You are on page 1of 16
a7 'UANGAN KOTA.: Aspek Keuangan Kota (City Finance) juga merupakan bagian penting dalam analisis Ekonomi Wilayah dan Perkotaan karena analisisnya mencakup suatu kota tertentu yang berbeda dengan analisis keuangan negara (Public Finance) dan daerah secara umum. Hal ini terjadi karena kegiatan sosial ekonomi yang terdapat pada suatu kota pada umumnya didominasi oleh kegiatan industri perdagangan dan jasa, sedangkan daerah kabupaten umumnya masih dalam bentuk kegiatan pertanian dalam arti luas, baik tanaman pangan, perkebunan, peternakan perikanan, dan kehutanan. Karena itu, struktur dan permasalahan keuangan yang dihadapi sebuah kota, baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran, juga berbeda dibandingkan dengan negara dan daerah secara umumnya, Perbedaan struktur keuangan kota dengan keuangan nasional mulai terjadi sejak 2001 ketika Indonesia menerapkan prinsip desentralisasi fiskal sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Dalam hal ini, baik kota dan daerah (provinsi dan kabupaten) diberikan alokasi dana untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang lazim dikenal sebagai Dana Perimbangan (Equalization Fund) yang diberikan dalam bentuk Block Grant, Selanjutnya kota dan daerah diberikan kewenangan untuk menggunakan dana tersebut untuk mendorong proses pembangunan daerah melalui penyusunan dokumen rencana pembangunan (planning) dan pengangaran (budgeting). Bab ini membahas secara rinci berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan keuangan kota. Pembahasan dimulai dari analisis otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diikuti oleh struktur keuangan kota. Analisis dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam tentang unsur penerimaan daerah berikut. beberapa permasalahan 272 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan pokok yang dihadapi, Kemudian dilakukan pula pembahasan tentang pengeluaran dan belanja pemerintah kota baik untuk keperluan rutin maupun untuk mendorong proses pembangunan kota, njutnya bab ini juga membahas struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berikut peranannya dalam proses pembangunan kota. Akhitnya pembahasan ditutup dengan analisis tentang kebijakan publik yang lazim dilakukan dalam bidang keuangan daerah perkotaan. A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Sistem pemerintahan daerah yang semula bersifat sentralisasi, sekarang berubah menjadi otonomi (desentralisasi) di mana pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengurus pemerintahan dan mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini di- Takukan dalam rangka untuk lebih mendorong dan meningkatkan aktivitas pembangunan di seluruh daerah sesuai dengan potensi dan permasalahan daerah bersangkutan serta aspirasi serta keinginan masya- rakat setempat. Dalam bidang keuangan, pelaksanaan otonomi daerah didukung pula oleh prinsip desentralisasi fiskal sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tujuan utama penerbitan undang-undang ini adalah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan memberikan dukungan keuangan (finansial) dalam bentuk Dana Perimbangan sebagaimana disinggung terdahulu. Sejalan dengan hal tersebut daerah juga diberikan kewenangan untuk menambah sumber pendapatan asli daerahnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di samping itu, untuk daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yang cukup, pemerintah daerah bersangkutan juga diberikan kewenangan untuk melakukan pinjaman luar negeri untuk membiayai program dan kegiata pembangunan daerahnya yang pelaksanaan pinjaman tersebut dilakukan melalui pemerintah pusat yang lazim dikenal sebagai Penerusan Pinjaman (Subsidary Loan Agreement, SLA). Bab 14;Keuangan Kota 273 Dana perimbangan adalah dana berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pemerintah daerah dan kota pada setiap tahunnya. Dana tersebut terdiri atas tiga jenis, yaitu pertama adalah Dana Bagi Hasil (DBH) baik dari penerimaan pajak maupun penghasilan dan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat pada kota yang bersangkutan, seperti minyak, gas alam, batubara, dan ain-lainnya. Dana bagi hasil ini diberikan kepada daerah dalam rangka mewujudkan keadilan terhadap daerah penghasil yang memiliki objek pajak bersangkutan yaitu kegiatan usaha, baik pertanian, industri, per- dagangan dan_sumber daya alam bernilai tinggi. Dengan cara demikian daerah penghasil juga dapat menikmati hasil dari kegiatan ekonomi yang dilakukan pada daerah bersangkutan. Jenis dana perimbangan kedua adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah kota guna membiayai kepentingan pelaksanaan pemerintah secara umum seperti belanja pegawai, pembiayaan pelayanan publik, pemeliharaan infrastruktur, dan lain-lainnya. Undang-undang menetapkan bahwa jumlah DAU secara nasional ditetapkan paling kurang 25% dari nilai APBN pada tahun bersangkutan, Walapun nilai APBN tiap tahunnya selalu meningkat, akan tetapi dengan maraknya pemekaran daerah dalam 10 tahun terakhir maka jumlah DAU untuk masing-masing daerah tidak banyak mengalami perubahan, dan bahkan cenderung menurun untuk memenuhi dana perimbangan untuk daerah otonomi baru yang jumlahnya juga cukup banyak. Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan untuk menutup celah fiskal (fiscal gap) daerah bersangkutan. Celah fiskal adalah perbedaan antara Kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal adalah jumlah dana yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan dan mendorong proses pembangunan pada daerah bersangkutan, Sedangkan kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan yang dimiliki daerah bersangkutan, Bila celah fiskal ini besar, maka alokasi DAU untuk daerah bersangkutan juga akan besar dan demikian pula sebaliknya, Bahkan untuk daerah yang mempunyai DBH sangat besar karena memiliki minyak dan gas bumi atau kegiatan industri dan perdagangan pada daerah bersangkutan sudah berkembang baik, tidak akan memperoleh DAU sama sekali. t 274 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan Jenis dana perimbangan ketiga adalah Dana Alokasi Khusus (Dag) yang dialokasi oleh pemerintah pusat untuk membiayai program dy, kegiatan di dacrah yang termasuk dalam prioritas dan kepentingsn nasional, Karena itu arah penggunaan dana ini ditetapkan olep pemerintah pusat pada setiap tahunnya sesuai dengan Permasalahan dan tantangan yang dihadapi secara nasional. Di samping itu, berbedg dengan kedua jenis dana perimbangan terdahulu, pemanfaatan Dax memerlukan dana pendamping sebesar 10% yang harus disediakan oleh pemerintah daerah bersangkutan. B. Unsur Pendapatan Kota Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal struktur keuangan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dewasa ini terdapat 4 (empat) unsur utama penerimaan kota dan daerah yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tiga unsur yang terakhir adalah merupakan Dana Perimbangan yang diperoleh dari Pemerintah Pusat. Keempat unsur penerimaan ini merupakan sumber utama APBD daerah bersangkutan. PAD merupakan pendapatan yang dapat dipungut sendiri dan di- manfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan pada daerah bersangkutan. Komponen PAD tersebut mencakup unsur Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan lainnya yang sah. Termasuk dalam pajak daerah ini adalah Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain- lainnya yang dipungut sesuai ketentuan perundangan berlaku. Tetapi retribusi daerah hanya dapat dipungut bilamana daerah memberikan jas pelayanan tertentu kepada masyarakat, Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa mulai tahun 2010, pemerintah pusat telah menambah unsur penerimaan PAD denga" mendesentralisasikan penerimaan dari Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemerintah daerah setempat. Dengan cara demikian, maka sumber penerimaan Pemerintah Kota akan dapat lebih ditingkatkan untuk men dorong pelaksanaan pembangunan dan otonomi daerah. Bab 14:Keuangan Kota 275 Besar kecilnya PAD yang dapat diterima oleh suatu kota akan sangat ditentukan oleh dua hal yaitu potensi penerimaan dan tatif pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) setempat. Potensi PAD sangat ditentukan oleh perkembangan jumlah, ukuran dan kualitas objek pajak bersangkutan. Sedangkan tarif pajak ditentukan oleh pemerintah daerah setempat dengan memerhatikan perkembangan kebutuhan pem- bangunan dan kemampuan keuangan wajib paj kota bersangkutan. igan wajib pajak yang terdapat pada Memerhatikan jenis pajak yang merupakan sumber utama pe- nerimaan PAD tersebut, terlihat di sini bahwa besar kecilnya penerimaan PAD akan sangat ditentukan oleh perkembangan kegiatan perekonomian daerah bersangkutan. Di samping itu, terlihat pula bahwa daerah per- kotaan diperkirakan akan mempunyai potensi penerimaan PAD yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten karena jumlah hotel dan restoran, bangunan serta kendaraan bermotor secara relatif akan lebih banyak terdapat pada daerah perkotaan. Demikian pula halnya dengan perkembangan BUMD juga diperkirakan akan lebih banyak memilih lokasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) suatu daerah perkotaan akan sangat ditentukan oleh struktur dan kemajuan ekonomi kota ber- sangkutan, karena penerimaan dari dana bagi hasil sumber daya alam, seperti pertambangan biasanya tidak terlalu besar. Kota yang memiliki Kegiatan industri, perdagangan dan jasa yang sudah maju dan bertumbuh cepat sebagaimana yang banyak terdapat di Pulau Jawa akan cenderung memiliki DBH yang tinggi. Sedangkan kota-kota di luar Pulau Jawa mempunyai DBH yang lebih kecil karena perkembangan kegiatan industri, perdagangan dan jasa kota masih relatif kecil, bahkan kegiatan pertanian masih cukup besar. Pola alokasi DBH tersebut tentunya cenderung akan mendorong peningkatan ketimpangan kemampuan keuangan pemerintah kota. Alasannya adalah karena sistem alokasi yang demikian akan menyebabkan ota dengan kegiatan industri perdagangan dan jas yang telah maju akan cenderung mendapat alokasi DBH yang lebih besar. Akibatnya kota yang sudah maju dan makmur akan mendapatkan alokasi DBH yang lebih besar, sedangkan kota-kota yang kegiatan ekonominya masih belum berkembang akan mendapatkan alokasi dana DBH yang jauh lebih kecil, Kondisi pendapatan demikian selanjutnya akan memicu pula peningkatan 276 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan perbedaan kemampuan keuangan kota yang selanjutnya akan memicy pula ketimpangan pembangunan antardaerah perkotaan, Penerimaan DAU daerah perkotaan akan ditentukan oleh unsur penduduk, Iuas daerah dan jumlah penduduk miskin dan sesuai dengan formula DAU yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia. Sasaran utama alokasi dana DAU adalah untuk mengurangi Kesenjangan fiskal (fiscal gap) antardaerah. Dengan demikian, kota yang mempunyai DBH besar akan cenderung mendapat DAU yang lebih kecil dan demikian pula sebaliknya untuk kota dengan DBH kecil akan mendapatkan DAU lebih besar. Namun demikian, alokasi DAU sebegitu jauh tidak terlalu banyak memengaruhi kegiatan pembangunan daerah karena sebagian besar (rata-rata_sekitar 60%-70%) digunakan untuk pembayaran Baji dan pengeluaran lainnya untuk aparatur daerah. Dengan demikian, sisa dana yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan Program dan kegiatan pembangunan menjadi tidak terlalu besar. Karena itu tidaklah_mengherankan bilamana kota dengan alokasi DBH kecil akan cenderung mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai kebutuhan pembangunan kota bersangkutan. Alokasi DAK ditujukan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan kota yang bersifat Khusus sesuai dengan kepentingan nasional. Karena itu arah penggunaan DAK untuk daerah perkotaan ditetapkan pemerintah pusat setiap tahunnya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Kegiatan khusus tersebut antara lain adalah: pembangunan prasarana dan sarana jalan raya, penjagaan kualitas lingkungan hidup, penanggulangan kemiskinan, pemberantasan penyakit menular dan lain-lainnya. Di samping itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, pemanfaatan DAK memerlukan dana pendamping sebesar 10% dari dana pemerintah daerah sendiri. Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan alokasi DAK ini sebegitu jauh ternyata masih mengalami berbagai permasalahan dan kendala. Pertama, pemerintah pusat terlalu banyak melakukan pengaturan teknis sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dalam pelaksanaan. Seharusnya yang dikendalikan hanyalah arah pemanfaatan dana tersebut sehingga S¢- jalan dengan kepentingan nasional. Kedua, untuk beberapa kota yang mempunyai kondisi keuangan terbatas, keharusan untuk menyediakan Bab 14:Keuangan Kota 277 dena pendamping sebesar 10% ternyata juga merupakan kendala yang menghambat pemanfaatan DAK tersebut untuk mendorong proses pembangunan kota bersangkutan, Untuk lebih menjelaskan unsur penerimaan kota, Tabel 14.1 mempresentasikan kontribusi dan perkembangan unsur penerimaan dengan menganbil contoh kasus Kota Padang untuk periode 2007-2010. Seperti terlihat pada tabel tersebut, jumlah pendapatan Kota Padang pada tahun 2007 adalah relatif kecil yaitu hanya berjumlah Rp812,3 miliar dan meningkat menjadi Rp1.040 miliar dengan laju pertumbuhan rata- rata 8,5%. Namun demikian, perlu diingat bahwa jumlah pendapatan ini adalah dinilai dengan harga berlaku sehingga nilai riilnya bila dikeluarkan kenaikan harga secara umum tentunya akan lebih kecil lagi. Dari jumlah pendapatan tahun 2010, hanya sekitar 11,2% merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaaan Daerah, dan lain-lainnya. Sumber pendapatan yang terbesar adalah dalam Bentuk Dana Perimbangan yang diperoleh dari Pemerintah Pusat yang mencapai sekitar 71,2%. Dana Perimbangan ini meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar 6,3%, Dana Alokasi Umum (DAU) sekitar 60,7%, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sekitar 4,2%. Lain-lain pendapatan yang sah sekitar 17,5%. Sedangkan Kota Padang belum pernah melakukan pinjaman daerah karena kemampuan membayar kembali (debt service coverage ratio) daerah sangat rendah, 278 — Ekonomi Wilayah dan Perkotaan Tabel 14.1 Perkembangan Pendapatan Kota Padang 2007-2010 (Dalam Rp Juta) No. [Unsur Pendapatan 2007 2010 Kontribusi | Pertumbuhan 2010(%) | 2007-2019 (%) 1. | Pendapatan Asli Daerah 106.471 116.691 11,2 3 = Pajak Daerah 69.541 77.639 75 37 = Retribusi Daerah 22.017 21.986 2A “47 ~ Hasil Pengelolaan Ke- 3.309 5.294 05 169 kayaan daerah = lain-lain 11.605 1772 113 04 2._ [Dana Perimbangan 654.357 741.044 71,2 42 = Dana Bagi Hasil 56.974 65.411 63 47 = Dana Alokasi Umum 565.100 632.117 60,7 38 Dana Alokasi Khusus 32.294 43.515 42 4 3._[Pinjaman Daerah . S 7 7 4, |Pendapatan Lain yang 51.424 182.284 175 52.4 Sah Jumlah 812.262] 1.040.019 100,0 85 ‘Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik, Padang Dalam Angka 2010, Padang 2011 Fakta yang terlihat pada Tabel 14.1 di atas memperlihatkan bahwa jumlah pendapatan yang dimiliki oleh Kota Padang adalah relatif kecil. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah dan ukuran dunia usaha, baik industri, perdagangan dan jasa di kota ini masih terbatas. Akibatnya jumlah PAD yang dapat dikumpulkan baik melalui pajak daerah dan retribusi daerah masih sangat kecil. Sedangkan laba dari BUMD sangat kecil dan bahkan dewasa ini sudah menjadi nol. Di samping itu, belum berkembangnya dunia usaha di kota ini menyebabkan pula DBH yang dapat diperoleh dari Pemerintah Pusat juga menjadi sangat terbatas. Sumber pendapatan daerah yang relatif kecil ini tentunya akan menyebabkan pula relatif kecilnya jumlah belanja daerah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan kota. Hal ini disebabkan pula karena sebagian besar dari pendapatan tersebut harus dibelanjakan untuk pembayaran gaji kegiatan rutin aparatur kota bersangkutan yang jumlah ternyata juga terus meningkat. Bab 14:Keuangan Kota 279 ¢C, Unsur Belanja Kota Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dilakukan di Indonesia sejak 2001 yang lalu ternyata juga telah mengubah unsur pelanja kota secara signifikan, Perubahan ini terjadi karena alokasi Dana Perimbangan yang diberikan dalam bentuk Block Grant (dalam jumlah keseluruhan) yang dapat digunakan oleh pemerintah kota sesuai dengan arah perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan perundangan berlaku. Akibatnya arah pembiayaan kota cenderung ber- yariasi sesuai dengan potensi kota bersangkutan serta visi, misi dan arah pembangunan dari walikota dan pembantu walikota terpilih. Namun demikian, struktur dan pola belanja kota di Indonesia sebenarnya adalah hampir bersamaan. Secara umum struktur belanja kota terbagi atas dua kelompok besar yaitu: Belanja Aparatur (Belanja Tidak Langsung) dan Belanja Pembangunan (Belanja Langsung) baik yang bersifat Belanja Publik dan Belanja Modal. Besarnya Belanja Aparatur adalah bersifat rutin dan besarnya sangat tergantung dari jumlah aparatur yang menjadi tanggung jawab kota bersangkutan. Sedangkan jumlah Belanja Pembangunan (Langsung) ditentukan oleh pembagian kewenangan dan urusan pemerintah daerah dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pe- merintahan Daerah yang selanjutnya dirinci dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, terdapat dua jenis kewenangan dan urusan, yaitu Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib merupakan program dan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap pemerintah daerah dan kota dalam meningkatkan dan mendorong proses pembangunan daerah seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemukiman, Prasarana pembangunan, dan lain-lainnya. Sedangkan Urusan Pilihan adalah program dan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan potensi kota bersangkutan yang meliputi kegiatan pertanian, perikanan dan kelautan, industri, perdagangan, usaha kecil dan menengah (UKM), jasa, dan lain- lainnya, Dengan adanya pembagian urusan daerah yang demikian, maka struktur dan proporsi belanja kota untuk aparatur dan urusan wajib akan cenderung hampir sama antarkota. Sedangkan unsur belanja modal dan belanja publik untuk urusan pilihan akan sangat bervariasi 280 — Ekonomi Wilayah dan Perkotaan antarkota sesuai dengan potensi dan permasalahan pembangunan kota bersangkutan yang jelas akan sangat beragam. Sesuai dengan prinsip dasar pengalokasian dana pemerintah yaity “money follow function”, maka pengalokasian belanja kota tentunya mengikuti fungsi dan kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen perencanaan pembangunan kota yang telah ditetapkan secara resmj oleh pejabat yang berwenang, Sedangkan besarnya alokasi anggaran tersebut ditentukan oleh sifat dari kegiatan tersebut, apakah fisik atau nonfisik. Biasanya alokasi dana untuk program dan kegiatan fisik, seperti infrastruktur, biasanya akan cenderung lebih besar dari program, dan kegiatan nonfisik, seperti pelatihan dan pembinaan. Di samping itu, program dan kegiatan yang bersifat prioritas juga akan cenderung mendapatkan alokasi dana yang lebih besar untuk mendorong proses pembangunan secara lebih cepat. Untuk lebih memperjelas distribusi alokasi belanja kota tersebut, ‘Tabel 14.2 memberikan data dan informasi tentang perkembangan alokasi belanja Kota Padang untuk periode 2007-2010. Angka dari tabel ini memperlihatkan bahwa jumlah belanja pemerintah Kota Padang untuk tahun 2007 berjumlah Rp740 miliar dan meningkat menjadi Rp1.100 miliar pada tahun 2010 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 14,3%. Tabel 14.2 Perkembangan Belanja Kota Padang 2007-2010 (Dalam Rp. Juta) No. ]Unsur Belanja 2007 2010 Kontribusi_ | Pertumbuhan 2010 (%) 2007-2010 (%) 1, |Belanja Langsung 296.797_|297.171__ [27,0 O1 - Belanja Pegawai 46.691 | 32.265 2.9 ~Belanja Barang dan Jasa [129.573 [130.670 [11,9 - Belanja Modal 120.533} 134.236. 12,2 2, |Belanja Tidak Langsung [440.525 [803.197 [73,0 22,2 = Belanja Pegawai 401.714 [720.737 [65,4 ~ Belanja Hibah 19.874 |24.862 23 ~ Bantuan Sosial 13.662 | 13.168 42 - Belanja Keuangan 756 39.188 36 ~Belanja Tidak terduga /3.019 ‘| 5.241 os Jumiah 737.321 [1.100.368 | 100,0 14.3 ‘Sumber: Bappeda dan Badan Pusat Statistik, Padang Dalam Angka 2010, Padang 2011. Bab 14:Keuangan Kota 281 Namun demikian, dari segi alokasi belanja tersebut terlihat adanya tendensi yang kurang sehat, yaitu alokasi dana untuk Belanja Tidak Langsung ternyata sangat besar yaitu mencapai sekitar 72,9%. Sedangkan jenis belanja ini adalah bersifat rutin seperti gaji pegawai, biaya perjalanan dinas, dan lain-lainnya yang bersifat konsumtif, Sedangkan alokasi dana untuk Belanja Langsung dan Belanja Modal yang merupakan kegiatan investasi yang berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah hanya sebesar 27,0%. Dengan alokasi belanja pembangunan yang demikian tentunya per- kembangan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan kota akan cenderung menjadi umumnya relatif lambat. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan harapan masyarakat secara umum yang menginginkan terwujudnya proses pembangunan yang lebih cepat. Untuk mewujudkan harapan masyarakat tersebut, maka pemanfaatan lebih optimal dana yang berasal dari APBN dan investasi sektor swasta perlu lebih ditingkatkan di masa mendatang. D. Pinjaman Daerah Untuk mengatasi kesulitan ketersediaan dana untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah dan kota, berbagai cara dapat dilakukan oleh pemerintah daerah atau kota bersangkutan baik dalam bentuk pemanfaatan dana APBN yang dapat diserap oleh daerah dan kota bersangkutan, maupun peningkatan efisieni penggunaan dana pada daerah dan kota bersangkutan. Salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan adalah melalui pelaksanaan Pinjaman daerah, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Sejak diterapkannya otonomi daerah, pemerintah daerah diper- bolehkan untuk melakukan pinjaman daerah dari luar negeri. Khusus untuk pinjaman daerah dari luar negeri ini, pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk “Penerusan Pinjaman” (Subsidairy Loan Agreement, SLA). Maksudnya adalah perjanjian utang dengan luar negeri harus dilakukan Melalui Pemerintah Pusat dan setelah itu diteruskan kepada pemerintah daerah bersangkutan. Sedangkan untuk pinjaman daerah yang berasal i dalam negeri berlaku ketentuan perbankan yang berlaku secara Nasional, 282 EkonomiWilayah dan Perkotaan Namun demikian, sesuai dengan ketentuan berlaku, sebuah daerah atau kota hanya dapat melakukan pinjaman daerah bilamana mempunyaj kemampuan yang cukup untuk membayar kembali pinjaman tersebyt, Secara teknis dinyatakan bahwa suatu daerah akan diperbolehkan me. lakukan pinjaman bilamana mempunyai Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling kurang sebesar 2,5. Ini berarti bahwa suatu daerah akan diperbolehkan melakukan pinjaman bilamana daerah atau kota bersangkutan mempunyai penghasilan, dalam bentuk PAD dan Dana perimbangan paling kurang dua setengah kali dari jumlah pinjaman yang diminta, Oleh karena persyaratan yang demikian ketat untuk dapat mem- peroleh pinjaman daerah, maka tidaklah mengherankan bilamana daerah-daerah yang dewasa ini telah melakukan pinjaman pada umumnya adalah daerah dan kota yang mempunyai kemampuan keuangan daerah yang cukup kuat seperti DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Bandung, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Riau. Sedangkan kota-kota seperti Padang yang mempunyai kemampuan keuangan terbatas belum dapat melakukan pinjaman daerah untuk mendukung pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunannya. E. Struktur dan Peranan APBD Kota Tidak dapat disangkal bahwa peranan pemerintah akan cukup besar dalam mendorong proses pembangunan sebuah kota. Peranan tersebut terutama dilakukan dalam bentuk penyediaan prasarana dan sarana kota, pembangunan fasilitas ekonomi dan sosial, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penerapan IPTEK serta pengaturan, pembinaan dan pengawasan kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara keseluruhan. Tentunya semua upaya dan kegiatan ini memerlukan dukungan dana pemerintah (publik) yang umumnya berasal dati pe- nerimaan pajak dan sumber dana lainnya yang sah menurut undang- undang. Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, perencanaan dan pengaturan jumlah pendapatan dan belanja menggunakan dana publik tersebut dilakukan melalui penyusunan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) kota bersangkutan yang disusun sesuai dengan dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang telah Bab 14:Keuangan Kota 283 ainerapkan oleh pejabat berwenang untuk tahui ‘APBD ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan R; wakili seluruh masyarakat kota bersangkutan, Permasalahan umum yang sering terjadi di masa lalu adalah tidak yonsistennya antara perencanaan dan penganggaran, Dengan kata lain, praktik penyusunan APBD di Indonesia dewasa ini ternyata masih belum mengikuti sepenuhnya ‘Prinsip Planning, Programming and Budgeting system (PPBS). Hal ini terjadi karena masih relatif rendahnya tingkat Kedisiplinan anggaran yang terjadi pada pelaksanaan pemerintahan daerah. Kondisi ini ditandai oleh adanya beberapa program dan kegiatan yang tidak terdapat dalam RKPD (rencana tahunan), tetapi muncul dalam APBD dan sebaliknya. Permasalahannya ini adalah sangat serius karena hal ini dapat menimbulkan berbedanya antara apa yang direncanakan dengan apa yang dilaksanakan, karena kegiatan yang akan dilakukan tentunya adalah yang tertera dalam APBD yang berarti sudah mendapat dukungan dana untuk pelaksanaannya. in bersangkutan, Penetapan ‘akyat Daerah (DPRD) me- Untuk mengatasi permasalahan ini, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengamanatkan bahwa penyusunan APBD harus dilakukan dalam bentuk Anggaran Kinerja (Performance Budget). Menggunakan konsep ini, alokasi dana dalam APBD untuk pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah dan kota bersangkutan harus dapat disusun dengan mencantumkan indikator dan target kinerja yang harus dicapai untuk penggunaan dana tersebut. Hal ini diperlukan agar pengendalian dan evaluasi terhadap manfaat dari penggunaan dana APBD tersebut akan dilakukan secara konkret dan terukur. Ketetuan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efisiensi Penggunaan dana publik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pengelolaan Pembangunan, Upaya Jain yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut dalam Tangka mengupayakan terdapatnya konsistensi antara perencanaan, Pemograman dan penganggaran dengan menetapkan prosedur penyusunan anggaran secara bertahap. Tahap pertama adalah menyusun dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang bertujuan untuk menentapkan Program dan kegiatan mana yang dapat dibiayai dengan dana APBD Sesuai dengan kewenangan dan urusan’daerah bersangkutan, Hal ini Perlu dilakukan dalam era otonomi daerah agar tidak terjadi tumpang 284 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan tindih pengalokasian dana dari berbagai sumber, baik APBD Provingi da, kabupaten serta kota maupun APBN dari pemerintah pusat. 7 Sejalan dengan _penyusunan KUA dilakukan pula penyusunan dokumen Prioritas Plafond Anggaran Sementara (PPAS) untuk tahun bersangkutan. Agar mempunyai kekuatan hukum yang cukup, Penentuan PPAS ini ditetapkan dengan Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah dengan Ketua DPRD setempat. Penetapan PPAS ini perlu dilakukan untuk dapat menyesuaikan program dan kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan kemampuan dana yang tersedia pada daerah dan kota bersangkutan. Di samping itu, penyusunan PPAS ini juga diperlukan untuk dapat memberikan acuan yang jelas bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terdapat pada daerah dan kota Masing- masing. Tahap Kedua adalah menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA) sesuai dengan KUA dan PPAS yang telah ditetapkan semula. RKA ini disusun oleh setiap SKPD dengan menggunakan Rencana Kerja (Renja) SKPD bersangkutan untuk tahun tersebut. Penyusunan RKA ini harus dilakukan lengkap dengan nomor rekening masing-masing sesuai dengan ketentuan dalam Permendagri 58 Tahun 2008. Sasaran utama penyusunan RKA ini adalah untuk menjamin kesesuaian antara rencana kerja yang telah ditetapkan sebelumnya dengan penyusunan APBD daerah dan kota bersangkutan. F. Kebijakan Pengembangan Keuangan Kota Dalam rangka meningkatkan pembangunan daerah perkotaan, peningkatan kemampuan keuangan kota merupakan upaya yang mutlak perlu dilakukan oleh pemerintah kota setempat. Tentunya berbagai alternatif kebijakan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh kota bersangkutan. Kebijakan- kebijakan tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Peningkatan Efisiensi Pengelolaan Keuangan Kota Kebijakan pertama yang langsung dapat dilakukan adalah dalam bentuk peningkatan efisiensi pengelolaan keuangan kota. Tidak dapat de sangkal bahwa pengelolaan keuangan kota di Indonesia dewasa ini masih belum sepenuhnya efisien yang terlihat dari relatif tingginya biaya t™* Bab 14:Keuangan Kota 285 rayne one pemerintah kota, Karena itu, peningkatan efisiensi ngelolaan merupakan tantangan yang harus segera dapat dipecahkan untuk dapat meningkatkan kemampuan keuangan kota bersangkutan. Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya tingkat efisiensi pengelolaan keuangan kota di Indonesia dewasa ini. Pertama, belum optimalnya penggunaan peralatan teknologi informasi dalam ngelolaan saint ine kota. Kedua, relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia yang terlibat langsung dengan pengelolaan keuangan kota dan Ketiga, masih lemahnya sistem pengawasan keuangan yang diterapkan dewasa ini sehingga kebocoran masih banyak terjadi dalam jumlah cukup besar. Memerhatikan beberapa faktor utama penyebab masih rendahnya efisiensi pengelolaan keuangan kota tersebut, maka kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota antara lain adalah dengan cara meningkatkan ketersediaan fasilitas teknologi informasi untuk pe- ngelolaan keuangan daerah (E= government), peningkatan kualitas tenaga pengelolaan keuangan daerah dan perbaikan sistem pengelolaan ke- uangan daerah secara profesional. Dengan cara demikian, maka efisiensi pengelolaan keuangan kota akan dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan peralatan teknologi informasi dan komputer. Tentunya kebijakan ini harus pula diikuti dengan peningkatan keterampilan aparatur kota dalam penggunaan peralatan teknologi informasi tersebut melalui pe- laksanaan pelatihan teknis dan pendidikan lebih lanjut khusus dalam Ilmu Komputer dan Teknologi Informatika. 2. Penambahan Sumber Penerimaan Baru Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan ke- Wenangan untuk menambah sumber penerimaan baru guna me- ningkatkan kemampuan keuangan untuk kota bersangkutan. Pe- nambahan sumber penerimaan baru tentunya harus sesuai dengan Ketentuan perundangan yang berlaku agar pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk penetapan jenis pungutan baru tersebut tidak terancam dibatalkan oleh pemerintah pusat. Di samping itu, perlu pula dijaga agar penetapan jenis pungutan baru tersebut tidak tumpang tindih atau mengganggu sumber penerimaan kota yang telah ada sebelumnya, 286 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan 3. Penyesuaian Tarif Pajak Secara Reguler Sudah menjadi kenyataan umum bahwa nilai bang secara iil sangay dipengaruhi oleh perkembangan harga umum atau tingkat inflasj Yang terdapat pada negara atau kota bersangkutan, Semakin tinggi tingkar inflasi akan semakin rendah nilai penerimaan kota secara riil. Dj samping itu, tingkat inflasi ini juga berbeda antara satu negara atau kota dengan negara atau kota lainnya, tergantung pada tingkat stabilitas moneter yang terdapat pada negara bersangkutan. Untuk dapat menjaga agar penerimaan riil keuangan kota tersebut stabil, maka penyesuaian tarif pajak perlu dilakukan secara berkala, apakah setiap tahun atau sekali dalam 3 tahun dengan mengacu pada tingkat inflasi yang terdapat pada negara atau kota bersangkutan, Dengan cara demikian, maka nilai riil dari penerimaan kota akan dapat dipertahankan sehingga kemampuan keuangan kota tersebut untuk membiayai kebutuhan pengelolaan dan pembangunan kota juga dapat dipertahankan. Guna menjaga legalitasnya, tentu penyesuaian tarif pajak ini perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD setempat. 4. Pemberantasan Penyelewengan Keuangan Kota Tidak dapat disangkal bahwa penggelapan dan pelarian pajak sudah merupakan kasus yang sering terjadi di Indonesia sejak Jama. Hal ini terjadi karena administrasi pajak Indonesia sebegitu jauh belum baik sehingga pengenaan pajak lebih banyak didasarkan pada penaksiran para petugas pajak. Di samping itu, penyelewengan pajak ini dapat juga terjadi bila terdapat sengketa pajak yang mendorong terjadinya negosiasi pajak antara petugas dan wajib pajak bersangkutan. Dalam rangka membrantas penyelewengan pajak dan keuangan kota ini, maka pemberian hukuman yang cukup berat perlu dilakukan terhadap setiap penyelewengan. Karena penyelewengan pajak ini biasany@ dilakukan melalui kerja sama antara wajib pajak dan petugas, pengenaan sangsi harus dilakukan pada kedua belah pihak. Di samping itu, pens awasan oleh aparat yang berwenang perlu dilakukan secara lebih intensif untuk mencegah terjadinya penyelewengan tersebut. Sejalan deng’” tindakan tersebut, upaya untuk memberantas kegiatan mafia pajak jUs* perlu terus dilakukan dengan melibatkan para ahli hukum perpajaka? dan kepolisian,

You might also like