You are on page 1of 16

JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

KONSEP IJMA’ DALAM USHUL FIQH DAN KLAIM


GERAKAN ISLAM 212

Chamim Tohari
Universitas Muhammadiyah Surabaya
amimzon@yahoo.co.id

Abstrack: This research discusses about the results of ijtima 'ulama issued some time
ago ahead of the 2019’s presidential elections in Indonesia and afterward. This research
aims to answer the following problems: (1) Are the decisions of ijtima 'ulama claimed to
be the result of ijma' in line with the concept of ijma’ in ushul fiqh? (2) How were the
decisions of ijtima' they claimed as the result of ijma' viewed according to the concept of
fatwa in Islamic law? The research used a descriptive analitical method where the
author in this study analyzes the data obtained and then interpreted them based on the
perspective of the ijma’ theory. The results of this research are: (1) The agreements
produced by ijtima' ulama regarding their political choices fail to be categorized as ijma’
results because the decisions do not meet to the ijma requirements in ushul fiqh.
Namely; not being produced by the mujtahid ulama. Further, the decisions made are not
related to Islamic law (such as taklifi laws), and the decisions do not reflect the political
views of prominent ulamas (moslem scholars) in Indonesia, especially in the world. (2)
The decision of ijtima’ ulama is also not worth mentioning as a fatwa which is one form
of Islamic law, because there is no a clear legal basis in their ijtihad method, or scientific
analysis. Finally, their ijtima’s result does not come out from the competent and
qualified people having authority in the field of law.
Key Words: Ijma’, Ijtima’, Ijtihad, Politic, 212.

Abstrak: Penelitian ini membahas tentang hasil keputusan ijtima’ ulama yang
dikeluarkan beberapa waktu lalu menjelang pelaksanaan pemilu di Indonesia dan
sesudahnya. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa permasalahan berikut
ini: (1) Apakah keputusan ijtima’ ulama yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut sejalan
dengan konsep ijma’ dalam ilmu ushul fiqh? (2) Bagaimana keputusan ijtima’ ulama
yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut apabila dilihat menurut konsep fatwa dalam
hukum Islam? Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari dua
pertanyaan tersebut. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif
kualitatif dimana penulis dalam penelitian ini hendak melakukan analisis data yang
diperoleh dan kemudian melakukan penafsiran terhadap objek penelitian berdasarkan
perspektif ilmu ushul fiqh. Hasil penelitian ini adalah: (1) Kesepakatan yang dihasilkan
oleh ijtima’ ulama tentang pilihan politik mereka tidak dapat dikategorikan sebagai
hasil ijma’ karena keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan-persyaratan ijma’
dalam ilmu ushul fiqh, seperti tidak diputuskan oleh para ulama yang telah mencapai
derajat sebagai mujtahid, keputusan yang dihasilkan tidak berkaitan dengan hukum
Islam (seperti hukum-hukum taklifi), serta keputusan tersebut tidak mencerminkan

150
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

representasi pandangan politik para ulama terkemuka di Indonesia, lebih-lebih di


dunia. (2) Keputusan ijtima’ ulama juga tidak layak disebut sebagai fatwa yang mana
merupakan salah satu bentuk hukum Islam, karena tidak adanya landasan hukum yang
jelas, metode ijtihad, apalagi analisis ilmiah. Selain itu keputusan tersebut juga tidak
keluar dari orang yang layak dipandang sebagai orang yang berwenang atau mumpuni
untuk memutuskan hukum.
Keywords: Ijma’, Ijtima’, Ijtihad, Politic, 212.

151
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

Pendahuluan Penelitian ini secara khusus


hendak mencari jawaban dari dua
Indonesia sebagai negara yang
pertanyaan berikut ini: (1) Apakah
berpenduduk mayoritas beragama
keputusan ijtima’ ulama yang diklaim
Islam tidak hanya tampak pada suasana
sebagai hasil ijma’ tersebut sejalan
kehidupan yang religius semata, tetapi
dengan konsep ijma’ dalam ilmu ushul
juga nilai kepatuhan terhadap para
fiqh? (2) Bagaimana keputusan ijtima’
pemuka agama masih sangat kental
ulama yang diklaim sebagai hasil ijma’
dalam kehidupan keagamaan
tersebut apabila dilihat menurut konsep
masyarakat kita. Ajaran Islam
fatwa dalam hukum Islam? Tujuan
memainkan pengaruh yang sangat
penelitian ini adalah untuk menemukan
penting tidak hanya dalam cara hidup
jawaban dari dua pertanyaan tersebut.
masyarakat Indonesia, tetapi juga dalam
Adapun metode penelitian yang penulis
perilaku berpolitik yang dijalankan.
gunakan adalah deskriptif kualitatif
Misalnya saja warga Nahdhiyin yang
dimana penulis dalam penelitian ini
pada umumnya tunduk dan patuh pada
hendak melakukan analisis data yang
pilihan politik para kyai yang
diperoleh dan kemudian melakukan
dihormatinya. Kepatuhan masyarakat
penafsiran terhadap objek penelitian
kepada seorang tokoh agama seperti
berdasarkan perspektif ilmu ushul fiqh.
kyai dalam dunia politik memang bukan
hal yang baru terjadi, melainkan sudah
Definisi Ijma’
sejak berdirinya negara ini.
Kondisi sebagaimana dijelaskan di Secara bahasa ijma’ berarti
atas kemudian menjadi celah bagi para kesepakatan terhadap sesuatu, berniat
politisi untuk memanfaatkan simbol- untuk melakukan suatu pekerjaan, atau
simbol keagamaan untuk meraih membuat keputusan terhadap suatu
simpati masyarakat muslim dimana permasalahan. Dalam terminologi ushul
mereka adalah warga negara mayoritas fiqh, ijma’ dimaknai sebagai suatu
di Indonesia yang mana suara mereka kesepakatan para mujtahid dalam suatu
selalu diperebutkan oleh partai-partai masa tertentu terhadap masalah hukum
politik peserta pemilu. Dengan demikian syariah setelah meninggalnya Nabi
klaim keagamaan yang bertujuan untuk saw. 1 Apabila suatu peristiwa terjadi
mendulang suara massa dalam dan memerlukan ketentuan hukum dan
perpolitikan di Indonesia merupakan peristiwa tersebut dikemukakan kepada
hal yang lazim dilakukan terutama para ulama yang memiliki kemampuan
menjelang pemilu dilaksanakan. Hal ini berijtihad, dan mereka kemudian
pun terjadi pada pemuli 2019 yang baru mengambil kesepakatan berupa hukum
saja selesai dilaksanakan, dan salah dari peristiwa tersebut, maka
satunya adalah munculnya klaim bahwa kesepakatan mereka disebut sebagai
telah terjadi kesepakatan atau ijma’ ijma’.
para ulama yang memutuskan agar Imam al-Syaukani menyebutkan
umat Islam memilih seorang calon adanya tiga unsur dalam ijma’, antara
pemimpin yang mereka pilih dengan lain: (1) Kesepakatan tersebut
alasan kewajiban untuk mentaati ulama dilakukan oleh para ulama mujtahid
dan hasil ijma’ yang dikumandangkan dari kalangan umat Islam dari seluruh
oleh sekelompok orang yang
menamakan diri sebagai ijtima’ ulama.
1 Fahretin Atar. Fikih Usulu. (Istanbul:

MU Vakfi Yayinlari, 2013), h. 78.

152
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

penjuru dunia, tidak boleh ada yang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah
tertinggal satu orang pun. (2) mursalah, sad dzara’i, ‘urf, dan
Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw sebagainya, juga menguasai ilmu-ilmu
wafat. (3) Kesepakatan yang dimaksud al-Qur’an seperti nasakh-mansukh dan
adalah kesepakatan dalam masalah sebagainya, menguasai ilmu maqashid
hukum keagamaan.2 al-syariah dan bagian-bagiannya, serta
Dari definisi tersebut maka dapat menguasai ilmu bahasa Arab beserta
diketahui bahwa suatu kesepakatan tata bahasanya secara baik.4
tentang hukum dapat disebut sebagai Apabila dilihat dari tingkatannya,
ijma’ manakala memenuhi beberapa terdapat beberapa tingkatan mujtahid,
persyaratan sebagai berikut: yaitu: (1) Mujtahid mutlak, ialah orang
yang telah memenuhi persyaratan-
Memaknai Mujtahid persyaratan untuk melakukan ijtihad
dan memberikan fatwa dalam segala
Mengenai makna mujtahid ini para
permasalahan hukum Islam tanpa
ulama berbeda pendapat dalam hal
terikat oleh karakteristik ijtihad suatu
redaksi pemaknaannya, namun
mazhab tertentu. tingkatan ini adalah
memiliki kesamaan dalam maknanya,
tingkatan yang paling tinggi dan hanya
yaitu seorang ulama yang memiliki
para ulama pendiri mazhab saja yang
kemampuan dalam melakukan
berada pada posisi tersebut. (2)
penggalian dan istinbath hukum
Mujtahid muntasib, yaitu orang yang
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang ada.3
telah memenuhi seluruh persyaratan
Beberapa pakar ushul fiqh kontemporer
sebagai mujtahid, tetapi ia cenderung
kemudian mempertegas kriteria
berafiliasi dengan suatu mazhab tertetu
seorang mujtahid sebagai orang yang
dan mengikuti karakteristik ijtihad
beragama Islam, baligh, berakal sehat,
mazhab tersebut dengan berpedoman
mempunyai akhlak yang baik, serta
pada metode ijtihad yang ditetapkan
mampu melakukan istinbath hukum
oleh imam mazhabnya. (3) Mujtahid
dari al-Qur’an dan Sunnah.
muqayyad, adalah orang yang memiliki
Dalam sejarah pembentukan
kemampuan memahami dalil-dalil syar’i,
hukum Islam, tidak banyak orang yang
tetapi tidak mau keluar dari nalar
dapat dikategorikan ke dalam kelompok
pemikiran hukum yang dikembangkan
mujtahid ini, mengingat persyaratan
oleh mazhab yang ia anut, mujtahid
menjadi seorang mujtahid sangatlah
dalam tingkatan ini sebenarnya tidak
berat dan tidak mudah dipenuhi. Di
pernah menggali hukum terhadap
antara persyaratan bahwa seseorang
permasalahan yang baru, tetapi hanya
dapat disebut sebagai mujtahid di
mengambil hukum yang telah
antaranya adalah ia harus menguasai
dirumuskan oleh mazhab yang ia ikuti
dan memahami dengan baik ayat-ayat
untuk menjawab permasalahan hukum
hukum yang terdapat di dalam al-
yang muncul.5
Qur’an, menguasai hadis-hadis yentang
Dari penjelasan tersebut maka
hukum beserta transmisi
dapat dikatakan bahwa kesepakatan
periwayatannya, menguasai dengan
orang awam yang tidak memiliki
baik ilmu ushul fiqh seperti metode
kemampuan dalam berijtihad atau

2 Muhammad al-Syaukani. Irsyad al- Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh. (Bandung:


4

Fuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Pustaka Setia, 1999), h. 105-106.
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 72. 5 Saefuddin Nur. Ilmu Fiqh: Suatu
3 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh. (Bandung: Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam.
Pustaka Setia, 1999), h. 70. (Bandung: Tafakur, 2007), h. 45.

151
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

orang yang belum mencapai derajat Nabi saw, kemudian Nabi menjawabnya
sebagai mujtahid tidak dapat dikatakan berdasarkan wahyu yang diturunkan
sebagai ijma’, begitu pula penolakkan kepada baliau. Karena itu pada tersebut
mereka. Karena orang yang tidak tidak ada ruang untuk ijma’ sebagai
memenuhi persyaratan sebagai sumber hukum. Sepeninggalnya beliau
mujtahid tidak memiliki keahlian kemudian muncul permasalahan-
memahami hukum syariah, sehingga permasalahan baru yang tidak terdapat
pendapatnya tidak dapat dianggap pada masa Nabi, sehingga untuk
sebagai ijma’, meskipun jumlah mereka memutuskan hukumnya mutlak
sangatlah banyak. Dalam hal ini para diperlukan ijtihad dan ijma’ sebagai
ulama ushul berpendapat bahwa salah satu metodenya. Misalnya tentang
apabila pada suatu masa tidak didapati masalah kodifikasi al-Qur’an, atau
seorang pun yang dapat memenuhi masalah penetapan status tanah daerah
persyaratan sebagai mujtahid, maka taklukan yang semakin luas. Pada masa
dapat dipastikan tidak ada ijma’ dalam tersebut khalifah biasa bermusyawarah
masa tersebut. Apabila hanya ada satu dengan para sahabat lainnya untuk
atau beberapa ulama yang dapat bersama-sama memecahkan masalah
mencapai derajat mujtahid misalnya, yang dihadapi. Berdasarkan realitas
apabila kesepakatan tersebut dapat tersebut banyak ulama ushul fiqh yang
mewakili seluruh pendapat ulama hanya mengakui bahwa ijma’ dalam
dengan derajat mujtahid pada masa Islam hanya terjadi pada zaman
tersebut, maka dapat disebut ijma’ sahabat, dan tidak pada zaman
namun apabila kesepakatan tidak setelahnya. Karena menurut mereka
mewakili pandangan para ulama setelah masa sahabat ijma’ tidak
mujtahid lainnya, maka tidak dapat mungkin dan tidak pernah terjadi.8
dikatakan sebagai ijma’.6 Memang ada Adapun yang dimaksud dengan
pendapat yang menyatakan bahwa sahabat yang diakui ijma’-nya sebagian
kesepakatan sebagian ulama mujtahid ulama berpendapat bahwa mereka
atau sebagian besar dari mereka sudah adalah para sahabat dari golongan ahl
dapat dikatakan sebagai ijma’, tetapi al-halli wa al-aqdi. Namun sebagian
pendapat tersebut adalah pendapat ulama lainnya berpendapat bahwa yang
yang lemah. Karena hakekat ijma’ lebih penting adalah mereka yang
menurut jumhur ulama ushul fiqh diakui ijma’-nya yakni mereka yang
adalah kesepakatan seluruh ulama memenuhi persyaratan sebagai
mujtahid pada masa tertentu.7 mujtahid yang terdiri dari sahabat-
sahabat terkemuka yang sudah diakui
Ijma’ dilakukan Setelah Nabi SAW keilmuannya seperti Khulafa’u Rasyidin,
Wafat Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Mas’ud, dan
lainnya. Karena mereka selain diakui
Pada masa Nabi saw masih hidup, keilmuannya, juga diyakini sebagai
umat Islam dapat menanyakan semua sahabat-sahabat yang adil dan berhati-
permasalahan yang dihadapinya terkait hati dan tidak mungkin bersepakat
hukum syariah secara langsung kepada untuk melakukan kesalahan. Selain itu
dalam sejarah pensyariatan dapat
diketahui bahwa Nabi saw senantiasa
6 Ibn Hazm. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
Juz 4, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1438 H), h. 138, mendiamkan dalam arti menyepakati
201. perbuatan-perbuatan para sahabat yang
7 Abdul Madjid al-Tarkiy, Munâdharat fî

Ushûl al-Sharî’ah al-Islamiyah ‘Inda Ibn Hazm wa


al-Bâjî. (Beirut: Dâr al-Galb al-Islâm, tth), h. 167. 8 Fahretin Atar. Fikih Usulu, h. 79.

152
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

dimandang baik dan tidak bertentangan Kesepakatan Harus dilakukan Oleh


dengan syariah Islam. Seluruh Mujtahid
Menurut jumhur ulama, ijma’ yang
diakui tidak hanya ijma’ yang dilakukan Sesuatu disebut ijma’ apabila
oleh para sahabat dan ahlul bait saja, kesepakatan hukum tersebut dilakukan
tetapi setiap masa dimana terdapat para oleh seluruh ulama mujtahid dari
ulama yang telah mencapai derajat seluruh dunia, tidak ada yang tertinggal
sebagai mujtahid, maka kesepakatan satupun. Dalam hal ini seluruh ulama
mereka hendaknya diakui sebagai ijma’ mujtahid harus menyetujui hukum yang
dan dapat dijadikan sebagai rujukan telah mereka putuskan dengan tanpa
hukum. Hal ini karena setiap masa memandang dari negara mana, bangsa
selalu ada masalah-masalah baru yang serta golongan mazhab apapun. Artinya,
berbeda dengan masa sebelumnya yang apabila kesepakatan hanya dilakukan
membutuhkan penyelesaian hukum. oleh sebagian mujtahid saja, sedangkan
Apabila ijma’ yang diakui hanya ijma’ sebagian lainnya menentangnya, maka
sahabat, maka umat Islam setelah masa tidak dapat dikatakan sebagai ijma’ dan
sahabat akan kesulitan mencari rujukan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
hukum terhadap masalah yang syar’iyah. Misalnya kesepakatan hanya
dihadapinya. 9 dilakukan oleh para ulama mujtahid
dari negara Arab Saudi saja, sedangkan
Kesepakatan Dalam Hukum Syariah tidak disepakati oleh ulama mujtahid di
Indonesia, maka hasil keputusan
Ulama ushul fiqh mensyaratkan tersebut bukan termasuk ijma’.12
bahwa kesepakatan yang terjadi di Hal ini sejalan dengan kritik
antara para ulama mujtahid haruslah Ahmed Abdullah Al-Naim terhadap
tentang permasalahan hukum syariah, konstruks ijma’ klasik yang dipahami
terutama yang berkaitan dengan hukum dalam perspektif ushul fiqh.
taklifi seperti hukum wajib, sunnah, Menurutnya pada masa sekarang
haram, makruh, dan mubah, baik dalam dimana berbagai sarana komunikasi dan
masalah ibadah maupun muamalah. transportasi modern telah tersedia,
Para ulama yang berpendapat demikian tidak ada alasan bagi para mujtahid
di antaranya adalah al-Ghazali dalam untuk mengalami kesulitan dalam
kitabnya al-Musytasyfa, al-Juwaini melakukan kesepakatan yang
dalam kitabnya Warakat, serta Kamal lingkupnya internasional. Karena itu
bin Hanbal dalam kitabnya al-Tahrir.10 ijma’ pada zaman sekarang yang diakui
Kesepakatan pandangan dalam masalah menurutnya haruslah ijma’ yang
sejarah, pembuktian dan kesaksian lingkupnya internasional, bukan ijma’
dalam peradilan, masalah pandangan dalam lingkup nasional atau bahkan
atau pilihan politik, atau masalah hanya dalam satu kelompok saja. Al-
lainnya diluar masalah hukum taklifi Naim berpendapat bahwa ijma’
dalam hal ini tidak dapat dikategorikan internasional dapat dilakukan dengan
sebagai ijma’.11 adanya pertemuan dialog informal
seperti Non-Govermental Organization
(NGO) Internasional antara para ulama
mujtahid dari seluruh negara di dunia

12Lihat penjelasan Mukhtar Yahya


9 Fahretin Atar. Fikih Usulu, h. 80. dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar
10 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh, h. 71. Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
11 Fahretin Atar. Fikih Usulu, h. 80. 1986), h. 59-60.

153
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

tanpa memandang latar belakangnya umat Islam. Adapun apabila dalil yang
yang penting mereka memiliki dijadikan sandaran berijma’ tersebut
kesamaan komitmen untuk adalah dalil yang sifatnya zhanni, maka
mewujudkan kemaslahatan hidup mustahil pula menurut adat dapat
manusia. Konsep ijma’ dalam terjadi ijma’, karena berdasarkan
pandangan al-Naim juga menggugat sejarah pembentukan hukum Islam dalil
pandangan bahwa keputusan ijma’ zhanni selalu menimbulkan beraneka
terdahulu tidak dapat dihapus oleh ijma’ ragam pandangan hukum yang saling
kemudian. Selain itu ia juga menolak berbeda di antara para ulama
klaim ijma’ yang hanya berdasarkan mujtahid.14
pada otoritas kepompok atau bangsa Bahkan di kalangan ulama Sunni
tertentu, lebih-lebih otoritas sendiri ada yang meragukan
perorangan dimana dalam suatu kemungkinan terwujudnya ijma’ seperti
musyawarah ada orang yang yang didefinisikan di atas. al-Syafi’i –
mendominasi pendapatnya dan ada seperti yang disebutkan Abu Zahrah –
orang yang hanya mengikuti saja. Ijma’- mengisyaratkan penolakannya atas
ijma’ seperti itu tidak diakui sebagai adanya ijma’ ulama setelah masa
ijma’ dalam pandangan Abdullah al- sahabat. 15 Ahmad Ibn Hanbal juga
Naim.13 menyepakati as-Syafi’i, seperti yang
dikatakannya, “Barang siapa
Perdebatan Terkait Kehujjahan Ijma’ mengatakan adanya ijma’ berarti ia
telah berdusta, karena mungkin saja
Para ulama ushul fiqh berbeda orang-orang berbeda pendapat
pendapat tentang kehujjahan ijma’ sedangkan ia tidak mengetahuinya dan
sebagai sumber hukum Islam. Empat belum sampai pengetahuannya ke situ.
mazhab Sunni memandang ijma’ sebagai Karena itu hendaklah ia mengatakan
hujjah yang berdiri sendiri (mustaqil) “kami tidak mengetahui ada perbedaan
dan bersifat qath’i. Oleh sebab itu tidak pendapat orang tentang itu”.16
boleh mengingkarinya. Tetapi al- Pendapat yang sama dikatakan
Nazzam, kaum Khawarij dan Rafidhah pula oleh Abu Muslim al-Isfahani dan
serta kelompok Syiah pada umumnya Ibn Taymiyah serta mazhab Zahiri. 17
tidak memandang ijma’ sebagai hujjah. Para ulama ushul al-fiqh kontemporer
Argumentasi mereka adalah bahwa seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul
ijma’ yang memenuhi persyaratan- Wahab Khalaf, Wahbah Zuhaili dan
persyaratan sebagaimana dijelaskan beberapa yang lainnya juga melihat
sebelumnya adalah hal yang sangat bahwa ijma’ yang mungkin terjadi
tidak mungkin dapat terwujud. Selain hanyalah pada masa sahabat.
itu, ijma’ haruslah bersandar pada suatu Ketidakmungkinan itu mengingat
dalil syar’i. Apabila dalil yang digunakan luasnya wilayah dunia Islam, sehingga
berijma’ tersebut adalah dalil yang
qath’i, maka mustahil dalil tersebut 14 Mukhtar Yahya. Dasar-Dasar
tersembunyi dan memerlukan ijma’ Pembinaan Fiqh Islam, h. 63.
untuk menunjukkannya. Sebab suatu 15 Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-
dalil yang sifatnya qath’i pasti akan Fiqh. (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H), h.
diketahui dan diamalkan oleh seluruh 157-158.
16 Muhamamd Ibn Ali al-Syaukani, Irsya

al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul.


Abdullah Ahmed Al-Naim. Toward an
13 (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 73.
Islamic Reformation, Civil Liberties, Human 17 Wahbah al-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-

Rights and Interbational Law. (Syracuse: Islami. Juz 1. (Beirut: Dar al-Fikr, 1406 H), h.
Syracuse University Press, 1990), h. 23-24. 572.

154
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

sulit mengumpulkan seluruh mujtahid mengingkari terjadinya ijma’ adalah


dalam satu pendapat. Di samping juga sama halnya dengan mengingkari hal-
sulit untuk mengetahui siapa yang hal yang nyata terjadi dan untuk
mujtahid dan siapa yang bukan menunjukkan bukti bahwa telah terjadi
mujtahid. 18 Muhammad Khudhari Bek ijma’ mereka mengemukakan antara
bahkan mempersempit lagi lain ijma’ pengangkatan Abu Bakar
kemungkinan terjadinya ijma’ hanya menjadi khalifah, ijma’ tentang
pada masa Abu Bakar dan Umar, karena ketentuan hak waris nenek yaitu 1/6
pada masa sesudah itu telah terjadi dari harta peninggalan, serta
keretakan dalam tubuh kaum muslimin, terhalangnya cucu laki-laki oleh anak
sehingga tidak mungkin terjadi ijma’ laki-laki untuk menerima warisan. 22
lagi. 19 Pandangan tersebut berbeda Menurut kelompok ini, itulah dalil yang
dengan pandangan Hasbie as-Shiddiqi, jelas menunjukkan adanya ijma’ dengan
ulama fiqh Indonesia yang melihat perbuatan, dan sekaligus sebagai
bahwa semakin majunya ilmu petunjuk bahwa ijma’ benar-benar
pengetahuan dan teknologi justru terwujud dalam kehiduan nyata. Hanya
semakin mempermudah saja, kelompok yang meyakini telah
mengumpulkan para mujtahid. Dengan terjadinya ijma’ tersebut tidak
demikian kemungkinan terjadinya ijma menjawab berbagai argumentasi yang
bukan hal yang mustahil.20 dikemukakan oleh kelompok yang
Imam al-Syaukani menjelaskan mengingkari adanya ijma’ secara detail
bahwa terdapat dua pandangan yang dan memuaskan.23
berkembang dalam sejarah hukum Pendapat ini kemudian dibantah
Islam berkaitan dengan kehujjahan oleh para ulama yang menolak
ijma’ tersebut. terjadinya ijma’ dalam masalah
Pertama, pendapat yang tersebut. Menurut kelompok yang
dikemukakan oleh jumhur ulama ushul menolak ijma’ pengangkatan Abu Bakar
fiqh yang menganggap bahwa ijma’ menjadi khalifah tidak berdasarkan
merupakan salah satu metode untuk kesepakatan seluruh tokoh-tokoh dan
mendapatkan hukum atau sebagai pemimpin kaum muslimin pada masa
sumber hukum Islam setelah al-Qur’an itu, melainkan hanya sebagian saja dari
dan Sunnah. Kelompok ini mereka. Demikian pula para sahabat
menggunakan beberapa ayat-ayat al- yang dikumpulkan oleh khalifah Abu
Qur’an dan hadis 21 serta argumentasi Bakar serta Umar untuk membahas
rasional dalam menetapkan aksistensi suatu masalah hukum, tidak seluruhnya
ijma’ sebagai metode ijtihad. Mereka dapat hadir untuk memberikan
berpendapat bahwa tidak tertutup pendapatnya. Karena pada masa itu
kemungkinan kalau umat Islam para sahabat terkemukaa telah banyak
bersepakat atas suatu kebenaran. yang meninggalkan kota Madinah untuk
Menurut mereka orang-orang yang berdakwak ke negeri-negeri lain seperti
Mekkah, Yaman, Syam, Mesir, Iraq, serta
18 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al- ada pula yang berada di medan perang.
Fiqh. h. 159. Jadi, pendapat tentang suksesi
19 Muhammad Khudhari Bek. Ushul al-
kepemimpinan Abu Bakar dan
Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), h. 285.
20 Hasbie al-Shiddiqi. Pengantar Ilmu
seterusnya, serta keputusan hukum
Fiqh. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 203. yang diambil pada masa sahabat
21 Di antara dalil yang digunakan

sebagai landasan kehujjahan ijma’ oleh 22Mukhtar Yahya. Dasar-Dasar


kelompok ini adalah al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat Pembinaan Fiqh Islam, h. 64-65.
59 23 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh, h. 82.

155
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

tersebut bukanlah hasil ijma’ menurut suatu wilayah yang berbeda menjadikan
mereka yang mengingkari terjadinya tidak mungkin tercapainya kesepakatan
ijma’ dalam Islam. Adapun setelah masa tentang suatu hukum. Karena perbedaa
sahabat ini sudah tidak lagi situasi dan kondisi pada suatu wilayah
dimungkinkan adanya ijma’ antara para dengan wilayah lainnya akan
ulama mujtahid, yang ada adalah menimbulkan perbedaan cara pandang
keputusan hukum dari perseorangan terhadap suatu permasalahan.
yang berbeda-beda metode dan hasil Sedangkan perbedaan yang demikian
ijtihadnya sesuai dengan kondisi tidak semestinya ada dalam ijma’.25
masyarakat yang dihadapinya.24 Menurut hemat penulis, pendapat
Kedua, pendapat yang kedua inilah yang lebih kuat, yaitu
mengingkari terjadinya ijma’ dalam pendapat yang mengatakan bahwa ijma’
hukum Islam. Menurut kelompok ini, tidak pernah ada dan tidak akan mudah
untuk mencapai ijma’ sebagaimana yang untuk mewujudkannya di sepanjang
telah disepakati definisinya oleh para zaman. Hal ini berdasarkan realitas
ulama ushul fiqh tersebut adalah hal yang terjadi saat ini dimana umat Islam
yang sangat sulit untuk diwujudkan. Hal dalam setiap negara yang berbeda
tersebut karena beberapa faktor berikut selalu menghadapi permasalahan yang
ini: (1) Sulitnya menentukan siapa di berbeda. Misalnya saja ketika Syeikh
antara ulama yang telah mencapai Yusuf al-Qardhawi mengemukakan
derajat sebagai mujtahid dan siapa yang gagasannya untuk mengembangkan fiqh
belum layak disebut mujtahid. Karena yang sesuai dengan kebutuhan
seringkali orang yang dipandang telah masyarakat muslim minoritas yang
mumpuni untuk melakukan ijtihad tapi tinggal di negara-negara Barat dimana
ternyata tidak mampu untuk menurut pandangan beliau umat Islam
melakukannya, dan tidak jarang orang yang tinggal di wilayah benua Eropa dan
yang dianggap tidak mampu berijtihad Amerika diperbolehkan untuk ukut
tapi ternyata ia mampu melakukannya. serta dalam pelaksanaan pesta
Kesulitan seperti ini adalah wajar demokrasi di negara tempat mereka
karena keilmuan sifatnya abstrak, tidak tinggal. Artinya mereka diperbolehkan
dapat diukur secara konkrit, karena itu untuk memilih pemimpin yang tidak
tidak mudah untuk membedakan mana beragama Islam atau dalam istilah yang
orang yang telah mencapai derajat agak radikal disebut sebagai pemimpin
mujtahid dan mana yang bukan. (2) kafir, padahal jelas dalam pandangan
Semakin luasnya wilayah yang dihuni jumhur ulama bahwa kewajiban umat
oleh umat Islam merupakan halangan Islam adalah mengangkat pemimpin
untuk melakukan ijma’. Karena untuk yang beragama Islam. Juga pendapatnya
mengumpulkan seluruh ulama mujtahid yang membolehkan umat Islam disana
dari negeri-negeri Islam adalah melakukan sholat jum’at pada pagi hari
pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. atau sore hari karena adanya halangan
Bahkan pada masa sekarang pun ketika adat di negara-negara Eropa yang
sarana transportasi dan komunikasi menetapkan jam kerja dan jam sekolah
telah memadai, tetap saja tidak mudah hingga menyebabkan umat Islam
mengumpulkan para ulama mujtahid kesulitan melaksanakan sholat jum’at
modern karena berbagai kendala. (3) pada siang hari. Pandangan-pandangan
Adanya perbedaan kultur yang dihadapi Syeikh Yusuf al-Qardhawi tersebut
oleh umat Islam dan para ulama pada
25 Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad al-
24 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh. h. 65. Syaukani. (Ciputat: Logos, 1999), h. 129.

156
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

meskipun dikeluarkan melalui lembaga saat ini tidak ada definisi yang jelas
fatwa yang disebut European Council for tentangnya, meskipun banyak umat
Fatwa and Research (ECFR) yang Islam yang sudah memahaminya dan
bermarkas di Dublin Irlandia dan menyaksikan apa dan siapa mereka itu.
dipimpin oleh para ulama terkemuka di Pada kajian ini penulis akan
dunia, tetap saja tidak terlepas dari memfokuskan pembahasan pada
kritikan-kritikan keras ulama besar fenomena munculnya ijtima’ ulama 1
Islam lainnya seperti Syeikh Said dan 2 yang mewajibkan bagi umat Islam
Ramadhan al-Buthi, ulama kenamaan untuk memilih pemimpin yang mereka
yang tinggal dan syahid di Syria putuskan, di antara alasannya adalah
beberapa waktu silam karena konflik keputusan yang mereka keluarkan
politik yang terjadi di negeri tersebut.26 adalah hasil kesepakatan para ulama,
Selain itu, ijma’ yang dimaksud sehingga harus dipatuhi.
dalam kitab-kitab fiqh hakekatnya Ijtima’ secara bahasa berasal dari
adalah ijma’ yang berasal dari kata “jami’a” yang berarti pertemuan atau
kesepakatan para ulama yang ada dalam perkumpulan. Sedangkan ijma berarti hasil
satu mazhab tertentu yang diikuti oleh keputusan yang diperoleh lewat ijtima yang
penulis kitab-kitab tersebut, bukan ijma’ dihadiri oleh para ulama mujtahid.
dalam arti sebagaimana yang telah Ijtima menghasilkan keputusan hukum
disepakati definisinya tersebut. Karena dari konsensus tersebut atau produk
itu menggantungkan diri kepada kitab- hukum dari musyawarah seluruh ulama
kitab fiqh yang mana terdapat kata ijma’ mujtahid. Realitas dari ijtima’ ulama
di dalamnya bukanlah cara yang sah dan adalah kesepakatan sekelompok elit
kuat. politikus dan orang-orang yang mereka
anggap sebagai ulama tersebut
Klaim Gerakan Islam Politik kemudian memutuskan untuk memilih
Terhadap Terjadinya Ijma’ seorang calon presiden dan wakil
presiden RI tahun 2019-2014. Kesan
Sebagaimana yang disaksikan yang kemudian timbul dari hasil
bersama bahwa pada saat ini di keputusan tersebut adalah bahwa
Indonesia marak terjadi klaim yang keputusan tersebut memiliki legitimasi
menyatakan bahwa keputusan religius yang kuat. Hal tersebut terjadi
sekelompok orang yang disebut sebagai lantaran para pelaku ijma dianggap
ulama di Indonesia adalah ijma’ yang sebagai para ulama yang mumpuni dan
harus dipatuhi dan harus dikawal ahli di bidang ilmu agama. Hasil ijma’
pelaksanaannya. Mulai dari munculnya tersebut kemudian mereka gunakan
fatwa haramnya menjadikan orang kafir sebagai legitimasi politik dan sarana
sebagai pemimpin yang untuk memperoleh dukungan terutama
melatarbelakangi munculnya gerakan dari kalangan umat Islam di Indonesia.
massa 212 di Monas Jakarta, hingga Sedangkan kata “ulama” secara
munculnya ijtima’ ulama 1 dan 2 yang etimologis merupakan bentuk plural
mengeluarkan pernyataan agar umat dari kata ‘âlim yang maknanya adalah
Islam harus memilih pemimpin yang orang yang berpengetahuan atau ahli
mereka fatwakan. Adapun yang disebut ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa
dengan ijtima’ 212 sebenarnya hingga Indonesia, ulama diartikan sebagai ahli
pengetahuan tentang agama Islam.
26 Lihat Chamim Tohari. Fiqh al- Karena itu kata “ulama” seringkali
Aqalliyyat: Framework Ijtihad Hukum Islam dihubungkan dengan perkataan lain,
Untuk Muslim Minoritas. Jurnal Istinbath Volume seperti ulama hadis, ulama tafsir dan
11, Nomor 2, November 2014, h. 311-364.

157
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

sebagainya dimana penggabungan Jufri, dan Ketua Umum Partai Berkarya


tersebut memiliki makna bahwa orang Hutomo Mandala Putra.27
tersebut adalah seorang yang ahli dalam Kesepakatan mereka yang datang
bidang-bidang ilmu agama Islam. dalam pertemuan tersebut yang berisi
Adapun makna “ulama” secara seruan bagi umat Islam di Indonesia
terminologis adalah orang yang untuk memilih calon presiden dan wakil
memiliki ilmu agama dan menguasai presiden yang telah mereka tetapkan
pengetahuan, yang mana dengan kemudian diklaim sebagai hasil ijma’
pengetahuannya tersebut ia memiliki dang mereka sebut sebagai ijtima’
rasa takut dan tunduk kepada Allah ulama 1 dan 2. Artinya, hasil
serta menunjukkan akhlak yang terpuji kesepakatan tokoh-tokoh tersebut
yang dapat menunjukkan contoh yang dianggap sebagai ijma’ seakan-akan
baik kepada umat. Ulama sepanjang ijma’ yang dilakukan oleh para ulama
sejarah adalah orang-orang terpelajar yang telah mencapai pada derajat
yang membawa pencerahan kepada sebagai mujtahid.
masyarakat sekitarnya.
Sampai di sini dapat dipahami Analisis Kritis
tentang makna “ijtima’ ulama”, yaitu Keputusan Ijtima’ Ulama Menurut
hasil kesepakatan yang diputuskan oleh Konsep Ijma’
orang-orang yang memiliki
pengetahuan luas di bidang ilmu agama Sebagaimana dijelaskan
Islam, yang mana mereka adalah orang- sebelumnya bahwa suatu keputusan
orang yang takut kepada Allah dan dapat dusebut sebagai hasil ijma’
mampu menunjukkan akhlak yang manakala memenuhi beberapa
terpuji. Sekarang penulis akan persyaratan seperti yang bersepakat
menjelaskan siapa saja termasuk di adalah para ulama yang telah mencapai
dalam ijtima’ ulama tersebut. derajat mujtahid, kesepakatan berkaitan
Dalam hal ini penulis tidak dengan hukum syariah, serta yang
mungkin menyebutkan satu-persatu bersepakat adalah seluruh ulama
dari siapa saja yang terlibat dalam mujtahid di seluruh dunia. Berdasarkan
kesepakatan ijtima’ ulama 1 dan 2. konsep ijma’ tersebut penulis
Namun sejauh penelusuran penulis, memandang bahwa hasil keputusan
terdapat beberapa mana kunci yang ijtima’ ulama tidak dapat disebut
dianggap sebagai tokoh-tokoh utama sebagai ijma’ dengan alasan-alasan
dalam ijtima’ ulama tersebut. Di berikut:
antaranya adalah: (1) Munarman, yang Pertama, dalam pandangan
tertera sebagai Sekretaris di Ijtima’ penulis tidak ada satupun anggota
Ulama 2 yang sekaligus merupakan juru ijtima’ ulama yang dari aspek keilmuan
bicara FPI dan Panglima Komando terbukti telah mencapai derajat sebagai
Laskar Islam. (2) Al khatath yang mujtahid. Seperti yang telah dijelaskan
merupakan Sekjen Forum Umat Islam bahwa seorang mujtahid haruslah
(FUI), mantan pemuka HTI. (3) Abu memiliki keahlian dibidang ilmu-ilmu
jibril yang merupakan tokoh terkemuka agama seperti keahlian dalam ilmu
HTI. (4) Yusuf Muhammad Martak, tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu
Ketua GNPF-U sekaligus Direktur PT
Energi Mega Persada Tbk. (5) Para 27
politisi partai politik oposisi seperti https://foto.tempo.co/read/66393/ulama-dan-
Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al tokoh-nasional-yang-ikut-hadir-dalam-ijtima-
ulama-gnpf. data diakses pada tanggal 30 April
2019.

158
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

fiqh, serta ilmu bahasa Arab. Sementara yang memiliki kesamaan pilihan politik
orang-orang yang menjadi pemuka dengan elit-elit politik yang terlibat
ijtima’ ulama dan melakukan dalam ijtima’ tersebut. Sehingga
kesepakatan tersebut sebagaimana yang pandangan dan pilihan politik mereka
telah penulis sebutkan sebelumnya sama sekali tidak merepresentasikan
tidak pernah terbukti sebagai seorang pandangan politik jumhur ulama di
pakar di salah satu bidang ilmu agama Indonesia, lebih-lebih di dunia. Karena
Islam tersebut. Bagaimana seorang itu penulis berpendapat bahwa hasil
ulama besar seperti Imam Fakhruddin kesepakatan ijtima’ ulama sama sekali
al-Razi yang oleh sebagian ulama tidak tidak layak dianggap sebagai ijma’
diakui ijma’-nya, juga seorang ulama dalam perspektif ilmu ushul fiqh.
sekaliber Jalaluddin al-Suyuthi yang Keempat, dari sisi perilaku
oleh Syeikh Rashid Ridha dianggap akhlaknya, banyak penulis jumpai dari
sebagai seorang pengumpul kayu bakar para pendukung kelompok ijtima’ ulama
di malam hari, yang dianggap bukan yang berasal dari tokoh-tokoh gerakan
sebagai seorang yang mampu 212 tidak menunjukkan kualitasnya
melakukan ijtihad, apalagi mereka yang sebagai ulama yang mempunyai
berkumpul dalam ijtima’ ulama yang kelayakan sebagai mujtahid. Hal ini
sama sekali belum terbukti dibuktikan misalnya kesalahan tokoh
keilmuannya. mereka seperti Tengku Zulkarnain
Kedua, ijma’ adalah kesepakatan dalam mentashrif kata “kafara”,
para mujtahid dalam masalah hukum pernyataan Haikal Hasan soal
Islam yang berkaitan dengan hukum perbedaan antara kata “kafir” dan
taklifi seperti wajib, sunnah, haram, “kuffar” dimana ia mengaku mengambil
makruh, dan mubah. Adapun keputusan pendapat tersebut dari buku seorang
yang dilahirkan dari hasil ijtima’ ulama ulama terkemuka, KH. Abdurrahman
tidak berkaitan dengan masalah hukum, Wahid (Gus Dur) dan kemudian terbukti
melainkan hanya tentang masalah siapa bahwa Gus Dur tidak berpendapat
yang dipilih menjadi calon presiden dan demikian, serta pengucapan doa Nabi
wakil presiden. Artinya itu hanya saw pada waktu perang Badar yang
masalah pilihan politik yang secara diucapkan oleh Neno Warisman yang
langsung tidak berkaitan dengan hukum tidak sesuai konteksnya, yang justru
Islam. Karena itu menurut penulis hasil menimbulkan makna yang berimplikasi
ijtima’ ulama tidak sepatutnya disebut serius dan menyakitkan bagi umat Islam
sebagai ijma’, karena sangat tidak sesuai lainnya.28
dengan konsep ijma’ dalam ushul fiqh.
Ketiga, ijtima’ ulama tidak diikuti Keputusan Ijtima’ Ulama Menurut
oleh seluruh ulama mujtahid di dunia Konsep Fatwa
Islam. Seperti yang telah penulis
jelaskan bahwa mereka yang hadir dan Menurut bahasa, kata “fatwa”
turut menyepakati keputusan ijtima’ berarti jawaban mengenai suatu
ulama tidak hanya orang-orang yang kejadian atau peristiwa hukum.
diragukan tingkat keilmuannya sebagai Sedangkan secara istilah, kata “fatwa”
mujtahid, tetapi juga tidak melibatkan berarti menerangkan hukum syara’
sebagian besar ulama yang diakui dalam suatu persoalan sebagai jawaban
otoritas keilmuannya di Indonesia,
apalagi di dunia. Ijtima’ ulama dalam hal Lihat Muhammad Alwi HS. Resepsi
28

ini hanya terdiri dari para ustad dan Hadis Do’a Nabi Jelang Pilpres 2019 (Analisis
orang-orang yang diklaim sebagai ulama Informatif Dan Performatif). Jurnal Aqlam,
Volume 4, Nomor 1, Juni 2019.

159
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

dari suatu pertanyaan, baik Salah satu karakteristik menonjol


perseorangan maupun secara kolektif.29 dari sebuah fatwa adalah tidak ada daya
Fatwa dapat dilakukan oleh perorangan pengikatnya dari segi kekuatan
(ulama mujtahid atau yang setingkat) hukumnya. Fatwa sebagai pandangan
atau atas nama lembaga fatwa (jamaah hukum seorang ulama atau lembaga
para ulama mujtahid) seperti di fatwa tertentu tidak bersifat mengikat.
Indonesia ada Majelis Ulama Indonesia Dengan kata lain, pihak yang meminta
(MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah, fatwa (mustafti) - baik perorangan
Dewan Hisbah Persis, Bahtsul Masa’il maupun kelompok - tidak diwajibkan
NU, dan lembaga fatwa lainnya.30 mengikuti isi fatwa yang diberikan
Dalam mengeluarkan fatwa, kepadanya. Hal ini karena fatwa seorang
terdapat langkah-langkah yang mufti di suatu daerah kemungkinan
semestinya dilalui seperti berikut ini: berbeda dengan fatwa mufti lainnya di
(1) Setiap masalah yang disampaikan daerah yang sama.
kepada pemberi fatwa atau mufti Keputusan ijtima’ ulama apabila
hendaknya terlebih dahulu dipelajari dilihat berdasarkan konsep fatwa
secara seksama oleh mufti; (2) tersebut, maka menurut penulis
Berkaitan dengan masalah yang sudah keputusan tersebut tidak layak disebut
jelas hukumnya (qath’i), hendaknya sebagai fatwa. Alasan penulis adalah:
difatwakan apa adanya, karena fatwa (1) Fatwa adalah pandangan tentang
hukum yang berbeda dari hukum yang hukum suatu permasalahan dalam
telah jelas disebutkan dalam al-Qur’an Islam, sedangkan keputusan ijtima’
dan Sunnah maka fatwa tersebut ulama bukanlah merupakan pandangan
menjadi gugur. Kecuali hukum qath’i hukum, melainkan hanya kesepakatan
tersebut adalah masalah muamalah untuk memilih pasangan calon presiden
yang memungkinkan untuk dilakukan dan wakil presiden, tidak berkaitan
perubahan hukum atasnya; (3) Dalam sama sekali dengan masalah hukum. (2)
masalah yang terdapat ikhtilaf atau Fatwa yang dikeluarkan harus
perbedaan pendapat di kalangan mencantumkan landasan hukum,
mazhab, maka fatwa yang disampaikan metode ijtihad, serta analisis dan
harus menjelaskan perbedaan pendapat kesimpulan yang jelas agar dapat
tersebut sembari menganjurkan untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
mengikuti pendapat yang terkuat dari sedangkan hasil ijtima’ ulama tidak
pendapat-pendapat yang ada; (4) Mufti pernah ada yang namanya landasan
hendaknya menetapkan keputusan hukum yang jelas, metode ijtihad,
fatwa dengan menggunakan bahasa apalagi analisis ilmiah.
yang mudah dipahami oleh masyarakat Karena itu penulis berpendapat
umum; (5) Fatwa harus mencantumkan bahwa keputusan ijtima’ ulama tidak
landasan hukum, metode ijtihad, serta dapat dikategorikan sebagai fatwa,
analisis dan kesimpulannya agar dapat lebih-lebih diwajibkan bagi umat Islam
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; untuk mengikutinya. Karena bahkan
dan (6) Fatwa yang dibuat haruslah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang
dapat menjadi solusi hukum bagi mufti pun tidak wajib untuk diikuti,
peminta fatwa atau masyarakat.31 apalagi hanya keputusan ijtima’ ulama
yang masih diragukan kemampuan
29Yusuf al-Qardhawi. Fatwa: Antara ijtihad anggota-anggotanya.
Kehati-hatian dan Kecerobohan. (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), h.5.
30 Saifuddin Nur. Ilmu Fiqh, h. 109.
31 Saifuddin Nur. Ilmu Fiqh h.109-110.

160
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan yang
dihasilkan oleh ijtima’ ulama tentang
pilihan politik mereka tidak dapat
dikategorikan sebagai hasil ijma’ karena
keputusan tersebut tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan ijma’ dalam
ilmu ushul fiqh, seperti tidak diputuskan
oleh para ulama yang telah mencapai
derajat sebagai mujtahid, keputusan
yang dihasilkan tidak berkaitan dengan
hukum Islam (seperti hukum-hukum
taklifi), serta keputusan tersebut hanya
disepakati oleh sekelompok orang yang
memiliki kesamaan pilihan politik saja,
tidak mencerminkan representasi
pandangan politik para ulama
terkemuka di Indonesia, lebih-lebih di
dunia. Selain itu, keputusan ijtima’
ulama juga tidak layak disebut sebagai
fatwa yang mana merupakan salah satu
bentuk hukum Islam, karena tidak
adanya landasan hukum yang jelas,
metode ijtihad, apalagi analisis ilmiah.
Di samping itu keputusan tersebut juga
tidak keluar dari orang yang layak
dipandang sebagai orang yang
berwenang atau mumpuni untuk
memutuskan hukum.

161
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

DAFTAR PUSTAKA As-Shiddiqi, Hasbie. Pengantar Ilmu


Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Al-Ghazȃlȋ, Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Muhammad Ali. Irsyad al-
Abu Hamid, Al-Mustasfa min ‘ilmi Fuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm
al-ushûl, Beirut: Dȃr al-Kitȃb al- al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Ilmiyyah, t.th. Atar, Fahretin. Fikih Usulu. Istanbul: MU
Al-Naim, Abdullah Ahmed. Toward an Vakfi Yayinlari, 2013.
Islamic Reformation, Civil Liberties, Bek, Muhammad Khudhari. Ushul al-
Human Rights and International Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.
Law. Syracuse: Syracuse Hallaq, Wael B., A History of Islamic
University Press, 1990. Legal Theories, United Kingdom:
Al-Qaradhȃwȋ, Yûsuf, Taysȋr al-Fiqh li- Cambridge University Press,
Muslim al-Mu’ȃsir fȋ Daw’ al- 1997.
Qur’ȃn wa al-Sunnah, Beirut: Hazm, Ibn. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
Muasasat al-Risȃlah, 1996. Juz 4, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1438 H.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fatwa: Antara HS, Muhammad Alwi. Resepsi Hadis Do’a
Nabi Jelang Pilpres 2019 (Analisis
Kehati-hatian dan Kecerobohan.
Informatif Dan Performatif). Jurnal
Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Aqlam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2019.
Nur, Saefuddin. Ilmu Fiqh: Suatu
Al-Salȃm, Izz al-Dȋn ibn Abd, Qawȃ’id al-
Pengantar Komprehensif Kepada
Ahkȃm Fȋ Masȃlih al-Anȃm, Kairo:
Hukum Islam. Bandung: Tafakur,
Dȃr al-Qalam, 1400 H.
2007.
Al-Shȃthibȋ, Abû Ishaq, Muwȃfaqȃt Fȋ
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad al-
Ushûl al-Ahkȃm, Kairo: t.p, t.th.
Syaukani. Ciputat: Logos, 1999.
Al-Tarkiy, Abdul Madjid. Munâdharat fî
Syafe’i, Rachmat. Ushul Fiqh. Bandung:
Ushûl al-Sharî’ah al-Islamiyah ‘Inda
Pustaka Setia, 1999.
Ibn Hazm wa al-Bâjî. Beirut: Dâr
Tohari, Chamim. Fiqh al-Aqalliyyat:
al-Galb al-Islâm, tth.
Framework Ijtihad Hukum Islam
Al-Zanjȃnȋ, Shihȃb al-Dȋn, Takhrȋj al-
Untuk Muslim Minoritas. Jurnal
Furû’ ‘alȃ al-Ushûl, Beirut:
Istinbath Volume 11, Nomor 2,
Mu’assasah al-Risȃlah, 1994.
November 2014.
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-
Islami. Juz 1. Beirut: Dar al-Fikr,
1406 H.

162
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019

Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar


Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:
Al-Ma’arif, 1986.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh.
Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H.

163

You might also like