You are on page 1of 15
Hipotesa, Vol. 2.No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 PROBLEM REFORMASI SISTEM KEPARTAIAN (Antara Keterbukaan Politik dan Stabilitas Pemerintahan) OLEH ‘WAHAB TUANAYA. ABSTRAKSE ‘Agenda penyederhanaan sistim kepartaian di tanah air, beberapa bulan yang laln hangat menjadi perbincangan publik. Apalagi terbersit kabar bahwa, penyederhaan jumlah partai politik itu demi menciptakan stabilitas politik domestik. Pasalnya sistem multi partai, bukan merupakan alternativ yang efektif dan efesien dalam menopang penyelengaraan sistem politik ditanah air. Oleh karena it dalam rangka penyederhanaan partai politik, muncul wacana agar elektrol treshold partai politik ke angka 5% (lima persen). Asumsinya jika angka threshold dinaikan, maka akan secara alamiah mengurangi jumlah partai politik, sebab partai politik yang tidak mencapai elektrol threshold maksimal, tidak diperkenankan mengikuti Pemihi. Sayangnya, agenda penyederhanaan partai politik itu, dikuatirkan akan mengarab pada model partai tunggal dominan layaknya sistem kepariaian di era Orde Baru, yang menyisahkan dominasi satu partai politik. Meskipun dalam sistem ini terdapat lebih dari satu partai, tapi hanya menyisabkan sate partai politik yang dominan, yang secara terus-menerus berhasil mendapatkan dukungan untuk berkuasa, Sedangkan pattai-partai lain tidak mampu menyaingi partai dominan, walaupua terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilu, Kata Kunci: Reformasi Sistem Kepartaian, Keterbukaan Politik dan Stabilitas Pemerintahan A. Pendahutuan: Tatkala berkwasanya Orde Bani, rakyat begitu terpasung dengan regulasi pemerintahan Socharto, yang tidak memberikan keleluasan bagi elit politik untuk membentuk partai politik, Regulasi ini tak pelak menimbulkan ketidakpuasan para politiius ditanah air, yang akbirya memprotes sistem kepartaian di era Orde Baru. Olek karen itu empat tabun sebelum jatubya rezim Sochario pada 18 Mei 1988, Sri Bintang Pamungkas melaluikan protes terhadap pemerintaban Socharto dengan mendeklerasikan berdirinya Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pada Mei 1996 (RE. Elson, 2005). Wahab Tranaya, Dosen FISIP Unpaui, & SiafPengajar STIA ALAZKA -Ambort 1 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Konsekuensi dari pendirian PUDI tersebut, akhirnya harus dibayar mahal oleh Sri Bintang Pamungkas, dimana ia terpaksa dijebloskan dalam lembaga pemasyarakatn (LP) Cipinang dengan tuduhan kegiatan-kegiatan inskonstitusional. (RE. Elson, 2005). Peristiwa politik ini mengindikasikan begitu kuatnya aspirasi rakyat yang hendak mendirikan partai politik baru, sebagai alternatif aspirasi politik ditengah-tengah sistem penyederhaan partai politik di tanah air, yang terlampau kaku dan memasung aspirasi politik rakyat Pasca jatulmya Seoharto, dan terjadinya transformasi pemerintahan kepada B..Habibie, yang diikuti dengan semakin terbukanya kran demokrasi. Aspirasi rakyat untuk mendirikan partai politik diresponi secara positif oleh pemerintahan Habibie. ‘Untuk meresponi aspirasi rakyat tersebut, dibuatlah regulasi baru melalui Undang- Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999, yang memudahkan pendirian partai politik. Konsekuensi dari regulasi ini, maka partai politik-pun tambuh bak jamur di smusim hujan, yang mencapai 184 partai politik. Dari jumfah itu, 148 mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman (Depkeham); dan 141 diantaranya memperoleh pengesahan sebagai partai politik. Dari jumlah tersebut, setelal inelalui seleksi, yang memenuhi syarat ikut Pemilu 1999 hanya 48 partai politik. (http://www.tempointeraktif.com, 2004) Menurut Romli (2006), jumlah partai politik yang berdiri dan ikut pemilu tersebut, bagaimanapun, menunjukan suatu jumlah yang sangat banyak. Banyaknya partai politik memang merupakan cermin dari struktur masyarakat. Bila masyarakat bersifat hetrogen dalam segala hal, termasuk idiologi dan aliran politik, maka akan tercermin dalam pembentukan organisasi kekuatan politik, termasuk didalamnya partai politik, Partai politi, dengan demikian merupakan perwujudan dari idiologi-idiologi atau aliran- aliran politik yang ada dalam masyarakat Meskipun Pemilu 1999 merupakan era multipartai babal kedua setelah Pemilu 1955, namun tidak menyisihkan persaingan idiologi yang berdampak pada memburuknya stabilitas politi domestik di tanah air. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam Pemihi 1955, yang sarat dengan_konflik idiologi. Dimana terjadi rivalitas politik antara PNI dengan Masyumi, PSI dengan PNI dan rivalitas politik antara Wahab Twanay, Dosen FISIP Unpati, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 ‘Masyumi dengan PKI. Rivalitas politik ini kemudian berdampak pada jatuh bangunnya kabinet silih berganti dan berimplikasi negatif terhadap diabaikannya pembangunan di tanah air.( Panlain, Latuconsina, 2004), Tapi tidak berbeda jauh dengan era Socharto yang tidak menyukai model banyak artai, di era Soekarno sebenamya kurang suka tethadap model banyak partai. Di dalam pidatonya tanggal 28 dan 30 Oktober 1956 ia menyatakan agar para pemimpin partai bermusyawarah untuk menguburkan partai-partai sebab banyaknya partai menyebabkan pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Soekamo menyebut hal itu sebagai “penyakit kepartaian". (Nur Syam, 2007) ‘Terlepas dari itu, akhir-akhir ini perhatian kita tersita pada bergulimya rencana penyederhanaan sistem kepartaian di tanah air, yang ramai diberitakan media masa lokal daa nasional, Rencana penyederhanaan ini hadir tatkala draf rancangan undang- undang (RUU) tentang partai politik dan pemilu anggota legislativ yang disusun Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terlampau memberatkan partai politik baru. Tak pelak rencana inj berdampak pada perdebatan menyangkut perln tidaknya penyederhanaan sistem kepartaian di tanah air. Bagi mereka yang menyetujui penyederhanaan sistem kepartaian, akan menilai bahwa, banyaknya partai politik menyebabkan partai sulit mencapai mayoritas dan sulit menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh Karena itu melalui ketentuan electoral threshold diharapkan akan terjadi penyederhanaan jumlah parpol secara alamiah. Dengon begitu, partai akan mudah mencapai suara mayoritas sehingga stabilitas alan tertata dengan baik. (http://www pikiran-rakyat.com, 2006). Sementara bagi mereka yang tidak menyetujui penyederhanaan sistem kepartaian, akan menilai bahwa rencana itu hanya membatasi aspirasi rakyat untuk membentuk partai politik baru, dimana hal ini berlawanan dengan semangat keterbukean yang bergulir seiring dengan reformasi di tahun 1998 lalu, Dari pro-kontra ini, memperlihatkan bahwa reformasi sistem kepartaian kita, menyisihkan harapan akan tuntutan keterbukeau politik dan stabilitas pemerintahan. Walab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon 3 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 B. Permasalahan Bertolak dari uraian singkat tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan menyangkut Reformasi Sistem Kepartaian, Upaya Mencapai Pertumbuhan Demokrasi yang Lebih Efisien dan Efektif, Guna memperoleh fokus pembahasan yang lebih spesifik, maka pembabasan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar, antara lain; @ Bagaimana problem reformasi sistem kepartaian ? 4) Bagaimana posisi sistem kepartaian saat ini dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik ? 6) Bagatmana ide untuk melakukan reformasi sistem kepartaian ? C. Pembahasan 1, Problem Reformasi Sistem Kepartaian Akhir-akhir ini perhatian kita tersita pada bergulirnya rencana penyederhanaan sistem kepartaian di tanah air, yang ramai diberitakan media masa lokal dan nasional. Reneana penyedethanaan_ ini hadir tatkala draf RUU tentang partai politik dan pemilu anggota legislativ yang disusun Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terlampau memberatkan partai politik baru, Tak pelak rencana ini berdampak pada perdebatan menyangkut perlu tidaknya penyederhaan sistem kepartaian di tanah air. Namun sebenarnya, perdebatan menyangkut perlu tidaknya penyederhanaan sistem kepartaian tersebut, disebabkan draf RUU tentang partai politik dan pemilu anggota legislativ yang disusun oleh Depdagri beberapa waktu tang lalu, mensyaratkan bahwa partai politik sebagai badan hukum dimana untuk mengikuti pemilu lebih berat ketimbang saat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Dalam draf itu disebutkan, untuk partai politik dapat disahkan sebagai badan hukum_ oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumandan), setiap partai politik disyaratkan memiliki kepengurusan minimal di 2/3 jumlah provinsi, 75. persen kabupater/kota, dan separuh kecamatan. Partai politik juga harus menyiapkan deposit dan Rp S milyar, dan untuk menjadi peserta pemilu, partai politik mesti memiliki pengurus di seluruh witayah provinsi, 75 persen kabupatew/kota, dan memiliki anggota 1/1000 jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota. Wahab Twanaya, Dosen FISIP Unpatt, & StafPengajar STIA ALAZKA - Ambon 4 Bipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Draf RUU itu, tentu akan semakin menyulitkan partai politik baru, sebab mereka akan sulit memenuhinya. Sehingga yang diuntungkan adalah partai politik besar, karena mayoritas partai politik besar dapat memenuhi persyaratan tersebut, Hal ini didukung dengan mapannya infrastruktur yang dimiliki partai politik besar. Oleh karena itu, regulasi ini bukan hanya dalam Kkerangka menyederhanakan jumlah partai politik di tanah air, tapi merupakan upaya dari seleksi alamiah partai politike melalui regulasi undang-undang partai politi yang baru. Sayangaya upaya penyederhanaan sistem kepartaian itu, dikuatirkan akan mengarah pada model partai tunggal totaliter layaknya sistem kepartaian di era Orde Baru, dimana didalamnya terdapat lebih dari satu partai, tetapi terdapat satu partai besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk memobilisasi_masyarakat dan mengesahican kekuasaannya, sedangkan partai-partai lain kurang dapat menampitkan diri karena nang gerak dibatasi penguasa. (Ramlan Surbakti, 1992). Misalnya pada Pemilu 1971 Golongan Karya (Golka:) berhasil memenangkan Pemilu dan menyisihakan Partai NU, Parmusi, PNT, PSI, PARKINDO, Partai Katolik, Perti, IPKI, serta Partai Murba. Begitu juga dalam Pemitu 1977, 1982, 1987, 1992 sampai dengan pemilu 1997 yang diikuti PPP dan PDI yang merupakan dua partai hasil penyederhanaan pasca Pemilu 1971, justru kedua partai ini hanya sebagai pelengkap jalennya Pemilu, karena lagi-lagi Golkar memenangi Pemilu. Sebab Pemilu-Pemilu di era Orba hanya merupakan lakon politik, yang dimainkan rezim Socharto untuk sekedar mensahkan kekuasaannya melalui rekayasa kemenangan Golkar. Oleh karena i kedepan penyederhanaan partai benar-benar direalisasikan, maka kita akan meninggalkan sistem multi partai. (http://ewww.tempointeraktif.com, 2004). Padahal, menurut Surbakti (1999), sistem multipartai merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultur maupun secara sosial ekonomi Karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan Kekuasaan melalui pemilu, maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen. Terlepas dari itu, gagasan penyederhanaan sistem kepartaian, dilatarbelakangi oleh sejumiah argumen yang mendasarinya, antara lain; Wahab Ceanaya, Dosen FISIP Unpatii, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Anibon 5 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Pertama, proses pembentukan koalisi lebih mudah. Sehingga prosedur negosiasi di parlemen tidak akan berlaratJarut, Namun dalam upaya penyederhanaan sistem Kepartaian tidak bisa melalui dekrit atau pemaksaan. Salah satu yang harus diterima sebagai aturan yang fair adalah menaikkan lagi angka electoral threshold ke angka lima persen (5%). Dengan domilcian, penyedeshanaan sistem kepariaian merupakan upaya meretas jalan ke arah penerapan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut. Kedua, dengan jumlah pariai politik yang kecil, tentu akan meminimalisir kebingungan konstituen dalam menyalurkan aspirasi politiknya.. Sehingga akan berimplikasi terhadap jalannya pemerintahan yang lebih cckatan dan copat karena proses pembentukan koalisi lebih mudah. Dan juga, bila jumlah partai tidak terlahe banyak, peluang partai-partai untuk meraih kemenangan mayoritas Jebih mudab. Itu syarat penting bagi stabilitas pemerintahan. Kemudian dengan penyederhanaan sistem kepartaian akan berdampak pada proses penyelenggaraan pemilu yang murah. Ketiga, penyederhanaan sistem kepartaian itu bisa dilakukan dengan mengerucut pada akar idiologi partai-partai politik yang ada di tanah air. Misalnya yang diusulkan Wibowo (2007) bahwa, penyederhanaan partai itu dengan senantiasa mengikuti akar idiologinya antara lain: kelompok Islam konservatif, Islam modernis, nasionalis teugah, dan nasionalis kerakyatan. Kelompok-kelompok lain dapat menggabungkan diri dalam keempat mainstream itu. Paling banyak, mungkin dapat menoleransi tiga partai tambahan selain keempat kelompok yang telah disebutkan. (Lihat tabel 1). Tabel 1 Akar Ideotogi Partai Politik ‘Alar Idfologi Panai Politik ay (2) 3) @) Islam Konservatit Islam Modemis __Nasionalis Tengah Nasionalis Kerakyatan Sumber Data; Wibowo, Anung, Pramono, 2003 Begitu-pun menurut Imawan (1998), bahwa partai-partai politik di Indonesia hanya bermain dalam tiga hubungan ideologi yang besar yakni nasionalis- sosialis,nasionalis-religius, dan sosialis-religius.(lihat tabel 2) Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, & Staf Pengajar STIA ALAZKA ~ Ambon 6 Hipotesa, Vol. 2 No.2 November 2008 ISSN 0852-8977 ‘Tabet 2 ‘Tiga Hiubungan Ideotogi Partai Politik. ‘Tiga Hubungan idiologi Partai Politik (a) (2) GB) Nasionalis Sosialis Nasionalis Religins __Sosialis Religius Stnber Data; inawan, Riswandha 1998 Dengan demikian penyederhanaan sistem kepartaian menurut garis idiologi partai adalah furmula yang tepat. Pasalnya hadimnya partai baru senantiasa dengan mengusung idiologi yang sama, sehingga tatkala digelarnya pemilu mereka juga akan beramai- ramai merebut basis Konstituen (pemilil) yang partisan mencoblos partai politik yang memiliki akar idiologi yang sama pula. Hal ini tentu tidak efektif dan efesien, oleh sebab itu penyederhanaan sistem Kepartaian menurut akar idiologi adalah solusi positif’ dalam kerangka meimbangun demokrasi diaras domestik. 2, Posisi Sistem Kepartaian Dalam UU Parpol No 31 Tahun 2002 Posisi sistem kepartaian kita yang tertuang dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Taliun 2002, sebenamya cukup akomodatif bagi pembentukan partai-partai politik baru. Hal ini ditandai dengan lolosnya 24 partai politik sebagai kontestan Pemilu 2004, Kendati demikian terdapat 26 partai politik yang tidak folos verifikasi, kemudian 153 partai politik yang dibatalkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 dan sebanyak 58 partai politik yang tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002. Dan jika dikatkulasikan terdapat 261 partai politik, baik itv yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2004 dan yang gagal sebagai kontestan Pemilu yang kedua di eta reformasi tersebut. (Kompas, 2004). Terlepas dari itu, berikut ini kita akan memotret posisi sistem kepartaian kita dalam Undang-Undang Partai Politik, antara lain; Pertama, dalam undang-undang ini, sistem kepartaian kita masih menganut sistem banyak partai, sebab terdapat 24 partai politik peserta Pemilu 2004. Hal ini tentu berbeda dengan Pemilu di era Orde Baru yang hanya mengenal tri partai (PPP, Golkar dan PDI). Tidak mengherankan Karena di Indonesia menganut sistem banyak partai, schingga konsekuensinya terjadi pemerintahan koalisi Susilo Bambabang Yudoyono (SBY) dari Partai Demokrat dan Jusuf Kaila (Jk) dari Partai Golkar ditambah dengan Partai Keaditan Sefahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Wahats Tuanaya, Dosen FISIP Unpatt, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon 7 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan partai politik penyokong pemerintah. Akibatnya, menurut Surbakti (1992) bahwa untuk mencapai konsensus diantara partai-partai yang berkoalisi itu memerlukan "praktek dagang sapi”, yaitu tawar menawar dalam hal kedudukan dan menteri. Padahal sebagai negara yang menganut sistem presidensial, tidak dibaruskan mengakomodasi sistem banyak partai, arena ini hanya terdapat dinegara-negara yang menerapkan sistem parlementer, seperti; Malaysia, dan India. Senada dengan itu, menurut Bahtiar Effendy (2005), dalam sistem pemerintahan presidential, Koalisi itu sesuatu yang dipaksakan, Lazinnya koalisi ada pada sistem parlementer. Jadi demokrasi yang, di praktikkan dengan banyak partai ini biasanya disebut uncommon Democracy. Demokrasi yang tidak lazim bagiamana mungkin, Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan presidensial namun dilakukan dengan banyak partai. Tabel3 Posisi Sistem Kepartaian Dalam UU Parpol Posisi Sistem Kepartaian Dalam UU Parpot No 31 Tahun 2002 “| * Dalam UU'ini, sistem Kepartaian kita masih menganut banyak partai + Fungsi partai datam UU ini tidak maksimal dijalankan oleh partai kepada rakyat * Pengurus parai, seringkali diberhentikan adalah mereka yang duduk sebagai anggots DPR/DPRD. Hat ini dilskukan bukan karena mereka melanggar AD/ART partai, tapi dilatarbelakengi oleh Kompetist internal yang tidak sehat, yang dilalcukan sesama penguras partai untuk menjegal temannya sendici sohingga bise duduk di kursi DPR/DPRD. = Belum ada pengaturan kevangan partai secara Komprehensif Oleh Karena itu adanye ‘wacana untuk pendirian badan usaha milik pertai sekaligus mewajibkan deposit dana dalam jumlah tertentu bagi parpol baru perlu didukung Sebab ini merupakan upaya peneipiaan kemandirian parte politik * Sumber Data; Hasil Anatisis Pencilis, 2007 Kedua, dalam Pasal 7 Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 disebutkan bahwa, Partai Politik berfingsi sebagai sarana: (a)pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat Inas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: (b)penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit seria sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa tuk mensejahterakan masyarakat; (olpenyerap, penghimpun, dan penyatur aspirasi politi masyarakat secara Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon 8 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 Noventber 2008 ISSN 0852-8977 Konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (c)partisipasi politik warga negara; dan (d)rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Dalam realisasinya sebagian besar dari fungsi-fungsi itu tidak bisa diimplementasikan kepada rakyat selaku Konstituen. Pasalnya dari aspek pendidikan politik, terdapat sejumlah anggota partai dari level nasional hingga daerah justru terlibat dalam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Begitupula partai politik hingga saat ini tidak secara maksimal penyerap, penghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyatakat secara Konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, Sebab partai politik dalam menjalankan fangisnya, justru hanya mengamankan posisi mereka selaku partai politik tanpa melihat nasib konstituen mereka, Fenomena ini yang oleh Dhakidae (2004) dikatakan sebagai, membela partai demi kepentingan partai. Ketiga, jika kita mengacn pada Pasal 12 Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 menyebutkan bahwa, angola partai politi yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan raiyat apabila: (a)menyatakan mengundurkan diri dart keanggotaan partat politit yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain; (b) diberhentikon dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tango. Dalam praktik yang terjadi anggota partat, seringkali dibethentikan adalah mereka yang duduk sebagai anggota legistatif, hal ini dilakukan bukan karena mereka melanggar AD/ART partai, tapi karena Kompetisi internal yang tidak sehat, yang dilakukan oleh kawan se-anggota partai, yang bertujuan untuk menjegal temannya sendiri sehingga bisa duduk di kursi parlemen, Tak pelak berimplikasi pada hengkanya politisi partai ke partai politik lain atau alternatif terakhir mendirikan partai politik baru Tentu opsi yang terakhir ini berdampak pada membengkaknya jumlah partai dari waktu ke waktu, akibat. konflik internal partai politik. Konflik internal partai yang akhimya melabitkan partai baru, misalnya PBR pimpinan KH. Zainuddin.MZ awalnya dari PPP dan PDP pimpinan Roy B.B. Janis Wahab Taanaya, Dosen FISIP Unpati, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ainbon 9 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 awainya adalah pengurus PDIP karena konflik lantas mendirikan partai politik baru. Begitu juga PEKADE pimpinan Mathori Abdul Djalil awainya adalah pengurus PKB memilih mendirikan partai baru, karena konflik internal di PKB, yang dipicu oleh dukungan Mathori selaku Wakil Ketua MPR untuk mengimpecment Gus Dur dari kursi Presiden di tahun 2001 lalu melalui Sidang Istimewa MPR. Keempat, sebagaimana persoalan keuangan partai politik yang diatur dalam ‘Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002, khususnya pada Pasal 17 dan 18 masih bersifat umum dan tidak mengatur hal-hal yang teknis dan lebih mendetail menyangkut persoalan keuangan partai politik. Oleh Karena itu adanya rencana untuk pendirian badan usalia milik partai sckaligus mewajibkan deposit dana dalam jumlah tertentu bagi parpol baru perlu didukung, Sebab ini merupakan upaya peneiptaan kemandirian partai politik. Sehingga jika kemudian hari dibahas dalam revisi Undang- ‘Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002 oleh DPR bersama Depdagri tentu persoalan ini perlu diakomodasi. Paling tidak upaya ini akan mampu meminimalisir infiltrasi para donatur, yang memberikan dana kepada partai dengan memiliki pamrih politik tertentu, jika kemudian memenangi PemilwPilkada adalah partai politik yang didanai mereka.(lihat tabel 2). 3. Ide Reformasi Sistem Kepartaian Proses ke arah penyederhanaan sistem kepartaian di tanah air, sebenarnya tidak seimudah membalik telapak tangan. Pasalnya terdapat dua arus pemikiran yang kontradiktif dalam melihat proses penyederhaan sistem kepartaian tersebut. Pada satu pihak menginginkan segera dilakukan proses penyederhanaan sistem kepartaian sebelum dilakukannya Pemilu 1999, dengan alasan balwa penyederhanaan sistem kepartaian akan berimplikasi bagi pencapaian pemerintahan yang stabil. Sementara pada satu sisi terdapat kalangan yang tidak setuju dengan ide penyederhanaan sistem kepartaian, karena dimata mereka ide imi hanya membatasi aspirasi rakyat untuk membentuk partai politik baru. Padahal menurut Kaisepu (1994) bahwa, pengalaman dibeberapa negara dunia ketiga menunjukan, pembentukan_partai baru tidak akan banyak bermanfaat, kalau sistem kepartaiannya sendiri tidak ikut diperbaharui. Berhubung dengan argumen Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, &: Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon 10 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Kaisepu tersebut, tentunya reformasi sistem kepartaian melalui penyederhanaan sistem kepartaian adalah solusi untuk lebih memfungsikan partai politik secara efektif dan efesien ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun masih terdapat pro dan kontra yang tajam menyangkut penyedethanaan sistem kepartaian di tanah air, kita tidak perfu terhenti untuk melakukan upaya penyederhaan sistem kepartaian, Sebab menurut hemat penulis, proses penyederhaan sistem kepartaian adalah suatu kebutuhan dalam mengatur sistem politik dan pemerintahan yang lebih stabil, sebingga akan berimplikasi positif terhadap upaya pencapaian demokratisasi melalui proses pembangunan yang hendak dijalankan. Oleh karena itu, terdapat sejumlah ide yang hendak dibeberkan penulis terkait dengan reformasi sistem kepartaian, antara lain; Pertama, Pemilu 2009 idealnya hanya diikuti paling banyak 4-7 partai politik. Dengan maksimum 4-7 partai, penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara serta pertumbuhan demokrasi akan lebih efisien, efektif. Schingga mekanisme check and balances akan berjalan secara baik. Baik artinya mudah dimengerti dan gampang diformulasikan, Biasanya yang mudah dan gampang itu didukung secara masuk akal oleh sistem kepartaian yang sederhana. Jika partai tidak terlalu banyak, tentu rakyat tidak bingang ketika memilih dan pemerintahan bisa berjalan lebih cekatan dan cepat karena proses pembentukan koalisi lebih mudah. Sebab belajar dari Pemilu di 1955 hanya menyisahkan 7 partai yang memiliki suara dominan, PNI (22,23%), Masyumi (20,92%), NU (18.41%), PKI (16,36%), PSI (2,89%), PARKINDO (2,66%) dan Partai Katolik (2,04%). Begitu-pun Pemilu 1999 hanya menyisahkan 7 partai; (PDIP) 33.76%) Partai Golkar (22,46%), PKB (12,63%), PPP (10, 72, PAN (7,12%), PBB (1,94%) dan PK (1,36%). Tidak berbeda dengan dua Pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 menyisahkan juga 7 partai yang dominan; Partai Golkar (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,A5%), PKS (7,34%) dan PAN (6,44%). (http://www.tempointeraktif.com, 2004). Ini artinya meskipun terdapat partai poli baru yang didirikan, diprediksikan Pemilt 2009 hanya akan berkutat pada 7 partai yang dominan mengilcuti tiga akar idiologi yakni; nasionalis-sosialis, nasionalis-religius, dan sosialis-religius, Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, de Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon il Hipotesa, Vol. 2 No, 2 November 2008 ISSN 0852-8977 Kedua, penyederhanaan sistem kepartaian itu perlu dilakukan, dengan asumsi bahwa penyederbanaan itu untuk menghilangkan sistem banyak partai sekaligus merupakan upaya secara bertahap untuk disesuaikan dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut, Sebingga dikemudian hari tidal dipraktikkan lagi koalisi antar partai politik, yang seringkali mengarah pada model sistem pemerintahan parlementer. Dimana terjadi konsensus diantara partai-partai yang berkoalisi, tak pelak memunculkan “praktek dagang sapi”, yaitu tawar menawar dalam hal kedudukan dan menteri. Tabel 4 Ide Reformasi Sistem Kepartaian Ide Reformasi Sistom Kepartaum + Pemilu 2009 ideainya hanya diikuti paling banyak +7 pastai politk, Dengan jumlah ini akan ofektif dan efesien, + Penyederhanaan sistem kepartaian untuk menghilangkan praktik sistem banyak partai, sekaligus merupakan upaya bertahap untuk menyesuaikan dengan sistem pemerintahan presidensial. * Perlu mengadopsi sistem Kepartaian pada model multipartai sedorhana melalui revisi ‘UU Parisi Politik No. 32 Tahun 2002. + Angka electoral threshold (ET) perlu dinaikan ke ambang lima persen (5%), + Partai politik perlu memiliki Badan usaha, Hel ini perlu diupayakan, Karena merupakan uupaya pencipiaan kemandirian partai potitik ‘Sumber Data; Hasil Analisis Penulis, 2007 Ketiga, jika sistem kepartaian yang kemudian diadopsi melalui undang-undang kepartaian lebih mengerucut pada model multipartai sederhana, maka proses pembentukan koalisi lebih mudah. Sehingga prosedur negosiasi di parlemen tidak akan berlarut-larut. Namun dalam upaya penyederhanaan partai tidak bisa melalui dekrit atau pemaksaan. Salah satu yang harus diterima sebagai aturan yang fair adalah menaikkan lagi angka electoral threshold ke angka lima persen (5%) Keempat, asumsi angka electoral threshold ke ambang_ lima persen (5%) bukan semata-mata untuk menjegal partisipasi partai politik kecil dalam pemilu. Namun hal ini semata-mata bertujuan agar pelaksanaan pemilu lebih praktis, sehingga tidak membingungkan rakyat, dan relatif lebih murah. Dengan demikian, jika terdapat partai politik yang tidak meiperoleh suara melampaui electoral threshold yang ditentukan melalui aturan main yang baku, maka partai itn tidak dapat menempatkan wakilnya di Wahab Twanaya, Dosen FISIP Unpatti, & Staf Pengajar STIA ALAZKA - Ambon 12 Hipotesa, Vol. 2 No. ? November 2008 ISSN 0852-8977 parlemen, kecuali memilih bergabung tanpa syarat dengan partai politik Jain yang tmemenuhi electoral threshold. Kelima, kedepan partai politik peru memiliki badan. usaha. Sebab ini merupakan upaya penciptaan kemandirian partai politik. Sehingga jika kemudian hari dibahas dalam revisi Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002 oleh DPR bersama Departemen Dalam Negeri persoalan ini perlu diakomondir. Alternatif ini akan mampu meminilamisir infiltrasi politik para donatur, yang memberikan dana kepada partai politik dengan memiliki pamrih politik tertentu, jika kemudian memenangi Pemilu/Pilkada adalah partai politik yang didanai mereka Sebab pengalaman menunjukan tafkala dihelat Pemilu terdapat donatur yang berasal dari pengusaha memberikan sejumlah dana kepada partai politik, ketika partai politik itu berhasil memenangi Pemilu, justru loyalitas partai politik hanya ditujukan kepada klien politik mereka, yang turut mendanai partai dalam Pemilu. Schingga partai Politik tidak lagi memiliki Joyalitas kepada para Konstituen yang telah mencoblos mereka, Tak pelak konstituen hanya merupakan penggembita saat berlangsungnya pesta demokrasi tanpa mendapatkan apa-apa dari partai politik. (lihat tabel 3). D. Kesimpulan Meskipun wacana penyederhanaan sistem kepartaian masih menimbulkan pro dan Kontra yang krusial. Namun hendaknya upaya penyederhanaan partai politik yang akan dilakukan pemerintah seharusnya dalam kerangka yang lebih demokratis, dengon tidal memasung hak rakyat untuk berpartisipasi dalam mendirikan partai politik. Kemudian penyederhanaan partai mestinya dimaknai oleh pemerintah maupun rakyat sebagai upaya penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara serta pectumbuhan demokrasi yang lebih efisien dan efektif. Oleh karena itu Pemilu 2009 idealnya hanya diikuti paling banyak 4-7 partai politik. Dengan maksimum 4-7 partai, penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara seria pertumbuhan demokrasi akan lebih efisien, efektif. Sehingga mekanisme check and balances akan berjalan secara baik, Baik artinya mudah dimengerti dan gampang diformulasikan, Biasanya yang mudab dan gampang itu didulcung secara masuk akal oleh sistem kepartaian yang sederhana. Jika partai tidak térlalu banyak, tentu rakyat Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpatti, & Staf Peugajar STIA ALAZKA - Ambon B Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 tidak bingung ketika memilih dan pemerintahan bisa berjalan lebih cekatan dan cepat karena proses pembentukan koalisi lebih mudah. Kemudian meskipun terdapat banyak partai politik baru menjelang digelarnya Pemilu 2009, tapi diprediksikan pada Pemilu 2009 perotehan suara kontestan Pemiln hanya akan berkutat pada 7 partai politik yang dominan memiliki suara, dengan mengikuti tiga akar idiologi yakni; nasionalis-sosialis, nasionalis-religius, dan sosialis- religius. Schingga jika akhirnya revisi Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 tetap memberikan tempat bagi praktik multi partai tentu tidak akan efektif, karena hanya akan terdapat 7 partai politik yang dominan suaranya melalai Pemiln 2009. Dengan demikian pengetatan jumlah partai politik melalui kenaikan ambang batas electoral threshold ke angka lima persen (5%) adalah salah satu solusi yang tepat dalam upaya penyederhanaan sistem kepartaian di tanah air. DAFTAR PUSTAKA ‘+ Duverger, Maurice, dalam Surbakti, Ramlan, Memahami lina Politik, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005 * Dhakidae, Daniel, dalam Partai-Partai Politik Indonesia, Idiologi dan Program 2004-2009, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004 * Elson, RE, Suharto Sebuah Biografi Politik, Jakarta, Pustaka Minda Utama, 2005 © Effendy, Bahtiar, Bahtiar Effendy dan Transisi Menuju Demokrasi Harian Kompas 23 Juli 2005 © Imawan Riwanda, Perilalw Politik Partai Dalam sistem Multipartat; Ditinjau Berdasarkan Dinamika Kehidupan Politik Dalam Era Reformasi Menjetang Pemilu 1999, Makalah Pelatihan Wartawan LP3Y, Jakarta, 1998. * Kaisepn, Manuel, Partai Baru atau Sistenr ~ Kepartaian —Baru?, http:/Avww hamline.edu, 21 September 1994 © Kalla, Jusuf, Penciutan Partai Ciptakan Kestabilan, —http://wvew-pikiran- rakyat.com, 22 November 2006 * Paulain, Ibrahim, Latuconsina, M.J, Multi Partai Dalam Perspektif Negara Demokrasi, Harian Ambon Ekspres 7 Juli 2004 © Pariai-Partai Politik Indonesia, Idiologi dan Program 2004-2009, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004 © Romi, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes, Sejarah Perkembangan Partai-Partai slam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. Wahab Tuanaya, Dosen FISIP Unpauti, & Staf Pengajar STIA ALAZKA ~ Ambon 14 Hipotesa, Vol. 2 No. 2 November 2008 ISSN 0852-8977 + Surbakti, Ramlan Memahami Imu Potitik, Jakarta, P-T Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992 * Syam, Nur, Kegagalan Mendekatkon Jarak Idtologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde Baru, bitp:/worw.geocities.com, 2007 * Sojarah Pemitu di Indonesia, Delapan Pemilu Yang Lalu, Ringkasan Sejarah Pemilu di Indonesia, http://www sempointeraktif.com, 15 Maret 2004 * Wibowo, Anung, Pramono —-Menyederhanakem — Sistem Kepartaian, hitp:/Avww freelists.org, 23 November 2005 Wahab Tumaya, Dosen FISIP Unpati, & Staf Peugajar STIA ALAZKA - Ambon 15

You might also like