You are on page 1of 9

Table of Contents

No. Title Page


1 The Influence of Carbofuran Exposure Toward White Pulp Diameter of Spleen of 100 - 105
Mice (Mus musculus)
2 Antibacterial Activity of the Supernatant of Soil Isolate Bacillus Subtilis Against 106 - 113
Aeromonas Hydrophila and Staphylococcus Aureus (In Vitro)
3 The Potential of Giving Synbiotic in Different Ages of Female Broilers on 114 - 119
Histological of Ileum
4 Evaluation Toluidine Blue Staining to Identify Connective Tissue Mast Cells 120 - 125
(CTMS) in Paraffin Block Thin Skin of Dog
5 Effect Using a Combination of MPA (Medroxy Progesterone Acetate) and 126 - 133
Prostaglandin (PGF2α) Injection on the Percentage of Estrous and Pregnant on
Sheeps
6 Spesifisity test with Dot Blotting of Epidermal Growth Factor (EGF) Isolated 134 - 139
from Cumulus Oocyte Complex After in Vitro Maturation
7 Analysis of Immunogenicity on Inactivated Dengue Virus (DENV-1, DENV-2, 140 - 145
DENV-3, DENV-4) in Mices (Mus musculus) as A Candidate Dengue Coctail
Vaccine
8 Detection Antibody of Brucella on Cattle Slaughtered in Krian Slaughter House 146 - 151
Sidoarjo Regency by Rose Bengal Test (RBT)
9 The Effect of Didecyldimethylammonium Chloride Disinfectants on Liver 152 - 157
Histophatolologycal of Duck Hybrid (Anas Platyrhynchos Domesticus)
10 The Effect of Cosmos Caudatus Leaf Ethanol Extract on Paracetamol Induced in 158 - 165
Histopathologic Liver of (Mus musculus) Balb / C Male
11 Antibacterial Test of Rumbia Root (Metroxylon sagu Rottb.) Decoction Against 166 - 171
Bacteria Salmonella pullorum
12 Effect of Sambiloto Leaf Extract (Andrographis paniculata Ness) to 172 - 177
Histopathological Pancreatic Langerhans Islet Cells on Rats (Rattus norvegicus)
with Cystic Ovary Model
13 Effect of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Pericarp Extract on TLR5 and 178 - 183
CD14 Expression in Immunized Mice Against Newcastle Disease Vaccine
14 Cloning Gene Fragments Non-Structural 1 (NS1) of Dengue Virus Subtype 1 184 - 193
(DENV-1) as A Material Candidate of Vaccine Chimera
15 Effect of vitamin E (α–tocopherol) on the Number of Leydig Cell in Mice Treated 194 - 199
with 2,3,7,8–tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD)
Vol. 7 - No. 2 / 2014-07
TOC : 6, and page : 134 - 139

Spesifisity test with Dot Blotting of Epidermal Growth Factor (EGF) Isolated from Cumulus Oocyte Complex After in Vitro
Maturation

Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting terhadap Epidermal Growth Factor (EGF) yang Diisolasi dari Oosit Kumulus Komplek
Sapi Setelah Dimaturasi Secara In Vitro

Author :
Widjiati | widjiati@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Hewan
Aulia Reza Pradipta | .
Fakultas Kedokteran Hewan
Dady Soegianto Nazar | .
Fakultas Kedokteran Hewan
A.T. Soelih Estoepangestie | .
Fakultas Kedokteran Hewan

Abstract

The aim of this study was to know the character of epidermal growth factor (EGF) protein isolated from bovine oocyte.
Bovine ovary was collected from slaughter house washed with NaCl. An aspiration technique was used to collect oocyte.
Those oocytes were maturated by in vitro condition then the EGF protein was isolated after running in SDS PAGE.
Polyclonal antibody was produced by sub cutaneous injected of crude protein oocytes containing EGF in rabbit, then
followed by dot blotting examination. Booster was done twice after 3rd and 7th bleeding then continued until 10 times
every week. The antibody anti EGF from rabbits sera was reacted with EGF antigen. The dot blot showed, the intensity of
dot color increased significantly from 4th bleeding and reaches the highest concentration of antibody at 9th bleeding. It
meant, bovine oocyte EGF protein could be characterized by dot blotting, of which the highest antibody titer detected at
eleventh week after sub cutaneous injection of crude protein oocytes containing EGF.

Keyword : Epidermal, Growth, Factor, In, vitro, Maturation, Dot, Blotting,

Daftar Pustaka :
1. Kobayashi, K., S.Yamashita and H. Hoshi, (1994). Influence of Epidermal Growth Factor And Transforming Growth
Factor on In Vitro Maturation of Cumulus Cell-Enclosed Bovine Oocytes in a Defined Medium. . : J. Reprod. Fertil. 100:
439-446
2. Lorenzo, P.L., I.K.M. Liu, J.C.Illera, R.A.Picazo, G.F.Carneiro, M.J. Illera, A.C. Conley, A.J.Ender, (2001).
Influence of Epidermal Growth Factor on Mammalian Oocyte Maturation via Tyrosine-Kinase Pathway. . : J. Physiol.
Biochem., 57 (1): 15-22
3. Baratawidjaja, K.G, (2006). Imunologi Dasar. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)


Veterinaria Medika Vol 7, No. 2, Juli 2014

Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting terhadap Epidermal Growth Factor (EGF)
yang Diisolasi dari Oosit Kumulus Komplek Sapi Setelah Dimaturasi
Secara In Vitro

Spesifisity test with Dot Blotting of Epidermal Growth Factor (EGF) Isolated
from Cumulus Oocyte Complex After in Vitro Maturation
1
Widjiati, 2Aulia Reza Pradipta, 1Dady Soegianto Nazar,
1
A.T. Soelih Estoepangestie
1
Fakultas Kedokteran Hewan Unair
2
PPDHFakultas Kedokteran Hewan Unair

Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya-60115.


Telp. 031-5992785. Fax. 031-5993015
Korespondensi : Email: widjiati@yahoo.com

Abstract

The aim of this study was to know the character of epidermal growth factor (EGF)
protein isolated from bovine oocyte. Bovine ovary was collected from slaughter house
washed with NaCl. An aspiration technique was used to collect oocyte. Those oocytes
were maturated by in vitro condition then the EGF protein was isolated after running in
SDS PAGE. Polyclonal antibody was produced by sub cutaneous injected of crude
protein oocytes containing EGF in rabbit, then followed by dot blotting examination.
Booster was done twice after 3rd and 7th bleeding then continued until 10 times every
week. The antibody anti EGF from rabbits sera was reacted with EGF antigen. The dot
blot showed, the intensity of dot color increased significantly from 4th bleeding and
reaches the highest concentration of antibody at 9 th bleeding. It meant, bovine oocyte
EGF protein could be characterized by dot blotting, of which the highest antibody titer
detected at eleventh week after sub cutaneous injection of crude protein oocytes
containing EGF.

Keywords: epidermal growth factor, in vitro maturation, dot blotting


–––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Pendahuluan Kualitas embrio yang diproduksi


Program pengembangan ternak dila- secara in vitro yang dihasilkan tersebut
kukan dengan peningkatan produktivitas salah satunya ditentukan dari faktor
ternak sapi yang memiliki peran utama oosit. Pertumbuhan dan perkembangan
sebagai penghasil pedet dengan salah oosit dipengaruhi oleh beberapa faktor
satu tujuan akhir untuk memenuhi dalam folikulogenesis dan oogenesis
permintaan daging yang terus meningkat diantaranya hormon dan growth factor.
(Hayati dan Choliq, 2009). Salah satu Growth factor merupakan faktor yang
alternatif pengembangan bidang teknologi berperan dalam peningkatan proliferasi
reproduksi untuk meningkatkan kualitas dan differensiasi sel granulosa, sehingga
reproduksi ternak adalah transfer embrio menyebabkan terjadinya ekspansi kumulus
(TE). (Widjiati dkk., 2008). Frandson (1992)

134
Widjiati, dkk. Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting....

menyatakan bahwa growth factor juga Materi dan Metode Penelitian


mempunyai pengaruh penting dalam Sampel penelitian ini berupa oosit
menigkatkan sekresi protein pada cairan kumulus komplek di aspirasi dari
folikel. Hal ini disebabkan growth ovarium. Ovarium diperoleh dari rumah
factor berperan dalam meningkatkan potong hewan dibersihkan dari organ
transportasi asam amino melintasi membran yang melekat, lemak dan darah
sel serta meningkatkan pengikatan asam- kemudian dibawa ke laboratorium in
asam amino sehingga membentuk vitro Fakultas Kedokteran Hewan
protein. Universitas Airlangga dengan botol yang
Epidermal growth factor (EGF) berisi NaCl fisiologis dan gentamisin
adalah salah satu growth factor yang sulfat lalu dimasukkan dibawa pada
ikut berperan penting dalam proses suhu 30-35oC. Koleksi oosit dilakukan
folikulogenesis dan maturasi oosit. dengan cara aspirasi menggunakan
Melalui penelitian yang telah dilakukan jarum 18 G yang dihubungkan dengan
diketahui epidermal growth factor mem- spuit 5 ml dan berisi 1 ml media TCM
berikan efek berupa stimulasi proliferasi 199. Kemudian oosit dicuci berturut-
sel granulosa, modulasi steroidogenesis turut dalam media TCM 199 sebanyak
pada sel granulosa, dan menstimulasi dua kali dengan pipet modifikasi.
pertumbuhan folikel (Lorenzo et al., Proses maturasi oosit menggunakan
2001). Growth factor ini disekresi oleh medium TCM-199 yang ditambah 0,01
sel teka yang bertindak sebagai faktor µg/ml FSH (Folligon®), 0,01 µg/ml LH
parakrin untuk mengatur pertumbuhan (Chorulon®), 3% BSA dan 50 µg/ml
dan diferensiasi sel granulosa pada oosit gentamisin sulfat. Oosit dikultur dalam
(Skinner et al., 1987). Kobayashi et al., 50 µl medium tetes (tiap 50 µl berisi 8-
(1994), Lonergan et al., (1996), dan 10 oosit) yang sebelumnya telah ditutup
Wang et al., (2007) menyebutkan dengan mineral oil. Pematangan oosit
penambahan EGF beserta beberapa dilakukan pada suhu 38,5 ºC di dalam
hormon dan growth factor lain dalam inkubator CO2 selama 20 jam. Oosit yang
media maturasi dapat meningkatkan telah dimaturasi kemudian dimasukkan
ekspansi sel kumulus, keberhasilan ke dalam tabung ependorff dan disimpan
fertilisasi dan perkembangan embrio. ke dalam freezer sambil menunggu
Tujuan akhir diadakannya penelitian untuk di lakukan isolasi protein EGF.
ini adalah untuk modifikasi pada media Oosit kumulus komplek yang
maturasi pada skala riset dengan telah dimaturasi secara in vitro diambil
penambahan growth factor yang diisolasi sebanyak 200 µl atau kurang lebih 300
dari limbah ovarium sapi. Mengingat oosit lalu diberi PBS Tween dan PMSF
epidermal growth factor memiliki peran sebanyak 1000 µl. Kemudian semua
penting selama tahap folikulogenesis sampel disonikasi menggunakan sonikator
yang merupakan rangkaian proses selama 10 menit kemudian disentrifus
maturasi in vitro, maka diperlukan suatu dengan kecepatan 10.000 rpm pada
penelitian untuk mengetahui keberadaan suhu 4oC selama 15 menit untuk
protein EGF setelah di maturasi secara memisahkan endapan (pelet) dengan
in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk supernatan. Supernatan hasil sentrifus
melihat karakter protein EGF melalui diambil dan diberi penambahan etanol
uji spesifitas dengan menggunakan absolut dengan perbandingan volume 1:1
metode dot blotting. atau sebanyak 500 µl agar proteinnya
mengendap yang kemudian diendapkan
dalam freezer dalam semalam agar

135
Veterinaria Medika Vol 7, No. 2, Juli 2014

diperoleh hasil yang maksimal. Setelah kedalam buffer fosfat untuk proses elek-
diendapkan semalam dilakukan sentrifus troelusi. Hasil elektroelusi digunakan
lagi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 sebagai antigen pada tahap imunisasi.
menit. Pelet hasil sentrifugasi ditambah Imunisasi dilakukan pada kelinci
dengan Tris HCl dengan perbandingan secara sub kutan dan dilakukan dua hari
volume 1:1 kemudian dimasukkan setelah pengambilan darah pre-imun
dalam ependorf dan disimpan dalam dengan 150 µl EGF + 150 µl CFA
freezer (Widjiati dkk., 2008). sebagai adjuvant. Empat minggu kemudian
Protein kasar yang diperoleh semua hewan coba diimunisasi ulang
kemudian dilanjutkan dengan elektroforesis (booster) dengan 150 µl EGF + 150 µl
menggunakan SDS PAGE untuk IFA untuk meningkatkan respon imun
mengetahui berat molekul protein EGF. hewan coba. Booster II dilakukan dua
Kemudian pita dengan berat molekul hari setelah pengambilan darah ke-7
46-47 kDa hasil SDS PAGE dipotong dengan dosis yang sama dengan booster
kecil-kecil kemudian dimasukkan ke pertama. Pengambilan darah dilakukan
dalam kantong selofan. Selanjutnya hingga minggu ke-12.
masukkan kantong selofan tersebut

Pi B B B3 B B5 B B7 B B B1
1 2 4 6 8 9 0

Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

*I *BST *BST2
1

Gambar 1. Skema Imunisasi Hewan Coba


Keterangan:
Pi : Pengambilan darah pre-imun
I : Imunisasi menggunakan 150 µl EGF + 150 µl CFA
Bst1, Bst2 : Booster 1,2 dengan menggunakan 150 µl EGF + 150 IFA
B1, B2...B10: Pengambilan darah hari ke-
* : selang waktu 2 hari

Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan pipet dan simpan


melalui vena aurikularis sebanyak 3 ml dalam suhu -20°C sampai saat dilakukan
menggunakan spuit disposable. Masukkan purifikasi serum.
dalam tabung reaksi, miringkan 30o Serum diambil 200 µl dimasukkan
kemudian tunggu kurang lebih hingga dalam tabung eppendorf kemudian
satu jam hingga terbentuk endapan ditambahkan dengan amonium sulfat 50%
kemudian sentrifus dengan kecepatan sebanyak 200 µl dan dihomogenasikan
3000 rpm selama 10 menit pada suhu dengan cara divortex. Setelah itu
4oC untuk mendapatkan serum. Serum dilanjutkan dengan sentrifus 10.000 rpm
dipindahkan kedalam tabung eppendorf selama 10 menit pada suhu 4oC. Endapan

136
Widjiati, dkk. Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting....

yang terbentuk ditambah ammonium sulfat dan dicuci dengan PBS-Tween 20


50% sepuluh kali jumlah sampel lalu 0.05% selama 3x3 menit lalu diinkubasi
dihomogenasikan dengan divortex dan dalam serum/antibodi primer yang telah
disentrifus kembali 10.000 rpm selama 10 diencerkan dalam PBS skim milk 5%
menit. Endapannya kemudian ditambah (1:200) selama 2 jam sambil digoyang.
buffer fosfat 0,2 M; pH 8 dan Membran + Ag-Ab 1 20 μL dicuci
dimasukkan ke dalam kantong selofan, dengan PBS-Tween 20 0.05% selama
kemudian dilakukan dialisis (salting 3x3 menit lalu diinkubasi dalam serum/
out) dalam buffer fosfat 0,1 M suhu 4°C antibodi sekunder berlabel alkaline
selama satu malam. Supernatan ditambah phofatase (1:2500) yang telah diencerkan
etanol dingin dengan perbandingan 1:1 lalu dalam TBS selama 1 jam sambil digoyang.
disimpan semalam dengan suhu 4oC Membran+Ag-Ab 1-Ab 2 (AP Conjugated)
selanjutnya disentrifus 10.000 rpm dicuci dengan PBS-Tween 20 0.05%
selama 10 menit. Endapan dikeringkan selama 3x3 menit lalu diinkubasi dalam
dan dilarutkan dalam Tris HCl kemudian substrat western blue selama 30 menit
disimpan dalam suhu -20oC (Aulanni’am, sambil digoyang (dalam ruang gelap)
2005). dan ditambahkan akuades lalu membran
Proses dot blot dilakukan dengan dikeringkan.
mengencerkan antigen 20 μL dalam
PBS-sodium azida (NaN3) 1% (1:4) lalu Hasil dan Pembahasan
diteteskan pada membran nitroselulosa Gambaran hasil analisis dengan
yang telah dibasahi PBS yang telah uji spesifik dengan dot blotting,
terangkai pada alat dot blotter, diegas diketahui reaksi spesifitas antara EGF
selama 30 menit. Membran + antigen dengan antibodi poliklonal anti EGF
diblocking dengan PBS skim milk 5% terlihat jelas warna dot yang terekspresi
selama 1 jam, PBS skim milk dibuang pada gambar dibawah ini.

Bleeding ke-
Pi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kelinci 1

Kelinci 2

Gambar 2. Hasil uji dot blotting

Penilaian terhadap munculnya yang didasarkan oleh semakin gelapnya


warna pada dot blotting dipermudah warna yang dibentuk. Pembacaan hasil
dengan menggunakan kategori skor dari noda pada membran nitroselulosa diatas
nol sampai dengan enam. Nilai nol akan lebih mudah dianalisa apabila
adalah tanda negative dan nilai satu dibaca dalam bentuk skor penilaian
sampai enam adalah tanda positif. Nilai yang berdasarkan gradasi kegelapan
satu adalah nilai positif terendah dan warna dot.
nilai enam adalah nilai positif tertinggi

137
Veterinaria Medika Vol 7, No. 2, Juli 2014

Tabel 1.Pembacaan skor hasil dot blotting


Bleeding ke-
Pi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelinci 1 0 1 2 1 2 4 5 4 3 6 2
Kelinci 2 0 2 3 2 4 5 4 3 4 5 2
Rata-rata 0 1,5 2,5 1,5 3 4,5 4,5 3,5 3,5 5,5 2

Peningkatan konsentrasi antibodi setelah booster kedua dengan skor rata-


pada bleeding pertama dan kedua. Skor rata 5,5. Konsentrasi antibodi tertinggi
yang ditunjukkan tidak terlalu tinggi ini mungkin disebabkan karena pada
karena respon imun yang dihasilkan bleeding kesembilan antibodi yang
masih berupa respon imun primer. terkandung dalam serum berada dalam
Menurut Tizard (1988), antibodi baru konsentrasi yang paling tinggi.
ditemukan sekitar satu minggu setelah Pemberian imunisasi setelah
pemberian antigen pertama dan kadarnya pengambilan darah pre-imun hanya
meningkat dalam serum dan mencapai memberikan hasil peningkatan skor
puncaknya setelah 10-14 hari sebelum rata-rata dengan nilai 2,5 pada bleeding
menurun lagi dengan cepat. Jumlah kedua. Hasil ini sesuai dengan pernyataan
antibodi yang terbentuk dan tingkat Abbas dan Litchman (2005) bahwa respon
daya proteksi selama respon imun imun primer mengakibatkan aktivasi pada
primer relatif kecil sehingga pada sel B sedangkan respon imun sekunder
bleeding ketiga terjadi penurunan skor menstimulasi peningkatan jumlah sel B
akibat produksi antibodi yang telah memori. Oleh karena itu respon imun
berkurang. sekunder memiliki kandungan antibodi
Pemberian booster pertama dila- yang diproduksi lebih tinggi daripada
kukan dua hari setelah bleeding ketiga. respon imun primer.
Kemudian skor hasil dot blot mengalami Menurut Abbas dan Litchman
peningkatan pada bleeding keempat dan (2005), antigen merupakan molekul
kelima yang kemudian menurun secara yang dapat berkombinasi dengan antibodi
perlahan pada bleeding keenam dan spesifik. Walaupun demikian tidak semua
ketujuh. Peningkatan kembali terjadi antigen bersifat imunogenik. Imunogenisitas
setelah pemberian booster kedua. dan antigenisitas memiliki hubungan yang
Booster kedua dilakukan dua hari terkait, akan tetapi keduanya memiliki
setelah bleeding ketujuh. Lalu skor hasil definisi yang berbeda. Imunogenisitas
dot blot kembali menurun pada bleeding dinyatakan sebagai kemampuan antigen
kesepuluh setelah mencapai konsentrasi untuk menginduksi respon imun humoral
tertinggi pada bleeding kesembilan. ataupun cell mediated sedangkan antigenisitas
Menurut Baratawidjaja (2006), imunisasi dinyatakan sebagai kemampuan substansi
berulang dengan selang waktu tertentu asing untuk berkombinasi secara spesifik
dapat meningkatkan respon imun suatu dengan antibodi ataupun reseptor pada
individu. Tizard (1988) juga menyatakan permukaan sel (Goldsby et al., 2005).
bahwa penyuntikan antigen kedua
(booster) akan dapat meningkatkan antibodi. Kesimpulan
Setelah diberikan booster pertama. Berdasarkan hasil penelitian ini
Hasil dot blot tersebut menunjukkan dapat disimpulkan bahwa terdapat spesifisitas
gambaran bahwa konsentrasi antbodi antara protein EGF yang diperoleh dari
tertinggi diperoleh pada bleeding kesembilan oosit sapi dengan antibodi poliklonal anti

138
Widjiati, dkk. Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting....

EGF yang diperoleh dari kelinci Lonergan, P., C. Carolan, A. Van


(Oryctolagus cuniculus) hasil imunisasi Langendonckt, I.Donnay, H.
isolat protein EGF. Khatir and P. Mermilod. 1996.
Role of Epidermal Growth Factor in
Daftar Pustaka Bovine Oocyte Maturation and
Preimplantation Embryo Development
Abbas, A.K. and A.H.Litchman. 2005.
In Vitro. Biology of Reproduction
Cellular and Molecular Immunology.
54: 1420-1429
Elsevier Saunder. Philadelphia
Lorenzo, P.L., I.K.M. Liu, J.C.Illera,
Aulanni’am. 2005. Protein dan Analisanya. R.A.Picazo, G.F.Carneiro, M.J.
Citra Mentari Group. Malang Illera, A.C. Conley, A.J.Enders
Baratawidjaja, K.G. 2006. Imunologi and M.Illera. 2001. Influence of
Dasar. Fakultas Kedokteran Epidermal Growth Factor on
Universitas Indonesia. Jakarta Mammalian Oocyte Maturation
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan via Tyrosine-Kinase Pathway. J.
Fisiologi Ternak. Edisi IV. Physiol. Biochem., 57 (1): 15-22
terjemahan B. Srigondo dan K. Skinner, M.K., D. Lobb and J.H.
Prasno. Gajah Mada University Dorrington. 1987. Ovarian Thecal/
Press. Yogyakarta Interstitial Cells Produce an
Epidermal Growth Factor-Like
Goldsby, R.A., T.J. Kindt and A Substance. Endocrinology 121
Osborne. 2000. Immunology. (5): 1892-1899
W.H. Freeman and Company.
California Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi
Veteriner. Airlangga University
Hayati, R.N. dan A. Choliq. 2009. Press. Surabaya
Gangguan Reproduksi, Salah
Satu Penghambat Perkembangan Wang, Z.G., Z.R.Xu, and S.D.Yu. 2007.
Ternak Sapi (Studi Kasus di Desa Effects of Oocyte Collection
Padomasan Kabupaten Batang). Techniques and Maturation Media
Seminar Nasional Kebangkitan on In Vitro Maturation and
Peternakan. Semarang. 177-181 Subsequent Embryo Development
in Boer Goat. Czech J. Anim.
Kobayashi, K., S.Yamashita and H. Sci. 52(1): 21-25
Hoshi. 1994. Influence of Epidermal
Growth Factor And Transforming Widjiati, N.Z.Hayati, Ismudiono dan
Growth Factor on In Vitro Sukmanadi. 2008. Identifikasi
Maturation of Cumulus Cell- Protein Growth Differentiation
Enclosed Bovine Oocytes in a Factor-9 (GDF) yang Diisolasi
Defined Medium. J. Reprod. Fertil. dari Oosit pada Folikel Dominan
100: 439-446 Ovarium Sapi. Veterinaria Medika
1(2):39-42

139

You might also like