You are on page 1of 7
Berkala NeuroSains Vol. 1, No. 1, Oktober 1999 PERAN DONEPEZIL DALAM TERAP! PENYAKIT ALZHEIMER Samekto Wibowo Bagian llmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM ‘SMF Penyakit Sarat ASUP Dr. Sardjito Yogyakarta ABSTRACT Samekto Wibowo - The Role of Donepezil on the Treatment of Alzheimer's Disease Neurotransmission system impairment is the prominent factor in the pathophysiology of Alzheimer’s disease. Neurotransmission is the basis for information processing in the central nervous system. Communication between neurons are mediated by specific neurotransmitters. The improvement of dementia, especially dementia of the Alzheimer’s type, may be achieved by increasing the ammount of cholinergic nourotransmission. The choice of treatment included administration of agonist or precursor of acetylcholine and cholinesterase inhibitors. Tacrine and donepezil are the acetylcho- sterase inhibitors approved for the treatment of Alzheimer's disease. ‘question is : how does donepezil influence the outcome of dementia therapy? The aim of this present study is to express the role of donepezil on the treatment of Alzheimer's disease compared with tacrine, its previous acetyicholinesterase inhibitor. In conclusion, donepezil may improve cognitive functions in Alzheimer's disease. It seems that in some aspects donepezil is superior to tacrine which has been marketed earlier. Key words : dementia - Alzheimer's disease - acetylcholinesterase inhibitor - tacrine - donepezil PENDAHULUAN Penyakit Alzheimer (PA) merupakan salah satu penyakit degenerasi, salah satu jenis demensia yang, ditandai_secara Klinis dengan hilangnya secara progresif kemampuan sejumlah fungsi kognisi dan perilaku. Istilah degenerasi mengisyaratkan adanya kemunduran sejumlah neuron di sistem saraf pusat (SSP). Hilangnya neuron terjadi pada berbagai area otak pasien PA, walaupun perubahan patologisnya pertamakali ditemukan Alois Alzheimer hanya ada di neokorteks. Atrofi kortikal yang banyak disertai dengan hilangnya neuron dan sinapsis, yang ber- kaitan dengan astrogliosis. Terdapat neurofibril pengacau dan plaq senil pada Korteks, utamanya di area asosiasi. Substansia alba dapat juga terlibat, miungkin sebagian akibat hilangnya neuron. Peru- bahan pembuluh darsh juga terjadi, termasuk de- posisi amiloid, perubahan reseptor neurotransmiter dan lain neurokemis (Wells & Whitehouse, 1996). Berbagai penyakit dan kelainan dapat menye- babkan demensia, dan hal itu menyebabkan ber- bagai macam jenis demensia. Penyakit Alzheimer (PA) merupakan jenis terbesar demensia (Hen derson & Backwalter, 1994). Prevalensi PA menca- pai 3-11% pada populasi di atas 6$ tahun. Di USA pada awal abad 21, sekurang-kurangnya terdapat 7 (B.NeuroSains, Vol. 1, No.1 : 23 - 29, Oktober 1989) jjuta penderita PA. Biaya yang dikeluarkan meneapai 50-100 miliar dollar per tahun, Sebagai perban- dingan, biaya tahunan buat penyakit kanker ialah 100 miliar dolar, dan penyakit jantung 120-140 miliar dolar. Bioya rata-rata per pasien PA yang iayai oleh asuransi kesehatan pada tahun 1991 ialah 44,000 dolar. PA merupakan tipe de- mensia yang paling banyak di Amerika dan seba- gian besar Eropa pada lansia, yakni 50-80% dari pasien de- mensia, Sebaliknya, demensia vaskuler (DV) lebih banyak di dapat di Skandinavia dan beberapa negara di Iuar Eropa seperti Jepang. DV mencapai sekitar 5-10 % pasien demensia. Demensia campuran (PA dan DV) mencapai 10%. Demensia senilis, penyakit Pick dan PA, menurut Marcinkowski (1996), mempunyai karakteristik yang sama dalam hal perubahan morfologis, baik makroskopis maupun mikroskopis, dan juga mempunyai persanvaan sim- tom psikiatri. Karena itu ketiganya disebut ‘De- ‘mensia Tipe-Alzheimer’. Terapi pada kasus dengan simtom neurologik dan psikiatrik sekaligus, seperti halnya demensia ini, tentu membutubkan berbagai pendekatan. Sementara itu faktor etiologinya mung-. kin tidak mudah mencarinya. Dan kalaupun jelas etiologinya, masih menjadi masalah dapatkeh etiologi tersebut disingkitkan? Yang sudah jelas di- ketahui ialah adanya defisit neurotransmiter ter- 23 tentu, utamanya asetilkolin pada PA. Selain koreksi faktor defisit asetilkolin tersebut, tentunya masih banyak lagi upaya terapi yang dapat dilakukan. ‘Sementara itu telah dipasarkan sediaan obat yang bekerja sebagai penyekat (penghambat) asctilkoli- nesterase, yakni takrin (yang lebih dulw hadir) dan donepezil yang muncul kemudian. Pertanyaannya ialah bagaimana posisi donepezil dalam upaya terapi_penyakit Alzheimer (PA) tersebut? Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk mengungkapkan peran donepezil dalam terapi PA, dibandingkan dengan takrin, suatu penyekat asetilkolinesterase yang lebih dulu dipasarkan. Diharapkan didapat gambaran lebih jelas tentang sedisan penyckat kolinesterase tersebut schingga dapat_memberi informasi yang tepat pada penderita, keluarga atau relawan yang mendampingi penderita, mengingat terapi PA memerlukan waktu yang lama. PEMBAHASAN Newrotransmiter Berbagai usaha dapat dilakukan dalam me- nangani penderita demensia Dapat dimengerti bah- wa gejala yang demikian kompleks, yang meliputi perubahan perilaku memerlukan pendekatan yang, komprehensif. Telah diketahui bahwa pada demen sia terdapat gangguan memori, Sambungan sinapsis berperan dalam proses penyimpanan informasi, termasuk memori (Cooper, 1987). Dasar pada se- rua proses informasi dalam sistem saraf pusat ialah, terdapatnya neurotransmiter. Komunikasi melalui sinapsis terjadi dengan perantaraan neurotransmiter spesifik (Snyder, 1992). Sebetulnye, bukan hanya transmiter yang ber- peran dalam modulasi memori. Hormon dapat mem- pengaruhi proses penyimpanan memori juga (Mc- Gaugh, 1987). Sejumiah senyawa kimia mempenga- ruhi penampilan memori dan proses belajar. Dalam proses itu, terlibat sistem neurotransmiter dan Iain proses kimia. Pelepasan transmiter misalnya, d akibatkan oleh Kenaikan pemasukan ion kalsium ekstraseluler (Thomson, 1987). Pada demensia, sejumlah neurotransmiter terkait oleh karena lokasi kerusakannya dapat pada beberapa tempat; sedang- kan satu jenis neurotransmiter mungkin_ mendo- minasi satu tempat. Pada waktunya terapi demensia dapat pula di dasarkan atas keterkaitan neuro- transmiter tersebut, yang antara lain dapat dilihat dari manifestasi klinisnya Serabut saraf kolinergik banyak mempunyai bbadan sel di nukleus basal Meynert, dan aksonnya naik untuk berakhir pada berbagai area di korteks serebrum. Badan sel yang terdapat pada septum 24 Samekto Wibowo 1999, Pemeriksaan Neuropsikologi lateral_mempunyai akson melalui fimbria untuk berakhir di hipokampus. Pada PA, kedua jalur itu mengalami degenerasi. Karena itu salah satu terapi PA ialah koreksi pada defisiensi asetilkolin tersebut (Snyder, 1992). Asetitkolin dibentuk dari kolin dan asetilkoenzim A, dengan bantuan kolin asetiltrans- ferase. Kolin asetiltransferase terdapat pada sitoplas- mma terminal saraf, oleh karena itu asetilkolin yang terbentuk tertimbun pada vesikel sinaptik. Asetilk- olin dikeluarkan ke celah sinapsis. Asetilkolin dipecah oleh enzim asetilkolinesterase menjadi kolin dan asetat. Asetat memasuki lintasan meta- bolisme umum, sedang Kolin didaur ulang, ia menjadi “prekursor” untuk sintesis asetilkolin lagi. Untuk dapat _menimbulkan efek, neurotransmiter harus bertema dengan reseptomya yang cocok. Reseptor kolinergik pada prinsipnya terbagi menjadi dua tipe: (1) nikotinik, dan (2) muskari a Reseptor nikotinik pada otot skelet mempunyai perbedaan jenis protein dengan reseptor nikotinik pada ganglia dan otak. Karena itu satu macam se- nyawa kimiz dapat mempunyai pengaruh berbeda- beda pada reseptor-reseptor satu tipe. Reseptor «nuskarinik merupakan reseptor kolinergik terbesar pada otak dan sistem saraf otonom. Ada empat atau lima macam subtipe reseptor muskarinik. Mereka berbeda-beda dalam hal: (1) lokasi, (2) second ‘messenger, dan (3) spesifitas obat. Pengobatan PA dapat diusahakan antara lain dengan meneari agonis, Kolinergik selektif yang bersangkutan (Snyder, 1992). Lintasan dopamin pada otak mempunyai badan sel di substansia nigra , dengan akson asenden pada bundel forebrain medial, kemudian berakhir di nukleus Kaudatus dan putamen. Peranan dopamin pada fungsi emosional terjadi akibat adanya penim- bunan di lintasan mesolimbik. Badan sel terdapat di nuklei tegmentum ventral batang otak dan berakhir di nukleus akumbens, nokleus sentral amigdala. Neutoendokrin beperan pada lintasan dopamin, karena fintasan dopamin yang mempunyai badan sel di nukleus arkuatus hipotalamus dan berakhir pada laminens median, berhubungan dengan sistem kapiler portal ke kelenjar pituitari. Dopamin dile- paskan ke dalam kapiler ini, beaksi pada reseptor di pituitari untuk menghambat pelepasan prolaktin. Neuron-neuron yang mengandung norepinefrin di otak, sebagian besar mempunyai badan sel di lokus seruleus kecil pada midbrain dengan akson. asenden atau desenden untuk memelihara hampir semua bagian sistem saraf pusat. Neuron-neuron yang mengandung serotonin mempunyai badan sel di sekelompok nukleus ba- gian tengah yang berlokasi di medula oblongata dan. ‘midbrain yang dikenal sebagai nuklei rafe. Dari rafe Berkala NeuroSains Vol. 1, No. 1, Oktober 1999 magnus di medula, turun akson ke medula spinalis. Nuklei rafe di dorsal dan median midbrain, akson- nya naik melalui bundel medial forebrain dan ber- akhir terutama pada hipotalamus dan sistem limbik, dan juga pada berbagai daerah otek termasuk sel gian besar korteks serebnim. Lesi pada nuklei rafe di midbrain berkaitan dengan gangguan_tidur. Stimulasi elektrik pada rafe magnus menimbulkan analgesia, yang mungkin berkaitan dengan akhiran lintasan ini yang berhobungan dengan neuron yang, mengandung enkefalin di medula spinalis. Pengaruh antideprsan trisiklik pada serotonin juga memper- Tihatkan peran neuron ini dalam regulasi suasana hati (mood) (Snyder, 1992). ‘Neurotransmiter penghambat terbesar di otak ialah GABA (gamma-aminobutyrie acid) yang ter- dapat pada lintasan neuronal panjang dan pada interneuron yang pendek di semua daerah sistem saraf pusat. Konsentrasi terbesar terdapat di sub- stania nigra. Neurotransmiter penghambat tain ialah glisin yang terutama texdapat di medula spinalis dan batang otak. Glutamat merupakan neurotransmiter pemact terbesar di otak (Snyder, 1992; Greenamyre & Por ter, 1994) Sejumlah 35%-40% dari semua sinapsis di otak memerlukan transmiter glutamat. Reseptor- nya mempunyai beberapa tipe: (1) NMDA (N- methyl-D-aspartate), (2) quisqualat, dan (3) kainat. Pada reseptor NMDA dan kainat, glutamat beraksi dengan membuka sauran ion, Glisin juga mempu- nyai tempat reseptor di NMDA. Pada reseptor NMDA ini, glisin memberi fasilitas beraksinya glutamat. Subtipe reseptor quisqualat ada dua jenis: (1) yang melibatkan saluran ion (jonotropik), dan (2) stimulasi sistem second messenger fosfoinositid. Tonotropik quisqualat, kainat dan NMDA. berhu- ‘bungan dengan saluran untuk konduksi ion natrium. NMDA juga dapat untuk lintasan ion kalsium (alam hal ini di blok oleh ion Mg). Dalam keadaan normal saluran NMDA tidak aktif, diblok oleh Mg. Apabila ada stimulasi neurotoksik, barangkali dapat digambarkan seperti hainya pada keadaan iskemia serebrum, Iskemia serebrum memunculkan neuron eksitasi, dan ini akan mengaktifkan reseptor NMDA, terjadi pemasukan ion Ca berlebihan. Hal tersebut mengakibatkan aktifasi protease yang tergantung kalsium (Ca-dependent protease), dan terjadilah neurotoksik (Snyder, 1992). Dapat dime- ngerti jika antagonis NMDA dapat dipakai untuk pencegahan neurotoksik. Neurotransmisi gluta- minergik juga berperan dalam fungsi kognitif korti- al dan hipokampal, fungsi motor piramidal dan ekstrapitamidal dan’ juga fungsi serebelum dan fangsi sensoris (Greenamyre & Porter, 1994). Pendekatan terapi Portet-Sanches ef al (1994) mencatat beberapa kemungkinan pengobatan, diantaranya yang berkait- an dengan neurotransmiter iatah dengan pemberian: 1, agonis/prekursor asetilkolin untuk memper- baiki transmmisi kolinergik dengan memberi kolin dan lesitin, 2. penghambat kolinesterase : fisostigmin, takrin, Obat kelompok ini tentu hanya berperan apa- bila memang masih terdapat sisa asetilkolin di prasinaptik. Pada kelompok ini kemudian mun- cul donepezil. Terdapat kaitan antara disfungsi kognitif de- nngan aktivitas kolinergik pada PA Di otak reseptor muskarinik Jebih banyak didapat dibanding dengan reseptor kolinergik nikotinik (nACHR). Hanya baru-baru ini saja dikatakan bahwa reseptor niko- tinik penting dalam fungsi otak. Menurut Decker & Brioni (1997), ada beberapa alasan kenapa terapi dengan target nACHR penting: 1. keterlibatan neurotransmiter kolinergik niko- tinik pada fungsi kognitif telah terbukti pada percobaan hewan dan manusia, 2. pada PA, stiraulasi mAChR menghasilkan neu- rotransmiter dalam junilah yang lebih rendah, termasuk asetilkolin sendiri, 3. mekanisme nikotinik berpartisipasi dalam kon- trol neurogenik terhadap atiran darah lokal otak yang melemah pada PA, 4. kemungkinan adanya kemampuan neuro- protektif bahan nikotinik didukung dengan data in vitro dan in vivo serta pengamatan Klinis, bahwa pemakaian jangka panjang nikotin (mi- salnya_merokok) berkorelasi negatif dengan risiko PA, 5. berbagai sub-tipe nACHR telah ditemukan di otak, ganglia, sambungan neuremuskuler, hhingga -memungkinkan pengembangan -obat yang lebih selektif dan aman dibanding dengan (© -nikotin sendiri. Resepior nAChR merupakan kompleks protein yang mengandung tempat ikatan untuk neuro- ‘ransmiter asetilkolin dan juga tempat ikatan untuk ‘ain tipe obat, dan aktivasi atau inbibisi (hambatan, penyekatan) tempat ini dapat mengatur pemasukan ion Na, K, dan Ca melalui satucan kolinergik. Ligan lasik seperti (-)-nikotin dan (-)-cytisin mengikatkan diri pada tempat sub-unit reseptor alfa, Sementara itu fangsi neuronal nChR dapat ditingkatkan atau dihambat melalui tempat yang berbeda dengan yang, dipakai (-)-nikotin tersebut. Aksi sejumlah besar agen, yang dikenal sebagai modulator saluran ko- linergik (ChCM) dapat terjadi melalui interaksi se- 28 lektif pada tempat ACh ataut dengan efek allosteric. Efek ChCM dapat berupa fasilitasi (aktivator sa- luran kolinergik, ChCA) atau inhibisi (inhibitor sa- luran kolinergik, ChCI). ChCA dapat mengaktivkan saluran kolinergik dengan mengikatkan diri pada Jokasi ACh, seperti halnya nikotin atau dengan mengaktivkan lokasi allosteric seperti halnya untuk 2-metil--piperidin dan fisostigmin. ChCI dapat menghambat efek ACh pada tingkat saluran koliner- sgik dengan paling tidak tiga cara: (1) antagonisme Kompetitif pada lokasi ACh seperti dihidro- beta-critroidin (DHBE), (2) blokade saluran ion seperti halnya mekamilamin, dan (3) penghambatan_ allosteric non Kompetitif seperti terlihat dengan agmatine, klorpromazin, progesteron, MK-801, substansi-P, asam arakhidonat, barbiturat, dan prokain, Aktivasi nAChR prasinaptik menyebabkan fasilitasi pelepasan berbagai neurotransmiter, ter- masuk: dopamin, ACh, norepinefrin, serotonin, gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamat. Studi Komparatif dengan nikotin in vivo juga menunjukkan pelepasan berbagai neurotransmiter dengan perantaraan nAChR. Berbagai percobaan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa ada peran untuk netro- transmisi yang diperantarai nAChR dalam fungsi kognitif, dan observasi bahwa pasien Alzheimer me- nunjukkan penurunan jumlah nACHR pasca sinap- tik, tetapi menyisakan sejumlah reseptor muskarinik pasca sinaptik, menunjukkan bahwa neurotransmisi nikotinik mungkin terputus paling banyak pada PA. Oleh karena itt ada kemongkinan bahwa pemuliban neurotransmisi nikotinik akan bermanfaat dalam pengobatan beberapa defisit kognitif pada PA. Bukti pendaholuan menduga bahwa nikotin dapat ber- ‘manfaat pada PA; tetapi efek sampingnya tidak nyaman, diantaranya sebagai berikut. Pasien PA. ‘yang diobati dengan tempelan transdermal mengan- dung nikotin menunjukkan manfaat kognitif, akan tetatpi terdapat efek samping iregularitas denyut jantung yang konsisten. Studi pada hewan menun- jukkan jarak yang sempit antara dosis efektif dalam ‘meningkatkan penampilan kognitif dan dosis yang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Penelitian tentang lokasi modulasi pada kompleks nAChR. akan merupakan area yang penting dikemudian hari (Decker & Brioni, 1997). Sejumlah modulator saluran kolinergik telah mulai dicoba pada hewan pereobaan, yakni (4)- epibatidin, ABT-418, SIB- 1663 dan SIB 1765F dan GTS-21. Terapi Pengertian yang lebih baik terhadap patofi- siologi PA, memberi dorongan pada managemen Samekto Wibowo 1999, Femeriksaan Neuropsikologi terapinya, Samuel ef a! (1997), merangkum sebagai berikut. 1, Penghilangan simtom primer (yaitu melemah- nya memori) atau sekunder (depresi atau agi- tasi), tanpa mempengaruhi proses dasar neuro- degeneratif). Terapi berdasar neurotransmniter masuk dalam kelompok ini. a, Modulasi neurotransmiter dan neuro- peptid: b. Kemungkinan peningkatan metabolisme neuronal dengan agen nootropik: 2. Memperlambat progresivitas atau menunda awitan penyakit. Hal ini berdasar pada penge- tahuan tentang mekanisme patogenesis. Peningkatan aktivitas kolinergik dengan takrin dan donepezil, memperbaiki kognisi pada PA. Untuk mengobati depresi dapat dipakai analog SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors), Karena efek sampingnya minimal, Proses biokimiawi yang, beryjung pada neurodegenerasi pada PA, memer- ukan data dasar untuk mengembangkan agen yang ‘mengubah penyakit, aman dan efektif. Pada PA, asetilkolinesterase (ACE) kortikal dan kolin asetiltransferase (ChAT), yang merupakan pertanda (marker) aktivitas kolinergik, menghilang secara bermakna. Pasien varian Lewy body lebih lebih lagi mempunyai ChAT lebih rendah di neo- korteks dibanding pada PA muri. Jaen & Schwarz, (1997) merekomendasikan pemberian obat-obat: (1) penyekat asetilkolinesterase (acetylcholinesterase jinlibitor, ACHED, (2) agonis muskarinik dan (3) agen pelepas asetilkolin (ACh). Lain senyawa kolinomimetik tidak langsung ialah: (1) terapi pre kursor asetilkolin (kolin, lesitin), (2) penyekat prolil endopeptidase, (3) analog pelepas tirotropin, dan (4) antagonis reseptor galanin. Agonis muskarinik ge~ nerasi pertama iatah : (1) arekolin, (2) betanikol, (3) oksotremorin, (4) pilokarpin dan (5) RS-86. Gene- rasi kedua agonis muskarinik, dikembangkan khu- sus untuk indikasi PA, yakni: (1) miliameline, (2) xanomeline, (3) AF-102B, (4) WAL-2014, dan (5) PD-151832. Dari golongan obat-obat tersebut di- atas, takrin dan donepezil (Suatu ACHEN) telah diijinkan beredar di USA untuk indikasi demensia. Takrin Takrin (tacrine; 1,2,3,4-tetrahydro-9-amino- acridine) merupakan suatu obat yang menarik perhatian Karena diklaim dapat menghilangkan sejumiah simtom demensia tipe Alzheimer. Suatu studi pada mamalia yang dilakukan Thesleff er al. (1990) menunjukkan bahwa takrin memacu neuro~ sekresi pada motor endplates. Sebelumnya, Robin- son et al. (1989) melaporkan bahwa takrin menim- ‘Berkalo NeuroSains Vol. 1, No. 1, Oktober 1999 bulkan pelepasan 5-hidroksitriptamin dan dopamin dari jaringan otak tikus. Studi yang dilakukan oleh Francis & Bowen (1989) menunjukkan bahwa berdasarkan bukti biokemis post - mortem, pende- rita PA mengalami disfiungsi neurotransmiter ko- linergik dan serotonergik, serta yang kurang me- nonjol meliputi transmiter aspartat, dopamin, GABA, glutamat, noradrenalin, dan somatostat Takrin dilaporkan mempunyai efikasi terapetik pada PA. Takrin merupakan senyawa yang pertama kali disintesis oleh Albert dan Gledhill tahun 1945, dan diketahui mempunyai efek antibiotika lemah. Bela- kangan diketahui bahwa takrin merupakan penyekat kolinesterase, yang semula nampak lebih kuat afinitasnya terhadap serum atau butiril kolineste- rase daripada terhadap neuronal atau asetilkoli esterase, Penelitian berikutnya berhasil mem- buktikan bahwa takrin bersifat selektif pada enzim neuronal asetilkolinesterase (Marquis, 1990). Gracon & Berghoff (1997) melaporkan terda- patnya efek bermakna pada pasien-pasien yang diobati dengan takrin dibandingkan dengan plasebo dalam hal: memori, bahasa dan praksis. Studi difakukan sampai 30 minggu dengan dosis sampai 160 mg per hari. Didapat juga perbaikan gejala perilaku pasien yang mendapat takrin, yakni dalam hal: delusi, halusinasi, agitasi/agresi, depresi/ disfo- ria, cemas, elasi/euforia, apati, disinhibisi, iritabili- tas, dan perilaku motorik yang menyimpang. Studi Klinis menanjukkan bahwa takrin: memang mem- punyai manfaat yang bermakna pada pasien PA. ‘Takrin mencegah perusakan asetilkolin pada korteks serebri, Karena itu menaikkan kadar aselil-kolin dan. meningkatkan fungsi kognitif. Takrin memperbaiki reseptor kolinergik nikotinik di otak, serta mening- katkan pemaksian glukose otak pada demensia ringan dan sedang. Takrin tersedia dalam kemasan 10-40 mg. kapsul. Dosis awal 40 mg (diberikan 4 kali 10 mg). Dosis ini dipertahankan dalam 6 minggu sebelum dinaikken, Bila tidak terjadi kenaikan kadar transaminase, jika diperlukan, dosis dapat dinailskan sebesar 40 mg dalam interval 6 minggu. Dosis puncak tercapai setelah mendapat obat oral 1-2 jam. Obat ini diminum I jam sebelum makan, karena makanan akan mentrunkan_ketersediaan_hayati sebesar 30%-40%. Sejumlah 55% takrin akan terikat protein plasma; akan tetapi obat dan metabolitaya ‘mungkin kembali, Efek samping yang terjadi ialah kenaikan enzim hepar yang akan kembali ke normal apabila dosisnya diturunkan, atau pengobatan dihentikan. Untuk ita diperlukan pemantauan faboratorium secara berkala tiap minggu pada awal 18 minggu pengobatan, setelah itu tiap 4 minggu. Pasien yang mengalami kenaikan alanin aminotransferase, dan telah kembali normal, dapat melanjutkan terapi kembali. Efek samping lain ialah nausea, vomitus, diare, nyeri lambung, Kehilangan nafsu maken, hilangnya koordinasi, anoreksia, dan ataksia. Kadar alanin aminotransferase serum naik sampai lebih ari tigakali nilai normal pada 25% pasien yang menerima takrin, dan naik lebih dari 20 kali nilai normal pada 2% pasien (Shadlen & Larson, 1999). Donepezil Donepezil, (R.S)-1-benzil-4((5,6-dimethoxy. indanon)-2-yl)-methyl piperidine hydrochloride, merupakan derivat piperidin yang secara kimia berbeda dengan lain penyekat asetilkolinesterase, an dikembangkan Khusus untuk terapi PA. Donepezil diabsorbsi dengan baik setelah pemberian ral, kadar puncak plasma tercapai dalam 3-4 jam, Absorbsi tidak terpengaruh makanan ataupun wak- tu, Konsentrasi steady state stabil dalam 15 hari, volume distribusinya waktu itu 12 kg. Donepezil terikat protein plasma sejumah 96%, Waktu paruh eliminasi sekitar 70 jam. Ekskresi lewat_urin, separuh dosis utuh dan separuhnya di metabolisir di hepar lewat sistem sitokrom P450. Donepezil dapat menyebabkan bradikardi. Donepezil dikemas dalam tablet 5 dan 10 mg, diberikan sekali schari menje- lang tidur. Terapi dimulai dengan dosis 5 mg, setelah 4-6 minggu dosis dapat dinaikkan bila perlu, ‘menjadi 10 mg. Peningkatan konsentrasi asetilkolin untuk, (ransmisi sinaptik, dicapai antara lain dengan penghambatan satu atau lebih enzim yang ber- tanggung jawab dalam hal hidrotisisnya, yakni butirilkolinesterase dan asetilkotinesterase. Butiril- kolinesterase terdapat di otak dan berasal dari sel-sel glia, Terdapat bukti awai untuk menduga bahwa butirikolinesterase berperan dalam memulai keru- sakan neurenal pada PA. Walaupun begitu, asetil- kolinesterase-lah yang terlibat dalam fungsi sinap- tik, dan yang merupakan sasaran terapetik utama untuk intervensi obat. Obat yang mungkin telah digunakan lebih banyak sebagai penyekat kolinesterase ialah takrin dan fisostigmin. Akan tetapi tenyata mereka tidak selektif pada asetilkolinesterase di SSP. Lagipula terjadi efek perifer penghambatan pada kolineste- ase, serta _munculnya efek samping_ sistemik. ‘Timbulnya hepatotoksisitas juga menjadi kendala penggunaan takrin, Sementara donepezil, suatu derivat piperidin, menghambat enzim asetilkoli- nesterase secara selektif dan reversible (Rogers et al., 1996).- Donepezil, dalam suatu studi multisenter, acak, butaganda, terkendali, dengan dosis 5 mg, sekali sehari, dalam penggunaan 12 minggu temyata dapat 27 meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna pada pasien PA. Tidak didapatkan efek samping koli- nergik perifer dan hepatotoksisitas (Rogers et al., 1996). Keunggulan donepezil dibanding dengan takrin antara lain ialah; (1) donepezil mempunyai efek samping yang lebih ringan (nausea dan vomitus pada 10% pasien, sementara takrin pada 24% pa- sien), (2) donepezil dapat diberikan sekali sehari, (3) takrin menyebabkan kenaikan enzim hepar pada sekitar separuh pasien yang diobati (Rogers ef al, 1996). Pada suatu studi acak-terkendali, butaganda yang dilakukan Rogers ef al.(1998) dengan mem- bberikan donepezil selama 24 minggu pada pasien PA ringan dan moderat, didapat data peningkatan fungsi kognitif dan fungsi global yang bermakna. Parameter yang dipakai dalam penelitian tersebut ialah Alzheimer’s Disease Assessment Scale (ADAS- cog), Clinician’s Interview Based Assessment of Change-Plus(CIBIC plus), Mini-Mental State Exa- mination (MMSE), Clinical Dementia Rating Scale-Sum of the Boxes (CDR-SB), dan Quality of Life (QoL) pasien. Birks & Melzer (1999) melakukan review tethadap 4 uji klinik donepezil. Subjek ialah pasien PA ringan dan moderat, diobati 12 atau 24 minggu. Donepezil menyebabkan peningkatan fungsi kog- nitif dan status Klinis global yang mencerminkan kemampuan pasien pada umumnya, kognisi, peri- Jaku dan aktivitas sehari-hari, menjadi lebih positif. ‘Tidak didapat data peibaikan kualitas hidup pasien. Flicker (1999) menyebutkan bahwa pada suatw review sistematik, donepezil menunjukkan perbaik- ‘an yang bermakna sebesar 2,6 poin (1,8-3,5) pada ADAS-cog scale dan odds ratio 2,4 (1,6-3,4) untuke gambaran kiinis giobal pada dosis rendah 5 mghari dibanding plasebo untuk waktu pengobatan 12-24 minggu, Kiranya perlu diingatkan lagi bahwa terapi berdasar hipotesis kolinergik adalah melulu simto- ‘matik. Tidak ada data yang menyokong hipotesis bahwa medikasi ini akan mempengaruhi penyakit- nya. Karena itu obat ini hanyalah akan memper- lambat lajunya penyakit. Efikasi dan keamanan jangka panjang penggunaan donepezil dalam pengo- batan PA diteliti oleh Rogers et af. (1996). Dosis yang digunaken sampai 10 mgfhari. Penelitian multisenter, terbuka, tidak diacak. Jumlah subjek 133 pasien PA, ringan sampai_ moderat. Efikasi diteliti dengan ADAS-cog dan CDR-SB. Keamanan diterliti dengan pemeriksaan fisik, tes laboratoris dan pengukuran tanda vital. Hasilnya menunjukkan babwa donepezil meningkatkan kognisi dan tetap diatas garis dasar sampai 38 mingga. CDR-SB me- rnunjukkan perbaikan, dengan skor mendekati garis 28 Somekto Wibowo 1999, Pemeriksaan Neuropsikologi dasar untuk 26 minggu. Donepezil ditolerir dengan baik, tanpa adanya gejala hepatotoksisitas. KESIMPULAN Terapi_penyakit Alzheimer, dengan mema- hami patofisiologinya menjadi lebih terarah. Salah satu cara pendekatan terapi PA ialah dengan pem- berian penyekat asetilkolinesterase, misalnya de- ngan pemberian takrin atau donepezil. Walaupun kompensasi rieurotransmiter nampaknya tidak berhasi untuk memperlihatkan perbaikan global fungsi kognitif atau aktivitas sehari-hari, akan tetapi pemberian asetilkolinesterase tersebut telah cerbul dapat meningkatkan fungsi kognisi. Donepezil, dibanding dengan takrin, rupanya mempunyai bebe- rapa kelebihan, diantaranya dalam hal tidak adanya efek hepatotoksis, schingga tidak begitu perlu me- manta faal hepar secara berkala. Berbagai upaya masih terus dilakukan dalam rangka mendapatkan hasil terapi yang paling baik, baik yang ditujukan dalam peningkatan kemampuan kognitifaya maupun dalam penghambatan progresi- vitas penyakitnya. SARAN Untuk mendapatkan hasil terapi yang. baik, diagnosis penyakit Alzheimer harus_ betul-betul dlitegakkan lebih dahulu. Mengingat fungsi global kognitifnya sulit diharapkan pulih dengan hanya pemberian donepezil (atau penyekat kolinesterase pada umumuya), maka upaya terapi harus ditambah dengan berbagai upaya lain, dengan mengingat patogenesis penyakit ini. KEPUSTAKAAN Birks, J.S. & Melzer, D., 1999. Donepezil for mild and moderate Alzheimer’s disease (Cochrane Review), dalam The Cochrane Library Issue 3, Oxford. Cooper, LN., 1987. Memory distributed, dalam G. ‘Adelman (ed). Encyclopedia of neuroscience Vol II : 633-4, Boston : Birkhauser. Decker, MW. & Brioni, JD., 197. Neuronal nico- tinic receptors: potential treatment of Alzhei- mer’s disease with novel cholinergic channel modulators, dalam J.D Brioni & M.W. Decker (eds). Pharmacological Treatment of Alzhei- ‘mer’s Disease. Chap. 19 : 433-59, Wiley-Liss, New York. . Flicker, L., 1999. Acetylchotinesterase inhibitors for Alzheimer's disease, BMJ. 318: 615-16. Berkale NeuroSeins Vol. 1, No. 1, Oktober 1999 Francis, P.T. & Bowen, D.M., 1989. Tacrine, a drug with therapeutic potential for dementia: post mortem biochemical evidence. Can. J. Neurol. Sci. 304-10. Gracon, SI, & Berghoff. WG., 1997.Cholinesterase inhibition in the treatment of Alzheimer’s disease : further evaluation of the clinical effects of tacrine. In: Brioni, JD. & Decker, MW, editors. Pharmacological Treatment of Alzheimer’s Disease. New York : Wiley-Liss, Chap. 17 : 389-408, Greenamyre, JT & Porter, RHP., 1994. Anatomy and Psychology of glutamate in the central nervous system. Neurology 44(suppl.8): (S7-S13. Henderson, VW, & Buckwalter, JG., 1994. Cog- nitive deficits of men and women with Alzheimer’s disease. Neurology 44:90-6. Marcinkowski, T., 1996, The diseases of Alzheimer ‘and Pick’ from the viewpoint of prevention. Med. Hypotheses 46 (3):180-2 Marquis, J.K, 1990 Pharmacological significance of acetylcholinesterase inhibition by tetrahydro- aminoacridine, Biochem. Pharmacol. 40 (5): 1071-6. McGaugh, JL., 1987. Memory, hormone influences. In: Adelman, G, editor. Encyclopedia of neuro- science. Boston ; Birkhauser, Vol Il : 635-6. Porter-Sanches, A., Valdivieso, F. & Gimenez, C., 1994, Genetic and molecular bases for emerging therapies in Alzheimer's. In: Stem, MB, editor. Beyond the Disease of the Brain, Kent, U.K. : Wells Med. Ltd. Robinson, T:N., De Souza, RJ., Cross, AJ. & Green, AR, 1989. The mechanism of tetra- hydroaminoacridine-evoked release of endo- genous S-hydroxytryptamine and dopamine from rat brain tissue prisms. Br. J. Pharmacol, 98: 1127-36. Rogers, S.L., Farlow, M.R., Doody, R.S., Mohs, R.. Friedhoff, L.T.& The Donepezil Study Group 1998. A 24-week, double-blind, placebo- con- trolled trial of donepezil in patients with Alzheimer’s disease. Neurology 50: 136-45. Rogers, S.L., Friedhoff, LT. & The Donepezil Study Group 1996. The efficacy and safety of donepezil in patients with Alzheimer’s disease: results of a US multicentre, randomized, double-blind, placebo-controlled trial. De- ‘mentia 7: 293-303. Samuel, W, Galasko, D. & Thal, LJ., 1997. Alzheimer's Disease: biochemical and_phar- macologic aspects. In: Feinberg, TE & Farah, M4, editors. Behavioral Neurology and Neuro- psychology. New York: McGraw-Hill, Chap. 43: 551-69. Shadlen, M-F. & Larson, E.B., 1999, What's new in Alzheimer’s disease treatment? Posigraduate Medicine 105 (1): 1-8 Snyder, SH., 1992 Neurotransmitter. dalam A.K. Asbury, GM. McKhan & W.l. McDonald (eds): Diseases of the Nervous System Cliinical Neurobiology. Ed. 2., Vol. 1, Chap. 4 : 47-55 W.B. Saunders Co., Philadelphia. Thomson, RF. 1987. The memory trace. In : Adelman, G. editor. Encyclopedia of neuro- science. Boston : Birkhauser, Vol II : 637-9. Thesleff, S., Sellin, L.C. & Tagerud, S., 1990. Tetrahydroaminoacridine (lacrine) stimulates neurosecretion at mammalian motor endplates. Br. J. Pharmacol. 100: 487-90. Wells, C.E. & Whitehouse, P.J., 1996. Cortical de- mentia, dalam B.S. Fogel, R.B. Schiffer & SM. Rao (eds): Neuropsychiatry Chap. 36 pp.871-93 Williams & Wilkins, Baltimore. 29

You might also like