a7
'UANGAN KOTA.:
Aspek Keuangan Kota (City Finance) juga merupakan bagian penting
dalam analisis Ekonomi Wilayah dan Perkotaan karena analisisnya
mencakup suatu kota tertentu yang berbeda dengan analisis keuangan
negara (Public Finance) dan daerah secara umum. Hal ini terjadi karena
kegiatan sosial ekonomi yang terdapat pada suatu kota pada umumnya
didominasi oleh kegiatan industri perdagangan dan jasa, sedangkan
daerah kabupaten umumnya masih dalam bentuk kegiatan pertanian
dalam arti luas, baik tanaman pangan, perkebunan, peternakan perikanan,
dan kehutanan. Karena itu, struktur dan permasalahan keuangan yang
dihadapi sebuah kota, baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran,
juga berbeda dibandingkan dengan negara dan daerah secara umumnya,
Perbedaan struktur keuangan kota dengan keuangan nasional mulai
terjadi sejak 2001 ketika Indonesia menerapkan prinsip desentralisasi
fiskal sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Dalam hal ini, baik
kota dan daerah (provinsi dan kabupaten) diberikan alokasi dana untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang lazim dikenal sebagai
Dana Perimbangan (Equalization Fund) yang diberikan dalam bentuk
Block Grant, Selanjutnya kota dan daerah diberikan kewenangan untuk
menggunakan dana tersebut untuk mendorong proses pembangunan
daerah melalui penyusunan dokumen rencana pembangunan (planning)
dan pengangaran (budgeting).
Bab ini membahas secara rinci berbagai aspek yang terkait dengan
pengelolaan keuangan kota. Pembahasan dimulai dari analisis otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal yang diikuti oleh struktur keuangan
kota. Analisis dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam
tentang unsur penerimaan daerah berikut. beberapa permasalahan272 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
pokok yang dihadapi, Kemudian dilakukan pula pembahasan tentang
pengeluaran dan belanja pemerintah kota baik untuk keperluan rutin
maupun untuk mendorong proses pembangunan kota, njutnya bab
ini juga membahas struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) berikut peranannya dalam proses pembangunan kota. Akhitnya
pembahasan ditutup dengan analisis tentang kebijakan publik yang lazim
dilakukan dalam bidang keuangan daerah perkotaan.
A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan prinsip otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Sistem pemerintahan daerah yang semula bersifat sentralisasi, sekarang
berubah menjadi otonomi (desentralisasi) di mana pemerintah daerah
diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengurus pemerintahan
dan mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini di-
Takukan dalam rangka untuk lebih mendorong dan meningkatkan
aktivitas pembangunan di seluruh daerah sesuai dengan potensi dan
permasalahan daerah bersangkutan serta aspirasi serta keinginan masya-
rakat setempat.
Dalam bidang keuangan, pelaksanaan otonomi daerah didukung
pula oleh prinsip desentralisasi fiskal sesuai dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Tujuan utama penerbitan undang-undang ini adalah untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dengan memberikan dukungan keuangan
(finansial) dalam bentuk Dana Perimbangan sebagaimana disinggung
terdahulu. Sejalan dengan hal tersebut daerah juga diberikan kewenangan
untuk menambah sumber pendapatan asli daerahnya sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di samping
itu, untuk daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yang cukup,
pemerintah daerah bersangkutan juga diberikan kewenangan untuk
melakukan pinjaman luar negeri untuk membiayai program dan kegiata
pembangunan daerahnya yang pelaksanaan pinjaman tersebut dilakukan
melalui pemerintah pusat yang lazim dikenal sebagai Penerusan Pinjaman
(Subsidary Loan Agreement, SLA).Bab 14;Keuangan Kota 273
Dana perimbangan adalah dana berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pemerintah daerah
dan kota pada setiap tahunnya. Dana tersebut terdiri atas tiga jenis,
yaitu pertama adalah Dana Bagi Hasil (DBH) baik dari penerimaan pajak
maupun penghasilan dan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat
pada kota yang bersangkutan, seperti minyak, gas alam, batubara, dan
ain-lainnya. Dana bagi hasil ini diberikan kepada daerah dalam rangka
mewujudkan keadilan terhadap daerah penghasil yang memiliki objek
pajak bersangkutan yaitu kegiatan usaha, baik pertanian, industri, per-
dagangan dan_sumber daya alam bernilai tinggi. Dengan cara demikian
daerah penghasil juga dapat menikmati hasil dari kegiatan ekonomi
yang dilakukan pada daerah bersangkutan.
Jenis dana perimbangan kedua adalah Dana Alokasi Umum (DAU)
yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah kota
guna membiayai kepentingan pelaksanaan pemerintah secara umum
seperti belanja pegawai, pembiayaan pelayanan publik, pemeliharaan
infrastruktur, dan lain-lainnya. Undang-undang menetapkan bahwa
jumlah DAU secara nasional ditetapkan paling kurang 25% dari nilai
APBN pada tahun bersangkutan, Walapun nilai APBN tiap tahunnya
selalu meningkat, akan tetapi dengan maraknya pemekaran daerah
dalam 10 tahun terakhir maka jumlah DAU untuk masing-masing daerah
tidak banyak mengalami perubahan, dan bahkan cenderung menurun
untuk memenuhi dana perimbangan untuk daerah otonomi baru yang
jumlahnya juga cukup banyak.
Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan untuk menutup celah fiskal
(fiscal gap) daerah bersangkutan. Celah fiskal adalah perbedaan antara
Kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal adalah jumlah
dana yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan dan
mendorong proses pembangunan pada daerah bersangkutan, Sedangkan
kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan yang dimiliki daerah
bersangkutan, Bila celah fiskal ini besar, maka alokasi DAU untuk daerah
bersangkutan juga akan besar dan demikian pula sebaliknya, Bahkan
untuk daerah yang mempunyai DBH sangat besar karena memiliki
minyak dan gas bumi atau kegiatan industri dan perdagangan pada
daerah bersangkutan sudah berkembang baik, tidak akan memperoleh
DAU sama sekali. t274 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
Jenis dana perimbangan ketiga adalah Dana Alokasi Khusus (Dag)
yang dialokasi oleh pemerintah pusat untuk membiayai program dy,
kegiatan di dacrah yang termasuk dalam prioritas dan kepentingsn
nasional, Karena itu arah penggunaan dana ini ditetapkan olep
pemerintah pusat pada setiap tahunnya sesuai dengan Permasalahan
dan tantangan yang dihadapi secara nasional. Di samping itu, berbedg
dengan kedua jenis dana perimbangan terdahulu, pemanfaatan Dax
memerlukan dana pendamping sebesar 10% yang harus disediakan
oleh pemerintah daerah bersangkutan.
B. Unsur Pendapatan Kota
Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
struktur keuangan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dewasa
ini terdapat 4 (empat) unsur utama penerimaan kota dan daerah yaitu:
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa tiga unsur yang terakhir adalah merupakan
Dana Perimbangan yang diperoleh dari Pemerintah Pusat. Keempat unsur
penerimaan ini merupakan sumber utama APBD daerah bersangkutan.
PAD merupakan pendapatan yang dapat dipungut sendiri dan di-
manfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan pada daerah bersangkutan. Komponen
PAD tersebut mencakup unsur Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba
dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan lainnya yang
sah. Termasuk dalam pajak daerah ini adalah Pajak Hotel dan Restoran,
Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-
lainnya yang dipungut sesuai ketentuan perundangan berlaku. Tetapi
retribusi daerah hanya dapat dipungut bilamana daerah memberikan jas
pelayanan tertentu kepada masyarakat,
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa mulai tahun 2010,
pemerintah pusat telah menambah unsur penerimaan PAD denga"
mendesentralisasikan penerimaan dari Bea Perolehan Atas Hak Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada
pemerintah daerah setempat. Dengan cara demikian, maka sumber
penerimaan Pemerintah Kota akan dapat lebih ditingkatkan untuk men
dorong pelaksanaan pembangunan dan otonomi daerah.Bab 14:Keuangan Kota 275
Besar kecilnya PAD yang dapat diterima oleh suatu kota akan sangat
ditentukan oleh dua hal yaitu potensi penerimaan dan tatif pajak yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) setempat. Potensi PAD
sangat ditentukan oleh perkembangan jumlah, ukuran dan kualitas objek
pajak bersangkutan. Sedangkan tarif pajak ditentukan oleh pemerintah
daerah setempat dengan memerhatikan perkembangan kebutuhan pem-
bangunan dan kemampuan keuangan wajib paj
kota bersangkutan. igan wajib pajak yang terdapat pada
Memerhatikan jenis pajak yang merupakan sumber utama pe-
nerimaan PAD tersebut, terlihat di sini bahwa besar kecilnya penerimaan
PAD akan sangat ditentukan oleh perkembangan kegiatan perekonomian
daerah bersangkutan. Di samping itu, terlihat pula bahwa daerah per-
kotaan diperkirakan akan mempunyai potensi penerimaan PAD yang
lebih besar dibandingkan dengan kabupaten karena jumlah hotel dan
restoran, bangunan serta kendaraan bermotor secara relatif akan lebih
banyak terdapat pada daerah perkotaan. Demikian pula halnya dengan
perkembangan BUMD juga diperkirakan akan lebih banyak memilih
lokasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) suatu daerah perkotaan akan
sangat ditentukan oleh struktur dan kemajuan ekonomi kota ber-
sangkutan, karena penerimaan dari dana bagi hasil sumber daya alam,
seperti pertambangan biasanya tidak terlalu besar. Kota yang memiliki
Kegiatan industri, perdagangan dan jasa yang sudah maju dan bertumbuh
cepat sebagaimana yang banyak terdapat di Pulau Jawa akan cenderung
memiliki DBH yang tinggi. Sedangkan kota-kota di luar Pulau Jawa
mempunyai DBH yang lebih kecil karena perkembangan kegiatan industri,
perdagangan dan jasa kota masih relatif kecil, bahkan kegiatan pertanian
masih cukup besar.
Pola alokasi DBH tersebut tentunya cenderung akan mendorong
peningkatan ketimpangan kemampuan keuangan pemerintah kota.
Alasannya adalah karena sistem alokasi yang demikian akan menyebabkan
ota dengan kegiatan industri perdagangan dan jas yang telah maju akan
cenderung mendapat alokasi DBH yang lebih besar. Akibatnya kota yang
sudah maju dan makmur akan mendapatkan alokasi DBH yang lebih
besar, sedangkan kota-kota yang kegiatan ekonominya masih belum
berkembang akan mendapatkan alokasi dana DBH yang jauh lebih kecil,
Kondisi pendapatan demikian selanjutnya akan memicu pula peningkatan276 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
perbedaan kemampuan keuangan kota yang selanjutnya akan memicy
pula ketimpangan pembangunan antardaerah perkotaan,
Penerimaan DAU daerah perkotaan akan ditentukan oleh unsur
penduduk, Iuas daerah dan jumlah penduduk miskin dan sesuai dengan
formula DAU yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan Republik
Indonesia. Sasaran utama alokasi dana DAU adalah untuk mengurangi
Kesenjangan fiskal (fiscal gap) antardaerah. Dengan demikian, kota yang
mempunyai DBH besar akan cenderung mendapat DAU yang lebih
kecil dan demikian pula sebaliknya untuk kota dengan DBH kecil akan
mendapatkan DAU lebih besar.
Namun demikian, alokasi DAU sebegitu jauh tidak terlalu banyak
memengaruhi kegiatan pembangunan daerah karena sebagian besar
(rata-rata_sekitar 60%-70%) digunakan untuk pembayaran Baji
dan pengeluaran lainnya untuk aparatur daerah. Dengan demikian,
sisa dana yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan Program
dan kegiatan pembangunan menjadi tidak terlalu besar. Karena itu
tidaklah_mengherankan bilamana kota dengan alokasi DBH kecil akan
cenderung mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai kebutuhan
pembangunan kota bersangkutan.
Alokasi DAK ditujukan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan
kota yang bersifat Khusus sesuai dengan kepentingan nasional.
Karena itu arah penggunaan DAK untuk daerah perkotaan ditetapkan
pemerintah pusat setiap tahunnya sesuai dengan prioritas pembangunan
nasional. Kegiatan khusus tersebut antara lain adalah: pembangunan
prasarana dan sarana jalan raya, penjagaan kualitas lingkungan hidup,
penanggulangan kemiskinan, pemberantasan penyakit menular dan
lain-lainnya. Di samping itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 33
Tahun 2004, pemanfaatan DAK memerlukan dana pendamping sebesar
10% dari dana pemerintah daerah sendiri.
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan alokasi DAK ini sebegitu jauh
ternyata masih mengalami berbagai permasalahan dan kendala. Pertama,
pemerintah pusat terlalu banyak melakukan pengaturan teknis sehingga
menimbulkan berbagai kesulitan dalam pelaksanaan. Seharusnya yang
dikendalikan hanyalah arah pemanfaatan dana tersebut sehingga S¢-
jalan dengan kepentingan nasional. Kedua, untuk beberapa kota yang
mempunyai kondisi keuangan terbatas, keharusan untuk menyediakanBab 14:Keuangan Kota 277
dena pendamping sebesar 10% ternyata juga merupakan kendala yang
menghambat pemanfaatan DAK tersebut untuk mendorong proses
pembangunan kota bersangkutan,
Untuk lebih menjelaskan unsur penerimaan kota, Tabel 14.1
mempresentasikan kontribusi dan perkembangan unsur penerimaan
dengan menganbil contoh kasus Kota Padang untuk periode 2007-2010.
Seperti terlihat pada tabel tersebut, jumlah pendapatan Kota Padang pada
tahun 2007 adalah relatif kecil yaitu hanya berjumlah Rp812,3 miliar
dan meningkat menjadi Rp1.040 miliar dengan laju pertumbuhan rata-
rata 8,5%. Namun demikian, perlu diingat bahwa jumlah pendapatan
ini adalah dinilai dengan harga berlaku sehingga nilai riilnya bila dikeluarkan
kenaikan harga secara umum tentunya akan lebih kecil lagi.
Dari jumlah pendapatan tahun 2010, hanya sekitar 11,2% merupakan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaaan Daerah, dan lain-lainnya. Sumber
pendapatan yang terbesar adalah dalam Bentuk Dana Perimbangan
yang diperoleh dari Pemerintah Pusat yang mencapai sekitar 71,2%.
Dana Perimbangan ini meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar 6,3%,
Dana Alokasi Umum (DAU) sekitar 60,7%, dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) sekitar 4,2%. Lain-lain pendapatan yang sah sekitar 17,5%.
Sedangkan Kota Padang belum pernah melakukan pinjaman daerah
karena kemampuan membayar kembali (debt service coverage ratio) daerah
sangat rendah,278 — Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
Tabel 14.1 Perkembangan Pendapatan Kota Padang 2007-2010 (Dalam Rp Juta)
No. [Unsur Pendapatan 2007 2010 Kontribusi | Pertumbuhan
2010(%) | 2007-2019
(%)
1. | Pendapatan Asli Daerah 106.471 116.691 11,2 3
= Pajak Daerah 69.541 77.639 75 37
= Retribusi Daerah 22.017 21.986 2A “47
~ Hasil Pengelolaan Ke- 3.309 5.294 05 169
kayaan daerah
= lain-lain 11.605 1772 113 04
2._ [Dana Perimbangan 654.357 741.044 71,2 42
= Dana Bagi Hasil 56.974 65.411 63 47
= Dana Alokasi Umum 565.100 632.117 60,7 38
Dana Alokasi Khusus 32.294 43.515 42 4
3._[Pinjaman Daerah . S 7 7
4, |Pendapatan Lain yang 51.424 182.284 175 52.4
Sah
Jumlah 812.262] 1.040.019 100,0 85
‘Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
dan Badan Pusat Statistik, Padang Dalam Angka 2010, Padang 2011
Fakta yang terlihat pada Tabel 14.1 di atas memperlihatkan bahwa
jumlah pendapatan yang dimiliki oleh Kota Padang adalah relatif kecil.
Hal ini terutama disebabkan karena jumlah dan ukuran dunia usaha,
baik industri, perdagangan dan jasa di kota ini masih terbatas. Akibatnya
jumlah PAD yang dapat dikumpulkan baik melalui pajak daerah dan
retribusi daerah masih sangat kecil. Sedangkan laba dari BUMD sangat
kecil dan bahkan dewasa ini sudah menjadi nol. Di samping itu, belum
berkembangnya dunia usaha di kota ini menyebabkan pula DBH yang
dapat diperoleh dari Pemerintah Pusat juga menjadi sangat terbatas.
Sumber pendapatan daerah yang relatif kecil ini tentunya akan
menyebabkan pula relatif kecilnya jumlah belanja daerah yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan kota. Hal ini
disebabkan pula karena sebagian besar dari pendapatan tersebut harus
dibelanjakan untuk pembayaran gaji kegiatan rutin aparatur kota
bersangkutan yang jumlah ternyata juga terus meningkat.Bab 14:Keuangan Kota 279
¢C, Unsur Belanja Kota
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dilakukan
di Indonesia sejak 2001 yang lalu ternyata juga telah mengubah unsur
pelanja kota secara signifikan, Perubahan ini terjadi karena alokasi Dana
Perimbangan yang diberikan dalam bentuk Block Grant (dalam jumlah
keseluruhan) yang dapat digunakan oleh pemerintah kota sesuai dengan
arah perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan
perundangan berlaku. Akibatnya arah pembiayaan kota cenderung ber-
yariasi sesuai dengan potensi kota bersangkutan serta visi, misi dan arah
pembangunan dari walikota dan pembantu walikota terpilih.
Namun demikian, struktur dan pola belanja kota di Indonesia
sebenarnya adalah hampir bersamaan. Secara umum struktur belanja
kota terbagi atas dua kelompok besar yaitu: Belanja Aparatur (Belanja
Tidak Langsung) dan Belanja Pembangunan (Belanja Langsung) baik
yang bersifat Belanja Publik dan Belanja Modal. Besarnya Belanja
Aparatur adalah bersifat rutin dan besarnya sangat tergantung dari
jumlah aparatur yang menjadi tanggung jawab kota bersangkutan.
Sedangkan jumlah Belanja Pembangunan (Langsung) ditentukan oleh
pembagian kewenangan dan urusan pemerintah daerah dalam pengelolaan
pemerintahan dan pembangunan daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pe-
merintahan Daerah yang selanjutnya dirinci dengan Peraturan Pemerintah
No. 58 Tahun 2005, terdapat dua jenis kewenangan dan urusan, yaitu
Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib merupakan program
dan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap pemerintah daerah
dan kota dalam meningkatkan dan mendorong proses pembangunan
daerah seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemukiman,
Prasarana pembangunan, dan lain-lainnya. Sedangkan Urusan Pilihan
adalah program dan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan potensi kota
bersangkutan yang meliputi kegiatan pertanian, perikanan dan kelautan,
industri, perdagangan, usaha kecil dan menengah (UKM), jasa, dan lain-
lainnya,
Dengan adanya pembagian urusan daerah yang demikian, maka
struktur dan proporsi belanja kota untuk aparatur dan urusan wajib
akan cenderung hampir sama antarkota. Sedangkan unsur belanja
modal dan belanja publik untuk urusan pilihan akan sangat bervariasi280 — Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
antarkota sesuai dengan potensi dan permasalahan pembangunan kota
bersangkutan yang jelas akan sangat beragam.
Sesuai dengan prinsip dasar pengalokasian dana pemerintah yaity
“money follow function”, maka pengalokasian belanja kota tentunya
mengikuti fungsi dan kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen
perencanaan pembangunan kota yang telah ditetapkan secara resmj
oleh pejabat yang berwenang, Sedangkan besarnya alokasi anggaran
tersebut ditentukan oleh sifat dari kegiatan tersebut, apakah fisik atau
nonfisik. Biasanya alokasi dana untuk program dan kegiatan fisik,
seperti infrastruktur, biasanya akan cenderung lebih besar dari program,
dan kegiatan nonfisik, seperti pelatihan dan pembinaan. Di samping
itu, program dan kegiatan yang bersifat prioritas juga akan cenderung
mendapatkan alokasi dana yang lebih besar untuk mendorong proses
pembangunan secara lebih cepat.
Untuk lebih memperjelas distribusi alokasi belanja kota tersebut,
‘Tabel 14.2 memberikan data dan informasi tentang perkembangan alokasi
belanja Kota Padang untuk periode 2007-2010. Angka dari tabel ini
memperlihatkan bahwa jumlah belanja pemerintah Kota Padang untuk
tahun 2007 berjumlah Rp740 miliar dan meningkat menjadi Rp1.100
miliar pada tahun 2010 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar
14,3%.
Tabel 14.2 Perkembangan Belanja Kota Padang
2007-2010 (Dalam Rp. Juta)
No. ]Unsur Belanja 2007 2010 Kontribusi_ | Pertumbuhan
2010 (%) 2007-2010 (%)
1, |Belanja Langsung 296.797_|297.171__ [27,0 O1
- Belanja Pegawai 46.691 | 32.265 2.9
~Belanja Barang dan Jasa [129.573 [130.670 [11,9
- Belanja Modal 120.533} 134.236. 12,2
2, |Belanja Tidak Langsung [440.525 [803.197 [73,0 22,2
= Belanja Pegawai 401.714 [720.737 [65,4
~ Belanja Hibah 19.874 |24.862 23
~ Bantuan Sosial 13.662 | 13.168 42
- Belanja Keuangan 756 39.188 36
~Belanja Tidak terduga /3.019 ‘| 5.241 os
Jumiah 737.321 [1.100.368 | 100,0 14.3
‘Sumber: Bappeda dan Badan Pusat Statistik, Padang Dalam Angka 2010, Padang 2011.Bab 14:Keuangan Kota 281
Namun demikian, dari segi alokasi belanja tersebut terlihat adanya
tendensi yang kurang sehat, yaitu alokasi dana untuk Belanja Tidak
Langsung ternyata sangat besar yaitu mencapai sekitar 72,9%. Sedangkan
jenis belanja ini adalah bersifat rutin seperti gaji pegawai, biaya perjalanan
dinas, dan lain-lainnya yang bersifat konsumtif, Sedangkan alokasi dana
untuk Belanja Langsung dan Belanja Modal yang merupakan kegiatan
investasi yang berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah hanya
sebesar 27,0%.
Dengan alokasi belanja pembangunan yang demikian tentunya per-
kembangan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan kota
akan cenderung menjadi umumnya relatif lambat. Hal ini tentunya tidak
sesuai dengan harapan masyarakat secara umum yang menginginkan
terwujudnya proses pembangunan yang lebih cepat. Untuk mewujudkan
harapan masyarakat tersebut, maka pemanfaatan lebih optimal dana yang
berasal dari APBN dan investasi sektor swasta perlu lebih ditingkatkan
di masa mendatang.
D. Pinjaman Daerah
Untuk mengatasi kesulitan ketersediaan dana untuk membiayai
pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah dan kota,
berbagai cara dapat dilakukan oleh pemerintah daerah atau kota
bersangkutan baik dalam bentuk pemanfaatan dana APBN yang dapat
diserap oleh daerah dan kota bersangkutan, maupun peningkatan
efisieni penggunaan dana pada daerah dan kota bersangkutan. Salah
satu kemungkinan yang dapat dilakukan adalah melalui pelaksanaan
Pinjaman daerah, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, pemerintah daerah diper-
bolehkan untuk melakukan pinjaman daerah dari luar negeri. Khusus
untuk pinjaman daerah dari luar negeri ini, pelaksanaannya dilakukan
dalam bentuk “Penerusan Pinjaman” (Subsidairy Loan Agreement, SLA).
Maksudnya adalah perjanjian utang dengan luar negeri harus dilakukan
Melalui Pemerintah Pusat dan setelah itu diteruskan kepada pemerintah
daerah bersangkutan. Sedangkan untuk pinjaman daerah yang berasal
i dalam negeri berlaku ketentuan perbankan yang berlaku secara
Nasional,282 EkonomiWilayah dan Perkotaan
Namun demikian, sesuai dengan ketentuan berlaku, sebuah daerah
atau kota hanya dapat melakukan pinjaman daerah bilamana mempunyaj
kemampuan yang cukup untuk membayar kembali pinjaman tersebyt,
Secara teknis dinyatakan bahwa suatu daerah akan diperbolehkan me.
lakukan pinjaman bilamana mempunyai Debt Service Coverage Ratio
(DSCR) paling kurang sebesar 2,5. Ini berarti bahwa suatu daerah
akan diperbolehkan melakukan pinjaman bilamana daerah atau kota
bersangkutan mempunyai penghasilan, dalam bentuk PAD dan Dana
perimbangan paling kurang dua setengah kali dari jumlah pinjaman yang
diminta,
Oleh karena persyaratan yang demikian ketat untuk dapat mem-
peroleh pinjaman daerah, maka tidaklah mengherankan bilamana
daerah-daerah yang dewasa ini telah melakukan pinjaman pada umumnya
adalah daerah dan kota yang mempunyai kemampuan keuangan daerah
yang cukup kuat seperti DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Bandung, Provinsi
Kalimantan Timur, dan Provinsi Riau. Sedangkan kota-kota seperti Padang
yang mempunyai kemampuan keuangan terbatas belum dapat melakukan
pinjaman daerah untuk mendukung pembiayaan pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunannya.
E. Struktur dan Peranan APBD Kota
Tidak dapat disangkal bahwa peranan pemerintah akan cukup besar
dalam mendorong proses pembangunan sebuah kota. Peranan tersebut
terutama dilakukan dalam bentuk penyediaan prasarana dan sarana kota,
pembangunan fasilitas ekonomi dan sosial, peningkatan kualitas sumber
daya manusia dan penerapan IPTEK serta pengaturan, pembinaan
dan pengawasan kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara
keseluruhan. Tentunya semua upaya dan kegiatan ini memerlukan
dukungan dana pemerintah (publik) yang umumnya berasal dati pe-
nerimaan pajak dan sumber dana lainnya yang sah menurut undang-
undang.
Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, perencanaan
dan pengaturan jumlah pendapatan dan belanja menggunakan dana
publik tersebut dilakukan melalui penyusunan Anggaran Belanja dan
Pendapatan Daerah (APBD) kota bersangkutan yang disusun sesuai
dengan dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang telahBab 14:Keuangan Kota 283
ainerapkan oleh pejabat berwenang untuk tahui
‘APBD ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan R;
wakili seluruh masyarakat kota bersangkutan,
Permasalahan umum yang sering terjadi di masa lalu adalah tidak
yonsistennya antara perencanaan dan penganggaran, Dengan kata lain,
praktik penyusunan APBD di Indonesia dewasa ini ternyata masih belum
mengikuti sepenuhnya ‘Prinsip Planning, Programming and Budgeting
system (PPBS). Hal ini terjadi karena masih relatif rendahnya tingkat
Kedisiplinan anggaran yang terjadi pada pelaksanaan pemerintahan
daerah. Kondisi ini ditandai oleh adanya beberapa program dan kegiatan
yang tidak terdapat dalam RKPD (rencana tahunan), tetapi muncul dalam
APBD dan sebaliknya. Permasalahannya ini adalah sangat serius karena
hal ini dapat menimbulkan berbedanya antara apa yang direncanakan
dengan apa yang dilaksanakan, karena kegiatan yang akan dilakukan
tentunya adalah yang tertera dalam APBD yang berarti sudah mendapat
dukungan dana untuk pelaksanaannya.
in bersangkutan, Penetapan
‘akyat Daerah (DPRD) me-
Untuk mengatasi permasalahan ini, Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengamanatkan bahwa
penyusunan APBD harus dilakukan dalam bentuk Anggaran Kinerja
(Performance Budget). Menggunakan konsep ini, alokasi dana dalam APBD
untuk pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah dan kota
bersangkutan harus dapat disusun dengan mencantumkan indikator
dan target kinerja yang harus dicapai untuk penggunaan dana tersebut.
Hal ini diperlukan agar pengendalian dan evaluasi terhadap manfaat
dari penggunaan dana APBD tersebut akan dilakukan secara konkret
dan terukur. Ketetuan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efisiensi
Penggunaan dana publik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pengelolaan
Pembangunan,
Upaya Jain yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut dalam
Tangka mengupayakan terdapatnya konsistensi antara perencanaan,
Pemograman dan penganggaran dengan menetapkan prosedur penyusunan
anggaran secara bertahap. Tahap pertama adalah menyusun dokumen
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang bertujuan untuk menentapkan
Program dan kegiatan mana yang dapat dibiayai dengan dana APBD
Sesuai dengan kewenangan dan urusan’daerah bersangkutan, Hal ini
Perlu dilakukan dalam era otonomi daerah agar tidak terjadi tumpang284 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
tindih pengalokasian dana dari berbagai sumber, baik APBD Provingi da,
kabupaten serta kota maupun APBN dari pemerintah pusat. 7
Sejalan dengan _penyusunan KUA dilakukan pula penyusunan
dokumen Prioritas Plafond Anggaran Sementara (PPAS) untuk tahun
bersangkutan. Agar mempunyai kekuatan hukum yang cukup, Penentuan
PPAS ini ditetapkan dengan Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah
dengan Ketua DPRD setempat. Penetapan PPAS ini perlu dilakukan
untuk dapat menyesuaikan program dan kegiatan yang akan dilakukan
sesuai dengan kemampuan dana yang tersedia pada daerah dan kota
bersangkutan. Di samping itu, penyusunan PPAS ini juga diperlukan
untuk dapat memberikan acuan yang jelas bagi setiap Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang terdapat pada daerah dan kota Masing-
masing.
Tahap Kedua adalah menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA)
sesuai dengan KUA dan PPAS yang telah ditetapkan semula. RKA ini
disusun oleh setiap SKPD dengan menggunakan Rencana Kerja (Renja)
SKPD bersangkutan untuk tahun tersebut. Penyusunan RKA ini harus
dilakukan lengkap dengan nomor rekening masing-masing sesuai
dengan ketentuan dalam Permendagri 58 Tahun 2008. Sasaran utama
penyusunan RKA ini adalah untuk menjamin kesesuaian antara rencana
kerja yang telah ditetapkan sebelumnya dengan penyusunan APBD
daerah dan kota bersangkutan.
F. Kebijakan Pengembangan Keuangan Kota
Dalam rangka meningkatkan pembangunan daerah perkotaan,
peningkatan kemampuan keuangan kota merupakan upaya yang
mutlak perlu dilakukan oleh pemerintah kota setempat. Tentunya
berbagai alternatif kebijakan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi
dan permasalahan yang dihadapi oleh kota bersangkutan. Kebijakan-
kebijakan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan Efisiensi Pengelolaan Keuangan Kota
Kebijakan pertama yang langsung dapat dilakukan adalah dalam
bentuk peningkatan efisiensi pengelolaan keuangan kota. Tidak dapat de
sangkal bahwa pengelolaan keuangan kota di Indonesia dewasa ini masih
belum sepenuhnya efisien yang terlihat dari relatif tingginya biaya t™*Bab 14:Keuangan Kota 285
rayne one pemerintah kota, Karena itu, peningkatan efisiensi
ngelolaan merupakan tantangan yang harus segera dapat dipecahkan
untuk dapat meningkatkan kemampuan keuangan kota bersangkutan.
Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya tingkat
efisiensi pengelolaan keuangan kota di Indonesia dewasa ini. Pertama,
belum optimalnya penggunaan peralatan teknologi informasi dalam
ngelolaan saint ine kota. Kedua, relatif rendahnya kualitas sumber
daya manusia yang terlibat langsung dengan pengelolaan keuangan
kota dan Ketiga, masih lemahnya sistem pengawasan keuangan yang
diterapkan dewasa ini sehingga kebocoran masih banyak terjadi dalam
jumlah cukup besar.
Memerhatikan beberapa faktor utama penyebab masih rendahnya
efisiensi pengelolaan keuangan kota tersebut, maka kebijakan yang
dapat dilakukan oleh pemerintah kota antara lain adalah dengan cara
meningkatkan ketersediaan fasilitas teknologi informasi untuk pe-
ngelolaan keuangan daerah (E= government), peningkatan kualitas
tenaga pengelolaan keuangan daerah dan perbaikan sistem pengelolaan ke-
uangan daerah secara profesional. Dengan cara demikian, maka efisiensi
pengelolaan keuangan kota akan dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan
peralatan teknologi informasi dan komputer. Tentunya kebijakan ini
harus pula diikuti dengan peningkatan keterampilan aparatur kota
dalam penggunaan peralatan teknologi informasi tersebut melalui pe-
laksanaan pelatihan teknis dan pendidikan lebih lanjut khusus dalam
Ilmu Komputer dan Teknologi Informatika.
2. Penambahan Sumber Penerimaan Baru
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan ke-
Wenangan untuk menambah sumber penerimaan baru guna me-
ningkatkan kemampuan keuangan untuk kota bersangkutan. Pe-
nambahan sumber penerimaan baru tentunya harus sesuai dengan
Ketentuan perundangan yang berlaku agar pembentukan Peraturan
Daerah (Perda) untuk penetapan jenis pungutan baru tersebut tidak
terancam dibatalkan oleh pemerintah pusat. Di samping itu, perlu pula
dijaga agar penetapan jenis pungutan baru tersebut tidak tumpang tindih
atau mengganggu sumber penerimaan kota yang telah ada sebelumnya,286 Ekonomi Wilayah dan Perkotaan
3. Penyesuaian Tarif Pajak Secara Reguler
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa nilai bang secara iil sangay
dipengaruhi oleh perkembangan harga umum atau tingkat inflasj Yang
terdapat pada negara atau kota bersangkutan, Semakin tinggi tingkar
inflasi akan semakin rendah nilai penerimaan kota secara riil. Dj samping
itu, tingkat inflasi ini juga berbeda antara satu negara atau kota dengan
negara atau kota lainnya, tergantung pada tingkat stabilitas moneter yang
terdapat pada negara bersangkutan.
Untuk dapat menjaga agar penerimaan riil keuangan kota tersebut
stabil, maka penyesuaian tarif pajak perlu dilakukan secara berkala,
apakah setiap tahun atau sekali dalam 3 tahun dengan mengacu pada
tingkat inflasi yang terdapat pada negara atau kota bersangkutan,
Dengan cara demikian, maka nilai riil dari penerimaan kota akan dapat
dipertahankan sehingga kemampuan keuangan kota tersebut untuk
membiayai kebutuhan pengelolaan dan pembangunan kota juga dapat
dipertahankan. Guna menjaga legalitasnya, tentu penyesuaian tarif pajak ini
perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD setempat.
4. Pemberantasan Penyelewengan Keuangan Kota
Tidak dapat disangkal bahwa penggelapan dan pelarian pajak sudah
merupakan kasus yang sering terjadi di Indonesia sejak Jama. Hal ini
terjadi karena administrasi pajak Indonesia sebegitu jauh belum baik
sehingga pengenaan pajak lebih banyak didasarkan pada penaksiran para
petugas pajak. Di samping itu, penyelewengan pajak ini dapat juga terjadi
bila terdapat sengketa pajak yang mendorong terjadinya negosiasi pajak
antara petugas dan wajib pajak bersangkutan.
Dalam rangka membrantas penyelewengan pajak dan keuangan
kota ini, maka pemberian hukuman yang cukup berat perlu dilakukan
terhadap setiap penyelewengan. Karena penyelewengan pajak ini biasany@
dilakukan melalui kerja sama antara wajib pajak dan petugas, pengenaan
sangsi harus dilakukan pada kedua belah pihak. Di samping itu, pens
awasan oleh aparat yang berwenang perlu dilakukan secara lebih intensif
untuk mencegah terjadinya penyelewengan tersebut. Sejalan deng’”
tindakan tersebut, upaya untuk memberantas kegiatan mafia pajak jUs*
perlu terus dilakukan dengan melibatkan para ahli hukum perpajaka?
dan kepolisian,