Professional Documents
Culture Documents
Hubungan Mindfulness Dan Kualitas Hidup Orang Dewasa: August 2016
Hubungan Mindfulness Dan Kualitas Hidup Orang Dewasa: August 2016
net/publication/318128207
CITATIONS READS
2 1,172
3 authors:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ratih Arruum Listiyandini on 04 July 2017.
Abstract
Density and high stress levels in Jabodetabek could be trigger poor health-related quality of life in the
community. One of the factors that can reduce stress levels and support the achievement of a better quality of
life in individuals is the ability to recognize, manage and receive a variety of events that occur at this time, a
condition known as mindfulness. This research seeks to determine the role of mindfulness towards the health-
related quality of life in adults who living at Jabodetabek. Using quantitative methods and correlational design,
Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) and quality of life questionnaire, namely EQ-5D-5L were
distributed to 324 people aged 21-60 years with vary gender and backgrounds. From the analysis using
Spearman correlation, it was found that there is a significant negative relationship between the dimensions of
non-reactivity and non-judging of the trait mindfulness with depression / anxiety, as well as the positive
relationship between the dimensions of non-reactivity and observing to their perceptions of health status. This
indicates that the more a person is able to fully alert, pay attention, and receive all internal and external
experiences that exist without judgement or react negatively, the lower the tendency to experience depression or
anxiety, and the more he feels in good health. The implications of the research are described in the discussion.
Pendahuluan
Sebagian besar dari populasi dunia saat ini tinggal di kota besar sehingga pemerintah
memberi prioritas dalam peningkatan kesejahteraan penduduk di kota (Dye, 2008).
Jabodetabek merupakan salah satu jaringan perkotaan di Indonesia, yang terdiri dari DKI
Jakarta sebagai kota utama, serta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai kota satelit
pendukung DKI Jakarta. Disebut sebagai salah satu kota megapolitan terbesar di dunia,
Jabodetabek memiliki populasi kurang lebih 30 juta orang, menduduki posisi nomor 2 setelah
Tokyo-Yokohama (Suhendra, 2014).
Kehidupan di kota besar dapat membawa dampak baik dan buruk. Meskipun warga
kota, pada umumnya, memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pedesaan dalam
hal sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan, namun kehidupan perkotaan juga
dapat diikuti dengan peningkatan kemunculan penyakit kronis, kehidupan sosial yang
membuat stres, serta kesenjangan sosial yang besar (Laderbegen, Kirsch, Haddad, dkk,
2011). Kondisi stress yang dialami oleh warga perkotaan, tentunya akan berdampak pula
pada kualitas hidup yang dimiliki, khususnya terkait kesehatan. Kualitas hidup dapat
diartikan sebagai persepsi seseorang mengenai posisinya di dalam kehidupan, dalam konteks
sistem budaya dan nilai yang dianutnya, serta terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan
hal-hal yang mereka pedulikan (WHO dalam Skevington, Lotfy dan Connell, 2004). Kualitas
hidup adalah konsep yang luas terkait dengan kesejahteraan seseorang pada berbagai domain,
dengan kualitas hidup terkait kesehatan adalah salah satunya (Davies dalam Petersson,
Simeonsson, Enskar & Huus, 2013). Kualitas hidup terkait kesehatan adalah konsep
multidimensional yang merujuk pada persepsi seseorang mengenai kemampuannya dalam hal
perpindahan tempat (mobilitas), perawatan diri, aktivitas sehari-hari, adanya
nyeri/ketidaknyamanan fisik yang dirasakan, serta ada tidaknya depresi/kecemasan yang ia
rasakan (Willie, dkk, 2010).
1
2
Salah satu dampak buruk terkait kualitas hidup yang dinilai terbukti muncul pada
warga perkotaan adalah masalah kesehatan mental, yaitu depresi serta kecemasan. Hasil
meta-analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan resiko yang lebih besar
untuk mengalami gangguan kecemasan (sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%)
(Peen, Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010). Data ini didukung pula oleh hasil eksperimen
dari Laderbegen, dkk (2011) yang menunjukkan bahwa warga kota memiliki aktivitas
amygdala, bagian otak terkait dengan emosi dan stress, yang lebih tinggi saat menghadapi
stress sosial dibandingkan warga yang tidak tinggal di perkotaan. Dengan kata lain,
kehidupan di perkotaan dan stress sosial yang dialami warga kota, dapat memicu
terganggunya kualitas hidup. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas hidup warga yang
tinggal di perkotaan, maka perlu untuk diketahui mengenai faktor yang dapat membantu atau
berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat kota.
Belakangan ini, di berbagai negara umumnya, dan khususnya Indonesia, sudah mulai
berkembang penelitian-penelitian mengenai topik transpersonal, dimana mindfulness sebagai
salah satu bagian di dalamnya. Mindfulness didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberi
atensi atau perhatian terhadap diri secara apa adanya tanpa memberikan penilaian serta
menerima segala pengalaman yang muncul saat ini (Kabat-Zinn, 1999 dalam Baer, Smith, &
Allen, 2004). Kemampuan mindfulness dapat dilatih dan ditingkatkan melalui serangkaian
proses pelatihan. Namun demikian, terdapat pula orang-orang yang sudah cenderung mampu
menampilkan kesadaran secara utuh dan penuh dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga
dapat dikatakan memiliki trait mindfulness. Orang dengan trait mindfulness yang tinggi,
cenderung mampu bersikap sadar utuh dalam berbagai konteks. Menurut Baer., dkk (2004)
dan Lilja, dkk (2011), trait mindfulness dapat dipandang sebagai sesuatu yang
multidimensional. Terdapat lima dimensi dari trait mindfulness yang biasa diukur dalam
skala FFMQ (Five Facet Mindfulness Questionnaire), yaitu: 1) observing atau mengamati
serta memberi perhatian pada berbagai stimulus yang di sekitarnya; 2) describing, yaitu
mampu mengungkapkan berbagai fenomena internal maupun eskternal dengan kata yang
tepat; 3) acting with awareness, atau terlibat secara penuh dalam situasi saat ini tanpa
membagi atensi dengan lainnya, 4) acceptance without judgement atau non-judging, yaitu
menerima segala perasaan atau pikiran yang terjadi tanpa memberi penilaian, dan 5) non-
reactivity, yaitu berusaha menerima, memahami, dan merasakan sepenuhnya dahulu
mengenai apa yang terjadi sebelum kemudian melakukan tindakan tertentu.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan pentingnya peran trait
mindfulness dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Mas’udah (2014) tentang
mindfulness dalam komunikasi antar budaya, menggunakan subjek dari peserta yang berasal
dari Indonesia dan Polandia, menunjukkan hasil bahwa bagi peserta yang menggunakan
mindfulness dalam berkomunikasi dengan peserta lain yang berbeda negara, berhasil
mengatasi kecemasan dan ketidakpastian mengenai topik yang disampaikan oleh peserta lain
tersebut. Penelitian lainnya oleh Evanytha (2012) mengenai pengaruh mindfulness terhadap
kekuatan ego menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari mindfulness
terhadap kekuatan ego sebagai sistem kepribadian yang terkait dengan regulasi keadaan
dalam diri dan perilaku individu. Dari hasil penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa,
trait mindfulness tampak bisa memiliki manfaat dalam peningkatan kesehatan mental dan
emosional. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh
Kabat Zin (dalam West, 2008) yang menemukan bahwa individu dengan trait mindfulness
tampak memiliki fisik dan mental yang sehat, tidak mudah cemas, tidak mudah depresi,
memandang hidup lebih baik, memiliki hubungan positif dengan orang lain, dan memiliki
harga diri yang baik.
Meskipun demikian, belum ada penelitian di Indonesia yang membahas mengenai
hubungan langsung antara trait mindfulness dengan kualitas hidup warga di perkotaan. Pada
3
masyarakat perkotaan seperti di Jabodetabek, kehidupan yang serba cepat, kemacetan, serta
ada banyaknya distraksi dengan adanya paparan informasi teknologi, bisa menjadi
pengganggu kualitas hidup. Dengan demikian, trait mindfulness dibutuhkan agar mereka
tetap bisa fokus, sadar dengan berbagai hal yang sedang dilakukan, menerima segala sesuatu
tanpa harus menghakimi, serta mampu memilih respon yang tepat dari berbagai situasi. Pada
penelitian ini, peneliti akan mengkaji mengenai hubungan antara mindfulness dengan kualitas
hidup warga di Jabodetabek. Peneliti berhipotesis bahwa mindfulness memiliki hubungan
dengan kualitas hidup terkait kesehatan warga di Jabodetabek, khususnya pada aspek
kesehatan mental.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain asosiatif, yang terdiri
atas dua variabel yaitu trait mindfulness sebagai variabel pertama dan kualitas hidup sebagai
variabel kedua.
Partisipan Penelitian
a. Skala FFMQ
FFMQ adalah alat ukur yang disusun untuk mengukur trait mindfulness dalam diri
seseorang. FFMQ ini disusun oleh Baer, dkk (2006), dan mengukur lima aspek
multidimensional dari mindfulness, yaitu: observing, describing, acting with awareness,
non-reactivity, dan non-judgement. Skala asli FFMQ terdiri dari 39 item dengan
menggunakan skala likert dari 1-5. Penghitungan skor akhir FFMQ didasarkan pada
penghitungan skor total per dimensi dibagi dengan jumlah item yang ada, sehingga akan
didapatkan skor paling tinggi 1 dan paling rendah 5. Dari 39 item yang diujicoba, terdapat
4
satu item pada dimensi non-reactivity yang tidak diikutsertakan dalam pengolahan data
karena memiliki korelasi item-total <0.2. Setelah dilakukan proses adaptasi, hasil uji
psikometri menunjukkan FFMQ memiliki reliabilitas internal per dimensi sebesar >0.7-
0.8, dan didapatkan total 38 item yang terdiri dari 8 item untuk empat dimensi
(Describing, Observing, Acting with Awareness, dan Non-Judging), serta 6 item untuk
dimensi Non-Reactivity.
b. Skala EQ 5D5L
Untuk mengukur kualitas hidup, peneliti menggunakan skala EQ 5D-5L, yaitu skala
standar dan umum yang secara luas digunakan untuk mengukur kualitas hidup terkait
dengan kesehatan. Dengan kata lain, skala ini dapat digunakan untuk mengukur status
kesehatan seseorang dan keberfungsiannya dalam sehari-hari. Skala ini dirancang oleh
konsorsium EuroQoL untuk digunakan pada populasi dewasa (>18 tahun), dan sudah
dimanfaatkan secara internasional pada berbagai setting, baik pada uji klinis maupun
survey lapangan. Skala ini sudah diujicobakan kepada populasi di enam negara,yang
melibatkan patien dengan penyakin kronis maupun populasi mahasiswa. Properti
pengukuran dalam EQ-5D ini tergolong baik dalam hal feasibility, ceiling effect, daya
diskriminasi, dan validitas konvergen (Reenen & Jansen, 2015). Skala ini juga sudah
diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti dari Universitas Padjajaran dan
Universitas YARSI Jakarta.
Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian pada 324 partisipan terkait dengan gambaran
trait mindfulness, kualitas hidup, dan hubungan antara kualitas hidup dengan trait
mindfulness.
Berikut adalah gambaran trait mindfulness dari partisipan pada penelitian ini dari
kemungkinan skor 1-5:
5
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 1, tampak bahwa partisipan penelitian memiliki
mindfulness paling baik pada dimensi Non-Reactivity. Sementara untuk dimensi Non-Judging
ditemukan paling rendah di antara skor pada dimensi lainnya. Bila disajikan dalam bentuk
grafik, berikut adalah profilnya:
Gambar 1. Grafik Profil Mindfulness
3.25
3.2
3.15
3.1
3.05
3 Mindfulness
2.95
2.9
2.85
2.8
2.75
Observing Describing Act Awareness Non-React Non-Judge
Berdasarkan data yang didapat di dalam kuesioner EQ-5D, berikut adalah gambaran kualitas
hidup dari 324 partisipan penelitian:
Selain gambaran mengenai level kualitas hidup pada tiap dimensi, di bawah ini juga
ditampilkan skor persepsi partisipan terkait dengan status kesehatan yang dimilikinya.
Rentang skor adalah berkisar dari 0-100, yaitu 0 mengindikasikan bahwa status kesehatan
yang dipersepsikannya sangat buruk dan 100 yang mengindikasikan bahwa status kesehatan
yang dipersepsikannya sangat baik.
Tampak bahwa partisipan penelitian memiliki rata-rata persepsi status kesehatan yang cukup
baik, yaitu M=83.2438 (SD=12.40).
Berikut adalah tabel yang menggambarkan korelasi antara trait mindfulness dengan kualitas
hidup partisipan.
Pembahasan
Seperti halnya dipaparkan dalam hasil, tampak bahwa sesuai hipotesis penelitian,
trait mindfulness memiliki hubungan dengan kualitas hidup warga di Jabodetabek. Dalam hal
ini, dimensi non-reactivity dan non-judging berhubungan terbalik dengan depresi/kecemasan,
serta terdapat pula hubungan positif antara dimensi non-reactivity dan observing dengan
persepsi partisipan mengenai status kesehatannya secara umum. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Kabat Zin (dalam West, 2008) yang menemukan bahwa individu dengan trait
mindfulness tampak memiliki fisik dan mental yang sehat, tidak mudah cemas, tidak mudah
depresi, dan memandang hidup lebih baik.
Non-reactivity adalah kemampuan individu untuk bisa menunda respon, tidak terburu-
buru dalam memberikan reaksi mengenai pengalaman, pemikiran, serta perasaan yang
dialaminya, sehingga mampu bersikap tenang dalam berbagai situasi (Baer, 2004). Saat
individu mampu bersikap non-reaktif, maka ia akan lebih memiliki kontrol diri dan lebih
bijak dalam memandang segala hal yang terjadi pada dirinya. Seperti diketahui, depresi
merupakan suatu gejala gangguan mood, yang ditandai pula dengan adanya pikiran negatif
mengenai diri sendiri hingga kecenderungan bunuh diri, sedangkan kecemasan bersumber
dari pikiran-pikiran negatif yang tidak realistis mengenai hal yang belum terjadi (Pinel,
2007). Dengan non-reactivity, individu akan selalu mampu bersikap tenang dalam
menghadapi masalah. Ketenangan dalam menghadapi masalah ini membantu warga
perkotaan untuk tetap bisa berpikir jernih dalam berbagai masalah ataupun menilai kejadian,
hingga pada akhirnya menurunkan kecenderungan terjadinya depresi/kecemasan.
Dengan non-reactivity, maka individu pun juga akan cenderung mampu untuk
bersikap apa adanya dan tidak melebih-lebihkan segala hal yang terjadi di hidupnya (Baer,
dkk, 2004). Oleh karena itu, selain membantu menurunkan kecenderungan depresi/kecemasn,
non-reactivity juga berhubungan positif dengan persepsi seseorang mengenai kesehatan yang
dimilikinya. Individu yang bersikap apa adanya, tidak melebih-lebihkan segala sesuatu yang
dirasakan atau dialaminya, akan cenderung memandang dirinya memiliki kesehatan yang
baik. Para warga Jabodetabel yang memiliki non-reactivity yang tinggi, menjadi tidak terlalu
mengeluh atau memandang negatif masalah-masalah kesehatan yang mungkin dimiliki akibat
kehidupan di perkotaan dan merasa bahwa kesehatan yang dimilikinya cenderung baik.
Bila non-reactivity lebih terkait dengan bagaimana seseorang mampu menunda respon
terhadap masalah yang muncul, maka non-judging lebih terkait dengan adanya penerimaan
terhadap berbagai fenomena yang muncul tanpa perlu menghakimi (Baer, dkk, 2004).
Dengan adanya non-judging, seseorang mampu menerima segala hal dengan hati terbuka, ,
9
dan memaknai segala sesuatu secara netral dan apa adanya, tanpa menghakimi benar atau
salah. Sikap penerimaan apa adanya ini, membantu individu untuk terhindar dari pikiran-
pikiran negatif dan menghakimi yang biasanya muncul pada orang dengan depresi atau
kecemasan. Oleh karena itu, non-jugding pun berhubungan terbalik dengan masalah
depresi/kecemasan pada partisipan. Semakin partisipan mampu menerima segala masalah
yang muncul sebagai konsekuensi dari hidup di perkotaan, tanpa menghakimi, dan bersikap
terbuka, maka semakin mereka mampu terhindar dari masalah depresi/kecemasan.
Pada dimensi observing, ditemukan terdapat pula kaitannya dengan persepsi mengenai
status kesehatan. Observing melibatkan kemampuan individu untuk bisa mengamati,
merasakan dengan seksama, dan menghayati segala sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, atau
dialami sehari-hari (Baer, dkk, 2004). Dengan kemampuan ini, individu mampu untuk
menyadari segala hal yang sedang terjadi atau sensasi yang ia rasakan. Kemampuan ini
tampaknya membantu para partisipan untuk menjadi lebih tahu waktu dan kondisi yang tepat
dalam rangka memeriksa atau menjaga kesehatannya. Terdapat penelitian yang menyatakan
bahwa kondisi mindful membantu orang untuk berperilaku lebih sehat (Roberts & Danoff-
Burg, 2010). Oleh karena itu, para warga Jabodetabek yang mampu melakukan observing
dengan baik, diduga cenderung lebih mampu berperilaku sehat, dan pada akhirnya merasa
memiliki kesehatan yang lebih baik. Kaitan antara observing dengan persepsi akan kesehatan
ini perlu diuji lebih lanjut di penelitian selanjutnya.
Pada penelitian ini, describing dan acting with awareness ditemukan tidak memiliki
hubungan langsung dengan kualitas hidup. Describing menggambarkan kemampuan
seseorang untuk mampu mendeskripsikan atau menggambarkan pengalaman yang
dimilikinya dengan kata-kata, sedangkan acting with awareness menggambarkan
kemampuan individu untuk selalu bisa memberi perhatian penuh mengenai satu hal pada satu
waktu, di sini dan saat ini (Baer, dkk, 2004). Tidak adanya hubungan langsung antara
describing dan acting with awareness dengan kualitas hidup yang diukur dalam penelitian ini,
tampaknya karena dua dimensi tersebut mengukur hal yang berbeda dengan apa yang dilihat
di dalam kualitas hidup. Kualitas hidup terkait kesehatan yang diukur dalam penelitian ini,
melibatkan komponen fisik dan mental atau emosional. Di sisi lain, kemampuan describing
lebih melibatkan aspek kognitif dan verbal, sedangkan acting with awareness juga lebih
melibatkan domain atensi dalam kemampuan kognitif. Oleh karena itu, faktor dalam
mindfulness yang lebih terkait dengan kualitas hidup adalah memang hanya faktor yang
relevan dengan aspek emosional. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian lainnya.
Bila kita meninjau profil trait mindfulness dari partisipan, tampak bahwa faktor non-
reactivity adalah yang paling baik dimiliki oleh partisipan, sebaliknya faktor act with
awareness partisipan tampak terlihat paling rendah di antara faktor lainnya. Seperti yang
sudah dijelaskan, non-reactivity akan membantu seseorang untuk bersikap tenang, menerima
apa adanya, dan tidak berlebihan dalam menilai sesuatu. Pada warga Jabodetabek,
kemampuan non-reactivity ini tergolong baik, hal ini tampaknya karena sebagian besar warga
Jabodetabek tampaknya sudah cenderung sudah biasa menjalani kehidupan yang padat di
perkotaan tanpa terlalu banyak mengeluh.
Namun demikian, di antara seluruh dimensi mindfulness, dimensi non-judging of inner
experience dan acting with awareness tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
warga Jabodetabek mempersepsi bahwa mereka kurang mampu untuk memberi perhatian
penuh terhadap suatu hal pada satu waktu dan cenderung memberi penilaian atau evaluasi
baik dan buruk terhadap pengalaman internal dan eksternal yang mereka rasakan.
Kecenderungan acting with awareness yang rendah tampaknya bisa terkait dengan kehidupan
di Jabodetabek yang cenderung sibuk, sehingga masyarakat sering melakukan berbagai hal
dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, menyetir kendaraan sambil menerima laporan,
mengetik laporan sembari berselancar di internet, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan
10
adanya teknologi ponsel pintar mengakibatkan warga di Jabodetabek tampaknya tidak
mampu berhenti dari distraksi informasi yang muncul di sosial media ataupun internet.
Tercatat dari data penelitian dari Yahoo-TNS Net Index Indonesia tahun 2010 (Ratih, 2011),
bahwa pengguna ponsel pintar di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi adalah yang
terbesar di Indonesia. Selain itu, kecenderungan non-judging of inner experience yang
tergolong rendah dapat mengakibatkan warga Jabodetabek menjadi lebih mudah terganggu
akan perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga muncul pula gejala depresi serta kecemasan
yang dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 20%.
Terkait dengan kualitas hidup, tampak bahwa partisipan memiliki kualitas hidup yang
tergolong cukup baik. Hal ini terlihat dari skor status kesehatan masyarakat yang di atas 80
(M=83.4) dari skala 100, serta sebagian besar partisipan (54%) memiliki kualitas hidup yang
paling prima dengan tidak adanya satu pun masalah dalam domain kesehatan, yaitu dengan
mendapat indeks valuasi 11111 pada semua dimensi. Bila dilihat berdasarkan per dimensi,
tampak pula bahwa 89-90% partisipan tidak merasa memiliki masalah dalam hal mobilitas,
perawatan diri, dan aktivitas sehari-hari. Namun demikian, terdapat 32-33% partisipan yang
memiliki masalah dari taraf ringan hingga sedang dalam hal nyeri/ketidaknyamanan serta
depresi/kecemasan. Data ini sesuai dengan pendapat sebelumnya dari Laderbegen, dkk,
(2011) bahwa meskipun warga kota, pada umumnya, memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dibandingkan pedesaan dalam hal sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan,
namun kehidupan perkotaan juga dapat diikuti dengan peningkatan kemunculan penyakit
kronis, kehidupan sosial yang membuat stres, serta kesenjangan sosial yang besar. Hasil
meta-analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan resiko yang lebih besar
untuk mengalami gangguan kecemasan (sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%)
(Peen, Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010).
Terdapat beberapa keterbatasan dari penelitian ini. Di antaranya adalah persebaran
demografi responden yang cenderung kurang merata. Sebagian besar partisipan adalah laki-
laki, berpusat di DKI Jakarta, dan datang dari kelas ekonomi menengah atas. Selain itu,
pengambilan sampel di wilayah Jabodetabek saja membuat penelitian ini tidak mampu
dijadikan acuan dalam menilai kualitas hidup warga di kota lainnya di Indonesia. Terkait
dengan skala FFMQ yang digunakan, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai validitas
dan reliabilitas dari skala pada populasi yang lebih luas dengan teknik psikometri yang lebih
dapat diandalkan. Dengan demikian, gambaran trait mindfulness yang didapatkan juga bisa
menjadi lebih akurat pada berbagai seting populasi. Di samping itu, hasil korelasi dimensi
pada trait mindfulness dengan kualitas hidup dapat tergolong rendah (r=0.1-0.2, p<0.05),
sehingga ada kemungkinan bahwa hubungan yang terjadi adalah hubungan yang tidak
langsung atau dimediasi oleh variabel lainnya. Penelitian selanjutnya perlu menggali
mengenai hal ini.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa trait mindfulness
memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup terkait kesehatan, khususnya pada
domain kesehatan mental serta persepsi akan status kesehatan. Semakin seseorang mampu
untuk tidak bersikap reaktif, menerima apa adanya, dan tidak melebih-lebihkan segala
sesuatu yang terjadi (memiliki sikap non-reactivity), maka semakin rendah kecenderungan
depresi/kecemasan yang dimilikinya serta semakin ia merasa sehat. Menerima segala sesuatu
secara terbuka tanpa memberi penilaian (accepting without judgement), juga membantu untuk
seseorang terhindar dari depresi/kecemasan. Selain itu, kemampuan untuk bisa mengamati
11
dan memperhatikan berbagai sensasi fisik maupun emosional yang terjadi di sekitarnya
(observing) juga membantu seseorang memiliki persepsi status kesehatan yang lebih baik.
Saran
Saran dalam penelitian ini terdiri dari saran teoretis dan praktis. Saran teoretis meliputi
teknik sampling yang perlu diperbaiki agar lebih mampu mewakili profil demografis dari
warga Jabodetabek, validasi skala dengan menggunakan standar psikometri yang lebih baik,
serta meneliti variabel lainnya yang mungkin memediasi hubungan antara kualitas hidup dan
trait mindfulness.
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini adalah terkait dengan pentingnya
mengembangkan trait mindfulness untuk peningkatan kualitas hidup warga Jabodetabek.
Mengingat bahwa mindfulness juga adalah keterampilan yang bisa dikembangkan, terdapat
beberapa pelatihan dapat dilakukan untuk meningkatkan mindfulness, seperti pelatihan
meditasi mindfulness, yoga, ataupun body scanning. Diharapkan bahwa dengan
meningkatnya mindfulness, warga Jabodetabek akan lebih mampu bersikap non-reaktif,
menerima segala sesuatu tanpa menghakimi, dan memperhatikan berbagai sensasi serta
pengalamannya dengan seksama, sehingga mampu memiliki kondisi emosional yang stabil,
terhindar dari depresi maupun kecemasan, serta memiliki status kesehatan yang baik.
Daftar Pustaka
Suhendra. (2014). Jabodetabek Calon Megapolitan Terbesar ke-2 di Dunia, diunduh dari
http://finance.detik.com/read/2014/02/19/123111/2501962/1016/jabodetabek-calon-
megapolitan-terbesar-ke-2-di-dunia, tanggal 5 Agustus 2016.
Ratih, K. (2011). Pengguna internet di Indonesia meningkat drastis. Diunduh dari
http://ratihsubagyo.blogspot.co.id/2011/01/pengguna-internet-di-indonesia.html, tanggal
5 Agustus 2016.