You are on page 1of 289
| (BEM fami WEL fo) iM ery Lo dan gue bersaing, demj merebut hati satu sama lain Tesfimoni untne Rival “Rival banyak memberi pelajaran akan kehidupan yang pastinya disajikan dengan menarik. Sangat. Ceritanya anti-mainstream, karena tidak hanya kisah cinta dua remaja yang kita dapat ambil, tapi juga banyak pesan moral yang bisa kita dapatkan. Kalian bakal jatuh cinta. PASTI!” —excinacinolak, pembaca Rival di Wattpad “Rekomendasi banget buat baca Rival! Novel teen fiction yang nggak muluk-muluk dan nggak alay. Amanatnya kena banget, tokoh- tokohnya bikin ngakak dan hidup di kepala. Tema yang sederhana, tapi dibungkus dengan sangat apik dan gokil. Excited banget sama karya ini!” —@haricahayabulan, pembaca Rival di Wattpad “Rival, tuh, lengkap banget, deh, udah termasuk komplet. Ngakaknya dapet, pengetahuan juga ada dijelasin secara perinci, konfliknya menegangkan, sedihnya juga kerasa gitu. Come on, this is one of the books you must buy! Dijamin nggak nyesel karena habis baca pasti pengetahuannya nambah!” —@sarahghdh, pembaca Rival di Wattpad “Rival itu ibarat es campur di tengah musim kemarau. Tema cerita yang diangkat, sih, khas anak muda, tapi bumbunya agak beda. Formulanya beneran seger. Bikin agak dag dig dug tebak-tebak buah manggis. Dan ... muanis, cocok banget buat seleraku yang nggak muluk-muluk.” —@ahnRi24, pembaca Rival di Wattpad “Aku suka cerita Rival karena beda dari yang lain. Masalah yang diangkat nggak cuma sekadar cerita yang benci jadi cinta. Tapi, ada masalah besar yang tersembunyi, yang bikin cerita ini tambah gereget. Saya suka cara penulis yang ngupas satu per satu masalah keduanya, dan nyelesaiin pelan-pelan masalah mereka sampai ending. Tiap di akhir part-nya juga selalu bikin penasaran, bikin nggak sabar nunggu part selanjutnya.” —@wulandarilmaniar, pembaca Rival di Wattpad rival Hak cipta dilindungi undang-undang, Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. rival Rival Karya Feli Surya Cetakan Pertama, April 2018 Penyunting: Hutami Suryaningtyas, Dila Maretihaqsari Perancang & ilustrasi sampul: Nocturvis. Tlustrasi isi: Penelovy Pemeriksa aksara: Achmad Muchtar, Rani Nura Penata aksara: Anik, Petrus Sonny Digitalisasi: FHekmatyar Diterbitkan oleh Penerbit Bentang Belia (PT Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jin, Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 889248 - Faks. (0274) 883753 Surel: infoebentangpustaka.com Surel redaksi: redaksiebentangpustaka.com http://www.bentangpustaka.com Feli Surya Rival/Feli Surya; penyunting, Hutami Suryaningtyas, Dila Maretihaqsari.—Yogyakarta: Bentang Belia, 2018. xii + 276 him; 20,8 om ISBN 978-602-430-276-4 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing Ji. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Telp.: +62-21-7864547 (Hunting) Faks.: +62-21-7864272 Surel: mizandigitalpublishingemizan.com Untuk abang saya, sekarang Lo tahu gue ngumpetin apa di balie password Microsoft Word ;). [si Cerda Prolog - | |: Salah Ngornong - 6 2: Sevatus Jutal - (2 3: Rencana Pevtarna - 4 4: Tentang Eda - 25 5: lim (Not) Okay - 30 6: Lets (S)Tae!- 4 7: Intrudey Alert! - 40 8: Penasavane? - 47 4; Dirvead Doangal - $2 (0: Eda Kenapa, sin - SB It Rencana Baru - 4 [2 Rahasia Dipa - 64 1B: Pahlawan Dadatan - 75 (4: Ternyata Elo .. - 81 15: Permbelaan Dipa - So lo: Havi Bersarmanuya - 42 17: Fix You - %% ‘8: Rencana Dadatan - 103 1% Kejutan ~ 104 20: Kvitevia Lo, Girnana? - IIS Zk Penasavan - I2| 22 Kecewa - (2o 2: Yang Dinanti - (33 24; Havi H Lorniba - 138 25: Pevcakapan di Toilet - U4 20: Babak Teva hi - 147 77: Bolen? Boleh! - 15| 28: Yang Tak Tevsarnpaitan - |5& 24: Davi Hati - 105 30: Ketiea Dipa Tahu - (71 3k Sesuatu untuk Dipa - (lo 3: Tangis - \64 3: Every Teav Has Its Reason - \84 34; Pesan davi Dio - 147 95: A Box of You and Me - 203 3: Dia Nenghilang - 204 37. Sekali Lagi, N\aaF ... - 215 38: Continuum - 720 34, Sosok dalam Foto - 220 40: Pevjalanan Ke N\asa Lalu - 230 4; The Road Not Taken - 240 42: Sesal yang Belun (Tevlalu) Tevlannbat - 243 43; Hadiah davi Canney - 248 U4. Nohon Restu - 253 Up: Seperti Bintang - 257 Yo: Lelain davi Kata - 261 Epilog - 208 xi CAP BADAK gen Profog Ketika takdir memutuskan untuk mempertemukan, tak akan ada manusia yang bisa melawan. ss « D* lo beneran nggak tahu Eda?” “Siapa, sih?!” Cowok bernama Dipa yang sedang sibuk menghitung uang di meja mulai risi dengan Dio, teman yang sedari tadi merecokinya soal satu nama: Eda. Siapa pula anak yang namanya Eda itu? Dipa tidak peduli. Dia sibuk menghitung receh seribuan dan lembaran dua ribuan yang ada di hadapannya. “Itu, Dip, Dwenda Sastiana, murid cewek kelas XII IPA 2, panggilannya Eda. Yang suka jualan catatan itu, Iho. Anaknya pinter banget.” “Hmmm... iya,” gumam Dipa asal. Dia tak lagi memperhatikan apa yang tengah diucapkan Dio. Otaknya sibuk menghitung. Kok, kurang lima ribu, sih?! Apa iya jatah gue dikorupsi Bang Faisal lagi? Dipa membatin. Duh, tega banget korupsi uang anak yatim piatu! “Jadi, gue butuh uang dua puluh ribu, Dip.” Mata Dipa memelotot. Dari sekian banyak ocehan Dio, yang tertangkap di telinganya hanya: Dio butuh dua puluh ribu. “Yo, hidup gue udah pas-pasan gini, lo masih mau minjem dua puluh ribu dari gue?” sahut Dipa. “Iya. Ayolah, Dip, please. Lo nggak kasihan sama gue? Gue udah cekak, nih. Uang jajan gue udah habis semua.” “Minta lagilah sama nyokap lo.” “Lo gila?! Mau lihat temen lo besok udah jadi tempe bongkrek?” Dipa menghela napas. Buatnya, dua puluh ribu itu besar, tidak seperti murid-murid SMA Harapan yang lain. Dipa menimbang-nimbang sejenak. Gara-gara razia seragam hari Senin kemarin, dia lumayan untung. Ya sudahlah, Dio barangkali lebih membutuhkan. Dari wajahnya, Dio tampak begitu memelas. “Nih.” Dipa menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan kumal kepada Dio. “Tapi, balikin, ya, nanti?” “Iya, iya. Nanti pake bunga. Gue traktir lo makan, deh. Tapi, bulan depan, ya? Begitu dana cair dari nyokap gue. Makasih, Dip!” Dio menerima uang yang disodorkan Dipa dengan wajah semringah, lalu beranjak. “Iya, sama-sama. Ngomong-ngomong, buat apa tadi lo bilang?” tanya Dipa. “Buat beli catatan Biologi dari Eda.” “Beli catatan Biologi?” Dipa mengernyit. “Iya. Tadi, kan, gue bilang, lusa gue remedial lagi, tapi lo tahulah catatan gue gimana. Eda, kan, jualan catatan. Ya udah, gue beli aja punya dia.” “Beli catatan? Jadi, lo ngutang dua puluh ribu buat beli catatan?” “Iya. Mahal banget habisnya, Dip. Seratus ribu! Duit gue kurang. Ya udah, ya?” Darah Dipa perlahan naik ke kepala. Orang tua Dio adalah orang yang mapan. Namun, uang jajan Dio sering habis sebelum waktunya hanya untuk nongkrong. Sekarang, Dio meminjam uang kepada Dipa yang keuangannya selalu seret untuk membeli catatan Biologi karena dia ada remedial?! “Woi, Dio! Balikin duit gue!” teriak Dipa. Buru-buru dia mengumpulkan semua uangnya ke dalam kantong plastik dan menyusul Dio. “Dio!” “[dih, Dip! Barang yang udah diberi nggak boleh diminta lagi. Pamali!” Dio mempercepat langkahnya. “Gue minjemin, bukan memberi, Dio!” Dio mulai berlari. Dipa mengejar di belakangnya. Lalu, tercipta adegan kejar-kejaran ala tarian India. “Dio! Makanya kalo otak lo kurang mampu, nggak usah sok- sokan sering bolos kelas!” omel Dipa sambil mengejar Dio. “Ya udah, sih, Dip! Dua puluh ribu doang! Gue balikin bulan depan!” Dio masih berusaha kabur. “Dua puluh ribu doang gigi lo ngetril! Tiap rupiah bermakna buat gue! Dio! Balikin duit gue!” BRUK! Dipa jatuh tersungkur ketika Dio tiba-tiba berhenti di depannya. “Ini, Da. Dua puluh ribu, kan, kurangnya?” Dipa menatap dengan horor ketika Dio, yang tersengal, menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan kumalnya kepada sosok murid cewek yang ada di hadapan mereka. “Oke. Nih.” Murid itu Eda, si tukang jualan catatan di SMA Harapan. Eda menyodorkan lembaran fotokopian kepada Dio. “Makasih, Da!” “Makasih juga. Senang berbisnis dengan lo. Lain kali lagi, ya.” Eda membalikkan badan dan meneruskan langkahnya. Dipa cepat-cepat berdiri dan mengadangnya. “Tunggu, tunggu. Itu tadi duit gue. Tolong balikin.” Dipa menjulurkan tangannya. “Balikin?” Eda mengernyit. “Yang ngasih duit ini ke gue temen lo. Kok, balikinnya ke lo?” “Tapi, itu duit gue.” “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan.” Dipa menghela napas. “Gue minta baik-baik. Tolong balikin duit gue. Dio itu minjem dan gue berubah pikiran untuk minjemin dia.” “Apa urusannya sama gue?” balas Eda judes. Eda melangkah lagi, tetapi Dipa kembali mencegatnya. “Balikin!” Eda mendecak. Dia hendak mengomel, tetapi tiba-tiba sadar akan sesuatu. “Oh ... lo Dipa, kan? Si tukang sewa atribut sekolah?” Dipa terdiam. Ternyata Eda tahu tentangnya. “Iya,” jawab Dipa. “Kalo lo ke sekolah lupa dasi, topi, ikat pinggang, atau atribut sekolah lainnya, kunjungi warungnya Bang Faisal. Di situ lo bisa sewa. Dasi dua rib—” “Dip.” Eda memelankan suaranya, “Jangan ribut-ribut, oke? Lo, kan, pedagang ilegal di sekolah kayak gue, lo tahulah bahwa kita harus fair dalam berdagang. Dio beli catatan dari gue, gue nggak peduli itu uang dari mana atau dari siapa. Jangan menarik perhatian minta-minta duit di koridor kayak gini. Lo tahu, kan, dagangan kita nggak boleh diketahui guru apalagi kepala sekolah? Jadi, ya udah, ya?” Dipa menghela napas sekali lagi. “Oke, gini. Siapa tadi nama lo? Eda? Gini, Da. Gue tahu kita nggak saling kenal. Tapi, sebagai sesama pedagang, tolonglah lo maklumi gue yang omzetnya lebih kecil dari lo ini. Lo sekali jualan seratus ribu, nggak pake modal pula. Sementara gue udah harus modal, untungnya lebih kecil—” “Untung apa yang lebih kecil?” “Ampun, Pak.” Bulu kuduk Dipa dan Eda sontak berdiri mendengar suara yang sangat ngebas itu. Refleks mereka langsung meminta ampun. Tak perlu menoleh untuk melihat wajahnya, Dipa dan Eda sudah tahu bahwa kepala sekolah mereka—Pak Budi—tengah berdiri di belakang mereka. Itu sebabnya juga koridor mendadak sepi meskipun jam istirahat belum selesai. “Kalian berdua, ikut saya ke kantor. Ada yang menanti kalian berdua.” Pak Budi meletakkan tangannya di bahu Dipa dan Eda. Keduanya langsung lemas seketila. “Ada yang menanti kami?” cicit Eda. “Siapa, tuh, Pak?” “Hukuman.” Baik Eda maupun Dipa sama-sama benci dengan yang namanya hukuman, terlebih Eda. Dia memiliki riwayat yang begitu bersih di sekolah. Eda dikenal sebagai anak yang pintar, rajin, penurut, tidak pernah melanggar peraturan sekolah, dan tak pernah satu kali pun dihukum. Mati, deh, gue. Sekalinya bikin dosa yang berat pula. Jangan sampe Mama dipanggil, batin Eda cemas. Bakal dihukum apa pula sama Pak Budi?! CAP BADAK 230 CHAPTER 1: ee OS Kata-kata adalah senjata manusia yang paling berbahaya sebab luka yang dibuatnya tak akan ada obatnya. ak Budi sibuk menceramahi Dipa dan Eda sejak mereka masuk ruang kantornya. Pertama, tindakan mereka berjualan di area sekolah melanggar peraturan. Kedua, barang dagangan mereka melanggar etika pelajar. Ketiga, kegiatan berjualan mereka merusak moral dan disiplin murid-murid sekolah. “Gara-gara kalian ini, anak-anak jadi nggak disiplin dan malas. ‘Ah, bolos aja, nanti juga bisa beli catatan dari Eda’. ‘Ah, ketinggalan seragam juga nggak apa-apa, nanti bisa sewa dari Dipa’. “Kalian sekarang berpikir hal-hal seperti masuk kelas, mencatat pelajaran, pakai atribut sekolah itu nggak penting. Tapi, tunggu sampai lima-sepuluh tahun lagi saat kalian bekerja. Boleh, nggak, coba kalau kalian ngantor, lalu bilang, ‘Waduh, Pak, saya malas meeting, nanti pinjam protokolnya aja, ya?’ atau, ‘Waduh, Bu, datanya ketinggalan di rumah. Saya sewa aja, ya?” Ya mana bisa!” Dipa hanya diam. Dia tak mencemaskan soal hukuman yang nantinya akan dia hadapi. Dia lebih cemas soal sumber penghasilannya yang kini hilang. Dipa memutar otak, bagaimana cara dia bisa mendapatkan uang tambahan setelah bisnisnya kena razia? Mungkin dia bisa minta pekerjaan dari Bu Weda, salah satu pedagang kantin yang berjualan siomay Bandung. Ya, anaknya Bu Weda, Sapto, sebentar lagi masuk SMP. Jam sekolahnya akan lebih panjang dan tidak bisa membantu Bu Weda berjualan lagi. “Dipal” Dipa tersentak mendengar namanya dihardik Pak Budi. “Iya, Pak!” “Kamu ini kalau orang ngomong didengerin, dong! Malah bengong!” Pak Budi mendengkus kesal. “Siap, Pak! Maaf, Pak!” “Saya tadi tanya, kalian berdua kenapa bukannya fokus belajar, malah berjualan di sekolah?” Dipa menoleh menatap Eda. Sejak tadi, Eda juga hanya diam dan menunduk. “Saya jawab duluan, Pak?” celetuk Dipa. Matanya melebar dengan pandangan polos. “Ya, siapa aja terserah! Yang penting jawab.” “Gimana kalau Eda duluan aja, Pak?” Dipa membuka telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Eda, seolah mempersilakan. Akan tetapi, Eda tetap membisu dengan kepala tertunduk. “Eda? Kenapa kamu sampai seperti ini?” tanya Pak Budi. “Kamu, kan, murid teladan sejak kelas X. Saya betul-betul kecewa sama kamu.” Eda masih diam dan tertunduk. “Nggak mau jawab?” cecar Pak Budi. “Nggak mau ada pembelaan? Pasrah aja dihukum?” Kepala Eda perlahan mengangguk. Pak Budi melepas kacamata dan memijat batang hidungnya. Pak Budi kemudian menuding Dipa. “Kalau kamu kenapa, Dipa?” “Saya jualan karena butuh uang, Pak,” jawab Dipa cepat. “Hadehhh ... itu juga saya tahu! Kenapa pelajar seperti kamu butuh ang segitunya sampai harus jualan?” Dipa terdiam sejenak. Dia bicara lagi dengan suara pelan. “Jadi ... Bapak tahu, kan, saya yatim piatu?” “lya” “Ya, karena itu, Pak. Saya sampai sekarang tinggal di panti. Saya satu-satunya yang tertua di sana. Saya cuma mau sedikit bantu- bantu saja.” Tatapan mata Pak Budi melunak. Dia menarik napas dalam- dalam. “Dipa, saya mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi, kamu harus berpikir sebaliknya. Kalau kamu nggak sungguh-sungguh dan fokus belajar, itu malah memberatkan pengurus dan adik-adik kamu di panti. Kamu sekarang sekolah yang benar, supaya suatu hari bisa membantu mereka.” “ya, Pak” “Pelajar itu tugasnya belajar. Hal-hal lain biarlah jadi tanggung jawab orang dewasa.” “Baik, Pak.” Dipa mengangguk. Raut wajahnya dipasang sedemikian rupa supaya menunjukkan penyesalan. “Jadi, saya nggak dihukum, kan, Pak?” “Bnak aja. Kamu tetap dihukum. Eda juga.” Dipa hanya bisa mengangguk. Ya sudah. Dihukum tidak apa- apa. Biar menjadi pelajaran baginya. “Hukumannya jangan yang berat-berat, ya, Pak?” tawar Dipa. “Malah nawar! Bukannya menyesal, introspeksi diri!” “Maaf, Pak.” Pak Budi hanya geleng-geleng kepala. “Dipa dan Eda, saya hukum kalian berdua pulang sekolah membelanjakan kebutuhan ruang guru di pasar. Setelah itu kalian harus menyikat WC.” “Pulang sekolah, Pak?” Dipa memelotot. “Saya denger setelah jam sekolah, gedung ini angker, Iho, Pak. Katanya suka ada yang jalan-jalan gitu “Yang jalan-jalan, ya, manusia! Angker dari mana? Saya bekerja di sini sudah tiga puluh tahun, nggak ada, tuh, ngalamin aneh-aneh. Lagi pula, saya dan beberapa guru ada rapat hari ini sampai sore. Jadi, jangan banyak alasan!” Dipa menelan ludah dan mengangguk lagi. “Siap, Pak.” “Kamu mau protes juga, Eda? Apa mau beralasan?” Eda menggeleng. “Nggak, Pak. Saya menyesal. Nanti saya jalani hukumannya.” “Bagus.” “Saya cuma mau minta tolong satu hal ... boleh, Pak?” “Apa itu?” “Tolong jangan bilang ibu saya soal ini, ya, Pak,” pinta Eda dengan memelas. Pak Budi terlihat menimbang-nimbang sejenak apa yang harus dia ucapkan. Dipa melirik Eda. Kepala Eda kembali tertunduk. Wajahnya begitu sendu. Cih, pintar sekali dia berakting supaya dikasihani?! “Ya sudah. Saya nggak akan bilang ibumu,” kata Pak Budi akhirnya. “Tapi janji, jangan bikin onar lagi, jangan diulangi lagi kesalahanmu, dan fokus belajar. Kalian ini, kan, sudah kelas XII.” “Baik, Pak. Terima kasih,” balas Eda. “Ya sudah. Sekarang kembali ke kelas masing-masing. Daftar belanjaan nanti sepulang sekolah minta kepada Bu Aam di ruang guru, ya?” “ya, Pak” Setelahnya, Dipa dan Eda keluar dari ruangan Pak Budi. Dipa memandang Eda sambil menaikkan alis. “Jangan bilang ibu saya, Pak.” Dipa meledek Eda, meniru ucapannya tadi. “Cih. Boleh juga akting lo.” Eda takmenyahut. Dia hanya terus berjalan tanpamenghiraukan Dipa. “Takut dimarahin Mami, ya? Takut nggak disayang lagi sama Mami, ya? Aduh, Eda ... anak Mami yang paling Mami sayang, kenapa jadi nakal, sih?” Dipa tertawa. Dia geli sendiri dengan suaranya yang pura-pura menirukan ibu Eda. Tiba-tiba Eda menghentikan langkahnya. Dia melempar Dipa dengan pandangan tajam. “Jangan bicara seperti itu tentang nyokap gue,” ucap Eda tegas. Dipa sedikit terkejut, tapi dia buru-buru menguasai diri. “Ya, maaf. Gue cuma bercanda. Nggak usah serius gitu, lah.” “Kalo gue bercanda soal orang tua lo, apa lo masih bisa ketawa juga?” sergah Eda dengan nada dingin. Dipa terdiam. Kali ini dia tak lagi berani menyahut Eda. Dipa hanya membiarkan Eda melangkah menjauh, mendahuluinya kembali ke kelas. Sementara itu, Dipa sendiri masih berdiri tertegun di koridor sekolah yang sepi. Nggak tahu, deh, Da, ucap Dipa dalam hati. Gue, kan, nggak pernah kenal orang tua gue. CAP BADAK 230 CHAPTER 2: Serciliis dutal Memperebutkan keberuntungan hanya akan berujung kecewa sebab setiap manusia sudah memiliki sendiri-sendiri garis hidupnya. ee OS ¢{ Jah, belum? Lama amat!” Dipa menggerutu. Hampir pukul 3.00 sore dan sinar matahari sangat terik menyengat, membuat baju seragam Dipa basah oleh keringat yang sedari tadi tak berhenti mengalir. Dipa berdiri di depan kios kecil sambil menenteng belanjaan. Ada satu kantong penuh berisi spidol, buku kosong, beberapa lusin pena, beberapa kotak teh, dan sekaleng biskuit. Ia bersama Eda yang baru saja keluar dari kios kecil dekat tempat Dipa berdiri. Sama seperti Dipa, wajah Eda juga dibasahi oleh peluh. Di tangan Eda ada secarik kertas. Keningnya berkerut. Sudah setengah jam Eda dan Dipa keliling pasar untuk membeli barang belanjaan mereka yang terakhir: satu stoples kopi. Eda takut kalau belanjaannya salah, Pak Budi malah makin marah. Nanti Pak Budi malah mengadukan Eda ke Mama. Aduh ... mudah-mudahan Pak Budi menepati janjinya. Bukan karena Eda takut dimarahi Mama, justru sebaliknya. Eda tahu Mama tidak akan marah, tapi Mama akan kecewa. Melihat Mama kecewa itu lebih menyakitkan bagi Eda. Bukan hanya itu, Eda tidak mau menambah beban pikiran Mama. Tidak pada saat seperti ini. “Kenapa mesti kopi merek itu, sih? Yang lain aja, kenapa?” Dipa masih terus menggerutu. “Disuruhnya, kan, merek ini, Dip,” balas Eda. “Aduh ... kopi, mah, semuanya sama aja. Udah, deh, beli aja yang ada.” “Bnak aja! Emang rasanya sama? Beda!” “Sok tahu lo.” “Lo yang sok tahu.” “Lo tahu dari mana? Emangnya lo ngopi?” “Nyokap gue koki, menurut lo?” Balasan Eda membuat Dipa mengunci mulutnya. Dipa hanya mengangkat bahu. Dia mengekor di belakang Eda, yang masih pantang menyerah mencari merek kopi seperti yang tertulis di daftar belanjaan mereka. “Coba gue tanya ke toko itu.” Eda menuding sebuah toko sembako yang ada di ujung jalan. Dipa mengerang. “Udah, ya? Itu yang terakhir, ya? Kalo nggak ada juga, beli aja yang ada, deh. Kita ini udah ada di penghujung pasar, lho.” “lya, iya. Tanya dulu. Lo tunggu di bawah pohon itu aja, tuh, adem.” “Bukan masalah panasnya juga. Ini udah jam berapa? Belum balik ke sekolah, terus nyikat WC,” dumel Dipa. “Kenapa, sih, buru-buru banget? Emangnya lo ada urusan?” “Pokoknya gue harus udah balik dan duduk manis di panti jam 7.00 malam.” “Dip, ini bahkan belum jam 3.00 sore. Tenang aja, deh.” Dipa menggumam tak jelas. Alih-alih menunggu di bawah pohon seperti yang disarankan Eda, dia malah mengikuti langkah Eda masuk toko kelontong. “Permisi, Mas. Jual Kopi Cap Talang, nggak?” tanya Eda. “Talang? Nggak ada, Neng,” jawab pelayan toko. “Talang di mana-mana lagi kosong! Susah dapet barangnya.” “Oh ...,” sahut Eda kecewa. Eda menatap Dipa. “Jadi gimana, nih?” “Udah, beli aja yang ada. Tuh, tuh. Itu kopi apa, tuh? Banyak stoknya,” Dipa menunjuk tumpukan stoples kopi dengan hiasan- hiasan cerah di dekat pintu masuk toko. “Itu Kopi Cap Badak, Dik. Enak juga. Malah lebih laku itu daripada Kopi Cap Talang,” celetuk pelayan toko. “Nah, tuh. Udah, beli itu aja, Da.” Eda sedikit ragu, tetapi akhirnya mengambil sebuah stoples Kopi Cap Badak dan membayar. “Udah, ya? Balik ke sekolah, kan?” “ya” Dipa dan Eda keluar dari pasar menuju jalan raya. Di sana mereka menunggu mikrolet untuk kembali ke sekolah. Untungnya tak butuh waktu lama hingga mikrolet yang ditunggu datang. Ketika sudah duduk di dalam, stoples kopi yang dibeli mereka berdua tiba-tiba menggelinding keluar dari kantong belanjaan. “Dip! Hati-hati, dong!” tegur Eda, buru-buru menangkap stoples kopi tersebut. “Untung nggak pecah.” “Sori, sori. Penuh banget, sih, kantongnya.” Dipa meringis. “Eh, Da. Sebentar.” Dipa mengambil stoples kopi itu dari tangan Eda. Dipa mengernyit membaca label yang tertempel di stoples itu. “Ada apa, Dip?” “Ada undian kopi, Iho,” gumam Dipa. Jarinya menelusuri tulisan yang tertera di stoples. “Temukan kode keberuntungan di balik stoples dan menangkan bermacam hadiah dengan hadiah utama seratus juta rupiah.” Eda membacanya. Dipa dan Eda saling pandang sejenak. Keduanya menelan ludah. “Nggak mungkin, deh, punya kita.” Dipa tertawa. “Iya. Mana mungkin.” Eda ikut tertawa. “Tapi, coba aja.” “Bener juga, ya, coba aja.” Eda mengelap tangannya yang basah oleh keringat ke rok seragamnya. Dia membuka segel stoples kopi tersebut. Entah kenapa napasnya menjadi cepat. Eda melirik Dipa. Dia terlihat sama Selamat! Anda memenangkan seratus jut Jvta wupich! Kode! Drzarby, antusias dan tegangnya seperti Eda. Eda merasa begitu bodoh, seperti anak kecil. Mana mungkin stoples yang dibelinya bersama Dipa adalah stoples keberuntungan. “Lihat, kosong, kan?” Eda membuka tutup stoples dan segera menunjukkan sisi dalamnya kepada Dipa. Mata Dipa membelalak. Diputarnya tutup stoples itu hingga mengarah kepada Eda. Mata Eda ikutan membelalak. Selamat! Anda telah memenangkan seratus juta rupiah! Kode: EXZ678Y. Mendadak tangan Eda gemetar. Dipa meraih tangan Eda yang masih memegang tutup stoples dan menutup kembali toples itu rapat-rapat. “Tenang,” gumam Dipa. “Tenang,” “Tenang,” gumam Eda balik. “Jangan sampai ada yang tahu.” Dipa berbisik di telinga Eda. Eda mengangguk. “Simpan baik-baik.” Gantian Dipa yang mengangguk. “Gue pangku aja, takut gelinding lagi. Nggak lucu kalo ngegelinding keluar mikrolet.” “Oke,” bisik Eda. Dipa meletakkan stoples kopi itu di atas pangkuannya. Tangannya mencengkeram erat bagian atas stoples tersebut. Sementara itu, tangan Eda ikut mencengkeram erat stoples kopi itu dari sisi samping. Baik Dipa maupun Eda hanya diam sepanjang jalan. Setengah mati mereka menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan. Ketika akhirnya mikrolet berhenti di depan sekolah, Dipa dan Eda cepat-cepat turun. “Dip, coba buka lagi, Dip. Beneran, nggak? Apa gue cuma berhalusinasi?” Eda menarik lengan kemeja Dipa ketika mereka masuk halaman sekolah. “Mana mungkin yang berhalusinasi sampe dua orang, Da?” balas Dipa. “Ya, siapa tahu? Barangkali karena kita udah kelamaan kejemur, jadi otaknya kering” Mereka berdua berjalan hingga tiba di depan ruang guru. Dipa meletakkan kantong belanjaan mereka di lantai. Dia membuka tutup stoples kopi tersebut perlahan sambil menyipitkan mata. Selamat! Anda telah memenangkan seratus juta rupiah! Kode: EXZ678Y. Dia kembali melihat tulisan itu. Dia tidak berhalusinasi! “Da, beneran, Da!” Dipa mengguncang-guncang bahu Eda dengan semangat. “Selamat! Anda telah memenangkan seratus juta rupiah! Kode: EXZ678Y.” Eda membaca tulisan yang ada di balik stoples. “Beneran, Dip! Beneran!” “AAA!!! GUE MENANG SERATUS JUTA!” Dipa dan Eda berteriak kegirangan. Namun, rasa gembira mereka tak bertahan lama. Mereka berdua saling pandang. Kening keduanya berkerut. “Tunggu, tunggu,” sergah Eda. “Lo menang seratus juta? Gue, kali.” “Lo2?? Gue, Da. Gue. Gue yang suruh lo beli Kopi Cap Badak ini.” “Dan, gue yang ngambil stoples ini.” “Lo nggak mungkin ngambil stoples ini kalo nggak gue suruh beli Kopi Cap Badak, kan?” “Lo nggak mungkin menang undian kalo nggak ngambil stoples ini, kan?” Dipa menghela napas. “Da, ini hak gue. Oke? Jangan kayak anak kecil.” “Dipa, balikin tutup stoples gue. Ini hak gue. Oke?” Eda berusaha meraih tutup stoples itu. Dipa menjauhkan tutup stoples tersebut dari Eda. “Enak aja. Barang yang sudah diambil tidak bisa diberikan kembali.” “Dipa, balikin tutup stoples gue sebelum gue bertindak macam- macam ke lo,” ancam Eda. “Seperti?” “Seperti ini!” “AAAAAAOOOWWW!” Dipa menjerit keras saat Eda menendang tulang keringnya kuat- kuat. Tutup stoples itu terlepas dari tangan Dipa dan jatuh ke lantai. Eda segera memungutnya dari lantai. Dipa yang masih meringis menjulurkan tangannya dan menjambak rambut Eda. “AAAAAAAAAAAA"” Eda ikut menjerit kencang. Tutup stoples itu kembali terjatuh. Ketika Dipa membungkuk hendak mengambil, tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang familier di telinganya dan Eda. “HEI! APA-APAAN INI?!” Seolah waktu terhenti mendengar suara itu, Dipa dan Eda langsung terpaku pada posisi masing-masing. Eda mengusap kepalanya sehabis dijambak dan Dipa setengah membungkuk untuk mengambil tutup stoples di lantai. Siapa lagi kalau bukan Pak Budi! CAP BADAK gen CHAPTER 3: Rencana Perfama Ide tak terduga sering muncul ketika manusia tengah di ambang putus asa. « i. hadir di hadapan Anda, bersama saya Laras Sjahrir, ose lengan serangkaian informasi yang telah dihimpun oleh tim redaksi kami, antara lain ....” “Mas! Mas Dipa! Mas!” Dipa sedang di toilet ketika mendengar namanya dipanggil- panggil. “Mas Dipa!” Tak lama, bukan hanya namanya yang dipanggil, melainkan juga pintu toilet digedor-gedor. “Sabar!” balas Dipa, setengah berteriak dari balik pintu. “Lagi boker! Kenapa, sih?” “Udah mulai, Mas!” “Hah?! Emang udah jam 7.00?” “Udah, Mas!” “Sial.” Cepat-cepat Dipa menyelesaikan buang hajatnya. Setelah itu dia tergesa-gesa keluar dari toilet dan bergabung dengan Vito, salah satu adiknya di panti yang tadi memanggil-manggil namanya, duduk di lantai menonton TV. “Yah, Mas Dipa telat. Lara Sjahrir udah muncul tadi,” celetuk Vito. “Laras Sjahrir,” ralat Dipa. “Tya, Lara Sjahrir” “Vit, dengerin Mas Dipa, nih. LaraSSSSSS Sjahrir. Laras. Bukan Lara.” “Oh.” Vito tak peduli apakah nama pembaca berita yang ada di layar TV adalah Lara Sjahrir ataukah Laras Sjahrir. Akan tetapi, bagi Dipa itu penting. Setiap hari Dipa tak pernah absen duduk di depan layar TV menonton Laras membawakan berita. Itu sebabnya pengetahuan umum Dipa sangat luas. Malam itu, Dipa melewatkan bagian favoritnya dari acara berita pukul 7.00 malam, yaitu saat Laras menyapa pemirsa dan menyebutkan namanya. Itu semua karena Dipa menghabiskan terlalu banyak waktu di toilet. Mengapa Dipa mendekam begitu lama di toilet? Karena pikirannya sibuk melayang ke mana-mana! Tepatnya ke kejadian tadi siang. Lantaran dimarahi Pak Budi karena terlalu berisik di depan ruang guru, akhirnya Dipa dan Eda 20 terpaksa menjelaskan perihal undian Kopi Cap Badak yang mereka menangkan. “Ya udah, kenapa ribut? Bagi dua aja hadiahnya, gampang, toh?” “Nggak bisa, Pak,” sela Eda. “Saya yang ngambil stoples itu. Jadi, saya berhak mendapatkan seratus juta itu sepenuhnya.” “Jadi begini, Pak. Seandainya saya nggak minta Eda untuk beli Kopi Cap Badak, apakah menurut Bapak mungkin Eda mengambil stoples itu?” timpal Dipa. Pak Budi mengernyit. Kepalanya pening direcok kedua muridnya yang berseteru itu. “Kalian udah sikat WC, belum?” “Belum, Pak.” “Sikat dulu WC itu, baru bicara!” semprot Pak Budi. “Saya sita stoples ini sampai kalian selesai!” “Siap, Pak!” Dengan segera Dipa dan Eda berlari menuju toilet, menyambar alat-alat pembersih, menyiramnya, dan membersihkan sekuat tenaga. “Dip, lo nggak malu, ya, ngaku-ngaku hadiah itu adalah hak 10?” celetuk Eda, sambil dengan agresif menuang cairan pembersih hingga dia terbatuk mencium baunya. “Kenapa mesti malu? Itu hak gue. Lo, kali, yang mestinya malu!” sahut Dipa, menyikat kencang-kencang hingga air memercik. Dipa dan Eda tak bicara banyak sambil membersihkan WC. Mereka berdua ingin cepat-cepat selesai dan mengambil hadiah mereka. Keduanya sampai berlari-lari, berusaha saling mendahului saat kembali mendatangi Pak Budi. “Sudah selesai, Pak!” seru Dipa dan Eda serempak. “Bagus.” Pak Budi tersenyum. “Kalian ingat dihukum karena apa?” u “Jualan di sekolah!” “Apakah kalian berjanji nggak akan mengulanginya lagi?” “Janji!” “Sudah ada kesepakatan mengenai pembagian hadiah kalian ini?” tanya Pak Budi. “Pak, dengan segala hormat saya sampaikan bahwa hadiah itu sepenuhnya milik saya,” ucap Dipa buru-buru. Eda mendelik. “Pak, saya nggak bermaksud kurang ajar sama Bapak, tapi ucapan Dipa itu salah besar. Hadiah itu milik saya.” “Aduh.....” Pak Budi geleng-geleng kepala. “Kalian ini nggak malu, ya? Udah umur segini, masih aja nggak ngerti caranya berbagi?” “Masalahnya, saya lebih butuh uang itu daripada Eda, Pak.” “Pak, sebetulnya saya yang lebih butuh uang itu.” “Baiklah. Kalian berdua sama-sama butuh uang seratus juta ini. Ini jumlah yang banyak, lho. Buat apa? Saya mau tahu.” Baik Dipa maupun Eda segera terdiam. Tak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab Pak Budi. “Buat apa? Ayo, jawab.” Dipa dan Eda masih terdiam. “Jangan-jangan buat maksiat, ya?” “Astaga, Pak! Jangan suuzan,” ucap Dipa cepat-cepat, menepuk dadanya. “Mana mungkin! Apa kata adik-adik saya di panti nanti? Apa kata pengurus-pengurus panti?” “Nggak usah lebay, deh.” Eda mendengkus. “Nggak, Pak. Uang itu bukan untuk hal-hal maksiat. Uang itu untuk hal penting.” “Hal penting apa?” Pak Budi masih mencecar mereka. Dipa dan Eda kembali bungkam. Pak Budi menunggu mereka untuk beberapa saat. Keduanya masih belum berubah pikiran dan memberi tahu Pak Budi untuk apa mereka membutuhkan uang sebanyak itu. Uw “Baiklah. Selama kalian nggak mau bicara, selama kalian nggak ada kesepakatan, stoples kopi ini saya sita. Sudah, pulang kalian sekarang” “Oke, oke, Pak, uangnya kita bagi dua aja sesuai saran Bapak.” Dipa buru-buru memohon. “Iya, Pak. Saya mohon jangan disita,” pinta Eda. Pak Budi menggeleng. “Kopi ini dibeli dengan uang sekolah. Lagi pula, kalau sekolah nggak nyuruh kalian ke pasar dan beli kopi hari ini, kalian nggak mungkin menemukan stoples ini, kan? Jadi, ini hak siapa? Hak sekolah, kan?” Kaki Dipa dan Eda langsung lemas mendengarnya. Dengan lunglai keduanya keluar dari ruangan Pak Budi. Dipa dan Eda menyeret langkah mereka bersamaan dengan matahari yang mulai tenggelam. Warna oranye kemerahan yang indah di langit sangat kontras dengan wajah mereka yang suram. “Gue beneran butuh uang itu, Dip,” ucap Eda lirih. “Gue juga, Da,” balas Dipa, tak kalah memelas. Dipa dan Eda berjalan keluar gerbang sekolah dengan lunglai. “Gimana caranya dapetin stoples itu lagi?” Eda bertanya. “Tahu, deh. Nyolong, kali, dari ruangan Pak Budi.” Eda mengangkat bahv. “Itu pun kalo bisa. Ruangan Pak Budi, kan, selalu dikunci.” Tiba-tiba mata Eda melebar. Dia menjentikkan jari. “Gue tahu gimana caranya, Dip.” “Gimana?” sahut Dipa malas-malasan. “Kita harus membuat situasi kacau biar Pak Budi meninggalkan ruangannya dan kita bisa menyelinap ke sana.” “Oke. Situasi kacau macam apa yang lo pikirkan?” “Bikin alarm kebakaran bunyi.” Dipa terperangah mendengar ide Eda. Mulutnya menganga sambil mengangguk-angguk. “Wow ... lo memang genius, Da.” B Eda tersenyum puas dan menaikkan alisnya. “Besok saat jam pelajaran keempat, gue bakal izin ke toilet dan bunyiin alarm kebakaran. Nah, kan, situasi kacau, tuh, semua pasti pada mengevakuasi diri. Saat itulah kita menyelinap masuk ke ruangan Pak Budi.” “Setuju, setuju.” Dipa mengangguk-angguk. “Jam_pelajaran keempat, ya?” “lya. Lo siap-siap aja. Begitu denger bunyi alarm, jangan lari ke halaman sekolah, tapi ke mana?” “Ruang Pak Budi.” “Pinter.” Sepanjang sore itu hingga pulang ke panti, Dipa mengulang- ulang kembali rencana mereka di kepalanya. Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi.... “.. saya Laras Sjahrir, sampai jumpa.” ... ke ruangan Pak Budi. a CAP BADAK 20) CHAPTER 4: Tenfang fda "Nggak usah menyesali hal yang nggak bisa kita kendalikan atau nggak bisa kita ubah lagi." ‘da sedang mematangkan rencana untuk merebut kembali stoples Kopi dari ruangan Pak Budi ketika mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Eda segera memasang telinga. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul 12.30 malam. Dari suara langkah kakinya, Eda yakin itu adalah Mama yang baru saja pulang. Eda melipat kertas buram, tempat rencananya tersusun, dan menyelipkan ke dalam tas sekolah. Setelah itu dia keluar dari kamarnya. “Ma,” sapa Eda. “Da?” Mama menoleh mendengar suara Eda. “Kamu, kok, belum. tidur?” “Iya, habis belajar,” balas Eda, berbohong. “Jangan tidur terlalu malam. Besok, kan, kamu sekolah.” Eda hanya mengangguk. “Mama mau teh? Aku bikinin, ya?” “Nggak usah, Sayang. Makasih. Mama mau langsung tidur aja. Kamu juga, gih.” Mama mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Eda. “Aku mau tidur sama Mama malam ini. Boleh?” Mama tersenyum tipis. “Iya.” Sejak Papa dan Dira, adik Eda, meninggal, Eda memang sering meminta untuk tidur di kamar Mama. Terutama saat Eda sedang sedih karena kangen Papa dan Dira. Sering kali juga karena Eda hanya ingin menemani Mama. Eda belajar bahwa berbagi kesedihan berdua lebih meringankan daripada menanggung sendiri masing- masing. “Eda, gimana di sekolah hari ini? Lancar?” tanya Mama, saat dirinya dan Eda sudah berbaring di ranjang. “Lancar.” Eda tersenyum kecil. Lagi-lagi dia berbohong. Barangkali hari ini adalah hari paling tidak lancar dalam hidupnya sebagai pelajar. “Mama gimana di restoran? Lancar?” Mama ikut tersenyum tipis dan mengangguk. “Ma...” “ya, Sayang?” “Aku udah mikir-mikir, setelah lulus SMA, aku nggak mau kuliah Kedokteran.” Mama mengernyit. “Lho, kenapa? Kamu, kan, dari dulu maunya jadi dokter?” “Nggak, ah. Kalau dipikir-pikir, aku males juga. Kuliahnya lama.” Eda tahu, dari tatapannya, Mama tak percaya begitu saja pada ucapan Eda. “Lagian, jadi dokter kayaknya nggak cocok buatku, deh, Ma. Jadi dokter itu, kan, mesti teliti, sabar, dan penuh dengan logika.” Uo “Da, kamu belajar yang rajin aja, ya, seperti yang selalu kamu lakukan. Hal-hal lainnya biar Mama yang urus.” Eda memejamkan mata saat tangan Mama mengusap kepalanya. “Iya, Ma,” bisiknya. Setelah itu Eda pura-pura terlelap. Eda tahu, Mama juga pura- pura terlelap. Keduanya saling memunggungi satu sama lain. Diam- diam air mata Eda mengalir. Dia tahu, Mama pasti juga diam-diam menangis. Eda sering melihatnya. Seandainya Papa masih hidup, tentu tidak akan seperti ini keadaannya. Banyak hal berubah sejak Papa pergi. Mama jadi lebih sibuk bekerja. Mama yang cantik kini wajahnya selalu lelah. Mama sangat sibuk sehingga Eda jarang melihat senyumnya yang ceria seperti dahulu. Eda jarang membawa bekal ke sekolah karena Mama tidak punya waktu lagi untuk memasak pada pagi hari. Eda juga banyak berubah. Eda juga tak lagi seceria dahulu. Kalau dahulu yang memenuhi pikirannya hanyalah seputar sekolah, mendapat nilai bagus, dan masuk jurusan Kedokteran, sekarang Eda hanya ingin Mama kembali semangat lagi. Eda tidak ingin menjadi beban bagi mamanya. Pada saat pemakaman Papa dan Dira baru saja selesai, Eda pernah bertanya kepada Mama sambil menangis. “Kenapa, sih, Ma, hal-hal buruk menimpa orang baik? Kita orang baik, kan, Ma? Memangnya kita salah apa?” “Nggak tahu, Da,” jawab Mama lirih. “Nggak usah menyesali hal yang nggak bisa kita kendalikan atau nggak bisa kita ubah lagi.” Eda tidak puas dengan jawaban Mama. Di matanya selama ini, Mama adalah orang yang tahu tentang segala hal. Selepas Papa dan Dira pergi, Mama menjadi orang yang tidak punya lagi jawaban untuk setiap pertanyaan Eda. Ada masanya Eda sempat membenci Mama setelah Papa dan Dira meninggal. Eda merasa Mama tidak peduli dengannya seperti dahulu. a Mama seolah menjauh. Mama tidak punya waktu lagi untuk bercengkerama dengan Eda atau sekadar menemaninya belajar. Eda merasa, Mama bahkan tidak peduli pada apa yang Eda rasakan: bahwa dia masih belum bisa menerima kematian papa dan adiknya. Eda masih belum bisa berhenti menangis setiap malamnya dan masih belum bisa berhenti bertanya-tanya mengapa dia harus mengalami musibah seperti itu. Eda masih ingat, suatu hari, kemarahan Eda meledak begitu saja. “Aku benci sama Mama! Sejak Papa meninggal, Mama nggak peduli lagi sama aku. Kenapa, Ma? Karena aku cuma anak tiri?!” Kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa bisa dia kendalikan. Eda tahu dia sudah menyakiti perasaan Mama lewat ucapannya. Eda sendiri masuk ke kamar dan menangis sehabis mengucapkannya. Dia takut untuk bertemu Mama setelahnya. Bukan karena takut dimarahi, melainkan karena takut jika harus melihat Mama terluka karena ucapannya. Dugaan Eda benar. Dia melihat Mama menangis di kamarnya setelah Eda melontarkan kalimat tadi. Mama menangis hingga kelelahan dan tertidur. Eda merasa sangat bersalah. Sepanjang hidupnya, Eda sama sekali tak pernah bertengkar dengan Mama. Bagi Eda, Mama adalah sahabat baiknya. Eda menepis semua prasangka orang tentang ibu tiri. “Maafin aku, ya, Ma?” bisik Eda saat itu, sambil menyelimuti Mama. Kemudian, Eda membungkukkan badan untuk mencium pipi Mama. Saat itu air matanya jatuh. Mama mengerjapkan matanya dan terbangun. “Eda ...,” panggilnya. Mama menggenggam tangan Eda, menahannya supaya tidak pergi. Perlahan Mama bangun dan duduk di atas ranjang. “Sini, Da. Mama mau bicara.” 18 Eda duduk. “Da,” ucap Mama, masih memegang tangan Eda. “Mama nggak tahu kamu merasa seperti itu. Mama yang seharusnya minta maaf. Mama terlalu sibuk mikirin diri sendiri, sedih sendiri, berusaha menghibur diri sendiri, sampai nggak sadar kalau kamu juga butuh berbagi kesedihan, butuh dihibur, butuh ditemani. Eda, maafin Mama, ya?” “Mama jangan ninggalin aku.” Eda mulai terisak. “Nggak, Sayang. Mama nggak akan pernah ninggalin kamu.” “Aku nggak bermaksud ngomong jahat ke Mama.” “Iya. Mama percaya, Eda nggak mungkin bermaksud ngomong seperti itu ke Mama. Maafin Mama, ya, Da?” Dari kepergian Papa dan Dira, Eda juga belajar bahwa, bahkan orang dewasa seperti Mama, yang selalu dia anggap kuat, ternyata juga seorang manusia biasa. Ada kalanya Mama bersedih dan ingin sendiri. Ada kalanya Mama bingung, tetapi tidak ingin terlihat tersesat di mata Eda. Akan tetapi, yang Eda yakini sekarang, Mama tidak akan pernah meninggalkannya. Yang Eda yakini, selamanya mereka akan selalu saling menjaga dan menyemangati satu sama lain. “Ma,” panggil Eda, setelah lamunan tentang masa lalunya buyar. “Iya, Sayang?” “Mama jangan khawatir soal aku lagi. Aku baik-baik aja, kok. Aku akan selalu cari cara supaya aku baik-baik aja. Supaya kita baik- baik aja.” 4 CAP BADAK 7) 2830 CHAPTER 5: 1g Jika seseorang tak pernah terdengar mengeluh, bukan berarti dia tak pernah menangis. atahari mulai menampakkan wujudnya saat Eda tiba di depan batu nisan bertuliskan nama Papa dan Dira. “Pagi, Pa. Pagi, Dira,” sapa Eda. Tak lupa Eda tersenyum, seolah betul-betul sedang berhadapan dengan papa dan adiknya. Eda belum pernah datang lagi ke sini sejak pemakaman mereka. Banyak hal yang Eda takutkan jika dia datang. Dia takut menjadi sedih lagi. Dia takut menangis lagi. Dia takut kangen lagi. “Gimana kabar Papa dan Dira? Gimana di surga? Semuanya indah, kan?” Eda menelan ludah, menahan diri agar air matanya tak tumpah. “Kata Mama, doa itu seperti peta untuk ke surga bagi orang yang udah meninggal. Papa sama Dira udah nyampe surga, kan?” Tentu saja tak ada jawaban. Eda hanya merasakan cahaya matahari yang perlahan menyentuh bahunya. “Pa ... Papa tahu, nggak, sejak Papa pergi, sekarang Mama jadi lebih sibuk.” Eda mulai bercerita. “Mama sekarang pegang shift malam juga. Jadi, sekarang Mama selalu pulang tengah malam. Kadang, aku udah tidur saat Mama pulang, dan Mama masih tidur saat aku berangkat ke sekolah. Jadi, aku harus mengerjakan semuanya sendirian, Pa. Bikin PR sendiri, belajar sendiri, bersih- bersih rumah sendiri. Tapi, aku nggak keberatan. Aku juga udah gede sekarang. Tapi, Papa tahu apa yang paling berat? Saat aku pulang ke rumah yang sunyi dan sepi. Saat aku makan malam dan sarapan sendirian ....” Eda menyeka matanya. “Dan, saat aku tahu, Mama sekarang kerja mati-matian seperti ini juga buatku.” Kedua tangan Eda menutup wajahnya. Eda tak tahan lagi. Dia mulai terisak dan menangis. Aku berusaha untuk bantu Mama sebisaku, batin Eda. Walau aku tahu, yang aku lakukan salah, tapi aku cuma mau meringankan beban Mama. Aku mau berhenti jadi beban bagi Mama. Jadi, aku mulai jualan catatan. Idenya datang begitu aja, ketika banyak temanku yang minjem catatanku untuk difotokopi. Sebetulnya, sedikit demi sedikit hasil jualan catatan itu lumayan, Pa. Tapi, aku masih butuh lebih banyak uang lagi. Kuliah Kedokteran itu mahal biayanya. Aku sempat berpikir, mungkin lebih baik aku nggak usah jadi dokter aja. Bahkan, kalau perlu, aku nggak usah kuliah aja. Tapi, aku ingat Eyang. Aku ingat kenapa aku ingin jadi dokter dari dulu. Aku ingat ketika Eyang nggak ditangani dengan baik saat sakit. Aku ingat wajah Papa yang penuh penyesalan, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Lalu, aku juga ingat bahwa aku ingin jadi dokter supaya aku bisa menolong eyang-eyang yang lain. Masalahnya, Pa, kemarin aku ketangkep Kepala Sekolah karena jualan. Aku jadi nggak boleh jualan lagi. Tapi anehnya, pada hari yang sama, aku menang undian seratus juta! Masalahnya lagi, Pa, karena ada makhluk nyebelin dan nggak jelas bernama Dipa, hadiahku itu jadi disita Pak Budi. Nah, hari ini rencananya aku mau merebut kembali hadiah itu. Doakan aku supaya berhasil, ya, Pa! Dira, doakan aku juga, ya! Supaya aku tetap bisa berusaha mewujudkan cita-citaku dari dulu. Aku betul-betul butuh uang itu. Aku nggak tahu Dipa nyebelin itu mau buat apa butuh uang sebanyak itu. Dia nggak cerita, aku juga males tanya. Biarlah itu menjadi urusannya. Tapi, yang jelas aku benar-benar butuh uang itu. Tapi, harus kuakui, ya, Pa, anak itu betul-betul punya semangat yang tinggi. Dipa ini anak yatim piatu, tinggal di panti asuhan. Dia nggak tahu siapa orang tuanya, masih hidup atau nggak. Dia juga nggak taku gimana nasibnya setelah lulus SMA, tapi dia tetap semangat setiap hari datang ke sekolah, belajar. Dia bahkan sempet-sempetnya jualan! Kalo aku jadi dia ... nggak tahu, deh, Pa. 32 Aku rasa aku nggak mungkin akan tetap punya semangat hidup yang tinggi seperti dia. Duh, kok, jadi ngomongin Dipa? Ya udah, deh, aku harus ke sekolah sekarang. Papa dan Dira baik-baik, ya. Tolong doakan dan jaga aku sama Mama dari surga sana, ya. Eda memejamkan matanya sejenak. Dia memanjatkan doa dan menyentuh batu nisan di hadapannya, sebelum beranjak melangkah dengan hati yang lebih ringan. “Every day we pray for you. Till the day we meet again. In my heart is where I'll keep you.” —P. Diddy - “I'll Be Missing You” 33 CAP BADAK 230 CHAPTER 6: Rasa penasaran itu menyebalkan, seperti sebuah beban tak berkesudahan. ik tik tik! Tik tik! Klik! Dipa melirik ke kiri dan ke kanan. Dilaboratorium komputer siang itu, Dipa hanya bisa mendengar suara jemari-jemari yang beradu dengan keyboard dan mouse, serta suara pendingin ruangan yang begitu keras. Dio sudah pernah memberi peringatan kepada Dipa agar tidak duduk dekat AC itu. AC tersebut sudah tua dan bisa saja sewaktu- waktu jatuh menimpa orang yang ada di bawahnya. Akan tetapi, Dipa mengabaikan peringatan Dio. Dia tetap duduk di tempat favoritnya, sebuah sudut yang dekat dengan pendingin ruangan. Tak ada yang mau duduk di kiri-kanan Dipa. Alasannya sama seperti kata Dio, takut tertimpa AC. Buat Dipa tak masalah, justru lebih bagus. Pak Dugi, guru komputer mereka, akan sulit melihat layar monitor Dipa dari jarak jauh. Pasalnya, di sudut inilah dia bisa diam-diam browsing sambil mengerjakan tugas. Seperti sekarang, Dipa sedang mengerjakan soal ulangan pelajaran komputer sambil browsing. “Waktunya tiga puluh menit lagi,” kata Pak Dugi. Dipa melihat soal terakhir yang belum dikerjakannya. Ah, ini gampang, ucapnya dalam hati. Diliriknya sekali lagi teman-temannya yang masih sibuk mengerjakan soal. Dipa membuka aplikasi browser di komputernya dan mengetik. L-A-R-A-S Sjahrir. Hasil pencarian di internet memuat profil seorang wanita muda yang cantik dengan rambut ikal seleher. Banyak fotonya yang menunjukkan latar belakang nama salah satu stasiun televisi di Indonesia. Dipa menelan ludah. Terlalu banyak foto dan informasi yang bisa dipilihnya. Akhirnya, Dipa memutuskan untuk mengeklik laman Wikipedia. Laras Sjahrir (lahir di Stockholm, 13 Januari 1980; umur 37 tahun) adalah pembaca berita dalam program News Highlight di INC TV. Ayahnya adalah seorang diplomat, membuat Laras sedari kecil tinggal di berbagai negara, antara lain Belanda, Thailand, dan Jepang, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta saat SMA. Laras kemudian melanjutkan kuliah di Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Laras sempat bergabung dengan majalah ekonomi Bloomberg Businessweek di New York. Dari situ, dia mulai meniti dunia jurnalisme. Pada tahun 2007, Laras kembali ke Indonesia dan bergabung dengan stasiun INC TV sebagai jurnalis hingga saat ini. 35 Kening Dipa berkerut membacanya. Dia begitu menghayati seolah sedang membaca karya sastra saja. Jadi, Laras ini menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di luar negeri. Sudah lama menetap di Amerika Serikat, mendapat pekerjaan yang mapan, lantas mengapa Laras kembali ke Indonesia? “Dipa, kenapa malah browsing?” DEG! Jantung Dipa seolah berhenti mendengar suara di telinganya. Dipa memberanikan diri untuk menoleh. Dia melihat Pak Dugi sudah berdiri di belakangnya. “Laras Sjahrir.” Dipa makin gelagapan saat Pak Dugi membaca judul pada laman yang sedang dibaca Dipa. Buru-buru Dipa menggerakkan mouse untuk menutup laman tersebut. Namun, tangan Pak Dugi lekas menahannya. “Siapa Laras Sjahrir?” Pak Dugi menudingkan dagunya ke arah Dipa. Dipa menelan ludah. “Aaa ....” Suara yang keluar dari mulutnya terdengar serak. Seluruh mata kini tertuju kepadanya, kecuali beberapa murid yang memanfaatkan momen tersebut untuk saling bertukar jawaban. “Pembaca berita, Pak, kata Wikipedia.” “Hmmm.” Pak Dugi mengelus dagunya sambil menatap layar monitor. “News Highlight di INC TV. Mungkin saya pernah lihat waktu nonton berita.” “Mungkin, Pak.” Dipa berusaha tersenyum. “Ya sudah. Kamu keluar sekarang. Ulanganmu saya kasih nol. Ikut rombongan remedial aja nanti, ya.” “P-Pak, jangan, Pak. Saya minta maaf, Pak!” Dipa memohon. Pak Dugi hanya mengangkat bahu. Dirampasnya kertas buram dengan nama Dipa dari meja dan dia menuliskan nilai nol. Pak Dugi juga sempat menulis: Browsing saat ulangan. Anak zaman sekarang. 30 “Keluar. Tunggu di luar sampai teman-temanmu selesai. Awas, jangan jalan-jalan, ya!” Dengan lemas Dipa menyeret langkahnya keluar. Dia mengacak rambutnya seraya mengambil posisi untuk berdiri di depan pintu laboratorium komputer. Entah mengapa sisa waktu lima belas menit jam pelajaran komputer terasa begitu lamban bagi Dipa. Ketika akhirnya bel tanda istirahat pertama berbunyi, Dipa menarik napas lega. “Dip! Lo gila, ya? Browsing pas lagi ulangan?!” Dio menepuk bahu Dipa saat bubaran. “Gue, tuh, udah mau kelar, Yo,” sahut Dipa. “Lagi sial aja gue!” “Browsing apa, sih, sampe nggak bisa nunggu setelah ulangan? Penting banget, apa?!” “Yo, lo inget, nggak, pembaca berita yang gue ceritain ke lo kemarin. Laras Sjahrir.” “Kenapa dia?” sahut Dio acuh tak acuh. “Gue, kan, tadi baca tentang dia di Wikipedia. Ternyata dia besar di luar negeri karena bokapnya diplomat. Terus, dia kuliah di Amerika juga, bahkan udah kerja di sana. Lo tahu, nggak, dia kerja di mana?” “Hmm?” “Businessweek-nya Bloomberg!” “Apaan, tuh?” “Oh ... oh, iya, gue lupa. Lo, kan, cuma baca kertas bungkus gorengan,” ledek Dipa. “Anyway, kenapa Laras pulang ke Indonesia, ya?” Dio memutar bola matanya. “Mana gue tahu? Emang gue emaknya? Ngefan sama orang juga nggak segitunya, kali, Dip, sampe dianalisis. Eh, ngomongin gorengan, gue jadi kepingin, nih. Jajan, yuk!” 37 “Nggg ... lo aja, deh. Gue mau ke perpus.” “KE PERPUS?!” Dio memekik. “Oh. Ya udah.” “Apaan, sih. Gue cuma mau ngelanjutin browsing!” Dipa geleng-geleng kepala Laras Sjahriv News Broadcast Noosas26 ( sambil tertawa. Dia geli sendiri melihat reaksi Dio yang sempat berlebihan, lalu kembali datar. Dipa membalikkan badan, _melangkah berlawanan arah dengan Dio. Dia mengeluarkan sebuah tanda pengenal dengan tali berwarna biru tua dan bertuliskan INC TV. Sambil melangkah, Dipa menatap tanda pengenal itu lekat- lekat. Ada foto seorang wanita muda yang cantik dengan rambut ikal seleher dan informasi pemilik tanda pengenal itu. Laras Sjahrir. News Broadcast. NO069526. BRUK! “Aduh!” Tanda pengenal di tangan Dipa meluncur dari tangannya dan jatuh, bersamaan dengan buku dan tempat pensil yang menghambur ke lantai. Isi tempat pensil itu bertebaran keluar. “Duh! Makanya kalo jalan jangan sambil mainan handphone!” omel suara murid cewek di hadapannya. “Sori, sori,” ucap Dipa. “Gue nggak lagi mainan handphone, kok.” Dipa buru-buru mengambil tanda pengenal Laras Sjahrir yang terjatuh dan menyimpannya di saku seragam. “Lah? Lo, Da?” Ketika Dipa hendak membantu membereskan barang-barang yang jatuh, dia tersadar bahwa murid cewek itu adalah Eda. 38 “Nggak usah. Gue aja,” gumam Eda. Dipa menaikkan alisnya. Masih aja jutek, nih cewek?! Apa dia nggak nyadar kalau kita punya misi bareng? Ramah sedikit sama rekanan, kenapa?! “Oh. Oke. Sekali lagi, maaf, ya.” Alih-alih mengomel, hanya itu yang akhirnya diucapkan Dipa. Eda hanya menggumam. “Oh, ya, nanti jadi, kan?” bisik Dipa, mencondongkan tubuh dan mendekati telinga Eda. Eda mendecak, mengusap telinganya dengan kasar, geli karena bisikan Dipa. “Jadi!” desis Eda. “Udah, sana! Jangan sampai lo kelihatan dekat sama gue, nanti mencurigakan!” “Iya, iya. Aduh, santai, Non!” Dipa berdiri dan cepat-cepat melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan, sebelum Eda merepet lagi. “Bdal Lo ngapain?” celetuk Hanum, teman Eda yang menunggunya di ujung koridor. “Lo kenal sama Dipa? Si tukang sewaatribut sekolah itu, kan? Yang dagangnya di lapak Bang Faisal?” “Iya,” gumam Eda. “Kok, bisa kenal, Da? Th, gue mau juga, dong, dikenalin! Dia lumayan populer, Iho. Cewek-cewek pada pengin deket sama dia, tapi takut.” “Takut kenapa?” “Takut meleleh. Dipa, kan, so hooottt ....” Eda memutar bola matanya. “Geli banget, sih?! Udah, buruan ke kantin, gue udah laper!” 34 CAP BADAK 230 CHAPTER 7: Apa yang seharusnya menjadi milikmu, akan datang dengan sendirinya kepadamu. Jangan memaksa untuk menjemputnya. « Lz Sjahrir lagi. Lo terobsesi banget sama dia, sih?” celetuk Dio, mengintip ponsel Dipa dari balik bahunya. Saking kagetnya, ponsel yang dia pegang hampir terlempar. “Apaan, sih? Ngagetin aja!” dumel Dipa. “Namanya Laras Sjahrir. LaraSSSSSS. Pake S. Bukan Lara.” Dio hanya melambaikan tangan dan tertawa. Tampaknya dia tidak tertarik dengan penjelasan Dipa. Dipa pun beranjak dari kursi. Masih ada waktu kira-kira dua menit sebelum bel masuk berbunyi. Dipa membuka aplikasi Instagram di ponselnya. Anak yatim piatu punya smartphone? Mungkin orang bingung. Dipa sendiri juga bingung ketika ada sekotak smartphone baru terselip di antara setumpuk buku pelajaran saat dia masuk SMA. Buat Pradipta. Di atas kotak ponsel tersebut tertera selembar kertas memo. Hanya pesan sederhana itu yang tertulis. Sejak saat itu Dipa merawat ponsel itu baik-baik. Jangan sampai jatuh, jangan sampai rusak. Setelah aplikasi Instagram terbuka, Dipa mengarahkan kamera ponselnya ke arah pintu gerbang sekolah. Murid-murid SMA Harapan sedang ramai-ramainya melangkah masuk. Dipa merekamnya untuk Instagram Story miliknya. Ditulisnya caption: Nunggu bel masuk..... Hanya sebuah video singkat sederhana yang tak menarik, tetapi tak butuh waktu lama hingga pengikut-pengikut Dipa di Instagram melihatnya. Setiap hari Dipa memuat foto atau video di Instagram. Isinya sederhana saja dan sering kali tidak penting, seperti video tadi. “Lo sering banget, sih, upload yang nggak penting? Caper, Dip?” celetuk Dio suatu hari. Caper? Bukan caper, tapi apa, ya? Dipa ingin seseorang di luar sana tahu tentang kegiatan sehari-harinya, syukur-syukur kalau dikomentari. Instagram Dipa terbuka untuk umum, kok. Lagi naksir siapa, sih, Dip? Belakangan aktif banget di Instagram, komentar salah seorang temannya lewat direct message. Lagi di depan kelas, ya, Dip? komentar temannya yang lain. Nggak main basket, Dip? Dipa katanya dirazia? Jadi, dagang lagi, nggak? Ah ... di antara semua pesan yang mengomentari, tak ada pesan yang Dipa tunggu. Dia menghela napas, lalu bernavigasi ke 4 halaman lain di Instagram. Laras Sjahrir. Akun itu terkunci. Tertera keterangan bahwa Dipa sudah mengajukan request untuk follow, tapi masih belum di-approve Laras. “Aduh!” Bulu kuduk Dipa merinding. Refleks, dia menggeliat saat ada tangan yang mencolek pinggangnya. Dipa menoleh dan mendengkus. Eda lagi, Eda lagi! Males banget, sih? Pada satu jam istirahat saja sudah dua kali dia bertemu Eda! “Lo manggil orang bisa, nggak, sih, yang bener? Jangan colek- colekan kayak gitu? Lo kira gue sabun?!” omel Dipa ketika sosok Eda mendekat. “Gue panggilin dari tadi, lo nggak nyahut.” Eda membela diri. “Jam pelajaran keempat, ya?” “Iyeee!!! Buset, dah, lo juga tadi yang bilang kita jangan deket- deket, takut dicurigain! Ngapain juga lo ke sini?” Dipa mendengkus. “Cari perhatian, ya, sama gue?” “Najis!” Eda berjengit. “Ngomong-ngomong, lo nggak di-approve mungkin gara-gara muka lo mesum,” celetuk Eda. Gantian Dipa yang matanya membelalak. “Ngapain, sih, lo ngintip-ngintip handphone gue?!” Eda tergelak sambil berlalu. Bel pun berbunyi. Jam istirahat telah selesai. Sekarang, saatnya jam pelajaran keempat dimulai. Jantung Dipa mendadak berdebar kencang. Dipa tersadar, betapa gila dirinya. Dia hendak menjalankan aksi yang gila dengan orang yang baru saja dikenalnya kemarin, Eda. Kemarin, saat hendak pulang dan melihat wajah Eda yang memelas, Dipa langsung yakin bahwa Eda memang bisa dipercaya. Eda memang butuh uang itu, tapi dia juga takkan menjebak Dipa. Entahlah, pokoknya hati kecil Dipa berkata dia bisa memercayai Eda 42 untuk bekerja sama. Mudah-mudahan Eda memang tidak sedang menjebaknya. Tak lama, Pak Sutikno, Guru Fisika, masuk ke ruang kelas. Kapan Eda akan membunyikan alarm kebakaran? Pak Sutikno mulai mengajar. Dipa semakin resah. Tangannya berkeringat. Dia berkali-kali menelan ludah. Belum lagi perutnya mulas, seperti mau menceret. “Jadi, lambda sama dengan h dibagi p, di mana lambda adalah panjang gelombang artikel, p adalah—” TUIT ...! TUIT ...! TUIT...! Dipa nyaris pingsan mendengarnya. Ternyata alarm kebakaran sekolah ini sangat dahsyat bunyinya. Pak Sutikno berhenti bicara. Semua menatap lampu yang berkedip-kedip merah di langit-langit. “Kebakaran, ya, Pak?” celetuk Dipa. “lya, kok, alarm kebakarannya bunyi, ya?” Pak Sutikno mengernyit. “Ya, berarti ada kebakaran, Pak!” Dipa segera berdiri. “Berarti kita harus mengevakuasi diri!” Seisi kelas langsung heboh. Mereka ikut-ikutan berdiri seperti Dipa. “Tenang, tenang.” Sambil berusaha menenangkan, Pak Sutikno keluar kelas untuk memantau situasi. Dia melihat guru-guru yang sedang mengajar di kelas-kelas sebelah ikut keluar. “Kebakaran, ya, Pak?” “Kebakarannya di mana?” “Ini anak-anak harus dievakuasi.” Sementara itu, guru-guru masih kebingungan, Dipa sudah menggerakkan teman-temannya untuk meninggalkan kelas. “Ke lapangan, ya! Evakuasi ke lapangan!” Dipa berseru dengan suara lantang. 43 Sementara itu, koridor mulai dipenuhi murid-murid yang berjalan menuju lapangan, Dipa menyelinap menuju Ruang Kepala Sekolah. TUIT...! TUIT...! TUIT....! Koridor tersebut sudah sepi. Dipa melihat Eda sudah menunggu di dekat pintu. “Lama banget, sih?” dumel Eda. “Pak Sutikno, sih, pake acara kebingungan, jadi lama, deh,” gerutu Dipa. Eda mengibaskan tangannya, pertanda dia tak tertarik dengan alasan Dipa. “Sekarang, gimana kita buka pintu ruangan kepala sekolah ini?” “Da, ngomong-ngomong alarmnya kapan berhentinya? Masa sepanjang hari berisik begini?” Eda mengangkat bahu. “Yang penting sekarang, gimana kita buka pintu ini, Dip?” “Lah, rencana lo kemarin, gimana? Kan, lo yang ngusulin, Dipa jadi bingung. “Gue nggak nyangka ruangannya akan dikunci. Gue pikir Pak Budi pasti panik, dong, buru-buru keluar tanpa ngunci.” Dipa melongo mendengarnya. “Da, lo udah heboh bikin alarm kebakaran bunyi dan bikin seantero sekolah terevakuasi. Terus, sekarang lo bilang ke gue kalau lo nggak tahu caranya buka ruangan Pak Budi???!” Eda menggigit bibir. “Aduuuh Edaaa!!! Makanya, jangan kebanyakan makan micin!” semprot Dipa. Dia sewot bukan main. “Tenang, jangan marah-marah dulu.” Eda mengetuk-ngetuk dagunya. “Makanya, bego, tuh, jangan dipiara, Da. Nggak ada faedahnya.” 44 “Bener juga, ya, Dip. Sama kayak ngomong sama lo, nggak ada faedahnya.” Eda kesal bukan main dengan Dipa yang malah mengangkat bahu mendengar sindirannya. Bukannya membantu, malah bikin orang tambah stres! “Lo jangan nyap-nyap doang, dong!” sembur Eda. “Bantu cari solusi, kek!” Dipa menghela napas. Dia mengamati ruangan Pak Budi dan sekitarnya. Dipa menunjuk sebuah jendela kecil di atas ruangan. “Tuh, badan lo, kan, kecil. Lo bisa masuk dari situ.” “Dip, lo kata gue kucing? Itu celah kecil banget!” “Ya udah, buka pake peniti kek, jepitan kek. Punya, nggak, lo?” Eda menjentikkan jari. “Bener juga.” Eda menarik jepit rambut dari kepalanya. “Gue cari dulu di YouTube gimana caranya.” “Ya udah, buruan.” Eda mengeluarkan ponselnya. Sedetik, dua detik, tiga detik berlalu, layar ponselnya tak berubah juga. Eda mendesah. “Dip, kayaknya kuota gue habis.” “Hadeeeh melihat layarnya, Dipa terkesiap. Laras Sjahrir has accepted your Dipa segera mengeluarkan ponselnya. Saat follow request. Laras Sjahrir started following you. “Dip?” tegur Eda. “Kuota lo habis juga?” “Nggak, Da.” Dengan wajah yang tiba-tiba semringah Dipa menatap Eda. “Kuota gue banyak sekali. Sebanyak garam di laut” “Ya udah, buruan cari gimana caranya buka pintu pakai jepit rambut,” ucap Eda. “Terus, muka lo boleh agak santai dikit? Mendadak kayak kucing kesurupan, gue jadi takut.” “Entar, entar ....” Dipa memegang dadanya sambil bersandar pada tembok. “Gue napas dulu.” 4s “Dipa! Yang serius, dong!” Eda yang kesal merebut ponsel Dipa dari tangan pemiliknya. Eda ikut membaca notifikasi yang masuk dari Instagram. Laras Sjahrir has accepted your follow request. Laras Sjahrir started following you. Eda mendengkus. Segera dibukanya internet browser dan Eda mulai mengetik. How to open door with “Kalian ngapain di sini?!” Seketika jantung Eda serasa mencelus, dan Dipa terlonjak. Yo CAP BADAK gen CHAPTER 8: Penasaran? "It's okay if you're late. Knock on my heart again like before." —Lee Seung Chul - "Darling" « Ke ngapain di sini?!” Eda kaget bukan main mendengar suara lantang itu, sampai-sampai ponsel Dipa yang tengah digenggamnya terlepas dan jatuh. Dipa ikut tersentak. Antara terkejut ditegur dan melihat ponsel kesayangannya jatuh, mata Dipa membelalak. “Alarm kenceng begini kalian masih nggak denger juga?!” Ternyata petugas pemadam kebakaran yang menegur mereka. Ada dua orang petugas yang mendekat ke arah mereka. “Tkut saya ke jalur evakuasi!” Petugas pemadam yang lain memberi isyarat supaya Eda dan Dipa mengikutinya. Eda mengusap wajahnya. Baik dirinya maupun Dipa tak berani membantah. Mereka berjalan cepat menuju lapangan tempat seantero sekolah dievakuasi. Eda melirik Dipa. Wajah Dipa begitu kaku. Eda sampai takut sendiri, Dipa pasti kesal bukan main karena rencana mereka berantakan. Harus Eda akui, memang salah dirinya yang tidak memperhitungkan cara membuka pintu ruangan Pak Budi. Eda sungguh kesal pada dirinya sendiri. Kok, bisa, sih, dia sebodoh itu?! Eda dan Dipa berdiri bersebelahan di salah satu sudut lapangan. Bersama murid-murid dan para tenaga pengajar, mereka menunggu hingga gedung sekolah selesai disisir oleh petugas pemadam kebakaran. Dipa masih berdiri dengan ekspresi seperti patung. “Setelah disisir, kami memastikan tidak ada kebakaran, Pak,” kata komando pemadam kebakaran kepada Pak Budi, setelah mereka selesai melakukan penyisiran. “Mungkin alarmnya mengalami korsleting atau ada yang iseng membunyikannya.” Pak Budi tidak terlalu senang mendengarnya. Ada yang iseng membunyikannya? Murid-murid langsung berbisik-bisik. Siapa yang nekat begitu? “Dio! Lo, ya?” tuduh teman-teman sekelas Dipa. “Astaga! Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Man!” Dio cepat-cepat menangkis tuduhan tersebut. “Mumpung kalian semua sudah berkumpul di sini, baris semuanya sesuai kelas masing-masing. Baris!” Tiba-tiba Pak Budi memberi perintah. Murid-murid langsung kocar-kacir berusaha membentuk barisan. Suasana lapangan menjadi sangat gaduh. Setelah semua barisan tersusun, Pak Budi segera maju ke dekat tiang bendera. “Siapa dari kalian yang menyalakan alarm kebakaran? Mengaku sekarang!” seru Pak Budi. 48 Deg! Jantung Eda seolah berhenti sejenak. Diam-diam Eda melirik Dipa di barisannya. Matilah dia kalau Dipa membuka rahasia. Bukannya tidak mungkin jika Dipa membongkar rencana mereka yang gagal itu lantaran kesal. Eda memohon-mohon dalam hati. Dipa, please, apa pun yang terjadi, jangan sekali-sekali lo ngaduin gue ke Pak Budi. Please, please, please, please .... “Tidak ada yang mau mengaku?!” Eda menelan ludah. Sekali lagi dia melirik Dipa. Dipa masih berdiri seperti patung. Tidak ada tanda-tanda dia akan membuka suara. Hening. Tentunya tak ada satu pun yang mengacungkan tangan untuk mengaku. “Mungkin memang korsleting, Pak.” Eda yang berdiri di barisan depan bisa mendengar suara Bu Aam yang berbisik ke Pak Budi. Beberapa murid lain yang mendengar, menggigit bibir, menahan tawa. Eda juga mungkin akan menahan tawa bila pikirannya tidak sedang kalut. Sekarang dia kehabisan ide bagaimana bisa mendapatkan kembali stoples kopi keberuntungan tersebut. “Ya sudah, kalian boleh bubar dan kembali ke kelas masing- masing.” Pak Budi akhirnya menyerah. Saat barisan bubar, Eda cepat- cepat menyelip di antara keramaian dan mendekati Dipa. “Dip,” panggil Eda dalam gumaman. “Lo marah, ya?” Dipa hanya mengangkat bahu. “Maaf, maaf. Kali ini salah gue. Gue akan berusaha memikirkan. rencana lain yang lebih matang. Tapi, lo juga bantu mikir, dong” “Nanti, deh.” Hanya itu sahutan Dipa. Dipa lalu bergegas menaiki tangga. Eda mengernyit. Buru-buru Eda menyusulnya. “Gue tahu lo kesal, Dip. Tapi, semestinya lo juga bantuin gue, dong, dalam menyusun rencana.” Eda mengadang Dipa. 44 Langkah Dipa terhenti. “Gue bukan marah gara-gara itu.” “Jadi?” “Gue marah karena lo seenaknya ngambil handphone gue, terus ngejatuhin handphone gue segala.” “Hah?” Eda mengernyit. Dia tidak habis pikir. Ternyata itu alasan kenapa wajah Dipa kaku layaknya Patung Moai?! “Lo kesel gara-gara itu? Yang bener aja, Dip? Kayak anak SMP aja!” Dipa tak membalas tawa Eda. Dia melanjutkan langkahnya melewati Eda. “Dipa, Dip!” Eda kembali menjajari langkah Dipa. “Sori, deh, kalo lo jadi kesal gara-gara itu. Tapi asli, gue nggak ngelihat apa-apa di layar handphone lo. Cuma notifikasi lo di-approve dan di-folbek sama . Siapa itu yang tadi pagi lo kepoin Instagram-nya? Udah, itu aja. Dan, maaf banget kalo handphone lo jadi jatuh. Tadi gue kaget pas tiba-tiba muncul petugas pemadam kebakaran. Lagian lo tenang aja, handphone, tuh, nggak mungkin rusak cuma gara-gara sekali jatuh.” Dipa menghela napas. “Iya. Ya udah, ya?” “Ya udah ... maksudnya?” “Ya udah, jangan ganggu gue lagi!” ujar Dipa dengan nada ketus. Eda tercengang dengan sikap Dipa. Dia hanya berdiri terpaku di anak tangga. Dipa itu sungguh seperti anak kecil! Masa ponselnya diambil langsung bete? Masa ponselnya jatuh langsung ngambek? Ditambah lagi, Eda, kan, sudah minta izin, dia mau mencari tahu cara membuka pintu dengan jepit rambut. Plus, salah Dipa sendiri, disuruh mencari, mengapa malah tidak sigap? Mereka, kan, seharusnya menjadi partner dalam memperebutkan kembali stoples kopi sitaan! Sekarang Eda jadi ikutan kesal. Pada rencana berikutnya, Eda tak mau lagi mengikutsertakan Dipa. Akan tetapi, di antara kesalnya, Eda teringat akan Dipa yang tak mengadukan dirinya ke Pak Budi. Mungkin Dipa memang 50 menyebalkan, tapi ternyata dia bukan orang yang suka sesumbar. Padahal, bisa saja Dipa cari muka di depan Pak Budi dan berkhianat kepada Eda. “Eh, eh, Dipa mungkin ikutan korsleting kayak alarm kebakaran, ya? Instagram Story-nya mendadak romantis gitu.” “Apa, apa?” “Nih. Dipa nulis: It’s okay if you're late, knock on my heart again like before.” “Kyaaaaaa ...! Itu buat siapa, ya, kira-kira?” “Kirana, kali. Anak IPS 3.” “Idih, emang Dipa kenal?” “Ya, kan, cantik. Orang ganteng naksirnya sama orang cantik, lah.” “Atau, Eda? Yang jualan catatan itu.” “Oh, yang kemarin dihukum bareng dia? Bisa jadi, tuh.” Deg! Saat sedang makan di kantin sewaktu jam istirahat kedua, Eda mendengar namanya disebut di antara percakapan tentang Dipa. Kenapa, sih, orang-orang heboh sekali soal Dipa? Kenapa namanya dibawa-bawa pula? Da, please, deh, jangan kege-eran! dumel Eda dalam hati. Mana mungkin?! Dipa, kan, galak begitu sama lo! “My darling of my dreams, hurry and run to me. It’s okay if you're late. Knock on my heart again like before.” —Lee Seung Chul - “Darling” sl CAP BADAK oz 230 CHAPTER 9: 1g Doang?| Hidup itu seperti roller coaster, kadang kamu di atas, kadang kamu di bawah. Dan, itulah yang membuat hidup jadi seru. « D® handphone nggak mungkin sekali jatuh langsung rusak. Santai aja. Lagian ini merek oke, kok,” kata Dio. “Yang penting layarnya nggak gores atau pecah, kan?” “Nggak, sh.” Sepulang sekolah, Dipa memberi tahu Dio perihal ponselnya yang jatuh. Tentu saja tanpa ada embel-embel Eda. Maklum, Dipa tidak punya banyak pengalaman soal ponsel. Ini ponsel pertamanya. Sebagai anak yang tinggal di panti asuhan, bagi Dipa ponsel adalah kebutuhan yang berada di urutan kesekian. “Ngomong-ngomong, donatur yang ngasih lo handphone baik, ya. Ini handphone bagus, lho,” celetuk Dio. Dipa termangu. “Iya. Gue juga penasaran. Gue pengin berterima kasih aja. Kayaknya itu adalah orang yang sama seperti yang ngirimin buku pelajaran dan seragam tiap tahun.” “Thu Panti juga nggak tahu siapa?” “Nggak. Katanya cuma sopir yang datang anter barang-barang buat gue.” “Mungkin kalo lo masuk kuliah nanti, lo dikasih handphone baru, Dip!” Dipa hanya tersenyum kecut. Kuliah? Rasanya tidak mungkin untuknya. Dipa mau langsung bekerja saja, supaya bisa membantu adik-adiknya di panti. “Gue nggak perlu handphone baru lagi, kok. Udah seneng sama yang ini,” ucap Dipa. Tiba-tiba dia jadi teringat Eda. Mungkin tadi Dipa terlalu ketus terhadap Eda. Dipa menyadari, dirinya memang berlebihan. “Eh, Yo, lo tahu nomor handphone Eda, nggak?” “Eda? Eda tukang jualan catatan?” “ya” “Tahu, sih. Kenapa, Dip?” “Bagi nomornya, dong, Yo.” “Lo mau beli catatan?” “Bukan. Ada urusan.” Dio memicingkan mata. Tiba-tiba dia menyeringai. “Jangan- jangan ... cewek yang bikin lo penasaran itu Eda, ya?” “Najis!” seru Dipa. “Ya bukanlah!” “Kalo iya juga nggak apa-apa. Kayaknya kalian cocok juga, Dip.” “Yo, buruan nomornya berapa?” Masih senyum-senyum, Dio memberikan nomor ponsel Eda kepada Dipa. Dipa cuek saja dengan Dio yang terus menggodanya. Toh, memang Instagram Story yang diunggahnya bukan untuk Eda! 53 Dipa tak menyangka unggahannya itu menuai banyak reaksi. Tapi tentu saja, reaksi yang muncul tak satu pun datang dari orang yang diharapkannya. “Serius, deh. Siapa yang bikin lo penasaran, sih, Dip?” Dio masih belum menyerah. “Ada, lah,” jawab Dipa sekenanya. “Temen sekelas kita? Satu sekolah? Anak mana?” “Mmm... anak mana, ya? Anak ibu dan bapaknya, deh.” Dipa tergelak melihat reaksi Dio yang terlihat kesal. “Oke, deh. Kalo gitu kasih tahu gue kenapa lo penasaran sama dia. Karena apa? Cantik? Pinter? Super baik? Atau, jangan-jangan karena dia wangi melati? Kakinya nggak napak?” “Hus! Jangan ngomong sembarangan!” hardik Dipa. “Ya napaklah kakinya! Lo kira kuntilanak?!” “Ya, kan, mana tahu lo kenalan di bawah pohon beringin nan rindang ...”” “Idih, amit-amit!” Gantian Dio yang terkekeh. “Gue penasaran karena ... susah dijelasinlah, Yo. Terlalu ribet.” Dio hendak protes, tetapi saat itu angkot jurusan Dipa muncul. “Eh, itu angkot gue. Udah, yal” Dipa melambaikan tangan kepada sopir angkot dan segera menaikinya sebelum Dio sempat berbicara lagi. Di dalam angkot, Dipa mengeluarkan ponselnya. Dia menatap nama Eda cukup lama sebelum memutuskan untuk mengirim pesan WhatsApp kepadanya. Dipa: Da .... Dipa mengirim pesan pertama. Ketika Dipa sedang mengetik lanjutannya, status Eda yang kosong berganti menjadi online. SH Dipa lanjut mengetik. Dipa: Tadi kayaknya gue lebay, sih, kesel sama lo sampe segitunya. Gue norak, soalnya itu handphone pertama gue, sumbangan pula dari orang yang gue nggak tahu siapa. Jadi, gue beneran takut rusak. Sebab, kalo rusak gue nggak mampu beli lagi. Belum tentu gue dapet lagi. Maaf, ya, Da? Satu per satu tanda centang di sebelah pesan Dipa berubah warna menjadi biru. Tandanya Eda sudah membacanya. Status Eda pun masih tetap bertuliskan online. Dipa menunggu balasan dari Eda. Semenit, dua menit, status online Eda lenyap. Dipa mengerjapkan matanya. Di-read doang, nih? Dipa kembali menunggu. Namun, hingga Dipa turun dari angkot, kembali ke panti, mandi, makan, bahkan hingga Laras Sjahrir muncul di TV dan mengucapkan, “Saya Laras Sjahrir, sampai jumpa’, Eda masih belum juga membalas Dipa. Sebelum tidur, Dipa yang tidak habis pikir itu kembali menatap layar ponselnya. Dia tidak bisa tahu kapan Eda terakhir aktif di WhatsApp. Eda tak mengaktifkan fitur itu. Namun, tidak menjawab pesan yang sudah dibaca berjam-jam menurut Dipa itu sudah keterlaluan. Terlebih pesan itu permintaan maaf. Bayangkan, Dipa sudah berbesar hati melunturkan gengsinya, tapi malah dicuekin Eda?! Tiba-tiba Dipa jadi panik. Bagaimana kalau Eda sesumbar ke teman-temannya soal Dipa yang mengirimi pesan? Lalu, teman- teman Eda tadi sesumbar ke teman-temannya yang lain? Lalu, seantero sekolah tahu bahwa Dipa diabaikan Eda? “Lo tahu, nggak, Dipa?” “Dipa siapa?” 9S “Pradipta anak IPA 5. Yang dulu suka nyewain atribut, tapi dagangannya udah gulung tiker itu.” “Oh, tahu. Yang dikacangin Eda, kan?” “Iya! Tengsin banget, nggak, sih, dikacangin Eda?” “Hahahaha!” Oh tidaaaaaak ...! Dipa menjerit dalam hati ketika membayangkan obrolan macam itu akan segera menyebar. Dia buru-buru memejamkan mata, tak ingin memutar skenario buruk lain di benaknya. Pokoknya, besok kalau bertemu dengan Eda, dia akan segera bicara langsung dengan makhluk satu itu. Kalimat apa yang sebaiknya dia gunakan untuk membuka percakapan, ya? “Da! Lo kenapa nggak bales pesan gue?” Cih. Kesannya jadi Dipa yang ngejar-ngejar Eda. “Da, kemarin terima pesan gue, nggak?” Lah, itu lebih aneh lagi. Jelas-jelas tertera bahwa pesan Dipa sudah dibaca. Memangnya WhatsApp bisa bohong? “Da, jadi soal kemarin, gue mau minta maaf.” Aduh, formal banget, sih? Ini, kan, cuma Eda doang gitu. “Da “Aduuuh, nggak tahu, ah!” Dipa dengan kesal membalikkan badan dan memeluk guling. Kalimat-kalimat dalam pikirannya berhamburan tanpa bisa dia rangkai. Dipa pun pergi tidur. Dipa tak tahu, sepanjang dia terlelap, ada hal-hal yang akan membuatnya memekik kegirangan saat dia bangun. Seperti Instagram Story-nya yang dilihat oleh Laras Sjahrir dan pesan WhatsApp yang muncul dari Eda pukul 3.00 dini hari. Lucu, ya? Kadang, dalam suatu hari, kita merasa hari kita itu berjalan dengan tidak sempurna, tetapi saat kita bangun keesokan harinya, tiba-tiba keadaan berubah. Seperti roller coaster, kadang 5b kamu di atas, kadang di bawah. Dan, itulah yang membuat hidup jadi seru. 3? CAP BADAK 2§S0 CHAPTER 10: fda henapa, sina Penasaran adalah rasa yang paling berpotensi berevolusi menjadi cinta. OS (Ch, Yo ... itu, apa ... Eda kelas berapa, sih?” Dio yang baru duduk di kursinya langsung ditanya oleh Dipa perihal Eda. Wajah Dio yang tadinya melongo berubah. Dia tersenyum-senyum menjijikkan. “th ... nanyain Eda lagi. Beneran naksir ceritanya?” Dipa mendecak. “Jangan ngegosip lo. Gue ada urusan sama dia.” “Kemarin, kan, udah gue kasih nomor handphone-nya?” “Justru itu. Urusan tak terselesaikan di handphone. Gue mau datengin ke kelasnya.” “Dia anak IPA 2, Dip. Sukses, ya! Gue harap lo nggak lagi menjadi jomlo orok. Yeay! Semangat! Ummmph!” Dio berusaha membebaskan diri dari Dipa yang membekap mulutnya. “Dibilangin jangan ngegosip!” Setelah Dio minta ampun di balik tangan Dipa dengan suara melengking seperti tikus kejepit, barulah Dipa melepaskan tangannya sambil terkekeh. Dipa keluar kelas dan berjalan menuju kelas XII IPA 2. “Permisi ....” Dipa menjejakkan kakinya ke kelas itu. Entah kenapa, setiap kali mengunjungi kelas orang, Dipa merasa kelas itu lebih bagus daripada kelasnya sendiri. Mungkin memang rumput tetangga selalu lebih hijau, ya? Beberapa murid yang tengah duduk bercengkerama menoleh mendengar suara Dipa. “Bda ada, nggak?” tanya Dipa. Murid-murid itu cuma menatap Dipa dengan mulut menganga. Tidak ada satu pun yang menjawab. Dipa jadi salah tingkah. Ternyata walau kelasnya lebih bagus, sepertinya anak-anak IPA 2 ini lebih bolot daripada IPA 5. “Lo pada tahu, nggak, Eda di mana?” Dipa mengulang pertanyaannya. “Eda hari ini nggak masuk.” Seorang murid perempuan berambut keriting tiba-tiba berdiri. Dia adalah Hanum. “Lo Dipa, kan? Ada perlu apa? Nanti gue sampein.” “Nggak masuk?” Dipa mengernyit. “Oh. Kenapa?” “Nggak tahu, deh. Gue tanya belum dibalas lagi. Katanya dia udah izin ke wali kelas.” “Oh, gitu.” “Nanti gue sampein kalau ada perlu,” ulang Hanum. “Nggak apa-apa. Nanti aja kalau dia udah masuk. Makasih, ya.” Dipa mengangguk sekilas, lalu pergi. 94 Aneh. Kenapa Eda tidak masuk sekolah, ya? Padahal, Eda sempat membalas pesan WhatsApp Dipa pukul 3.00 dini hari tadi. Ketika itu, Dipa bangun, ponselnya menghujani Dipa dengan hal-hal yang membuatnya segera berjoget di ranjang. Pertama, saat Dipa mengecek Instagram Story-nya yang terakhir, dia melihat nama Laras Sjahrir tertera sebagai salah satu pengikut akunnya yang melihat Instagram Story tersebut. Kedua, Eda akhirnya membalas pesan Dipa sehingga dia tak perlu kehilangan muka. Pesan Eda pun sangat memuaskan hati Dipa. Eda: lya, nggak apa-apa, Dip. Gue juga minta maaf, ya, arena rencananya gagal dan gue seenaknya aja ngerebut handphone lo. Tadinya dia mau ikutan Eda, membiarkan pesan yang sudah terbaca selama dua belas jam sebelum membalasnya. Namun, Dipa tidak tahan. Selesai mandi, dia menjawab pesan Eda. Dipa: lya, Da. Saling memaafkan. Nanti jam istirahat pertama lo ngapain? Gue ada ide baru buat ngambil stoples kopi itu dari Pak Budi. Akan tetapi, pesan Dipa tersebut tak kunjung dibaca Eda, bahkan hingga Dipa tiba di sekolah. Itulah yang membuat Dipa memutuskan untuk mendatangi Eda di kelasnya dan mengajak bicara langsung. Sayangnya, Eda tidak masuk sekolah. Kenapa, ya? Apa Eda sakit? Bisa jadi Eda sakit. Diamembalas pesan Dipa pada jam yang tidak lazim. Pukul 3.00 pagi? Mungkin Eda terbangun tengah malam. Atau, jangan-jangan tuduhan Pak Budi benar? Jangan-jangan Eda ikut anggota geng, atau pengikut dunia maksiat? Makanya, dia masih terjaga pukul 3.00 pagi. Makanya, Eda butuh uang. Makanya, 60 Eda tidak segera menyangkal seperti Dipa saat Pak Budi menuduh mereka butuh uang untuk maksiat? Hiiiy ...! Akan tetapi, masa iya Eda yang anak teladan di sekolahituaslinya berandalan? Lagi pula, tampang Eda tidak seperti itu. Namun juga, pergaulan anak zaman sekarang, kan, begitu liar. Mana ada yang tahu? Makanya, Eda memohon supaya Pak Budi tidak memberi tahu ibunya. Ibu mana yang tidak akan terkejut kalau tahu anaknya terjerumus pergaulan sesat? Dipa menepuk-nepuk pipinya. Jangan berprasangka buruk, Dip, jangan! Boleh jadi Dipa anak yatim piatu. Boleh jadi Dipa tak pernah kenal didikan orang tua sendiri. Namun, bukan berarti Dipa anak yang tidak punya moral. Dia selalu dididik di panti untuk tidak memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Kriiing! Bel tanda masuk berbunyi. Bersama murid-murid yang lain, Dipa segera masuk kelas. “Contoh di buku teks ini adalah paragraf deduktif. Apa cit paragraf deduktif? Coba baca yang benar kalimat-kalimat di paragraf iri ini. Kalimat pertama....” Pelajaran pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia dan Dipa sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Asli, dia betul-betul penasaran dengan Eda. Apa yang terjadi pada dirinya, ya? Diam-diam Dipa mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dengan pandangan mata masih menatap Pak Sutan yang mengajar di depan, Dipa mengetik. Dipa: ;) da, lo kdnapa hafi jnj ga nasik? Dipa menatap layar ponselnya dengan pandangan horor. Apa pula yang barusan diketik dan dikirimnya ke Eda?! ol 3)??? Kdnapa??? Hafi??? Jnj??? Nasik??? Yang paling membuat Dipa risi adalah emoticon ‘;)’ tersebut. Sungguh, dia tidak bermaksud menggoda Eda! Dipa meletakkan ponselnya di atas meja. Dia buru-buru mengetik lagi. “Da, tadi gue ngetik nggak lihat layar. Sori. Maksud gue, lo kenapa hari ini nggak masuk?” “Pradiptal” Dipa tersentak mendengar namanya dipanggil. Barusan Pak Sutan menegurnya. Dipa celingukan. Semua mata tertuju kepadanya sekarang. “Coba kamu kasih tahu saya, dari tiga paragraf tadi, yang mana yang termasuk paragraf deduktif?” Dipa menelan ludah. Yang mana? Waduh.... “Nggg ... tiga paragraf yang mana, ya, Pak?” cicit Dipa. “Makanya, kalau lagi pelajaran itu didengarkan! Jangan malah mainan handphone!” omel Pak Sutan, segera berjalan menghampiri Dipa. Sesuai ketakutan Dipa, Pak Sutan menyita ponselnya. “Anu, Pak .. nggg ... hati-hati, ya, sama ponselnya?” Dipa meringis. Pak Sutan hanya memelotot, kemudian lanjut mengajar. Dipa menarik napas dalam-dalam. Gara-gara pengin tahu soal Eda, sih! Makanya, Dip, jadi orang nggak usah kepo! Dipa memarahi dirinya sendiri dalam hati. Sialnya, karena ponsel disita, Dipa justru jadi makin resah. Dia semakin penasaran apa yang terjadi pada Eda. Siapa tahu Eda membalas pesannya. Siapa tahu Laras Sjahrir menge-like salah satu fotonya. Lho, kok, nggak nyambung, ya? Ah, bodo! ucap Dipa dalam hati. Setiap kali dia jauh dari ponsel, biasanya kemudian dia mendapat kejutan baik. Siapa tahu kali ini juga begitu. 62 Hmmm .... Eda kenapa, sih? Dipa bicara sendiri dalam hati. Nggak, bukannya khawatir. Penasaran aja. Nggak penasaran juga, deng. Pengen tahu aja. Sebenernya juga nggak pengin tahu banget, tapi ... ya, pokoknya gitu, deh! 63 CAP BADAK 2360 CHAPTER 11: Satu tujuan adalah pangkal dari satu hati. Hanum: Da, tadi Dipa nyariin lo, tuh, ke kelas. Ada apa, sih, antara lo sama Dipa? Dia lagi PDKT sama lo? da langsung mengernyit membaca pesan dari Hanum. Baru bangun sudah dihadapkan dengan pesan aneh macam itu. Eda: Apaan, sih, lo? Nggaklah! Ngapain Dipa nyari gue? Setelah menjawab Hanum, Eda baru sadar bahwa ada pesan- pesan masuk dari Dipa. Terus terang, Eda terkejut saat Dipa mengiriminya pesan berisi permintaan maaf kemarin. Eda sungguh tidak menyangka. Gara-gara itu, Eda jadi sedikit luluh. Mungkin Dipa tidak semenyebalkan yang dia sangka. Eda tersenyum geli membaca pesan Dipa yang salah tik tersebut. Eda pun membalas. Eda: Sori, gue baru lihat handphone, Dip. Nyokap gue masuk rumah sakit, gue nungguin dari semalam. Rencana apa yang lo punya? Jam menunjukkan pukul 11.00. Semestinya masih jam istirahat, mungkin sebentar lagi Dipa akan membalas. Eda cukup penasaran apa rencana Dipa. Terutama, karena kejadian semalam, Eda semakin menggebu untuk mendapatkan uang hasil menang undian tersebut. Eda menatap Mama yang terbaring lemah di ranjang. Ada kantung hitam di bawah kedua matanya. Eda kaget bukan main semalam saat dia mendapat telepon dari restoran tempat Mama bekerja. Mereka mengabarkan bahwa Mama pingsan dan dibawa ke rumah sakit. “Sebelum tak sadarkan diri, ibumu mengeluh perutnya sakit, Da,” kata salah seorang rekan kerja Mama. Tengah malam, Eda sendirian naik taksi ke rumah sakit. Dokter bilang Mama terkena batu empedu dan langsung segera dioperasi. Sekarang keadaannya sudah stabil, tapi masih harus banyak istirahat. Sampai sekarang Mama masih tertidur. Eda meraih tangan Mama dan memeluknya. Dia sungguh ketakutan semalam. Bukan kali pertamanya Eda mendapat kabar buruk yang membuat geger seperti kemarin. Belum sampai setahun yang lalu dia mengalami hal serupa. Eda juga sedang duduk di meja belajar, mengulang pelajaran, saat mendapat telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa ayah dan adiknya menjadi korban tabrak lari. oS “Kondisi keduanya kritis saat ditemukan warga. Tolong ke sini secepatnya, ya.” Tak pernah Eda sekhawatir itu sepanjang hidupnya. Namun, ketika itu keadaannya berbeda. Ada Mama yang menemaninya ke rumah sakit. Dalam pelukan Mama, Eda masih bisa merasa tenang di antara cemasnya. Namun, semalam berbeda. Eda hanya sendirian menanggung cemas dan dia pun dirundung trauma. Eda takut kejadian itu terulang lagi. Kala itu, ketika dia tiba di rumah sakit, ayah dan adiknya telah tiada. Eda sungguh takut kali ini dia juga akan kehilangan Mama. “Mama jangan kecapekan lagi ...,” bisik Eda lirih. “Kalo Mama juga pergi, nanti aku sama siapa?” Air mata Eda meleleh. Buru-buru dia menyekanya. Dia harus terlihat tegar, kalau tidak, nanti Mama akan semakin cemas dan Eda malah menjadi beban baginya. Eda menghela napas. Tak terbayangkan baginya bagaimana menjadi Dipa yang tak punya orang tua. Dipa hebat, masih bisa tertawa, masih rajin sekolah, dan masih punya semangat. Jika Eda bernasib sepertinya, Eda tak tahu apakah dia masih punya keinginan untuk melakukan apa pun. Lama Eda menunggu hingga kembali mendapat balasan dari Dipa. Dipa: Sori, Da. handphone gue disita Pak Sutan tadi. Gue ketahuan mainan handphone pas pelajarannya. Gue dihukum pula. Disuruh analisis puisi “Pembaringan’. Semoga atas kekejaman beliau, Pak Sutan diampuni oleh Yang Maha Kuasa dan diperhambat pertumbuhan kumisnya. Amin. Membaca pesan Dipa membuat Eda mau tak mau tersenyum geli menahan tawa. oo Dipa: Nyokap lo kenapa? Semoga cepet sembuh, ya. Jadi gini rencana gue, kita beli lagi Kopi Cap Badak yang baru, lalu kita nyelinap ke sekolah malam-malam, kan, nggak ada orang. Kita bisa dengan leluasa mendongkrak pintu ruangan Pak Budi dan menukar tutup stoples. Dengan begitu, Pak Budi nggak tahu kalo kita ngambil tutup stoples itu dan kita tetap dapat uangnya. “Hmmm...” Eda mengelus dagunya. “Pintar juga Dipa ini,” gumamnya pelan. Eda: Ide lo bagus, Dip, gue setuju. Tapi, besok siang setelah pulang sekolah gue baru bisa beli kopinya. Nggak apa-apa, ya? Dipa: Nggak usah, Da. Kan, lo lagi jagain nyokap lo, biar gue aja yang beli nanti. Eda tersenyum kecil. Entah mengapa dia sedikit tersentuh membaca pesan Dipa. Eda: Oke. Jadi besok malam, ya, kita ngejalanin aksinya? Dipa: Tunggu sampe nyokap lo sembuh aja, Da. Nggak apa-apa. Eda: Besok aja, Dip. Gue butuh uangnya. Lagi pula, kalo udah malem, jam besuk udah selesai. Gue nggak boleh nungguin Nyokap lagi. Semalam cuma pengecualian aja. Dipa: Oke. Besok lo sekolah? Eda: Besok gue masih izin. Dipa: Kalo gitu, kita ketemu di depan minimarket dekat sekolah aja, ya, jam sembilan? Nanti gue jemput lo di situ. Jangan jalan sendirian malam-malam. Eda: Oke. Sampai besok, Dip. Dipa membalas kembali dengan emoticon jempol. Eda jadi kembali bersemangat setelah mendengar rencana Dipa. Ya, rencana kali ini pasti berhasil! Untuk mempersiapkan diri, Eda sampai menonton video-video di YouTube bagaimana cara membuka pintu yang terkunci dengan jepit rambut. Bahkan, Eda mencoba mempraktikkannya di toilet rumah sakit! Yang dilakukannya adalah tindak kriminal bukan, sih? Iyalah! kata hati kecilnya. Lo nyelinap masuk ruangan yang dikunci. Tahu, nggak, kenapa ruangan itu dikunci? Berarti orang yang nggak berhak nggak boleh masuk, dan lo nggak berhak! Kalo ketahuan, lo bisa dikeluarin dari sekolah. Apa nggak jadi runyam?! Eda menelan ludah. Tapi lo melakukannya bukan karena niat buruk, Da. Lo cuma mau mengklaim apa yang menjadi hak lo. Kan, lo yang menemukan stoples kopi keberuntungan itu. Lagi pula uangnya mau lo pakai bukan untuk hal-hal maksiat, hal-hal berdosa. Niat lo baik, kok! Sisi lain hati Eda berargumen. “Alamak!” Eda memijat keningnya. Sekali ini aja, deh. Sekali ini aja gue bertindak kriminal. Mungkin kalau bareng Dipa, dosanya jadi kebagi dua. Eda menatap wajah mamanya dengan sendu. Dia memejamkan matanya sejenak. Maafin aku, ya, Pa? Setelah ini aku janji jadi anak baik. Aku cuma nggak mau nyusahin Mama. 68 CHAPTER 12: Rahasia Dipa "Every single person has a story that will break your heart." —Brené Brown « p=, Da, sini!” Eda terperanjat ketika melihat ada sosok putih yang menghampirinya dan berbisik. Dia hampir saja berteriak kalau saja tak menyadari bahwa itu adalah Dipa! “Ini gue, Da. Lo ngapain, sih, kaget gitu?” Dipa mendengkus. Eda menghela napas lega. “Lo, kok, pake baju kayak pocong gitu, sih?!” “Idih, amit-amit! Apanya yang kayak pocong, sih? Ini jaket biasa, tahu.” “Warnanya putih, plus hoodie-nya yang makin bikin kayak pocong!” gerutu Eda. Dipa terkekeh. “Iya juga, ya. Tenang aja. Untung bukan malam Jumat Kliwon.” Eda mendengkus. Tawa Dipa menjadi-jadi. “Kenapa, Da? Lo takut, ya? Kata orang, sekolah kita banyak hantunya, lho.” “Nggak, gue nggak takut,” sergah Eda. “Udah siap, kan?” “Beres. Ini tutup stoplesnya.” Dipa mengeluarkan tutup berwarna hijau dari tasnya. “Gue juga udah latihan cara buka pintu pake peniti dan jepit rambut. Bahkan, gue sampe bawa peniti, jarum, dan jepit rambut, nih. Kalau-kalau lo lupa atau ketinggalan.” “Lo bawa jepit rambut? Di rumah suka jepit-jepitan, ya?” “Enak aja. Gue minta dari salah satu adik gue di panti.” Dipa buru-buru menyangkal. Eda cekikikan. “Da, jangan cekikikan gitu. Gue takut nggak bisa bedain antara lo sama Mbak Kunti.” Eda sengaja. Dia malah cekikikan semakin keras. “Eda ....” “Hahahaha! Kenapa, sih, Dip? Ternyata lo, ya, yang penakut?” Dipa hanya bungkam. Eda mencolek lengan Dipa. “Takut, Dip? Beneran takut?” Dipa mendecak. “Udah, jangan colek-colek. Genit banget, sih, lo.” “Najis!” Eda segera menarik tangannya menjauh dari Dipa. “Emangnya lo sama sekali nggak takut, Da?” celetuk Dipa. “Nggak,” sahut Eda. “Ngapain takut?” ‘Ya ... siapa tahu ada yang diganggu atau apa.” 10 “Nggak bakal ada yang berani ganggu gue.” Eda tersenyum tipis. “Bokap dan adik gue nanti kasih tahu mereka supaya gue nggak digangguin. Bokap dan adik gue akan ngejagain gue.” “Maksud lo? Bokap sama adik lo dukun gitu?” “Bukan. Maksudnya, mereka juga udah meninggal.” Dipa terkesiap. “Sori, Da. Gue nggak tahu. Sori kalau gue salah ngomong,” ucapnya. “Nggak apa-apa. Lo nggak salah ngomong, kok,” balas Eda. “Lo juga nggak semestinya takut lagi, Dip. Kedua orang tua lo pasti jagain lo dari sana.” Dipa hanya diam saja. “Lo nggak percaya?” Eda menatap Dipa. “Bukan begitu ...,” gumam Dipa. Dipa tak tahu harus percaya atau tidak. Dia hanya mempercepat langkahnya supaya mereka bisa menyelesaikan rencana mereka sebelum malam semakin larut. Gedung sekolah di malam hari memang terlihat begitu mencekam. Koridor terlihat kosong dalam kegelapan. Kaca-kaca ruang kelas juga tak memantulkan cahaya apa pun. Dipa menelan ludah. Dia menggosokkan kedua telapak tangannya. “Tunggu, Da!” Dipa mengejar Eda yang terlebih dahulu berusaha memanjat pagar sekolah. “Hup!” Eda dengan sukses turun di balik pagar sementara Dipa masih kesulitan. “Dip, bisa, nggak?” Dipa malu bukan main karena jatuh tersungkur saat turun dari pagar. Dilihatnya Eda tertawa. Masa dia kalah oleh Eda?! “Bangun, Dip.” Eda mengulurkan tangannya untuk membantu Dipa berdiri. Dipa menyambutnya. Tangan Eda hangat. Jantung Dipa berdebar seketika. Setelah berdiri, Dipa buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Eda. Eda menyadari, Dipa sepertinya canggung ketika menyentuh tangan Eda. Keduanya jadi salah tingkah. Mereka diam sepanjang jalan menuju Ruang Kepala Sekolah. Eda menarik napas dalam-dalam ketika mereka sudah ada di depan pintu. “So, this is it.” Dipa mengangguk. “Inget, ya, Da, pokoknya hadiah dibagi dua. Sesuai kesepakatan.” “Iya” “Salaman dulu?” “Oke.” Darah Dipa kembali berdesir saat berjabat tangan dengan Eda. Eda tampak menyadari hal itu sebab Eda segera menarik tangannya kembali. Eda melepas jepit rambut dari kepalanya. “Lo atau gue?” “Gue aja.” Dipa mengambil jepit rambut itu dari tangan Eda. “Lo senterin, ya.” Eda mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya. Belum sempat menyalakan senter, Eda mengernyit. “Eh, sebentar, Dip.” “Kenapa?” Dipa mendadak panik. Dikiranya Eda melihat sosok lain. “Nggak. Gue cuma penasaran aja. Sebenernya lo butuh uang itu untuk apa, sih?” tanya Eda. Dipa mendengkus sambil mengelus dadanya. “Gue kira ada apaan. Lo ngagetin aja, deh!” “Gue pengin tahu aja,” ujar Eda. “Lima puluh juta itu, kan, banyak.” “Nah, lo sendiri, buat apa butuh uang sebanyak itu? Jangan- jangan lo anak geng, ya?” “Enak aja. Kalo gue, jujur gue butuh banget uang itu untuk biaya masuk kuliah, Dip,” ujar Eda. “Sejak Papa meninggal, Mama harus kerja keras ekstra untuk biaya kuliah gue nanti, Dip. Gue nggak tega aja. Terlebih, Mama sampe jatuh sakit kemarin ini. Gue lebih butuh biaya lagi.” Dipa terperangah. Dari semua alasan yang diduganya, Dipa tak pernah mengira itulah mengapa Eda sangat menginginkan uang hadiah undian tersebut. Eda tersenyum kecil sambil menatap Dipa. “Ya, itulah alasan gue. Supaya lo tahu aja, kenapa gue mati-matian berusaha dapetin uang itu. Kenapa juga gue jualan catatan. Gue tahu yang gue lakukan salah, tapi semoga suatu hari gue bisa dimaafin. Sebab, gue nggak berniat jahat.” Eda menyalakan senter dan mengarahkannya ke pintu ruangan Pak Budi. Tiba-tiba saja Dipa perlahan menurunkan tangan Eda. “Da, pokoknya malam ini kita harus berhasil, ya?” Eda mengangguk. “Lo tahu, nggak, gue pernah baca quote yang bagus banget, deh. Every single person has a story that will break your heart. Ternyata itu bener.” Eda mengangguk lagi. “Lo udah membagi cerita lo ke gue. Sekarang lo juga berhak tahu kenapa gue pengin banget uang itu. Tapi, dibandingkan dengan alasan lo, gue yakin alasan gue pasti terdengar lebih bodoh.....” Dipa tersenyum getir. “Nggak ada masalah yang lebih bodoh daripada yang lainnya, Dip,” sahut Eda. “Semua orang punya bebannya sendiri-sendiri.” Dipa termangu. “Jadi, kenapa lo mati-matian nyari uang? Sampe harus nyewain atribut sekolah segala. Untuk kuliah juga?” “Bukan.” Dipa menelan ludah. “Gue butuh pengacara.” ve) Eda mengernyit. “Pengacara? Pengacara dalam arti profesi hukum?” Dipa mengangguk. “Iyalah. Masa pengangguran banyak acara?” “Tapi, buat apa, Dip?” CAP BADAK gen CHAPTER 13: Pahfawan Dadatan Di balik kegagalan, ada hikmah tersembunyi yang bisa menyunggingkan senyum. Carilah. ipa menggigit bibir. Dia merasa alasannya begitu konyol jika dibandingkan dengan Eda. Namun, dia melihat Eda begitu penasaran menunggu jawabannya. “Se-sebenernya ... buat nyokap—” BRAK! “Aduh!” Belum sempat Dipa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia terpelanting karena pintu ruangan Pak Budi mendadak membuka! Wajah Eda langsung berubah pucat dan mulutnya menganga manakala dia melihat sosok bertopeng hitam lewat sekilas di hadapan mereka. “MA ....” Eda hendak berteriak “maling”, tetapi tiba-tiba saja otaknya seolah korsleting. Dia memastikan dahulu bahwa sosok yang kini tengah berlari itu nyata dan kakinya menapak tanah. “... ling. MALING!” Refleks, Eda langsung mengejarnya. Maling yang panik karena dikejar Eda sontak mengeluarkan pisau dari saku dan mengayun- ayunkannya sambil berlari. “Aduduh ... Mas, santai, Mas!” Eda segera menghentikan langkahnya. “Eda!” Dipa berlari menyusul Eda. Dipa menatap pemandangan di hadapannya dengan ngeri. Maling tersebut masih mengayun- ayunkan pisaunya ke arah Eda dan Dipa, mengancam mereka untuk mundur. “Mas, Mas, kalo boleh tahu, barusan apa yang Mas curi, ya?” celetuk Dipa. “Grrrl! Pergi lo!” teriak si Maling, mengayunkan pisaunya lebih ganas lagi. “Oh, iya, iya. Maaf, Mas, maaf. Maaf,’ ucap Eda buru-buru. Perlahan-lahan Eda mundur. Dia menarik tangan Dipa untuk juga pergi dari hadapan si Maling. “Mas nggak nyolong kopi, kan?” Dipa masih saja tanpa takut melontarkan pertanyaan kepada si Maling. Maling itu terlihat bingung dengan pertanyaan Dipa. Ayunan pisaunya melambat. “Mas, Mas tadi nggak ngambil kopi, kan, dari ruangan?” Dipa mengulang pertanyaannya. Eda meringis. Mau apa, sih, Dipa ini?! Lagi genting masih bisa-bisanya menanyakan perihal stoples kopi! “Kopi apaan?!” bentak si Maling dengan suara lantang. “Kopi, Mas. Kopi buat minum,” sahut Dipa. “Sebab, kalo Mas ngambil kopi itu, saya NGGAK AKAN KASIH AMPUN! HIYAAA!!!” Klontang! “WAAA"” “KYAAA!” Baik Eda maupun si Maling sama-sama memekik ketika tiba- tiba saja Dipa melompat dan memiting si Maling ke lantai! Eda terkesiap dan menutup mulutnya. Dia terkejut bukan main dengan pemandangan yang disuguhkan ke hadapannya. Napas Eda seakan terhenti dan jantungnya berdegup cepat. “Ambil pisaunya di lantai, Da! Buruan!” teriak Dipa. Eda cepat-cepat berlutut dan meraba-raba lantai. Ini dial Tangannya memegang lempengan besi dingin. Eda buru-buru memungutnya dan memegangnya erat-erat. “Telepon polisi, Da! Cepetan!” perintah Dipa. Masih dengan tangan gemetar, Eda merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Polisi. Polisi nomornya berapa? “Polisi nomornya berapa, Dip?” cicit Eda. “Aduh, Edaaaa ... makanya nonton beritaaa!” gerutu Dipa. “110!” “Aaaaaauwww .... Mas, ampun, Mas. Sakit tangannyal” jerit si Maling. “Pake 021, nggak?” tanya Eda. “Nggak! Buruan!” “Oke, oke.” “Aaaaaauuuwww! Ampun, Mas!” “Ampun, ampun ... diem lo!” bentak Dipa kepada si Maling. Dia mempererat cengkeramannya pada kedua tangan si Maling. “Halo ... Pak Polisi? Saya Dwenda, murid sekolah SMA Harapan. ‘Ada maling di sekolah, Pak. Sekarang sedang diamankan seorang diri oleh teman saya. Tolong segera datang, Pak.” “Aduh, Mas ... ampun, Mas!” “Kenapa, Pak? Oh, nggak. Itu malingnya yang jerit-jerit. Nggak ada korban. Tapi, tolong datang secepatnya, ya, Pak. Nggak tahu sampe kapan temen saya bisa bertahan. Maling ini juga bawa pisau. Tapi, pisaunya udah kami ambil. Iya. Makasih, Pak.” “Diem, dong! Jangan gerak-gerak!” Dipa kembali membentak si Maling. Kemudian, Dipa menatap Eda. “Udah?” “Udah. Polisinya lagi dateng ke sini,” jawab Eda. “Gue bisa bantu apa, nih?” “Lo dudukin aja, tuh, pergelangan kakinya, biar Mas Maling nggak bisa kabur sama sekali.” Dipa menuding kaki si Maling. “Aduuuh ... ampun, Mas!” Dipa mendecak. “Jangan berisik, deh. Mas nggak takut nanti ngeganggu penunggu-penunggu sekolah ini?!” Si Maling langsung terdiam. Si Maling sekali lagi memekik saat Eda menduduki kedua kakinya. Tiba-tiba Eda meringis. “Kenapa, Da?” tanya Dipa. “Tangan gue perih, deh. Kenapa, ya?” Eda mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyinari telapak tangannya. “Ternyata kegores, Dip. Kayaknya tadi pas ngambil pisau, karena nggak kelihatan jadi kegores.” “Ya ampun ... sakit?” “Ya, perih-perih dikit. Nggak apa-apa.” “Yakin?” “ya” Untungnya tak butuh waktu lama hingga polisi datang sebab baik Dipa maupun Eda sudah pegal menahan si Maling agar tidak kabur. Begitu melihat Pak Polisi, Eda segera melompat bangun. Dia juga langsung menyerahkan pisau si Maling. “Kalian memang anak-anak yang berani. Tapi, lain kali jangan begitu lagi. Tindakan kalian itu sangat berbahaya. Apalagi, maling itu punya senjata,” ucap Pak Polisi. “Iya, Pak.” “Ngomong-ngomong, ngapain kalian malam-malam disekolah?” Deg! Jantung Eda seolah berhenti mendadak. “Adu nyali, Pak.” Untungnya Dipa dengan sigap menjawab, meskipun jawabannya terdengar absurd dan asal. Pak Polisi menaikkan alisnya. “Adu nyali? Aduh, ada-ada aja kalian ini. Ayo, saya antar pulang” “Nggak usah, Pak. Rumah kami dekat,” sergah Eda. “Kami pulang sendiri aja.” “Langsung pulang, ya? Jangan pacaran!” “Iya, Pak. Terima kasih” Sementara itu, polisi masih berkeliaran di lingkungan sekolah, Dipa dan Eda sudah melangkah keluar dari gerbang. Keduanya menghela napas berat. Rasanya lelah bukan main. Dipa melihat jam menunjukkan hampir pukul setengah 11.00 malam. “Lo pulang naik apa, Da?” tanya Dipa. "Jam segini udah nggak ada angkot. Naik bajaj aja, deh.” Eda menjawab. “Gue anterin.” Mata Eda melebar. “Emangnya lo searah sama gue?” “Nggak apa-apa. Gue anterin aja. Udah malem.” “Nggak usah. Gue sendiri aja.” “Udah malem, Da. Jangan sendirian.” Dipa benar, hari memang sudah malam. Eda sendiri sejujurnya agak takut pulang sendirian. Maka, akhirnya Eda mengangguk. Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju rumahnya, Eda salah tingkah dengan keberadaan Dipa. Mereka hanya diam. Untung rumah Eda dekat dari sekolah. “Makasih, ya, Dip. Udah dianterin,” ucap Eda, saat bajaj yang mereka tumpangi berhenti persis di depan rumah Eda. “Sama-sama, Da.” “Tya. Lo juga.” “Nggg ... oh ya, tangan lo gimana?” “Nggak apa-apa, kok. Darahnya udah kering” “Coba lihat.” Dipa mengulurkan telapak tangannya yang membuka, menunggu hingga Eda meletakkan tangan di atasnya. Mendadak jantung Eda berdebar kencang dan cepat. Eda menelan ludah. Perlahan-lahan dia mengulurkan tangan dan diletakkannya di atas telapak tangan Dipa. Jantung Eda makin berdebar tidak karuan saat Dipa meraih dan menggenggam tangannya. Dipa memeriksa luka di tangan Eda. “Hmmm ... kayaknya, sih, lukanya nggak dalam. Tapi, nanti bersihin pakai alkohol, ya. Takutnya infeksi. Kita, kan, nggak tahu pisaunya berkarat atau nggak,” kata Dipa. “ya,” gumam Eda. “Ya udah. Met malam, Da.” “Met malam, Dip” Dipa kembali menaiki bajaj untuk pulang ke panti. Ketika Dipa sudah duduk, tiba-tiba Eda memanggilnya. “Dipal” “lya?” “Hati-hati di jalan, ya.” Dipa mengangguk dan tersenyum. Eda berdiri di depan pintu, menunggu Dipa dan bajajnya hingga tak terlihat lagi. Eda menarik napas dalam-dalam. Dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Senyumnya perlahan mengembang. 80 CAP BADAK gen CHAPTER 14: Ternyala Jo ... "Mungkinkah kau pun juga begitu? Kutahu kau masih malu.” —Maliq © d'Essentials - "Terdiam" She di panti, Dipa segera berganti baju dan naik ke ranjang. Rasanya lelah sekali, tetapi Dipa tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi. Kenapa, ya? Padahal, rencana mereka untuk mendapatkan kembali stoples kopi keberuntungan lagi-lagi gagal. Entahlah. Mungkin karena dia bangga sudah berani dan berhasil menangkap maling. Mungkin juga karena Instagram Story-nya lagi-lagi dilihat oleh Laras Sjahrir. Saat dalam perjalanan pulang dari rumah Eda tadi, Dipa iseng mengunggah video dirinya naik bajaj. Dipa menyoroti pinggir jalan yang terang benderang oleh pedagang makanan kaki lima, lalu menyoroti wajahnya sendiri sambil mengacungkan jempol. Seperti biasa, Instagram Story itu menuai banyak respons. “Lagi di mana, Dip?” “Lo naik bajaj, ya, Dip?” “Nongkrong weekend, Dip? Sama siapa?” Video Instagram Story yang menunjukkan sepuluh detik Dipa mengendarai bajaj dalam kualitas buruk tersebut tak luput dari lirikan Laras Sjahrir. Ini Instagram Story ketiganya yang dilihat oleh Laras. Itu sebabnya Dipa pergi tidur dengan perasaan senang bukan main. Atau ... bisa jadi juga kegembiraannya yang meluap-luap adalah karena tadi dia beberapa kali memegang tangan Eda. Dipa meraih ponselnya di meja sebelah ranjang. Jam menunjukkan pukul 11.30 malam. Untung besok libur. Saat itu Dipa menyadari, ternyata ada pesan masuk dari Eda sejak lima belas menit yang lalu. Eda: Dip, udah nyampe rumah? Senyum Dipa perlahan mengembang. Dipa: Udah. Lo baik-baik aja, kan? Eda: lya. Besok ngapain? Deg ... deg ... deg. Napasnya menjadi cepat melihat pertanyaan Eda. Besok ngapain? Eda ingin tahu kegiatan Dipa selain pergi ke sekolah? Dipa: Nggak ngapa-ngapain. Paling bantu jaga adik-adik di panti, bantu bersih-bersih, sama paling bikin PR. Lo? Eda: Sama. Nemenin Mama aja di rumah sakit. Pulangnya beres-beres rumah. 82 Dipa menelan ludah. Tiba-tiba saja saat itu dia masih ingin terus mengobrol dengan Eda walau hari sudah larut. Dipa segera memutar otak. Dia berusaha mencari bahan pembicaraan, supaya Eda tidak segera menutupnya dengan, “Ya udah, gue tidur, ya”. Kursor di layar Dipa masih berkedip-kedip ketika muncul satu pesan baru dari Eda. Eda: Lo ternyata anaknya beda dari yang gue kira, Dip. Sebelum kenal lo, gue pikir lo anak nakal. Ada rumor kalau lo suka malak, padahal lo “berdagang’ dengan nyewain atribut sekolah. Dipa: Buset ... siapa yang nyebarin rumor kayak gitu? Boro-boro malak, yang ada gue suka rugi karena diutangin. Kadang ada yang nggak bayar utang pula. Eda: Ya, anak-anak pada nyebarin rumor. Nggak tahu siapa tepatnya. Oh, iya, ada lagi, gosipnya nilai lo hancur, padahal gue baru tahu, ternyata lo masuk ranking lima besar terus di kelas. Dipa: Hehehe ... lo udah berhasil stalk gue sampe mana, nih? Eda: Ya, nggak gitu juga. Ge-er lo. Dipa: Bercanda, deh, hehehe. Terus, lo denger apa lagi tentang gue? Eda: Mmm ... yang gue denger lagi, lo hobinya nongkrong. Padahal, lo hari Sabtu aja kerjanya ngejagain adik-adik lo dan ngurusin panti. Tega banget, ya, yang ngegosipin lo? Dipa tak kuasa lagi menahan senyumnya. Dipa: Makanya, jangan percaya rumor, gosip, apalagi hoaks. Eda: Barangkali orang-orang ngira lo bandel karena lo temenan sama Dio, Dip. Dio, kan, reputasinya rada-rada hancur di sekolah. Kayak mukanya. Hihihi .... Dipa: Astaga... jahat banget lo, Da! :D. Dipamenambahkan emoticon wajah tertawa di akhir kalimatnya. Dia pun benar-benar tertawa saat membaca pesan Eda tadi. 83 Dipa: Bisa jadi, ya, orang mikir gue nakal karena gue temenan sama Dio. Ya, dia emang nakal, sih. Tapi, masih wajar, kok. Gue nyambung ngomong sama dia, tapi gue nggak suka aja ikutan gaya hidupnya. Eda: Itu juga yang bikin lo beda dari anak-anak lain, Dip. Lo kayaknya nggak gampang kebawa arus. Dipa tertawa kecil. Eda sukses membuatnya kege-eran malam itu. Dipa: Ternyata lo juga beda, Da. Eda: Bedanya apa, tun? Dipa: Waktu tahu lo jualan catatan, gue pikir lo anak pinter berlagu yang cuma mau malakin orang untuk uang jajan lebih. Gue nggak pernah nyangka lo nyari uang untuk bantu nyokap lo. ;). Lagi-lagi Dipa menyisipkan sebuah emoticon di penghujung kalimatnya. Emoticon orang mengedipkan mata. Kali ini Dipa sungguh-sungguh bermaksud mengirimkannya kepada Eda. Eda: Berarti kita sama-sama beda dari yang lain, ya? Dipa: lya. Dan, sama-sama udah berprasangka buruk juga terhadap satu sama lain. Maaf ya, Da? Eda: Maaf juga, Dip. Dipa: Oh, ya, sayang, ya, rencana hari ini gagal lagi. Gue jadi merasa bersalah sama lo sekarang. Eda: Nggak apa-apa, santai aja. Bisa kita coba lagi minggu depan. Batas ngeklaim hasil undiannya juga masih lama, kok. Dipa: Bener juga. Kita bisa coba lagi minggu depan. Siapa tahu, semingguan ini Pak Budi tiba-tiba jadi baik dan nyerahin hadiahnya ke kita. Eda: Wadub ... kalo itu terjadi kayaknya bisa hujan duit, tuh. Alias nggak mungkin! 84 Dipa: Hahaha ... kalo hujan duit lebih bagus lagi, deh, gue tampung satu gentong! Eda: Ya, kali, Dip. Hehehe. Ya udah, gue tidur dulu, ya. Met malam. Dipa: Oke, Da. Gue juga mau tidur. Eh, btw, udah diobatin luka di tangan 10? Eda: Udah. Nggak berdarah lagi, kok. Dipa: Bagus, deh. Kalo gitu, met malam, ya. Met istirahat. Eda: Lo juga, Dip. ©. Di ekor kalimat, Eda menggantungkan sebuah emoticon tersenyum, sama seperti wajah Dipa saat membacanya. Dipa meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Dia menatap langit- langit. Dipa tidak tahu apakah dia masih bisa tidur malam ini Jantaran begitu gembiranya. Ah! Dipa teringat akan sesuatu. Dia kembali mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Instagram. Dipa membuat Instagram Story yang baru. Di layar yang keseluruhannya hitam, Dipa mengetik sebuah kalimat. “Mungkinkah kau pun juga begitu? Kutahu kau masih malu.” —Maliq & d’Essentials - “Terdiam” 85 CAP BADAK 230 CHAPTER 15: Pembefaan Dipa ee OS “Beda dengan anak-anak, orang dewasa itu entah kenapa bawaannya curigaan dan nggak percayaan.” He ini Mama sudah boleh kembali ke rumah. Tadinya Eda mau bolos sehari lagi untuk menemani Mama pulang dari rumah sakit, tapi Mama melarang. Itu sebabnya, pada pagi hari yang terik ini Eda berdiri dengan malas bersama murid-murid yang lain. “Lo tahu, nggak, Da, sejak kecil gue punya cita-cita,” bisik Hanum yang berdiri di belakangnya, saat mereka sedang berdiri dalam posisi istirahat. Pak Budi sedang berpidato, entah tentang apa. “Apaan?” Eda balas berbisik. “Gue punya cita-cita, suatu hari saat ada upacara bendera, tiba- tiba turun hujan deras yang membuat kita semua bubar. Dua belas tahun gue sekolah, Da, bahkan menjelang lulus SMA sekarang ini pun cita-cita gue itu masih belum tercapai.” Eda melongo mendengarnya. Kirain apaan! “Itu, mah, namanya bukan cita-cital” desis Eda. “... dan Dwenda dari kelas XII IPA 2.” Eda tersentak. Sepertinya barusan namanya disebut oleh Pak Budi. Ada apa lagi, nih?! Eda masih berdiri terpaku. Dia melihat sosok Dipa tiba-tiba keluar dari barisan dan maju. “Dwenda alias Eda, kamu hadir, nggak, hari ini?” Ah! Benar. Itu namanya yang barusan dipanggil Pak Budi. “Ha-hadir, Pak!” Eda mengangkat tangannya. “Coba ke depan.” Eda menelan ludah. Aduh, kenapa kali ini dia disuruh maju? Eda melangkah dengan ragu. Diliriknya Dipa yang tersenyum sekilas saat mata mereka bertemu. Kalau Dipa saja bisa tersenyum, mungkin tak seharusnya Eda panik seperti ini. “Jadi, saya dapat kabar bahwa hari Jumat malam sekolah kita kemalingan,” ucap Pak Budi. “Maling itu berusaha membawa kabur laptop dan sejumlah uang kas, tapi berhasil digagalkan oleh dua anak pemberani ini, Dipa dan Eda.” Eda mengerjapkan matanya. Dia seolah tak percaya baru saja Pak Budi tersenyum kepadanya sambil bertepuk tangan. Guru-guru dan murid-murid lain ikut bertepuk tangan. “Untuk keberanian mereka, pihak sekolah akan memberikan mereka hadiah,” lanjut Pak Budi. Wajah Eda langsung menegang. Hadiah? Tutup stoples kopi keberuntungankah?! “Hadiah tersebut berupa piagam penghargaan dan voucher makan di Space Burger.” 87 Eda langsung lemas seketika. Piagam penghargaan dan voucher makan? Kirain tutup stoples! “Baiklah, Dipa, Eda, silakan kembali ke barisan. Selesai upacara langsung ke ruangan saya, ya.” Dengan lunglai Eda menyeret langkahnya. Dipa sempat diam-diam mengacungkan dua jempol kepada Eda, membuat Eda tersenyum kecut. Setelah upacara, mereka membebaskan diri dari barisan masing-masing dan bertemu di bawah ring basket. “Gue kira Pak Budi mau ngasih tutup stoplesnya,” dumel Eda. “Piagam penghargaan dan voucher makan not bad juga, kan?” balas Dipa. “Toh, tutup stoples itu akan kita ambil Jumat ini.” “Rencana kita harus lebih matang, Dip,” ucap Eda. “Termasuk di dalamnya gimana caranya tetap nuker tutup stoples meskipun ada maling kek, setan kek, apa kek.” “Siap, Bos!” Dipa memberi hormat. Eda jadi geli sendiri. “Eh, tangan lo udah nggak apa-apa?” tanya Dipa. “Nggak. Nib.” Eda menunjukkannya kepada Dipa. Malu mengakuinya, tapi Eda berharap Dipa meraih tangannya lagi seperti malam itu. Namun, Dipa hanya mengangguk. “Oh, iya. Udah kering, tuh, lukanya. Cepet, ya.” “Mmm...” Eda menggumam, sedikit kecewa Dipa hanya sekilas menatap tangannya. Ketika sudah masuk ruangan Pak Budi, Dipa dan Eda duduk. Mata mereka terpaku pada satu titik: rak di belakang kursi Pak Budi, tempat stoples kopi keberuntungan itu bertengger. “Kalian berdua sudah menangkap maling, kalian sungguh berani. Saya atas nama pihak sekolah sangat berterima kasih kepada kalian,” ujar Pak Budi dengan senyuman, sambil menyodorkan dua buah amplop cokelat besar. “Ini piagam kalian beserta voucher di dalamnya.” 88 “Terima kasih, Pak.” “Ngomong-ngomong, setelah menangkap maling, kalian nggak kepikiran mau jadi polisi?” tanya Pak Budi. “Nggak, Pak,” jawab Dipa. “Saya sepertinya kurang memiliki kualifikasi untuk jadi polisi. Nggak tahu kalau Eda.” “Saya juga nggak, Pak,” timpal Eda. Pak Budi mengangguk-angguk. “Tentu saja kalian nggak punya kualifikasi untuk jadi polisi, mental kalian aja mental maling!” Bulu kuduk Dipa dan Eda berdiri seketika saat melihat senyum. Pak Budi terhapus dari wajahnya. Rasanya seperti saat menonton film horor dan ketika suasana sedang tenang-tenangnya, tahu-tahu setannya muncul! “Ngaku, kalian berdua, ngapain hari Jumat malam-malam berkeliaran di sekolah?!” bentak Pak Budi. “A-adu nyali, Pak,” cicit Dipa, melontarkan kebohongan yang sama seperti kepada Pak Polisi. “Adu nyali? Yakin? Bukannya mau nyolong stoples ini?” Pak Budi mengambil stoples kopi dan meletakkannya di hadapan mereka. Dipa dan Eda terdiam. Terus terang, Eda tak suka dengan sikap Pak Budi. Menurutnya, dari awal dia dan Dipa berhak atas hadiah dari undian kopi tersebut. Lagi pula, tak seharusnya Pak Budi menyebut mereka maling. “Pak,” ucap Eda. “Tolong izinkan kami mengambil kembali stoples kopi itu.” “Tuh, benar, kan? Kalian mengendap-endap untuk ngambil stoples ini?” “Iya benar,” sahut Eda. “Karena kami merasa hak kami dirampas, Pak!” Dipa terkejut. Dia menatap Eda. Dipa tak menyangka Eda akan berani bicara seperti itu. Dipa melihat kilatan marah di mata Eda. 84 Pak Budi sendiri pun sepertinya kaget dengan ucapan Eda. Pak Budi menghela napas. “Kamu butuh uang itu. Untuk apa?” “Untuk saya kuliah, Pak.” Eda menjawab dengan nada tegas. “Ayah saya meninggal belum setahun yang lalu. Ibu saya harus setengah mati kerja keras membiayai saya. Saya cuma mau bantu ibu saya!” Dipa tak menyangka Eda akan seberani itu. Dia lebih tak menyangka lagi, Eda yang selama ini diam saja akhirnya mengutarakan alasan mengapa dia menginginkan uang tersebut. Hening menaungi mereka bertiga untuk beberapa saat. “Sejujurnya, saya nggak tahu apakah saya masih bisa percaya dengan kalian, setelah kalian sudah melanggar peraturan sekolah,” kata Pak Budi akhirnya, memecahkan keheningan. “Nakalnya kalian itu bukan nakal biasa.” Eda lemas mendengarnya. Dia cuma bisa menggigit bibir, menahan air matanya agar tidak jatuh. Dipa menelan ludah. “Kalau begitu kasih kami kesempatan, Pak, untuk melakukan sesuatu. Kalau kami berhasil, kami berhak mendapatkan stoples itu kembali,” ujar Dipa. Pak Budi terdiam sejenak sambil mengelus dagunya. “Ya, nanti saya pikirkan dan beri tahu kalian. Sekarang kalian kembali ke kelas dulu.” Dipa beranjak. Dia menepuk bahu Eda, memberi isyarat supaya Eda juga berdiri. “Permisi, Pak.” Dipa mengangguk. “Oh, ya. Bapak mau tahu kenapa saya dan Eda dari awal nggak mau jujur sama Bapak, kenapa kami butuh uang itu? Karena ini, Pak. Kami takut Bapak nggak percaya begitu aja, meskipun kami jujur. Tapi, sebetulnya justru saya kasihan dengan orang-orang dewasa. Beda dengan anak-anak, 40 orang dewasa itu entah kenapa bawaannya curiga terus dan tidak mudah percaya. Semoga saat kami berdua tumbuh dewasa nanti, kami nggak jadi orang dewasa seperti itu, seperti Bapak.” Dipa meletakkan tangan di bahu Eda dan menggiringnya untuk keluar ruangan Pak Budi, meninggalkan kepala sekolah mereka sendirian dan termangu. 4l CAP BADAK 230 CHAPTER 16: Havi Bersamanya ee OS “Lo mau tahu supaya bisa terus semangat? Selalu bersyukur dan berserah.” Sauron Eda betul-betul sudah lupa kapan dia terakhir bahagia seperti sekarang. Yang jelas, belum pernah ada hari saat dia sebahagia ini semenjak Papa dan Dira meninggal. Pagi tadi, setelah dari ruangan Pak Budi, entah apa yang merasuki Eda, tiba-tiba dia merasa begitu putus asa. “Ini nggak adil, Dip,” bisik Eda lirih. “Kenapa yang gue alami semuanya nggak adil?” Kemudian, tangis Eda pecah. Dia setengah mati menahan air matanya. Dia tidak mau menangis di depan Dipa, tapi tidak bisa. Eda berharap Dipa memarahinya saat itu, menghardiknya sambil berkata, “Aduh! Cengeng amat, sih? Ya udahlah, berikutnya kita usaha lagi.” Akan tetapi, Dipa tidak memarahi Eda. Dipa malah merogoh saku celananya dan mengusap pipi Eda dengan saputangan. Harum. Eda jadi teringat ayahnya. Dahulu, ke mana-mana Papa juga selalu membawa saputangan. Kalau mereka sedang berjalan kaki dan melewati banyak kendaraan, Papa selalu menyodorkan saputangannya kepada Eda. “Pakai, Da. Tutup hidungnya.” “Terus, Papa gimana?” “Papa, mah, gampang. Hidung Papa banyak filternya. Hehehe.” Bukannya berhenti, tangis Eda malah menjadi-jadi ketika dihujani sorot mata lembut Dipa dan kata-kata yang menghibur. “Nggak apa-apa, Da. Menangislah kalo itu bikin lo lega,” kata Dipa. “Menangis itu wajar. Lo boleh menangis, asal jangan berputus asa.’ 3 Di sela isak tangisnya, Eda hanya bisa mengangguk. Dengan sabar, Dipa menunggu hingga tangis Eda reda. “Khusus hari ini, buat menghibur diri dan melepas penat gara- gara Pak Budi, gue punya sesuatu buat lo.” “Apa?” Ternyata “sesuatu” yang diberikan Dipa itu adalah ajakan untuk bolos dan pergi ke bioskop bersama. Awalnya Eda ragu, tapi mengingat betapa kesalnya dia hari itu, Eda pun setuju. Eda dan Dipa berhasil naik angkot menuju mal. Dipa memberikan jaketnya untuk menyembunyikan seragam Eda. Sementara itu, Dipa sendiri melepas seragamnya dan memakai kaus. “Beneran, nih, Dip, lo traktir gue?” tanya Eda, saat Dipa membayar dua tiket bioskop. “Iya. Bang Faisal habis ngembaliin uang gue yang dikorupsi sama dia.” Dipa cengar-cengir. “Lagian hari ini, kan, nomat—nonton hemat. Kalo hari biasa, sih, bayar sendirilah, ya.” Eda tertawa. “Makasih, ya, Dip” Dipa mengangguk dan tersenyum. Selesai menonton, Dipa dan Eda makan bersama menggunakan voucher yang diberikan Pak Budi sebagai hadiah menangkap maling. “Gue anter pulang, ya, Da?” celetuk Dipa, saat mereka selesai makan dan mengobrol. “Ternyata rumah lo, tuh, searah sama panti.” Eda tersenyum dan mengangguk. Kali ini dia tidak menolak lagi. Walau hanya duduk di dalam angkot, dia senang bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Dipa. “Tapi, Dip, mampir sebentar ke tukang bubur, ya? Mau beliin buat Mama.” Dipa mengiakan. Sepulang dari mal, Dipa menemani Eda membeli bubur sebelum mengantarnya pulang. Ketika Eda sedang menunggu pesanan bubur, Dipa izin pergi sejenak. Ternyata Dipa 44 pergi ke toko bunga. Eda tak memungkiri bahwa perasaannya bercampur aduk saat itu. Mungkinkah Dipa membeli bunga untuknya? “Da...” panggil Dipa, ketika mereka berdua sedang berjalan kaki menuju rumah Eda. “Hmmm?” “Gue tahu pertanyaan gue aneh, tapi, gimana, sih, rasanya punya ibu?” Eda terenyuh mendengar pertanyaan Dipa. Bagaimana rasanya? Wajah Eda perlahan menyunggingkan senyum. “Rasanya bahagia, Dip. Oh, ya, lo tahu, nggak, kalau Mama sebetulnya bukan ibu kandung gue?” “Oh, ya?” Dipa terkejut mendengarnya. “Iya. Gue juga sempat hidup tanpa ibu. Ibu kandung gue meninggal waktu umur gue dua tahun, jadi gue udah lupa. Lalu, gue baru kenal Mama saat gue masuk SD. Gue dulu, lho, yang kenalan sama Mama. Habis itu, baru, deh, Papa kenalan sama Mama.” “Gimana caranya?” “Gara-gara gue hilang di mal.” Eda tertawa. “Gue inget, orang- orang cuma ngelihatin gue yang nangis di tengah-tengah mal. Mungkin mereka takut itu modus penipuan, kali, ya? Pokoknya hanya Mama yang berani deketin gue dan nolong gue. Gue inget, saat itu Mama meluk gue supaya gue berhenti nangis. Rasanya damai. Gue langsung suka.” Dipa menangkap wajah Eda yang begitu cerah saat bercerita tentang ibunya. Ada sedikit rasa sendu menyelip dalam relung hati Dipa. Dia juga ingin memiliki sosok ibu seperti Eda memiliki ibunya. Sejak kecil, Dipa sering kali bertanya-tanya, bagaimana rasanya, ya? Kalau ibu tiri saja bisa menyayangi begitu dalamnya, apalagi ibu kandung? 95 “Oke, deh, Dip. Makasih banyak, ya, untuk hari ini,” ucap Eda saat mereka telah tiba di depan gerbang rumah Eda. “Sama-sama, Da. Gue juga makasih sama lo,” balas Dipa. “Oh, ya, lo buru-buru, nggak? Jam 7.00 udah harus di panti lagi?” “Mmm... kenapa emangnya?” “Mau masuk sebentar? Gue kenalin sama Mama.” “Boleh.” Eda tak menyangka Dipa menyanggupi ajakannya. Anak-anak seusia mereka biasanya segan jika diajak bertemu orang tua. Eda lebih tak menyangka lagi ketika Dipa yang selesai memperkenalkan diri kepada Mama tiba-tiba mengeluarkan sekuntum bunga peony dari dalam tasnya. “Maaf, Tante, saya nggak bisa lama-lama,” ucap Dipa. “Ini buat Tante. Semoga cepat sembuh, ya.” Bahkan, Mama pun terlihat takjub dibuat Dipa. “Makasih, ya, Dipa. Hati-hati di jalan,” sahut Mama sambil tersenyum. Eda mengantarkan Dipa hingga ke pintu gerbang. Tiba-tiba Eda tertawa kecil. “Kenapa ketawa-tawa, Da?” tanya Dipa heran. “Nggak. Gue nggak nyangka aja lo beliin Mama bunga,” jawab Eda. “Bunga peony itu artinya semoga lekas sembuh. Semoga nyokap lo cepet sembuth, ya, Da, biar lo nggak murung lagi.” Eda tersenyum kecil. Dia pikir Dipa membeli bunga untuknya, ternyata untuk Mama. Itu membuat Eda lebih senang lagi daripada seandainya dia yang menerima bunga. “Dadah, Dipa. Sampe besok, ya.” “Sampe besok, Da.” Dipa membalikkan badan dan melangkah dengan ringan. Namun, baru melewati dua rumah, Dipa kembali. 40 “Eda!” Eda yang baru hendak masuk rumah menoleh. “Ada apa, Dip? ‘Ada yang ketinggalan?” “Iya,” balas Dipa. “Ketinggalan mau ngasih tahu lo sesuatu.” Eda menaikkan alisnya. “Ngasih tahu apa, Dip?” “Lo mau tahu supaya bisa terus semangat?” “Apa, tuh?” “Selalu bersyukur dan berserah.” Wajah Dipa yang dibayangi sinar matahari terbenam tersenyum lebar. Hati Eda luluh mendengarnya. Di mata Eda, Dipa yang ada di hadapannya sungguh berbeda dari Dipa yang kali pertama dia kenal. “Itu quote dari Instagram-nya Laras Sjahrir, by the way,” lanjut Dipa. Eda tertawa. “Pantesan bagus. Lo ngefan banget, ya, sama Laras Sjahrir ini?” Dipa masih tersenyum. “Nanti gue nonton dia siaran, ah.” “Ya, lo harus nonton.” Dipa mengangguk. “Oke, deh, Da. Tetap semangat, ya! Jangan pernah putus asa.” Seiring senja yang berlalu, sorot mata Eda menghantar Dipa hingga tak kelihatan lagi. Saat itu Eda sadar bahwa dalam diri Dipa yang dikiranya adalah musubh, ternyata Eda bisa menemukan banyak kebahagiaan. “Barely even friends, then somebody bends, unexpectedly.” —“Beauty and the Beast” 41 CAP BADAK 7) 2830 CHAPTER 17: OS Ji You Ada banyak hal yang memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. «€ f\ as Dipa!” M Dipa tersentak ketika Vito menepuk lengannya. Vito menyodorkan remote TV kepada Dipa. “Udah mulai dari tadi, tuh, beritanya. Mas Dipa, kok, bengong aja, sih?” celetuk Vito. Dipa mengerjapkan matanya. Di layar TV dia melihat Laras Sjahrir tersenyum. Hari ini dia memakai terusan batik. Cantik sekali. Bukan hanya cantik, Laras juga punya sorot mata yang cerdas, tetapi lembut. “Bersama saya, Laras Sjahrir, inilah News Highlight.” Plop! Dipa malah mematikan TV. Vito mengernyit heran. “Kok, malah dimatiin, Mas?” “Mas Dipa mau tidur,” gumam Dipa, beranjak dari tikar. “Kan, baru jam 7.00, Mas!” Dipa tak menyahut. Dia hanya terus berjalan dan masuk kamarnya. Dia sedang tidak ingin menonton Laras Sjahrir hari ini. Hati Dipa sedang terbagi menjadi dua perasaan. Dia sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama Eda dan berkenalan dengan ibunya. Namun, di sisi lain, melihat keakraban Eda dengan ibunya, Dipa jadi sedih. Bersyukur dan berserah. Ada banyak hal yang memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Dia memberi nasihat kepada Eda untuk bersyukur dan berserah. Tapi, dia sendiri terkadang masih belum bisa menerima, kenapa dia tidak dilahirkan dalam keluarga yang hangat seperti kebanyakan teman-temannya? Bzzzt! Ponsel Dipa bergetar. Dia melihat nama Dio muncul di layarnya. Dipa menjawabnya. “Halo?” “Halo, Dip!” sapa Dio. “Lagi di mana lo?” “Di rumah. Kenapa emangnya?” “Kenapa? Ke mana aja lo seharian? Lo, tuh, jadi buronan di sekolah, tahu, nggak?” Dipa tersenyum kecut. “Dicarii siapa gue?” “Semualah! Pak Budi juga. Siap-siap aja besok pas dateng langsung diciduk,” ucap Dio. “Hmmm” “Lo kenapa? Suaranya, kok, nggak semangat gitu?” “Nggak apa-apa.” “Mikirin duit, ya? Sori, deh, Dip. Gue usahain bayar, deh, lusa. Beneran.” 49 Dipa tertawa kecil. “Nggak. Bukan karena itu. Gue cuma mendadak galau aja. Lupakanlah.” “Galau kenapa?” “Jadi, tadi, kan, gue pergi sama Eda—” “Tunggu, tunggu,” sela Dio. “Tadi pergi sama Eda? Jadi, Eda bolos bareng lo?” “Iya” “Hah?! Sumpe lo?” “Iya! Duh, dengerin gue dulu, dong” “Tunggu, tunggu. Gue ambil pisang goreng dulu. Kayaknya bakal seru, nih.” Dipa memutar bola matanya. Dia mendengar suara ponsel beradu dengan meja. Ternyata, Dio sungguhan pergi mengambil pisang goreng! “Halo?” “Woi!” semprot Dipa. “Lo beneran ngambil pisang goreng dulu, ya?” “Iya. Lah, kan, tadi gue udah bilang.” “Gila lo! Lo kira ini apaan? Acara gosip?!” “Gimana, gimana? Lo bolos barengan Eda?!” Dio tak menghiraukan protes Dipa. “Lo pacaran sama Eda sekarang?!” “Nggak!” Dipa buru-buru menyangkal. Namun, dia merasakan wajahnya memanas. Dipa berdeham. “Kita, tuh, lagi suntuk. Terus, kan, dapet voucher makan dari Pak Budi. Ya udah, sekali-sekali cabut. Anyway, pulang makan, gue nganter Eda ke rumahnya dan kenalan sama nyokap dia. “Gue lihat Eda deket banget, deh, sama nyokapnya. Nyokapnya, tuh, sayang banget sama dia. Entah kenapa gue jadi galau ngelihatnya, Yo.” 100 “Lo nge-date sama Eda, nganterin dia pulang, terus kenalan sama nyokapnya?!” pekik Dio. “Kapan resepsi pernikahan kalian digelar, Dip? Gue sumbang acara, deh.” Dipa mendengkus. “Gila, kali, lo? Sumbang acara apaan lagi, dah?! Topeng monyet? Lo yang pakai topengnya. Dio pergi ke pasar. Dung dung tak dung dung. Huahahaha ....” “Yeee ... serius gue! Lo sama Eda apa statusnya, sih? Kok, jadi deket gitu tiba-tiba?” Dekat? Dipa mengulum senyum. Kalau benar dia dan Eda menjadi dekat ... Dipa tak keberatan. “Ah, maleslah gue ngomong sama lo. Yang gue omongin apa, yang lo sahutin apa.” Dipa pura-pura kesal. “Udah, ya? Daaah “Eh, Dip, Dip! Tunggu, bercanda doang, kali, gue. Ya ampun,” ucap Dio cepat-cepat. Terdengar suara Dio menghela napas. “Udah, jangan galau. Mungkin gue nggak pernah bisa ngerti perasaan lo karena gue nggak pernah ngalamin apa yang lo alamin. “Tapi, lo harus tetap semangat, Dip. Selalu bersyukur. Walau lo nggak punya orang tua, lo punya pengurus panti, saudara-saudara panti, semuanya sayang dan ngerawat lo dari kecil. Lo nggak tidur di jalanan, bisa makan cukup, bisa sekolah, tiap tahun dikirimin buku pelajaran, dikasih handphone bagus ....” Dipa termangu. “lya, sih, Yo.” “Makanya. Nggak usah galau, lah! Oke?” “Hmmm... iya. Eh, Yo, ada PR apa nggak?” “Nggg ... nggak ada, sih.” “Nggak ada, apa lo nggak tahu?” “Nggg ... nggak tahu, sih. Hahaha... Yaelah, gue, kan, nggak pernah nyimak di kelas. Ada PR juga gue biasanya nggak bikin. Hehehe.” Dipa mendengkus. 101 “Ya udah, gue telepon cuma mau ngecek doang, apakah lo baik-baik aja atau nggak,” ujar Dio. “Kaget gue pas lo tiba-tiba ngilang. Gue kira udah jadi siluman kucing. Hihihi ....” Dipa hanya mengumpat. Namun, saat selesai bercakap- cakap dengan Dio di telepon, dia bisa tersenyum lagi. Karena Dio mengasumsi tidak ada PR, Dipa pun bersantai. Dipa sempat membuka aplikasi Instagram dan membuat Instagram Story di akunnya. Isinya adalah foto langit dari jendela kamarnya. Malam itu sebetulnya bulan bersinar terang andai kata tak tertutup kabut polusi Kota Jakarta. Dipa menyertakan caption lirik lagu Coldplay. “Lights will guide you home and ignite your bones, and Iwill try...” Dipa tersenyum kecil. Eda mungkin tak tahu, tapi lagu itu untuknya. Dipa meletakkan ponselnya di atas meja dan menghabiskan waktu dengan membaca sebelum terlelap. Dipa tak tahu, tak lama setelahnya Laras Sjahrir juga membuat Instagram Story berupa foto langit Kota Jakarta yang berkabut dari kaca jendela mobilnya. Cahaya bulan susah payah berusaha menyembul dari lapisan kabut tipis. Laras menyertai sebuah tulisan di fotonya, “... to fix you.” “Lights will guide you home and ignite your bones. And I will try to fix you.” —Coldplay - “Fix You” 102 CAP BADAK gen CHAPTER 18: Rencana Dadakan “Manusia nggak pernah ada yang tahu, akan ada kejutan apa dalam hidupnya.” Eda: Dip, kata Bu Aam, sore ini ada rapat guru lagi. Istirahat pertama bisa ketemu? Di belakang lab bahasa aja. Gue mau bahas rencana nuker tutup stoples. (¢ Daca dulu soalnya baik-baik. Jika tiga gram senyawa nonelektrolit dalam dua ratus lima puluh gram air mempunyai penurunan titik beku ....” Konsentrasi Dipa yang sedang mencatat penjelasan soal Kimia yang tengah dibahas Pak Ridho langsung buyar ketika cahaya layar ponselnya berpendar. Dia melihat notifikasi pesan masuk dari Eda. “... maka masa molekul relatif zat nonelektrolit tersebut ....” Dipa_perlahan menundukkan kepalanya, _ pura-pura berkonsentrasi pada tulisannya. Padahal, dia sedang membalas pesan dari Eda. Dipa: Oke. Dipa menggigit bibir, menahan diri agar senyumnya tidak lepas. Dipa tak lagi bisa membedakan apakah dia gembira karena Eda mengiriminya pesan, atau karena mereka punya kesempatan lagi untuk menukar tutup stoples. Atau, mungkin, karena dua-duanya. Yang jelas, Dipa selalu membawa tutup stoples itu ke mana-mana untuk berjaga-jaga. “Pradipta Syailendra?” “Mmm?” sahut Dipa. “Iya, Pak?” “Kamu kenapa mukanya kayak gitu? Mau ke belakang?” “Nggak, Pak.” Dipa meringis. “Muka saya kenapa emangnya?” “Kayak nahan gejolak dalam perut.” Seisi kelas tertawa. Pak Ridho memang mengajar pelajaran yang sulit, tapi dia senang bercanda supaya suasana kelas tidak terlalu kaku. Itu sebabnya, buat Dipa, Pak Ridho adalah salah satu guru favoritnya. “Ngomong-ngomong, mana teman kamu Dio?” “Dio ... sakit katanya, Pak.” “Sakit apa?” “Sakit hati, katanya.” Seisi kelas tertawa lagi. Pak Ridho cuma geleng-geleng kepala sambil menahan senyum. “Simpan itu handphone kamu. Jangan mainan handphone terus. Saya ngedikte nanti kamu ketinggalan.” 104 Wajah Dipa memerah. Buru-buru dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Dipa tak sabar hingga jam istirahat pertama tiba. Ketika bel berbunyi, Dipa cepat-cepat berjalan menuju bagian belakang sekolah, di belakang lab bahasa. Suatu hari, Dio pernah bertanya kepadanya. “Kenapa, sih, lab bahasa letaknya di pojok gitu?” “Nggak tahu. Biar kalo teriak-teriak nggak ngeganggu, kali,” jawab Dipa asal. “Mereka, kan, harus latihan teriak-teriak AAAA UUUU itu, lho.” Dio menaikkan sebelah alisnya. “Itu, mah, teater, kali? Lagian kayaknya nggak aaa uuuu kayak Tarzan begitu.” Meskipun terlihat seperti dianaktirikan, tetapi keadaan lab bahasa yang terasingkan justru menguntungkan menurut Dipa. Pasalnya, anak- anak bahasa bisa nongkrong di belakang sekolah dengan leluasa tanpa harus sempit-sempitan dengan anak-anak lain. “Dipal” Ketika Dipa tiba, Eda sudah ada di sana. Dipa suka bingung. Eda gesit banget, sih? Tahu-tahu saja sudah tiba lebih dahulu. “Cepet banget lo, Da? Terbang, ya?” celetuk Dipa. “Nggak, gue menggelinding dari atas,” balas Eda, tak kalah asal. Dipa tertawa. Mau tak mau Eda ikutan. “Jadi gini, Dip. Tadi Bu Aam bilang sore nanti habis bubaran sekolah bakal ada rapat guru sama Pak Budi. Nah, biasanya rapatnya, kan, lama. Jadi, pas guru-guru pada rapat, kita bisa nyelinap ke ruangan Pak Budi dan menukar tutup stoples,” kata Eda. Dipa mengangguk-angguk. “Semestinya nggak butuh waktu lama buat membobol ruangan Pak Budi dan nuker tutup stoples itu. Oke, Da. Kita kerjakan aja rencana itu nanti sore.” “Sip. Biar kita dijauhkan dari segala rintangan, gimana kalo kita selametan dulu dengan makan siomay?” ajak Eda. los Tiba-tiba Dipa cengar-cengir jail. “Bilang aja pengin makan berdua sama gue.” Wajah Eda segera bersemu. Dia mendengkus, berusaha menyembunyikan semburat merah di wajahnya. “Gue juga pengin makan berdua sama lo, kok, Da.” Dipa menambahkan. “Yuk.” “Gue yang traktir, Dip.” “Tya, gue tahu, kok, lo mau nraktir.” Eda melongo. Dia kehabisan kata-kata untuk membalas Dipa, tetapi kali ini dia tidak kesal. Justru Eda malah tertawa kecil. Murid- murid lain sedang sibuk makan ketika Dipa dan Eda duduk di kantin sehingga tak ada yang memperhatikan bahwa mereka sedang berdua. "Dip? “Hmmm?” “Boleh tanya, nggak?” “Apa, Da?” “Kehidupan di panti, tuh, kayak gimana, sih?” tanya Eda sambil membelah siomaynya. “Boleh, nggak, kapan-kapan gue main ke sana?” “Bolehlah. Terbuka untuk umum, kok. Yang penting izin sama pengurus panti,” jawab Dipa. “Nanti gue izinin. Kehidupan di panti itu ... yang jelas rame, banyak anak-anak dari segala usia. Namanya anak-anak, kadang berantem, kadang akur, mungkin sama seperti sebuah keluarga, tapi bedanya banyak aja anak-anaknya.” “Lo dari bayi di panti itu?” Dipa mengangguk. “Tapi, rencananya habis lulus SMA ini gue mau mandiri, Da. Jadi, nggak mau ngebebani panti lagi. Kalo bisa, sih, gue malah bantu ngebiayain adik-adik gue di sana.” “Lo ... pernah penasaran, nggak, sih, Dip, tentang orang tua lo?” l0o Dipa terdiam. Kunyahannya melamban. Dia menerawang jauh sejenak. Eda dengan sabar menunggu jawaban Dipa, sambil was-was kalau-kalau dia menyinggung Dipa. “Pertanyaan gue salah, ya? Maaf, ya, Dip?” “Nggak, nggak.” Dipa menggeleng. “Gue cuma bingung aja gimana jawabnya. Penasaran, jelas. Tapi ... entahlah, Da. Gue nggak tahu gimana ngejelasinnya sekarang.” Eda mengangguk-angguk. “Kalo lo? Hampir setahun bokap dan adik lo meninggal, lo udah bisa ngerelain mereka?” Eda menghela napas. “Ngerelain, sih, udah. Cuma, gue masih suka bertanya-tanya kenapa musibah seperti itu menimpa keluarga gue. Tapi, seperti yang lo bilang ke gue, Dip, hidup itu harus bersyukur dan berserah.” “Nah, harus lo akui omongan gue ternyata berfaedah juga, kan?” Dipa menggoda Eda. “Kapan gue bilang omongan lo nggak berfaedah?” Eda tertawa. “Yaelah ... dia lupa. Pas kita lagi stres karena nggak tahu gimana cara ngebobol ruangan Pak Budi, Da. Sewaktu lo diam-diam nyalain alarm kebakaran.” “Oh, iya!” Dipa dan Eda larut lebih jauh lagi dalam tawa. “Dip...” “Tya?” “Gue harap, sekalipun misi kita udah berhasil, sekalipun kita udah dapet uang hasil undian itu, kita tetep temenan kayak sekarang, ya?” ucap Eda. “Pasti, Da.” Dipa meyakinkan. “Lucu, ya? Kita yang tadinya musuhan karena punya tujuan yang sama, sekarang malah jadi temenan.” 07 “Manusia nggak pernah ada yang tahu akan ada kejutan apa dalam hidupnya, Dip.” Dipa dan Eda menghabiskan sisa makanan mereka dalam diam. Meskipun demikian, keduanya menikmati kesunyian di antara mereka. Bukan lagi canggung yang mereka berdua rasakan, melainkan damai. “Two less lonely people in the world, and it’s gonna be fine ....” —Air Supply - “Two Less Lonely People in the World” 108 CAP BADAK gen CHAPTER 19: hepato Berhasil memenangi hati lawan adalah trofi yang paling membanggakan. anusia memang tidak pernah tahu kejutan apa yang akan datang dalam hidupnya. Baru saja Eda mengucapkan kalimat itu kepada Dipa ketika jam istirahat, mereka berdua mengalaminya sendiri pada sore hari. Ketika bel bubar sekolah berbunyi, murid-murid langsung berebutan untuk menghambur keluar kelas. Dipa yang memimpin paling depan. Baru saja dia hendak melewati kusen pintu, langkah Dipa tertahan lantaran ada yang menarik tasnya dari belakang. “Tunggu, Dip!” Dipa menoleh. Begitu melihat sosok yang menahan langkahnya, Dipa langsung memutar bola matanya dan menghela napas. “Apaan?!” bentak Dipa. Aulia tersentak. Dia mengerjapkan matanya. Dipa sedikit merasa bersalah karena sudah membentak Aulia, tetapi dia tidak tahan lagi dengannya. Dipa tahu maksud Aulia. Ini sudah kali ketiga dalam sehari Aulia menawarkannya. “Dip, lo udah pikir-pikir lagi, belum? Mau, ya, ikut IKom?” “NGGAKI” seru Dipa. “Udah, deh, jangan maksa-maksa gue kayak bisnis MLM! Gue sibuk!” “Tapi, Dip—” Dipa mengabaikan Aulia. Dia bahkan menyeruak mendorong beberapa temannya dan segera berlari menuruni tangga. Dipa mempercepat langkahnya menuju bagian belakang lab bahasa, tempat dia janjian dengan Eda. Eda belum muncul! Dipa tersenyum puas ketika dia melihat Eda melangkah dari kejauhan. “Nah!” Dipa mengagetkan Eda, membuat Eda_terlonjak. “Alchirnya, gue duluan yang nyampe.” Eda menggerutu. “Apa-apaan, sih?! Ngagetin aja!” Dipa cengar-cengir. “Gue cepet-cepet lari-lari supaya nyampe duluan dari lo, Da.” Eda hanya memutar bola matanya. “Gimana? Udah siap?” “Siap” Dipa dan Eda menunggu sejenak, sekitar sepuluh-lima belas menit, hingga sekolah mulai sepi. Kemudian, mereka mengendap- endap menuju ruangan Pak Budi. Koridor saat itu terlihat kosong. Mereka berdua memberi isyarat melalui anggukan di depan pintu, kemudian Eda melepas jepit rambutnya. JEGREK! Eda sedang hati-hati berusaha memasukkan jepit rambutnya ke lubang kunci pintu ruangan Pak Budi ketika pintu itu terbuka. 10 Saking kagetnya, tangan Eda sampai serasa tersetrum dan jepitan itu terlepas. Dipa refleks menutup mulut untuk tidak berteriak. “Kalian lagi.” Pak Budi menghela napas. Dipa dan Eda yang jantungnya masih berdebar-debar karena kaget segera menyiapkan diri untuk kembali dimarahi Pak Budi. “Ngapain kalian di sini?” tanya Pak Budi dengan nada dingin. “Nggg ... ehm.” Dipa berdeham, mengulur waktu untuk mencari alasan. “Mau izin, Pak.” “Tzin? Izin apa?” “Izin ikut lomba Kom.” Mulut Eda menganga mendengarnya. Izin ikut lomba Kom?! Lomba yang dipromosikan ke mana-mana, tapi tidak ada yang mau ikut itu? “Oh ... lomba IKom yang pengetahuan umum itu, kan?” Raut wajah Pak Budi mendadak melunak. “Disuruh siapa kamu?” “Aulia,” cicit Dipa. “Kalian berdua jadinya memutuskan untuk ikut?” Dipa mengangguk. Eda yang masih tercengang tak mampu berkata-kata. “Bagus, bagus.” Pak Budi tersenyum. “Tentulah saya izinkan. Ayo, masuk dulu.” Eda mengerutkan keningnya. Matanya mendelik menatap Dipa, meminta penjelasan. Dipa hanya mengangkat bahu. “Pasti Aulia sudah menjelaskan, ya, perihal lombanya,” kata Pak Budi. “Ya, saya izinkan kalian untuk ikut lomba itu. Minggu depan, kan? Aulia nyaris mau mengundurkan diri. Saya bilang, Jangan, Aulia. Bapak yakin pasti Aulia akan menemukan siswa atau siswi yang berminat ikut’ Ternyata kalian. Saya senang sekali. Apalagi kalian berdua termasuk pelajar yang cerdas.” Dipa dan Eda hanya meringis. tl “Baiklah.” Pak Budi melihat jam tangannya. “Saya ada rapat guru. Kalian persiapkan diri baik-baik, ya.” “Iya, Pak.” Dengan lunglai Dipa dan Eda mengangguk. “Oh, ya, semoga kalian menang, ya? Kalau kalian menang ... hadiah undian itu saya serahkan buat kalian.” Mata Dipa dan Eda memelotot. Nggak salah dengar?! “Ya udah, keluar. Saya mau kunci pintunya.” Selepas Pak Budi pergi, Dipa dan Eda yang masih tertegun saling pandang. “Tu ... nggak salah Pak Budi bilang apa?” celetuk Eda yang masih terkejut. “Kayaknya nggak,” sahut Dipa, tak kalah tercengang. Dipa menjentikkan jari. “Kita harus cepetan cari Aulia sekarang!” Dipa menarik tangan Eda, membuat Eda terkejut. Meskipun demikian, Eda membiarkan tangannya dalam genggaman Dipa. Dia tak berusaha melepaskannya. Dia hanya mengikuti langkah Dipa hingga mereka tiba di perpustakaan. “Aulia pasti di sini. Dia bilang, tiap pulang sekolah, dia belajar sama Sultan buat persiapan lomba!” seru Dipa penuh semangat. Eda hanya mengangguk. Jantung Eda masih berdetak tak karuan setelah Dipa melepaskan genggaman tangannya. Dipa mendorong pintu perpustakaan sepelan mungkin. Sebelum melangkah lebih jauh, matanya menjelajah ke setiap sudut perpustakaan. Setelah dia menemukan sosok Aulia, barulah Dipa melangkah. “Pssst! Au!” panggil Dipa sambil berbisik. Aulia yang tengah sibuk mencatat di meja bundar mengangkat kepalanya. “Dipa?” “Iya, ini gue.” Dipa perlahan menarik kursi dan mempersilakan Eda duduk. Setelah itu barulah Dipa duduk di kursi sebelah Eda. “Kenalin, ini Eda. Anak kelas IPA 2.” Iz “Hai,” sapa Eda. “Halo.” Aulia menyapa balik. “Gue tahu, kok, Eda. Yang tukang jualan catatan itu, kan?” “Iya, dulu. Tapi, sekarang udah gulung tikar,” balas Eda. “Bh, Eda. Lo mau, nggak, ikut—” “Mau,” sela Dipa. “Mau, dia mau ikut IKom bareng gue. Kita mesti ngapain?” Mulut Aulia menganga. “Ini beneran?” “Iya, beneran.” “Apa yang membuat lo akhirnya insaf, Dip? Lo, kan, udah nolak gue berkali-kali.” “Bapak lo yang bikin gue insaf. Buruan, mesti ngapain kita?” desak Dipa. “Oh... nggak ngapa-ngapain. Pendaftaran biar gue yang urus. Lo belajar aja tiap pulang sekolah. Banyak nonton berita. Banyak baca koran. Mmm... apalagi, ya?” “Oh, ya udah. Gampang. Kapan kompetisinya?” “Minggu depan, hari Kamis. Hari itu kita diizinin bolos. Terus, dapet makan siang juga di tempat lombanya.” “Dipa.” Sultan, satu-satunya partner Aulia yang setia ikut nimbrung. “Sama satu lagi, kalo menang, tuh, juara satu dapet lima juta, juara dua dapet tiga juta, juara tiga dapet satu juta. Hadiahnya kita bagi lima, Dip. Gue, Aulia, lo, Eda, sama sekolah.” “Iya, iya.” Dipa hanya mengangguk-angguk. “Ya udah, ya? Kita capcus dulu.” “Eh ... lo nggak mau belajar bareng?” “Nggak usah. Udah tahu. Yuk, Da.” “Lho ... Dip? Apa maksudnya udah tahu? Pengetahuan umum tuh luas, lho.” 13 Dipa tak menghiraukan Aulia. Melihat Dipa beranjak, Eda pun mengekor. Setelah keluar dari perpustakaan, Dipa menarik napas lega. “Lo yakin nggak mau belajar bareng mereka, Dip?” Eda menaikkan alisnya. “Kita belajar sendiri aja, Da. Ngeri gue lama-lama sama Aulia.” Dipa bergidik. “Lho, ngeri kenapa?” Dipa menggigit bibir. “Bilang, nggak, ya?” “Ada apa, sih?” “Kalo gue cerita, lo swear jangan cerita ke siapa-siapa, ya?” “Iya. Kenapa, sih?” “Aulia naksir gue dari SMP. Udah nembak gue lima kali. Kelima- limanya gue tolak.” “Haaah?!” Eda menutup mulut, menahan tawa. “Ngeri gue sama dia. Agresif banget! Udah kayak maksa ikutan sekte, tahu, nggak? Atau, maksa ikutan MLM gitu.” Eda tak tahan lagi. Tawanya pecah. Dipa, Dipa. Ah ... entah sejak kapan Dipa memang sudah memenangi hati Eda. 14 CAP BADAK gen CHAPTER 20: hrileria Jo. Gimana? “Kriteria gue? Yang penting manusia, deh!” He itu sepulang sekolah Dipa dan Eda duduk bersama di kantin yang sudah sepi. Pedagang-pedagang kantin sudah menutup lapak mereka sebab sebagian besar murid-murid sudah pulang. “Gue agak merasa bersalah, nih, sama Aulia dan Sultan. Kesannya, kok, kita satu tim, tapi berlagu banget, nggak mau belajar bareng mereka?” Dipa mendecak mendengar ucapan Eda. “Aduh, jangan dipikirin, deh, Da. Lo tega sama gue? Gue males, ah, sama Aulia.” Eda ngakak. “Jangan ngakak aja, Da. Nih, jawab pertanyaan gue. Berapa jumlah tangan ayam?” “Dua. Eh?! Haaaaaah?!” Melihat wajah Eda yang kebingungan, gantian Dipa yang ngakak. “tu, mah, ceker, keleeeeusss ...,” ucap Dipa di sela-sela tawanya. “Jawabannya: ayam tidak punya tangan!” “Pertanyaan apaan, sih? Aneh banget.” “Ini, ada di kumpulan soal pengetahuan umum.” “Yang serius, dong, Dip, pertanyaannya. Yang kayak gituan, mah, nggak bakalan ditanya.” “Oke, oke. Yang serius. Coba lo tanya gue. Ehm.” Eda mulai melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada Dipa. “Juara Piala Eropa 2016?” “Portugal.” “Theodore Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang ke “Nggg ... bentar. Dua puluh enam.” “Pelat nomor kendaraan K berasal dari keresidenan ...?” “Waduh! Pati?” “ASEAN berdiri pada tanggal .. “Delapan Agustus ... tahunnya ... 1967!” “Hari Perdamaian Dunia diperingati setiap tanggal ...?” “Setiap 21 September.” “Pemenang kategori Best New Artist untuk Grammy Awards tahun 2015 dimenangkan oleh ...?” “Sam Smith!” “Lagu ‘When I See You Smile’ tahun 1989 dinyanyikan oleh ...?” “Bad English.” “Wow.” Eda mendecak kagum. Semua pertanyaan yang dilontarkannya kepada Dipa berhasil dijawab tanpa kesalahan. Dipa betul-betul memiliki wawasan yang luas. lo “Kok, bisa, sih, lo ngejawab semua dengan benar?” tanya Eda heran ‘isa, dong. Gue, kan, selalu nonton berita. Hehehe.” “Thanks to Laras Sjahrir idola lo itu, ya.” Dipa hanya tersenyum tipis. Eda membuka tasnya dan mengeluarkan kotak bekal. Dia juga mengeluarkan dua buah sendok dan menyodorkan salah satunya kepada Dipa. “Dimakan, Dip. Tadi pagi gue dibawain bekal sama Mama.” Eda mendorong kotak bekalnya ke tengah, di antara dia dan Dipa. “Mama sengaja bikin banyakan, katanya sekalian buat Dipa.” Dipa menatap makanan di depannya. Walau sudah dingin, nasi goreng sederhana yang ada di hadapannya itu terlihat menggoda. Namun, lebih dari itu, Dipa juga tersentuh bahwa mama Eda ternyata ingat dengannya. “Makasih, Da. Bilang ke nyokap lo, makasih, ya,” ucap Dipa. “Gimana keadaannya sekarang?” 7 “Udah baik, kok. Udah kembali kerja.” Eda mulai menyendok. “Nyokap lo masih inget sama gue?” “Inget, lah. Lo satu-satunya cowok yang pernah ke rumah. Dateng bawa bunga pula buat nyokap gue.” Eda tertawa kecil. Dipa tersenyum. Dia mengambil sesendok nasi goreng dan dikunyahnya. Enak! Memang beda, deh, kalau koki sungguhan yang masak. Nasi goreng sederhana pun rasanya bisa meledak-ledak di mulut. “Hmmm ... enak banget, nih!” Dipa mengangguk-angguk. “Suka?” “Suka banget! Gue bisa, nih, makan ini tiap hari.” “Lebay!” “Th, beneran.” Dipa menyendok sesuap lagi. “Ngomong- ngomong ... tadi apa lo bilang? Gue satu-satunya cowok yang pernah ke rumah lo?” “lya.” “Masa, sih? Gue nggak percaya, deh.” Dipa menaikkan sebelah alisnya. “Beneran.” “Cewek kayak lo gini ... nggak pernah didatengin cowok ke rumah???” Dipa menuding Eda dengan tangannya. “Bmang cewek kayak gue, kenapa?” Dipa tertegun dengan mulut penuh. Dia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan nasi goreng bagiannya untuk menyembunyikan wajah yang bersemu merah. Dipa cepat-cepat mengunyah dan menelan. “Nggak apa-apa. Berarti, lo nggak pernah punya pacar gitu?” celetuk Dipa. Eda hanya mengangguk-angguk. Gengsi banget untuk terang- terangan mengaku! Pasti Dipa akan meledeknya culun lah, nggak laku lah. “Gue juga belum pernah pacaran,” ujar Dipa. itt Eda menatapnya dengan tidak percaya. “Kenapa? Kok, heran gitu?” “Lo? Mana mungkin lo belum pernah punya pacar?” “Emangnya kenapa?” Gantian Eda yang tertegun. Ya ... kalau Eda mendengar percakapan menjijikkan antara teman-teman cewek di kelas, sih, semestinya Dipa sudah punya pacar. Eda pernah mendengar ada yang berkata, “Gue takut, ah, deket-deket Dipa. Takut meleleh. Soalnya dia so hoooooottt ....” Rasanya Eda mau muntah mendengarnya, meskipun harus dia akui memang benar juga. “Makanya, Dip. Aulia lo tolak, sih.” Eda berusaha bercanda, mencairkan suasana ketika mereka sudah mulai saling pandang. Dipa mendengkus. Melihat ekspresi Dipa, tawa Eda pecah. “Lo kenapa, sih, nolak Aulia?” tanya Eda. “Dia kan not bad, lah. Anaknya nggak macem-macem, pinter pula.” “Ya, bukan berarti gue mesti naksir, kan?” sahut Dipa. “Atau, jangan-jangan, buat lo, semua cowok yang baik lo pacarin, lagi?” “Enak aja!” Eda mencibir. “Tuh, aki-aki tukang sayur yang lewat di depan rumah gue juga baik. Masa gue pacarin?” Gantian Dipa yang tertawa. “Jadi, cowok yang bakal lo pacarin adalah ...?” “Yang memenuhi kriteria gue, lah.” “Dan, yang memenuhi kriteria lo adalah ...?” Eda membuang pandangan. Dari sudut mata dia tahu Dipa menatapnya tak berkedip. Dipa menunggu jawaban Eda. Duh, kenapa jadi grogi, sih? gerutu Eda dalam hati. Kriterianya? Apa, ya? Standarlah! Seperti kriteria-kriteria yang diinginkan setiap cewek dari seorang cowok. Baik, nggak suka bohong, sopan, nggak macam-macam ... gimana, sih, Dipa? Masa jawaban standar gini aja nggak tahu. Yang tahu Eda lagi bete dan berusaha menghibur. Yang tahu Eda sebetulnya takut pulang malam dan mau nganterin. Yang tahu orang 14 tuanya sakit dan berinisiatif jenguk. Yang nggak pernah berusaha kelihatan keren, tapi diam-diam sebetulnya gentleman. Yang apa adanya, seperti Dipa. “Kriteria gue?” senyum Eda perlahan tersungging. Dipa mengerjapkan matanya, semakin penasaran dengan jawaban Eda. “Yang ... yang penting manusia, deh!” Dipa memutar bola matanya. Eda hanya tertawa ringan. “Ya udah, lanjut belajarnya sambil makan.” Dipa menyentuh layar ponselnya yang sudah meredup. “Kalo lo ... kriteria lo gimana, Dip?” tanya Eda takut-takut. “Kriteria gue? Yang ... yang penting manusia juga, deh,” jawab Dipa asal. “Jangan ikut-ikutan!” “Nggak ada kriteria-kriteriaan,” ucap Dipa. “Yang kayak Aulia?” “Da, kalo sampe ada satu jiwa lain di sekolah yang tahu soal Aulia selain lo dan Aulia-nya sendiri, gue tahu rahasia itu bocor dari mulut siapa” Eda kembali tertawa. Dipa hanya geleng-geleng kepala. “Gue tahu, deh, kriteria lo kayak gimana,” kata Eda. “Pasti yang kayak Laras Sjahrir.” Dipa mengangkat bahu. “Pastilah, Dip. Dia, kan, idola lo. Tapi, memang wajar, sih, lo ngefan sama dia. Gue aja tiap hari jadi nonton berita gara-gara dia. Enak gitu bawain beritanya, nggak kaku, orangnya cantik, gaya ngomongnya tenang, cerdas.” “Gue nggak ngefan sama dia, Da. Dia bukan idola gue. Orang- orang aja mikirnya kayak gitu.” “Ya, ya, ya. Dia memang bukan idola lo, tapi inspirasi lo, panutan lo, pedoman—” “Da ... Laras Sjahrir itu ibu gue.” 120 CAP BADAK gen CHAPTER 21: Penagaran “Could this be that real love I’ve been missing ... before I’ve met you?” —Afgan - “Knock Me out” da tersentak mendengar ucapan Dipa. Laras Sjahrir adalah ibunya?! Eda dan Dipa saling tatap tanpa berkedip untuk beberapa detik, sebelum tiba-tiba tawa Dipa pecah. “Hahaha!” Dipa tergelak. “Lo percaya, Da?! Gue bercanda, lah!” Seharusnya Eda misuh-misuh saat Dipa tertawa, tapi Eda hanya menggumam, “Oh...” “Yuk, lanjut belajar lagi. Udah kebanyakan main, nih, kita.” Eda tak bisa lagi berkonsentrasi. Di kepalanya terus terngiang kalimat Dipa. “Da ... Laras Sjahrir itu ibu gue.” Bahkan, sampai Eda tiba di rumah pun, momen tersebut masih menghantuinya. Firasat Eda mengatakan, Dipa tidak bercanda. Eda bisa melihat sorot sendu dari kedua mata Dipa saat dia menyebut bahwa Laras adalah ibunya. Lagi pula, masa iya Dipa bercanda tentang hal seserius itu? Namun, mengingat tawa Dipa, Eda jadi ragu.... Eda menghela napas. Saat duduk di hadapan meja belajar, Eda mengetuk-ngetuk dagunya sambil melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia bukan pegiat media sosial. Dia tidak eksis di sana sini seperti kebanyakan teman-teman sekolahnya. Akan tetapi, sekali itu dia betul-betul penasaran. Akhirnya, Eda mengambil ponselnya. Dia mengunduh aplikasi Instagram. Dia membuat sebuah akun baru. Setelahnya dia langsung mencari nama Laras Sjahrir. Tentu saja dikunci! Itu sebabnya Dipa harap-harap cemas menunggu di-approve oleh Laras. Eda terdiam sejenak. Dia hanya memandangi layar ponselnya untuk beberapa saat sebelum memutuskan ke laman Google dan mencari: how to view locked Instagram. Just request to follow. Eda memutar bola matanya ketika mendapat jawaban pertama. Dia belum mau menjadi pengikut Laras Sjahrir di Instagram sekarang. Eda melanjutkan pencariannya. Just speak to the person. Eda mengernyit. Speak to the person. Perlahan, Eda membuka menu yang ada di pojok kanan atas profil Laras Sjahrir. Send message. Inikah? Eda menyentuhnya. Ya, sepertinya benar. Memang bicara langsung adalah jalan tercepat untuk menjawab rasa penasarannya. Sejenak Eda merasa gengsi. Kok, tiba-tiba dia jadi kepo dengan Dipa seperti ini?! Lucu sekali hidup manusia itu. Seminggu yang lalu masih belum kenal, seminggu setelahnya sudah demikian penasaran. Eda mengusap-usap kedua telapak tangannya dan menyentuh layar ponsel lagi. (22 Eda: Halo Mbak Laras. Saya Dwenda, kelas XII dari SMA Harapan. Saya punya teman satu angkatan yang namanya Dipa, Pradipta Syailendra. Apa mungkin Mbak Laras kenal? Eda mengetikkan pesan melalui direct message Instagram Laras Sjahrir. Send. Eda menghela napas lagi. Dia pesimis Laras akan membalas pesannya, tapi dicoba dahulu saja. Siapa tahu. Setelahnya, Eda kembali ke navigasi pencarian. Tadinya dia mau langsung menutup aplikasi tersebut dan tidur, tapi ada godaan begitu besar dalam hati. Eda menelan ludah. Dia menyentuh keyboard di layar ponselnya. P, ketik Eda. P-R-A-D-I-P-T-A spasi Syailendra. Deg... deg... deg.... Duh! Kenapa Eda jadi deg-degan begini mencari akun Instagram Dipa?! Tidak ada hasil. Baiklah, dicoba lagi. Kali ini apa, ya? Mungkin ... D, ketik Eda lagi. I-P-A spasi Syailendra. Ada! Eda menjadi lebih deg-degan lagi ketika dia melihat wajah Dipa di hasil pencariannya. Eda menyentuh wajah tersebut. Betulan Dipa! Eda hampir berteriak saking girangnya. Eda menarik dan membuang napas dalam-dalam. Tenang, Da, tenang, ucapnya pada diri sendiri. Nggak usah norak, ini cuma Dipa! Dipa tidak narsis. Foto-foto yang diunggah jarang memuat wajahnya sendiri. Malahan foto-foto itu lebih banyak menunjukkan random stuffs Kota Jakarta. Seperti bajaj yang mengangkut sayur hingga ke atapnya. Atau, motor yang membawa kandang-kandang ayam hingga sopirnya terkubur di balik kandang-kandang tersebut. Ada foto Dipa sedang naik bajaj, yang membuat Eda segera tertawa. Dia mengenalinya. Foto itu diambil setelah Dipa mengantarkan Eda pulang. Di sampingitu, Dipabanyakmengunggah foto makanan. (23 Eda mengenali sepiring siomay dan taplak meja yang menjadi latar belakangnya. Itu adalah siomay kantin sekolah. Eda juga mengenali sepiring burger dan kentang goreng serta segelas minuman bersoda di sebelahnya. Itu adalah makanan gratis yang mereka peroleh dari voucher Pak Budi. Senyum Eda mendadak menjadi sangat lebar. Dipa juga banyak memuat foto-foto kegiatan di panti. Ada fotonya bersama anak-anak yang lebih muda. Mereka sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Ada juga fotonya memakai celemek dengan latar belakang dapur. Dipa tersenyum lebar di foto itu, memegang sepiring makanan yang terlihat seperti oseng tahu tempe sambil mengacungkan jempol. “Hahaha ...” Eda geleng-geleng kepala sambil tertawa. Dia tak pernah tahu ada orang semenarik Dipa di sekolahnya. Dia tak pernah menyangka, Dipa adalah pribadi yang unik! Setelah puas menyisir satu per satu foto-foto yang diunggah Dipa, Eda menyentuh layar ponselnya di bagian Instagram Story. Sepertinya ini yang suka dihebohkan anak-anak perihal Dipa. Ketika Instagram Story Dipa membuka, Eda melihat layar hitam dengan emoji pengeras suara. Ternyata ada cuplikan lagu di dalam Instagram Story tersebut: “T'lah kutemukan sebuah cinta yang kunantikan. Ternyata engkau yang s'lalu kutunggu ... hiasi hatiku.” Deg ... deg ... deg! Lagi-lagi jantung Eda berdebar-debar ketika mendengar cuplikan lagu tersebut. Dia tahu lagu ini. Darah Eda lebih berdesir lagi saat membaca potongan lirik lagu tersebut yang dituliskan Dipa di Instagram Story-nya. Cepat-cepat Eda menutup aplikasi itu dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. 124 Eda mengempaskan diri ke ranjang dan menindih kedua tangannya di belakang kepala. Dia menatap langit-langit kamarnya. Kosong. Hanya plafon polos berwarna putih dengan lampu bulat yang menempel. Namun, entah kenapa bagi Eda malam itu dia seperti melihat ribuan bintang di langit. “Could this be that real love I've been missing ... before I've met you?” —Afgan - “Knock Me Out”. (es CAP BADAK 7) 2830 CHAPTER 22: OS hecewa “Kalau cewek tiba-tiba kabur kayak gitu, berarti dia punya hal yang lebih penting: gebetannya atau pacarnya.” alau ada yang tahu bahwa pada hari Sabtu yang panas terik ini, Eda sedang berkebun di panti bersama dengan Dipa dan Vito, mereka pasti akan menjadi bahan gosip. “Mbak Eda! Tanahnya diginiin.” Vito memberi contoh. “Ini udah” “Kurang” “Oke.” Dipa tersenyum-senyum sendiri menyaksikan pemandangan di depannya. Dipa sendiri masih tidak percaya Eda mau diajak ke panti. Entah apa yang merasuki Dipa, tiba-tiba saja semalam dia mengirim pesan kepada Eda. Sudah cukup malam pula, pukul 11.00! Dipa: Da... lo, kan, pernah tanya, ya, tinggal di panti itu kayak gimana. Besok ada acara, nggak? Mau main ke panti? Kami besok sekitar jam 9.00 rencananya mau berkebun. Baru dapet bibit baru, terus beberapa pohon udah berbuah juga. Ada jeruk limau, srikaya, jambu, kalo nggak salah ada satu lagi, tapi gue lupa. Nanti lo bisa bawa pulang juga buat dimakan di rumah, buat nyokap lo juga. Itu pesan yang Dipa kirim ke Eda semalam. Tiga detik setelah pesan Dipa terkirim, Dipa menyesalinya. Saking gemas dengan dirinya sendiri, Dipa sampai mengepalkan tangan dan meninju- ninju udara di atas ranjang. Dipa tak habis pikir mengapa dia begitu bodoh. Pertama, sudah pukul 11.00 malam. Mana mungkin Eda masih melek?! Ya, mungkin saja, sih, karena besok hari Sabtu, tapi rasanya tidak etis mengirim pesan selarut itu. Kedua, mengundang Eda ke panti?! Memangnya tidak ada tempat lain? Pergi makan kek, nonton kek, masa ke panti?! Ketiga, buat apa Dipa menawarkan buah- buahan hasil kebun panti kepada Eda?! Bukan cuma ditawarkan kepada Eda, tapi juga kepada ibunya. Gila, kali? Dia sungguh merasa seperti si Paman dalam lagu “Paman Datang”. Pamanku dari desa ... dibawakannya rambutan, pisang, dan sayur mayur... DIAAAAM!!! Dipa menjerit dalam hati sambil mengacak rambutnya. Dipa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Tenang, Dip, ucap Dipa dalam hati. Ngapain panik? Ini cuma Eda. Eda yang berebutan seratus juta dengan lo. Eda si Jutek. Eda yang sebetulnya kalo dilihat-lihat, tuh, manis banget, apalagi waktu lagi serius nyimak (2? layar bioskop. Eda yang awalnya sekilas kurang ajar, tapi ternyata nggak pernah lupa ngucapin terima kasih tiap ditemenin pulang. Eda yang... Senyum Dipa tiba-tiba saja mengembang di wajahnya saat benaknya melayang-layang memikirkan Eda. BZZZT! Dipa tersentak saat ponselnya bergetar. Jantungnya berdegup kencang, cemas dengan jawaban yang diberikan Eda. “Hiiih!” dumel Dipa, kesal bukan main saat tahu ponselnya ternyata bergetar karena ada SMS masuk dari nomor tak dikenal yang meminta pulsa! Saking kesalnya, Dipa sampai berniat membalas SMS tersebut. Minta... pulsa... jangan ... sama... gue... lo kira... gue .... BZZZT! Sekali lagi ponselnya bergetar. Dipa mengerjapkan matanya. Ada satu notifikasi masuk dari Eda. Dipa segera melupakan SMS tak jelas itu dan membuka pesan dari Eda. Eda: Boleh, Dip. Alamatnya di mana? Besok gue ke sana. Ingin sekali Dipa berteriak saat itu saking girangnya. Jari-jarinya sampai terpeleset berkali-kali ketika mengetik alamat panti di atas layar. Saking girangnya juga, semalaman Dipa sampai tak bisa tidur! “Kenapa mata lo item gitu, Dip?” tanya Eda, saat mereka bertemu keesokan paginya. “Hah ... item? Oh, nggg ... kena tanah, kali!” jawab Dipa asal. “Haaah?!” Eda mengernyit, lalu geleng-geleng kepala. “Eh, beneran, nih, gue nggak apa-apa dateng ke sini?” “Nggak, kok. Sama sekali nggak. Anak-anak seneng gitu kalo ada yang berkunjung.” Dipa mengenalkan Eda kepada Bu Isma, Kepala Panti, dan juga pengurus-pengurus lainnya. Setelah itu, Dipa mengajak Eda keliling (28 panti. Seperti yang Dipa ucapkan, adik-adiknya di panti senang sekali kedatangan tamu. Mereka sibuk membuntuti Eda ke mana- mana dan minta dikenalkan dengan Eda. Eda juga tak canggung mengajak bicara anak-anak itu. “Gue nggak nyangka lo bisa ngomong sama anak kecil juga,” gumam Dipa, mengelus dagunya. “Gue kira wajah jutek kayak lo ini nggak suka anak-anak.” “Gue, kan, punya adik, Dip,” balas Eda. “Ya ... pernah punya adik. Adik gue udah meninggal. Oh, lo udah tahu, kan?” Dipa mengangguk. Dia tak ingin Eda jadi sedih mengingat adiknya. Buru-buru Dipa mengajak Eda ke kebun dan menunjukkan koleksi pepohonan panti. “Ttu udah pada mateng jambunya. Kalo srikaya kayaknya yang di pohon itu sama itu udah, yang ini belum.” Dipa sibuk menunjuk- nunjuk. “Eh, Bay! Bayu! Turun! Jangan dipetikin itu jambunya! Buat Mbak Eda.” “Nggak apa-apa.” Eda tertawa. “Buat kamu aja, Bayu!” “Bayu!” seru Dipa lagi kepada Bayu, salah satu adiknya di panti. “Bay! Kalo gitu mumpung kamu udah manjat, petikin sekalian buat Mas Dipa sama Mbak Eda!” “[diith! Mas Dipa petik sendiri!” sahut Bayu. “Bayu ....” Dipa memelotot. Ditunjukkannya wajah galak yang membuat Bayu langsung segan. “Iya ... Mas Dipa mau berapa?” sahut Bayu lagi, nadanya melunak. “Sebanyak yang bisa kamu petik, asal mateng dan nggak banyak ulatnya. Makasih, ya!” Eda tertawa lagi. “Kenapa ketawa?” tanya Dipa. (24 “Geli aja. Kenapa lo ditakutin banget di panti, sih? Ehm.” Eda berdeham. “Karena gue yang paling tua,” ujar Dipa. “Nggak ada lagi yang lebih tua dari gue. Dan, gue yang paling lama. Ya iyalah, kalo gue paling tua, gue pasti paling lama. Walau kadang yang paling lama nggak mesti juga yang paling tua. Ada beberapa anak yang cuma sebentar, habis itu udah diadopsi. Ya, gue rasa nasib tiap-tiap anak berbeda.” Eda menatap Dipa dengan perasaan bercampur aduk. Bagaimana rasanya menjadi Dipa, ya? Ketika teman-teman lainnya di sekolah punya orang tua sementara dia tidak. Ketika saudara-saudaranya di panti kemudian diadopsi oleh keluarga baru sementara dia tetap di sana hingga dewasa. “Tapi gue senang di sini.” Cepat-cepat Dipa menambahkan. Dipa menyadari Eda menatapnya dengan pandangan kasihan. Dipa tak mau dikasihani. Dia juga tak merasa ada hal dari dirinya yang patut dikasihani. “Rame, banyak adik-adik, banyak pengurus panti. Setiap hari selalu seru.” Eda tersenyum kecil. “Iya. Pasti seru, ya, kalo setiap hari rame kayak gini.” “Makanya, disyukuri aja, Da.” Dipa balas tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong, kayaknya makan siang udah mateng, nih. Udah kecium wangi-wangi masakan. Makan, yuk!” “Oh!” sela Eda. “Nggg ... gue mesti balik sekarang, Dip. Udah jam 12.00, kan?” “Lho, kenapa?” tanya Dipa. Nadanya kecewa. “Cepet banget udah mau balik? Makan dulu aja, Da.” “Makasih, Dip. Tapi ... gue ada janji lagi.” “Sama nyokap?” “Nggak ....” Eda menelan ludah. “Sama ... ada orang” 130 sOha “Bu Isma sama pengurus panti yang lain di mana, ya? Gue pamit dulu.” “Oh, mereka kayaknya lagi sibuk di dalem, ngurusin makan anak-anak. Nanti gue salamin.” “Kalo gitu gue balik dulu, ya? Makasih, Dip. Hari ini gue seneng bisa ke sini.” Dipa tersenyum. “Sama-sama, Da. Hati-hati di jalan, ya? Salam buat nyokap lo. Semoga jambu sama srikayanya enak.” Eda mengangguk sambil tersenyum sekilas. Dipa masih terus berdiri di dekat pagar, menunggu Eda hingga tak terlihat lagi. Dipa menghela napas. Eda ada janji dengan orang lain? Siapa? Dipa penasaran. Padahal, Dipa senang sekali mendapat kunjungan dari Eda. Eda juga tidak memberi tahu Dipa siapa orang itu. Mungkin seseorang yang tak dikenal Dipa? Atau, mungkin seseorang yang dikenal Dipa, tapi Eda tidak mau Dipa tahu bahwa dia menemui orang itu? Kenapa? Apa Eda sebetulnya sudah punya pacar? Apa Eda pergi dengan pacarnya? Kalau bukan pacarnya, lantas siapa? Gebetannya? “Coba gue ulang pertanyaan lo ... misalnya lo lagi sama cewek, terus tiba-tiba cewek itu izin pulang karena ada janji sama orang lain. Cewek itu nggak bilang siapa orang lain tersebut. Pertanyaan lo adalah, kira- Kira siapa orang lain itu? Bener, nggak?” Saking penasarannya karena Eda yang tiba-tiba pulang, Dipa sampai tak tahan lagi dan menelepon Dio untuk bercerita. Tentu saja dia tidak menyebut perempuan itu adalah Eda. “Iya. Kira-kira begitu pertanyaannya,” sahut Dipa. “Hmmm... kok, gue merasa lo kayak lagi ngomongin gue sama Gita, sih?” BI “Lo sama Gita? Apa hubungannya?” “Iya. Gue, kan, lagi jalan sama Gita waktu itu, gue minta dia temenin gue nyari kado buat kakak gue yang mau ulang tahun. Kakak gue, kan, suka gambar-gambar gitu, tuh, kayak Gita, jadi gue pura-pura aja minta pendapat dia. Kalau beli buku sketsa sama alat gambar yang mana. Modus gitulah ceritanya. Habis itu, kan, setelah beli kado, gue mau ngajak Gita makan, dong, eh, malah ditolak. Dia bilang, dia harus pulang, ada urusan, ada janji sama orang lain. Ternyata dia pergi sama Rama, gebetannya. Males banget, kan? Eh! Lo bukannya udah tahu cerita ini?!” Dipa tertawa. “Yeee ... itu, mah, emang Gita aja males sama lo dan udah punya gebetan!” Tepat setelah Dipa mengucapkan kalimat tersebut, dia terkesiap. Bukankah itu yang terjadi pada dirinya?! Dipa merasa seolah menjadi Dio dan Eda menjadi Gita! Berarti, Eda meninggalkan Dipa tadi siang karena ingin pergi dengan gebetan atau pacarnya! “Ya makanya, kalo cewek tiba-tiba kabur kayak gitu, mah, berarti dia ada yang lebih penting. Gebetan atau pacarnya. Cuma, dia nggak mau bilang aja, karena nggak enak sama cowok yang awalnya pergi sama dia itu. Kayak Gita nggak enak gitu bilang ke gue kalo dia ninggalin gue gara-gara mau ketemu sama Rama.” “Oh... iya, sih.” Dipa langsung lunglai. Hhh ... ya, tentu saja, perempuan seperti Eda pasti sudah punya pacar. Mungkin baru jadian sebab belum lama ini Eda bilang dia belum pernah pacaran. Atau, mungkin juga gebetannya. Yang jelas, siapa pun itu orangnya, lebih penting daripada Dipa di mata Eda .... 132 CAP BADAK 2§30 CHAPTER 23: Youg Dinanté OS “Jangan bilang dia kalau kamu kontak saya, ya. Kemungkinan dia kurang senang mendengarnya.” Laras Sjahrir: Hai Eda, kamu kenal dekat dengan Pradipta? De bunyi pesan balasan untuk Eda dari Laras di aplikasi Instagram. Laras Sjahrir menjawab pesannya! Eda terkesiap. Dia sampai membekap mulutnya dengan tidak percaya. Awalnya, Eda sempat curiga apakah Laras betul-betul adalah ibu dari Dipa. Rasa penasaran itulah yang mendorong Eda untuk begitu nekat menghubungi Laras lewat Instagram. Eda sungguh tak menyangka Laras akan membalas pesannya. Eda: Saya temannya, Mbak. Belum lama kenal, tapi belakangan saya sering main sama Dipa. Apa Mbak Laras kenal dengan Dipa? Eda membalas pesan Laras dan kembali mengulang pertanyaannya. Balasan dari Laras lagi-lagi mengejutkan Eda. Laras Sjahrir: Saya tahu Pradipta. Sudah lama sekali. Gimana kabarnya? Oh, ya, jangan bilang dia kalau kamu kontak saya, ya. Kemungkinan dia akan kurang senang mendengarnya. Pesan balasan yang aneh, membuat Eda semakin penasaran. Eda pun lanjut membalas pesan tersebut. Eda: Dipa baik, Mbak. lya, saya nggak bilang Dipa. Tapi, kenapa dia kurang senang kalau tahu saya Kontak Mbak Laras? Kemudian, datanglah balasan yang semakin membuat Eda tercengang. Laras tak menjawab pertanyaan Eda. Dia malah mengajak bertemu. Laras Sjahrir: Eda, Sabtu ini kamu ada waktu? Kalau iya, boleh kita ketemuan jam 1.00 siang? Di Quaker Café, lokasinya di lobi gedung INC TV. Eda menyanggupi pertemuan tersebut. Dia sedang bertandang ke panti asuhan Dipa ketika menyadari jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Eda ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Dipa, tetapi sudah saatnya untuk pergi dan menemui Laras. Eda begitu gugup. Dia memang sudah sering melihat Laras di televisi, tetapi tetap saja telapak tangannya berkeringat dingin seiring dengan langkah yang kian mendekati Quaker Café. 4 Saat mendorong pintu kafe, Eda menangkap sosok perempuan yang duduk di dekat jendela. Satu tangannya menopang dagu, memandang ke arah luar jendela. Tangan yang lain mengaduk-aduk isi cangkir di hadapannya dengan gerakan sangat lambat. Eda menarik napas dalam-dalam. Sosok itu adalah Laras. Dia mengenalinya. Berpakaian lebih santai dari yang terlihat di televisi. Laras mengenakan kaus lengan panjang putih dan celana jins biru. Rambut sebahunya yang sedikit bergelombang dibiarkan jatuh menutupi sebagian wajah. Jantung Eda berdegup cepat. “Pe-permisi,” sapa Eda. “Mbak Laras?” Sosok itu menoleh mendengar namanya dipanggil. Memang, dia adalah Laras. Senyum Laras mengembang. Detik itu juga Eda teringat Dipa. Apa jadinya kalau Dipa ada di sana saat itu? Mungkin sudah pingsan saking terpesonanya. “Hai,” sapa Laras. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Eda, ya? Saya Laras. Silakan duduk.” Eda begitu tersihir. Perempuan ini sangat sopan, ramah, cantik, dan memiliki pembawaan yang menyenangkan. Laras terkesan begitu sempurna, membuat Eda semakin gugup. “Makasih, ya, udah mau meluangkan waktumu untuk saya hari ini,” ucap Laras. “Sa-sama ... sama-sama,” balas Eda, terbata-bata. “Kamu mau pesan apa, Eda?” “A-apa aja, Mbak.” “Pollo picante di sini enak. Mau coba?” Eda hanya mengangguk. Dia terlalu gugup untuk berpikir. Laras memesankan makanan untuk mereka berdua. Saat sedang menunggu pesanan, Eda memberanikan diri untuk bertanya. “Mbak Laras ... maaf, sa-saya cuma penasaran aja, Mbak Laras gimana bisa kenal Dipa?” Bs Laras tersenyum, lalu menyeruput minumannya. Dari aromanya, Eda yakin isi cangkir itu adalah kopi yang cukup kuat rasanya. “Panjanglah ceritanya,” jawab Laras. “Tapi, udah lama banget.” “Lalu ... Mbak Laras kenapa mau ketemu saya?” “Penasaran aja gimana kabar Dipa. Kamu sendiri, kenapa menghubungi saya?” “Pe-penasaran juga aja ... Dipa ngefan banget sama Mbak Laras. Dan ....” Eda menelan ludah. Sesaat dia ragu, haruskah dia menceritakan semuanya kepada Laras? “Dan?” Laras menaikkan alisnya. “Dan ... tiba-tiba baru-baru ini Dipa bilang kalo Mbak Laras itu ibunya.” Kedua mata Laras melebar. “Tapi, habis itu dia bilang cuma bercanda.” Eda buru-buru menambahkan. “Tapi ... tapi, saya jadi penasaran. Sa-saya tahu, saya lancang. Maaf.” Laras tertawa kecil. “Boleh saya tebak sesuatu?” “Liya?” “Kamu naksir Pradipta, ya?” Wajah Eda memerah. Dia sontak membuang pandangan dari Laras. Ekspresi Eda malah membuat Laras tertawa sekcali lagi. “Kamu kelihatannya peduli banget sama dia.” “Bu-bukan begitu, Mbak!” “Nggak apa-apa. Pradipta anak yang baik, kan?” “Liya.” “Di sekolah, pintar?” “Sa-saya nggak sekelas sama dia. Tapi ... tapi, kata temen-temen, sih, dia lumayan pintar.” Laras menyeruput kopinya lagi. “Pradipta senang di sekolah?” Eda sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Senang? Sepertinya iya. Dia selalu terlihat energik, gembira, dan penuh semangat. Bo “Iya,” jawab Eda. “Anaknya rame, berisik, ceria terus.” Laras mengangguk. Kembali dia menyeruput kopinya. Saat itu ponsel Laras yang ada di atas meja bergetar. Dia meliriknya, kemudian menghela napas. “Eda, maaf banget, ya? Saya harus pergi sekarang, dipanggil redaksi. Kamu makan sendiri nggak apa-apa, ya? Pesanan saya buat kamu aja, bawa pulang” “Oh...” “Sabtu depan kamu ada waktu? Malam, sekitar jam 7.00, kita makan bareng, gimana?” Laras menyebut nama sebuah restoran yang ada di salah satu mal papan atas. “Boleh, Mbak,” sahut Eda. Laras tersenyum. Dia memanggil salah seorang pelayan. “Mbak, meja ini open bill, ya, charge ke saya aja seperti biasa. Laras Sjahrir.” Laras menunjukkan kartu tanda pengenal yang melingkar di lehernya. Pelayan itu men; n, Laras beranjak dari kursinya. “Saya masih mau ngobrol dengan kamu, tapi maaf banget, Eda, saya betul-betul harus ninggalin kamu sekarang,” ucap Laras. “Sampai Sabtu depan, ya?” “L-iya, Mbak. Nggak apa-apa.” “Senang berkenalan dengan kamu.” “Sama-sama, Mbak.” “Oh, ya. Jangan bilang Pradipta soal pertemuan kita, ya, Eda?” Laras tersenyum, lalu mengangguk pertanda pamit. Eda hanya tertegun menatap Laras yang pergi meninggalkannya. 37 OS CHAPTER 24: Hari H Jomba Semangat dari kawan bukan hanya menjadi alasan untuk bertahan, melainkan juga untuk terus berjalan. +¢ ¢ Cori, sori! Lo tahu, nggak, apa yang terjadi? Masa tadi gue naik mikrolet, mikroletnya berhenti mendadak di tengah jalanan, gara-gara ada penumpang yang mendadak mau melahirkan!” Dipa, Aulia, dan Sultan serempak menarik napas lega ketika melihat Eda akhirnya muncul pada detik-detik terakhir, lima menit sebelum lomba dimulai. Rambut Eda berantakan tak karuan. Napasnya tersengal-sengal. Dia segera menarik kursi di sebelah Dipa. “Da, kirain lo nggak dateng.” Aulia mengusap wajahnya. “Ya jelas gue dateng, Au. Gue udah bangun jam 5.00, jalan jam 6.00, nggak tahunya—” “Selamat pagi!” Cerita Eda terpotong oleh sapaan yang terdengar lewat pengeras suara. Dipa memberi isyarat kepada Eda agar menyimpan ceritanya untuk nanti saja. “Selamat datang di Lomba Pengetahuan Umum IKom yang diselenggarakan setiap tahunnya. Juara bertahan kita tahun lalu adalah SMA Harapan.” Aulia terlihat gelisah. Wajahnya terlihat seperti antara menahan senyum dan menahan hajat. “Tahun lalu kakaknya Aulia yang ikut,” bisik Sultan. “Sama kakak gue” Dipa mengangguk-angguk, sebetulnya tak peduli. Yang dipedulikan Dipa hanya satu: mereka harus menang dan harus berhasil mendapatkan kembali tutup stoples keberuntungan yang disita Pak Budi! Dipa sungguh sudah tak sabar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kata-kata sambutan panitia terdengar di telinganya hanya seperti bla bla bla saja. “Dip,” bisik Eda. Dia mencondongkan tubuhnya ke Dipa. “Inget, ya, kesepakatan kita. Bagi dua!” Dipa mengangguk. “Salaman dulu!” Bunyi deg ... deg ... deg ... saat telapak tangan Dipa bersentuhan. dengan telapak tangan Eda, jantungnya berdebar keras. Fokus, Dip, fokus! “Kita mulai soal pertama. Kategori Olahraga. Pada tanggal berapakah pasangan ganda campuran Indonesia Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad berhasil masuk ke babak final Olimpiade tahun 2016?” TET! Dipa langsung memencet bel, bahkan sebelum Eda, Aulia, ataupun Sultan sempat berpikir. Eda sampai terlonjak dibuatnya. 134 “Tanggal 16 Agustus!” “Benar. Sepuluh poin untuk SMA Harapan.” Dipa mengepalkan tangannya penuh semangat. Awal yang bagus, sungguh awal yang bagus. “Pertanyaan berikutnya. Kategori Seni. Sebutkan tokoh-tokoh utama dalam film Indonesia berjudul Tabula—” TET! “Hans, Emak, Parmanto, dan Natsir!” “Benar. Sepuluh poin untuk SMA Harapan.” Senyum Dipa merekah. Dia memandang berkeliling, menikmati pandangan takjub dari peserta-peserta lain dan juga anggota timnya sendiri. “Pertanyaan selanjutnya. Kategori Sains. Apa nama fungi yang digunakan untuk produksi tempe?” Satu detik ... dua detik .... TET! “Rhizopus oligosporus!” “Benar. Sepuluh poin untuk SMA Bakti Siswa.” Dipa mengusap wajahnya. Kalau pertanyaannya ilmiah seperti itu, dia tidak mungkin bisa menjawabnya. Aulia terlihat menggigit bibir dengan tegang. Eda menelan ludah. Sultan meremas-remas jarinya. “Pertanyaan berikutnya ....” “Tenang, Dip,” bisik Eda, sambil menepuk punggung tangan Dipa. Tarik napas. Dipa mengangguk mantap. “Geografi. Sebutkan enam negara yang berbatasan langsung dengan Laut Hitam!” TET! “Ukraina, Rusia, Georgia, Turki ....” Jari-jari Dipa membuka di telapak tangannya, menghitung jumlah negara yang disebutkan. 140 “Rumania, Bulgaria!” Eda menyambung. “Benar. Sepuluh poin untuk SMA Harapan.” “Yes!” Dipa dan Eda saling melempar tos, juga dengan Aulia dan Sultan. “Perolehan skor sementara, SMA Harapan mendominasi dengan tiga puluh poin. SMA Bakti Siswa ada di urutan kedua dengan sepuluh poin. Ayo yang lainnya semangat, masih banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan.” Tim SMA Harapan seolah mendapat angin. Betul-betul permulaan yang baik. Dipa dan Eda sangat optimistis mereka bisa menang. Namun, mereka tidak ingin terlena dengan keberhasilan mereka pada awal perlombaan. Persaingan semakin ketat ketika mereka maju ke babak-babak berikutnya. Setiap kali Dipa tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan, Dipa bersyukur sebab teman-teman yang lain bisa menutupi kekurangannya. “Babak berikutnya adalah Rapid Fire. Satu perwakilan dari tiap tim menjawab pertanyaan sebanyak-banyaknya dalam waktu satu menit. Kalian kami beri waktu satu menit untuk merundingkan siapa wakil dari tim kalian masing-masing.” Dipa, Eda, Aulia, dan Sultan langsung duduk merapat. “Dipa aja, mendingan Dipa,” usul Sultan. “Tapi, mendingan jangan Dipa,” balas Aulia. “Dipa ditaruh paling akhir aja, buat final. Lo aja gimana, Da?” Eda menelan ludah. Semua mata teman-temannya tertuju kepadanya. Kalau dia tidak bisa memenangi babak ini maka timnya tidak bisa maju ke final. Selama ini Dipa yang paling banyak berkontribusi terhadap tim. Dia bisa berpikir dengan cepat dan menjawab dengan tepat. Eda tak yakin apakah dia punya kemampuan seperti Dipa. (4 “Lo pastibisa, Da.” Dipa menggenggam erat tangan Eda. “Anggap aja ini seperti saat kita belajar. Lo pasti bisa. Lakukan ini buat tim kita, buat gue, buat nyokap lo, buat diri lo sendiri.” Eda mengangguk-angguk. “Oke.” “Perwakilan dari tim SMA Harapan?” “Saya.” Eda beranjak sambil mengacungkan tangannya. “Baik. Kita masuk ke babak berikutnya, babak Rapid Fire, dimulai dari tim dengan skor terendah, SMA Bethesda ....” Eda berusaha mengatur napasnya. Dipa benar. Ini semua seperti saat dia belajar bersama dengan Dipa saja. Yang penting tidak panik dan fokus. Hadiah undian kopi tersebut hanya tinggal selangkah lagi. “SMA Harapan, siap?” “Siap” “Sebutkan nama kabinet pemerintahan yang dipimpin almarhum Presiden Abdurrahman Wahid!” “Kabinet Persatuan Nasional!” “Sebutkan kota terbesar ketiga di Indonesia!” “Ban ... nggg ... MEDAN!” “Bagaimana cara memainkan alat musik serunai?” “Ditiup!” “Pada tahun berapakah Ratu Elizabeth II naik takhta?” “1952!” “Apa nama virus yang menyerang pergantian milenium tahun 2000?” “Y2K!” “Siapa penerima Nobel Perdamaian pertama?” “Henry Dunant!” “Negara manakah yang memenangi Piala Dunia tahun 2006?” “Jerman?” 142 “Salah! Di manakah lokasi—” Pip.... pip... pip “Ya, waktunya habis. Tim SMA Harapan berhasil menjawab enam pertanyaan dengan benar.” Eda melirik papan skor. Di bawah nama SMA Harapan muncul skor tambahan yang diperolehnya dari babak Rapid Fire tadi. Eda menghela napas lega saat mengetahui timnya juga memimpin di babak tersebut! “Bagus, Da! Bagus!” Teman-temannya menepuk-nepuk bahunya. “SMA Harapan masih memimpin dengan perolehan skor tertinggi dan berhasil masuk ke final bersama SMA Bakti Siswa dan SMAN X!” “YES! YES!” “Kita akan jeda sejenak. Silakan kembali ke ruang perlombaan. lima belas menit dari sekarang” Satu per satu peserta lomba mulai meninggalkan ruangan. 143, CAP BADAK oz 230 CHAPTER 25: 1g OS Percakapon di Toile” Dia yang hatinya terbuat dari emas justru tak pernah memamerkannya. lash! Eda membasuh wajahnya dan melihat pantulan Aulia di cermin. Baru saja Aulia keluar dari bilik toilet di belakangnya. Aulia menghampiri wastafel di sebelah Eda dan mencuci tangan. “Kenapa, Da? Lo ngantuk?” celetuk Aulia. Eda tersenyum kecut. “Lagi tegang gini mana bisa ngantuk? Cuci muka biar lebih seger aja, Au.” “Emang ngelihat yang di dalem belum seger, tuh?” goda Aulia. “Di dalem mana? Siapa?” Eda malah celingukan ke bilik-bilik kosong di belakang mereka berdua. “Bukan di WC, Da, diruanglomba.” Aulia buru-buru menjelaskan. “Dipa maksudnya.” “Oh.” Eda menelan ludah. Entah kenapa dia membasuh wajahnya lagi. Dia berharap barangkali dengan begitu semu merah di wajah Eda bisa segera pudar sebelum Aulia menyadarinya. “Emang menurut lo, Dipa nggak ganteng, Da?” tanya Aulia. “Mmm... ya, bolehlah,” jawab Eda canggung. “Dia tidak cuma ganteng, tapi juga baik banget.” “Oh, ya? Baiknya gimana?” pancing Eda. “Kalian bukannya deket, ya?” “De-deket? Kata siapa?” “Ya, kelihatannya gitu. Gue juga beberapa kali ngelihat kalian berdua di sekolah.” Eda menggigit bibir, menahan supaya senyumnya tak lepas begitu saja. Bukan main ge-er dia ketika orang lain mengira dirinya dekat dengan Dipa. “Ya, Dipa baik banget gitu anaknya, dari zaman SD.” “Lo kenal Dipa dari SD?” “Iya. Kita bahkan sekelas terus, lho.” Aulia tersenyum mengenang masa lalu. “Gue inget, deh, waktu itu gue kelas V SD. Pagi-pagi pas lagi jalan ke sekolah, gue dipalak di dekat gang menuju sekolah. Uang jajan gue diambil sama anak-anak SMP sekolah lain. Terus, Dipa nemuin gue lagi nangis di halte. Dia tanya kenapa, ya udah, gue cerita. Eh, dia malah ngeluarin kotak bekalnya dan ngasih ke gue, Iho!” Mata Eda melebar, antusias mendengar cerita Aulia. “Terus, gue bilang, kan, nanti Dipa makan apa kalau makanannya dikasih ke gue? Lo tahu, nggak, dia bilang apa? ‘Nggak apa-apa. Nanti katanya mau ada mobil susu gratis dateng buat bagi-bagi susu, minum itu aja juga gue kenyang, kok’” (4s Eda tertawa. Hatinya meleleh mendengar cerita Dipa kecil. Pantas saja Aulia naksir berat dengan Dipa. Kalau jadi Aulia, Eda juga pasti langsung jatuh cinta seketika itu juga! “Terus, terus, apa lagi?” Eda ketagihan mendengar kisah Dipa. “Banyak, deh. Dia sayang banget sama adik-adiknya di panti. Kalau weekend diajakin pergi gitu jarang banget mau. Dia lebih senang bantu bersih-bersih di panti, bantuin adik-adiknya belajar. Anak rumahan banget, deh.” Eda senyum-senyum sendiri mendengar cerita Aulia. Ya, Eda percaya. Dia melihat sendiri ketika berkunjung ke panti. “Kasihan anak itu yatim piatu. Padahal, kalau orang tuanya tahu, mereka pasti bangga punya anak kayak Dipa.” Aulia menghela napas. “Eh, kayaknya kita udah mesti balik, deh. Babak selanjutnya udah mau dimulai.” Eda mengangguk. Ya, seandainya orang tua Dipa tahu, mereka pasti bangga. Eda jadi teringat ucapan Laras kemarin ini. Jangan bilang Pradipta soal pertemuan kita. Kenapa? Apa Laras tahu sesuatu tentang Dipa yang tak diketahui siapa pun? Apa benar, ternyata Laras adalah ibunya Dipa? Kalau iya, mengapa dia menelantarkan Dipa di panti? Kalau iya, mengapa dia masih punya nyali untuk mengajak Eda bertemu lagi? Kalau iya, mengapa dia tega membiarkan Dipa hidup sebatang kara sambil merindukan sosoknya? (Ho CAP BADAK gen CHAPTER 26: Babak Terakhir Niat yang baik akan berujung pada hasil yang baik pula. gee kembali berkumpul di luar, Dipa, Eda, Aulia dan Sultan segera duduk di salah satu pojokan, menyusun strategi. “Kita harus tenang” Aulia kembali mengingatkan. “Skor kita beda tipis dengan SMAN X. Kita juga harus hati-hati. Jadi, kita sepakat, ya, Dipa yang wakilin kita?” Eda dan Sultan mengangguk. “Dipa, lo bersedia?” Dipa juga mengangguk dengan sangat mantap. “Kiat dari kakak gue, kalau nggak yakin sama jawabannya, mending jangan jawab, karena di babak ini jawaban yang salah bisa mengurangi skor.” Dipa mengangguk lagi. Mereka berempat minum dan berdoa sejenak sebelum kembali ke ruang perlombaan. Babak final ini adalah babak yang paling mengintimidasi. Babak final terdiri atas tiga bagian. Pertama, bagian saat jawaban yang salah akan mengurangi skor. Kedua, bagian saat kategori pertanyaan dipilihkan oleh tim lawan. Ketiga, bagian saat pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang dibuat sendiri oleh tim lawan dan sebelumnya sudah melalui persetujuan panitia perlombaan. Dipa meregangkan lehernya dan berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Dia harus membawa timnya menang. Harus! Ini bukan sekadar mempertahankan gelar juara bagi sekolahnya. Ini bukan juga sekadar merebut kembali uang seratus juta yang merupakan hadiah undian yang disita. Dipa punya rencana lain, keinginan yang lain. “Pertanyaan untuk SMA Harapan. Pada tahun berapakah tokoh perdamaian, Mahatma Gandhi, menjadi Person of the Year dari majalah Time?” Dipa menelan ludah. “19 ... 30.” “Benar. Mahatma Gandhi menjadi Person of the Year dari majalah Time pada tahun 1930 atas gerakannya memimpin Pawai Garam atau Satyagraha Garam sepanjang 240 mil, atau kira-kira 390 kilometer, untuk menentang pajak dan monopoli garam oleh pemerintah kolonial.” Dipa menghela napas lega. Dia melihat teman-temannya ikut tegang menonton. Meskipun demikian, tatapan mereka kepada Dipa begitu membara penuh semangat. Dipa menjadi lebih percaya diri, Dipa tak memusingkan perolehan skor tim lain. Dia hanya menunggu gilirannya kembali dengan tenang. (48

You might also like