You are on page 1of 16

PREVALENSI DAN IDENTIFIKASI JAMUR

PENYEBAB TINEA PEDIS PADA SATUAN POLISI


PAMONG PRAJA PONTIANAK

Diana Natalia*, Sari Eka Pratiwi2, Syahrina Fakihun3


1
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. 2Departemen Patologi
Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak,
Kalimantan Barat. 3Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat.
*Email: dnat_2005@yahoo.com

ABSTRACT
Background: Tinea pedis is a superficial fungal infection predilected on soles
and spaces between toes. This research was conducted on civil service police
officers in Pontianak, who work in tightly-closed shoes in a hot and damp
climate which predisposes them to Tinea pedis.
Aim: This research was aimed to find the prevalence of and identify the fungus
that causes Tinea pedis in civil service police officers.
Methods: This research used a descriptive method with a cross-sectional
approach. Samples were taken with total sampling method. Respondents who
showed clinical manifestation of Tinea pedis would have their skin scrapped
and tested with KOH. Scraps that gave positive results in KOH test would then
be grown in SDA medium before being cultured in slide culture to identify the
ethiological fungus.
Results: There were 14 officers who had fungal infection (29,16%), 4 of which
had of Tinea pedis (8,33%), 7 officers had Tinea unguium/onychomycosis
(14,58%) and the remaining 3 had Tinea pedis with Tinea unguium/
onychomycosis (6,25%). Fungi which were identified to be the causal
agents were Trichophyton rubrum (53,34%), Aspergillus fumigatus (20%),

35
Epidermophyton floccosum (13,33%) and Onychocola canadensis (13,33%).
Conclusion: There were 4 officers who had Tinea pedis and 3 officers
who had both Tinea pedis with Tinea unguium/Onychomycosis. The
most prevalent causal agent was Trichophyton rubrum.

Keywords: Tinea pedis, Trichophyton rubrum, Trichophyton mentha-


grophytes, Epidermophyton floccosum, Civil Service Police Unit

ABSTRAK
Latar belakang: Tinea pedis adalah infeksi jamur superfisial pada kulit
sela jari kaki dan telapak kaki. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
bidang operasional di kota Pontianak, bekerja menggunakan sepatu
tertutup sepanjang hari di daerah tropis dengan iklim panas dan
lembab, sehingga memiliki faktor risiko terinfeksi Tinea pedis.
Tujuan: mengetahui prevalensi dan mengidentifikasi jamur penyebab
Tinea pedis pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota
Pontianak.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-cross
sectional. Sampel diambil dengan cara total sampling. Subjek penelitian
yang menujukkan klinis positif Tinea pedis akan diambil kerokan kulit
untuk pemeriksaan KOH, dilanjutkan kultur dalam medium SDA dan
dilakukan slide kultur untuk mengidentifikasi jenis jamur penyebab.
Hasil: Pegawai Satpol PP di Kota Pontianak yang secara klinis
mengalami infeksi jamur adalah 14 orang (29,16%), dengan rincian
4 orang (8,33%) secara klinis positif Tinea pedis, 7 orang (14,58%)
secara klinis positif Tinea unguium/Onychomycosis dan 3 orang
(6,25%) secara klinis positif Tinea pedis disertai Tinea unguium/
Onychomycosis. Jenis jamur penyebab yang menginfeksi subjek
penelitian adalah Trichophyton rubrum (53,34%), Aspergillus
fumigatus (20%), Epidermophyton floccosum (13,33%) dan Onychocola
canadensis (13,33%).

36
Kesimpulan: Pegawai Satpol PP yang mengalami infeksi Tinea pedis
adalah 4 orang dan yang mengalami Tinea pedis disertai Tinea
unguium/Onychomycosis adalah 3 orang. Jenis jamur yang paling
banyak menginfeksi adalah Trichophyton rubrum.

Kata Kunci: Tinea pedis, Trichophyton rubrum, Trichophyton mentha-


grophytes, Epidermophyton floccosum, Satpol PP

PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial pada kulit, yang
disebabkan oleh dermatofit.1 Infeksi ini disebabkan oleh tiga genus
jamur yaitu Microsporum, Tricophyton  dan  Epidermophyton. Jamur-
jamur ini menyerang permukaan tubuh yang terkeratinisasi seperti
kulit pada tubuh, kulit yang berambut seperti pada kepala, dan kuku.2
Dermatofitosis banyak diderita oleh penduduk yang tinggal di daerah
tropis.  Iklim panas dan lembab merupakan salah satu penyebab
tingginya insiden tersebut, selain itu infeksi jamur pada kulit juga
dipredisposisi oleh kebersihan yang kurang sehat, adanya sumber
penularan, dan penyakit kronis.3
Salah satu infeksi jamur superfisial pada kulit adalah infeksi jamur
di sela jari kaki dan telapak kaki yang dikenal sebagai Tinea pedis atau
ringworm of the foot. Penyebab utama infeksi ini adalah Trichophyton
rubrum, Trichophyton menthagrophytes, dan Epidermophyton
floccosum. Jari yang paling sering terinfeksi adalah jari ke-empat dan
ke-lima yang selanjutnya akan menyebar ke bawah jari dan sela jari-
jari.4,5
Tinea pedis paling banyak menyerang pada pria dibanding
dengan wanita, serta tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh etnik atau
ras tertentu. Penyakit ini sering menyerang orang dewasa yang bekerja
di tempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap hari
harus memakai sepatu tertutup.4,6,7,8

37
Tinea pedis bukan penyakit yang mengancam jiwa, bentuk
klinisnya bisa bertahun-tahun tanpa keluhan berarti, namun Tinea
pedis dapat menjadi masalah yang besar apabila telah muncul infeksi
sekunder (infeksi bakteri) dengan gejala mulai dari yang ringan
(bintil-bintil merah yang perih) hingga yang lebih berat seperti nyeri
dan demam.9 Rasa gatal yang ditimbulkan setiap hari akibat dari
Tinea pedis juga bisa mengganggu aktivitas atau pekerjaan seseorang
sehingga akan menurunkan kualitas hidupnya.10
Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan
sedang. Kasus Tinea pedis ada banyak pada beberapa negara di Asia.
Berdasarkan penelitian di Kimitsu Chuo Hospital, Tokyo, Jepang tahun
1994-1999, kasus dermatofitosis yang terbanyak adalah Tinea pedis
(64,2%), diikuti Tinea unguium (14,6%) dan Tinea korporis (11,9%).11
Sedangkan di Singapura berdasarkan National Skin Centre Singapura
pada tahun 1999-2003 didapatkan 12.903 kasus mikosis superfisialis,
kasus yang paling banyak adalah Tinea pedis (27,3%), kemudian
Pitiriasis versikolor (25,2%), dan Tinea kruris (13,5%).12 Berdasarkan
hasil penelitian di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003–2005 di Indonesia,
didapatkan bahwa jumlah kasus baru mikosis superfisialis menempati
urutan ke-3 setelah dermatitis dan acne.13
Frekuensi Tinea pedis tinggi pada pekerja buruh tambang dan atlit
di Eropa dan Amerika Utara.14 Sedangkan di Indonesia, didapatkan
bahwa prevalensi Tinea pedis pada pekerja, yaitu kalangan tenaga
kerja Industri Plywood di provinsi Kalimantan Selatan sebanyak
35,9% dan pada pekerja pabrik tekstil Semarang ditemukan sebanyak
29,5%.15,16 Pekerja yang menggunakan sepatu tertutup sepanjang hari
juga beresiko terkena Tinea pedis, contohnya adalah Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP). Hal ini karena pemakaian sepatu dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan kulit di sekitar kaki lembab
karena keringat, sementara jamur menyukai bagian kulit yang sering
lembab dan basah.17

38
Berdasarkan dari angka kejadian Tinea pedis yang cukup tinggi
di atas dan belum adanya data mengenai prevalensi Tinea pedis pada
Satpol PP. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian prevalensi
dan identifikasi jamur penyebab Tinea pedis pada Satpol PP di kota
Pontianak yang merupakan daerah tropis dengan iklim panas dan
lembab penyebab tingginya insiden.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-cross sectional.
Sampel diambil dengan cara total sampling, sebanyak 48 orang
Satpol PP. Subjek penelitian dengan klinis Tinea pedis ditentukan
berdasarkan anamnesis, gambaran klinis (Ujud Kelainan Kulit/UKK)
dan pemeriksaan sediaan langsung KOH 10%.
Kaca objek dan skalpel dibersihkan dengan alkohol 70%. Kulit
yang diduga terinfeksi jamur dibersihkan dahulu dengan kapas
alkohol 70%. Jika ada kelainan kulit, pinggir yang aktif dari lesi dikerok
dengan ujung kaca objek atau skalpel. Jika tak ada kelainan, kerokan
kulit diambi dari sela jari kaki. Selanjutnya bahan kerokan diletakkan
pada gelas alas yang sudah dilabel dan diteteskan 1 tetes KOH 10%
lalu ditutup dengan kaca penutup. Hasil porsitif KOH ditanam dalam
medium SDA. Untuk identifikasi jamur, terutama untuk melihat
mikrokonidia dan makrokonidia dilanjutkan pemeriksaan slide kultur.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada 48 orang pegawai, didapatkan bahwa ada empat
orang yang menunjukkan gejala klinis Tinea pedis, tujuh orang
menunjukkan gejala klinis Tinea unguium/Onychomycosis dan tiga
orang menunjukkan gejala klinis Tinea pedis dan Tinea unguium/
Onychomycosis.

39
Tabel 1. Kasus dengan Klinis Positif Infeksi Jamur

Jumlah
Klinis Positif Infeksi Jamur %
Kasus
Positif Tinea pedis 4 8,33
Positif Tinea unguium/Onychomycosis 7 14,58
Positif Tinea pedis dan Tinea unguium/Ony- 3 6,25
chomycosis
Negatif Infeksi 34 70,84
Total 48 100

Sumber : Data Primer, 2015

Pemeriksaan KOH pada empat orang yang secara klinis positif


Tinea pedis, hanya tiga orang yang menunjukkan hasil positif KOH,
hal ini karena adanya keterbatasan pada jumlah spesimen yang
diambil saat melakukan kerokan kulit, sehingga pada saat pemeriksaan
KOH menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan KOH pada tiga
orang yang secara klinis positif Tinea pedis disertai Tinea unguium/
Onychomycosis, semuanya menunjukkan hasil positif.
Dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, mengenai
angka kejadian Tinea pedis pada pekerja di daerah lain di Indonesia,
nilai ini lebih rendah daripada penelitian pada pekerja di Industri
Plywood Kalimantan Selatan (35,6 %), tentara di asrama Brimob
Semarang (24,35%) dan pekerja pabrik tekstil di Semarang (29,5
%).15,16,18
Tinea pedis biasa ditemukan pada daerah beriklim tropis dan
sedang.14 Kota Pontianak merupakan daerah beriklim tropis yang
terletak pada garis khatulistiwa. Berdasarkan hasil pencatatan dari
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan
bahwa temperatur suhu udara harian rata-rata berkisar antara 23˚C

40
sampai dengan 32˚C dan kelembaban 66% sampai dengan 98%.19
Keadaan wilayah kota Pontianak ini menyediakan kondisi alam yang
optimal untuk infeksi Tinea pedis.
Berdasarkan hasil pengamatan di tempat penelitian, tampaknya
yang menjadi faktor utama yang berkaitan dengan infeksi Tinea
pedis adalah hygiene pribadi yang kurang, yaitu menggunakan sepatu
tertutup sepanjang hari dengan kaus kaki yang jarang diganti, sehingga
dapat menyebabkan keadaan kaki lembab dan mudah terinfeksi jamur.
Kelompok usia subjek penelitian dengan klinis positif infeksi
jamur pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kelompok
usia terbanyak yang secara klinis positif Tinea pedis dalam penelitian
ini adalah kelompok usia antara 22-27 tahun yaitu dua orang.
Kelompok usia terbanyak yang secara klinis positif Tinea unguium/
Onychomycosis dalam penelitian ini adalah kelompok usia antara
40-45 tahun yaitu tiga orang. Kelompok usia terbanyak yang secara
klinis positif Tinea pedis dan Tinea unguium/Onychomycosis dalam
penelitian ini adalah kelompok usia antara 34-39 tahun yaitu dua
orang.
Tingginya angka kejadian pada kelompok usia tersebut dapat
disebabkan tidak meratanya jumlah sampel pada setiap kelompok
usia, sehingga dengan jumlah yang sama atau bahkan lebih kecil
dapat menghasilkan presentase kasus yang lebih besar. Penelitian yang
dilaksanakan oleh Perea14 di Spanyol, menunjukkan bahwa kaitan
antara usia dengan Tinea pedis tidak begitu bermakna, melainkan
hanya jenis kelamin yang diperkirakan berkaitan dengan faktor risiko.

41
Gambar 1. Diagram jumlah subjek penelitian positif berdasarkan usia

Pasien dengan Tinea pedis biasanya mengeluh gatal pada satu


atau kedua kaki. Tanda-tanda yang lebih spesifik tergantung pada tipe
dari Tinea pedis. Diagram distribusi subjek penelitian berdasarkan
tipe Tinea pedis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram jumlah sampel positif berdasarkan tipe Tinea pedis

Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa tipe yang


paling banyak pada subjek penelitian yaitu tipe Interdigitalis (di antara
sela jari kaki keempat dan kelima) sebanyak enam orang, dengan

42
rincian tiga orang pada subjek positif Tinea pedis dan tiga orang pada
subjek Tinea pedis disertai Tinea unguium/Onychomycosis.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tipe yang paling banyak
terjadi pada kasus Tinea pedis adalah tipe Interdigitalis. Hiok20 pada
penelitiannya menunjukkan bahwa tipe Tinea pedis yang paling
umum yaitu tipe Interdigitalis dan tipe moccasin diikuti dengan bentuk
vesikular.
Tinea pedis paling sering dimulai pada bagian antara jari kaki
keempat dan kelima. Alasan kecenderungan jamur tumbuh di bagian
tersebut karena jari kaki kelima yang paling sering terdesak apabila
memakai sepatu dan berdekatan dengan jari kaki keempat, yang
memungkinkan antara jari kaki tersebut menjadi tidak kering. Adanya
akumulasi kelembaban dan maserasi pada daerah tersebut membuat
kondisi ideal untuk pertumbuhan jamur.21
Subjek yang menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan KOH,
kemudian dilakukan identifikasi jenis jamur penyebab infeksi dengan
penumbuhan pada medium Sabouraud Dextrose Agar (SDA), slide
kultur dan pewarnaan Lactophenol Cotton Blue (LPCB).
Pemeriksaan KOH dilakukan untuk melihat adanya elemen
jamur pada hasil kerokan, pemberian KOH diharapkan untuk
melisiskan sel kulit sehingga mempermudah untuk melihat pada
mikroskop.22 Spesimen yang positif pada pemeriksaan KOH sebanyak
15 spesimen yang selanjutnya ditumbuhkan pada medium SDA
dengan Kloramfenikol.Sabouraud Dextrose Agar (SDA) merupakan
agar dengan konsentrasi dekstrosa yang tinggi dan pH asam yang
memungkinkan selektivitas fungi dan penambahan Kloramfenikol
dengan tujuan untuk menghambat berbagai bakteri Gram positif
dan Gram negatif yang mengkontaminasi sehingga meningkatkan
selektifitas jamur.23-25 Diagram distribusi spesimen berdasarkan jenis
jamur penyebab dapat dilihat pada Gambar 3.

43
Gambar 3. Distribusi spesimen berdasarkan jenis jamur penyebab infeksi

Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis


pada medium SDA, menunjukkan bahwa jamur yang paling banyak
menginfeksi pada subjek penelitian dengan klinis positif Tinea pedis
adalah Trichophyton rubrum sebanyak empat spesimen, dengan
gambaran makroskopis pada SDA tampak koloni datar/sedikit
meningkat, berwarna putih hingga krem, lunak-seperti berbulu halus,
dengan warna kuning-coklat hingga merah pada bagian tepinya,
sedangkan pada gambaran mikroskopis terlihat mikrokonidia
banyak, kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong tersusun secara
satu per satu pada sisi hifa (en thyrse) dengan makrokonidia berbentuk
seperti pensil dan terdiri dari beberapa sel.23,26 Penelitian lain juga
menunjukkan hasil yang serupa. Pada penelitian Ikti dan Durdu27
tahun 2015, menunjukkan bahwa Trichophyton rubrum adalah agen
etiologis terbanyak penyebab Tinea pedis. Contoh hasil pengamatan
makroskopis dan mikroskopis jamur dapat dilihat pada Gambar 4 dan
Gambar 5.

44
Gambar 4. Contoh Hasil Identifikasi Jamur Penyebab pada medium
SDA; A) Trychophyton rubrum; B) Epidermophyton
floccosum; C) Aspergillus fumigatus; D) Onychocola

Gambar 5. Contoh Hasil Identifikasi Jamur Penyebab pada Pewarnaan


LPCB; A) Trychophyton rubrum; B) Epidermophyton
floccosum; C) Aspergillus fumigatus; D) Onychocola canadensis.

45
Dermatofita menginfeksi kulit melalui tiga mekanisme yaitu
adherence/pengikatan, kemudian penetrasi dengan mengeluarkan
enzim keratinase yang mencerna keratin, lipase dan musinolitik
yang memberikan nutrisi pada fungi, serta produksi mannan yang
mempunyai kemampuan menghambat eliminasi jamur oleh hospes
dengan menekan kerja cell mediated immunity, yang kemudian terjadi
respon hospes berupa proses inflamasi.28,29 Trichophyton rubrum
merupakan jamur terbanyak penyebab Tinea pedis sebab Trichophyton
rubrum memproduksi mannan yang bersifat lebih immunosupresan
dibandingkan mannan dermatofita lain.30
Tinea pedis yang lama tidak diobati dapat berkembang
menginfeksi bagian kuku juga, sehingga biasanya ditemukan infeksi
Tinea pedis yang disertai Tinea unguium/Onychomycosis.31 Jamur
yang paling banyak menginfeksi subjek penelitian dengan klinis
positif Tinea pedis disertai Tinea unguium/Onychomycosis adalah
Trichophyton rubrum sebanyak empat spesimen, dengan rincian tiga
spesimen berasal dari lokasi sela jari kaki keempat dan kelima, satu
spesimen berasal dari kuku di jempol kaki.
Jamur yang paling banyak menginfeksi pada penyakit
Onychomycosis adalah Aspergillus fumigatus sebanyak tiga spesimen,
dengan rincian pada subjek positif Onychomycosis sebanyak dua
spesimen dan subjek positif Onychomychosis disertai Tinea pedis
sebanyak satu spesimen. Penelitian lain juga menunjukkan hasil
yang serupa. Penelitian Jahromi dan Khaksar32 pada tahun 2010,
menunjukkan bahwa Aspergillus sp. adalah agen etiologis terbanyak
penyebab Onychomycosis. Aspergillus sp. merupakan jamur
saprofit yang sering terdapat pada udara maupun tanah, sehingga
jamur ini merupakan jamur yang sering sekali mengkontaminasi.33
Patogenesis onikomikosis diawali dengan masuknya jamur lewat
permukaan lempeng kuku, celah lipat kuku lateral, dan proksimal
serta hiponikium. Jamur akan melakukan perlekatan awal, selanjutnya

46
jamur mengalami pertumbuhan, germinisasi, dan penetrasi pada
jaringan kuku. Penetrasi jamur pada lempeng kuku mulai dari ventral
sampai bantalan kuku (nail bed). Seluruh lapisan kuku terpenetrasi
oleh jamur lebih banyak pada rongga interselular. Kondisi ini secara
bertahap akan menyebabkan kuku menjadi rusak.34 Aspergillus sp.
masuk menginfeksi kuku dengan cara menginvasi langsung lapisan
superfisial lempeng kuku, sehingga secara klinis akan tampak bercak-
bercak putih keruh berbatas tegas yang dapat berkonfluensi, dengan
keadaan kuku kasar, lunak, dan rapuh.35

KESIMPULAN
Prevalensi Tinea pedis pada pegawai Satpol PP di Kota Pontianak
adalah sebanyak 4 orang dan Prevalensi Tinea pedis disertai Tinea
unguium/Onychomycosis adalah 3 orang. Jenis jamur penyebab yang
terbanyak menginfeksi pada subjek penelitian adalah Trichophyton
rubrum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland WAN. 2008. Kamus saku kedokteran Dorland, Edisi 28.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 1100.
2. Hosphenthal DR dan Rinaldi MG. 2008. Diagnosis and treatment
of human mycoses, dermatophytosis (Tinea) and other superficial
fungal infection. Totowa, New Jersey: Humana Press Inc. h. 355.
3. Adiguna, Swastika dan Goedadi MH.  2001. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Siregar RS. Penyakit jamur kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedoteran
EGC; 2005. h. 1-7, 17-23, 33-4.
5. Carlo CJ. Tinea pedis (Athlete’s foot). The health care of homeless
persons part I [homepage on the internet]. Boston: The Health
Care of Homeless Persons; 2005. h. 151-154 [cited 2014 Jul 01].
Available from: http://www.bhchp.org

47
6. Hapcioglu B, Yegenoglu Y, Disci R. 2006. Epidemiology of
superficial mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary
school children in Istanbul, Turkey. Coll Antropol. 30: 119-24.
7. Courtney MR. 2009. Tinea pedis [homepage on the internet].
Birmingham: Associated Dermatologist. [update 2014 Dec 10].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1091684-
overview
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia  (Perdoski). 2001. Dermatofitosis superfisialis. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. h. 3-5, 40-5.
9. Hainer BL. 2003. Dermatophyte infections. Medical University of
South Carolina, Charleston, South Carolina. Am Fam Physician.
67(1): 101-9.
10. Sussman C, Jensen BB. 2007. Wound care, a collaborative practice
mannual for health profesionals. 3rd Ed. London: Lippincott
Williams & Wilkins. h. 463.
11. Takahashi Y, Nishimura K. Dermatophyte flora at the dermatology
clinic of Kimitsu Chuo Hospital from 1994 through 1999. Nippon
Ishinkin Gakkai Zasshi [serial on the internet]. 2002 [cited 2015
Feb 19];43(1):21–7.
12. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11865297
13. Tan HH. Superficial fungi infection seen at the National Skin
Centre, Singapore. Jpn J Med Mycol. 2005;46:77–80.
14. Hidayati AN, Suryoso S, Hinda D, Sandra E. Mikosis superfisialis
di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003–2005. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2009;21(01):1-8.
15. Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio
AD. Prevalence and risk factors of tinea ungium and Tinea
pedis in the general population in Spain. J Clin Microbiology.
2000;38:3226-30.

48
16. Astono S, Sudarja H. Penyakit kulit di kalangan tenaga kerja
industri plywood di Provinsi Kalimantan Selatan. CDK.
2002;136:43-4.
17. Hakim MBI. Prevalensi dan faktor resiko terjadinya Tinea
pedis pada pekerja pabrik tesktil [Tesis]. Semarang; Universitas
Dipenogoro; 2014.
18. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 15-9, 24-9.
19. Soekandar TM. Angka kejadian dan pola jamur penyebab Tinea
pedis di asrama Brimob Semarang [Skripsi]. Semarang; Universitas
Dipenogoro; 2004.
20. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Prakiraan cuaca provinsi kalimantan barat [homepage on the
internet]; 2016 [cited 2016 Feb 8] Available from: http://www.
bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Informasi_Cuaca
21. Hiok HT. Superficial Fungal Infections Seen at the National Skin
Centre, Singapore. Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi. 2005;46(2):77-
80.
22. Pray WS. Recognizing and eradicating Tinea pedis (Athlete’s
Foot). US Pharm [serial on the internet]. 2010 [cited 2016 Jan
13];35(8):10-15. 
23.
Available from: http://www.uspharmacist.com/content/d/
consult%20your%20pharmacist/i/1166/c/22028/
24. Unandar B. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2007.
25. Staf Pengajar Dept. Mikrobiologi FKUI. Penuntun praktikum
mikro-biologi kedokteran. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2005. h.
28-9, 32.
26. Jarett L, Sonnenwirth AC, editors. Gradwohl’s and parasitic
infections. 7th Ed. Washington DC: American Public Health
Association; 1980.

49
27. Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC, Yolken RH, editors.
Manual of clinical microbiology. 7th Ed. Washington DC: ASM
Press; 2005.
28. Ellis D, Stephen D, Helen A, Rosemary H, Robyn B. Descriptions of
medical fungi, 2nd ed. Adelaide: The National Library of Australia
Cataloguing-in-Publication. 2007. h. 153-5, 158.
29. Ikti M, Durdu M. Tinea pedis: the etiology and global epidemiology
of a common fungal infection. Crit Rev Microbiol. 2015;41(3):374-
88.
30. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editors. Buku ajar
parasitologi kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2008. h. 319-20, 325.
31. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s color atlas and
synopsis of clinical dermatology. 5th Ed. New York: The McGraw-
Hill Companies, Inc; 2007. h. 2278-93.
32. Dahl MV, Grando SA. Chronic dermatophytosis: what is special
about Trichophyton rubrum. Adv Dermatol. 1994;9:97-111.
33. Walling HW. Subclinical onychomycosis is associated with tinea
pedis. Br J Dermatol. 2009 Oct;161(4):746-9.
34. Jahromi SB, Khaksar AA. Nondermtophytic mould as a
causative agent of onychomycosis in Tehran. Indian J Dermatol.
2010;55(2):140–143.
35. Kemna ME, Elewski BE. A US epidemiologic survey of superficial
fungal diseases. J Am Acad Dermatol.1996;35:539-42.
36. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal
infection: dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra.
Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.
Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill; 2003. h. 1989-2005.
37. Elewski BE. Onychomycosis: pathogenesis, diagnosis, and mana-
gement. Clin Microbiol Rev. 1998 Jul; 11(3): 415–429.

50

You might also like