” berpindah status menjadi kelompok “white collars”. Dengan meminjam terminologi Jawa, sejumlah wong cilik telah berpindah menjadi priyayi, sebuah perpindahan status yang sangat mencolok dalam sejarah kehidupan. bangsa." Perubahan status yang berlangsung secara besar-besaran itu telah membawa berbagai beban kultural pada komunitasnya, Berbagai nilai yang berasal dari kelompok sosial yang baru dijajakinya. Nilai-nilai ini menjadi beban kultural yang cukup berat untuk dipikul mereka. ‘Sebagai anggota masyarakat yang berasal dari kalangan biasa, tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menanggalkan semua nilai-nilai lama yang menjadi bagian dari kehidupannya. Berbagai nilai yang diamanatkan kepada mereka seakan mengganggu suasana batin, baik berupa keharusan untuk segera memenuhi ‘tuntutan nilai-nilai dari kelompok primordial maupun nilai-nilai yang tumbuh dari dunia baru. Nilai-nilai yang menyatu dalam kewajiban untuk memperhatikan kepentingan primordial " Tunner, Victor, 1976, “Ritual Process Structure and anti-structure, ‘haca: Corel! University press” dalam Sirin, 1bid, hal. 76. ” Kayam, Umar, Ibid “Ibid ° Ibid 18 MIMBAR HUKUM itu adalah salah satu ciri dari masyarakat negara berkembang. Kewajiban yang menyatu dengan nilai-nilai budaya seperti inilah yang menjadi alasan kuat bagi berlangsungnya praktik nepo- tisme dalam kehidupan birokrasi di negaré negara berkembang termasuk Indonesia, Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara maju, yang mampu menghambat praktik semacam ita dengan menerapkan berbagai peraturan dengan ketat.' Konsep penguasa tunggal yang diper- kenalkan pemerintah Orde Baru menyebabkan sistem pengangkatan pejabat pada tempat- tempat basah itu berjalan dengan mulus, tanpa halangan yang berarti. Politik otoriter yang dikembangkan pemerintah lebih mempermudah urusan-urusan itu. Keadaan seperti itu sudah menjadi pengetahuan umum dan ini pulalah ‘yang memicu berkembang praktik KKN yang, merugikan rakyat. Bobot beban kultural menjadi semakin memberat dengan berlangsungnya proses globalisasi dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan pembangunan yang relatif terbuka telah membuka peluang baru bagi masuknya berbagai produk industri dari negara-negara maju ketengah kehidupan masyarakat. Tanpa dirasakan masyarakat Indonesia telah menjadi obyek pasar bagi produk negara-negara asing. Telah terjadi semacam bentuk penjajahan baru dari negara-negara maju terhadap negara- negara berkembang melalui pengembangan pasar. "dan menghasilkan sebuah pola kehidup- an yang disebut consumer culture” Koentjaraningrat dalam kapasitas sebagai. abli antropologi pada masa awal pemerintahan Orde Baru mengingatkan tentang kelemahan mentalitas bangsa Indonesia yang punya potensi untuk merintangi pembangunan, yaitu mentalitas nrabas. Mentalitas ini tidak cocok ‘6 Ibid. hal. 81. " Ibid. "8 [bid. hal 82 ” [bid. untuk menopang pembangunan, bahkan ia dapat menjadi kendala dan rintangan bagi upaya pembangunan . Hal ini terutama karena mereka yang mempunyai mentalitas nrabas itu selalu menghindari kerja keras, disiplin dan rasa tanggung jawab. Mereka lebih suka mencari jalan pintas walaupun harus melakukannya dengan cara-cara melanggar etika dan aturan, yang pada akhirnya menyeret orang pada perilaku KKN. Bangsa Indonesia menghadapi tantangan masa depan yang cukup berat. Diperlukan berbagai upaya bersama untuk menghadapi tantangan tersebut. Langkah pertama adalah upaya untuk meningkatkan saling percaya (mutual trust) dalam setiap tingkat masyarakat. Membangun rasa percaya diperlukan berbagai upaya keras untuk mewujudkannya, antara lain adalah dengan menepati janji-janji yang diobral pemerintah, tetapi jarang yang ditepati.” " Janji untuk memberantas KKN sudah sejak lama diucapkan, bahkan.telah dituangkan dalam undang-undang, peraturan, keputusan. Akan tetapi, janji iru tidak kunjung ditunaikan dengan sungguh-sungguh. Kehidupan bersama dalam bentuk persatu- an dan kesatuan memang sangat dibutuhkan dalam kerangka memulihkan rasa saling per- caya itu. Namun, persatuan dan kesatuan yang dibutuhkan bukan dalam makna menjadi serupa dan seragam, uniformity and sameness, seperti terjadi dalam praktek kehidupan selama ini. Yang dibutuhkan adalah persatuan dan kesatu- an dalam pengertian unity and oneness.” Dalam pengertian ini terjalin keinginan yang satu untuk mencapai tujuan yang satu pula. Kesatuan hati yang telah terjalin itu, menjadikan setiap Komponen masyarakat merasa saling tergantung dan terikat untuk mewujudkan cita-cita itu. ® Koentjaraningrat, 1969, “Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia”, Bharata Jakarta, dalam Sairin, Mobilitas Sosial dan Beban Kultural, Jurnal Media Inovasi UMY No. 1 Th. X/2000, hal.75. 2 Ibid. hal. 84 » Ibid. MIMBAR HUKUM Semuanya itu hanya akan tercapai jika rasa saling percaya dapat terjalin dengan baik. Hal lain yang sangat menentukan adalah penegakan hukum yang dilaksanakan dengan adil dan ber- wibawa, tentu pula diupayakan dengan serius guna mendorong tercapainya tujuan tersebut III. KONSEP MASYARAKAT MADANI Menurut Naquib al-Attas, seorang abli sejarah dan peradaban Islam Malaysia, pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Is- lamic Thought and Civilization (ISTAC), memperkenalkan istilah masyarakat madani terjemahan dari bahasa Arab, “mujtama’ madani”. Ahmada Hatta dalam artikelnya “Paradigma Masyarakat Madani, Sebuah Acuan Reformasi, mengutip dan menguatkan keterangan di atas. Anwar Ibrahim mantan Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, membawa ke Indonesia istilah “masyarakat madani sebagai terjemahan “civil society”, dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festifal Istiqlal, 26 Septem- ber 1995. Menurut Anwar yang dimaksud masyarakat madani ialah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebas- an perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang- undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system. Dalam pengertian tersebut, masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan 2 Did, masyarakat, masyarakat yang mampu men- dorong daya usaha dan inisiatif individu. Konsep masyarakat madani yang dibawa oleh Anwar, bukan saja merupakan konsep ideal, melainkan berlandaskan empiri. Ia merujuk kepada apa yang disebut sosiolog terkemuka saat ini, Emest Geliner sebagai “High Islam” atau budaya Islam tinggi, sebagai lawan dari “Low Islam”, yakni budaya Islam kerakyatan (folk Islam). Apa yang disebut budaya Islam kontemporer yang ditandai oleh sifatnya “yang rasional, yang mengutamakan ilmu dari Khurafat dan berasaskan budaya kota sebagai asas bagi umat Islam untuk mencipta masyarakat modern berjaya”. Menurut Anwar dalam sejarah Asia Tenggara, Islamlah yang pertama kali memperkenalkan kepada kita cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil sosiety yang bersifat demokratis. Di kawasan ini, Islam membentuk suatu susunan politik dan kebudayaan serantau, a regional geo-political cultural order.” Berdasarkan uraian Anwar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep masyarakat madani itu sebenamya bertolak dari konsep Barat, civil society. Tetapi Anwar juga me- nemukan dalam konsep yang disebut Geliner, “High Islam,” budaya tinggi Islam yang juga beroperasi datam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu-Indonesia. Memang benar, seperti dikatakan oleh Douglas Saltmartche, bahwa civil society ini merupakan “impian Barat” (western dream). Civil society adalah bagian dari sejarah sosial Eropa Barat dan kemudian ditarik menjadi bangunan teoritik dan paradigma yang dipakai sebagi kerangka untuk memahami perubahan-perubahan sosial di masa transisi dari suatu masyarakat feodal ke masyarakat lebih kompleks, modem.” Apakah masyarakat madani pemah ada di Indonesia? Walaupun hanya menyebut » Rahadja M Dawam, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume 1, Nomer 2, 1999, hal. 8 » Ibid. % Ibid, hal, 26 » bid, hal 25 20 MIMBAR HUKUM sejumlah karakteristik masyarakat madani, Emil Salim, selaku Ketua Gerakan Masyarakat ernah mengatakan bahwa masyarakat madani itu terdapat di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya sudah ter- tanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama secara musyawarab. Per- kembangan masyarakat patembayan memerlu- kan pembaharuan dalam pendekatan melalui, antara \ain, pengembangan masyarakat madani dengan kedudukan sama bagi semua kelompok masyarakat dan kehidupan bersama melalui Jembaga-lembaga perwakilan.” Dari dua istilah yang eksotik, suatu istilah yang belum lazim, tetapi pemah diusulkan oleh Djojodiguno (1960), seorang Guru Besar sosio- logi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, yaitu paguyuban dan patembayan. Masing- masing adalah terjemahan dua kata Jerman, gemeinschaft dan gesselschaft yang berasal dari Ferdinand Tonies dan dipakai juga oleh Max Weber, civil society adalah gesselschaft, yang merupakan masyarakat yang terorganisasi- kan (organized) yang telah keluar dari pola hubungan tatap muka dalam masyarakat tradisional. Namun menurut Emil Salim, masyarakat madani sudah tertanam dalam masyarakat paguyuban di masa lalu, dengan melihat beberapa cirinya, misalnya adanya persamaan kedudukan di antara kelompok- kelompok manusia dan dilaksanakannya musyawarah. Tetapi untuk mencapai tarap masyarakat patembayan, diperlukan pem- baharuan pengembangan masyarakat madani. Dari apa yang diuraikan oleh Emil Salim dalam makalahnya yang berjudul “Prospek Ekonomi dan Politik Indonesia” yang menjadi- kan masyarakat madani sebagai acuan reformasi total, kita memang harus mencari dan meng- indentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat masyarakat madani yang telah ada dalam masyarakat 3 Ibid, hal. 18 » Ibid, hal. 19 » Ibid, hal. 19 ° Dbid, hal. 20 MIMBAR HUKUM Indonesia. Sebenarnya, sudah sejak lama substansi masyarakat madani itu menjadi wacana intelektual di Indonesia. Tetapi kita baru menyadari kehadirannya ketika kita ber- kenalan dengan konsep atau teori masyarakat madani dan civil society. Namun kita juga me- nyadari apa yang belum ada dalam masyarakat kita, dengan membandingkan masyarakat madani sebagai konsep ideal atau teori dengan realitas dan sejarah masyarakat_ kita.” Kini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, tidak terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholis Madjid, Dawam Rahardja, Amien Rais, tetapi juga tokoh politik dan pemerintahan, seperti B.J Habibie, Wiranto, Bambang Yudoyono. Hal ini merupakan peristiwa penting, karena penyebutan masyarakat madani itu dimaksudkan sebagai pemyataan ide refor- masi untuk “menyeimbangkan kekuasaan negara dengan kekuasaan masyarakat* yang berarti memerlukan langkah-langkah untuk memasang rambu-rambu pembatas kekuasaan negara di satu pihak dan memberdayakan masyarakat me- numbuhkembangkan kekuasaannya dipihak lain. IV. MASYARAKAT BARU INDONESIA, ‘Menurut Jurgen Habermas dalam bukunya “Between Facts and Norms: Contribution to Discourse Theory of Law and Democracy” Bab 8 “Civil Society and Political Public Sphere”, tendensi masyarakat baru adalah meminimalkan kekuasaan negara dan memper- Juas ruang publik, atau membangun kemandiri- an masyarakat berhadapan dengan negara. Kata-kata itu sebenamya biasa diucapkan oleh gerakan masyarakat dan partai-partai politik dan bukan oleh birokrat militer. Namun di Indonesia, di era reformasi, masyarakat madani ini justru dikehendaki oleh tokoh-tokoh negara dan pemerintah. Lebih dari jtu masyarakat madani sudah dijadikan acuan. ” 21 Perkembangan pemikiran untuk mem- bentak sebuah masyarakat baru Indonesia, diakses oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengadakan simposium yang bertema “Pencerahan Menuju indonesia Baru”. Beberapa pemikir ikut berbicara dalam forum itu, misainya 1 Dewa Gede Raka, Loekman Sutrisno, Agum Gumelar, Iskandar Alisahbana, Satjipto Rahardjo, M.Amien Rais. Semula istilah yang dipakai dalam berbagai wacana ita adalah “masyarakat baru Indonesia” atau “masyarakat Indonesia yang modern”. Tetapi istilah-istilah itu kurang mengandung subtansi, walaupun orang tertentu mempunyai pemikiran yang banyak mengenai istilah tersebut. Akibat tiadanya kerangka teori, khususnya teori civil society, maka nampak tiadanya arah maupun, sistematika yang jelas dalam simposium tersebut untuk bisa melukiskan bagaimana corak dari masyarakat Indonesia baru yang dikehendaki. Setidak-tidaknya kita melihat pandangan yang begitu beragam yang dilatar- belakangi oleh pethatian perorangan terhadap masalah yang berkembang, Dari sekian banyak pembicara, hanya ada dua orang yang memiliki rumusan tentang yang dimaksud dengan masyarakat baru Indonesia, yakni Loekman Soetrisno dan Agum Gumelar. Loekman me- lukiskan secara singkat bentuk masyarakat Indonesia Baru sebagai berikut :”Masyarakat Indonesia baru adalah masyarakat yang me- miliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, masyarakat yang berlandaskan sistem politik dan ekonomi yang demokratis. Kedua, masyarakat yang menjunjung tinggi hak sipil dari individy,maupun kelompok dalam masyarakat”.” Sementara Agum Gumelar mencoba membuat rumusan yang lebih tuntas sebagai berikut: Masyarakat baru yang kita kehendaki adalah masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera, masyarakat maju dalam arti siap ménerima dengan cepat, segenap perubahan-perubahan sertamampu memanfaat- % Ibid, hal. 21 % Ibid, hal. 22 » Ibid. 22 kan dan beradaptasi dengan perkembangan Iptek; gambaran masyarakat maju seperti ini akan menjadikan masyarakat yang lebih dinamis. Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang memiliki sikap mental yang berkepribadi- an, mampu mengambil keputusan tanpa di- pengaruhi masyarakat lain, serta berani ber- tanggung jawab dan mampu bekerja sama. Dengan demikian, masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang berdaya saing'dan i posisi tawar menawar atau “bargain- ing position” yang kuat. Sedangkan masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang memiliki / kualitas hidup yang baik, diukur antara lain dari pemerataan dan keterjangkauan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuh- an hidup, baik yang primer maupun yang sekunder. Gerakan Muhammadiyah, dalam pers- pektif ajaran Islam mengajukan istilah yang lebih konseptual dan mengandung substansi, yaitu “masyarakat utama”, istlah ini terjemahan dariistilah Qur'an, “khayruummah’" Termino- Jogi Qur’ani itu membutuhkan penjelasan dan perlu penggalian yangmendalam dari Al-Qur’an dan sejarah Muhammad SAW. Dalam men- substansikan istilah-istilah seperti masyarakat baru, masyarakat modern, masyarakat utama, masyarakat madani ataupun, khayruummah, diperlukan bantuan dari dunia teori. Ternyata, teori civil society sangat banyak membantu memeahami apa yang dimaksud dengan istilah- istilah tersebut. Sebagai diskursus filsafat sosial, konsep, teori maupun cetak biru masa depan, civil society sebenamya sudah berumur lama, sejak sata dua abad sebelurm Masehi hingga sekarang. Selama berabad-abad istilah itu sempat di- lupakan, walaupun substansinya dengan istilah- istilah lain selalu menjadi bahan pembicaraan dari waktu kewaktu. Para pemikir modern, seperti John Locke, Thomas Hobbes, Ferguson, Hegel, Karl Marx, Habermasa atau Wuthnow, MIMBAR HUKUM telah ikut menghidupkan kembali dan.bahkan memperkaya pengertian walaupun satu sama Jain sering, bertentangan. Kini agaknya pemerintah telah memper- gunakan konsep “masyarakat madani” sebagai acuan reformasi dan pembentukan masyarakat baru Indonesia seperti tercermin pada nama tis yang dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie dengan sebutan “Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani” pada tanggal 7 Desember 1998. Selain melakukan pengkajian mengenai globalisasi dan transformasi ekonomi politik, hukum, sosial dan budaya, Tim juga bertugas merumuskan rekomendasi pemikiran tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju masyarakat madani. Oleh karenanya masyarakat madani adalah sebuah konsep baru yang perl dielaborasi lebih lanjut. Dalam rangka mempelajari konsep masyarakat madani yang menjadi tujuan proses tranformasi ini, civil society sebagai teori sosial akan sangat membantu memahaminya. Pemahaman yang benar akan menghasilkan landasan yang bagus bagi konsep operasional menuju masyarakat madani itu. V. . KESIMPULAN Korupsi di negara kita telah berurat ber- akar yang ‘menurut sementara ahli dikatakan telah membudaya harus dikikis-habis dengan memperkokoh ketahanan mental, mampu mengendalikan diri, meningkatkan saling per- caya diri, kebersamaan dalam peratuan dan kesatuan dan penegakan hukum yang dilaksana- kan dengan adil dan berwibawa. Masyarakat madani bisa dipahami dengan mempergunakan konsep civil society, terutama dalam sejarah sosial Barat. Selanjutnya civil society dapat dijadikan sebagai kerangka ber- fikir untuk memahami gejala mutakhir di Indonesia, dengan metode komperatif dengan kasus-kasus di negara-negara lain yang sama- sama mengalami proses transisi menuju masyarakat yang demokratis. Terbentuknya masyarakat madani dalam ujudnya masyarakat baru Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang memiliki peradaban yang tinggi dengan karakter tegaknya supremasi hukum dan terbebas dari kebiasaan korupsi. DAFTAR PUSTAKA Kayam, Umar, 1989, Transformasi Budaya Kita, Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Fakultas sastra Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1969, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia, Bharata, Jakarta. Maarif, Ahmad, Syafii, “Universalisme Nilai- Nilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Studi Islam Profetika, Program Magister Studi Islam UMS, Vol. 1 No.2 Juli 1999. » Ibid MIMBAR HUKUM Noer, Deliar,1990, Mohammad Hatta Biografi Politik, LP3ES, Jakarta. Rahardja, M. Dawam, 1999, “Korupsi Kolusi dan Nepotisme: Kajian Konseptual dan Kultural, ” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed,), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta. , 1999, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Volume 1, No. 2, 1999, Jakarta. Rais, Muhammad, Amien, 1999, Kuasa, Tuna Kuasa dan Demokratisasi Kekuasaan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, 10 April 1999 Sairin, Sjafri, 1999,”Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: Tinjauan Budaya”, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad 24 Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi,Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Nedia, Yogyakarta. , “Mobilitas Sosial dan Beban Kultura: Tinjauan Antropologis Fenomena KKN di Indonesia” Jurnal Media Inovasi No. 1 Th. X /2000. MIMBAR HUKUM

You might also like