You are on page 1of 9
iL PERKEMBANGAN DELIK KHUSUS DALAM MASYA- RAKAT YANG MENGALAMI MODERNISASI *) Oleh Prof. Oemar Seno Adji, SH 1. a. Delik xausus diartikan dan mendapat pembicaraan di sini Tindak * ) Pidana yang terdapat dalam KUHP maupun di luar kodifikasi. Tidak dimasukkan dalam pembicaraan di/sini, adalah ”vermo- gensdelicten” dalam KUHP, sedangkan termasuk rang lingkup pembicaraan di sini adalah “delik-delik susila, delik Agama, delik terhadap keamanan Negara dan beberapa delik terhadap kekuasa- an umum. Undang-undang-Pemberantasan Kegiatan subversi, Tindak Pidana Ekonomi, Pemberantasan Korupsi disinggung dalam pembicaraan di sini, sedangkan tidak tercangkub dalam pembicaraan adalah Hukum Pidana Lalu Lintas. . Perkembangan delik khusus menghendaki suatu pendekatan le- gislatif, disamping pendekatan judisieel (judicial approach) de- ngan pula pandangan ilmu Hukum diikutkan dalam pembicaraan di sini. Maka, suatu “legliative approach”, "judicial approach” yang ber gandengan dengan ilmu Hukum, secara illustratif melampaui di hadapan review kita perkembangan dalam perundang-undangan, perkembangan yurisprudensi dan ilmu Hukum mengenai persoal- af-persoalan hukum pidana tersebut dansekaligus memperoyeksi- kan 3 sumber hukum, perundang-undangan, yurisprudensi dan ilmu Hukum. Perkembangan melalui Perundang-undangan — Kriminalisasi, de- kriminalisasi Depenalisasi. Delik Susila. Soal dekriminalisasi tidak relevant, apabila delik susila adalah suatu ketentuan universal, seperti al. apabila delik yang bersangkutan dilakukan atau diikuti oleh kekerasan, seperti perkosaan (“rape”) a.2. apabila orang terhadap siapa delik itu dilakukan adalah di bawah umur, a3. apabila delik yang bersangkutan itu dilakukan di muka umum secara terbuka (exhibitionisme) Ikhtisar ceramah yang disampaikan pada Simposium "'Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi”, yang herlangsung di Surabaya pada tanggal 25-27 Pebruari 1980 (diselenggarakan oleh BPHN dengan kerjasama FU-UNAIR). 12 hukum dan pembangunan a.4. apabila orang terhadap siapa delik dilakukan, itu dalam ke- adaan tak berdaya, pingsan dan sebagainya. a.5. terdapat suatu hubungan tertentu antara si pelaku dan obyek dari perbuatan pidana, misalnya seorang guru dan muridnya, seorang atasan terhadap bawahan, dokter dan penderita sakit, dan lain-lain. Juga diskriminalisasi tidak ”appropriate”, apabila terdapat hubu- ngan yang kuatantara hukum dan moral standards dan apabila soal private immorality” tidak menjadi persoalan. . Sebaliknya, apabila tidak terdapat hubungan yang kuat antara Hukum dan moral-standards, dan apabila terdapat pandangan, bahwa "private immorality” harus dijauhi dari tindakan pidana dan dimana ada suatu pembatasan dalam mengadakan perundang- undangan mengenai delik susila. Maka, adultery, overspel ataupun perzinahan itu dikeluarkan dari Hukum Pidana maka dekrimina- lisasi itu dapat menjadi “appropriate”. |. Dengan mengadakan kategorisasi Indonesia ke dalam negara dan masyarakat yang masih mengikatkan Hukum dengan "moral standards”, terdapatlah suatu divergensi dalam pandangan menge- nai dekriminalisasi dengan negara dan masyarakat, yang tidak melihat adanya hubungan kuat antara Hukum dan “moral standards”. . Tanpa mengadakan dekriminalisasi, maka akan terdapat diverigen- si pandangan mengenai unsur yang sama dalam peraturan pidana, yaitu “melanggar kesusilaan” ataupun “aanstotelijk voor de cerbaarheid” atau ”schennis der eerbaarheid” dalam masyarakat yang agak “permissive” sifatnya dengan masyarakat yang meme- gang teguh pada nilai-nilai Kesusilaan dalam kehidupan Hukum, Aspek Hukum Pidana dari permasalahan Kependudukan (di In- donesia khususnya) memperlihatkan adanya suatu perkembangan dan perobahan masyarakat terhadap abortus, yang hendak di- benarkan apabila abortus dilakukan berdasarkan indikasi medis, dan dipertunjukan alat-alat kontrasepsi, yang dipandang kurang sesuai dengan program nasional mengenai keluarga berencana. Maka, baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia telah diper- siapkan perencanaan Undang-undang mengenai abortus, yang hingga sekarang mengadakan justifikasi abortus, berdasarkan indi- kasi medi Belum disinggung pertimbangan-pertimbangan lain, seperti huma- niter, eugenic, sosial ekonomis dan lain-lain, yang dapat menglega- lisir abortus tersebut. . Ketentuan tentang ”incest”, ”Blutschand” belum terdapat dalam KUHP, sedangkan Hukum Adat mengenai “incest” sebagai suatu delik khusus 113 Jembaga Hukum yang terdapat di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, bukanlah dekriminalisasi ataupun depenalisasi yang diketengahkan, melainkan patut dipertimbangkan kriminalisasi incest dalam KUHP yang juga memidanakan perbuatan tersebut di atas, walaupun dilakukan incest tersebut antara orang-orang yang dewasa dan atas kehendaknya masing-masing. h. Diterapkan Hukum Adat Pidana sebagai Hukum tak tertulis — disamping Hukum Pidana yang terkodifikasikan — oleh Pengadil- an-pengadilan Umum, dibuka oleh perundang-undangan | (Un- dang-undang No. | tahun 1951, pasal 5), khususnya yang tidak memiliki equivalensinya dalam KUHP. Konfirmasi mengenai ber- lakunya Hukum Adat Pidana bagi Pengadilan-pengadilan digaris- - kan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung. 3, Delik Agama — ’’Godslastering”. a. Tercangkub dalam Delik-delik Agama adalah teratama pasal 156, 156 a KUHP yang diintrodusir sejak tahun 1965, disamping ke- tentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal 175-178 KUHP, dengan memidanakan mereka yang mengganggu pertemu- an dan upacara Agama, mentertawakan petugas-petugas Agama dan menghina benda-benda untuk keperluan ibadah sedangkan pasal-pasal 178-181 KUHP itu memuat delik-delik "Grabdelikte” dan ”Leichenfrevel”. b.1. Pasal 156 dan 156a KUHP menyatakan "golongan Agama” dan "’Agamanya sendiri sebagai obyek dari pernyataan menodai, menghina. Tidak tercangkub — secara gramatikal — oleh kedua pasal tersebut, apabila pernyataan ditujukan terhadap Nabi (se- bagai founder’ dari Agama), Kitab Suci, Pemuka Agama, Lembaga-lembaga keagamaan dan lainnya. b.2. Juga belum tercangkub di dalamnya apabila pernyataan itu mengotorkan Asma Tuhan dan belum terdapat Undang-un- dang mengenai “Godslastering”, ”Gotteslasterung”, yang dimiliki oleh beberapa negara. b.3. Sebelum perundang-undangan sekitar kedua pasal, pasal 156 dan 156a KUHP, dilengkap-sempurnakan dengan pemidana- an pernyataan yang ditujukan terhadap Nabi, Kitab Suci, Pemuka Agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan, maka dapat dipergunakan suatu konstruksi Hukum melalui penaf- siran, intgrpretasi, bahwa pernyataan terhaclap Nabi, Kitab Suci, Pemuka Agama dan lenibaga-lembags keagamaan se- cara essensial tidak Gupat dilepaskan dati golongan Agama dan Agamanya seadiri. Ja mengandung suatu ketentuan — deogan demikian’ - 114 hukum dan pembangunan bahwa pemyataan ataupun perbuatan menghina ataupun menodai terhadap Nabi, Kitab Suci, Pemuka Agama itu di- pandang ditujukan terhadap golongan dan Agamanya sen- diri dan karena itu dapat dipidanakan menurut kedua pasal tersebut. b.4. Perbuatan pidana dalam pasal 156 KUHP khususnya, yang merupakan unsur dalam "haatzaai-artikelen” perlu mendapat tinjauan kembali dan dibawa ke-struktur perundang-undang- an yang wajar. 4, Delik terhadap Keamanan Negara — Tidak Pidana Subversi. a. Delik terhadap Keamanan Negara, tercantum dalam Buku Il, Bab I dari KUHP khususnya, tidak mengadakan pemisahan sistematik antara pelanggaran-pelanggaran terhadap keamanan intern dan keamanan exter, terhadap “innere” dan "aussre Sicherheit” ’surete exterieur’’ dan ’’surete interieur”. Tidak diadakan suatu "onderscheiding” antara ’’Landesverrat” yang mengandung delik terhadap aussere Sicherheit”, delik-delik yang membahayakan keamanan exterieur dari Negara, dan Hochverrat” sebagai delik yang membahayakan keamanan intern dari Negara. b. Unifikasi Hukum Pidana pada tahun 1958, yang menetapkan ber- lakunya Undang-undang No. | tahun 1946 untuk seluruh Indo- nesia dan — dengan demikian — menghapuskan dualisme dalam Hukum Pidana sebelumnya, yalah dengan kata sederhana — ber- lakunya Wvs-I dalam daerah non-RI dahulu dan KUHP, yang berpusat pada Undang-undang No, | tahun 1946 dan yang ber- laku bagi daerah RI di Yogyakarta dan terdiri atas daerah RI— di Yogyakarta dan terdiri atas daerah RI Yogyakarta dan daerah- daerah/negara (bagian) yang menggabungkan diri pada daerah RI Yogyakarta dahulu. Undang-undang Pemberantasan Kegiatan Subversi. a. Dalam hubungannya déngan Delik-delik terhadap Keamanan Negara, sifat dari Undang-undang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang mengangkat Penpres No. 11 tahun 1965 sebagai Undang-undang, bersifat addisional Disamping itu, Undang-undang tersebut bersifat provisoris, temporer dan bahkan transitoir, dengan mengingat bahwa Undang-undang se- karang harus menyediakan tempat bagi Undang-undang yang akan datang. b. Sifat exsepsional masih terlihat pada periamusan yang sangat luas/ terbuka dan pada kewenangan yang ada pada Jaksa Agung untuk delik khusus 115 terus-menerus mengadakan satu tahun tanpa mengikut-sertakan Hakim dalam penahanan itu, c. Disamping penciptaan delik-delik baru, yang bersifat luas/terbuka itu, maka terdapat penyimpangan dalam Hukum Acara Pidana yang diperkenankan dalam perkara-perkara tertentu, segala sesuatu untuk mempercepat prosedura dan mempermudah pembuktian. d. Perumusan luas/terbuka itu menyerahkan kepada Hakim untuk mengisi dan mengembangkan lebih lanjut Hukum melalui yurispru- densi, sclama belum terbentuk Undamg-undang baru sebagai penggan- ti Undang-undang sekarang. Tindak Pedana Ekonomi - Tindak Pidana Korupsi. a. Stramin yang sama dalam Undang-undang Pemberantasan Kegiatan Subversi juga terlihat pada Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-undang Pemberantasan Korupsi, yang memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari Hukum Acara Pidana khususnya. b. Dalam Hukum Pidana sendiri kita melihat suatu gejala legislatif bara dengan- adanya kemungkinan pemidanaan terhadap suatu Badan Hukum, yang dapat menjadi Subyek Hukum dalam tindak pidana. Penyelesaian diluar proses dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi adalah suatu ketentuan yang menyimpang dari pasal 82 KUHP, didampingi oleh pidana dan tindakan tata-tertib baru yang tidak terdapat dalam KUHP. c. Penyimpangan-penyimpangan dalam Hukum Acara Pidana adalah antara lain Penyusunan surat tuduhan yang singkat. Dasar dan acara dalam pemeriksaan kasasi, yang antara lain meng- hapuskan “vormverzuim” sebagai dasar untuk membatalkan putusan yang dikasasikan, dan dalam acara banding diadakan pembatasan terhadap pengajuan tindak pidana ekonomi yang bersifat kejahatan. Penyimpangan dari ketentuan mengenai Rahasia Bank dalam Undang- undang Pemberantasan Korupsi, Shifting of the burden of proof” dalam Undang-undang Pemberan- tasan Korupsi yang belum sepenuhnya merupakan pembalikan beban/kewajiban pembuktian (’omkering van bewijslast”). Adanya Hakim-hakim Ekonomi, Jaksa Ekonomi yang seolah-olah- suatu Pengadilan khusus, Untuk kepentingan pemeriksaan dan pembuktian diciptakan ke- mungkinan bagi pejabat-pejabat tertentu yang wajib menyimpan rahasia untuk tidak memberikan keterangan kesaksian ("verschoning- srecht”). 5. Aspek-aspek Hukum Pidana dari Mass Media. a. Tindak Pidana yang berhubungan dengan pemyataan secara 116 hukum dan pembangunan lisan, tertulis maupun dengan isyarat (“gestures”) oleh Mass Media seperti Pers, Radio, TV, Film dan sebagainya merupakan aspek Hukum (Pidana) dari "wezen” dari Mass Media. Langkah jusitieel-repressif tersebut perlu menghadapi _restriksi, yang umumnya diperkenankan untuk kepentingan keamanan nasional dan ketertiban umum, larangan menyiarkan berita bo- hong, larangan mengadakan serangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang, soal-soal kesusilaan, hasutan-hasutan dan pernyataan menodai dan menghina terhadap Agama, Nabi dan delik-delik Agama lain. Disamping itu perlu dikemukakan persyaratan demokratis, di mana pernyataan tersebut baru dapat dipidanakan, jikalau di- kemukakan dimuka umum ataupun ditujukan terhadap orang banyak. b. Perbedaan dalam sifat, impact yang dibawakan dari pemyataan tertulis ataupun lisan membawa akibat-akibat Hukum dan per- lakuan Hukum yang berbeda pula terhadap penyataan Larangan sensor preventif dan semua langkah/tindakan preven- tif, yang tidak diperkenankan terhadap Pers, menempuh jalan yang berlainan dalam alat-alat Mass Media lainnya, seperti Film, Radio, TV dan lain-lain. c. Dalam delik-delik Pers terdapat suati: pergeseran dari mereka yang ikut serta dalam tindak pidana tersebut dimana pertang- gungan jawab pidana deri para peserta (kecuali penerbit dan pencetak) didasarkan atas ajaran kesalahan ("schuldleer”) dan penyertaan dahulu, sekarang menurut Undang-undang Pokok Pers diarahkan kepada suatu pertanggungan jawab fiktif dan per- tanggungan jawab "par cascade”. . Perkembangan Hukum melalui yurisprudensi - Kaitannya dengan Timu Hukum. Perkembangan Hukum melalui Perundang-undangan sebagai Sum- ber utama bukanlah pemegang monopoli dari pengembangan Hu- kum, yang dapat diwujudkan oleh yurisprudensi dalam systeem dimana kita berada dan ilmu Hukum. Dengan melakukan "rechtsvinding” dan memiliki arsenal senjata tafsiran, yang mengalami extensi dan introduksi metoda-metoda baru, maka tergambar suatu perkembangan-perkembangan Hukum dalam yurisprudensi khususnya, yang menggariskan pengertian- pengertian baru, mengisi kekosongan dalam perundang-undangan, yang tidak serasi lagi dengan perkembangan pendangan masyarakat, kadang-kadang menciptakan suatu "strafuitsluiting” yang tidak tertulis, dan méngikuti jejak buitenwettelijk sifatnya, dan lainnya, Kadang-kadang mengadakan suatu "rechts verfijning”, menciptakan metoda interpretasi yang belum kenal seblumnya (futuristise inter- pretasi). Cara demikian dilake\in untuk menserasikan dan "gelijke tred houden’’ dengan perkembangan masyarakat yang terus bergerak dan persediaan perundang-undangan yang kurang lengkap sampuma dan yang kurang "up to date” sifatnya. delik khusus 117 a. Dengan mengidentikkan pasal 27 BW dengan azas monogami yang terdapat dalam Undang-undang Pokok Perkawinan tahun 1974, maka seorang priya yang sudah kawin tidak termasuk golongan yang dikuasai oleh BW, dapat diajukan kepada Hakim Pidana, berdasarkan pasal 284 KUHP dengan perzinahannya, apabila perbuatan itu dilakukan sesudah mulai berlaku Undang- undang Pokok Perkawinan tersebut. Dimana dahulu ia dikeluarkan dari Mukum Pidana, apabila ia tidak diliputi oleh pasal 27 BW, maka sesudah Undang-undang Pokok Perkawinan dengan azas monogaminya dan dimana’ per- kawinan lainnya hanya diperkawinan oleh Pengfdilan (Agama) dengan syarat-syarat dan keadaan yang ditentukan oleh Undang- undang Pokok Perkawinan, orang tersebut dapat dihadapkan pada Hakim Pidana Maka, yurisprudensi dapat menghapuskan diskriminasi dalam sexe ataupun dalam golongan penduduk yang terdapat dalam pasal 284 KUHP. b. "Haatzaai - artikelen”’. Berdasarkan atas interpretasi "wetshistoris” dan "perbandingan Hukum”, maka yurisprudensi Mahkamah Agung pernah meng- gariskan yurisprudensi dan pengertian baru mengenai perbuatan pidana "mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau merendahkan”, baik ia ditujukan terhadap Pemerintah Indonesia maupun terhadap golongan penduduk dalam pasal 154 dan 156 KUHP - yang diartikan sebagai pernyataan pe- rasaan dalam bentuk penghinaan, Maka, kita lihat bahwa peng- hinaan - khususnya penghinaan formil (bentuk) dikebanyakan negara diterima sebagai suatu tindak pidana. ©. Menjalankan tugasnya dengan “sah (“rechtmatige uitoefening zijner_bediening” dalam pasal-pasal 212 KUHP dan 216 KUHP (kedua-duanya merupakan perlawanan aktif dan passif) oleh yurisprudensi dan ilmu Hukum — diperkembangkan secara in- terpretatif dalam hubungannya dengan tugas Kepolisian khusus- nya yang berhubungan dengan kebijaksanaannya “*preventif- politional”. Dapat digambarkan mengenai 2 teori "wetmatigheids-theorie” (yang memperkenankan tindakan Kepolisian hanya jika ada Un- dang-undang menjadi landasan) dan ”plichtmatigheid-theorie”” (yang menyatakan, bahwa Polisi itu bertindak secara wajar dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewajiban yang diminta dari padanya), Dalam hal terakhir terdapat tidak saja norma perundang-undangan ("wettelijke normen”), melainkan ”onge- schreven normen” dapat dijadikan landasan bagi tindakannya. Dalam melaksanakan tugasnya bahkan apabila ia didasarkan atas normanoma yang tidak tertulis, 2 azas yang patut dipegang teguh, yalah azas "subsidiaritis” dan azas ”proportionalitas”. Maka seorang pejabat Kepolisian yang tidak mengindahkan kedua 118 hukum dan pembangunan azas tersebut, adalah tidak dalam “rechtmatige uitoefening zijner bediening”, tidak menjalankan tugasnya dengan sah. Kekosongan yang ditimbulkan dalam perundang-undangan dapat diisi oleh Hakim dalam menggariskan yurisprudensi, dengan mengadakan suatu konstruksi Hukum pernah dikemukakan se- waktu mengidentikkan pengertian tentang golongan Agama, Aga- manya sendiri dengan Nabi, Kitab Suci, Pemuka Agama dan Lem- baga Keagamaan, yang — secara essensial — tidak dapat dipisah- kan dari ”golongannya’” dan Agama itu sendiri. la merupakan konstruksi Hukum yang mengambil ilmunya dari Iimu Hukum dan dapat disumbangkan kepada Perundang-undang- an kelak, apabila hendak mengatur tentang blasphemy”. . Melihat Undang-undang Pemberantasan Kegiatan Subyersi sebagai suatu perundang-undangan, yang addisional provisoris, temporer, bahkan transitoir sifatnya, yang hendak menyerahkan kepada Ha- kim suatu penafsiran Undang-undang yang luas/terbuka sifatnya itu, maka yurisprudensi pemah mengadakan suatu "rechtsverfij- ning”, penghalusan Hukum. Dikatakan, bahwa perkara subversi dikaitkan dengan politik, yang meliputi politik dalam bidang keuangan/perekonomian, kebuda- yaan lain-lain, mungkin dalam bentuk motif, tujuan, latar bela- kang dari pelaku yang mendorongnya untuk melakukan perbu- atan itu, Hal demikian perah dirumuskan oleh Mahkamah Agung (putusan tahun 1969, No. 89K/Kr/1968) yang mengkaitkan tuju- an, pertimbangan dan latar belakang politik, yang lebih dapat di- sinkhronkan dengan Penjelasan Umum dari Undang-undang terse- but, yang — antara lain — menyatakan, bahwa "Subversi selalu berhubungan dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik”. Disamping itu, dapat dipertimbangkan interpretasi-interpretasi futuristis, yang dalam perkara yang bersangkutan dapat diperguna- kan untuk melihat dalam proyeksinya perundang-undangan yang akan datang dengan melihat kelemahan-kelemahan perundang- undangan yang sekarang ada. f. Oleh yurisprudensi diciptakan pula ”strafuitsluitings-gronden”, yang “’buitenwettelijk” “auusergesetzlich” sifatnya dan — kare- nanya — merupakan suatu “strafuitsluitings-grond” yang tidak tertulis adanya. Dalam persoalan larangan abortus yang menurut perundang-un- dangan di Indonesia “rigid” sekali sifatnya tanpa mengadakan suatu kekecualian, maka oleh yurisprudensi dibenarkan adanya suatu kekecualian dan dengan mengakui justifikasi abortus tersebut berdasarkan atas indikasi medis. Pertimbangan-pertimbangan medis bahkan oleh yurisprudensi diartikan yang luas dengan memasukkan ke dalamnya segala delik khusus 119 sesuatu yang dapat mengganggu kesehatan, baik jasmaniah dan rokhaniah dari Ibunya. Indikasi lain, seperti humanitarian, eugenic, social-economic masih menjadi pertanyaan apakah ia dapat di- pandang sebagai indikasi medis. Perkembangan pandangan masyarakat yang tergambar pada suatu keinginan untuk mengadakan revisi perundang-undangan menge- nai abortus dengan mengakui pertimbangan-pertimbangan medis untuk membenarkan abortus tersebut, pada hakekatnya sudah “covered” sudah dibenarkan oleh yurisprudensi, Soal — kontra- sepsi yang agak sukar dapat “verstaan” dengan program nasional tentang Keluarga Berencana, hendak diatasi dengan pemakaian azas opportunitas oleh Jaksa Agung, sedangkan yurisprudensi se- betulnya dapat menyumbangkan yurisprudensinya mengenai "ma- tericle wedrrechtelifkheid” Sudah menjadi yurisprudensi konstan dari Mahkamah Agung tentang azas ”materiele wederrechtelijkheid”” yang sudah diakui. Yurisprudensi inilah yang dapat menciptakan "strafuitsluitings- grond” — baik ia merupakan suatu "’schulduitlsluitings-grond” (seperti ”avas, afwezig heid van alle schuld” dan yang tergambar dalam adagium Hukum ”Geen straf zonder schuld”), ataupun “rechtvaardingsgrond”, yang — khususnya dalam soal ”materiele wederrechtelijkheid’’ dapat menjelma dalam azas ’’Geen straf zonder wederrechtelijkheid”. Kesemuanya itu menunjukkan adanya kaitan yang erat, hubung- an timbal-balik antara perundang-undangan, yurisprudensi dan limu Hukum, yang merupakan sumber Hukum bagi karya-karya legislatif, judisieel dan ilmu Hukum, Sk. INDEPENDENT BEROPLAH TERBESAR DI INDONESIA BAGIAN TIMUR Lensa Utara PENGAWAL DAN PENGAMAL PANCA SILA & UUD 1945, ALAMAT : JLN. JEND. A. YANI 11 - TILP. 4564 MANADO.

You might also like