You are on page 1of 304
Fadillah Puteri Shameera Copyright © 2020 by Fadillah Puteri Cover Feraline. A Layout Syailendra. M.A Gambar Cover & Design Pixabay & Pinterest Hak cipta penulis dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku tanpa Izin dari penulis. Shameera ‘Sangsi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengen tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersal dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (Satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100,000,000 (seratus jutarupiah) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpaizin Pencipta atau pemegang (2) Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasa 9 ayat (1) hur, huruf d,huru f, dan atau hurufh untuk Penggunaan Secara Komersaldipidana dengan pidana penjara palin lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud (3) dalam Pasal9ayat (1) huruf, hurufb huruf, dan atau huru g untuk Penggunaan ‘Secara Komersildipidana dengan pidana penjara paling iama 4 empat) tahun dan atau pidara denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milarcupah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang cilakukan dalam bentuk pembajakan,dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000,000.000,00 (4) (empat milar rupiah) a Fadillah Puteri Thanks to... Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat, berkah dan karuniaNya bagiku dan keluarga. Terima kasih untuk keluargaku tersayang, yang selalu memberikan support dan juga pengertiannya akan banyaknya waktu bagiku untuk merampungkan kisah ini. Terima kasih untuk pembacaku di Wattpad. Tanpa dukungan kalian, aku takkan mungkin menulis kisah Shameera dan merampungkannya dengan baik. Selamat membaca! Love, Fadillop Shameera Prologue Laki-laki itu menatapnya tanpa berkedip saat Shameera melewatinya tengah memesan di sebuah gerai coffee shop. Dia memang mengakui bahwa laki-laki itu cukup manly dengan outfit sederhana dan tidak berlebihan. Langkah panjangnya nampak santai ketika menaiki eskalator menuju minimart membeli cemilan untuk Shafa, sahabatnya yang sedang hamil tua. Dia merasakan seseorang mengikutinya dari belakang dan ia berusaha tetap tenang. Tetap melangkah ringan memasuki minimart dan memilih cemilan dengan cepat lalu mengantri di kasir. Ketika dia selesai membayar, sebuah lengan lelaki membukakan pintu untuk keluar dan ia merasa menyesal karena sudah menolehkan wajahnya. Ternyata laki-laki Fadillah Puteri tadi mengikutinya hingga ke minimart. Sepasang iris coklat menghipnotisnya begitu rupa. Wajah lelaki itu sulit dilupakan meski hanya dalam sekali pertemuan. Dia mengulas senyum tipis dan ramah tanpa bermaksud apa-apa. Namun yang terjadi justru sebaliknya, lelaki itu tersenyum lebar sambil tetap memposisikan diri membukakan pintu untuknya. Mengunci pandangannya sepersekian detik hingga sebuah interupsi membuatnya berjalan keluar dengan denyut jantung yang berdegup menggila. Lelaki itu masih mengikutinya dan berusaha mensejajarkan langkahnya. Biasanya, Shameera merasa risih ketika ada yang melakukan itu padanya tapi tidak kali ini. Dia merasakan ketertarikan fisik pada lelaki itu dan ingin mengenalnya lebih jauh tanpa kentara. Senyum ramah lelaki itu ketika mereka tiba di lobby lift membuatnya tak berkutik. Biasanya ia merasa terganggu jika lawan jenisnya berusaha melakukan pendekatan dan hanya melihatnya dari segi fisik. Shameera Dari sekian banyak orang yang berada di depan lift, hanya mereka berdua yang berdiri di depan lift menuju lantai paling atas. Laki- laki itu menekan tombol lift angka dua puluh empat sementara dirinya menekan tombol dua puluh dua. Keduanya memposisikan diri berada di masing- masing sisi ruang lift dan ia berusaha untuk tidak canggung. Laki-laki itu tak pernah mengalihkan tatapan tertarik padanya. Sosoknya yang tegap terasa mendominasi dan terkesan berwibawa. Denting lift berbunyi dan berhenti di lantai dua puluh dua, Shameera melirik ke arahnya dan lelaki itu tersenyum ramah padanya. Tanpa disadari oleh mereka, ternyata keduanya sama-sama saling menahan napas dan menghela pelan ketika telah saling menjauh. Fadillah Puteri Beberapa kali pertemuan, Shameera dan lelaki itu sering bertemu di tempat-tempat yang tidak diprediksi. Foodcourt, toko roti, minimart, gerai ATM dan bahkan keduanya pernah sama-sama keluar dari toilet di lantai dasar. Bertatapan muka sekilas dan saling melempar senyum. Hanya itu yang dilakukan Shameera dan balasan senyum lelaki itu mampu melemaskan lututnya. Namun sayang, suatu sore, sebuah kejadian mengubah hidup mereka. “Bunda Meera!” Shameera menoleh cepat saat mendengar panggilan akrab seorang anak balita. Wajah perempuan itu pun sumringah lalu menyongsong anak laki-laki berusia tiga tahun yang langsung menerjangnya ke dalam pelukan. Disusul oleh langkah seorang laki-laki yang mendekat. Shameera menggendong sang balita dan tersenyum ramah pada laki-laki itu sambil mencium Shameera punggung tangannya. Keduanya saling berbalas senyum hingga ia mendengar seseorang berdeham. Shameera menoleh ke arah kanan dan melihat wajah datar laki-laki yang mengisi hari-harinya dengan senyum. Shameera yakin, anggukan samar laki-laki itu sebelum melewatinya adalah demi kesopanan semata. Namun, Shameera sempat melihat kilat kecewa berpendar dari iris coklatnya. Tak lama kemudian, Shafa menghampiri dengan langkah pelan. Perempuan itu baru saja keluar dari toilet lantai dasar dan menyusul Shameera yang meninggalkannya menuju lobby karena menerima telepon. Perempuan itu melangkah pelan menuju lobby, menyambut anak dan suaminya yang datang menjemput. “Ngeliatin siapa sih, Meer?” tanya Shafa sambil memperhatikan wajah saudara_ misan _ sekaligus sahabatnya yang terlihat muram itu. Shameera hanya menggeleng dan berusaha tidak terlihat sedih. Fadillah Puteri Tidak ada yang harus diperjelas ketika Shameera yakin ini hanya kesalahpahaman belaka. Toh, mereka hanya saling terlihat tertarik namun tidak ada satu orang dari mereka yang berinisiatif untuk berkenalan terlebih dahulu. Mungkin, esok hari Shameera bisa menjelaskan situasi ini pada laki-laki itu tanpa harus terlihat berharap. 10 Shameera Part -1 Usai persentasi di hadapan Corporate Affairs Manager membahas penanggulangan tumpahan limbah minyak di wilayah Gresik dan sekitarnya, Shameera kembali duduk di kursinya dan bernapas lega. Empat hari yang lalu, ia bertolak ke Gresik dan melihat langsung ke lokasi yang terkena limbah minyak yang berada di offshore. Dia dan rekannya yang seorang Stakeholder mengadakan rapat terbuka pada warga sekitar dan memberikan solusi untuk penanggulangan limbah tersebut. Kejadian seperti itu memang jarang terjadi namun kali ini tidak sampai merusak ekosistem laut. 11 Fadillah Puteri Shameera menatap beberapa rekan kerjanya yang turut hadir dan menyimak penjelasan yang diucapkannya. Sebagian dari mereka sibuk dengan alat tulis dan laptop, dan adapula yang menyaksikan slide gambar yang di tampilkan di layar proyektor. Pentingnya tugas Enviroment Officer yang di embannya kini membuatnya lebih fokus dan loyalitas. Dia membiarkan dirinya lelah di kantor supaya tidak terlalu memikirkan tentang laki-laki yang menyedot habis pikirannya. Lelaki itu kini berubah dan menjaga jarak. Jarang terlihat dimana pun ia berada. Dan Shameera tidak mampu menjelaskan karena ia merasa, untuk apa melakukan hal sia-sia itu jika laki-laki itu tidak berinisiatif untuk mencari tahu tentang dirinya dan berkenalan dengannya untuk lebih akrab. Dia sudah lelah menerka-nerka hatinya, apakah memang laki-laki itu yang ia inginkan? Namun sayang, lama tak bersua justru membuat laki-laki itu tak lagi 12 Shameera menampilkan senyum terbaiknya ketika berpapasan di foodcourt tadi siang. Shameera kembali fokus dan mendengarkan solusi dari staf ahli perusahaan dan mencatat di sebuah notes. Mencoba meredam kekalutan hatinya dan berusaha menutup akses bagi siapapun untuk mengorek hatinya yang sedang gelisah. Bayangan lelaki itu kembali melintas di benaknya saat menatapnya dari jauh saat di foodcourt tadi. Tatapan sendu dan terluka sebelum sempat mengenal lebih jauh itu teramat menyakitkan. Haruskah ia mengumandangkan statusnya pada khalayak ramai di foodcourt bahwa dirinya masih single dan available? Shameera tersenyum miris pada suara hatinya yang berjejalan memasuki pikiran kusutnya. Meeting penting itu pun usai dan Shameera kembali berkutat pada jadwal kunjungan kerja di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. 13 Fadillah Puteri Beberapa teman divisinya sudah meninggalkan kantor namun Shameera masih betah menatap komputernya yang menunjukkan hasil ketikan Minute of Meeting. Dia harus menyelesaikannya sekarang sebelum pulang dan ia tidak mau di pusingkan setelah tiba di rumah sementara pekerjaannya belum rampung. Setengah jam kemudian, pekerjaannya pun rampung. Dengan cepat Shameera merapihkan meja, mematikan komputer dan memasukkan dokumen- dokumen pentingnya ke dalam drawer lalu menguncinya. Melangkah pelan keluar kantor sambil memesan taksi online dan berhenti di gerai coffee shop untuk memesan Coffee Latte. Setelah membayar, Shameera berdiri menunggu di lobby dan menyibukkan diri dengan media sosial. Sebuah potret keluarga kecil milik sahabat SMA-nya terpampang dan yang dilakukan perempuan itu hanya tersenyum tipis. Andai saja dia tidak berkutat pada pekerjaan dan hanya mengharapkan satu orang lelaki 14 Shameera saja, mungkin ia sudah menikah dan memiliki keluarga kecil seperti sahabatnya itu. Shameera selalu saja berandai-andai. Terlalu sering cemas akhir-akhir ini hingga tiada lagi yang harus ia pikirkan selain memberikan penjelasan pada laki-laki yang seharusnya mengetahui tentang statusnya. Ah, sudahlah. Taksi online yang membawanya ke rumah berjalan dengan cepat tanpa kemacetan yang berarti. Shameera justru mengantuk setelah menghabiskan minumannya dan berpesan pada pengemudi untuk membangunkannya jika ia tertidur. Tiga puluh menit kemudian, sang pengemudi memanggil namanya dan ia pun langsung membayar lalu turun. Ada sebuah SUV hitam yang dikenalnya dan Shameera menghela napas pelan sambil melangkah pelan menyju pintu rumah. 15 Fadillah Puteri Kunjungan keluarga Aradhana yang kesekian kali ke rumah adalah untuk mempererat hubungan dengan keluarganya. Yusuf, ayah Shameera adalah seorang yang pandai bergaul. Dulu beliau memiliki banyak teman dan kenalan di kampus hingga sebagian mengenalnya sebagai orang yang hangat. Dua keluarga itu memang ingin menjodohkan Shameera dengan Panji agar pertemanan kedua orang tua tetap terjalin. Meski dia jarang bertemu dengan Panjj, laki-laki itu memang calon suami potensial untuk Shameera. Terbukti dari seringnya keluarga Aradhana berkunjung, membuat kecemasan Shameera menjadi-jadi. Setelah mengucap salam dan berbasa-basi sejenak, Shameera mohon pamit untuk memasuki kamar. Dia harus meletakkan tas kerjanya lalu bergabung bersama dua keluarga yang selalu membahas masa lalu mereka. Malam ini Panji hadir dan terlihat santai dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku. Laki-laki itu mohon izin untuk duduk di ruang tengah dan membalas email mengenai pekerjaan. Shameera memutuskan 16 Shameera menemani Panji sementara laki-laki itu sibuk dengan ponselnya. “Malam ini kamu keliatan capek. Apa enggak sebaiknya kamu mengambil cuti dan berlibur?" Shameera menoleh kaget saat Panji menemukannya sedang melamun. Lelaki itu tersenyum tipis dan memperhatikan Shameera yang hampir tenggelam di ujung sofa karena terlalu lelah bersandar. Aku memang capek. Menyibukkan diri hingga dapat tidur dengan nyenyak. “Ada beberapa pekerjaan yang harus dituntaskan sebelum libur panjang.” Panji meletakkan ponselnya di saku dan bersandar sambil mengamati Shameera. Perempuan itu terlihat menyiksa diri. Ada bayangan hitam di bawah matanya, tubuhnya terlihat ringkih dan seolah remuk jika disentuh. “Apakah kamu bersedia menjadi bagian dari keluargaku jika kami datang kembali untuk melamar?” 17 Fadillah Puteri Shameera memejamkan mata sesaat dan menatap Panji dengan sorot lelah. “Apakah aku memiliki pilihan?” “Tentu saja. Keluarga kita tidak akan memaksa perjodohan ini jika kamu keberatan.” Shameera terdiam selama sepuluh menit hingga seruan makan malam pun terdengar. Kedua keluarga makan malam dalam keakraban dan kembali ke ruang tengah untuk mengobrol usai makan malam. Dua jam kemudian, keluarga Aradhana pamit dan Shameera masih betah di ujung ruangan bersama orang tuanya. Mengobrol santai hingga issue perjodohan itu kembali dibahas. “Meera, bagaimana pendapatmu jika kami menjodohkanmu dengan Panji? Apa kamu keberatan?” tanya Rani sambil meraih jemari putri tunggalnya dan menepuk punggung tangan Shameera dengan lembut. 18 Shameera Pertanyaan itu membuat tubuh Shameera kebas. Dia ingin sekali menolak namun ia tidak mau dicap sebagai anak yang tidak berbakti pada orang tua. Dengan suara lemah, Shameera meminta waktu tidak terbatas untuk menjawab. Dia yakin orang tuanya tidak akan memaksa perjodohan ini jika saja ia memiliki kekasih. Tentu saja ada pertimbangan dari orang tuanya dan ketiadaan kekasih membuat peluang perjodohan itu semakin terbuka lebar. Pasangan Mahendra memberikan putrinya waktu sebanyak yang ia mau dan memintanya untuk beristirahat. Shameera memasuki kamar lalu berbaring nyalang, dan belum dapat memejamkan mata hingga tengah malam. Terlalu banyak pertimbangan yang memasuki kepalanya hingga penuh. Keluarganya teramat menyayanginya hingga tidak mau memaksakan kehendak mereka. Shameera beruntung memiliki orang tua yang penyayang. Saat Shameera berusia empat tahun, orang tuanya berkali-kali gagal menambah momongan setelah 19 Fadillah Puteri sang adik yang berusia dua bulan meninggal dunia karena panas tinggi. Keduanya pun tidak lagi berniat menambah momongan dan mencurahkan kasih sayang yang berlimpah pada putri tunggal mereka. Dia berharap dapat membahagiakan orang tuanya meski tidak melalui perjodohan itu. Shameera merapihkan kemeja lengan panjangnya yang terdapat logo perusahaan Migas yang menaunginya selama empat tahun terakhir. Saat ini ia berada di booth perusahaan yang tengah mengikuti terselenggaranya Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition di Jakarta Convention Center. Ditemani oleh beberapa rekan dan tiga orang Manager dari tiga divisi, 20 Shameera Shameera bertugas memberikan beberapa informasi bagi para pengunjung. Menjelang berakhirnya acara di hari kedua, Shameera pamit ke toilet dan langkahnya terhenti ketika ia kembali ke booth-nya. Laki-laki yang hampir setahun belakangan menghindarinya, kini tengah berada bersama Hani. Keduanya terlihat akrab dan saling membalas senyum. Lelaki itu tengah mendengarkan beberapa informasi yang dituturkan oleh Hani yang malam ini terlihat tertarik oleh keberadaannya. Meski Shameera berusaha melangkah pelan untuk tidak terlihat saat memasuki booth, toh rekannya itu memanggilnya supaya mendekat. Laki-laki itu tersenyum canggung saat Hani memperkenalkan mereka berdua. Shameera hanya berharap, laki-laki yang kini ia ketahui bernama Kevin, tidak lagi merasa risih padanya meski mereka telah berkenalan. Setelah berbincang sedikit, Shameera memisahkan diri dan menuju kursi di pojok ruangan. 21 Fadillah Puteri Beristirahat sejenak sebelum pulang dan melepaskan heels-nya. Hani dan Kevin terlibat obrolan seru sementara Shameera berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Dia tidak mau mengganggu keduanya dan ia tidak merasa harus ikut bergabung dengan mereka. Kevin melirik sekilas ke arah Shameera saat Hani menerima telepon. Perempuan itu terlihat lelah dan memijat tumitnya yang pegal. Meski_ keinginan terbesarnya ingin sekali membicarakan sesuatu yang penting, dia tahu bahwa itu mustahil. Tidak seharusnya ia masih mengharapkan perempuan itu dan membiarkan dirinya tersiksa. Ahh, sudahlah. Kevin meletakkan kartu nama bisnisnya dan mendekati Shameera yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Kini lelaki itu dapat melihat pendar coklat milik Shameera yang seolah menghipnotisnya saat perempuan itu mendongak. 22 Shameero “Ada yang bisa aku bantu?” Kevin mengulas senyum tipis dan menunduk ke arah ponselnya yang berada di genggaman. Dia ingin sekali mendapat nomor ponsel Shameera, namun ia ragu. Apakah itu adalah suatu hal baik yang harus ia lakukan? Sebelum Kevin sempat menanyakan apakah ia boleh mengetahui nomor ponsel Shameera, Hani mendekat dan berbicara dengan gusar bahwa kekasihnya masuk Rumah Sakit dan tidak bisa datang menjemput. “Vin, boleh aku minta sesuatu padamu? Tolong antarkan Shameera pulang sementara aku pinjam mobilnya untuk ke Rumah Sakit.” Permintaan Hani itu’ mengesankan bahwa perempuan itu seolah mengenal Kevin dengan baik. Padahal mereka baru kenal dan Shameera hanya menggeleng samar pada Hani. Shameera dan Kevin saling berpandangan dan tidak tahu harus merespon apa. Meski kantor mereka di gedung 23 Fadillah Puteri yang sama, bukan berarti Hani bisa meminta bantuan seperti itu pada orang yang tidak mereka kenal dengan baik. “Aku bisa pesen taksi online, Han.” Hani mendebat rekannya itu dan nyaris memohon pada Kevin untuk mengantarnya pulang. “Enggak masalah. Aku bisa mengantarnya pulang, Han, kamu enggak usah khawatir.” Hani tersenyum lebar sambil menadahkan tangan meminta kunci mobil Shameera. Dengan gerakan cepat, Hani meraih kunci mobil yang diserahkan Shameera dengan tak rela. Usai mengucapkan terima kasih, perempuan yang setahun lebih muda dari Shameera itu pun berlalu dan meninggalkan keheningan di antara mereka. Kevin berdiri canggung dan mengajak Shameera pulang dengan suara pelan. 24 Shameera “Aku bisa pulang sendiri dan aku enggak mau merepotkanmu, Vin.” “Enggak apa-apa dan ini sudah malam, sangat berbahaya jika kamu nekat pulang sendiri.” Kevin mengamati Shameera yang berubah kikuk dan bangkit dengan perlahan. Sebelum pulang, perempuan itu merapihkan beberapa brosur dan mematikan lampu booth. Melangkah pelan menuju pintu keluar sementara Kevin mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba Shameera menghentikan langkah dan menoleh ke arah Kevin yang tengah memperhatikan gerak-geriknya. Lelaki itu hanya tersenyum sembari mengarahkan Shameera menuju parkiran mobil. Meski keduanya tidak lagi saling melempar senyum hampir setahun belakangan, kini Shameera merasa lega karena dapat menikmati waktu berdua dengan Kevin. Tidak mengapa, toh aku pun tidak ingin terlalu berharap. 25 Fadillah Puteri Shameera memberi arahan menuju rumahnya saat Kevin melajukan SUV hitamnya yang bergerak cepat membelah jalanan yang mulai lengang. Perempuan itu berharap bahwa momen ini akan selalu ia ingat jika sedang berdiam diri di suatu tempat. Setelah Kevin menghentikan laju kendaraannya di depan pintu gerbang rumah orang tuanya, Shameera berdiam diri sejenak sebelum melepaskan belitan seatbelt. Lelaki itu berdeham sekali sebelum Shameera sempat bersuara. “A” “Terima kasih untuk tumpangannya, Kev,” potong Shameera sembari membuka pintu mobil. Kevin mengangguk cepat dan meraih lengan kanan Shameera lalu mohon maaf karena telah lancang. “Bolehkah aku meminta—nomormu?” 26 Shameera Meski terlihat manly, Kevin memiliki sifat pemalu yang tidak Shameera kira. Wajah lelaki itu seketika merona saat Shameera menatapnya intens. “Boleh aja asal aku tidak mengganggu hubunganmu dengan perempuan lain,” ucapnya dengan senyum terkulum. Shameera meraih ponselnya dan melakukan panggilan pada nomor Kevin. “Kita bisa berteman.” “Tentu aja.” Setelah mengangguk sekali, Shameera pun pamit. Ia yakin, laki-laki itu masih mengamatinya meski dirinya sudah memasuki rumah. Sial. Perempuan itu’ masih mampu_ membuat jantungku bertingkah. 27 Fadillah Puteri Part -2 Shameera merenggangkan kedua lengannya sambil bersandar di kursi. Mencoba melenturkan otot-otot kakunya yang ia paksa untuk bekerja hingga pukul delapan malam. Ibunya menelepon dan memintanya lekas pulang. Sebab, Rahayu, Neneknya yang tiba dari Semarang datang bersama Bagas, sepupunya yang kuliah di Kendari, Sulawesi Tenggara. Shameera meraih ponselnya dan memesan taksi online. Seharusnya Hani mengembalikan mobilnya, namun rekan kerjanya itu masih membutuhkan mobilnya untuk menjemput orang tuanya yang baru tiba dari Surabaya. 28 Shameera Angin malam pada musim kemarau terasa menggigit saat Shameera menunggu di lobby. Menanti taksi online yang ternyata terjebak macet di sepanjang jalan Sudirman menuju kantornya. Berkali-kali Shameera menolehkan kepalanya dan berharap bertemu seseorang yang dikenalnya lantas mengajaknya pulang bersama. Namun tidak ada satupun orang yang dikenalnya saat melewati lobby yang masih ramai pada Jum‘at malam ini. Ketiadaan kursi di lobby membuatnya harus melenturkan kakinya yang pegal hingga langkahnya terhenti di gerai coffee shop dan memesan hot latte. Sepuluh menit menunggu, sang driver mengabari telah terjadi kecelakaan tepat berada di jalur busway antara sedan dan pengendara motor. Dengan amat menyesal, driver tersebut meng-cancel pesanan dan Shameera kembali melakukan pencarian lagi. Sebelum mendapat driver, seseorang terduduk di depannya sambil meletakkan tas kerja yang terlihat berat. 29 Fadillah Puteri Shameera mendongak dan bertatapan dengan wajah lelah Kevin. “Maaf ganggu. Tapi enggak masalah kan kalau aku duduk disini?” Shameera mengedikkan bahu pelan. “Enggak masalah.” Kevin berdeham pelan dan mengamati Shameera yang fokus pada ponselnya. Mengabaikan Kevin meski pipinya bersemu merah. “Kamu sudah makan malam?” Hanya rona pipi yang merambati perempuan itu dan gelengan kepala. “Ke Luna Negra yuk?” ajaknya dengan senyum yang Shameera rindukan. Bangkitnya Shameera adalah tanda persetujuan perempuan itu yang membuat wajah Kevin sumringah. Keduanya melangkah beriringan menuju cafe tersebut dan Kevin mengambil meja yang menghadap sisi gedung. 30 Shameera Tempat yang cozy dengan latar Italian Restaurant, menambah suasana semakin romantis. Kevin memesan Pizza loyang kecil sedangkan Shameera memesan pasta Penne. Kevin membuka percakapan mengenai pekerjaan. Itu adalah topik aman sementara matanya melahap pemandangan di depannya dengan terpesona. Binar iris coklat Shameera seolah menghipnotisnya. Suara merdu perempuan itu membuatnya melamunkan hal yang tidak-tidak. “Bagaimana dengan tender perusahaanku?” tanya Kevin sambil lalu. Kening Shameera berkerut dan mengerti arti perbincangan panjang mengenai open bit tender. Seharusnya Kevin tidak boleh menanyakan hal itu padanya sebab ada peraturan yang melarang terkait tender yang dibicarakan selain pada acara tender tersebut di gelar. “Kamu bisa datang lusa dan bertemu Sarah, bagian Procurement,” tandas Shameera sambil menggulung pastanya dengan sumpit. 31 Fadillah Puteri Senyum miring Kevin tercipta dan laki-laki itu menatap lekat Shameera yang wajahnya polos tanpa make up. “Aku tahu. Aku hanya menggodamu.” Rona pipi Shameera semakin terlihat memerah dan ia baru saja sadar jika laki-laki itu memang menggodanya. Semenit kemudian, Kevin mengajak Shameera berdebat mengenai pandangan politiknya. Tentang pilihan pemerintah yang mengatur subsidi bagi masyarakat dan hal-hal yang malas Shameera dengar. Mengetahui bahwa perempuan itu tidak berminat pada politik, kemudian pembicaraan Kevin menyasar pada kehidupan kampusnya dulu. Lelaki itu bercerita tentang dirinya yang aktif di mapa dan ia juga menyimak tentang Shameera yang juga aktif di bakti sosial. Keduanya terlibat pembicaraan nostalgia hingga suara dering ponsel Shameera pun terdengar. “lya Mas?” “Kamu dimana, Dek?” 32 Shameera “Aku lagi makan malam, Mas, nemenin temen kerja. Sebentar lagi aku pulang kok.” “Oke, hati-hati dijalan ya!” Shameera menatap Kevin sebelum menjawab, “Iya.” Dengan gerakan cepat perempuan itu menandaskan makanannya dan menyingkirkan piring ke sebelah kanan. “Maaf, Vin. Aku harus segera pulang.” Kevin mengangguk dan memanggil pelayan untuk membawakannya bill. Usai membayar, Kevin meminta Shameera mengikutinya hingga parkir mobil yang berada di lantai empat. “Maaf sudah menahanmu malam ini.” “Enggak apa-apa, thanks untuk makan malam dan— “Jemputannya,” tukas Kevin sambil mengerling nakal. 33 Fadillah Puteri Shameera hanya mengangguk, tersipu seperti gadis remaja dan Kevin senang sekali menggodanya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Shameera, Kevin menyalakan radio yang sesuai dengan suasana menjelang akhir pekan. Keduanya menikmati lantunan lagu nostalgia era tahun 90an sambil melantunan beberapa bait. Kevin melambatkan laju SUV-nya di depan minimart sesuai permintaan Shameera. “Aku turun disini ya, Vin. Ada yang harus kubeli.” “Kutunggu ya.” “Enggak usah, sudah deket rumah kok.” Kevin pun akhirnya paham. “Baiklah, sampai ketemu—bulan depan.” Shameera menghentikan tangannya yang berusaha melepaskan seatbelt. “Ada tugas keluar kota, Vin?” 34 Shameera Kevin mengangguk pelan dengan wajah yang berubah sendu. “Setelah seminggu di Semarang, aku pulang ke Bandung. Ada acara keluarga.” Lelaki itu berdeham pelan dan berusaha untuk rileks meski tubuhnya menegang tak nyaman. “Baiklah. Thanks untuk jemputannya ya.” Kevin tersenyum lebar yang Shameera yakin tidak mencapai iris hitamnya. Lelaki itu pun pamit sambil melambai dan Shameera memperhatikan SUV Kevin hingga menghilang di tikungan menuju jalan besar. Usai berbelanja kebutuhan bulanan periodnya, Shameera pun pulang dan melihat Radit dan Bagas tengah menunggunya di teras depan. “Hai, pemuda tengil! Gimana kuliahnya?” sambut Shameera pada Bagas yang langsung memeluknya akrab. “Menyenangkan, meski kadang ngerasa home sick.” Shameera mencibir dan pamit untuk masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri. Malam itu keluarga 35 Fadillah Puteri Mahendra menghabiskan malam di ruang keluarga. Sang nenek yang penyayang selalu mengingatkan Shameera untuk segera berumah tangga. Perbincangan mengenai issue seputar perjodohan pun sempat dibahas namun tidak sampai jauh hingga Shameera lega bukan main. Bagas menggoda sepupunya itu hingga Shameera kesal dan melemparkan bantal sofa pada laki-laki muda yang selisih usianya hanya tiga tahun itu. Ketika berada di dalam kamar saat malam semakin larut, Shameera mengingat kembali perubahan raut wajah Kevin yang mendadak sendu. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu saat menatapnya. Apakah Kevin merasa menyesal telah mengenalnya ataukah ada alasan lain selain statusnya? Entahlah. 36 Shameera Dua minggu kemudian... “Meera!” pekik Ratih saat Shameera sedang berkutat pada mesin fotocopy. “ya” “Ada paket nih.” Shameera menoleh dan meminta rekan kerjanya itu meletakkan paket tersebut di meja kerjanya. “Thanks ya!” “Ada satu paket yang belum di ambil dari minggu lalu nih.” “Oke. Thanks, Ra.” Sepuluh menit kemudian, Shameera kembali ke meja kerjanya dengan setumpuk lembaran fotocopy. Melihat sekilas dua paket dengan warna plastik ekspedisi yang berbeda. Mejanya pun seketika menjadi penuh. Dengan gerakan cepat, Shameera membuka paket yang berada di atas. Memeriksanya sebentar lalu meraih ponsel 37 Fadillah Puteri untuk mengkonfirmasi penerimaan barang. Dia pun melirik sekilas paket kedua yang terlihat seperti kartu undangan dan menumpuknya dengan paket pertama yang berisikan sebuah clutch bag lalu memasukkan kedua barang itu ke dalam drawer paling bawah. Telepon ekstensionnya berbunyi dan dia segera meninggalkan meja untuk menuju ruang Head divisinya. “Semua akomodasimu sudah lengkap, Meer?” “Sudah, Bu. Saya berangkat usai makan siang.” “Baiklah. Jangan lupa bawa coverall ya, Meer.” “Baik, Bu. Sudah saya siapkan.” “Kita enggak bisa berangkat bareng, saya ada meeting di Board Meeting Room jam dua nanti.” Shameera mengangguk pelan dan mendengarkan beberapa arahan yang harus dia lakukan setelah tiba di Riau. Setelah keluar dari ruangan Head Divisinya, 38 Shameera Shameera mulai merapihkan beberapa dokumen penting yang akan ia bawa nanti. “Makan yuk!” ajak Ratih yang kepalanya menyembul di atas cubicle Shameera. “Bentar lagi selesai nih, tunggu ya! Hani mana?” “Belum balik dari SKK Migas.” Shameera merapihkan mejanya dengan cepat supaya Ratih tidak menunggu lama. Selama mengantri di foodcourt, Shameera mencari sosok Kevin yang tak nampak dimana pun. Dia hanya menghela napas pelan dan mengikuti langkah Ratih menempati meja kosong. “Gimana kabar Shafa dan Yasmine, Meer? Kangen banget deh, pengen ketemu tapi sekarang Shafa susah diajak ketemuan.” “Dua-duanya sehat. Yasmine bikin Shafa enggak bisa istirahat, aktif banget. Sejak Resign, Shafa jadi sibuk.” 39 Fadillah Puteri “Kamu kapan nyusul, Meera? Kami sahabatmu sudah memiliki anak dan pasangan, sekarang giliranmu menyusul jejak kami.” Suapan Shameera pada Soto-nya berhenti di udara dan ia mengalihkan tatapan dari Ratih yang intens. Perempuan yang lebih muda dua tahun itu kembali memakan makanannya dan menandaskannya dengan cepat. “Akhir-akhir ini kamu sibuk banget dan jarang curhat ke aku. Ada apa, Meer?” Shameera tahu bahwa ia tidak bisa berdiam diri dan menyimpan segala keresahaannya sendiri. Maka ia pun menceritakan tentang Kevin. Laki-laki yang selalu menempati hati dan pikirannya selama ini. Shameera pun bercerita tentang keluarganya yang berusaha menjodohkannya dengan Panji. “Kevin kerja dimana, Meer?” 40 Shameera “Dia kerja di gedung ini, tepatnya di lantai dua puluh empat.” “Karyawan PT. Bangun Persada?” “Yap. Dan perusahaannya ikut lelang tender kita.” Ratih menyingkirkan piring bekas makannya dan bersandar di kursi. “Lalu, Panji gimana?” Shameera menggeleng sedih. “Andai aja kesalahpahaman dulu enggak pernah ada, aku—“ “Seharusnya kalian membicarakan ini sejak lama, bukannya menunda-nunda. Kenapa kamu enggak bilang sama dia kalau kamu masih single?” Shameera terdiam, menatap Ratih muram. “Kamu gengsi ya?” Ratih berdecak gemas. “Sekarang sudah enggak jaman laki-laki harus memulai langkah lebih dulu. Seharusnya kamu juga inisiatif dan sedikit agresif, Sayang.” 41 Fadillah Puteri Shameera mengerucutkan bibir. “Aku kan enggak begitu.” “lya aku tahu. Terakhir ketemuan kenapa kamu enggak bilang tentang statusmu?” “Aku takut kalau dia sudah punya pasangan,” akunya dengan suara sedih. “Kamu enggak akan tahu kalau kamu enggak tanya, iya kan?” Shameera mengangguk sambil melirik jam tangannya. “Balik kantor yuk, aku mau ketemu sama Wahyu.” “Mau ngapain?” Ratih pun bangkit dan mengikuti langkah Shameera keluar foodcourt. “Ngambil laptop.” “Kenapa enggak disiapin dari pagi sih?” gerutu Ratih yang mendapat tawa kecil Shameera. “Aku sibuk.” 42 Shameera Cibiran Ratih membuat Shameera tertawa geli. Setidaknya, meski siang ini ia tidak bertemu dengan Kevin, ia bisa meringankan hatinya yang sedih dengan tertawa bersama Ratih. Keduanya berpisah setelah sampai di lantai dua puluh dua dan Shameera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa ke Riau. Dia dan Head divisinya akan melakukan kunjungan kerja selama tiga hari. Setelah kembali dari Riau, Shameera pun sudah mengajukan cuti selama seminggu ke depan untuk pergi ke Yogyakarta, mengunjungi Nenek dan menghadiri pernikahan teman masa kecilnya. Semoga akhir minggu ini berjalan dengan lancar. Shameera meletakkan koper kecilnya di lantai dan sebuah paperbag makanan ringan di meja pantry. Dia baru saja tiba dari Bandara usai kunjungan kerja di Riau. 43 Fadillah Puteri Seharusnya dia langsung pulang, namun ada dokumen penting yang harus ia simpan di kantor. Dan ia tidak mau menyimpannya di rumah. Seketika ruangan pantry penuh dengan rekan-rekan kerjanya yang menyicipi oleh-oleh yang ia bawa. Bolu Kemojo, Pancake Durian, Keripik Nanas dan Kerupuk Ikan Tenggiri. Setelah menerima ucapan terima kasih dari rekan-rekannya, Shameera kembali ke meja kerjanya. “Meera, kamu kapan berangkat ke Jogya?” Shameera menoleh dari tumpukan dokumen- dokumen yang menggunung yang sedang dirapihkannya dan melihat Kinan yang mendekatinya sambil mengunyah Bolu Kemojo. “Minggu malam.” Seketika Kinan berseru girang mendengar jawaban Shameera. “Ada apa?” 44 Shameera Kinan mendekatinya dan merangkul bahunya. “Temenin aku ke resepsinya Gita Sabtu malam ya? Cuma sebentar kok. Alex enggak bisa nemenin,” ucapnya dengan nada sedih di kalimat terakhir. Gita adalah sahabat Kinan sejak SMA dan Kinan sungkan jika datang sendiri ke acara pernikahan sahabatnya itu. “Alex lagi pulang kampung ya?” Kinan mengangguk sedih dan bergaya mengusap- usap matanya yang seolah sedang menangis. Shameera tersenyum menatap kelakuan Kinan yang lucu. “Iya, aku temenin, enggak usah lebay gitu. Jam berapa?” “Tujuh. Kita make up di rumahku ya!” “Jemput ya!” “Siap!” 45 Fadillah Puteri Setelah Kinan pergi, Shameera merampungkan tugasnya hingga dua jam kemudian. Dia merasa lelah, ingin pulang tepat waktu dan istirahat lebih cepat. Kinan mematut dirinya di cermin seukuran tubuh dan melirik Shameera yang malam ini mengenakan kebaya brokat berwarna salem. Perempuan mungil itu menatap Shameera dengan iri yang tidak mampu di sembunyikannya. “Kapan aku bisa punya body kayak kamu, Meer?” celetuknya sambil menatap Shameera tanpa kedip. Shameera hanya terkekeh. “Sering-sering lembur, Kin, dijamin deh, kamu enggak doyan makan.” Wajah cemberut Kinan membuat Shameera tertawa kecil. “Body- mu juga mantap kok, Kin. Mungil dan kamu juga cantik.” 46 Shameera Senyum perempuan mungil itu pun terbit. Sepuluh menit kemudian, keduanya berangkat menuju Hotel bintang empat yang berada di kawasan Kuningan. Kurang lebih tiga puluh menit berkendara, sedan metalik Kinan memasuki parkiran Hotel dan keduanya melangkah menuju ballroom yang sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Kinan menggandeng lengan Shameera erat menuju meja prasmanan yang terlihat sepi. “Makan dulu yuk, aku lapar nih!” “Memangnya tadi belum makan ya?” Kinan menggeleng sedih. “Antrian ke pelaminannya masih panjang, lebih baik kita makan dulu.” Shameera menghela napas pelan dan mengikuti Kinan yang mulai mengisi piringnya dengan snack. Keduanya mengambil celah di pojok ruangan dan memakan snack yang memenuhi piring mereka. “Meera, kamu disini?” 47 Fadillah Puteri Shameera menoleh dan mendapati Panji beserta kedua orang tuanya. Shameera menyapa pasangan Aradhana dan memperkenalkan Kinan pada Panji. “Aku nemenin Kinan, Mas. Mempelai perempuannya itu sahabat SMA-nya dia.” Panji mengangguk pelan sambil mengamati Shameera yang nampak cantik dalam balutan kebaya. Kedua orang tua Panji pamit pada Shameera untuk membaur dengan para tamu undangan sementara putra mereka menemani Shameera dan Kinan. “Mas kenal dengan mempelainya?” Panji mengangguk seraya tersenyum. Lelaki itu malam ini menggunakan setelan keluarga pengantin berwarna abu-abu dan terlihat menawan. “Mempelai laki- laki itu sepupuku, Meera.” Sekonyong-konyong Shameera menoleh ke arah pelaminan dan merasa degub jantungnya berhenti 48 Shameera mendadak. Dia seperti mengenali mempelai laki-laki meski melihat dari jauh ditempatnya berdiri. “Kin, kita harus kesana sebelum aku kekenyangan.” Kinan tersedak saat melihat wajah Shameera yang menurutnya berubah. Wajahnya sedikit pucat dan sedikit gelisah. “Oke, oke.” Kinan meletakkan piring snack-nya di meja yang tersedia dan kembali menghampiri Shameera yang masih ngobrol dengan Panji. “Kutemani ke sana ya, sekalian kenalan dengan sepupuku dan istrinya,” kata Panji yang dijawab anggukan kepala Shameera. Shameera yakin bahwa ia tidak mungkin salah mengenali seseorang yang dikenalnya. Antrian yang semakin dekat dengan kedua mempelai, membuat Shameera merasa dadanya sesak seolah kebaya yang dikenakannya menyempit. 49 Fadillah Puteri Berkali-kali Panji melirik Shameera yang nampak cantik di matanya. Andai saja perempuan di sebelahnya ini mau dipersunting olehnya, tentu ia akan dengan senang hati mempercepat pernikahannya. Kinan yang tepat berada di depan Shameera, berusaha menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Makanan ringan yang dimakannya seolah memenuhi perutnya dan ia kesulitan berjalan. Shameera meraih lengan Panji dan memeluknya erat, seolah ia kehilangan pijakan saat melihat dengan jelas wajah kedua mempelai dari dekat. Dengan tubuh yang mendadak kaku, Shameera berusaha tenang meski dadanya bergemuruh kecewa. Menahan diri untuk tidak menangis. Inikah_ rasanya saat dia melihatku dengan kesalahpahaman. Sakit sekali dada ini. Lelaki itu melihat barisan tamu undangan yang mengantri untuk memberikan selamat padanya. Dia melirik istrinya yang nampak bahagia dan selalu menebar 50 Shameera senyum. Dia pun selalu memasang senyum sepanjang hari ini. Senyumnya pun sirna saat melihat perempuan yang menggandeng sepupunya. “Hai, Vin. Kenalin, ini Shameera. Dia baru saja bersedia menikah denganku,” kata Panji dengan senyum lebar. Shameera dan Kevin saling berpandangan. Meski Shameera tersenyum saat mengucapkan kata ‘selamat berbahagia’ pada kedua mempelai, tatapan kecewanya terlihat jelas oleh Kevin. Ya Tuhan. Andai lantai ini dapat membuka di depan mataku, aku rela tenggelam di dalamnya. 51 Fadillah Puteri Part -3 Shameera tahu bahwa saat dirinya berkata siap dilamar oleh Panji adalah sebuah tindakan impulsif. Apalagi yang harus dilakukan saat mendapati sang lelaki impian telah bersanding dengan orang lain. Sekuat tenaga Shameera mencoba tersenyum dan bahagia di hadapan Panji dan kedua orang tuanya saat perempuan itu pamit pulang. Dia tahu bahwa keputusannya itu adalah sebuah tameng untuk menguatkan hatinya yang porak poranda. Setelah mengucapkan terima kasih pada Kinan yang telah mengantarnya pulang, Shameera mengurung diri di kamar. Mencoba untuk tidak menangisi kehidupan percintaannya yang menyedihkan. Ketika ia tengah 52 Shameera merapihkan isi koper kecilnya, ponselnya berdering. Nama sang pujaan hatinya tertera di layar ponsel dan ia hanya bisa menatapnya dengan mata yang memburam oleh air mata. Berkali-kali Kevin meneleponnya namun Shameera mengabaikannya hingga sebuah pesan meruntuhkan pertahanannya. Maafkan aku. Kesalahpahaman setahun yang lalu adalah kebodohanku. Andai saja dulu aku tidak menjadi pengecut, aku tidak akan menyerah semudah itu. Pernikahanku ini adalah keputusan keluargaku. Aku teramat menyayangi mereka dan aku pun menyayangimu hingga berubah menjadi cinta. Beberapa waktu yang lalu Panji pernah berkata bahwa ia menyukai perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya, dan tadi pun aku melihat bahwa dia menyayangimu dengan tulus. Kamu berhak bahagia bersamanya, Meera. Aku ikhlas. Aku pun menyayanginya karena dia adalah saudara sepupu terbaik yang pernah kumiliki. 53 Fadillah Puteri Shameera menenggelamkan wajahnya pada sebuah bantal dan menangis pilu. Dadanya sesak oleh himpitan benda berat yang tak kasat mata. Meratapi nasib cintanya yang kandas bahkan belum sempat berkembang. Sepanjang malam Shameera_ tidak dapat memejamkan mata. Berusaha untuk tidur namun air matanya kembali meleleh. Dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya tepat tengah malam. Gelisah dan was-was. Bergerak perlahan menuju dapur dan mengambil beberapa kotak es untuk mengompres wajah. Dia yakin, akan ada banyak pertanyaan yang diajukan saat orang tuanya melihat wajah dan matanya yang bengkak. Kembali melamun saat berada dalam kamarnya. Menyibak satu persatu kerumitan yang membelenggu kepalanya. Dia yakin, Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bagi dirinya. Takdirnya memang tidak untuk dimiliki oleh sang pujaan hati. Namun, kembali memikirkannya, membuat pertahanannya pun jebol. Shameera tidak sabar menanti hari esok. Dia akan memberikan hatinya ruang dan waktu untuk 54 Shameera berproses menyembuhkan. Seperti yang Kevin katakan, lelaki itu telah ikhlas melepasnya untuk sang saudara, namun, apa ia juga akan ikhlas saat tiba waktunya untuk dimiliki oleh laki-laki yang belum dapat ia cintai? Seminggu berada di Sleman, Shameera merasa hatinya tenang. Menguatkan diri untuk tidak bersedih dan itu teramat sulit. Hatinya sakit dan patah. Namun, ia berkeras untuk sembuh dan kembali melangkah menyongsong masa depan. Beberapa hari yang lalu Panji menelepon, mengabari bahwa ia akan memberikan waktu sebanyak yang ia inginkan untuk membahas rencana lamaran yang akan digelar. Apakah adil bagi Panji saat lelaki itu dijadikan sebagai seorang penyembuh luka hati? 55 Fadillah Puteri Shameera pun akan berpikir dua kali jika ia dijadikan pelarian seperti yang ia lakukan pada Panji. Jadi, aku harus bagaimana? Tetap tersenyum dan melangkah maju. Tinggalkan masa lalu dan raih kebahagiaan. Shameera harus bertanya pada Panji, apa yang ia rasakan terhadap dirinya. Apakah laki-laki itu murni tulus ikhlas dengan perjodohan yang kedua_keluarga rencanakan? Ataukah ia memiliki satu rasa terhadap Shameera? Dia harus memastikan hal itu setelah ia kembali ke Jakarta. Pagi sebelum siang nanti Shameera berangkat ke Jakarta, sang Nenek memasakkan menu Nasi Megono. Urap Nangka muda yang diberi bumbu dan kelapa muda, dilengkapi Tempe Mendoan yang masih panas. Shameera teringat dengan si Mbah Kakung yang telah tiada. Sebelum beliau meninggal dunia, Mbah 56 Shameera Kakung meminta Nenek yang memang asli daerah Pekalongan untuk dibuatkan Nasi Megono. “Kangen sama si Mbah Kakung ya, Nek?” Rahayu, yang kini berusia tujuh puluh dua tahun, tersenyum tipis pada cucu perempuannya yang tiba di rumahnya dengan hati yang muram. Beliau sempat merasa simpati, namun Shameera mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Memangnya dia itu siapa? Bisa mengelabui mata perempuan tua sepertiku? “Mbah Kakungmu itu, sudah enggak ada delapan tahun yang lalu. Dan selama itu, Nenek selalu kangen sama dia.” Shameera merangkul bahu ringkih Rahayu dan bersandar di sana. Menghela napas berkali-kali dan merasa haru oleh cinta Rahayu yang tidak pernah padam untuk sang almarhum. “Meera ingin memiliki jodoh 57 Fadillah Puteri hingga maut memisahkan seperti kisah Nenek dan Mbah Kakung.” Rahayu membelai helai rambut Shameera dengan sayang. “Itulah takdir. Tidak semua pernikahan harus berakhir seperti kisah kami, Meera. Puluhan tahun hidup bersama, tidak semua hal harus berjalan mulus. Banyak kerikil yang harus kami bersihkan di tiap langkah.” Shameera bermanja-manja dengan sang Nenek dan menikmati kehangatan yang saling mereka bagi. “Kami pun dijodohkan oleh dua keluarga, tanpa penjajakan terlebih dahulu seperti anak-anak muda jaman sekarang dan belum mengerti benar tentang arti mencintai. Kami menjalani pernikahan dengan baik dan memiliki anak-anak lalu cucu-cucu. Sayang dan cinta yang kami rasakan tumbuh seiring berjalannya waktu.” Shameera melepaskan tautan rangkulannya dan menatap sang Nenek dengan tatapan sendu. “Meera sudah memutuskan untuk menerima lamaran Mas Panji, Nek.” 58 Shameera Rahayu meraih jemari cucunya dan merangkumnya dengan kehangatan. “Keputusanmu sudah benar, Nduk. Nenek yakin, dia akan menyayangimu dengan tulus dan menjagamu.” Shameera memang butuh diyakinkan dan Rahayu yakin, Panji akan menjaga cucunya dengan baik. Menjelang siang, sang Nenek mengantar Shameera hingga pintu gerbang rumah karena Shameera berkeras. Dia tidak ingin merepotkan sang Nenek dan meminta beliau untuk tiba di Jakarta saat pernikahannya nanti. Dengan diantar supir, Sameera mengabarkan pada orang tuanya dan juga Panji bahwa ia sedang menuju bandara. Selama dalam perjalanan, Shameera merasa bahwa tujuannya datang ke Jogya adalah keputusan yang tepat. Selama di rumah sang Nenek, ia banyak berpikir dan mengikhlaskan diri. Menerima hal baik yang akan ia emban sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan juga sebagai seorang istri. 59 Fadillah Puteri Panji menunggunya di gate kedatangan dan melambai dengan antusias saat melihat Shameera melangkah. Senyum lelaki itu tidak pernah pudar selama keduanya memutuskan untuk rehat sejenak di sebuah cafe. Percakapan keduanya pun berkisar tentang liburan Shameera dan kabar sang Nenek. Panji menikmati obrolan ringan itu dengan dada yang membuncah bahagia melihat binar cantik calon istrinya. “Apakah aku lancang jika aku mengabarkan pada kedua orang tua kita bahwa kamu bersedia menjadi istriku?” Jantung Shameera hampir mencelus saat melihat tatapan sendu milik Panji. Lelaki itu menatapnya dengan hangat dan Shameera melihat tatapan senada milik pujaan hatinya. Lelaki ini memiliki perasaan terhadapku. Shameera menggeleng pelan lantas tersenyum. Dia bukan remaja labil yang mudah merubah keputusan meski keputusan impulsif sekalipun. Shameera adalah 60 Shameera seorang yang berprinsip teguh dan selalu memegang perkataannya dengan bijak. “Enggak. Mas boleh mengabarkan pada orang tua kita tentang kabar baik ini.” Shameera yakin, senyum dan binar indah milik Panji adalah kebahagiaan yang tidak ditutup-tutupinya. “Terima kasih, Meera. Kamu sudah bersedia menjadi calon istriku.” Panji menghentikan gerakan tangannya untuk meraih jemari Shameera. Perempuan itu sadar bahwa calon suaminya itu ingin ia merasakan kebahagiaan yang dirasakannya namun canggung. Shameera berinisiatif mengulurkan tangan dan memasukkan jemarinya ke dalam genggaman hangat tangan Panji. Laki-laki itu merangkum jemari Shameera dengan lembut dan dada yang berdebar-debar. “Aku sayang kamu, Meera. Entah sejak kapan,” ucap Panji dengan suara lirih. 61 Fadillah Puteri Semburat merah menodai pipi Shameera dan Panji mendapati dirinya semakin terjatuh. Jatuh cinta pada calon istri yang dipilih orang tuanya. Dua bulan kemudian... Shameera terharu. saat mendengar Panji mengucapkan akad nikah pada ayahnya yang disaksikan penghulu, saksi dan di hadapan tamu undangan. Lelaki yang kini berada di sisinya itu menoleh ke arahnya dan seulas senyum pun terbit di wajahnya yang rupawan. Lelaki itu telah sah menjadi suaminya. Shameera mencium punggung tangan Panji setelah lelaki itu menyematkan cincin pernikahan. Serangkaian doa untuk pengantin pun dilantunkan dan proses 62 Shameera penandatangan surat-surat legal segera dilaksanakan sebelum resepsi. Keduanya dibimbing untuk menuju ruang VIP untuk santap pagi sebelum resepsi siang nanti. Keluarga Mahendra dan Aradhana terlihat bahagia dengan pernikahan kedua anak mereka. Terlihat dari aura kebahagiaan yang menyelimuti wajah mereka. Percakapan yang tiada habisnya itu tertunda oleh waktu yang menunjukkan pukul sebelas siang. Resepsi pun digelar dengan adat Jawa modern dan lantunan suara merdu penyanyi profesional. Panji melirik istrinya yang kini telah mengenakan gaun pernikahan berwarna pastel peach berbahan brokat sederhana namun terlihat mewah dan indah. Hasil diskusi sang istri, ibunya dan sang designer itu membuat Panji nyaris terpana setiap saat. Senyum yang tidak pernah surut dalam pancaran mata sang suami membuat Shameera tertegun. Dia curiga pada Panji yang hanya mengaku sayang padanya. Mungkin lebih dari itu. Meski begitu, Shameera tetap merasa bahagia oleh rasa bahagia yang ditularkan oleh 63 Fadillah Puteri suaminya. Menjelang akhir resepsi, Kevin dan Gita hadir. Pasangan itu terlihat bahagia dengan pernikahan Shameera dan Panji, terlebih berita yang keduanya bawa ke hadapan kedua pengantin itu. “Mas Panji juga harus kasih kita selamat juga dong! Aku lagi isi nih, usianya sekitar dua mingguan,” seloroh Gita yang membuat jantung Shameera mencelus. Secepat itu? Shameera menatap senyum bahagia Gita dan raut wajah Kevin yang tersenyum. Benarkah kamu sudah melupakanku? Panji pun langsung memeluk Kevin dan mengucapkan selamat pada Gita. Shameera menatap kebahagiaan yang kedua pasangan itu sungguhkan dan merasa dadanya nyeri. Baiklah. Aku pun ingin bahagia seperti kalian. 64 Shameera Seuntai senyum yang menghiasi wajah Shameera membuat hatinya cemas. Ketakutannya pada kesedihan yang akan nampak namun tidak terwujud adalah kecemasan terbesarnya. Maafkan aku. Ini adalah langkah yang _benar. Bahagia dengan pasangan masing-masing. Ya Tuhan, andai saja aku mampu menghapus cinta ini lebih cepat dan tidak merasakan sakitnya. Kedua pasangan itu pun berlalu dan Shameera merasakan jemarinya di genggam oleh Panji dengan erat. “Semoga kita lekas diberi momongan seperti mereka,” bisik Panji dengan sudut bibir yang merekah sempurna. Senyum Shameera pun menular meski wajahnya merona. Kemudian dia menunduk malu lalu mengangguk pelan. “Aku sudah tidak sabar ingin memelukmu sepanjang malam,” ucap Panji dengan suara yang memberat. 65 Fadillah Puteri Shameera yakin, suatu saat nanti, ia akan dapat membalas rasa sayang dan cinta yang Panji rasakan untuknya. 66 Shameera Part -4 Shameera teramat gugup saat private dinner berakhir. Salah satu’ kerabat Panji menggoda kedua pengantin hingga Shameera merasa canggung dan cemas. Apa benar mereka akan melakukannya sepanjang malam? Panji menenangkannya dengan rangkuman jemari yang mengait. Istrinya yang cantik itu terlihat pias saat digoda mengenai malam pertama. “Tenanglah. Malam pertama dan kedua hanya simbol. Kamu enggak usah cemas dan tetap percaya padaku bahwa aku tidak akan sengaja menyakitimu. Kita akan punya banyak sekali malam-malam panjang yang akan kita nikmati bersama,” bisiknya pelan. 67 Fadillah Puteri Shameera hanya sanggup mengangguk pelan dan terkesiap saat suaminya meraih tubuhnya untuk digendong menuju kamar pengantin mereka. Malam ini Panji berjanji akan bersikap lembut dan gentlement. Dia pun gugup dan hanya mampu tersenyum sepanjang resepsi untuk mengurangi kegugupannya tentang malam pengantin. Panji telah menyiapkan paket bulan madu yang sempat ia rahasiakan pada sang istri. Shameera selalu membujuknya untuk diberitahu namun Panji keukeuh tutup mulut. Shameera takjub suaminya dapat membuka pintu kamar hotel dengan mudah dan cepat saat masih menggendong dirinya. Mengunci pintu kamar lalu kembali melangkah menuju satu-satunya ranjang putih besar dan terdapat beberapa kuntum bunga mawar putih yang berada di meja nakas. Panji menurunkan tubuh Shameera dan meminta izin untuk membukakan gaun pengantinnya. Shameera 68 Shameera hanya mengangguk dengan rona merah yang menjalari pipinya. “Kamu gugup?” Shameera mendongak menatap tatapan teduh Panji dengan degub jantung yang menggila. Dia mengangguk gugup hingga Panji tersenyum tipis. “Aku juga.” Juga? “Gugup seperti yang kamu _rasakan.” Panji menuntaskan pernyataannya dan bergerak ke belakang tubuh Shameera untuk membukakan ritsleting gaun. Panji berusaha menahan diri untuk tidak kagum menatap sosok yang terbalut kamisol putih di hadapannya. Tubuh tegang Shameera pun _ tidak membantu banyak. Perempuan itu terlalu gugup dan selalu menunduk. Setelah keluar dari gaun indah tersebut, Shameera_ bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Panji menyusul lima menit kemudian 69 Fadillah Puteri dengan kaos tipis dan celana boxer yang menggantung rendah di bawah pinggul. Meski keduanya tengah menyikat gigi bersisian, ketegangan itu belum surut. Dengan sedikit keberanian, Shameera menoleh dan mendapati tatapan intens Panji pada bibirnya. Shameera menelan saliva dengan sulit terlebih saat Panji menggandeng tangannya menuju kamar. Terhenti di tengah ruangan saat Panji menghentikan langkahnya. “Seperti yang kukatakan tadi, kita akan punya banyak sekali malam-malam panjang dalam pernikahan kita, tapi, aku ingin sekali—mencicipi bibirmu, Meera,” bisik Panji sambil merapatkan tubuh. Shameera menutup mata menerima kecupan- kecupan singkat Panji di bibirnya. Napas lembut Panji menerpa wajahnya hingga pipinya memanas. Panji sangat ingin merengkuh tubuh sang istri dan membawanya ke ranjang. Namun, kecanggungan 70

You might also like