Ee
ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
BERDASARKAN KONSTITUSI
Oleh:
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., SH., SU
PIDATO ILMIAH
DALAM RANGKA KULIAH PERDANA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA.
TAHUN AKADEMIK 2012/2013MAHKAMAH KONSTITUSY
‘REPUBLIK INDONESIA
ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
BERDASARKAN KONSTITUSI
Oleh: Moh. Mahfad MD.2
Pengantar
Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua
telah mahfum. Tidak hanya pada scktor atau bidang tertentu saja, persoalan
telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan
yang ada, persoalan itu semekin hari bukannya semakin menyederhana tetapi
kkian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan
apapun untuk mengatasinya. Setiep persoalan telah coba kita atasi dan hadapi
dengan menerapkan pendckatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi
segala bidang sudeh ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaiken. Ita
sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera
berubah dan lebih baik.
Sekarang, setelah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-
persoalan itu tek juga dapat tuntas disclesaikan. Ada beberapa bidang yang
mendapat Klaim agek sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya,
namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan
sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara ein untule memperbaiki hulam dan
politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah
reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering
dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai etau melanggengkan
Kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam
kecenderungen penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor
lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan.
Praktiknya, politik direduksi untuk dlasan kekuasaan bukan sebuah proses
mewujudkan kebaikan bersame. Politik identitas semakin menguat
mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di
* Makclah pada Kuliah Perdana Program Pascasariana Universitas Cadiak Mada, Senin, 17 September 2012 di
Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yorvakarta
2 Ketua Mahkaaah Konstituel 8antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah
menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak
dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun
berpelueng mencetak pembangiangen (disobedience), yang dalam skala kecil
atau besar, samma-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.
Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan
ekonomi dilakuken dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang
kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,
melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bemegara yang meredup.
Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas
teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara.
Jadi, inti persoalanaya sckarang ialah soal melemahnya ctika berbangsa dan
bemegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini
hharuslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis
etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya
mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan
karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.
Dasar Prinsip Etika Bernegara
tika merupekan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan
ctike adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatekan
berperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai
dengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada
aturan main memungkinkan ektifitas dan relasi antar sesama warga berjalan
secara wajar, efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa misalnya,
dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting etika.
Sebeb, etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun,
dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatken diri dalam
pergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup
bermasyarakat.
Begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika akan
menjelaskan mana tinglsah laku yang baik, apa yang pantas, dan apa yang
secara substansi mengandung kebaikan dan sebelilmya, Bagi bangsa timur
seperti Indonesia, etika telah mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalam
Kerangka penghormaten terhadap nilei kebaiken, kemanusiaan, dan keadilan
2‘bagian dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara
natural-genetis, di dalam diri anak bangsa mengalir sifat-sifat lubur manusia,
yang pada perkembangannya dirumuskan oleh founding peopies ke dalam
Pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara.
Melalui Pancasila inilah, para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar
etis benegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar Pancasila
yang dituangkan dalam UUD 1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945,
tidakiah hadir hanya sebagai intuitif dan tibe-tiba jatuh dari langit, melainkan
melewati proses penggalian mendalam. Meskipun baru dibahas dan
dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdcka, pemikiran
mengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara sebenarnya telah
muncul dan dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.
Jauh sebelum Indonesia merdcka, berbagai pemikiran yang mengareh
kepada kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik, fundamen etis dan
moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian bersintesis dalam
karakter keindonesiaan. Alhirnya, para penyusun UUD berhasil menggali dan
mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain
untuk dituangkan ke dalam UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945, nilai
ctika dan morel terdapat di seluruh Pokok Pikiran®, yang kemudian nilai-nilai itu
dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya
merupakan sintesa nilai etika dan moral yang diangkat dari nilei-nilai tuhur
bangsa Indonesia yang dikenal religius, berperikemanusiaan, persatuan,
demokrasi, dan keadilan, Hal ini sangat simetris dan sinergis dengan tujuan
bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahken kepada moral kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang lebih baik.
Nilai-nilai luhur itu kemudian disepakati untuk diformalisasi dengan
sebutan Pancasila. Di dalam Pancasila itu, nilai ketuhanan ditempatkan scbagaisumber ctika dan spirituelitas pada posisi yang sanget penting sebagai
fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia
bukenlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia
melindungi hidupnya semua agama dan keyakinan serta mengembanglan
agama untuk bisa memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan etika
sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilal kemanusiaan universal yang
‘bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga
meruapakan fundamen penting bagi etika politik kehidupan bemegara.
Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara sccara adil dan beradab
merupakan prasyarat yang tak boleh diabailan dalam bernegara.
Pancasila juga menekankan prinsip persatuan kebangsaan yang
mengatasi paham golongan dan perscorangan. Persatuan itu dikclola dalam
konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan
kKeragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi, ada
muang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perla
diketahui, negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedsan, sehingga
perbedaen itu bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam
Pencasila terkandung pula prinsip bahwa nilei ketuhanan, kemanusiaan, dan
persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat. Nilai-nilai ketuhanen,
Kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya
mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan. Intinya, melalui
Pencasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara yang
dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan kepentingan
umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, penghormatan
terhadep kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mengembangkan
demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip
mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan demokratis
berbasis etika dan moralitas.
Dalam verpolitik misalnya, meskipun identik dengan cara meraih
ekuasaan, UUD menggarisken politik sebagai seni yang mengandung
kesantunan dan etika yang diukur dari pengutamaan moral. Pilihan para pendiri
negara untuk menyandarkan politik pada prinsip demokrasi deliberatif yang
mengedepankan pemusyawaratan dan bukan menang-menangan, merupaken
Keputusan terbaik untuk mengatasi segala paham golongan maupunperseorangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam
hal ini tetap dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Terkait dengan implementasi hek asesi manusia (HAM), Pembukaan UUD
1045 menyelaraskannya dengan filosofi, budaya, serta struktur kemasyarakatan
Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM aken terpenuhi manakala manusia juga
menuneikan kewejiban asasinya. Karena itu, tegaknya HAM harus diartikan
sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan kewajiban asasi
Demikian helnva dengan bidang ekonomi. UUD 1945 mengepankan
prinsip kesejahteraan sosial dalam setiap aktifitas perekonomian yang
berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan ekonomi harus bermuara pada
peningkatan kescjahteraan sosial yang menjadi tolok ukur keberhasilan
pembangunan. Interakei antar pelalua dalam elonomi dilandasi oleh semangat
keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang dalam rangka
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Problem Implementasi Etika Dewasa Int
Yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan ctike
berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa.
Pergeseran nilei akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-
materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali
tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat
Delakangan ini, baik di pentas politi, panggung sosial, maupun di rena
penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin
ctika.
Di pentas politik, etika politi sudah lama tiarap. Barangkali, seperti
pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic
exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks ekademis di bangku-bangku
kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar
pemanis bibir saja, Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan kalah dan
menang dalam meraih jabaten politik dan kekwasaan. Padahal jelas, politik
tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhlan
kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam
demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa
politik ita ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan
alchlak bangsa.Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot.
Aparat pemerintahan saat ini kebanyaken melihat status dan jabatan yang
disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara
sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amenat tersebut. Sebaliknya,
status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk menceri keuntungan
pribadi schingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak mencrima imbalen
dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi
materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai
lahan untuk menambeh pendapaten sehingge sebanyak mungkin dikeruk untuk
keuntungan pribadi. Hilangiah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk
pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantiken
dengan prinsip mendapatkan keuntangan sebanyak-banyaknya dengan kerja
sesedikit mungkin.
Karena persepsi kegiatan dan anggeran untuk keuntungan pribadi
tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan
mendapatkan anggaran scbanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika
dibandingken dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk
menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun
sudah dilakuken dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan
terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di huli anggaran sudah
dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongen, yeng pada
akhiraya merugikan rakyat.
Saat ini, benyal pejebat negera yang berperilaku tidak etis atau
melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan
masyarakat Karena diduga lerlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng
menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau
saya bersaiah, Padahal, seseoreng yang melangger etika seharusnya merasa
lebih berdosa deripada mclanggar hukum karena pada dasarnya ctike
menupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai
etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat
negara sudah terbukti melanggar ctika, make scharusnya ia malu dan lalu
mengundurkan diri tanpa perli menunggu putusan pengadilan. Pelajar ilmu
hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama,
etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-keidah dalam bermasyerakatuntuk kemudian diformalikan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah,
‘kaideh-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.
Di bidang sosial, ctika dalam pergeulan antar sesama warga semakin
tergerus oleh berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas
modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan
menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu
agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali
menyulut konilik meski dipicu olch persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi,
perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan “oko!”
ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada
perscalan makin rumit dan kian meruncing, Kecenderungan lebih menggunakan
Yoko!” ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai dan martabat menusia.
Tok berhenti sampai di situ, etike di dunia pendidiken juga nyata-nyata
semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika
akademis dan ctika keilmuan, misalnya orang membeli gclar akademik dan suka
mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi
yang suka "menjual” keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain
dengan imbelan tertentu. Ada pula pekar deri perguruan tinggi yang diminta
menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu
pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapaten.
Dulu, orang menulis buku dan menerbitican merupakan prestasi akademik tuar
biasa yang membanggaken. Tetapi sekerang, orang bisa punya artikel, buku,
etau bahkan karya ilmieh tenpa harus memiliki tradisi berpildr ilmiah dengan
cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya,
padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etike ilmiah
ekademik itu merupakan orang yang tidak kebcratan membchongi diri sendiri.
Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak
sungkan untuk membohongi orang lain, ituleh ciri koruptor atau calon koruptor.
Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turnt berkontribusi banyak
dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.
Dewasa ini, ukuran etis atau tidek, menjadi sangat lentur karena sikap
permisif masyaraket terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk
penyimpangan sosial. Korupsi di acgeri ini kian mengerikan dan merajalela,
salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi
sebagai budaya. Orang Korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada
7‘Kesempatan tapi tak korupsi, dianggap scbagai orang yang sok bersih. Alhasil,
kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya, Seperti sering saya
katakan, tori pemberantasan korupsi dari gudeng sudah habis. Semua teori
dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementera
negara terus menerus Gigerogoti.
Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan
ditegakkan tanpa bertumpu pada etike, moral, dan hati nurani sehingga
menjauhi rasa Keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa
perbaikan yang diinginkan. Salah satu scbabnya karena terjadinya pelanggeran
etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga
legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti
pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa
melibatkan moral dan etika. Penegakan hulum yang hanya sekedar
menckenkan dan mengedepankan formalites-prosedural di atas etika dan moral
keadilan publik sebagai sulana hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagel