Professional Documents
Culture Documents
Chamim Tohari
Universitas Muhammadiyah Surabaya
amimzon@yahoo.co.id
Abstrack: This research discusses about the results of ijtima 'ulama issued some time
ago ahead of the 2019’s presidential elections in Indonesia and afterward. This research
aims to answer the following problems: (1) Are the decisions of ijtima 'ulama claimed to
be the result of ijma' in line with the concept of ijma’ in ushul fiqh? (2) How were the
decisions of ijtima' they claimed as the result of ijma' viewed according to the concept of
fatwa in Islamic law? The research used a descriptive analitical method where the
author in this study analyzes the data obtained and then interpreted them based on the
perspective of the ijma’ theory. The results of this research are: (1) The agreements
produced by ijtima' ulama regarding their political choices fail to be categorized as ijma’
results because the decisions do not meet to the ijma requirements in ushul fiqh.
Namely; not being produced by the mujtahid ulama. Further, the decisions made are not
related to Islamic law (such as taklifi laws), and the decisions do not reflect the political
views of prominent ulamas (moslem scholars) in Indonesia, especially in the world. (2)
The decision of ijtima’ ulama is also not worth mentioning as a fatwa which is one form
of Islamic law, because there is no a clear legal basis in their ijtihad method, or scientific
analysis. Finally, their ijtima’s result does not come out from the competent and
qualified people having authority in the field of law.
Key Words: Ijma’, Ijtima’, Ijtihad, Politic, 212.
Abstrak: Penelitian ini membahas tentang hasil keputusan ijtima’ ulama yang
dikeluarkan beberapa waktu lalu menjelang pelaksanaan pemilu di Indonesia dan
sesudahnya. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa permasalahan berikut
ini: (1) Apakah keputusan ijtima’ ulama yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut sejalan
dengan konsep ijma’ dalam ilmu ushul fiqh? (2) Bagaimana keputusan ijtima’ ulama
yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut apabila dilihat menurut konsep fatwa dalam
hukum Islam? Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari dua
pertanyaan tersebut. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif
kualitatif dimana penulis dalam penelitian ini hendak melakukan analisis data yang
diperoleh dan kemudian melakukan penafsiran terhadap objek penelitian berdasarkan
perspektif ilmu ushul fiqh. Hasil penelitian ini adalah: (1) Kesepakatan yang dihasilkan
oleh ijtima’ ulama tentang pilihan politik mereka tidak dapat dikategorikan sebagai
hasil ijma’ karena keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan-persyaratan ijma’
dalam ilmu ushul fiqh, seperti tidak diputuskan oleh para ulama yang telah mencapai
derajat sebagai mujtahid, keputusan yang dihasilkan tidak berkaitan dengan hukum
Islam (seperti hukum-hukum taklifi), serta keputusan tersebut tidak mencerminkan
150
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
151
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
152
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
penjuru dunia, tidak boleh ada yang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah
tertinggal satu orang pun. (2) mursalah, sad dzara’i, ‘urf, dan
Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw sebagainya, juga menguasai ilmu-ilmu
wafat. (3) Kesepakatan yang dimaksud al-Qur’an seperti nasakh-mansukh dan
adalah kesepakatan dalam masalah sebagainya, menguasai ilmu maqashid
hukum keagamaan.2 al-syariah dan bagian-bagiannya, serta
Dari definisi tersebut maka dapat menguasai ilmu bahasa Arab beserta
diketahui bahwa suatu kesepakatan tata bahasanya secara baik.4
tentang hukum dapat disebut sebagai Apabila dilihat dari tingkatannya,
ijma’ manakala memenuhi beberapa terdapat beberapa tingkatan mujtahid,
persyaratan sebagai berikut: yaitu: (1) Mujtahid mutlak, ialah orang
yang telah memenuhi persyaratan-
Memaknai Mujtahid persyaratan untuk melakukan ijtihad
dan memberikan fatwa dalam segala
Mengenai makna mujtahid ini para
permasalahan hukum Islam tanpa
ulama berbeda pendapat dalam hal
terikat oleh karakteristik ijtihad suatu
redaksi pemaknaannya, namun
mazhab tertentu. tingkatan ini adalah
memiliki kesamaan dalam maknanya,
tingkatan yang paling tinggi dan hanya
yaitu seorang ulama yang memiliki
para ulama pendiri mazhab saja yang
kemampuan dalam melakukan
berada pada posisi tersebut. (2)
penggalian dan istinbath hukum
Mujtahid muntasib, yaitu orang yang
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang ada.3
telah memenuhi seluruh persyaratan
Beberapa pakar ushul fiqh kontemporer
sebagai mujtahid, tetapi ia cenderung
kemudian mempertegas kriteria
berafiliasi dengan suatu mazhab tertetu
seorang mujtahid sebagai orang yang
dan mengikuti karakteristik ijtihad
beragama Islam, baligh, berakal sehat,
mazhab tersebut dengan berpedoman
mempunyai akhlak yang baik, serta
pada metode ijtihad yang ditetapkan
mampu melakukan istinbath hukum
oleh imam mazhabnya. (3) Mujtahid
dari al-Qur’an dan Sunnah.
muqayyad, adalah orang yang memiliki
Dalam sejarah pembentukan
kemampuan memahami dalil-dalil syar’i,
hukum Islam, tidak banyak orang yang
tetapi tidak mau keluar dari nalar
dapat dikategorikan ke dalam kelompok
pemikiran hukum yang dikembangkan
mujtahid ini, mengingat persyaratan
oleh mazhab yang ia anut, mujtahid
menjadi seorang mujtahid sangatlah
dalam tingkatan ini sebenarnya tidak
berat dan tidak mudah dipenuhi. Di
pernah menggali hukum terhadap
antara persyaratan bahwa seseorang
permasalahan yang baru, tetapi hanya
dapat disebut sebagai mujtahid di
mengambil hukum yang telah
antaranya adalah ia harus menguasai
dirumuskan oleh mazhab yang ia ikuti
dan memahami dengan baik ayat-ayat
untuk menjawab permasalahan hukum
hukum yang terdapat di dalam al-
yang muncul.5
Qur’an, menguasai hadis-hadis yentang
Dari penjelasan tersebut maka
hukum beserta transmisi
dapat dikatakan bahwa kesepakatan
periwayatannya, menguasai dengan
orang awam yang tidak memiliki
baik ilmu ushul fiqh seperti metode
kemampuan dalam berijtihad atau
Fuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Pustaka Setia, 1999), h. 105-106.
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 72. 5 Saefuddin Nur. Ilmu Fiqh: Suatu
3 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh. (Bandung: Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam.
Pustaka Setia, 1999), h. 70. (Bandung: Tafakur, 2007), h. 45.
151
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
orang yang belum mencapai derajat Nabi saw, kemudian Nabi menjawabnya
sebagai mujtahid tidak dapat dikatakan berdasarkan wahyu yang diturunkan
sebagai ijma’, begitu pula penolakkan kepada baliau. Karena itu pada tersebut
mereka. Karena orang yang tidak tidak ada ruang untuk ijma’ sebagai
memenuhi persyaratan sebagai sumber hukum. Sepeninggalnya beliau
mujtahid tidak memiliki keahlian kemudian muncul permasalahan-
memahami hukum syariah, sehingga permasalahan baru yang tidak terdapat
pendapatnya tidak dapat dianggap pada masa Nabi, sehingga untuk
sebagai ijma’, meskipun jumlah mereka memutuskan hukumnya mutlak
sangatlah banyak. Dalam hal ini para diperlukan ijtihad dan ijma’ sebagai
ulama ushul berpendapat bahwa salah satu metodenya. Misalnya tentang
apabila pada suatu masa tidak didapati masalah kodifikasi al-Qur’an, atau
seorang pun yang dapat memenuhi masalah penetapan status tanah daerah
persyaratan sebagai mujtahid, maka taklukan yang semakin luas. Pada masa
dapat dipastikan tidak ada ijma’ dalam tersebut khalifah biasa bermusyawarah
masa tersebut. Apabila hanya ada satu dengan para sahabat lainnya untuk
atau beberapa ulama yang dapat bersama-sama memecahkan masalah
mencapai derajat mujtahid misalnya, yang dihadapi. Berdasarkan realitas
apabila kesepakatan tersebut dapat tersebut banyak ulama ushul fiqh yang
mewakili seluruh pendapat ulama hanya mengakui bahwa ijma’ dalam
dengan derajat mujtahid pada masa Islam hanya terjadi pada zaman
tersebut, maka dapat disebut ijma’ sahabat, dan tidak pada zaman
namun apabila kesepakatan tidak setelahnya. Karena menurut mereka
mewakili pandangan para ulama setelah masa sahabat ijma’ tidak
mujtahid lainnya, maka tidak dapat mungkin dan tidak pernah terjadi.8
dikatakan sebagai ijma’.6 Memang ada Adapun yang dimaksud dengan
pendapat yang menyatakan bahwa sahabat yang diakui ijma’-nya sebagian
kesepakatan sebagian ulama mujtahid ulama berpendapat bahwa mereka
atau sebagian besar dari mereka sudah adalah para sahabat dari golongan ahl
dapat dikatakan sebagai ijma’, tetapi al-halli wa al-aqdi. Namun sebagian
pendapat tersebut adalah pendapat ulama lainnya berpendapat bahwa yang
yang lemah. Karena hakekat ijma’ lebih penting adalah mereka yang
menurut jumhur ulama ushul fiqh diakui ijma’-nya yakni mereka yang
adalah kesepakatan seluruh ulama memenuhi persyaratan sebagai
mujtahid pada masa tertentu.7 mujtahid yang terdiri dari sahabat-
sahabat terkemuka yang sudah diakui
Ijma’ dilakukan Setelah Nabi SAW keilmuannya seperti Khulafa’u Rasyidin,
Wafat Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Mas’ud, dan
lainnya. Karena mereka selain diakui
Pada masa Nabi saw masih hidup, keilmuannya, juga diyakini sebagai
umat Islam dapat menanyakan semua sahabat-sahabat yang adil dan berhati-
permasalahan yang dihadapinya terkait hati dan tidak mungkin bersepakat
hukum syariah secara langsung kepada untuk melakukan kesalahan. Selain itu
dalam sejarah pensyariatan dapat
diketahui bahwa Nabi saw senantiasa
6 Ibn Hazm. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
Juz 4, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1438 H), h. 138, mendiamkan dalam arti menyepakati
201. perbuatan-perbuatan para sahabat yang
7 Abdul Madjid al-Tarkiy, Munâdharat fî
152
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
153
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
tanpa memandang latar belakangnya umat Islam. Adapun apabila dalil yang
yang penting mereka memiliki dijadikan sandaran berijma’ tersebut
kesamaan komitmen untuk adalah dalil yang sifatnya zhanni, maka
mewujudkan kemaslahatan hidup mustahil pula menurut adat dapat
manusia. Konsep ijma’ dalam terjadi ijma’, karena berdasarkan
pandangan al-Naim juga menggugat sejarah pembentukan hukum Islam dalil
pandangan bahwa keputusan ijma’ zhanni selalu menimbulkan beraneka
terdahulu tidak dapat dihapus oleh ijma’ ragam pandangan hukum yang saling
kemudian. Selain itu ia juga menolak berbeda di antara para ulama
klaim ijma’ yang hanya berdasarkan mujtahid.14
pada otoritas kepompok atau bangsa Bahkan di kalangan ulama Sunni
tertentu, lebih-lebih otoritas sendiri ada yang meragukan
perorangan dimana dalam suatu kemungkinan terwujudnya ijma’ seperti
musyawarah ada orang yang yang didefinisikan di atas. al-Syafi’i –
mendominasi pendapatnya dan ada seperti yang disebutkan Abu Zahrah –
orang yang hanya mengikuti saja. Ijma’- mengisyaratkan penolakannya atas
ijma’ seperti itu tidak diakui sebagai adanya ijma’ ulama setelah masa
ijma’ dalam pandangan Abdullah al- sahabat. 15 Ahmad Ibn Hanbal juga
Naim.13 menyepakati as-Syafi’i, seperti yang
dikatakannya, “Barang siapa
Perdebatan Terkait Kehujjahan Ijma’ mengatakan adanya ijma’ berarti ia
telah berdusta, karena mungkin saja
Para ulama ushul fiqh berbeda orang-orang berbeda pendapat
pendapat tentang kehujjahan ijma’ sedangkan ia tidak mengetahuinya dan
sebagai sumber hukum Islam. Empat belum sampai pengetahuannya ke situ.
mazhab Sunni memandang ijma’ sebagai Karena itu hendaklah ia mengatakan
hujjah yang berdiri sendiri (mustaqil) “kami tidak mengetahui ada perbedaan
dan bersifat qath’i. Oleh sebab itu tidak pendapat orang tentang itu”.16
boleh mengingkarinya. Tetapi al- Pendapat yang sama dikatakan
Nazzam, kaum Khawarij dan Rafidhah pula oleh Abu Muslim al-Isfahani dan
serta kelompok Syiah pada umumnya Ibn Taymiyah serta mazhab Zahiri. 17
tidak memandang ijma’ sebagai hujjah. Para ulama ushul al-fiqh kontemporer
Argumentasi mereka adalah bahwa seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul
ijma’ yang memenuhi persyaratan- Wahab Khalaf, Wahbah Zuhaili dan
persyaratan sebagaimana dijelaskan beberapa yang lainnya juga melihat
sebelumnya adalah hal yang sangat bahwa ijma’ yang mungkin terjadi
tidak mungkin dapat terwujud. Selain hanyalah pada masa sahabat.
itu, ijma’ haruslah bersandar pada suatu Ketidakmungkinan itu mengingat
dalil syar’i. Apabila dalil yang digunakan luasnya wilayah dunia Islam, sehingga
berijma’ tersebut adalah dalil yang
qath’i, maka mustahil dalil tersebut 14 Mukhtar Yahya. Dasar-Dasar
tersembunyi dan memerlukan ijma’ Pembinaan Fiqh Islam, h. 63.
untuk menunjukkannya. Sebab suatu 15 Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-
dalil yang sifatnya qath’i pasti akan Fiqh. (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H), h.
diketahui dan diamalkan oleh seluruh 157-158.
16 Muhamamd Ibn Ali al-Syaukani, Irsya
Rights and Interbational Law. (Syracuse: Islami. Juz 1. (Beirut: Dar al-Fikr, 1406 H), h.
Syracuse University Press, 1990), h. 23-24. 572.
154
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
155
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
tersebut bukanlah hasil ijma’ menurut suatu wilayah yang berbeda menjadikan
mereka yang mengingkari terjadinya tidak mungkin tercapainya kesepakatan
ijma’ dalam Islam. Adapun setelah masa tentang suatu hukum. Karena perbedaa
sahabat ini sudah tidak lagi situasi dan kondisi pada suatu wilayah
dimungkinkan adanya ijma’ antara para dengan wilayah lainnya akan
ulama mujtahid, yang ada adalah menimbulkan perbedaan cara pandang
keputusan hukum dari perseorangan terhadap suatu permasalahan.
yang berbeda-beda metode dan hasil Sedangkan perbedaan yang demikian
ijtihadnya sesuai dengan kondisi tidak semestinya ada dalam ijma’.25
masyarakat yang dihadapinya.24 Menurut hemat penulis, pendapat
Kedua, pendapat yang kedua inilah yang lebih kuat, yaitu
mengingkari terjadinya ijma’ dalam pendapat yang mengatakan bahwa ijma’
hukum Islam. Menurut kelompok ini, tidak pernah ada dan tidak akan mudah
untuk mencapai ijma’ sebagaimana yang untuk mewujudkannya di sepanjang
telah disepakati definisinya oleh para zaman. Hal ini berdasarkan realitas
ulama ushul fiqh tersebut adalah hal yang terjadi saat ini dimana umat Islam
yang sangat sulit untuk diwujudkan. Hal dalam setiap negara yang berbeda
tersebut karena beberapa faktor berikut selalu menghadapi permasalahan yang
ini: (1) Sulitnya menentukan siapa di berbeda. Misalnya saja ketika Syeikh
antara ulama yang telah mencapai Yusuf al-Qardhawi mengemukakan
derajat sebagai mujtahid dan siapa yang gagasannya untuk mengembangkan fiqh
belum layak disebut mujtahid. Karena yang sesuai dengan kebutuhan
seringkali orang yang dipandang telah masyarakat muslim minoritas yang
mumpuni untuk melakukan ijtihad tapi tinggal di negara-negara Barat dimana
ternyata tidak mampu untuk menurut pandangan beliau umat Islam
melakukannya, dan tidak jarang orang yang tinggal di wilayah benua Eropa dan
yang dianggap tidak mampu berijtihad Amerika diperbolehkan untuk ukut
tapi ternyata ia mampu melakukannya. serta dalam pelaksanaan pesta
Kesulitan seperti ini adalah wajar demokrasi di negara tempat mereka
karena keilmuan sifatnya abstrak, tidak tinggal. Artinya mereka diperbolehkan
dapat diukur secara konkrit, karena itu untuk memilih pemimpin yang tidak
tidak mudah untuk membedakan mana beragama Islam atau dalam istilah yang
orang yang telah mencapai derajat agak radikal disebut sebagai pemimpin
mujtahid dan mana yang bukan. (2) kafir, padahal jelas dalam pandangan
Semakin luasnya wilayah yang dihuni jumhur ulama bahwa kewajiban umat
oleh umat Islam merupakan halangan Islam adalah mengangkat pemimpin
untuk melakukan ijma’. Karena untuk yang beragama Islam. Juga pendapatnya
mengumpulkan seluruh ulama mujtahid yang membolehkan umat Islam disana
dari negeri-negeri Islam adalah melakukan sholat jum’at pada pagi hari
pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. atau sore hari karena adanya halangan
Bahkan pada masa sekarang pun ketika adat di negara-negara Eropa yang
sarana transportasi dan komunikasi menetapkan jam kerja dan jam sekolah
telah memadai, tetap saja tidak mudah hingga menyebabkan umat Islam
mengumpulkan para ulama mujtahid kesulitan melaksanakan sholat jum’at
modern karena berbagai kendala. (3) pada siang hari. Pandangan-pandangan
Adanya perbedaan kultur yang dihadapi Syeikh Yusuf al-Qardhawi tersebut
oleh umat Islam dan para ulama pada
25 Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad al-
24 Rachmat Syafe’i. Ushul Fiqh. h. 65. Syaukani. (Ciputat: Logos, 1999), h. 129.
156
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
meskipun dikeluarkan melalui lembaga saat ini tidak ada definisi yang jelas
fatwa yang disebut European Council for tentangnya, meskipun banyak umat
Fatwa and Research (ECFR) yang Islam yang sudah memahaminya dan
bermarkas di Dublin Irlandia dan menyaksikan apa dan siapa mereka itu.
dipimpin oleh para ulama terkemuka di Pada kajian ini penulis akan
dunia, tetap saja tidak terlepas dari memfokuskan pembahasan pada
kritikan-kritikan keras ulama besar fenomena munculnya ijtima’ ulama 1
Islam lainnya seperti Syeikh Said dan 2 yang mewajibkan bagi umat Islam
Ramadhan al-Buthi, ulama kenamaan untuk memilih pemimpin yang mereka
yang tinggal dan syahid di Syria putuskan, di antara alasannya adalah
beberapa waktu silam karena konflik keputusan yang mereka keluarkan
politik yang terjadi di negeri tersebut.26 adalah hasil kesepakatan para ulama,
Selain itu, ijma’ yang dimaksud sehingga harus dipatuhi.
dalam kitab-kitab fiqh hakekatnya Ijtima’ secara bahasa berasal dari
adalah ijma’ yang berasal dari kata “jami’a” yang berarti pertemuan atau
kesepakatan para ulama yang ada dalam perkumpulan. Sedangkan ijma berarti hasil
satu mazhab tertentu yang diikuti oleh keputusan yang diperoleh lewat ijtima yang
penulis kitab-kitab tersebut, bukan ijma’ dihadiri oleh para ulama mujtahid.
dalam arti sebagaimana yang telah Ijtima menghasilkan keputusan hukum
disepakati definisinya tersebut. Karena dari konsensus tersebut atau produk
itu menggantungkan diri kepada kitab- hukum dari musyawarah seluruh ulama
kitab fiqh yang mana terdapat kata ijma’ mujtahid. Realitas dari ijtima’ ulama
di dalamnya bukanlah cara yang sah dan adalah kesepakatan sekelompok elit
kuat. politikus dan orang-orang yang mereka
anggap sebagai ulama tersebut
Klaim Gerakan Islam Politik kemudian memutuskan untuk memilih
Terhadap Terjadinya Ijma’ seorang calon presiden dan wakil
presiden RI tahun 2019-2014. Kesan
Sebagaimana yang disaksikan yang kemudian timbul dari hasil
bersama bahwa pada saat ini di keputusan tersebut adalah bahwa
Indonesia marak terjadi klaim yang keputusan tersebut memiliki legitimasi
menyatakan bahwa keputusan religius yang kuat. Hal tersebut terjadi
sekelompok orang yang disebut sebagai lantaran para pelaku ijma dianggap
ulama di Indonesia adalah ijma’ yang sebagai para ulama yang mumpuni dan
harus dipatuhi dan harus dikawal ahli di bidang ilmu agama. Hasil ijma’
pelaksanaannya. Mulai dari munculnya tersebut kemudian mereka gunakan
fatwa haramnya menjadikan orang kafir sebagai legitimasi politik dan sarana
sebagai pemimpin yang untuk memperoleh dukungan terutama
melatarbelakangi munculnya gerakan dari kalangan umat Islam di Indonesia.
massa 212 di Monas Jakarta, hingga Sedangkan kata “ulama” secara
munculnya ijtima’ ulama 1 dan 2 yang etimologis merupakan bentuk plural
mengeluarkan pernyataan agar umat dari kata ‘âlim yang maknanya adalah
Islam harus memilih pemimpin yang orang yang berpengetahuan atau ahli
mereka fatwakan. Adapun yang disebut ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa
dengan ijtima’ 212 sebenarnya hingga Indonesia, ulama diartikan sebagai ahli
pengetahuan tentang agama Islam.
26 Lihat Chamim Tohari. Fiqh al- Karena itu kata “ulama” seringkali
Aqalliyyat: Framework Ijtihad Hukum Islam dihubungkan dengan perkataan lain,
Untuk Muslim Minoritas. Jurnal Istinbath Volume seperti ulama hadis, ulama tafsir dan
11, Nomor 2, November 2014, h. 311-364.
157
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
158
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
fiqh, serta ilmu bahasa Arab. Sementara yang memiliki kesamaan pilihan politik
orang-orang yang menjadi pemuka dengan elit-elit politik yang terlibat
ijtima’ ulama dan melakukan dalam ijtima’ tersebut. Sehingga
kesepakatan tersebut sebagaimana yang pandangan dan pilihan politik mereka
telah penulis sebutkan sebelumnya sama sekali tidak merepresentasikan
tidak pernah terbukti sebagai seorang pandangan politik jumhur ulama di
pakar di salah satu bidang ilmu agama Indonesia, lebih-lebih di dunia. Karena
Islam tersebut. Bagaimana seorang itu penulis berpendapat bahwa hasil
ulama besar seperti Imam Fakhruddin kesepakatan ijtima’ ulama sama sekali
al-Razi yang oleh sebagian ulama tidak tidak layak dianggap sebagai ijma’
diakui ijma’-nya, juga seorang ulama dalam perspektif ilmu ushul fiqh.
sekaliber Jalaluddin al-Suyuthi yang Keempat, dari sisi perilaku
oleh Syeikh Rashid Ridha dianggap akhlaknya, banyak penulis jumpai dari
sebagai seorang pengumpul kayu bakar para pendukung kelompok ijtima’ ulama
di malam hari, yang dianggap bukan yang berasal dari tokoh-tokoh gerakan
sebagai seorang yang mampu 212 tidak menunjukkan kualitasnya
melakukan ijtihad, apalagi mereka yang sebagai ulama yang mempunyai
berkumpul dalam ijtima’ ulama yang kelayakan sebagai mujtahid. Hal ini
sama sekali belum terbukti dibuktikan misalnya kesalahan tokoh
keilmuannya. mereka seperti Tengku Zulkarnain
Kedua, ijma’ adalah kesepakatan dalam mentashrif kata “kafara”,
para mujtahid dalam masalah hukum pernyataan Haikal Hasan soal
Islam yang berkaitan dengan hukum perbedaan antara kata “kafir” dan
taklifi seperti wajib, sunnah, haram, “kuffar” dimana ia mengaku mengambil
makruh, dan mubah. Adapun keputusan pendapat tersebut dari buku seorang
yang dilahirkan dari hasil ijtima’ ulama ulama terkemuka, KH. Abdurrahman
tidak berkaitan dengan masalah hukum, Wahid (Gus Dur) dan kemudian terbukti
melainkan hanya tentang masalah siapa bahwa Gus Dur tidak berpendapat
yang dipilih menjadi calon presiden dan demikian, serta pengucapan doa Nabi
wakil presiden. Artinya itu hanya saw pada waktu perang Badar yang
masalah pilihan politik yang secara diucapkan oleh Neno Warisman yang
langsung tidak berkaitan dengan hukum tidak sesuai konteksnya, yang justru
Islam. Karena itu menurut penulis hasil menimbulkan makna yang berimplikasi
ijtima’ ulama tidak sepatutnya disebut serius dan menyakitkan bagi umat Islam
sebagai ijma’, karena sangat tidak sesuai lainnya.28
dengan konsep ijma’ dalam ushul fiqh.
Ketiga, ijtima’ ulama tidak diikuti Keputusan Ijtima’ Ulama Menurut
oleh seluruh ulama mujtahid di dunia Konsep Fatwa
Islam. Seperti yang telah penulis
jelaskan bahwa mereka yang hadir dan Menurut bahasa, kata “fatwa”
turut menyepakati keputusan ijtima’ berarti jawaban mengenai suatu
ulama tidak hanya orang-orang yang kejadian atau peristiwa hukum.
diragukan tingkat keilmuannya sebagai Sedangkan secara istilah, kata “fatwa”
mujtahid, tetapi juga tidak melibatkan berarti menerangkan hukum syara’
sebagian besar ulama yang diakui dalam suatu persoalan sebagai jawaban
otoritas keilmuannya di Indonesia,
apalagi di dunia. Ijtima’ ulama dalam hal Lihat Muhammad Alwi HS. Resepsi
28
ini hanya terdiri dari para ustad dan Hadis Do’a Nabi Jelang Pilpres 2019 (Analisis
orang-orang yang diklaim sebagai ulama Informatif Dan Performatif). Jurnal Aqlam,
Volume 4, Nomor 1, Juni 2019.
159
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
160
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan yang
dihasilkan oleh ijtima’ ulama tentang
pilihan politik mereka tidak dapat
dikategorikan sebagai hasil ijma’ karena
keputusan tersebut tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan ijma’ dalam
ilmu ushul fiqh, seperti tidak diputuskan
oleh para ulama yang telah mencapai
derajat sebagai mujtahid, keputusan
yang dihasilkan tidak berkaitan dengan
hukum Islam (seperti hukum-hukum
taklifi), serta keputusan tersebut hanya
disepakati oleh sekelompok orang yang
memiliki kesamaan pilihan politik saja,
tidak mencerminkan representasi
pandangan politik para ulama
terkemuka di Indonesia, lebih-lebih di
dunia. Selain itu, keputusan ijtima’
ulama juga tidak layak disebut sebagai
fatwa yang mana merupakan salah satu
bentuk hukum Islam, karena tidak
adanya landasan hukum yang jelas,
metode ijtihad, apalagi analisis ilmiah.
Di samping itu keputusan tersebut juga
tidak keluar dari orang yang layak
dipandang sebagai orang yang
berwenang atau mumpuni untuk
memutuskan hukum.
161
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
162
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, Desember 2019
163