Professional Documents
Culture Documents
Deskriptif Gangguan Tidur PDF
Deskriptif Gangguan Tidur PDF
ABSTRAK
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang
disebabkan oleh produksi antibodi dan pelengkap deposit kompleks imun yang
menghasilkan kerusakan jaringan, umumnya pasien SLE mengalami gangguan
tidur yang mengakibatkan gangguan kualitas hidup dan gangguan fungsi kognitif.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kuantitas tidur, jenis gangguan
tidur yang terjadi, dan intensitas terjadinya gejala gangguan tidur. Jenis penelitian
yaitu deskriptif kuantitatif dengan mememodifikasi The Sleep-50 Questionnaire.
Teknik sampel yaitu purposive sampling. Hasil penelitian dari 75 responden
didapatkan 46,67% terjadi penurunan kuantitas tidur sebelum dan setelah terkena
penyakit SLE. Berdasarkan jenis gangguan tidur, 26,67% mengalami apne tidur,
30,67% mengalami insomnia, 42,67% mengalami narkolepsi, 20% mengalami
restless legs syndrome. Berdasarkan intensitas, 61,33% tidak pernah mengalami
gejala apne tidur, 56% jarang mengalami gejala insomnia, 54,67% tidak pernah
mengalami gejala narkolepsi, dan 70,67% tidak pernah mengalami gejala restless
legs syndrome. Simpulan ditemukan jenis gangguan tidur yang terjadi yaitu
insomnia, apne tidur, narkolepsi dan restless legs syndrome.
Kata kunci : gangguan tidur, intensitas gejala gangguan tidur, kuantitas tidur,
SLE
ABSTRACT
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) is a multysystem disease that is
caused by antibody production and complement fixing immune complex
deposition that result in tissue damage, SLE patients commonly experience sleep
disturbances that lead to impaired quality of life and impaired cognitive function.
Type of research was descriptive quantitative with modification of The Sleep-50
Questionnaire. Engineering samples was purposive sampling. Sampling technique
was purposive sampling. Results obtained from 75 was 46.67% decreased in the
quantity of sleep before and after exposure to SLE disease. Based on the type of
sleep disorder, 26.67% had Sleep Apnea, 30.67% had insomnia, 42.67% had
narcolepsy, 20% had restless legs syndrome. Based on the intensity, 61.33% had
never experienced symptoms of sleep apnea, 56% rarely experience symptoms of
insomnia, 54.67% had never experienced symptoms of narcolepsy, and 70.67%
never experienced symptoms of restless legs syndrome. Conclusions found sleep
disturbance types was insomnia, sleep apnea, narcolepsy and restless legs
syndrome.
Keywords : SLE, sleep disorders, sleep quantity, sleep disorder symptom
intensity
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor,
Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
1
PENDAHULUAN
oleh produksi antibodi dan pelengkap deposit kompleks imun yang menghasilkan
pasien SLE, perbedaan target organ spesifik pada antibodi dapat disebabkan oleh
tidur pada pasien SLE. Menurut Costa (2008) bahwa terjadi penurunan waktu
total tidur pada pasien SLE dibandingkan dengan orang yang normal. Menurut
Valencia (2004) 21,4% mengalami gangguan henti tidur dengan intensitas sedang,
28,6% mengalami sedikit kelainan pada pernapasan saat tidur dan 35,7% dari
sampel memenuhi kriteria objektif untuk gangguan gerakan saat tidur. Beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada pasien SLE yaitu
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Beatriz, et al. (2006) dijelaskan bahwa
2000).
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
2
Mekanisme yang mempengaruhi kekurangan tidur pada sistem kekebalan
kekebalan tubuh juga dipengaruhi oleh kekurangan tidur, seperti sistem endokrin.
pertumbuhan (GH) dan prolaktin (PRL). Lange dan rekan (2003) mengamati
GH dan PRL. Oleh karena itu, gangguan tidur dapat mempercepat terjadinya
pentingnya tidur yang cukup pada pasein SLE (Beatriz, et al. 2006).
Adapun dampak lain dari gangguan tidur pada SLE yaitu mengakibatkan
kelelahan (Iaboni, et al., 2006). Kelelahan adalah salah satu yang paling sering
dilaporkan gejala dari SLE (Krupp, Larocca, Muir, & Steinberg, 1990). Efek
Selain itu, hasil survei yang dilakukan pada 12 orang pasien SLE
orang lainnya menyatakan keluhan tentang gangguan tidur yang diderita. Adapun
gangguan tidur yang dialami yaitu kesulitan memulai tidur, sering terbangun
ditengah tidur dan sulit untuk tidur kembali setelah terbangun ditengah tidur
sebanyak empat orang. Dampak yang terjadi dari gangguan yang dialami oleh
ketujuh pasien tersebut yaitu merasa kelelahan sepanjang hari, mudah jengkel dan
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
3
Dari hasil studi pendahuluan diatas menunjukkan bahwa penyakit SLE
berdampak pada kuantitas dan kualitas tidur. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran gangguan tidur pada
pasien SLE.
Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran gangguan tidur pada pasien
Sistemik Lupus Eritematosus, meliputi kuantitas tidur pasien sebelum dan sesudah
terkena SLE, jenis gangguan tidur yang dialami oleh pasien SLE dan intensitas
tim perawat khusus dalam penanganan gangguan tidur dan pelatihan kepada
tenaga keperawatan mengenai penanganan gangguan tidur yang tepat pada pasien
SLE. Bagi peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai referensi dan data dasar
METODE PENELITIAN
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien SLE yang
yang terjadi dan bersedia menjadi sampel penelitian.Variabel yang ingin diteliti
dalam penelitian ini yaitu gangguan tidur dengan dimensi jenis gangguan tidur,
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
4
kuantitas tidur pasien SLE sebelum terdiagnosa SLE dan sesudah terdiagnosa SLE
mengenai data demografi pasien, kuantitas tidur sebelum dan setelah terkena SLE,
jenis gangguan tidur yang terjadi dan intensitas gejala gangguan tidur yang terjadi.
Adapun uji validitas dan reliabilitas dari instrumen The Sleep-50 Questionnare
yaitu konsistensi internal 0,85 dan uji reliabilitas-tes ulang sebesar 0,78 (Shahid,
Teknik analisis data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu
kuantitas tidur, jenis gangguan tidur dan intensitas gejala gangguan tidur.
Kuantitas tidur yaitu perbandingan antara total jumlah jam tidur (siang dan malam
hari) sebelum dan setelah terkena SLE. Hasilnya yaitu apabila menurun maka
jumlah jam tidur sebelum terkena SLE > jumlah jam tidur setelah terkena SLE,
meningkat bila jumlah jam tidur sebelum terkena SLE < jumlah jam tidur setelah
terkena SLE, sedangkan normal bila jumlah jam tidur sebelum terkena SLE =
Jenis gangguan tidur dapat dinilai melalui nilai cutt-off dari instrumen The
Sleep-50 Questionnare yaitu jika nilai item 2-9 bernilai ≥ 15 dan item 45-51
bernilai ≥ 15 maka terkena apne tidur, jika nilai item 10-17 bernilai ≥ 19 dan item
45-51 bernilai ≥ 15 maka terkena insomnia, jika nilai item 18-22 bernilai ≥ 7 dan
item 45-51 bernilai ≥ 15 maka terkena narkolepsi dan jika nilai item 23-26
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
5
bernilai ≥ 7 dan item 45-51 bernilai ≥ 15 maka terkena restless legs syndrome/
periodic limb movement disorder. Intensitas gejala gangguan tidur dapat dilihat
yang terjadi yaitu tidak pernah, jarang, sering dan sangat sering.
kuantitas tidur, jenis gangguan tidur dan intensitas terjadinya gangguan tidur.
3. Pekerjaan
PNS 16 21,33
Pegawai swasta/Wirausaha 10 13,33
Ibu Rumah Tangga 41 54,67
Lain-Lain 8 10,67
4. Jenis Kelamin
Perempuan 73 97,33
Laki-laki 2 2,67
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
6
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=75)(lanjutan)
Variabel f %
5. Lokasi Tinggal
Pemukiman penduduk yang padat 33 44
Di pinggir jalan umum/jalan raya 22 29,33
Lain-Lain 20 26,67
6. Status Pernikahan
Belum Menikah 14 18,6
Menikah 60 80
Janda/Duda 3 4
7. Teman Sekamar
Sendiri 13 17,33
1-2 Orang 56 74,67
3-4 Orang 4 5,33
Lebih dari 4 Orang 2 2,67
8. Pendidikan
SD 0 0
SMP 6 8
SMA 16 21,4
Perguruan Tinggi 53 70,6
(54,67%) sebagai ibu rumah tangga, teman sekamar diketahui sebagian besar
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
7
Berdasarkan kuantitas tidur, pasien SLE mengalami penurunan kuantitas
tidur sebelum dan setelah terkena SLE sebesar 35 responden (46,67%). Adapun
rincian mengenai kuantitas tidur dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
besar responden yaitu 55 responden (73,33%) tidak terkena apne tidur, sebagian
besar responden yaitu 43 responden (57,33%) tidak terkena narkolepsi dan hampir
4. RLS/PLMD Tidak
60 80
Ya
15 20
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
8
Berdasarkan intensitas gejala gangguan tidur, pasien SLE menunjukkan
61,33% tidak pernah mengalami apne tidur, 56% jarang mengalami insomnia,
54,67% tidak pernah mengalami gejala narkolepsi dan 70,67% tidak pernah
Adapun rincian mengenai jenis gangguan tidur dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah
ini.
kuantitas tidurnya sebelum dan setelah terkena penyakit SLE terjadi penurunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Costa, et al. (2005) terjadi penurunan waktu total
tidur pada pasien SLE dibandingkan dengan orang yang normal. Berdasarkan
literatur dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan hasil
karena lokasi tinggal dan teman sekamar (Buchari, 2007). Hasil penelitian
pemukiman penduduk yang padat dan sebagian besar responden tidur dengan 1-2
orang dalam satu kamar. Namun, berdasarkan hasil kuesioner terdapat 66,7%
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
9
responden tidak merasa lingkungan sekitar berisik pada malam hari. Hal ini
teman sekamar namun bila responden merasa nyaman tidak berpengaruh pada
tidurnya. Selain itu hasil penelitian menunjukkan adanya gejala depresi (53,3%
responden jarang merasakan dan 41% responden jarang kurang tertarik dengan
kegiatan sehari-hari).
tidur. Jenis-jenis gangguan tidur diantaranya apne tidur, insomnia, dan narkolepsi
(Perry & Potter, 2010). Salah satu jenis gangguan tidur yang terjadi pada SLE
antara lain apne tidur dengan prosentase hampir setengah dari responden
(26,67%). Adapun prevalensi apne tidur yang terjadi pada SLE berdasarkan
literatur yaitu 20-25% (Smith, et al., 2008). Hasil penelitian dan literatur
disimpulkan bahwa terdapat kesamaan. Faktor tejadinya apne tidur yaitu hampir
setengah dari responden memiliki indeks massa tubuh lebih dari 30 (obesitas). Hal
ini dapat menghasilkan jaringan berlebih pada tenggorokan bagian belakang yang
gerak selama tidur (Costa, 2008), umur (Perry & Potter, 2010), depresi (Berk,
pasien SLE yaitu 26,67% dan gangguan gerak selama tidur yaitu 20%, prosentase
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
10
umur berdasarkan karakteristik responden yaitu 32% pasien SLE masuk pada
jarang merasakan kesedihan dan 41% responden jarang kurang tertarik dengan
kegiatan sehari-hari).
Selain apne tidur dan insomnia, adapula jenis gangguan tidur narkolepsi
yang dilakukan oleh Iaboni, et al. (2006) dilaporkan terdapat satu orang pasien
infeksi dan trauma kepala) dan perubahan kebiasaan pola bangun-tidur (Zeitzer, et
26,67% terkena apne tidur serta terdapat 20% terkena restless legs syndrome.
rendah. Hal ini dapat berefek pada perubahan pola bangun-tidur sehingga dapat
narkolepsi.
sebagian kecil dari responden (20%). Prosentase kejadian restless legs syndrome
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
11
penelitian dan literatur dapat disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara hasil
syndrome berdasarkan hasil penelitian yaitu umur, indeks masa tubuh, kebiasaan
didapatkan bahwa persentase paling tinggi yaitu 68% pada dewasa awal (20-40
tahun), berat badan didapatkan hasil 42,67% responden yang memiliki IMT >30
(obesitas), dan kebiasaan merokok dari hasil penelitian didapatkan hampir 97,33%
prosentase yang rendah pada umur yang harusnya lebih banyak terjadi pada umur
dewasa akhir (Perry&Potter, 2010), berat badan, dan kebiasaan merokok yang
rendah.
Salah satu intensitas gejala tidur yaitu apne tidur. Hasil penelitian
namun penelitian Valencia, et al. (2004) menunjukkan intensitas apne tidur yang
terjadi pada tingkat sedang (kuantitas indeks gangguan bernapas antara 10 dan
30). Hasil intensitas gejala apne tidur menurut penelitian di tempat lain dan hasil
tidur yaitu cukup rendah dibandingkan dengan orang yang normal. Pada hasil
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
12
Selain apne tidur dan insomnia, adapula intensitas gejala narkolepsi
gejala narkolepsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Iaboni, et al. (2006) melaporkan bahwa hanya terdapat satu orang pasien
dengan prosentase sebagian besar pasien tidak mengalami restless legs syndrome,
dalam satu malam didapatkan hasil indeks yaitu 31,1 (intensitas pada tingkat
ringan) (Chiong, 2006). Berdasarkan hasil penelitian dan penelitian lain mengenai
SIMPULAN
sebelum dan setelah terkena penyakit SLE (46,67%). Jenis gangguan tidur,
26,67% apne tidur, 30,67% insomnia, 42,67% narkolepsi dan 20% restless legs
gejala apne tidur, 56% jarang mengalami gejala insomnia, 54,67% tidak pernah
mengalami gejala narkolepsi, dan 70,67% tidak pernah mengalami gejala restless
legs syndrome.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
13
SARAN
Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, direktur rumah sakit
yang telah memberikan izin penelitian, kepala poliklinik, responden dan perawat
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
14
Everson CA & Crowley WR. 2004. Reductions in Circulating Anabolic
Hormones Induced by Sustained Sleep Deprivation in Rats Am J Physiol
Endocrinol Metab 286: E1060–E1070.
Gudbjornsson, B & J. Hetta. 2001. Sleep Disturbances in Patients with Systemic
Lupus Erythematosus: A Questionnaire Based Study Clin Exp Rheumatol
19:509–14.
Gunarson, I., Nordmark, B., Hassan Bkri, A., Grondal, G., Larsson, P. Forslid, J.
et al. 2000. Development of Lupus-Related Side-Effects in Patients with
Early Ra during Sulphasalazine Treatment-The Role of Il-10 and HLA
Rheumatology 38:886-893.
Hanger, Nancy C. 2003. A Patient. Expert Walks You Through Everything You
Need to Learn and Do The First Year Lupus: an Essential Guide for The
Newly Diagnosed. New York: Marlowe & Company.
Hassan, Christian A , Noura., Ann E, Pineau., Vinet, Clarke Evelyne., Ng,
Ryan & Bernatsky, Sasha. 2011. Systemic Lupus and Risk of Restless Legs
Syndrome. The Journal of Rheumatology.
Iaboni, A., Ibanez D., DD. Gladman., MB. Urowitz. & H. Moldowfskt. 2006.
Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus: Contributions of Disordered
Sleep, Sleepiness and Depression J Rheumatology 33: 1-5.
Krupp, L.B., LaRocca, N.G., Muir, J., & Steinberg, A.D. 1990. A Study of Fatigue
in Systemic Lupus Erthyematosus Journal of Rheumatology 17: 1450-
1452.
Lahita, Robert G., Tsokos, George., Buyon, Jill P. 2010. Systemic Lupus
Erythematosus Fifth Edition. British: Academic Press.
Lange T., Perras B., Fehm HL, & Born J. 2003. Sleep Enhances The Human
Antibody Responses to Hepatitis a Vaccination Psychosom Med 65: 831–
835.
Perry, A.G & Potter, P.A. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik, Volume 2, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Shahid, Azmeh., Wilkinson, Kate., Marcu, Shai. & Shapiro, Colin M. 2012. Stop,
that and One Hundred Other Sleep Scales. New York: Spinger.
Smith, Harold R., Comella, Cynthia L., Högl, Birgi. 2008 . Sleep Medicine. UK:
Cambtidge University Press.
Tutuncu, ZN. & K. Kenneth C. 2007. The Definition and Classification of
Systemic Lupus Erythematosus. In : Wallace, D.J., Hahn, Bevra. &
Dubois, Edmund L. “Dubois’ Lupus Erythematosus Seventh Edition”, p.
16. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Valencia-Flores, M,. Cardiel, M H., Santiago, V., Resendiz, M., Castaño, V A.,
Negrete, O. et al . 2004 Prevalence and Faactors Associated with
Fibromyalgia in Mexican Patients with Systemic Lupus Erythematosus
Lupus 13: 4-10.
Zeitzer JM., Bourgin P. & Mignot E. 2008. CSF Hypocretin-1 Assessment in
Sleep and Nuerological Disorders Lancet Neurol 7: 649-6.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
15
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
16