You are on page 1of 23
PERWAKAFAN PADA BADAN HUKUM PERSERIKATAN MUHAMMADIYAH Oleh : Mawardi Muzamil ABSTRAKSI Perserikatan Muhammadiyah sebagai Badan Hukum dibidang : Sosial, keagamaan, pendidikan, pengajaran serta kesehatan yang berhak mempunyai Hak Milik atas tanah. Dari tanah yang dikuasai baik Wakaf dan non Wakaf seluas 2.282,2087 Hektar (atau 8, 82 % dari tanah wakaf diseluruh Indonesia berjumlah 25.876,61 Hektar) tersebar dalam 9.199 bidang, terdiri 4.545 belum bersertipikat, 8668 berstatus H.M, 390 HP, 138 HGB,3HGU. Sebagai Badan Hukum yang berhak memiliki tanah Hak Milik maka tidak berubah statusnya, sebagai tanah Hak Milik kepunyaan Perserikatan. Nadhir Perserikatan Muhammadiyah banyak tidak terdaftar dan memperoleh pengesahan di Kantor Urisan Agama Kecamatan, sehingga banyak tanah wakaf yang Nadhirnya tercatat atas nama Pengurusnya Nadir Badan Hukum Perserikatan bila akan memperoleh atau melepaskankan atau membebankan/ menjadikan Hak Tanggungan baik tanah atau benda wakaf harus diwakili oleh Pengurus Pusat yang sah dan berwenang sesuai dengan Anggaran Dasarnya, dan menjadi masalah bila letak daerahnya sangat jauh dari Pusat. Disamping Wakaf tanah Hak Milik dan benda selain tanah kini berkembang suatu Wakaf tunai dalam bentuk uang yang diwujudkan dalam logam Emas ( uang dinar) atau perak ( wang dirham). Terdapat kecenderungan bila mana menerima penyerahan tanah dari masyarakat, selalu menggunakan titel Hibah dan bukan Wakaf karena prosedurnya mudah dan sederhana. Juga menyamakan tanah hasil pembelian, hibah maupun wakaf, yang diberlakukan menjadi tanah wakaf setelah dalam pengeiolaan Badan Hukum Perserikatan Muhammmadiyah. Kata Kunci : Wakaf, Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 149 A. PENDAHULUAN Wakaf merupakan salah satu mianifestasi dari budi pekerti Islam sebagai ibadah dan amalan sosia\ yang apabila diatur dan dikelola secara profesional dapat dihimpun menjadi dana yang cukup’ besar guna pembiayaan kegiatan keagamaan, sarana per ibadatan, ilmiah maupun amalan sosial . Oleh karena itu maka wakaf sebagai lembaga sosial diharapkan merupakan salah satu sarana pengembangan kehidupan keagamaan khususnya bagi Umat Islam dalam rangka mencapai Kesejabteraan spiritual dan matrial menuju msyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah S.w.t.Menurat Teer Haar bahwa Wakaf adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat tersendiri dan dipandang dari sudut tertentu ber sifat rangkap yakni bahwa perbuatan itu disatu fihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus, tetapi dipihak Jain seraya itu perbuatan tadi menimbulkan suatu badan hukum dalam hukum Adat, ialah suatu badan hukum (rechts persoon) yang bersangkutpaut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum (recht subject) (Ter Haar, B, Bzn, 1960, hal 136). Sebagaimana terjadi dibeberapa negara lain, maka di Indonesia Lembaga wakaf telah berkembang secara meluas dan diterima/ meresap didalam masyarakat ( gerecipieerd ). Menurut data statistik keagamaan tahun 1978 tanah wakaf diseluruh Indonesia berjumlah 25.876,61 Hektar tersebar di 92.165 tempat (Depag, 1979- 1980 hal.71). Jumlah tersebut dimiliki oleh Perserikatan Muhammadiyah sebesar 2.282,2087 Hektar ( Wakaf dan non Wakaf) tersebar dalam 9.199 bidang ( Men Keh dan HAM, 2002, hal.2). Berkenaan dengan penerimaan masyarakat serta banyaknya wakaf tersebut termasuk permasalahannya maka perlu dikaji bagaimana pelaksanaan wakaf pada Badan Hukum Perserikatan khususnya Muhammadiyah. 150 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 B. PENGERTIAN DAN JUKUM WAKAF 1. Pengertian Wakaf Perkataan wagf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab waqafa berarti menghentikan, berdiam ditempat atau menahan sesuatu. Dalam kepustakaan perkataan yang sama artinya dengan wakaf adalah Habis jamaknya Hubus dan kadang kadang Habs, jamaknya hbas (Afrika Utara ) dari sanalah timbulnya istilah Habous dalam bahasa Perancis. ( Fyzee. 1961-76 ). Peraturan Pemerintah (P.P) 28 tahun 1977 Pasal 1 tentang perwakafan tanah milik maupun Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) pasal 215 telah merumuskan pengertian Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya atau tanah milik dan melembagakan untuk selama \amanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dari rumusan tersebut, terkandung empat unsur yang menjadi rukun wakaf yaitu : a. Perbuatan seseorang atau orang orang atau badan hukum yang dilakukan dengan suatu pernyataan yang disebut dengan Sighot atau Tkrar. b. Perbuatan hukum itu dilakukan oleh seseorang atau orang orang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan harta kekayaannya untuk kepentingan tertentu (kepentingan keagamaan atau kepentingan umum ), yang disebut Wakif. c. Harta kekayaan yang diwakafkan itu berupa tanah milik atau hak milik atau benda milik baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam, yang disebut Mauquf. d. Untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum yang merupakan tujuan wakaf, yang disebut Mauqufalaih Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 151 e. Dalam peraturan perwakafan tanah milik ini dikembangkan unsur lain yaitu Nadhir/ pengurus/ pengelola wakaf, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. . 2. Hukum Wakaf Pada zaman Nabi Muhammad penetapan penetapan hukum belumlah mendapatkan bentuk tertentu yang sistimatis . Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan suatu yang keluar dari ucapan Nabi atau yang nampak pada tindakan Nabi. Dari beliaulah-dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berasal dari musyawarah dengan para sahabatnya, dapat dianggap sah sebagai suatu penetapan hukum (Haryono, 1968 - 47). Sebagai dasar khusus adanya amalan/ hukum wakaf adalah dialog Ibnu Umar dengan Nabi Muhammad S.A.W. bahwa: Telah berkata Umar Kepada Nabi S.a.w : Sesungguhnya saya mempunyai saham di Khaibar, belum pernah saya mempunyai harta yang lebih saya kasihi dari pada itu, sesungguhnya saya bermaksud mensedekahkannya. Jawab Nabi S.aw.: Engkau tahan asalnya dan sedekahkan buahnya. Disamping itu terdapat Hadist lain riwayat oleh Muslim, yang mendorong orang berbuat kebajikan melakukan perbuatan hukum wakaf yaitu Dari Abu Hurairah Apabila seseorang meninggal dunia, semua pahala amalnya terhenti, kecuali tiga macam amalan, yaitu Shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa men do'a kan orang tuanya . Para ahli berpendapat yang dimaksud Shodaqoh jariah (sedekah yang mengalir) itu tidak lain adalah amalan wakaf (Basyir, 1977 - 7). Pada Abad ke II Hijrah barulah wakaf diketahui sebagai rampun hukum yang didasarkan Ijma' yaitu rempun hukum yang dapat di katakan sebagai dasar dari hukum yang tumbuh di kemudian hari (Fyzee, 1961-78). 152 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 Mengingat besarnya potensi wakaf sebagai sarana pengembangan, kehidupan keagamaan, maka pada zaman pemerintahan Hindia Belanda telah dikeluarkan beberapa peraturan tentang perwakafan termasuk. masjid dan rumah rumah ibadab. Pada tahun 1905 telah dikeluarkan surat edaran Sekretaris Gubernemen nomor 435 Bijblad: 1905 - 6196 yang meskipun tidak mengatur secara khusus tentang wakaf namun berisi perintah kepada Bupati untuk membuat daftar rumah rumah ibadah umat Islam yang berada dalam daerahnya masing masing. Kemudian tahun 1931 di_ keluarkan surat edaran Bijblad Nomor 13390 yang mempertegas surat edaran sebelumnya dengan menambahkan ketentuan bahwa apabila terdapat persengketaan di dalam masyarakat tentang pengadaan Sholat Jum'at, Bupati dapat memimpin usaha mencari penyelesaian, asal diminta oleh pihak pihak yang bersangkutan. Surat edaran berikutnya dikeluarkan Bijblad tahun 1935 Nomor 13480 yang selain menegaskan surat edaran sebelumnya juga menambah kan tentang maksud pendaftaran, agar Bupati mendapatkan kesempat an melihat, meneliti dalam daftar yang tersedia apakah ada per aturan umum atau peraturan setempat yang dilanggar dalam pelaksanaan perwakafan itu ( Abdurrahman, 1979-22). Namun surat surat edaran tersebut tidaklah berjalan sebagai mestinya. Pada zaman Jepang tidak ada peraturan perundangan tentang wakaf yang dikeluarkan. Oleh karena itu surat edaran dari pemerintah Hindia Belanda tersebut berlaku terus Setelah Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah RJ mengeluarkan beberapa peraturan perundangan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Intruksi Presiden maupun Surat Edaran mengenai perwakafan antara lain : a. Surat Edaran Jawatan Urusan Agama tanggal Nomor 3/D/1956 dan Nomor 5/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemasjidan serta prosedur perwakafan tanah. Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 153 b. Pada tahun 1977 Pemerintah mengelwarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik beserta beberapa peraturan pelaksanaannya antara lain : - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6/1977 26-11-1977. ~ Peraturan Menteri Agama Nomor | /I978 tertanggal 10-1-1978. ~ Intruksi Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor | tahun 1978 tertanggal 23 Januari 1978 - Keputusan Menteri Agama Nomor 73 / 1978; tertanggal 9-8-1978 tentang Pendelegasian Wewenang Kepada Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia untuk meng angkat/ memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuatan Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). c. Presiden mengeluarkan Intruksi kepada Menteri Agama _ berujud INPRES nomor 1 tahun 199] untuk. menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam ( K-H.I) yang telah diterima oleh para Alim Ulama Indonesia dalam Lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5 Pebruari 1988 meliputi: Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. d, Undang Undang nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan, keberadaan Wakaf menjadi lebih kuat dengan dicantumkannya dalam pasal 26 ayat 3 serta penjelasan ayat 2.b : bahwa dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari Wakaf , dari orang atau dari badan Hukum, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan . 3. Tujuan Wakaf Tujuan wakaf baik dalam P P 28 tahun 1977 maupun dalam K.H.I ternyata hanya dinyatakan secara sekilas dalam rumusan pasal 2 PP 28 / 1977 atau 216 KHI yang menyatakan bahwa: fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Sedang tujuan wakaf sendiri tidak disebutkan, karena mungkin sudah dianggap jelas dalam rumusan wakaf ( pasal 1 maupun 215 ) yaitu untuk kepentingan 154 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam, . . Agar wakaf dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka pelembagaan wakaf tanah milik harus selama lamanya/ abadi, sedang untuk wakaf benda selain tanah menurut Kompilasi Hukum Islam - K.H.J, harus mempunyai kecenderungan sampai rusak atau untuk selama lamanya. Untuk memenuhi fungsinya tersebut maka harta yang berwujud tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah milik atan Hak Milik sebagai mana tersebut dalam pasal 20 UUPA, yang merupakan hak turun temurun, tidak dibatasi jangka waktunya. Sedang menurut K.H.I, harta selain tanah Hak Milik, yang dapat diwakafkan adalah benda milik yakni segala benda baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Disamping itu terhadap benda milik maupun tanah Hak Milik yang akan diwakafkan harus betul betul bersih tidak ada cacatnya dari sudut pemilikan, terbebas dari pembebanan, ikatan, sitaan dalam persengketaan dan sebagai nya. Persyaratan tersebut diadakan dengan harapan dapat tercapai nya fungsi wakaf seperti tersebut dalam pasal 2 P.P 28 tahun 1977 maupun pasal 216 K.H.] tahun 1991 yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Disamping Wakaf tanah Hak Milik dan benda selain tanah ter sebut diatas kini telah berkembang suatu Wakaf tunai dalam bentuk uang yang diwujudkan dalam logam Emas ( uang dinar) atau perak (uang dirham). Di Bangladesh telah dikembangkan pula Sertifikat Wakaf Tunai yang dilakukan oleh Sosial Invesment Bank Ltd. Dan kini telah mengembangkan operasionalisasi Pasar Modal Sosial melalui pengembangan instrumen-instrumen kevangan Islam seperti: Wakaf pengembangan properti, sertifikat wakaf tunai, sertifikat keluarga, dan masih banyak lagi. ( Menteri Agama RI, 2002, hal 4) D. NADHIR / PENGELOLA WAKAF Dalam perwakafan baik berupa benda milik maupun tanah milik, diperlukan suatau pelestarian tujuan wakaf yaitu, dengan manajemen Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 155 mengelolaan dengan baik, yang dilakukan oleh Nadhir perorang‘an/ kelompok orang maupun Badan Hukum yang diserahi tugas pengurusan dan mengawasi benda benda wakaf agar manrfaatnya dapat kekal dinikmati masyarakat. Oleh karena itu dalam perwakafan tanab milik ini tujuan wakaf yang merupakan unsur atau rukun dalam Fikih tradisional, digantikan tempatnya oleh Nadhir. Agar wakaf dapat berfungsi sebagaimana semestinya, hak dan kwajiban Nadhir disebut secara rinci dalam PP nomor 28 tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya ( Daud, 1988-112) Menurut PP 28 tahun 1977 maupun K.H.I maka Nadhir dapat terdiri dari perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemelihara dan mengurus benda wakaf dengan baik Kelompok orang maksudnya adalah kelompok orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan satu pengurus. Ketentuan mengenai Nadhir seperti yang terdapat dalam PP 28 tahun 1977 merupakan pengembangan Fikih di Indonesia, disamping ketentuan lain misal nya keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan menyaksi kan Tkcar wakaf. Ikrar wakaf pun harus tertulis dan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ( Daud, 1988 - 112 ; Djatmiika, 1985-9 ). : Ketentuan mengenai Nadhir diatur dalam Kompilasi Hukum Islam 1991 pasal 219 - 222 , dan P.P Nomor 28 tahun 1977 pasal 6 - 8 beserta Peraturan Menteri Agama Nomor: 1 tahun 1978 pasal 8 - ll yang berisi: bentuk Nadhir, susunan , syarat syaratnya , hak dan kewajibannya . Dalam hal Nadhir perorangan maka harusiah memenuhi syarat syarat yaitu : 1. Merupakan satu kelompok yang sekurang kurangnya terdiri dari tiga orang dan salah satu menjadi Ketuanya. 2. Dalam satu desa ditetapkan satu Nadhir. 3. Dalam satu Kecamatan sebanyak banyaknya sama dengan jumlah Desa yang ada dalam Kecamatan tersebut. 4. Harus memeauhi syarat syarat lain yaitu : a. Warga Negara Indonesia b. beragama Islam, c. sudah dewasa, d. sehat jasmani dan rohaniah e. tidak 156 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 berada dibawah pengampuan. f. bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya benda atau tanah yang diwakafkan. 5. Didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk mendapat mengesahan . Nadhir Badan Hukum haruslah memenuhi syarat syarat susunan dan bentuknya yaitu : 1. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 2. Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya benda atau tanah yang diwakafkan. 3. Telah terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan. Nadhir badan hukum yang memenuhi syarat tersebut tidaklah harus badan hukum yang diizinkan memiliki tanah milik sebagaimana diatur dalam P.P Nomor 38 tahun 1963, tetapi cukup Badan Hukum yang sah. Nadhir wakaf baik badan hukum maupun Kelompok Perorangan, haruslah terdaftar pada Kantor Urasan Agama Kecamatan setempat untuk memperoleh pengesahan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, dengan maksud untuk menghindari perbuatan perwakaf an yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan. Dalam praktek karena Nadhir Badan Hukum seperti Perserikatan Muhammadiyah di Kecamatan kecamatan di Indonesia, tidak terdaftar dan memperoleh pengesahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka banyak tanah wakaf yang Nadhirnya bukan Badan Hukum, tetapi para Pengurus Perserikatan Muhammadiyah, dan tentunya tidak sesuai atau yang dikehendaki oleh Wakif. Nadhir sebagai pengemban amanah dari Wakif untuk mengurus/ mengelola harta wakaf dalam rangka mengekalkan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka nadhir tentunya mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam pasal 7 PP 28 tahun 1977.dan kemudian diatur lebih anjut dalam Peraturan Menteri Agama Nomor: | tahun 1978 pasal 10 - 11. Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 157 Adapun kewajiban kewajiban dari Nadhir adalah - Mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya sesuai dengan tujuan wakaf. Melaporkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat tentang : a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik. b. Perubahan status tanah milik yang diwakafkan dan perubah an penggunaannya karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif maupun karena kepentingan umum. c. Pelaksanaan kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya tiap satu tahun sekali pada tiap akhir bulan Desember. Melaporkan adanya salah seorang nadhir yang berhenti dari jabatannya baik karena : meninggal dunia atau mengundurkan diri. Dengan adanya kewajiban Nadhir untuk melaporkan secara berkala tersebut terhadap keadaan perwakafan tanah yang diurusnya dan penggunaan hasil hasil wakaf dimaksudkan juga untuk memudahkan pengawasan, sehingga kemungkinan hilangnya wakaftanah milik semakin kecil . Sebagai imbalan adanya kewajiban kewajiban yang dibebankan kepada nadhir yang menerima amanah dari Wakif untuk mengurus dan mengelola, mengawasi serta membuat berbagai laporan, maka nadhir juga di beri hak tertentu atas harta wakaf yang dikelolanya itu berupa : i 158 Menerima penghasilan dari tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dengan ketentuan tidak melebihi 10 % ( sepuluh prosen ) dari hasil bersih tanah wakaf. Menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan jumlabnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota setempat Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 Nadir Badan Hukum sebagaimana personifikasi dari orang maka yang berhak dan berwenang untuk bertindak keluar / mewakili Badan Hukum baik di luar maupun dalam Pengadilan dalam melakukan perbuatan hukum haruslah sesuai dengan Anggaran Dasar yang dibuat dan telah disahkan sebagai Badan Hukum oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Nadir Badan Hukum bila akan memperoleh atau melepaskankan atau membebankan/ menjadikan Hak Tanggungan baik tanah atau benda wakaf harus diwakili oleh Pengurus yang sah dan berwenang untuk itu sesuai dengan Anggaran Dasarnya, tidak kecuali dalam hal ini adalah Perserikatan Muhammadiyah sebagai Bahan Hukum yang tersebar diseluruh Indonesia serta beberapa wilayah diluar Negeri. Keadaan tersebut akan mengalami kesulitan bila Badan Hukum diwilayah yang letaknya jauh dari Pengurus Pusat bila akan menerima maupun melepaskan, membebankan, menjadikan Hak Tanggungan terhadap Tanah atau benda miliknya, sedangkan Anggaran dasarnya harus dilakukan oleh Pengurus Pusat. Demikian juga terhadap keinginan Wakif untuk mewakafkan pada organisasi Perserikatan tersebut. Untuk penerimaan wakaf memang dapat dilakukan dengan Surat Kuasa dibawah tangan, sedang untuk melepaskan, membebankan, menjadikan Hak Tanggungan atas tanah maka harus berupa Akta Kuasa Notariel dari Pengurus Perserikatan Pusat. Badan hukum yang berhak memiliki Hak Milik . Sebagai realisasi dari pasal 49 ayat 1 UUPA maka kemudian dikeluarkanlah P.P nomor 38 tahun 1963 tentang penetapan badan badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik sebagaimana dimaksud pasal 21 ayat 2 UUPA. Badan badan yang ditunjuk tersebut hanya terbatas pada badan hukum yang untuk penunaian tugas dan usahanya memang benar benar memerlukan tanah dengan Hak Milik. Adapun Badan Badan Hukum yang ditunjuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 adalah : 1. Bank Bank yang didirikan oleh Negara ( Bank Negara ). Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 159 2. Perkumpulan Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar Undang Undang Nomor: 79 tahun 1958 (LN 1958 No 139)... 3. Badan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri/ Dirjen Agraria ( sekarang Badan Pertanahan Nasional - Pen ) setelah mendengar Menteri Sosial. 4. Badan Badan Keagamaan, yang ditujuk Menteri Pertanian dan Agraria ( sekarang Badan Pertanahan Nasional - Pen ) setelah mendengar Menteri Agama, Badan Badan Keagamaan dan sosial yang dapat memiliki tanah tanah dengan Hak Milik itu, terbatas pada yang dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial. Untuk itulah perlu ditunjuk satu demi satu untuk meniadakan keraguan status dari badan tersebut, apakah merupakan badan keagamaan / sosial ataukah bukan Badan Badan Keagamaan yang telah ditunjuk sebagai badan hukum yang boleh memiliki tanah dengan hak milik antara lain adalah : 1. Perserikatan Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912, sekalipun berdasar Gouvernement Buesluit 22-8-1914 nomor 81 beserta perubahan dan terakhir tanggal 2-9-1921 nomor 36 serta Menteri kehakiman tanggal 8 September 1971 telah berstatus sebagai Bahan Hukum, namun untuk memperoleh penunjukan sebagai Badan Hokum yang berhak mempunyai Hak Milik atas tanah, harus terlebih dahulu memperoleh Surat Keputusan dari beberapa Kementerian yang menyatakan bahwa Perserikatan Muhammadiyah merapakan Badan Hukum yang bergerak dalam kegiatan dibidang : Sosial, keagamaan, pendidikan dan pengajaran serta kesehatan yaitu : a. Menteri Agama dengan surat Pernyataan nomor 01 tahun 1971 tanggal 9 September adalah Badan hukum/ organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan. b. Menteri Sosial dengan surat keterangan no K/162-lk/71 MS tanggal 7-9-1971 menyatakan bahwa Muhammadiyah disamping kegiatan 160 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 kegiatan dalam bidang keagamaan juga merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang sosial. c. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan suratnya nomor 23628/MPK/74 tanggal 24 Juli 1974 menyatakan bahwa Muhammadiyah sebagai Badan Hukum yang bergerak dibidang Pendidikan dan Pengajaran. d. Menteri Kesehatan dengan suratnya nomor :155/Yan.Med/Um/1988 tanggal 22-21988 menyatakan bahwa Muhammadiyah sebagai Badan Hukum yang bergerak dibidang kesehatan. Setelah Perserikatan Muhammadiyah memperoleh surat surat keputusan tersebut, kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluar kan SK nomor: 14/DDA/1972 tanggal 10-2-1972 yang menyatakan bahwa Perserikatan Muhammadiyah adalah Badan Hukum yang berhak mempunyai Hak Milik atas tanah. Dari tanah yang dikuasai seluas 2.282,2087 Hektar ( Wakaf dan non Wakaf) (atau 8, 82 % dari tanah wakaf diseluruh Indonesia berjumlah 25.876,61 Hektar - pen) tersebar dalam 9.199 bidang, terdiri 4.545 belum bersertipikat, 8668 bersetatus Hak Milik, 390 Hak Pakai, 138 Hak Guna Bangunan, 3 Hak Guna Usaha ( Men Keh dan HAM, 2002, hal.2) 2. Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang (YBWSA) yang didiri kan 30 Juli 1950 setelah memperoleh surat Keputusan dari Menteri Agama, Menteri Sosial serta Pendidikan dan Pengajaran, maka Menteri Dalam Negeri kemudian menetapkan sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik. Dari tanah yang dikuasai seluas 25,0314 hektar, hingga kini baru beberapa hektar saja yang berstatus sebagai tanah milik Badan Hukum sedang yang lain adalah tanah milik perorangan atas nama pengurus Yayasan serta perorang lain. 3. Surat Keputusan Menteri Agraria Nomor; SK 10 /Depag/1964 tertanggal 25 Juli 1964 menegaskan bahwa hanya tanah tanah yang ada di Desa Gontor Kecamatan Mlarak Ponorogo seluas 25],1 Hektar yang boleh tetap dipunyai dengan Hak Milik, karena penggunaannya adalah untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 161 dari Yayasan Pemelihara an dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor. Sedang tanah. tanah yang terletak di Mantingan dan Sambi reja seluas 180 hektar, karena penggunaannya tidak langsung berhubungan dengan usaha usaha keagamaan dan sosial, maka boleh tetap dipunyai, akan tetapi diubah statusnya menjadi Hak pakai. ( Harsono, 1972 - 74 ; Suhadi, 1985 - 16 ) 4. Badan Kesejahteraan Masjid ( B.K.M) Pusat dengan SK Menteri Dalam Negeri nomor; SK.178/DJA/1982 tanggal 21-9-1982 di _tetapkan sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik jo Keputusan Menteri Agama nomor 11 tahun 1965 tanggal 27 Agustus 1965 yang menyaksikan adanya hak milik atas tanah tanah Bondo Masjid Wakaf: Semarang seluas 125,713 Ha Kendal 55,993 Ha, Kaliwungu 23,650 Ha dan Demak 351,923 Hektar. Pemilikan hak milik oleh suatu badan hukum / badan wakaf/ Badan Badan Keagamaan yang memenuhi sarat untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik, berbeda hainya dengan Perwakafan tanah Hak Milik, maka tanah Hak Milik yang diserahkan kepada Perserikatan tersebut tidak berubah statusnya, tetap sebagai tanah Hak Milik kepunyaan Perserikatan yang bersangkutan. Lain halnya dengan tanah Hak Milik yang diwakafkan kepada seseorang atau sekelompok orang atau Badan Hukum, maka statusnya berubah menjadi ber status khusus yaitu tanah wakaf yang telah dikeluarkan dari lalu lintas perdagangan. Sedangkan untuk badan badan yang bergerak pada bidang Keagamaan dan Sosial diberikan / disediakan dengan Hak Pakai yang dapat diberikan dengan cuma cuma dan selama jangka waktu tanahnya dipergunakan untuk usahanya sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 49 ayat 2 UUPA. Dengan adanya tenggang waktu yang cukup panjang yakni 17 tahun antara dikeluarkannya Undang Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 _ tentang perwakafan tanah milik sebagai peraturan pelaksanaan pasal 49 ayat 3 UUPA disamping tidak adanya aturan Konversi atas tanah wakaf sebelumnya, maka 162 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 berdasarkan penelitian khususnya pada Perserikatan Muhammadiyah ternyata terdapat beberapa macam tanah Wakaf. 1. Tanah Wakaf sebagai hak milik Badan Hukum . Misalnya tanah wakaf Perserikatan Muhammadiyah & YBWSA. 2. Tanah Wakaf sebagai Hak Pakai Badan Hukum misalnya tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 180 Ha 3. Tanah Wakaf sebagai Hak Milik perorangan misalnya tanah wakaf Perserikatan Muhammadiyah atas nama Pengurus Muhammadiyah 4. Tanah Wakaf sebagai Hak Guna Bangunan Perserikatan Muhammadiyah Kudus . 5. Tanah Wakaf sebagai tanah Negara bekas Hak Eigendom misalnya tanah wakaf Perserikatan Muhammadiyah Kudus 6. Tanah Wakaf sebagai tanah Negara / tanah G.G. misalnya tanab wakaf di sebagian besar daerah di Jawa Tengah yang dalam Buku Desa Buku Leter C Kolom Keterangan tercacat sebagai G.G. padahal tidak termasuk dalam daftar tanah tanah Negara sebagaimana tersebut dalam Surat Ketetapan Bupati / Wali Kota 7 Tanah Wakaf dari Hak Milik yang telah dikeluarkan dari lalu lintas perdagangan dengan dicoret nama Pemilik tanah tersebut kemudian ditulis atas nama Nadhir khususnya Perserikatan, yaitu tanah tanah wakaf yang terjadi setelah berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977. Perserikatan Muhammadiyah sekalipun telah ditunjuk sebagai Badan Hukum yang berhak memiliki tanah milik, namun dalam kenyata annya mengelola bermacam macam status tanah yakni: Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan tanah milik bahkan tanah Negara bekas Hak hak Eropa, belum lagi bermacam macam benda tidak bergerak maupun bergerak. Demikian juga dalam hal pencatatan haknya. Adakalanya tanah Hak Milik yang di punyai oleh Badan Hukum seperti Perserikatan tercatat milik Perserikatan Muhammadiyah, tetapi juga ada yang tercatat atas nama para Pengurusnya Perserikatan Muhammadiyah baik dengan tanpa Surat Wasiat, Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 163 maupun disertai Surat wasiat dibawah tangan maupun Notariel yang menyatakan bahwa tanah itu © bukan miliknya pribadi tetapi milik Perserikatan. Demikian: juga dalam cara memperoleh tanah yang dikuasai oleh Badan Hukum tersebut selain diperoleh dari Wakaf, Hibah, pem belian dan Wasiat. Akhir akhir ini terdapat kecenderungan bila mana menerima penyerahan tanah dari masyarakat, selalu menggunakan titel Hibah dan bukan Wakaf karena prosedurnya dipandang mudah dan sederhana, disamping dengan titel Hibah dan diatas namakan salah satu pengurus, maka tanah tersebut dapat dijadikan agunan bila mana sewaktu waktu membutuhkan kredit/ pembiayaan. Demikian juga terdapat perkembangan pandangan yang menyamakan saja tanah hasil pembelian, hibah maupun wakaf, yang diberlakukan menjadi tanah wakaf setelah dalam pengelolaan Perserikatan Muhammmadiyah (Alabij,1989,hal.68) D. PERUBAHAN STATUS DAN PENGGUNAAN WAKAF MENURUT IMAM 1. Menurut Imam Lembaga Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial yang bersifat/ cenderung lestari/ kekal, maka agar kelestarian dapat terwujud diperlukan jaminan yang sangat kuat agar harta wakaf tidak dapat/ tidak mudah dirubah maupun diganti. Dalam hal perubahan status dan penggunaan wakaf tanah, para Ahli Hukum Islam tidak ada kesepakatan pendapat, sebagian melarang mutlak dan sebagian lagi memperbolehkannya dengan pertimbangan dari segi kemaslahatannya Menurut Imam Syafi'i Wakaf Masjid dilarang dijual secara mutlak, meskipun telah roboh. Hal ini berbeda dengan murid beliau Imam Achmad yang memperbolehkan menjual Masjid jika sudah tidak patut lagi sesuai tujuannya misalnya terlalu sempit atau ada bagian bagian yang telah rusak / roboh sehingga tidak berfaedah lagi. Dalam keadaan tersebut Masjid dapat 164 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Jenuari 2004 dijual kemudian dengan harga itu dibangun Masjid baru yang diperlukan ditempat lain. Pendapat terakhir sesuai dengan Khalifah Umar Ibn Chotob yang pernah melakukan penggantian Masjid Kuffah dengan Masjid yang baru, serta tempatnya dipindahkan ketempat lain sebab tempat yang lama telah dijadikan pasar tempat orang banyak jual beli ( Hamid, 1978- 10-12 ) Sejalan dengan pendapat tersebut Ibnu Taimiah mengatakan bahwa yang menjadi masalah pokok adalah menjaga kemaslabatan dan menjaga jangan sampai rusak maupun kemanfaatannya, maka Abu Yusub mengijinkan penukaran tanah wakaf yang menghasilkan tetapi melebihi pembiayaanya untuk ditukar dengan tanah wakaf yang terjamin lebih produktif, karena lebih bermanfaat bagi wakif dan tidak mengurangi tujuan wakaf ( Hamid, 1978 - 27) Pada waktu yang lalu perubahan status wakaf tanah maupun perubahan peruntukan dapat begitu saja dilakukan oleh Nadhir tanpa alasan yang meyakinkan dan berdasar pendapat suatu Madzhab, schingga kadang kadang menimbulkan reaksi dalam masyarakat ter utama mereka yang langsung berkepentingan dengan wakaf tersebut. Untuk memperoleh suatu jaminan hukum atas tanah wakaf maka dalam hal perubahan status dan penggunaan diperlukanan suatu pembatasan pembatasan yang ketat dari pemerintah melalui per _ijinan oleh pejabat yang ditunjuk , disamping itu perlu pula pendaftaran demi kepentingan tertib administrasi pertanahan. Demikian pula halnya dengan harta benda Wakaf. 2. Menurut PP & KAT Dalam hal terjadi perubahan Status dan Penggunaan tanah tanah dan benda wakaf, maka P.P. nomor 28 tahun 1977 pasal 11 maupun K.H_I pasal 225 mengatakan bahwa: Pada dasarnya terhadap tanah milik/ benda yang diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaannya lain dari pada yang telah ditentukan dalam Ikrar Wakaf. Namun demikian karena suatu alasan alasan tertentu yaitu : Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 165 1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan- oleh wakif, : . a 2. Karena kepentingan umum. Perubahan penggunaan atau peruntukan tersebut dapat dilakukan setelah memperoleh ijin tertulis dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk, untuk benda wakaf setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Mejelis Ulama Kecamatan ( MUI Kecamatan tidak ada - pen-) dan Camat setempat. Dengan demikian maka terhadap wakaf yang berujud benda baik benda bergerak maupun tidak bergerak, permohonan izinnya sangat mudah, cukup dengan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Camat setempat, lain hal nya wakaf yang berwujud tanah milik, harus memperoleh jin tertulis dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk. Meskipun sangat mudah dan diharapkan terdapatnya ketertiban Administrasi, namun dalam prakteknya beberapa Badan Hukym ter masuk Perserikatan Muhammadiyah, kelihatannya belum juga mau meminta ijin lebih dahulu kepada Menteri Agama maupun persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan khususnya pada perubahan status dan penggunaan terutama pada barang barang bergerak. E. MANAJEMEN KEUANGAN WAKAF Dalam perwakafan baik berupa tanah Hak Milik maupun benda milik, diperlukan suatu pelestarian tujuan wakaf yaitu, dengan manajemen mengelolaan dengan baik yang dilakukan oleh Nadhir baik perorangan/ kelompok orang maupun badan hukum yang di serahi tugas pengurusan dan mengawasi benda benda wakaf agar manfaatnya dapat kekal dinikmati masyarakat. Dengan adanya hak untuk menerima penghasilen dan penggunaan fasilitas tersebut kepada Nadhir sebagai imbalan yang pantas terhadap kebutuhannya, maka diharapkan dapat dibindari penyimpangan dari penggunaan wakaf. 166 Jurnal Hukum, Vol. 14, No, 1, Januari 2004 Dalam pelaksanaannya para Nadhir perorangan setiap tahunnya selalu melaporkan hasil pengelolaannya ke Departemen Agama namun karena hasilnya minim bahkan banyak yang sama sekali tidak menghasilkan make faporannnya kebanyakan selalu NIHIL, Berikut diberikan beberapa hasil pengamatan pengelolaan wakaf/ keuangan yang dilakukan oleh Badan Hukum sebagai berikut: Kebanyakan Pengurus Yayasan Pemelihara Masjid disamping tiap tahun melaporkan keuangan kepada para pengurus juga tiap Jum'at selalu melaporkan pemasukan dan penggunaan keuangan Masjid. Sedang pengelolaan keuangan yang dilakukan Badan Kesejahteraan Masjid Demak yang mengelola 351, 923 Ha dengan memperoleh sebesar Rp.600.000.000 dari hasil pelelangan persewaan tanah ditahun 2002 serta Masjid Semarang yang mengelola 119,2 Hektar (ditukar tanah fiktif menjadi 250 Ha dan terakhir tinggal 118,1 Ha) pemperoleh hasil lelang sebesar Rp 61.775.050 ditahun 1989/1999. Jumlah tersebut hanya cukup digunakan sebagai sarana pembiayaan dan pemeliharaan Masjid Wakaf beserta Masjid yang ada didaerah daerah tanah wakaf. Demikian Yayasan Wakaf Pondok Pabelan Magelang dalam manajemen keuangannya memisahkan keuangan yang berasal dari hasil wakaf dengan hasil penarikan SPP dan sumbangan lainnya serta menggunakan sesuai dengan tujzannya serta melaporkan tiap tahunnya kepada pengurus. Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung yang mengelola keuang an cukup besar walaupun tidak secara langsung berasal dari wakaf tetapi uang SPP dan konstribusi Rumah Sakit, dan selalu dilapor kan kepada pengurus sétiap akhir tahun setelah diaudit oleh Akuntan Publik. Dengan banyaknya tanah tanah wakaf yang terjadi sebelum tanggal 17 Mei 1977, dalam berbagai macam hak hak atas tanah menurut UUPA tersebut, padahal pada saat itu telah berstatus sebagai tanah wakaf berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku saat itu, maka sangatlah bijaksana bila pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan suatu peraturan pengkonversian atas tanah wakaf Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 167 yang terjadi sebelum PP 28 tahun 1977 menjadi tanah wakaf berdasarkan PP 28 tahun 1977, terhitung sejak tanah tersebut tercatat sebagai tanah wakaf. Kalau itu belum mungkin maka Pengurus/ Nadhir harus mengupayakan agar tanah tersebut dapat di sertifikatkan dengan cara : 1. Diusahakan pendaftaran kepada Kepala Kantor Urusan Agama oleh Nadhir, atau Wakif atau ahli waris Wakif, atau anak keturonan Nadhir atau anggota masyarakat yang mengetahuinya, disertai Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Kepala Desa, serta dua orang saksi yang mengetabui atau orang yang men dengar tentang perwakafan tersebut sebagai alat bukti per wakafan tanah milik. Kemudian Kepala Kantor Urusan Agama sebagai PPAIW membuat Akta Ikras Wakaf atau Akta Pengganti Ikrar Wakaf. 2. Diproses persertifikatan tanahnya dengan hak macam apapun (Wakaf, HM, HGB , HGU dan Hak Pakai ) 3. Diupayakan agar Nadhirnya bukan Kelompok orang atau Pengurus suatu Badan Hulum, tetapi Nadhir Badan Hukuny Perserikatan 4. Bila terjadi sengketa tanah Wakaf atau Benda Wakaf agar di selesaikan melalui Lembaga Musyawarah dan terakhir baru melalui Pengadilan Agama dan setelah itu diproses pensertifikatan nya. Pengelolaan tanah maupun harta kebendaan Badan Hukum termasuk Perserikatan Muhammadiyah yang tidak secara langsung untuk per ibadatan sebaiknya tidak menggunakan Lembaga Wakaf tetapi Lembaga yang lain dimana Badan Hukum tersebut dapat bertindak sebagai Badan Hukum yang dapat memiliki hak hak atas tanah maupun harta benda yang lain. F. KESYMPULAN Perserikatan Muhammadiyah telah ditetapkan sebagai Badan Hukum yang bergerak dalam kegiatan dibidang : Sosial, keagamaan, pendidikan, pengajaran serta kesehatan yang berhak mempunyai Hak Milik atas tanah. Dari tanah yang dikuasai. seluas 2.282,2087 Hektar ( Wakaf dan non Wakaf) (atau 8, 82 % dari tanah wakaf diseluruh Indonesia berjumlah 168 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 25.876,61 Hektar) tersebar dalam 9.199 bidang, terdiri 4.545 belum bersertipikat, 8668 berstatus H.M, 390 HP, 138 H.G.B, 3H.G.U. Sebagai Badan Hukum yang berhak memiliki tanah Hak Milik maka tanah Hak Milik yang diserahkan kepada Perserikatan tidak berubah statusnya, tetap sebagai tanah Hak Milik kepunyaan Perserikatan. Nadhir Perserikatan Muhammadiyah banyak yang tidak terdaftar dan memperoleh pengesahan di Kantor Umisan Agama Kecamatan, sehingga banyak tanah wakaf yang Nadhirnya tercatat atas nama Pengurus Perserikatan Muhammadiyah. Nadir Badan Hukum Perserikatan bila akan memperoleh atau melepaskankan atau membebankan/ menjadikan Hak Tanggungan baik tanah atau benda wakaf harus diwakili oleh Pengurus Pusat yang sah dan berwenang sesuai dengan Anggaran Dasarnya, dan itu menjadi masalah bila letak daerahnya sangat jauh dari Pusat. Disamping Wakaf tanah Hak Milik dan benda selain tanah kini berkembang suatu Wakaf tunai dalam bentuk uang yang diwujudkan dalam logam Emas ( uang dinar) atau perak ( uang dirham). Terdapat kecenderungan bila mana menerima penyerahan tanah dari masyarakat, selalu menggunakan titel Hibah dan bukan Wakaf karena prosedurnya dipandang mudah dan sederhana. Juga menyamakan saja tanah hasil pembelian, hibah maupun wakaf, yang diberlakukan menjadi tanah wakaf setelah dalam pengelolaan Badan Hukum Per serikatan Muhammmadiyah. KEPUSTAKAAN Abdurrahman, 1979, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, Alumni, Bandung Alabij, Adijani, 1989, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Rajawali Pers Jakarta Basyir, Azhar, Ahmad, 1977, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, Al Ma'arif, Bandung Jurnal Hukum, Vol. 14, No. I, Januari 2004 169 Daud, Ali, Mohammad, 1988, Sistem Ekonomi Islam Zakatdan Wakaf, UL press, Jakarta . Depertemen Agama, Menteri , 2002, Strategi Untuk mewujudkan Agama hasilan Pengelolaan Wakaf dan Keharta bendaan Perserikatan Muhammadiyah Departemen Agama, 1982, Wakaf Tanah Potensi Dan Masalahnya, Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Departemen Agama, Jakarta Departemen Kehakiman & HAM, 2002, Pengelolaan Milik Persyarikatan Muhammadiyah ditinjau dari Hukum Syariah dan Hukum Formal Djatmika, Rachmat, Wakaf Tanah ( Study Diachronique ), Al Ikhlas, Surabaya. Fyzee, Asaf, AA Arifin Bey M, 1959, Outlines of Muhammad Law, & Zain Djambek, (Alih bahasa), Pokok Pokok Hukum Islam, 1, Tintamas, Jakarta Hamid, Zahri, 1978, Permasalahan Wakaf, IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta, (Makalah) Harjono, Anwar, 1968, Hukum Islam Keluasan DanKeadilannya Bulan Bintang, jakarta. Harsono, Boedi, 1970, Undang Undang Pokok Agraria Sejarah Penyusunan Dan Pelaksana annya Hukum Agraria Indonesia, Jambatan, Jakarta, Harsono, Boedi, 1984, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah, Jambatan Jakarta Indonesia, 2001, Undang Undang Nomor : 16 tahun 2001 tentang YAYASAN, BP Cipta Jaya, Jakarta Muzamil, Mawardi, Muhammad, 1991, Administrasi Perwakafan Tanah Milik, Pustaka Alternatif, Semarang Muzamil, Mawardi, Muhammad 1983, Pembaharuan Hukum Perwakafan Tanah Milik Menuju Perwujudan Figih Indonesia, Abkam, Semarang Rachmat, Naziroeddin, 1964, Harta Wakaf Pengertian, Perkembangan Dan Sejarahnya didalam Masyarakat Islam Dulu Dan Sekarang, Bulan Bintang, 1, Jakarta Rido, Ali, 1977, Badan Hukum Dan Kedudukan Baden Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung 170 Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 Ter Haar, B, Bzn, 1960, Azas Azas Dan Susunan Hukum Poesponoto, Soebakti, K.Ng Adat, Pradnja Paramita, Jakarta (Penerjemah) Yusuf, Agus Fathuddin, 2000, Melacak Banda Masjid yang Hilang, Aneka Ilmu, Semarang. Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004 171

You might also like