You are on page 1of 20
Manusia dan Lingkungan, No.15, Th.V, hat 3-22, 1998 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia. PEMANFAATAN HUTAN OLEH MASYARAKAT KENYAH DI KALIMANTAN TIMUR: REAKSI TERHADAP ADANYA EL NINO, TRANSMIGRASI DAN HTL (Kenyah Forest Use in East Kalimantan: Responses to El Nino, Transmigration and HT) Carol J. Pierce Colfer dan Agus Salim Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Abstrak Tulisan ini merupakan hasit dari survai rumah tangga yang dilakukan di desa Long Segar Kabupaten Kutsi, Kalimantan Timur, pada bulan Juni 1997, Survai mencakup periode tahun 1991-1997 dan merupakan kelanjutan dari survai tata guna lahan yang pernah dilakukan pada tahun 1980 (1962-1980) dan tahun 1991 (1981-1991). Tujuan awal dari survai terbaru ini ialah untuk mengetahui perubahan tata guna lahan sejak dibukanya areal Viutan Tanaman Industri (HTD) di dekat Long Segar. Selain itu, ingin diketahui bagaimana masyarakat menanggulangi keadaan yang disebabkan oleh fenomena El Nino, karena pada periode studi telah terjadi dua fenomena E! Nino. Hasil survai menunjukkan perubahan yang terjadi tidak sebesar yang diperkirakan. Menebang hutan primer untuk dijédikan iadang tidak lagi populer, hutan tua sckunder kini ‘menjadi hutan yang paling banyak digunakan untuk bercocok tanam. Rata-rata hasil panen turun dari 1,2 ton/ha menjadi kurang lebih 1 ton/ha. Luas ladang yang dikelola secara perorangan cenderung meningkat sementara Iuas ladang yang dikelola oleh keluarga cenderung tetap, Penggunaan ladang dataran rendah cenderung meningkat, mungkin merupakan respon teshadap kekeringan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Masyarakat Long Segar mengalanti hasil yanen yang buruk selama 4 tahun berturut-turut yang salah satu penyebab utamanya adalah Hal ini belum pernah dilaporkan terjadi pada studi-studi sebelumnya, Karena adanya ‘hambatan-hambatan di bidang pertanian, ketergantungan orang pada upah dari perusahaan telah ‘meningkat secara nyata dibandingkan masa-masa sebelumnya. Perubahan kualitas hidup sehati-hari saat ini nampaknya belum sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Kepemilikan motor tempet (sarana transportasi air) dan gergaji rantai telah meningkat. Peranan wanita secara tradisional pada kegiatan-kegiatan pertanian tetap dipertahankan, walaupun jumlah buruh tani pria per keluarga rata-rata sedikit lebih banyak dibandingkan wanita, tetapi wanita memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap produksi padi. Disimpulkan bahwa masyarakat Long Segar dapat menanggulangi masalah-masaleh yang ada dengan memanfaatkan secara kreatif kesempatan-kesempatan yang ada bila panen mereka Sagal. Penclitian lebih lanjut diperlukan tintuk menentukan apakah penyusutan hutan primer secara dramatis yang discbabkan oleh pihak-pihak lain (transmigrasi, penebangan hutan dan HT) dapat berdampak terhadap iklim mikro Long Segar, dan pada jangka panjang potensial menimbulkan bencana, Tahun 1997-98 lalo yang diramalkan sebagai “Ibu dari El Nino”, sudah membawa bencana dan memperkuat bukti yang mendorong perkiraan ini. Abstract This paper recounts the results of a household survey done in Long Segar, East Kalimantan, in June 1997, covering the period from 1991-1997. This survey is a follow-up survey of land use, conducted first in 3980 (1962-1980) and again in 1991 (1981-1991). The initial purpose of the Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Kenyah 1997 survey was to assess changes in land ure since the development of industrial timber plantations near Long Segar. Daring the study period, there were two El Nino events. The results show fewer significant changes from previous conditions than expected. Cutting of old growth forest ricefields has diminished precipitously from previous levels. Old secondary ‘forest is now the dominant forest type used for swiddens, Yields have fallen from an average of 1.2 tonvha to one tow/ha. Individual field size has increased while households had four consecutive studies. Recourse to wage labour has increased considerably, in response to agricultural failures. Standard of living appears not to have fallen disastrously. Ownership of chainsaws and outboard motors has increased Women’s traditionally dominant role in rice production seems to be holding its own (contrary to previous predictions), with slightly more agriculturally active a men per household, but a greater impact of women's input on rice production. It is concluded that the Long Segar community is coping by creative use of opportunities when its rice crops fail, But further studies are necessary to assess the possibility that the dramatic reduction’ in natural forest cover precipitated by other parties in the area (ransmigration, fogging, industrial timber plantation) may be having an impact on Long Segar’s micro-climate, with potentially long term and disastrous effects. The year 1997-1998 is predicted to be the “Mother of all El Nino's”. IT. PENGANTAR SEJARAH DAN DASAR PEMIKIRAN Dalam rangka mencoba memahami dinamika yang terjadi pada fhutan hujan tropis, perlu iti rangkaian proses perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu di suatu lokasi. Desa Long Segar adalah kawasan yang menarik karena tersedianya data dari dua studi tata guna lahan dari tahun 1962, saat pemukiman penduduk pertama kali dibangun, sampai tahun 1991, Suatu periode dengan perubahan keadaan alam yang cukup dramatis. ‘Survai tata guna Iahan yang ketiga dilakukan pada bulan Juni 1997. Dikhawatir kan terdapat dampak negatif yang cukup nyata dari kebijaksanaan _pemerintah Indonesia untuk mendorong berdirinya Hutan Tanaman [Industri seiama tahun-tahun belakangan ini terhadap _kesejahteraan masyarakat. Pada bulan Mei 1995 survai di Long Segar, bertepatan saat perayaan panen. Penduduk = mempermasalahkan adanya kekeringan selama 4 tahun berturut-turut. Pada survai sebelumnya tidak terdapat kekeringan seperti itu. Sementara itu perubahan bentang alam terjadi secara nyata. Survai terbaru ini memberikan kemungkinan membandingkan pola penggu- naan laban dan hutan, hasil panen dan upaya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sebelum dan sesudah adanya HTI. Juga ingin dibuktikan sinyalemen bahwa telah terjadi kekeringan selama 4 tahun berturut-turut, sebagai indikator yang potensial untuk mengukur perubahan iklim mikro. Tahun 1991-92 dan 1994-95 adalah tahun El Nino, sebagaimana juga tahun 1997-98 Data sejarah penggunaan Jahan dianalisis secara statistik dan dilengkapi dengan pandangan historis dan etnografis ada. Melalui cara ini, adanya hubungan antara kesejahteraan masyarakat, pembukaan butan untuk HT, transmigrasi dan frekuensi terjadinya Kekeringan di wilayah tersebut mungkin dapat diperjelas, ‘Untuk memberikan gambaran awal, diuraikan sejarah Long Segar secara singkat, dengan fokus pada masalah yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan pilihan-pilihan yang ada terhadap hutan dan tata-guna lahan, Pemukim pertama datang ke Long.Segar pada tahun 1962 dari daerahpelosok Long Ampung (dekat daerah tersebut karena terdapat hutan primer, babi dan kayu besi (Busideroxylon zwageri) dalam jamlah melimpsh, sangat indah bila dilihat’ dari sungai serta_terbukanya Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim Kkemungkinan meningkatkan _ hubungan dengan dunia luar (seperti pasar, pendidikan, obat-obatan, pengaruh teknologi dan barang- barang konsumsi). Sejak saat ina banyak perubahan telah terjadi. Pada tahun 1972, masyarakat mengalami serangan kekeringan yang berhubungan dengan fenomene El ‘Nino, diikuti dengan serangan hema tikus yang sama parahnya pada tahun berikutnya. Pada waktu yang bersamaan, kawasan Long Sear dinyatakan sebagai dacrah pemukiman kembali oleh Pemerintah RI, dan ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah (bahan bangunan, sarana pertanian dan penyuluhan, —_sekolah, puskesmas, dil.) serta adanya instruksi pemerintah untuk mengurangi penggunaan lohan hingga 3 hektare per keluarga, membangun rumah keluarga secara individu (sebelumnya mereka terbiasa tinggal di rumah panjang), menanami pekarangan dengan tumbuhan = yang _—dianjurkan pemerintah. Sementara itu, wilayah ini juga dinyatakan sebagai daerah konsesi kayu yang dikelola oleh perusahaan kayu Amerika, Georgia Pacific. Era 1970-an telah memperkenalkan dan _ menyebarluaskan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan motor tempel di antara masyarakat. Populasi penduduk meningkat menjadi 1.000 orang pada tahun 1980. Pada tahun 1983, mereka berhasil bertahan dari kebakaran besar yang melanda 3.000.000.000 hektare lahan di Kalimantan Timur (termasuk wilayah mereka). Hasil panen padi pada tahun 1983 sedikit lebih baik dibandingkan tahun 1972, menyiratkan bahwa kekeringan yang terjadi tidak terlalu parah. Walaupun demikian dampak dari kebakaran tersebut tetap lebih menonjol. Brookfield ef af. (1995) memberikan ulasan bahwa studi menunjukkan areal tebangan (logged) cenderung lebih banyak terbakar dibandingkan areal lainnya (unlogged). Penyusutan kelembapan hutan mungkin merupakan faktor penyebab utamanya. Setelah kebakaran 1983, terjadi perpindahan penduduk dari Long Segar. Pemerintah melaksanakan rencana untuk menempatkan 6.000 keluarga transmigran (satu keluarga mendapat tanah seluas 2,25 hektaree) ke Muara Wahau, suatu wilayah sedikit di Utara Long Segar. Beberapa penduduk Long Segar pergi ke sana, beberapa ke Tanah Merah, sebuah desa yang, dapat ditempuh selama dua jam melalui Sungai Mabakam dari Samarinda. Beberapa lagi pergi ke Karang Mumus, sebuah desa yang telah menjadi pinggiran kota Samarinda. Georgia Pacific menghentikan usaha konsesinya dan P.T. Kiani Lestari, salah satu perusahaan Bob Hasan (pemegang saham Nusamba, Astra dan mantan Menperindag Kabinet pembangunan Vil), mengambil alih hak pengelolaan butan. Sementara itu, pada tahun 1990 pemerintah telah menelurkan rencana untuk Mengirim transmigran tambahan ke area konsesi P.T. Kiani Lestari sebagai antisipasi terhadap kebutuhan tenaga kerja bagi HII yang telah direncanakan. Pendirian HTI merupaken —suatu —keinginan =—utama. pemerintah. Tiga ratus keluarga transmigran (sekitar 6000 orang) ditempatkan di empat desa yang terletak pada area konsesi P.T. Kiani Lestari di awal tahun 1990. Setiap keluarga diberi lahan ( hektare untuk rumah, (hektare pekarangan dan memiliki hak untuk menyadap 1 hektare karet (tanpa hak atas pobon dan tanahnya), dalam status mereka sebagai buruh tani dan bukan sebagai petani independen. P.T. Kiani Lestari diberi hak untuk menanami 53.000 hektare lahan (eluruhnya di dalam hutan alam yang telah ditebang) dan telah menanami 23.000 hektare di antaranya pada bulan Maret 1995 (Colfer, et.al, 1997). P.T. Sumalinde menanami areal seluas 300,00 hektare pada awal 1900-an, di sebelah selatan area konsesi P.T. Kiani Lestari. Kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa antara tahun 1962 dan 1997 di kawasan Long Seger telah ter} penebangan hutan hujan tropis dalam skala besar untuk dijadikan tempat tinggal atau Pemanféaten Hutan oleh Masyarakat Kenyah dikonversi menjadi perkebunan. Transmigran dalam jumlah besar telah datang ke kawasan tersebut, menyebabkan peningkatan jumlah penduduk secara pesat. Kesempatan menjadi buruh = meningkat, sementara ancaman. tethadap segi-segi ekologi bermunculan. Kelangsungan akses masyarakat — lokal tethadap sumber daya dan peranan mereka dalam pengelolaan hutan, dua hal yang dianggap penting bagi kelestarian hutan (Prabhu et al, 1997; 1997; Colfer et al. 1996a,b; 1997a,b) berkurang secara drastis selama periode ini. I. METODE SURVAI Pada survai tata guna Jahan terdahulu, seluruh rumah tangga disurvai oleh Colfer dan rekan kerjanya, Tamen Uyang. Survai terbara pada bulan Juli 1997 dilakukan selama 4 hari. Lima penduduk laki-laki Long Segar disewa dan diberi pelatihan sebagai pewawancara. Masyarakat dibagi menjadi 5 wilayah socata geografis dan pewawancara diinstruksikan untuk mewawancarai_ setiap rumah tangga yang ada di desa saat survai ditakukan (Secara de facto). Long Segar dihuni oleh 215 Kepala Keluarga (KK) yang terdaftar (walaupun banyak rumah memiliki lebih dari satu kepala keluarga), Pada tahun 1991, diwawancarai 98 keluarga yang memiliki ladang. Pada survai terbaru ini, di wawancarai 63 keluarga yang memiliki Iadang. Tidak dapat dipastikan berapa persen dari rumah tangga de jure Long Segar telah tercakup dalam survai, tetapi mungkin setidaknya 60%. Sebagian besar wawancara dilakukan dalam Bahasa Kenyah dan formulir kuestioner juga dibuat dalam bahasa Kenyah. Analisis sidik ragam (ANOVA) digunakan untuk menguji adanya beda nyata pada data berskala Kontina yang berasal dari beberapa populasi. Bila asumsi yang mendasari ANOVA, antara lain konormalan galat, kehomogenan ragam galat dan kebebasan galat, tidak terpenuhi, maka uji non- parametik digunakan sebagai altematif. Uji khi-kuadrat digunakan untuk menguji kebebasan antara dua peubah yang berskala kategorik. Uji khi -kuadrat’ yang nyata menunjukkan adanya Ketidakbebasan antara dua peubah tersebut. Pada semua jenis pengujian, Keputusan untuk menerima” atau menolak hipotesis nol didasarkan pada selang. kepercayaan 95%. I. HASIL DAN DISKUSI Diskusi mengenai hasil survai ini dibagi ke dalam dua jenis analisis. Bagian pertama menggunakan ladang sebagai satuan analisis terkecil, diamati jenis hutan yang ditebang untuk Iadang, topografi ladang, luas ladang, Jarak ladang dari desa dan hasil panen per hektare, Pendekatan kedua menggunaken rumah tanga sebagai unit analisis terkecil, dan mengamati total luas lahan per rumah tangga, jumlah anggota keluarga, pembagian tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin, persepsi mengenai kecukupan hasil panen dan upaya/pekerjaan yang dilakukan untuk menanggulangi keadaan bila panen gagal. Setiap variabel terbaru ini dibandingkan dengan hasil dari studi terdahulu, dengan harapan dapat memberikan titik terang mengenai perubahan yang terjadi. A. Jeais Butan Melimpahnya hutan hujan tropis di Long Segar dan sekitarnya adalah salah satu faktor pendorong orang untuk pindah dari daerah asal dan bermukim ke sana peda tahun 1962. Selama 28 tahun, sata-rata 73% ladang berasal dari hutan’ primer yang ditebang. Persentase itu menurun secara terus menerus dari tahun ke tahun dengan persentase pada tahun 1990 sebesar 66%. Seperti terlihat pada Tabel 1, telah terjadi perubahan drastis pada tahun 1991 yakni hanya 27,3% ladang yang berasal deri hutan primer. Ini berarti telah terjadi_penurunan sebesar hampir 40% hanya dalam jangka Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim waktu satu tahun. Persentase ini terus menurun dan mencapai titik terendahnya pada tahun 1996.97, hanya 1,3% ladang yang ditebang dari hutan primer. Angka ini sama besamya dengan persentase Iadang yang ditebang dari hutan primer di Long Ampung (1985-1990), tempat asal masyarakat Long Segar dan merupakan komunitas yang telah stabil. Mungkin hal ini merupakan tanda perubahan dari masyarakat perintis menjadi komunitas yang stabil. Menarik untuk diperhatikan bahwa pergeseran dari hutan primer ke hutan tua sekunder sebagai jenis hutan yang paling banyak ditebang nampaknya tidak i hasil panen padi. Hasil analisis terdabulu menunjukkan bahwa hasil panen terbaik didapatkan dari ladang yang berasal dari hutan sekunder (kesimpulan ini didukung oleh Soedjito 1985, 1990; Riswan 1982), Alasan penduduk Long Segar untuk memilih fhutan primer didasarkan pada keinginan mendapatkan hak atas tanah yang baru dibuka. Di tempat asal mereka, Long Ampung, hanya tersisa sedikit saja hutan primer. Lagipula, Long Ampung memiliki pola curah hujan yang membuat proses pembakaran hutan primer lebih _sulit dilakukan dibandingkan di Long Segar. Suatu hal yang menarik ialah melonjaknya jumlah ladang yang ditebang dari hutan primer pada tahun-tahun saat terjadinya fenomena E] Nino. Hal ini mungkin karena pada tahun-tahun tersebut, saat kekeringan melanda, pembakaran hutan primer lebih mudah dilakukan. Pada survai terbaru imi secara mengejutkan terlihat bahwa hasil terbaik didapatkan dari semak baru (1,36 Ton/ha), dengan hanya satu ladang yang berasal dari jenis ini tidak dapat diambil kesimpulannya. Hutan muda sekunder, berlawanan dengan hipotesis semula, memberikan hasil terbaik kedua (1,23 Towha). Hutan tua sekunder hanya memberikan rata-rata hasil panen 1,06 Toma, Hasil terburuk, scbagaimana pada survai terdahulu, diperoleh dari jenis hutan primer (0,96 Towha). ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan hasil di antara empat jenis hutan ini tidak nyata (p>0,05). Kenyataan bahwa hutan muda sekunder memiliki hasil terbaik lebih disebabkan olch kenyataan bahwa ladang dari hutan jenis lainnya banyak mengalami kegagalan panen Karena banjir, kekeringan dan hama binatang, buken karena faktor kesuburan tanahnya. Sebagai perbandingan 7% ladang yang berasal dari hutan tua sekunder, 8% ladang dari hutan primer serta 25% (n-1) ladang dari semak baru mengalami kegagalan panen total Karena hal-haf di atas, di lain pihak hanya 2% ladang dari hutan muda sekunder yang mengalami kegagalan panen total. Selama periode 1991-97 ini terlihat adanya sedikit Kecenderungan persentase ladang yang berasal dari hutan tua sekunder meningkat, sedangkan persentase ladang dari hutan primer menurun, Norma yang berlaku di antara masyarakat Kenyah membatasi penggunaan semak baru dan hutan muda sekunder hanya bagi janda atau keluarga yang kepala keluarganya, adalah wanita, karena mereka tidak memiliki cukup tenaga laki-laki untuk menebang pohon yang lebih besar. Pada studi terbaru ini ternyata 25% semak baru dan 6,5% bhutan muda sekunder dibuka oleh keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga laki-laki yang bekerja di Iadang. Angka ini walaupun kecil, masih lebih tin, daripada persentase hutan tua sekunder dan hutan primer yang ditebang oleh keluarga dengan karakteristik seperti itu, masimg- masimg 2,5% dan 1,8%. Terlihat juga adanya hubungan antara Kepemilikan gergaji rantai (chainsaw) dan jenis hutan yang dibuka. Uji khi-kuadrat ‘menunjukkan bahwa golongan masyarakat yang memiliki gergaji rantai cenderung lebih hotan gergaji rantai (0 < 0,005), Hal ini masuk akal Karena hutan primer memang lebih sulit dibuka dibandingkan jenis hatan lainnya. Pada tan 1990, 31% ladang dibuka olch mereka yang memiliki gergaji rantai, pada Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Kenyah tabun 1997 angka ini meningkat menjadi 45,5%. B, Topografi Ladang Sepanjang sejarah Long Segar, daerah berbukit-bukit (mundung) menjadi. pilihan utama untuk membuat ladang. Persentase Tata-rata ladang yang dibuat di dacrah dataran tendah (Leka’) selama 28 tahun studi terdahulu adalah sebesar 18%, di daerah perbukitan 70% dan selebihnya 12% di daerah yang memiliki topografi campuran dari dua topografi tersebut, Pada tahun 1970- an dan 1980-an pemilihan topografi telah bergeser dari daerah tepian sungai dan dataran rendah. Penyebabnya ialah adanya serangan banjir, tetapi kecenderungan ini tampaknya telah berbalik kini, mungkin Karena adanya kekeringan yang terus- menerus selama periode survai terbaru ini, Persentase ladang yang berada di dataran retidah telah meningkat lagi menjadi 33,6% (Tabel 2). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa ratarata hasil panen dari ketiga jenis topografi tersebut berbeda secara nyata. Hasil terendah diperoleh dari ladang dataran rendah (883 kg/ha), karena banyak panen yang gagal akibat serangan banjir. Hasil terbaik kedua diperoleh dari ladang di dacrah perbukitan (1.000 kg/ha) sedangkan hasil terbaik diperolech dari daerah dengan topografi campuran (1,113 kg/ha). Pada data hasil survai terbaru ini, daerah topografi campuran kembali memberikan hasil terbaik (1,378 ‘Kivha); kedua adatah daerah perbukitan (1,056 kg/ha) dan daerah dataran rendah memberikan hasil terburuk (988 kg/ha), lagi-tagi disebabkan ofeh banyaknya serangan banjir. Walaupun demikian, ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan hasil di antara ketiga jenis topograft ini tidak bermakna (p>0,05). C. Luas Ladang Antara tahun 1962 dan 1990, rata-rata luas Iadang di Long Segar adalah 2,35 ha. Angka ini cenderung Konstan dari tahun ke tahun selama periode itu. Sepanjang periode 1991-97, rata-rata luas ladang menjadi 2,52 ha (Tabei 3), dengan tidak terdapat Kecenderungan perubahan luas yang berarti dari tahun ke tahun (ANOVA, p > 0,05). Angka ini mendeketi rata-rata Iuas ladang pada masyarakat Kenyah di dacrah ‘transmigrasi_ Muara Wahau — sepanjang periode 1988-1990 (2,6 ha) ketika mereka menolak lahan tidak —produktif yang dialokasikan -pemerintah dan __kembali menjadi peladang berpindah. Lonjakan rata- rata luas ladang pada tahun El Nino (1991-92 dan 1994.95) terlihat nyata. Hal ini karena penduduk mengamati perkembangan cuaca secara seksama saat mereka mempersiapkan pembakaran. Jika cuaca kering pada bulan ‘Agustus, mercka biasanya memaksimalkan luas ladangnya sedapat mungkin, dengan mempertimbangkan jumiah tenaga kerja yang dimiliki dan ketersediaan lahan di lokasi yang dipilih. Ini adalah tindakan berhati-hati untuk menghindarj risiko. Pembakaran yang baik akan meningkatkan Iuas lahan yang diperoleh dan kesuburan lahan itu sendiri. Sefanjutnya, dengan mengharapkan nasib baik, hal ini akan meningkatkan hasil panen. Ladang yang luas merupakan alternatif yang baik untuk mengatasi keketingan yang parah, katena apa pun yang terjadi kemungkinan mendapatkan hasil yang lebih baik akan meningkat. Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim ‘Tabel 1. Jumlah dan Persentase Ladang Berdasarkan Jenis Hutan yang Ditebang Tahun ‘Jenis Hutan yang Ditebang ‘Semak bara | Fiutan muda sekunder | Huten tua sekunder | Hutan primer Jamlah | Persentas | Jumlah { Persentase | Jumlah | Persentas | Jumnlah | Persentase e e 1991-92 a 2 36 38 | Od 15 273 1992-93 2 32. 3 12,7 42_ | 66,7 ut 17,5 1993-94 1 1 10 15, 43 [72,7 7 10,6 1994.95. 0 0,0 9 47 2 10 15,2 1995-96 o | 00 7 10,1 a 10 145 1996-97 1 16 10 15,6 SI 79,7 2 3,1 Keseluruhan [4 10 46 12,0 278 | 72,6 33 14,4 #) 13 pengamatan hilang, Tahun B! Nino adalah yang dicetak tebal Tabel 2. Jumlah dan Persentase Ladang Berdasarkan Jenis Topografi (Long Segar) Tahun 1991-92, 1992-93 26 (39,4%) 1993-94 20 (29,9%) 26 (38,8%) 1994-95, 19 1995-96 216 25. 1996-97 24 369%) 14 (21,5%) 27 (41,5%) ‘Keseluruhan” 126 (32,6%) 130 (33.6%) 131 G3,9%) 9 pengamatan hilang, ANOVA menunjulkan bahwa terdapat berbeda secarabermakna antar _jenis perbedaan rata-rata Iuas ladang di-antara topografi, dengan ladang di daerah empat jenis hutan (p < 0,001). Ladang dari perbukitan cenderung —‘lebih_—kecil hhutan primer adalah yang terluas, sedangkan _dibandingkan ladang dengan _topografi ladang dari semak baru adalah yang terkecil. _lainnya (ANOVA, p < 0,001). Kendala tenaga kerja laki-laki mungkin berperan dalam hal ini, sebab menebang hhutan primer memerlukan jumlah tenaga kerja laki-laki yang maksimum selama proses pembukaan area. Sebagai perbandingan, 75% semak barn dibuka oleh keluarga yang tidak ‘memiliki atau maksimal memiliki satu tevaga kerja laki-laki dengan jumlah tenaga kerja kurang dari tiga orang. Di lain pihak, hanya 54,9% hutan tua sekunder dan 44,5% hutan tua sekunder dan 44,5% hutan primer yang dibuka oleh keluarga yang memenuhi karakteristik di atas. Luas ladang juga D. Jarak Ladang dari Desa ‘Selama periode 1962-1990, jarak ladang dari desa meningkat secara konsisten antara 0 dan 7 km. Rata-rata jarak ke ladang selama petiode 1991-97 inj adalah 3,49 km. Hal ini juga mencerminkan penyusutan populasi pada awal 1980-an, dengan Jahan yang ditinggalkan dapat dikelola oleh anggota masyarakat yang lain. Lahan awal yang dibuka pada tahun 1960-an akan siap dipakai Kembali pada tahun 1980-an, Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Kenyah Tabel 3. Jumiah dan Rata-rata Luas Ladang (Long Segar) Tahun TumlahLadang | _Rata-rata Luas Ladang (Ha) 1991-92 57 2,78 1992-93 66. 2,46 | 1993-94 9 2,19, 1994.95 67 2,64 1995-96 7 2,58 1996-97 66, 2,50 ‘Keseluruhan 396 2,52 Tabel 4. Rata-rata Jarak ke Ladang Selama Periode 1991-1997 (Long Seger) Tahun ‘Reta-rata Jarak ke Ladang (Km) 1991-92 797 1992-93 612 1993-94 7,30 1994-95 1995-96 7,84 1996-97 717 Rata-rata TAT Selama periode 1991-97 tidak ada kenaikan jarak ladang yang konsisten (Tabel 4), mencerminkan kenyataan bahwa ladang di Long Segar telah mencapai wilayah perbatasan dengan desa tetangga atau ladang- ladang tersebut telah mencapai jarak maksimum yang mudah ditempuh oleh masyarakat bila berjalan dari Long Segar. Pembagian masyarakat Long: Segar yang dilakukan di Kilo Enam (Sungai Pantun) dan sepanjang Sungai Kernyanyan menyiratkan bahwa mereka merasa telah mencapai batas jarak yang dapat ditempuh secara mudah dari ‘desa-induk. Kesimpulan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa walaupun _persentase penduduk yang memiliki motor tempel (ces) meningkat tetapi jarak rata-tata ke ladang cenderung konstan, Penduduk yang memiliki ‘motor tempel rata-rata memiliki ladang yang iebih jauh (7,93 Km) dibandingkan penduduk yang tidak memiliki motor tempel (5,67 Km). ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna diantara dua kelompok tersebut (p < 0,001). E. Hasil Panen Per Hektare Ketidakpastian dan kendala bercocok tanam padi di Long Seger telah sangat jelas dari studi terdahulu. Kekeringan, banjir, hama, hewan, serangga, penyakit tanaman dan masalah-masalah tenaga kerja, antara lain ada yang sakit, menikah, bersekolab, bekerja di perusahaan, hamil, dan Jain-lain, semuanya dapat mengakibatkan hasil produksi yang lebih rendah bagi suatu keluarga. Sebagian besar tahun yang tercakup dalam periode survai terbaru merupakan “tahun di bawah normal”, seperti mana terlihat dari rendahnya rata-rata hasil panen per-hektare (Tabel 5). Tahun 1991-92 merupakan tahun kering dengan 39% ladang mengalami kekeringan, 25% terserang banjir dan 23% ladang terserang baik banjir maupun kekeringan. Pada tahun 1992-93 kekeringan berkurang, tetapi 42% ladang terkena banjir. Tahun 1993-94 dan 1994-95 ‘kekeringan muncul lagi, kadang kala diikuti oleh banjir (walaupun tidak separah periode 1991-93). Dua tahun terakhir (1995-96 dan 1996-97) hanya sedikit ladang yang terkena kekeringan atau banjir (Tabet 6). Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim ‘Tabel 5. Rats-rata Hasil Panen per Hektare (Long Segar) Rata-rata Hasil panen (Ton/ha) Tabel 6, Gangguan Cusca yang Terjadi di Ladang (1991 - 1997) Rata-rata hasil panen per hektare selama periode 1962-1990 adalah 1,2 ton. Hasil survai terbaru ini menunjukkan bahwa selama periode 1991-97 ketika terjadi dua tahun El Nino, rata-rata hasil panen turun menjadi 1 towha, Tabel 7 dan 8 menggambarkan gangguan hama hewan dan serangea yang dialami oleh petani Long Segar selama petiode 1991-97. Data seperti Tahun “Tumniah dan Persentuse Ladang yang Terkena Gangguan "| WidskadaMasalah [ Banjir_ | Kekeringan | Banjir dan Kekeringan 1991-92 814,0%) 14 24,6%) [22 38.6%) 13 228%) 1992-93 12 (18,2%) 28 (42,4%) 20 (30,3%) 6 (9,1%) 1993-94 13. (18,8%) 5 (72%) | 29 (42,0%) 22.G1,9%) 13 (19,4%) '32.(478%) 21 (31,3%) 32 (45,1%) 11 (15,5%), 26 (36,6%) 7(10,6%) 17 25,8%) ini tidakiah menggambarkan bagaimana sulitnya keadaan yang dihadapi petani, tetapi minimal mencerminkan risiko yang harus dihadapi jika bercocok tanam di area hutan hhujan tropis seperti Kalimantan. Tabun ini (1997-98) diperkirakan merupakan tahun El Nino terburuk selama 150 tahun terakhir dan hasil panen di Long Segar dipastikan akan terkena dampaknya. ‘Tabel 7. Persentase Ladang yang Terkena Hama Binatang (1991-1997) Persentase Tada 92-93 [95-94 95-56 96-97 288 30,4 55 > 15,5 18,2 318 26,1 209) 10,6 59,1 59,4 64 9,7 21,3 10,1 17,9 19,7 16,7 13.6 7, 9,0 85 9,1 13,6 159 16,4 14,1 152 15 0.0 0.0 28 15 Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Kenyah Tabel 8. Persentase Ladang yang Terkena Serangan Hama Serangga (1991-1997) Fama Persentase Ladang 91-92 92-93 93-94 94-95 95-96 96-97, Tidak terkena 754 68,2 71,0. 73,1 2, 65,2 Pau 17,5 19,7 23, 13,4 18,3 22,7 ‘Ulet 35 6 38 9,0 13 13,6 Kamang 3,5 4S 43 6,0 42 61 Njau alang” 18 3,0 43 9.0 8,5 4,5 Ngeruseng. 5,3 10,6 72 13,4 28 45 Kutip 18 15 29 9.0 5,6 15 t ‘Serangga lain-lain 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 45 Dibandingkan dengan survai sebelumnya, telah terjadi perubahan sbb: (1) Telah terjadi pergeseran jenis hutan yang dibuka untuk dijadikan ladang dari hutan primer ke hutan tua sckunder. Hal ini karena menyusutnya hutan primer yang tersisa dalam jarak yang kira-kira masih dalam ditempuh dalam satu hari _perjalanan, sebagaimana kawasan Long Segar mencapai desa . oleh penduduk Long Segar atau anggota keluarganya menjadi suatu pilitan karena Jahan yang dibuka pada tahun 1960-an dan 1970-an baru mencapai fase pertumbuhan tan tua sekunder; (2) Persentase ladang dari masing-masing tipe topografi cenderung sama, Pada tahun 1980-an penduduk mempertimbangkan kemungkinan adanya banjir, sekarang mereka khawatir akan meningkatnya kejadian kekeringan; (3) Luas ladang meningkat bila dibandingkan dengan studi terdahulu, yang rata-rata luas ladang 2,35 ha, Pada studi terbaru ini rata-rata Iuas ladang 2,52 ha; (4) Jarak ke ladang cenderung Konstan selama periode 1991-97, berlawanan dengan kenaikan —_secara konsisten dari tahun ke tahun selama 28 tahun pertama sejak Long Segar ditempati. Hal ini menyiratkan bahwa kawasan teritorial Long Segar telah mendekati daerah perbatasan dengan desa tetangga, jarak maksimum yang dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan pulang pergi dan ketersediaan, lahan di dekat desa yang ditinggalkan oleh penduduk yang pindah ke luar Long Segar; dan (5) Hasil panen per hektare menurun dari 1,2 ton/ha antara tahun 1962 sampai 1990. menjadi 1 ton/ha. Salah satu penyebabnya adalah keadaan cuca yang tidak menguntungkan. Orang dapat menduga bahwa penurunan itu disebabkan oleh meningkatnya penggunaan ladang yang berasal dari hutan muda sekunder, tetapi data yang tersedia tidak mendukung dugaan tersebut. Pada bagian di bawah ini dibahas produksi padi per keluarga, persepsi petani tentang kecukupan hasil panenya bagi keluarga, pembagian tenaga kerja dan pilihan-pilihan yang tersedia bagi keluarga yang hasil panennya tidak mencukupi. F. Produksi Padi Per Keluarga Pada studi terdahulu, satu keluarga cenderung memroduksi 3,2 ton padi per tahun secara keseluruhan. Dua puluh delapan persen dari jumlah kelwarga menghasilkan padi di bawah 1 towtahun secara keseluruhan, 36% — menghasilkan 1-3 ton/tahun, 21% menghasilkan 3-5 ton/tahun. Lima belas persen menghasilkan lebih dari 5 ton/tahun. Seperti terlihat pada Tabel 9, rata-rata produksi padi per keluarga pada tahun 1991- 92 dan 1992-93 tampak lebih rendah dari rata-rata tahun-tahun lainnya. Pada tahun Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim Tabel 9. Rata-rata Produksi Padi per Keluarga (1991-1997) "Tahun ‘Rala-rata Produksi Padi per Keluarga (Kg) 1991-92 1843,6 1992-93, 1449,8 1993-94 2418 1994-95 26288 1995-96 3750,5 1996-97 4130,2 ‘Keseluruhan 2689.6 1994.95 yang merupakan tahun El Nino, hasil produksi padi per keluarga meningkat secara tak terduga, mungkin karena kekeringan yang melanda tidak terlalu parah. Tentu saja, rata-rata —produksi padi petkeluarga secara keseluruhan pada periode yang terbaru ini (2,69 Ton) mengalami Penurunan dari rata-rata produksi padi per keluarga selama 28 tahun (1962-1990) yaitu sebesat 3,20 Ton. Pada Tabel 10 terlihat bahwa pada tahun 1994-95 telah terjadi peningkatan rata-rata Iuas Jedang yang dibuka; ini ditambah dengan kekeringan yang tidak terlalu parah membuat petani iokal dapat hidup secara berkecukupan. Rats-rata areal yang digunakan oleh satu keluarga selama periode survai sebelumnya adalah 2,70 ha. Hasil survai -terbaru menunjukkan terjadinya penurunan menjadi 2,62 ha, mengingat dulu banyak keluarga yang memiliki dua ladang yang kecil-kecil. Sekarang hampir setiap keluarga hanya memiliki satu ladang saja dengan ukuran yang lebih luas. G. Persepsi Kecukupan Hasil Panen Persepsi_ masyarakat tentang ‘apakah mereka memiliki padi yang mencukupi atau tidak merupakan salah satu alat untuk mengukur kesejahteraan. Sebagian besar masyarakat pada 4 tahun pertama periode studi terbaru ini melaporkan bahwa mereka merasa tidak mempunyai padi dalam jumlah yang memadai (Tabel 11). Secara kualitatif perbedaan antara “baik” dan “cukup” tidak terlalu berarti karena petani tidak ingin menyombongkan dirinya jika dia mendapat hasil panen yang baik dan cenderung berkata “cukup”. Hal ini dibuktikan oleh ANOVA yang menunjukkan bahwa rata-rata hasil per hektate bagi kategori “baik” (1,47 ton/ha) tidak berbeda nyata dengan kategori “cukup” (1,27 tonha). Sebaliknya kedua kategori tersebut berbeda nyata dengan kategori “tidak cukup” (0,59 ton/ha). Dengan demikian persepsi kecukupan ini seperti yang telah diduga berhubungan dengan hasil panen per hektare. Tabel 10. Rumah Tangga dan Ladang yang Dimilikinya (1991-1997) Tahun Jomlah Rumah Tangga Rata-rata Jumlah Rata-rata Luas Ladang Kelvarga per Keluarga (Ha) 1991-92 36, 102 2,88 1992-93, 65 1,02 2,49, 1993-94 66 1,05 2,35 1994-95 66, 1,02 2,73 1995-96 9 1,03 2,67 1996-97 64 1,03 2,64 ‘Keseluruhan 386) 1,03, 2,62 Pemanfastan Hutan oleh Masyarakat Kenyah Tabel 11. Jumlah dan Persentase Keluarga Berdasarkan Persepsi Mengenai Kecukupan Hasil Panennya (1991-1997) Tahun Baik Persepsi Kecukupan Cuky Jumlah p Persentase Sumlah 1991-92 1992-93 1993-94 1994-95, 1995-96 1996-97 alslalejolule ‘Keseluruhan 55,9 [33,7 "7 pengamatan hilang Persentase “‘baik”, “cukup” dan “tidak cukup” —selama—periode 1962-1990 diperbandingkan dengan periode _survai terbaru 1991-1997 (Tabel 12). Uji khi- kuadrat (p < 0,05) menunjukkan bahwa persentase ladang dengan hasil “baik” menurun, persentase ladang dengan hasil “cukup” meningkat, sedangkan persentase ladang dengan hasil “tidak cukup” cenderung konstan. Tabel 13. menggambarkan perbedaan persepsi masyarakat mengenai _hasil panennya di empat lokasi Uma, yang diteliti pada studi terdahulu. Jelas bahwa, Muara Wahau memiliki keadaan yang terparah, Long Ampung merupakan daerah pelosok terpencil yang cara hidup subsistennya lebih terjamin. Tanah Merah merupakan daerah dckat kota dengan keadaan tanah yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. H. Jumlah Anggota Keluarga Rata-rata jumlah anggota keluarga di Long Segar menurun dari 6,32 pada tahun 1980 menjadi 5,35 pada tahun 1990. Selama jangka waktu ini alat kontrasepsi keluarga berencana (KB) telah diperkenalkan dan pelayanan KB diberikan dalam lingkungan desa Long Segar. Berdasarkan data survai tahun 1997 (Tabel 14) jumlah anggota keluarga telah meningkat dibandingkan tahun 1990, yang secara rata-rata menjadi 5,62 selama periode 1991 - 1997. Tabel 12. Perbandingan Persepsi Kecukupan Hasil Panen antara Dua Periode Survai Periode Survai Persepsi Ki Hasil Panen, ‘Baik Cukup_ Tidak. 1963-1990, 274 15,9%) 870 (50,674) 576 G3,5%) 1991-1997 43 (11,4%) 212 (55,9%) 124 G2,7%) [ Pada tabel ini, data yang tidak lengkap dibuang Karena uji khi-kuadrat tidak dapat diterapkan pada data yang tidak lengkap. Karenanya persentase pada tabel ini sedikit berbeda dengan Tabel 13) 4 Carol J. Pierce Colfer & Agus Salim ‘Tabel 13. Persepsi Keluarge mengenai Kecukupan Hasil Panen Berdasarkan Lokasi dan Periode Survai. Tokasi (Periode Survai) Hasil Panen Baik Ci Tidak Cukup Tong Ampung (85-90) 3 (2.4%) 95 (74,8%) 29 (22,8%) [Long Segar* (62-90) 274 (15.1%) 870 (48,1%) 516 G1,8%) Lon; ir (91-97) 43 (11,4%) 212 65.9%) 124 (32,7%) ‘Muara Wahau (86-90) 1(0,9%)_ 44 (39,6%) 66 (59,5%) “Tanah Merah? (83-90) 33 (17,0%) 112 67,7%) 47 24,2%) "39 pengamatan (4,9% dari total pengamatan di Long Seger) hilang *2 pengamatan (1,0% dari total pengamatan di Tanah Merah) hilang ‘Fabel 14, Rata-rata Jumlah Anggota keluarga di Long Segar (1991 - 1997) Rata-rata Jumlah anggofe keluarga— Jumiah buruh tani laki- Jum{ah buruh tani Jumiah anggota yang tidak: produktif Jumlah laki-laki dengan ‘Jumlah laki-faki/wanita dengan pekerjaan non Pembagian Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin . Secara umum terdapat pendapat’ bahwa pengikutsertasn wanita dalam kegiatan yang bersifat produktif dibutuhkan, tetapi tidak cukup untuk menjadi prasyarat bagi status wanita yang tinggi (Sanday, 1974). Masyarakat Dayak di Kalimantan terkenal menempatkan wanita pada status yang tinggi, bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya (Sutlive, 1993) dengan dampak yang baik dan jelas pada kesejahteraan yakni keschatan ibu dan anak, proses kehamilan dan melahirkan, peranan dalam masyarakat dan peranan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, Analisis terdahulu (Colfer 1983; 1985b; 1991; Colfer & Dudley 1993) menunjukkan terjadinya perubahan yang nyata dalam pembagian kerja antara pria dan wanita dengan dampak negatif yang dirasakan terhadap kedudukan wanita dan kesejahteraan secara umum. Pada tahun 1980-an terlihat tanda-tanda peranan wanita yang lebih dominan pada proses bercocok tanam padi telah mulai terkikis. Salah satu indikatomnya di Long Segar adalah sex ratio tenaga kerja pertanian pada suatu keluarga, yang bergeser dari 0.87 pada tahun 1980 menjadi 1.27 pada tahun 1990, Sebagai perbandingan di Long Ampung selama lima tahun berturut-turut pada dekade 1980-an, angka itu 0.81. Pada data terbaru ini, tetap terlihat lebih banyaknya tenaga kerja pria dibandingkan tenaga kerja wanita pada satu keluarga (rasio=1.20), walaupun angka ini sedikit lebih kecil daripada tahun 1990. Di lain pihak, rasio tenaga kerja pria dan wanita ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi per keluarga (P>0.05). Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Kenyah Dalam usaha untuk mengetahui dampak potensial yang timbul dari pergeseran peranan pria dan wanita dalam produksi padi sebagai basis ekonomi masyarakat, di temukan bahwa baik jumlah tenaga kerja wanita maupun pria memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi padi keluarga (Gambar 1). Jumlah tenaga kerja wanita berkorelasi lebih positif terhadap rata-rata produksi padi (0.3092) daripada jumlah ga Kerja pria (r=0.2190). Nilai korelasi tidaklah besar, tetapi secara statistik bermakna. Uji non-paramettik tethadap hal itu ‘menunjukkan kontribusi tenaga kerja wanita tethadap produksi padi keluarga (p<0.001) lebih nyata daripada tenaga kerja pria {p<0.05). Proporsi jumlah tenaga kerja pria diteliti berbeda tidaknya berdasarkan jenis hutan yang ditebang. Walaupun proporsi tenaga kerja pada iadang yang berasal dari hutan primer (53.24 %), hutan tua sekunder (51.90 %) dan hutan muda sekunder (50.00 %) lebih besar daripada proporsi tenaga kerja pria pada ladang yang berasal dari semak baru (33.33 %), tetapi dengan menggunakan uji nonparametrik perbedaan ini tidak bermakna Rata-rata produkal padi per koluarga (kg) Joma PriatWasta dalam Kolverga Gambar 1. Kontribusi Pria/Wanita Terhadap Produksi Padi (p>0.05). Tidak bermaknanya perbedaan ini karena terlalu sedikitnya data ladang dari semak baru (n=4). Alasan_ lebih banyaknya jumlah tenaga kerja pria daripada — wanita, berlawanan dengan tradisi masyarakat Kenyah, karena wanita-wanita Kenyah yang muda lebih didorong untuk belajar ketimbang_prianya. Tida ada data kuantitatif untuk membuktikan hal ini, tetapi keperluan untuk meninggalkan desa demi melanjutkan pendidikan. mungkin merupakan salah satu penyebab mengapa jumlah tenaga kerja wamita Iebih sedikit dibandingkan tenaga kerja pria. Penjelasan ini diberikan kepada penulis pertama pada bulan Juni 1997, saat acara kelulusan SMP yang semua peraih penghargaannya adalah _wanita, secara konsisten wanita Kenyah lebih baik di sekolah dibandingkan prianya. —Jumlah remaja wanita Iban (suku Dayak lain) yang bersekolah lebih besar daripada remaja prianya (Colfer, et al, n.d.). Melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan ke tingkat universitas, lebih umum dijumpai pada masyarakat Long Segar sekarang,

You might also like