You are on page 1of 9

Sungai sumber penularan

Pondok pesantren outbreak

Lokasi gunung, air kekeringan

Curah hujan

Kebiasaan tidak mencuci tangan

Kumpul makan-makan bareng bisa menularkan

On February 2, 2017, a patient with HAV was reported to the Yeoju City Department of Public Health
in Gyeonggi Province, Korea. This patient, a 29-year-old man, presented jaundice on January 31,
2017, and had not history of HAV vaccination.

On February 3, 2017, an epidemiologic investigation was conducted to identify the source of the
infection, and on February 17, 2017, the HAV genotype IA was found with

As control measures, the groundwater facility was temporally closed, and environmental disinfection
for the toilet and the groundwater facility was conducted by using alcohol and chlorine.

Discussion

Waterborne hepatitis A outbreaks (1971–2017) reported as of March 13, 2018, An outbreak of


hepatitis A was defined as two or more cases of HAV infection epidemiologically linked by time and
location of water exposure. Thirty-two drinking water–associated hepatitis A outbreaks were
reported to CDC during 1971–2017; the last one occurred in 2009 (Table). These drinking water–
associated outbreaks accounted for 857 cases (range = 2–50), with no reported deaths. The most
commonly reported water system type associated with an outbreak was individual, accounting for
13 of 32 (41%) outbreaks and 257 of 857 (30.0%). All individual water systems with outbreaks were
supplied by private wells or springs. Reported drinking water–associated hepatitis A outbreaks were
most commonly linked to individual water systems that used wells with untreated ground water.
considering ground water as a possible transmission route is warranted during community-wide
outbreaks of hepatitis A. Ground water can be contaminated with HAV during community
transmission of hepatitis A, increasing the risk for persons using untreated water. Public health
education about the risks associated with drinking untreated ground water from individual systems,
as well as relevant safety measures (i.e., water testing, water treatment, and vaccination), is needed
to prevent future drinking water–associated hepatitis A outbreaks (Barret, 2019).
However, the teacher case lived in a domestic cottage next to the school well and used the well
water for cooking and washing. The school had one canteen that provided three meals each day. It
used pipeline water for daily food preparation and for drinking-water. This hepatitis A outbreak in a
middle school in Guangxi province, China, was most likely caused by contaminated well water. The
well water was not treated and was located next to a vegetable field that was often fertilized by
faeces, a possible source of contamination. Outbreaks mainly happen in schools due to the
concentration of susceptible population, intensive living, daily diet and drinking conditions (2)

Domestic or non-community wells provide drinking water to a large proportion of rural populations
in both Canada and the United States. Traditionally, ground water has been considered safe for
human consumption without undergoing treatment; however, contamination may be frequent and
unrecognized. Bacteriologic analysis of samples obtained in August 1995 yielded a population
density of 57 cfu/100 mL total coliform bacteria from residence R0 and > 80 cfu/100 mL from
residences R1 and R2. The houses implicated in the outbreak were located on Orleans Island in the
St. Lawrence River. n this outbreak, the epidemiologic investigation implicated consumption of well
water as the source of infection. In laboratory studies, > 90% of HAV survived ⩾12 weeks in ground
water, waste water, and soil suspensions at 5°C. This outbreak demonstrated the importance of
rapidly investigating hepatitis A cases that occur in settings where well water may become
contaminated. When hepatitis A cases occur in an area supplied by domestic wells, it is important to
evaluate the adequacy of sewage disposal and the likelihood of well water contamination (e.g.,
geology, location of neighboring wells, and bacteriologic and virologic water quality). (3)

Hepatitis A can persist in water and remain infectious for months and, according to the authors of
the report, the 32 outbreaks resulted in 857 total cases, which were all documented prior to 2010.
Untreated groundwater was associated with 72% of the outbreaks, resulting in 68.3% of total cases
in these outbreaks. The report indicates that 4 outbreaks that occurred between 1995-2009 were
caused by contaminated drinking water in individual water systems, which are not required to meet
national water standards.

Drinking water comes from a variety of sources including public water systems, private wells, or
bottled water. It is important to know where drinking water comes from, how it’s been treated, and
if it’s safe to drink. (4)

Pacitan adalah kota dengan penduduk, geografinya

There were 160 suspected cases of hepatitis A of whom 18 were confirmed (15 by serology and 3 by
epidemiological link).
Pondok pesantren

Berdasarkan penelitian Sumarni (2012) bahwa tukar menukar alat berhubungan dengan Kejadian
Hepatitis A. Pada kenyataannya, kebiasaan mencuci tangan umumnya jarang dilakukan pada siswa di
sekolah sehingga Hepatitis A lebih sering terjadi pada anak – anak sekolah dan dewasa muda
(Kemenkes, 2012) Santri kemungkinan beresiko terkena Hepatitis A apabila memiliki personal
hygiene yang buruk. Hal tersebut sesuai berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alvira (2014)
tentang faktor risiko Hepatitis A di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten 3 Bintan Provinsi Kepulauan
Riau menunjukkan bahwa personal hygiene merupakan fakto risiko tertinggi Hepatitis A setelah
hygiene penjamah makanan, riwayat kontak dengan penderita hepatitis A, dan sanitasi mandi, cuci,
kakus. Pada umumnya personal hygiene di pondok pesantren kurang mendapatkan perhatian dari
santri karena dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dari santri sebelum datang di pesantren seperti
sosial budaya, keadaan lingkungan yang kurang memadai dan faktor individual seperti kurangnya
pengetahuan (Badri, 2007). Penelitian Heryanto (2004) menunjukkan bahwa kondisi sanitasi Pondok
Pesantren secara umum masih belum baik, sehingga penyakit penular masih banyak ditemukan (5)

Beberapa penelitian menjelaskan faktor personal hygiene merupakan faktor risiko kejadian Hepatitis
A.6 Faktor Personal Hygiene tersebut diantaranya yaitu kebiasaan tidak cuci tangan pakai sabun
sebelum makan7,8 dan penggunaan sikat gigi bersama siswa/santri lain,9 makan menggunakan
tangan,9,10 kebiasaan tidak cuci tangan setelah buang air besar,11 kebiasaan makan bersama dalam
satu tempat dan kebiasaan tukar menukar alat makan,12 serta kebiasaan mencuci alat makan tidak
pakai sabun. Jumlah siswa yang mengalami suspek Hepatitis A sampai saat dilakukan penelitian
diketahui sebanyak 30 orang. Usia termuda adalah 12 tahun, sedangkan usia tertua adalah 17 tahun.
Jumlah kasus terbanyak ditemukan pada santri umur 15-17 tahun (53%). Berdasarkan Gambar 1, KLB
Hepatitis A ini memiliki pola kurva epidemik common source, yaitu kasus-kasus terjadi karena
paparan terhadap sumber yang sama dan umum. Puncak kasus pada minggu ke 2 dengan jumlah
kasus sebanyak 13 orang. Periode KLB terjadi pada minggu ke 49, 2017 s.d. minggu ke 3, 2018.
Berdasarkan masa inkubasi Hepatitis A terpendek (14 hari) dan masa inkubasi terpanjang (50 hari),
maka perkiraan waktu paparan virus Hepatitis A adalah antara minggu ke 47 s.d minggu ke 49 tahun
2017 dengan median masa inkubasi 43 hari. Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan Chi
Square test dengan tingkat kemaknaan (á) sebesar 5% pada Tabel 2, diketahui bahwa umur
(OR=4,9143, CI 95%=1,6329-14,9904, p=0,011), kebiasaan mencuci alat makan tanpa sabun
(OR=19,0476, CI 95%=4,1786-111,2091, p=0,000), dan kebiasaan menggunakan alat makan bersama
(OR=4,1786, CI 95%=1,4591-12,0833, p=0,025), berhubungan dengan kejadian hepatitis A.
Selanjutnya dilakukan analisis multivariat terhadap variabel yang memiliki nilai p1, yaitu variabel
umur, cuci alat makan tidak pakai sabun, penggunaan alat makan bersama, dan makan
menggunakan tangan. Berdasarkan hasil analisis multivariat pada tabel 3, hanya variabel umur
(OR=4,1032, CI 95%=1,2929- 13,0223, p=0,017) dan kebiasaan mencuci alat makan tidak pakai sabun
(OR=16,8741, CI 95%=4,0917- 69,5882, p=0,000) yang mempunyai hubungan signifikan dengan
kejadian hepatitis A (Tabel 3) . Santri dengan umur lebih tua (15-17 tahun) memiliki kebiasaan
makan bersama dan menggunakan alat makan bersama berupa tampah atau wadah besar.
Kebiasaan makan bersama meningkatkan kemungkinan penularan Hepatitis A. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Pratiwi et al pada tahun 2013 di Indonesia banyak terjadi hepatitis A pada anak
berusia 6–14 tahun (23%) dan berusia >14 tahun (75%). Penderita hepatitis A, terutama yang
memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah, berpotensi tinggi menjadi sumber
penularan terhadap orang lain. Virus hepatitis A relatif stabil dan dapat bertahan selama beberapa
jam pada ujung jari dan tangan dan sampai dua bulan pada permukaan kering. Peralatan makan dan
minum yang tekontaminasi oleh virus hepatitis A, dari virus yang menempel pada tangan dan jari
penderita kemudian dipakai bersama dengan orang lain maka dapat menjadi media penularan
penyakit hepatitis A. Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat penularan hepatitis A melalui
fecal- oral. 16 Hasil investigasi KLB Hepatitis A di dua sekolah di Surabaya menunjukkan bahwa
higiene sanitasi yang buruk di kantin sekolah, yaitu tidak ada fasilitas cuci tangan, air tercemar E.coli,
jarak septic tank dengan sumur air yang dekat sebagai faktor risiko penularan virus Hepatitis A.17
Intervensi pendidikan perilaku pencegahan Hepatitis A di Pesantren Wali Songo Ngabar, Kec. Siman
Hasil penelitian Sulistiani di salah satu pesantren di daerah Cadas, Tangerang menunjukkan bahwa
sebanyak 48,5% santri memiliki perilaku higiene perorangan kurang, yaitu terlihat dari kebiasaan
tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan7 dan penggunaan sikat gigi bersama siswa/santri
lain.9 Penelitian Apriliana juga mendapatkan bahwa kebiasaan cuci tangan tidak pakai sabun
berhubungan secara signifikan dengan kejadian hepatitis A (OR= 6.800, CI 1,981-23,346)
Selain itu, perilaku yang meningkatkan risiko Hepatitis A adalah kebiasaan makan bersama dalam
satu tempat (OR = 21,48),12 kebiasaan tukar menukar alat makan (OR = 6,15) (12) dan kebiasaan
mencuci alat makan tidak pakai sabun (OR= 6,08) (6)

KLB hepatitis A dilaporkan terjadi sebanyak 41 kejadian selama tahun 1998-2018 dengan
wilayah KLB paling banyak terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat dan Jawa Tenga. Area KLB
hepatitis A paling banyak di sekolah/kampus dengan proporsi (41,5%), pondok pesantren
(31,7%) dan di rumah tinggal atau lingkungan masyarakat (24,4%). Faktor risiko yang paling
berkontribusi terhadap KLB hepatitis A di sekolah/kampus dan di masyarakat adalah kebiasaan
tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan mengkonsumsi makanan yang tidak
higienis. Sedangkan di pondok pesantren adalah penggunaan alat makan/minum bersama. (7)

Hasil observasi terhadap kondisi kesehatan lingkungan diperoleh kualitas air bersih, dari empat
sumur yang diperiksa hanya dua sumur yang memenuhi syarat. Kualitas sarana air bersih sumur
(50%) berisiko tinggi dan amat tinggi. Kualitas jamban di asrama putra sebagian besar (76,9%) tidak
memenuhi syarat. Di asrama putri, 55% tidak memenuhi syarat. Kondisi higiene sanitasi dapur umum
tidak memenuhi syarat karena tata letak ruangan tidak sesuai proses, tidak ada loker untuk pegawai,
lantai kotor, tidak kedap air dan tidak rata, begitu juga dengan atap dan langit-langit sangat kotor,
pintu dapur tidak rapat serangga. Penjamah makanan yang bertugas di dapur berjumlah 8 orang, 6
orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Seluruh penjamah tersebut belum pernah mengikuti kursus
higiene sanitasi makanan, tidak mengenakan baju kerja secara khusus, serta tidak memiliki kartu
kesehatan karyawan. Kondisi tempat makan tidak memenuhi syarat karena bukan suatu ruangan.
Hanya meja yang dijejerkan di depan asrama kualitas tempat cuci tangan memenuhi syarat. Kualitas
tempat cuci alat makan kurang memenuhi syarat, karena kotor, retak-retak dan tidak tersedia sabun.
Dari Tabel 5 dapat disimpulkan variabel yang paling dominan untuk terjadinya hepatitis A di Pondok
Pesantren, yaitu kebiasaan makan bersama dalam satu tempat, tukar menukar alat makan dengan
teman dan status imunisasi. Parameter bakteriologi yang diperiksa adalah Escherecia coli (E. coli),
hal ini dilakukan menurut konsep fail safe yang maksudnya bila air positif tercemar tinja, maka
diasumsikan bahwa dalam air tersebut juga mengandung kuman patogen, demikian juga sebaliknya.
Parameter bakteriologi yang dapat digunakan adalah E. coli dan total coliform. Afudin,11
menyatakan orang yang menggunakan air yang tidak memenuhi syarat bakteriologis berisiko 3,8 kali
dibandingkan responden yang menggunakan air memenuhi syarat bakteriologis . Dalam penelitian
ini hasil analisis menyatakan ada hubungan antara kebiasaan tukar menukar alat makan dengan
kejadian hepatitis A dengan nilai p = 0,000 dan odd ratio.21 Kebiasaan tukar menukar alat makan
sesama teman sudah terbiasa dilakukan responden, baik siswa maupun siswi. Alat makan atau
minum yang mereka pakai kadang saling bergantian. Padahal dari alat makan ini kemungkinan
penularan penyakit terjadi, apalagi hepatitis A ini sebelum gejala kelihatan sudah bisa menularkan
virusnya pada orang lain. Untuk merubah perilaku siswa/siswi ini harus melalui sosialisasi mengenai
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat serta pengetahuan mengenai peranan makanan dan minuman
dalam penularan penyakit. Sosialisasi yang dilakukan harus semenarik mungkin, melalui media film
atau pamflet dengan gambar yang menarik. Dalam penelitian ini hasil analisis menyatakan ada
hubungan antara kebiasaan makan bersama dalam satu tempat dengan kejadian hepatitis A dengan
nilai p = 0,000. Hasil penelitian yang sesuai dengan penelitian lain yang menyatakan, kebiasaan
makan bersama dalam satu tempat merupakan faktor yang berkontribusi dalam kejadian hepatitis A
dengan OR= 5,76.22 Kebiasaan makan bersama antar responden merupakan hal biasa. mereka
menganggap kebiasaan ini sebagai bentuk kebersamaan, apalagi dikalangan siswi satu piring untuk
makan bertiga atau berempat sambil ngobrol, begitu juga dengan tempat minum. (8)

Berdasarkan data dari WHO tahun 2011 Indonesia merupakan negara dengan prevalensi Hepatitis A
yang tergolong tinggi. Negara lain yang tergolong prevalensi tinggi meliputi Negara di Asia Barat,
Afrika, Amerika latin, dan Greenland. WHO memperkirakan di dunia setiap tahunnya ada sekitar 1,4
juta penderita Hepatitis A. Hepatitis A dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada Tahun
2010 terdapat 6 KLB dengan jumlah penderita 279, pada tahun 2011 tercatat 9 KLB dengan jumlah
penderita 550, tahun 2012 terjadi 8 KLB dengan jumlah penderita 369, Tahun 2013 terjadi 13 KLB
dengan 504 kasus. Di Provinsi Jawa Timur, penyakit Hepatitis A sering menyebabkan KLB. Pada tahun
2013 terjadi KLB Hepatitis A di 6 kabupaten yang meliputi Jombang, Lamongan, Pacitan, Sidoarjo,
Ponorogo, dan Pasuruan dengan total 462 kasus. Pada Tahun 2014 terjadi di tiga kabupaten yang
meliputi Sidoarjo, Kediri dan Surabaya dengan jumlah total 59 kasus. Pada tahun 2015 KLB Hepatitis
A terjadi di 3 kabupaten yang meliputi Probolinggo, Lamongan dan Jember dengan total 78 kasus.

KLB Hepatitis A dalam 4 tahun terakhir, sering terjadi pada anak sekolah. Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember telah melakukan Penyelidikan Epidemiologi terhadap KLB Hepatitis A dan
melakukan upaya pencegahan, namun setiap tahunnya KLB Hepatitis A masih terjadi di Kabupaten
Jember. KLB Hepatitis A yang sering terjadi di Kabupaten Jember menarik untuk diteliti. Sebab
kejadian Hepatitis A di Kabupaten Jember sering terjadi pada daerah yang penduduknya memiliki
personal higiene dan sanitasi yang kurang baik. Berdasarkan penelitian Sasoka (2014) terdapat
hubungan antara personal hygiene pada host dengan kejadian Hepatitis A dengan OR = 5,71
Kurva epidemik menunjukkan bentuk common source, sehingga dapat disimpulkan penularan
berasal dari satu sumber. Dalam KB ini paparan terjadi pada waktu yang sama dan dalam waktu yang
singkat. Bentuk kurva epidemik common source pada umumnya dijumpai pada penyakit yang
ditularkan melalui fecal-oral. Kurva epidemik juga menunjukkan bahwa kejadian penyakit hanya
terpusat pada 2 interval waktu, sehingga besar kemungkinan KLB ini disebabkan oleh makanan atau
minuman yang dikonsumsi saat ada kegiatan bersama di sekolah

erdasarkan penelitian yang dilakuan Sasoka (2013) disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
personal hygiene dengan kejadian Hepatitis A dengan OR=5,71. Sedangkan menurut Sutiana (2013)
terdapat hubungan Antara ketersediaan air bersih dengan kejadian Hepatitis A dengan OR=4,1.
Sedangkan menurut Sakti (2012) faktor yang mempengaruhi terjadinya Hepatitis A antara lain
pengetahuan (OR=5,8), praktik pencegahan (OR=18), imunisasi (OR=8,4), penggunaan alat makan
bersama (OR=11,2), cuci tangan dengan sabun (OR=5,9). (9)

Outbreaks of hepatitis A in Wringin and

Pakem Sub-districts occur during high rainfall.

This shows that the high incidence of Hepatitis

A in the Sub-district is indirectly caused by

rainfall. In accordance with the study of the

peak incidence of HAV infection on the coast of

Rio de Janeiro in Brazil, it was found during the

rainy season. These findings indicate that HAV

infection spreads indirectly through rainfall

because rainwater usually fills the river so they

can overflow and people can be contaminated

with the water. Hepatitis A virus is a virus that

is very stable and can last 12 weeks to 10 months

in water. This stability accounts for the frequent

occurrence of waterborne (Fares, 2015). Rainfall is not a direct cause but helps

spread and transmit the HAV virus through


contaminated river water. This is related to

the habits of residents who still use the river

as a place for defecation (open defecation) and

other activities. (Hikmah)

KLB hepatitis A terbanyak dilaporkan di wilayah Jawa Timur sebanyak 9 kejadian


dengan total kasus 555 kasus dan diikuti oleh Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing
dengan 8 kejadian dengan total kasus 632 dan 391 kasus. karakteristik kejadian luar biasa
hepatitis A di Indonesia berdasarkan area atau konteks kejadian kasus hepatitis A dimana
area yang paling banyak adalah di area sekolah/kampus dengan total 17 kejadian luar biasa
(41,5%), kemudian diikuti pondok pesantren sebanyak 13 kejadian (31,7%), di lingkungan
masyarakat atau rumah tinggal sebanyak 10 kejadian (24,4%) dan 1 kejadian lainnya di
asrama (2,4%). Faktor risiko yang berkontribusi paling besar pada kejadian luar biasa (KLB)
hepatitis A di Indonesia selama tahun 1998-2018. pada pondok pesantren paling faktor
risikonya adalah kebiasaan menggunakan alat makan/minum bersama (53,8%) dan minum
air yang belum dimasak (38,5%),
Reeference

1. Barret, 2019 Impact of Public Health Interventions on Drinking Water–Associated


Outbreaks of Hepatitis A — United States, 1971–2017.
https://www.medscape.com/viewarticle/917906
2. An outbreak of hepatitis A associated with a
contaminated well in a middle school, Guangxi,
China
3. Molecular Confirmation of Hepatitis A Virus from Well Water: Epidemiology and Public
Health Implications
4. https://www.cdc.gov/healthywater/drinking/index.html
5. Gambaran Perilaku Kebersihan Diri Siswa Pondok Pesantren X dengan Kejadian Hepatitis A
6. Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Kejadian Luar Biasa Hepatitis A di Pesantren X
Kab. Cirebon, Januari 2018.
7. Scoping Review Kejadian Luar Biasa (KLB)
Hepatittis A di Indonesia Tahun 1998-2018
8. Kondisi Kesehatan Lingkungan Pesantren dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Siswa dengan
Kejadian Hepatitis
9. MODEL PENCEGAHAN HEPATITIS A BERBASIS FAKTOR RISIKO (Studi Pada Kejadian Luar Biasa
Hepatitis A di SMAN Plus Sukowono Kabupaten Jember Tahun 2015)
10. Ramadan fasting and
11. Identifikasi Virus Hepatitis A pada Sindrom Penyakit Kuning Akut di Beberapa Provinsi di
Indonesia Tahun 2013

You might also like