You are on page 1of 99

PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA KEUANGAN

PASCA PEMBENTUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)*

Inosentius Samsul
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
Email: ino.samsul@yahoo.com; inosentius.samsul@dpr.go.id.

Abstract
Consumer Protection in Indonesia experienced significant growth after the enacment of Act No. 8 of
1999 on Consumer Protection as umbrella of the consumer protection laws. Act No. 21 of 2011 on
the Financial Services Authority as part of consumer protection laws. This paper aims to analyze the
two problems, the first is relationship of the consumer protection Act No. 8 of 1999 (CP Act) and Act
No. 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority (FSA Act). Second, to analyze the vertical
synchronization between the Act No. 21 of 2011 on the Financial Services Authority with the Financial
Services Authority Regulation No.1 Year 2013 on Consumer Protection Financial Services Sector as the
implementation regulation of the FSA Act. Analysis of the first problem is the complementary relationship
between the Act 8 of 1999 and Act No. 21 of 2011. Act No. 21 of 2011 strengthen consumer protection
laws on the financial services sectors. Second, FSA regulation No. 1 of 2013 a detailed set of consumer
protection efforts. But there are still some substances that has not been spelled out in the regulation. There
are some substances of the on the Financial Services Authority Act no further stipulated in the FSA
regulation. Therefore, the important suggestion of this paper is the implementation of some provisions of
the Act No 21 of 2011 should be in line with Act No 8 of 1999 to strengthen consumer protection system
in Indonesia. In addition, the FSA should issue a separate regulation of the legal defense that has not been
accommodated in the FSA Regulation No. 1 of 2013.

Kata kunci: Perlindungan konsumen, jasa keuangan, perlindungan konsumen jasa keuangan,
otoritas jasa keuangan

I. PENDAHULUAN perdagangan bebas melarang negara-negara untuk


Setelah perang dunia II perlindungan menghilangkan hambatan masuknya produk
konsumen menjadi anomali dalam tatanan dari negara lain, sebaliknya untuk kepentingan
akitivitas ekonomi dunia. Kecenderungan yang perlindungan konsumennya, suatu negara
utama adalah melakukan “deregulasi” di bidang boleh mengeluarkan aturan yang substansinya
ekonomi, sebaliknya dalam bidang perlindungan membatasi masuknya produk dari negara lain.3
konsumen justru negara-negara perlu Secara filosofis banyak hal yang perlu
mengeluarkan berbagai produk hukum untuk digali dan dipahami lebih dalam mengenai
melindungi hak-hak konsumen.1 Demikian pula perlindungan terhadap hak-hak konsumen.
dalam kesepakatan perdagangan dunia,2 ketika Pemikiran yang paling diperdebatkan adalah
*
Dikembangkan dari Makalah Seminar yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan Bekerjasama dengan Hukumonline.
com dengan tema “Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan”. Hari/Tanggal: Kamis, 21 November 2013 Pukul : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat: Kridangga Ballroom, Atlet Century Hotel, Senayan-Jakarta.
1
Sinai Deutch. “Are Consumer Rights Human Rights?” OSGOODE Hall Law Journal, VOL. 32 NO. 3 Tahun 1994., h. 539.
2
Jami Solli. A Guide to Developing the Consumer Protection Law”, Consumers International, First Edition, 2011., h.13.
3
Paulee A. Coughlin. “The Movement of Consumer Protection in the European Community: A Vital Link in the Establishment
of Free Trade and A Paradigm for North Amerika”.Indiana International & Comparative Law Review, vol . 5 h. 143.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 153


apakah hak-hak konsumen merupakan hak asasi harkat dan martabat manusia dan bersifat
manusia?4 Untuk hal ini, ada dua pemikiran individual? Untuk hal ini, ada pengakuan
yang berkembang, yaitu pertama bahwa memang yang cukup kuat bahwa hak-hak konsumen
hak-hak konsumen merupakan perkembangan merupakan hak yang bersifat individual.
(generasi keempat) hak asasi manusia. Konsep Perlindungan hak konsumen, baik diakui
hak asasi manusia, dimana terjadi praktek dan tidak diakui sebagai hak asasi manusia
eksploitasi dari pihak yang kuat kepada pihak dituangkan dalam Undang-Undang dan
yang lemah, dalam hal ini pelaku usaha bentuk peraturan lainnya dalam suatu negara
ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang termasuk di Indonesia. Tonggak sejarah penting
kuat, sedangkan konsumen menjadi pihak yang di Indonesia adalah pada tahun 1999 melalui
lemah yang selalu menjadi sasaran eksploitasi pembentukan Undang-Undang No. 8 Tahun
oleh pelaku usaha dengan produk-produk murah 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU
berkualitas rendah tetapi menguntungkan pihak PK). Namun diakui pula bahwa di luar UU PK
pelaku usaha. Dalam konsep ini, hak asasi terdapat Undang-Undang lain yang substansinya
manusia tidak lagi dilihat secara vertikal antara melindungi konsumen, seperti Undang-Undang
negara dan rakyat, dimana polanya adalah Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
negara mengeksploitasi rakyat, sedangkan dalam Keuangan (OJK). Di samping itu, pada level
hubungan pelaku usaha dan konsumen adalah peraturan perundang-undangan yang lebih
dalam pola hubungan yang bersifat horisontal.5 rendah sebagai peraturan pelaksanaan UU PK
Kedua, pemikiran yang masih terus menguji dan UU OJK seperti Peraturan OJK Nomor 1/
validitas pengakuan hak-hak konsumen sebagai POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
hak asasi manusia melalui formulasi hak asasi Sektor Jasa Keuangan (Peraturan OJK).
manusia dengan dua kategori. Pertama, suatu Tulisan ini menguraikan beberapa substansi,
hak dapat diakui sebagai hak asasi manusia yaitu pertama, kerangka pemikiran hukum
apabila secara formil sudah diakui oleh perlindungan konsumen dalam perspektif
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui hubungan antara UUPK dan UU OJK. Kedua,
Konvensi yang dikeluarkan oleh lembaga uraian mengenai sinkronisasi Peraturan OJK
tersebut. Perkembangan dalam persyaratan sebagai peraturan pelaksanaan UU OJK. Uraian
ini baru sampai pada tahap pedoman tentang ini penting, sebab Peraturan OJK merupakan
hak-hak konsumen yang dituangkan dalam amanat dalam UU OJK untuk mengatur lebih
United Nation Guidelines on Consumer Protection rinci dan operasional ketentuan-ketentuan
(UNGCP). Sedangkan aspek kedua adalah dalam UU OJK.
berkaitan dengan karakteristik dari hak itu
sendiri apakah hak tersebut berkaitan dengan II. KERANGKA PEMIKIRAN
A. Perlindungan Konsumen
4
Jami Solli. A Guide to Developing the Consumer Protection Pasal 1 angka (1) UU PK menyatakan bahwa
Law. h. 9.
perlindungan konsumen adalah segala upaya
5
Jimly Asshiddiqie, “Dimensi Konseptual dan Prosedural
Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa ini, Perkembangan yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi memberi perlindungan kepada konsumen.
Keempat”, Paper Diskusi Terbatas tentang Perkembangan Penulis berpendapat upaya yang dimaksudkan
Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia, Institute for
untuk menjamin kepastian hukum dimaknai
Democracy and Human Rights, (Jakarta: The Habibie
Center, 2000), h. 12. Dasar pemikiran adanya generasi sebagai upaya dalam membentuk peraturan
keempat hak-hak asasi manusia adalah bahwa untuk perundang-undangan atau melakukan intervensi
masa yang akan datang konsep hak asasi manusia tidak terhadap mekanisme pasar.
saja dalam konteks hubungan vertikal antara rakyat dan
Hal ini didasarkan pada pola perkembangan
negara, tetapi dalam hubungan horisontal, sesama warga
masyarakat, dalam hal ini antara konsumen dan produsen, pembangunan suatu bangsa, ketika suatu bangsa
karena praktek eksploitasi tidak saja dalam hubungan memasuki tahap negara kesejahteraan (welfare
vertikal tetapi juga dalam hubungan horisontal.

154 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


state)6 tuntutan terhadap intervensi pemerintah Selanjutnya Pasal 8 mengaturnya sebagai
melalui pembentukan hukum yang melindungi berikut:
pihak yang lemah sangatlah kuat.7 Pada periode 1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
ini negara mulai memperhatikan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
kecil dan lingkungan hidup.8 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Di Indonesia, intervensi Pemerintah melalui Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
hukum perlindunggan konsumen melahirkan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
kerangka hukum perlindungan konsumen sesuai Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
dengan jenis dan hierakhie peraturan perundang- Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
undangan yang diakui dalam Undang-Undang komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Peraturan Perundang-Undangan (UUPPP) yaitu: Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 7: Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang- Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/
undangan terdiri atas: Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik 2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
Indonesia Tahun 1945; dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Pengganti Undang-Undang; Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
d. Peraturan Pemerintah; dibentuk berdasarkan kewenangan.
e. Peraturan Presiden; Mengacu kepada jenis dan hierarkhie
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan peraturan perundang-undangan dalam Pasal
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 7 dan Pasal 8 UU PPP, maka kerangka hukum
2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang- perlindungan konsumen dapat ditelusuri mulai dari
undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dimaksud pada ayat (1). Tahun 1945 (UUD 1945) sampai dengan peraturan

6
Organski, A.F.K. The Stages of Political Development. The daerah kabupaten kota serta peraturan perundang-
University of Michigan. Disunting dan alih bahasa oleh undangan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
A.Amran Tasai: Tahap-Tahap Pembangunan Politik.
pemerintah, termasuk kementerian tertentu.
Akademi Pressindo, Jakarta, Cetakan kedua: 2010., h. 222.
7
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum di Indonesia: Relevansi secara substantif UUD 1945
Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan dengan persoalan perlindungan konsumen
Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Pidato Disampaikan sejalan dengan pemikiran bahwa UUD 1945,
dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas
di samping sebagai konstitusi politik juga
Universitas Indonesia (1950-2000), Kampus UI-Depok, 5
Pebruari 2000 (Jakarta: Feburari 2000), h. 14. Morton J. disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi
Horwitz, The Transformation of American Law 1780-1860 yang mengandung ide negara kesejahteraan
(Cambrige: Harvard University Press, 1977), h. 253-254. yang tumbuh berkembang karena pengaruh

8
Dalam sejarah pertumbuhan hukum perlindungan konsumen,
sosialisme sejak abad 19.9 Beberapa ketentuan
masalah-masalah tenaga kerja, usaha kecil dan perlindungan
lingkungan hidup merupakan bagian dari “ruang lingkup yang menjadi landasan pengaturan perlindungan
pengertian konsumen”. Karen S. Fishman, An Overview of
Consumer Law, dalam Donald P. Rothschild & David W. 9
Jimlly Asshiddiqie, Undang-undang Dasar 1945: konstitusi
Carroll, Consumer Protection Reporting Service, Volume One negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato
(Maryland: National Law Publishing Corporation, 1986), pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya (Jakarta:
h. 7-9. Sebenarnya sistem hukum perlindungan konsumen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998), h. 1-2.
juga demikian, terbukti dari pencantuman beberapa Konsep Negara Kesejahteraan ini dinamakan oleh
undang-undang terkait, termasuk Undang-undang di bidang Mohammad Hatta sebagai konsep Negara “pengurus”.
ketenagakerjaan dan lingkungan hidup dalam Penjelasan Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang
Umum Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dasar 1945 (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1960), h. 298.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 155


konsumen dalam UUD 1945 yaitu Pasal 27 ayat B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
(2)10 dan Pasal 3311. OJK adalah lembaga yang independen dan
UU PK merupakan payung dari semua bebas dari campur tangan pihak lain, yang
peraturan perundang-undangan yang terkait mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
perlindungan konsumen. Penjelasan Umum pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
UU PK menyatakan: ”Disamping itu, Undang- penyidikan.14 Dalam perspektif perkembangan
undang tentang Perlindungan Konsumen pada kegiatan bisnis sektor jasa keuangan, pembentukan
dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari OJK didasarkan pada beberapa persoalan, yaitu:
hukum yang mengatur tentang perlindungan Pertama, terjadinya konglomerasi bisnis melalui
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang- keterkaitan bisnis sektor keuangan seperti bank,
undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah perusahaan sekuritas, asuransi, pembiayaan.
ada beberapa undang-undang yang materinya Kedua, tumbuhnya beranekaragam produk
melindungi kepentingan konsumen”.12 Oleh karena jasa keuangan seperti bancassurance, unitlink,
itu, dalam penjelasan umum disebutkan 23 (dua pemasaran produk investasi melalui bank.
puluh tiga) Undang-Undang yang substansinya Ketiga, perbedaan standar pengaturan oleh Bank
melindungi kepentingan konsumen. UU PK Indonesia dan Bappepam-LK.15
juga mengakui Undang-Undang lain yang akan Lembaga ini dibentuk dengan tujuan agar
muncul kemudian sebagai bagian dari hukum keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
perlindungan konsumen. UU OJK merupakan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
salah satu contoh Undang-Undang yang lahir akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan
12 tahun setelah UU PK yang akan memperkuat yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
sistem hukum perlindungan konsumen. mampu melindungi kepentingan konsumen dan
Kerangka hukum perlindungan konsumen, masyarakat.16 OJK berfungsi menyelenggarakan
tidak saja pada level Undang-Undang seperti sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
UU PK dan UU OJK, namun terdapat juga terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
peraturan perundang-undangan level di keuangan,17 yang meliputi sektor Perbankan; Pasar
bawahnya sebagai peraturan pelaksanaan dari Modal; dan jasa keuangan di sektor Perasuransian,
masing-masing Undang-Undang.13 Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.18 Tugas

10
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak pengaturan dan pengawasan sektor perbankan
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. meliputi kewenangan pengaturan dan pengawasan

11
Pasal 33 UUD 1945: “(1) perekonomian disusun sebagai usaha mengenai kelembagaan bank dan kegiatan usaha
bersama berdas atas asaaas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang
bank.
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh 59 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
negara dan dipergunakan untuk sebesanr-besar kemakmuran Masyarakat. Pada tingkat Peraturan Presiden terdapat
rakyat.” Relevansi dari Pasal 33 UUD 1945 adalah berkaitan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang
dengan konsep pembangunan ekonomi yang berorientasi pada Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
peningkatan kemakmuran rakyat, baik melalui proses produksi 14
Pasal 1 angka (1) UU OJK.
yang dikuasai negara maupun oleh swasta. Pasal 33 UUD 15
Sri Wahyu Widodo K. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
1945, ditempatkan dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sosial, oleh karena itu, maka fokusnya adalah pada masalah Jasa Keuangan. Implikasi Hukum Penerbitan Peraturan
kesejahteraan sosial, sendangkan mengenai penguasaan OJK Nomor 1 Tahun 2013 terhadap Penyelenggaraan
oleh Negara atau swasta, termasuk privatisasi merupakan Perlindungan Konsumen oleh Industri Jasa Keuangan di
instrument atau alat untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Indonesia, Materi Presentasi Seminar, Penegakan Hukum

12
Lihat Penjelasan Umum UU PK. Perlindungan Konsumen Pasca Undang-Undang Otoritas

13
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dimaksud Jasa Keuangan (OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun
antara lain pada tingkat Peraturan Pemerintah adalah 2013, Jakarta, 21 November 2013.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan 16
Pasal 4 UU OJK.
Perlindungan Konsumen Nasional, Peraturan Pemerintah 17
Pasal 5 UU OJK.
Nomor 58 tentang Pembinaan, Pengawasan, Penyelenggaraan 18
Pasal 6 UU OJK.

156 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Pengaturan mengenai kelembagaan bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
meliputi: perizinan untuk pendirian bank, undangan di sektor jasa keuangan.20
pembukaan kantor bank, anggaran dasar, Sedangkan kewenangan OJK di bidang
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan pengawasan: a. menetapkan kebijakan operasional
dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan
bank. Sedangkan kegiatan usaha bank, antara yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c.
lain sumber dana, penyediaan dana, produk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa. perlindungan Konsumen, dan tindakan lain
Di samping pengaturan mengenai kelembagaan terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau
dan kegiatan usaha bank, kewenangan lainnya penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
adalah pengaturan dan pengawasan mengenai dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
kesehatan bank yang meliputi: (1) likuiditas, di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah
rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau
kecukupan modal minimum, batas maksimum pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola
simpanan, dan pencadangan bank; (2) laporan statuter; g. menetapkan sanksi administratif
bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
bank; (3) sistem informasi debitur; (4) pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
kredit (credit testing); dan (5) standar akuntansi jasa keuangan; dan h. memberikan dan/atau
bank.19 mencabut: 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan;
OJK juga memiliki kewenangan pengaturan 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda
dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
bank yang meliputi: (1) manajemen risiko; (2) 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan
tata kelola bank; (3) prinsip mengenal nasabah pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana
dan anti pencucian uang; dan (4) pencegahan dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; di sektor jasa keuangan.21
dan d. pemeriksaan bank. Dengan melihat kewenangan pengaturan
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan yang dimiliki OJK, maka
di bidang jasa keuangan, OJK mempunyai OJK merupakan suatu lembaga yang memiliki
wewenang: a. menetapkan peraturan pelaksanaan kewenangan yang sangat berpengaruh terhadap
Undang-Undang OJK; b. menetapkan peraturan penyelenggaraan jasa keuangan. OJK menjadi
perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. lembaga yang sangat “powerfull”.
menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d. OJK telah mengambil alih peran strategis Bank
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di Indonesia di bidang pengawasan bank. Kualitas
sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan penyelenggaraan jasa keuangan di Indonesia ke
mengenai pelaksanaan tugas OJK; f. menetapkan depan sangat ditentukan oleh kinerja OJK.
peraturan mengenai tata cara penetapan perintah Kewenangan mengatur dan mengawasi Bank
tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan oleh OJK sebelumnya menjadi bagian dari tugas
dan pihak tertentu; g. menetapkan peraturan dan wewenang Bank Indonesia berdasarkan
mengenai tata cara penetapan pengelola statuter Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
pada Lembaga Jasa Keuangan; h. menetapkan Bank Indonesia.22 Namun dalam Undang-
struktur organisasi dan infrastruktur, serta
mengelola, memelihara, dan menatausahakan 20
Pasal 8 UU OJK.
21
Pasal 9 UU OJK.
kekayaan dan kewajiban; dan i. menetapkan 22
Lihat ketentuan Bab VI Undang-Undang No. 23 Tahun
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi 1999 tentang Bank Indonesia ( UU BI) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
19
Pasal 7 UU OJK. dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 157


Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Demikian pula dalam kasus bail out Bank
Indonesia tersebut dinyatakan pula dalam Pasal Century pada tahun 2008 diduga karena adanya
34 bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan kolusi antara pemilik bank dengan pejabat
oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan Bank Indonesia serta pemerintah. Kasus bail out
yang independen, dan dibentuk dengan Undang- Bank Century ditanggapi oleh DPR RI dengan
Undang. Pembentukan lembaga pengawasan membentuk Panitia Angket Bank Century. Pada
sektor jasa keuangan yang independen tersebut akhirnya, sidang paripurna DPR-RI memutuskan
dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 hasil kerja Panitia Angket Bank Century bahwa
Desember 2002. Sepanjang lembaga pengawasan kebijakan bail out kepada Bank Century diduga
yang dimaksud belum dibentuk, tugas pengaturan melanggar peraturan dan ketentuan perundang-
dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank undangan. Telah terjadi penyalahgunaan
Indonesia.23 Sementara untuk pengawasan wewenang yang menyebabkan terjadinya dugaan
terhadap penyelenggaraan jasa non bank tindak pidana, berupa tindak pidana umum,
dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pasar Modal- tindak pidana perbankan, tindak pidana
Lembaga Keuangan Non Bank Kementerian pencucian uang serta tindak pidana korupsi.27
Keuangan Republik Indonesia. Untuk menindaklanjuti rekomendasi
Gagasan pembentukan OJK dipicu oleh krisis Dewan dalam penanganan kasus Bank Century
keuangan yang melanda Indonesia pada tahun dibentuk Tim Pengawas berdasarkan Keputusan
1990-an. Pembentukan lembaga pengawasan Pimpinan DPR RI No. 17/PIMP/III/2009-2010
sektor finansial ini sebenarnya masuk dalam salah tentang Pembentukan Tim Pengawas Dewan
satu poin Letter of Intend (LOI) antara pemerintah Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap
dan IMF sebagai salah satu persyaratan bagi Tindak Lanjut Rekomendasi Panitia Angket
pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
krisis ekonomi medio 1997-1998 silam.24 tentang Pengusutan Kasus Bank Century.
Krisis yang mengakibatkan 16 (enam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada
belas) bank dilikuidasi dan dikucurkannya dana Tim Pengawas adanya perbuatan melawan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hukum/penyalahgunaan wewenang dalam kasus
kepada sejumlah bank disebabkan oleh lemahnya FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank
pengawasan yang dilakukan oleh pihak Bank gagal berdampak sistemik.28 Sehingga beberapa
Indonesia.25 dan praktek kolusi yang dilakukan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu
oleh oknum pengawasan Bank Indonesia dengan Budi Mulia dan Siti Fajriyah.
bank yang diawasi.26 Pengucuran BLBI yang Kasus-kasus di atas merupakan contoh
merugikan keuangan negara diduga karena lemahnya pengawasan Bank Indonesia terhadap
praktek kolusi antara pejabat Bank Indonesia penyelenggaraan perbankan nasional. Bahkan
dengan pemilik bank yang mendapat dana BLBI. terdapat kasus lain selain kasus nasabah PT
Antaboga Delta Securitas yang merugikan
23
Pasal 35 UU BI.
konsumen, yaitu penggelapan dana prioritas
24
Rijanta Triwahjana R. “Otoritas Jasa Keuangan”. Harian
Republika, Senin, 04 Februari 2008. Lebih lanjut Rijanta Citibank oleh oleh senior relationship managernya,
menyatakan bahwa perjuangan yang cekup lama untuk konspirasi kecurangan deposito milik PT Elnusa
membentuk lembaga pengawas di luar Bank Indonesia, antara Direktur Keuangan PT Elnusa dengan
karena Bank Indonesia belum siap melepaskan fungsi
Kepala Cabang Bank Mega Jababeka29 dan
pengawasan yang dimiliki Bank Indonesia, sebab fungsi
pengawasan menjadi tugas strategis bagi Bank Indonesia.
Namun pada sisi lain, fungsi pengawasan ini yang menjadi 27
Keputusan DPR RI Nomor: 06/DPR RI/II/2009-2010
pemicu dari banyaknya kasus di bidang perbankan. tentang Kesimpulan dan Rekomendasi Panitia Angket
25
Hesti D. Lestari. Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Kasus Bank Century.
Dalam Pengaturan dan Pengawasan Jasa Keuangan. Jurnal
28
Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR RI, Laporan Akhir
Dinamika Hukum. Vol. 2 Nomor 3.h., 563. Tahun 2013., Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2013., h. 55.
26
Agus Budianto dalam Hesti D. Lestari Otoritas Jasa 29
Zulkarnain Sitompul dalam Hesti D. Lestari. Otoritas Jasa
Keuangan, h. 563. Keuangan, h.563.

158 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


tewasnya nasabah kartu kredit Citibank yang III. PEMBAHASAN
ditembak oleh Debt-Collector yang disewa oleh A. Hubungan UU PK dan UU OJK Dalam
Citibank.30 Penyimpangan yang menyebabkan Perspektif Perlindungan Konsumen
timbulnya kasus bail out dana Bank Century UU OJK bukanlah Undang-Undang
melibatkan Komite Stabilitas Sistem Kuangan tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan
(KSSK) yang kemudian digantikan oleh OJK konsumen merupakan salah satu tujuan dari
khusus dalam upaya pencegahan dan penangan UU OJK, oleh karena itu hubungan antara
krisis keuangan. Setelah OJK terbentuk UU PK dan UU OJK haruslah dilihat dalam
lembaga yang bertugas menjaga stabilitas perspektif perlindungan konsumen. Secara
sistem keuangan yang menggantikan KSSK koseptual, instrumen hukum perlindungan
adalah Forum Koordinasi Stabilitas Sistem konsumen dirumuskan untuk melindungi hak-
Keuangan dengan anggota terdiri atas: a. hak konsumen, yaitu:
Menteri Keuangan selaku anggota merangkap 1. hak atas kenyamanan, keamanan dan
koordinator; b. Gubernur Bank Indonesia keselamatan dalam mengkonsumsi barang
selaku anggota; c. Ketua Dewan Komisioner dan/atau jasa;
OJK selaku anggota; dan d. Ketua Dewan 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan serta mendapatkan barang dan/atau jasa
selaku anggota.31 tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
Otoritas Jasa Keuangan menyiapkan dua kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
program strategis perlindungan konsumen 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan
secara massif dan komprehensif. Program itu jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
bertujuan untuk melindungi kepentingan dan/atau jasa;
konsumen dan masyarakat dalam mendukung 4. hak untuk didengar pendapat dan
pertumbuhan industri jasa keuangan. Dua keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
program strategis itu adalah Pembentukan Sistem digunakan;
Pelayanan Konsumen Keuangan Terintegrasi 5. hak untuk mendapatkan advokasi,
(Financial Customer Care/FCC) dan Cetak Biru perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
Program Literasi Keuangan Nasional. Program perlindungan konsumen secara patut;
FCC menjadi prioritas guna meningkatkan 6. hak untuk mendapat pembinaan dan
ketersediaan informasi bagi masyarakat dan pendidikan konsumen;
pelayanan pengaduan konsumen keuangan 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
sesuai dengan kewenangan OJK.32 Salah satu benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
fungsi penting OJK adalah “Fungsi edukasi 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
dan perlindungan konsumen merupakan pilar rugi dan/atau penggantian, apabila barang
penting dalam sektor jasa keuangan. Edukasi dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
yang bersifat preventif dibutuhkan sebagai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
langkah awal untuk memberikan pemahaman mestinya;
yang lebih baik kepada konsumen.33 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.34
Dalam konteks sistem hukum perlindungan
30
Agus Budianto dalam Hesti D. Lestari: Otoritas Jasa konsumen, rumusan hak yang ke-9 menjadi
Keuangan., h. 563. sangat penting, sebab rumusan angka 9 itulah
31
Pasal 44 ayat (1) UU OJK.
yang menjadi dasar hubungan antara UU PK
32
“OJK Siapkan Dua Program Perlindungan Konsumen”,
http://www.tempo.co., Selasa, 03 September 2013. dengan UU OJK. Artinya, selain 8 (delapan)
Diunduh 26 Januari 2014. hak yang disebutkan masih terdapat hak-hak
33
“Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Sektor lainnya yang diatur dalam Undang-Undang
Keuangan”, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/4
53909. Diunduh 26 Januari 2014. 34
Pasal 4 UU PK.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 159


sektoral seperti UU OJK untuk konsumen jasa Dengan pencantuman dalam ketentuan
keuangan. umum, maka masalah konsumen merupakan
Penjelasan Umum UU PK yang masalah penting dalam UU OJK. Di samping itu,
menyebutkan 23 (dua puluh tiga) Undang- UU OJK memberikan pengertian yang luas dan
Undang yang ada termasuk Undang-Undang di umum terhadap konsumen. Pengertian konsumen
bidang jasa keuangan diakui memiliki substansi dalam UU OJK tidak membatasi pengertian
perlindungan konsumen. Namun UU OJK konsumen dalam individu saja dan pemodal di
yang lahir jauh setelah terbentukannya UU Pasar Modal diakui sebagai konsumen.37
PK memiliki kualitas yang lebih dibandingkan Perlindungan konsumen dalam UU OJK
dengan Undang-Undang lainnya, sebab UU mencakup perlindungan konsumen yang lebih
OJK merupakan satu-satunya Undang-Undang kompleks dan lengkap. Dengan cakupan yang
di luar UU PK yang secara sistematis dan khusus semakin luas ini, maka jangkauan tugas dan
mengatur mengenai perlindungan konsumen wewenang serta tanggungjawab perlindungan
dalam satu bab tersendiri dengan judul tentang konsumen OJK juga semakin luas di bidang jasa
perlindungan konsumen dan masyarakat.35 keuangan. Melalui UU OJK dibentuk lembaga
Spirit perlindungan konsumen dalam UU OJK dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
OJK, sesungguhnya tidak saja terletak dalam dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi
satu bab itu, tetapi terdapat beberapa ketentuan kepentingan Konsumen dan masyarakat.38
pada bagian lain yang dapat dimaknai sebagai 3. Wewenang OJK
bentuk perlindungan konsumen, yaitu: Untuk melaksanakan tugas pengawasan
1. Ketentuan Menimbang huruf a. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK
“Untuk mewujudkan perekonomian nasional mempunyai wewenang melakukan pengawasan,
yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,
stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan,
keuangan yang terselenggara secara teratur, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh perundang-undangan di sektor jasa keuangan.39
secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu Kewenangan tersebut di atas diperkuat
melindungi kepentingan konsumen dan dengan kewenangan untuk menetapkan sanksi
masyarakat;” Frase terakhir yaitu melindungi administratif terhadap pihak yang melakukan
kepentingan konsumen dan masyarakat pelanggaran terhadap peraturan perundangan-
merupakan argumentasi yang kuat bagi adanya undangan di sektor jasa keuangan.40 Memberikan
beberapa ketentuan perlindungan konsumen dan/atau mencabut: izin usaha; izin perorangan;
dalam pasal-pasal selanjutnya dari UU OJK. efektifnya pernyataan pendaftaran; surat tanda
2. Pengertian Konsumen: Pasal 1 angka 15 terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan
UU OJK. usaha; pengesahan; persetujuan atau penetapan
“Konsumen adalah pihak-pihak yang pembubaran; dan penetapan lain, sebagaimana
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa di sektor jasa keuangan.41 Kewenangan di atas,
Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan,
pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada 37
David L. Tobing. OJK Selaku Pelindung Konsumen
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, dan Pelaku Usaha.Paper Seminar, Penegakan Hukum
Perlindungan Konsumen Pasca Undang-Undang Otoritas
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
Jasa Keuangan (OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun
sektor jasa keuangan.”36 2013, Jakarta, 21 November 2013., h. 1.
38
Pasal 4 huruf c UU OJK.
39
Pasal 9 huruf c UU OJK.
35
Bab VI Pasal 28-31 UU OJK. 40
Pasal 9 huruf g UU OJK.
36
Pasal 1 angkat 15 UU OJK. 41
Pasal 9 huruf h UU OJK.

160 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


jelas memberikan peran dan pengaruh yang besar Konsumen yang dirugikan oleh pelaku
bagi OJK dalam kegiatan jasa sektor keuangan usaha sektor jasa keuangan dimaksud;
termasuk upaya penegakan hukum perlindungan b. mengajukan gugatan:
konsumen jasa keuangan. 1) untuk memperoleh kembali harta
4. Upaya Perlindungan Konsumen kekayaan milik pihak yang dirugikan
UU OJK mengatur mengenai perlindungan dari pihak yang menyebabkan
Konsumen dan masyarakat, yaitu OJK berwenang kerugian, baik yang berada di bawah
melakukan tindakan pencegahan kerugian penguasaan pihak yang menyebabkan
konsumen dan masyarakat, yang meliputi: kerugian dimaksud maupun di bawah
a. memberikan informasi dan edukasi kepada penguasaan pihak lain dengan itikad
masyarakat atas karakteristik sektor jasa tidak baik; dan/atau
keuangan, layanan, dan produknya; 2) untuk memperoleh ganti kerugian dari
b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk pihak yang menyebabkan kerugian
menghentikan kegiatannya apabila kegiatan pada Konsumen dan/atau Lembaga
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; Jasa Keuangan sebagai akibat dari
dan pelanggaran atas peraturan perundang-
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai undangan di sektor jasa keuangan.
dengan ketentuan peraturan perundang- Dilihat dari rumusan perlindungan konsumen
undangan di sektor jasa keuangan.42 yang tertuang dalam UU OJK, maka peran OJK
5. Pelayanan Pengaduan Konsumen dalam sistem hukum perlindungan konsumen
Di samping upaya pencegahan pelanggaran tidak terbatas menfasilitasi perlindungan
ketentuan dalam UU OJK, terdapat beberapa konsumen, yang menampung dan menjadi
instrumen untuk pelayanan pengaduan lembaga mediasi, tetapi juga menjadi lembaga
Konsumen atas pelanggaran yang dilakukan yang melakukan keberpihakan kepada konsumen
oleh pelaku usaha, yang meliputi: dalam bentuk kegiatan pembelaan hukum. Di
a. menyiapkan perangkat yang memadai samping itu, bentuk-bentuk perlindungan yang
untuk pelayanan pengaduan Konsumen dilakukan OJK meliputi perlindungan dalam arti
yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa upaya pencegahan terjadinya pelanggaran dan
Keuangan; pemulihan hak-hak konsumen apabila terjadi
b. membuat mekanisme pengaduan Konsumen kerugian yang dialami konsumen.
yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa
Keuangan; dan B. Sinkronisasi Perlindungan Konsumen
c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan Dalam Peraturan OJK, UUPK dan UU
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di OJK
Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan Dalam sistem peraturan perundang-undangan
peraturan perundang-undangan di sektor nasional sesuai dengan UU PPP, Peraturan
jasa keuangan.43 OJK merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang berada pada jalur
6. Pembelaan Hukum hirarki fungsional yang diakui dalam Pasal 8 UU
OJK memiliki 2 (dua) kewengan dalam PPP.44 Dengan demikian, keberadaan Peraturan
yang termasuk dalam pembelaan hukum bagi
konsumen, yaitu: 44
UU PPP mengenal 2 (dua) jenis hierarki peraturan
a. memerintahkan atau melakukan tindakan perundang-undanngan, yaitu hierarki struktural yang dianut
dalam Pasal 7 dan hirarki fungsional dalam Pasal 8 UU No.
tertentu kepada pelaku usaha sektor jasa
12 Tahun 2011. Kekuatan mengikat dari masing-masing
keuangan untuk menyelesaikan pengaduan jenis peraturan perundang-undangan tersebut sama, baik
yang terdapat dalam Pasal 7 maupun yang terdapat dalam
42
Pasal 28 UU OJK. Pasal 8, sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
43
Pasal 29 UU OJK. Undangan yang lebih tinggi.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 161


OJK memiliki landasan hukum yang kuat sesuai seimbang dan adil), serta hak konsumen setelah
dengan perintah Pasal 31 UU PPP. Persoalan lain tranksaksi seperti kewajiban untuk membayar
adalah dari sisi substansi pengaturan. Analisis ganti kerugian atau fasilitasi penyelesaian
terhadap sinkronisasi Peraturan OJK dari aspek pengaduan konsumen jasa keuangan. Adapun
teknis perundang-undangan. analisis terhadap beberapa ketentuan teknis dan
Peraturan OJK mengatur beberapa substansi substansi Peraturan OJK adalah sebagai berikut.
penting mulai dari pengertian perlindungan 1. Waktu berlaku Peraturan OJK.
konsumen itu sendiri yang didefenisikan sebagai Ketentuan waktu mulai berlakunya
perlindungan terhadap konsumen dengan suatu peraturan perundang-undangan
cakupan perilaku pelaku usaha jasa keuangan.45 memiliki implikasi hukum dan kebijakan.
Dibandingkan dengan rumusan perlindungan Dalam peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013
konsumen dalam UU PK,46 maka jelas rumusan dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun terhitung
perlindungan konsumen dalam Peraturan OJK sejak tanggal diundangkan.52 Peraturan OJK
lebih difokuskan kepada perlindungan konsumen ini diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013.
yang obyeknya adalah perilaku pelaku usaha Artinya akan berlaku mulai tanggal 6 Agustus
bidang jasa keuangan. Tahun 2014. Rumusan Pasal 57 berimplikasi
Ketentuan perlindungan konsumen dalam pada beberapa aspek dalam Peraturan ini, yaitu
Peraturan OJK dimulai dengan kewajiban- misalnya Pasal 14 ayat (4) OJK dalam satu tahun
kewajiban pelaku usaha jasa keuangan,47 fasilitasi ini perlu membuat Surat Edaran mengenai
pengaduan konsumen dan pemberian fasilitas Laporan Rencana Penyelenggaraan edukasi
penyelesaian pengaduan oleh OJK,48 pengendalian yang dilaksanakan oleh Pelaku Usaha Jasa
internal,49 pengawasan perlindungan konsumen Keuangan. Demikian pula terkait ketentuan
jasa keuangan,50 dan Sanksi.51 Pasal 54 mengenai kewajiban menyesuaikan
Inti dari substansi-substansi kewajiban dengan ketentuan Pasal 22 mengenai perjanjian
pelaku usaha dalam Peraturan OJK sesungguhnya baku. Hal ini penting dikemukakan mengingat
memiliki relevansinya dengan perlindungan hak- salah satu kelemahan legislasi selama ini adalah
hak konsumen dalam UU PK, baik hak yang tindak lanjut penyusunan dan penyesuaian
sebelum transaksi (hak atas informasi dan edukasi) yang lalai dilakukan, sehingga sistem penegakan
hak pada saat terjadi transaksi (perjanjian yang hukumnya akan bermasalah, dan berhenti pada
norma di atas kertas.
45
Pasal 1 angka 3 Peraturan OJK.
2. Penormaan Peraturan OJK.
46
Pasal 1 angka 1 UU PK “Perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk Dari 54 Pasal, terdapat tidak kurang dari 40
memberi perlindungan kepada konsumen”. Pasal yang dirumuskan dengan menggunakan
47
Bab II Peraturan OJK. yaitu: kewajiban terkait dengan kata wajib53 dan 6 (enam) pasal yang
informasi yang jujur, akurat, jelas, dan tidak menyesatkan
menggunakan kata “dilarang”. Penggunaan
dan terkini dan mudah diakses tentang produk dan/atau
layanan, informasi tentang penerimaan, penundaan atau dua pilihan kata ini berimplikasi pada sanksi
penolakan permohonan produk dan/atau layanan Kewajiban atas pelanggaran terhadap rumusan yang
yang terkait dengan penggunaan istilah, frasa, dan/atau menggunakan kata wajib dan kata larangan54
kalimat yang sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah
Lazimnya, “wajib” dikaitkan dengan sanksi
dimengerti oleh konsumen dalam setiap dokumen yang
terkait dengan produk. Kewajiban lain dalam Peraturan OJK
adalah menyusun dan menyediakan ringkasan informasi, 52
Pasal 57 UU Peraturan OJK.
kewajiban memberikan pemahaman kepada konsumen 53
Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah
mengenai hak dan kewajiban konsumen, kewajiban yang ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut
terkait dengan keseimbangan, keadilan, dan kewajaran tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi (
dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen. Nomor 268 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011).
48
Bab III Peraturan OJK. 54
Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata
49
Bab IV Peraturan OJK. dilarang. Setiap orang dilarang menyewakan atau
50
Bab V Peraturan OJK. mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada
51
Bab VI Peraturan OJK. pihak lain. (Nomor 270: Lampiran II UU PPP).

162 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


administrasi, sedangkan “larangan” dikaitkan 4. Pengaturan Hak Konsumen Atas Informasi:
dengan sanksi pidana.55 Upaya pencegahan kerugian konsumen/
Persoalannya dalam Peraturan OJK rumusan Sebelum Transaksi.
larangan tidak diikuti dengan penunjukkan Kekuatan dari peraturan OJK adalah sistem
norma yang akan menjadi sanksi pidana, pengawasan secara preventif terhadap pelaku
termasuk penunjukan terhadap OJK sebagai usaha jasa keuangan. Substansi ini penting,
institusi pelaksana dari UU OJK.56 Sedangkan sebab informasi mengenai produk merupakan
untuk sanksi administratif ditempatkan dalam dasar bagi konsumen untuk memutuskan
satu bab tersendiri. Model pengaturan demikian apakah menggukan suatu produk (barang/jasa)
berimpilikasi pada implementasi peraturan atau tidak. Dalam perspektif tersebut, Peraturan
perundang-undangan yang dapat diinterpratasi OJK telah mengaturnya secara komprehensif
berbeda dalam pelaksanaannya. Penyusunan dan detail dan selaras dengan ketentuan dalam
secara bersama dalam bab tentang sanksi UU PK yaitu Pasal 7 mengenai kewajiban
administrasi mengakibatkan rumusan sanksi pelaku usaha, Pasal 8 mengenai perbuatan yang
menjadi mengambang dan sangat ditentukan dilarang dalam memproduksi barang dan atau
oleh diskresi OJK. Rumusan dalam Peraturan jasa, Pasal 9 perbuatan yang dilarang dalam
OJK tidak sesuai dengan ketentuan mengenai menawarkan, memproduksikan, mengiklankan
penormaan sanksi administratif menurut suatu barangdan/atau jasa, Pasal 10 mengenai
Lampiran II UU PPP.57 penawaran barang dan atau jasa, Pasal 11
3. Ruang Lingkup Pengaturan mengenai penjualan barang dan atau jasa
Dalam perspektif perlindungan konsumen, dengan cara obral, Pasal 12 penawaran barang
perumusan norma perlindungan konsumen atau jasa dengan iklan dan tarif khusus, Pasal
mencakup perlindungan sebelum transaksi, 17 tentang iklan.
selama transaksi dan setelah transaksi. Sebelum Demikian pula rumusan Pasal 18 ayat (2)
transaksi diwujudkan dengan jaminan terhadap huruf a Peraturan OJK mencerminkan jaminan
hak atas informasi produk. Pada saat transaksi atas hak konsumen untuk memilih produk jasa
diwujudkan dalam hak atas perjanjian atau keuangan dengan adanya larangan memaksa
kesepakatan yang adil (fair agreement), dan konsumen untuk membeli produk. Di samping
jaminan perlindungan hak setelah terjadi itu, Peraturan OJK memberikan perhatian yang
transaksi seperti risiko pengguna produk, atau kuat terhadap hak atas privasi dan konsumen
kualitas produk yang sudah digunakan oleh yang berkebutuhan khusus. Konsumen yang
konsumen. berkebutuhan khusus merupakan suatu kebutuhan
yang muncul akhir-akhir ini, sehingga kalau
55
Ketentuan Nomor 112 Lampiran II UU PPP Ketentuan OJK sudah mengatur perlindungan terhadap
pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan konsumen berkebutuhan khusus, maka hal
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi tersebut merupakan suatu kemajuan.
norma larangan atau norma perintah.
56
Pasal 31 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan 5. Pengaturan Perlindungan Hak Atas Fair
cara apapun, memberikan data dan/atau informasi Agreement (perjanjian/Kesepakatan yang
mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga. (2) Larangan
adil)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam
hal: a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/ Salah satu kemajuan penting dalam UU
atau b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. PK adalah pengaturan mengenai klausula
Rumusan lain adalah ketentuan Pasal Pasal 33 bahwa baku. UU PK melakukan intervensi dengan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya
membatasi asas kebebasan berkontrak yang
apapun kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.
57
Nomor 64 Lampiran II UU PPP. Substansi yang berupa tidak dapat dilaksanakan secara mutlak dalam
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas transaksi antara pelaku usaha dan konsumen.
pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu Sebab asas kebebasan berkontrak menghasilkan
bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi
perjanjian yang adil apabila pihak yang
administratif atau sanksi keperdataan.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 163


bersepakat memiliki posisi tawar yang seimbang bertanggung jawab atas kerugian Konsumen
atau setara. Kalau tidak terpenuhi persyaratan yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
tersebut, malah justru salah satu pihak yang pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan
akan memaksakan kehendaknya untuk dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk
dituangkan dalam perjanjian atau dokumen kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan”.
tertentu. Posisi tawar konsumen yang lemah Ketentuan ini menarik dikaitkan dengan
dibandingkan dengan pelaku usaha menuntut praktek penagihan utang yang dilakukan oleh
adanya intervensi melalui pembatasan dalam penagih hutang (Debt Collector). Mengambil
melakukan perjanjian antara konsumen dan contoh di Amerika Serikat telah memiliki
pelaku yang dituangkan dalam Pasal 18 UU PK. Undang-Undang tentang Debt Collection
Secara keseluruhan rumusan dalam Practice Act. Dengan adanya Undang-Undang
Peraturan OJK sudah sejalan dengan ketentuan tersebut maka profesi penagih utang diakui
dalam Pasal 18 UU PK. Namun terdapat oleh Undang-Undang memiliki tanggung jawab
hal prinsip yang menggambarkan konstruksi profesi. Rumusan Pasal 29 Peraturan OJK
perlindungan dalam peraturan OJK lebih sempit nampaknya mengambil alih tanggung jawab
dibandingkan dengan apa yang dimaksudkan tindakan yang dilakukan oleh penagih utang.
dalam Pasal 18 UU PK, yaitu Pasal 22 peraturan Peraturan OJK tidak mengatur mengenai
OJK menggunakan konstruksi hukum bagaimana OJK melakukan tugas yang
“perjanjian baku”, sementara dalam Pasal 18 UU diamanatkan oleh Pasal 30 UU OJK melakukan
PK menggunakan konstruksi “klausula baku”. “gugatan perwakilan”. Peran OJK dalam
Disamping itu, rumusan Pasal 22 Peraturan OJK Peraturan OJK sebatas memberi fasilitasi, mediasi
berbeda dengan Pasal 11 Peraturan OJK yang pengaduan. Bagaimana Pasal 30 dilaksanakan
menggunakan dokumen dan/atau perjanjian. tidak diatur lebih lanjut. Oleh karena itu OJK
Dalam berbagai kasus jelas perbedaan antara lebih menempatkan diri sebagai fasilitator
penggunaan frase perjanjian dan klausula baku. menyelesaikan pengaduan, lebih sempit dari apa
Sebab, ketika terjadi sengketa dimungkinkan yang diamanatkan oleh UU OJK.
perjanjian secara keseluruhan tetap sah,
namun beberapa klausul dalam perjanjian IV. PENUTUP
yang tidak adil atau bertentangan dengan A. Kesimpulan
UUPK atau Peraturan OJK batal demi hukum. Tulisan ini sampai pada beberapa
Dari perspektif perlindungan kepentingan kesimpulan mengenai perlindungan konsumen
konsumen maka konsep klausula baku lebih pasca Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai
responsif dibandingkan dengan menggunakan berikut:
kata perjanjian. 1. OJK merupakan suatu lembaga yang
6. Pengaturan Mengenai Kompensasi atas memiliki kewenangan yang besar “powerfull”
Kerugian Konsumen dalam penyelenggaraan jasa keuangan.
Secara keseluruhan pengaturan dalam OJK mengambil alih fungsi dua lembaga
Peraturan OJK sudah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yaitu pengawasan Bank
dalam UU PK khususnya Pasal 19 UU Indonesia terhadap jasa keuangan perbankan
PK tentang tanggung jawab pelaku usaha. dan fungsi pengaturan dan pengawasan pada
Kekosongan dalam Peraturan OJK ini adalah kementerian keuangan terhadap pasar modal
menyangkut substansi dalam Pasal 30 UU OJK dan lembaga keuangan non bank. Pengaturan
mengenai pembelaan hukum yang menjadi mengenai tugas dan wewenang OJK dalam
tugas dari OJK. perlindungan konsumen menjadikan OJK
Salah satu ketentuan penting adalah Pasal sebagai lembaga yang memperkuat sistem
29 Peraturan OJK dengan rumusan sebagai perlindungana konsumen. OJK memiliki
berikut: “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib otoritas yang secara langsung atas pelaku

164 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


usaha di bidang jasa keuangan. Oleh DAFTAR PUSTAKA
karena itu, upaya preventif maupun upaya
perlindungan konsumen melalui penetapan
sanksi oleh OJK atas pelanggaraan pelaku
usaha terhadap hak-hak konsumen akan Buku
lebih efektif. Penguatan sistem perlindungan Asshiddiqie,Jimly.“Dimensi Konseptual dan
konsumen melalui OJK didasarkan pada Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia
hubungan yang komplenter antara UU PK Dewasa ini, Perkembangan ke Arah
dan UU OJK. Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi
2. Peraturan OJK telah menjabarkan Keempat”, Paper Diskusi Terbatas tentang
instrumen dan mekanisme perlindungan Perkembangan Pemikiran mengenai Hak
konsumen yang terdapat dalam UU OJK Asasi Manusia, Institute for Democracy
secara lebih rinci. Namun Peaturan OJK and Human Rights, (Jakarta: The Habibie
belum secara tegas memperkuat peran Center, 2000).
OJK dalam penyelesaian sengketa, sebab -------- Undang-undang Dasar 1945: Konstitusi
masih berperan sebagai fasilitator atau Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa
mediator yang dinilai lebih sempit dari yang Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
diamanatkan oleh UU OJK. Di samping itu, Besar Tetap Madya (Jakarta: Fakultas
terdapat materi dalam UU OJK yang belum Hukum Universitas Indonesia, 1998).
dirumuskan dalam Peraturan OJK yaitu
mengenai pembelaan hukum terhadap Coughlin Paulee A..”The Movement of
konsumen oleh OJK. Consumer Protection in the European
Community: A Vital Link in the
B. Saran Establishment of Free Trade and A Paradigm
Beberapa saran penting untuk penguatan for North Amerika”. Indiana International &
sistem perlindungan konsumen ke depan Comparative Law Review, vol . 5.
adalah: Deutch, Sinai, . “Are Consumer Rights Human
Pertama, perlindungan konsumen yang Rights?” OSGOODE Hall Law Journal,
dilaksanakan oleh OJK haruslah sejalan VOL. 32 NO. 3, Year 1994.
dengan mekanisme perlindungan konsumen
Hesti D. Lestari. “Otoritas Jasa Keuangan:
yang tertuang dalam UU PK, atau OJK menjadi
Sistem Baru Dalam Pengaturan dan
lembaga utama perlindungan konsumen untuk
Pengawasan Jasa Keuangan”. Jurnal
jasa keuangan. Berdasarkan hubungan yang
Dinamika Hukum, Vol. 2 Nomor 3 Fakultas
komplementer, implementasi kedua Undang-
Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Undang ini menggunakan norma atau ketentuan
Purwokerto, 2012.
yang lebih menguntungkan konsumen.
Kedua, tugas OJK dalam bidang pembelaan Horwitz, Morton J. The Transformation of
hukum terhadap konsumen perlu diatur dalam American Law 1780-1860 (Cambrige:
Peraturan OJK untuk memperjelas mekanisme Harvard University Press, 1977).
pembelaan oleh OJK. Di samping itu, Organski, A.F.K. The Stages of Political
mekanisme penyelesaian sengketa konsumen Development. The University of Michigan.
jasa keuangan melalui OJK perlu diperkuat Disunting dan alih bahasa oleh A.Amran
menjadi mekanisme putusan yang final dan Tasai: Tahap-Tahap Pembangunan Politik.
mengikat, sehingga OJK dapat menjadi Akademi Pressindo, Jakarta, Cetakan
lembaga terakhir bagi penyelesaian alternatif di kedua: 2010.
luar pengadilan terhadap sengketa konsumen
bidang jasa keuangan.

INOSENTIUS SAMSUL: Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan... 165


Rahayu, Sri Widodo K. Implikasi Hukum Negara Republik Indoneisa Nomor 3843)
Penerbitan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun sebagaimana telah beberapa kali diubah
2013 terhadap Penyelenggaraan Perlindungan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Konsumen oleh Industri Jasa Keuangan di Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Indonesia, Makalah Seminar, Penegakan Pemerinth Pengganti Undang-Undang
Hukum Perlindungan Konsumen Pasca Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
(OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun Tahun 1999 tentang Bank Indonesia).
2013, Jakarta, 21 November 2013. ----------, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
Rajagukguk, Erman. “Peranan Hukum 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 2011
di Indonesia: Menjaga Persatuan, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Kesejahteraan Sosial,” Pidato Disampaikan Lembaran Negara Republik Indonesia
dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Nomor 5253).
Tahun Emas Universitas Indonesia (1950- ----------, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2000), Kampus UI-Depok, 5 Pebruari 2000 2011 tentang Pembentukan Peraturan
(Jakarta: Feburari 2000). Perundang-Undang (Lembaran Negara
Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Akhir Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
Tahun 2013 Tim Pengawas Kasus Bank 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Century, Jakarta: 2013. Indonesia Nomor 5234).
Solli, Jami. A Guide to Developing the Consumer ----------, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Protection Law”, Consumers International, Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan
First Edition, 2011. Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Lembaran
Tobing, David, M.L. Penegakan Hukum Negara Republik Indonesia Tahun 2013
dan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Konsumen dalam Industri Jasa Keuangan di Republik Indonesia Nomor 5431)
Indonesia. Makalah Seminar, Penegakan
Hukum Perlindungan Konsumen Pasca Surat Kabar dan Internet
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Harian Republika, Senin, 04 Februari 2008.
(OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun OJK Siapkan Dua Instrumen Perlindungan
2013, Jakarta, 21 November 2013. Konsumen. http://www.tempo.co., Selasa,
03 September 2013. Diunduh 26 Januari
Peraturan Perundang-Undangan 2014.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Sektor
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keuangan. http://nasional.news.viva.co.id/
-----------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun news/read/453909. Diunduh 26 Januari
1999 tentang Perlindungan Konsumen 2014.
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821).
----------, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran

166 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJA
DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN
TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Dian Cahyaningrum
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
email: cahyaningrum@yahoo.com.

Abstract
The work agreement has important function to protect Indonesian migrant workers. Therefore, Law
Number 39/2004 has regulated many aspects of working agreement. In fact, the work agreement has not
be able to do its function optimally because the work agreement has a standard form and its substance
is determined by the user that it is not fair. The subjective condition of Indonesian migrant worker is not
fulfilled because the Indonesian migrant worker is still under age. The signing of the work agreement is
not in front of the government officer. The time period of the work agreement does not be extended when
it is over. The work agreement is not renewed if the Indonesian migrant worker has a new user or a new
job. A lot of efforts need to be done to optimalize the work agreement such as PPTKIS must be carefull in
making a placement coordination agreement because that agreement becomes reference to make a work
agreement. The Embassy officer must selective to approve the work agreement. The signing of the work
agreement must be in front of the government officer. The subjective and objective conditions of the work
agreement must be fulfilled. The work agreement must be extended when the time period is over. The work
agreement is also renewd when The Indonesian migrant workers has a new user or a new job.

Kata Kunci: TKI, Perjanjian Kerja, UU No. 39 Tahun 2004

I. PENDAHULUAN yang telah diselesaikan, sementara sebanyak


A. Latar Belakang 4.946 pengaduan (40,31 persen) masih dalam
Penempatan dan perlindungan tenaga proses penyelesaian. Dari sisi permasalahan
kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sampai saat yang diadukan, tercatat sebanyak 44 masalah,
ini masih menjadi permasalahan yang cukup diantaranya alamat rumah berbeda dengan
krusial di Indonesia. Berbagai kasus masih alamat di paspor, gagal penempatan, gaji tidak
banyak menimpa Calon Tenaga Kerja Indonesia standar, gaji tidak dibayar, putus komunikasi
(CTKI)/Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mulai dengan keluarga, TKI sakit dan rawat inap,
dari pra penempatan, pada saat penempatan, meninggal di negara tujuan, TKI ingin
dan pasca penempatan TKI di luar negeri. dipulangkan ke tanah air, pemalsuan dokumen,
Berdasarkan data dari Crisis Center Badan PHK sepihak, tindak kekerasan dari majikan,
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dan sebagainya.1 Berbagai kasus yang menimpa
(BNP2TKI), sejak BNP2TKI didirikan pada CTKI/TKI tersebut ternyata tidak menyurutkan
tanggal 27 Juni 2011, pengaduan permasalahan warga negara Indonesia (WNI) di berbagai
TKI dari keluarga TKI maupun masyarakat daerah untuk bekerja ke luar negeri. Sebagai
telah mencapai 12.270 pengaduan. Dari 12.270 contoh Provinsi Jateng dan Jatim, sebagaimana
pengaduan permasalahan CTKI/TKI, baru dikemukakan oleh Kepala BN2TKI, Mohammad
sebanyak 7.324 pengaduan (59,69 persen) Jumhur Hidayat, kedua provinsi tersebut
1
“Crisis Center BNP2TKI Tangani 12270 Pengaduan Permasalahan”, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8526-
crisis-center-bnp2tki-tangani-12270-pengaduan-permasalahan-tki.html, diakses tanggal 5 September 2013.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 167


menempatkan TKI masing-masing sekitar 40.000 jumlah kemiskinan di Indonesia tergolong
orang tiap tahun. Bahkan NTB yang hanya tinggi. Bahkan, sebagaimana dikemukakan oleh
memiliki jumlah penduduk sekitar 4 juta orang, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
menempatkan TKI ke luar negeri sebanyak Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana,
50.000 hingga 60.000 orang setiap tahunnya. dengan tingkat kemiskinan per Maret 2013
Dengan demikian, NTB merupakan Provinsi yang mencapai 11,37 persen, target tingkat
yang paling padat menempatkan TKI ke luar kemiskinan pada akhir tahun 2013 sebesar 10,5
negeri.2 persen berat untuk dicapai. Salah satu pemicu
Fakta ketertarikan WNI untuk menjadi TKI dari tidak tercapainya target penurunan tingkat
di luar negeri tersebut tidak terlepas dari berbagai kemiskinan tersebut oleh pemerintah adalah
kondisi sosial, ekonomi, dan ketenagakerjaan di melonjaknya harga sejumlah kebutuhan yang
tanah air. Berdasarkan data dari Badan Pusat berujung pada tingkat inflasi tinggi.5 Kemiskinan
Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari dan minimnya kesempatan kerja di tanah air
2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92 persen mendorong WNI mencari pekerjaan ke luar
dari jumlah angkatan kerja di Indonesia sebesar negeri untuk meningkatkan kesejahteraan
121,2 juta orang.3 Sebagaimana dikemukakan meskipun harus menghadapi segala risiko yang
menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ mengancam keselamatan jiwa.
Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana, Untuk melindungi TKI yang bekerja di
perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,92 luar negeri, sebenarnya telah dibentuk UU
persen di semester I tahun 2013 dikhawatirkan No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
akan menambah tingkat angka pengangguran di Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mulai
Indonesia.4 Selain itu, kenaikan upah minimum berlaku pada tanggal 18 Oktober 2004. UU
regional (UMR) dan tuntutan kenaikan upah dari ini diharapkan dapat melindungi TKI mulai
pekerja juga dapat memberatkan pengusaha yang dari pra pemberangkatan, pada saat bekerja,
dapat berdampak pada terjadinya pemutusan maupun pasca TKI bekerja dari luar negeri.
hubungan kerja (PHK) yang akan menambah Salah satu ketentuan dalam UU No. 39 Tahun
jumlah pengangguran di tanah air. 2004 yang diharapkan dapat memberikan
Pengangguran menyebabkan terjadinya perlindungan kepada TKI khususnya pada
kemiskinan dan menurunnya tingkat kesejahteraan saat bekerja di luar negeri adalah ketentuan
rakyat. Berdasarkan data dari BPS, jumlah mengenai perjanjian kerja yang harus dibuat
penduduk miskin tahun 2009 sebesar 32,53 juta antara TKI dan pengguna jasa TKI sebelum
atau 14,15 persen. Jumlah ini terus menurun TKI bekerja di luar negeri.
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 menurun Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan
31,02 juta atau 13,33 persen, Maret 2011 sebesar TKI dapat bekerja dengan baik, dan sebaliknya
30,02 juta atau 12,49 persen, September 2011 mendapatkan hak-haknya sebagaimana telah
ada 29,89 juta atau 12,36 persen, Maret 2012 diperjanjiakan. Namun kenyataannya, perjanjian
sebesar 29,13 juta atau 11,96 persen, dan pada kerja belum benar-benar mampu memberikan
Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 perlindungan kepada TKI. Berdasarkan
persen dari total penduduk Indonesia. Meskipun pengaduan dari keluarga TKI atau masyarakat
jumlah penduduk miskin menurun, namun kepada BNP2TKI sebagaimana telah dipaparkan,
nampak ada pengaduan gaji yang dibayarkan
2
“Jumhur Andalkan NTB dalam Peningkatan TKI”, kepada TKI tidak sesuai standar bahkan ada TKI
http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/26396/lihat/ yang tidak menerima gaji. Sehubungan dengan
kategori/96/Hukum, diakses tanggal 6 September 2013.
3
“Berita Resmi Statistik”, http://bps.go.id/?news=1010, 5
“Tingkat Kemiskinan 2013 Akan Lebih Tinggi dari Target
diakses tanggal 6 September 2013. Pemerintah”, http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/
4
“Jumlah Pengangguran di Indoneis Berpotensi meningkat, makro/13/08/18/mrpo4p-tingkat-kemiskinan-2013-akan-
15 Agustus 2013, www.google.com, diakses tanggal 6 lebih-tinggi-dari-target-pemerintah, diakses tanggal 11
September 2013. Oktober 2013.

168 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


hal ini maka menarik untuk mengkaji masalah bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 2).
aspek hukum perjanjian kerja dalam memberikan Sedangkan yang dimaksud dengan Tenaga Kerja
perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI
negeri. adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
B. Permasalahan dalam hubungan kerja untuk jangka waktu
Perjanjian kerja antara TKI dengan tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 angka
pengguna jasa seharusnya dapat menjadi sarana 1).
untuk melindungi TKI. Namun sebagaimana Pengertian TKI tersebut di atas hanya
dikemukakan pada latar belakang masalah, memberikan batasan terhadap subyek hukum
berbagai kasus ternyata masih menimpa TKI. TKI sebagai warga negara Indonesia (WNI)
Oleh karena itu yang menjadi permasalahan yang memenuhi syarat sebagai TKI. Pembatasan
dalam kajian ini adalah: tidak didasarkan pada jenis kelamin, status
1. Bagaimana konstruksi hukum perlindungan pernikahan, jenjang pendidikan, dan jenis
TKI melalui perjanjian kerja? pekerjaan. Dengan demikian, semua WNI baik
2. Permasalahan apa saja yang muncul laki-laki maupun perempuan yang memenuhi
dari perjanjian kerja dalam memberikan syarat untuk bekerja di luar negeri baik di sektor
perlindungan kepada TKI? formil maupun non formil dapat disebut sebagai
TKI. Untuk dapat menjadi TKI, maka CTKI
C. Tujuan dan Kegunaan harus memenuhi syarat sebagai berikut:6
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui 1. Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun
konstruksi hukum perjanjian kerja dalam kecuali bagi calon TKI yang dipekerjakan
memberikan perlindungan terhadap TKI pada pengguna perorangan/rumah tangga
dan permasalahan yang muncul pada tataran sekurang-kurangnya 21 tahun;
praktis dari perjanjian kerja dalam memberikan 2. Sehat jasmani dan dan rohani;
perlindungan kepada TKI. 3. Memiliki keterampilan;
Sedangkan kegunaan dari kajian ini adalah 4. Tidak dalam keadaan hamil bagi TKI
sebagai bahan masukan bagi Anggota DPR perempuan;
RI dalam melaksanakan fungsi legislasi yaitu 5. Berpendidikan minimal SLTP;
dalam merevisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang 6. CTKI terdaftar di Dinas Tenaga Kerja di
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja daerah tempat tinggalnya;
Indonesia di Luar Negeri yang saat ini sedang 7. Memiliki dokumen lengkap. Berdasarkan
dibahas di Komisi IX DPR RI. Kajian ini juga Pasal 51 UU No. 39 Tahun 2004, dokumen
berguna untuk mendukung Dewan dalam yang harus dimiliki oleh CTKI adalah
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap sebagai berikut:
pelaksanaan ketentuan mengenai perjanjian a. KTP, ijazah pendidikan terakhir, akte
kerja yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004. kelahiran/surat keterangan kenal lahir;
b. Surat keterangan status perkawinan
II. KERANGKA PEMIKIRAN bagi yang telah menikah melampirkan
A. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) copy buku nikah;
Dalam UU No. 39 Tahun 2004, yang disebut c. Surat keterangan izin suami atau istri,
dengan Calon Tenaga Kerja Indonesia yang izin orang tua atau izin wali;
selanjutnya disebut calon TKI (CTKI) adalah d. Sertifikat kompetensi kerja;
setiap warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di 6
Leaflet yang diterbitkan oleh Departemen Komunikasi dan
luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah Informatika Republik Indonesia mengenai “Cara Aman
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di Bekerja di Luar Negeri”. Persyaratan CTKI ini juga diatur
dalam Pasal 35 UU No. 39 Tahun 2004.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 169


e. Surat keterangan sehat berdasarkan e. Memperoleh upah sesuai dengan standar
hasil pemeriksaan kesehatan dan upah yang berlaku di negara tujuan;
psikologi; f. Memperoleh hak, kesempatan, dan
f. Paspor yang diterbitkan oleh Kantor perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga
Imigrasi setempat; kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan
g. Visa kerja; perundang-undangan di negara tujuan;
h. Perjanjian penempatan kerja; g. Memperoleh jaminan perlindungan hukum
i. Perjanjian kerja; dan sesuai dengan peraturan perundang-
j. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) undangan atas tindakan yang dapat
Adanya ketentuan syarat tersebut merendahkan harkat dan martabatnya serta
dimaksudkan agar seorang TKI mempunyai pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan
karakteristik ideal TKI, yaitu pertama, harus bisa sesuai dengan peraturan perundang-
mandiri artinya mampu mengatasi masalah yang undangan selama penempatan di luar negeri;
ada dan tahu kemana harus mencari bantuan, h. Memperoleh jaminan perlindungan
kedua, mampu menyesuaikan diri dengan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI
kondisi kerja, adat istiadat, cuaca, iklim, aturan ke tempat asal;
hukum, dan perkembangan teknologi yang ada i. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang
di negara penempatan tanpa meninggalkan asli.
kepercayaan, norma, etika dan budaya asal, Sedangkan kewajiban CTKI diatur dalam
ketiga, mampu melaksanakan tugas sesuai bidang Pasal 9 UU No. 39 Tahun 2004, yaitu kewajiban
pekerjaannya serta mampu berkomunikasi untuk:
dengan baik, keempat, mengetahui, memahami a. Mentaati peraturan perundang-undangan
dan melaksanakan kewajibannya dengan baik baik di dalam negeri maupun di negara tujuan;
dan mampu mempertahankan haknya, kelima, b. Mentaati dan melaksanakan pekerjaannya
mampu mengembangkan diri yaitu dengan sesuai dengan perjanjian kerja;
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, c. Membayar biaya pelayanan penempatan
bahasa serta memahami budaya dan adat istiadat TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan
di negara penempatan, keenam, mempunyai perundang-undangan; dan
tujuan yang akan dicapai yaitu meningkatkan d. Memberitahukan atau melaporkan
taraf hidup dan mengembangkan diri.7 kedatangan, keberadaan, dan kepulangan
CTKI yang telah memenuhi syarat memiliki TKI kepada Perwakilan RI di negara tujuan.
hak dan kewajiban yang dijamin oleh hukum.
Hak dan kewajiban tersebut akan dapat
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 2004,
dijamin dan dilindungi dengan baik jika CTKI
hak CTKI adalah:
menjadi TKI legal, yaitu memenuhi syarat
a. Bekerja di luar negeri;
untuk bekerja di luar negeri, ditempatkan dan
b. Memperoleh informasi yang benar
bekerja di luar negeri sesuai dengan mekanisme
mengenai pasar kerja luar negeri dan
atau prosedur yang diatur oleh peraturan
prosedur penempatan TKI di luar negeri;
perundang-undangan. Sebaliknya TKI ilegal
c. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang
kurang mendapatkan jaminan dan perlindungan
sama dalam penempatan di luar negeri;
hukum sehingga tidak tertutup kemungkinan
d. Memperoleh kebebasan menganut agama
tertimpa berbagai kasus baik pada masa pra
dan keyakinannya serta kesempatan untuk
penempatan, masa penempatan, maupun pasca
menjalankan ibadah sesuai dengan agama
penempatan dari luar negeri. Adapun yang
dan keyakinan yang dianutnya;
dimaksud dengan TKI ilegal adalah:8
7
Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Depnaker 8
Leaflet yang diterbitkan oleh Departemen Komunikasi dan
RI, “Pokok-Pokok tentang Kerja ke luar Negeri”, Jakarta: Informatika Republik Indonesia mengenai “Cara Aman
Depnaker RI, 1999/2000, hal. 11. Bekerja di Luar Negeri”, op.cit.

170 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


1. TKI yang keberangkatannya tanpa melalui bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah
prosedur yang benar, hanya berbekal paspor satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak
atau bahkan tanpa paspor sama sekali; tersebut ditandatangani umumnya para pihak
2. TKI ke luar negeri dengan tujuan bekerja hanya mengisikan data-data informatif tertentu
tetapi tidak menggunakan visa kerja; saja dengan sedikit atau tanpa perubahan
3. TKI melalui prosedur resmi, tetapi di dalam klausula-klausulanya, dimana pihak
luar negeri kemudian berpindah tempat lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kerja atau melarikan diri tanpa mengurus kesempatan atau hanya sedikit kesempatan
dokumen kerja baru; untuk menegosiasi atau mengubah klausula-
4. Dokumen kerja dan izin tinggal di negara klausula yang sudah dibuat oleh salah satu
itu telah habis masa berlakunya tetapi pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku
yang bersangkutan terus bekerja atau sangat berat sebelah.9
tinggal di negara itu tanpa memperpanjang Menurut Wiwoho Soedjono, perjanjian
dokumennya. kerja berbeda dengan perjanjian perburuhan.
Mengingat bekerja di luar negeri memiliki Perbedaan tersebut adalah:
10

banyak risiko, maka untuk meminimalisasi a. Perjanjian kerja diadakan oleh seorang buruh,
atau bahkan menghilangkan sama sekali risiko jadi bersifat individual dengan pihak majikan,
tersebut, diharapkan CTKI bekerja di luar sedangkan perjanjian perburuhan ialah suatu
negeri dengan menjadi TKI legal. perjanjian yang diadakan oleh serikat buruh
atau serikat-serikat buruh dengan majikan-
B. Perjanjian Kerja majikan atau perkumpulan majikan.
Berpijak pada pengertian TKI sebagaimana b. Perjanjian kerja itu dapat diadakan sewaktu-
diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun waktu tanpa adanya serikat buruh, jadi oleh
2004 dapat dilihat bahwa TKI yang bekerja buruh secara perseorangan dengan majikan
di luar negeri memiliki hubungan kerja untuk sedang perjanjian perburuhan hanya dapat
jangka waktu tertentu dengan pengguna jasa diadakan semata-mata oleh serikat-serikat
TKI. Hubungan kerja tersebut didasarkan pada buruh di dalam suatu perusahaan tempat
perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna buruh itu bekerja dan menjadi anggotanya.
jasa TKI. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU c. Perjanjian kerja harus merupakan
No. 39 Tahun 2004, yang dimaksud dengan penjabaran perjanjian perburuhan dalam arti
pengguna jasa TKI yang selanjutnya disebut perjanjian kerja tidak boleh bertentangan
dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, dengan perjanjian perburuhan.
Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum d. Isi perjanjian kerja itu ialah mengenai hak
Swasta, dan/atau Perseorangan di negara dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan,
tujuan yang mempekerjakan TKI. Sedangkan sedangkan isi perjanjian perburuhan ialah
yang dimaksud dengan perjanjian kerja dalam mengenai hak dan kewajiban tentang
Pasal 1 angka 10 UU No. 39 Tahun 2004 adalah syarat-syarat kerja.
perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna Sebagai salah satu jenis perjanjian maka
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan perjanjian kerja juga harus tunduk pada Pasal
kewajiban masing-masing pihak. 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berdasarkan pada pengertian tersebut, (KUHPerdata) yang mengatur mengenai syarat
nampak bahwa perjanjian kerja berbentuk sahnya perjanjian, yaitu:
tertulis. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian
atau kontrak baku, yaitu suatu kontrak tertulis 9 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum
yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam Bisnis), Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003,
kontrak tersebut, bahkan seringkali kontrak hal. 76.
10
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, Yogyakarta:
tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam
PT. Bina Aksara, 1983, hal. 11.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 171


1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; -- Pekerjaan yang diperjanjikan tidak
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; bertentangan dengan ketertiban umum,
3. Mengenai suatu hal tertentu; kesusilaan, dan ketentuan peraturan
4. Suatu sebab yang halal perundang-undangan yang berlaku.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat- Selain prinsip-prinsip tersebut, perjanjian
syarat subyektif karena mengenai orangnya kerja juga harus memberlakukan asas-asas yang
atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, berlaku pada perjanjian. Menurut Handri Raharjo,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu:14
syarat-syarat obyektif karena mengenai 1. Asas kebebasan berkontrak. Asas ini bermakna
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian
hukum yang dilakukan itu.11 dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun
Jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka bentuknya sejauh tidak melanggar undang-
perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya undang, ketertiban umum, dan kesusilaan
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu (Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUHPerdata)
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 2. Asas konsesualisme. Perjanjian lahir atau
Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan 1320, Pasal 1338 KUHPerdata). Hal ini
hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan
tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan para pihak.
hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa 3. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta
perjanjian tersebut null and void. Sedangkan sunt servanda). Perjanjian yang dibuat
jika syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjian secara sah berlaku sebagai undang-undang
bukan batal demi hukum, melainkan salah bagi yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1)
satu pihak mempunyai hak untuk meminta KUHPerdata).
supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak 4. Asas iktikad baik (Togoe dentrow). Perjanjian
yang dapat meminta pembatalan adalah pihak harus dilaksanakan dengan iktikad baik
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. baik ada dua, yakni:
Jadi, perjanjian yang telah dibuat mengikat a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan
juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) kepatutan dan kesusilaan.
atas permintaan pihak yang berhak meminta b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan
pembatalan tersebut.12 sikap batin seseorang
Berpijak pada Pasal 1320 KUHPerdata, 5. Asas kepribadian. Pada umumnya tidak
maka menurut Munir Fuady, perjanjian kerja seorang pun dapat mengadakan perjanjian
dibuat berlandaskan pada prinsip-prinsip kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya
sebagai berikut:13 terdapat di dalam Pasal 1317 KUHPerdata
-- Kemauan bebas dari kedua belah pihak; tentang janji untuk pihak ketiga.
-- Kemampuan atau kecakapan kedua belah Sementara menurut Mariam Darus ada 10
pihak; asas perjanjian, yaitu: 1) kebebasan mengadakan
-- Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; perjanjian, 2) konsesualisme, 3) kepercayaan,
4) kekuatan mengikat, 5) persamaan hukum, 6)
11
Baca: R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, keseimbangan, 7) kepastian hukum, 8) moral,
Cetakan Keempat, Bandung: Alumni, 1986, hal. 16. 9) kepatutan, dan 10) kebiasaan.15
12
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 17, Jakarta: Intermasa,
1998, hal. 20. 14
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan
13
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Modern Menata Pertama, Jakarta: Buku Kita, 2002, hal. 43-45.
Bisnis Modern di Era Global, Cetakan ke-I, Bandung: PT. 15
Mariam Darus Badrulzaman dalam Handri Raharjo,
Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 193. Hukum Perjanjian di Indonesia, Ibid, hal. 45.

172 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 melindungi TKI. Ini disebabkan perjanjian kerja
Tahun 2004, hubungan kerja antara TKI dan memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi
Pengguna tidaklah selamanya, melainkan TKI untuk mendapatkan hak-haknya setelah
memiliki jangka waktu tertentu. Ini berarti TKI melaksanakan kewajibannya dengan baik
perjanjian kerja yang menjadi dasar terjadinya sebagaimana yang telah disepakatinya dengan
hubungan kerja juga memiliki jangka waktu pengguna jasa TKI. Jaminan dan kepastian
keberlakuan. Perjanjian kerja berakhir manakala:16
hukum tersebut timbul karena berdasarkan asas
1. Pekerja meninggal pacta sunt servanda, perjanjian kerja berlaku
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja sebagai UU bagi TKI dan Pengguna jasa TKI
3. Adanya putusan pengadilan yang telah sebagai pemberi kerja oleh karenanya keduanya
mempunyai kekuatan hukum tetap. harus beritikad baik untuk melaksanakannya.
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu Dengan adanya perjanjian kerja, jika hak TKI
yang dicantunkam dalam perjanjian kerja seperti gaji tidak diberikan sesuai kesepakatan
yang dapat menyebabkan berakhirnya maka TKI dapat menuntut haknya kepada
hubungan kerja. Pengguna jasa TKI. Berdasarkan Pasal 52 ayat
5. Keadaan memaksa. (2) UU No. 39 Tahun 2004, TKI juga dapat
menuntut haknya tersebut kepada PPTKIS
III. PEMBAHASAN yang telah menempatkannya berdasarkan
A. Konstruksi Hukum Perlindungan TKI pada perjanjian penempatan TKI.17 Selain
Melalui Perjanjian Kerja haknya harus diberikan, TKI juga tidak boleh
Salah satu tujuan nasional sebagaimana dipekerjakan semena-mena dan dapat menolak
tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun jika pekerjaan tidak sesuai dengan kesepakatan
1945 Alinia Keempat adalah ”melindungi yang tertuang dalam perjanjian kerja.
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah Mengingat pentingnya perjanjian kerja,
darah Indonesia.” Tujuan tersebut kemudian maka Pasal 32 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2004
dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD Tahun mensyaratkan Pelaksana Penempatan TKI
1945, yaitu dalam Bab XA tentang Hak Asasi Swasta (PPTKIS) untuk memiliki rancangan
Manusia, Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun perjanjian kerja jika ingin mendapatkan surat
1945 yang menyebutkan ”setiap orang berhak izin pengerahan (SIP) TKI.18 Lebih lanjut
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan Pasal 32 ayat (3) UU No. 39 Tahun 2004
kepastian hukum yang adil serta perlakuan mengamanatkan rancangan perjanjian kerja
yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan
tersebut memberikan amanat kepada negara Tanggung jawab PPTKIS ini sesuai dengan Pasal 52 ayat
17

(2) huruf f UU No. 39 Tahun 2004 yang menyebutkan


(Pemerintah) untuk memberikan perlindungan perjanjian penempatan TKI diantaranya memuat
kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk TKI jaminan PPTKIS kepada CTKI dalam hal Pengguna tidak
apalagi jika mengingat bekerja di luar negeri memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai perjanjian
kerja. Dalam Penjelasan ketentuan dimaksud dijelaskan
penuh dengan risiko.
bahwa jaminan yang dimaksudkan dalam huruf ini
Dalam rangka memberikan perlindungan adalah pernyataan kesanggupan dari PPTKIS untuk
kepada TKI, dibentuklah UU No. 39 Tahun memenuhi janjinya terhadap CTKI yang ditempatkannya.
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Misalnya, apabila dalam perjanjian penempatan PPTKIS
menjanjikan bahwa CTKI yang bersangkutan akan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang
dibayar sejumlah tertentu oleh Pengguna, dan ternyata
diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal di kemudian hari Pengguna tidak memenuhi sejumlah
18 Oktober 2004. Salah satu materi yang diatur itu (yang tentunya dicantumkan dalam perjanjian kerja),
dalam UU No. 39 Tahun 2004 adalah perjanjian maka PPTKIS harus membayar kekurangannya.
18
Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2004,
kerja yang merupakan instrumen penting untuk
untuk mendapatkan surat izin pengerahan, selain
rancangan perjanjian kerja PPTKIS juga harus memiliki
16
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Modern Menata perjanjian kerjasama penempatan, surat permintaan TKI
Bisnis Modern di Era Global, op.cit., hal. 193. dari pengguna, dan rancangan perjanjian penempatan.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 173


tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat dan jenis pekerjaan TKI; hak dan kewajiban para
yang berwenang pada Perwakilan Republik pihak; kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam
Indonesia di negara tujuan. Persetujuan pejabat kerja, upah, dan tata cara pembayaran, baik cuti
pada Perwakilan RI tersebut diperlukan dengan dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial;
pertimbangan: dan jangka waktu perpanjangan kerja.
a. Pejabat perwakilan RI di negara tujuan Berpijak pada ketentuan tersebut, nampak
mengetahui situasi dan kondisi keamanan bahwa perjanjian kerja memuat syarat subyektif,
di negara tujuan, diantaranya aman dari syarat obyektif, dan hal-hal lain yang terkait
perang, bencana alam, dan wabah penyakit dengan kedua syarat tersebut. Syarat subyektif,
menular sehingga TKI terjamin keamanan yaitu kecakapan para pihak dapat dilihat dari
dan keselamatannya pada saat bekerja. identitas para pihak diantaranya usia CTKI yang
b. Pejabat perwakilan RI di negara tujuan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Pasal 35
mengetahui hukum di negara tersebut, huruf a UU No. 39 Tahun 2004, yaitu berusia
yaitu apakah hukum di negara tujuan sekurang-kurangnya 18 tahun. Khusus untuk
memberikan perlindungan kepada pekerja CTKI yang akan dipekerjakan pada pengguna
migran (migrant workers) seperti TKI atau perseorangan sekurang-kurangnya harus berusia
tidak. 21 (dua puluh satu) tahun. Ketentuan Pasal 35
c. Pejabat perwakilan RI di negara tujuan huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tersebut telah
mengetahui ada atau tidak adanya perjanjian diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
bilateral di bidang ketenagakerjaan No. 028-029/PUU-IV/2006. Selain usia, Pasal 31
khususnya terkait dengan penempatan TKI UU No. 39 Tahun 2004 mempersyaratkan TKI
di negara tersebut antara RI dengan negara untuk sehat baik fisik maupun psikologis yang
tujuan. dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.
d. Pejabat perwakilan RI di negara tujuan Sementara syarat obyektif dapat dilihat dari
mengetahui rekam jejak (track record) dari jabatan dan jenis pekerjaan yang diperjanjikan
mitra usaha dan pengguna jasa TKI di yang tidak boleh bertentangan dengan UU,
negara tujuan. ketertiban umum, dan kesusilaan. Hal-hal
e. Pejabat perwakilan RI di negara tujuan lainnya merupakan pelengkap atau penjabaran
menjadi “ujung tombak” dalam memberikan dari syarat subyektif dan obyektif yang mencakup
perlindungan dan membela kepentingan diantaranya hak dan kewajiban para pihak;
warga negara Indonesia (WNI) termasuk kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja,
TKI jika mereka tertimpa masalah di negara upah, dan tata cara pembayaran, baik cuti dan
tujuan. waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial; dan
Selaras dengan Pasal 32 ayat (2) UU No. jangka waktu perpanjangan kerja.
39 Tahun 2004 yang mengatur PPTKIS harus Substansi syarat subyektif, syarat obyektif,
memiliki rancangan perjanjian kerja maka Pasal dan poin-poin lainnya yang ada dalam perjanjian
55 ayat (4) UU No. 39 Tahun 2004 mengatur kerja harus sesuai dengan surat permintaan TKI
bahwa PPTKIS-lah yang harus menyiapkan dari Pengguna (job order, demand letter, atau
perjanjian kerja. Ketentuan ini menandakan makalah) dan perjanjian kerjasama penempatan
perjanjian kerja berbentuk tertulis dan TKI antara PPTKIS dengan mitra usaha atau
merupakan perjanjian baku yang sebelumnya Pengguna. Berdasarkan Pasal 1952 ayat (2) huruf
telah dibuat formulirnya (draftnya) oleh PPTKIS. d UU No. 39 Tahun 2004 , tersirat bahwa
Dalam membuat perjanjian kerja, PPTKIS harus 19
Pasal 52 ayat (2) huruf d UU No. 39 Tahun 2004 mengatur
berpedoman pada Pasal 55 ayat (5) UU No. 39 perjanjian penempatan TKI sekurang-kurangnya memuat
Tahun 2004 yang mengatur bahwa perjanjian hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan
kerja sekurang-kurangnya memuat: nama dan TKI di luar negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan
dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna
alamat pengguna; nama dan alamat TKI; jabatan
tercantum dalam perjanjian kerjasama penempatan.

174 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


substansi perjanjian kerjasama penempatan TKI atau Pengguna jasa TKI yang notabene memiliki
ditentukan oleh Penggun jasa TKI. Ini berarti posisi tawar (bargaining position) yang lebih
substansi perjanjian kerja juga ditentukan oleh tinggi jika dibandingkan TKI sehingga bisa
Pengguna jasa TKI sehingga dimungkinkan lebih terjadi perjanjian kerja ”berat sebelah” dan
mengakomodasi kepentingan Pengguna jasa lebih mengakomodasi kepentingan Pengguna
TKI. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian jasa TKI. Dengan demikian, asas kebebasan
kerjasama penempatan adalah perjanjian tertulis berkontrak khususnya yang berkaitan dengan
antara PPTKIS dengan mitra usaha atau kebebasan untuk menentukan substansi perjanjian
Pengguna yang memuat hak dan kewajiban kerja tidak dapat dilaksanakan secara optimal
masing-masing pihak dalam rangka penempatan karena TKI tidak dapat menawar substansi
serta perlindungan TKI di negara tujuan (Pasal 1 perjanjian kerja. TKI hanya dapat menerima
Angka 8 UU No. 39 Tahun 2004). atau tidak substansi dari perjanjian kerja (take
Mengingat substansi perjanjian kerja it or leave it).
harus sesuai dengan surat permintaan TKI Apabila TKI menerima substansi perjanjian
dan perjanjian kerjasama penempatan maka kerja dalam bentuk baku tersebut, TKI cukup
PPTKIS dalam menerima surat permintaan dan menandatanganinya sebelum berangkat bekerja
membuat perjanjian kerjasama penempatan ke negara tujuan. Berpijak pada asas kepribadian,
dengan mitra usaha atau Pengguna hendaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (3)
hati-hati, tidak boleh sembarangan, tidak UU No. 39 Tahun 2004, penandatanganan
menerima permintaan dan tidak melakukan perjanjian kerja harus dilakukan oleh TKI sendiri
kerjasama penempatan dengan mitra usaha atau di hadapan pejabat instansi yang bertanggung
Pengguna yang bermasalah, memperhatikan hak jawab di bidang ketenagakerjaan dan tidak
dan kewajiban CTKI/TKI20, dan tidak semata- dapat diwakilkan atau dikuasakan kepada
mata berorientasi pada keuntungan (money orang lain. Penandatanganan perjanjian kerja
oriented) yang pada akhirnya akan merugikan di hadapan pejabat tersebut dimaksudkan agar
TKI yang ditempatkannya. Untuk itu, surat pejabat dimaksud dapat menjelaskan substansi
permintaan TKI dari Pengguna, perjanjian perjanjian kerja kepada TKI sehingga TKI
kerjasama penempatan, dan perjanjian kerja benar-benar mengetahui substansi perjanjian
wajib mendapat persetujuan dari pejabat kerja. Sebelum diterima TKI, perjanjian kerja
berwenang pada Perwakilan RI di negara tujuan. telah ditandatangani oleh pengguna jasa TKI.
Perjanjian kerja dalam bentuk tertulis Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya
memiliki kelebihan yaitu dapat menjadi bukti perjanjian kerja oleh TKI maka syarat subyektif
legal formal sehingga akan memberikan jaminan berupa kesepakatan para pihak telah terpenuhi
kepastian hukum bagi TKI untuk menggugat dan terjadilah hubungan kerja antara Pengguna
pengguna jasa TKI jika tidak melaksanakan jasa TKI dan TKI. Terjadinya hubungan kerja
prestasinya (kewajibannya). Begitupula, sebagai ini ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) UU
perjanjian baku, perjanjian kerja memiliki No. 39 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
kelebihan karena lebih efektif dan efisien untuk hubungan kerja antara Pengguna jasa TKI dan
dibuat apalagi kedua belah pihak (TKI dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja disepakati
pengguna jasa TKI) tinggal berjauhan dan ada di dan ditandatangani oleh para pihak.
wilayah negara yang berbeda. Namun perjanjian Hubungan kerja tersebut berlangsung selama
kerja yang berupa perjanjian baku tersebut juga jangka waktu berlakunya perjanjian kerja. Terkait
memiliki kelemahan yaitu substansi perjanjian dengan jangka waktu perjanjian kerja, Pasal
kerja ditentukan oleh mitra usaha PPTKIS 56 UU No. 39 Tahun 2004 mengatur bahwa
perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling
20
Hak dan kewajiban CTKI/TKI ini diatur dalam Pasal 8
dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 2004 dan telah dipaparkan lama 2 tahun kecuali untuk jabatan atau jenis
pada bagian Sub Bab IV. Kerangka Pemikiran, bagian A. pekerjaan tertentu yang ditentukan lebih lanjut
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 175


dengan peraturan menteri. Hubungan kerja dan melaksanakan upaya diplomatik pemenuhan
berakhir dengan berakhirnya perjanjian kerja, hak dan perlindungan TKI secara optimal di
yang terjadi diantaranya karena berakhirnya negara tujuan. Pelaksanaan kewajiban Pemerintah
jangka waktu perjanjian kerja. Namun UU No. tersebut dapat dilaksanakan oleh Perwakilan RI di
39 Tahun 2004 mengatur bahwa 3 (tiga) bulan negara tujuan, sebagaimana ini diamanatkan dalam
sebelum berakhirnya perjanjian kerja, para Pasal 19 huruf b UU No. 37 Tahun 1999 tentang
pihak dapat memperpanjang perjanjian kerja Hubungan Luar Negeri yang menyebutkan bahwa
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.21 ”Pewakilan Republik Indonesia berkewajiban
Mengingat pentingnya perjanjian kerja maka memberikan pengayoman, perlindungan, dan
berdasarkan Pasal 58 ayat (1) UU No. 39 Tahun bantuan hukum bagi warga negara dan badan
2004, perpanjangan perjanjian kerja harus hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan
mendapat persetujuan dari pejabat berwenang peraturan perundang-undangan nasional serta
pada perwakilan RI di negara tujuan. Lebih hukum dan kebiasaan internasional.”
lanjut berdasarkan Pasal 59 UU No. 39 Tahun Pelaksanaan kewajiban Pemerintah untuk
2004, khusus untuk TKI yang bekerja pada membantu TKI mendapatkan hak-haknya tersebut
pengguna perseorangan yang telah berakhir lebih mudah dilakukan dengan adanya perjanjian
perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang kerja yang dapat menjadi bukti legal formal
perjanjian kerja, maka TKI yang bersangkutan kesepakatan antara dua pihak (TKI dan Pengguna
harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Jasa TKI). Namun demikian, untuk mendukung
Ketentuan tersebut pada dasarnya dimaksudkan penguatan perlindungan TKI, selain perjanjian
sebagai bentuk pengawasan terhadap TKI yang kerja perlu kiranya Pemerintah meningkatkan
bersangkutan. kerjasama dan membuat perjanjian bilateral
Meskipun sudah ada perjanjian kerja yang mengenai penghormatan dan perlindungan TKI
memberikan jaminan dan perlindungan hukum dengan pemerintah di negara-negara tujuan
kepada TKI, tidak semua TKI memiliki kualitas TKI bekerja. Penempatan TKI sebaiknya juga
tinggi sehingga benar-benar mengetahui dan hanya dilakukan di negara-negara yang memiliki
sadar akan haknya dan dapat menuntutnya perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik
jika Pengguna jasa TKI tidak memberikannya. Indonesia dan memiliki hukum ketenagakerjaan
Bagi TKI yang berkualitas rendah, yang hanya yang memberikan penghormatan dan
lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak sekolah, perlindungan kepada tenaga kerja migran (migrant
besar kemungkinan mereka tidak mengetahui workers), dimana hal ini juga telah diatur dalam
hak-haknya dan cara menuntutnya meskipun Pasal 27 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2004. Demi
mereka telah diberikan penjelasan mengenai keamanan, keselataman, dan perlindungan TKI,
hal tersebut pada saat pembekalan akhir penempatan TKI sebaiknya juga tidak dilakukan
penempatan (PAP). Ironisnya, jika melihat di negara-negara yang ditetapkan oleh Pemerintah
kondisi kualitas SDM Indonesia, dimana tertutup bagi penempatan TKI sebagaimana
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia ini juga diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU No.
berada pada peringkat 121 dunia dan hampir 80 39 Tahun 2004. Berbagai upaya tersebut perlu
persen penganggur di Indonesia berpendidikan dilakukan karena perlindungan terhadap TKI
paling tinggi hanya sampai SMP, maka besar tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah
kemungkinan sebagian besar TKI yang bekerja negara tujuan terhadap pekerja migrant yang ada
di luar negeri berkualitas rendah.22 di negaranya. Hal ini sebagaimana dikemukakan
Dalam hal kondisi yang demikian, Pasal 7 oleh Manolo dalam bukunya ”Sending Workers
UU No. 39 Tahun 2004 mewajibkan Pemerintah Abroad” sebagai berikut:23
membantu TKI untuk mendapatkan hak-haknya

23
Manolo I. Abella, “Sending Wokers Abroad”, dialihbahasakan
21
Lihat Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (2) UU No. 39 Sentanoe Kertonegoro dalam buku “Pengiriman dan
Tahun 2004. Penempatan tenaga Kerja ke Luar Negeri”, Jakarta: Yayasan
22
Republika, Daya Saing TKI, 11 November 2013, hal. 6. Tenaga Kerja Indonesia, 1998, hal. 91.

176 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


“Pemerintah bisa berusaha untuk menjamin kerja; waktu kerja termasuk cuti mingguan dan
pekerjaan pada pekerjanya di nagara-negara
cuti umum; lembur; pengobatan jika pekerja
dimana hak-hak pekerja dihormati, dan (TKI) sakit; tiket perjalanan pulang ke tanah
dimana syarat-syarat kerja umumnya lebih air dan kembali kerja; penginapan; berakhirnya
menguntungkan daripada dalam negeri. Jika hal
kontrak atau perjanjian kerja; kewajiban untuk
itu bisa dilakukan, maka tidak diperlukan campur
menyimpan peralatan kerja dengan baik;
tangan negara pengirim. Namun, bila hal itu
dan penyelesaian pertikaian. Perjanjian kerja
gagal, maka pemerintah dapat mencoba negosiasi
tersebut dilengkapi dengan Passport TKI yang
dengan negara pemberi kerja untuk mencapai
memuat identitas TKI, serta nama dan alamat
kesepakatan bilateral yang memberikan payung
lengkap perusahaan selaku pengguna jasa TKI.
perlindungan bagi pekerjanya. Pemerintah juga
dapat menghentikan pekerjanya bekerja di Namun yang menjadi permasalahan dari
negara-negara dimana hak mereka (mungkin)perjanjian kerja tersebut sebagaimana dipaparkan
pada pembahasan sub bab sebelumnya25 adalah
tidak dihormati. Dan Pemerintah bisa berusaha
membatasi emigrasi hanya pada mereka yangperjanjian kerja merupakan perjanjian baku
yang substansinya ditentukan secara sepihak
memiliki kualifikasi tertentu atau memenuhi
kondisi tertentu”. oleh pengguna jasa TKI yaitu Perbadanan
Berpijak pada pendapat Manolo tersebut Pembangunan Pertanian Negeri Perak. Akibatnya,
nampak bahwa campur tangan negara substansi perjanjian kerja dirasa kurang adil dan
(Pemerintah RI) tidak diperlukan jika hukum dan lebih mengakomodir keinginan atau kehendak
perlindungan TKI di negara tujuan sangat bagus. dari Perbadanan Pembangunan Pertanian
Namun campur tangan Pemerintah diperlukan Negeri Perak. Sebagai contoh, perjanjian kerja
jika perlindungan dan penghormatan terhadap hanya mengatur hak majikan yaitu Perbadanan
TKI beserta hak-haknya di negara tujuan tidak Pembangunan Pertanian Negeri Perak untuk
bagus. Bahkan Pemerintah lebih baik menutup dapat mengakhiri perjanjian kerja jika terjadi
sama sekali penempatan TKI di negara yang benar- perkara sebagaimana diatur pada Angka 11,
benar berisiko tinggi bagi keamanan, keselamatan, dan sebaliknya tidak mengatur hak pekerja
penghormatan dan perlindungan terhadap hak- untuk dapat mengakhiri perjanjian kerja.
hak TKI yang bekerja di negara tersebut. Adapun perkara yang menyebabkan
majikan dapat mengakhiri perjanjian kerja
B. Permasalahan Perjanjian Kerja pada sebagaimana diatur dalam Angka 11 perjanjian
Tataran Empiris kerja tersebut adalah sebagai berikut:26
Perjanjian kerja hanya dapat melindungi a. Sekiranya Pekerja memungkir syarat-syarat
TKI secara optimal jika TKI yang bersangkutan yang dinyatakan di dalam Kontrak Pekerjaan.
adalah TKI legal. TKI yang berangkat secara b. Sekiranya Pekerja membuat kesalahan atau
legal dilengkapi dengan dokumen kerja melanggar salah satu daripada peraturan-
termasuk perjanjian kerja yang memuat peraturan Syarikat atau melakukan perbuatan
kesepakatan dengan pengguna jasa mengenai yang salah di sisi Undang-Undang Malaysia.
beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal c. Sekiranya Pekerja terlibat berkhidmat dengan
55 ayat (5) UU No. 39 Tahun 2004. Sebagai Syarikat lain sama ada secara langsung atau
contoh, perjanjian kerja antara Adi (TKI dari tidak langsung yang mana boleh menjejaskan
Nusa Tenggara Barat) dengan Perbadanan prestasi kerjanya atau boleh membawa konflik
Pembangunan Pertanian Negeri Perak dengan kepentingan majikan ini.
(Perusahaan perkebunan kelapa sawit) dari 25
Lihat: pembahasan pada Sub Bab III Pembahasan,
Malaysia24 telah memuat kesepakatan mengenai bagian A. Konstruksi Hukum Perlindungan TKI Melalui
jenis pekerjaan; gaji; jangka waktu perjanjian Perjanjian Kerja.
26
Angka 11 Perjanjian Kerja antara Adi dengan Perbadanan
24
Contoh perjanjian kerja ini berasal dari Disnakertrans Pembangunan Pertanian Negeri Perak yang diperoleh dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Disnakertrans Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 177


d. Sekiranya Pas Lawatan Sementara atau mena terhadap TKI. Untuk itu ke depan,
Permit Kerja Sementara ditarik balik oleh PPTKIS harus hati-hati dan melakukan tawar
Kerajaan Malaysia. menawar yang baik dengan mitra usaha atau
e. Sekiranya Pekerja didapati tidak hadir bekerja Pengguna dalam membuat perjanjian kerjasama
selama 3 hari berturut-turut tanpa sebarang penempatan agar perjanjian kerja memberikan
alasan munasabah atau tanpa mendapat manfaat dan menguntungkan TKI. Ini
kebenaran daripada Majikan terlebih dahulu. disebabkan sebagaimana telah dipaparkan pada
f. Pekerja terlibat dengan aktivitas-aktivitas pembahasan sebelumnya, perjanjian kerjasama
yang diharamkan oleh Majikan atau Undang- penempatan menjadi acuan dalam pembuatan
Undang Malaysia. perjanjian kerja. Upaya lainnya adalah pejabat
g. Pekerja memberikan maklumat palsu ketika yang berwenang di Kementerian Luar Negeri
memohon kerja. di negara tujuan sebagai pihak yang dimintai
h. Mendedahkan rahasia perniagaan Syarikat, persetujuan atas rancangan perjanjian kerja
sebarang data atau maklumat berkaitan harus benar-benar selektif dalam memberikan
proses-proses pengeluaran atau polisi Syarikat persetujuannya. Persetujuan hendaknya tidak
kepada pihak ketiga. diberikan pada rancangan perjanjian kerja yang
i. Bersuhabat dengan orang luar atau mana- sangat merugikan TKI. Jika memungkinkan
mana pihak ketiga untuk melancarkan mogok pejabat dimaksud juga dapat melakukan
atau berhimpun secara haram di kawasan tawar menawar atas substansi perjanjian kerja
ladang. untuk kepentingan TKI agar perjanjian kerja
j. Pekerja tidak mahu mematuhi arahan yang benar-benar bermanfaat dan memberikan
munasabah yang diberikan oleh Penyelia perlindungan yang baik kepada TKI.
atasan. Selain substansi perjanjian kerja yang
k. Sekiranya Pekerja tidak disahkan taraf dirasa “berat sebelah”, Masalah lainnya
kesehatannya. dari perjanjian kerja adalah keabsahan dari
l. Pekerja didapati berkawin atau/dan hamil subyek pembuat perjanjian kerja khususnya
semasa dalam tempoh Kontrak Pekerjaan. TKI yang juga perlu dipertanyakan. Subyek
m. Pekerja didapati mengalami penyakit berjangkit dimaksud harus memenuhi syarat subyektif
setelah disahkan oleh doktor panel majikan. perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
Substansi lain terkait pengakhiran perjanjian 1320 KUHPerdata yaitu selain harus memiliki
kerja yang dirasa kurang adil adalah pengakhiran kebebasan, juga harus memiliki kemampuan
perjanjian kerja dapat dilakukan secara serta atau kecakapan dalam membuat perjanjian
merta oleh majikan tanpa perlu ada peringatan kerja. Kemampuan atau kecakapan diantaranya
terlebih dahulu, dan sebaliknya tidak mengatur dapat dilihat dari usia TKI yang berdasarkan
kemungkinan bagi Pekerja untuk mengajukan Pasal 35 UU No. 39 Tahun 2004 harus berusia
keberatan jika terjadi pengakhiran perjanjian sekurang-kurangnya 18 tahun dan untuk TKI
kerja. Selain itu perjanjian kerja tidak mengatur yang bekerja pada pengguna perseorangan
kewajiban Majikan untuk memberikan gaji yang harus berusia sekurang-kurangnya 21 tahun.
belum dibayarkan dan pesangon, bahkan Pekerja Namun pada tataran empiris, usia TKI
harus menanggung tiket perjalanan pulang banyak yang dipalsukan. Sebagai contoh kasus,
sendiri jika terjadi pengakhiran perjanjian kerja berdasarkan data “Jumlah TKI Terminasi yang
oleh Majikan. Datang di Bandara Juanda Sidoarja pada tahun
Dengan substansi pengakhiran perjanjian 2010 (dirinci berdasarkan jenis permasalahan
kerja yang demikian tentu saja menempatkan TKI dan negara tujuan penempatan TKI)”,
TKI pada kedudukan yang lemah dan membuka sampai dengan Oktober 2010 ada 7 kasus TKI
kemungkinan bagi Majikan yang tidak dipulangkan karena usia TKI belum memenuhi
memiliki itikad baik untuk bertindak semena-

178 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


syarat.27 Pemalsuan usia TKI dapat mengakibatkan No. 39 Tahun 2004 yang mengatur mengenai
terjadinya eksploitasi terhadap anak karena jika mekanisme penandatanganan perjanjian kerja.
TKI yang dipalsukan usianya tidak meminta Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
pembatalan perjanjian kerja maka ia terikat untuk berdasarkan Pasal 55 ayat (3) UU No. 39 Tahun
melaksanakan pekerjaan yang telah disepakatinya 2004, perjanjian kerja harus ditandatangani di
dengan pengguna jasa TKI. hadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab
Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan di bidang ketenagakerjaan (pejabat Disnakertrans).
pemalsuan usia TKI juga menjadi salah satu Namun pada tataran empiris, penandatanganan
penyebab terjadinya berbagai kasus yang perjanjian kerja tidak dilakukan di hadapan
menimpa TKI terutama TKI yang bekerja pada pejabat Disnakertrans, melainkan dilakukan TKI
pengguna perseorangan, seperti pelecehan secara serentak pada saat Pembekalan Akhir
seksual, penyiksaan, dan sebagainya karena Pemberangkatan (PAP). Hal ini dikhawatirkan
TKI yang masih anak-anak ada pada posisi maksud dari Pasal 55 ayat (3) UU No. 39
rentan dan kurang memiliki kematangan Tahun 2004 yaitu pejabat Disnakertrans dapat
psikis. Sebagaimana telah dipaparkan pada memberikan penjelasan secara mendalam
pembahasan sebelumnya, hal inilah sebenarnya mengenai substansi perjanjian kerja tidak tercapai.
yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 35 huruf Akibatnya, TKI kemungkinan kurang memahami
a UU No. 39 Tahun 2004 mengatur bahwa substansi perjanjian kerja, apalagi jika perjanjian
TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan kerja menggunakan bahasa negara tujuan yang
harus berusia sekurang-kurangnya 21 tahun. cukup sulit dimengerti oleh TKI, khususnya TKI
Pertimbangan tersebut dapat dilihat pada yang berkualitas rendah. Untuk itu, perlu ada
penjelasan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun perhatian dan pembenahan secara serius terhadap
2004 yang menyebutkan sebagai berikut: mekanisme penandatanganan perjanjian kerja agar
“Dalam praktiknya TKI yang bekerja pada TKI benar-benar mengerti dan memahami hak
Pengguna perseorangan selalu mempunyai dan kewajibannya yang tertuang dalam perjanjian
hubungan personal yang intens dengan kerja dengan baik.
Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang Prosedur perpanjangan perjanjian kerja
bersangkutan berada pada keadaan yang untuk TKI yang bekerja pada pengguna
rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat perseorangan yang mewajibkan TKI pulang
hal itu, maka pada pekerjaan tersebut terlebih dahulu ke Indonesia sebagaimana
diperlukan orang yang betul-betul matang diatur dalam Pasal 59 UU No. 39 Tahun 2004
dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan juga menimbulkan masalah. Masalah timbul
demikian risiko terjadinya pelecehan seksual karena ada keengganan TKI pulang untuk
dapat diminimalisasi”. memperpanjang perjanjian kerjanya karena yang
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan bersangkutan harus melalui proses penempatan
dari pemalsuan umur tersebut maka perlu ada TKI dari awal, yang notabene harus repot dan
tindakan tegas bagi siapa saja yang terbukti membayar lagi biaya penempatan TKI untuk
memalsukan umur dan memberangkatkan TKI bekerja ke luar negeri.28 Keengganan TKI untuk
yang masih di bawah umur ke luar negeri untuk pulang menimbulkan kekhawatiran karena
bekerja. dapat mengakibatkan terjadinya overstayer (ijin
Permasalahan lain dari perjanjian kerja adalah 28
Informasi mengenai keengganan TKI untuk pulang guna
adanya pelanggaran terhadap Pasal 55 ayat (3) UU memperbaharui dokumen kerja disampaikan oleh Pegawai
UPTP3TKI Provinsi Jatim, wawancara dilakukan pada tanggal

27
Dian Cahyaningrum, “Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia 7 November 2010 dalam Dian Cahyaningrum, ”Aspek Hukum
(studi tentang Implementasi Pasal 35 Huruf a UU No. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)”, dalam Tenaga Luar Negeri dalam UU No. 39 Tahun 2004 dan Perda No. 2
Kerja Indonesia Antara Kesempatan Kerja, Kualitas dan Tahun 2004 (Studi terhadap Pengaturan Penempatan dan
Perlindungan, disunting oleh Sali Susiana, Jakarta: Azza Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Provinsi Jawa Timur),”
Grafika, 2012, hal. 175. Kajian, Vol. 16, No. 1, Maret 2011, hal 99-100.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 179


tinggal TKI berakhir atau kadaluarsa) sehingga jasa yang baru memang sengaja tidak mau
TKI menjadi TKI ilegal. membuat perjanjian kerja karena tidak mau
Pada tataran empiris, jumlah TKI yang berisiko menanggung kewajiban dan murahnya
overstay tersebut cukup banyak. Sebagai TKI ilegal jika dibandingkan dengan yang legal.
contoh, berdasarkan data dari Kantor layanan Tidak adanya perjanjian kerja menyebabkan
terpadu satu pintu (LTSP) Provinsi Nusa hak-hak TKI kurang terlindungi dengan baik.
Tenggara Barat untuk tahun 2009-2011, jumlah Untuk itu segala upaya perlu dilakukan untuk
TKI yang overstay di Malaysia ada sebanyak 18 meminimalisasi terjadinya TKI illegal agar
orang, sedangkan TKI yang overstay di Saudi perjanjian kerja benar-benar bermanfaat dan
Arabia ada sebanyak 22 orang.29 Ilegalitas berfungsi secara optimal untuk melindungi hak-
TKI dapat menjadi alasan bagi pengguna jasa hak TKI.
TKI (majikan) untuk memutuskan perjanjian
kerja. Lebih parah lagi jika TKI tidak memiliki IV. PENUTUP
perjanjian kerja karena tidak memperpanjang A. Kesimpulan
atau membuat perjanjian kerja baru dengan Sampai saat ini perlindungan TKI masih
pengguna jasa TKI setelah jangka waktu menjadi masalah yang cukup krusial. Berbagai
perjanjian kerjanya berakhir. Tanpa adanya kasus seperti penganiayaan, kekerasan, upah
perjanjian kerja, TKI menjadi tidak terlindungi di bawah standar, gaji tidak dibayar, pelecehan
dan terjamin hak-haknya. Sehubungan dengan seksual, dan sebagainya masih terjadi pada
permasalahan tersebut, perlu ada terobosan TKI. Meskipun demikian, tidak mungkin
baru yang memungkinkan TKI memperpanjang melarang TKI bekerja ke luar negeri apalagi
perjanjian kerjanya tanpa harus pulang terlebih jika melihat kondisi sosial ekonomi dan
dahulu ke Indonesia. ketenagakerjaan di dalam negeri yang masih
Selain berakhirnya jangka waktu perjanjian cukup memprihatinkan. Oleh karena itu,
kerja, TKI illegal juga dapat terjadi karena perjanjian kerja antara TKI dan pengguna
TKI pindah kerja atau pindah pengguna jasa jasa TKI diharapkan dapat menjadi salah satu
TKI tanpa mengurus dokumen kerja baru. solusi untuk meminimalisasi terjadinya kasus
Ironisnya, misalnya di Surabaya banyak tersebut dan memberikan perlindungan kepada
TKI yang pindah kerja atau pindah majikan TKI yang bekerja di luar negeri. Ini disebabkan
karena TKI tidak betah/tidak cocok dengan perjanjian kerja memuat hak dan kewajiban
majikan atau majikan meninggal dunia.30 TKI TKI dan pengguna jasa TKI yang harus ditaati
yang pindah kerja atau pindah pengguna jasa dan dilaksanakan dengan baik oleh kedua belah
seharusnya membuat perjanjian kerja dengan pihak.
pengguna jasa TKI yang baru. Namun ada UU No. 39 Tahun 2004 pada dasarnya telah
kemungkinan TKI tidak membuat perjanjian mengatur masalah perjanjian kerja dengan
kerja karena ketidaktahuannya atau pengguna baik. Perjanjian kerja harus dibuat oleh kedua
belah pihak (TKI dan penggunanya) dan harus
29
Buku Saku Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan
Perlindungan TKI Tahun 2009-2010 yang diterbitkan memuat identitas para pihak, hak dan kewajiban
oleh Kantor Layanan Terpadu Satu Pintu, Provinsi Nusa masing-masing pihak, syarat dan kondisi kerja.
Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kerja harus dibuat dalam bentuk
30
Ini dikemukakan oleh Kepala UPTP3TKI Provinsi Jatim,
tertulis dan harus mendapatkan persetujuan
wawancara dilakukan di UPTP3TKI Provinsi Jatim pada
tanggal 8 November 2010 dan Pegawai PPTKIS PT dari pejabat di Perwakilan RI di negara tujuan.
Surya Pasifik Jaya, wawancara dilakukan di PT Surya Penandatanganan perjanjian kerja tidak dapat
Pasifik Jaya pada tanggal 9 November 2010. Keterangan diwakilkan dan harus dilakukan di hadapan
tersebut didukung dengan data tentang “Jumlah TKI
pejabat Disnaker. Dengan bentuknya yang
Terminasi yang Datang di Bandara Juanda, Sidoarjo pada
tahun 2010 (dirinci berdasarkan jenis permasalahan TKI tertulis, perjanjian kerja dapat menjadi bukti
dan negara tujuan penempatan TKI)”, yang berasal dari legal formal untuk menuntut hak TKI kepada
UPTP3TKI Provinsi Jatim.

180 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


pengguna jasa setelah TKI melaksanakan 2. PPTKIS hendaknya berhati-hati dalam
kewajibannya dengan baik. Pemerintah harus membuat perjanjian kerjasama penempatan
membantu TKI jika TKI mengalami kesulitan dengan mitra usaha atau pengguna jasa TKI
untuk menuntut haknya. karena perjanjian kerjasama penempatan
Pada tataran praktis, perjanjian kerja menjadi acuan atau rujukan dalam
belum dapat melindungi TKI secara optimal. pembuatan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja berbentuk kontrak baku yang 3. Perlu ada tindakan tegas terhadap pihak-
substansinya ditentukan oleh pengguna jasa pihak yang memalsukan usia TKI karena
TKI sehingga dirasa kurang adil dan lebih dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi
mengakomodasi kepentingan pengguna jasa anak dan kasus-kasus lainnya seperti
TKI. Perjanjian kerja belum dapat digunakan penyiksaan, pelecehan seksual, dan
secara optimal untuk mencegah eksploitasi sebagainya karena anak masih rentan dan
anak karena pembatalan perjanjian kerja belum matang psikisnya.
hanya dapat dimintakan oleh TKI yang 4. Melakukan pembenahan mekanisme
dipalsukan usianya (TKI yang sebenarnya penandatanganan perjanjian kerja.
masih anak-anak). TKI juga kemungkinan Penandatanganan perjanjian kerja harus
kurang mengetahui secara mendalam hak dan dilakukan sesuai dengan Pasal 55 ayat (3)
kewajibannya yang tertuang dalam perjanjian UU No. 39 Tahun 2004 yaitu di hadapan
kerja karena penandatanganan perjanjian pejabat Disnakertrans agar TKI mengetahui
kerja tidak dilakukan di hadapan pejabat dan memahami perjanjian kerja secara
Disnaker. Perjanjian kerja juga tidak dapat mendalam.
melindungi TKI ilegal karena ilegalitas TKI 5. Meminimalisasi terjadinya TKI
dapat menjadi alasan bagi pengguna jasa untuk ilegal, diantaranya dengan membuka
mengakhiri perjanjian kerja. Bahkan TKI ilegal kemungkinan untuk memperpanjang
juga dimungkinkan tidak memiliki perjanjian perjanjian kerja tanpa TKI harus pulang
kerja. Tidak adanya perjanjian kerja dapat ke Indonesia dan melakukan sosialisasi
mengakibatkan hak-hak TKI tidak terlindungi pentingnya menjadi TKI legal.
dan pengguna jasa yang tidak memiliki itikad 6. Meningkatkan kualitas SDM TKI agar
baik dapat melakukan perbuatan semena-mena mereka memiliki posisi tawar (bargaining
terhadap TKI. position) yang setara dengan pengguna jasa
TKI.
B. Saran
Perjanjian kerja sangat penting untuk
melindungi hak-hak TKI. Agar perjanjian kerja
bermanfaat dan dapat berfungsi dengan baik
untuk melindungi hak-hak TKI maka perlu
kiranya dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Pejabat Perwakilan RI di negara tujuan
hendaknya selektif dalam memberikan
persetujuannya terhadap perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang sangat merugikan
TKI hendaknya tidak disetujui. Jika
dimungkinkan, perlu kiranya Pejabat
Perwakilan RI bernegosiasi/tawar menawar
atas substansi perjanjian kerja agar
perjanjian kerja benar-benar bermanfaat
bagi TKI.

DIAN CAHYANINGRUM: Aspek Hukum Perjanjian Kerja... 181


DAFTAR PUSTAKA INTERNET
“Berita Resmi Statistik”, http://bps.go.id/?news=
10, diakses tanggal 6 September 2013
“Crisis Center BNP2TKI Tangani 12270
BUKU Pengaduan Permasalahan”, http://www.
Cahyaningrum, Dian. “Batas Usia Tenaga Kerja bnp2tki.go.id/berita-mainmeni-231/8526-
Indonesia (Studi tentang Implementasi crisis- center-bnp2tki-tangani-12270-
Pasal 35 Huruf a UU No. 39 Tahun 2004 pengaduan-permasalahan-tki.html. diakses
di Provinsi Jawa Timur)” dalam Tenaga tanggal 5 September 2013.
Kerja Indonesia Antara Kesempatan Kerja,
Kualitas dan Perlindungan. Disunting oleh “Jumhur Andalkan NTB dalam Peningkatan
Sali Sasiana. Jakarta: Azza Grafika. 2012. TKI”, http://www.antarajawabarat.com/
lihat/berita/26396/lihat/kategori/96/
Departemen Komunikasi dan Informatika Hukum, diakses tanggal 6 September 2013.
Republik Indonesia. Leaflet tentang Cara
Aman Bekerja di Luar Negeri. “Jumlah Pengangguran di Indonesia Berpotensi
Meningkat, 15 Agustus 2013, www.goegle.
Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja com, diakses tanggal 6 September 2013.
Depnaker RI. Pokok-Pokok tentang Kerja ke
Luar Negeri. Jakarta: Depnaker RI, 1999/2000. “Tingkat Kemiskinan 2013 Akan Lebih Tinggi dari
Target Pemerintah”, http://www.republika.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Modern co.id/berita/ekonomi/makro/13/08/18/
Menata Bisnis Modern di Era Global. Cetakan mrpo4p-tingkat-kemiskinan-2013-akan-
Ke-I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. lebih-tinggi-dari-target-pemerintah, diakses
---------------, Hukum Kontrak (Dari Sudut tanggal 11 Oktober 2013.
Pandang Hukum Bisnis). Buku Kedua.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. SURAT KABAR
Kantor Layanan Terpadu Satu Pintu Provinsi “Daya Saing TKI”, Republika, 11 November 2013.
Nusa Tenggara Barat (NTB). Buku Saku
Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
dan Perlindungan TKI Tahun 2009-2010. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Kertonegoro, Sentanoe. Pengiriman dan Penempatan Indonesia Tahun 1945.
Tenaga Kerja ke Luar Negeri. Jakarta: Yayasan Indonesia, Undang-Undang Republik
Tenaga Kerja Indonesia, 1998. Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia. Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Cetakan Pertama. Jakarta: Buku Kita, 2002. Kerja Indonesia di Luar Negeri, Lembaran
Soedjono, Wiwoho. Hukum Perjanjian Kerja. Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Yogyakarta: PT. Bina Aksara, 1983. Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4445.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. 17. Jakarta:
Intermasa, 1998. Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Subekti, R. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Luar Negeri, Lembaran Negara Republik
Nasional. Cetakan Keempat. Bandung: Indonesia Tahun 1999 Nomor 156,
Alumni, 1986. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882.
KAJIAN
Kajian, Vol. 16, No. 1, Maret 2011.

182 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


SENGKETA TANAH PARTIKELIR

Luthvi Febryka Nola


Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
Email: febi_80@yahoo.com.

Abstract
This paper describes the cause, typology and settlement partikelier dispute. The causes of dispute could
be related with direct and indirect partikelier land. The typology of dispute divided based on problem and
actor. The settlement of dispute can be through administrative settlement, alternative dispute resolution or
the courts. Administrative settlement could be applied to vertical simple dispute. While alternative dispute
resolution was applied to the horizontal dispute. For vertical and triangular disputes were resolved in court.

Kata Kunci: tanah partikelir, sengketa

I. PENDAHULUAN tanah usaha adalah tanah yang tidak dikuasai


A. Latar Balakang secara langsung oleh tuan tanah melainkan
Tanah partikelir adalah tanah eigendom merupakan tanah desa atau milik masyarakat
dengan hak-hak pertuanan (landheerlijke adat yang diatasnya terdapat hak penduduk
rechten).1 Tanah eigendom sendiri bersifat turun temurun.4
maksudnya adalah tanah dengan hak milik Terkait dengan tanah partikelir di atas
mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 570 tanah usaha, konsep kepemilikan oleh para
Burgerlijk Wetboek (BW). Sedangkan hak-hak tuan tanah merupakan bagian dari konsep
pertuanan adalah hak untuk mengangkat dan penjajahan yang mengambil atau menguasai
memberhentikan aparat desa, menuntut adanya secara paksa tanah masyarakat. Terlebih lagi
kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja dengan adanya hak-hak pertuanan yang dimiliki
paksa, menarik pungutan-pungutan, mendirikan oleh para tuan tanah sangat memberatkan
pasar, memungut biaya pembukaan jalan dan penyewa maupun pemilik tanah dengan
berbagai hak sederajat lainnya.2 berbagai aturan dan pungutan yang ditetapkan
Pemilik tanah partikelir dikenal dengan secara sepihak oleh tuan tanah. Kekuasaan
sebutan tuan tanah. Penguasan tuan tanah para tuan tanah yang begitu besar ini tentunya
atas tanah partikelir dibagi ke dalam dua menyengsarakan masyarakat yang berada di
konsep yaitu tanah kongsi dan tanah usaha. kawasan tanah partikelir. Sehingga sejarah
Tanah kongsi merupakan tanah yang dikuasai mencatat, setidaknya beberapa kerusuhan
langsung oleh tuan tanah dan apabila diatasnya pernah terjadi, seperti kerusuhan Cikandi Udik
terdapat usaha atau perumahan rakyat, (1845); Pondok Gedeh (1864); Bekasi (1869);5
didasarkan kepada konsep sewa.3 Sedangkan dan Ciomas (1886).6
1
Pasal 1 ayat 1 huruf a UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir.
2
Pasal 1 ayat 1 huruf b, Ibid.
3
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 2003, hal.99.
4
Ibid.
5
Marwati Djoened Poesponegoro et.al, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hal.424.
6
Mohammad Iskandar, Hak-Hak Pemilikan Tanah dan Kerusuhan Sosial: Kasus Tanah Partikelir Ciomas Tahun 1886, Laporan
Penelitian UI.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 183


Setelah Indonesia mereka, secara bertahap Jakarta Pusat. Saat ini di atas tanah itu telah
keberadaan tanah partikelir mulai dihapuskan. berdiri perkampungan, tempat ibadah, jalan
Penghapusan dilakukan karena konsep pemilikan bahkan ada yang telah memiliki setifikat hak
oleh tuan tanah bertentangan dengan hak milik, HGU, HGB dan hak pakai.10
asasi manusia (HAM). Selain itu keberadaan Selain itu terdapat juga konflik di
tanah partikelir juga sangat menganggu proses wilayah Patunjang, Karawang. Konflik ini
pembangunan karena berada di areal strategis bermula dari klaim masyarakat setempat yang
dengan luas tanah yang begitu besar namun menyatakan bahwa mereka telah memiliki
hanya dimiliki oleh segelintir orang.7 hak milik atas tanah bekas tanah partikelir di
Diawali dengan penghapusan konsep kerja daerah tersebut. Akan tetapi kemudian secara
paksa dan pungutan oleh tuan tanah. Kemudian sepihak diambil oleh penguasa orde baru dan
secara tegas tahun 1958 dilakukan penghapusan saat ini oleh penguasa ditetapkan sebagai
terhadap semua tanah partikelir melalui UU bagian dari kawasan hutan.11 Konflik lainnya
No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah terkait putusan pengadilan terkait beralihnya
Partikelir (UU No. 1 Tahun 1958). Penghapusan gedung dan tanah kantor lama Walikota
tersebut didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 Jakarta Barat ke Yayasan Sawerigading. Padahal
(saat itu berlaku UUD RIS) yang dimaknai terdapat putusan pengadilan yang berbeda atas
secara imperatif sebagai perintah kepada negara tanah lainnya yang masih dalam satu bagian
supaya bumi, air dan kekayaan yang terkandung pengelolaan tanah eks partikelir.12
didalamnya, diletakkan dalam penguasaan Dari beberapa konflik yang terjadi, para
negara dan dipergunakan untuk mewujudkan pihak yang terlibat sengketa terlebih dahulu
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.8 berusaha menyelesaikan perkara melalui
Pembentuk UU No. 1 Tahun 1958 tidak mekanisme penyelesaian sengketa di luar
sewenang-wenang menghapus tanah partikelir pengadilan berupa negosiasi, mediasi atau
akan tetapi memberikan jaminan ganti kerugian konsolidasi. Akan tetapi sebagian besar justru
kepada bekas pemiliknya. Maksud baik dari tidak selesai-selesai, malah kemudian berlanjut
pembentuk UU No. 1 Tahun 1958 ternyata tidak menjadi perkara di pengadilan. Namun, ironisnya
mudah dalam prakteknya karena hingga kini ketika perkara sudah memiliki kekuatan hukum
setelah UU ini berumur lebih dari setengah abad, tetappun belum tentu dapat dieksekusi.
konflik dan sengketa berkaitan tanah partikelir Sengketa apabila dibiarkan berlarut-larut
masih terus terjadi. Bahkan Badan Pertanahan dapat berkembang menjadi konflik yang cenderung
Nasional (BPN) menjadikan sengketa atas tanah berdampak luas secara sosial-politik.13 Contoh
partikelir sebagai salah satu permasalahan dari sengketa yang berkembang menjadi konflik
delapan tipologi konflik pertanahan.9 adalah kasus PT Marba. Saat ini kasus PT
Beberapa contoh sengketa yang terjadi Marba telah sampai ke DPR yang merupakan
terkait tanah partikelir adalah sengketa yang suatu lembaga politik yang dianggap memiliki
melibatkan PT Marba yang menguasai kurang
lebih 887.591 M2 luas tanah partikelir yang 10
Surat BPN Jakarta Pusat No. 468/PT/P/VII/2000 tanggal
berada di kawasan strategis yaitu Kemayoran, 24 Juli 2000.
11
Agus Pranata, “Merebut Kembali Tanah Garapan”,
7
Mirda Juniasri, Proses Permohonan Hak Atas Tanah Bekas http://www.berdikarionline.com/ kabarrakyat/20120816/
Tanah Partikelir di Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulo merebut-kembali-tanah-garapan.html, diakses tanggal 15
Gadung Jakarta Timur, Tesis, Semarang: Universitas Juli 2013.
Diponegoro, 2004, hal.10. 12
“20 Pengacara Dukung Anggota DPD, SBY Usut Kasus
8
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kantor Lama Walikota Jakbar”, http://poskota.co.id/
Jakarta: Kencana, 2009, hal.36. berita-terkini/2010/03/28/sby-usut-kasus-kantor-lama-
9
Sumarto, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan walikota-jakbar, diakses tanggal 15 Juli 2013.
dengan Prinsip Win Win Solution oleh Badan Pertanahan 13
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
Nasional RI, Direktorat Konflik Pertanahan Badan 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Pertanahan Nasional RI, 2012, hal.6-7. Kasus Pertanahan.

184 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


kekuatan untuk menekan BPN menyelesaikan hukum alam bernilai universal yang hidup di
masalah ganti kerugian. setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun
Beberapa tulisan telah membahas mengenai negara serta tunduk pada batasan-batasan
tanah partikelir seperti tulisan Mirda Juniasri moral.17 Moralitas tersebut kemudian yang
tentang “Proses Permohonan Hak atas Tanah menentukan bahwa hukum tersebut telah adil
Bekas Tanah Partikelir di Kelurahan Cipinang atau tidak.18 Sehingga apabila terdapat hukum
Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur”.14 yang bertentangan dengan aturan-aturan hukum
Mirda lebih memfokuskan tulisannya kepada alam akan muncul sengketa atau anarkis dalam
proses permohonan hak. Kemudian adapula masyarakat.19
tulisan dari Edwin dalam bentuk tesis yang
berjudul “Eigendom Sebagai Alat Bukti yang B. Teori Penegakan Hukum
Kuat dalam Pembuktian Kepemilikan Tanah Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
pada Hukum Tanah Indonesia”.15 Tulisan Edwin hukum merupakan penegakan ide-ide atau
membahas politik hukum tanah partikelir dan konsep-konsep yang abstrak, dan usaha
tanah eigendom secara umum. Sedangkan untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi
penulis dalam tulisan ini lebih menitikberatkan kenyataan.20 Penegakan hukum dipengaruhi
penulisan pada sengketa atas tanah partikelir oleh faktor hukum itu sendiri, penegak hukum,
dihubungkan dengan 4 kasus tanah partikelir masyarakat, budaya, sarana dan fasilitas.21
yaitu kasus PT Marba, Patujang, Mbah Periok Gangguan yang berasal dari hukum seperti:
dan kantor walikota lama Jakarta Barat. tidak diikuti asas-asas berlakunya hukum, belum
adanya aturan pelaksana dari suatu ketentuan
B. Perumusan Masalah dalam UU dan ketidakjelasan arti kata-kata dalam
Berdasarkan latar belakang diatas, peraturan, mengakibatkan kesimpangsiuran
penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dalam penafsiran dan penerapan.22 Sedangkan
permasalahan berkaitan sengketa atas tanah halangan-halangan yang dijumpai dari penegak
partikelir. Adapun permasalahan tersebut adalah: hukum adalah:23
1. Apakah penyebab munculnya sengketa atas 1. Keterbatasan kemampuan berinteraksi.
tanah partikelir? 2. Tingkat aspirasi yang rendah.
2. Bagaimana tipologi sengketa atas tanah 3. Gairah yang terbatas untuk memikirkan
partikelir? masa depan sehingga kurang proyeksi.
3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda
atas tanah partikelir? pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan materiel.
II. KERANGKA PEMIKIRAN 5. Kurangnya daya inovatif dan cenderung
A. Teori Hukum Alam konservatif.
Hukum alam adalah hukum yang lahir dari
hakekat kebendaan atau hakikat manusia, dari
penalaran manusia, atau dari kehendak tuhan
seperti: hak milik.16 Hukum menurut teori 17 “Aliran Pemikiran Hukum: Hukum Alam”, http://
arsyadshawir.blogspot.com/2012/11/aliran-pemikiran-
14
Mirda Juniasri, Proses Permohonan Hak Atas Tanah Bekas hukum-hukum-alam.html, diakses tanggal 17 September
Tanah Partikelir. 2013.

15
Edwin, Eigendom Sebagai Alat Bukti yang Kuat dalam 18
Ibid.
Pembuktian Kepemilikan Tanah pada Hukum Tanah Indonesia, 19
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara..., hal. 9-11.
Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 588/PK/ 20
Y. Sri Putyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya
Pdt./2002, Tesis, FHUI-Magister Kenotariatan, Depok, 2012. Pembenahan, Grasindo: Yogyakarta, 2009, hal.111.

16
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar 21
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004, hal.8.
terjemahan dari “General Theory of Law and State” oleh 22
Ibid., hal.17-18.
Somardi, Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007, hal. 9. 23
Ibid., hal.34-35.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 185


C. Teori Hukum Responsif sesuatu.30 Berdasarkan pengertian dari asal kata
Menurut Philippe Nonet dan Philip tipologi maka dapat disimpulkan tipologi sengketa
Selznick, terdapat tiga tipe hukum yaitu hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang impresi,
represif, otonom dan responsif. Menurut teori gambaran, bentuk, jenis dan karakter suatu
hukum perkembangan, hukum represif, otonom sengketa. Penulisan ini cenderung menggunakan
dan responsif merupakan tahapan-tahapan pendekatan tipologi untuk menganalisa tipe atau
evolusi dalam hubungan dengan tertib sosial jenis sengketa atas tanah partikelir.
dan tertib politik.24 Sengketa tanah partikelir ini sangat penting
Hukum represif adalah hukum yang untuk digolongkan atas beberapa jenis dengan
digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, tujuan untuk memudahkan menemukan upaya
mengawal otoritas, mengamankan hak-hak yang penyelesaian sengketa yang tepat. Tipologi sengketa
bersifat istimewa dan memenangkan kepatuhan tanah bukan merupakan hal baru, telah banyak
sehingga hukum represif memunculkan penelitian sebelumnya yang membahas mengenai
diskresi pejabat yang tidak terkontrol.25 Untuk tipologi ini. Tipologi sengketa setidaknya dapat
mengantisipasi kelemahan hukum represif dibagi atas 2 penggolongan besar yaitu berdasarkan
maka lahir hukum otonom yang membentuk permasalahan dan berdasarkan aktor.31
otoritas hukum otonom dan terspesialisasi Berdasarkan permasalahan, tipologi sengketa
yang dapat mengklaim bahwa suatu superemasi tanah dapat dilihat setidaknya dari pendapat
telah memenuhi syarat sesuai kompetensi yang Maria S. W. Sumardjono dan BPN. Menurut BPN
ditentukan.26 Kemudian muncul ide untuk ada 8 tipologi sengketa tanah, yaitu penguasaan
menyempurnakan hukum otonom dengan dan pemilikan tanah; sengketa prosedur
melahirkan tipe hukum responsif yaitu tipe penetapan dan pendaftaran tanah; sengketa
hukum yang tidak hanya melahirkan hukum yang batas/letak bidang tanah; sengketa ganti rugi eks
kompeten akan tetapi juga mampu memberikan partikelir; sengketa tanah ulayat; sengketa tanah
keadilan yang substantif.27 Keadilan substantif objek landreform; sengketa pengadaan tanah;
(substansial justice) merupakan keadilan yang dan sengketa pelaksanaan putusan.32 Sedangkan
diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum menurut Maria S. W. Sumardjono, setidaknya
substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan ada 5 tipologi sengketa tanah yaitu kasus-kasus
prosedural.28 Keadilan substantif berarti hakim yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak
bisa mengabaikan undang-undang yang tidak rakyat; kasus berkenaan dengan pelanggaran
memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman peraturan; kasus yang berkenaan dengan ekses-
pada formal prosedural undang-undang yang ekses penyediaan tanah untuk pembangunan;
sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin sengketa perdata berkenaan dengan masalah
kepastian hukum.29 tanah; dan sengketa berkenaan tanah ulayat.33

D. Teori Tipologi Sengketa Tanah


30
Gatot Suharyanto, “Ulasan Keterkaitan Tipologi dengan
Fungsi dan Bentuk-nya (Studi Kasus bangunan masjid”,
Tipologi berasal dari kata typos (yunani) dan
http://issuu.com/gats.id/docs/keterkaitan_tipologi_dengan_
logy. Typos berarti impresi, gambaran, bentuk, fungsi_dan_bentuk, diakses tanggal 19 Agustus 2013.
jenis atau karakter suatu objek, sedangkan logy 31
Hasil Seminar dan Lokakarya Nasional Konflik Agraria
merupakan ilmu yang mempelajari tentang “Konflik Perkebunan: Mencari Solusi Yang Berkeadilan
dan Mensejahterakan Rakyat Kecil”, http://pphafh.ub.ac.
id/hasil-seminar-dan-lokakarya-nasional-konflik-agraria-
24
Philippe Nonet et al., Hukum Responsif, Bandung: konflik-perkebunan-mencari-solusi-yang-berkeadilan-
Nusamedia, 2010, hal. 23. dan-mensejahterakan-rakyat-kecil/, diakses tanggal 17
25
Ibid., hal. 57. September 2013.
26
Ibid., hal. 59.
32
Lampiran 01/Juknis/D.V/2007 Keputusan Kepala Badan
27
Ibid., hal. 84. Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
28
“Antara Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural”, Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
diakses tanggal 19 September 2013. 33
Maria SW. Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta:
29
Ibid. PT. Kompas Media Nusantara, 2008, hal.110.

186 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Berdasarkan aktor yang terlibat sengketa 38; S.1912-54; S.1912-480; dan S.1912-481.
maka terdapat tiga tipe sengketa tanah yaitu Namun kebijakan pembelian terhenti karena
sengketa vertikal, horizontal dan segitiga. terkendala keuangan negara.36
Sengketa vertikal adalah sengketa antara Setelah Indonesia merdeka, kekuasaan para
masyarakat dengan negara, sengketa horizontal tuan tanah semakin dibatasi karena konstitusi
adalah sengketa tanah antara masyarakat negara Indonesia yang sangat menjunjung
dengan masyarakat sedangkan sengketa tanah tinggi HAM, kebebasan untuk mengeluarkan
segitiga adalah sengketa tanah antara masyarakat pendapat bagi masyarakat dan menentang
dengan masyarakat dan negara.34 Tipologi adanya praktik kerja paksa serta pungutan-
sengketa tanah ini dijadikan referensi dalam pungutan liar. Sehingga setelah Indonesia
membahas tipologi sengketa atas tanah merdeka praktis hak-hak istimewa yang dimiliki
partikelir dihubungkan dengan beberapa kasus oleh tuan tanah semakin berkurang dan pada
atas tanah partikelir. akhirnya tersisa berupa hak-hak kepemilikan
saja.
III. PEMBAHASAN Kepemilikan terhadap tanah partikelir
A. Penyebab Munculnya Sengketa Tanah sebagian besar meliputi area yang sangat luas dan
Partikelir berada pada area yang strategis. Pemanfaatan
Keberadaan tanah partikelir bermula dari oleh masyarakat banyak terhadap areal ini
kebijakan Gubernur Jenderal Belanda Herman tentunya lebih menguntungkan dibandingkan
Willem Daendles yang berinisiatif menjual apabila hanya dimiliki oleh segelintir pihak.
tanah-tanah rakyat kepada orang-orang Cina, Oleh sebab itu pemerintah sejak tahun 1953,
Arab maupun bangsa Belanda. Tanah yang berusaha melakukan pembebasan terhadap
dijual ini yang kemudian dikenal dengan sebutan tanah-tanah partikelir. Akan tetapi proses
tanah partikelir.35 Namun kemudian penyerahan pembebasan tanah ini mengalami hambatan
tanah partikelir tersebut kepada perorangan karena para tuan tanah menginginkan ganti
dan badan hukum malah menyulitkan penjajah kerugian yang besar.
Belanda sendiri karena kekuasaan tuan tanah Tekanan untuk segera melakukan
menjadi begitu besar, sehingga memunculkan nasionalisasi terhadap tanah-tanah partikelir
negara di dalam negara. Oleh sebab itu di akhir juga semakin meningkat seiring berkembangnya
abad 18, dikeluarkanlah Agrarische Wet yang paham nasionalisasi terhadap perusahaan-
melarang gubernur jendral untuk menciptakan perusahaan asing pada era tahun 1950-an
tanah-tanah partikelir baru. tersebut. Sehingga akhirnya diundangkan UU
Pada awal abad 19, berkembang pula No. 1 Tahun 1958 yang menghapuskan semua
pemikiran tentang HAM dan keadilan di tanah partikelir yang ada dan menjadikannya
Belanda. Sehingga beberapa tokoh mendorong tanah negara. Penghapusan tanah partikelir
pemerintah Belanda untuk mengurangi tidak hanya terhadap tanah eigendom yang
kekuasaan para tuan tanah, sehingga kemudian memiliki hak istimewa. Akan tetapi juga
muncul kebijakan yang membatasi kekuasaan terhadap tanah eigendom biasa yang jumlahnya
para tuan tanah. Pada tahun 1910 dan 1920, diatas 10 bau.
Belandapun mengeluarkan aturan untuk Menurut UU No. 1 Tahun 1958, semua
pembelian kembali tanah partikelir secara tanah partikelir hapus serentak pada saat UU ini
damai dan jika tidak bisa baru digunakan mulai berlaku, setelah itu baru ditentukan soal
hukum acara tertentu melalui wet S.1911- ganti kerugian. Adapun proses penghapusan
dimulai dengan dikeluarkannya surat keputusan
34
Farkhani, “Mengenal Hak Atas Tanah dan Konflik
Menteri Agraria (Menteri) tentang penegasan
Pertanahan di Indonesia”, http://stainsalatiga.ac.id/
mengenal-hak-atas-tanah-dan-konflik-pertanahan-di- penghapusan tanah partikelir lengkap dengan
indonesia/, diakses tanggal 19 September 2013.
35
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak…, hal.17. 36
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah..., hal.97.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 187


luas, batas dan kepemilikannya. Setelah itu 1958 yang mengatur bahwa tanah partikelir
barulah ditetapkan mengenai bentuk dan besar tidak hanya tanah eigendom yang diatasnya
ganti rugi. terdapat hak pertuanan akan tetapi juga tanah
Permasalahannya adalah penetapan luas, eigendom yang tidak memiliki hak pertuanan
batas dan kepemilikan tanah sangat bergantung yang jumlahnya diatas 10 bau. Masalah
kepada data administrasi pertanahan yang muncul karena terdapat banyak kepemilikan
ternyata tidak semua data benar. Akibatnya atas beberapa EV dimana luas masing-masing
seperti yang terjadi pada PT Marba, penetapan EV tidak sampai 10 bau akan tetapi jika
kepemilikannya masih menggunakan data digabungkan baru mencapai lebih dari 10 bau.
pemilik lama. Padahal tanah tersebut telah Terhadap mereka tidak ada aturan yang jelas
berpindah kepemilikan dan berganti nama. dalam UU No. 1 Tahun 1958. Menteri kemudian
Akibatnya Surat Keputusan (SK) penegasan menafsirkan bahwa kepemilikan atas beberapa
penghapusan tanah partikelier yang dikeluarkan tanah EV jika berada dalam satu kompleks dan
oleh Menteri masih atas nama pemilik yang ditotalkan melebihi 10 bau termasuk sebagai
lama. Selain itu terdapat pula masalah terkait tanah partikelir.40
nomor eigendom verponding (EV) yang berbeda SK penghapusan tanah partikelir oleh
pada SK penegasan dengan data sebenarnya Menteri yang dikeluarkan bukan atas nama
sebagai akibat mengacu kepada data administrasi pemilik juga membawa masalah lain terkait
pertanahan yang tidak valid. EV adalah tanda proses keberatan dan permohonan ganti rugi
bukti pembayaran pajak atas tanah eigendom.37 terhadap putusan. Oleh karena SK ditujukan
Data administrasi pertanahan sehubungan kepada pemilik lama sedangkan kepemilikan
dengan tanah partikelir zaman penjajahan saat ini sudah beralih dan diperparah dengan
memang bermasalah. Hal ini terlihat dari kasus tidak jelasnya keberadaan pemilik lama.
tanah partikelir makam Mbah Periok. Makam Akibatnya tentu ketika SK dikeluarkan tidak
yang berada di area seluas 5,4 hektar ini memiliki ada keberatan dari pemilik sehingga oleh negara
sertifikat ganda dengan kepemilikan berbeda ditetapkan sebagai tanah tak bertuan.
antara pemilik tanah partikelir dengan pemilik Permasalahan di atas merupakan
surat izin bangunan (Verklering Recht Building) permasalahan pertanahan yang secara langsung
yang dikeluarkan pemerintah Belanda.38 Pada berkaitan dengan proses penghapusan tanah
tahun 1987, sehubungan tanah partikelir BPN partikelir. Penyebab sengketa secara langsung
mengabulkan permohonan Hak Pengelolaan tersebut setidaknya ada tiga macam yaitu
(HPL) oleh Pelindo, sedangkan atas dasar ketidakjelasan aturan, kurang cermatnya
Verklering Recht Building ahli waris Mbah Menteri sebagai pejabat pembuat kebijakan dan
Priok telah mengantongi Surat Keterangan data administrasi pertanahan yang tidak valid.
Pendaftaran Tanah (SKPT) No.847 pada Ketiga faktor ini memang termasuk faktor yang
tahun 1999.39 Dampak kepemilikan ganda ini mempengaruhi penegakan hukum menurut
kemudian melahirkan konflik antara Pelindo Soerjono Soekanto, khususnya dalam kasus ini
dengan ahli waris Mbah Priok pada tahun 2010. berkaitan dengan masalah penghapusan tanah
Selain itu terdapat juga permasalahan partikelir sehingga UU No. 1 Tahun 1958 sulit
berkaitan dengan ketentuan UU No. 1 Tahun ditegakkan.
Ketidakjelasan aturan terkait aturan
37
Rochmad Sumitro, dalam Abdurrahman, Tebaran
Pemikiran mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni, tentang luas tanah 10 bau yang terdiri atas
1985, hal. 232. beberapa EV merupakan bagian dari gangguan
38
Mutia Resty, “Sengketa Mbah Priok Karena Dua Pihak terhadap penegakan hukum yang berasal
Punya Sertifikat Tanah”, http://www.tempo.co/read/news/
dari undang-undang, sehingga menimbulkan
2010/04/23/057242825/Sengketa-Mbah-Priok-Karena-
Dua-Pihak-PunyaSertifikat-Tanah, diakses tanggal 29 Juli
2013. 40
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah...,
39
Ibid. hal.102.

188 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


kesimpangsiuran penafsiran. UU No. 1 Tahun masyarakat atas tanah pada kawasan tersebut.
1958 tidak mengatur secara jelas mengenai Kasus tanah partikelir di wilayah Patunjang ini
posisi tanah 10 bau tersebut apakah harus dalam menunjukkan permasalahan pertanahan timbul
1 EV atau bisa berbeda EV. Sehingga akhirnya akibat perubahan politik hukum pemerintah.
Menteri memutuskan untuk memberikan Menurut teori hukum alam, hukum yang
penafsiran tersendiri bahwa 10 bau dapat juga ditetapkan dengan tidak memperhatikan dan
berbeda EV selama masih dalam satu kompleks. menjamin hak milik pribadi masyarakat tidak
Kurang cermatnya Menteri dalam akan bertahan lama karena bertentangan
mengeluarkan keputusan juga merupakan sikap dengan hukum alam dan rentan memunculkan
dari penegak hukum yang kurang berorientasi sengketa.42 Oleh sebab itu tidak mengherankan
masa depan dan kurang mengumpulkan apabila kemudian muncul keberatan dari
informasi. Menteri sebetulnya dapat lebih masyarakat Patunjang karena merasa hak milik
berhati-hati dengan mengecek data dengan atas tanah mereka direnggut secara paksa dan
turun langsung kelapangan dan membuat apabila dibiarkan dapat memicu terjadi sengketa
pengumuman. Akibatnya, sikap ini menjadi salah bahkan konflik.
satu faktor penyebab kegagalan dari penegakan Masalah perwarisan juga merupakan
hukum penghapusan tanah partikelir. Data masalah tidak langsung yang dapat menimbulkan
administrasi tanah yang tidak valid sehubungan masalah sengketa tanah partikelir. Hal ini
dengan kepemilikan, luas, batas dan nomor EV biasanya disebabkan karena tanah partikelir
juga merupakan faktor yang dapat menganggu merupakan tanah dengan hak milik yang
penegakan hukum. Data termasuk sarana yang sudah berumur cukup tua sehingga melahirkan
harusnya dapat membantu penegakan hukum penguasaan yang turun temurun. Akibatnya
terkait penghapusan tanah partikelir. rentan terjadi peralihan hak yang tidak
Selain permasalahan yang secara langsung disetujui oleh semua ahli waris sehingga ketika
terdapat pula masalah yang secara tidak ditetapkan sebagai tanah partikelir dan kemudian
langsung berkaitan dengan proses penghapusan dihapuskan, gugatan dari ahli waris yang
tanah partikelir, seperti: pada kasus tanah keberatan sehubungan peralihan hak dapat
partikelir di wilayah Patunjang. Kawasan ini saja muncul. Keberatan ahli waris ini pada
sebelumnya pada tahun 1954 ditetapkan bukan dasarnya bukan karena proses penghapusan
sebagai kawasan hutan oleh Menteri Pertanian tanah partikelirnya akan tetapi karena proses
pada waktu itu. Sehingga di atas tanah bekas peralihan hak atas tanahnya. Permasalahan
partikelir ini rakyat diberikan kesempatan ini terdapat dalam kasus PT Murba, dimana
untuk memiliki hak milik. Setelah rakyat tanah yang ditetapkan Menteri sebagai bagian
mendapatkan hak milik kemudian secara dari ganti rugi penghapusan tanah partekelir
sepihak penguasa orde baru pada tahun 1967 milik PT Murba ini ternyata memiliki sengketa
memasukkan Patunjang ke dalam kawasan perwarisan. Sehingga ganti rugi terhadap PT
hutan dan pada tahun 1970 Direktur Jenderal Murba terhambat.
Kehutanan mengesahkannya.41
Setelah orde baru berakhir, kepemilikan B. Tipologi Sengketa Tanah Partikelir
tidak otomatis dikembalikan kepada masyarakat Pada kasus PT Marba terlihat adanya
yang memilikinya. Akan tetapi oleh penguasa permasalahan pemilikan tanah karena perubahan
saat ini ditetapkan sebagai bagian dari kepemilikan atas tanah tidak diketahui
kawasan hutan. Penetapan kawasan ini sebagai oleh pejabat terkait. Terdapat pula sengketa
kawasan hutan membuat hapusnya hak milik penetapan tanah sehubungan adanya surat
penetapan penghapusan tanah partikelir atas
41
Agus Pranata, “Merebut Kembali Tanah Garapan”,
http://www.berdikarionline.com/kabarrakyat/20120816/ nama pemilik lama. Sengketa kepemilikan dan
merebut-kembali-tanah-garapan.html, diakses tanggal 15
Juli 2013.
42
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara…, hal. 9-11.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 189


penetapan tanah ini bertipe vertikal karena partikelir yang pada awalnya telah diserahkan
melibatkan pemilik baru (PT Marba) dengan pada masyarakat kemudian dicabut kembali.
pejabat terkait. Tindakan secara sepihak oleh pemerintah ini
Kasus PT Marba juga berkaitan dengan merupakan pelanggaran hak-hak rakyat oleh
masalah sengketa ganti kerugian. Sengketa penguasa. Oleh sebab itu saat ini sedang terjadi
terjadi ketika Menteri menetapkan ganti gugatan yang diajukan masyarakat Patunjang
kerugian atas penghapusan tanah partikelir terhadap pemerintah. Sengketa yang terjadi ini
bagi pemilik baru. Ganti rugi tersebut berupa adalah sengketa vertikal.
sebagian tanah partikelir lama. Ketika pemilik Kasus ketiga, sengketa tanah kantor
baru akan mengeksekusi ganti rugi tersebut, lama walikota Jakarta Barat. Pada kasus ini
ahli waris pemilik lama mengklaim bahwa tanah terdapat putusan pengadilan yang berbeda atas
tersebut adalah milik mereka. Akibatnya terjadi tanah lainnya yang masih dalam satu bagian
sengketa horizontal antara pemilik baru dengan pengelolaan tanah eks partikelir.43 Akan tetapi
ahli waris pemilik lama sehubungan masalah hakim pengadilan tentunya tidak dapat dijadikan
perdata berupa pewarisan. Sengketa tersebut aktor sehubungan penentuan tipologi sengketa.
berakhir di pengadilan perdata. Hal ini dikarenakan hakim harusnya bebas dan
Pengadilan perdata memutuskan bahwa tidak punya kepentingan sehubungan dengan
pemilik baru merupakan pemilik sah atas tanah kasus ini. Apabila terdapat putusan pengadilan
tersebut. Namun permasalahannya pemilik yang berbeda berarti permasalahannya ada
baru sulit untuk melakukan eksekusi. Kesulitan di proses penegakan hukum karena hakim
eksekusi ini menandakan telah terjadi sengketa merupakan penegak hukum.
horizontal antara pemilik baru dengan penguasa Berdasarkan hubungan penyebab sengketa
tanah saat ini. Berarti yang terjadi tidak hanya dengan teori tipologi sengketa pertanahan
sengketa ganti rugi juga sengketa putusan maka dapat digambarkan tipologi sengketa
pengadilan. tanah partikelir dalam tabel 1.
Permasalahan lainnya adanya bagian
tanah partikelir milik PT Marba yang belum C. Upaya Penyelesaian Sengketa atas Tanah
mendapatkan ganti rugi hingga saat ini, Partikelir
sedangkan atas tanah tersebut telah berdiri UU No. 1 Tahun 1958 memenuhi kriteria
bangunan dengan bukti kepemilikan baru pada peraturan yang represif menurut Philippe
pihak lainnya. Kondisi ini menciptakan konflik Nonet dan Philip Selznick44 karena tujuan
segitiga antara PT Marba dengan pihak ketiga pembentukannya adalah untuk menciptakan
terkait penguasan tanah, serta BPN yang ikut ketertiban karena kerasnya tekanan politik
terbawa karena belum dibayarkannya ganti untuk segera menasionalisasi aset-aset asing.
kerugian atas tanah partikelir tersebut. Peraturannyapun bersifat keras dan tegas
Sengketa terkait PT Marba masih berlanjut karena tidak memberikan kesempatan kepada
berkaitan dengan letak dan batas tanah. Hal pemilik untuk menolak kebijakan penghapusan
ini dikarenakan adanya data yang berbeda tersebut. Peraturan yang represif berpotensi
mengenai nomor-nomor EV. Akhirnya terhadap memicu terjadinya sengketa karena banyak
sengketa perbedaan data ini diselesaikan melalui pihak yang merasa dirugikan sehubungan
fatwa atau penyelesaian secara administratif dengan pengaturan ini terutama pemilik tanah
internal di tubuh BPN. Terhadap permasalahan partikelir.
ini terlihat telah terjadi sengketa secara vertikal
antara pemilik baru dengan pejabat BPN.
43
“20 Pengacara Dukung Anggota DPD, SBY Usut Kasus
Kasus kedua, sengketa di wilayah Patunjang.
Kantor Lama Walikota Jakbar”, http://poskota.co.id/
Sengketa ini merupakan sengketa penguasaan berita-terkini/2010/03/28/sby-usut-kasus-kantor-lama-
dan pemilikan rakyat atas tanah bekas tanah walikota-jakbar, diakses tanggal 15 Juli 2013.
44
Philippe Nonet et al., Hukum Responsif…, hal. 19.

190 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Tabel 1. Tipologi Sengketa atas Tanah Partikelir
Tipologi Sengketa Berdasarkan Tipologi Sengketa Berdasarkan Aktor
No.
Permasalahan Sengketa Vertikal Sengketa Horizontal Sengketa Segitiga
Sengketa batas atau letak bidang
1. √
tanah
Sengketa penguasaan dan
2. √ √
kepemilikan
3. Sengketa ganti rugi tanah √ √ √
4. Sengketa pelaksanaan putusan √
5. Sengketa perdata √
Sengketa Pelanggaran Hak-Hak
6. √
Rakyat
Sengketa Penetapan dan
7. √
Pendaftaran tanah
Hukum yang bersifat represif biasanya juga instansi pembuat kebijakan, instansi tersebut akan
mendorong munculnya penolakan-penolakan melakukan penelitian. Selama data administrasi
dan apabila dibiarkan akan mendatangkan tersebut dapat dilakukan perbaikan maka
krisis dan kekacauan akibat tertutupnya saluran sengketa dapat selesai dengan cara memperbaiki
untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan data administratif.46 Permasalahannya adalah
perubahan.45 Untungnya dalam kasus tanah apabila kesalahan administratif tersebut telah
partikelir ini sebagian besar tanah dimiliki oleh menyebabkan kerugian pada pihak tertentu.
warga negara asing. Pada masa 1950-an suasana Terhadap pihak-pihak yang dirugikan
anti asing tentunya membuat posisi asing di tersebut dapat lebih dahulu menyelesaikan secara
Indonesia melemah. Namun, pada era reformasi musyawarah atau menurut UU No. 30 Tahun 1999
ini disaat berbagai kebijakan berorientasi tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
responsif dan berusaha menciptakan suatu Sengketa (UU No. 30 Tahun 1999), melalui
keadilan yang bersifat substantif membuat jalur penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
berbagai pihak yang pada masa represif merasa Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
tertekan kembali bersemangat memperjuangkan lazim disebut alternative dispute resolution (ADR),
keadilan termasuk para pemilik tanah partikelir bentuknya mulai dari negosiasi dengan melibatkan
ini. Sehingga tidak mengherankan apabila hanya pihak yang bersengketa sampai dengan
sengketa tanah partikelir saat ini kembali arbitrase dengan menunjuk pihak ketiga untuk
mengemuka. membantu memutuskan penyelesaian terbaik bagi
Berdasarkan pembahasan tentang penyebab para pihak. Jalur penyelesaian sengketa alternatif
konflik jelas terlihat bahwa masalah utamanya ini dapat dipergunakan pada semua tipologi
adalah masalah data pertanahan yang menjadi sengketa partikelir.
acuan Menteri tidak valid. Masalah data pertanahan Permasalahannya adalah pihak ketiga
yang tidak valid merupakan permasalahan bersifat yang ditunjuk sebagai mediator atau fasilitator
administratif karena berkaitan dengan pencatatan ini terkadang turut terbawa dalam kasus yang
dan pendataan maka dapat diselesaikan secara terjadi, seperti BPN yang seringkali menjadi
administratif pula. Sengketa bertipe vertikal mediator namun akhirnya justru BPN malah
sederhana, seperti masalah batas atau letak bidang ikut terlibat. Untuk itu, pihak ketiga yang
tanah merupakan tipologi sengketa yang sesuai ditunjuk oleh para pihak dalam membantu
untuk diselesaikan secara administratif. menyelesaikan perkara harus pihak yang benar-
Penyelesaian secara administratif dilakukan benar netral.
dengan cara melakukan pengaduan kepada
46
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,
45
Ibid. Bandung: Alumni, 1991, hal.24.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 191


Kasus tanah partikelir biasanya melibatkan yang terjadi. Maksud pembuat UU No. 1 Tahun
tanah yang amat luas dengan ganti rugi yang 1958 dalam menghapuskan tanah partikelir juga
cukup besar. Oleh karena itu banyak pihak tidak tercapai karena tidak mensejahterakan
yang tidak puas dengan jalur penyelesaian masyarakat malah menciptakan konflik yang
sengketa alternatif di luar pengadilan sehingga berdampak luas.
yang terjadi kasus diteruskan ke pengadilan. Permasalahan lainnya terkait keberadaan
Berkaitan dengan keputusan Menteri tentang PTUN adalah adanya pembatasan jangka
penetapan penghapusan maka jalur pengadilan waktu gugatan terhadap KTUN menurut Pasal
yang dapat ditempuh adalah jalur Peradilan 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu pada Tata Usaha Negara, diberikan batas waktu
sengketa partikelir lainnya yang bertipe vertikal hanya 90 hari terhitung sejak saat diterimanya
dapat diajukan kepada PTUN karena berkaitan atau diumumkannya putusan tersebut. Namun
dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). untuk mengantisipasi belum diterimanya atau
Sebelum terbentuknya PTUN, kasus diumumkannya KTUN terutama untuk kasus
administrasi diselesaikan melalui jalur peradilan pada masa lampau kemudian muncul SEMA No.
umum dengan menggunakan hukum acara 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
perdata.47 Penyelesaian kasus administratif Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun
dengan menggunakan hukum acara perdata 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
ini sempat menghadapi beberapa masalah mengatur bahwa pengaturan 90 hari tersebut
terutama terkait pembuktian. Setelah PTUN berlaku sejak yang bersangkutan mengetahui
dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 jo keputusan dan merasa kepentingannya
UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun dirugikan berdasarkan keputusan TUN.
2009, tidak berarti masalah berakhir. Kasus Dibandingkan gugatan perdata, jangka
tanah partikelir yang usia penyelesaiannya waktu gugatan TUN memang sangat terbatas.
lebih dari setengah abad ini biasanya dapat Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan
pula mengarah kepada kasus perdata terutama perdata menurut Pasal 1967 BW adalah 30
masalah pewarisan. Kalau sudah masuk areal tahun. Sehingga wajar apabila sebagian besar
perdata biasanya sengketa akan berlarut larut, kasus tanah partikelir diajukan ke peradilan
bahkan dapat memunculkan sengketa baru. umum. Namun peradilan umum sendiri memiliki
Hal ini disebabkan terkadang untuk satu objek kelemahan karena yang dapat dijadikan dasar
tanah yang sama diputus secara berbeda oleh tuntutan adalah hak perdata para pihak yang
PTUN dan peradilan perdata/umum. dilanggar, bukan KTUNnya. Padahal sumber
Terhadap putusan pengadilan yang berbeda permasalahan dari tanah partikelir adalah
ini tentunya akan menyulut sengketa antara SK Menteri. Akibatnya kebenaran materil
para pihak karena masing-masing merasa terkait SK menteri dalam kasus ini sulit untuk
benar dengan mengantongi putusan-putusan didapatkan. Kelemahan lainnya adalah hakim
pengadilannya sendiri-sendiri. Akibatnya pengadilan perdata memiliki keterampilan yang
yang terjadi tanah tidak dapat di eksekusi, terbatas terkait masalah KTUN. Permasalahan
kepemilikan kembali menjadi tidak jelas dan ini telah menjadi isu sentral semenjak dulu pada
yang terburuk tanah tidak dapat dikelola saat kasus KTUN diajukan ke peradilan umum.
dengan baik akibat dihambat satu sama lain Dari tipologi sengketa yang muncul, tidak
oleh pihak yang bersengketa. semua sengketa perlu dibawa ke pengadilan.
Kondisi ini jelas merugikan para pihak yang Ada tipe-tipe sengketa tertentu yang dapat
bersengketa. Bahkan tidak hanya mereka yang diselesaikan antara para pihak baik secara
dirugikan, masyarakat sekitarnya juga akan langsung ataupun melalui pihak ketiga di
merasakan akibat tidak langsung dari sengketa luar pengadilan. Seperti penyelesaian sengketa
melalui jalur mediasi sangat sesuai apabila
47
Ibid., hal. 45.

192 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


diterapkan pada kasus-kasus yang segi hukumnya IV. PENUTUP
kurang mengemuka dibandingkan dengan segi A. Kesimpulan
kepentingan (interest) para pihak.48   Penyebab sengketa partikelir dapat bersifat
Tipologi sengketa yang sesuai untuk langsung dan tidak langsung berhubungan
penyelesaian secara mediasi adalah sengketa dengan penghapusan tanah partikelir. Penyebab
yang bertipe horizontal seperti sengketa sengketa secara langsung ada tiga yaitu data
perdata, ganti rugi dan sengketa penguasaan administrasi pertanahan yang tidak valid,
dan pemilikan. Namun harus diperhatikan ketidakjelasan aturan dan kurang cermatnya
beberapa prinsip berhasilnya mediasi di beberapa Menteri sebagai pejabat pembuat kebijakan.
negara yaitu sesuai untuk diterapkan dalam Sedangkan penyebab tidak langsung adalah
kasus-kasus yang menyangkut kelangsungan masalah politik hukum pemerintah dan masalah
hubungan antara para pihak, keseimbagan pewarisan.
kekuatan antara kedua belah pihak, sengketa Tipologi sengketa partikelir terbagi atas
yang berjangka waktu singkat, atau sengketa 2 kelompok besar yaitu tipologi berdasarkan
yang tidak pasti hasil akhirnya bila dibawa ke permasalahan dan berdasarkan aktor. Berdasarkan
pengadilan.49 Namun ada kasus tertentu yang permasalahan, tipologi sengketa partikelir
menurut para ahli sebaiknya langsung ditempuh meliputi sengketa batas atau letak bidang
jalur peradilan saja. Kasus-kasus tersebut tanah; penguasaan dan kepemilikan; ganti
biasanya bercirikan adanya pertentangan hak rugi; pelaksanaan putusan; masalah perdata;
atas tanah maupun hak-hak lainnya.50 Dengan pelanggaran hak-hak rakyat; dan penetapan
kata lain, kasus yang masalah hukumnya serta pendaftaran tanah. Sedangkan berdasarkan
lebih mengemuka. Penyelesaian di pengadilan aktor, tipologi sengketa partikelir meliputi sengketa
justru akan mempercepat proses penyelesaian vertikal, horizontal dan segitiga. Kedua kelompok
sengketa dari pada harus melalui jalur alternatif besar tipologi ini saling berkaitan karena
yang hanya akan membuat kasus ini menjadi permasalahan tidak mungkin muncul tanpa
semakin berbelit-belit. Hal ini dikarenakan adanya aktor atau pihak yang bersengketa.
pada akhirnya proses penyelesaian perkara Upaya penyelesaian sengketa terlebih dahulu
ini lebih berdasarkan kepada peraturan yang hendaknya menempuh jalur administrasi dan
berlaku, sangat memperhatikan keseimbangan penyelesaian sengketa alternatif setelah itu baru
kepentingan antara para pihak dan menegakkan menempuh jalur pengadilan umum atau PTUN.
keadilan.51 Penyelesaian administratif dapat diterapkan pada
Penyelesaian kasus melalui peradilan sengketa vertikal sederhana, seperti masalah
ini sesuai untuk penyelesaian tipe sengketa batas/ letak tanah. Sedangkan Penyelesaian jalur
vertikal dengan permasalahan penguasaan dan alternatif cocok untuk kasus-kasus yang segi
pemilikan; ganti rugi; pelanggaran hak-hak hukumnya kurang mengemuka dibandingkan
rakyat; dan penetapan serta pendaftaran tanah. dengan segi kepentingan (interest) para pihak
Selain itu sesuai pula untuk sengketa segitiga biasa untuk sengketa bertipe horizontal, seperti
dengan permasalahan ganti rugi, pengadaan sengketa perdata. Untuk kasus yang masalah
tanah dan penetapan serta pendaftaran tanah. hukumnya lebih mengemuka lebih baik menempuh
jalur peradilan, seperti masalah penetapan dan
pendaftaran tanah.

48
Husnayadi Herliza, “Mediasi Sengketa Tanah”, http:// B. Saran
kot-banjarmasin.bpn.go.id/ Propinsi/Kalimantan-Selatan/ Peraturan terkait penghapusan tanah partikelir
Kota-Banjarmasin/Artikel/Mediasi-Sengketa-Tanah.aspx,
telah membuktikan bahwa peraturan yang bersifat
diakses tanggal 20 September 2013.
49
Ibid. represif hanya akan menciptakan ketertiban
50
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa..., hal. 28. yang bersifat sementara. Setelah diredam
51
Ibid.

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 193


begitu lama, kasus tanah partikelir kembali DAFTAR PUSTAKA
mengemuka bahkan BPN memasukkannya
kedalam tipologi sengketa tanah. Maraknya
kasus partikelir dikarena penghapusan dilakukan
tanpa menggunakan data pertanahan yang valid. Buku
Kondisi ini harusnya menjadi salah satu faktor Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia:
pendorong segera dibentuk peta pertanahan. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Selain peta pertanahan, peradilan Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:
pertanahan juga perlu dibentuk sehingga dapat Djambatan, 2003.
dihindari perbenturan putusan antara peradilan Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara,
umum dengan PTUN. Jalur penyelesaian Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai
sengketa alternatif juga perlu dikembangkan Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, terjemahan
dan dibentuk suatu kelembagaan seperti, lembaga dari “General Theory of Law and State” oleh
arbitrase atau mediasi pertanahan. Hal ini dapat Somardi, Jakarta: Bee Media Indonesia,
menghindari konflik kepentingan jika perkara 2007.
melibatkan BPN karena seringkali selama ini
BPN menjadi mediator tapi kemudian ikut Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum
terlibat dalam perkara. Atas Tanah, Bandung: Alumni, 1991.
Nonet, Philippe, et al., Hukum Responsif,
Bandung: Nusamedia, 2010.
Poesponegoro, Marwati Djoened et.al, Sejarah
Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008.
Putyatmoko, Y. Sri, Perizinan: Problem dan Upaya
Pembenahan, Grasindo: Yogyakarta, 2009.
Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-hak Atas
Tanah, Jakarta: Kencana, 2009.
Sumitro, Rochmad, dalam Abdurrahman,
Tebaran Pemikiran mengenai Hukum Agraria,
Bandung: Alumni,1985.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004.
Sumardjono, Maria S. W., Mediasi Sengketa Tanah,
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008.

Hasil Penelitian/Tugas Akhir


Edwin, Eigendom Sebagai Alat Bukti yang Kuat
dalam Pembuktian Kepemilikan Tanah pada
Hukum Tanah Indonesia, Analisis terhadap
Putusan Mahkamah Agung No. 588/PK/
Pdt./2002, Tesis, Depok: FHUI-Magister
Kenotariatan, 2012.

194 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Iskandar, Mohammad, Hak-Hak Pemilikan Tanah Pranata, Agus, “Merebut Kembali Tanah
dan Kerusuhan Sosial: Kasus Tanah Partikelir Garapan”, http://www.berdikarionline.com/
Ciomas Tahun 1886, Laporan Penelitian, kabarrakyat/20120816/merebut-kembali-
UI, Depok. tanah-garapan.html, diakses tanggal 15 Juli
Juniasri, Mirda, Proses Permohonan Hak Atas 2013.
Tanah Bekas Tanah Partikelir di Kelurahan Resty, Mutia, “Sengketa Mbah Priok Karena Dua
Cipinang Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Pihak Punya Sertifikat Tanah”, http://www.
Timur, Tesis, Semarang: Universitas tempo.co/read/news/2010/04/23/057242825/
Diponegoro, 2004. Sengketa-Mbah-Priok-Karena-Dua-Pihak-
Sumarto, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Punya-Sertifikat-Tanah, diakses tanggal 29
Pertanahan dengan Prinsip Win Win Solution Juli 2013.
oleh Badan Pertanahan Nasional RI, Jakarta: Suharyanto,Gatot, “Ulasan Keterkaitan
Direktorat Konflik Pertanahan Badan Tipologi dengan Fungsi dan Bentuk-nya
Pertanahan Nasional RI, 2012. (Studi Kasus bangunan masjid”, http://
issuu.com/gats.id/docs/keterkaitan_
Internet tipologi_dengan_fungsi_dan_bentuk,
“Aliran Pemikiran Hukum: Hukum Alam”, diakses tanggal 19 Agustus 2013.
http://arsyadshawir.blogspot.com/2012/11/ “20 Pengacara Dukung Anggota DPD, SBY Usut
aliran-pemikiran-hukum-hukum-alam. Kasus Kantor Lama Walikota Jakbar”, http://
html, diakses tanggal 17 September 2013. poskota.co.id/berita-terkini/2010/03/28/
“Antara Keadilan Substantif dan Keadilan sby-usut-kasus-kantor-lama-walikota-jakbar,
Prosedural”, http://sergie-zainovsky.blogspot. diakses tanggal 15 Juli 2013.
com/2012/10/antara-keadilan-substantif-dan-
keadilan.html, diakses tanggal 19 September Peraturan
2013. UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Farkhani, “Mengenal Hak Atas Tanah dan Tanah Partikelir (Lembaran Negara
Konflik Pertanahan di Indonesia”, http:// Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
stainsalatiga.ac.id/mengenal-hak-atas- 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
t a n a h - d a n - ko n f l i k- p e r t a n a h a n - d i - Indonesia Nomor 1517).
indonesia/, diakses tanggal 19 September UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
2013. Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara
Herliza, Husnayadi, “Mediasi Sengketa Tanah”, Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
http://kot-banjarmasin.bpn.go.id/Propinsi/ 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Kalimantan-Selatan/KotaBanjarmasin/ Indonesia Nomor 2043).
Artikel/Mediasi-Sengketa-Tanah.aspx, UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
diakses tanggal 20 September 2013 Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
“Konflik Perkebunan: Mencari Solusi Yang Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor
Berkeadilan dan Mensejahterakan 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Rakyat Kecil”, Hasil Seminar dan Indonesia Nomor 3344).
Lokakarya Nasional Konflik Agraria, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
http://pphafh.ub.ac.id/hasil- seminar- dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dan-lokakarya-nasional-konflik-agraria- (Lembaran Negara Republik Indonesia
konflik-perkebunan-mencari-solusi-yang- Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan
berkeadilan-dan-mensejahterakan-rakyat- Lembaran Negara Republik Indonesia
kecil/, diakses tanggal 17 September 2013. Nomor 3872).

LUTHVI FEBRYKA NOLA: Sengketa Tanah Partikelir... 195


UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5079).
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun
1963 tentang Gagasan Menganggap
Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-
Undang.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Surat BPN Jakarta Pusat No. 468/PT/P/
VII/2000 tanggal 24 Juli 2000.
Lampiran 01/Juknis/D.V/2007 Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan Dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan.

196 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

Novianto M. Hantoro*
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
Email: nmhantoro@yahoo.com

Abstract
The Constitutional Court has decided to grant for in part of the petition of the Regional Representative
Council (DPD) with respect to its authority in the field of legislation. By using the framework on
bicameralism and constitutional interpretation, this paper analyzes how the Court to interpret legislative
authority of DPD and how to implement the decision. The Court interpreted DPD has the authority to
discuss Prolegnas, have the same status as the president in terms of submission of the bill to the House,
and not only provides a view but come together to discuss the bill with the President and Parliament. But
according to the Court, the DPD remain not equal with the House because the petition for approval of
the bill and gave authorities more than just giving consideration to the state budget bill, was rejected.
Although the Constitutional Court’s decision executeable or can be implemented directly, but it still need
for coordination with the President and the Parliament to regulate further the mechanism as system.
Ideally, this needs to be formulated in the law, but for the purposes of short-term can be done through the
formation of the Joint Rules.

Kata kunci: DPD, Pembentukan undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi.

I. PENDAHULUAN pada tingkat yang membahayakan keutuhan


A. Latar Belakang wilayah negara dan persatuan nasional.2 Anggota
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 DPD menggantikan Utusan Daerah sebagai
telah menghasilkan beberapa lembaga negara salah satu unsur dalam komposisi keanggotaan
baru, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Daerah (DPD). Yang menjadi gagasan dasar DPD memiliki fungsi dan kewenangan yang
pembentukan DPD adalah keinginan untuk salah satunya terkait dengan pembentukan
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus undang-undang. Kewenangan DPD dalam
memberi peran yang lebih besar kepada daerah pembentukan undang-undang telah diatur
dalam proses pengambilan keputusan politik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
untuk soal-soal yang terutama berkaitan Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Terdapat
langsung dengan daerah.1 Keinginan tersebut tiga kewenangan DPD dalam pembentukan
berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan undang-undang yang disebutkan oleh Pasal
putusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu 22D UUD 1945, yaitu: “dapat mengajukan
ternyata telah mengakibatkan meningkatnya rancangan undang-undang (RUU) kepada Dewan
ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai Perwakilan Rakyat (DPR)”, “ikut membahas

1
I Dewa Gede Palguna, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, makalah pada Focus Group Discussion “Kedudukan
dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” di Semarang, 25 Maret
2003 dan di Malang, 26 Maret 2003 dalam Janedjri M. Gaffar, et all (editor), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta; Setjen MPR-UNDP, 2003, hal. 61-62.
2
Ibid.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 197


RUU”, dan “memberikan pertimbangan kepada Mahkamah Konstitusi telah melakukan
DPR”, terhadap rancangan undang-undang sidang dan telah memutuskan permohonan
tertentu. Ketentuan dalam UUD 1945 memerlukan judicial review tersebut. Putusan Mahhkamah
penjabaran atau pengaturan lebih lanjut. Pada Konstitusi pada dasarnya adalah mengabulkan
saat ini terdapat dua undang-undang yang sebagian permohonan DPD, bukan semua
menjabarkan ketentuan tersebut, yaitu Undang- permohonan. Namun demikian putusan
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, yang menerima permohonan DPD dapat
DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang dikatakan memberikan perubahan besar
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan pada pelaksanaan fungsi DPD di bidang
Peraturan Perundang-undangan. Penjabaran legislasi. Dengan demikian, menjadi kajian
ketentuan di dalam kedua undang-undang yang menarik, bagaimana memahami putusan
tersebut menerjemahkan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi tersebut dan bagaimana
beberapa hal, misalnya “DPD mengajukan RUU mengimplementasikannya.
kepada DPR” maka RUU tersebut kemudian Berkenaan dengan fungsi legislasi DPD, Tim
menjadi RUU DPR; “DPD ikut membahas Hukum Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi,
RUU tertentu” maka pembahasan tersebut Sekretariat Jenderal DPR pada tahun 2003 telah
dilakukan sebatas memberikan pandangan melakukan Penelitian mengenai “Ruang Lingkup
dan pendapat. Sedangkan “memberikan dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi
pertimbangan” dijabarkan bahwa pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”. Dilihat dari tahun
tersebut dalam bentuk tertulis dan disampaikan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui
sebelum dimulainya pembahasan. undang-undang yang dianalisis adalah UU No.
Ketentuan di dalam kedua undang-undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
tersebut memunculkan keberatan DPD yang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Namun demikian,
menganggap ketentuan tersebut mereduksi isu-isu yang terdapat dalam putusan MK tersebut
kewenangan yang seharusnya atau yang telah menjadi obyek penelitian. Penelitian
diberikan oleh UUD 1945. Kemudian DPD juga menggunakan metode historis dengan
mengajukan uji materi terhadap kedua undang- membandingkan keberadaan Senat pada masa
undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Hal berlakunya Konstitusi RIS. Kesimpulan penelitian
yang dimohonkan oleh DPD adalah: juga menemukan kelemahan yang salah satunya
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan adalah kewenangan yang dimiliki DPD tidak
RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal seimbang dengan ongkos dan nilai pemilihan
22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut umum yang demokratis.3 Sementara analisis
DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan dalam kajian ini, meskipun menyinggung juga
setara dengan RUU dari Presiden dan DPR; peraturan yang melandasi mekanisme kerja DPD
2. Kewenangan DPD ikut membahas RUU periode sebelumnya, namun akan lebih dikaitkan
yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD dengan peraturan yang berlaku pada DPD
1945 bersama DPR dan Presiden; periode sekarang, yaitu UU No. 27 Tahun 2009
3. Kewenangan DPD memberi persetujuan dan UU No. 12 tahun 2011 yang menjadi obyek
atas RUU yang disebutkan dalam Pasal dalam uji materi yang diajukan oleh DPD kepada
22D UUD 1945; Mahkamah Konstitusi.
4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan
Prolegnas yang menurut DPD sama halnya B. Permasalahan
dengan keterlibatan Presiden dan DPR; Dengan adanya putusan Mahkamah
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan Konstitusi tersebut, praktik dan mekanisme
terhadap RUU yang disebutkan dalam pembentukan undang-undang harus disesuaikan.
Pasal 22D UUD 1945;
3
Innosentius Samsul, et all. (Tim Hukum P3DI, Setjen
DPR RI). Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi
Legislasi DPD, Jakarta, P3I Setjen DPR RI, 2003, hal. 82.

198 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Hal pertama yang paling penting adalah interpretation method). Bobbitt mengidentifikasikan
mengetahui bagaimana memahami putusan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi
tersebut atau dengan kata lain bagaimana MK (constitutional interpretation), yaitu:5
menafsirkan ketentuan UUD 1945 terkait 1. Penafsiran tekstual;
dengan kewenangan DPD dalam pembentukan Penafsiran tekstual (textualism or literalism)
undang-undang. Permasalahan selanjutnya adalah atau penafsiran harfiah ini merupakan
bagaimana melaksanakan putusan tersebut. Selama bentuk atau metode penafsiran konstitusi
ini masih berkembang pemikiran apakah perlu yang dilakukan dengan cara memberikan
adanya revisi terhadap kedua undang-undang makna terhadap arti dari kata-kata di
tersebut sebelum mengimplementasikan putusan dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh
MK atau bagaimanakah mengimplementasikan pembentuk konstitusi (meaning of the words
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seketika in the legislative text).
tanpa melalui perubahan undang-undang. 2. Penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);
Tulisan ini akan menganalisa dua hal, pertama Penafsiran historis ini disebut juga dengan
penafsiran MK terhadap kewenangan DPD dalam penafsiran asli (original), yaitu bentuk
pembentukan undang-undang yang tercermin atau metode penafsiran konstitusi yang
di dalam putusannya; Kedua, menganalisa didasarkan pada sejarah konstitusi itu
bagaimana melaksanakan putusan MK tersebut dibahas dan ditetapkan. Pada umumnya
dalam praktik pembentukan undang-undang metode penafsiran ini menggunakan
sekarang ini. pendekatan original intent terhadap norma-
norma hukum konstitusi.
II. KERANGKA PEMIKIRAN 3. Penafsiran doktrinal;
A. Penafsiran Konstitusi Penafsiran doktrinal merupakan metode
Satjipto Rahardjo4 mengemukakan, salah satu penafsiran yang dilakukan dengan cara
sifat yang melekat pada hukum tertulis adalah memahami aturan Undang-Undang melalui
sifat otoritatif dari rumusan-rumusannya. sistem preseden atau melalui praktik
Pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera peradilan.
scripta merupakan bentuk dari usaha untuk 4. Penafsiran prudensial;
menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide Penafsiran prudensial merupakan metode
atau pikiran yang hendak dikemukakan tersebut penafsiran yang dilakukan dengan cara
ada disebut sebagai “semangat” dari suatu mencari keseimbangan antara biaya-biaya
peraturan. Usaha untuk menggali “semangat yang harus dikeluarkan dan keuntungan-
dari peraturan tersebut” dengan sendirinya keuntungan yang diperoleh dari penerapan
merupakan bagian dari keharusan yang melekat suatu aturan atau Undang-Undang tertentu.
khusus pada hukum perundang-undangan 5. Penafsiran struktural; dan
yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan Penafsiran struktural merupakan metode
dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam penafsiran yang dilakukan dengan cara
bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi mengaitkan aturan dalam Undang-Undang
atau konstruksi ini adalah suatu proses yang dengan konstitusi yang mengatur tentang
ditempuh oleh pengadilan dalam rangka struktur-struktur ketatanegaraan.
mendapatkan kepastian mengenai arti dari 6. Penafsiran etikal
hukum perundang-undangan. Penafsiran etikal merupakan metode
Di dalam ilmu hukum, selain dikenal penafsiran yang dilakukan dengan cara
metode penafsiran hukum secara umum, dikenal menurunkan prinsip-prinsip moral dan
pula metode penafsiran konstitusi (constitutional
5
Albert H Y Chen, The Interpretation of the Basic Law--
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Common Law and Mainland Chinese Perspectives, Hong
Aditya Bakti, 2006, hal. 93-95. Kong: Hong Kong Journal Ltd., 2000, hal. 5.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 199


etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi metode penafsiran originalism, yang menggunakan
atau undang-undang dasar. Metode pendekatan original intent dan non originalism, yang
penafsiran ini dikonstruksi dari tipe menggunakan pendekatan di luar pendekatan
berpikir konstitusional yang menggunakan original intent.
pendekatan falsafati, aspirasi atau moral.
Dengan demikian metode penafsiran B. Bikameralisme
ini dapat digunakan untuk isu-isu yang Terdapat beberapa istilah untuk menyebutkan
menekankan pada pentingnya hak-hak lembaga perwakilan berdasarkan fungsi dan
asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangannya. Lembaga perwakilan disebut
kekuasaan negara atau pemerintahan. parlemen berdasarkan kata Perancis parler yang
Menurut Anthony Mason, interpretasi artinya berbicara. Lembaga perwakilan juga disebut
atau penafsiran ini merupakan penafsiran yang sebagai badan legislatif atau badan pembentuk
sesuai dengan pengertian asli dari teks atau undang-undnag karena tugasnya legislate yang
istilah-istilah yang terdapat dalam konstitusi. artinya 8membentuk atau membuat undang-
Penafsiran ini biasanya digunakan untuk undang. Arend Lijphart mengklasifikasikan
menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur badan pembentuk undang-undang ke dalam tiga
konstitusi.6 variabel, yaitu: 9

Menurut Arsyad Sanusi7, di Amerika Serikat 1. Bikameral/unikameral (bicameralism/


terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam unicameralism),
menafsirkan konstitusi, hakim harus berupaya 2. symmetrical/asymmetrical bicameralism (is
untuk menelusuri bagaimana ketentuan- one house dominant, or are they essentially
ketentuan dalam konstitusi itu dari semula diartikan equal), dan
oleh pihak yang merumuskan dan mengesahkan 3. congruent/incongruent bicameralism (do
konstitusi itu. Pendekatan ini menyatakan bahwa the two houses represent essentially the same
semakin dekat dengan pengertian aslinya maka population or does the second chamber reflect
semakin “benar” penafsiran tersebut. Pendekatan a different basis of representation).
ini menekankan pentingnya konsep backward- Sistem bikameral kemudian dapat
looking. Pendekatan semacam ini dikenal diklasifikasikan berdasarkan perbandingan
dengan pendekatan originalisme. Sedangkan, kekuatan antara the lower chamber dan the upper
pada kutub yang lain, terdapat pandangan yang chamber, yaitu sistem bicameral yang lemah
menekankan pentingnya inovasi dan dinamisme, (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism/
serta menolak originalisme. Kelompok yang soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah
menghendaki demikian ini berpendapat bahwa satu kamar, jauh lebih dominan atas kamar
konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena lainnya. Sistem bicameral yang kuat (symmetric
adanya ketidakpastian bahasa dalam undang- bicameralism  atau strong bicameralism), yaitu
undang (konstitusi). Dengan demikian dari apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris
sekian banyak metode penafsiran, pada dasarnya sama kuat atau sama kuat.10
metode penafsiran konstitusi dapat dibedakan Menurut Lijphart, terdapat beberapa aspek
hanya menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: yang pada akhirnya akan membedakan apakah
lembaga perwakilan suatu negara menganut
6
Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a “strong bicameralism” atau “weak bicameralism”.
Modern Liberal Democracy, dalam Charles Sampford and Aspek penting pertama dan yang paling
Kim Preston (Ed.), Interpreting Constitutions- Theories,
Principles and Institutions. Leichhardt, The Federation Press, 8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta; PT.
1996 hal. 14. Gramedia, 1988, hal. 174.

7
M. Arsyad Sanusi, Legal Reasoning Dalam Penafsiran Konstitusi 9
Arend Lijphart, Patterns of Democracy; Government Forms
dalam http://arfanhy.blogspot.com/2009/03/legal-reasoning- and Performance in Thirty Six Countries. New Haven and
dalam-penafsiran.html diakses pada tanggal 22 Oktober London, Yale University Press, 1999. hal. 201-215.
2013. 10
Ibid.

200 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


utama adalah kewenangan konstitusional yang MK, akan diuraikan terlebih dahulu pengaturan
dimiliki oleh kedua lembaga perwakilan. Pola kewenangan DPD pada DPD periode 2004-
yang umum di beberapa negara, “kamar kedua” 2009 dan DPD periode 2009-2014. Selanjutnya
cenderung subordinat dari “kamar pertama”.11 diuraikan berdasarkan permohonan yang diajukan
Berdasarkan hal tersebut, apabila kedua lembaga DPD (petita), serta bagaimana pertimbangan MK
memiliki kewenangan yang sama, maka disebut dalam amar putusannya.
simetris, namun apabila kewenangan lembaga a. Pengajuan RUU
yang satu lebih tinggi dari lembaga yang lain, Dalam hal pengajuan usul RUU, selain
maka disebut asimetris. ketentuan yang ada di dalam UUD 1945, diatur
Kedua, untuk mengetahui apakah lembaga secara singkat di dalam UU No. 22 Tahun 2003
tersebut mempunyai arti politik yang penting bahwa DPD mengusulkan rancangan undang-
(political important) dapat dilihat dari metode undang untuk hal-hal yang telah disebutkan
pemilihan. Pada umumnya, anggota pada di dalam UUD 1945 kepada DPR dan DPR
“kamar pertama” dipilih secara langsung oleh mengundang DPD untuk membahas sesuai tata
pemilih, sedangkan anggota “kamar kedua” tertib DPR. Pembahasan rancangan undang-
dipilih oleh lembaga legislatif daerah atau diangkat. undang tersebut dilakukan sebelum DPR
Kemudian apakah “kamar kedua” didesain untuk membahas rancangan undang-undang dengan
mewakili golongan-golongan tertentu atau pemerintah.
minoritas. Apabila hal tersebut terjadi, maka Pengaturan mengenai pengajuan RUU
komposisinya disebut incongruent. di dalam UU No. 10 Tahun 2004 dikaitkan
dengan Prolegnas. Undang-Undang menyebutkan
III. ANALISA bahwa RUU baik yang berasal dari Dewan
A. Kewenangan Legislasi DPD berdasarkan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari
Putusan MK Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan
Tulisan ini akan menganalisa dua hal, pertama, Prolegnas. Norma selanjutnya sama dengan
penafsiran MK terhadap kewenangan DPD dalam ketentuan UUD 1945 bahwa DPD hanya
pembentukan undang-undang yang tercermin mengajukan RUU sebagaimana yang telah diatur
di dalam putusannya; Kedua, menganalisa UUD 1945. Namun kemudian terdapat aturan
bagaimana melaksanakan putusan MK tersebut dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden
dalam praktik pembentukan undang-undang dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.
sekarang ini. Untuk menganalisa kewenangan Penafsirannya (secara a contrario) DPD tidak
DPD dalam fungsi legislasi berdasarkan putusan dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.
Selanjutnya terkait dengan pengajuan RUU
11
Contoh yang disebutkan: their negative votes on proposed diatur bahwa RUU yang berasal dari DPD dapat
legislation can frequently be overridden by the first chambers,
diajukan oleh DPD kepada DPR. Ketentuan
and in most parliamentary systems the cabinet is responsible
exclusively to the first chamber. In two countries, disagreement lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan
between the two chambers is settled by a joint session: India RUU diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR
and Venezuela. Here the relative sizes of the two chambers, dan Peraturan Tata Tertib DPD.
discussed in the previous section, do make a difference with
Pengaturan di dalam Tata Tertib DPR
regard to the strength of bicameralism. The Indian second
chamber is almost half the size of the first, whereas the terkait dengan RUU yang berasal dari DPD,
Venezuelan senate has less than one-fourth of the members of adalah sebagai berikut:
the lower house. The only examples of bicameral legislatures 1) RUU beserta penjelasan, keterangan, dan/
with formally equal powers in our set of democracies are the
atau naskah akademis yang berasal dari
legislatures of Colombia, Italy, Switzerland, and the United
States; three countries used to have formally equal chambers- DPD disampaikan secara tertulis oleh
Belgium, Denmark, and Sweden-but the Belgian Senate’s Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR.
power was severely reduced when it was elected in its new 2) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah
federal form in 1995, and Denmark and Sweden abolished
RUU diterima oleh Pimpinan DPR,
their second chambers in 1953 and 1970, respectively.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 201


Pimpinan DPR memberitahukan kepada (DPD periode 2004-2009) terlihat bahwa RUU
Anggota tentang masuknya Rancangan yang diajukan oleh DPD dibahas terlebih dahulu
Undang-Undang tersebut, kemudian oleh alat kelengkapan DPR dengan mengundang
membagikannya kepada seluruh Anggota. alat kelengkapan DPD. Hasil pembahasan
3) Setelah Usul RUU diumumkan dalam Rapat dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPR, tanpa
Paripurna, Pimpinan DPR menyampaikan diatur mengenai pengambilan keputusan.
surat pemberitahuan kepada Pimpinan RUU tersebut kemudian disampaikan oleh
DPD mengenai tanggal pengumuman RUU DPR kepada Presiden dengan permintaan agar
yang berasal dari DPD tersebut kepada Presiden menunjuk menteri yang mewakili
Anggota dalam Rapat Paripurna. dalam pembahasan RUU di DPR.
4) Badan Musyawarah selanjutnya Ketiga peraturan perundang-undangan
menunjuk Komisi atau Badan Legislasi tersebut kemudian mengalami perubahan pada
untuk membahas RUU tersebut, serta periode DPR dan DPD sekarang ini (periode
mengagendakan pembahasannya. 2009-2014). UU No. 22 Tahun 2003 telah
5) Komisi atau Badan Legislasi, mengundang diganti dengan UU No. 27 tahun 2009; UU No.
anggota alat kelengkapan DPD sebanyak- 10 Tahun 2004 telah diganti dengan UU No.
banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah 12 Tahun 2011; dan Peraturan Tata Tertib DPR
anggota alat kelengkapan DPR, untuk tahun 2005 telah diganti dengan Peraturan Tata
membahas RUU dimaksud. Tertib DPR Tahun 2009. Pengaturan mengenai
6) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengajuan RUU DPD kepada DPR juga
Komisi atau Badan Legislasi mengundang, mengalami perubahan mekanisme. Perubahan
alat kelengkapan DPD wajib hadir. yang cukup mendasar adalah RUU yang
7) Hasil pembahasan dilaporkan dalam Rapat diusulkan oleh DPD diharmonisasi terlebih
Paripurna. dahulu di Badan Legislasi untuk kemudian
8) RUU yang telah dibahas disampaikan oleh disampaikan ke Rapat Paripurna. Rapat
Pimpinan DPR kepada Presiden dengan Paripurna mengambil keputusan terhadap RUU
permintaan agar Presiden menunjuk tersebut, apakah disetujui, disetujui dengan
Menteri yang akan mewakili Presiden dalam perubahan; atau ditolak. Perubahan tersebut
melakukan pembahasan RUU tersebut memang menjadikan RUU dari DPD disamakan
bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD kedudukannya dengan usul RUU yang diajukan
untuk ikut membahas Rancangan Undang- oleh anggota atau alat kelengkapan DPR.
Undang tersebut. Hal tersebut pula yang menjadi dasar
9) Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak pengajuan atau dalil uji material yang dilakukan
diterimanya surat tentang penyampaian oleh DPD sebagai pemohon, bahwa Undang-
RUU dari DPR, Presiden menunjuk Undang telah mereduksi kewenangan legislasi
Menteri yang ditugasi mewakili Presiden DPD sebagai sebuah lembaga negara menjadi
dalam pembahasan RUU bersama DPR. setara dengan kewenangan legislasi anggota,
10) Terhadap pembahasan dan penyelesaian komisi, dan gabungan komisi DPR.12 Selanjutnya
selanjutnya, berlaku ketentuan Pasal juga dikemukakan bahwa UU secara sistematis
136, Pasal 137, dan Pasal 138, dengan mengurangi kewenangan DPD sejak awal proses
memperhatikan ketentuan yang khusus pengajuan RUU dan telah mendistorsi RUU
bagi Rancangan Undang-Undang dari yang diusulkan oleh DPD menjadi RUU usul
DPR. DPR13. Selanjutnya UU No. 12 Tahun 2011
11) Hari kerja yang dimaksud pada ayat (6) juga dianggap telah merendahkan kedudukan
adalah hari kerja DPR pada Masa Sidang.

12
Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU No. 27 Tahun
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan 2009, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011.

13
Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU No. 27 Tahun 2009 Pasal
DPR pada awal pengaturan mengenai DPD
147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009.

202 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR,
bawah DPR karena meniadakan kewenangan dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan
konstitusional DPD untuk dapat mengajukan yang mereduksi kewenangan DPD untuk
RUU.14 mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam
Terhadap dalil permohonan DPD tersebut, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945;
menurut Mahkamah Konstitusi kewenangan Di dalam pertimbangannya, Mahkamah
konstitusional DPD mengenai pengajuan Konstitusi menggunakan penafsiran tekstual dan
RUU, telah ditegaskan dalam Pasal 22D ayat struktural. Mahkamah Konstitusi memaknai kata
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan “dapat mengajukan” sebagai sebuah hak dan/atau
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada kewenangan. Selanjutnya dengan menggunakan
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang- penafsiran struktural, Mahkamah Konstitusi
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, menyamakan posisi DPD dengan Presiden
hubungan pusat dan daerah, pembentukan yang juga mempunyai hak untuk mengajukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, RUU ke DPR. Sementara rumusan di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya undang-undang menggunakan konsep bikameral
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan yang asimetrikal, bahwa konsep di UUD 1945
perimbangan keuangan pusat dan daerah”. memang tidak memberikan kewenangan legislasi
Menurut MK, kata “dapat” dalam Pasal 22D yang equal antara DPR dan DPD.
ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan b. Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan
pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” Prolegnas
atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan Ketentuan mengenai Prolegnas memang tidak
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan diatur di dalam UUD 1945. Ketentuan mengenai
daerah, pembentukan dan pemekaran serta Prolegnas diatur di dalam Undang-Undang
penggabungan daerah, pengelolaan sumber tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, undangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 10
serta yang berkaitan dengan perimbangan Tahun 2004 terdapat satu tahapan yang diatur
keuangan pusat dan daerah sesuai dengan yaitu perencanaan. Perencanaan penyusunan
pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” Undang-Undang dilakukan dalam suatu
tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Di dalam
hak dan/atau kewenangan, sehingga analog penyusunan Prolegnas tersebut, tidak disebutkan
atau sama dengan hak dan/atau kewenangan bagaimana keterlibatan DPD. Undang-undang
konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa Penyusunan Program
UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat
mengajukan rancangan undang-undang kepada dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan
DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani
sama dengan DPR dan Presiden dalam hal bidang legislasi. Penyusunan Program Legislasi
mengajukan RUU yang berkaitan dengan Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
otonomi daerah, hubungan pusat dan dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya legislasi. Penyusunan Program Legislasi Nasional
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pusat dan daerah. MK menilai, menempatkan bidang Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan
RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan
pengelolaan Program Legislasi Nasional diatur
14
Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 46 ayat (1) UU No.
dengan Peraturan Presiden.
12 Tahun 2011.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 203


Seiring dengan penggantian UU No. 10 DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya
Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011, untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud
terdapat ketentuan Pasal 21 UU No. 12 Tahun Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja
2011 menyebutkan bahwa Penyusunan Prolegnas RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga
antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan tidak akan dibahas. Berdasarkan pertimbangan
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang tersebut, menurut MK, norma Undang-Undang
khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan
Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD
oleh alat kelengkapan DPR yang khusus yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan
menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas demikian permohonan DPD beralasan menurut
di lingkungan DPR dilakukan dengan hukum.
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, Meskipun kewenangan DPD mengenai
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. DPD Prolegnas tidak diatur di dalam UUD 1945,
mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU No. namun MK melakukan penafsiran struktural,
12 tahun 201115 telah meniadakan kewenangan yaitu dengan mengaitkannya terhadap Pasal
DPD untuk dapat mengajukan RUU, baik 22D ayat (1) UUD 1945 berkenaan dengan
di dalam maupun di luar Program Legislasi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU
Nasional (Prolegnas). tertentu. Tanpa keterlibatan DPD dalam
Terhadap dalil DPD tersebut, menurut penyusunan Prolegnas, maka terdapat
MK, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam kemungkinan DPD tidak dapat mengajukan
penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan RUU mengingat RUU yang akan diajukan
konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD kemungkinan tidak masuk dalam daftar
1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Prolegnas atau prioritas.
Daerah dapat mengajukan kepada Dewan c. Pembahasan RUU
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang UU No. 22 Tahun 2003 mengatur bahwa
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan dalam hal ikut membahas RUU, DPD diundang
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran oleh DPR untuk melakukan pembahasan
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber rancangan undang-undang bersama dengan
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I
serta yang berkaitan dengan perimbangan sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pembicaraan
keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Tingkat I yang dimaksud dilakukan bersama
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam
pembentukan undang-undang merupakan hal penyampaian pandangan dan pendapat
bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/ DPD atas rancangan undang-undang, serta
atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang tanggapan atas pandangan dan pendapat dari
dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 masing-masing lembaga. Pandangan, pendapat,
UU 12 Tahun 2011, perencanaan penyusunan dan tanggapan tersebut dijadikan sebagai
Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara
yang merupakan skala prioritas program DPR dan pemerintah.
pembentukan Undang-Undang dalam rangka Tambahan pengaturan mengenai
mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan pembahasan undang-undang yang terdapat
demikian, RUU yang tidak masuk dalam dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah:
Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. 1) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah
Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-
menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin undang pada rapat komisi/panitia/alat
15
Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU No.
yang khusus menangani bidang legislasi.
12 Tahun 2011.

204 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


2) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
dalam pembahasan rancangan undang- dan penggabungan daerah; pengelolaan
undang diwakili oleh komisi yang sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
membidangi materi muatan rancangan lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
undang-undang yang dibahas. daerah, serta memberikan pertimbangan kepada
Pada periode berikutnya, UU No. 27 Tahun Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
2009 mengatur keikutsertaan DPD dengan undang-undang anggaran pendapatan dan
lebih maju, yaitu dalam pengantar musyawarah belanja negara dan rancangan undang-undang
dan pendapat mini pada tingkat I dan pendapat yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
mini tersebut disampaikan dalam laporan di agama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD
paripurna pada pembicaraan tingkat II sebelum sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/
diambil keputusan. atau kewenangan yang sama dengan DPR
DPD mendalilkan beberapa pasal dalam dan Presiden dalam membahas RUU yang
undang-undang16: berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
1) tidak mengikutsertakan DPD dalam seluruh pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
proses pembahasan RUU yang menjadi dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
kewenangan konstitusional DPD; daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
2) telah meniadakan kewenangan DPD serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
untuk mengajukan dan membahas Daftar Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam
Inventarisasi Masalah (DIM) yang justru Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20
merupakan “inti” dari pembahasan RUU; ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara
3) telah mereduksi kewenangan DPD dengan tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan
mengatur bahwa pembahasan RUU tetap Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
dilaksanakan meski tanpa keterlibatan Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah
DPD; wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan
4) menghilangkan kewenangan DPD karena pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun
setiap RUU sepanjang yang berkaitan 1999, sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan
dengan kewenangan DPD seharusnya pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun
dibahas oleh DPR yang diwakili oleh alat 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas”
kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang
Presiden yang diwakili oleh menteri yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
ditunjuk, dan DPD yang diwakili oleh alat pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
kelengkapan DPD; penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
Menurut pertimbangan MK, kewenangan perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama
DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan
tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang RUU harus melibatkan DPD sejak memulai
menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau
membahas rancangan undang-undang yang panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pengantar musyawarah, mengajukan, dan
membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM)
16
Pasal 65 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011; Pasal 150 ayat
(3) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 68 ayat (3) UU No. serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap
12 Tahun 2011 Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian
No. 27 Tahun 2009, serta Pasal 68 ayat (5) UU No. 12 DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan
Tahun 2011 Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1)
Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai
huruf a dan huruf b UU No. 27 Tahun 2009, serta Pasal
68 ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (4) huruf a dan dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut MK,
Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, serta ayat (3) UU pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan
No. 12 Tahun 2011.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 205


sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. telah menentukan dengan jelas bahwa DPD
Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan hanya berwenang ikut membahas RUU yang
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,
pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dan tidak ikut serta pada pemberian persetujuan
dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat
memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya,
Presiden memberikan pandangan. Konstruksi DPD dapat saja ikut membahas dan memberi
UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang
Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak
terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga memiliki hak memberi persetujuan terhadap
negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing- RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap
masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait
seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD
diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian, MK 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR
dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan dan Presidenlah yang memiliki hak memberi
RUU dengan membahas DIM yang diajukan persetujuan atas semua RUU. Kewenangan
oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU DPD yang demikian, sejalan dengan kehendak
sebelum perubahan UUD 1945. Selanjutnya awal (original intent) pada saat pembahasan
pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga
yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 2000
mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan
DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR bahwa kewenangan DPD termasuk memberi
sebagai satu kesatuan kelembagaan; persetujuan terhadap RUU untuk menjadi
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang, tetapi usulan tersebut ditolak.
menurut MK, Pasal 147, Pasal 150 ayat (2), ayat Pemahaman yang demikian sejalan dengan
(3) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 65 ayat (3), penafsiran sistematis17 atas Pasal 22D ayat (2)
Pasal 68 ayat (2), ayat (3) UU 12 Tahun 2011 UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2)
telah mengurangi kewenangan konstitusional UUD 1945.
DPD untuk membahas RUU sebagaimana yang Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945
ditentukan dalam UUD 1945. mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan
d. Ikut Menyetujui RUU untuk membahas dan kewenangan untuk
Ketentuan ikut menyetujui RUU bukan menyetujui bersama antara DPR dan Presiden,
merupakan kewenangan DPD yang disebutkan 17
Penafsiran sistematis adalah metode interpretasi yang
di dalam UUD 1945. Namun demikian, DPD antara lain diidentifikasikan oleh Sudikno Mertokusumo
dan A. Pitlo. Pengertiannya, terjadinya suatu Undang-
mendalilkan bahwa Pasal 71 huruf a, huruf d, dan
Undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-
huruf e, UU No. 27 Tahun 2009; Pasal 70 ayat undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang
(1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 telah berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan
mereduksi kewenangan konstitusional DPD sistem perundang-undangan. Setiap Undang-Undang
merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-
untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan
undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian
sebagai produk dari mekanisme ikut membahas dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
suatu RUU yang terkait dengan kewenangannya. jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain
Terhadap dalil permohonan tersebut, disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi
logis. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan
menurut MK, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 19-20.

206 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya Pimpinan DPR menyampaikan surat
menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut kepada Pimpinan DPD untuk memberikan
memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan pertimbangannya
tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut 3) Apabila Rancangan Undang-Undang,
memberi persetujuan terhadap RUU untuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menjadi Undang-Undang. Penafsiran ini sesuai berasal dari DPR, setelah Pimpinan DPR
dengan originalism, bahwa pembentukan DPD menyampaikan surat kepada Presiden,
memang dengan kewenangan terbatas dan Pimpinan DPR menyampaikannya juga
unequal dengan DPR. Bahkan Jimly menyebutkan kepada Pimpinan DPD untuk memberikan
dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanyalah pertimbangannya.
sebagai co-legislator di samping DPR. Sifat 4) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
tugasnya di bidang legislasi hanya menunjang ayat (2) dan ayat (3), disampaikan secara
(auxiliary agency) tugas konstitusional DPR.18
tertulis melalui Pimpinan DPR paling
e. Memberikan Pertimbangan lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
Dalam hal memberikan pertimbangan, UU diterimanya surat dari Pimpinan DPR,
No. 22 Tahun 2003 mengatur bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
DPD diberikan dalam bentuk tertulis sebelum ayat (3).
memasuki tahapan pembahasan antara DPR 5) Pada Rapat Paripurna berikutnya, setelah
dan pemerintah. Pertimbangan tersebut menjadi pertimbangan sebagaimana dimaksud
bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan pada ayat (4) diterima Pimpinan DPR,
dengan pemerintah. Dalam UU No. 10 Tahun Pimpinan DPR memberitahukan kepada
2004, tidak ada pengaturan atau penjabaran Anggota perihal diterimanya pertimbangan
lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan. atas rancangan undang-undang dan
Undang-undang hanya mengulang apa yang meneruskannya kepada Badan Musyawarah
disebutkan dalam UUD 1945 bahwa DPD untuk meneruskan kepada alat kelengkapan
memberikan pertimbangan kepada DPR atas yang akan membahasnya.
RUU tentang anggaran pendapatan dan belanja 6) Apabila dalam waktu sebagaimana
negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, dimaksud pada ayat (3), DPD belum juga
pendidikan, dan agama. memberikan pertimbangan, DPD dianggap
Peraturan Tata Tertib DPR yang tertuang tidak memberikan pertimbangan, dan
di dalam Keputusan DPR No.: 08/DPR RI/ pembahasan terhadap Rancangan Undang-
I/2005-2006 mengatur ketentuan pemberian Undang, sebagaimana dimaksud pada ayat
pertimbangan sebagai berikut: (1), dapat dilaksanakan.
1) Terhadap RUU yang berkaitan dengan 7) Hari kerja, sebagaimana dimaksud pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ayat (4) adalah hari kerja DPR pada Masa
pajak, pendidikan, dan agama, DPR menerima Sidang.
dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis Pada periode berikutnya UU No. 27 Tahun
yang disampaikan oleh DPD, sebelum 2009 mengatur hampir sama dengan apa yang
memasuki tahap pembahasan antara DPR diatur oleh Peraturan Tata Tertib, yaitu:
dengan Presiden. 1) DPR menerima dan menindaklanjuti
2) Apabila Rancangan Undang-Undang, pertimbangan tertulis terhadap rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), undang-undang tentang APBN dan
berasal dari Presiden, setelah Pimpinan rancangan undang-undang yang berkaitan
DPR menerima Surat Pengantar Presiden, dengan pajak, pendidikan, dan agama yang
disampaikan oleh DPD sebelum memasuki
18
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga tahap pembahasan antara DPR dan
Negara Pasca Reformasi, (cetakan kedua); Jakarta, Setjen
Presiden.
dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 83.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 207


2) Apabila rancangan undang-undang untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
dari Presiden, pimpinan DPR setelah pendidikan, dan agama.
menerima surat Presiden menyampaikan Berdasarkan uraian di atas, maka MK telah
surat kepada pimpinan DPD agar DPD melakukan penafsiran mengenai kewenangan
memberikan pertimbangannya. legislasi DPD melalui putusannya terhadap uji
3) Apabila rancangan undang-undang materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2009
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang
dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan diajukan oleh DPD. Penafsiran MK melalui
surat kepada pimpinan DPD agar DPD putusan tersebut menjabarkan lebih lanjut
memberikan pertimbangannya. ketentuan mengenai kewenangan legislasi
4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud DPD. Beberapa point penting dalam putusan
pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan MK terkait dengan kewenangan DPD adalah:
secara tertulis melalui pimpinan DPR 1. menempatkan RUU dari DPD sebagai
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh
diterimanya surat dari pimpinan DPR, Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU
kecuali rancangan undang-undang tentang dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi
APBN disampaikan paling lambat 14 (empat kewenangan DPD;
belas) hari sebelum diambil persetujuan 2. Pasal 147, Pasal 150 ayat (2), ayat (3)
bersama antara DPR dan Presiden. UU No. 27 tahun 2009 dan Pasal 65 ayat
5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan (3), Pasal 68 ayat (2), ayat (3) UU No. 12
DPR memberitahukan kepada anggota Tahun 2011 telah mengurangi kewenangan
DPR perihal diterimanya pertimbangan konstitusional DPD untuk membahas RUU
DPD atas rancangan undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam UUD
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan 1945;
meneruskannya kepada Badan Musyawarah 3. DPD tidak ikut memberi persetujuan
untuk diteruskan kepada alat kelengkapan terhadap RUU untuk menjadi undang-
yang akan membahasnya. undang;
DPD mendalilkan, Pasal 71 huruf f dan 4. Norma undang-undang yang tidak
huruf g, serta Pasal 107 ayat (1) huruf c UU No. melibatkan DPD dalam penyusunan
27 Tahun 2009 bermakna bias dan mengaburkan Program Legislasi Nasional telah mereduksi
esensi DPD dalam proses pembahasan RUU kewenangan DPD yang ditentukan oleh
yang terkait dengan kewenangannya. Selain itu, UUD 1945;
tugas Badan Anggaran dalam pembahasan RUU 5. “memberikan pertimbangan” sebagaimana
APBN tidak mempertimbangkan pertimbangan yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD
DPD. 1945 adalah tidak sama dengan bobot
Terhadap dalil DPD tersebut, menurut kewenangan DPD untuk ikut membahas
MK, makna “memberikan pertimbangan” RUU. Artinya, DPD memberikan
sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) pertimbangan tanpa ikut serta dalam
UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot pembahasan dan merupakan kewenangan
kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. DPR dan Presiden untuk menyetujui atau
Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa tidak menyetujui pertimbangan DPD
ikut serta dalam pembahasan dan merupakan sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting
kewenangan DPR dan Presiden untuk adalah adanya kewajiban dari DPR dan
menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan Presiden untuk meminta pertimbangan.
DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting
adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden

208 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


B. Tindak Lanjut Putusan MK dan pembahasan prolegnas tahunan akan
Adanya putusan MK tersebut, bukan mengalami perubahan apabila mendasarkan
berarti tidak menyisakan permasalahan di dalam putusan MK, yang semula DPD terintegrasi ke
implementasinya. Masih terdapat beberapa hal dalam usulan DPR menjadi pihak tersendiri,
yang perlu disepakati secara politis dan diperjelas sehingga pembahasan akan dilakukan secara
dalam pelaksanaan putusan tersebut. Putusan tripartit, yaitu antara DPR, Presiden, dan
MK memang final and binding dan putusan DPD. Masing-masing lembaga menyiapkan
pengadilan memiliki kekuatan hukum yang usulan dan kemudian usulan tersebut dibahas
sama dengan undang-undang, dengan demikian secara bersama. Pembahasan tetap dilakukan
pada dasarnya putusan MK harus langsung di DPR dengan melibatkan ketiga lembaga
dilaksanakan tanpa perlu melakukan perubahan tersebut. Keputusan juga harus disepakati
terlebih dahulu terhadap undang-undang terkait. oleh ketiga lembaga tersebut. Mengingat
Namun demikian, akan terdapat celah-celah penetapan Prolegnas dengan Keputusan DPR
kekosongan hukum untuk mengatur mekanisme tidak dibatalkan oleh MK, maka pengambilan
pelaksanaannya secara lebih teknis, sebagaimana keputusan dilakukan di Rapat Paripurna
yang akan diuraikan berikut ini: DPR dan ditetapkan dengan bentuk hukum
a. Prolegnas keputusan DPR. Berkenaan dengan format
Berdasarkan undang-undang, Prolegnas daftar Prolegnas, sekarang ini format daftar
ditetapkan untuk satu periode keanggotaan prolegnas tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
(5 tahun). Selanjutnya setiap tahunnya dalam UU No. 12 Tahun 2011. Format daftar
ditetapkan Prolegnas Prioritas Tahunan. Prolegnas 5 tahunan hanya terdiri dari 3 kolom,
Menurut ketentuan undang-undang, Prolegnas yaitu Nomor, Judul, dan Keterangan.
prioritas tahunan tersebut seharusnya sudah No. Judul Keterangan
ditetapkan sebelum penetapan RUU APBN
(bulan Oktober), namun ketentuan ini belum Format daftar Prioritas Tahunan terdiri dari
pernah dipenuhi. Prolegnas prioritas tahunan 4 kolom sebagai berikut:
sebelumnya ditetapkan pada akhir tahun.
PENYIAPAN
Terkait dengan putusan MK berkenaan dengan JUDUL
NO RUU DAN KETERANGAN
kewenangan DPD dalam penetapan Prolegnas, RUU
NA
untuk prolegnas 5 tahunan tentunya sudah
tidak dapat dilakukan karena telah ditetapkan
pada awal masa keanggotaan dan putusan Berdasarkan Pasal 19 UU No. 12 Tahun
MK ini tentunya tidak berlaku surut. Dengan 2011, Prolegnas memuat program pembentukan
demikian putusan ini hanya akan diterapkan Undang-Undang dengan judul Rancangan
pada saat penyusunan, pembahasan, dan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
penetapan Prolegnas Prioritas Tahun 2014 keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
atau tahun terakhir periode keanggotaan DPR undangan lainnya. Materi yang diatur dan
dan DPD. Permasalahan muncul mengingat keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
Prolegnas Prioritas Tahunan itu sendiri undangan lainnya merupakan keterangan
mendasarkan pada Prolegnas yang 5 Tahunan. mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang
Dengan demikian, ada potensi bahwa dalam yang meliputi:
pembahasan Prolegnas prioritas tahun 2014 a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
yang melibatkan DPD, akan terjadi evaluasi b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
terhadap Prolegnas 5 Tahunan. c. jangkauan dan arah pengaturan.
Selanjutnya terkait dengan masalah
teknis mekanisme pembahasan dan format Dengan demikian, apabila digambarkan
daftar Prolegnas. Mekanisme penyusunan dalam format, maka seharusnya format Prolegnas
adalah sebagai berikut:

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 209


Keterkaitan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
dengan “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan
Judul Materi yang Peraturan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang
No. Keterangan
RUU diatur Perundang- berasal dari DPD disampaikan secara tertulis
undangan
oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan
lain
kepada Presiden”
Berisi:
latar belakang Seharusnya DPR yang menyampaikan
dan tujuan
RUU usul DPD tersebut kepada Presiden dan
penyusunan;
sasaran meminta agar Presiden menunjuk Menteri yang
yang ingin mewakilinya dalam pembahasan. Demikian
diwujudkan; pula dengan RUU dari Presiden. Putusan MK
dan
menyatakan:
jangkauan
dan arah
“Pasal 144 bertentangan dengan Undang-
pengaturan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
Kolom keterangan merupakan tambahan mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
yang dapat digunakan untuk memberikan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
keterangan sebagaimana yang telah dilakukan diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan
selama ini, yaitu apakah RUU tersebut dan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk
Naskah akademiknya disiapkan oleh DPR, Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
Pemerintah, dan sesuai dengan keputusan MK dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
ditambah dengan DPD. Dengan demikian, daerah, pembentukan dan pemekaran serta
prolegnas tidak sekedar terlihat sebagai daftar penggabungan daerah, pengelolaan sumber
kumpulan judul RUU, melainkan dapat terbaca daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan
kemana arah pengaturan yang hendak dituju.
daerah”.
Termasuk pula untuk mengantisipasi adanya
perbedaan penafsiran apakah sebuah RUU Apabila MK konsisten dengan penafsiran
terkait dengan kewenangan DPD untuk dapat kewenangan DPD sama dengan kewenangan
mengajukan dan membahas; memberikan Presiden, maka Presiden hanya mengajukan RUU
pertimbangan; atau tidak terkait dengan kepada DPR, dan DPR yang akan menyampaikan
kewenangan DPD. Selama ini masih ada dan mengundang DPD untuk membahas bersama
beberapa RUU yang masuk ranah “abu-abu”, atau memberikan pertimbangan. DPR merupakan
seperti RUU tentang Kepelabuhan. Penetapan muara dari pengajuan RUU, meskipun kemudian
di awal melalui Prolegnas akan mencegah tidak dapat mengambil keputusan terhadap RUU
potensi terjadinya sengketa kewenangan antara tersebut sebelum dibahas secara bersama.
DPD dengan DPR dan Presiden. Apalagi sebelum adanya pemetaan
kewenangan yang tertuang di dalam Prolegnas,
b. Pengajuan RUU
ada potensi terjadinya perbedaan pendapat
UUD 1945 menyebutkan bahwa RUU DPD
mengenai substansi RUU. Ada kemungkinan
diajukan kepada DPR. Berdasarkan putusan
DPD atau Presiden menganggap materi
MK, DPR tidak lagi melakukan pembahasan
muatan RUU tersebut masuk ke dalam
atau pengambilan keputusan terhadap RUU
kewenangan DPD, namun DPR dapat
tersebut. Namun demikian, DPD tidak dapat
berpendapat sebaliknya. Untuk mengantisipasi
secara bersamaan juga “mengajukan RUU”
hal tersebut, maka sebaiknya pemetaan RUU
kepada Presiden, sebagaimana putusan MK
dan keterkaitannya dengan kewenangan DPD
yang menyebutkan:
“Pasal 146 ayat (1) bertentangan dengan Undang-
harus dilakukan terlebih dahulu dan ditetapkan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Prolegnas.
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

210 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


c. Ikut membahas Presiden. Sementara apabila RUU dari DPR
Hal penting yang harus dicermati terkait kolom DIM nya adalah: No. DIM; RUU;
dengan putusan MK mengenai kewenangan Usulan Presiden; dan Usulan DPD. Hal yang
DPD ikut membahas RUU bersama dengan perlu diantisipasi berikutnya adalah pengaturan
DPR dan Presiden adalah pada saat pembahasan jadwal atau waktu pembahasan. Perlu ada
DIM. Selama ini Presiden merupakan satu waktu yang cukup bagi DPD untuk menyiapkan
kesatuan lembaga (meskipun dalam pembahasan DIM, mengingat DPD harus menyatukan
terkadang di antara kementerian terdapat pendapat dan aspirasi dari daerah-daerah yang
perbedaan pendapat), demikian pula dengan direpresentasikan oleh anggotanya.
DPD, apakah ada perbedaan pendapat Berdasarkan analisis di atas, terdapat
antardaerah yang direpresentasikan oleh anggota beberapa hal yang langsung dapat diterapkan
DPD, namun permasalahan tersebut harus dan ada beberapa hal yang masih harus
sudah diselesaikan di internal lembaga masing- dikoordinasikan oleh DPR, Presiden, dan DPD.
masing dan ketika pembahasan, kedua lembaga Selain dengan melakukan perubahan terhadap
tersebut satu pendapat. Berbeda dengan DPR yang undang-undang terkait, dapat dilakukan
komposisinya terdiri dari fraksi-fraksi, kecuali pula pembentukan peraturan bersama.
dalam hal RUU berasal dari DPR karena sudah Tuntutan DPD terhadap kewenangannya
melalui pembahasan di internal DPR. Untuk sebenarnya sudah disampaikan bahkan mulai
RUU yang disampaikan oleh Pemerintah dan pada periode sebelumnya. DPR dan DPD
DPD, mekanisme yang berlangsung sekarang sudah pernah bertemu dan satu hal positif
ini, bukan dibahas terlebih dahulu oleh fraksi- yang telah dicapai adalah kesepakatan terkait
fraksi untuk menghasilkan satu pendapat dengan penyelenggaraan Sidang Bersama
DPR, melainkan langsung dibahas dengan DPR dan DPD untuk mendengarkan pidato
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kenegaraan Presiden bulan Agustus, dan
berisikan pendapat fraksi-fraksi. Tidak mungkin Sidang DPR dalam rangka penyampaian RUU
pembahasan RUU yang diusulkan oleh Presiden APBN dan Nota Keuangannya. Peraturan
dan DPD hanya disandingkan dengan satu DIM, bersama mengenai hubungan mekanisme
pendapat DPR. Pendapat DPR diputuskan kerja antara DPR dan DPD sebenarnya sudah
menjadi satu pada Pembicaraan tingkat II ada dalam bentuk rancangan, namun belum
ketika Pimpinan Rapat Paripurna menanyakan dibahas secara menyeluruh. Muncul pesimisme
persetujuan masing-masing fraksi. Apabila mengingat periode keanggotaan DPR dan DPD
masih terdapat perbedaan pendapat, maka saat ini sudah menjelang akhir, namun demi
keputusan dilakukan melalui suara terbanyak peningkatan kinerja legislasi, upaya tersebut
(voting). Setelah voting di DPR, baru kemudian harus dilakukan. Apabila tidak dapat digunakan
ditanyakan pendapat Presiden. Dalam hal ini, untuk periode ini, paling tidak DPR dan DPD
DPD tidak dimintakan pendapatnya karena periode ini memberikan landasan atau dasar bagi
RUU ditetapkan menjadi undang-undang bekerjanya DPR dan DPD periode berikutnya
hanya dengan persetujuan bersama DPR dan dan juga menjadi bahan untuk penyempurnaan
Presiden. Ada kemungkinan Presiden tidak undang-undang berikutnya.
menyetujui pendapat DPR hasil voting tersebut,
sehingga RUU tidak mendapatkan persetujuan IV. PENUTUP
bersama. A. Kesimpulan
Dengan demikian, untuk RUU dari Presiden Adanya putusan MK terkait dengan
kolom DIM nya adalah No. DIM; RUU; Usulan kewenangan legislasi DPD telah mengubah
Fraksi-Fraksi; dan Usulan DPD. Demikian pula praktek ketatanegaraan, khususnya di bidang
apabila RUU dari DPD kolomnya adalah No. legislasi atau pembentukan undang-undang.
DIM; RUU; Usulan Fraksi-Fraksi; dan Usulan Putusan MK sekaligus juga merupakan

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 211


penafsiran bagaimana menjabarkan ketentuan Meskipun putusan MK langsung berlaku
yang ada di dalam UUD 1945 ke dalam undang- dan dapat dilaksanakan, namun implementasi
undang. Terdapat beberapa penafsiran dalam terhadap putusan tersebut masih memerlukan
undang-undang yang dikoreksi melalui putusan pengaturan mekanisme teknis lebih lanjut.
MK, yaitu: Untuk itu, perlu ada koordinasi antara Presiden,
1. Mengenai kewenangan “dapat mengajukan DPR, dan DPD mengenai mekanisme teknis
RUU kepada DPR”, MK menyamakan pembentukan undang-undang pasca putusan
kewenangan tersebut dengan kewenangan MK tersebut.
Presiden yang berhak mengajukan RUU
kepada DPR. Perbedaannya Presiden B. Saran
berhak mengajukan RUU tanpa dibatasi Salah satu hal penting dari pembentukan
bidang tertentu, sementara DPD dibatasi undang-undang adalah dimulai dari perencanaan
untuk bidang tertentu sebagaimana yang dalam hal ini Prolegnas. Prolegnas
disebutkan dalam UUD 1945. Dengan dapat dikatakan menjadi pintu masuk bagi
persamaan kewenangan tersebut, maka pembentukan undang-undang dan bagaimana
DPR tidak lagi melakukan pembahasan keterlibatan DPD dalam pembentukan
maupun pengambilan keputusan terhadap undang-undang. Selain mengubah mekanisme
RUU yang diusulkan oleh DPD dan penyusunan dan penetapan, hal penting yang
kemudian menjadikan RUU usul DPD harus dilakukan adalah mengubah format daftar
tersebut sebagai RUU dari DPR. prolegnas dengan disesuaikan undang-undang
2. Pengajuan RUU terkait dengan perencanaan dan menambahkan keterangan kapasitas DPD
yang tertuang di dalam Prolegnas. Untuk itu dalam pembentukan RUU tersebut, apakah
DPD juga mempunyai kewenangan untuk dapat mengajukan dan membahas bersama;
mengusulkan, membahas, dan memberikan memberi pertimbangan; atau tidak terkait
persetujuan terhadap Prolegnas. dengan kewenangan DPD. Dengan adanya
3. Mengenai “ikut membahas RUU”, kesepakatan tersebut, akan memudahkan
DPD tidak lagi sekedar menyampaikan tahapan berikutnya, yaitu penyusunan dan
pandangan dan pendapat melainkan pembahasan, karena tidak akan ada lagi
ikut serta dalam pembahasan, yang di perdebatan apakah RUU tersebut terkait
dalam mekanisme DPR dilakukan melalui dengan kewenangan DPD atau tidak.
pembahasan DIM. Selanjutnya, agar pembentukan undang-
4. Namun demikian, meskipun DPD juga undang dapat lebih efektif, diperlukan adanya
meminta dapat memberikan persetujuan peraturan yang mengatur mekanisme teknis
terhadap RUU untuk disahkan menjadi pembentukan undang-undang antara DPR dan
undang-undang, MK memutuskan bahwa DPD. Peraturan tersebut telah dirintis sehingga
kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh yang perlu dilakukan berikutnya adalah
DPD, melainkan tetap hanya dimiliki oleh melanjutkan pembahasan peraturan bersama
DPR dan Presiden. tersebut. Meskipun tidak dapat digunakan
5. Terhadap kewenangan memberikan untuk periode sekarang, namun paling tidak
pertimbangan, MK juga tidak memberikan dapat memberikan landasan bagi DPR dan
kewenangan lebih. Ada kewajiban DPR DPD periode berikutnya.
dan Presiden untuk meminta pertimbangan
DPD atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama, namun pertimbangan tersebut
sifatnya tetap tidak mengikat.

212 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


DAFTAR PUSTAKA Internet
M. Arsyad Sanusi, Legal Reasoning dalam
Penafsiran Konstitusi dalam http://arfanhy.
blogspot.com/2009/03/legal-reasoning-
Buku dalam-penafsiran.html diakses pada tanggal
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan Konsolidasi 22 Oktober 2013.
Lembaga Negara Pasca Reformasi.(cetakan
kedua). Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Peraturan Perundang-undangan
MKRI, 2006. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Indonesia Tahun 1945.
Jakarta; PT. Gramedia, 1988. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
Chen, Albert H. Y. The Interpretation of the Basic 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Law-Common Law and Mainland Chinese Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Perspectives. Hong Kong: Hong Kong Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Journal Ltd., 2000. Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy; Rakyat Daerah. (Lembaran Negara
Government Forms and Performance in Thirty Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
Six Countries. Yale University Press, 1999 92; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4310).
Mason, Anthony. The Interpretation of a
Constitution in a Modern Liberal Democracy, Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor
dalam Charles Sampford and Kim Preston 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
(Ed.), Interpreting Constitutions – Theories, Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran
Principles and Institutions. Leichhardt, The Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Federation Press, 1996. Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389).
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Penemuan
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Palguna, I Dewa Gede. Susunan dan Kedudukan Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Dewan Perwakilan Daerah. Makalah pada Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Focus Group Discussion “Kedudukan dan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik
Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Indonesia Tahun 2009 Nomor 123;
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia” di Semarang, 25 Maret 2003 dan Indonesia Nomor 5043).
di Malang, 26 Maret 2003 dalam Janedjri
M. Gaffar. et all (editor), Dewan Perwakilan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Republik Indonesia, Jakarta; Setjen MPR- Peraturan Perundang-undangan. Lembaran
UNDP, 2003. Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Republik Indonesia Nomor 5234).
Citra Aditya Bakti, 2006.
Samsul, Innosentius, et all. (Tim Hukum Putusan Pengadilan
P3DI, Setjen DPR RI). Ruang Lingkup dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi Indonesia Nomor 92/PUU-X/2012.
DPD. Jakarta, P3I Setjen DPR RI, 2003.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 213


URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

Denico Doly*
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
e-mail: nico_tobing@yahoo.com.

Abstract
Broadcasting Act is the legal basis for broadcasters and regulators in the field of broadcasting in carrying
out their duties and responsibilities. Setting the Broadcasting Act are no longer able to reach all aspects
of broadcasting activities in Indonesia. The setting in the Broadcasting Act is still considered weak by
many things. Weakness in the Broadcasting Act related to the weakening of the KPI effort, Networked
Broadcast System that do not materialize, the weak institutional status of LPP, weak regulation of LPK,
and not realize the implementation of restritions on the ownership of LPS. Therefore, the need for
fundamental changes to the Law No. 32 Year 2002 on Broadcasting associated with efforts to strengthen
KPI. Reaffirmation network broadcast system, institutional strengthening LPP, reinforcement pf LPK, and
assertion of ownership restriction LPS.

Kata Kunci: UU Penyiaran, Urgensi, RUU Penyiaran

I. PENDAHULUAN tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Selama


A. Latar Belakang hampir 27 tahun, radio siaran hanya diatur
Penyelenggaraan penyiaran di beberapa oleh aturan-aturan yang tersebar di berbagai
negara di dunia diatur dalam peraturan peraturan perundang-undangan. Namun
perundang-undangan yang berlaku di negara memasuki tahun 1997, dengan proses yang
tersebut. Indonesia mengatur penyelenggaran cukup panjang. Dewan Perwakilan Rakyat
penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya
Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). menyetujui Rancangan Undang-Undang
Pengaturan tentang penyiaran di Indonesia tentang Penyiaran yang kemudian disahkan
bermula sejak sebelum kemerdekaan, dengan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor
dikeluarkannya Radiowet oleh pemerintah 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran pada tanggal
Hindia Belanda pada tahun 1934. Secara tidak 29 September 1997.
langsung peraturan tersebut dijadikan pijakan Pada masa berlakukannya, Undang-Undang
untuk pendirian NIROM (Nederlands Indische Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran
Radio Omroep Maatschaapij) yang memperoleh diwarnai dengan pro kontra terutama berkaitan
hak-hak istimewa dari pemerintah Hindia dengan lembaga pengawas Badan Pertimbangan
Belanda.1 Setelah kemerdekaan Republik dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N)
Indonesia, pengaturan radio siaran swasta dan penghapusan Departemen Penerangan.
berkembang seiring dengan bermunculannya Adanya BP3N dalam Undang-Undang Nomor
radio-radio siaran dan radio komunikasi 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dianggap
terutama pada masa peralihan orde lama ke orde sebagai sebuah badan otoriter yang mengatur
baru. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan mengenai penyiaran. Sedangkan penghapusan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 Departemen Penerangan dianggap oleh Presiden

1
“harian radio”, http://www.jakarta.go.id/, diakses tanggal 16 Januari 2013.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 215


ke-4 Abdurahman Wahid (Gus Dur) merupakan berada dalam wilayah Pemerintah yang dalam
langkah awal bagi masyarakat dalam kebebasan hal ini yaitu Kementerian Komunikasi dan
berpendapat. Gus Dur berpendapat bahwa adanya Informatika. Argumentasi Pemerintah yaitu
Departemen Penerangan merupakan departemen frekuensi merupakan kekayaan negara yang
yang mengancam kebebasan berpendapat. Akan harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran
tetapi dengan dibubarkannya Departemen rakyat. Selain itu juga banyak masyarakat menilai
Penerangan ini menimbulkan masalah baru, bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
yaitu tidak adanya kontrol dari Pemerintah tentang Penyiaran masih belum mendukung
terhadap media, sehingga media dengan bebas reformasi dan mengekang kebebasan pers. Akan
mengatur mengenai opini publik, selain itu juga tetapi Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar
banyaknya pengangguran yang dihasilkan dari Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
pembubaran Departemen Penerangan tersebut. Tahun 1945) mengatakan bahwa dalam hal
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
Penyiaran saat itu dipandang tidak sesuai lagi bersama antara DPR RI dengan Presiden tidak
dengan perkembangan dunia teknologi dan disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh
juga perkembangan penyelenggaran penyiaran hari semenjak Rancangan Undang-Undang
di Indonesia. Oleh sebab itu, pada tahun tersebut disetujui, Rancangan Undang-Undang
2002, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
Tentang Penyiaran dicabut dan diganti dengan diundangkan. Oleh karena itu UU Penyiaran sah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang diundangkan pada tanggal 28 Desember 2002.
Penyiaran. UU Penyiaran mempunyai semangat yang
Diundangkannya UU Penyiaran sempat berbeda dengan Undang-Undang Nomor 24
menjadi perbincangan pada saat itu, hal ini Tahun 1997. Adapun perbedaan semangat
dikarenakan UU Penyiaran tidak ditandatangani tersebut dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1)
oleh Presiden. Tidak ditandatanganinya UU Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran saat itu dikarenakan adanya argumentasi Penyiaran yang menyebutkan bahwa penyiaran
dari Presiden bahwa masih banyaknya substansi dikuasai oleh negara yang pembinaan dan
yang terdapat dalam UU Penyiaran yang belum pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah.
disetujui oleh Pemerintah. Adapun substansi Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu
tersebut yaitu terkait dengan keberadaan KPI dan media penyiaran digunakan untuk kepentingan
juga kewenangan pemerintah dalam pemberian izin pemerintah.3 Dengan adanya UU Penyiaran pada
penyelenggaraan penyiaran.2 Kedua substansi ini tahun 2002 terlihat bahwa proses demokratisasi
dirasakan oleh Pemerintah tidak dapat dijalankan di Indonesia menempatkan publik sebagai
dikarenakan adanya pembentukan lembaga pemilik dan pengendali utama penyelenggara
baru yaitu KPI. Pembentukan lembaga baru ini penyiaran.
menurut pemerintah akan menimbulkan pro Sejak diundangkannya Undang-Undang
kontra dari masyarakat terkait dengan kebebasan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, masih
berpendapat. Pemerintah juga berpendapat bahwa banyak ditemukan permasalahan. Penerapan
izin penyelenggaraan penyiaran seharusnya substansi dalam UU Penyiaran belum dapat
dilaksanakan dengan maksimal. Selain itu juga
2
Saat itu Presiden Megawati Soekarnoputri tidak
masih banyak penafsiran dalam UU Penyiaran,
menandatangani UU Penyiaran sebagai Undang-Undang.
Tidak ada penjelasan secara resmi yang disampaikan sehingga belum dapat dijalankannya perintah
oleh Presiden mengenai tidak ditandatanganinya UU dalam UU Penyiaran. Dewan Perwakilan Rakyat
Penyiaran. Akan tetapi berdasarkan keterangan salah Republik Indonesia bersama-sama dengan
seorang Tim Asistensi yang mendampingi pembentukan
Pemerintah telah membentuk Program legislasi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
diperoleh keterangan bahwa kedua hal tersebut yang
3
“latar belakang pembentukan KPI”, http://kpid.jatengprov.
menyebabkan tidak ditandatanganinya Undang-Undang go.id/index.php?option=com_content&view=article&id
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. =1&Itemid=57, diakses tanggal 16 Januari 2013.

216 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014. Adapun umum. Layanan ini dapat meliputi transmisi
salah satu undang-undang yang masuk dalam suara, transmisi televisi, atau jenis transmisi
Prolegnas tersebut yaitu Rancangan Undang- lainnya.”
Undang tentang Penyiaran. Masuknya UU UU Penyiaran dalam Pasal 1 angka
Penyiaran dalam Prolegnas tahun 2010-2014 2 menyebutkan bahwa penyiaran adalah
menjadi suatu momentum bagi bangsa ini untuk kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
mengubah dan menata kembali peraturan pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat,
yang mengatur mengenai penyelenggaraan di laut atau di antariksa dengan menggunakan
penyiaran. spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel,
dan/atau media lainnya untuk dapat diterima
B. Permasalahan secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat
UU Penyiaran saat ini belum dapat dengan perangkat penerima siaran. Hal ini berarti
dijalankan dengan maksimal. Masih banyak kegiatan penyiaran merupakan kegiatan yang
ditemui permasalahan dalam penerapan dilakukan dengan menggunakan alat tertentu
undang-undang tersebut. Permasalahan ini yang perantaraanya melalui spektrum frekuensi.
kemudian mengakibatkan belum terciptanya Sedang sistem penyiaran diartikan sebagai
kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan yang teratur sehingga prosedur
melakukan kegiatan penyiaran. Berdasarkan memiliki serangkaian langkah dan klafisikasi
apa yang dikemukan diatas, maka permasalahan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Sebagai
yang akan diangkat dalam tulisan ini yaitu: sebuah sistem, penyiaran memiliki ciri-ciri
1. Apakah permasalahan dalam UU yang merupakan kesatuan holistik dari elemen-
Penyiaran? elemen yang memiliki hubungan tertentu. Jadi
2. Bagaimana mengatasi permasalahan dalam dapat disimpulkan bahwa sistem penyiaran
UU Penyiaran? merupakan rangkaian penyelenggaraan penyiaran
yang teratur dan menggambarkan interaksi
C. Tujuan dan Kegunaan berbagai elemen di dalamnya, seperti tata nilai,
Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu institusi, individu, broadcaster, dan program
untuk mengkaji mengenai urgensi dari siaran. Sistem penyiaran melingkupi pula
perubahan UU Penyiaran dan juga sebagai prosedur dan klasifikasi yang tersimpul dalam
masukan dalam pembahasan perubahan UU aturan main, seperti undang-undang.4
Penyiaran. Pasal 1 angka 9 UU Penyiaran juga
menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran adalah
II. KERANGKA PEMIKIRAN penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran
A. Penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga
Broadcasting dalam bahasa Inggris penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran
diartikan sebagai pengiriman program oleh berlangganan yang dalam melaksanakan tugas,
media radio dan televisi. Definisi tentang fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada
penyiaran lainnya ada dalam Konvensi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
International Telecomunication Union (ITU) yang Hal ini berarti bahwa lembaga penyiaran tunduk
menjelaskan tentang broadcasting service sebagai kepada peraturan perundang-undangan yang
berikut: “a radio communication service which berlaku termasuk UU Penyiaran.
the transmission are intended for direct reception Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran
by the general publik. This service may include berkaitan dengan prisip-prinsip penjaminan
sound transmissions, televisions transmission or dari negara agar aktivitas penyiaran yang
the other types of transmission.” Atau “layanan dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak
komunikasi radio transmisi yang dimaksudkan
untuk penerimaan langsung oleh publik secara 4
Masduki, Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal,
Yogyakarta : LKIS, 2007, hal 1-4.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 217


positif bagi publik. Prinsip dasar penyelenggaran 2. Aspek hukum perizinan penyiaran yang
penyiaran inilah yang menjadi pegangan dalam diatur dalam UU Penyiaran dan peraturan
pelaksanaan penyelenggaraan penyiaran di pelaksana lainnya.
Indonesia. Prinsip penyiaran yang terdapat 3. Aspek hukum program siaran yang meliputi
dalam UU Penyiaran yaitu adanya prinsip aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu
keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) program siaran disiarkan, strandar program
dan keberagaman isi (diversity of content).5 dan isi siaran, serta aturan hukum lain yang
harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran.
B. Hukum Penyiaran 4. Aspek hukum pidana, dimana ketentuan-
Hukum Penyiaran merupakan bagian kecil ketentuan yang diatur dalam UU Penyiaran
(genre) dari Hukum Telekomunikasi (genus). terdapat ketentuan pidana yang dikenakan
Hukum Telekomunikasi merupakan primat kepada pelanggar praktik penyiaran.
hukum khusus atau lex specialis yang mengkaji
dan mengatur hal-hal yang berkenaan dengan C. Teori Hukum Responsif
telekomunikasi. Hukum Telekomunikasi sendiri Pembentukan suatu undang-undang
bersandar kepada konvensi-konvensi, perjanjian- didalam suatu Negara diharapkan dapat
perjanjian internasional dan kebiasaan internasional menjadikan masyarakat dijamin kehidupannya
(international costumary law). Setelah ditetapkannya dan juga masyarakat menjadi sejahtera dengan
ITU sebagai organ khusus Persatuan Bangsa-Bangsa asas berkeadilan. Masyarakat yang akan
(PBB) yang mengatur masalah telekomunikasi, membaca dan menganut suatu peraturan tidak
peraturan-peraturan internasional seperti konvensi, lagi menjadikan suatu peraturan itu adalah
konstitusi, dan resolusi ITU menjadi pedoman seuatu alat untuk mengekang kebebasan dari
utama dalam pembentukan aturan nasional. masyarakat itu sendiri. Suatu peraturan dibuat
Salah satu alasan mendasar adanya ketertautan agar masyarakat dapat bahagia. Suatu produk
ini adalah sifat dan karakteristik teleokomunikasi, hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan
khususnya telekomunikasi nirkabel (wireless memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
telecomunication) yang memanfaatkan gelombang pembuatannya memberikan peranan besar
radio (elektromagnetik) sebagai sarana penghantar. dan pratisipasi kelompok sosial atau individu
Sifat dan karakteristik tersebut memungkinkan didalam masyarakat.7 Pembentukan hukum
sulitnya membedakan pengaturan secara teknis yang berkarakter responsif biasanya dapat
oleh masing-masing negara. memberikan peluang bagi pemerintah untuk
Dalam mengkaji perihal penyiaran, terdapat membuat penafsiran sendiri melalui berbagai
empat substansi hukum yang berbeda, tetapi peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit
saling bertautan satu sama lainnya. Empat itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-
substansi tersebut yaitu:6 betul bersifat teknis.
1. Aspek teknikal atau aspek teknologi, Philippe Nonet dan Philip Selznick merupakan
dalam dunia penyiaran, lembaga penyiaran dua nama yang dikenal luas sebagai pencetus Teori
menggunakan spektrum frekuensi dan juga Pembangunan Hukum (Development Theory of
sistem digitalisasi penyiaran. Law), suatu teori yang diangkat dari kajian hukum
menurut perspektif ilmu politik. Dua nama ini,
Nonet & Selznick kerap diperbincangkan karena
5
Prinsip ini dapat dilihat pada “it is about public access to a
range of voices an a range of content, irrespective of pattern mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam
of demand. The definition of pluralism embrace both diversity teori pembangunan hukumnya, yaitu tipe hukum
of ownership (i.e. the existence of a variety of seperate and represif, otonom, dan responsif.
automous media suppliers) and diversity of out put (i.e. Varied
Media content). “Gillian Doyle. Media Ownership. (Sage
Press, 2002), hal. 5.
6
Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Jakarta: Rajagrafindo 7
Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di Indonesia,
Persada, 2010, hal. 6-7. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal 25.

218 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Philip Nonet dan Philip Selznick Hukum responsif di Indonesia saat ini
mengemukakan suatu teori mengenai karakter sedang berkembang, dimana hukum berkembang
hukum dalam masyarakat sebagai model hukum sesuai dengan keadaan atau kondisi masyarakat.
pengaturan otonomi desa, yaitu: Hukum responsif ini merupakan hukum yang
a. Represif, merupakan alat kekuasaan karena bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat
digunakan dengan melakukan penekanan yang diturunkan dalam peraturan perundang-
atau pemaksaan (represif) untuk kekuasaan. undangan. Hukum responsif dapat cepat dengan
Pada hakekatnya, hukum represif sebagai berkembang dalam masyarakat di Indonesia. Hal
alat kekuasaan dengan tujuan untuk ini dapat dilihat dengan adanya berbagai respon
menegakkan keadilan melalui pendekatan dari masyarakat terhadap produk peraturan
kekuasaan (represif).8 perundang-undangan yang sudah keluar atau
b. Hukum otonom, sebagai pranata yang yang akan dikeluarkan.
mampu menjinakkan represi (penindasan)
dan melindungi integritasnya sendiri. Pada III. ANALISA
hakekatnya, hukum otonom ini sebagai usaha A. Permasalahan UU Penyiaran
mengegakkan keadilan secara independent Media penyiaran merupakan salah
atau mandiri, yang tidak diintervensi atau satu media yang sangat berpengaruh pada
terintervensi oleh siapapun atau pihak masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
lain.9 peristiwa terjadinya gempa di Daerah Istimewa
c. Hukum responsif, merupakan sarana Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta panik
merespon atas realitas kebutuhan dan pada saat ada informasi yang diberitakan oleh
fenomena aspirasi masyarakat. Hukum salah satu stasiun swasta yang memberitakan:
berkembang sesuai perkembangan situasi, “lahar panas sudah mencapai titik tertentu”.11
kondisi dan masyarakat. Dalam konteks ini Informasi tersebut membuat masyarakat
hukum responsif sebagaimana suatu evolusi Yogyakarta panik dan menimbulkan korban luka
hukum, dalam artian bahwa proses hukum dan jiwa. Kepanikan masyarakat Yogyakarta yang
berkembang secara bertahap yang secara ditimbulkan akibat informasi yang kurang akurat
pasti membawa perubahan secara evolutif. ini dapat memperlihatkan bahwa media televisi
Evolusi hukum dalam konteks hukum ataupun radio sangat berpengaruh kepada
responsif, dimulai dari tipe yang tidak ideal
masyarakat. Masyarakat mempercayai media
(represif), kurang ideal (otonom) sampai penyiaran sebagai media yang akurat dalam
pada tipe yang paling ideal (responsif).10 setiap pemberitaan dan informasi yang diberikan.
Hukum represif sebagai hukum yang Akan tetapi apabila informasi tersebut salah
digunakan untuk melakukan pemaksaan kepada atau menyimpang dari fakta yang sebenarnya,
masyarakat saat ini sudah kurang tepat berlaku maka akan memberikan dampak yang besar bagi
di Indonesia. Pemaksaan terhadap suatu aturan masyarakat.
akan mengakibatkan adanya gejolak yang Pengaruh besar yang diberikan media
berkembang dalam masyarakat khususnya di penyiaran dapat memberikan dampak negatif
Indonesia. Sedangkan otonom dapat digunakan ataupun dampak positif bagi masyarakat, oleh
di Indonesia dalam rangka reformasi, dimana karena itu perlu ada aturan terkait dengan
hukum digunakan untuk menegakkan keadilan penyelenggaraan penyiaran yang didalamnya
secara independen dan tidak dapat di intervensi mengatur tentang lembaga penyiaran, isi siaran,
oleh siapapun. sistem penyiaran, dll. Pengaturan mengenai
penyelenggaraan penyiaran dimaksudkan untuk
8
Philippe nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif,
Jakarta: Perkumpulan Huntuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis, 2003, hal. 12. 11
“awan Panas 65 Kilometer Cuma gosip”, http://sains.
9
Ibid. kompas.com/read/2010/11/08/01260258/, diakses tanggal
10
Ibid. 16 Januari 2013.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 219


memberikan kepastian hukum bagi masyarakat melahirkan sebuah lembaga independen yang
untuk mendapatkan informasi dan berita mengatur mengenai hal-hal penyiaran yaitu
yang benar juga hiburan yang mendidik bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).12 Pengaturan
masyarakat. mengenai KPI diatur dalam BAB III bagian
Seperti telah disebutkan, bahwa Undang- Kedua Pasal 7 sampai 12 UU Penyiaran. Aturan
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang mengenai KPI menunjukkan bahwa penyiaran
Penyiaran dibentuk atas dasar semangat reformasi tidak diatur oleh pemerintah lagi, akan tetapi oleh
yang sudah ada pada saat itu. Adapun perubahan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
mendasar yang terjadi antara Undang-Undang UU Penyiaran yaitu KPI. Oleh karena itu, segala
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun penyiaran tidak hanya melibatkan unsur
2002 tentang Penyiaran dapat dilihat dari Pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan
beberapa perubahan. Perubahan yang pertama KPI. KPI sebagai lembaga negara mempunyai
yaitu dibentuknya badan regulator penyiaran tugas dan kewajiban yang telah diatur dalam
yaitu KPI, kedua, yaitu sistem siaran berjaringan, UU Penyiaran. Adapun tugas dan kewajiban
perubahan ketiga, yaitu dijaminnya LPK, keempat, ini terkait dengan penyelenggaraan penyiaran,
LPP, dan kelima pembatasan LPS. khususnya terkait dengan isi siaran dan izin
Perubahan-perubahan tersebut belum dapat penyelenggaraan penyiaran.
terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dilihat KPI bersifat Independen, dimana independesi
dari adanya berbagai judicial review terhadap dari KPI dimaksudkan untuk mengelola sistem
UU Penyiaran yang diajukan ke MK. Upaya- penyiaran yang merupakan ranah publik dan
upaya untuk melemahkan UU Penyiaran banyak harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas
dilakukan oleh kalangan pengusaha yang memiliki dari intervensi modal maupun kepentingan
lembaga penyiaran. Selain judicial review ke MK, kekuasaan. Permasalahan yang muncul saat
upaya pelemahan UU Penyiaran juga dilakukan ini yaitu adanya berbagai pihak yang tidak
dengan melakukan berbagai tafsiran terhadap UU setuju dengan keberadaan KPI. Hal ini dapat
Penyiaran tersebut, sehingga substansi yang ada dilihat adanya upaya-upaya untuk melemahkan
menjadi kabur. Upaya pelemahan UU Penyiaran kewenangan KPI yang terdapat dalam UU
ini dapat dilihat dari perubahan-perubahan Penyiaran dengan mengajukan judicial review ke
diatas, dimana upaya-upaya pelemahan tersebut Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun saat ini
dilakukan terhadap perubahan mendasar yang Putusan MK yang sudah keluar yaitu Putusan
dilakukan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun MK nomor 005/PUU-/2003. Putusan MK ini
1997 Tentang Penyiaran ke UU Penyiaran. menyebutkan bahwa KPI tidak lagi berhak
Berdasarkan apa yang dikemukakan untuk ikut serta dengan Pemerintah dalam
sebelumnya mengenai perubahan substansi pembentukan Peraturan Pemerintah terkait
yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor dengan kegiatan penyiaran. Selain itu juga masih
24 Tahun 1997 tentang Penyiaran menjadi banyak upaya-upaya lain yang dilakukan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang berbagai pihak ke MK dalam rangka uji materiil
Penyiaran, maka dapat dikemukakan beberapa UU Penyiaran terkait dengan kewenangan KPI.
permasalahan dalam Undang-Undang Nomor 32 KPI melakukan upaya untuk judicial review
Tahun 2002 tentang Penyiaran sehingga undang- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005
undang tersebut belum dapat dijalankan secara tentang Lembaga Penyiaran Publik, Peraturan
maksimal. Hal ini juga kemudian yang menjadikan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
UU Penyiaran mempunyai kelembahan substansi. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik
Permasalahan Pertama yaitu terkait dengan Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor
substansi yang berkaitan dengan KPI. UU
Penyiaran merupakan undang-undang yang 12
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.

220 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran antara KPIP dengan KPID, apakah hubungan
Publik Televisi Republik Indonesia terhadap hierarkis ataukah hubungan koordinatif. Oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 ke karena ketidakjelasan ini banyak terjadinya
Mahkamah Agung (MA).13 Argumentasi KPI keterlambatan dalam penyerapan aspirasi
melakukan judicial review ini dikarenakan masyarakat yang diterima baik di pusat maupun
ada perbedaan penafsiran substansi dalam di daerah. Akibat terlambatnya penyerapan
pasal-pasal yang berkaitan dengan perijinan aspirasi inipun berdampak kepada penindakan
dalam ketiga peraturan pemerintah tersebut. yang harusnya dilakukan oleh KPI.
KPI berargumentasi bahwa ketiga peraturan Permasalahan kedua, yaitu mengenai sistim
pemerintah tersebut dinilai melanggar jaringan tidak berjalan dengan semestinya.
ketentuan yang terdapat dalam Undang- Sistem penyiaran yang diatur dalam UU
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu sistem siaran jaringan. Sistem
Penyiaran. KPI menilai bahwa kewenangan siaran jaringan diatur dalam UU Penyiaran,
yang terdapat dalam peraturan pemerintah dimana LPS Pusat maupun LPP Pusat wajib
tersebut seharusnya dimiliki oleh KPI. KPI melakukan siaran jaringan dengan lembaga
berpendapat bahwa Pemerintah mempunyai penyiaran yang berada di daerah. Saat ini
kewenangan untuk memberikan perijinan ketentuan mengenai sistem siaran jaringan ini
terhadap penggunaan frekuensi. Akan tetapi belum dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari
untuk kewenangan dalam menyelenggarakan banyaknya LPS yang melakukan siaran secara
kegiatan penyiaran berada di tangan KPI.14 Hasil nasional.15 LPS yang melakukan siaran secara
dari judicial review ini menolak permohonan nasional memperlihatkan bahwa sistem siaran
KPI. Hal ini juga yang kemudian menguatkan yang dilakukan oleh lembaga penyiaran pada
kewenangan Pemerintah dalam memberikan saat ini masih memberlakukan sistem siaran
perijinan kegiatan penyiaran. Adapun pendapat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Pemerintah yaitu dalam UU Penyiaran telah Tahun 1997 tentang Penyiaran. Hal ini kemudian
disebutkan bahwa kewenangan perijinan yang membuat adanya perbedaan jam siaran di
dilakukan oleh “negara” yang diartikan “negara” daerah. Permasalahan lainnya yaitu belum ada
yaitu pemerintah. optimalisasi keberadaan lembaga penyiaran
Permasalahan KPI saat ini yaitu masih yang ada di daerah. Permasalahan sistem siaran
adanya perbedaan pendapat mengenai jaringan ini juga berkaitan dengan isi siaran.
kewenangan KPI. Beberapa pendapat mengatakan Isi siaran yang dilakukan melalui sistem siaran
bahwa KPI merupakan lembaga negara yang nasional lebih banyak mengandung isi siaran
bertugas dalam hal isi siaran saja. Akan yang terjadi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
tetapi pendapat lain mengatakan bahwa KPI (DKI Jakarta) sedangkan isi siaran yang bersifat
merupakan lembaga negara yang harusnya kedaerahan seringkali tersingkirkan.
menjadi badan regulator dalam bidang Permasalahan ketiga terkati dengan LPK.
penyiaran. Berbagai pendapat ini kemudian LPK diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal
berkembang di masyarakat, dan menyebabkan 24 UU Penyiaran. Selain dalam UU Penyiaran,
tidak jelasnya mengenai kewenangan yang LPK juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
dimiliki oleh KPI. Permasalahan lain yang Nomor 51 Tahun 2005 tentang Lembaga
ada di KPI yaitu terkait dengan hubungan Penyiaran Komunitas. Hal ini menunjukkan
kelembagaan antara KPI Pusat (KPIP) dengan bahwa keberadaan LPK diperlukan oleh
KPI Daerah (KPID). Belum secara jelas diatur masyarakat di Indonesia. Akan tetapi, pada
dalam UU Penyiaran terkait dengan hubungan kenyataanya pengaturan LPK ini belum dapat
memberikan jaminan kepada LPK dalam
13
“KPI Ajukan Judicial Review 3 PP Penyiaran ke MA”,
http://news.detik.com/read/2005/06/20/184946/385220/1 membentuk lembaga penyiaran yang bertujuan
0/, diakses tanggal 16 Januari 2013.
14
Ibid. 15
Puji Rianto, Op. Cit. hal. 24.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 221


untuk memberikan informasi dan pendidikan tayangan yang disiarkan oleh LPS. Status
kepada komunitasnya. Hal ini dapat dilihat kelembagaan LPP merupakan permasalahan
dari frekuensi yang dapat digunakan oleh LPK utama yang dialami oleh LPP. Status Lembaga
yaitu frekuensi yang dekat dengan frekuensi Penyiaran Publik belum dikenal dalam peraturan
penerbangan. Dekatnya frekuensi LPK dengan tentang keuangan negara. Oleh karena hal
frekuensi penerbangan mengakibatkan banyak tersebut, kemudian hal ini juga yang menimbulkan
frekeunsi yang dimiliki oleh LPK didaerah LPP tidak mendapatkan nomenklatur tersendiri
terganggu dan sulit dijangkau oleh masyarakat.16 dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Keberadaan LPK merupakan salah satu (APBN). Status LPP sebagai badan hukum yang
pengaturan dalam UU Penyiaran yang menunjukkan didirikan oleh negara juga kemudian menjadikan
adanya demokrasi dalam pembentukan lembaga LPP sulit berkembang, hal ini dikarenakan
penyiaran. LPK merupakan lembaga penyiaran tidak disebutkan secara tegas status badan
yang dapat dibentuk oleh semua orang yang hukumnya. Ketidakjelasan status kelembagaan ini
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. menyebabkan berbagai permasalahan khususnya
Keberadaan LPK ini merupakan bentuk minimalis dalam bidang administrasi dan keuangan di
dari adanya LPP yang bersiaran secara nasional. tubuh LPP. Permasalahan di bidang administrasi
Siaran yang dilakukan oleh LPK dapat digunakan dan keuangan ini kemudian menyebabkan
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang program dan isi siaran LPP kurang diminati oleh
tergabung dalam komunitas tertentu. Adapun masyarakat.
manfaat yang dapat diberikan oleh LPK salah Permasalahan kelima yaitu terkait dengan
satunya yaitu berbagai informasi seperti penjualan keberadaan LPS. UU Penyiaran mengatur
atau harga kebutuhan bahan pokok. Permasalahan Lembaga Penyiaran Swasta dalam Pasal 16 – 20.
lain LPK saat ini yaitu belum adanya aturan secara Pengaturan dalam Pasal 16 – 20 UU Penyiaran
terperinci keberadaan LPK didalam UU penyiaran. ini berkaitan dengan status badan hukum yang
LPK harusnya dimanfaatkan oleh komunitas harus dimiliki oleh LPS, kepemilikan, sumber
tertentu untuk melaksanakan tugas memberikan pembiayaan dan cakupan wilayah siaran.
informasi, pendidikan dan juga hiburan kepada Masyarakat saat ini dapat melihat bahwa LPS
komunitasnya. Akan tetapi ada pendapat dimana dimiliki oleh beberapa orang saja. Kepemilikan
adanya kekhawatiran bahwa LPK dimanfaatkan LPS ini kemudian tidak lagi sesuai dengan
untuk membangun suatu komunitas tertentu yang pembatasan yang tertuang dalam UU Penyiaran
dapat melibatkan unsur SARA. Pendirian dan juga yaitu keberagaman kepemilikan (diversity of
status badan hukum yang belum secara jelas diatur ownership) dan keberagaman content (diversity
juga menjadi permasalahan dalam pembentukan of content). Pelanggaran terhadap prinsip ini yang
LPK. kemudian menyebabkan banyak program acara
Permasalahan keempat dalam UU Penyiaran yang monoton dan mengakibatkan hiburan
yaitu belum jelasnya keberadaan LPP. LPP saat yang tidak sehat bagi masyarakat. Adegan
ini dilakukan oleh Televisi Republik Indonesia kekerasan ataupun isi siaran yang membohongi
(TVRI) dan Radio Repulbik Indonesia (RRI). publik memberikan dampak negatif kepada
TVRI dan RRI saat ini mengalami kemunduran masyarakat.
baik dari segi jumlah pemirsanya maupun dalam Di Indonesia, konsentrasi kepemilikan
hal isi siarannya. Banyak masyarakat tidak lagi media pada segelintir orang telah dilarang
melihat keberadaan TVRI dan RRI sebagai salah berdasarkan UU Penyiaran, akan tetapi UU
satu lembaga penyiaran di Indonesia. Masyarakat Penyiaran dan peraturan perundang-undangan
saat ini lebih banyak mendengar atau melihat lain dibawahnya masih belum mampu mencegah
terjadinya konglomerasi dalam industri media.
16
“Usul JRKI Untuk Komisi 1 DPR RI mengenai Revisi Akibatnya masih banyak terjadi kepemilikan
UU No. 32 Tahun 2002”, http://jrkbanten.blogspot.com/, yang didominasi oleh satu orang. Konglomerasi
diakses tanggal 16 Januari 2013.

222 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


media tersebut dimungkinkan terjadi karena tugas dan kewenangannya. Saat ini DPR RI
Undang-Undang tentang Penyiaran tidak sedang melakukan pembahasan terkait dengan
mengatur kepemilikan oleh holding company.17 perubahan UU Penyiaran atau Rancangan
Berbagai cara dilakukan oleh beberapa orang Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU
atau perusahaan untuk memiliki berbagai Penyiaran). Pembentukan RUU Penyiaran ini
media penyairan, baik itu radio ataupun televisi. merupakan kesempatan besar bagi penyelenggara
Pemusatan kepemilikan ini selain merugikan penyiaran dalam memperbaiki ataupun mencari
masyarakat juga dapat merugikan pemerintah. solusi atas permasalahan-permasalahan yang
Prinsip dasar dalam menyelenggarakan ada. Adapun beberapa perubahan mendasar
penyiaran yang ada di Indonesia pada saat ini dalam RUU Penyiaran yaitu pertama penguatan
dinilai belum dapat berjalan dengan sepenuhnya. KPI, kedua penegasan kembali mengenai sistem
Banyak lembaga penyiaran yang masih dimiliki siaran jaringan, ketiga kejelasan kelembagaan
oleh beberapa orang saja. Penulis berpendapat LPS, keempat penguatan eksistensi LPK dan
bahwa kepemilikan lembaga penyiaran jasa kelima yaitu terkait dengan pembatasan LPS.
siaran televisi harus mengikuti ketentuan Phillipe Nonet dan Philip Selznick dalam
yang tertuang dalam peraturan perundang- Hukum Responsinf mengungkapkan bawa
undangan. Prinsip diversity of ownership saat suatu aturan perundang-undangan ada untuk
ini belum diterapkan. Banyaknya kepemilikan mensejahterakan masyarakat. Aturan yang terkait
media yang didominasi oleh beberapa orang saja dengan penyiaran di Indonesia dinilai tidak lagi
merupakan bukti bahwa prinsip tersebut belum dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat
diterapkan. Hal ini akan dapat memberikan yang menikmati isi siaran. Oleh karena itu
dampak yang begitu besar terhadap keutuhan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
bangsa dan negara. Penyiaran perlu dirubah. Pembaharuan terhadap
Dari permasalahan-permasalahan diatas ketentuan peraturan perundang-undangan
dapat dilihat bahwa UU Penyiaran perlu harus dapat memberikan kepastian hukum bagi
dilakukan perubahan. Adapun perubahan masyarakat sebagai konsumen ataupun lembaga
tersebut dimaksudkan untuk memberikan penyiaran yang melakukan kegiatan penyiaran.
kepastian hukum bagi para stakeholders dalam Perubahan mendasar dari UU Penyiaran yaitu
melakukan kegiatan penyiaran. Perubahan UU tetap mendasarkan bahwa kegiatan penyiaran
Penyiaran juga untuk memberikan kepastian merupakan kegiatan yang berorientasi kepada
hukum kepada masyarakat mengenai siapa yang kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat
berhak untuk menyelenggarakan penyiaran akan hiburan, informasi dan berita merupakan
dan juga siapa regulator penyiaran. Perubahan dasar dari dibentuknya peraturan yang terkait
ini dilakukan dengan merubah ketentuan- dengan penyiaran. Kemajuan teknologi
ketentuan yang terdapat dalam UU Penyiaran merupakan salah satu hal yang perlu diatur
khususnya pengaturan mengenai KPI, Sistem dalam Undang-Undang Penyiaran yang baru.
Siaran Berjaringan, status kelembagaan LPP, Permasalahan-permasalahan yang dihadapi
penguatan LPK dan pembatasan LPS. oleh UU penyiaran merupakan permasalahan
krusial bagi lembaga penyiaran, Pemerintah
B. Perubahan UU Penyiaran maupun KPI. Kemajuan teknologi dan luasnya
Perubahan UU Penyiaran dianggap perlu materi siaran pada saat ini memerlukan
dilakukan. Hal ini untuk memberikan kepastian peraturan yang secara jelas dan tegas. Pengaturan
hukum bagi para penyelenggara penyiaran ini selain untuk memberikan solusi terhadap
seperti lembaga penyiaran, Pemerintah permasalahan yang sedang dialami oleh UU
maupun bagi KPI dalam menjalankan fungsi, Penyiaran, juga untuk mengatasi kemajuan
teknologi di masa yang akan datang. Adapun
17
Teguh Santosa dkk, Komisi I, Senjata-Satelit-Diplomasi, berbagai perubahan dalam Undang-Undang
Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2009, hal. 237.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 223


Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu yaitu untuk mewujudkan hak publik dalam
dilakukan agar dalam pelaksanaannya dapat mengatur kegiatan penyiaran di Indonesia.
dijalankan dengan maksimal. Tugas KPI yang berorientasi kepada
Perubahan pertama yaitu terkait dengan masyarakat harus dijabarkan dalam peraturan
KPI. Pengaturan mengenai KPI saat ini perlu perundang-undangan. Adapun aturan mengenai
mengalami perubahan. Perubahan substansi tugas KPI ini merupakan tugas yang menjamin
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor bahwa publik atau masyarakat mendapatkan
32 Tahun 2002 yaitu adanya penegasan haknya dalam kegiatan penyiaran. Tugas
dalam pemberian ijin penyiaran. Pengasan dari KPI yaitu menjamin bahwa masyarakat
terhadap pemberi ijin ini harus dilakukan memperoleh informasi yang layak dan benar,
dengan memberikan peranan kepada KPI adanya jaminan bahwa masyarakat menerima isi
dalam pemberian perizinan penyiaran. siaran yang sehat dan bermartabat, menciptakan
Perbedaan penafsiran dalam substansi suatu tatanan informasi nasional yang adil, merata
undang-undang harus diminimalisir sehingga dan seimbang, membangun iklim persaingan
tidak ada lagi keraguan dalam pelaksanaan yang sehat antara Lembaga Penyiaran, dan
peraturan perundangan. Izin Penyelenggaraan menindaklanjuti aduan dari masyarakat.
Penyiaran (IPP) merupakan izin yang diberikan Kewenangan yang berorientasi kepada
kepada lembaga penyiaran dalam melakukan masyarakat yaitu mempunyai kewenangan
kegiatan penyiaran. Permasalahan saat ini untuk memberikan sanksi administratif kepada
yang menjadikan melemahnya KPI yaitu tidak lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran
adanya kewenangan KPI dalam pemberian IPP. ketentuan peraturan perundang-undangan,
Permasalahan tersebut kemudian menimbulkan memberikan IPP, menyusun dan menetapkan
tidak ada kewenangan KPI untuk memberikan Standar Program Siaran, mengawasi
sanksi administratif berupa pencabutan IPP. penyelenggaraan penyiaran, dan membentuk
KPI dalam menjalankan fungsi, tugas, hak dan peraturan penyelenggaraan penyiaran. Upaya
kewajibannya harus diatur dalam peraturan penguatan kelembagaan KPI dalam RUU
perundang-undangan. adapun aturan tersebut Penyiaran dapat dilakukan dengan memberikan
harus dengan jelas memaparkan apa saja yang kewenangan kepada KPI untuk memberikan
menjadi hak dan kewajiban KPI. Selain hal sanksi administratif kepada lembaga penyiaran
tersebut, perlu ada ketegasan subjek yang yang melakukan pelanggaran administratif.
bertugas untuk memberi sanksi administratif Adapun sanksi administratif tersebut berupa:
dalam UU Penyiaran. a. Teguran tertulis;
KPI merupakan kepanjangan tangan dari b. Menghentikan mata acara siaran yang
masyarakat Indonesia, dimana Komisioner bermasalah;
KPI dipilih oleh DPR RI dan ditetapkan c. Pembekuan kegiatan untuk jangka waktu
oleh Presiden.18 Oleh karena itu, tugas dan tertentu; dan
kewenangan yang diberikan kepada KPI d. Mencabut izin penyelenggaraan penyiaran,
merupakan tugas dan kewenangan yang yang pelaksanannya melewati proses
berorientasi kepada masyarakat. Tugas dan pengadilan.
kewenangan KPI merupakan penjabaran dari Upaya penguatan KPI juga dilakukan
fungsi dari KPI itu sendiri. Oleh karena itu, dengan melihat kembali struktur kelembagaan
fungsi KPI dalam kegiatan penyiaran perlu KPI terkati dengan KPID. Hubungan hirarkis
diperluas. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa antara KPI dengan KPID harus diperjelas,
KPI merupakan perwujudan dari kepentingan dimana KPI dan KPID merupakan satu lembaga
masyarakat Indonesia, maka dari itu fungsi KPI yang bertugas untuk mengawasi kegiatan
penyiaran baik secara nasional maupun
18
Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32
regional. Perlu adanya penegasan bahwa KPI
Tahun 2002 tentang Penyiaran.

224 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


dan KPID merupakan satu kesatuan lembaga kejelasan status badan hukum dari LPP dalam
dimana KPID merupakan KPI yang bertugas di menyelenggarakan penyiaran yang berorientasi
daerah dan memiliki sifat koordinatif dengan kepada kebutuhan publik.
KPI. Hal ini kemudian yang menegaskan Kejelasan status badan hukum LPP ini
bahwa KPID nantinya akan mempunyai tugas, juga dapat diperkuat dengan menaikkan status
kewajiban dan kewenangan yang hampir sama LPP sebagai lembaga negara yang bertugas
dengan KPI Pusat. dalam menyelenggarakan penyiaran publik.
Perubahan kedua yaitu terkait dengan LPP sebagai lembaga negara juga dapat dilebur
Sistem Siaran Jaringan. Sistem Siaran Jaringan menjadi satu kesatuan antara RRI dengan TVRI
perlu kembali dipertegas dalam RUU Penyiaran. menjadi Radio Televisi Republik Indonesia
Sistem siaran jaringan dimaksudkan untuk (RTRI). Hal ini untuk memberikan efektifitas
memberikan peluang kepada lembaga penyairan kelembagaan dari LPP juga untuk memberikan
yang ada di daerah untuk memberikan informasi penguatan secara penuh kepada LPP dalam
ke seluruh wilayah Indonesia. Selain peluang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
bagi lembaga penyiaran, juga memberikan sebagai LPP. Adapun untuk memperkuat
kesempatan bagi pemerintah daerah untuk keberadaan dari LPP, maka perlu dibentuknya
mengembangkan potensi daerah. Sistem suatu undang-undang yang mengatur mengenai
siaran jaringan ini juga dapat memberikan kelembagaan LPP. Hal ini bertujuan agar ada
efek positif bagi masyarakat yang menerima penguatan terhadap lembaga penyiaran publik
informasi di daerah. Perbedaan waktu antara sehingga dapat bersaing dengan lembaga
Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB), Waktu penyiaran lainnya. Perlu adanya aturan dalam
Indonesia Bagian Tengah (WITA) dan Waktu Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran
Indonesia Bagian Timur (WIT) dapat diatasi untuk mengamanatkan dibentuknya suatu
dengan adanya sistem siaran jaringan. Dimana undang-undang mengenai LPP.
informasi yang diterima di tiga wilayah waktu Perubahan keempat yaitu tentang upaya
tersebut dapat diperoleh pada jam yang sama. penguatan LPK. Keberadaan LPK saat ini
Perlu adanya sanksi administrafi yang mengikuti dimaksudkan untuk memberikan informasi
dalam ketentuan terkait dengan Sistem Siaran dan pendidikan kepada komunitasnya. LPK
Jaringan. Oleh karena itu, perlu adanya merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk
keharusan dalam penerapan Sistem Siaran badan hukum Indonesia, didirikan oleh
Jaringan dalam RUU Penyiaran. komunitas tertentu, bersifat independen, dan
Perubahan ketiga yaitu terkait dengan upaya tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas
penguatan kelembagaan Lembaga Penyiaran jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani
Publik (LPP). Keberadaan LPP di Indonesia kepentingan komunitasnya.19 Keberadaan LPK
mutlak diperlukan. LPP merupakan lembaga harus dapat lebih dimanfaatkan bagi masyarakat
penyiaran yang bertugas sebagai jembatan komunitasnya. Untuk itu perlu adanya kejelasan
penghubung antar berbagai kalangan. Tugas dalam definisi LPK sebagai lembaga penyiaran.
dan kewajiban LPP di Indonesia pada saat selain itu perlu juga diatur mengenai proses
sekarang ini dilakukan oleh Televisi Republik pembentukan LPK. Pengertian LPK harus
Indonesia dan Radio Republik Indonesia. diperluas sebagai lembaga penyiaran yang
Permasalahan utama dalam LPP yaitu terkait berbentuk badan hukum Indonesia didirikan
dengan status badan hukum LPP yang dianggap oleh komunitas dalam wilayah tertentu atau
tidak jelas dalam Undang-Undang Nomor oleh komunitas yang terikat dengan kepentingan
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. tertentu, bersifat independen, tidak mencari
Adapun permasalahan ini kemudian berakibat keuntungan, dan untuk melayani kepentingan
kepada alokasi dan penggunaan anggaran
yang digunakan oleh LPP. Perlu adanya 19
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 225


komunitasnya. Karena itu alokasi wilayah frekuensi dikarenakan LPK memerlukan legalitas dalam
LPK wajib dekat dengan kegiatan komunitas membentuk suatu lembaga penyiaran, sehingga
masyarakat. keberadaanya dapat diakui oleh negara maupun
Keberadaan LPK merupakan hal yang oleh masyarakat. Syarat dimana komunitasnya
penting bagi komunitas tertentu, dengan telah ada merupakan faktor mutlak, hal ini
adanya LPK ini, maka masyarakat yang berada karena tujuan dari dibentuknya LPK ini adalah
pada komunitas ini menjadi lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Isi
mendapatkan informasi dan informasi tersebut siaran yang dilakukan oleh LPK juga harus jelas,
dapat digunakan bagi kalangan komunitasnya. LPK diharapkan tidak mempunyai isi siaran
LPK ini merupakan bagian dari Lembaga seperti yang ada di dalam lembaga penyiaran
Penyiaran yang ada di Indonesia. LPK ini lainnya. Pembatasan isi siaran ini dilakukan
didirikan oleh masyarakat tertentu yang sudah supaya tidak terjadi penyalahgunaan izin yang
sadar mengenai pentingnya berorganisasi dan telah diberikan pemerintah maupun regulator
membutuhkan informasi. Keberadaan LPK dalam bidang penyiaran.
ini didirikan atas biaya yang diperoleh dari LPK melakukan penyelenggaraan penyiaran
kontribusi komunitas tertentu dan menjadi dengan isi siaran yang berupa informasi yang
milik komunitas tersebut. dikemas dalam mata acara siaran yang sesuai
LPK mempunyai sifat penyiarannya lokal. dengan kebutuhan informasi, hiburan, dan
Sifat siaran lokal yang dilakukan oleh LPK pendidikan komunitasnya. Isi siaran bersifat
berisi mengenai informasi yang dibutuhkan tidak mencari keuntungan. Isi siaran wajib
oleh komunitas tersebut. Isi siaran yang ada mengikuti Standar Program Siaran KPI. LPK
didalam LPK ini adalah apa yang dibutuhkan sendiri dapat memancarluaskan siaran melalui
oleh komunitas tersebut. contoh dari LPK ini jaringan Lembaga Penyiaran Komunitas.
adalah desa nelayan membentuk suatu lembaga Perubahan kelima yaitu terkait dengan
penyiaran yang isi siarannya adalah mengenai pembatasan kepemilikan LPS. Kepemilikan LPS
kegiatan melaut atau mengenai informasi saat ini cenderung dimiliki hanya oleh beberapa
cuaca untuk menangkap ikan. Pada saat ini perusahaan besar saja. Contohnya adalah
keberadaan LPK masih sangat minim. LPK MNC Group atau Trans Corp.20 keberagaman
belum dipandang sebagai media informasi yang kepemilikan merupakan pelarangan kepemilikan
memadai, karena masih bersifat regional. Akan lembaga penyiaran oleh satu perusahaan atau
tetapi bagi komunitas tertentu, keberadaan LPK satu orang saja. Kondisi yang terjadi saat ini,
ini sangatlah penting. Karena dengan adanya terdapat adanya permasalahan hukum terkait
LPK, maka bagi sebagian masyarakat dapat dengan indikasi pelanggaran jual beli izin
terpenuhi informasi maupun kebutuhannya. penyelenggaraan penyiaran. Tidak adanya
LPK diidirikan dengan berbagai syarat, ketentuan yang mengatur mengenai batas
dimana syarat tersebut didalamnya terdapat minimal kepemilikan modal awal bagi setiap
pendirian LPK yang berbadan hukum, orang atau badan hukum yang akan mendirikan
komunitasnya telah ada, isi siaran yang jelas. LPS menjadi salah satu penyebab adanya pihak-
LPK harus berbadan hukum, badan hukum pihak tertentu yang memanfaatkan kondisi
yang dapat dibentuk oleh LPK ini adalah badan tersebut untuk melakukan bisnis jual beli izin
hukum yang diakui di Indonesia. Badan hukum penyelenggaraan penyiaran melalui mekanisme
yang ada di Indonesia yang dapat digunakan jual beli kepemilikan saham. Berdasarkan hal
oleh LPK adalah perkumpulan atau koperasi, tersebut perlu adanya pembatasan mengenai
hal ini dikarenakan LPK berorientasi kepada pembelian saham yang dilakukan lembaga
substansi penyiaran dan tidak diperbolehkan penyiaran yang ada di Indonesia.
untuk berorientasi kepada keuntungan atau 20
MNC Group mempunyai RCTI, Global TV, MNC TV.
profit. Dibentuknya LPK dengan badan hukum Sedangkan Trans Corp mempunyai Trans TV dan juga
Trans7.

226 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Kepemilikan silang juga harus diatur didalam dan LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran
UU Penyiaran. Kepemilikan silang merupakan televisi, antara LPS dan perusahaan media cetak,
batasan kepemilikan media baik media massa serta antara LPS dan LPS jasa penyiaran lainnya,
maupun media cetak, dimana satu pemilik baik langsung maupun tidak langsung dibatasi.
perusahaan media tidak bisa memiliki seluruh Sementara dalam Pasal 20 UU Penyiaran
perusahaan media radio atau televisi dan juga menyatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta
media cetak. Terkait dengan kepemilikan silang jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi
terdapat dua pendapat yang berbeda, pendapat masing-masing hanya dapat menyelenggarakan
yang pertama yaitu kepemilikan silang dapat 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran
dilakukan, hal ini dikarenakan apabila terjadi pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.
pelaku pasar yang cukup banyak, maka tidak Pengaturan yang membatasi tentang
perlu ada kekhawatiran terjadinya monopoli. kepemilikan silang media di Indonesia juga
Akan tetapi pendapat lain mengatakan bahwa terdapat dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor
kepemilikan silang harus dibatasi dengan 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
pembatasan yang ditetapkan oleh Badan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Regulator Penyiaran, hal ini dikarenakan untuk (UU Anti Monopoli) yang menyebutkan, pelaku
mencegah adanya monopoli. usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada
Pengaturan kepemilikan silang media beberapa perusahaan sejenis yang melakukan
sangat diperlukan terlebih mengingat media kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada
massa memiliki fungsi sebagai pembentuk pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan
opini. Namun pada kenyataannya, kepemilikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan
silang media pada segelintir konglomerat serta usaha yang sama pada pasar bersangkutan
keterkaitan pemilik modal dengan kepentingan yang sama, apabila kepemilikan tersebut
politik telah menyebabkan media massa menjadi mengakibatkan: (a) satu pelaku usaha atau satu
sebuah entitas yang tidak terlepas dari berbagai kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50
tekanan yang ada. persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
Terkait dengan kepemilikan silang media, UU tertentu; (b) dua atau tiga pelaku usaha atau
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jika dicermati kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75
sesungguhnya mengandung filosofi mencegah persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
monopoli kepemilikan, dan demokratisasi informasi tertentu.
melalui menganekaragamkan kepemilikan dan Pembahasan tentang kepemilikan silang
konten isi siaran, hal ini antara lain terlihat pada lainnya juga terdapat dalam Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
5 huruf g yang menyatakan bahwa Penyiaran Terbatas. Pada Pasal 126 ayat (1) menyatakan
diarahkan untuk antara lain; mencegah monopoli bahwa Perbuatan hukum Penggabungan,
kepemilikan, mendukung persaingan yang sehat Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan
dibidang penyiaran, serta untuk memajukan wajib memperhatikan kepentingan:
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan a. perseroan, pemegang saham minoritas,
bangsa. karyawan perseroan;
Pada pasal lainnya dalam Undang-undang b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari
yang sama yaitu pasal 18 ayat (1) menyatakan Perseroan; dan
pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga c. masyarakat dan persaingan sehat dalam
Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan melakukan usaha.
hukum, baik di satu wilayah siaran maupun Tingkat Peraturan Pemerintah, dalam Pasal
di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Ayat (2) 33 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005
disebutkan bahwa Kepemilikan silang antara tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga
LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio Penyiaran Swasta disebutkan bahwa kepemilikan

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 227


yang diizinkan yaitu apabila kepemilikan satu Seperti yang telah disebutkan diatas
LPS radio dan satu LPB (Lembaga Penyiaran bahwa suatu peraturan perundang-undangan
Berbayar/ TV berlangganan) dan satu media dikeluarkan untuk memberikan kesejahteraan
cetak pada wilayah yang sama; atau kepemilikan bagi masyarakatnya. Kesejahteraan masyarakat
satu LPS televisi dan satu LPB dan satu media ini juga mengikuti perkembangan kebutuhan
cetak pada wilayah yang sama; atau kepemilikan masyarakat. Akan tetapi perkembangan
satu LPS radio dan satu LPS televisi dan satu LPB kebutuhan masyarakat ini tetap mengikuti
pada wilayah yang sama. Artinya, yang dilarang kaedah-kaedah yang berlaku. Undang-Undang
dalam PP tersebut adalah kepemilikan satu LPS Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
radio dan satu LPS televisi dan satu media cetak saat ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
pada wilayah yang sama. masyarakat akan penyiaran. Berbagai pasal
Philippe Nonet dan Philip Selznick yang terdapat dalam UU Penyiaran dianggap
mengungkapkan adanya pembangunan hukum tidak lagi dapat dijalankan secara maksimal.
yang dituangkan dalam berbagai cara. Adapun Oleh karena itu perubahan-perubahan perlu
menurut mereka pembangunan hukum yang dilakukan seperti yang telah disebutkan diatas.
paling ideal yaitu adanya suatu pembangunan DPR RI saat ini sedang melakukan
hukum yang dilakukan secara responsif. Hukum pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
responsif ini mengatakan bahwa suatu produk Penyiaran. Adapun hasil pembahasan RUU
peraturan perundang-undangan diundangkan Penyiaran menjadi undang-undang penyiaran
dengan tujuan untuk mensejahterakan yang baru diharapkan dapat memberikan jaminan
masyarakatnya. Perkembangan hukum mengikuti kepada masyarakat bahwa aturan-aturan diatur
perkembangan dan dinamika yang terjadi di dalam undang-undang penyiaran yang baru
masyarakat. Perubahan suatu aturan juga harus tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan
mengikuti perubahan yang terjadi di dalam dapat dilaksanakan secara maksimal. Aturan-
masyarakat tersebut. aturan yang baru tersebut juga dapat memberikan
Kebutuhan masyarakat akan peraturan kepastian hukum kepada masyarakat bahwa
perundang-undangan memang berkaitan langsung masyarakat dapat menikmati tayangan-tayangan
dengan kegiatan masyarakat pada khususnya. yang bersifat mendidik, informasi yang benar dan
Kegiatan ataupun kebutuhan masyarakat ini hiburan yang sehat.
dapat diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan sehingga terciptanya suatu asas IV. PENUTUP
legalitas dalam melaksanakan kegiatan tersebut. A. Kesimpulan
Kebutuhan masyarakat akan kegiatan UU Penyiaran sebagai dasar hukum bagi
penyiaran semakin berkembang. Perkembangan lembaga penyiaran dan regulator penyiaran
kegiatan maupun lembaga penyiaran juga harus dalam melakukan kegiatannya tidak lagi dapat
diikuti dengan aturan yang ada. Pengaturan memenuhi kebutuhan masyarakat. Berbagai
mengenai kegiatan penyiaran di Indonesia substansi dalam Undang-Undang Nomor
harusnya mengikuti perkembangan masyarakat 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak lagi
dan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi perlu dapat memberikan kepastian hukum bagi para
juga melihat kaedah-kaedah yang berlaku stakeholders. UU Penyiaran memiliki beberapa
dalam masyarakat. Kegiatan penyiaran di kelemahan, yaitu terkait dengan adanya
Indonesia perlu diatur secara rinci dan tegas. upaya untuk melemahkan kewenangan KPI,
Hal ini untuk memberikan kepastian hukum tidak dilakukannya sistem siaran jaringan,
kepada masyarakat bahwa adanya jaminan bagi status kelembagaan LPP yang tidak jelas,
masyarakat dalam menikmati isi siaran yang lemahnya eksistensi LPK dan masih banyaknya
disiarkan oleh lembaga penyiaran. kepemilikan LPS yang didominasi oleh beberapa
orang saja.

228 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Kelemahan-kelemahan dalam UU Penyiaran DAFTAR PUSTAKA
perlu diperbaiki. Oleh karena itu perlu adanya
perubahan dalam UU Penyiaran. Adapun
perubahan ini untuk memberikan kepastian
hukum bagi para penyelenggara penyiaran BUKU
dalam melakukan kegiatannya. Kepastian Doyle, Gillian, Media Ownership, Sage Press,
hukum ini juga dapat memberikan manfaat 2002.
bagi masyarakat dimana adanya perlindungan Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Jakarta :
bagi masyarakat untuk mendengar dan melihat Rajagrafindo Persada, 2010.
isi siaran. Beberapa perubahan yang perlu
dilakukan dan masuk kedalam RUU Penyiaran L. Tanya, Bernard dkk., Teori Hukum: Strategi
yaitu terkait dengan penguatan KPI, kepastian Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
dalam sistem penyiaran yang dilakukan oleh Yogyakarta: Genta L. Tanya, 2010.
lembaga penyiaran, penguatan dan kejelasan Masduki, Regulasi Penyiaran Dari Otoriter Ke
status kelembagaan LPP, penguatan LPK, dan Liberal, Yogyakarta : LKIS, 2007.
pembatasan kepemilikan LPS.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum
Responsif, Jakarta: Perkumpulan Huntuk
B. Rekomendasi
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
Perubahan UU Penyiaran dilakukan dengan
dan Ekologis, 2003
mengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran menjadi Undang- Rasjidi, Lili, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung:
Undang tentang Penyiaran yang baru. Adapun Mandar Maju, 2002.
perubahan mendasar yang perlu dilakukan Rianto, Puji, dkk, Dominasi TV Swasta
dalam RUU Penyiaran yaitu adanya penguatan (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan
kelembagaan KPI sebagai regulator penyiaran Kepemilikan, Yogyakarta: pr2media, 2012.
dengan merubah kembali struktur organisasi
KPI dan juga memberikan kewenangan Santosa, Teguh, dkk, Komisi I, Senjata-Satelit-
KPI dalam pemberian sanksi administratif. Diplomasi, Jakarta: Suara Harapan Bangsa,
Perubahan kedua yaitu terkait dengan keharusan 2009.
menggunakan Sistem Siaran Jaringan yang Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam
diikuti dengan adanya sanksi administratif. Konteks Ke-Indonesiaan, Jakarta: CV
Perubahan ketiga yaitu mengatur kembali status Utomo, Jakarta, 2006.
kelembagaan LPP menjadi lembaga negara yang
dibentuk oleh undang-undang, oleh karena
JURNAL
itu perlu adanya amanat untuk membentuk
Djuarsa Sendjaja, Sasa, Badan Hukum TVRI
undang-undang terkait dengan LPP. Perubahan
dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Keempat yaitu penguatan LPK, dimana adanya
dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi, No. 02/
jaminan bahwa LPK mendapatkan frekuensi
vol.XIV/Mei/2006.
yang dekat dengan kebutuhan masyarkat, dan
juga adanya kejelasan badan hukum yang dapat
dibentuk oleh LPK. Perubahan kelima yaitu PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
penegasan kembali pembatasan kepemilikan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
LPS, dimana perlu adanya aturan yang jelas Republik Indonesia Tahun 1945.
dan tegas mengenai kepemilikan LPS, aturan Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
ini perlu diperjelas dengan kepemilikan saham 2002 tentang Penyiaran Lembaran Negara
ataupun kepemilikan langsung oleh seseorang Tahun 2002 Nomor 139, tambahan Lembaran
ataupun badan hukum. Negara Nomor 4252.

DENICO DOLY: Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002... 229


Indonesia, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1997 tentang Penyiaran Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 72, tambahan
Lembaran Negara Nomor 3701.

INTERNET
“awanPanas65KilometerCumagosip”,http://sains.
kompas.com/read/2010/11/08/01260258/,
diakses tanggal 16 Januari 2013.
“Usul JRKI Untuk Komisi 1 DPR RI mengenai
Revisi UU No. 32 Tahun 2002”, http://
jrkbanten.blogspot.com/, diakses tanggal
16 Januari 2013.
“KPI Ajukan Judicial Review 3 PP Penyiaran ke
MA”, http://news.detik.com/read/2005/06/
20/184946/385220/10/, diakses tanggal 16
Januari 2013.

230 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Monika Suhayati
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
email: monika.suhayati@dpr.go.id.

Abstract
Funding is one of the main elements in the implementation of terrorist activities. Law on the Prevention
and Eradication of Terrorism Financing governing eradicating terrorism by using the system and tracing
the flow of funds mechanism (follow the money). Implementation of blocking the flow of terrorist funds
and placement on the list of suspected terrorists and terrorist organizations which are regulated in the
legislation is vulnerable to human rights violations. Indonesia as a rule of law state is obliged to give
recognition and respect the human rights which guaranteed by law. Law on the Prevention and Eradication
of Terrorism Financing has provided protection against human rights, namely the regulation on filing of
an objection to the blocking of the flow of funds terrorism and placement on the list of suspected terrorists
and terrorist organizations, the exception blocking the flow of terrorist funds, vindication and the rights for
compensation and/or rehabilitation, and the establishment of the Central Jakarta District Court to do the
blocking and the inclusion in the list of suspected terrorists.

Kata Kunci : terorisme, pendanaan, hak asasi manusia.

I. PENDAHULUAN hilangnya nyawa tanpa memandang korban,


A. Latar Belakang ketakutan masyarakat secara luas, dan
Berdasarkan alinea ke-IV Pembukaan kerugian harta benda sehingga berdampak luas
Undang-Undang Dasar Negara Republik terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik,
Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan dan hubungan internasional. Sebagai contoh,
pembentukan Negara Republik Indonesia dampak tragedi bom Bali pada bulan Oktober
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia 2002 telah menurunkan kegiatan ekonomi lokal
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Salah sepanjang tahun 2003 dengan berkurangnya
satu bentuk pelaksanaan tujuan nasional ini pendapatan penduduk Bali sekitar 43 persen,
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia antara lain karena pemutusan hubungan kerja
dari ancaman aksi terorisme. Tindak pidana terhadap 29 persen tenaga kerja di Bali. Tragedi
terorisme merupakan kejahatan internasional Bali juga berpengaruh dalam perkonomian
yang membahayakan keamanan dan perdamaian nasional antara lain dengan menurunnya arus
dunia serta merupakan pelanggaran berat wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak
terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk 30 persen. Dalam intensitas yang tinggi dan
hidup.1 Rangkaian tindak pidana terorisme terus menerus, terorisme dapat mengancam
yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan kehidupan berbangsa dan bernegara.2
Republik Indonesia telah mengakibatkan
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
2
Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme, http://www.bappenas.go.id/files/6213/5227/9358/bab-6-pencegahan-dan-
penanggulangan-gerakan-terorisme.pdf, diakses 18 Desember 2013.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 231


Pemerintah Indonesia telah menunjukkan 2013 merampok toko bangunan baja dan besi
komitmen dalam upaya pemberantasan tindak Terus Jaya di Pondok Ranji Tangerang dengan
terorisme dengan mengesahkan Undang-Undang hasil Rp30 juta. Pada Desember 2012 mereka
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan merampok toko handphone di Bintaro hasilnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 100 buah handphone. Kemudian pada 22 April
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 2013 di Bank BRI Lampung Gading Rejo
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang- berhasil menggasak uang Rp 466.700.000,-.4
Undang pada 4 April 2003 (UU Pemberantasan Dana hasil rampokan kelompok Abu Roban
Terorisme). Adapun salah satu aspek utama yang mencapai Rp1,8 miliar lebih dipakai untuk
dalam setiap aksi terorisme adalah pendanaan pembelian senjata api sebanyak 21 pucuk dengan
kegiatan terorisme. Dalam pelaksanaan suatu total uang yang dikeluarkan Rp 440.400.000,-.
aksi terorisme, dana sangat dibutuhkan antara Senjata api yang dibeli diantaranya revolver 9
lain untuk mempromosikan ideologi, membiayai pucuk, FN 11 pucuk, Laras panjang (M1 US
anggota teroris dan keluarganya, mendanai Carraben) satu pucuk, amunisi 1905 butir yang
perjalanan dan penginapan, merekrut dan melatih terdiri dari peluru FN 400 butir, revolver 505
anggota baru, memalsukan identitas dan dokumen, butir, kaliber 5,56 mm 900 butir, peluru untuk
membeli persenjataan, serta untuk merancang M1 US Carraben 100 butir. Kemudian sebagian
dan melaksanakan operasi. Oleh karena itu upaya uangnya digunakan untuk pembelian bahan
penanggulangan tindak pidana terorisme tidak pembuatan bom dan untuk kesejahteraan
akan berhasil tanpa pemberantasan kegiatan keluarga anggota kelompok Abu Roban di
pendanaannya. masing-masing wilayah.5
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Dalam rangka pemberantasan pendanaan
Keuangan (PPATK) mencatat hingga Maret kegiatan terorisme, Indonesia telah meratifikasi
2010 sudah ditemukan 97 aliran dana ke teroris. International Convention for the Suppression of the
Ketua PPATK Yunus Husein mengatakan Financing of Terrorism, 1999 melalui Undang-
berdasarkan penelusuran PPATK, 97 transaksi Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan
mencurigakan tersebut mengalir ke pihak International Convention for the Suppression
yang diduga sebagai teroris. Transaksi tersebut of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi
dilakukan sejak 2003 melalui beberapa bank Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) pada
di Indonesia. Lebih lanjut Yunus Husein 5 April 2006. Ratifikasi Konvensi Pemberantasan
menyampaikan pihak yang diduga teroris Pendanaan Terorisme merupakan pemenuhan
tersebut biasanya melakukan penarikan dana kewajiban Indonesia sebagai anggota Perserikatan
antara Rp400 ribu hingga Rp5 juta setiap kali Bangsa-Bangsa terhadap Resolusi Dewan
transaksi.3 Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor
Pengumpulan dana terorisme dilakukan 1373. Resolusi tersebut meminta setiap negara
juga melalui perampokan. Tim Densus 88 anggota untuk mengambil langkah pemberantasan
menjelaskan dana hasil rampokan (fa’i) terorisme, termasuk meratifikasi 12 (dua belas)
kelompok teroris Abu Roban digunakan konvensi internasional mengenai terorisme.
untuk membeli sejumlah senjata api, bahan Pada 13 Maret 2013, DPR mengesahkan
peledak, dan membantu kelompok teroris Poso. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Kelompok Abu Roban merupakan kelompok Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
teroris pencari dana. Sejumlah aksi fa’i yang Pendanaan Terorisme (UU Pemberantasan
dilakukan kelompok Abu Roban yang berhasil Pendanaan Terorisme). Rancangan Undang-
dicatat diantaranya di Tangerang pada Februari
4
Ini Aliran Dana Hasil Rampokan Kelompok Teroris Abu
Roban, http://www.tribunnews.com/nasional/2013/05/15/
3
Dana Teroris Ditransfer dari Bank Besar, http://www. ini-aliran-dana-hasil-rampokan-kelompok-teroris-abu-
hariansumutpos.com/arsip/?p=36576, diakses 3 Desember roban, diakses 18 Desember 2013.
2012. 5
Ibid.

232 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan B. Rumusan Masalah
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan Salah satu pertimbangan pembentukan
usul inisiatif Pemerintah yang terdapat dalam UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Program Legislasi Nasional DPR Tahun 2009- adalah peratifikasian Konvensi Pemberantasan
2014 dan merupakan Prolegnas Prioritas pada Pendanaan Terorisme oleh Pemerintah Indonesia
tahun 2012 dan 2013. pada tahun 2006 mewajibkan Indonesia membuat
UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme atau menyelaraskan peraturan perundang-
mengatur beberapa substansi yang rentan undangan terkait dengan pendanaan terorisme
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
pertama mengenai pemblokiran aliran dana konvensi. Selain itu, peraturan perundang-
terorisme. Pemblokiran ini dilakukan terhadap undangan yang berkaitan dengan pendanaan
dana yang secara langsung atau tidak langsung terorisme belum mengatur pencegahan dan
atau yang diketahui atau patut diduga digunakan pemberantasan tindak pidana pendanaan
atau akan digunakan, baik seluruh maupun terorisme secara memadai dan komprehensif.
sebagian, untuk Tindak Pidana Terorisme.6 Adapun UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Pemblokiran dilakukan oleh PPATK, penyidik, tersebut mengatur substansi yang rentan terjadinya
penuntut umum, atau hakim dengan meminta pelanggaran hak asasi manusia yaitu pengaturan
atau memerintahkan Penyedia Jasa Keuangan mengenai pemblokiran aliran dana terorisme dan
(PJK) atau instansi berwenang untuk melakukan daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang
pemblokiran.7 Pemblokiran dilakukan dengan dikeluarkan oleh Pemerintah. Permasalahan ini
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menarik minat Penulis untuk membuat suatu
untuk meminta atau memerintahkan PJK kajian dengan mengangkat pokok permasalahan
atau instansi berwenang untuk melakukan yaitu bagaimana UU Pemberantasan Pendanaan
Pemblokiran.8 Terorisme dari perspektif hak asasi manusia.
Substansi berikutnya yang rentan
pelanggaran hak asasi manusia yaitu mengenai II. KERANGKA PEMIKIRAN
daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang A. Konsep Pendanaan Terorisme
dikeluarkan oleh Pemerintah. Kepala Kepolisian Pelaku terorisme tidak akan pernah berhasil
Negara Republik Indonesia mengajukan melakukan aksinya tanpa adanya berbagai bentuk
permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat fasilitas dan instrumen pedukung lainnya, salah
untuk menetapkan pencantuman identitas satunya adalah dukungan pendanaan. Dalam
orang atau korporasi ke dalam daftar terduga kegiatan terorisme, dana sangat dibutuhkan untuk
teroris dan organisasi teroris. Pengadilan Negeri mempromosikan ideologi, membiayai anggota
Jakarta Pusat memeriksa dan menetapkan teroris dan keluarganya, mendanai perjalanan
permohonan tersebut dalam waktu paling lama dan penginapan, merekrut dan melatih anggota
30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya baru, memalsukan identitas dan dokumen,
permohonan. Jika dalam pemeriksaan alasan, membeli persenjataan, dan untuk merancang dan
dokumen, dan/atau rekomendasi yang diajukan melaksanakan operasi. Pendanaan terorisme bisa
dapat dijadikan dasar untuk mencantumkan bersumber dari aktivitas ilegal seperti penculikan,
identitas orang atau korporasi ke dalam daftar perampokan, pembajakan, narkoba, barter/trading
terduga teroris dan organisasi teroris, Pengadilan atau hasil dari bisnis yang legal yang dimiliki/
Negeri Jakarta Pusat segera menetapkan dijalankan teroris, donasi ke yayasan atau LSM,
identitas orang atau korporasi tersebut sebagai hawala, internet banking, cash couriers.
terduga teroris dan organisasi teroris.9 Pendanaan Terorisme berdasarkan Pasal
1 angka 1 UU Pemberantasan Pendanaan
6
Pasal 22 UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
7
Pasal 23 ayat (1) UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka
8
Pasal 23 ayat (2) UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme. menyediakan, mengumpulkan, memberikan,
9
Pasal 27 UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 233


atau meminjamkan dana, baik langsung paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 6
maupun tidak langsung, dengan maksud UU Pendanaan Terorisme).
untuk digunakan dan/atau yang diketahui Lembaga pengawas dan pengatur dalam
akan digunakan untuk melakukan kegiatan rezim pencegahan dan pemberantasan tindak
terorisme, organisasi teroris, atau teroris. pidana pendanaan terorisme yaitu10:
Pengertian dana berdasarkan Pasal 1 angka a. Bank Indonesia
7 adalah semua aset atau benda bergerak atau Merupakan pengawas industri perbankan
tidak bergerak, baik yang berwujud maupun (Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat,
yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan pedagang valuta asing, dan Kegiatan Usaha
cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, Pengiriman Uang (KUPU).
termasuk dalam format digital atau elektronik, b. BAPEPAM-LK
alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan Merupakan pengawas di bidang Pasar
semua aset atau benda tersebut, termasuk tetapi Modal dan Lembaga Keuangan Non
tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, Bank. Penyedia Jasa Keuangan di bidang
cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah Pasar Modal, antara lain Perusahaan Efek,
pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, Pengelola Reksa Dana, dan Kustodian.
bank draft, dan surat pengakuan utang. c. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Tindak pidana pendanaan terorisme Republik Indonesia
dirumuskan oleh UU Pemberantasan Pendanaan Merupakan regulator/pengawas penyelenggaraan
Terorisme sebagai berikut: pos.
a. Setiap orang yang dengan sengaja d. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
menyediakan, mengumpulkan, memberikan, Komoditi (Bapebbti)
atau meminjamkan dana, baik langsung Merupakan regulator/pengawas perdagangan
maupun tidak langsung, dengan maksud berjangka komoditi.
digunakan seluruhnya atau sebagian untuk e. Direktorat Lelang, Direktorat Jenderal
melakukan Tindak Pidana Terorisme, Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan
organisasi teroris, atau teroris dipidana Republik Indonesia
karena melakukan tindak pidana pendanaan f. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
terorisme dengan pidana penjara paling Merupakan bagian dari rezim pemberantasan
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana dan pencegahan tindak pidana pendanaan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 terorisme terkait dengan pelaporan Cross
(satu miliar rupiah) (Pasal 4 UU Pendanaan Border Cash Carrying (CBCC).
Terorisme).
b. Setiap orang yang melakukan permufakatan B. Teori Negara Rule of Law
jahat, percobaan, atau pembantuan untuk Konsep negara rule of law merupakan konsep
melakukan tindak pidana pendanaan negara yang dianggap paling ideal saat ini,
terorisme dipidana karena melakukan tindak meskipun konsep tersebut dijalankan dengan
pidana pendanaan terorisme dengan pidana persepsi yang berbeda-beda. Istilah “rule of law”
yang sama sebagaimana dimaksud dalam dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
Pasal 4 (Pasal 5 UU Pendanaan Terorisme). sebagai “supremasi hukum” (supremacy of
c. Setiap orang yang dengan sengaja law) atau pemerintahan berdasarkan hukum
merencanakan, mengorganisasikan, atau (government by law) atau negara hukum
menggerakkan orang lain untuk melakukan (rechtstaat). Pengakuan suatu negara sebagai
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dipidana karena melakukan tindak 10
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ikhtisar
pidana pendanaan terorisme dengan pidana Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, Jakarta: PPATK,
2011, hal. 44-46.

234 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


negara hukum sangat penting karena kekuasaan peradilan tata usaha negara.14 Menurut Dicey,
negara dan politik bukanlah tidak terbatas terdapat tiga unsur dari rule of law yaitu15:
(tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan 1. Supremasi absolut ada pada hukum,
terhadap kewenangan dan kekuasaan negara bukan pada tindakan kebijaksanaan atau
dan politik tersebut untuk menghindari timbulnya prerogative penguasa.
kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. 2. Berlakunya prinsip persamaan dalam
Dalam negara hukum, pembatasan terhadap hukum (equality before the law), dimana
kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan semua orang harus tunduk kepada hukum
dengan jelas, tidak dapat dilanggar oleh siapapun. dan tidak seorang pun yang berada di atas
Karena itu dalam negara hukum, hukum hukum (above the law).
memainkan peranan yang sangat penting dan 3. Konstitusi merupakan dasar dari segala
berada diatas kekuasaan negara dan politik.11 hukum bagi negara yang bersangkutan.
Menurut Munir Fuady, yang dimaksudkan Dalam hal ini, hukum yang berdasarkan
dengan negara hukum adalah suatu sistem konstitusi harus melarang setiap pelanggaran
kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.
yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun
dalam suatu kontribusi, di mana semua orang D. Konsep Hak Asasi Manusia
dalam negara tersebut, baik yang diperintah Human rights are, literally, the rights that one has
maupun yang memerintah, harus tunduk pada simply because one is a human being.16 Kutipan ini
hukum yang sama, sehingga setiap orang yang berarti hak asasi manusia di samping keabsahannya
sama diperlakukan sama dan setiap orang terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia,
berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh
pembedaan yang rasional, tanpa memandang untuk dimengerti, dipahami, dan ditanggungjawabi
perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, untuk dilaksanakan. Hak asasi merupakan suatu
daerah dan kepercayaan, dan kewenangan perangkat asas yang timbul dari nilai yang kemudian
pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip menjadi kaidah yang mengatur perilaku manusia
distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah dalam hubungan dengan sesama manusia. Apapun
tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak yang diartikan atau dirumuskan dengan hak asasi,
melanggar hak rakyat, karenanya kepada gejala tersebut tetap merupakan suatu manisfestasi
rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan dari nilai yang kemudian dikonkretkan menjadi
peranannya secara demokratis.12 kaidah hidup bersama.17
Menurut Hans Kelsen, sebagaimana dikutip Sebagai hak kodrati, hak asasi melebur
oleh M. Hatta, salah satu syarat untuk disebut dalam jati diri manusia sehingga tidak
sebagai negara hukum antara lain dengan dibenarkan siapa pun mencabut hak asasi
ditegakkannya hak asasi manusia.13 Unsur- tersebut. Dengan kata lain, moralitas hak asasi
unsur negara hukum (rechtstaat) menurut
14
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi
Julius Stahl yaitu adanya pengakuan hak asasi
Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum
manusia, adanya pemisahan kekuasaan untuk Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Bogor: Ghalia Indonesia,
menjamin hak-hak tersebut, pemerintah 2005, hal. 42.
berdasarkan peraturan-peraturan dan adanya 15
ECS Wede dan A. W. Bradley, Constitutional and
Administrative Law, London: Longman House, 1985,
hal. 94 dalam Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern
(Rechtstaat), Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hal. 3-4.

16
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
11
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Ithaca: Cornell University Press, 2003, hal. 10 dalam Majda
Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hal. 1-2. El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,
12
Ibid., hal. 3. Sosial, dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal. 15.
13
A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia 17
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak
dalam Hukum Nasional dan Internasional, Bogor: Ghalia Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2008,
Indonesia, 1993, hal. 32. hal. 15.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 235


manusia adalah to affirm the two fold claim that manusia sebagai “those rights which are inherent
each and every (born) human beings has inherent in our nature and without which we cannot live as
dignity and is inviolable (not-to be-violated) human beings. Human rights have also be defined
sebagaimana disampaikan oleh Michael J. as moral rights of the higher order temming from
Perry.18 Hak asasi manusia merupakan hak dasar socially shared moral conceptions of the nature of
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, the human person and the condition necessary for a
bersifat universal dan langgeng sehingga harus life of dignity.”20
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak Indonesia sebagai negara hukum telah
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh memasukkan pengakuan dan perlindungan
siapapun. terhadap hak asasi manusia ke dalam
Hak asasi manusia tidak dapat diingkari. konstitusinya, yaitu dalam Bab XA UUD
Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti 1945. Pasal 28I UUD 1945 menyatakan
mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi dan dituangkan dalam peraturan perundang-
apapun mengemban kewajiban untuk mengakui undangan yaitu sebagaimana diatur dalam
dan melindungi hak asasi manusia tanpa kecuali. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Hak asasi manusia melekat pada setiap manusia tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal
melalui seperangkat aturan hukum yang ada. 2 UU HAM menyatakan:
Penegakan hukum hak asasi manusia selalu “Negara Republik Indonesia mengakui
berhadapan dengan beragam kondisi yang ada. dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
Peran pemerintah menjadi mutlak dalam hal ini dan kebebasan dasar manusia sebagia hak
karena hukum adalah sesuatu atau norma yang yang secara kodrati melekat pada dan
diam dan lemah. Hukum hanya dapat bergerak tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
dan hanya dapat digerakkan oleh penguasa
demi peningkatan martabat kemanusiaan,
atau the strong arms agar hukum dapat berjalan
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
dan efektif.19 serta keadilan.”
Pengakuan hak asasi manusia telah
dinyatakan secara internasional dalam Universal Pengertian hak asasi manusia berdasarkan
Declaration of Human Rights (UDHR) atau UU HAM adalah seperangkat hak yang
Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
Manusia yang dikeluarkan Majelis Umum sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
1948. Penjabaran dari hak dan kebebasan dasar dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
dalam UDHR kemudian dituangkan dalam hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi
International Convention on Civil and Politic Rights kehormatan serta perlindungan harkat dan
(ICCPR). Indonesia telah meratifikasi ICCPR martabat manusia (Pasal 1 ayat (1) UU HAM).
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant On III. ANALISIS
Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada 28 sebelum adanya UU Pemberantasan Pendanaan
Oktober 2005. PBB mendefinisikan hak asasi Terorisme dilakukan secara konvensional follow
the suspect, yakni dengan menghukum para pelaku
18
Michael J. Perry, Toward a Theory of Human Rights; tindak pidana terorisme. UU Pemberantasasn
Religion, Law, Courts, Cambridge: Cambridge University Pendanaan Terorisme mengatur upaya lain dalam
Press, 2007, hal. 33 dalam Majda El Muhtaj, Dimensi- pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu
Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
dengan menggunakan sistem dan mekanisme
Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal. 15.
19
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi 20
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi
Manusia (HAM), hal. 32-33. Manusia (HAM), Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hal. 47.

236 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


penelusuran aliran dana (follow the money) and freeze terrorist assets; and (3) amending and
karena tindak pidana terorisme tidak mungkin implementing laws or other instruments to fully
dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya implement the 1999 International Convention
dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Upaya for the Suppression of Financing of Terrorism.
ini melibatkan penyedia jasa keuangan, aparat The FATF encourages Indonesia to address its
remaining deficiencies and continue the process of
penegak hukum, dan kerjasama internasional
implementing its action plan”.21
untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana
yang digunakan atau diduga digunakan untuk
A. Pemblokiran Aliran Dana Terorisme
pendanaan kegiatan terorisme.
Substansi pertama dalam UU Pemberantasan
Pendanaan terorisme menjadi sangat
Pendanaan Terorisme yang rentan terjadinya
berbahaya dibandingkan bentuk kriminal
pelanggaran hak asasi manusia yaitu pemblokiran
lainnya dikarenakan strategi dalam menggunakan
aliran dana terorisme. Pemblokiran tersebut
organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber
dilakukan terhadap dana yang secara langsung
pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi
atau tidak langsung atau yang diketahui atau
sistem keuangan negara-negara miskin dan
patut diduga digunakan atau akan digunakan,
berkembang. Selain itu, sumber dana terorisme
baik seluruh maupun sebagian, untuk Tindak
yang dapat berasal dari sumber halal atau
Pidana Terorisme. Pemblokiran dilakukan oleh
legal semakin mempersulit penelusuran dan
PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim
pembuktian aliran dana terorisme. Pemalsuan
dengan meminta atau memerintahkan PJK
identitas juga mudah dilakukan karena semakin
atau instansi berwenang untuk melakukan
menjamurnya e-business dan kemudahan
pemblokiran. Pemblokiran dilakukan dengan
transaksi keuangan via internet di era globalisasi.
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
Hampir seluruh negara di dunia, terutama
meminta atau memerintahkan PJK atau instansi
negara maju telah menerapkan legislasi anti
berwenang untuk melakukan pemblokiran.
pendanaan terorisme di negaranya. Di tingkat
Khusus untuk permintaan PPATK ke PJK atau
internasional, Financial Action Task Force
instansi berwenang untuk melakukan pemblokiran
on Money Laundering (FATF) melakukan
merupakan tindakan administrasi. Pemblokiran
monitoring dan pengawasan terhadap
dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga
penerapan regulasi Anti Money Laundering
puluh) hari. Dalam hal jangka waktu pemblokiran
(AML) dan Counter Financing Terrorism (CFT).
ini berakhir, PJK wajib mengakhiri pemblokiran
Berkaitan dengan pelaksanaan Anti Money
demi hukum. Dana yang diblokir harus tetap
Laundering dan Counter Financing Terrorism di
berada pada PJK atau instansi berwenang yang
Indonesia, FATF dalam Public Statement 22 June
bersangkutan.22
2012 menyatakan:
Permintaan PPATK atau perintah penyidik,
“Indonesia is continuing to improve its AML/CFT penuntut umum, atau hakim harus dilakukan
regime since the enactment of its AML legislation secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
in 2010 and by introducing CFT legislation in
mengenai:
Parliament for committee discussion. However,
a. nama dan jabatan pejabat yang meminta
despite Indonesia’s high-level political commitment
atau memerintahkan;
to work with the FATF and APG to address its
strategic AML/CFT deficiencies, Indonesia has b. identitas orang atau korporasi yang dananya
not made sufficient progress in implementing its akan diblokir;
action plan, and certain strategic AML/CFT
deficiencies remain. Indonesia should continue to 21
FATF Public Statement-22 June 2012, http://www.fatf-
work on implementing its action plan to address gafi.org/topics/high-riskandnon-cooperativejurisdictions/
these deficiencies, including by: (1) adequately documents/fatfpublicstatement-22june2012.html, diakses
criminalising terrorist financing; (2) establishing 25 September 2012.
22
Diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pemberantasan
and implementing adequate procedures to identify
Pendanaan Terorisme.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 237


c. alasan pemblokiran; dan dalam daftar terduga teroris dan organisasi
d. tempat dana berada. teroris.24
PJK atau instansi berwenang wajib
melaksanakan pemblokiran segera setelah surat B. Daftar Terduga Teroris dan Organisasi
permintaan atau perintah pemblokiran diterima Teroris yang Dikeluarkan oleh Pemerintah
dari PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim Substansi kedua yang rentan pelanggaran
dengan menggunakan penetapan Pengadilan Negeri hak asasi manusia yaitu adanya daftar terduga
Jakarta Pusat. Dalam waktu paling lama 1 (satu) teroris dan organisasi teroris yang dikeluarkan
hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran, oleh Pemerintah. Prosedur pencantuman
PJK atau instansi berwenang wajib menyerahkan identitas orang atau korporasi dalam daftar
berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada terduga teroris dan organisasi teroris yang
PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai berikut:
dan pihak yang diblokir.23 1) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pemblokiran dapat dilakukan secara serta mengajukan permohonan ke Pengadilan
merta terhadap dana milik orang atau korporasi Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan
yang tercantum dalam daftar terduga teroris pencantuman identitas orang atau korporasi
dan organisasi teroris. Proses pemblokiran serta ke dalam daftar terduga teroris dan organisasi
merta sebagai berikut: teroris.
1) Kepala Kepolisian Negara Republik 2) Dalam mengajukan permohonan, Kepala
Indonesia menyampaikan daftar terduga Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
teroris dan organisasi teroris serta setiap menyertakan:
perubahannya ke instansi pemerintah terkait a. identitas orang atau korporasi yang
dan LPP untuk selanjutnya disampaikan ke akan dicantumkan dalam daftar
PJK dan instansi berwenang. terduga teroris dan organisasi teroris;
2) Penyampaian daftar terduga teroris dan b. alasan permohonan berdasarkan
organisasi teroris disertai permintaan informasi yang diperoleh Kepala
pemblokiran secara serta merta terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia
seluruh dana yang dimiliki atau dikuasai, dari instansi pemerintah terkait;
baik secara langsung maupun tidak c. Dokumen yang menunjukkan bahwa
langsung, oleh orang atau korporasi. orang atau korporasi tersebut diduga
3) PJK atau instansi berwenang wajib melakukan telah melakukan atau mencoba
pemblokiran secara serta merta terhadap melakukan, atau ikut serta, dan/atau
semua dana yang dimiliki atau dikuasai, baik memudahkan suatu Tindak Pidana
secara langsung maupun tidak langsung, Terorisme; dan
oleh orang atau korporasi berdasarkan daftar d. rekomendasi dari kementerian
terduga teroris dan organisasi teroris yang yang menyelenggarakan urusan
telah dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian pemerintahan di bidang luar negeri
Negara Republik Indonesia berdasarkan dalam hal dokumen berasal dari
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. negara, organisasi internasional, dan/
4) PJK atau instansi berwenang membuat atau subjek hukum internasional lain.
berita acara pemblokiran dan wajib 3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memeriksa
menyampaikannya kepada Kepala Kepolisian dan menetapkan permohonan tersebut
Negara Republik Indonesia. dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
5) Pemblokiran berlaku selama identitas hari kerja sejak diterimanya permohonan
orang atau korporasi masih tercantum tersebut.

23
Diatur dalam Pasal 23 UU Pemberantasan Pendanaan 24
Diatur dalam Pasal 28 UU Pemberantasan Pendanaan
Terorisme. Terorisme.

238 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


4) Jika dalam pemeriksaan alasan, dokumen, support for an effective counter-terrorist financing
dan/atau rekomendasi yang diajukan dapat regime, countries must respect human rights,
dijadikan dasar untuk mencantumkan identitas respect the rule of law, allow due process, recognise
orang atau Korporasi ke dalam daftar terduga and protect the rights of bona fide third parties.26
teroris dan organisasi teroris, Pengadilan Negeri Demikian pula Indonesia sebagai negara
Jakarta Pusat segera menetapkan identitas hukum wajib memberikan pengakuan dan
orang atau korporasi tersebut sebagai terduga penghormatan terhadap hak asasi manusia
teroris dan organisasi teroris. sebagaimana teori negara hukum (Rule of law)
5) Setelah memperoleh penetapan Pengadilan yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, Julius
Negeri Jakarta Pusat, Kepala Kepolisian Stahl dan A. V. Dicey yang menyatakan salah
Negara Republik Indonesia segera satu syarat atau unsur negara hukum adalah
mencantumkan identitas orang atau adanya pengakuan hak asasi manusia yang
korporasi ke dalam daftar terduga teroris dijamin melalui undang-undang. Indonesia
dan organisasi teroris. telah mengakui dan memberikan perlindungan
6) Daftar terduga teroris dan organisasi teroris hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam
dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Negara UUD Tahun 1945 dan UU HAM. Indonesia
Republik Indonesia berdasarkan penetapan juga telah meratifikasi perjanjian internasional
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ICCPR yang merupakan penjabaran hak asasi
7) Kepala Kepolisian Negara Republik manusia yang terdapat dalam UDHR.
Indonesia memberitahukan daftar terduga Pengaturan mengenai pemblokiran aliran
teroris dan organisasi teroris secara tertulis dana terorisme dan daftar terduga teroris
kepada orang atau korporasi dalam waktu dan organisasi teroris di Indonesia dalam UU
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja. Pemberantasan Pendanaan Terorisme merupakan
8) Apabila pencantuman identitas orang atau upaya negara dalam rangka melindungi warga
Korporasi dalam daftar terduga teroris dan negaranya terhadap segala bentuk ancaman
organisasi teroris melampaui 6 (enam) terorisme yang mengganggu rasa aman dan
bulan, Kepala Kepolisian Negara Republik mengganggu kedaulatan negara. Pengaturan
Indonesia dapat mengajukan permohonan ini dimungkinkan dimana konstitusi Indonesia
perpanjangan ke Pengadilan Negeri Jakarta memberikan pembatasan dalam menjalankan
Pusat. Perpanjangan dapat diberikan paling hak dan kebebasan warga negaranya dalam Pasal
banyak 2 (dua) kali masing-masing paling 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan
lama 3 (tiga) bulan.25 dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
C. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
Pemberantasan kegiatan pendanaan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
terorisme memiliki kaitan yang erat dengan lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
perlindungan hak asasi manusia. Dalam sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
International Best Practices Targeted Financial agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
Sanctions Related to Terrorism and Terrorist Financing suatu masyarakat demokratis.
(Recommendation 6), FATF menyatakan: Dalam pelaksanaannya, pemblokiran dana
Efforts to combat terrorist financing are greatly dan penempatan dalam daftar terduga teroris
undermined if countries do not freeze the atau organisasi teroris rentan melanggar
funds or other assets of designated persons and hak asasi yang dimiliki setiap warga negara
entities quickly and effectively. Nevertheless, in
determining the limits of or fostering widespread 26
FATF, International Best Practices Targeted Financial
25
Diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 31 UU Pemberantasan Sanctions Related to Terrorism and Terrorist Financing
Pendanaan Terorisme. (Recommendation 6), Paris: FATF/OECD, 2013, hal. 5.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 239


sebagaimana telah diatur oleh konstitusi. Hak pemblokiran terhadap dana seseorang maka
asasi yang rentan dilanggar antara lain hak orang tersebut kehilangan hak perlindungan atas
untuk hidup. Hak untuk hidup diatur dalam harta benda yang dimilikinya. Orang tersebut
Pasal 28A UUD Tahun 1945 yang menyatakan hanya dapat menggunakan sebagian dari harta
setiap orang berhak untuk hidup serta berhak bendanya antara lain untuk keperluan makan
mempertahankan hidup dan kehidupannya. sehari-hari orang yang tercantum dalam daftar
Dengan dicantumkan dalam daftar terduga terduga teroris dan organisasi teroris beserta
teroris dan organisasi teroris, terduga teroris keluarganya dan tanggungannya. Pengecualian
dapat kehilangan hak untuk hidup. Hal ini pemblokiran dana ini diatur dalam Pasal 34 UU
terjadi antara lain pada saat baku tembak Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
antara anggota Detasemen Khusus 88 Anti- Menurut Officer for Democratic Institutions
teror Kepolisian Republik Indonesia dengan and Human Rights, penempatan seseorang atau
kelompok terduga teroris di Tangerang organisasi dalam daftar terduga teroris atau
Selatan, Banten, yang mengakibatkan enam organisasi teroris melanggar hak asasi manusia
terduga teroris tewas, sementara satu orang antara lain hak atas privasi (the right to privacy),
lainnya ditangkap. Baku tembak terjadi selama hak milik (the right to property), hak berserikat
sembilan jam di sebuah rumah kontrakan di Jl. (the right of association), dan hak untuk bepergian
KH Dewantoro, Kampung Sawah, Ciputat.27 atau kebebasan bergerak (the right to travel or
Menanggapi penembakan terduga teroris freedom of movement).29
tersebut, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso Berkaitan dengan daftar terduga teroris
mengatakan, tidak semestinya para terduga yang dikeluarkan oleh PBB, dalam laporan bulan
teroris itu ditembak mati semua. Menangkap Maret 2007 United Nations High Commissioner
para terduga dengan cara hidup, tentu akan for Human Rights menyatakan:
lebih bermanfaat bagi Polri. Priyo Budi Santoso, While the system of targeted sanctions
persoalan berulang ini semestinya menjadi represents an important improvement over
pelajaran Polri mendatang. Semua penegak the former system of comprehensive sanctions,
hukum juga harus menghargai hak hidup it nonetheless continues to pose a number of
semua orang. Kedua, menangkap para terduga serious human rights concerns related to the
teroris tersebut dengan cara hidup, juga akan lack of transparency and due process in listing
memberi sudut pandang baru terkait pergerakan and delisting procedures. In brief, they include
kelompok berbahaya ini.28 questions related to:
Hak asasi berikutnya yang rentan dilanggar -- Respect for due process rights: Individuals
yaitu hak atas perlindungan diri pribadi, affected by a United Nations listing
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta procedure effectively are essentially denied
benda yang di bawah kekuasaannya (Pasal 28G the right to a fair hearing;
ayat (1) UUD Tahun 1945). Pencantuman -- Standards of proof and evidence in listing
dalam daftar terduga teroris mengakibatkan procedures: While targeted sanctions
orang atau organisasi mendapat sebutan against individuals clearly have a punitive
sebagai terduga teroris sehingga kehilangan hak character, there is no uniformity in relation
atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, to evidentiary standards and procedures;
martabat. Demikian pula dengan dilakukannya -- Notification: Member States are
27
6 Terduga Teroris Tewas dalam Baku Tembak dengan Densus responsible for informing their nationals
88, http://www.voaindonesia.com/content/enam-teroris- that they have been listed, but often this
tewas-dalam-baku-tembak-dengan-densus-88/1821232.
html, diakses 30 Januari 2014. 29
Officer for Democratic Institutions and Human Rights,

28
DPR Minta Kapolri Hentikan Tren Tembak Mati Terduga Combating the Financing of Terrorism While Protecting
Teroris, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/ Human Rights: A Dilemma?, Background Paper Giessbach
14/01/04/myvbho-dpr-minta-kapolri-hentikan-tren- II Seminar on Combating the Financing of Terrorism, Davos,
tembak-mati-terduga-teroris, diakses 30 Januari 2014. Switzerland, October 2008, hal. 9.

240 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


does not happen. Individuals have a right to
mengajukan perlawanan terhadap sebuah
know the reasons behind a listing decision,
keputusan.
as well as the procedures available for
Keempat, jangka waktu sanksi. Biasanya
challenging a decision; tidak ada batas akhir bagi individu-individu yang
-- Time period of individual sanctions:
terkena listing, yang mungkin berdampak pada
Individual listings normally do not include
dibekukannya aset-asetnya secara permanen.
an “end date” to the listing, which may
Semakin lama seseorang terkena listing, efek
result in a temporary freeze of assets
menghukumnya (efek punitif) akan semakin
becoming permanent. The longer anbesar. Kelima, aksesibilitas. Hanya negara yang
individual is on a list, the more punitive
dapat berfungsi sebagai pihak di PBB, yang
the effect will be; diasumsikan bahwa negara akan bertindak
-- Accessibility: Only States have standing
atas nama individu itu. Dalam praktiknya,
in the current United Nations sanctions
“keterwakilan” oleh negara ini seringkali tidak
regime, which assumes that the State will
terjadi, dan individu yang terkena listing itu
act on behalf of the individual. In practice,
benar-benar dieksklusi dari suatu proses yang
often this does not happen and individuals
mungkin akan memiliki dampak punitif yang
are effectively excluded from a process
langsung baginya. Keenam, ganti rugi. Tidak ada
which may have a direct punitive impact
pertimbangan ganti rugi bagi individu yang hak
on them; and asasinya dilanggar dalam proses listing.
-- Remedies: There is a lack of consideration
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak
to remedies available to individuals whose
asasi manusia dalam pelaksanaan pemberantasan
human rights have been violated in the
tindak pidana pendanaan terorisme, UU
sanctions process.30 Pemberantasan Pendanaan Terorisme telah
Dalam kutipan diatas, United Nations High memberikan pengaturan yang melindungi hak
Commissioner for Human Rights mengungkapkan asasi manusia. Pertama, UU Pemberantasan
permasalahan serius terkait dengan hak asasi Pendanaan Terorisme mengatur mengenai
manusia karena kurangnya transparansi pengajuan keberatan atas pemblokiran aliran
serta adanya masalah hukum terkait dengan dana terorisme. Pengajuan keberatan ini dapat
prosedur listing dan delisting. Pertama, hak dilakukan oleh setiap orang. Pasal 25 dan Pasal
atas proses hukum yang adil (due process 26 UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
rights). Individu yang terkena prosedur listing mengatur prosedur pengajuan keberatan sebagai
PBB pada dasarnya tidak berhak atas fair berikut:
hearing yaitu kesempatan membela diri dan 1) Pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan
mendapat kesempatan dan perlakuan yang pemblokiran disampaikan kepada PPATK,
sama dalam mengetahui, mengajukan berkas- penyidik, penuntut umum, atau hakim
berkas pembuktian dan memperoleh informasi. dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
Kedua, standard bukti dan pembuktian dalam hari sejak diketahui adanya pemblokiran.
prosedur listing. Tidak ada keseragaman 2) Keberatan disampaikan secara tertulis dan
dalam kaitannya dengan standar dan prosedur dilengkapi dengan:
pembuktian. Ketiga, notifikasi. Negara anggota a. alasan yang mendasari keberatan
PBB bertanggungjawab menginformasikan disertai penjelasan mengenai hubungan
kepada warga negaranya bahwa mereka sudah atau kaitan pihak yang mengajukan
tercantum dalam daftar, namun seringkali keberatan dengan dana yang diblokir;
hal ini tidak terjadi. Setiap individu berhak dan
mengetahui alasan ia diputuskan dimasukkan b. bukti, dokumen asli, atau salinan yang
dalam daftar, juga prosedur yang tersedia dalam telah dilegalisasi yang menerangkan
sumber dan latar belakang dana.
30
Ibid., hal. 7-8.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 241


3) Dalam hal keberatan diterima, harus teroris dan organisasi teroris sebagaimana diatur
dilakukan pencabutan pelaksanaan dalam Pasal 27 ayat (4) UU Pemberantasan
pemblokiran oleh PJK atau instansi Pendanaan Teroris.31
berwenang yang melakukan pemblokiran Berdasarkan pemeriksaan tersebut,
berdasarkan permintaan PPATK atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan
perintah dari penyidik, penuntut umum, penetapan yang menghapuskan atau
atau hakim. mempertahankan identitas orang atau korporasi
4) Dalam hal keberatan ditolak, pihak yang dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
mengajukan keberatan dapat mengajukan Terhadap penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
gugatan perdata ke pengadilan. Pusat, pemohon atau Kepala Kepolisian Negara
5) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak Republik Indonesia dapat mengajukan banding ke
ketiga yang mengajukan keberatan dalam Pengadilan Tinggi Jakarta. Penetapan Pengadilan
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Tinggi Jakarta bersifat final.32
pemblokiran, PPATK atau penyidik Ketiga, pelaksanaan pemblokiran aliran dana
menyerahkan penanganan dana yang terorisme dapat dikecualikan terhadap sebagian
diketahui atau patut diduga terkait Tindak dari dana untuk pemenuhan kebutuhan orang
Pidana Terorisme ke pengadilan negeri. atau korporasi yang diatur dalam Pasal 34 UU
6) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Pemberantasan Pendanaan Teroris, yang meliputi
diumumkan: pengeluaran untuk keperluan makan sehari-hari
a. terdapat pihak yang keberatan, orang yang tercantum dalam daftar terduga
pengadilan negeri melakukan teroris dan organisasi teroris beserta keluarganya
pemeriksaan guna memutuskan dana dan tanggungannya; biaya pengobatan atau
dikembalikan kepada yang berhak atau perawatan medis orang yang tercantum beserta
dirampas untuk negara; dan/atau keluarganya; biaya pendidikan anak; biaya
b. tidak ada pihak yang keberatan, sewa untuk rumah tinggal; biaya hipotek;
pengadilan negeri memutuskan biaya premi asuransi; pembayaran pajak; biaya
dana dirampas untuk negara atau pelayanan publik; biaya terkait penyediaan
dimusnahkan. jasa hukum; segala pembayaran yang berkaitan
Kedua, UU Pemberantasan Pendanaan dengan kewajiban terhadap pihak ketiga yang
Terorisme memungkinkan pengajuan keberatan timbul karena perikatan yang terjadi sebelum
atas penempatan dalam daftar terduga teroris pencantuman identitas orang atau korporasi
dan organisasi teroris. Keberatan ini dapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi
diajukan oleh setiap orang atau korporasi teroris; dan/atau biaya administrasi rutin
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pemeliharaan dana yang diblokir. Pengecualian
memperoleh penetapan tentang penghapusan ini dimaksudkan agar orang atau korporasi
identitasnya dari daftar terduga teroris dan yang terdaftar dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris. Permohonan tersebut harus organisasi teroris yang dananya diblokir dapat
disertai alasan yang memperkuat permohonan. tetap menggunakan sebagian dana yang diblokir
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian untuk pemenuhan kebutuhannya.33
melakukan pemeriksaan terhadap keberatan Keempat, pemulihan nama baik dan hak untuk
secara terbuka dengan mempertimbangkan mendapatkan kompensasi dan/atau rehabilitasi
alasan dan bukti yang diajukan oleh Kepala dalam hal terdapat putusan pengadilan yang
Kepolisian Negara Republik Indonesia serta 31
Diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Pendanaan
alasan yang diajukan pemohon. Pemeriksaan Terorisme.
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap 32
Diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Pendanaan
keberatan dilakukan oleh hakim yang berbeda Terorisme.
33
Diatur dalam Pasal 34 UU Pemberantasan Pendanaan
dengan hakim yang menetapkan daftar terduga
Terorisme dan penjelasannya.

242 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan asasi manusia sebagaimana terdapat dalam
bahwa orang atau korporasi tersebut bebas dari UUD Tahun 1945 dan UU HAM. Adapun
segala tuntutan pidana yang terkait dengan suatu pengaturan mengenai pemblokiran aliran
Tindak Pidana Terorisme atau tidak terdapat dana terorisme dan daftar terduga teroris dan
alasan bagi Kepala Kepolisian Negara Republik organisasi teroris dalam UU Pemberantasan
Indonesia untuk tetap mempertahankan identitas Pendanaan Terorisme rentan untuk terjadinya
orang atau Korporasi tersebut dalam daftar terduga pelanggaran hak asasi manusia, antara lain
teroris dan organisasi teroris. Hal ini dicantumkan hak untuk hidup (Pasal 28A UUD Tahun
dalam penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 1945) dan hak atas perlindungan diri pribadi,
mengenai penghapusan identitas orang atau keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
Korporasi.34 benda yang di bawah kekuasaannya (Pasal
Kelima, perlindungan hak asasi manusia juga 28G ayat (1) UUD Tahun 1945). Hal tersebut
diterapkan pada saat proses pemblokiran dana dimungkinkan di mana konstitusi Indonesia
terorisme dan pencantuman seseorang atau memberikan pembatasan dalam menjalankan
organisasi teroris dalam daftar terduga teroris hak dan kebebasan warga negaranya dengan
dan organisasi teroris dimana pemblokiran pertimbangan keamanan (Pasal 28J ayat (2)
dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri UUD Tahun 1945).
Jakarta Pusat. Dengan demikian PPATK, Untuk mencegah terjadinya pelanggaran
penyidik, penuntut umum, hakim maupun PJK hak asasi manusia dalam pelaksanaan
atau instansi berwenang tidak dapat sewenang- pemberantasan tindak pidana pendanaan
wenang melakukan pemblokiran terhadap terorisme, UU Pemberantasan Pendanaan
dana seseorang atau organisasi tanpa adanya Terorisme telah memberikan pengaturan yang
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melindungi hak asasi manusia dengan adanya
tersebut. Demikian pula pencantuman seseorang pengaturan mengenai pengajuan keberatan atas
atau organisasi dalam daftar terduga teroris dan pemblokiran aliran dana terorisme, pengajuan
organisasi teroris harus menggunakan penetapan keberatan atas penempatan dalam daftar terduga
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. teroris dan organisasi teroris, pengecualian
Beberapa hal tersebut menunjukkan pemblokiran aliran dana terorisme sebagian dari
pengaturan mengenai pemblokiran dana dana untuk pemenuhan kebutuhan orang atau
aliran terorisme dan daftar terduga teroris dan korporasi, pemulihan nama baik dan hak untuk
organisasi teroris dalam UU Pemberantasan mendapatkan kompensasi dan/atau rehabilitasi,
Pendanaan Teroris telah memberikan perlindungan dan bentuk pengawasan di mana baik pemblokiran
terhadap hak asasi manusia. maupun pencantuman seseorang atau korporasi
dalam daftar terduga teroris baru dapat dilakukan
IV. PENUTUP dengan adanya penetapan Pengadilan Negeri
A. Kesimpulan Jakarta Pusat.
UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
merupakan upaya pencapaian tujuan nasional B. Saran
membentuk suatu pemerintahan Negara UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Republik Indonesia yang melindungi segenap telah memberikan pengaturan pemblokiran
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah aliran dana terorisme dan daftar terduga teroris
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam dan organisasi teroris yang melindungi hak
alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. asasi manusia. Adapun dalam pelaksanaan
Indonesia merupakan negara hukum yang kedua kegiatan tersebut rentan melanggar hak
mengakui dan memberikan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu pelaksanaan
pemblokiran aliran dana terorisme dan daftar
34
Diatur dalam Pasal 33 UU Pemberantasan Pendanaan terduga teroris dan organisasi teroris penting
Terorisme dan penjelasannya.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 243


dilaksanakan sesuai pengaturan dalam UU DAFTAR PUSTAKA
Pemberantasan Pendanaan Terorisme sehingga
tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Buku
Effendi, A. Masyhur. Dimensi Dinamika Hak
Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia, 1993.
Effendi, A. Masyhur. Perkembangan Dimensi Hak
Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia,
2005.
FATF. International Best Practices Targeted
Financial Sanctions Related To Terrorism And
Terrorist Financing (Recommendation 6).
Paris: FATF/OECD, 2013.
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern
(Rechtstaat). Bandung: PT Refika Aditama,
2009.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-Dimensi HAM
Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme. Jakarta:
PPATK, 2011.

Website
“Dana Teroris Ditransfer dari Bank Besar”.
h t t p : / / w w w. h a r i a n s u m u t p o s . c o m /
arsip/?p=36576, diakses 3 Desember 2012.
“DPR Minta Kapolri Hentikan Tren Tembak Mati
Terduga Teroris”. http://www.republika.
co.id/berita/nasional/hukum/14/01/04/
myvbho-dpr-minta-kapolri-hentikan-tren-
tembak-mati-terduga-teroris, diakses 30
Januari 2014.
“FATF Public Statement-22 June 2012”. http://
www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon-
cooperativejurisdictions/documents/
fatfpublicstatement-22june2012.html,
diakses 25 September 2012.

244 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


“Ini Aliran Dana Hasil Rampokan Kelompok
Teroris Abu Roban”. http://www.
tribunnews.com/nasional/2013/05/15/ini-
aliran-dana-hasil-rampokan-kelompok-
teroris-abu-roban, diakses 18 Desember
2013.
“Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan
Terorisme”.http://www.bappenas.go.id/
files/6213/5227/9358/bab-6-pencegahan-
dan-penanggulangan-gerakan-terorisme.
pdf, diakses 18 Desember 2013.
“6 Terduga Teroris Tewas dalam Baku
Tembak dengan Densus 88”. http://www.
voaindonesia.com/content/enam-teroris-
t e w a s - d a l a m - b a ku - t e m b a k- d e n g a n -
densus-88/1821232.html, diakses 30
Januari 2014.

Makalah
Officer for Democratic Institutions and Human
Rights. Combating the Financing of Terrorism.
While Protecting Human Rights: A Dilemma?.
Background Paper Giessbach II Seminar on
Combating the Financing of Terrorism. Davos.
Switzerland, 2008.

Peraturan Perundangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang Tentang Hak Asasi
Manusia. UU No. 39 Tahun 1999, LN No.
165 Tahun 1999, TLN No. 3886.
________. Undang-Undang Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. UU No. 9 Tahun 2013, LN No.
50 Tahun 2013, TLN No. 3886.

MONIKA SUHAYATI: Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana... 245


INDEKS

A E
A Contrario, 201, 246 Eksistensi, 223, 228, 235
Administrasi, 163, 188, 189, 101, 192, 193, 222,
237, 242 F
Amar putusan, 201 Frekuensi, 216, 217, 218, 221, 222, 226, 229
Anthony Mason, 200
Argumentasi, 160, 218, 221 G
Arsyad Sanusi, 200, 213 Ganti rugi, 159, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193,
Asuransi, 156, 160, 242 241

B H
Badan Legislasi, 202, 203, 208 Hak Asasi Manusia, 154, 165, 173, 184, 200, 231,
Bank Century, 158, 166 233, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 243,
Bau, 187, 188, 189 244, 245
Belanda, 187, 188, 216 Hak atas Fair Agreement,  163
Bikameral, bicameralism, bikameralisme, 200, 203 Hak Atas Informasi, 149, 162, 163
Broadcasting, 215, 217 Hak Konsumen, 153, 154, 159, 161, 162, 163, 165
Hak untuk hidup, 231, 240, 243
C Holding Company, 223
Calon Tenaga Kerja Indonesia, 167, 169 Hubungan kerja, 169, 171, 173, 175, 176, 231
Congruent/Incongruent Bicameralism, 200 Hubungan, 154, 159, 165, 168, 169, 171, 173, 175,
176, 179, 180, 182, 186, 188, 189, 190, 193,
D 203, 204, 205, 206, 210, 211, 217, 221, 224,
Daftar terduga teroris dan organisasi teroris, 233, 231, 235, 241
238, 239, 240, 242, 243 Hukum alam, 184, 189, 195
Dana Pensiun, 156, 160 Hukum, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161,
Dapat mengajukan RUU, 201, 203, 204, 212 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171,
Data pertanahan, 191, 194 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180,
Dewan Perwakilan Daerah, 184, 190, 195, 197, 198, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190,
199, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 191, 192, 193, 194, 195, 198, 199, 200, 204,
209, 210, 211, 212, 213 206, 208, 209, 210, 213, 215, 217, 218, 219,
Dewan Perwakilan Rakyat, DPR, 153, 158, 166, 220, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229,
167, 169, 184, 197, 198, 201, 202, 203, 204, 230, 232, 234, 235, 236, 237, 238, 240, 241,
205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 242, 243, 244
215, 216, 222, 224, 228, 230, 231, 232, 233,
240, 244 I
Diversity of Content, 218, 222 Ikut membahas RUU, 198, 204, 205, 206, 208, 211,
Diversity of Ownership, 218, 222, 223 212
Dokumen, 162, 164, 167, 169, 171, 177, 179, 180, Interaksi, 185, 217
199, 232, 233, 238, 239, 241 International Convention for the Suppression of the
Financing of terrorism, 232

246 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


International Telecomunication Union, ITU, 217, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR, 155, 197,
218 213
Interpretasi, 199, 200, 206 Mbah periok, 188, 240
Isi Siaran, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 226, Mediasi, 161, 164, 184, 192, 193, 194, 195
227, 228, 229 Memberikan pertimbangan, 198, 205, 207, 208,
210, 212
J
Jasa sektor keuangan, 161 N
Judicial review, 198, 220, 221, 230 Negara kesejahteraan, 154, 155, 165
Negara, 153, 154, 155, 156, 158, 165, 166, 167, 169,
K 170, 171, 174, 175, 176, 177, 178, 179,180, 181,
Kelembagaan, 156, 157, 194, 206, 221, 222, 223, 182, 184,185, 186, 187, 188, 189, 192, 193,
224, 225, 228, 229, 246 195, 196, 197, 200, 201, 202, 204, 206, 207,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, 233, 238, 208, 210, 211, 212, 213, 215, 216, 218, 221,
239, 242, 243 222, 223, 225, 226, 229, 230, 231, 233, 234,
Keputusan tata usaha Negara, 192 235, 236, 237, 238, 239, 240, 242, 243, 244
Ketenagakerjaan, 155, 168, 169, 174, 175, 176, 179, Non originalism, 200
180
Keterlibatan, 198, 203, 204, 205, 212 O
Kewenangan, 155, 156, 157, 159, 160, 164, 197, Opini, 216, 227
198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, Original intent, 199, 200, 206
207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 216, 220, Originalisme, 200
221, 223, 224, 225, 228, 229, 235 Otoritas Jasa Keuangan, 153, 154, 156, 158, 159,
Kompensasi, 159, 164, 243 160, 164, 165, 166
Konstruksi Hukum, 164, 169, 173, 177
KPI, 215, 216, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 228, P
229, 230 Panitia Angket, 158
Partikelir, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190,
L 191, 192, 193, 195
Legislasi, 162, 169, 198, 201, 202, 203, 204, 207, Pasal 22D UUD 1945, 197, 198, 205
208, 211, 213, 216, 233, 237, 246 Pasar Modal, 154, 158, 160, 164, 234
Lembaga Penyiaran, 217, 218, 219, 220, 221, 222, Patujang, 185
223, 224, 225, 226, 227, 228, 229 Pelaksana Penempatan TKI Swasta, 173
Lembaga, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 164, Pelanggaran, 157, 160, 161, 162, 163, 170, 186, 191,
165, 194, 197, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 193, 222, 224, 226, 231, 233, 235, 237, 238,
206, 207, 209, 211, 213, 215, 216, 217, 218, 241, 243, 244
219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, Pembahasan, 159, 173, 177, 178, 179, 191, 198,
228, 229, 234, 246 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209,
Lex Specialis, 218 210, 211, 212, 217, 223, 228
Litera scripta, 199 Pembelaan, 161, 164, 165
LPB, 228 Pemblokiran aliran dana terorisme, 233, 237, 239,
LPK, 215, 220, 221, 222, 223, 225, 226, 228, 229 241, 242, 243
LPP, 215, 220, 221, 222, 223, 225, 228, 229, 238 Pemulihan nama baik, 242, 243
LPS, 215, 220, 221, 222, 223, 226, 227, 228, 229 Penafsiran doctrinal, 199
Luar negeri, 167, 168, 169, 170, 171, 173, 174, 176, Penafsiran etikal, 199
178, 179, 180, 182, 238 Penafsiran historis, 199
Penafsiran konstitusi, constitutional interpretation,
M 199, 200, 213
Mahkamah Konstitusi, MK, 155, 174, 197, 198, Penafsiran prudensial, 199
199, 203, 213, 220 Penafsiran structural, 199, 203, 204

INDEKS 247
Penafsiran tekstual (textualism or literalism), 199, 203 PPATK, 232, 233, 234, 237, 238, 241, 242, 243, 244
Pendanaan teroris, 231, 232, 233, 234, 236, 237, PT Marba, 184, 185, 188, 189, 190, 217, 218, 224,
238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245 226
Penegakan hukum, 156, 160, 162, 166, 185, 188, Publik, 217, 218, 220, 222, 224, 225, 229, 242
189, 190, 194, 196 Putusan, 173, 174, 184, 185, 186, 188, 190, 191,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 233, 237, 238, 192, 194, 197, 198, 199, 201, 208, 209, 210,
239, 242, 243 211, 212, 213, 220, 242
Pengajuan, 163, 201, 202, 203, 210, 212, 241, 242,
243 R
Pengecualian pemblokiran, 240, 243 Radiowet, 215
Pengguna jasa, 168, 169, 171, 173, 174, 175, 176, Rancangan undang-undang, RUU, 197, 201, 202,
177, 179, 180, 181 203, 204, 205, 207, 208, 209, 210, 215, 216,
Penyebab sengketa, 188, 190, 193 217, 223, 225, 228
Penyelenggaraan Penyiaran, 215, 216, 217, 219, Rapat paripurna DPR, 202, 205, 206, 209
220, 224, 226, 227 Regional, 168, 197, 224, 226
Penyelesaian sengketa alternative, 191, 192, 193 Regulator Penyiaran, 220, 223, 227, 228, 229
Penyiaran, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, Rehabilitasi, 242, 243
223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230 Represif, 186, 191, 193, 218, 219
Peradilan tata usaha Negara, 192, 195, 196, 235 Responsif, 164, 186, 190, 191, 194, 218, 219, 228,
Peraturan Bersama, 211, 212 229
Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013, 153, 156, RRI, 222, 225, 229
160, 162, 166 Rule of law (negara hukum), 231, 234, 235, 239
Peraturan OJK, 153, 154, 156, 160, 161, 162, 163, RUU, 197, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207,
164, 166 208, 209, 210, 211, 212, 215, 223, 225, 228,
Peraturan Pemerintah, 155, 156, 215, 220, 221, 229
227,231
Perbankan, 157, 158, 160, 164, 234 S
Perizinan, 157, 172, 185, 194, 218, 224 Sengketa, 156, 159, 164, 165, 166, 183, 184, 185,
Perjanjian kerja, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194,
174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182 195, 210
Perjanjian penempatan, 170, 173, 174 Siaran, 215, 217, 218, 220, 221, 222, 223, 224, 225,
Perlindungan Konsumen, 153, 154, 155, 156, 157, 226, 227, 228, 229
159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 167 Sinkronisasi, 154, 161, 162
Perlindungan, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, Sistem Penyiaran, 217, 219, 220, 221, 229
161, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 169, 170, Strong bicameralism, 200
173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 182, Substansi, 153, 154, 156, 160, 162, 163, 164, 174,
223, 229, 236, 239 240, 243, 247 175, 177, 178, 179, 181, 186, 210, 216, 218,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 154, 232, 236 220, 221, 224, 226, 228, 233, 237
Persetujuan, 157, 160, 163, 174, 175, 176, 178, 180, Syarat, 154, 158, 164, 169, 170, 171, 172, 173, 174,
181, 198, 205, 206, 207, 208, 211, 212 175, 177, 178, 179, 186, 226, 235, 239
Pertimbangan, 174, 179, 198, 201, 203, 204, 205, Symmetrical/asymmetrical bicameralism, 200
206, 207, 208, 210
Perwakilan, 213, 214. 215, 216
T
Peta pertanahan, 194
Tanah, 167, 168, 177, 183, 184, 185, 186, 187, 188,
Petita, 201
189, 190, 191, 192, 193, 194, 195
Politik hukum, 185, 189, 218
Tata Tertib DPR, 201, 202, 204, 207
Presiden, 155, 156, 197, 198, 201, 202, 203, 205,
Teknologi, 170, 216, 218, 223
206, 207, 209, 210, 211, 212, 215, 216, 224
Tenaga Kerja Indonesia, 167, 169, 173, 175, 176,
Program Legislasi Nasional Prolegnas, 197, 198,
179, 182
201, 203, 204, 208, 209, 210, 212, 217, 233
Tim Pengawas, 158, 166
Program Siaran, 217, 218, 224, 226

248 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Tindak pidana pendanaan terorisme, 231, 232,233, UU PK, 154, 156, 159, 160, 162, 163, 164, 165
234, 241, 243, 245 UU, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162,
Tipologi, 184, 185, 186, 187, 189, 190, 191, 192, 163, 164, 165, 168, 169, 170, 171, 173, 174,
193, 194, 195 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183,
TVRI, 222, 225, 229 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192,
195, 196, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206,
U 207, 208, 209, 215, 216, 217, 218, 220, 221,
Unikameral, unicameralism, 200 222, 223, 224, 227, 228, 229, 230, 232, 233,
United Nations Guidelines For Consumer 234, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243,
Protection, 154 244, 245
Usul RUU, 201, 202 UUD 1945, 155, 156, 184, 197, 198, 201, 203, 204,
UU No. 1 Tahun 1958, 183, 184, 187, 188, 189, 205, 206, 207, 208, 210, 212, 236
190, 192, 195 UUD Tahun 1945, 173, 216, 239, 240, 243
UU No. 39 Tahun 2004, 167, 168, 169, 170, 171,
173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182 W
UU OJK, 154, 156, 157, 159, 160, 1161, 163, 164, Weak bicameralism, 200
165

INDEKS 249
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL NEGARA HUKUM

1. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum adalah tulisan yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan hukum dan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengembangan, gagasan konseptual, atau tinjauan
kepustakaan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Sistimatika tulisan hasil pemikiran/gagasan konseptual meliputi: judul, nama penulis (tanpa
gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak (maksimal 250 kata), yang terdiri dari ringkasan
singkat dari latar belakang, permasalahan, tujuan, kesimpulan, dan saran; kata kunci; I.
Pendahuluan, yang terdiri dari: A. Latar belakang, B. Perumusan Masalah, C. Tujuan; II. Teori
atau kerangka pemikiran; III. Analisis; IV. Penutup yang terdiri dari: A. Kesimpulan, B. Saran.
4. Sistimatika tulisan hasil penelitian meliputi: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik)
dan alamat e-mail, abstrak (maksimal 250 kata) yang terdiri dari ringkasan singkat dari latar
belakang, permasalahan, tujuan, kesimpulan, dan saran; kata kunci; I. Pendahuluan yang
terdiri dari:, A. Latar belakang, B. Perumusan Masalah, C. Tujuan, D. Metode Penelitian; II.
Teori atau kerangka pemikiran; III. Analisis Hasil Penelitian; IV. Penutup, yang terdiri dari:
A. Kesimpulan, B. Saran.
5. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word di atas kertas ukuran A4 dengan
jarak spasi rapat (satu spasi), jumlah halaman 15-20, huruf Arial, font 10. Penulis wajib
menyerahkan tulisan dalam bentuk hard copy dan soft copy ke Redaksi Jurnal Negara Hukum
e-mail: negarahukum_p3di@yahoo.co.id
6. Naskah diterima oleh Redaksi Jurnal Negara Hukum selambat-lambatnya awal Maret untuk
terbitan bulan Juni dan awal September untuk terbitan bulan November.
7. Penulisan sumber kutipan atau rujukan menggunakan sistem catatan kaki (footnote) dengan
urutan: nama pengarang/editor (tanpa gelar akademik), judul karangan (ditulis dengan huruf
miring/italic, kota penerbit, nama penerbit, tahun penerbitan, dan nomor halaman yang
dirujuk atau dikutip.
Contoh:
Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 23.
Sumber kutipan berikutnya yang menunjuk kepada sumber yang telah disebut dalam catatan
kaki di atasnya, menggunakan Ibid (jika halaman sama) atau Ibid.hal. 35. (jika berbeda
halaman).
Penulisan sumber kutipan yang telah disebut sebelumnya dan telah disisipi sumber kutipan
lain, sbb: nama pengarang, judul singkat, hal (tidak menggunakan op.cit, loc.cit).
Contoh:
Andrian Sutedi, Prinsip Kepentingan Umum, hal. 56.
8. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis, sebagai berikut:
Buku:
Sutedi, Andrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Jurnal/majalah:
Samsul, Inosentius. Pengaturan Kerangka Hukum Alternatif Penanganan Konflik Sosial: Studi
Terhadap Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan Adat Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Era Hukum. No.1/Tahun 16. September 2008.
Terjemahan:
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi (Law and Sosiety
in Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco. Jakarta: HuMa,
2003.
Surat Kabar:
Negara Ikut Lemahkan KPK. Media Indonesia, 9 November 2010.
Website:
Mulhadi, Relevansi Teori Sosiological Yurisprudensi dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia.
http://www.search-ebooks.com, diakses tanggal 4 Juni 2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No. 67 tahun 2007.
TLN. No. 4724.

You might also like