You are on page 1of 274
Prolog Gadis berumur dua puluh lima tahun itu hanya bisa menangis menahan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, sembari terus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia bukan gadis biasa, tak sepantasnya ia diperlakukan buruk oleh mama tirinya. Gadis itu bernama Raina, seorang putri dari konglomerat kaya di kotanya. Namun ia harus mau menjadi pembantu di rumahnya sendiri karena mama tirinya yang begitu tega menyiksanya bila keinginannya tidak segera dipenuhi. "Non," panggil seorang wanita dengan nada lirihnya sembari terus berjalan pelan ke arah Raina. "Bibi," panggil Raina lirih, matanya kembali menangis merasakan tubuhnya yang sudah banyak lebam dan luka. "Ya ampun Non, wajah Non pucat sekali. Non pasti belum makan ya? Ayo kita makan Non." Wanita yang sudah mengurus Raina dari kecil itu menangis melihat majikannya harus mengerjakan pekerjaan rumah, yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. "Tidak, Bi. Aku takut ...." Raina mengusap air matanya, bibir pucatnya berusaha tersenyum walau terasa sulit. "Aku tidak apa-apa kok," lanjutnya terdengar serak sembari kembali mengepel lantai. “Tapi Non tidak seharusnya bekerja dengan perut kosong. Apalagi sudah beberapa Minggu ini semenjak Tuan sakit, Non terus mengerjakan pekerjaan rumah, padahal kan ada kami, Non." Wanita yang biasa dipanggil dengan sebutan bibi itu berujar penuh rasa bersalah, air matanya tak mampu terbendung acap kali melihat putri dari majikannya itu menderita dan tersiksa. “Aku benar-benar tidak apa-apa, Bi. Sekarang yang aku pikirkan itu cuma Papa, bagaimana keadaan Papa saat ini? Sudah hampir seminggu Tante Lina membawa Papa ke panti jompo, aku ingin melihatnya dan merawatnya. Apalagi kondisi Papa sekarang sedang sakit, bagaimana caranya aku bisa bertahan di sini?" Raina kembali menitikkan air matanya, rasanya ia sudah tidak sanggup lagi berada di rumahnya sendiri, ia ingin segera pergi dari sana dan mencari papanya. "Bibi mengerti perasaan Non, tapi Bibi sendiri juga tidak tahu harus berbuat apa. Cuma Non yang bisa menghentikan Nyonya Lina, seharusnya Non yang melawannya." "Itu mustahil, Bi. Tante Lina bisa saja menyakiti Papa kalau aku melawan." "Ini semua Nyonya lakukan karena dia ingin menguasai harta Non dan Tuan. Non harus bisa melawannya dengan cara meminta bantuan pada orang terdekat Tuan, mereka pasti mau membantu Non mengusir wanita itu." "Sudahlah, Bi. Aku tidak ingin melawan Tante Lina, aku takut dia justru akan menyakiti Papa. Dan lagi, aku juga tidak butuh semua harta ini, bagiku yang paling penting itu keselamatan Papa." Raina menundukkan wajahnya, hati dan In Bed Doctor - 2 tubuhnya sudah cukup lelah untuk bertahan, namun bila mengingat papanya sendiri di dunia ini, rasa bertahan itu kembali muncul untuk mengingatkannya agar tetap hidup. "Bibi mengerti, Non. Tapi Non harus makan dulu ya? Biar saya yang melanjutkan mengepel lantainya. Saya sudah menyiapkan makanan di dapur, Non makan ya?" Raina hanya tersenyum tipis dengan kepala menggeleng, ia tidak mau mendapatkan masalah lagi dengan melanggar perintah mama tirinya. "Sudahlah, Bi. Aku tidak apa-apa," jawab Raina seadanya. "Saya tadi melihat Nyonya ke kamarnya bersama dengan selingkuhannya itu. Jadi Non tenang saja, Non tidak akan ketahuan." "Tapi, Bi ...." "Sudahlah, Non. Non makan saja, Non terlihat sangat pucat, Non pasti lapar kan?" "Iya sih, Bi." "Ya sudah, Non makan saja. Biar saya yang melanjutkan Raina hanya bisa tertunduk saat memikirkan ucapan asisten rumah tangganya, baginya apa yang wanita itu lakukan memang benar adanya. Perutnya terasa sangat lapar, namun mama tirinya belum menyuruhnya makan. "Non ke dapur ya?" pintanya lagi yang kali ini Raina angguki lalu berjalan ke arah dapur setelah menyerahkan alat pelnya ke asistennya tersebut. "He, he, mau ke mana kamu?" Kini suara mama tirinya terdengar, membuat Raina menghentikan langkahnya lalu menoleh ke asal suara, di mana mamanya menatap tak suka ke arahnya. "Tante ...." Raina bergumam takut, begitupun dengan asistennya. Ikesweetdevil - 3 "Non Raina cuma mau ke kamar mandi, Nyonya." Asistennya itu. menyahut bohong agar Raina tidak mendapatkan masalah. "Terus kenapa kamu yang mengganti pekerjaannya?" tanya Lina marah sembari menunjuk ke arah sapu pel yang dipegang wanita itu. “Saya cuma mau membantu Non Raina sebentar, Nyonya." "Berani ya kamu?!" sentak Lina marah. "Sudahlah, Tante. Tolong jangan marahi Bibi, ini kan salahku." Raina menyahut lemas, ia tidak mungkin membiarkan asisten rumah tangganya mendapatkan masalah hanya karena ingin membelanya. "Bagus ya kalau kamu sadar? Tapi sekarang kamu harus masuk ke mobil ikut aku." Lina menjawab geram, sebenarnya ia ingin menyiksa Raina, namun rencananya kini sudah jauh berbeda. "Ke mana, Tante?" "Ke tempat Papamu," jawabnya malas, tapi tidak untuk Raina yang seketika tersenyum semringah. "Tante serius?" "Kenapa? Kamu tidak percaya? Kalau begitu, aku tidak akan mengantarkan kamu ke Papamu yang penyakitan itu." "Tidak, Tante. Aku percaya kok, aku mau bertemu Papa." Raina menyunggingkan senyumnya ke arah asisten rumahnya yang turut tersenyum melihatnya bahagia, tanpa menyadari bagaimana Lina tersenyum licik ke arah mereka. eK Sudah hampir tiga tahun lamanya lelaki yang saat ini berada di kursi mobilnya itu tinggal jauh dari keluarganya. Karena alasan ingin sendiri dan berharap bisa melupakan Sinta, In Bed Doctor - 4 mantannya yang masih sangat dicintainya, namun justru menjadi istri dari kakaknya dan menjadi kakak iparnya. Lelaki itu bernama Rian, seorang dokter umum yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan spesialisnya. Kini ia berada di tempat di mana ia dan Sinta tidak akan bertemu. Kepindahannya ke kota yang lebih besar dan bekerja di sebuah klinik praktiknya sendiri, tak membuat Rian mampu melupakan cinta pertamanya itu. Padahal saat ini, wanita yang sudah menjadi kakak iparnya itu sudah memiliki putra berumur dua tahun. Mereka sudah hidup bahagia, membuat Rian tak mampu melihatnya kecuali ia sudah mencintai wanita lain. Namun sayangnya tidak ada wanita yang benar-benar bisa membuatnya jatuh hati sampai saat ini, padahal ia sudah beberapa kali menjalani kencan buta dengan beberapa wanita. Sekarang Rian tidak tahu lagi harus melakukan apa, hari liburnya hanya ia habiskan dengan mengendarai mobil ke beberapa tempat wisata menarik yang cukup menyejukkan matanya. Ya, setidaknya hanya dengan cara itu Rian bisa menghibur dirinya. Kini mobilnya sudah membawanya ke sebuah tepi sungai yang cukup menakjubkan untuk matanya nikmati, tempat itu begitu sepi dan sunyi, dengan suara gemercik air sebagai pelengkapnya. Melihat semua itu, Rian memutuskan untuk keluar mobil, ia berniat menikmati suasana segar di sana. Tidak jauh dari tempatnya, sebuah mobil berhenti mendadak lalu keluar seorang gadis yang tengah menangis bersama dengan wanita cantik berumur empat puluh tahunan. Mereka terlihat sedang tidak baik, Rian bisa melihat semua itu, namun ia berusaha mengacuhkannya, ia tidak suka ikut campur dengan masalah orang lain yang tidak dikenalnya. "Tante, kita kenapa berhenti di sini?" Gadis itu bertanya tak mengerti, air matanya masih belum kering, setelah Ikesweetdevil - 5 mendengar ia diperbolehkan bertemu dengan papanya yang stroke, yang saat ini berada di sebuah panti jompo. “Menurutmu untuk apa?" Wanita dengan dandanan tebal itu. bertanya sinis dengan sesekali melirik ke arah selingkuhannya yang sudah keluar dari mobil. “Bukannya kita akan ke panti jompo? Kita akan menjemput Papa pulang kan, Tante?" Gadis itu menatap ke arah mama tirinya sembari menatap takut ke arah bawah sungai yang menurutnya cukup mengerikan, namun mama tirinya itu terus memojokkannya hingga ke tepi sungai. "He, Raina. Kamu tidak akan bisa menemui Papamu lagi, karena sebentar lagi kamu akan mati." Gadis cantik bernama Raina itu terdiam, merasa tak mengerti dengan apa yang dimaksud mama tirinya. "Maksud Tante apa berbicara seperti itu? Aku tidak mau mati, Tante. Aku cuma mau bersama Papa. Itu saja sudah cukup. Kalau semua yang Tante lakukan ini cuma karena masalah harta Papa, Tante boleh memilikinya, asal Tante biarkan aku menjaga Papa." Raina bertekuk lutut di hadapan mama tirinya yang lagi-lagi tersenyum sinis melihatnya. "Ttu sama saja bohong, Raina. Kalau kamu masih hidup, harta Papa kamu juga tidak akan bisa menjadi milikku, karena kamu ahli warisnya. Tapi kalau kamu mati, dan Papa kamu masih hidup bersamaku, otomatis harta Papamu itu akan menjadi milikku semuanya." Wanita itu tersenyum licik yang digelengi tak percaya oleh Raina. "Jangan, Tante. Aku masih mau hidup bersama Papa, kalau aku mati bagaimana nasib Papa nanti? Papa sakit stroke, Papa masih sangat membutuhkan aku. Tolong biarkan aku merawat Papa, aku tidak akan mengambil harta Papa sedikitpun." Raina merengkuh kaki mama tirinya berharap wanita itu mau mempertimbangkan permohonannya. In Bed Doctor - 6 "Kamu pikir, aku bodoh? Kalau kamu masih hidup, kamu akan dengan mudah mengambil semua harta Papa kamu." Wanita itu menunjuk ke arah Raina yang terus menangis, sembari terus berharap nyawanya diampuni. "Tidak, Tante. Aku akan pergi jauh bersama Papa, aku tidak akan mengganggu Tante apapun yang terjadi. Tapi biarkan aku merawat Papa, aku ingin terus bersamanya." Raina terus saja memohon, berharap keinginannya dikabulkan dengan begitu ia akan benar-benar pergi dari kehidupan mama tirinya itu. Semua ini tidak akan terjadi, andai enam bulan yang lalu papanya tidak menikahi wanita itu. Karena setelah lima bulan dari pernikahan mereka, papanya dibuat stroke dan akhirnya tidak bisa apa-apa. Sedangkan wanita itu semakin berkuasa dan memperlakukan Raina dengan seenaknya. Semua itu tidak akan seberapa bila dibandingkan dengan kelakuan mama tirinya yang seenaknya membawa selingkuhannya ke dalam rumah dan memperlihatkan kemesraannya di depan papanya. Raina hanya bisa membawa papanya pergi bila saat itu terjadi, karena memperingati atau melawan mamanya pun juga tidak akan bisa Raina lakukan. Ia hanya seorang diri, sedangkan kondisi papanya semakin buruk setiap harinya. Seminggu yang lalu, mama tirinya membawa papanya ke sebuah panti jompo, sedangkan ia diperbudak dengan semakin menjadi-jadi. Rasanya Raina hampir tidak memiliki waktu untuk beristirahat, tubuhnya bahkan sampai lebam dan luka- luka karena pukulan mama tirinya. Lalu pagi tadi, tiba-tiba mama tirinya itu mengajaknya ke panti jompo di mana papanya dirawat. Tentu saja mendengar kabar itu, Raina merasa sangat bahagia, akhirnya setelah lama berpisah ia bisa bertemu dengan papa yang sangat Ikesweetdevil - 7 dirindukannya. Namun sayang itu hanya ilusi belaka, karena pada kenyataannya mama tirinya itu justru ingin membunuhnya. Sebenarnya sejak awal Raina sudah tahu bila mama tirinya itu ingin menguasai harta papanya, namun ia hanya bisa diam tanpa bisa menceritakannya dengan orang lain apalagi polisi. Karena akibat dari semua itu, papanya lah yang akan menjadi korban. Sekarang Raina merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa kecuali memohon dan memohon agar dirinya dibiarkan hidup bersama dengan papanya, ia tidak ingin apa- apa lagi kecuali pergi dari kehidupan mama tirinya dan tinggal dengan tenang bersama dengan papanya. "Sudahlah, Sayang. Kita lempar saja dia ke sungai, dengan begitu kita bisa bersenang-senang menikmati harta papanya. Kamu masih ingat kan dengan ucapan pengacara suamimu itu, kalau harta suamimu itu tidak akan jatuh ke siapapun kecuali anak itu." Kini suara lelaki yang menjadi selingkuhan mama tirinya itu berbicara dengan nada keangkuhan, membuat Raina semakin ketakutan, ia tidak ingin pergi dengan meninggalkan papanya seorang diri. “Tolong biarkan aku hidup, Tante. Aku benar-benar tidak akan mengambil harta Papa sedikitpun." Raina terus saja memohon, yang sempat membuat mama tirinya bimbang. “Sayang, kamu harus ingat kalau pengacara itu tidak akan pernah memberikan harta suamimu ke kamu sebelum ahli warisnya meninggal, itu artinya kamu tidak akan menikmati harta suamimu kalau kamu membiarkan dia hidup." Lagi-lagi lelaki itu memengaruhi mama tirinya Raina, membuat wanita itu terpengaruh dan pada akhirnya mengikuti ucapannya. "Baik, kita bunuh anak ini. Kita lemparkan dia ke sungai sekarang." In Bed Doctor - 8 Raina menggeleng kuat, air matanya terus mengalir dengan berusaha memberontak saat mama tirinya dan selingkuhannya itu menarik kedua tangannya kuat-kuat, berniat mendorongnya ke sungai. "Jangan, Tante. Tante ...." Raina hanya bisa menangis saat mereka terus berusaha membawanya ke tepi sungai yang cukup tinggi dan curang dengan gelombang air yang cukup menakutkan. Di sisi lainnya, Rian terus memerhatikan apa yang sedang terjadi dengan mereka, karena Rian pikir tingkah laku mereka ada yang salah. Terlebih lagi saat dua orang dia antara mereka membawa seorang gadis itu ke tepi sungai. “Apa yang mereka lakukan?" Rian mulai berlari ke arah mereka, berniat mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. "WOEI. APA YANG KALIAN LAKUKAN?" teriak Rian sembari terus berlari, membuat mama tirinya Raina dan selingkuhannya terkejut melihatnya, lalu dengan cepat mendorong Raina ke sungai. "Tante ... akhhhh ...." Raina berteriak keras saat tubuhnya didorong masuk ke sungai, sedangkan orang-orang yang sudah mendorongnya kini pergi melarikan diri. Rian sempat terdiam melihat tubuh gadis itu melayang masuk ke sungai, jantungnya berdebar tak karuan seolah ingin berhenti di saat itu juga. Sampai saat Rian tersadar, lalu membuka sepatu, kaos kaki, dan jaketnya. Rian berniat terjun ke sungai untuk menyelamatkan gadis itu. "Tuhan, apa benar ini akhir dari hidupku? Tapi aku masih ingin hidup, aku harus menjaga Papa. Tolong berikan aku seseorang untuk menyelamatkan aku, Tuhan. Aku janji, aku akan mencintainya dan mau menikah dengannya bila dia seorang lelaki. Tapi jika seorang perempuan, aku rela menjadi Ikesweetdevil - 9 pelayannya sampai kapanpun yang dia inginkan" Raina memejamkan matanya sampai saat tubuhnya basah dan tenggelam, ia masih berusaha menggapai udara, meskipun ia tidak bisa berenang sebelumnya. Sekarang yang Raina lakukan hanya berusaha menggapai sesuatu yang bisa menahan tubuhnya, dengan hati yang terus berdoa dan memohon, berharap ia bisa diselamatkan seseorang. Sampai saat tubuhnya serasa lemas, udara yang sejak tadi ditahannya sudah tidak lagi ada, Raina mulai menyerah, kesadarannya mulai menghilang. “Papa, maafkan aku ...." soko Rian menggapai tangan gadis yang hampir terbawah arus, lalu menariknya sekuat tenaganya dan merengkuh tubuhnya untuk dibawa ke tepian sungai. Setelah berhasil, Rian langsung memberikan pertolongan pertama dengan cara memberinya nafas buatan dan menekan dadanya beberapa kali. “Ayo, ayo, bangun ...," gumam Rian khawatir, ia berusaha melakukan apapun yang sudah menjadi kewajibannya sebagai dokter. Sampai gadis itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan air dari mulutnya, Rian seketika bernafas lega melihatnya. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Rian sembari membantu gadis itu bangun. "Iya. Tidak apa-apa. Terima kasih ...," jawabnya dengan berusaha bernafas sebisanya. "Kenapa kamu didorong ke sungai oleh mereka? Itu bisa membunuh kamu, apalagi kamu tidak bisa berenang." Rian bertanya ke arah Raina, namun gadis itu justru menangis mendengar pertanyaannya. "Dia Mama tiriku dengan selingkuhannya. Mereka memang berniat membunuhku, karena mereka ingin In Bed Doctor - 10 mendapatkan harta Papaku." Raina menjawab lirih dengan sesekali terisak, membuat Rian terdiam tak bisa berkata apa- apa. “Aku bersyukur karena kamu menyelamatkan aku, kalau tidak, bagaimana nasib Papaku nanti? Mereka pasti akan memperalat Papa sampai mereka berhasil menguasai semuanya." Raina terus menangis sembari menatap ke arah Rian yang masih menampilkan ekspresi yang sama. "Kenapa kamu tidak melaporkan mereka ke polisi? Aku bisa membantumu, aku juga mau menjadi saksi atas apa yang sudah mereka lakukan ke kamu." Rian menawarkan bantuannya, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menghibur gadis itu. "Aku tidak mau melaporkan mereka, aku terlalu takut. Aku cuma ingin tinggal bersama Papaku dan sembunyi dari mereka sampai kapanpun." Raina menekuk lututnya lalu merengkuh tubuhnya yang basah dan kedinginan. "Kalau kamu membiarkan mereka, itu sama saja kamu memberikan apa yang mereka inginkan dengan percuma.” "Aku tidak apa-apa. Aku juga tidak butuh harta, karena bagiku harta yang paling berharga cuma Papa. Aku akan melindungi dan menjaga Papa apapun yang terjadi, meskipun itu artinya harus kehilangan semua harta yang Papa miliki. Bisa hidup dengan tenang bersama Papa, itu sudah cukup." "Baiklah, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Tapi kamu harus menjalani beberapa tes medis, aku takut masih ada air di paru-parumu. Kamu _perlu dirawat." Rian membangunkan tubuhnya sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Raina. "Aku tidak mau dirawat, aku merasa baik-baik saja." Raina menerima uluran tangan Rian lalu mendirikan tubuhnya yang masih terasa lemas. Ikesweetdevil - 11 "Kenapa tidak mau? Aku ini seorang dokter, aku tahu kondisimu sekarang masih kurang baik. Jadi aku mohon ikutlah denganku ke rumah sakit, aku akan membantumu." "Aku benar-benar tidak apa-apa. Aku takut kalau aku berkeliaran di tempat umum, Mama tiriku akan berusaha membunuhku lagi." Raina menjawab lirih, yang mau tak mau harus Rian mengerti, karena ia sendiri juga paham dan tahu bagaimana mama tiri dari gadis itu begitu tega mendorongnya ke sungai. "Kalau begitu kamu ke rumahku dulu, aku akan meminjami kamu baju dan memeriksakan kondisimu di sana." Raina sempat terdiam saat Rian menawarkan bantuannya lagi, ia sendiri masih bingung dengan bagaimana cara untuk membawa papanya pergi dari panti jompo. "Aku mau ikut denganmu, tapi apa aku bisa meminta bantuanmu lagi?" Raina bertanya penuh harap yang hanya bisa Rian angguki, Rian sendiri tidak pernah tega melihat seorang gadis kebingungan dan ketakutan seperti itu. "Kamu mau aku melakukan apa?" "Papaku sedang sakit stroke, tapi Mama tiriku membawanya ke panti jompo. Tidak bisa kah kamu membantuku untuk membawa Papaku dari sana? Aku tidak ingin ada yang menyakitinya lagi terutama Mama tiriku, aku harus bisa menjaga dan melindungi Papaku dari mereka." Raina menundukkan wajahnya, ia tahu bila permintaannya mungkin dikategorikan tidak tahu malu, karena sudah ditolong tapi masih mau minta tolong lagi, namun ia sendiri juga bingung harus meminta bantuan ke siapa lagi kalau bukan ke lelaki yang sudah menyelamatkan nyawanya. Sedangkan Rian hanya menghela nafas panjangnya, ia hanya tidak menyangka saja bila di dunia ini masih saja ada gadis setulus itu, yang begitu menyayangi orang tuanya tanpa In Bed Doctor - 12 memikirkan harta terlebih lagi hidupnya sendiri. Sekarang Rian tahu harus berbuat apa, ia akan membantu gadis yang belum diketahui namanya itu. "Itu mudah, aku akan membantumu. Tapi aku belum tahu nama kamu, nama kamu siapa?" Rian menjulurkan tangannya ke arah Raina yang tersenyum lega mendengar jawabannya. "A-aku Raina. Kamu serius mau membantuku?" Raina menerima tangan Rian, merasa belum percaya saja bila lelaki itu masih mau membantunya. "Iya, aku mau. Kamu tenang saja." Rian menarik tangannya, namun Raina justru menahannya, matanya berbinar seolah Rian adalah pangerannya. "Maaf, tanganku ...." Rian menunjuk ke arah tangannya, namun Raina justru menggeleng sembari tersenyum manis ke arah Rian. "Nama kamu siapa?" “Aku ... Rian ...." Raina terus tersenyum sembari melepas tangan Rian secara perlahan, seperti pada janjinya, ia akan berusaha mencintai lelaki itu apa adanya, karena dialah yang sudah menyelamatkan nyawanya. Ikesweetdevil - 13 Part O14. Raina menurunkan tubuhnya dari mobil Rian setelah mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana namun nyaman dipandang mata. Raina hanya bisa berjalan mengikuti langkah Rian, sembari merengkuh tubuhnya sendiri yang terasa semakin dingin, padahal Rian sudah memberikan jaketnya untuk ia pakai. Sampai saat keduanya masuk ke dalam rumah, Raina menghentikan langkahnya berniat menunggu Rian di ruang tamunya. “Aku akan menunggu di sini, bajuku juga masih basah, aku tidak akan duduk di sofa." Raina berujar lirih sembari tertunduk tanpa mau menatap ke arah Rian yang mengangguk. “Baiklah, aku akan kembali membawa baju untuk kamu pakai." Rian berjalan ke arah kamarnya, sedangkan Raina hanya mengangguk samar, merasa canggung saja bila harus bersama dengan Rian di sebuah rumah. Tak lama dari itu, Rian kembali dengan memakai baju yang berbeda dari sebelumnya. Karena sudah menyelamatkan Raina, tentu saja baju lelaki itu juga basah, membuat Raina merasa sangat bersalah saat melihatnya. In Bed Doctor - 14 "Ini bajuku, mungkin sedikit besar untuk tubuh kamu, tapi cuma itu bajuku yang paling kecil." "Iya, tapi di mana aku harus berganti baju?" “Di kamar itu," tunjuk Rian yang diangguki mengerti oleh Raina yang mulai berjalan ke arah sana. "Jangan lupa jaketnya juga dipakai, kamu harus tetap hangat agar tidak sakit." "Iya, terima kasih." Raina menundukkan kepalanya ke arah Rian lalu kembali berjalan ke arah kamar yang baru lelaki itu tunjuk. Di dalam sana, Raina kembali menangis menahan semua luka-luka yang berada di tubuhnya. Gesekan baju yang berada di kulitnya terasa perih untuk Raina rasakan, belum lagi kondisi tubuhnya yang masih basah, membuat luka itu terasa sakit dua kali lipat dari biasanya. Raina mengembuskan nafasnya beberapa kali menahan semua rasa sakitnya, sampai ia berhasil mengganti bajunya lalu memakai jaketnya. Dengan cepat, Raina menghapus air matanya, berusaha terlihat baik-baik saja, lalu keluar dari sana. "Sudah?" tanya Rian yang sedang menunggunya, yang langsung diangguki oleh gadis itu. "Kalau begitu kita ke ruanganku ya? Kamu harus aku periksa lebih dulu." "Iya," jawab Raina seadanya, lalu berjalan mengikuti Rian. "Kamu tidurlah di sana, aku akan mulai memeriksa kondisimu." Rian menunjuk ke arah brankar, yang hanya Raina angguki lalu melakukan apa yang Rian perintahkan. Saat sedang diperiksa, Raina hanya bisa merapatkan bibirnya saat Rian mengetuk dadanya beberapa kali dengan jari-jarinya, ia hanya tidak ingin lelaki itu tahu bagaimana jantungnya berdebar tak karuan di dalam sana. Sedangkan Rian sendiri justru terlihat tenang dengan sesekali mendengarkan Ikesweetdevil - 15 bunyi ketukan jarinya yang berada di dada Raina, dengan sesekali memindahkannya ke beberapa tempat. “Sepertinya air yang berada di paru-parumu tidak banyak." Rian menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah lemari kaca, di mana banyak berbagai obat berada di sana. "Jadi bagaimana kondisiku? Aku tidak perlu dirawat kan?" Raina bertanya kaku sembari membangunkan tubuhnya dari brankar. "Iya, cukup baik." Rian mengangguk setuju lalu memberikan obat dan air putih ke Raina. "Kamu harus minum ini untuk mengurangi rasa sesak akibat air di paru-parumu." Raina mengangguk mengerti sembari mengambil obat itu lalu meminumnya dan diakhiri dengan meminum air. "Kamu akan merasa lebih baik setelah beberapa jam. Lebih baik sekarang kamu istirahat di sini, aku akan menyiapkan makanan untuk kamu." Rian melangkahkan kakinya, namun Raina sudah cepat menarik kemejanya. "Kamu tidak perlu repot-repot sampai seperti itu, kondisiku tidak apa-apa kan? Bagaimana kalau kita ke panti jompo menemui Papaku? Kamu bilang mau membantuku ...." Raina berujar cepat, ia tidak ingin merepotkan Rian lebih jauh lagi. “Tapi perutmu kosong, kamu belum makan." "Tidak apa-apa, aku juga tidak lapar ...." Raina menghentikan ucapannya setelah mendengar bunyi dari perutnya, membuat Rian terdiam menatap tak percaya ke arahnya. "Jelas-jelas kamu sedang lapar," jawabnya tak habis pikir Jalu kembali berjalan keluar, tanpa menyadari bagaimana wajah Raina memerah karena malu. Namun karena tidak ingin In Bed Doctor - 16 semakin merepotkan, Raina turun dari brankar lalu berjalan mengikuti Rian. "Kenapa kamu kemari? Kamu kan harus istirahat?" tanya Rian setelah mengetahui Raina tengah berjalan di belakangnya. “Aku tidak mau semakin merepotkanmu, jadi biarkan aku membantumu." Raina menjawab lirih, ia tidak bisa melihat Rian kerepotan hanya karena dirinya, lelaki itu sudah sangat baik mau menolongnya. "Itu tidak perlu. Aku hanya memanaskannya. Mamaku sering mengirimiku banyak makanan matang.” Rian kembali berjalan ke arah dapur lalu mengambil beberapa makanan yang berada di kulkas lalu memanaskannya, sedangkan Raina hanya terdiam menatapnya. "Kenapa kamu tidak memasak sendiri?" tanya Raina tak mengerti, karena baginya makanan hasil masakan sendiri itu lebih enak dinikmati. “Aku tidak punya waktu, aku seorang dokter. Pagi hari sampai siang aku ada di rumah sakit, setelah pulang, aku harus membuka klinik praktikku sendiri sampai malam." Rian meletakkan makanan itu ke tempatnya masing-masing. "Emh ... istrimu ... di mana?" tanya Raina ragu-ragu, namun justru disenyumi oleh Rian. "Aku belum punya istri." Rian berjalan ke arah meja makan dan menyiapkan makanan di sana, tanpa menyadari bagaimana Raina tersenyum lega mendengarnya. "Kalau kekasih apa kamu memilikinya?" "Maksudmu pacar?" tanya Rian yang diangguki kaku oleh Raina. "Iya ...." Raina merapatkan bibirnya, merasa takut saja bila Rian ternyata sudah memiliki wanita yang dia cintai. “Aku juga tidak memilikinya ...." Rian menjawab lirih di akhir kalimatnya, ucapannya itu justru mengingatkannya pada Ikesweetdevil - 17 Sinta. Namun Rian tidak akan tahu, bagaimana Raina merasa bahagia mendengarnya, setidaknya ia akan mencintai lelaki yang belum memiliki dambaan hati. "Oh iya? Kenapa?" tanya Raina penasaran, rasanya hampir tidak mungkin saja bila lelaki tampan seperti Rian belum memiliki istri ataupun pacar. "Kamu sendiri kenapa banyak bertanya?" Rian memicingkan matanya ke arah Raina yang terkejut sembari membungkam mulutnya. “Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf, seharusnya aku tidak selancang ini. Maaf, maaf ...." Raina menyatukan telapak tangannya ke arah Rian, berharap Rian tidak terganggu dengan kelancangannya. "Sudahlah. Ayo makan, kebetulan aku juga belum sarapan." “Tapi kamu mau membantuku menjemput Papaku kan?" Raina berjalan di belakang Rian, ia tidak ingin lelaki itu mengurungkan niatnya untuk membantunya. "Kamu tenang saja, aku akan membantumu." "Terima kasih." Raina mengembuskan nafasnya dengan lega, Rian memanglah lelaki baik, Raina akan berusaha memenuhi janjinya. Rian dan Raina menatap ke arah gedung berlahan luas, di mana ada tulisan panti jompo di atas gerbangnya. Rian merasa belum yakin bila papa dari Raina itu berada di sana, apalagi gadis itu juga belum tahu di mana persisnya tempat papanya tinggal. "Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Rian tak yakin. "Ini panti jompo yang paling bagus di kota ini. Fasilitasnya cukup lengkap, di sini juga mau menerima orang In Bed Doctor - 18 tua yang memiliki penyakit seperti Papa." Raina menjawab mantap meski ia sendiri juga tidak yakin papanya berada di sana, namun setidaknya ia harus tetap berusaha mencarinya. "Ya sudah kalau begitu kita masuk sekarang." Rian melangkahkan kakinya ke arah gerbang masuk, diikuti Raina di belakangnya. Selama di perjalanan, Rian sempat menanyakan ke beberapa perawat di mana tempat informasi Jansia. Rian yang mengerti hanya berjalan mengikuti arahan orang-orang yang membantunya, sedangkan Raina sendiri mengikutinya dengan sesekali meneliti para lansia yang berada di sana. Melihat semua orang tua yang berada di sana, Raina merasa ini salah. Papanya masih dikategorikan muda, umurnya baru lima puluh tahun, masih jauh bila dibandingkan para orang tua yang tinggal di panti jompo itu. Namun mama tirinya itu begitu tega memasukkan papanya ke tempat yang tidak seharusnya, membuat Raina tidak bisa memaafkannya meski tidak ada yang bisa dilakukannya. "Itu tempatnya, kita akan ke sana." Rian menunjuk ke sebuah ruangan yang diangguki mengerti oleh Raina. Kini keduanya berjalan beriringan, Rian tampak tenang, tapi tidak dengan Raina yang merasa takut dan mengkhawatirkan kondisi papanya. “Permisi," sapa Rian ke arah seorang wanita yang tengah duduk di kursinya. "Iya, silakan masuk." Wanita itu mendirikan tubuhnya Jalu menyalami Rian dan Raina. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya wanita itu yang diangguki oleh Rian, lalu menoleh ke arah Raina. "Siapa nama Papamu?" tanya Rian ke arah Raina yang sempat kebingungan, namun pada akhirnya menjawab apa yang baru Rian tanyakan. Ikesweetdevil - 19 “Adnan Handoko." "Saya mencari lelaki lansia dengan nama itu, saya akan membawanya pulang. Beliau ayah dari gadis ini." Rian menunjuk ke arah Raina. “Papa saya masih muda, dia belum lanjut usia. Hanya saja kondisinya tidak bisa apa-apa karena penyakit stroke yang dideritanya. Saya mohon, biarkan saya membawanya pulang, Papa pasti mencari saya." Raina menyahut tegas, ia tidak ingin papanya disebut lansia seolah beliau lelaki tak berguna. “Adnan Handoko ya? Sebentar, saya carikan dulu ya?" Wanita itu membuka komputernya lalu mencari nama yang Raina sebutkan untuk mencari informasi nomor kamarnya. "Beliau berada di kamar empat kosong empat. Mari saya antarkan!" Wanita itu mendirikan tubuhnya sembari tersenyum ke arah Raina. "Jadi Papa saya ada di tempat ini?" “Iya, apa kamu mau menemuinya?" "Saya bahkan akan membawanya." Raina menjawab mantap, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melindungi papanya dari mama tirinya. "Lebih baik kita menemuinya dulu. Saya juga harus memastikan Anda memang putrinya atau bukan? Apa Pak Adnan ingin bersama dengan anda atau tidak." Wanita itu menjelaskan semuanya, namun Raina tidak bisa menerimanya. “Apa maksud anda? Anda tidak percaya dengan saya?" “Bukan begitu, tolong tenanglah. Pak Adnan ini memiliki wali yaitu Lina Sanjaya, istri sahnya. Kami tidak mungkin Jangsung memberikannya ke anda, kalau kalian tidak memiliki hubungan apapun." “Anda pikir ini masuk akal? Bagaimana mungkin seorang istri membiarkan suaminya yang sedang stroke untuk dirawat ke sebuah panti jompo?" Raina bertanya menantang yang In Bed Doctor - 20 diam-diam wanita itu setujui, memang aneh rasanya bila dipikirkan lebih jauh lagi, namun ia sendiri hanya seorang pegawai, ia hanya melakukan pekerjaannya. "Tenanglah, Raina. Ini masalah sepele, kamu pasti bisa membawa Papamu pergi dari sini." Rian menyahut tenang yang hanya bisa Raina diami. "Baiklah. Mari saya antarkan." Wanita itu kini mempersilakan Raina dan Rian untuk ikut dengannya, sampai saat mereka berjalan keluar menuju ruangan Adnan. Sesampainya di sana, mata Raina kembali menangis melihat papanya berdiam diri di atas kursi rodanya di sebuah kamar. "Papa ...," panggil Raina tak percaya lalu berjalan ke arah Papanya untuk memeluk erat tubuhnya dan menyalurkan rasa rindunya. "Rai ... na ...." Lelaki itu menjawab terbata, matanya memperlihatkan bagaimana ia begitu bahagia bisa melihat putrinya. “Anda bisa melihat sendiri kan, Raina memang putri dari lelaki itu? Seharusnya anda tidak bisa menahannya lebih lama lagi, karena Pak Adnan akan ada yang mengurusnya." Rian berujar tenang ke arah pegawai panti jompo itu. "Baiklah, Pak. Saya akan urus semuanya." "Bagus." Rian menjawab singkat sembari terus menatap ke arah Raina yang saat ini begitu erat memeluk tubuh papanya. Mereka terlihat sangat bahagia dan lega bisa kembali bersama. “Papa, maafkan aku ya, aku baru bisa menemui Papa sekarang." Raina berujar serak, matanya kembali menangis melihat tubuh papanya yang semakin kurus. "Tidak apa-apa. Wanita ... itu ... pasti ... yang ... membuat kamu ... tidak bisa ... menemui Papa kan?" Papanya itu menjawab dengan suara terpotong yang Raina dengar dengan penuh rasa sabar. Ikesweetdevil - 21 "Iya, Pa. Tapi Papa tenang saja, kita tidak usah kembali ke rumah kita yang dulu. Aku masih memiliki uang tabungan di rekeningku, kita bisa menggunakannya untuk mengontrak rumah dan membuka usaha." Raina menyunggingkan senyum hangatnya yang diangguki pelan oleh papanya yang tampak merasa lega sekaligus bahagia. Pemandangan itu terus ditatap oleh Rian, yang diam-diam merasa kagum dengan sosok Raina yang begitu melindungi papanya. Entah kenapa mengingatkannya akan sosok Sinta yang begitu tegar, yang mau mengorbankan segalanya demi seseorang yang paling disayanginya. “Raina,” panggil Rian yang ditoleh oleh empunya. "Iya," jawabnya sembari mendirikan tubuhnya lalu menatap ke arah Rian. "Kalau kamu tidak keberatan, kamu dan Papamu bisa tinggal di rumahku. Rumahku cukup besar kan, di sana aku juga membuka klinik untuk orang sakit seperti yang kamu lihat tadi. Kamu bisa membantuku menjadi perawat, anggap saja kamu bekerja di sana. Selain kamu bisa mendapatkan gaji, aku juga bisa merawat Papamu sampai sembuh, dan kamu juga bisa menjaga Papa kamu sepanjang waktu." Rian berujar tulus, ia memang berniat membatu Raina untuk keluar dari permasalahan hidupnya. “Kamu serius?" tanya Raina tak percaya, matanya bahkan hampir tidak berkedip sekarang. "Iya ... aku pikir itu bagus, dari pada kamu harus membuka usaha baru yang belum tentu berhasil, atau kamu mencari pekerjaan lain, yang tentunya tidak bisa menjaga papa kamu. Dan lagi, kalian juga bisa sembunyi di rumahku kan? Tapi, itupun kalau kamu mau," jawab Rian yang seketika disenyumi oleh Raina. In Bed Doctor - 22 "Tentu saja aku mau, terima kasih." Raina merengkuh kedua tangan Rian, merasa sangat bersyukur karena lelaki itu begitu baik dengannya dan juga papanya. Kalau terus seperti ini, Raina yakin dirinya bisa dengan mudah mencintai Rian. "Baguslah ...." Rian menyunggingkan senyum kakunya saat jari-jari Raina begitu hangat merengkuh tangannya. "Oh iya, aku perkenalkan kamu ke Papa ya?" "Iya, tentu." Raina menarik tangan Rian lalu menghadapkannya pada papanya. "Pa, perkenalkan ini namanya Rian. Dia yang sudah menolong kita untuk bebas dari Nenek sihir itu. Dia juga yang akan memberiku pekerjaan dan Papa juga bisa dirawat oleh dia, kebetulan dia seorang dokter, Pa. Hebat kan dia, Pa?" ujar Raina penuh semangat yang sempat membuat Rian canggung dengan suasana seperti ini. "Terima ... kasih ...." "Iya, Om. Om tidak perlu khawatir lagi mulai sekarang, saya akan berusaha membantu Raina sebisa saya." Rian menyunggingkan senyum tulusnya yang ditatap haru oleh papanya Raina. "Sekarang kita pulang ya?" ujar Rian sembari mendorong kursi roda papanya Raina, membuat gadis itu merasa bahagia bisa menemukan orang baik yang akan dicintainya. Ikesweetdevil - 23 Part 02. Setelah sampai di depan rumah Rian, kini mereka turun dari mobil, mereka sempat membantu Adnan turun lalu mendudukkannya kembali di kursi rodanya. Raina hanya tersenyum melihat Rian yang tengah mendorong kursi roda papanya, lelaki itu terlihat tulus saat melakukannya. Dan entah kenapa melihat Rian yang begitu baik pada papanya, membuat Raina tak bisa mengelak lagi, bila hatinya memang sudah mulai mencintai lelaki itu padahal mereka baru bertemu. “Om, ini rumah saya. Mungkin terlalu sederhana untuk Om, tapi saya harap Om bisa nyaman tinggal di sini bersama Raina." Rian menyunggingkan senyumnya sembari membuka pintu rumahnya, menunjukkan isi yang berada di dalamnya ke arah Adnan. "Bagus ... bagus kok ....". Adnan menjawab terbata, ucapannya memang tidak bisa jelas dan cepat, namun masih bisa dimengerti. "Kalau begitu saya tunjukkan kamarnya Om dan Raina ya?" Rian kembali mendorong kursi Adnan ke arah kamar pertama yang cukup dekat dengan ruangan praktiknya. In Bed Doctor - 24 Sedangkan Adnan hanya mengangguk, ekspresinya tampak nyaman dan bahagia bisa berada di rumah di mana ada putrinya juga di sana. Tidak seperti saat di panti jompo, ia sempat merasa kesepian dan takut terjadi sesuatu dengan Raina, namun lagi-lagi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan tingkah laku istrinya. "Nah ini kamarnya Om sama Raina. Kebetulan ada dua ranjang, biasanya saya gunakan untuk pasien darurat yang datang malam-malam dan harus diinfus." Rian terus masuk ke dalam dan menunjukkan isi kamarnya yang cukup nyaman seperti ruangan biasanya. "Om istirahat ya sekarang, Om pasti lelah di panti jompo tanpa mendapatkan penanganan medis. Kondisi Om bisa saja Jebih buruk dari ini, bila tidak diterapi dan diobati. Jadi mulai besok saya yang akan merawat Om, saya juga akan menyiapkan beberapa alat dan obatnya, supaya Om tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit. Semoga setelah semua itu Om bisa sembuh ya?" Rian berujar tulus sembari merengkuh tangan Adnan dan memberinya kepercayaan untuk tetap semangat menjalani pengobatannya. "Apa Papaku akan sembuh seperti dulu?" Kini Raina bertanya, nada suaranya terdengar tak yakin kali ini. "Tentu saja bisa, asal Papa kamu mau menjalani pengobatannya." Rian mendirikan tubuhnya yang disenyumi Jega oleh Raina. “Syukurlah. Terima kasih, Rian." "Iya, ayo bantu aku membaringkan Papa kamu." "Iya," jawab Raina terdengar sedikit lebih bersemangat Jalu. membantu Rian membopong tubuh papanya dan membaringkannya di ranjang. Ikesweetdevil - 25 "Papa istirahat ya, aku dan Rian keluar dulu." Raina menyunggingkan senyum hangatnya yang diangguki mengerti oleh papanya. Setelah membaringkan tubuh papanya di kamar barunya, kini Rian dan Raina berjalan ke arah luar. Dekat dari kamar itu ada ruang yang Rian jadikan sebagai tempat praktiknya, yang tadi Rian pakai untuk memeriksa kondisi Raina. "Seperti yang kamu tahu, itu ruang praktikku, kamu akan membantuku mulai besok." Rian menatap ke arah ruangan luas itu yang diangguki mengerti oleh Raina yang sempat takjub dengan kerapiannya di sana. "Rian. Terima kasih ya, karena kamu _ sudah menyelamatkan nyawaku dan membantuku lagi." Raina berujar tulus, ia merasa sangat berhutang budi pada lelaki itu. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Menyelamatkan nyawa orang adalah tugasku, tapi lebih dari itu semua karena campur tangan Tuhan juga." Rian menjawab seadanya, namun Raina justru tampak gelisah sekarang. “ya itu ... saat kamu menyelamatkan aku, sebenarnya aku sudah membuat janji pada Tuhan." “Maksud kamu apa?" tanya Rian tak mengerti. “Aku berjanji bila ada seorang lelaki yang menyelamatkan aku pada saat itu, aku akan belajar mencintainya dan mau menjadi istrinya. Tapi kalau yang menyelamatkanku perempuan, aku rela menjadi pelayanannya sampai kapanpun yang dia mau." Raina menjawab jujur dengan nada takut-takut, tapi tidak dengan Rian yang terkejut. "Jadi ... maksud kamu, aku akan menjadi suamimu begitu?" tanyanya tak percaya, merasa konyol saja dengan janji yang Raina ucapkan. “Aku tidak akan memaksa kamu untuk menikahiku, aku cuma akan mencintainya kan? Berarti aku akan belajar In Bed Doctor - 26 mencintai kamu, kalaupun suatu saat nanti kamu juga mencintaiku, aku bersedia menjadi istrimu." Raina menjawab cepat, ia berusaha menjelaskan janjinya. "Tapi kamu tidak perlu memikirkan hal ini, kamu bisa menganggap perasaanku tidak ada. Yang penting kamu memperbolehkan aku memenuhi janjiku, yaitu belajar mencintai kamu." Raina melanjutkan ucapannya yang kali ini cuma bisa Rian diami. Rian sendiri tidak mengerti pada dirinya sendiri kenapa ia justru merasa senang dengan apa yang Raina ucapkan, walau sebenarnya perjanjian yang Raina katakan itu cukup konyol didengar telinganya. Namun Rian juga tidak menutup kemungkinan, bila suatu saat nanti mungkin ia dan Raina bisa bersama dan menikah. Dia gadis yang baik, mencintainya bukanlah kesalahan. "Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjanjikan perasaanku ke kamu. Andai suatu saat nanti kamu merasa lelah menungguku, kamu bisa mengingkari janjimu." Rian menjawab seadanya, ia tidak ingin membuat gadis sebaik Raina kecewa dan terluka karena hidupnya sudah cukup berat untuk gadis itu sanggah sendiri. Sedangkan Raina hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. "Rasanya seperti tidak mungkin bila aku lelah menunggumu, Rian. Kamu lelaki baik, aku bahkan akan berusaha keras mendapatkanmu." Raina bergumam dalam hati, merasa yakin dengan perasaannya sendiri. "Kamu istirahatlah, aku juga akan istirahat. Besok aku harus kembali bekerja. Dan oh iya, itu kamarku, kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa memanggilku." Rian menunjuk ke arah kamar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar yang Rian sediakan untuk Raina. Ikesweetdevil - 27 "Iya, terima kasih. Istirahatlah." Raina tersenyum hangat sembari terus menatap ke arah Rian yang tengah berjalan ke arah kamarnya. Rian menggosok rambut basahnya dengan handuk kering setelah keluar dari kamar mandi. Hari ini cukup berat untuk Rian jalani, namun ia senang karena kini ada Raina dan papanya yang akan menemaninya di rumahnya yang sempat sepi dan membosankan. Terlebih lagi, Rian memang tidak pernah tega melihat seseorang menderita apalagi itu seorang wanita dengan ayahnya yang tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin, karena alasan itu juga kenapa Rian memilih menjadi dokter, ia merasa bahagia bisa membantu orang yang membutuhkan bantuannya. Namun karena keinginannya itu juga lah, ia kehilangan Sinta, kekasih pertamanya yang masih sangat Rian cintai. Dulu, Rian dan Sinta adalah sepasang kekasih semasa SMA. Hubungan mereka cukup lama terjalin hingga mereka duduk di bangku kuliah. Rian yang memilih jurusan berbeda dengan kekasihnya itu justru membuatnya berpikir untuk bermain-main dengan wanita lain, baginya saat itu adalah hal biasa, karena teman-temannya juga melakukannya. Tapi tidak dengan Sinta, wanita itu begitu menderita dan terluka parah hingga trauma dan sempat tidak percaya pada cinta. Sekarang Rian mengerti, bila kenakalan semasa kuliahnya mungkin menjadi hal biasa untuk setiap orang, tapi tidak untuk beberapa orang yang pernah mendapatkan luka yang sama. Itulah kenapa Rian berusaha untuk tidak mudah mencintai seorang wanita, karena ia takut akan melukai dan mengecewakannya bila hatinya nanti berubah. In Bed Doctor - 28, Rian pikir, hatinya harus benar-benar yakin mencintai seseorang sebelum menyatakannya langsung pada orang tersebut. Rian juga tidak mau bila suatu saat nanti ia justru berpaling dan menyakiti hati perempuan lagi. Rian menghela nafas panjangnya sembari berusaha terlelap di atas ranjangnya. Hampir setiap malam Rian tidak bisa tidur, bayang-bayang Sinta yang sudah bahagia dengan kakaknya membuat hatinya resah, ada rasa di mana ia merasa tidak rela. Otaknya selalu berpikir dan berpikir, bagaimana nanti bila Sinta disakiti kakaknya dan kembali terluka. Tanpa sadar, Rian terus mengkhawatirkan Sinta setiap malam, padahal wanita itu sudah sangat bahagia hidup bersama dengan kakaknya. Mungkin karena Rian belum bisa melupakannya, ada rasa cinta yang masih tertinggal di hatinya untuk wanita cantik itu. Tidak, Rian menggeleng kuat, ia tidak boleh menyimpan perasaan itu untuk wanita yang sudah menjadi kakak iparnya. Namun lagi-lagi Rian menyerah, ia selalu berusaha melupakan semuanya namun bayang-bayang Sinta masih terus memenuhi otaknya. "Aku harus melupakan Sinta. Harus!" Rian memejamkan matanya berharap bisa tertidur, namun seperti malam-malam sebelumnya, matanya menolak untuk terlelap. “Akkhhhh ...." Rian berteriak frustrasi, hatinya kembali tidak tenang, padahal tubuh dan matanya sudah sangat lelah ingin beristirahat, namun hati dan otaknya justru menolak. Tidak ingin terus-terusan terjaga, Rian memutuskan untuk mencari obat tidurnya, tubuhnya terbangun setengah lalu menjulurkan tangannya ke arah meja ranjang dan mengambil botol yang berisikan obat di dalam laci. Rian seketika terdiam saat merasakan botol obat tidurnya terasa ringan digenggam tangannya, Rian memutuskan untuk Ikesweetdevil - 29 mengocoknya namun tidak ada suara yang keluar dari sana. Pada saat itu Rian baru sadar, bila ia sudah kehabisan obat. "Kenapa aku bisa melupakan ini? Padahal tadi pagi aku sudah berniat untuk membeli obat, tapi aku malah jalan-jalan dan menenangkan diri, lalu menyelamatkan Raina dan membantunya, sampai aku lupa dengan kebutuhanku sendiri." Rian bergumam tak percaya, bagaimana mungkin ia bisa melupakan sesuatu yang sudah menjadi kebutuhannya sejak Jama. “Akhhhh ...," teriak Rian lagi terdengar semakin kesal pada dirinya sendiri, padahal tubuhnya sudah sangat lelah, namun sekarang ia harus pergi ke apotek untuk membeli obat. Kalau tidak, Rian mungkin akan berakhir dengan tidak tidur semalaman. "Rian, ada apa?" Suara Raina kini terdengar dari luar kamarnya, yang mau tidak mau harus Rian buka pintunya. Sembari membawa jaket dan kunci mobil, Rian berjalan ke arah pintu lalu membukanya dan mendapati Raina berada di sana. “Ada apa, Rain?" tanya Rian lelah, matanya tampak sayu begitupun dengan wajahnya. "Tadi aku ingin ke dapur, aku mau minum, tapi aku mendengar kamu berteriak. Aku pikir kamu ada masalah, jadi aku kemari untuk menanyakannya." "Oh itu? Aku tidak apa-apa kok. Aku hanya kehabisan obat tidur, aku akan membelinya di apotek terdekat." Rian menjawab seadanya sembari berusaha terlihat baik-baik saja. "Kalau boleh tahu, obat tidur itu untuk apa?" tanya Raina hati-hati. "Tentu saja untuk membantuku tidur, karena aku sering insomnia, jadi aku membutuhkan obat itu." In Bed Doctor - 30 "Tapi aku pernah mendengar bila sering mengonsumsi obat seperti itu akibatnya tidak baik." Raina menjawab sepengetahuannya yang Rian angguki mengerti karena sebagai dokter ia memang tahu hal itu. “Aku tahu, tapi aku benar-benar membutuhkan obat itu. Kalau aku tidak minum, aku tidak akan bisa tidur. Sedangkan besok aku harus kembali bekerja di rumah sakit, aku harus tetap terjaga untuk merawat para pasien." Rian menjawab jujur, ia sendiri juga merasa frustrasi dengan dirinya sendiri. “Menurutku ketergantungan obat itu tidak baik, tapi aku bisa membantumu." Raina menyunggingkan senyum hangatnya, namun Rian justru tidak mengerti dengan maksudnya. "Membantuku? Caranya?" tanya Rian penasaran. "Dulu, saat aku masih kecil, aku sering tidak bisa tidur, tapi Mamaku membelai kepalaku secara perlahan dengan sesekali memainkan rambutku, lalu aku bisa tertidur dengan nyenyak. Kamu mau coba?" tawar Raina yang cukup membuat Rian terkejut. "A-pa?" "Iya, seperti ini ...." Raina menggapai kepala Rian lalu memainkan rambutnya secara perlahan. "Apa itu bisa berhasil?" tanya Rian tak yakin setelah Raina menurunkan tangannya dari kepalanya. "Aku tidak tahu. Makanya aku bertanya kamu mau coba atau tidak?" "Baiklah, aku mau. Tapi apa itu tidak merepotkanmu?" Rian mengangguk tak yakin, ia hanya tidak mau bila keinginannya untuk tidur justru akan merepotkan Raina. "Tentu saja, tidak. Aku bahkan akan melakukan apapun supaya kamu bisa tidur, aku tidak ingin terus-terusan dibantu, aku juga ingin membantumu." Raina kembali Ikesweetdevil - 31 menyunggingkan senyumnya, yang kali ini diangguki setuju oleh Rian. "Baiklah, aku mau." "Ya sudah ayo, kamu harus berbaring di ranjang. Aku akan duduk di tepi.". Raina menarik tangan Rian, lalu menyuruh lelaki itu untuk terbaring. Dengan telaten, Raina mengelus-elus puncak kepala Rian setelah lelaki itu berbaring dengan berbagai peralatan tidurnya seperti selimut dan bantalnya. "Ini terasa aneh, aku tidak pernah seperti ini." Rian berujar lirih yang justru disenyumi oleh Raina. "Kenapa tidak pernah? Memangnya Mama kamu tidak pernah melakukannya apa?" "Tidak pernah. Mamaku memiliki empat anak, meskipun aku anak terakhir, perhatian Mama lebih tertuju ke Kak Reyhan, karena dia yang paling suka bersikap seenaknya, banyak dari tingkah lakunya yang membuat Mama _ harus_ ekstra memperhatikannya." Rian menjawab jujur, setidaknya itu yang ia rasakan selama masa kecilnya. "Woah jadi kamu memiliki banyak saudara? Pasti menyenangkan ya memiliki mereka? Kamu tidak akan kesepian, rumah juga akan terasa sangat nyaman kan?" “Tidak juga. Kita bahkan sering bertengkar bila ada di rumah." Rian menggeleng singkat, karena baginya saudara- saudaranya itu justru terkesan menyebalkan, apalagi kakak keduanya yang begitu usil. "Itu bagus, dari pada aku yang tidak punya saudara sama sekali. Setiap pulang ke rumah, semua terasa sepi dan sunyi, tidak ada yang spesial. Itulah kenapa aku lebih memilih untuk meninggalkan rumah dari pada berusaha mempertahankannya, karena bagiku rumah itu tidak lebih dari tempat tidur. Sekarang satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini cuma Papa, In Bed Doctor - 32 bagiku dia harta yang paling berharga."" Raina menyunggingkan senyumnya, sedangkan Rian justru terdiam. Lagi-lagi Raina mengingatkannya pada Sinta yang begitu berusaha memperjuangkan adiknya untuk sembuh dan tetap hidup di dunia ini, tapi sayangnya tuhan berkehendak lain. Sinta harus rela ditinggalkan adiknya, yang dulu memiliki penyakit kanker otak. "Tapi tunggu, kenapa kamu masih belum tidur?" Raina menatap ke arah Rian yang tersenyum tipis, ia justru lebih terjaga dari sebelumnya. "Tidak apa-apa. Kalau kamu merasa lelah, kamu boleh berhenti." "Seharusnya tidak seperti ini, aku mungkin yang terlalu banyak bicara sampai kamu tidak bisa istirahat." Raina menurunkan tangannya lalu membaringkan tubuhnya tepat di depan Rian. “A-apa yang kamu lakukan?" Rian memundurkan kepalanya berniat menjauh dari dada Raina yang cukup dekat dengan wajahnya. "Biasanya aku memeluk tubuh Mamaku supaya aku bisa semakin cepat tidur. Kamu boleh memelukku." “Apa? Tidak. Aku tidak mau." "Kenapa?" "Karena aku tidak pernah seperti ini? Sebaiknya aku membeli obat tidur." Rian membangunkan tubuhnya, namun Raina justru menarik tangannya lalu merengkuh tubuh Rian dengan wajah lelaki itu tepat di dadanya. "Berhentilah mengonsumsi obat itu, aku yakin kamu bisa tidur tanpa harus meminumnya setiap malam. Sekarang kamu peluk tubuhku, aku akan mengelus puncak kepalamu sampai kamu bisa tertidur." Raina mengarahkan lengan Rian untuk Ikesweetdevil - 33 memeluk pinggangnya lalu tangannya beralih ke puncak kepala Rian dan mengelusnya kembali. “Tapi ini aneh ...." “Tidak apa-apa. Coba kamu tenangkan pikiranmu, buatlah senyaman mungkin. Akan aku lakukan apapun untuk membalas budiku, tanpa harus membiarkanmu merusak dirimu." Raina berujar serius lalu bersenandung pelan sembari terus mengelus puncak kepala Rian. Sedangkan Rian yang tidak pernah di dalam posisi ini cukup merasa tak nyaman, apalagi dada Raina cukup dekat dengan wajahnya, namun anehnya apa yang Raina lakukan membuatnya mengantuk, perlahan tapi pasti Rian merasa nyaman berada di pelukan itu hingga saat matanya terlelap dan tertidur dengan pulas. Raina terus bersenandung dan terus mengelus-elus puncak kepala Rian, sampai saat suara dengkuran halus mulai terdengar dari bibir Rian. Mendengar itu Raina tersenyum, itu artinya Rian sudah mulai terlelap sekarang. Perlahan, Raina membangunkan tubuhnya dengan sesekali menggeser kepala dan tubuh Rian agar tidak terganggu dengan gerakannya. Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa mengganggu Rian, kini Raina berjongkok di samping ranjang sembari menatap wajah lelah Rian yang begitu meneduhkan. “Maafkan aku, bila aku terlalu cepat mencintaimu. Kamu lelaki baik, kamu bahkan sudah bisa membuatku jatuh hati saat kamu memperlakukan Papaku dengan baik." Raina bergumam dalam hati sembari mengelus pipi Rian lalu tersenyum manis ke arahnya. Ia merasa bahagia bisa dipertemukan lelaki baik seperti Rian, ia bahkan berjanji akan melakukan apapun agar lelaki itu bisa mencintainya. In Bed Doctor - 34 Part 03. Keesokan paginya, Rian terbangun dengan tubuh yang cukup bugar tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Kalau biasanya, Rian masih terasa remuk meskipun sudah berhasil tidur dengan cara meminum obat tidur. Rian sendiri tidak tahu kenapa Raina bisa membuatnya tidur senyaman tadi malam, padahal ia baru bertemu dengan gadis itu, namun rasanya ia sudah bisa menerima kehadirannya dengan sangat mudah. Rian membangunkan tubuhnya lalu berjalan ke arah luar kamar, langkah kakinya membawanya ke sebuah dapur di mana aroma masakan menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Dalam hati, Rian bertanya-tanya siapa yang sudah memasak di dapurnya. Karena Rian sendiri tidak yakin, bila gadis cantik yang biasa hidup kaya seperti Raina bisa memasak. "Raina," panggil Rian tak percaya, gadis itu benar-benar sedang memasak di dapurnya. "Rian." Raina menyunggingkan senyumnya lalu mematikan kompor dan berjalan ke arahnya. “Aku tadi beli sayur di depan rumah kamu, jadi aku memakai dapurmu untuk memasakkan kamu sarapan. Boleh ya? Ikesweetdevil - 35 Tadi aku mau minta izin, tapi sepertinya kamu tertidur pulas, aku tidak mau mengganggumu." Raina berujar bersalah. "Kamu bahkan boleh melakukan apapun di rumah ini. Jangan sungkan-sungkan ya, anggap saja aku ini sauadarmu sendiri." Rian menjawab tulus namun Raina justru terlihat cemberut. "Kenapa saudara?" "Ya karena kamu bilang kalau kamu tidak pernah punya saudara, lalu apa salahnya menganggap aku saudaramu?" "Oh ... iya. Kalau begitu kamu ke meja makan ya, aku akan menyiapkan sarapan untuk kamu dan Papa." Raina menjawab kaku, ada rasa perih saat mendengar Rian ingin dianggapnya saudara. "Iya. Tapi, Rain. Aku mau bilang terima kasih sama kamu untuk tadi malam. Gara-gara kamu, aku bisa tidur dengan nyenyak tidak seperti biasanya, bahkan tanpa meminum obat. Terima kasih ya?" ujar Rian tulus, membuat Raina tersenyum bahagia mendengarnya, setidaknya ia bisa membantu lelaki itu meskipun caranya tergolong aneh, namun Raina senang melihat Rian menghargai bantuannya. "Iya. Kalau kamu merasa terbantu dengan caraku, aku mau melakukannya setiap malam, aku akan menemani kamu sampai kamu bisa tertidur." Raina menjawab tulus, ia benar- benar ingin membantu Rian. "Itu berlebihan, tidak usah, aku tidak apa-apa kok." Rian menjawab cepat, ia tidak ingin direpotkan oleh siapapun apalagi Raina yang sudah pasti lelah mengurus papanya. "Aku juga tidak apa-apa. Aku akan _berusaha membantumu, bila kamu kesulitan tidur lagi. Terkadang, sesuatu yang membuat kita tenang bisa mengurangi beban pikiran kan? Kamu juga harus berusaha untuk mengurangi sesuatu yang membuat kamu kepikiran. Mungkin saja, seiring In Bed Doctor - 36 berjalannya waktu, kamu bisa mengurangi insomniamu, asal tidak dengan minum obat tidur lagi." Rian hanya terdiam, apa yang Raina pikirkan itu memang benar. Ia merasa kesulitan tidur karena hatinya masih dimiliki Sinta. Rasanya Rian hampir tidak bisa tidur dengan tenang memikirkan Sinta yang sebenarnya sudah sangat bahagia dengan kakaknya, namun entah kenapa Rian masih belum bisa merelakannya. "Terima kasih, Rain. Tapi apa hal itu tidak berlebihan? Kita bukan suami istri, tapi aku memelukmu di ranjang. Aku malah merasa bersalah bila meneruskannya setiap malam." Rian menjawab jujur, ia adalah lelaki yang sangat menghargai perempuan, rasanya hampir tidak mungkin bila ia malah memeluk Raina tanpa status hubungan apapun. "Aku tidak apa-apa kok. Kan aku sudah bilang, kalau aku akan belajar mencintai kamu, jadi hal ini tidak akan menjadi masalah untukku. Kecuali kamu yang merasa tidak nyaman berada di dekatku ....". Raina menjawab lesu di akhir kalimatnya, namun Rian justru menggeleng pelan. "Kalau aku tidak nyaman, mana mungkin aku bisa tertidur tadi malam. Aku hanya tidak mau merepotkanmu, apalagi kita tidak memiliki hubungan apa-apa. Jujur, aku bukan lelaki yang biasa tidur dengan wanita, posisi kita tadi malam itu justru membuatku merasa bersalah." Rian menjawab jujur sembari menatap ke arah Raina yang justru semakin terpesona dengan cara berpikir Rian yang begitu menghargai seorang wanita, kalau terus seperti ini bagaimana Raina bisa tidak jatuh hati dengan Rian. Rasanya hampir mustahil. "Kalau begitu tidak apa-apa. Aku akan menemani kamu tidur setiap malam, setelah kamu bisa tidur, aku akan pergi ke kamarku. Bagaimana?" tawar Raina yang sebenarnya tidak ingin Rian angguki, namun ia sendiri juga bingung harus Ikesweetdevil - 37 bagaimana menyembuhkan insomnianya. Padahal sudah banyak cara yang sudah ia lakukan termasuk terapi alternatif, namun tidak ada yang berhasil kecuali obat tidur. Namun sebagai dokter, ia tahu konsekuensi apa yang akan ditanggungnya bila terus-terusan bergantung pada obat itu. “Baiklah. Aku minta maaf, bila akan terus merepotkanmu. Aku janji, aku akan berusaha mengobati insomniaku." "Iya, tidak apa-apa." "Ya sudah, kalau begitu aku mandi dulu ya. Lalu kita sarapan bersama dengan Papa kamu, setelah itu aku akan berangkat bekerja ke rumah sakit." “Jam berapa kamu pulang dari rumah sakit?" "Mungkin jam satu atau jam dua sudah bisa pulang. Setelah itu aku buka klinikku sendiri, nanti kamu juga membantuku ya?" “Pasti." Raina menjawab semangat, yang disenyumi oleh Rian lalu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri. sek Rian tersenyum ke arah seluruh orang-orang yang menyapanya saat berjalan memasuki ruangannya. Sebagai seorang dokter, ia memang cukup dikenal banyak perawat, petugas kebersihan, ataupun sesama dokter lainnya. Tak terkecuali Sherly, seorang dokter cantik yang sama-sama bekerja di ruangan yang sama. "Halo, Dok." Seperti biasa, wanita itu akan menyambutnya di depan pintu sembari tersenyum hangat ke arahnya. "Halo, Sherly." Rian menyapa seperti biasa dengan nada ramahnya, namun wanita itu justru terlihat cemberut kali ini. In Bed Doctor - 38 "Kenapa ekspresimu seperti itu?” Rian menatap heran ke arahnya, namun wanita itu justru semakin memanyunkan bibirnya. "Tentu saja saya merindukanmu, Dok. Sehari saja anda berlibur, saya pasti akan merasa sangat kehilangan. Tapi apa yang saya dapat? Dokter malah tidak memberi saya oleh-oleh." "Saya saja tidak kemana-mana kemarin, mana mungkin saya membelikanmu sesuatu." Rian menjawab tak habis pikir sembari tersenyum tipis melihat juniornya itu cemberut seperti itu. "Sudahlah, lebih baik kita bekerja. Jangan memasang wajah seperti itu, saya jadi takut melihatmu." Rian merangkul pundak Sherly lalu mengajaknya untuk bekerja seperti biasa. "Sepertinya Dokter hari ini terlihat lebih segar dan bersemangat. Ada apa, Dok?" "Tidak ada apa-apa. Memangnya saya seperti apa biasanya?" "Ya terlihat lelah meskipun baru datang, mungkin karena Dokter sudah istirahat kemarin ya? Makanya sedikit lebih bugar?" Rian tersenyum mendengar ucapan Sherly itu, iya memang Rian cukup mengakui bila selama bekerja di rumah sakit ini tepatnya setelah mengetahui Sinta menerima perasaan kakaknya, Rian jarang bisa tidur, keadaan ini justru diperparah semenjak pindah di kota tersebut. Jadi tidak akan mengherankan bila orang-orang seperti Sherly berpikir sampai seperti itu. "Iya, saya kemarin beristirahat dengan cukup." Rian menjawab bohong yang diangguki mengerti oleh Sherly. "Makanya Dok, jangan buka klinik dulu, biar pekerjaannya tidak terlalu banyak. Dokter setelah dari rumah sakit langsung pulang dan harus bekerja di rumah." Sherly menjawab kesal, ada nada kekhawatiran dari suaranya. Namun Ikesweetdevil - 39 Rian tidak memedulikannya, karena ia hanya ingin terus sibuk supaya bisa melupakan Sinta tanpa harus terus-terusan mengingatnya. “Bukannya itu bagus ya? Mumpung masih muda, ya kita harus bisa memanfaatkan ilmu kita lebih luas lagi." “Tya sih, tapi kan Dokter belum punya istri, kan jadi tidak punya waktu buat berkencan dengan wanita." Sherly menyunggingkan senyumnya, ada debaran aneh saat mengatakan hal itu. “Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, saya hanya ingin berguna untuk orang lain." Rian menjawab seadanya sembari duduk di kursi kerjanya, menunggu pasien-pasien yang sedang didata oleh beberapa pegawai lainnya. "Apa Dokter tidak ingin menikah?" tanya Sherly penasaran, ada rasa di mana ia juga ingin memiliki kesempatan dekat dengan Rian. “Untuk saat ini tidak." “Kenapa? Kan Dokter sudah berumur dua puluh delapan tahun? Bukannya di umur itu sudah cukup matang ya untuk membangun rumah tangga?" Sherly memicingkan matanya, ia juga penasaran kenapa Dokter yang ditaksirnya itu seolah tidak memiliki niat untuk mendekati wanita terlebih lagi berusaha mencari pendamping hidupnya. “Saya belum mencintai wanita manapun, jadi kenapa harus _repot-repot. + memikirkan pernikahan?" Rian menyunggingkan senyum santainya, tanpa menyadari bagaimana Sherly kecewa dengan jawabannya. Namun lagi- lagi ia berusaha untuk bersikap biasa, ia tidak mungkin memperlihatkan rasa sukanya begitu tiba-tiba apalagi ia seorang wanita. In Bed Doctor - 40 Di sebuah panti jompo, wanita berdandan tebal dengan seorang lelaki seumurnya itu berjalan angkuh ke arah ruang di bagian informasi. Mereka adalah Lina dan selingkuhannya, keduanya berniat menjemput Adnan pulang supaya harta lelaki itu bisa mereka kuasai. “Saya mau menjemput Pak Adnan, tolong bawa dia kemari." Lina berujar penuh keangkuhan, membuat pegawai itu merasa resah dan ketakutan. "Maaf, Bu. Pak Adnan sudah dijemput putrinya pulang.” Wanita itu menjawab jujur, membuat Lina dan selingkuhannya terkejut. “Apa maksud anda?" sentak Lina geram. "Kemarin putrinya yang bernama Raina kemari dan menjemput Pak Adnan, Bu." "Apa?" gumam Lina tak percaya lalu melangkah keluar ruangan sembari menarik tangan selingkuhannya. "Bagaimana ini, Den? Ternyata Raina masih hidup, buktinya dia sudah membawa Adnan pergi dari sini?" Lina bertanya marah, ekspresi ketakutannya kini tampak di wajah ayunya. "Iya, aku pikir anak itu bakal mati di sungai. Tapi bagaimana mungkin dia bisa selamat? Apa lelaki yang melihat kita kemarin, yang sudah menyelamatkan anak itu?" ujar Deni sembari berpikir yang diangguki setuju oleh Lina. "Iya, sepertinya dia yang sudah menyelamatkan Raina. Aakkhh," keluh Lina geram, merasa kesal dengan rencananya yang sudah gagal. "Jadi kita harus bagaimana sekarang? Kita tidak akan bisa mendapatkan harta suamimu sebelum mendapatkan tanda tangannya, apalagi putrinya masih hidup sampai sekarang." "Aku tidak mau tahu, pokoknya kita harus cari Raina dan Adnan, kita harus bisa melenyapkan mereka sebelum Adnan Ikesweetdevil - 41 diobati dan kembali pulih. Kamu tahu kan alasanku membawa Adnan kemari, karena aku ingin memperburuk kondisinya, tapi karena Raina sudah membawanya, bisa saja anak itu mengobati Adnan dan menggagalkan semua rencana kita," ujar Lina terdengar frustrasi yang diangguki mengerti oleh Deni. “Aku mengerti, kita harus menyuruh orang untuk mencarinya. Kalau perlu membunuh semuanya, Raina dan Adnan." Deni berujar mantap sembari menatap dingin ke arah Lina yang mengangguk setuju. kek Setelah menyelesaikan tugasnya dan waktu kerjanya sudah selesai, kini Rian berjalan ke arah bangku Sherly. Lelaki itu berniat mengajaknya ke pusat toko pembelanjaan untuk membeli perlengkapan baju buat Raina dan papanya. Karena setelah memutuskan untuk tinggal di rumahnya, mereka tidak membawa apa-apa. Kalau untuk papanya Raina, baju-bajunya masih ada, yang dibawa dari panti jompo, namun Raina tidak ada sama sekali kecuali baju yang gadis itu kenakan saat pertama kali mereka bertemu. "Sher," panggil Rian yang langsung ditatap oleh wanita yang sedang sibuk menyiapkan barang-barangnya itu. "Iya, Dok. Ada apa?" "Kamu mau ikut dengan saya?" tawar Rian yang cukup membuat gadis itu terkejut, karena tidak biasanya Rian mau mengajaknya ke suatu tempat. "Ke mana, Dok?" "Ke mall. Kamu mau kan?" "Iya, tapi untuk apa kita ke sana?" Sherly menyunggingkan senyum tertahannya, merasa bahagia saja bila dokter yang disukainya itu mulai menunjukkan perhatiannya. In Bed Doctor - 42 "Saya mau membelikan seseorang baju, nanti kamu juga saya belikan kok, kamu bisa pilih baju apapun yang kamu mau. Asal ...." Rian menghentikan ucapannya yang ditatap penasaran oleh Sherly. “Asal apa, Dok?" "Kamu pilihkan beberapa baju untuk seseorang itu juga ya? Dia memiliki tubuh seukuran denganmu, kamu pasti bisa membantunya." "Kenapa dia tidak membeli sendiri, Dok? Kenapa harus saya yang memilihkannya?" tanya Sherly terdengar tak suka, yang disenyumi canggung oleh Rian. Andai saja Raina bisa keluar dan bebas berkeliaran ke mana saja, Rian juga tidak akan mungkin mengajak Sherly untuk membelikan Raina baju. Rian hanya tidak mau mengambil risiko bila mengajak Raina membeli baju sendiri, ibu tirinya bisa saja menemukannya dan berusaha membunuhnya lagi. "Saya tidak memaksa kamu kok, kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa." Rian melirik ke arah beberapa perawat, namun di antara mereka tidak ada yang dekat dengannya, hanya Sherly yang paling akrab dan mau berbicara banyak hal, rasanya canggung bila Rian meminta bantuan pada mereka. "Saya mau membantunya memilih baju, tapi saya ingin tahu, sebenarnya seseorang itu siapanya Dokter?" "Dia ... emh saudara saya." Rian menjawab ragu yang bisa Sherly baca dari ekspresi wajahnya bila Rian sedang tidak yakin dengan ucapannya. "Saudaranya Dokter? Untuk apa Dokter membelikannya beberapa baju? Ini aneh. Jangan-jangan seseorang itu pacarnya Dokter ya?" "Bukan, dia hanya sedang menginap di rumah saya, tapi dia kehilangan bajunya saat berada di perjalanan, makanya saya ingin membelikannya." Rian menjawab cepat, ia tidak Ikesweetdevil - 43 ingin ada yang berpikir aneh-aneh tentang dirinya, apalagi membelikan baju untuk seorang gadis itu cukup terlihat aneh untuknya. “Saudara Dokter? Perempuan?" “Iya. Kenapa? Ah, dia bersama dengan Papanya, dia tidak sendirian menginap di rumah saya. Jadi apa kamu mau membantunya?" tanya Rian yang sempat lupa menceritakan papanya Raina yang juga menginap di rumahnya. "Saya mau membantunya kok, Dok. Hanya saja saya cuma bingung kenapa dia tidak mau membeli baju sendiri? Dia kan kehilangan bajunya, harusnya dia langsung berpikir untuk membeli baju kan? Tanpa harus merepotkan Dokter." "Iya, sebenarnya dia juga ingin melakukannya, hanya saja Papanya sedang sakit stroke makanya dia tidak bisa pergi, dia harus menjaga dan merawat Papanya." Rian menjawab sebisanya yang sepertinya cukup Sherly mengerti terlihat dari caranya mengangguk samar. “Tapi kenapa mereka menginap di rumahnya Dokter?" tanya Sherly kembali, nada suaranya terdengar penasaran kali ini. Sampai Rian sendiri merasa risi, karena Sherly terus menginterogasinya seolah dia adalah pacarnya yang harus tahu semuanya. Namun Rian sendiri juga tidak mungkin mengabaikan pertanyaannya, ia membutuhkan bantuan wanita itu untuk membelikan baju dan pakaian dalam untuk Raina. "Saudara saya ingin terapi stroke, mereka hanya ingin saya membantu kesembuhannya." Rian kembali menjawab bohong, ia sendiri tidak tahu harus mencari alasan apa. "Oh, begitu ya? Baiklah, saya mau membantunya, Dok." Sherly menyunggingkan senyumnya, merasa lega saja bila perempuan yang ingin Rian belikan baju itu cuma saudaranya, karena ia sempat berpikir bila perempuan itu calon istrinya Rian. In Bed Doctor - 44 "Baguslah, kalau kamu mau. Saya sendiri juga bingung harus meminta bantuan siapa." Rian menjawab lega yang disenyumi malu oleh Sherly. Karena itu artinya ia cukup dekat untuk menjadi orang yang dimintai tolong oleh Rian. "Tapi kamu juga pilihkan dia pakaian dalamnya ya? Saya tidak tahu hal-hal seperti itu," bisik Rian sembari mendekat ke arah telinga Sherly dengan sesekali melirik beberapa perawat yang mungkin saja bisa mendengar ucapannya. "Oh masalah itu? Dokter tenang saja, saya pasti akan membantunya." Sherly menjawab bersemangat, ia senang bila Rian meminta bantuannya, ia jadi memiliki kesempatan untuk semakin dekat dengan lelaki itu. "Terima kasih. Kita berangkat sekarang ya? Saya juga harus membuka klinik nanti sore." "Siap, Dok." Sherly _ lagi-lagi menyunggingkan senyumnya lalu berjalan beriringan dengan Rian ke arah luar ruangan. Ikesweetdevil - 45 Part 04. Setelah membelikan baju untuk Raina, Rian langsung mengantarkan Sherly pulang, meskipun wanita itu sempat ingin mampir ke rumahnya dan bertemu dengan saudaranya. Namun Rian buru-buru menolaknya, ia tidak mau Raina bertemu dengan siapapun termasuk Sherly sekalipun, terlebih lagi orang-orang yang cukup dekat dengannya. Entahlah kenapa Rian merasa begitu mengkhawatirkan keselamatan gadis itu, namun bila mengingat kekejaman mama tirinya, rasanya Rian tidak bisa membiarkan keberadaan Raina diketahui semua orang. “Rian, kamu baru pulang?" Kini suara Raina terdengar menyapanya, gadis itu tersenyum dari balik pintu yang baru di bukanya. Pemandangan seperti ini cukup aneh untuk Rian rasakan, karena sebelum ini hari-harinya selalu membosankan. Tidak ada orang yang menyambutnya seperti saat mamanya menyambutnya pulang di rumah, namun sekarang Raina seolah mampu menjelma menjadi wanita hangat yang mau menyambutnya dengan senyuman manisnya. Aneh, Rian In Bed Doctor - 46 merasa istimewa saat kedatangannya justru ditunggu seseorang seperti Raina sekarang. "Iya," jawab Rian seadanya, masih belum terbiasa saja dengan kondisi sepele itu namun mampu menggugah hatinya yang tak pernah bergairah sebelumnya. "Kamu baru beli apa?" Raina menatap ke arah beberapa papper bag yang dibawa Rian sekarang, barang-barang itu begitu banyak hingga Rian sendiri merasa kesulitan untuk masuk rumah. “Aku bantu ya?" tawar Raina sembari mengambil alih beberapa papper bag. “Aku membelikan kamu baju," ujar Rian sembari tersenyum kaku, merasa nyaman saja di posisi seperti ini. Sekarang otaknya justru berpikir bagaimana nanti kalau ia memiliki istri dan anak? Mungkin hari-harinya yang lelah akan terasa ringan bila pulang melihat mereka berdatangan untuk menyambutnya. “Baju? Untukku? Tapi kenapa?" tanya Raina tak mengerti, padahal ia sudah sangat merepotkan di rumah lelaki itu, namun Rian terus membantunya dengan banyak cara. "Kamu kan ke rumah ini tidak membawa baju, jadi aku membelikannya untukmu. Dan yang ini untuk Papa kamu, tidak sebanyak milik kamu sih, kan Papa kamu sudah membawa banyak baju." Rian menunjuk papper milik Raina dan papanya, namun gadis itu justru terdiam menatapnya. "Kenapa diam? Kamu tidak suka ya? Aku tidak tahu sih kesukaanmu baju yang seperti apa, tapi aku mengukur ukurannya dari temanku, dia memiliki tubuh seperti kamu, aku pikir akan pas untuk kamu." Rian mencoba menjelaskan semua ke Raina agar gadis itu tidak terlalu terburu-buru kecewa. “Aku suka kok, terima kasih ya." Raina memeluk tubuh Rian, menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. Ikesweetdevil - 47 “Aku minta maaf, karena aku terus merepotkanmu. Aku tidak tahu bagaimana hidupku kalau aku tidak bertemu dengan kamu. Terima kasih," ujar Raina tulus yang sempat didiami oleh Rian yang sempat terkejut dengan apa yang sedang Raina lakukan pada tubuhnya. Gadis itu memeluknya, mengucapkan banyak terima kasih untuknya. Rasanya aneh, karena sebelum ini Rian merasa tidak pernah senyaman ini dipeluk seseorang. "Iya, aku senang kok bisa bantu kamu." Rian menjawab seadanya lalu Raina menarik diri dari pelukannya, gadis itu tersenyum tulus lalu melihat ke beberapa baju yang dibelikan Rian untuknya. "Oh iya, kamu sudah makan? Aku memasak makanan untuk kamu," tanya Raina yang kali ini sempat didiami oleh Rian, karena sebelum ini ia sudah makan bersama dengan Sherly. “Aku minta maaf, Rain. Tadi aku sudah makan di luar." Rian menjawab bersalah, namun sepertinya Raina terlihat baik- baik saja. "Tidak apa-apa. Besok-besok kamu makan di rumah ya, aku akan menyiapkan makanan setiap kamu pulang." Raina kembali menyunggingkan senyumnya, seolah tidak ada amarah dari wajahnya padahal dia tampak lelah dengan peluh keringat di tubuhnya. “Iya, besok pasti aku makan di rumah." Rian menjawab mantap, sampai tatapannya jatuh pada seluruh ruangan rumah, di mana semuanya tampak bersih dan rapi. "Kamu membersihkan rumahku?" "Iya." "Kenapa? Kamu tidak perlu sampai seperti itu, kamu kan juga lelah merawat dan menjaga Papa kamu." “Aku tidak apa-apa kok. Kan aku di sini menumpang di rumah kamu, jadi aku juga harus membantu kamu In Bed Doctor - 48 membersihkan rumah ini." Raina kembali menyunggingkan senyum hangatnya. "Kamu tidak harus membersihkan semuanya. Biasanya aku menyewa orang untuk membersihkan rumah ini seminggu sekali." Raina sempat terdiam lalu mengangguk seolah setuju, karena sebenarnya Raina akan sangat berusaha membantu Rian selagi ia bisa. "Iya. Tapi aku masih boleh kan bantu kamu di klinik?" "Iya, tentu saja boleh. Nanti Papa kamu juga harus aku periksa dan terapi, supaya beliau bisa cepat sembuh," jawab Rian yang seketika membuat Raina lega sekaligus bahagia. "Terima kasih, Rian. Aku ke tempat Papa ya? Kamu mandi saja dulu, aku yang akan menyiapkan semuanya." Rian hanya mengangguk sembari tersenyum lalu berjalan ke arah kamarnya. "Oh iya, Rain. Jangan lupa dipakai bajunya." Rian kembali menghadap ke arah Raina, mengingatkan gadis itu untuk memakai pemberiannya. "Iya, pasti. Terima kasih." Raina menjawab tulus yang lagi-lagi diangguki oleh Rian. Kini keduanya terpisah di kamar masing-masing sembari tersenyum merasakan perasaan mereka yang mulai aneh. Raina berjalan masuk ke dalam kamar, di mana papanya tengah duduk di ranjangnya. Melihat lelaki yang sangat disayanginya itu, Raina tersenyum lalu berjalan ke arahnya. “Pa, Rian membelikan aku baju, Papa juga dibelikan. Rian baik ya, Pa?" Raina memperlihatkan isinya, sedangkan lelaki itu tersenyum melihat senyum bahagia dari bibir putrinya. "Apa ... kamu ... menyukainya ...?" tanya Adnan perlahan, yang justru didiami oleh Raina, merasa bingung harus Ikesweetdevil - 49

You might also like