Professional Documents
Culture Documents
b u l e t i n
Jejak Leuser
Menapak Alam Konservasi Bersama TNGL
Kolaborasi Konservasi
sekapur sirih
Kolaborasi menjadi kata kunci dalam manajemen konservasi modern. Menurunnya kepedulian tentang alam oleh sebagian
besar umat manusia di dunia ini plus semakin minimnya keteladanan di dalam pengelolaan konservasi alam akan
mempersulit totalitas pekerja konservasi dalam bergerak bebas. Mereka yang mencoba berbakti kepada alam tidak bisa lagi
bekerja sendiri, mereka membutuhkan banyak teman untuk memuluskan tujuan yang ingin mereka capai, tujuan mulia untuk
memelihara dan memperbaiki alam yang semakin rusak ini. Pak Wir mencoba membahas tentang “kolaborasi” pada rubrik
'Liputan Utama' Jejak Leuser edisi ini, selain juga tentunya beliau tetap menulis di rubrik 'Dari Kepala Balai'.
Dengan tampilan yang agak berbeda, yang kami usahakan lebih dinamis, Jejak Leuser edisi ini juga memuat tentang
keprihatinan seorang Kristof, Mahasiswa USU, terhadap keberadaan jumlah populasi Gajah Sumatera di alam yang semakin
hari semakin menurun. Juga tulisan Pak Harto tentang kantong semar, tumbuhan ‘pemakan’ hewan yang ternyata banyak
sekali terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dan pada rubrik 'Potret', kami menampilkan Pak Selamat,
Pegawai Balai TNGL Seksi Konservasi Wilayah III Alas Gayo yang telah 14 kali berhasil menapakkan kakinya di Puncak
Leuser dan Loser sebagai pemandu.
Ada yang berbeda lagi, khusus pada edisi ini rubrik 'Intermezzo' memakan sampai 3 muka halaman. Tulisan menggelitik
Bang Kafil, wartawan AP, yang menyoal tentang istilah-istilah asing dan (mungkin) keren yang sering dilontarkan
punggawa-punggawa LSM di Indonesia dalam setiap percakapannya. Campur baur istilah inilah yang menjadi lucu ketika
kita membaca rubrik itu.
Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada Bang Diding FFI atas gambar-gambar cantiknya yang selalu menghiasi
setiap edisi Jejak Leuser.
Selamat membaca….
b u l e t i n
Jejak Leuser
Pelindung
Kepala BTNGL
Pemimpin Umum
Bisro Sya'bani
Dewan Redaksi
Diterbitkan oleh:
Balai Taman Nasional Gunung Leuser
Jl. Blangkejeren 37 Tanah Merah Kutacane Aceh Tenggara
PO BOX 16 Kode Pos 24601
Telp. (0629) 21358 Fax. (0629) 21016
Nurhadi Ujang W Barata Jl. Suka Cita 12 Kel. Suka Maju
Medan Johor, Medan, Sumatera Utara
Telp/ Fax. (061) 7871521
Email: jejakleuser@yahoo.co.id
Sumber dana: DIPA BTNGL 2005
Tantangan Membangun
KOLABORASI
5
Tidak terelakkan, kolaborasi menjadi satu langkah
strategis dalam pembangunan dan pengembangan
organisasi (konservasi). Apa sebenarnya yang
disebut sebagai kolaborasi itu? Seberapa penting
kolaborasi di dalam sebuah organisasi?
CRU Mobile:
Mobile:
Secercah Harapan yang Masih Tersisa
Kawasan TNGL di Kabupaten Langkat sangat merana.
Perambahan dan illegal logging secara membabi buta
memangkas areal konservasi itu. Fauna & Flora
International dengan CRU-nya menggandeng Polhut
TNGL untuk menghambat tindakan-tindakan haram itu. 15
SELAMAT
Pendekar dari Gunung Leuser
Selamat, sosok sederhana yang ternyata telah sering
Agenda Bersama
D ua kata yang menjadi judul sambutan Jejak Leuser kali ini,
menjadi key words, menjadi suatu konsep yang sangat
penting dalam kancah upaya konservasi di Indonesia, dan
bahkan pada tataran global. Dalam kancah pemikiran konservasi di
Indonesia, yang muncul di permukaan adalah diskursus tentang
terang terangan, mencoba mendorong agenda dan prioritasnya untuk
dikerjasamakan kepada pihak lain yang menjadi calon mitranya.
Sementara itu, pihak yang mau diajak bekerjasama dalam posisi yang
lemah atau bahkan tidak tahu apa yang akan dikerjakan yang menjadi
mandatnya.
kerjasama. Lalu muncul wacana tentang aliansi, kemitraan,
kolaborasi, dan beberapa wacana yang mirip dengannya, seperti Apabila “Agenda Bersama” telah disepakati, maka masing-masing
jejaring kerja atau networking, dan seterusnya. Telah banyak pakar pihak saling berkontribusi sesuai dengan peran, otoritas, dan
atau praktisi yang mencoba memberikan definisi tentang beberapa tanggungjawabnya. Dalam pola ini, para pihak yang bekerjasama
istilah tersebut di atas. Semakin didefinisikan semakin membuat dalam posisi memahami kekurangan dan kelebihan dan oleh
rancu dan membingungkan publik. Tak pelak lagi, sistem politik dan karenanya, sepakat untuk saling mendukung (meminimalkan
budaya yang berkembang di berbagai bagian Indonesia turut kekurangan dan mendorong sinergitas kekuatan), tentunya semata-
mewarnai dan membangun persepsi yang beragam tentang mata untuk mencapai tujuan bersama atau “Agenda Bersama” yang
kerjasama, kolaborasi, kemitraan, dan sebagainya. telah disepakati. Para pihak lalu mengalirkan sumberdayanya dan
dipakai secara efektif dan efisien. Semangat yang dikembangkan
Di pedalaman Pulau Sumbawa misalnya, dikenal istilah gotong- akhirnya selalu mencari ruang-ruang bersama untuk mampu
royong, seperti di Jawa untuk pekerjaan yang menyangkut bersinergi. Pihak yang kuat dan lebih mampu akan membantu pihak
kepentingan bersama dalam perikehidupan sosial kemasyarakatan. yang masih lemah, untuk diperkuat, didorong, dan diangkat agar bisa
Dalam sistem ini, besarnya tenaga yang dicurahkan tidak sejajar dan lari bersama mencapai tujuan. Dalam pola ini, tidak ada
diperhitungkan secara mendetil, karena semuanya untuk kepentingan konsep charity, atau client-patron relationship. Konsep tangan di atas
bersama yang sudah menjadi kesepakatan setempat, seperti dan tangan di bawah tidak berlaku. Yang dibangun adalah bagaimana
membangun masjid atau gereja, bersih desa, dan membereskan hal- memandirikan dan memperkuat pihak mitra yang memiliki
hal yang menyangkut kepentingan desa secara kekeluargaan. Tetapi kelemahan untuk menjadi lebih kuat dan lebih mandiri. Di dalamnya,
yang menarik adalah konsep tentang exchange labour, tersirat proses siklik tentang pembelajaran bersama.
khususnya pengalaman saya saat melakukan penelitian Dengan demikian, mekanisme pemantauan dan
tahun 1986 di Desa Saneo, Kabupaten Dompu. Sistem ini evaluasi secara berkala dan kontinyu secara bersama,
hampir merata dipraktikkan di seluruh masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Terus
Sumbawa. Didasarkan pada keterbatasan tenaga kerja terang, mekanisme pemantauan dan evaluasi
dalam mengerjakan ladang, sawah, dan kebun, maka seringkali dilupakan atau terlupakan, sehingga
masyarakat harus menemukan solusi bersama, yang hampir tidak didapat lesson-learn atau proses
dianggap saling menguntungkan. Keterbatasan tenaga pembelajaran. Idealnya, proses pemantauan dan
kerja dibandingkan dengan luas lahan dan lokasi lahan evaluasi dilakukan bersama para pihak yang
yang terpencar mendorong dibangun dan disepakatinya berkolaborasi. Keterbukaan dan rasa saling percaya
konsep exchange labour atau tukar tenaga tersebut. Dan atau mutual trust menjadi kata kunci agar proses
kemudian menjadi “Agenda Bersama”, menjadi pembelajaran ini berlangsung dengan efektif, dan
kepentingan bersama. Apabila satu keluarga A membantu dalam suasana yang nyaman dan menyehatkan.
menyiapkan lahan di sawah selama 5 hari pada keluarga B,
maka suatu saat keluarga B wajib membantu keluarga A Selama para pihak tidak (kurang) mau mempelajari esensi
selama 5 hari untuk kegiatan apapun yang diperlukan oleh keluarga A, keberhasilan dan atau kegagalan pola-pola kerjasama atau kolaborasi
bisa membantu di sawah, ladang, kebun, maupun di hutan. Dalam antara pemerintah dengan lembaga konservasi atau lembaga swadaya
contoh ini, “Agenda Bersama” menjadi Platform Bersama yang masyarakat, maka selama itu pula kita akan terjebak di dalam
disepakati, melembaga, dan menjadi basis spirit untuk mengatasi fatamorgana kerjasama, kolaborasi, kemitraan, aliansi, dan
persoalan kelangkaan tenaga kerja. Ini local wisdom yang menarik sebagainya, yang akhirnya dianggap sekedar sebagai tujuan (ends)
untuk diresapi dan difahami. Termasuk strategi penjagaan lahan dari bukan sebagai alat (means). Akhirnya, harus diluruskan bahwa
gangguan hama dan ternak, dengan membangun sistem pemagaran kerjasama, kemitraan, kolaborasi, aliansi, jejaring kerja, sebenarnya
dan penjagaan bersama yang sinergis. hanya alat (means), yang digunakan untuk mencapai “Agenda
Bersama” atau Tujuan Bersama (ends), dan bukan sebaliknya. Dalam
Oleh karena itu, apapun dan siapapun yang akan melakukan konteks konservasi alam di Indonesia, pola-pola ideal seperti ini
kerjasama, perlu bertanya pada diri sendiri apakah cukup alasan masih menjadi utopia. Inisiatif yang dimotori oleh Pusat Informasi
untuk bekerjasama, berkolaborasi, bermitra, berjaringan, dan Lingkungan Indonesia (PILI) dengan CIFOR tentang shared-
seterusnya. Apakah telah ditemukan dan atau disepakati tentang learning atau pembelajaran bersama antar pelaku kolaborasi
“Agenda Bersama”. Apabila dalam seri diskusi ternyata belum dapat pengelolaan kawasan-kawasan konservasi skala kecil, menjadi
ditemukan pijakan bersama, kesepahaman tentang mengapa harus fenomena yang menarik untuk dipelajari dan bahwa terbukti pola-
bekerjasama, maka sebaiknya harus dipikirkan ulang untuk pola kolaborasi pemerintah-lembaga swadaya masyarakat atau
berkolaborasi. Dalam konteks ini, visi bersama tidak atau belum kelompok swadaya masyarakat tersebut bukan sekedar utopia.***
ditemukan dan atau tidak cukup alasan untuk duduk dan bekerja sama.
Dalam kenyataannya, banyak pihak, baik secara halus maupun secara Email: inung_w2000@yahoo.com
Vol. 1 No.4 Tahun 2005
4
b u l e t i n
Tantangan Membangun
KOLABORASI
Oleh: Ir. Wiratno,M.Sc*)
Oleh banyak pejabat Ditjen PHKA diakui bahwa dana pemerintah dalam membangun kawasan-kawasan konservasi semakin
terbatas. Sementara itu, persoalan pengelolaan kawasan konservasi semakin kompleks dan rumit. Perubahan tata guna lahan
30 tahun misalnya telah membuat kawasan-kawasan konservasi dikepung oleh perkebunan skala besar (sawit) dan skala kecil
(karet, kopi), serta perambahan oleh masyarakat untuk kepentingan jangka pendek. Citra Landsat Pulau Sumatera 2006,
menunjukkan kawasan-kawasan hutan alam yang masih tersisa tinggal di kawasan-kawasan konservasi. Perubahan-
perubahan ini termasuk kebijakan khususnya selama otonomi daerah sejak 1998, telah pula merubah pola-pola pengelolaan
kawasan konservasi. Dengan keadaan yang demikian akan semakin berat untuk hanya bekerja sendiri tanpa mitra. Walaupun
sudah agak terlambat, dengan diterbitkannya Permenhut P.19 tentang Kolaborasi merupakan suatu langkah awal yang cukup
strategis. Yang kita perlukan jawabannya adalah apakah para pengelola
kawasan konservasi sudah mulai berubah mindset-nya?
Beberapa pemikiran tentang kolaborasi,
oleh karenanya, akan diulas pada
tulisan berikut ini.
Dalam membangun network, dapat ditempuh berbagai cara Setelah melakukan identifikasi simpul-simpul mana yang
dan tahapan. Pengalaman membangun network konservasi potensial dan strategis untuk bersama-sama membangun
alam di Yogyakarta, selama hampir satu tahun, memberikan network, langkah selanjutnya adalah mencoba mengetahui
beberapa pelajaran yang sangat berharga. Tahapan yang lebih dalam tentang kiprah dan potensi-potensi yang dimiliki
dapat dipertimbangkan untuk dilalui adalah sebagai berikut : masing-masing simpul. Melalui komunikasi yang asertif,
yang saling menghargai dan mendorong berkembangnya
1. Mengidentifikasi Simpul Network dialog yang setara dan mendalam, maka potensi dan pokok
perhatian masing-masing simpul itu akan terdata.
Yang dimaksud dengan simpul sebenarnya adalah para Komunikasi dapat dikembangkan melalui forum-forum
stakeholder itu. Identifikasi dapat dilakukan secara internal dialog bulanan atau berdasarkan topik-topik. Tidak selalu
oleh organisasi di mana kita bekerja. Data dan informasi pihak pemerintah yang mengundang. Setiap kesempatan di
sekunder akan sangat membantu pada tahapan awal ini. Data mana berbagai simpul berkumpul, kita dapat secara tidak
dan informasi sekunder dapat diperoleh Bisro Sya’bani
dari beberapa stakeholder yang telah
dikenal, baik melalui forum formal
maupun informal. Dari daftar stakeholder
itu, maka mulai dilakukan sortir untuk
mengelompokkan ke dalam beberapa
kelompok, berdasarkan minat dan
pengalaman. Dapat pula berdasarkan
level kepentingannya, misalnya ada yang
aktif di grass-root, ada yang membatasi
diri di tingkat advokasi, ada yang
keduanya.
Bisro Sya’bani
kerjasama di antara
komponen dalam
organisasi itu atau
dengan pihak luar
sehingga minimal dapat
menumbuhkan situasi
saling percaya. Tetapi
fakta menunjukkan tidak
mudah membangun
situasi yang seperti itu.
Diperlukan seorang
yang memiliki kapasitas
leadership yang cukup
u n t u k d a p a t
melakukannya.
Tantangan Kolaborasi
Secara teoritis,
membangun kolaborasi
dan jaringan seakan-
akan mudah. Namun
dalam kenyataannya,
banyak sekali hambatan
dan tantangan yang
harus diatasi. Pertama,
seringkali tahapan
Lokakarya wartawan peduli lingkungan yang diselanggarakan di Tangkahan, salah satu bentuk kolaborasi
positif untuk usaha penyelamatan lingkungan hidup.
membangun kolaborasi
Vol. 1 No.4 Tahun 2005
8
b u l e t i n
SEPERTI
INIKAH
NASIB
MASA
DEPAN
TANAH
YANG
KITA
K e h a t i Jejak Leuser
Dahulu, Gajah Asia (Elephas maximus) tersebar hampir di seluruh Asia dan Indocina serta menempati
berbagai macam habitat seperti hutan hujan tropis dan padang rumput. Saat ini populasi gajah Asia telah
menurun secara drastis dan saat ini jumlahnya hanya sepersepuluh populasi gajah Afrika. Di Indonesia,
gajah Asia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Populasi manusia yang semakin
meningkat secara langsung maupun tidak langsung telah merusak habitat satwa tersebut. Persaingan
yang ganas untuk mendapatkan ruang hidup (living space) mengakibatkan berbagai macam penderitaan,
fragmentasi kawasan hutan, hingga hilangnya penutupan hutan (forest cover). Konflik antara gajah dan
manusia, serta perburuan gajah untuk diambil gading dan kulitnya menjadi faktor utama mempercepat
laju kepunahan mamalia besar ini.
K e h a t i Jejak Leuser
23 tahun jumlah penduduk dunia akan menjadi dua kali lipat.
Masa hidup mamalia raksasa ini dapat mencapai 70 tahun, Di sinilah letak akar masalah konservasi gajah Asia
akan tetapi dalam kehidupan liar umurnya relatif lebih sebenarnya. Hutan sebagai tempat tinggal gajah telah
pendek. Masa hamil gajah berkisar 19 sampai 21 bulan berkurang menjadi hanya sebagian kecil saja dari hutan
dimana umur kedewasaannya baru dimulai pada usia 25 tempat tinggalnya dahulu. Hutan India yang dahulu sangat
tahun. Berat lahir seekor anak gajah dapat mencapai 90 kg luas, dimana gajah bebas berkeliaran, sekarang luasnya
dan pada usia dewasa berat tersebut akan terus bertambah kurang dari 20 % dari luas negara tersebut dan hanya
hingga 3000 kg dengan tinggi bahu 1,7- 2,6 meter. Mamalia setengahnya yang sesuai untuk hidup gajah. Di Pulau
yang gemar akan tanaman pisang, palma, jahe-jahean, jenis Sumatera, areal hutan yang sangat luas telah dibabat untuk
bambu, dan berbagai tumbuhan merambat ini dapat memberikan akamodasi bagi jutaan orang yang
memakan 200 kg hijauan selama tiga hari untuk tiap ditransmigrasikan. Sementara itu hutan-hutan di Indocina
seekornya. hancur karena peperangan yang berlangsung selama 30
tahun terus-menerus, terutama karena digunakannya defoliat
Mengapa Harus Optimis ? kimia, napalm, dan pemboman besar-besaran selama perang
Amerika-Vietnam.
Dalam acara Workshop Strategi Pengelolaan Gajah Sumatra
di Provinsi Riau dan Sumatra Utara, pada 19 Juli 2004 di 2. Fragmentasi Habitat Hutan
Pekanbaru, John Kenedi (waktu itu masih menjabat sebagai Fragmentasi habitat gajah sifatnya sangat merusak. Dalam
Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau) setiap pergantian musim, gajah-gajah melakukan migrasi
mengatakan bahwa pada tahun 1985 jumlah gajah di Riau untuk memperoleh areal makanan yang lebih baik. Saat ini
diperkirakan mencapai 1067 hingga 1617 ekor. Kemudian rute migrasi gajah telah terganggu dan kawanan gajah terus
menurun secara drastis sejak tahun 1999 sehingga pada tahun menerus harus menyingkir karena adanya pemukiman dan
2003 jumlahnya menjadi hanya sekitar 356 hingga 435 ekor tanah pertanian baru, dimana kedatangan gajah-gajah
saja. Dengan perkiraan itu jumlah Gajah Sumatera yang mati tersebut tidak diinginkan. Kalau gajah tersebut bermigrasi
di Riau antara tahun 1985 hingga tahun 2003 adalah sekitar melewati lahan pertanian (bahkan tidak jarang melewati
1261 ekor. Itu artinya jumlah rata-rata kematian gajah di Riau daerah pemukiman), maka akan terjadi konflik karena orang
mencapai 66 ekor setiap tahunnya, atau telah terjadi mencoba mengusir gajah-gajah itu dengan tembakan senjata
penurunan populasi gajah sekitar 77,95 % dalam kurun ataupun bomb crude. Gajah dan manusia pun terluka dan
waktu 19 tahun terakhir. Hal yang sama juga terjadi di tidak jarang ada yang terbunuh.
kantung-kantung habitat gajah lainnya, sehingga saat ini
Gajah Asia menjadi salah satu satwa terancam punah
(endangered). 3. Kematian Gajah Selama Penangkapan Liar
Beberapa faktor utama penyebab kematian gajah dapat Penangkapan gajah liar untuk dijinakkan telah menjadi
dirumuskan sebagai berikut: ancaman yang serius bagi populasi gajah liar tersebut karena
mengakibatkan menurunnya jumlah populasi yang serius.
1. Hilangnya Habitat Ratusan gajah ditangkap setiap tahunnya untuk keperluan
Saat ini sekitar 20 % populasi dunia hidup di dalam atau di industri kayu, sayangnya metode penangkapan yang kasar
sekitar sebaran Gajah Asia. Dengan tingkat kenaikan jumlah telah menjadi salah satu sebab utama tingkat kematian gajah
penduduk yang besarnya 3 % pertahun, maka dalam waktu yang tinggi.
Bisro Sya’bani
Kalau mereka punah, akankah kita melihat keceriaan seperti ini lagi?
K e h a t i Jejak Leuser
KANTONG SEMAR
Tumbuhan Pemakan Daging....
Oleh: Drs. Soeharto Djojosudharmo*)
Distribusi
K e h a t i Jejak Leuser
Suharto Dj
di bawah tutup dan di dalam
mulut kantong diproduksi.
Kelenjar ini berfungsi untuk
menarik perhatian serangga atau
binatang lain untuk mendekati
tumbuhan ini yang selanjutnya
akan dia 'makan'. Pada dinding
dalam kantong terdapat sejumlah
bulu, penulis menduga bulu-bulu
ini berfungsi sebagai alat peraba/
sensor. Sekali serangga (dan atau
binantang lain) hinggap di bibir
mulut kantong yang atraktif
tersebut, pasti akan tergelincir ke
dalam kantong, terbenam ke
dalam mangkuk bercairan kental
dan lengket, dan dia tidak akan
bisa keluar dalam keadaan hidup-
hidup. Kemudian di dalam
kantong itu juga, tumbuhan ini
mencerna binatang tersebut. Kita
dapat menemukan bahwa
Nepenthes ampullavia sejumlah besar kerangka
dijumpai di pegunungan Bukit Barisan terutama di daerah serangga dan binatang lain
Dairi, di tanah berbatuan yang tandus di antara pakis , dijumpai pada kantong, ini dapat membuktikan betapa
rumput dan ilalang. Nepenthes ampullaria dan Nepenthes efektifnya perangkap tersebut.
albo-marginta juga dijumpai di dekat pantai.
Dari pengamatan yang pernah penulis lakukan dan ditambah
Karakteristik dari beberapa referensi, setidaknya ada 68 jenis binatang
dapat terperangkap di dalam kantong, termasuk laba-laba
Kantong semar merupakan tumbuhan pemanjat atau besar dan kepiting. Ken Rubeli melaporkan, pada beberapa
menjalar. Daunnya berbentuk antara oval dan lanset, tunggal jenis Nepenthes juga dijumpai kerangka binatang berukuran
tidak bergerigi dan panjang tangkai berkisar antara 5- 10 cm. lebih besar, seperti katak, burung bahkan tikus. Walaupun
Bagian ujung daun (apex) mengalami pemanjangan, mula- begitu, menurut Rubeli juga, air pada kantong semar
mula bagaikan bangunan seperti cacing atau cambuk tersebut masih aman untuk dikonsumsi manusia.***
(disebut tendril) sepanjang antara 15 sampai 30 sentimeter,
bergantung pada jenisnya. Tendril ini berfungsi untuk *) Staf Balai TNGL Kantor Perwakilan Medan
memegang ranting dimana ia memanjat, selanjutnya tendril
ini menggelembung membentuk kantong dengan tudung
menyerupai tutup sebuah periuk.
Referensi :
Bentuk dari kantong pada tumbuhan kantong semar sangat
bergantung dari jenisnya. Pada Nepenthes. ampullaria POLUNIN, I. 1988. Plants and Flowers of Malaysia. Tien
kantong (pitcher)-nya berbentuk seperti periuk dengan Wah Press, Singapore.
panjang sekitar 10 cm dan garis tengah mulut kurang lebih 8
cm, sedangkan pada Nepenthes gracillima lebih menyerupai RUBELI, K. 1986. Tropical Rain Forest in South-East
tabung atau terompet dengan panjang sekitar 20 cm dan garis Asia: a Pictorial Journey. Tropical Press SDN-BHD,
tengah mulut ± 8 cm. Karena relatif berat bagi penyanggnya, Kuala Lumpur.
umumnya ujung daun (kantong/ pitcher) ini menjuntai
sampai tanah. Pada bagian luar kantong semar terdapat dua De WILDE. W.J.J.O. and DUYFJES, B.E.E. 1996.
baris bangunan seperti duri (gerigi) vertikal. Sampai saat ini Vegetations, Floristics and Plants Biogeography in
penulis belum dapat memahami apa fungsi dari bangunan Gunung Leuser National Park. in : Leuser a Sumatran
bergerigi ini. Bibir dari mulut kantong, biasanya warnanya Sanctuary (van Schaik C.P and Supriyatna, J. eds.)
cukup mencolok. Meskipun bentuk dan ukuran tudung atau Y.B.S.H.I. Depok.
tutup kantong sangat bergantung pada jenisnya, tetapi akan
selalu lebih kecil dari pada ukuran mulut kantong.
CRU Mobile:
Mobile:
Secercah Harapan yang Masih Tersisa
(Model Pemberdayaan Polhut)
Oleh: Subhan,S.Hut*)
Pada awalnya semua orang menganggap tidak ada lagi celah yang dapat dilakukan untuk menghentikan aktivitas illegal
logging dan permasalahan lainnya di Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Namun
berkat kejelian pihak FFI (Fauna & Flora International) dalam melihat situasi yang berkembang dan didukung oleh pendanaan
yang cukup, terbukalah sedikit celah yang memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan penangkapan di jalur-jalur keluar
kayu guna memutus mata rantai distribusi kayu dari dalam kawasan
Apa itu CRU? tersebut dengan membentuk satu unit khusus yang diberi
nama CRU (Conservation Response Unit).
CRU merupakan salah satu program yang ditawarkan FFI
untuk merangkul berbagai pihak dalam rangka penyelamatan CRU yang dibentuk pada awal tahun 2003 mempunyai
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan kegiatan yang bersifat preventif dan persuasif di dalam
memanfaatkan satwa gajah dalam kegiatan penanganan permasalahan. Observasi
operasionalnya. dan Monitoring merupakan bentuk
Dalam kegiatannya, selain melibatkan Balai kegiatan yang telah dilaksanakan oleh
TNGL, FFI juga melibatkan Balai Konservasi tim CRU. Dari kegiatan yang telah
Sumberdaya Alam Nanggroe Aceh dilakukan selama ini, tim CRU telah
Darussalam serta masyarakat di sekitar banyak mengumpulkan data tentang
kawasan hutan dan selanjutnya diharapkan permasalahan kawasan meliputi luas
kebersatuan ini menjadi salah contoh format kerusakan, jenis permasalahan, peta
kolaborasi yang ideal dalam penanganan “pemain” setiap permasalahan serta
permasalahan kawasan pelestarian. data lain yang diharapkan dapat
membantu pihak-pihak terkait dalam
menyelesaikan setiap permasalahan,
Sejarah CRU terutama permasalahan kawasan.
Kerusakan kawasan hutan di Seksi Pada tahap awal pihak FFI mencoba
Konservasi Wilayah IV Besitang yang telah melaksanakan program melalui CRU
mencapai ± 43.000 ha (data citra landsat ini pada 2 (dua) lokasi, yaitu di Resort
tahun 2002) dimana ± 21.000 ha diantaranya Sekoci dan Tangkahan. Pengambilan
sudah berada pada kondisi kritis, lokasi pada kedua resort tersebut
mengundang keprihatinan banyak pihak didasarkan pada kenyataan bahwa
terutama organisasi yang bergerak di bidang konservasi. pengelolaan manajeman permasalahan pada kedua resort
Salah satu pihak yang peduli dengan keadaan tersebut adalah tersebut dapat dikatakan sebagai dua sisi yang saling bertolak
Fauna & Flora International (FFI), sebuah Lembaga belakang, Pada satu sisi, Resort Sekoci merupakan resort
Swadaya Masyarakat yang berbasis pada konservasi dengan berbagai macam permasalahan, baik permasalahan
lingkungan hidup. Dan didasari pada kondisi kawasan TNGL kawasan maupun secara manajerial, dan di sisi lain resort
yang semakin memprihatinkan itulah, FFI mencoba mencari Tangkahan merupakan salah satu resort percontohan dalam
format penyelesaian terhadap berbagai permasalahan hal pemberdayaan masyarakat.
Vol. 1 No. 4 Tahun 2005
15
b u l e t i n
Setelah berjalan selama 1 (satu) tahun di Resort Sekoci, dan Dalam kegiatannya di lapangan, FFI secara aktif juga
aktifitas Tim CRU di kawasan itu dianggap telah berjalan melibatkan personel Balai TNGL. Pada tahap awal, FFI
optimal meskipun belum memperoleh solusi yang konkrit merekrut 3 (tiga) orang polhut TNGL untuk bergabung
terhadap segala permasalahan di sekitar resort tersebut, serta dengan CRU Mobile, dan ditambah lagi perekrutan 1 (satu)
belum dapat menghentikan laju kerusakan TNGL di orang Polhut TNGL lagi selang 3 bulan kemudian.
kawasan tersebut; pada awal tahun 2004 pihak FFI Penentuan personel balai TNGL untuk dapat bergabung
menghentikan program ini. Namun kegiatan di Tangkahan dengan Tim CRU Mobile ini didasarkan atas kemampuan,
tetap jalan terus. track record (bersih dan jujur) serta rekomendasi dari Balai
TNGL.
Namun, berhentinya kegiatan Tim CRU di Sekoci tidak
berarti berhenti juga komitmen FFI untuk perang terhadap Keberadaan jumlah personil yang hanya 4 (empat) orang
perusakan kawasan TNGL. Pihak FFI mulai memikirkan dirasakan masih jauh dari cukup untuk meng-handle
alternatif solusi untuk menurunkan intensitas kerusakan, permasalahan illegal logging yang sudah cukup
karena di satu sisi bila hanya mengandalkan kegiatan CRU mengkhawatirkan, utamanya di Wilayah Besitang.
yang selama itu hanya bersifat preventif dan persuasif, maka Sehingga didasarkan atas keterbatasan jumlah personil
tidak banyak yang bisa diharapkan. Dan di sisi lain, bila tersebut pada bulan Maret dan April 2005 ada penambahan
dilakukan kegiatan represif (terutama tanpa persiapan dan 3 (tiga) orang personil lagi masing-masing 2 (dua) orang
pertimbangan yang matang) juga agak sulit Polhut dan 1 (satu) orang personel sebagai back up proses
implementasinya mengingat banyak faktor yang perlu hukum.
dipertimbangkan terutama keberadaan pengungsi yang
selalu dikaitkan dengan isu kemanusiaan serta semakin
kuatnya jaringan kerja illegal logger. Metoda Kerja
Kegiatan penangkapan di luar kawasan hutan melalui jalur- Metoda kerja yang diterapkan Tim CRU Mobile sama persis
jalur keluar kayu merupakan alternatif solusi yang saat ini dengan metode yang digunakan dalam tugas rutin Polhut.
Secara garis besar cara kerja Tim
CRU dibagi ke dalam 3 tahapan
Subhan
Ujang Wisnu B
bisa jadi bumerang kalau dilakukan
tidak dengan hati-hati dan penuh
pertimbangan. Oleh karena itu, FFI
melalui Tim CRU berpikir bahwa
apabila kegiatan represif dianggap
tidak populer, bentuk kegiatan lain
harus disiapkan dengan disesuaikan
kebutuhan lapangan plus
mempertimbangkan masukan para
pihak dan program TNGL ke depan.
Diharapkan kegiatan bentukan
tersebut dapat bersifat edukatif (dan
tentunya persuasif) dengan
memberdayakan masyarakat di
sekitar kawasan.
Pemberdayaan Polhut
Email: sbn20_03@yahoo.com
Rencana Ke Depan
Cerpen LSM
belum dipasang. Segera ia mencari file tempat foto yang “Nah, untuk ini saya ingin bertanya kepada
diperlukan itu tersimpan. Begitu ketemu dan mulai bapak-bapak dan ibu-ibu. Coba bapak Tito ini,” Toto
memeriksa foto mana yang diperlukan, tanpa ketahuan, menunjuk Pak Tito yang sejak tadi terbengong-bengong.
Tati sudah ada di samping belakangnya ikut melihat foto- Session ini bebas rokok, maksudnya, bebas merokok.
foto yang nampak pada thumbnail-nya. Pak Tito sudah menghabiskan satu bungkus lebih tiga
Ia baru sadar ada orang lain di sebelahnya, Tati, batang Jarum Coklat sejak session pertama. Rokok yang
dari divisi Learning Center juga. tengah ia hisap sekarang pun tinggal seperempat lagi.
“Ini foto-foto di mana To? Rasanya aku kenal. Sambung menyambung.
Nah! Malah ada aku, tuh,” Kata Tati. “Selama ini mekanisme pengelolaan sumber
“Kamu bikin kaget aja. Ini kan foto-foto waktu daya di desa Bapak gimana, Pak? Coba jelaskan..” tanya
kita ngadain network meeting di Bodogol Convention Toto. Pak Tito terlihat agak terperanjat.
Center.” “Maaf Pak, di desa kami tak ada mekanisme.
“Masak ini BCC sih? Bukan ah, ini kan kantor Mungkin di desa lain. Yang mengelola ladang dan
LATIVI [Labuan Timur Integrated Verification menggarap lahan Persetani [Perusahaan Seluruh Hutan
Institution]” Indonesia] ya kami-kami ini lah. Tapi di antara kami tak
“Ah kamu. Liat baik-baik dong.” ada yang bernama mekanisme.”
“O, iya. Habis banyak foto yang gak jelas sih. “Bukan orang, Pak Tito. Maksud saya cara.
Yang buram-buram gitu di-delete aja. Kan gak kepake Cara pengelolaannya bagaimana. Apakah secara
juga,” saran Tati. kolaboratif atau masyarakat saja? Atau Persetani saja?”
“Aku mau upload dulu foto untuk presentasi. Pak Tito tampak bingung.
Belum ketemu,” jawab Toto. “Tadi malam di TV ada tayangan tentang
“Kalo gak ada di situ ya di-browsing di file lain kegiatan para petani penggarap lahan Persetani di desa
lah. Atau mungkin fotonya belum kamu transfer.” Sukahawa, ada yang nonton?” Toto mencoba
“Sudah. Aku ingat betul kok.” menjelaskan dengan ilustrasi. “Tadi malam jam delapan
di acara 'Around the Archipelago' ada yang nonton?”
Foto yang dicari akhirnya ketemu juga. Toto Toto bertanya lebih keras.
segera memasangnya di bagian presentasi yang masih “Jam delapan saya nonton 'Friday Famous' di
dikosongkan untuk foto. Setelah merapihkan beberapa Matre TV,” Ibu Tati menimpali.
bagian lagi, segera men-save presentasi itu dan “Saya kebetulan sedang nonton 'Headline News'
mematikan notebook-nya. di TV 9,” kali ini Bu Tuti ikut nimbrung.
“Session dua sudah abis. Selesai break nanti “Wah, kalo jam delapanan mah waktu saya
giliranku, kamu ngurusin apa nanti?” menyimak acara 'Market Review'. Acara selanjutnya juga
“Aku kan lagi in charge di supply data dan saya suka 'Inside Celebrities',” Bu Teti tak mau kalah
informasi. Kita ketemu abis break ashar ya?” dengan gaya bicara ibu menteri. “Di acara Market
“Boleh.” Review ada soal shareholder, sedangkan kita kan
stakeholder. Jadi penting untuk kita.”
“Kalo saya sih paling demen acara 'Indonesia
*** Recovery'. Jadi banyak pengetahuan gito loh!” kali ini si
Toti, pemuda tanggung itu, yang nyeletuk.
Toto senang karena ternyata moderatornya Tita, “Sudah! Sudah!! Kita bukan sedang ngomongin
yang sering membantunya meng-update data-data Check and Re-check atau Indonesian Idol. Maksud saya,
tentang 'manajemen kolaboratif' [pengelolaan bersama] dari tayangan 'Around the Archipelago' itu kita bisa tahu
dalam pengelolaan [manajemen, juga] sumber daya 'manajemen kolaboratif' sumber daya alam itu
alam. Ia cepat menangkap maksud para penanggap atau bagaimana?” Toto jadi agak sewot.
penanya dan pintar mengarahkan diskusi sehingga Tita yang pandai mengarahkan itu ternyata tak
komunikasi terarah dan menghasilkan output [hasil juga] ada di kursi moderator. “Kemana bu Tita?” tanya Toto
yang jelas. kepada floor.
Singkat saja Tita memperkenalkan dirinya tanpa “Tadi ke toilet Pak,” jawab seorang Ibu.
ia harus menuliskan CV-nya. Saking sering Terpaksa Toto melanjutkan tanpa bantuan
memoderatorinya, Tita sudah hapal CV Toto. moderator.
Dengan sedikit anggukan kepala dan “Manajeman kolaboratif itu menjamin
sesungging senyum, Toto memulai: keamanan sumber-sumber daya alam, terutama hutan.
“Selamat siang bapak-bapak dan ibu-ibu. Bapak-bapak dan ibu-ibu tahu apa akibatnya kalau hutan
Sebelum kita memulai materi ini, kita perlu terlebih tidak aman? Terus dirambah? Terus ditebangi? Pak Tito,
dahulu 'menyamakan persepsi' tentang posisi kita, warga coba jawab, apa akibatnya?” Toto menunjuk Pak Tua ini.
desa Sukaharta, dalam 'manajemen kolaboratif' sumber “Kalo hutan dirusak Pak, otomotif terjadi banjir
daya alam. Masyarakat desa Sukaharta adalah salah satu dan emosi, Pak.”
stakeholder utama dalam manajemen kolaboratif itu. Ini “Otomatis erosi, maksud Pak Tito?” Toto
'paradigma' yang kita anut.” meluruskan.
Vol. 1 No. 4 Tahun 2005
19
b u l e t i n
P o t r e t Jejak Leuser
“Kalau disuruh memilih, saya lebih senang tinggal dan hidup di hutan daripada
tidur di ranjang empuk hotel. Selain memang dasar saya suka berpetualang, lebih
dari itu, di lapangan (baca: hutan-red), saya banyak memperoleh kedamaian dan
ketenangan batin. Saya lebih suka mendengarkan nyanyian jangkrik daripada
lantunan lagu seorang penyanyi”.
SELAMAT
Pendekar dari Gunung Leuser
Selamat, nama yang singkat namun tidak sesingkat peralatan para pendaki Leuser. Keinginan menjadi porter itu
pengalamannya di lapangan saat dia mengabdi pada juga didasari bahwa dia ingin sekali melihat dari dekat
lingkungan di Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Puncak Leuser, sedangkan dia tidak mempunyai dana yang
Meskipun masih jauh dari usia pensiun, namun cukup untuk naik ke puncak tersebut sebagai pendaki. Alasan
pengalamannya di lapangan, khususnya di dalam kawasan lain yang dikemukakan Selamat adalah pada saat itu ada
TNGL wilayah Kabupaten Gayo Lues tidak terbantahkan anggapan dari masyarakat bahwa Puncak Leuser tidak
lagi. Pengalaman 'menangani' kawasan konservasi di lereng mungkin dicapai oleh siapapun juga. Dia ingin mematahkan
Leuser tersebut telah dilakoni oleh bapak tiga anak ini anggapan itu…
semenjak tahun 1986, saat diterima sebagai pegawai honorer
di Balai TNGL. Oleh Selamat, dua kali menjadi porter dirasakan sudah cukup
untuk 'naik pangkat' menjadi seorang pemandu. “Sebagai staf
Setelah sembilan tahun bergelut sebagai pegawai honorer, Balai TNGL saya ingin sekali mengenalkan dan menjelaskan
akhirnya anugerahpun datang, suami dari Ida Lisma ini kawasan saya ke para pendaki, selain juga saya ingin sekali
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil secara utuh. Saat ini melihat hal-hal yang tersembunyi di balik luasnya taman
Selamat tercatat sebagai anggota Satuan Polhut Reaksi Cepat nasional tempat saya bekerja ini”, demikian Selamat
(SPORC) Macan Tutul, satuan elite Polhut yang ber-base memberi alasan mengapa tertarik sebagai pemandu. Selamat
camp di Medan, Sumatera Utara. “Sebelum masuk SPORC yang juga sering memandu pendakian di Gunung Kemiri dan
ini saya masih bisa berladang di sekitar rumah, tapi sekarang Gunung Mamas Aceh Tenggara ini bertutur, “Untuk mendaki
saya lebih banyak di Medan, jadi tidak sempat lagi Leuser kita harus mempunyai mental dan fisik dan mental
bertanam”, demikian ungkap Selamat saat ditanya kesibukan yang kuat karena untuk mencapai puncak butuh perjalanan
lain selain menjadi PNS. yang panjang dan maha berat. Beda dengan gunung-gunung
lain, dibutuhkan waktu rata-rata seminggu untuk mencapai
Sebenarnya ada bagian yang menarik dari Selamat yang akan Puncak Leuser”. Ketika ditanya mengapa begitu lama untuk
diungkap di rubrik “Potret” ini, yaitu tentang karirnya mencapai Puncak Leuser yang tingginya tidak sampai 4.000
sebagai pemandu pendakian Gunung Leuser, simbol utama mdpl ini, Selamat memberi alasan, “Untuk mencapai
TNGL. Selama karirnya sebagai pemandu, pria kelahiran Puncak, selain jalur yang sangat terjal dan harus melewati
Blangkejeren 21 Juli 1964 ini telah berhasil menapakkan hutan lumut yang sangat lembab, para pendaki harus
kaki di puncak tertinggi gunung tersebut sebanyak 14 kali! melewati dulu gunung-gunung yang mengelilingi Gunung
Dimulai dari tahun 1991 sampai dengan Leuser ditutup pada Leuser”.
tahun 1999 karena konflik di Aceh.
“Adakalanya saya merasa sangat takjub ketika berada di atas,
Karir Selamat di Leuser dimulai dari kondisi bahwa gaji dengan leluasa saya bisa melihat betapa cantiknya taman
sebagai tenaga honorer tidak cukup untuk menghidupi anak nasional ini. Saat senja datang, saya bisa melihat matahari
dan istrinya. Dia berusaha mencari celah penghasilan lain tenggelam Pantai Blang Pidie dan Aceh Selatan. Saat-saat
diluar gaji sebagai seorang honorer, dan kebetulan ada itulah yang paling saya suka”. Ketika ditanyakan hal yang
tawaran untuk menjadi porter sebuah pendakian Leuser. paling tidak disukai ketika memandu, dengan cepat Selamat
Gayungpun bersambut, awalnya hanya berbekal kantong menjawab, “Saat dihantam hujan badai dan kabut, hingga
plastik untuk membawa perbekalan pribadinya (karena masakpun menjadi tidak sempat lagi”.
belum mampu membeli ransel) dan bayaran yang hanya
sebesar Rp 75.000,- dia mulai membawakan barang dan Dalam karirnya sebagai pemandu, sudah banyak tim
P o t r e t Jejak Leuser
pendakian yang pernah dia pimpin, antara lain: Mapala UI, lapangan, tepatnya di Pos Resort Marpunga. Saat berada di
Mapala Atmajaya Jakarta, Mapala IKJ, Mapala STIK, lapangan, kegiatan yang dilakukannya adalah pendekatan-
Pecinta Alam SMA 1 Mataram (dengan pendekatan kepada masyarakat tentang
tim ini, Selamat menciptakan rekor yang manfaat memelihara hutan di
Bisro Sya’bani
cukup fantastis, hanya dalam waktu 6 Kabupaten Gayo Lues. Kegiatan seperti
hari mereka bisa naik-turun Leuser), dan itulah yang secara rutin (bahkan ketika
selebihnya tim-tim dari negara asing. masih jadi honorer) dilakukan Selamat
Sampai pada saat terjadinya konflik selama berada di lapangan dengan tanpa
Aceh, tahun 1999 Gunung Leuser ditutup pamrih. “Kehidupan Saya banyak
untuk pendakian, sampai sekarang dibantu oleh alam, maka saya harus
Selamat pelum pernah lagi naik Leuser. membalas budi kepadanya. Saya harus
Harapan besar untuk Leuser ke depan mengajak orang-orang di sekitar hutan
hanya dua; aktifitas pendakian Leuser untuk tidak merusak hutan”. Selamat
yang beberapa waktu yang lalu sudah memang juga sering menjadi pemandu
dibuka kembali, dapat berjalan dengan bagi peneliti-peneliti alam. Dan dari
lebih tertib, atau paling tidak seperti saat memandu itu dia memperoleh tambahan
sebelum ditutup. Dan untuk para penghasilan untuk menghidupi
pendaki, bawalah sampah kembali turun keluarganya.
dan dibuang pada tempatnya.
Dalam kesehariaannya Selamat yang
Diluar sebagai pemandu pendakian bersahaja ini juga dikenal sebagai sosok
Leuser, Selamat dikenal sebagai pegawai yang tidak suka neko-neko dan selalu
yang ulet dan berjiwa petualang. Dia patuh pada perintah pimpinan. Dia
mengaku, lebih suka hidup di hutan daripada di kantor. berujar, ”Boleh tanya dengan siapa saja, saya sudah
Sebelum masuk SPORC, dalam satu bulan, dia hanya mengalami pergantian sembilan Kepala Balai TNGL, dan
berkumpul dengan keluarga selama kurang lebih sepuluh saya belum pernah sekalipun menolak perintah. Kapanpun
hari saja, selebihnya dia menghabiskan waktu di lapangan dipanggil ke lapangan saya selalu siap karena saya memang
(hutan). “Kalau satu hari saya tidak ke lapangan, rasanya ada cinta hutan.”. Sebuah keteladanan yang saat ini masih sangat
yang mengganjal di hati. Saya merasa ada satu tugas yang jarang ditemukan.
belum saya kerjakan”.
Pada akhir percakapan, Selamat berpesan,” Hutan kita tuh
Bahkan pada saat konflik Aceh meletus, di saat orang-orang tinggal sedikit, mari kita jaga sama-sama. Jangan kita
beramai-ramai mengungsi, dia sekeluarga tetap berada rusak….”. - ban -
P o t r e t Jejak Leuser
membuat tenda, masak seadanya, serta evaluasi perjalanan Menuju Bivak II, diiringi hujan deras dan angin yang
seharian tadi. Akhirnya, ketika malam mulai semakin kencang kami kembali melewati savana dan hutan lumut
kelam, kamipun tidak kuasa menahan kantuk… dan yang naik turun. Kami tetap berusaha tegar dan terus
tidur…. berjalan meskipun muka kami semakin parah terkelupas,
bibir pecah-pecah dan sariawan, fisik kami semakin
Hari kedua lemah...
Jam 08.00, setelah sarapan seadanya, dengan diiringi Keberadaan Bivak III tidak kami pedulikan lagi, dalam
gerimis, kami berangkat menuju Pepanyi. Selama keadaan yang semakin payah kami harus terus berjalan
perjalanan rintangan hebat mulai kami hadapi, dari 4 jam berjalan dan terus berjalan untuk mencapai lokasi tempat
perjalanan naik turun hutan lumut, setengahnya harus sebagai camp kami. Akhirnya, di hari yang sudah gelap,
kami lakukan dengan cara merayap di bawah akar Pohon pada ketinggian 2.800 mdpl kami menemukan lokasi
Geseng dalam situasi hujan lebat dan kabut tebal. Setelah 4 untuk kami bermalam dan beristirahat. Waktu sudah
jam 'bertempur', akhirnya kami berhasil juga mencapai menunjukkan jam 19.00, di tengah udara dingin yang amat
Papanyi (2.260 mdpl). Di bawah hujan yang semakin sangat, kami tetap harus membangun tenda darurat di
deras, kami masih sempat mengisi energi dengan makan lokasi itu. Kami sama sekali sudah tidak berselera lagi
biskuit. Dan lagi-lagi kami harus memaksakan diri untuk untuk makan di malam itu. Dengan bibir yang semakin
sampai ke pintu gerbang savana pada sore itu juga. sakit, saya paksakan diri untuk mengisi perut hanya
Alhamdulillah, setelah lima jam berjalan pelan dan diiringi dengan minum air hujan…
hujan yang malah semakin deras, kami tiba juga di pintu
gerbang savana untuk nge-camp. Di bawah hujan deras Hari kelima
kami mendirikan tenda. Maksud hati untuk langsung Lega rasanya pagi itu, cuaca begitu cerah… Namun, kami
beristirahat setelah seharian dihajar alam, tapi hujan yang terlambat untuk berangkat melanjutkan perjalanan karena
sangat deras disertai badai serta badan yang sangat harus packing ulang. Semua baju basah, dan terpaksa
kedinginan membuat kami tidak bisa tidur. Untuk sekedar sebagian besar kami tinggal untuk meringankan beban.
ngobrol saja, lidah ini terasa sangat kelu, meskipun perut Jam 09.00 kami baru bisa berangkat menuju Puncak Loser
melilit, rasanya makan tidak enak. Kami benar-benar dengan melewati Krueng Kluet II. Kembali kami
merasa kecapekan…. Dan akhirnya tanpa sadar, matahari menyusuri hutan lumut yang basah dan pada tengah hari
ternyata sudah menyembul dari ufuk timur. Tadi malam kami sudah sampai savana (3.100 mdpl). Dan di situ pula
ternyata kami tertidur juga. kami dirikan camp. Kami tinggal semua barang kami di
camp itu, yang kami bawa hanya mantel hujan, senter dan
Hari ketiga makanan kecil.
Setelah persiapan sana-sini (termasuk meninggalkan bekal Puncak Loser tinggal selangkah lagi... Kami semakin
untuk pejalanan pulang yang kami gantung di pohon), bersemangat meskipun hujan kembali turun! Dengan jalan
diiringi cuaca yang cerah, jam 08.00 kami mulai kami yang sangat pelan, lemah dan kedinginan akhirnya
menyusuri savana, melanjutkan perjalanan kami. sebuah kebanggaan itu sampai juga……. Tepat jam 16.30,
Panassss….! di bawah hujan yang amat sangat deras dan jarak pandang
Untung saja kami melewati empat hulu Sungai Alas, kami yang hanya 2 meter, kami berhasil menginjakkan kaki di
bisa mandi dan makan siang di situ. Total, seharian penuh Puncak Loser..!! Kami berteriak lantang di puncak 3.404
kami menyusuri savana yang sangat panas itu hingga meter itu..!! Kami berangkulan, Roy dan teman-teman IKJ
akhirnya jam 17.00 kami sampai di atas Kolam Badak. Di menangis haru. Kami sudah acuh dengan kesakitan yang
tempat itu kami mendirikan camp karena selain angin mendera badan kami, kami tidak peduli lagi bahwa kami
tidak kencang, juga banyak tersedia air di lokasi itu. tidak akan sampai ke Puncak Leuser, yang ada di dada
kami saat itu adalah kebahagiaan yang luar biasa. Dengan
Hari keempat deraan alam yang begitu hebat, kami tetap berhasil berdiri
Perjalanan kami lanjutkan menuju Bivak I, II dan III. Di di atas puncak utara Sumatera…!!!
Bivak 1 kami menemukan banyak sekali kaleng-kaleng
(yang katanya) bekas peninggalan ekspedisi Leuser
pertama oleh Belanda. Dari Bivak I, Puncak Leuser .........
kelihatan sangat dekat. Tapi ternyata untuk menuju kesana
kami harus jalan memutar sampai 2 hari lamanya karena
jarak terdekat sangat sangat dan sangat terjal yang tidak Hari kesembilan kami sudah kembali menginjak kota kecil
mungkin dilalui. kelahiran saya, Blangkejeren. Bahagia, bangga…! - ban -