M, Nashihan - Reap.
BAB - VI
PONDASI
SISTEM HUKUM
Aturan Mengenai Pengenalan dan Validitas Hukum
Menurut teori yang dikritik dalam Bab IV dasar-dasar dati sistem
m yang terdiri dari situasi di mana mayoritas kelompok sosial
asa mematuhi perintah yang disertai ancaman dari orang atau orang-
ng yang berkuasa, yang mereka sendiri tidak biasa mematuhi
papun. Situasi sosial ini, bagi teori ini, merupaka syarat yang perlu
cukup dari keberadaan hukum. Kita telah menunjukkan secara
ci beberapa ketidakmampuan teori ini untuk menjelaskan beberapa
i penting dari sistem hukum kota modem: namun demikian, seba-
imana cengkera-mannya atas pikiran banyak pemikir menyarankan,
memang mengandung, meskipun dalam bentuk buram dan menye-
tkan, kebenaran tertentu tentang aspek-aspek penting hukum terten-
. Kebenaran ini bisa, bagaimanapun, hanya ditunjukkan dengan je-
, dan kepentingan mereka dinilai dengan benar, berkenaan dengan
asi sosial yang lebih kompleks di mana atutan tambahan mengenai
ngakuan diterima dan digunakan untuk identifikasi aturan utama
ngenai kewajiban: Ini adalah situasi yang pantas, jika ada, untuk di-
but pondasi sistem hukum. Dalam bab ini, kita akan mendiskusikan
bagai elemen dari situasi ini yang telah menerima hanya ungkapan
-bagaian atau menyesatkan dalam teori kedaulatan dan di lain tempat.
Dimanapun aturan mengenai pengakuan seperti ini diterima,
orang pribadi maupun pejabat diberi kriteria otoritatif untuk
engidentifikasi aturan utama dari kewajiban. Kriteria yang diberikan
uungkin, seperti telah kita lihat, mengambil satu atau lebih macam
ntuk: ini termasuk referensi pada teks otoritatif, pada pemberlakuan
islatif, pada praktek kebiasaan; pada deklarasi umum dari orang-
113Konsep Hukum M. Nashikan - Ronny F. Sompi
orang tertentu atau keputusan pengadilan yang lalu dalam kasus ter
tentu. Dalam sistem yang sangat sederhana seperti dunia Rex I yang
digambarkan dalam Bab IV, dimana hanya apa yang ia akui adalah hu-
kum dan tidak ada batasan hukum atas kekuasaan legislatifnya dikena-
kan oleh aturan adat kebiasaan atau dokumen konstitusional, satu-sa~
tonya kriteria untuk mengidentifikasi hukum akan menjadi referensi
sederhana pada fakta mengenai pemberlakuan Rex I.
Keberadaan bentuk sederhana dari aturan mengenai pengak
an ini akan ditunjukkan dalam praktek umum, pada bagian pejab’
atau orang pribadi, pada bagian mengidentifikasi atutan dengan kite
tia ini. Dalam sistem hukum modern di mana terdapat berbagai ‘sui
ber’ hukum, aturan mengenai pengenalan lebih kompleks: kritetia
tuk mengidentifikasi hukum ada beberapa dan umumnya memasule
kan konstitusi tertulis, pemberlakuan oleh badan legislatif, dan pres
den yudisial. Dalam kebanyakan kasus, ketentuan ini dibuat uni
konflik yang mungkin dengan menyusun kriteria dalam sebuah uru
dari subordinasi relatif dan keutamaan. Ini adalah cara yang dalam sis
tem “hukum bersama’ adalah bagian untuk statuta/ undang-undang,
Penting untuk membedakan subordinasi relatif dari satu krit
tia dengan yang lain dari asal, karena beberapa dukungan palsu unt
pandangan bahwa semua hukum pada dasarnya atau ‘benar-ben:
(bahkan jika hanya’ diam-diam’) adalah produk perundang-undany
telah didapatkan dari kebingungan atas kedua ide ini. Dalam sistem kt
ta senditi, adat dan preseden adalah bagian yang lebih rendah dari
undagan-undangan karena aturan hukum bersama dan adat bisa di
but statusnya sebagai hukum oleh undang-undang. Akan tetapi mer
ka berhutang status hukum mereka, sulit seperti kelihatannya, bul
pada pelaksanaan “diam-diam' dari kekuasaan legislatif tetapi pada p
nerimaan aturan mengenai pengakuan yang menyepakati tempat inds
penden meski lebih rendah itu. Sckali lagi, seperti dalam kasus seder
hhana, keberadaan aturan mengenai pengakuan yang kompleks sepei
ini dengan penyusunan yang hirarki dari kriteria yang berbeda dit
jukkan dalam praktik umum pengidentifikasian aturan dengan kriterl
seperti ini.
Dalam kehidupan sehari-hari mengenai sistem hukum, at
mengenai pengakuan sangat jarang diformulasikan secara tegas seba;
sebuah aturan; meskipun kadang-kadang, pengadilan di Inggtis bi:
mengumumkan dalam istilah umum tempat relatif dari satu kriters
114sep Hukum M. Nashihan - Ronny F. Sompie
ukum dalam hubungannya dengan lainnya, ketika mereka menegas-
supremasi dari Undang-undang Parlemen atas sumber lain atau
ber hukum yang disarankan. Karena sebagian besar dari aturan
engenai pengakuan tidak disebutkan, tetapi keberadaannya ditunjuk-
dalam cara di mana aturan-aturan tertentu diidentifikasi, baik oleh
ngadilan atau pejabat lain atau orang pribadi atau penasehat mereka.
tu saja, ada perbedaan dalam penggunaan yang dibuat oleh penga-
mengenai kriteria yang diberikan oleh aturan dan penggunaannya
h orang lain: karena ketika pengadilan mencapai kesimpulan terten-
pada pijakan bahwa aturan tertentu telah diidentifikasi secara benar
agai hukum, apa yang mereka katakan memiliki status otoritatif
sus yang diberikan atasnya oleh aturan lain. Dalam hal ini, seperti
banyak yang lain, aturan mengenai pengakuan seperti aturan sko-
¢ dari sebuah petmainan.
Dalam wacana mengenai sebuah permainan, aturan umum
ig menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan scoting/
nilaian, (cans, goals, & c.) jarang diformulasikan; malah, itu diguna-
a oleh pata pejabat dan pemain dalam mengidentifikasikan fase-fase
rtentu yang diperhitungkan menuju kemenangan. Di sini juga, dekla-
si pejabat (wasit atau pencetak gol) memiliki status otoritatif khusus
ang dikaitkan kepada mereka oleh aturan lain. Selanjutnya, dalam ke-
fa kasus itu ada kemungkinan konflik antara aplikasi otoritatif dati
‘an tersebut dan pemahaman umum tentang apa yang dibutuhkan
cara jelas menutut syarat-syaratnya. Ini, seperti yang akan kita lihat
nti, merupakan komplikasi yang harus dipenuhi dalam setiap penje-
san tentang untuk apa suatu sistem aturan ada.
Penggunaan aturan yang tidak dinyatakan mengenai pengaku-
, oleh pengadilan dan lainnya, dalam mengidentifikasi aturan-aturan
entu dari sistem ini, adalah karakteristik dari sudut pandang inter-
. Meteka yang menggunakannya dengan cara ini schingga menun-
n penetimaan mereka sendiri terhadap aturan-aturan itu sebagai
turan yang memandu panduan dan dengan sikap ini, terdapat kosa-
ta karakteristik yang berbeda dati ungkapan natural dari sudut pan-
eksternal, Mungkin yang paling sederhana dari ini adalah ungka-
, “Ini adalah hukum jika .. . ', yang bisa kita temukan di bibir tidak
anya hakim, tetapi orang biasa yang hidup di bawah sistem hukum,
tikka mereka mengidentifikasi suatu aturan yang diberikan dari sistem
. Ini, seperti ungkapan “Out ‘atau 'gol’, adalah bahasa dari orang
115Konsep Hukum M. Nashihan - Ronny F. Sompie
yang sedang menilai situasi dengan mengacu pada aturan yang sama
dengan orang lain mengakui pantas untuk tujuan ini. Sikap penerima.
an bersama dari aturan ini haras berlawanan dengan sikap seorang pe-
ngamat yang mencatat sebuah tambahan fakta bahwa kelompok sosial
menerima, atutan seperti itu tetapi dia sendiri tidak menerimanya,
Exkspresi natural dari sudut pandang eksternal tidak “Ini adalah hukum
bahwa..." tetapi ‘Di Inggris mereka mengakui sebagai hukum ... apa
pun yang Ratu di Parlemen berlakukan. . . ." Yang pertama dari ben-
tuk ungkapan ini, kita akan menyebutnya pernyataan internal karena
ita menunjukkan sudut pandang internal dan dan secara natural digu-
nakan oleh orang yang, menerima aturan mengenai pengakuan dan
tanpa menyebutkan fakta bahwa itu diterima, menerapkan aturan da-
lam mengenali beberapa aturan khusus dari system itu sebagai valid.
Bentuk kedua dati ungkapan akan kita sebut pernyataan eksternal ka-
rena itu adalah bahasa alami dari pengamat eksternal dati sistemn itu
yang, tanpa dia sendiri menerima aturan mengenai pengakuannya, me-
nyatakan fakta bahwa orang lain menerimanya.
Jika penggunaan aturan mengenai pengakuan yang diterima da-
lam membuat pernyataan internal dipahami dan dengan hati-hati dibe-
dakan dari pernyataan eksternal dari fakta bahwa aturan itu diterima,
banyak ketidakjelasan mengenai pengertian ,validitas, hukum menghi-
lang. Karena kata ‘sah/valid’ yang paling sering, meskipun tidak selalu,
digunakan, dalam pernyataan internal seperti itu, yang diterapkan pada
aturan tertentu dari sebuah sistem hukum, aturan mengenai pengaku-
an yang tidak dinyatakan atau diterima. Untuk mengatakan bahwa se-
buah aturan yang diberikan itu valid/sah adalah mengenalinya ketika
lolos semua test yang diberikan oleh aturan mengenai pengakuan dan
juga aturan dari sistem tersebut. Kita memang bisa sekedar mengata-
kan bahwa peryataan bahwa aturan tertentu itu valid berarti bahwa
itu memenuhi semua ktiteria yang diberikan oleh aturan mengenai pe-
ngakuan. Hal ini tidak benar hanya sejauh hal itu bisa mengaburkan
karakter internal dari pernyataan ini; karena , seperti para pemain kri-
ket "Out, validitas pernyataan ini normalnya diterapkan pada kasus
tertentu, aturan mengenai pengenalan yang diterima oleh pembicara
dan yang lain, daripada secara tegas menyatakan bahwa aturan itu di-
penuhi.
Beberapa teka-teki yang berhubungan dengan gagasan tentang
validitas hukum dikatakan untuk membicarakan tentang hubungan an-
116‘Konsep Hukum ‘MM. Nashiben - Ronay F. Sompie
tara validitas dan ‘kemanjaran’ hukum. Jika dengan “kemanjuran' di-
maksudkan bahwa falta bahwa aturan hukum yang mensyaratkan pe-
rilaku tertentu lebih sering dipatuhi daripada tidak, itu jelas bahwa ti-
dak ada hubungan yang diperlukan antara validitas dari setiap aturan
tertentu dan kemanjuranaya, kecuali jika aturan mengenai pengakuan
dari sistem memasukkan di antara kriterianya, karena beberapa me-
Jakukan itu, ketentuan (Kadang-kadang dirujukkan sebagai aturan
usang) bahwa tidak ada aturan harus diperhitungakan sebagai aturan
dati sistem jika telah lama berhenti berhasil/manjat,
Dati ketidakmanjuran aturan tertentu, yang mungkin atau
mungkin juga tidak diperhitungkan terhadap validitasnya, kita harus
membedakan pengabaian umum terhadap aturan sistem. Ini mungkin
begitu lengkap dalam karakter dan sangat berlarut-larut sehingga kita
harus mengatakan, dalam hal sistem baru, bahwa itu tidak pernah me-
nempatkan diti sebagai sistem hukum dari kelompok tertentu, atau, a
dalam kasus tentang sistem yang sudah-mapan, bahwa itu tidak lagi
menjadi sistem hukum dari kelompok tersebut. Dalam kedua kasus,
konteks normal atau latar belakang untuk membuat setiap pernyataan
internal yang berkenaan dengan aturan sistem tidak ada, Dalam kasus-
Kasus seperti ita umumnya akan menjadi tidak berguna untuk menilai
hak dan kewajiban orang-orang tertentu dengan mengacu pada aturan
utama dari sistem atau untuk menilai validitas dari setiap aturannya
dengan mengacu pada aturan mengenai pengakuan, Untuk bersikeras
pada penerapan sistem aturan yang tidak pernah benar-benar efektif
atau telah dibuang akan, kecuali dalam keadaan khusus yang disebut-
kan di bawah, menjadi sama sia-sia-nya dengan menilai kemajuan se-
buah permainan dengan mengacu pada aturan skor yang tidak pernah
diterima atau yang telah dibuang.
Seseorang yang membuat pernyataan internal mengenai validi-
fas aturan tertentu dari sebuah sistem mungkin dikatakan mengandai-
kan kebenatan pernyataan eksternal tentang fakta bahwa sistem itu pa-
da umumnyanya manjur. Karena Penggunaan normal dari pernyataan
internal berada dalam konteks kemanjuran umum. Bagaimanapun
akan salah untuk mengatakan bahwa Pernyataan validitas “berarti’
bahwa system itu pada umumnya manjur. Karena meski normalnya
tidak berguna atau ide untuk membicarakan tentang validitas sebuah
aturan sistem yang tidak pernah menetapkan diri atau telah dibuang,
namun demikian itu bukan tanpa arti atau selalu tidak berguna. SAtu
117Konsep Hakum M. Nashihan - Ronny F. Sompie *
cara paling jelas mengajarkan Hukum Roma adalah dengan berbicara
seolah sistem ita masih manjur dan mendiskusikan validitas aturan
tertentu dan memecahkan masalah dengan istilah-istilah mereka: dan
salah satu cara untuk menjaga harapan pada pemulihan tatanan sosial
lama yang telah dihancurkan oleh revolusi, dan menolak yang baru,
adalah untuk tetap berpegang pada criteria validitas hokum dati rezim
lama. Hal ini secara implisit dilakukan oleh Rusia Putih yang masih
Klaim hak kepemilikan berdasar beberapa atutan mengenai keturunan
yang merupakan aturan yang valid dari Tsar Rusia.
Pengertian atas hubungan kontekstual normal antara pernyata-
an bahwa aturan yagn diterima dari sebuah system itu valid/sah dan
pernyataan eksternal dari fakta bahwa sistem itu umumnya *anjur,
akan membantu kita melihat dalam perspektif yang tepat teori umum
bahwa untuk menegaskan validitas dari sebuah aturan adalah untuk
memprediksi bahwa hal itu akan dipaksakan oleh pengadilan atau be-
betapa tindakan resmi lainnya akan diambil. Dalam banyak cara, teori
ini mitip dengan analisis prediktif dati kewajiban yang kita pertim-
bangkan dan tolak dalam bab terakhir. Dalam kedua kasus yang mirip,
motif untuk memajukan teori prediktif ini merupakan keyakinan bah-
wa hanya dengan demikian interpretasi metafisis dapat dihindarkan:
bahwa pernyataan bahwa aturan itu valid/sah harus menganggap ber-
asal dari beberapa properti misterius yang tidak dapat dideteksi de-
ngan cara empiris atau itu pasti sebuah prediksi mengenai perilaku
masa depan para pejabat. Dalam kedua kasus juga, hal yang tidak ma-
suk akal dari teori ini berkenaan dengan fakta penting yang sama: bah-
wa kebenaran tentang pernyataan eksternal dari fakta, yang mungkin
dicatat oleh seorang pengamat, bahwa pada umumnya manjur dan
cenderung terus begitu, biasanya diisyaratkan oleh siapa saja yang me-
nerima aturan tersebut dan membuat pernyataan internal mengenai
kewajiban atau validitas. Keduanya tentu terkait sangat erat. Pada
akhirnya, pada kedua kasus yang mitip, kesalahan teori itu adalah sa-
ma: yaitu termasuk mengabaikan kataktet khusus dari pernyataan in-
ternal dan memperlakukannya sebagai pernyataan eksternal mengenai
tindakan resmi.
Kesalahan ini menjadi jelas seketika ketika kita mempertim-
bangkan bagaimana pernyataan hakim sendiri bahwa aturan tertentu
merupakan fungsi yang sah/valid dalam keputusan pengadilan, kare-
na, meskipun di sini juga, dalam membuat peenyataan seperti itu, ha-
118Konsep Hukum M. Nashibaa - Ronny F. Sompie
kim mengandaikan tetapi tidak menyatakan kemanjuran umum dari
sistem itu, ia jelas tidak berkepentingan untuk memprediksi tindakan
resminya sendiri atau yang lin. Pernyataannya bahwa sebuah aturan
valid/sah merupakan pemnyataan internal yang mengakui bahwa atu-
ran tersebut memenuhi tes untuk mengidentifikasi apa yang dianggap
sebagai hukum di pengadilanaya, dan tidak menunjukkan sebuah nu-
buat tetapi bagian dari alasan untuk keputusannya.
Memang ada kasus yang lebih masuk akal untuk mengatakan
bahwa sebuah pernyataan bahwa sebuah aturan itu valid/sah merupa-
kan prediksi ketika pernyataan seperti itu dibuat oleh orang pribadi;
karena dalam kasus konflik antara pernyataan tidak resmi dari validitas
dan invaliditas dan petnyataan pengadilan dalam memutuskan sebuah
kasus, setingkali masuk akal untuk mengata-kan bahwa yang lebih du-
lu harus ditarik. Tetapi bahkan di sini, seperti yang akan kita lihat keti-
ka kita samapi di Bab VII untuk menyelidiki signifikansi konflik terse-
but antara deklarasi resmi dan petsyaratan biasa dati aturan-aturan itu,
ini menjadi dogmatis untuk mengangeap bahwa jika itu ditarik sebagai
sebuah pernyataan sekarang nampak salah, karena secara salah telah
memprediksi apa yang akan dinyatakan olch pengadilan. Karena ada
lebih banyak alasan untuk menarik petnyataan-petnyataan daripada
fakta bahwa mereka salah, dan juga lebih banyak cara untuk salah dari-
pada yang dimungkinkan. Aturan mengenai pengakuan yang membe-
tikan kriteria dengan mana validitas dari aturan lain sistem ini dinilai
berada dalam pengertian penting, yang harus kita coba untuk diklarifi-
kasi, sebuah aturan utama: dan di mana, seperti biasa, terdapat bebera-
pa kriteria yang digolongkan dalam urutan subordinasi relatif dan ke-
unggulan; salah satu dari mereka adalah yang tertinggi. Gagasan-gaga-
san mengenai hal pokok aturan mengenai pengakuan dan supremasi
dari salah satu kriteria pantas untuk diperhatikan. Penting untuk me-
misahkan mereka dari teori itu, yang telah kita tolak, yang di suatu
tempat dalam setiap sistem hukum, meskipun bersembunyi di balik
bentuk-bentuk hukum, harus ada kekuasaan legislatif yang berdaulat
yang secara hukum tidak terbatas.
Dati dua ide ini, kriteria tertinggi dan aturan utama, yang per-
tama adalah yang paling mudah untuk didefinisikan. Kita bisa menga-
takan bahwa sebuah kriteria validitas hukum atau sumber hukum ada-
lab yang tertinggi jika aturan yang diidentifikasi dengan mengacu pa-
danya masih diakui sebagai aturan dari sistem tersebut, bahkan, jika
119‘Konsep Hukum M. Nashiban - Konny ¥: Sompie
mereka bertentangan dengan aturan yang diidentifikasi dengan menga-
cu pada kiteria yang lain, sedangkan aturan yang diidentifikasi dengan
mengacu pada yang terakhir tidak begitu diakui jika mereka bertenta-
ngan dengan aturan yang diidentifikasi dengan mengacu pada kriteria
tertinggi. Penjelasan serupa dalam hal perbandingan dapat dibetikan
mengenai pengertian kriteria yang “lebih tinggi’ dan ‘lebih rendah' yang
sudah kita digunakan.
Hal ini jelas bahwa pengertian dari kriteria yagn lebih tinggi
dan tertinggi hanya merujuk pada tempat yang relatif pada sebuah ska-
la dan tidak memunculkan gagasan kekuasaan legislatif yang secara hu-
kum tidak terbatas. Namun demikian, “tertinggi ' dan “tidak terbatas'
mudah untuk dikacaukan — paling tidak dalam teori hukum. Salah satu
alasan untulk ini adalah bahwa dalam bentuk yang lebih sederhana dati
sistem hukum, gagasan-gagasan tentang aturan utama mengenai pe-
ngakuan, kriteria tertinggi, dan badan legislatif yang secara hukum t-
dak terbatas nampaknya akan terkumpul.
Karena di mana ada badan legislatif tidak tunduk pada batasan
konstitusional dan wewenang dengan pemberlakuannya untuk menca-
but semua aturan hukum lain yang betasal dari sumber status mereka
sebagai hukum yang lain, itu adalah bagian dari aturan mengenai pe-
neakuan dalam sebuah sistem seperti ini bahwa pemberlakuan oleh
badan lepislatif seperti itu merupakan kriteria validitas yang tertinggi.
Hal ini, menurut teori konstitusional, merupakan posisi di Inggtis. Te-
tapi bahkan sistem seperti itu dari Amerika Serikat di mana tidak ada
badan legislatif yang secara hukum tidak terbatas bisa dengan baik me-
masukkan atutan utama mengenai pengakuan yang memberikan satu
rangkaian kriteria tentang validitas, yang salah satunya adalah yang tet-
tinggi. Ini akan menjadi begitu, di mana wewenang legislatif dari ba-
dan legislatif biasa dibatasi oleh sebuah konstitusi yang tidak mema-
sukkan kekuasaan mengamandemen, atau tempat beberapa Klausul di
Juat lingkup kekuasaan itu. Di sini tidak ada badan legislatif yang seca-
ra hukum tidak terbatas, bahkan dalam penafsiran paling luas dari 'le-
gislatif’, tetapi sistemnya tentu saja memasukkan aturan utama menge-
nai pengakuan dan, dalam klausul konstitusinya, sebuah kriteria valic-
tas tertinggi.
Pengertian dimana atutan mengenai pengakuan adalah aturan
utama dari sebuah sistem yang dipahami dengan sangat baik jika kita
mengejar sebuah rantai yang sangat dikenal dari pertimbangen hukum.
120Konsep Hukum M. Nashiban -Ronay F. Sompie
Jika pertanyaan muncul apakah beberapa aturan yang disarankan sah
secata hukum, kita harus, dalam rangka menjawab pertanyaan itu,
menggunakan sebuah kriteria validitas yang diberikan oleh beberapa
aturan lain. Apakah berdasar-hukum yagn diakui dati Oxfordshire
County Council ini valid/sah? Ya: karena dibuat dalam pelaksanaan
kekuasaan yang diberikan, dan sesuai dengan prosedur yang ditetap-
kan, dengan tatanan undang-undang yang dibuat oleh Menteri Kese-
hatan. Pada tahap pertama ini, tatanan undang-undang membetikan
kriteria dalam hal mana validitas berdasar -hukum dinilai.
Mungkin tidak ada kebutuhan praktis untuk melanjutkan lebih
jaub, tetapi ada kemungkinan tetap untuk melakukan hal itu. Kita bisa
menyangsikan validitas dati tatanan undang-undang dan menilai vali-
ditasnya dari segi undang-undang yang memberi kekuasaan kepada
menterti untuk membuat perintah seperti itu. Pada-akhirnya ketika vali-
ditas undang-undang itu telah disangsikan dan dinilai dengan mengacu
pada aturan bahwa apa yang Ratu di Parlemen berlakukan adalah hu-
kum, kita dibawa pada pemberhentian dalam pertanyaan mengenai va-
liditas: katena kita telah mencapai aturan yang, seperti tatanan undang-
undang menengah dan undang-undang, memberikan kriteria untuk
penilaian validitas aturan yang lain; tetapi tidak juga seperti mereka itu,
tidak ada aturan yang memberikan kriteria untuk penilaian tentang va-
liditas hukumnya senditi.
‘Ada, memang, banyak pertanyaan yang dapat kita munculkan
tentang aturan utama. Kita bisa bertanya apakah itu praktek pengadi-
lan, badan legislatif, pejabat, atau warga pribadi di Inggris sebenarnya
yang menggunakan aturan ini sebagai aturan utama mengenai penga-
kuan. Atau apakah proses kita tentang pertimbangan hukum telah
menjadi permainan yang tidak berjalan dengan kriteria validitas sebuah
sistem yang sekaran sudah dibuang? Kita bisa bertanya apakah itu me-
tupakan bentuk yang memuaskan dari sistem hukum yang memiliki
aturan seperti itu sebagai dasarnya. Apakah ita menghasilkan lebih ba-
nyak hal baik daripada yang jahat? Apakah ada alasan kehati-hatian
untuk mendukung itu? Apakah ada kewajiban moral untuk melaku-
kannya? Ini jelas adalah pertanyaan yang sangat penting; tetapi, sama-
sama jelas, ketika kita menanyakan kepada mereka tentang aturan me-
ngenai pengakuan, kita tidak lagi mencoba untuk menjawab pertanya-
an yang sama tentang hal ini seperti yang yang kita telah jawa tentang,
aturan-aturan lain dengan bantuannya. Ketika kita berpindah dari per-
121Konsep Hukum M. Nashihan - Rona F. Sompie
nyataan bahwa pemberlakuan khusus adalah valid karena memenuhi
aturan bahwa apa yang diberlakukan oleh Ratu di Parlemen adalah
hukum, menuju pada pernyataan bahwa di Inggris aturan terakhir ini
digunakan oleh pengadilan, pejabat, dan orang-orang pribadi sebagai
aturan utama mengenai pengakuan, kita telah berpindah dari sebuah
pernyataan internal mengenai hukum yang menyatakan validitas atu-
tan dati sistem itu menuju pernyataan ekstetnal mengenai fakta yang
mungkin dibuat olch seorang pengamat sistem bahkan meskipun ia ti-
dak menerimanya, Demikian juga ketika kita berpindah dari pernya-
taan bahwa pemberlakuan khusu itu valid/sah menuju pada pernyata-
an bahwa aturan mengenai pengakuan dari sistem adalah sangat baile
dan sistem yang berdasarkan ini adalah satu yang layak untuk didu-
kung, kita sudah berpindah dati petnyataan validitas hukum menuju
pada sebuah pernyataan nilai.
Beberapa penulis, yang telah menckankan keutamaan hukum
dati ataran mengenai pengakuan, telah mengungkapkannya dengan
mengatakan bahwa, meskipun validitas hukum dari aruran lain dari
sistem itu dapat didemonstrasikan dengan mengacu pada hal itu, vali-
ditasnya sendiri tidak bisa ditunjukkan tetapi “diasumsikan ‘atau’ dite-
rima sebagai dalil’ atau merupakan ‘hipotesis'. Hal ini mungkin, bagai-
manapun, sangat menyesatkan. Pernyataan validitas hukum yang di-
buat tentang aturan tertentu dalam kehidupan sehari-hari dari sistem
hukum baik oleh hakim, pengacara, atau warga negara biasa, memang
membawa serta perkiraan-perkiraan mereka. Mereka adalah pernyata-
an internal tentang hukum yang mengungkapkan sudut pandang me-
reka yang menerima aturan mengenai pengakuan dati sistem dan, oleh
karena itu, membiarkan tidak dinyatakan apa yang dapat dinyatakan
dalam pernyataan eksternal mengenai fakta tentang sistem itu. Jadi,
apakah bentuk-bentuk yang dibiarkan tidak dinyatakan merupakan la-
tar belakang yang normal atau konteks petnyataan dari validitas hu-
kam dan kemudian dikatakan sebagai ‘disyaratkan’ oleh mereka. Te-
tapi, penting untuk melihat secara tepat apa hal-hal yang disyaratkan
ini, dan bukan untuk mengaburkan karakter mereka. Mereka terdiri
dari dua hal.
Pertama, seseorang yang secara serius menegaskan validitas be-
berapa aturan hukum yang diberikan, katakanlah undang-undang ter-
tentu, sendiri memanfaatkan sebuah aturan mengenai pengakuan yang
ia terima sebagai pantas untuk mengidentifikasi hukum. Kedua, ini
22.Konscp Hukum M. Nashiban - Ronay F. Sompie
adalah kasus bahwa aturan mengenai pengakuan ini, dalam hal mana
ja menilai validitas undang-undang tertentu, tidak hanya diterima oleh
dia tapi merupakan aturan mengenai pengakuan yang sebenarnya dite-
tima dan digunakan dalam pelaksanaan umum sistem itu. Jika kebena-
ran dari perkiraan ini diragukan, ini bisa dibentuk dengan mengacu pa-
da praktek yang sebenarnya: dengan cara di mana pengadilan mengi-
dentifikasi apa yang harus diangeap sebagai hukum, dan pada peneri-
jaan umum terhadap atau persetujuan dalam identifikkasi ini.
"Tidak satupun dati dua perkiraan ini yang digambarkan dengan
baik sebagai “asumsi’ tentang ‘validitas' yang tidak dapat ditunjukkan.
Kita hanya perlu kata 'validitas', dan biasanya hanya menggunakannya,
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam suatu
sistem aturan dimana status aturan sebagai anggota dari sistem itu ter-
gantung pada kriteria tertentu yang memuaskan yang diberikan oleh
Geran mengenai pengakuan. Tidak ada peftanyaan seperti itu dapat
muncul tentang validitas dari aturan mengenai pengakuan yang sebe-
narnya yang memberikan kriteria; itu tidak bisa valid atau tidak valid
tetapi hanya diterima sebagai pantas untuk digunakan dalam cara ini.
Untuk mengungkapkan fakta sederhana ini dengan mengatalan vali-
ditasnya “diasumsikan’ tetapi tidak dapat ‘ditunjukkan’, seperti menga-
takan bahwa kita mengasumsikan, tetapi tidak petnah dapat menun-
juldkan, bahwa bar meter standar di Paris yang merupakan ujian akhis
dari kebenaran semua pengukuran dalam meter, itu dengan sendirinya
benar.
Sebuah keberatan yang lebih serius adalah pembicaraan ten-
tang ‘asums?” bahwa aturan akhir mengenai pengaluan ita valid me-
nyembunyikan karakter faktual yang penting dari perkiraan kedua
yang terletak di belakang pernyataan pengacara mengenai validitas. Ti-
dak diragukan bahwa praktek hakim, pejabat, dan yang lain, di mana
keberadaan yang sebenarnya dari aturan mengenai pengakuan itu ada,
mesupakan masalah yang kompleks. Seperti yang akan kita lihat nant,
pasti ada situasi di mana pertanyaan mengenai isis yang tepat dan dan
ruang lingkup dasi jenis aturan ini, dan bahkan mengenai keberadaan-
nya, mungkin tidak mengakui jawaban yang jelas atau tentu. Akan te-
tapi, penting untuk membedakan “mengasumsikan validitas' dari
“memperkirakan keberadaan’ dari aturan seperti ini, jika hanya karena
kegagalan untuk melakukan bal ini mengaburkan apa yang dimaksud
dengan pernyataan babwa aturan seperti itu memang ada.
123Konsep Hukum M. Nashihan - Roany F. Sompie
Dalam sistem yang sederhana, aturan utama dari kewajiban
yang diuraikan dalam bab terakhir, pernyataan bahwa aturan yang di-
berikan itu ada hanya bisa menjadi pernyataan eksternal mengenai fak-
ta misalnya seorang pengamat yang tidak menerima aturan-aturan ita
mungkin membuat dan memverifikasi dengan memastikan apakah,
pada kenyataannya, jenis perilaku yang diberikan secara umum diteri-
ma sebagai sebuah standard dan disertai dengan ciri-ciri yang, seperti
telah kita lihat, membedakan aturan sosial dari kebiasaan konvergen
belaka, Dengan cara ini juga kita sekarang harus menafsirkan dan
memverifikasi pernyataan bahwa di Inggris memang ada aturan-mes-
kipun tidak legal- bahwa kita harus bertelanjang kepala ketika mema-
suki sebuah gereja. Jika aturan seperti ini ditemukan dalam praktek
yang sebenatnya dari sebuah kelompok sosial, tidak ada pertanyaan
terpisah mengenai validitas mereka untuk dibahas, meski tentu saja
nilai atau sifat untuk diinginkan terbuka untuk dipertanyakan. Setelah
keberadaan mereka ditetapkan sebagai fakta kita hanya harus membi-
ngungkan masalah dengan menegaskan atau menyangkal bahwa mere-
ka valid atau dengan mengatakan bahwa “kita mengasumsikan’ tetapi
tidak bisa menunjukkan validitas meteka. Dimana, di sisi lain, seperti
dalam sistem hukum yang matang, kita memiliki sistem aturan yang
memasukkan aturan mengenai pengakuan schingga status sebuah atu-
ran sebagai anggota dari sistem itu sekarang tergantung pada apakah
itu memenuhi kriteria tertentu yang diberikan oleh aturan mengenai
pengakuan, ini membeawa serta aplikasi baru dari kata ‘ada ', Pernyata-
an bahwa atutan ada sekarang mungkin tidak lagi menjadi apa itu da-
lam kasus sederhana dari aturan adat — pernyataan eksternal mengenai
fakta bahwa jenis pecilaku tertentu pada umumnya diterima sebagai
standard dalam praktek. Ini sekarang mungkin menjadi sebuah pet-
nyataan internal yang menerapkan aturan mengenai pengakuan yang
ditecima tetapi tidak dinyatakan dan bermakna (kira-kira) tidak lebih
dati ada valid yang diberikan kriteria validitas sistem tersebut. Dalam
hal ini, bagaimanapua, seperti dalam yang lain, aturan mengenai pe-
ngakuan tidak seperti aturan lain dari sistem tersebut. Pernyataan bah-
wa itu ada hanya dapat menjadi pernyataan eksternal mengenai falta.
Karena sebaliknya sebuah aturan yang lebih rendah dari sebuah sistem
mungkin valid dan dalam pengertian itu “ada” bahkan jika itu secara
umum diabaikan, aturan mengenai pengakuan ada hanya sebagai prak-
tek yang kompleks, tetapi tersusun, dari pengadilan, pejabat, dan
124