Mato sedikit bulat, bola mata hitam legam, dengan
lesung pipi di sebelah kanan. Tinggiku 153 cm dengan berat
45kg. Kebayang ndak? Ha ... ha! Siapakah aku? Yang pasti
bukan boneka panda!
INILAH AKU!
Namaku Adonia Najma Orlin. Aku anak seorang kyai
pemilik pondok pesantren, biasa dipanggil Mbak atau Ning
Najma oleh para santri, Katanya itu panggilan khusus untuk
anak perempuan kyai. Ya sudahlah, yang penting jangan
dipanggil Adonan.
Aku bukan seperti anak kyai lainnya, aku tidak suka pakai
kerudung yang besar, tidak suka pakai rok, pokoknya kata
Mbak Zahra—kakakku—aku seperti anak laki-laki. Kata Ummi,
aku tidak bisa anggun. Kata Abi, aku nakal. Yang jelas, semua
gelar yang jelek-jelek itu ada padaku, kalo yang baik sudah
pasti untuk Mbak Zahra,dan semua itu membuatku kesal.
Satu hal yang harus kalian tahu, hobiku TIDUR. Di mana
pun aku merasa nyaman, aku tertidur. Mulai dari di kelas, di
dapur saat melihat mbak-mbak santri memasak, di kamar
mandi, dan bahkan aku pernah tidur di atas tumpukan beras di
pasar saat menunggu Ummi berbelanja.
Selain tidur, aku juga punya satu lagi hobi yang unik, yaitu
membela kawan perempuanku ketika bertengkar dengan laki-
laki saat aku masih Sekolah Dasar. Tidak peduli siapa yang
salah, yang jelas bagiku perempuan harus menang dan laki-
laki wajib mengalah.
Ada juga hobi tersembunyi yang aku miliki, yang hanya
Ummi dan aku yang tahu. Hobiku itu adalah mendengar suara-
suara penyiar di TV untuk kemudian menirunya.
Mostervel] 1Oh ya, satu lagi, aku juga bisa memasak. Sehingga Ummi
dan Abi lebih senang masakanku daripada Mbak Zahra. Itu
semua karena aku sering bermain-main di dapur, membuat
keributan di dapur, dan seperti yang aku bilang tadi, aku
pernah tidur di dapur karena menunggu mbak-mbak santri
memasak.
Ceritalah sedikit, pernah suatu hari, saat aku masih
Sekolah Dasar. Bibi dapur lupa menaruhkan garam pada kuah
sup makanan santri, termasuk makanan Ummi dan Abi—
karena Abi tidak ingin membedakan makanannya dengan
santri. Jadi, aku iseng saja menaruhkan garam ke dalam sup
itu. Tapi, aku tidak tahu kalau Bibi dapur lupa menaruhkan
garam di sana. Tapi karena masakannya terasa pas dan Bibi
dapur bilang pada Abi bahwa aku yang memasukkan garam
pada sup itu, Abi jadi memujiku, katanya begini, “Anak pintar....
Pantas saja masakannya enak, ternyata Najma toh yang
masukkan garam makanya pas begini rasanya.” Ya sudah, aku
senang saja dipuji, sehingga aku sering menaruh garam pada
semua masakan dapur dan tidak peduli meski sudah asin
sekalipun. Sehingga para santri mengeluh karena
masakannya asin, jelas aku dimarahi Ummi habis-habisan.
Karena itu, aku dikirim ke pesantren ini. Padahal pesantrenku
jauh lebih besar. Tapi kata Abi, kalau aku sekolah di pesantren
sendiri, aku akan menjadi santri yang pemalas.
Padahal bukan hanya di rumah, di pesantrenku, di
pesantren ini pun aku dikenal pemalas, dan hobi-hobiku masih
terus istiqomah kulakukan, termasuk TIDUR.
Tapi jangan salah sangka dulu, semuanya menjadi
berubah setelah aku mengenainya, dia yang sudah
menghalalkanku diam-diam, membuat kisahku dan dia
menjadi menarik dengan caranya sendiri. Dia yang
mengenalkanku pada kebaikan dengan cara halalnya. Dia
membuat pernikahan yang tidak mewah namun tercatat dalam
sejarah. Dan aku yakin, semuanya tidak akan mudah
dilupakan oleh siapa pun yang membacanya.
Akad Rahasia | 2“Ningh Ning! Bangun, Ning!” Lasmini mengguncang-
guncang badanku, rasanya seperti gempa 7,0 SR.
Lasmini—gadis_ berkulit sawo matang khas Lombok
dengan tinggi hampir sama sepertiku—dia teman dekatku dari
awal masuk pesantren ini. Dia asli Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Meskipun orang Lombok, Lasmini lembut, tidak pedas,
juga tidak suka makan makanan pedas. Mungkin Lasmini
Lombok KTP saja.
Aku menggeliat, menguap, dan kentut. Bukk!!! Badanku
ditimpuk bantal oleh Lasmini.
“Apa sih, Ni?” tanyaku kesal karena Lasmini mengganggu
tidur cantikku.
Karena namanya Lasmini, jadi biasa dipanggil “Ini” oleh
semua _ santri. Memang karena itu ulahku juga yang
memanggilnya begitu. Supaya apa? Supaya kalau ada yang
minta tolong jadi begini. “Ini minta tolong dong, ini semua
dimasukkan ke sini, ini dimasukkan ke dalam lemari, ini yang
ini ni, dibuang ke tong sampah, supaya tempat ini ni jadi bersih
seperti kamarnya Ini.” Ribetkan?
“Apa, apa?! Liat jam dong! Kamu kenapa nggak bangun
shalat Tahajjud?!” omel Lasmini padaku.
Aku terkesiap, langsung bangun dari tempat tidur setelah
melihat jam pukul 04:55. Lima menit lagi adzan Subuh.
“Kebo mana bisa bangun kalo cuma denger bel,” sambut
Citra dari ambang pintu.
Citra—gadis sipit, lebih tinggi beberapa senti dariku—juga
teman dekatku, sama seperti Lasmini. Dia asal Jakarta. Aku
biasa memanggilnya Cicit. Tapi kenapa, ya? Aku lupa kenapa
aku memanggilnya begitu.
“Kalian kenapa ndak bangunin aku dari tadi?”
Mostervel] 3“Sudah kok! kamunya aja yang kalo dibangunkan
bilangnya nanti terus. Ambil wudhu sana!” perintah Lasmini.
“Cepet! Bentar lagi adzan, nanti Ustadzah ngontrol”
sambut Citra lagi, sengaja saja dia menjadi kompor, membuat
panas keadaan. Aku menghentakkan kakiku dengan keras
persis di samping Citra sebagai bukti bahwa aku sangat kesal
padanya. Citra menyenggol lenganku.
Aku dan Citra memiliki banyak kesamaan, sama-sama
tukang usil di kelas, sama-sama tukang tidur di kelas, sama-
sama sering bolos shalat berjama'ah, sama-sama_ sering
melanggar bahasa, sama-sama sering kabur belanja keluar
pondok dan mungkin nanti akan sama-sama di surga. Berbeda
dengan Lasmini yang selalu takut melakukan sesuatu, selalu
membuatku dan Citra merasa bersalah di depannya. Kalau
Lasmini sudah marah, kata-kata seperti ini yang akan keluar,
“Kasihan orangtua kita di rumah, mereka sudah membiayai
sekolah kita, kalo kita nakal terus, bagaimana dengan mimpi
mereka yang ingin melihat kita menjadi anak yang sukses?”
aB
Aku _ berlari di lorong-lorong kamar menuju masjid,
memerhatikan kiri-kanan jika ada ustadzah yang mengontrol.
Mirip seperti maling di waktu Subuh. Aku menyelinap dari
depan WC. Basanya itu jalan paling sepi untuk ke Midha’ah'.
“Dari mana?” Seseorang tiba-tiba dengan tegas bertanya
padaku. Deg! Itu adalah ustadzah bagian keamanan yang baru
keluar dari hamman?.
Aku menyeringai. “Dari hammam, Ustadzah,” jawabku
berusaha agar mudah dipercaya .
“Benar!?” tanyanya galak untuk memastikan. Aku
menelan ludah, menunduk, dan mengangguk.
“Na’‘ar®, Ustadzah.”
“Toyyib, tasaro'i, laa tata-akhori!’* katanya kemudian
berlalu. Aku mengelus dada. Aman, batinku.
a
Itulah Ustadzah bagian keamanan yang mengontrol
segala macam kegiatan santri, dan seperti itu tadi, terlambat
berangkat menuju masjid saja bisa menjadi masalah yang
serius. Karena di pesantren, kedisiplinan adalah yang paling
Akad Rahasia | 4utama, dan pesantren selalu mengajarkan seberapa
berharganya waktu.
Note:
‘Tempat wudhu ?kamar mandi *iya ‘baiklah, cepat! Jangan
terlambat!
Mostervel] 5SBAB 2
Buy
Pukulan kedua dari Ustzah bagian peribadahan
menghantam punggungku saat jam baca Al-Qur’an. Biasanya
kalau sudah kaget sekali, ngantukku akan langsung hilang.
Kata Ummi-ku kalau mengantuk waktu ibadah, berarti ada
setan bergelantungan di kelopak mata, dan mungkin sekarang
setan-setan sedang membuat tenda dan berpesta di mataku,
tasanya berat sekali.
Lasmini menyenggol lenganku, aku menoleh.
“Mmm?” Kantukku mengalahkan mulutku untuk berbicara.
Melihat Lasmini saja sudah transparan karena mataku tidak
bisa dibuka sepenuhnya. Duh! Dasar Setan! Pantas saja
disebut setan!
“Jangan tidur terus, dibaca Al-Qur’an-nya, seperti Cicit tu!”
Lasmini menunjuk Citra yang terlihat sangat serius dengan Al-
Qur’an-nya di sampingku. Kusenggol tangan kanan Citra, Al-
Quran di tangannya terjatuh.
“Laah, tidur juga dia ....” Lasmini menggeleng-gelengkan
kepalanya, berdecak kesal.
“Sudahlah, Ni, aku mau menyusul si Citra ke mimpinya,”
kataku pada Lasmini yang melengo tidak percaya pada apa
yang baru saja aku ucapkan.
B
Satu menit berlalu, dua menit, tiga menit, bugg!! Satu kali
pukulan sajadah dari orang yang sama mendarat di
punggungku.
“Ummi!” perintahnya garang. Aku terkejut, mengerjapkan
mataku beberapa kali. Ish! Giliran dihukum, setannya lari,
kantukku hilang.
Akad Rahasia | 6“Apa kubilang.” Lasmini menatapku dengan tatapan
merdeka penuh kemenangan.
“Yah, yang berdiri, ha ... ha ...." Dan Citra malah
meledekku.
Gaya tidur Citra memang selalu berhasil menipu bagian
ibadah, Citra tidur dengan menutup wajah menggunakan Al-
Qur'an, seperti orang menghafal atau mengulang hafalannya.
“Ish, lihat saja nanti, mata tukang tidur sepertimu mana
tahan lima menit,” sambutku.
“Madza_ tukallim, ya, Ukhty?"2 tanya ustadzah bagian
keamanan dengan tegas, aku terkesiap, dan menunduk
sebagai bukti sopan bahwa aku mengaku bersalah, juga jalan
pintas agar tidak dimarahi lagi, sedangkan Lasmini dan Citra
sengaja melanjutkan bacaan Al-Qur’an mereka. Cari mukalah
tu!
Lima menit berlalu, aku masih berdiri, sesekali
menundukkan kepala, tapi bukan karena merasa bersalah lagi,
melainkan karena kantukku yang semakin tak tertahankan.
Bugg!!! Pukulan sajadah terdengar di sampingku, sudah
kutebak, kalau aku dihukum, pasti dia juga.
“Ha ... ha ..., Sudah kubilang, wajah-wajah sepertimu itu
wajah tersangka, bakalan dapet hukuman terus.”
Sekarang aku yang menertawakan Citra. Sementara
Lasmini hanya menggeleng-gelengkan kepala_ melihat
tingkahku dan Citra.
Note:
‘1Berdirilah! 2apa yang dibicarakan?
Mostervel] 7BAB 3
Aku, Citra dan para santri yang berprofesi sebagai
tukang tidur Subuh dikumpulkan di lapangan setelah jam baca
Al-Quran selesai, kurang lebih pukul enam pagi.
“Antunna' temui ketua bagian peribadahan di kantor
organisasi, kecuali Ning Najma!” Aku yang awalnya menunduk
sekarang menatap heran ke arah Ustadzah wakil Bagian
peribadahan ini.
“Anti temui Ummi di ruang yayasan!”
“Lho kenapa ana saja, Ustadzah?”
“Karena hanya Anti yang diminta Ummi,” jawabnya
melotot kepadaku. Aku diam, tidak berani berkata lagi.
Ummi adalah panggilan para santri kepada istri kyai
pendiri pondok pesantren ini, karena di sini, Bu Nyai-lah yang
menggantikan posisi orangtua di rumah.
Citra menepuk pundakku yang masih terdiam tak berdaya.
“Bersabarlah, Nak, Allah punya jalan keluarnya,” bisik
Citra sok bijak di telingaku.
Tidak! Jangan tinggalkan anakmu yang soleh ini, Ibu. Aku
harus bagaimana?
Mengingat dua bulan lalu terakhir kali aku diintrogasi oleh
Ummi, rasanya seperti menjadi kerupuk udang dalam toples
sendirian—menyeramkan. Dan sekarang, baru minggu kedua
aku di pesantren setelah libur panjang kenaikan kelas kemarin
aku akan bertemu dengan Ummi lagi? Oh tidak! Aku belum
siap dinikahkan.
Ha ... ha!
Memangnya siapa yang mau menikahkanku? Mana mau
Ummi memiliki menantu penjaga kasur sepertiku.
@B
Akad Rahasia | 8Ruang yayasan terlihat angker seperti biasa. Lebih angker
dari istana hantu dan rumah kosong di film horor. Aku merasa
menjadi SpongeBop SquarePants yang ditinggal sendiri saat
Hari Tanpa SpongeBop yang ada di Bikini bottom.
Menyedihkan sekali.
“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu
perlahan.
“Wa’alaikumussalam, udhuld”? perintah Ummi padaku.
Aku sudah hafal betul apa yang akan dikatakan Ummi
setelah ini, karena ruang yayasan ini walaupun seram sudah
seperti menjadi kamar keduaku. Kamar tempatku dimarahi dan
diberikan hukuman.
Aku tidak seperti santri lain. Jika aku melakukan
kesalahan maka aku akan langsung dibawa menuju ruang
yayasan, walau kesalahan sekecil apa pun. Katanya ustadzah
sudah kehabisan kata-kata mengintrogasiku, katanya aku
banyak ngeles, banyak alasan. Orang yang disidang yayasan
itu hanya untuk pelanggaran berat saja, maka dari itu
terkadang aku merasa kesal. Tapi setiap kutanya kepada Bu
Nyai atau Kyai, pasti katanya abi-ku yang meminta. Semakin
kesallah aku.
“Tidur lagi, Nak?” tanya Ummi lembut seperti biasa, tapi di
telingaku sudah seperti harimau buas mengamuk. Aku diam
dan menunduk.
“Ada piket jaga malam untuk santri?” Aku diam lagi dan
semakin menunduk.
“Kenapa masih suka bolos Tahajjud?” Aku tetap diam.
“Ning, tahulah abi-mu ingin kamu seperti apa?” Tuh ‘kan
benar kataku, pasti ujung-ujungnya ke Abi, dengan susunan
kata yang sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya
lagi, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi.
“Jadi perempuan sholihah, Nak, itu mau abi-mu. Shalat
Tahajjud itu jarang ada yang bisa mengerjakan, masih untung
di sini ada yang membantumu ibadah saat semua orang
sedang lelap dalam tidurnya. Jangan sia-siakan, Nak. Shalat
Tahajjud dapat mempermudah segala urusan. Percaya pada
Ummi, insyaAllah. Dan ingat! Kamu akan menjadi penerus abi-
mu, menjadi nyai seperti Ummi,” ucapnya tetap lembut.
Mostervel] 9“Na‘am, Ummi,” jawabku sesopan mungkin.
Nasihat-nasihat itu bukan masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri, aku ingin sekali menjadi baik seperti santri lain. Tapi
kesempatan untuk berbuat nakal itulah yang banyak terlihat.
Pernah mendengar kata ini, “Tidak ada orang yang jahat
kecuali orang itu diberi kesempatan untuk berbuat jahat.”?
“Ya sudah, kamu boleh pergi,” perintahnya tetap lembut.
Aku bangun dari duduk, mengucap salam dan keluar
dengan cepat. Baru minggu kedua sudah kena sidang lagi.
Duh, Najma ... dodoh sekali! Pasti dimarah Abi lagi.
Akad Rahasia | 10“Makanya, kalo aku kasih tahu itu didenger,” omel
Lasmini sepanjang koridor kamar padaku.
Sekarang adalah jam kerja santri, selesai membaca Al-
Qur'an di masjid, para santri dijadwalkan untuk bersih-bersih
sebelum mandi, sarapan, dan sekolah di tempat masing-
masing.
Aku dan Lasmini sedang berjalan menuju gudang sapu.
Kalau Citra, dia ketua kelas, jadikerjanya membersihkan kelas.
“Eh ... katanya, Gus Nabhan akan pulang dari Mesir Iho
hari ini!” Mungkin ini sudah kesepuluh kalinya aku mendengar
kalimat itu keluar dari mulut gosip para santri dan itu
kebanyakan dari adik kelas.
Memangnya mereka tahu siapa Gus Nabhan? Aku saja
yang lebih lama di sini tidak tahu.
“Wah, pasti guaanteeng tenan, yo? Lulusan Mesir pula!”
celoteh Intan dengan logat bahasanya yang terus melekat
meski menggunakan bahasa Arab.
“Bagaimana sih rupa Gus Nabhan itu? Jadi penasaran
aku, sepanjang koridor namanya saja yang kudengar,” kataku
sewot pada Lasmini.
“Ya mana aku tahu, Ning, ‘kan kita masuknya samaan,”
jawab Lasmini yang memberikan sapu padaku.
“Ning Najma!” Aku menoleh.
“Abi-nya nelepon”
Tumben Abi meneleponku, biasanya aku saja yang
menelepon, itu pun pasti dimarahi, karena kalau sudah santri
tiba-tiba menelepon ke rumah, sudah pasti ada maunya.
“Di mana?” tanyaku.
Mostervel| 11Sebenarnya tak perlu bertanya, karena sudah jelas Abi
menelepon di wartel, tapi untuk basa basi agar terlihat ramah
saja.
“Di wartel, Ning.” Tuh ‘kan, benar kubilang .
“Ya sudah, makasih, ya!” kataku pada Nadia.
“Ini, titip tolong sapukan tempatku, ya! Syukron'!” kataku
sambil berlari meninggalkan Lasmini, soalnya kalau aku bilang
sambil diam di tempat, pasti Lasmini menolak.
“Assalamu’alaikum, Abi?” ucapku setelah _telepon
terangkat. Sekarang aku yang menelepon Abi lebih dulu.
“Wa’alaikumussalam, Najma. Ada kegiatan sekarang?”
Tentu saja aku bingung, Abi bertanya seperti itu untuk
apa? Mulailah aku husnudzon, jangan-jangan Abi ingin
mengajakku pulang. Senangnya!
“Ndak ada, Abi, hanya piket dapur saja. Tapi bisa diganti
kok!” jawabku buru-buru pada Abi agar tahu maksudku.
“Ya sudah, Abi hanya mau bilang kalau mbakmu menikah
hari ini.”
What!? Mbak Zahra menikah dan Abi bilang “hanya”
padaku?
“Kenapa Abi ndak menjemput Najma? Najma juga mau
linat akadnya Mbak Zahra, Abi!” Aku merengek mengeluarkan
jurus andalanku.
“Najma belajar saja, jadi santri yang taat, kalo lihat orang
akad nanti Najma minta ikutan lagi.” Bukannya mengajakku,
Abi malah mengejekku—menyebalkan.
“Ya sudah, Assalamu'alaikum.” Kututup teleponnya
sebelum Abi menjawab salamku. Ceritanya aku kesal pada
Abi, karena aku yakin Abi akan meneleponku lagi.
Dua menit, lima menit, enam menit, tidak ada telepon dari
Abi. Aku mendengus kesal tidak sabaran.
“Halo! Assalamu’alaikum, Abi! Kenapa ndak nelepon
balik? ‘Kan Najma lagi ngambek!” Kubilang pada Abi dengan
nada sangat kesal. Di ujung sana Abi tertawa yang membuatku
semakin jengkel.
“Najma ini ada-ada saja. Abi sibuk mengurus pernikahan
mbakmu, kamu malah ngambek. Sudah, sudah, ngambeknya
Akad Rahasia | 12di-stop dulu, nanti saja kalau akad mbakmu sudah selesai.
Assalamu’alaikum!|” Telepon ditutup.
Seketika di otakku seperti ada pedagang kaki lima yang
berteriak, | “Kacang! Kacang! Kacang!” _—Telingaku
mengembuskan asap membara—kesal sekali.
Pertama, baru minggu kedua di sini sudah disidang Ummi.
Kedua, Mbak Zahra menikah tidak mengajakku! Ketiga, Abi
ngacangin aku. Duniaa oohh duniaa!!!
Note:
‘Terima kasih
Mostervel| 13BAB 5
Di depan rumah pimpinan yayasan terlihat ramai. Para
santri putra dan putri sibuk menyiapkan sambutan untuk Gus
Nabhan yang pulang hari ini setelah lima belas tahun di Mesir.
Gus Nabhan sudah dikirim Pak Kyai dan Ummi ke Mesir
sejak usia delapan tahun. tidak heran kalau akan dirayakan
dengan meriah, mengingat Gus Nabhan juga anak bungsu dari
tiga bersaudara dan dua-duanya sudah menikah.
@B@
Memang tidak enak mendapat tugas piket kalau sedang
ada acara. Tidak dapat ikut main-main bersama teman-teman
yang menyiapkan acara. Seperti aku ini yang sekarang
mendapat gentian piket di dapur hanya menggosok pantat
panic saja sambil melihat Lasmini dan Citra bermain-main dari
kaca dapur.
Sudah ditinggal nikah sama Mbak Zahra, tidak diajak
pulang Abi, dan sendiri menggosok pantat hitam panic-panci
dapir. Miris sekali aku hari ini.
“Ini wajannya, Ning.”
Kulihat Bik Amin menenteng tas dengan nota belanja di
tangan kanan. Aku tahu Bik Amin mau ke mana, dan seketika
aku menjadi Nobita dan Bik Amin akan jadi pintu ke mana saja
untukku.
“Eh, Bik, Bik ... tunggu!” Bik Amin menoleh. “Mau ke
mana, Bik?” tanyaku kemudian.
“Mau ke pasar, Ning.” Petikan dua jariku spontan keluar.
Ya Allah, terima kasih atas berkah Jum’at yang Kau berikan
kepadaku.
“Tepat! Najma ikut ya, Bik!” Dahi Bik Amin berkerut,
terlihat bingung.
“Itu cucian masih banyak. Gimana, Ning?” tanyanya.
Akad Rahasia | 14“Tania!” seruku. “Itu lanjutin cuci piringnya, ya.” Belum
sempat Tania menjawab, aku sudah menarik tangan Bik Amin
lebih dulu.
“Nah, ayo, Bik, cepet! Nanti keburu panas.” Bik Amin
terlihat ragu-ragu mengajakku, mungkin karena baru kali ini
aku minta ikut ke pasar bersama Bik Amin atau mungkin
karena Bik Amin trauma mendengar gosip-gosip yang benar
tentangku yang suka bolos ke luar pesantren. Sudahlah, yang
penting aku jalan.
“Mau ke mana?” tanya Citra dan LAsmini serempak
padaku.
“Mau belanjalah ke pasar,” jawabku bergaya.
Citra saling pandang dengan Lasmini, lalu melihatku
dengan tatapan menyelidik.
“Nggak percaya aku,” katanya.
“Lho, terserah, yang penting aku mau ke pasar.”
Lagi pula pandangan mereka seperti melihat bidadari mau
kembali ke kayangan saja, padahal aku dan Bik Amin hanya
mau ke pasar. Heran!
Mostervel| 15BAB 6
Bicaratentang pasar, sudah jelas kalau isinya beragam,
mulai dari ayam muda, janda, hingga tua pun ada di pasar.
Tidak heran kalau sekarang aku dan Bik Amin berdesakkan di
tengah-tengah penghuni pasar, dan sekarang di pikiranku
adalah bagaimana cara pulang kalau Bik Amin saja tidak
pernah melepas tanganku meskipun sedetik. Jadi seperti film-
film Indonesia yang takut kehilangan kekasihnya.
Sepanjang jalan, aku memikirkan sesuatu yang harus
kulakukan untuk mengelabui Bik Amin, dan tiba-tiba bohlam
lampu menyala dengan terang keluar dari otakku, pertanda
bahwa aku memiliki ide yang bagus.
Triingg!!
“Bik, di sana ada buah mengkudu yang Bibik mau itu!”
ucapku antusias pada Bik Amin setelah mengingat
pembicaraan di dapur tadi kalau Bik Amin ingin buah
mengkudu sebagai obat.
“Di mana, Ning?” tanyanya serius.
“Di warung pojok sana, Bik” jawabku sambil menunjuk
warung yang lumayan ramai di pojok timur tidak jauh dari
tempatku dan Bik Amin sekarang.
“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana, Bibik ke sana
dulu,” katanya dan pergi meninggalkanku begitu saja.
Kupu-kupu kok dilepas!
“Bik, ini barangnya. Najma pergi dulu, ya!” teriakku pada
Bik Amin setelah Bik Amin ada di depan warung yang
kutunjukkan dan mencoba masuk ke kerumunan orang-orang
yang berbelanja.
“Eh, Ning, mau ke mana? Mana mengkudunya?!” teriak
Bik Amin padaku.
Akad Rahasia | 16“Itu, Bik, di sana! Liat saja Mengkududa ganteng. Dadah!”
kataku sambil berlari meninggalkan Bik Amin yang sekarang
ada di warung rombengan Mas Duda muda tempatku biasa
mampir memilih baju dengan Citra kalau bolos dari pesantren.
Misi berhasil, horee!!
@
Sudah sepuluh menit aku berlari menuju halte terdekat
untuk mencari Tayo si Bus kecil ramah, siapa tahu dapat
tumpangan gratis. Tapi bukannya bertemu Tayo, aku malah
kena sial. Sekarang, nametag-ku hilang, tidak tahu jatuh di
mana. Tanpa nametag itu, bisa mati aku di pesantren menjadi
santapan sedap para bagian keamanan. Tapi ke mana aku
harus cari?
Ke mana, ke mana ... ke mana? Kuharus mencari ke
mana? Nametagtercinta, tak tahu di mana. Bagaimana kubalik
ke pesantren? Duh ... Najma bodoh! Bukan mencari, malah
nyanyi. Mau jadi Najma Tingting?
“Kamu cari ini?” Aku tersentak, cukup terkejut, bukan
karena nametag-ku di tangannya yang tersodor untukku. Tapi
karena warna kulit tangannya cerah bersinar seputih kulit
Jepang di iklan Sinzui. Belum berani aku menatap si pemilik
tangan, takut akan silau, dan aku lupa bawa kaca mata hitam.
“lya, terima kasih,” ucapku padanya sesopan mungkin
dengan terus tawadduk menunduk.
“Sama-sama,” katanya dengan senyum padaku dan
berlalu menaiki taksi.
Aku hampir saja meleleh dan mimisan dibuatnya, ternyata
dia lebih ganteng dari Okis di Webtoon “Terlalu Tampan”.
Untungnya aku melihatnya hanya sekilas jadi tidak terlau
baper, insyaAllah.
“Ning, hati-hati setelan kembali ke pesantren nanti,”
katanya padaku.
Mulutku sukses membentuk huruf O besar. Selain
tampan, dia juga peramal ya Allah. Subhanallah—Logika
setan.
Siapa dia? Dari mana tahu panggilanku? Kalau tahu aku
santri wajar saja karena pakaianku dan nametag-ku. Tidak
mungkin ada peramal bersorban setampan itu. Tapi yang jelas
Mostervel| 17kalau dia peramal, dia adalah peramal bersorban paling
menyebalkan di seluruh dunia dan aku kesal untuk kesekian
kalinya.
Akad Rahasia | 18BAB 7
Masuk rumah sendiri sudah seperti masuk kandang
wartawan saja. Semua santri bertanya padaku dengan
pertanyaan yang sama.
“Lho, Ning, kenapa pulang?”
“Kok bisa pulang, Ning?”
“Datang sama siapa, Ning?”
Pusing aku dibuatnya.
Ada juga yang asal menebak. “Ning kabur lagi, ya?”
katanya. Memang benar aku kabur. Tapi entah kenapa kata
“kabur” itu terdengar jelek di telingaku. Jadi, kuanggap angin
lalu saja semua pertanyaan itu.
ra
Dari gerbang, gedung-gedung kamar santri, pohon-
pohon, trotoar, lapangan, semua dihias dan dipasangkan
terop. Terlihat megah sekali hingga aku mengira diriku salah
masuk pesantren, dengan keadaan yang seperti ini lebih mirip
tempat hiburan dibandingkan pesantren.
Belum lagi tamu yang datang sudah ribuan, karena
orangtua para santri katanya diundang semua, padahal
akadnya akan dimulai nanti sore, tapi lapangan sudah penuh
saja dengan berbagai macam kendaraan.
“Mbak Zahra!” Mbak Zahra yang sedang di-make up
menoleh sekaligus terkejut melihatku yang tiba-tiba datang.
“Bagaimana bisa datang ke sini, Dek?” Pertanyaan
mematikan yang kalau kujawab akan mendapat kultum gratis
dari Mbak Zahra langsung.
“Pokoknya ceritanya panjang, sekarang Najma tanya,
kenapa Mbak Zahra menikah?” Bukannya menjawab
pertanyaanku, Mbak Zahra malah tertawa dan membuatku
bingung.
Mostervel| 19“Kenapa? Mbak ‘kan sudah besar, beda halnya kalau Dek
Najma yang menikah.”
“Bukan begitu maksud Najma, Mbak. Hanya saja Najma
belum mau punya kakak ipar, nanti Mbak Zahra ndak sayang
Najma lagi,” kataku padanya dengan raut pura-pura sedih.
Padahal aku bahagia, kalau Mbak Zahra menikah, berarti
sekarang aku saja yang menjadi anaknya Abi dan Ummi
karena Mbak Zahra sudah pasti tinggal di rumah suaminya dan
pasti dimanjakanlah aku oleh Abi dan Ummi.
“Kalau Mbak sih pengennya punya adik ipar,” goda Mbak
Zahra padaku. Mataku melotot. Bukannya bersyukur, aku rela
kabur demi menyaksikan akadnya malah diledek terus. Lagi
pula aku bingung dengan kata-kata Mbak Zahra, selalu saja
menyinggungku seperti aku mau menikah saja, padahal
umurku baru tujuh belas tahun.
Mbak Zahra menikah dengan Gus Malik, anak kyai juga,
tapi bukan pemilik pesantren, melainkan pemilik sebuah SMA
Islam favorit tempatku ingin bersekolah dulu.
“Abi sudah tahu kalau Dek Najma datang ke sini?”
tanyanya padaku.
“Sudah, Mbak.”
“Abi bilang apa?” tanyanya lagi.
“Abi marah, sedikit. Tapi ya sudahlah, tak apa, yang
penting Najma ketemu Mbak Zahra saja,” jawabku.
Mbak Zahra menyuruhku mengganti baju karena aku yang
akan mendampinginya saat acara nanti.
Senangnya Mbak Zahra akhirnya menikah dan setelah itu
aku menyusul—pikiran setan mulai masuk.
Akad Rahasia | 20Akw duduk di meja paling ujung melihat Mbak Zahra
bersalaman dengan para tamu undangan.
Ini mungkin sudah potongan kue kesepuluhku, tapi Mbak
Zahra belum saja habis menyalami tamu. Aku yang melihatnya
begitu saja sudah sakit pinggang duluan.
Lho, itu ‘kan Ummi dan Pak Kyai. Aku membalikkan
badanku, takut kalau nanti mereka melihatku.
“Ning, aku boleh duduk?” Seseorang menarik kursi di
depanku—duduk.
“Tidak usah tanya kalau langsung duduk,” kataku dengan
nada sewot padanya. Dia tertawa.
“Dengan siapa ke pesantren nanti?” tanyanya padaku.
Siapa sih ini? Suaranya seperti pernah kudengar?
Belum kubalikkan badanku, waspada kalau nanti Ummi
atau Pak Kyai melihatku.
“Abi-mu sudah tahu kalau kamu kabur?” tanyanya lagi.
Orang ini semakin lama semakin lancang saja. Semua
santriwan tidak ada yang berani melawanku bicara, apalagi
sampai duduk di depanku begini.
“Ummi-mu bagaimana?” tanyanya lagi.
Kesabaranku mulai habis. Satu, dua, tiga, kubalikkan
badanku.
“Aaaa!” Kaget aku. Dia ‘kan .... “Peramal bersorban!”
Melihatku terkejut dia malah tertawa, seketika para tamu
undangan yang duduk tidak jauh dariku hampir semua melirik
ke arahku.
Pipiku mungkin sudah semerah tomat karena malu dan
aku sudah tidak bisa melihat telingaku lagi yang dari tadi terus
mengeluarkan asap karena kesal.
Mostervel| 21Aku tersenyum canggung pada para tamu undangan, agar
mereka tidak berprasangka buruk padaku karena orang di
depanku ini.
“Peramal bersorban?” katanya sambil tertawa dan itu
membuatku semakin bingung.
“Kamu orang yang tadi di halte, ‘kan?” tanyaku dengan
posisi masih berdiri karena terkejut.
“Menurutmu?” Dia menanyaiku dengan mengangkat
sebelah alisnya. Menyebalkan sekali. Kuhentakkan kakiku
kasar dan pergi meninggalkannya.
Memang siapa dia? Berani-beraninya _ berbicara
denganku. Belum tahu siapa aku?
Akad Rahasia | 22Di bawah pohon dekat parkiran sudah bisa kulihat
Lasmini dengan Citra sedang menunggu di sana.
Aku turun dari mobil dengan memasang wajah cemberut,
sengaja agar mereka bertanya aku kenapa. Ternyata sukses.
“Lho, Ning kenapa?” tanya Lasmini padaku. Aku diam.
“A ...! Aku tahu!” kata Citra dengan penuh semangat, aku
dan Lasmini melihatnya.
“Dimarahi abi-mu?” tebaknya, aku menggeleng.
“Sandal hilang di jalan?” tebaknya lagi, aku menggeleng.
“Ketemu Suaiper di jalan?” tebaknya lebih ngawur, aku
menggeleng lagi.
“Ketemu Mama Laurent di jalan?” tanyanya lagi, keningku
berkerut, lalu mengangguk.
“Serius! ?” tanya mereka kompak, dan aku tersentak kaget.
“lya, bukan Mama Laurent, tapi peramal bersorban, dan
orangnya ngeselin banget!”
“Peramal Bersorban?!” tanya Lasmini dan Citra lebih
kompak lagi. Mulut mereka sukses membentuk huruf O besar.
“Ya sudah, Najma masuk dulu, mau mandi”
Kutinggalkan Lasmini dengan Citra yang masih terdiam
penasaran menunggu ceritaku lebih lanjut.
Lasmini dan Citra mengejarku, memelas-melas agar aku
melanjutkan ceritaku, tapi mereka sengaja kuabaikan agar
semakin penasaran.
Di kamar mandi aku berpapasan dengan bagian
keamanan, kututup wajahku dengan jilbabku, pura-pura tidak
melihat.
“Mau mandi, Ning?” Duh ... aku ketahuan, mati aku! Pura-
pura tidak dengar adalah cara terbaik.
Mostervel| 23“Hammam di sana penuh,” katanya, dan aku hanya bisa
diam.
Tunggu ... kenapa dia tidak marah atau mengintrogasiku,
tidak mungkin dia tidak tahu kalau aku kabur?
Aku terkekeh, mengangguk, wajah masih tertutup jilbab.
Kubalikkan badanku, berjalan cepat meninggalkannya.
a
Shalat Maghrib dan Isya tadi aku dan Citra menjadi anak
baik, tumben tidak membuat masalah.
Sekarang adalah jam belajar malam, sekaligus jam tidur
bagiku.
Lasmini, orang yang biasanya paling rajin belajar, tumben
kulihat dia ikut bercerita dengan yang lain. Tapi ya sudahlah,
biarkan saja dia berkembang sendiri.
“Tumben si Ini ikut ngegosip?” tanyaku pada Citra yang
tidur di sampingku.
“lyalah, mereka ‘kan sibuk menggosipkan Gus Nabhan.
Waah, kamu belum liat orangnya, ‘kan?” tanya Citra padaku.
Tidak perlu bertanya, Citra ‘kan sudah tahu kalau aku
pulang saat acara penyambutan itu. Aku tidak menjawab
menunggu Citra melanjutkan bicaranya.
“Gus Nabhan itu gantengnya masyaAllah, kulitnya putih,
putih ... banget,” katanya antusias.
“Lebay kamu, Cit” cetusku.
“Lho, emang bener kok, Ning. Matanya hitam legam,
orangnya berwibawa, lembut. Dia sempat menyampaikan
kultum pada kami dan sukses membuat para santri kagum,”
katanya bangga.
“Kamu menceritakan anak kyai saja sudah seperti
menceritakan malaikan Jibril,” cibirku.
“Memang begitu adanya, Ning, dan Gus Nabhan berhasil
merebut hatinya para santri,” katanya lagi.
“Termasuk kamu?” kutanya dengan nada menyelidik.
“Wah, sayang sekali, aku masih istiqomah dengan Mas
Syamil,” katanya.
Mas Syamil adalah kakak kelas Citra, termasuk aku dan
Lasmini. Dia seorang penulis muda di pesantren, kebanggaan
Ummi dan Pak Kyai.
Akad Rahasia | 24Dia sering ikut lomba menulis hingga tingkat nasional dan
selalu menang. Sudah banyak cerpen motivasinya yang
dicetak dan digemari para santri, termasuk aku.
Mostervel| 25BAB 10
Bel selesai belajar berbunyi, dan jam yang aku dan Citra
tunggu-tunggu dimulai, yaitu jam tidur.
Lasmini menghampiriku dan Citra yang sedang tidur uring-
uringan. Wajahnya berseri, terlihat bahagia sekali, padahal
baru pulang gosip.
“Kamu kenapa senyam-senyum begitu?” tanyaku
padanya. Lasmini duduk di depanku dan Citra. Aku dan Citra
bangun dari tidur, ikut duduk.
“Gus Nabhan,” jawabnya dengan wajah berbinar-binar
seperti Upin-Ipin yang diberikan ayam goreng. Tentu saja aku
dan Citra saling tatap heran.
Bagaimana tidak? Seorang Lasmini yang rajin, pendiam,
pemalu, penasehat seperti Mamah Dedeh bisa memuja kaum
adam juga.
Lasmini merebahkan badannya di sampingku, mengelus-
elus bantal sambil menyebut nama Gus Nabhan. Gila sekali,
aku dan Citra sampai melengo tidak percaya.
Bawa apa Gus Nabhan dari Mesir hingga bisa
menahlukkan hati Lasmini? Aku jadi ingin tahu bagaimana
sosok Gus Nabhan itu. Baiklah, akan kucari tahu besok. Siap
beraksi detektif Najma.
Aku dan Citra menarik selimut, saling memunggungi dan
tidur.
B
Jam tiga pagi, sudah mulai terdengar tepukan tangan, bel
sepeda, bunyi lonceng dan apa saja yang berguna untuk
membangunkan para santri sebagai ritual bagian keamanan
dan bagian peribadahan setiap pagi.
Akad Rahasia | 26Mulailah badanku terasa_berat, setan = mulai
bergelantungan di kelopak mata. Malas sekali rasanya aku
bangun.
“Ning! Cit! Bangun! Sudah Subuh, ayo Tahajjud.” Seorang
membangunkanku dan Citra, suaranya masih terdengar
samar-samar antara dunia nyata dan mimpi.
Kubuka mataku, mengedipkannya beberapa kali untuk
memperjelas pengelihatan yang masih transparan.
Ternyata yang membangunkanku dan Citra adalah
Lasmini yang sudah siap dengan pakaian shalatnya,
menenteng Al-Qur’an, dengan wajah berseri dan terlihat rapi.
Aneh.
Citra sudah bangun, tapi masih duduk dengan sesekali
menunduk karena ngantuk. Aku, seperti biasa, melakukan
ritualku—menguap, menggeliat dan kentut.
Lasmini tidak menimpukku, dia malah tersenyum. Aku
duduk dengan heran, mimpi apa dia hingga berubah drastis
seperti ini?
“Tumben cepet rapi,” kata Citra menggoda Lasmini.
Lasmini tersipu malu. Aku menaikkan alisku, masih
bingung, kepala masih pusing, malas berpikir.
“Kamu lupa siapa imam shalat Subuh sekarang?” tanya
Lasmini pada Citra dengan antusias. Aku menyimak saja, tidak
tahu pembicaraan.
“Siapa?” tanya Citra yang masih belum terlalu sadar dari
tidurnya.
“Gus Nabhan!” kata Lasmini antusias dan pergi
meninggalkan aku dan Citra yang lagi-lagi melengo karenanya.
“Sudah cepat! Nanti terlambat!” katanya di depan pintu
sebelum lanjut berlalu.
Aku dan Citra saling tatap. Hadeeh!!! Menepuk dahi
masing-masing dan menjatuhkan diri di atas_bantal
melanjutkan tidur dengan sisa waktu sepuluh menit yang ada.
Mostervel| 27BAB 11
“Garovgara kamu ni, Ning!” Citra menyalahkanku.
“Laah, kenapa Najma? Cicit sendiri yang ikut tidur, Najma
‘kan tidak pernah mengajak,” cetusku pada Citra, kesal.
Selesai berwudhu di midho'ah, aku dan Citra berlari
menuju masjid, shalat Subuh sudah dimulai dan untungnya
tidak ada ustadzah yang mengontrol hari ini, mungkin mereka
seperti Lasmini yang tergila-gila menunggu Gus Nabhan
menjadi imam shalat Subuh hingga lupa tugas, dan itu sangat
menguntungkan bagiku dan Citra hari ini.
Citra berlari lebih depan daripada aku. Baru saja kaki
kananku menginjak anak tangga pertama masjid, hatiku sudah
bergetar, aku berhenti.
Subhanallah, inikah suaranya? Menenangkan, bagus
sekali, membuat darahku berdesir dan hatiku bergetar
seketika. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri dan Citra
memerhatikanku dari pintu masjid.
“Woi, Ning! Mikir apa sih? Ayo cepet naik!” perintah Citra
dengan keras, setengah berbisik agar tidak mengganggu para
santri yang sedang shalat.
“Eh, iya. Tunggu!” Aku berlari setelah tersadar dari
lamunan menyusul Citra yang sudah masuk lebih dulu.
Mendengar suaranya, membuat aku lupa memakai
memakai sarung shalatku, lucukan. Baru sekarang aku sadar
pantas saja para santriwati tergila-gila padanya. Sekarang
tinggal melihat orangnya saja yang belum.
Aku memakai sarungku sambil berlari memasuki shaf
shalat yang berada paling ujung karena semua sudah penuh.
Citra kulihat sudah memulai shalatnya, dan hebatnya Subuh
pagi ini adalah semua santri yang biasanya selalu bolos shalat
Akad Rahasia | 28Subuh ikut hadir berjama'ah, aku sampai heran, Gus Nabhan
memang membawa perubahan besar.
Usai shalat Subuh dan do'a, seperti biasa jam baca Al-
Qur'an dimulai. Semua santri sibuk dengan Al-Qur’an masing-
masing, yang paling mengherankan adalah Lasmini. Biasanya
dia selalu tenggelam dalam lantunan bacaan ayat Al-
Qurannya. Tapi sekarang, apa yang dia lakukan? Hanya
tersenyum sepanjang waktu dengan Al-Qur’an terbuka di
tangannya yang tidak dibaca.
“Eh, Ni! Kamu kenapa seperti orang gila saja melamun
terus?” Kusikut lengannya. Dia melihatku, tersipu, lalu
menunduk membaca Al-Quran tanpa menghiraukan
pertanyaanku. Aneh sekali.
Citra melihatku yang melengo melihat Lasmini seperti itu
juga menyikut lenganku, isyarat bertanya kenapa? Aku
menggeleng, menaikkan bahu, isyarat menjawab tidak tahu.
Citra mengangguk, ber-oh panjang dan melanjutkan
bacaannya. Aku pun begitu.
Mostervel| 29BAB 12
Kelayjam kelima, matahari sedikit menyengat berpadu
dengan sejuknya embusan angin pesantren yang jauh dari
kesibukan kota, ditambah dengan perut yang terisi penuh saat
jam istirahat tadi, membuat aku dan Citra tersihir menjadi putri
tidur menunggu pangeran datang mengajar, karena biasanya
jam kelima selalu diisi oleh ustadz. Sementara Lasmini, tidak
perlu ditanya lagi, tentu saja dia sibuk dengan bukunya.
“Wa‘alaikumussalam — warohmatullahi — wabarokatuh!”
jawab seisi kelas serempak.
Aku kaget, ternyata hanya aku sendiri yang masih
tenggelam dalam pulau mimpi, Citra yang di sampingku sudah
berdiri ikut menyambut ustadz yang datang. Untungnya aku
tidur paling belakang, jadi tidak terlihat.
Masih mengeluarkan buku dari laci meja, ustadz sudah
membuka pelajaran. Anehnya, suara itu tidak kukenal, tapi
cukup familiar. Mengerti ‘kan maksudku?
“Bismillahirrohmanirrohim,” ucap seisi kelas membuka
pelajaran.
Aku sedang malas, masih digerogoti rasa ngantuk, hanya
untuk sekadar mengangkat kepala saja aku malas.
Pengabsenan dimulai, namaku ada di urutan nomor tiga.
“Srianti Betty?” Ustadz sudah mulai menyebut nama santri
satu persatu dan disambut angkatan jempol tangan sekaligus
berkata “Naam” atau “Hadir” sebagai tanda penghormatan dan
bukti bahwa seluruh santri mengikuti kelasnya.
“Na‘am,” jawab Betty riang.
“Min aina anti?” tanyanya. Seketika kelas menjadi ribut.
Hanya Betty saja yang ditanya, kenapa semua kelas yang
ribut?
“Ana mir? Surabaya,” jawabnya percaya diri.
Akad Rahasia | 30Selanjutnya. “Lasmini Puri?” Urutan kedua disebut.
“Na‘am’ jawabnya.
“Min aina anti?’ tanyanya, Lasmini seperti orang gugup
dan seisi kelas semakin ribut.
Ribut berbisik takut namanya akan disebut, ‘kan aneh.
Jelas saja nama mereka disebut, ini ‘kan pengabsenan. Aku
menggerutu kesal.
Ustadz yang aneh, seperti baru pertama masuk saja
menanyakan alamat santri. Aku memicingkan mataku, mencari
cela agar dapat melihat wajah ustadz itu.
Lasmini menarik napas menjawab. “Ana min Lombok.”
Lasmini tersipu.
Mataku membesar, sedikit terkejut. Bukan, bukan! Banyak
terkejut lebih tepatnya. Mulutku membentuk O besar seperti
goa raksasa yang dapat dimasuki gajah dan langsung kututup
dengan kedua tanganku. Hampir saja aku berteriak.
“Adonia Najma Orlin?”
Ya Allah, dia menyebut namaku, cobaan apa lagi ini?
Kuambil kitab Tahuhid yang ada di depanku untuk menutup
wajahku.
“Na‘am,” jawabku pelan.
“Aina?” tanyanya mencari-cari keberadaanku. Aku
semakin menunduk dan hanya mengangkat tangan saja.
“Kenapa menutup wajah?” tanyanya.
Alhamdulillah, mungkin dia lupa sama _ Najma,
keberuntungan anak sholeh. Aku menurunkan kitab hingga
bawah mata, seperti orang bercadar.
“Anu, Ustadz ... ana jerawatan.” Kujawab tanpa pikir
panjang, seisi kelas melirik ke arahku, mereka tertawa. Aku
semakin menunduk.
“Emang bener?” tanya Citra padaku.
“Sttt ... udah diem aja!” Kubilang padanya setengah
berbisik. Citra mengalihkan pandangan.
Ustadz di depan seperti menunggu kepastian. Aku
menyeringai, mengangguk untuk meyakinkan. Dia
menggeleng-geleng kepala lalu melanjutkan pengabsenan.
Mostervel| 31Ya Allah, kenapa harus pertemukan Najma dengan
peramal bersorban itu di sini? Apakah dunia ini terlalu sempit?
Untuk apa pula dia di sini? Ampuni Najma, ya Allah.
Note:
‘dari mana kamu? 2saya dari... mana?
Akad Rahasia | 32Usaha pura-pura sakit perutku hingga jam kelima selesai
berhasil. Untungnya, jam kelima dan enam di pesantrenku
hanya berlangsung setengah jam. Jadi cukup masuk akal
untuk aku berlama-lama di toilet.
Usai shalat Dzuhur, aku, Citra, dan Lasmini berjalan
beriringan seperti biasa. Lasmini menyenggol lenganku.
“Gus Nabhan seru, ya?” tanyanya tiba-tiba, aku bingung.
Apa maksudnya?
“Ning Najma mana tahu. Dia ‘kan bolos ke toilet,” sambut
Citra datar.
“Memangnya kapan, Ni?” tanyaku seperti orang bego.
“Yang tadi, yang di kelas itu Gus Nabhan, Ning!” jawab
Lasmini dengan senangnya sambil mengguncang-guncang
pundakku. Aku diam, masih mencerna apa yang Lasmini
katakan.
“Gimana? Ganteng, ‘kan? Berkarisma, ‘kan?” tanyanya
antusias.
Aku melepas tangan Lasmini dari pundakku, lemas
rasanya, kulirik Citra yang hanya menyilang tangan di dada
dengan wajah / don't care.
Berarti yang di halte itu Gus Nabhan dong. Yang di rumah
juga Gus Nabhan! Aku berbicara dengan gaya Syahrini
dengan anak kyai? Kalo emaknya tahu bisa gawat dong!
“Eh, eh, Ning! Mau ke mana?” teriak Lasmini dan Citra
setelah menyadari aku berlari.
Gila! Mau ditaruh di mana mukaku? Gus Nabhan pasti
mengenalku. Kalau Sampe bercerita kepada Ummi dan Pak
Kyai, lalu Pak Kyai bercerita kepada ummi-ku dan abi-ku ‘kan
gawat. Bisa dibilang aku tidak beradab nantinya.
Mostervel| 33Setelah masuk kamar, langsung kutarik selimut,
menenggelamkan diri di bantal.
Tidak peduli tatapan para santri yang melihatku seperti
banteng mengamuk. Yang kupikirkan adalah bagaimana
kelangsungan hidupku di pesantren ini nantinya setelah ada
peramal bersorban itu di sini.
Akad Rahasia | 34“Ningh Ning!” seorang mengguncang-guncang badanku,
membangunkanku dari tidur siang syantikku.
Aku menggeliat, menguap. Tapi maaf, kali ini aku tidak
kentut, kentut hanya sebagai ritualku di pagi hari. Aku
mengucek-ngucek mataku memperbaiki pengelihatan yang
masih menggunakan kamera Nokia. Buram.
“Limadza?” kutanya pada Betty yang membangunkanku,
kulirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 15:00.
Belum Ashar, kenapa aku dibangunkan?
“Ada yang menunggu di depan,” katanya padaku. Dahiku
berkerut. Siapa?
“Di mana?” tanyaku.
“Tempat tunggu,” jawabnya.
Lho? Bagaimana bisa? Bukannya tidak boleh menjenguk
pada jam istirahat santri? Tapi siapa? Tidak mungkin Abi.
Kalau Abi pasti dikenal seluruh santtri.
Betty berlalu, padahal baru saja aku ingin bertanya siapa
yang datang.
“Cepat, Ning! Katanya hanya sebentar!” seru Betty
memberitahuku dari depan pintu kamar.
Wajah berminyak seperti gorengan pasar karena belum
kucuci. Hanya kugosok-gosok dengan telapak tangan saja,
lebih praktis. Mulut? Tidak terlalu baulah, meski belum sikat
gigi—menurutku.
Kalau dipikir-pikir, aku jauh dari kata anggun. Andai saja
abi-ku tidak terkenal, mungkin tidak ada yang tahu aku anak
kyai. Aku sendiri heran dengan diriku, tidak bisa menjadi
wanita sejati. Lalu Najma apa dong? Semakin ngawur saja
pikiranku.
Mostervel| 35Bercermin sebelum keluar kamar? Sudah _pasti.
Memposisikan mulut monyong ke depan, perbaiki posisi jilbab,
tarik napas dan tiup. Ritual selanjutnya yang biasa kulakukan,
bukan hanya aku saja, tapi juga santri yang lain sebelum keluar
kamar, apa lagi kalau akan melewati komplek putra atau keluar
pondok. Astaghfirullah al-’adzhim, insyaAllah Najma tidak
begitu.
Komplek sepi. Hanya suara sandalku dan angin yang
terdengar. Matahari masih terik, memperlihatkan bayangan
tubuhku dengan jelas di pasir halaman pesantren.
Tidak ada siapa-siapa. Siapa yang dimaksud Betty? Aku
celingak-celinguk mencari orang yang dimaksud Betty.
Dari jauh sudah terlihat seorang berbaju koko berwarna
cream dengan sarung dan peci hitam. Bukan seperti Abi. Kalau
Abi muda begitu, pasti sudah bawa Ummi lima untukku ke sini.
Mas Malik? Aku mendekat. Semakin dekat.
“Assalamu’alaikum?” salamku sedikit sopan karena orang
yang berjarak tiga meter di depanku ini belum jelas siapa.
“Wa’alaikumussalam” Dia membalikkan badan.
“Astaghfirullah hal'adzim?’ Aku menutup mulut tidak
menyangka.
Dia tertawa sambil menyodorkan plastik hitam untukku.
“Kenapa?” tanyanya, selalu dengan raut wajah
menjengkelkan.
“Peramal bersorban! Tidak, maksud ana, Gus Nabhan!”
ucapku terbata-bata, menunduk.
Dia tertawa semakin besar. Menyebalkan sekali. Andai
saja pesantren ini bukan milik abi dan ummi-nya, mungkin
sudah kucium dia dengan telapak sandalku.
“Ini untukmu!” Dia menyodorkan plastik hitam untukku.
Aku bingung. “Ambil!” perintahnya lagi. Bukan dengan tawa,
melainkan dengan senyum yang sangat manis. Manis sekali.
Kumis tipisnya, aku hampir meleleh. Tapi hatiku cukup gengsi
untuk bilang bahwa dia memang tampan.
Aku meraih plastik hitam itu dengan ragu. “Sudah. Pergi
sana! Nanti ketahuan bagian keamanan,” katanya padaku. Aku
mendengus kesal.
Akad Rahasia | 36Memangnya siapa yang menyuruhku ke sini? Dia seenak
jidat seperti itu padaku. Mentang-mentang anak kyai!
Badanku bergetar. Dia? Mengelus kepalaku!?
Astaghfirullah al-‘adzhim.
“Jangan nakal!” katanya padaku.
Tanganku dingin. Menarik napas, mundur, dan berlari
meninggalkannya. Bisa kudengar suara tawa kecilnya.
Ya Allah, baru pertama kali Najma disentuh oleh laki-laki
yang bukan mahram Najma, dan dia anak kyai! Apa
maksudnya?
Note:
‘kenapa?
Mostervel| 37Os =38
BAB 15
Apwisi plastiknya, ya?
Aku menebak-nebak dengan membolak-balik plastik
hitam yang ada di tanganku, berjalan cepat menuju kamar.
“Eh, Ini udah ke mana? ‘Kan belum bel bangun?” tanyaku
pada Lasmini yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan.
“Mmm, anu, ana min hammam',” jawabnya sedikit gugup
lalu berlalu meninggalkanku.
Hammam? Bukannya lewat sana? Kalo ke sana ‘kan ribet,
harus muter dulu. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal
karena heran.
Sudahlah, aku berpikir baik saja tentang Lasmini, dia
memang anak baik, tidak mungkin melanggar, ‘kan?
Aku memasuki kamar, bersiap-siap shalat Ashar yang
memang tinggal hitungan menit lagi.
“Udah ke mana, Ning?” tanya Citra tiba-tiba saat di depan
Midho'ah.
“Kapan?” tanyaku karena belum terlalu§ paham
maksudnya.
“Jam tiga itu,” jawabnya datar sambil memakai mukenah.
Aku dan Citra berjalan beriringan, sementara Lasmini
berada beberapa meter di depanku dan Citra.
“Oh ... itu... hmm, ada titipan dari Abi,” jawabku dengan
sebisa mungkin menyembunyikan wajah takut ketahuanku.
Citra meng-oh panjang. Untung saja dia orang yang don't
care, jadi tidak terlalu mempermasalahkan sesuatu yang
memang bukan urusannya.
Citra tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain yang
bukan menyangkut dirinya, bukan hanya urusan orang lain,
citra juga tidak peduli pada PR sekolah sehingga selalu
memberikan pada orang yang lebih peduli, yaitu Lasmini.
Akad Rahasia | 38“Ini!” Lasmini menoleh, seorang memanggilnya.
“Kau disuruh ke dapur, memasak untuk makan malam
nanti kata Ummi.”
Lasmini mengangguk, berjalan. Tidak melihat sedikit pun
kepadaku dan Citra.
Tidak biasanya Lasmini seperti itu. Perasaan tadi biasa
saja. Sekarang dia sedikit berbeda dari beberapa menit yang
lalu.
Citra menyenggol lenganku, bertanya kenapa. Aku
mengangkat bahu, pertanda tidak tahu. Tidak ingin dibuat
pusing dengan masalah yang belum jelas. Aku menepis pikiran
buruk tentang Lasmini dan mencari sesuatu untuk mengalih
perhatian.
@
Entah kenapa hari ini aku senang sekali, dan beberapa
hari terakhir aku selalu menjadi santri yang baik. Jadi geli saja
kaki dan tanganku untuk berbuat usil.
Nadia dan Siti terlihat khusyuk dengan Al-Qur’an masing-
masing. Mangsa yang tepat.
Aku maju beberapa centi, mendekatkan diri dengan
mereka yang ada di depanku. Kuraih ujung sajadah yang
mereka duduki dan kuikat satu sama lain.
Mukenah mereka kuikat dengan sajadah itu setelah kuikat
terlebih dahulu menjadi satu. Ingin tertawa? Tentu saja. Aku
selalu lelah menahan tawaku saat aku berbuat usil atau konyol
karena membayangkan yang terjadi setelahnya. Maka dari itu,
sebelum mereka tertawa oleh ulahku, aku selalu tertawa lebih
dulu. Unik, ‘kan?
Kuikat lagi sajadah itu dengan sajadah lain, terus seperti
itu hingga lima sajadah sudah terikat secara sempurna diam-
diam.
Bel selesai baca Al-Qur’an berbunyi, aku lari keluar masjid
lebih dahulu, bukan takut sandal hilang atau tertukar. Tapi
tujuanku selain kabur dari mereka yang kuikat sajadah dan
mukenahnya adalah untuk menghancurkan deretan rapi
sandal para santri hingga sandal mereka tertukar. Dan tentu
saja aku tidak sendiri. Citra selalu bisa diandalkan saat
suasana terlalu sepi untuk berbuat jail.
Mostervel| 39Note:
‘saya dari kamar mandi
Akad Rahasia | 40Garavgara tidur siang terpotong, saat shalat Maghrib aku
mengantuk, rasanya mataku seperti dijahit saja. Berapa ribu
setan yang menggelantung di mataku hingga sulit sekali di
buka, terpaksa aku menunduk, tidur saat semua sedang
berdo’'a usai shalat.
Untung saja sudah kuberitahu Citra bahwa aku ingin tidur,
dan menyuruh dia agar berjaga-jaga kalau nanti ada ustadzah
yang datang.
Lasmini? Dia tidak ikut shalat Maghrib berjamaa'ah karena
ummi dan abi-nya datang dari Lombok, tapi tentu saja anak
solehah seperti Lasmini sudah izin lebih dulu, tidak suka bolos-
bolos sepertiku dan Citra.
Jam baca Al-Qur’an setelah shalat Maghrib aku masih
tertidur. Sesekali kepalaku jatuh dari sandaran, dan aku
berterima kasih pada Citra sudah setia menjadi prajurit
penjaga bagi putri tidur pesantren ini.
Adzan Isya, Citra membangunkanku.
“Ning, bangun! Sudah Isya. Kamu seperti tidur di kamar
saja.”
Aku menguap, tapi kentut kutahan, takut kalau nanti
wudhuku batal, atau mungkin memang sudah batal, tapi aku
masih sadar saat tidur tadi meskipun mungkin kesadaranku
hanya 0,05%.
“Izin wudhu sana!” perintah Citra padaku.
“Wudhuku ndak batal.”aku mengelak.
Dingin, kakiku malas menyentuh air dan kalau aku izin
pasti akan banyak ditanya ustadzah bagian peribadahan
nantinya.
Mostervel] 41“Kamu tidur sudah seperti sapi, mengorok pula. Heran
aku, bisa ya kamu itu ngorok di masjid! Dan sekarang kamu
bilang wudhumu ndak batal?” omel Citra padaku.
Aku mendengus, membuka sarung mukenahku dan
berjalan ke luar masjid. Tidak izin karena bagian peribadahan
sepertinya sibuk mengontrol.
Balik dari midha’ah, setelah berwudhu, aku bertemu Gus
Nabhan di halaman masjid.
“Min aina anti?" tanyanya padaku, aku menunduk.
Tidak tahu kenapa kalau aku bertemu dengannya aku
menjadi pemalu. Mungkin karena dia anak Pak Kyai dan
Ummi.
“Midha’ah, Ustadz."2
“Sudah wudhu berarti?” Aku mengangguk.
Gus Nabhan mendekat, semakin mendekat, dekat, dekat
sekali.
“Nah, wudhu lagi sana!” perintahnya setelah menyentuh
tanganku.
What?! Dia menyentuhku? Dan Wudhuku _batal,
menyebalkan sekali.
Gus Nabhan berlalu begitu saja menuju midha’ah putra
tanpa memedulikan wajah merah padamku.
Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengepalkan tangan,
mengehentakkan kaki kuat-kuat pada tanah yang tidak
bersalah. Maafkan Najma wahai tanah, kau menjadi pelarian
rasa kesal Najma.
Dua kali. Ini sudah kedua kalinya dia menyentuhku.
Jangan-jangan dia bukan anak Kyai. Lalu siapa dia? Ke mana
Gus Nabhan yang asli?
Ya Allah, pasti kali ini Najma ketahuan ke luar masjid
tanpa izin, seandainya jelmaan Gus Nabhan itu tidak
menyentuh Najma!
Tidak ada lagi yang bisa menggambarkan rasa kesalku.
Dalam sehari ini saja aku sudah merasakan kekesalan level
tertinggi, dan ini baru sehari aku bertemu dan mengenalinya.
Bagaimana hari-hari selanjutnya?
Ummi ... Abi ... bantu Najma! Kalau begini terus, Najma
bisa kurus.
Akad Rahasia | 42Note:
‘ dari mana kamu? ? tempat wudhu, Ustadz.
Mostervel| 43BAB 17
Mazitvmembayangkan dia, aku jadi tidak fokus belajar.
Kejadian tadi siang itu, sebelum shalat Isya itu.
Ya Allah, lama-lama aku bisa gila!
Kupukul-pukul kepalaku dengan ujung pulpen, berharap
kejadian yang telah lalu cepat aku lupakan.
“Kenapa, Ning?” tanya Citra padaku.
Mulutnya saja yang bertanya, tapi tangannya masih sibuk
mencorat-coret gambar di atas kertas manila untuk membuat
struktur kelas baru, karena besok pagi akan ada perombakan
tempat belajar untuk semua santri.
“Ndak ada.” Terpaksa aku berbohong pada Citra agar
tidak bertanya lebih jauh. Citra manggut-manggut dan
melanjutkan pekerjaannya.
“Nih, jajannya. Mau makan sekarang?” Lasmini menaruh
dua kantong plastik besar berisi jajanan dan oleh-oleh lainnya
dari Lombok.
Dulu memang setiap kali Lasmini menelpon dengan
abinya dan bilang bahwa abi-nya mau ke sini, aku dan Citra
selalu minta oleh-oleh dari Lombok, dan sekarang itu menjadi
kebiasaan orangtua Lasmini, yaitu membawakan oleh-oleh
untukku dan Citra.
Aku dan Citra menatap Lasmini, ada raut aneh di
wajahnya—itu menurutku, sedangkan Citra senyum-senyum
saja. Mungkin hanya aku yang merasa begitu, karena Lasmini
memang memberikan pandangan itu hanya untukku. Aku
heran bercampur khawatir kalau nanti aku ada salah padanya.
“Ndak usah, besok saja, kita belajar sekarang,” kataku
padanya sehati-hati mungkin agar tidak salah paham.
Citra hanya mengangguk saja, karena memang tugasnya
belum selesai dikerjakan.
Akad Rahasia | 44“Oh, ya sudah,” jawab Lasmini singkat dan menyeret dua
kantung plastik besar itu ke lemarinya.
Hatiku jadi tidak enak, Lasmini tidak biasanya bersikap
seperti itu padaku. Lasmini memang tidak bilang bahwa dia
marah padaku, tapi sikapnya itu.
Aku pun bingung harus berbicara apa, sedangkan aku
tidak tahu apa salahku. Lebih tidak enak lagi, sikap tidak
sukanya padaku itu terlalu ditampakkan.
Bunyi bel berhenti belajar menyadarkanku dari lamunan.
Aku dan Citra membereskan buku-buku yang berserakan.
“Ning, aku pergi wudhu dulu, mau shalat di masjid
sebentar, sepertinya hatiku sedang didatangi malaikat,”
katanya padaku dan berlalu pergi. Aku tersenyum paksa
karena hatiku rasanya entah di mana. Tahu ‘kan maksudku?
Aku duduk di pinggir kasur. Lasmini datang, mengambil
bantal dan langsung tidur di sampingku tanpa sepatah kata
apa pun.
“Ini, kamu udah makan?” tanyaku ragu-ragu.
Rasanya canggung sekali dengan sikapanya yang seperti
itu.
“Udah,” jawabnya singkat. Aku diam, bingung harus
berkata apa lagi kalau Lasmini sudah dingin seperti itu padaku.
Aku ber-oh panjang sebagai respon agar suasana tidak
terlalu canggung. Lasmini membelakangiku, dan menutup
badan dengan selimut. Sepi.
Aku diam beberapa saat di pinggir kasur, Citra juga belum
kembali dari masjid. Beberapa teman kamarku juga sudah
tertidur.
Baru akan membalik badan untuk tidur aku teringat
sesuatu. Plastik itu belum Najma buka. Apa ya isinya?
Aku berdiri, mengambil plastik hitam yang kutaruh di atas
lemari tadi siang.
Dengan pelan aku membukanya dan ternyata isinya ...
Bom Atom!!! Maksudku isinya seperti bom yang
mengagetkanku. Isinya adalah jilbab segi empat dengan
ukuran yang cukup besar, mungkin bisa menutup hingga
telapak tangan jika kupakai. Aku bingung.
Mostervel| 45Apa maksud Gus Nabhan memberikan Najma_jilbab
begini, ya? Najma ‘kan bukan siapa-siapanya. Najma juga
belum pantas menerima pemberian darinya.
Akad Rahasia | 46Akwkeluar dari masjid sendirian setelah shalat subuh,
Citra dan Lasmini meninggalkanku. Sebenarnya bukan
meninggalkan, tapi karena aku kembali ke masjid untuk
mengambil Al-Qur’an yang tertinggal.
Tadi Najma taruh di sini, tapi kok ndak ada, ya? Ke mana,
‘a?
“Ini Al-Qur'an-mu? Aku pinjam sebentar tadi,” kata
seseorang di belakangku.
Aku membalikkan badan dan mendapati Gus Nabhan di
pintu masjid. Aku terdiam, kemudian dia berjalan mendekatiku,
aku pun menunduk.
“Kenapa bisa ada pada antum?” tanyaku padanya masih
dalam posisi menunduk.
“Sengaja kupinjam,” jawabnya datar. Aku menatapnya
bingung. “Agar kamu kembali ke sini,” lanjutnya lagi. Aku diam.
Ish! Apa sih maksudnya?
Gus Nabhan ini selalu membuatku mati kutu di depannya.
Aku mendengus kesal, dia tersenyum simpul.
Ya Allah, ke mana kau bawa pergi jiwa ragaku
sesungguhnya? Kenapa setiap kali bertemu dengannya aku
jadi pendiam?
“Ini Al-Qur'an-mu, dibaca, jangan hanya dibawa tidur.”
Jleb!
Kata-katanya itu manis sekali, sangat manis hingga hatiku
seperti digrogoti semut merah. Nyutt! Nyutt! Nyutt!
Aku mengambil Al-Qur’an itu dari tangannya.
“Syukron!’ kataku cepat kemudian berlari.
Gus Nabhan tertawa kecil, persis seperti saat aku berlalu
meninggalkannya kemarin siang. Mungkin mengejek atau
Mostervel| 47merasa lucu dengan sikapku yang menjadi lembut, selembut
kulit bayi saat di depannya. Entahlah, aku tidak peduli, yang
terpenting sekarang adalah aku harus menjauh darinya untuk
sementara waktu, agar hatiku sedikit terkondisi.
a
Aku berjalan beriringan menuju hammam. Dengan siapa?
Jelaslah dengan Citra dan Lasmini.
Aku dan Citra bersenda gurau tidak jelas, tertawa-tertawa
tidak jelas. Seperti orang gila? Ya, memang aku dan Citra
sama gilanya. Sedangkan Lasmini, hanya sesekali tersenyum
kecil.
Aku tetap merasakan hal yang sama, seperti tadi malam,
seperti kemarin saat tiba-tiba Lasmini cuek padaku.
Aku tetap berusaha bersikap sehangat mungkin meski
hatiku tidak karuan agar Citra tidak bertanya padaku, karena
dia juga tidak mungkin bertanya pada Lasmini, dan Citra juga
tahu Lasmini tidak pernah bercerita walaupun dia memiliki
masalah.
“Eh, Ning! Ini kok diem aja, ya?” tanya Citra padaku
dengan sedikit berbisik.
“Dia emang pendiam, ‘kan?” Bukannya menjawab, aku
malah balik bertanya, acuh.
“Yang ini beda.”
“Beda apanya? Sama saja kok. Perasaan Cicit saja
mungkin.” Sku mengibaskan tanganku berjalan mendahului
Citra, mengejar Lasmini yang selangkah lebih jauh dariku dan
Citra.
B®
Sikap Lasmini masih sama, hingga di sekolah pun,
sikapnya tetap saja begitu.
Kelas untuk semua santri sudah dibagikan. Kelasku—
kelas enam—ada di gedung Aminah. Yang membuatku pusing
adalah orang yang mengatur perpindahan kelas untuk
santriwati adalah orang yang paling aku hindari. Siapa lagi
kalau bukan Gus Nabhan.
Aku berdiri di depan pintu gedung kelas lamaku, gedung
Fatimah, menunggu Citra kembali melapor absen pagi ini
kepada ustadzah.
Akad Rahasia | 48“Mejamu yang mana?” tanya Gus Nabhan tiba-tiba.
Seperti petir yang menggelegar di udara, aku terkejut untuk
kesekian kali karenanya.
“Astaghfirullah al-’adzhim\” Aku mengelus dada.
Bisa ndak sih, kalau datang ucap salam dulu?
“Ya sudah, Assalamu’alaikum,” ucapnya tiba-tiba seperti
tahu apa isi otakku. Aku melengo tidak percaya.
“Mejamu yang mana?” tanyanya lagi, aku tetap diam. Gus
Nabhan menaikkan sebelah alisnya, isyarat bertanya lagi.
“Di dalam,” jawabku.
“Ya sudah, mari ambil. Kubantu kamu membawanya,”
katanya sambil berjalan meninggalkanku masuk ke dalam
gedung lebih dulu sebelum aku membuka mulut untuk
mencegahnya. Dan yang lebih menakutkan lagi di dalam
gedung sepi, tidak ada orang karena mereka sudah membawa
meja masing-masing.
“NING!” teriaknya dari dalam gedung, aku tersentak.
“Na‘am, Ustadz,” jawabku dengan berlari
mengahampirinya.
Gus Nabhan membantuku mengangkat kursi dan meja
menuju gedung Aminah, dan aku sekarang menjadi pusat
perhatian para santri, termasuk Lasmini yang berpapasan
denganku membuatku semakin Malu sekali.
Setelah membantuku, Gus Nabhan kembali menuju
gedung Fatimah. Kupikir untuk apa, ternyata Gus Nabhan
membantu Lasmini mengangkat mejanya yang ada di dalam
gedung.
Aku memerhatikannya, Lasmini terlihat senang, berbeda
sekali raut wajahnya dengan beberapa saat lalu.
“Woii! Merhatiin apa, Ning?” Citra menepuk pundakku, aku
tersentak.
“Itu di tengah lapangan,” kataku sambil menunjuk Lasmini
dan Gus Nabhan mengangkat meja.
“Wihh! Menang banyak ni si Ini.” Citra tertawa, aku
tersenyum.
Sebenarnya aku ingin tertawa, tapi tidak tahu hatiku
kenapa aku menjadi seperti tersenyum paksa.
Mostervel| 49Os 38
BAB 19
Pada jam kelima, Gus Nabhan kembali masuk ke
kelasku. Katanya, Gus Nabhan diperintahkan menjadi guru
tetap di kelasku pada jam kelima oleh Ummi dan Pak Kyai.
Jadi, sekarang aku tidak leluasa bergerak. Terpaksa harus
menahan gatal kaki dan tangan yang ingin berbuat usil.
“Uktubna',” perintahnya setelah menulis beberapa
mufrodat? di papan tulis.
Teman-temanku sudah mulai menulis, sedangkan aku
masih sibuk mencari pulpen yang aku tidak tahu jatuh atau
kutaruh di mana setelah perpindahan kelas tadi.
“Cit, pulpen kamu berapa?” tanyaku pada Citra dengan
setengah berbisik.
“Wahid,” jawab Citra sambil mengangkat pulpennya yang
memang hanya satu.
“Gantian dong!” Aku memelas pada Citra.
“Boleh, tapi mufrodat Ustadz Nabhan banyak banget.”
Aku melirik mufrodat yang memang banyak di papan tulis.
Aku mendengus kesal.
“Kenapa, Ning?” tanya Lasmini padaku.
Lasmini sudah baik lagi seperti sediakala padaku.
Mungkin karena hatinya terlanjur senang, karena itu dia jadi
lupa dengan kesalahanku.
“Pulpenku hilang.”
“Laah, gimana, ya? Pulpenku cuma satu,” katanya dengan
wajah iba.
Lagi-lagi, perbedaan Lasmini dan Citra. Citra lebih berani
berkorban daripada Lasmini. Citra mau susah bersama, kalau
Lasmini, dia lebih memprioritaskan dirinya daripada orang lain.
Dia hanya akan membantu orang lain kalau dia sudah merasa
lengkap atau tidak susah lagi.
Akad Rahasia | 50“Ada apa, Ning Najma?” Aku terpelonjak, Gus Nabhan
bertanya padaku.
“Anu ... anu, Ustadz, pulpen saya hilang,” jawabku malu.
“Ukhruja”* perintahnya datar. Aku menunduk, bangun dari
dudukku dan ke luar.
Peraturan di pesantrenku, siapa pun yang tidak lengkap
membawa perlengkapan sekolah akan dikeluarkan dari kelas
oleh Uustadz atau ustadzah yang mengajar, karena dianggap
pelanggaran ringan dan tidak menghargai yang mengajar di
kelas tersebut. Jadi, aku dikeluarkan.
“Ada lagi yang tidak bawa pulpen?” tanya Gus Nabhan
pada seisi kelas. Semua diam.
aB
Seperti mempunyai dua jiwa saja. Kalau di depanku saja
dia manis sekali, kalau di depan santri dia sok berkarisma.
Aku terus saja menggerutu selama aku _berdiri.
Melampiaskan rasa kesalku lewat mulut yang mengomel.
Bel jam keenam berbunyi. Di dalam kelas sudah terdengar
pelajaran ditutup, beberapa saat kemudian Gus Nabhan keluar
dari kelasku.
“Ini pulpen untukmu,” kata Gus Nabhan sambil
menyodorkan pulpen hitam untukku.
“Tidak perlu, Ustadz. Terima kasih,” tolakku sesopan
mungkin. Sejujurnya aku masih jengkel atas perlakuannya di
dalam kelas tadi.
“Yakin? Sebentar lagi Ustadz akan datang dan kamu akan
berdiri sampai jam pulang kalau tidak punya pulpen.”
lya! Aku lupa. Tapi hatiku terlanjur dimakan gengsi. Lalu
bagaimana? Terpaksa rasa gengsi harus kutelan bulat-bulat,
tapi aku masih kesal juga padanya. Kenapa_ tidak
meminjamkan pulpennya padaku saat di kelas saja? Kenapa
pula harus menyuruhku keluar kalau dia sendiri akan
meminjamkan pulpennya untukku?
“Ambil saja! Dua menit lagi bel guru masuk berbunyi,”
perintahnya lagi masih dengan pulpen hitam yang tersodor
untukku.
Bismillah. Kuraih pulpen di tangannya dan menelan
gengsiku bulat-bulat. Gus Nabhan tertawa.
Mostervel| 51“Bilang apa?” godanya.
“Terima kasih, Ustadz,” ucapku menunduk.
Gus Nabhan tertawa lagi kemudian berlalu berlalu, dan itu
membuatku terasa panas hingga ubun-ubun.
MasyaAllah, dia semakin menyebalkan saja!
Kuhentakkan kaki kuat-kuat pada lantai yang tidak
bersalah dan masuk ke dalam kelas.
Note:
ttulislah (untuk banyak orang perempuan) ?kosa kata ?satu (1)
*keluarlah(untuk perempuan)
Akad Rahasia | 52Beberapaw minggu lalu, dia memberiku _jilbab,
selanjutnya, memberiku pulpen, dan sekarang menitipkanku
makanan untuk buka puasa. Lalu besok apa lagi? Bukan aku
tidak senang, tapi Gus Nabhan tidak punya maksud yang jelas.
Kalau ketahuan oleh santri lain ‘kan bisa jadi gosip, karena aku
dan Gus Nabhan sama-sama anak kyai.
“Kholas! Kholas!1 Makannya dilanjutkan nanti! Sekarang
shalat dulu ke masjid!” perintah Ustadzah sambil menepuk-
nepukkan tangannya kepada semua santri yang sedang
berbuka puasa. Semua santri bergerak cepat beranjak ke
masjid.
Sekarang memang bukan bulan Ramadhan, tapi semua
santri diwajibkan berpuasa sunnat pada hari Senin dan Kamis.
di pesantrenku.
Aku berlari menaiki anak tangga karena takut telat,
mengejar iqamah yang sudah dikumandangkan. Napasku
tersenggal.
“Dari mana, Ning?” tanya Lasmini padaku.
“Nabung,” jawabku cengengesan, mengelus perut dengan
ekspresi tenang.
“Ish! Kamu selalu aja kayak gitu.” Citra sewot padaku.
“Laah? Ini perut, bukan aku.”
“Itu ‘kan perutmu,” kata Citra dengan wajah kesal.
Senang sekali rasanya membuat orang kesal. Tapi saat
aku dibuat kesal, rasanya inginku makan orang itu.
“Sudah, sudah! Shalat!” kata Lasmini menengahi, karena
memang shalat sudah dimulai. Aku saling senggol dengan
Citra, saling menyalahkan.
Lasmini sudah memulai shalatnya, aku dan Citra
mengikuti setelah imam takbir untuk rukuk.
Mostervel| 53Sekarang tidak ada jam baca Al-Qur’an. Jam baca Al-
Qur'an diganti dengan jam makan, karena semua santri
berpuasa.
Selain dapat makan malam cepat di hari puasa, lauknya
juga enak. Disertai berbagai macam es atau susu juga, itu yang
membuat santri gemar hari Senin dan Kamis. Lebih-lebih kalau
dia tidak berpuasa.
Aku makan bertiga dengan Citra dan Lasmini. Pakai satu
piring saja, karena malas mencuci. Memang boleh? Boleh,
asal jangan ketahuan ustadzah bagian dapur.
Aku mengambil nasi, kemudian Citra mengambil lauk, dan
Lasmini mengambil susu.
Alhamdulillah, selama_ melaksanakan misi dengan
kompak, aku, Citra, dan Lasmini tidak pernah ketahuan.
Karena nasinya selalu kubawa ke kamar diam-diam.
Tidak usah ditanya. Membawa nasi ke kamar memang
tidak boleh, alasannya agar kamar tidak kotor. Makan dengan
satu piring bersama juga tidak boleh, alasannya agar santri
tertib, dan dapur juga menyiapkan banyak piring untuk santri.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk makan di kamar atau
makan bersama dengan satu piring. Tapi entah mengapa di
pondok pesantren, kebersamaan itu indah. Bersama dalam hal
apa pun, meskipun melanggar atau dihukum.
Pesantrenku memang banyak aturan, tapi Ummi selalu
bilang kalau pesantren ini bukan ketat, tapi tertib.
Aku memasukkan piring berisi nasi itu ke dalam ember,
dan berlari membawanya ke kamar. Sementara Citra dan
Lasmini mengikuti dari belakang untuk berjaga-jaga agar tidak
ada ustadzah yang melihat.
Adzan Isya dikumandangkan, dan aku sakit perut lagi
karena kebanyakan makan.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya! Nabung!” kataku berlari
meninggalkan Citra dan Lasmini yang bersiap-siap menuju ke
masjid.
Aku berdiri di midha’ah diselimuti rasa senang, seperti
sudah menang di medan perang. Perutku tenang.
Suara iqamah berbunyi. Aku berlari takut telat lagi.
Tunggu! Siapa yang gomat?
Akad Rahasia | 54Aku berhenti di tengah-tengah tangga masjid, menyimak
pemilik suara qomat Isya ini.
Suara yang aku rindu dari beberapa bulan lalu. Dia
kembali, dan hatiku seperti melayang kembali. Senang dan
tindu sekali.
Note:
‘sudah, sudah!
Mostervel| 5SOs 38
BAB 21
Juwat ini aku mendapat tugas piket di dapur,
sementara Citra dan Lasmini mendapat tugas dari bagian
pertamuan di ruang tunggu untuk memanggil santri jika ada
orangtua atau keluarganya yang datang menjenguk.
Bik Amin melemparku dengan sendok dapur karena
ketahuan mencomot buah anggur milik Gus Nabhan. Kenapa
harus menyuruhku mengantar untuknya?
Aku berlari keluar dikejar Bik Amin dan menjadi pusat
perhatian para santri. Aku bukan sedang melawak, aku sedang
dikejar Bik Amin, dan mereka malah menertawaiku.
“Eh, Ning! Ning!” teriak Citra memanggilku dari bawah
pohon tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang.
“Kenapa? Abi datang? Ummi? Mbak Zahra? Mas Malik?”
tanyaku dengan wajah tidak sabaran.
Tentu saja aku begitu, karena dua bulan terakhir setelah
aku kabur ke akad Mbak Zahra, Abi belum pernah datang
menjengukku lagi.
“Ish, bukan!”
“Terus siapa?”
“Kak Nabil!” serunya memberitahuku.
“Ah! Kak Nabil.” Aku berlari menyusul Citra, meninggalkan
Bik Amin yang memanggilku sedari tadi. Tidak peduli wajah
berminyakku karena berlama-lama di dapur.
Kak Nabil adalah kakak kelas dan juga kakak angkatku.
Kak Nabil baik sekali. Menurutku, orangnya cerdas, berjabat
sebagai ketua OSIM atau biasa disebut OSIS di sekolah
negeri. Kak Nabil perhatian sekali padaku, dia selalu khawatir
setiap apa pun yang aku lakukan, selalu memanjakanku
seperti adik sendiri.
Akad Rahasia | 56Aku dekat dengan Kak Nabil sejak aku belum masuk ke
pesantren ini, dia juga alasan mengapa aku mau masuk ke
pesantren ini. Kak Nabil juga adalah keponakan dari Pak Kyai,
sehingga cukup disegani semua santri. Karena itu,
kedekatanku dengan Kak Nabil pernah menjadi gosip
terhangat seluruh santri—dulu.
Tapi setelah Kak Nabil sakit selama enam bulan, gosip itu
tidak terdengar lagi dan aku merindukannya. Bukan gosipnya,
tapi orangnya, dan lagi orang yang kurindukan itu telah
kembali.
aB&
Rasa takut, malu, senang, semuanya berpadu menjadi
satu, membuat jatungku berdetak tak karuan dan tanganku
terasa dingin. Bayangkan saja bagaimana rasanya menahan
senang karena bertemu dengan orang tersayang setelah
setengah tahun tidak bertemu. Aku berlari kegirangan.
Ya Allah, kondisikan hati Najma!
Ingin rasanya aku berteriak, ingin sekali, ingin sekali. Ya
Allah!
Aku menenangkan diri, menormalkan napas terlebih
dahulu sebelum menghampiri Kak Nabil yang berada dua
puluh meter di depanku.
“Assalamu’alaikum?” ucapku dari jarak tiga meter.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya, dia tersenyum—senyum
yang kurindukan.
Apa pun yang ada padanya saat ini adalah semua hal
yang kurindukan.
“Kaifa haluki ya, ukht?”*
“Alhamdulillah, baik, Kak.” Aku menunduk tersenyum.
Rasanya malu dan canggung sekali. Dia terlinat sedikit
berubah, lebih berkarisma, membuat hatiku semakin tidak
karuan.
“Ning Najma semakin gemuk saja,”___katanya
memerhatikanku dan itu cukup membuatku tersipu.
“Katanya, Mbak Zahra menikah, benarkah?” tanyanya
lagi.
“lya, Kak,” jawabku tersenyum.
Mostervel| 57Ingin sekali kubilang bahwa aku rindu, tapi malu karena
dia terlihat jauh berbeda sekali.
“Kak Nabil!” panggil Siti dari kejauhan, Kak Nabil menoleh.
Siti berlari ke arahku dan Kak Nabil dengan menenteng
kertas putih yang dilipat kotak. Dahiku berkerut bingung.
“Ini balasan surat dari Betty,” katanya menyodorkan kertas
itu kemudian berlalu.
Raut wajah Kak Nabil yang memang bahagia bertambah
bahagia, berbinar-binar sekali.
Kak Nabil tersenyum padaku dan memasukkan kertas itu
ke dalam sakunya. Kemudian tawa hatiku, senyumku, dan
semua kebahagianku bertemu dengannya terasa pudar
seketika. Aku menunduk.
Najma kira dia ke sini memang benar-benar ingin
menanyakan kabar Najma, ternyata untuk menjemput balasan
surat dari Betty.
Baru kali ini senyum adalah hal yang paling berat dan sulit.
Tapi, alhamdulillah aku berhasil tersenyum meski dipaksakan.
Menyembunyikan rasa sakit yang aku tidak tahu kenapa bisa
sesakit ini. Tenggorokanku terasa tercekat.
“Ya sudah, ana pergi dulu, ukhtijaga diri baik-baik, jangan
nakal. Assalamu’alaikum,” katanya kemudian berlari kecil
meninggalkanku.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku lirih melihat punggung
yang sudah berlari menjauh membawa bahagianya.
Ya Allah, sadarkan hatiku.
Aku menengadahkan kepalaku, menahan air yang
berharga agar tidak jatuh dari mataku. Aku berlari, rasanya
seperti tidak menginjak bumi lagi.
Note:
‘bagaimana kabarmu?
Akad Rahasia | 58Beberapa santri menanyaiku, menatapku dengan
tatapan menyelidik, tapi tidak kuhiraukan. Hatiku masih kusut,
seperti berbagai macam jenis benang yang diikat kemudian
tidak bisa dilepas, itulah hatiku sekarang.
Ada benang kesal, benang sedih, benang marah, benang
jengkel, benang rindu, benang senang, semua berpadu
menjadi satu, yang dijahit pada selembar kain yang mungkin
dinamakan kain cemburu.
Mataku tidak jadi menangis. Ternyata bentengku masih
cukup kokoh, hanya saja aku malas bertemu siapa pun. Malas
dipanggil siapa pun, termasuk Bik Amin yang memanggilku
karena kabur dari tugas dengan beralasan sakit kepala.
Bagaimana Bik Amin bisa percaya, seorang Adonia Najma
Orlin sakit kepala? Sudah pasti dikira pura-pura saja, walaupun
memang pura-pura, karena semua orang tahu, penyakit saja
malas mendekatiku.
Kata Mbak Zahra, kalau belum menangis di depan orang
yang membuat cemburu, itu namanya tidak benar-benar suka.
Tapi terkadang orang bilang gengsi. Kenapa harus gengsi?
Yang Mbak Zahra maksud adalah orang yang sudah halal,
bukan orang yang belum halal tapi dihalal-halalkan.
Oh ya, aku belum bercerita kalau aku sudah menaruh hati
pada Kak Nabil. Tapi biasalah, hati remaja hanya sekadar
kagum.
Aku masuk ke dalam kamar, menutup wajah dengan
bantal, karena tidur adalah cara terbaik untuk melupakan sakit
hati selain beribadah kepada-Nya.
Baru lima menit tubuhku memeluk bantal, Lasmini sudah
datang memanggilku.
“Apa sih?!” jawabku jengkel karena sudah dibangunkan.
Mostervel| 59“Abi-mu datang.”
“Terus kenapa?” tanyaku ketus.
Memang, aku kalau sudah marah, kadang suka marah
kepada semua orang.
“Lah, kok kenapa? Kamu ndak keluar?” tanya Lasmini
heran.
“Ndak ah, males.” Aku menarik selimut menutupi wajah.
“Durhaka kamu, Ning!” Lasmini berlalu.
Memang benar ya Abi datang? Ah, masa sih Abi datang?
Aku berpikir sejenak. Jangan-jangan Abi memang datang!
Aku bangkit dari tempat tidur, mengejar Lasmini yang
sudah tertinggal jauh atau mungkin sudah duduk di kursi jaga.
“Abi mana?!” tanyaku ngos-ngosan karena sudah berlari.
“Sudah pulang barusan,” jawab Citra datar.
“Kenapa ndak nunggu Najma?”
“Kamu ditunggu abi-mu sudah seperti putri raja saja,”
cetus Citra.
“Biarin, itu ‘kan abi-ku,” jawabku membela diri. Citra
menyerucutkan mulutnya.
Tidak kehabisan akal, karena memang akal juga tidak ada
habisnya. Aku berlari menuju wartel, menelepon Abi.
“Assalamu’alaikum, Abi?” ucapku tergesa-gesa.
“Wa‘alaikumussalam, ad—"
“Abi kenapa pulang? ‘Kan belum ketemu Najma,” kataku
kesal memotong perkataan Abi. Abi tertawa.
“Siapa suruh Najma lama sekali keluar?”
“Lah, Abi kok begitu sih?”
“Karena Abi begini!” Abi tertawa lagi.
Aku mendengus kesal, menghentak-hentakkan kaki
seperti paskibra gila.
“Najma tenang saja, Abi sudah menitipkan semua
keperluan Najma,” katanya padaku, telingaku mengembang.
Srringg! Peri kebahagiaan turun dari kayangan, seketika
kesalku hilang.
“Pada siapa, Bi?” tanyaku antusias.
“Gus Nabhan!”
Doeng!
Akad Rahasia | 60Senyumku hilang, seketika ada anak kecil yang berlari
mengelilingku dan berteriak, “Kasian deh lo .... Kasian deh
lo .... Kasian deh lo ....” Telingaku yang mengembang menjadi
layu.
“Kenapa harus—” Belum selesai aku berbicara, telepon
terputus.
Ini gila! Aku harus mencari Gus Nabhan untuk mengambil
titipan? Tidak! Tidak! Tidak! Tapi, sabun sudah habis, sampo
sudah habis, odol sudah habis, semuanya sudah habis! Sudah
seperti lagu dangdut saja.
MasyaAllah, Abi!!! Anakmu di sini menderita, setidaknya
kurangilah bebannya, Abi!
Mostervel| 61Os 38
BAB 23
Akw duduk di kursi taman yang berada di samping
masjid. Sudah dua hari aku meminta sabun terus pada Citra
untuk mandi. Rasanya miris sekali, sedangkan Gus Nabhan
tidak pernah kelihatan dan titipanku ada padanya.
“Kenapa, Ning?” Aku terkejut, Kak Nabil datang tiba-tiba
dari dalam masjid.
Pesantren ini memang tidak berbaur antara santriwan dan
santriwati, tapi hanya tempat shalat saja yang sama. Santri
putri memang mempunyai musholla sendiri, santri putra juga.
Tapi musholla hanya digunakan jika ada kajian pribadi saja.
Sakit hati dua hari lalu sudah hilang dan hatiku masih
normal, hanya tetap canggung saja.
“Anu ... Gus Nabhan ada di dalam?” tanyaku gugup, Kak
Nabil terlihat heran. Mungkin dipikirannya, “Kenapa Najma
menanyakan Gus?”
“Anu ... bukan. Maksudnya, Abi menitipkan barang untuk
Najma pada Gus Nabhan,” kataku cepat agar Kak Nabil tidak
bepikir yang tidak-tidak padaku.
“Tidak boleh berbicara dengan yang bukan muhrim!” Aku
dan Kak Nabil terpelonjak.
Gus Nabhan turun dari tangga masjid, menatap tajam ke
arahku dan Kak Nabil. Aku dan Kak Nabil menunduk.
“Apa yang dibicarakan?” tanyanya tegas. Aku dan Kak
Nabil menunduk.
“Najma, nanti ambil titipan dari abi-mu di rumah. Nabil, ikut
anal Assalamu’alaikum,” katanya dan berlalu disusul Kak
Nabil.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku melengo melihat mereka
berlalu.
Akad Rahasia | 62Biasa aja kali! Seperti ndak pernah berbicara dengan
perempuan aja!
Aku berjalan pergi meninggalkan taman masjid.
“Wooil Dari mana aja?” tanya Citra mengagetkanku.
“Nyari Gus Nabhan,” jawabku datar.
“Gus Nabhan!?” tanya Lasmini yang terkejut mendengar
pernyataanku. Aku mengangguk.
Mengingat-ingat bahwa Lasmini suka dengan Gus
Nabhan, bagaimana kalau aku mengajaknya saja ke rumah
pimpinan untuk mengambil titipanku? Pasti Lasmini mau.
“Eh, Ini! Ini mau ndak bantuin Najma?” tawarku dengan
penuh semangat, karena yakin sekali pasti Lasmini tidak akan
menolak.
“lyalah, Ning. Masa iya aku ndak mau bantuin kamu,”
katanya lembut.
“lya ni, Ning! Kita ‘kan sahabat,” sambut Citra tidak kalah
semangat.
“Duh ... makasih. Berarti kalian berdua harus mau bantu
Najma nanti!” kataku sambil memeluk Lasmini dan Citra.
Alaykan?
“Emang bantuin apa sih?” tanya Citra penasaran.
“Bantuin ambil titipan dari Abi pada Gus Nabhan,” jawabku
santai.
“AH!!” teriak Lasmini dan Citra hampir kompak.
“Lah ... kenapa?” tanyaku heran.
“Ndak ada sih, tapi kok bisa abi-mu menitipkan barangmu
pada Gus Nabhan?” tanya Citra. Aku mengedikkan bahu.
“Ndak tahu. Najma juga heran,” kataku.
“Kan hari Jum‘at itu Bu Nyai dan Pak Kyai pergi, mungkin
karena itu,” kata Lasmini memositifkan pikiranku dan Citra.
“lya juga sih, tapi nanti Ini yang ambilkan titipan Najma,
ya,” pintaku pada Lasmini.
“Kenapa harus aku?” tanyanya heran.
“Kan Ini suka Gus Nabhan!” jawab Citra asal ceplos yang
langsung kusambut dengan anggukan setuju. Lasmini
tersenyum dan menunduk.
“Cieee, senyum-senyum sendiri,” godaku yang membuat
Lasmini tersipu.
Mostervel| 63“Apaan sih kalian?” Lasmini mencubit lenganku pelan,
kemudian berlalu meninggalkanku dengan Citra yang masih
mengejeknya. Aku dan Citra tertawa.
Akad Rahasia | 64Akw menunggu Citra dan Lasmini yang sedang
mengambilkan titipanku pada Gus Nabhan di bawah pohon
mangga dekat rumah pimpinan. Sudah cukup lama aku berdiri
di sana seperti patung, tapi Citra dan Lasmini masih belum
kelihatan. Apa sih yang mereka lakukan? Najma sudah
jamuran menunggu di sini!
“Ning?” panggil Citra dan Lasmini yang datang dengan
ekspresi datar.
“Gimana? Gimana?” tanyaku tidak sabaran.
“Katanya, ndak berkah kalau menyuruh dua kali,” ucap
Lasmini lemah. Dahiku berkerut tidak mengerti.
“Ndak berkah gimana?” tanyaku.
“Gus Nabhan ‘kan menyuruh kamu, tapi kamu malah
menyuruh kita lagi, itu maksudnya,” kata Citra menjelaskan
panjang lebar.
Mau Citra, Lasmini, atau Najma sama saja, ‘kan? Ujung-
ujungnya juga barangnya untuk Najma!
Aku mendengus kesal dan berjalan masuk ke rumah
pimpinan untuk bertemu Gus Nabhan. Gayaku sudah seperti
emak-emak rentenir yang sedang menagih hutang.
Bergaya di depan saja, saat sudah bertemu orangnya, aku
menunduk.
“Wa’alaikumussalam,” ucapnya, padahal aku baru
menarik napas hendak mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum!” kataku menelan malu, Gus Nabhan
tertawa. Rasanya seperti semut yang berada di kandang gajah
saat seperti ini.
“Silakan duduk!” katanya padaku. Aku menarik napas
sabar dalam kesal.
Mostervel| 65“Tidak usah, terima kasih. Najma hanya mau mengambil
titipan saja, lagian tidak enak dilihat santri lain, nanti menjadi
fitnah,” kataku mantap. Duh, sudah seperti penceramah saja.
“Oh, baguslah. Jadi aku tidak perlu membersihkan sofa
untuk tempat dudukmu.”
Deg! Pipiku terasa memanas—merah.
lin! Gus Nabhan ini kenapa sih? Selalu membuatku salah
tingkah saja.
Tarik napas dalam-dalam, lepaskan.
“Ya sudah, mana titipan Najma?” Sengaja_kualih
pembicaraan langsung ke intinya, karena kalau tidak, bisa
matang aku di sini.
“Oh, tunggu sebentar,” katanya, kemudian mengambil
sesuatu
“Ini!” katanya. Titipkanku hanya segini? “Jadi perempuan
ndak boleh boros, kalo habis, minta lagilah ke sini,” katanya
seperti tahu apa yang aku pikirkan.
“Tapi ‘kan ....”
“Sudah tidak usah membantah, ndak baik,” katanya lagi.
Apa sih maksudnya? Najma selalu saja dibuat pusing
dengan kata-kata tidak jelas ini.
Kuraih kantung plastik itu dan berlalu membawa wajah
masam.
“Wa’alaikumussalam|” ucapnya, dan kali ini aku benar-
benar lupa mengucap salam.
Astaghfirullah al-’adzhim.
Kubalikkan badanku. “Assalamu’alaikum,” ucapku, Gus
Nabhan tertawa.
Aku =mempercepat langkahku. Berjalan dengan
menghentak-hentakkan kaki adalah cara cepat untuk
mengempeskan rasa kesal yang sudah kembung di hati.
Akad Rahasia | 66“Qumna Qumna! Qumna!”"
Siapa itu? Tidak usah ditanya, sudah jelas itu adalah
alarm berjalan_ santri, yaitu ustadzah yang setia
membangunkan para putri tidur setiap Subuh, sedangkan aku
adalah ratu dari para putri tidur itu yang tercepat bangun untuk
melihat mereka pergi, dan tidur lagi setelah sepi.
“Ning Najma, qumé2" perintah Ustadzah dengan garang
padaku karena hanya tinggal aku saja yang tersisa di dalam
kamar.
Aku langsung bangun, tidak kentut seperti biasa, karena
yang membangunkan ini adalah Ustadzah, bukan Lasmini.
Kalau ustadzah kukentuti tentu saja aku langsung dibalas
dengan bom.
Aku menyeret kaki yang terasa berat karena kantuk untuk
keluar kamar, dari ujung gedung sudah ada ustadzah
menunggu dan menyuruhku lebih cepat, berjarak sepuluh
meter lagi, ada ustadzah juga yang sedang menunggu. Sudah
seperti rumah tahanan saja, walau memang mereka
menyebutnya penjara suci.
Shalat Subuh aku tetap tenang. Jam baca Al-Qur’an, aku
juga tidak berbuat usil. Bagaimana tidak? ‘Kan pekerjaanku
tidur, dan untungnya Citra dan Lasmini menjadi prajurit yang
mengawalku dengan setia.
Jam kerja yang biasanya kugunakan untuk tidur, kali ini
aku gunakan untuk ikut bekerja. Jam mandi, aku mencuci
muka. Jam Dhuha, aku bolos. Jam sekolah, aku bermain-main.
Jadwal yang tertib, ‘kan?
Jam kelima. Ya, itu jam Gus Nabhan yang menjadi Ustadz
Nabhan ketika di sekolah. Tapi, sekarang ini jam pelajaran fiqih
Mostervel| 67dan yang mengisi adalah Ummi. Jadi, semua santri harus siap
dan rapi.
Aku mencari-cari kitab fiqihku. Di mana kutaruh, ya?
“Cit! Liat kitab fiqih Najma ndak?” Aku bertanya pada Citra
yang juga kelihatan sibuk mencari sesuatu.
“Kitab fiqinku juga ndak ada ni, Ning!” jawab Citra sambil
masih sibuk mencari.
“Akhwat, ada yang lihat kitab figih Najma sama Cicit
ndak?” tanyaku pada seisi kelas yang langsung disambut
dengan gelengan serempak.
“lya nih, kitab figihku juga tertinggal,” sambut Siti.
“Oh iya, minggu kemaren ada hafalan dari Ummi, kalian
udah hafal ndak?” tanya Tania lagi, seisi kelas kompak
menjawab tidak. Seketika kelas menjadi gaduh, sementara bel
guru masuk tinggal tiga menit lagi.
“Kesempatan ni, Cit, mumpung pasukan banyak,” kataku
menyenggol lengan Citra, Citra mengangguk, artinya setuju
dengan apa yang akan kulakukan.
“Eh! Mau ngapain kalian?” tanya Lasmini.
“Mau menyelamatkan dunia,” jawabku mantap dengan
penuh penekanan. Lasmini terlihat heran.
“Eh, akhwat! Kalian mau ndak, Ummi ndak masuk
sekarang?” tanyaku berteriak kepada seisi Kelas.
Sebagian tidak peduli, sebagian heran, tapi lebih banyak
yang bertanya tidak sabaran, “Gimana? Gimana?”
“Serahkan pada Najma dan Cicit! Ya ndak, Cit?” tanyaku
pada Citra memastikan, Citra mengangguk.
“Eh, kalian mau ngapain sih?” tanya Lasmini penasaran.
“Udah, terima aja, yang penting dunia damai,” jawabku
sudah seperti superhero penyelamat dunia.
Aku dan Citra keluar dari kelas, memantau apakah ada
ustadz atau ustadzah yang lewat. Ternyata sepi, misi akan
dimulai.
Aku mengeluarkan sesuatu dari saku jubahku, mengupas,
kemudian memasukkan ke mulut. Kunyah-kunyah tiga puluh
detik, jika terasa sudah pas, keluarkan lalu tempel pada lantai
yang bersih, dan misi selesai.
Akad Rahasia | 68“Wah! Lasmini sama Citra hebat, ya!” Seisi kelas berseru
senang, memberi tepuk tangan atas permen karet yang aku
dan Citra tempelkan di depan pintu.
“Tapi kenapa nempelin permen karet?” tanya Tania heran.
Aku maju, menjawab dengan mantap.
“Karena Ummi membenci sesuatu yang kotor atau jorok,
jadi nanti kalau Ummi masuk, kita ndak akan belajar, tapi akan
diceramahi karena kelas kotor, dan semuanya menjadi
sejahtera,” jelasku dengan bangga.
“Nah, betul tu!” sambut Citra. “Tapi, nanti kita pasti
mengantuk, ‘kan Ummi ceramahnya lama,” keluh Citra lagi.
“Tinggal tidur aja, ‘kan meja kita tersembunyi,” jawabku.
Citra manggut-manggut.
“Tapi, Ning, kalo kelas kotor, berarti yang disalahkan ketua
kelasnya dong,” kata Citra lagi.
“Ya ndak masalah, ‘kan ketua kelasnya Cicit,” jawabku
datar.
“Yaahh!” Citra menepuk keningnya tidak sadar atas
kekeliruan yang dia perbuat, seisi kelas tertawa.
Note:
‘bangunlah! (untuk banyak perempuan )
?bangunlah! (untuk satu perempuan)
Mostervel| 69BAB 26
Adyow Dzuhur berkumandang dan saat yang ditunggu-
tunggu para santri tiba, yaitu pulang dari sekolah menuju
asrama.
Aku keluar dari kelas sendiri, menyeret-nyeret kakiku
dengan malas. Tahulah kenapa, karena kantuk masih tersisa
setelah tidur penuh dari awal Ummi berceramah pada jam
kelima hingga jam terakhir selesai karena ustadzah juga tidak
mengisi kelasku hari ini.
“Ning!” Seorang memanggilku, aku menoleh, dan ternyata
orang itu adalah Gus Nabhan.
“Na‘am, Ustadz?” tanyaku menunduk.
“Kamu mencari kitab fiqih?” tanyanya tiba-tiba. Aku heran,
dari mana dia tahu?
“Kemarin tertinggal di rumahku,” katanya menyodorkan
kitab yang tertera namaku di sampul depannya.
Aku mengingat-ingat kembali, ternyata benar aku
meninggalkan kitab di rumah Gus Nabhan dan untungnya,
yang menemukannya adalah Gus Nabhan, bagaimana kalau
Ummi? Bisa mati aku. Oh ... Najma yang ceroboh.
“Oh, syukron, Ustadz,” ucapku canggung. Tumben dia
ndak nyebelin, ada apa yah?
Aku menunduk, berpamitan dan berlalu.
“Eh, Ning!” panggilnya lagi, aku menoleh.
“Dijaga kitabnya!” teriaknya sambil memperlihatkan
deretan gigi putihnya padaku. Gus Nabhan tersenyum.
Aku mempercepat langkahku, rasanya aneh_ sekali
melihat Gus Nabhan tersenyum begitu padaku, tidak biasanya
Gus Nabhan begitu. Biasanya Gus Nabhan selalu membuatku
kesal, tapi hari in) Gus Nabhan berbeda sekali.
B®
Akad Rahasia | 70Semua santri pergi ke dapur untuk makan, kecuali aku dan
Lasmini. Kalau aku karena malas, tapi kalau Lasmini, aku tidak
tahu karena apa, dari tadi dia hanya sibuk menulis sesuatu di
atas kertas.
“Lagi nulis apa, Ni?” tanyaku.
“Nulis naskah dan berita untuk seleksi lomba wartawan
dan reporter akhir tahun besok,” jawabnya.
Lasmini memang begitu, selalu menyiapkan segala
sesuatu dari jauh-jauh hari. Tapi ini bukan jauh-jauh hari lagi,
ini jauh-jauh bulan. Lombanya pada akhir tahun ajaran dan itu
tinggal tiga bulan lagi. Aku mengangguk, tumben malas
berkomentar panjang lebar.
“Ya sudah, Najma duluan ke masjid ya, lima belas menit
lagi jam shalat Isya,” kataku dan berlalu meninggalkan
Lasmini.
@
Di pesantrenku, shalat Dzuhur dilaksanakan setelah
makan, karena setelah shalat Dzuhur semua santri langsung
bersiap untuk tidur siang, dan itu wajib.
Aku berjalan menuju masjid sendiri, hanya ada satu dua
orang yang berlalu lalang karena sebagian besar sedang
berada di dapur melaksanakan malam.
“Di mana Lasmini dan Citra?” tanya Gus Nabhan yang
datang dari midha’ah putra, aku sedikit terkejut.
“Tumben datang lebih awal, sendiri pula, dirasuki bidadari
dari surga, ya?” tanyanya dengan nada sedikit mengejek. Aku
mendengus.
Tadi di sekolah, sikapnya berbeda, sekarang berbeda
lagi? Berapa jin yang ada di tubuhnya? Aku memilih diam.
“Kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng, menunduk.
“Menurutmu, aku orang yang tidak pernah serius, ya?”
tanyanya, dan kali ini aku menatapnya dengan heran.
Maksunya apa?
“Baiklah, kalau begitu mulai sekarang aku serius, dan
kamu harus menanggapi keseriusanku dengan serius juga,”
katanya dengan menaikkan sebelah alisnya.
“Maksudnya?” tanyaku dengan polos karena memang aku
tidak mengerti.
Mostervel| 71“Sudah ya, tidak enak dilihat santri lain bicara berdua
seperti ini, nanti menjadi fitnah,” katanya, kemudian berlalu
mendahuluiku yang masih sibuk mencerna apa yang
dikatakannya barusan.
Itukan kata-kataku kemarin!
Dia serius? Apa maksudnya? Apa yang perlu diseriusi?
Serius, tapi kenapa bicara seperti mengejekku. Gus Nabhan ini
memang sulit ditebak.
“Bicara apa dengan Gus Nabhan?” tanya seorang di
belakangku, jantungku seperti lompat keluar dan ternyata itu
adalah Lasmini.
“Ah? Ndak ada kok, masalah titipan kemarin,” kataku
terpaksa berbohong. Tidak enak kalau sampai Lasmini
mengira yang tidak-tidak, karena memang tidak ada apa-apa
juga, tapi tetap saja karena Lasmini suka pada Gus Nabhan.
“Ya sudah, ayo masuk! Untuk apa menunggu di sini?”
tanyanya merangkul pundakku sambil tersenyum, aku pun
tersenyum canggung.
Untung Lasmini tidak banyak bicara, jadi aku tidak perlu
takut, karena memang tidak ada apa-apa juga antara aku dan
Gus Nabhan.
Akad Rahasia | 72Semalameaw aku sukses dibuat susah tidur dengan
perkataan Gus Nabhan kemarin siang. Lagi pula kenapa aku
harus memikirkan itu? Kitab shorof saja yang sudah kubaca
ratusan kali masih sulit kuhafal, Kenapa malah kata yang baru
kudengar sekali saja langsung melekat di kepalaku?
Aku heran, apanya yang berbeda ya? Tapi, kenapa bisa
saat Gus Nabhan menjelaskan pelajaran di kelas sangat
sulitku ingat? Padahal yang berbicara adalah orang yang
sama—sok polos.
“Mbak Najma?!” teriak seorang adik kelas yang berlari ke
arahku. Aku bingung melihatnya. Ada apa?
“Ini ada surat,” katanya menyodorkan kertas putih yang
sudah dilipat untukku. Aku semakin heran.
Surat? Dari siapa? Setahuku aku tidak pernah dekat
dengan siapa pun.
“Dari Bik Amin,” katanya dan langsung pergi begitu saja.
Bik Amin? Surat apa? Aku membolak -balik ‘kan surat itu
tanpa ada niat membukanya. Siapa pula yang mau dengan
sesama jenis. Menjijikkan sekali. Ya Allah, apa cuma bik Amin
yang berminat mengirimkan surat untuk Najma? Miris sekali
hidupku sampai Bik Amin pun mau padaku. Selaris itukah aku?
Surat itu kumasukkan ke dalam saku dengan pikiran, “Ini
bukan piket dapurku, jadi tidak ada hak bagi Mrs. Amin
memanggilku.”
Tapi rasa penasaran itu kembali ada. Kutarik kembali
kertas yang sudah kumasukkan ke dalam saku dan langsung
kubuka.
Dear Najma.
Jangan ngantuk Subuh lagi kalau aku jadi imamnya.
Nabhan
Mostervel| 73Aku terpelonjak, kaget. Bukan kaget lagi, tapi sangat
kaget. Seperti ladang gandum yang dijatuhkan coklat bermutu.
Mulutku sukses membentuk huruf O besar.
What? Ini Gus Nabhan? Serius? Apa maksudnya? Wah ...
wah, sindiran keras.
Aku jengkel walau sedikit deg-degan karena melihat surat
itu dari Gus Nabhan. Entahlah, aku juga heran dengan diriku
sendiri.
“Assalamu’alaikum,” sapa Gus Nabhan tiba-tiba, aku
semakin kaget dan langsung menunduk.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku pelan.
“Udah dapat surat dari Bik Amin?” tanyanya dengan
menaikkan sebelah alisnya.
“Katanya dari Bik Amin, kenapa tertera nama antum?”
tanyaku heran.
“Kenapa?” Bukan menjawab, Gus Nabhan malah balik
bertanya.
“Aku udah bilang kalau aku akan serius, jadi kamu juga
harus serius,” katanya membuatku bertambah pusing.
Belum sempat aku berkata apa-apa, Gus Nabhan sudah
pamit dan berlalu. Aku tetap diam di tempat, masih mencerna
apa yang Gus Nabhan katakan barusan.
“Woy! Kenapa, Ning?” tanya Citra menepuk pundakku.
Dengan cepat kusembunyikan surat itu, tidak enak kalau
sampai ada yang tahu.
“Eh, ndak kenapa-kenapa, hayya nadhul',” ajakku pada
Citra dan Lasmini, mengalih pembicaraan agar mereka tidak
curiga.
“Oh, ya udah, ayok!” ajak Citra lagi, meskipun tahu
ekspresiku tidak biasa, tapi Citra tidak peduli, dia tidak pernah
mau berprasangka buruk pada temannya sendiri.
Tapi Lasmini menatapku dengan tatapan lain. Apa dia
dengar pembicaraanku dengan Gus Nabhan? Atau lebih parah
lagi mungkin Ini tahu tentang surat ini?
Note:
tayo masuk!
Akad Rahasia | 74Jom