Professional Documents
Culture Documents
4 PB PDF
4 PB PDF
Abstract
The prevalence of mental disorder is growing up every year and highly contributed on
global mental health burden. Yet the people who got professional treatment was below
average. There was a gap between the high prevalence of mental disorder cases and the
number of people who got the proper treatment. Some literature reviews showed that
patients with psychiatric symptom were found out in primary health care, but mostly the
case was not recognized by health workers due to lack of knowledge and skills on mental
health issues, as well as the fear of stigma by the patients. The delay on detection of mental
disorder onset will affect the prognosis of patient’s mental health. It is indicated the real
emergency on detecting mental disorder symptoms and delivering the initial psychological
intervention at primary health care level. This paper highlighted the high prevalence of
mental disorder cases in primary health care, evidence based psychological interventions
that have been used to treat the mental disorder cases in primary health care, as well as the
challenges and the opportunities of psychological intervention in primary health care from
some literature reviews.
Keywords: mental disorder, psychological intervention, primary health care
48 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER
mental secara global sangat tinggi, namun jumlah penduduk menjadi salah satu
jumlah individu yang mendapatkan penghambat akses layanan kesehatan
penanganan profesional kurang dari 10% di mental (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
negara-negara dengan pendapatan Usaha yang dilakukan untuk
menengah ke bawah (McBain et al., 2012). menjembatani kesenjangan penanganan
Tingginya angka beban tersebut salah yaitu dengan meningkatkan jumlah dan
satunya dikarenakan banyaknya individu mutu tenaga kesehatan mental profesional
tidak mendapatkan penanganan yang tepat di institusi pendidikan, integrasi pembia-
di layanan spesialis maupun layanan yaan pelayanan melalui asuransi kesehatan,
kesehatan secara umum (Kohn, Saxena, pemberdayaan masyarakat (Dinas
Levav, & Saraceno, 2004). Kesehatan DIY, 2015) dan integrasi layanan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) kesehatan mental di aras primer (Dinas
menunjukkan prevalensi gangguan jiwa Kesehatan DIY, 2015; Retnowati, 2011).
berat nasional sebesar 1,7 per mil, yang Mclnnis dan Merajver (2011) mengemu-
artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk kakan bahwa usaha lain untuk mengurangi
Indonesia mengalami gangguan jiwa. kesenjangan penanganan adalah dengan
Prevalensi penduduk yang mengalami melatih tenaga non-profesional berbasis
gangguan mental emosional secara nasional komunitas untuk mengenali dan mendapat-
pada tahun 2013 sebesar 6% (37.728 orang kan pengetahuan tentang kesehatan mental,
dari subjek yang dianalisis). Prevalensi serta berkolaborasi dengan para tenaga
tertinggi ada pada kelompok usia lebih dari pemberi bantuan informal di komunitas.
75 tahun dibandingkan kelompok usia Program kesehatan mental berbasis
lainnya, kelompok perempuan daripada komunitas yang telah dilakukan yaitu
laki-laki, dan kelompok tidak sekolah program Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) di
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Yogyakarta (Putri et al., 2013) dan di Aceh
Temuan tingginya prevalensi individu (Widiyani, 2013).
dengan gangguan mental, dan minimnya Beberapa alasan mengapa perlu ada
individu yang memeroleh perawatan layanan psikoterapi di layanan kesehatan
formal mengindikasikan adanya ‘treatment primer yaitu (a) suatu situasi di mana yang
gap’ (kesenjangan penanganan). Ke- hanya dapat memberikan penanganan
senjangan penanganan merujuk pada adalah intervensi non-farmakologi (misal
prevalensi gangguan mental yang terjadi seperti dissociative disorder); (b) ketika tidak
dan proporsi individu yang tertangani, atau teramati adanya gangguan psikiatris,
dengan kata lain persentase individu yang namun pasien menunjukkan kesehatan
memerlukan perawatan, namun tidak mental yang rendah (misalnya, harga diri
menerima penanganan. Hambatan eksternal yang rendah); (c) tekanan yang berkaitan
dapat menjadi salah satu penyebab dengan gejala fisik atau meningkatkan
tingginya kesenjangan penanganan. Hal ini keluhan fisik (misal tekanan yang menye-
dapat ditinjau dari akses yang meliputi area babkan asma kambuh/semakin memper-
geografis, transportasi, dan biaya ke buruk asma pasien); (d) ketika adanya efek
layanan kesehatan mental tidak terdistribusi samping dari obat psikotropika sehingga
secara merata (Harvey & Gumport, 2015). diperlukan intervensi dampingan (semisal,
Di Indonesia, standar yang belum memadai psikoterapi diperlukan untuk mengurangi
antara jumlah tenaga profesional kesehatan gejala depresi); (e) ketika ada kecende-
mental (psikolog dan psikiater) dengan rungan untuk menyakiti diri sendiri
Buletin Psikologi 49
NOVIANTY & RETNOWATI
pasien datang ke dokter umum dan mental, dan mengurangi stigma untuk
diagnosis yang aktual kemungkinan mempromosikan kesehatan mental pada
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu level masyarakat (Corrigan et al., 2014).
dokter umum yang memiliki waktu yang
terbatas untuk mewawancarai pasien, Intervensi Psikologi untuk Pasien dengan
pengetahuan yang belum memadai menge- Gangguan Mental
nai prosedur diagnosis, sering men-
Menurut Hanlon, Fekadu, dan Patel (2014),
“somatisasi”-kan gangguan-gangguan
salah satu kesenjangan penanganan global
mental, dan kurangnya empati pada pasien
yang terjadi adalah kenihilan terapi untuk
dengan gangguan psikiatrik. Sementara di
menangani gangguan mental, neurologis,
level pasien, adanya penolakan untuk
penggunaan obat-obatan (atau biasanya
mengkonsultasikan keadaan psikologis
disebut MNS Disorders: Mental, Neurological,
mereka akibat kekhawatiran dengan stigma.
and Substance Use), terutama yang berbasis
Adanya kesenjangan di kedua level ini
bukti empiris. Penanganan untuk MNS
menyebabkan simtom-simtom gangguan
disorders sulit dan terlalu kompleks untuk
psikologis di atas tidak tertangani dengan
ditangani, terutama pada setting yang keku-
tepat.
rangan sumber daya. Selain itu, sebagian
Stigmatisasi terhadap individu dengan besar masyarakat lebih memercayakan
gangguan kesehatan mental tidak hanya penanganan pada cara-cara tradisional,
terjadi di masyarakat umum, akan tetapi keagamaan ataupun budaya setempat yang
juga terjadi di kalangan profesional kese- masih kontroversial mengenai efektivitas-
hatan. Penelitian Corrigan, Mittal, Reaves, nya (Hanlon et al., 2014). Adapun yang
Haynes, Han, Morris, dan Sullivan (2014) termasuk dalam gangguan mental,
menunjukkan bahwa ada kecenderungan neurologis, dan penggunaan obat-obatan
dari profesional kesehatan (perawat dan yaitu depresi, gangguan penggunaan
dokter) yang memiliki stigma pada pasien alkohol dan obat-obatan, bunuh diri dan
dengan gangguan mental mempunyai perilaku menyakiti diri sendiri, psikosis,
persepsi bahwa pasien tersebut tidak akan gangguan bipolar, epilepsi, dementia, dan
patuh dengan pengobatan mereka, dan gangguan perkembangan dan perilaku
persepsi ketidakpatuhan ini nantinya akan anak-anak. Hanlon et al. (2014) memberikan
berdampak pada keputusan layanan kese- gambaran mengenai prinsip-prinsip sebuah
hatan yang mereka berikan (merujuk pada intervensi bahwa penggunaan intervensi
spesialis atau memberikan obat medis). terhadap kriteria gangguan mental apapun
Ditemukan pula bahwa latar disiplin seharusnya memerhatikan efektivitas,
ilmu dari tenaga profesional kesehatan kemungkinan untuk diimplementasikan,
tersebut juga memengaruhi kenyamanan keadilan, berterima secara sosial dan
dan pengenalan mereka terhadap gangguan budaya, dan dapat terjangkau. Di bawah ini
kesehatan mental. Implikasi penelitian ini merupakan salah satu intervensi yaitu
bahwa pengetahuan mengenai kesehatan intervensi psikologis yang digunakan untuk
mental perlu diberikan pada profesional menangani MNS disorders secara umum
kesehatan lainnya di layanan kesehatan yang ditulis oleh Hanlon et al. (2014).
primer sehingga mereka lebih dapat
menerima pasien dengan gangguan mental, First-Line Psychological Interventions
mengerti bagaimana mengambil keputusan Intervensi psikologis ini dapat diberikan
akan penanganan orang dengan gangguan oleh non-spesialis dengan minimal memiliki
Buletin Psikologi 51
NOVIANTY & RETNOWATI
Buletin Psikologi 55
NOVIANTY & RETNOWATI
Tabel 1
Perbedaan-perbedaan antara psikoterapi di layanan primer dan setting yang lain
Setting Psikoterapi
Komponen
Secondary/Tertiary Care Primary Care
Model Restrukturisasi, re-edukasi Suportif, Problem Solving
Sesi Beragam 1 atau 2
Durasi Sesi 40-45 menit 22-25 menit
Jadwal Kunjungan Reguler Sesi terencanakan Tidak selalu harus
direncanakan
Formulasi Kasus Berorientasi pada “insight” Berorientasi pada problem-
coping
Model Pendekatan Psikodinamika, Kognitif, Perilaku
Bermain, Keluarga
Fokus pada Di sini dan Saat in Orientasi ‘insight’ masa lalu Gejala di sini dan saat ini
Membuat Koneksi Dianjurkan Dianjurkan
Mendorong Aktivitas Pasien Dianjurkan Dianjurkan
Memanipulasi Lingkungan Jarang dilakukan Sering dilakukan
Landasan Terapi Psikopatologi Kesehatan
Hubungan Terapeutik Hubungan Terapeutik Teknik Terapeutik
Intensitas Tinggi Rendah
Kecocokan Pasien-Terapis Penting Tidak terlalu penting
Mendengarkan Empatik Sangat reflektif Sangat reflektif
Ekspektasi Harus dieksplorasi Tidak selalu dieksplorasi
Komunikasi Efektif Dianjurkan Dianjurkan
Proses Perubahan Didiskusikan Didiskusikan
Pengaturan batas Ditegakkan secara ketat Ditegakkan tidak secara ketat
Sumber: Russel, S., Russel, P. S., Kaur, M. S. D., Nair, M. K. C., & Darilin, D. (2012). Priority
mental health disorders of children and adolescents in primary-care pediatric settings in India 3:
Psychotherapy and other non-pharmacological interventions. Indian Journal of Pediatrics, 79(1),
p.S37.
56 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER
Penerapan Psikoterapi untuk Populasi Status lainnya untuk menanyakan keadaan emosi
Ekonomi Rendah pasien dikarenakan keterbatasan waktu,
ketidaktahuan tenaga profesional kesehatan
Kemiskinan dan diskriminasi dapat
lain mengenai jalur rujukan yang tepat bila
menyebabkan gangguan mental seperti
menemukan indikasi gangguan mental
depresi mayor (Krupnick & Melnikoff, 2012)
pada pasien; dan (c) Hambatan budaya/ ras/
dan meningkatnya angka bunuh diri
etnik seperti perbedaan bahasa, perbedaan
(Reifels, Bassilios, Nicholas, Fletcher, King,
ras/etnik terapis-pasien, kurangnya
Ewen, & Pirkis, 2015). Namun populasi
komunikasi dan pemahaman budaya,
tersebut justru jarang mendapatkan layanan
perbedaan status ekonomi, pengalaman
kesehatan mental yang disebabkan adanya
diskriminasi di masa lalu di layanan
beberapa hambatan yaitu; (a) Hambatan
kesehatan, dan adanya kepercayaan terten-
praktis seperti biaya, transportasi (biaya
tu bahwa gangguan mental disebabkan dari
yang dibutuhkan untuk tiba di tempat
garis keturunan keluarga (Krupnick &
terapi), waktu/ jam klinik terbatas (biasanya
Melnikoff, 2012; Mohr, Howard, Julian,
waktu layanan psikoterapi adalah hari kerja
Vella, Catledge, & Feldman, 2006). Harvey
di mana berbenturan dengan waktu kerja
dan Gumport (2015) menuliskan ringkasan
mereka), lokasi klinik yang jauh, dan kesu-
mengenai hambatan-hambatan yang dapat
litan untuk mencari pengasuhan anak
diubah dan kemungkinan solusi untuk
selama mereka dalam sesi terapi; (b)
penanganan psikologi berbasis bukti
Hambatan Psikologis seperti adanya stigma,
empiris untuk gangguan mental.
kurangnya tenaga profesional kesehatan
Tabel 2
Hambatan dan Solusi Alternatif Penanganan Psikologi Berbasis Bukti Empiris
Hambatan-Hambatan Solusi Alternatif
Level Pasien Masalah-masalah seperti transpor- Membangun dan menguji model
tasi, perawatan anak, perjanjian pada konseptual hambatan-hambatan
waktu dan tempat yang nyaman, pada level pasien untuk membantu
identifikasi terapis yang ahli, meng- riset khusus mengenai itu dan usaha
hadiri sesi-sesi tepat waktu, dan membangun penanganan yang tepat.
menghadapi stigma. Melanjutkan untuk menerjemahkan
Motivasi untuk menghadiri sesi-sesi penelitian pada motivasi ke dalam
dan mematuhi rekomendasi pena- intervensi.
nganan. Mengutamakan monitor luaran dan
Keyakinan bahwa penanganan tidak mempublikasikan data luaran ke pu-
membantu dan kurangnya kesadaran blik agar dapat diakses oleh pasien.
akan layanan psikologi berbasis Melanjutkan usaha untuk meningkat-
bukti empiris. kan akurasi dan kecepatan diagnosis.
Menerima diagnosis yang akurat.
Buletin Psikologi 57
NOVIANTY & RETNOWATI
Level Organisasi Skeptis bahwa penanganan baru Meningkatkan iklim organisasi dan
akan membantu. mengurangi tekanan untuk penyedia
Kurangnya dukungan administratif penanganan.
dan waktu staf. Membangun pendekatan yang
Lingkungan yang penuh tekanan. inovatif.
Level Menyediakan biaya untuk gangguan Para ahli layanan psikologi berbasis
Pemerintah mental dengan nilai yang sama bukti empiris terlibat dalam advokasi
dengan gangguan fisik. dan perkembangan kebijakan untuk
Struktur dan kebijakan perawatan memastikan layanan psikologi berba-
kesehatan. sis bukti empiris sebagai penanganan
Kurangnya penyedia layanan psiko- terdepan.
logi berbasis bukti empiris yang Lebih banyak dokumen mengenai
terlatih. efektivitas biaya jangka pendek dan
jangka panjang layanan psikologi
berbasis bukti empiris.
Sumber: Harvey, A. G., & Gumport, N. B. (2015). Evidence-based psychological treatments for mental
disorders: Modifiable barriers to access and possible solutions. Behaviour Research and Therapy, 68, p.3.
ditetapkan. Terapi ini dianggap cocok memilih terapis yang berbahasa sama
untuk wilayah yang sulit dijangkau karena dengan pasien.
keterbatasan transportasi dan stigma
terhadap layanan kesehatan mental masih Evaluasi Program
sangat tinggi. Sesi terdiri dari delapan kali
Salah satu komponen terpenting dari
pertemuan dan setiap sesi terdiri dari
sebuah evaluasi program adalah kepuasan
agenda dan edukasi khusus. Adapun pasien
pasien. Terdapat dua tipe harapan pada
yang drop-out dikarenakan adanya resistensi
pasien mengenai penanganan kesehatan
dan kesiapan pasien terhadap eksperimen
mental, yang pertama harapan mengenai
pikiran dan perilaku, terutama bagi mereka
hasil dari penanganan, yang kedua adalah
yang menghentikan pengobatan anti-
apakah penanganan sesuai dengan apa
depressant. Bahan yang diberikan pada
yang diharapkan pasien. Hundt, Armento,
pasien yaitu surat balikan secara personal,
Porter, Cully, Kunik, dan Stanley (2013)
koordinasi perawatan, self care plan, dan
meneliti tentang kepuasan pasien gangguan
supervisi klinis.
kecemasan menyeluruh yang diberikan
Sheldon, Waxmonsky, Meir, Morris, penanganan CBT dan penanganan biasa.
Finkekstein, Sosa, dan Brody (2014) Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan
mengembangkan The Telephonic Assessment, pasien gangguan kecemasan menyeluruh
Support, and Counseling Program (TACS) dengan penanganan CBT lebih tinggi
untuk pasien depresi di layanan kesehatan dibandingkan penanganan biasa dengan
primer. Di Amerika penanganan depresi menggunakan desain randomized controlled
banyak dilakukan oleh Primary Care trial (RCT).
Psychologist, dan rekognisi terhadap depresi
Kepuasan pasien berasosiasi dengan
pun semakin meningkat, hanya saja
kredibilitas penanganan, harapan akan
kepatuhan untuk minum obat anti-
penanganan, dukungan sosial, dan adanya
depressant sangat rendah. Target dari
perubahan dengan gejala depresi dan
program ini adalah warga di perkotaan
kecemasan pasien pada keseluruhan
yang berstatus ekonomi di bawah rata-rata
sampel, namun hanya kredibilitas pena-
dengan beragam populasi etnik. TASC
nganan dan kepatuhan pasien yang mem-
terdiri dari tim multidisiplin yaitu psikolog,
prediksi kepuasan pasien dalam kelompok
dokter umum, ahli farmasi, dan pekerja
CBT. Pasien dewasa yang memiliki keya-
sosial. Program ini menggunakan behavioral
kinan kuat akan tujuan dari penanganan
activation yang dinilai berbasis empiris dan
dan mengikuti rekomendasi terapis mela-
dapat diberikan dalam waktu singkat.
porkan kepuasan yang lebih besar pada saat
Adapun yang menjadi prosedur target yaitu
akhir penanganan. Kepatuhan menjadi
edukasi mengenai depresi, kepatuhan
mediator dalam hubungan antara kredibi-
pengobatan, dan strategi untuk mengajari
litas penanganan dan kepuasan pasien
pasien untuk memonitor suasana hati dan
dalam jangka waktu segera setelah pena-
kegiatan rutin mereka untuk meningkatkan
nganan dan tiga hingga enam bulan
aktivitas kesehatan mereka. Selain itu juga
kemudian (Hundt et al., 2013). Dengan kata
diberikan Motivational Interviewing untuk
lain penanganan yang memiliki pengaruh
meningkatkan kepatuhan minum obat dan
pada pasien akan memengaruhi persepsi
konseling depresi. Keuntungan dari pro-
pasien dan meningkatkan kepatuhannya
gram ini adalah mampu menjangkau area
untuk menjalankan rekomendasi terapis
geografis yang lebih luas dan juga dapat
Buletin Psikologi 59
NOVIANTY & RETNOWATI
Rathod, S., Kingdon, D., Smith, P., & stable long-term effects? A meta-
Turkington, D. (2005). Insight into analysis. Journal of Affective Disorders,
schizophrenia: The effects of cognitive 168, 107-118.
behavioural therapy on the components Tolin, D. F. (2010). Is cognitive behavioral
of insight and association with therapy more effective than other
sociodemographics-data on a therapies? A meta-analytic review.
previously published randomised Clinical Psychology Review, 30(6), 710-
controlled trial. Schizophrenia Research, 720.
74, 211-219.
Tursi, M. F. S., Baes, C. W., Camacho, F. R.
Reifels, L., Bassilios, B., Nicholas, A., B., Tofoli, S. M. C., & Juruena, M. F.
Fletcher, J., King, K. Ewen, S., & Pirkis, (2013). Effectiveness of psychoeducation
J. (2015). Improving access to primary for depression: A systematic review.
mental healthcare for indigenous Australian & New Zealand Journal of
Australians. Australian & New Zealand Psychiatry, 47(11),1019-1031.
Journal of Psychiatry, 49(2), 118-128.
Tutty, S., Ludman, E. J., & Simon, G. (2005).
Retnowati, S. (2011). Psikolog PUSKESMAS: Feasibility and acceptability of a tele-
Kebutuhan dan Tantangan bagi Profesi phone psychotherapy program for
Psikologi Klinis Indonesia. Pidato depressed adults treated in primary
Pengukuhan (tidak dipublikasikan). Yogya- care. General Hospital Psychiatry, 27, 400-
karta: Fakultas Psikologi UGM. 410.
Roca, M., Gili, M., Garcia-Garcia, M., Salva, Verdoux, H., Cortaredona, S., Dumesnil, H.,
J., Vives, M., Campayo, G., & Comas, A. Sebbah, K., & Veryer, P. (2014). Psycho-
(2009). Prevalence and comorbidity of therapy for depression in primary care:
common mental disorders in primary A panel survey of general practitioners’
care. Journal of Affective Disorders, 119, opinion and prescribing practice. Social
52-58. Psychiatry and Psychiatric Epidemiology,
Russel, S., Russel, P. S., Kaur, M. S. D., Nair, 49, 59-68.
M. K. C., & Darilin, D. (2012). Priority Widiyani, R. (2013, Juli 16). Pasien
mental health disorders of children and gangguan jiwa bisa dirawat di
adolescents in primary-care pediatric lingkungan masyarakat. Kompas.
settings in India 3: Psychotherapy and Diunduh dari
other non-pharmacological interven- http://health.kompas.com/read/2013/07/16/1
tions. Indian Journal of Pediatrics, 79(1), 047559/Pasien.Gangguan.Jiwa.Bisa.Dirawa
S33-S38. t.di.Lingkungan.Masyarakat.
Sheldon, C., Waxmonsky, J. A., Meir, R., Wolf, N. J., & Hopko, D. R. (2008).
Morris, C., Finkekstein, L., Sosa, M., & Psychosocial and pharmacological
Brody, D. (2014). Telephone assessment, interventions for depressed adults in
support, and counseling for depression primary care: A critical review. Clinical
in primary care medical clinics. Psychology Review, 28, 131-161.
Cognitive and Behavioral Practice, 21, 282-
World Health Organization. (2001). The
295.
world health report 2001 – mental health:
Steinert, C., Hofmann, M., Kruse, J., & New understanding, new hope. Geneva:
Leichsenring, F. (2014). Relapse rates WHO Library Cataloguing-in-
after psychotherapy for depression – Publication Data.
62 Buletin Psikologi