Prolog
Gadis berumur dua puluh lima tahun itu hanya bisa
menangis menahan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya,
sembari terus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia bukan
gadis biasa, tak sepantasnya ia diperlakukan buruk oleh mama
tirinya.
Gadis itu bernama Raina, seorang putri dari konglomerat
kaya di kotanya. Namun ia harus mau menjadi pembantu di
rumahnya sendiri karena mama tirinya yang begitu tega
menyiksanya bila keinginannya tidak segera dipenuhi.
"Non," panggil seorang wanita dengan nada lirihnya
sembari terus berjalan pelan ke arah Raina.
"Bibi," panggil Raina lirih, matanya kembali menangis
merasakan tubuhnya yang sudah banyak lebam dan luka.
"Ya ampun Non, wajah Non pucat sekali. Non pasti belum
makan ya? Ayo kita makan Non." Wanita yang sudah
mengurus Raina dari kecil itu menangis melihat majikannya
harus mengerjakan pekerjaan rumah, yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya."Tidak, Bi. Aku takut ...." Raina mengusap air matanya,
bibir pucatnya berusaha tersenyum walau terasa sulit.
"Aku tidak apa-apa kok," lanjutnya terdengar serak
sembari kembali mengepel lantai.
“Tapi Non tidak seharusnya bekerja dengan perut kosong.
Apalagi sudah beberapa Minggu ini semenjak Tuan sakit, Non
terus mengerjakan pekerjaan rumah, padahal kan ada kami,
Non." Wanita yang biasa dipanggil dengan sebutan bibi itu
berujar penuh rasa bersalah, air matanya tak mampu
terbendung acap kali melihat putri dari majikannya itu
menderita dan tersiksa.
“Aku benar-benar tidak apa-apa, Bi. Sekarang yang aku
pikirkan itu cuma Papa, bagaimana keadaan Papa saat ini?
Sudah hampir seminggu Tante Lina membawa Papa ke panti
jompo, aku ingin melihatnya dan merawatnya. Apalagi kondisi
Papa sekarang sedang sakit, bagaimana caranya aku bisa
bertahan di sini?" Raina kembali menitikkan air matanya,
rasanya ia sudah tidak sanggup lagi berada di rumahnya sendiri,
ia ingin segera pergi dari sana dan mencari papanya.
"Bibi mengerti perasaan Non, tapi Bibi sendiri juga tidak
tahu harus berbuat apa. Cuma Non yang bisa menghentikan
Nyonya Lina, seharusnya Non yang melawannya."
"Itu mustahil, Bi. Tante Lina bisa saja menyakiti Papa
kalau aku melawan."
"Ini semua Nyonya lakukan karena dia ingin menguasai
harta Non dan Tuan. Non harus bisa melawannya dengan cara
meminta bantuan pada orang terdekat Tuan, mereka pasti mau
membantu Non mengusir wanita itu."
"Sudahlah, Bi. Aku tidak ingin melawan Tante Lina, aku
takut dia justru akan menyakiti Papa. Dan lagi, aku juga tidak
butuh semua harta ini, bagiku yang paling penting itu
keselamatan Papa." Raina menundukkan wajahnya, hati dan
In Bed Doctor - 2tubuhnya sudah cukup lelah untuk bertahan, namun bila
mengingat papanya sendiri di dunia ini, rasa bertahan itu
kembali muncul untuk mengingatkannya agar tetap hidup.
"Bibi mengerti, Non. Tapi Non harus makan dulu ya? Biar
saya yang melanjutkan mengepel lantainya. Saya sudah
menyiapkan makanan di dapur, Non makan ya?" Raina hanya
tersenyum tipis dengan kepala menggeleng, ia tidak mau
mendapatkan masalah lagi dengan melanggar perintah mama
tirinya.
"Sudahlah, Bi. Aku tidak apa-apa," jawab Raina seadanya.
"Saya tadi melihat Nyonya ke kamarnya bersama dengan
selingkuhannya itu. Jadi Non tenang saja, Non tidak akan
ketahuan."
"Tapi, Bi ...."
"Sudahlah, Non. Non makan saja, Non terlihat sangat
pucat, Non pasti lapar kan?"
"Iya sih, Bi."
"Ya sudah, Non makan saja. Biar saya yang melanjutkan
Raina hanya bisa tertunduk saat memikirkan ucapan
asisten rumah tangganya, baginya apa yang wanita itu lakukan
memang benar adanya. Perutnya terasa sangat lapar, namun
mama tirinya belum menyuruhnya makan.
"Non ke dapur ya?" pintanya lagi yang kali ini Raina
angguki lalu berjalan ke arah dapur setelah menyerahkan alat
pelnya ke asistennya tersebut.
"He, he, mau ke mana kamu?" Kini suara mama tirinya
terdengar, membuat Raina menghentikan langkahnya lalu
menoleh ke asal suara, di mana mamanya menatap tak suka ke
arahnya.
"Tante ...." Raina bergumam takut, begitupun dengan
asistennya.
Ikesweetdevil - 3"Non Raina cuma mau ke kamar mandi, Nyonya."
Asistennya itu. menyahut bohong agar Raina tidak
mendapatkan masalah.
"Terus kenapa kamu yang mengganti pekerjaannya?"
tanya Lina marah sembari menunjuk ke arah sapu pel yang
dipegang wanita itu.
“Saya cuma mau membantu Non Raina sebentar,
Nyonya."
"Berani ya kamu?!" sentak Lina marah.
"Sudahlah, Tante. Tolong jangan marahi Bibi, ini kan
salahku." Raina menyahut lemas, ia tidak mungkin
membiarkan asisten rumah tangganya mendapatkan masalah
hanya karena ingin membelanya.
"Bagus ya kalau kamu sadar? Tapi sekarang kamu harus
masuk ke mobil ikut aku." Lina menjawab geram, sebenarnya
ia ingin menyiksa Raina, namun rencananya kini sudah jauh
berbeda.
"Ke mana, Tante?"
"Ke tempat Papamu," jawabnya malas, tapi tidak untuk
Raina yang seketika tersenyum semringah.
"Tante serius?"
"Kenapa? Kamu tidak percaya? Kalau begitu, aku tidak
akan mengantarkan kamu ke Papamu yang penyakitan itu."
"Tidak, Tante. Aku percaya kok, aku mau bertemu Papa."
Raina menyunggingkan senyumnya ke arah asisten rumahnya
yang turut tersenyum melihatnya bahagia, tanpa menyadari
bagaimana Lina tersenyum licik ke arah mereka.
eK
Sudah hampir tiga tahun lamanya lelaki yang saat ini
berada di kursi mobilnya itu tinggal jauh dari keluarganya.
Karena alasan ingin sendiri dan berharap bisa melupakan Sinta,
In Bed Doctor - 4mantannya yang masih sangat dicintainya, namun justru
menjadi istri dari kakaknya dan menjadi kakak iparnya. Lelaki
itu bernama Rian, seorang dokter umum yang memilih untuk
tidak melanjutkan pendidikan spesialisnya.
Kini ia berada di tempat di mana ia dan Sinta tidak akan
bertemu. Kepindahannya ke kota yang lebih besar dan bekerja
di sebuah klinik praktiknya sendiri, tak membuat Rian mampu
melupakan cinta pertamanya itu. Padahal saat ini, wanita yang
sudah menjadi kakak iparnya itu sudah memiliki putra berumur
dua tahun. Mereka sudah hidup bahagia, membuat Rian tak
mampu melihatnya kecuali ia sudah mencintai wanita lain.
Namun sayangnya tidak ada wanita yang benar-benar bisa
membuatnya jatuh hati sampai saat ini, padahal ia sudah
beberapa kali menjalani kencan buta dengan beberapa wanita.
Sekarang Rian tidak tahu lagi harus melakukan apa, hari
liburnya hanya ia habiskan dengan mengendarai mobil ke
beberapa tempat wisata menarik yang cukup menyejukkan
matanya. Ya, setidaknya hanya dengan cara itu Rian bisa
menghibur dirinya.
Kini mobilnya sudah membawanya ke sebuah tepi sungai
yang cukup menakjubkan untuk matanya nikmati, tempat itu
begitu sepi dan sunyi, dengan suara gemercik air sebagai
pelengkapnya. Melihat semua itu, Rian memutuskan untuk
keluar mobil, ia berniat menikmati suasana segar di sana.
Tidak jauh dari tempatnya, sebuah mobil berhenti
mendadak lalu keluar seorang gadis yang tengah menangis
bersama dengan wanita cantik berumur empat puluh tahunan.
Mereka terlihat sedang tidak baik, Rian bisa melihat semua itu,
namun ia berusaha mengacuhkannya, ia tidak suka ikut campur
dengan masalah orang lain yang tidak dikenalnya.
"Tante, kita kenapa berhenti di sini?" Gadis itu bertanya
tak mengerti, air matanya masih belum kering, setelah
Ikesweetdevil - 5mendengar ia diperbolehkan bertemu dengan papanya yang
stroke, yang saat ini berada di sebuah panti jompo.
“Menurutmu untuk apa?" Wanita dengan dandanan tebal
itu. bertanya sinis dengan sesekali melirik ke arah
selingkuhannya yang sudah keluar dari mobil.
“Bukannya kita akan ke panti jompo? Kita akan
menjemput Papa pulang kan, Tante?" Gadis itu menatap ke
arah mama tirinya sembari menatap takut ke arah bawah sungai
yang menurutnya cukup mengerikan, namun mama tirinya itu
terus memojokkannya hingga ke tepi sungai.
"He, Raina. Kamu tidak akan bisa menemui Papamu lagi,
karena sebentar lagi kamu akan mati." Gadis cantik bernama
Raina itu terdiam, merasa tak mengerti dengan apa yang
dimaksud mama tirinya.
"Maksud Tante apa berbicara seperti itu? Aku tidak mau
mati, Tante. Aku cuma mau bersama Papa. Itu saja sudah
cukup. Kalau semua yang Tante lakukan ini cuma karena
masalah harta Papa, Tante boleh memilikinya, asal Tante
biarkan aku menjaga Papa." Raina bertekuk lutut di hadapan
mama tirinya yang lagi-lagi tersenyum sinis melihatnya.
"Ttu sama saja bohong, Raina. Kalau kamu masih hidup,
harta Papa kamu juga tidak akan bisa menjadi milikku, karena
kamu ahli warisnya. Tapi kalau kamu mati, dan Papa kamu
masih hidup bersamaku, otomatis harta Papamu itu akan
menjadi milikku semuanya." Wanita itu tersenyum licik yang
digelengi tak percaya oleh Raina.
"Jangan, Tante. Aku masih mau hidup bersama Papa,
kalau aku mati bagaimana nasib Papa nanti? Papa sakit stroke,
Papa masih sangat membutuhkan aku. Tolong biarkan aku
merawat Papa, aku tidak akan mengambil harta Papa
sedikitpun." Raina merengkuh kaki mama tirinya berharap
wanita itu mau mempertimbangkan permohonannya.
In Bed Doctor - 6"Kamu pikir, aku bodoh? Kalau kamu masih hidup, kamu
akan dengan mudah mengambil semua harta Papa kamu."
Wanita itu menunjuk ke arah Raina yang terus menangis,
sembari terus berharap nyawanya diampuni.
"Tidak, Tante. Aku akan pergi jauh bersama Papa, aku
tidak akan mengganggu Tante apapun yang terjadi. Tapi
biarkan aku merawat Papa, aku ingin terus bersamanya." Raina
terus saja memohon, berharap keinginannya dikabulkan
dengan begitu ia akan benar-benar pergi dari kehidupan mama
tirinya itu.
Semua ini tidak akan terjadi, andai enam bulan yang lalu
papanya tidak menikahi wanita itu. Karena setelah lima bulan
dari pernikahan mereka, papanya dibuat stroke dan akhirnya
tidak bisa apa-apa. Sedangkan wanita itu semakin berkuasa dan
memperlakukan Raina dengan seenaknya.
Semua itu tidak akan seberapa bila dibandingkan dengan
kelakuan mama tirinya yang seenaknya membawa
selingkuhannya ke dalam rumah dan memperlihatkan
kemesraannya di depan papanya. Raina hanya bisa membawa
papanya pergi bila saat itu terjadi, karena memperingati atau
melawan mamanya pun juga tidak akan bisa Raina lakukan. Ia
hanya seorang diri, sedangkan kondisi papanya semakin buruk
setiap harinya.
Seminggu yang lalu, mama tirinya membawa papanya ke
sebuah panti jompo, sedangkan ia diperbudak dengan semakin
menjadi-jadi. Rasanya Raina hampir tidak memiliki waktu
untuk beristirahat, tubuhnya bahkan sampai lebam dan luka-
luka karena pukulan mama tirinya.
Lalu pagi tadi, tiba-tiba mama tirinya itu mengajaknya ke
panti jompo di mana papanya dirawat. Tentu saja mendengar
kabar itu, Raina merasa sangat bahagia, akhirnya setelah lama
berpisah ia bisa bertemu dengan papa yang sangat
Ikesweetdevil - 7dirindukannya. Namun sayang itu hanya ilusi belaka, karena
pada kenyataannya mama tirinya itu justru ingin
membunuhnya.
Sebenarnya sejak awal Raina sudah tahu bila mama
tirinya itu ingin menguasai harta papanya, namun ia hanya bisa
diam tanpa bisa menceritakannya dengan orang lain apalagi
polisi. Karena akibat dari semua itu, papanya lah yang akan
menjadi korban. Sekarang Raina merasa tidak tahu lagi harus
berbuat apa kecuali memohon dan memohon agar dirinya
dibiarkan hidup bersama dengan papanya, ia tidak ingin apa-
apa lagi kecuali pergi dari kehidupan mama tirinya dan tinggal
dengan tenang bersama dengan papanya.
"Sudahlah, Sayang. Kita lempar saja dia ke sungai,
dengan begitu kita bisa bersenang-senang menikmati harta
papanya. Kamu masih ingat kan dengan ucapan pengacara
suamimu itu, kalau harta suamimu itu tidak akan jatuh ke
siapapun kecuali anak itu." Kini suara lelaki yang menjadi
selingkuhan mama tirinya itu berbicara dengan nada
keangkuhan, membuat Raina semakin ketakutan, ia tidak ingin
pergi dengan meninggalkan papanya seorang diri.
“Tolong biarkan aku hidup, Tante. Aku benar-benar tidak
akan mengambil harta Papa sedikitpun." Raina terus saja
memohon, yang sempat membuat mama tirinya bimbang.
“Sayang, kamu harus ingat kalau pengacara itu tidak akan
pernah memberikan harta suamimu ke kamu sebelum ahli
warisnya meninggal, itu artinya kamu tidak akan menikmati
harta suamimu kalau kamu membiarkan dia hidup." Lagi-lagi
lelaki itu memengaruhi mama tirinya Raina, membuat wanita
itu terpengaruh dan pada akhirnya mengikuti ucapannya.
"Baik, kita bunuh anak ini. Kita lemparkan dia ke sungai
sekarang."
In Bed Doctor - 8Raina menggeleng kuat, air matanya terus mengalir
dengan berusaha memberontak saat mama tirinya dan
selingkuhannya itu menarik kedua tangannya kuat-kuat,
berniat mendorongnya ke sungai.
"Jangan, Tante. Tante ...." Raina hanya bisa menangis saat
mereka terus berusaha membawanya ke tepi sungai yang cukup
tinggi dan curang dengan gelombang air yang cukup
menakutkan.
Di sisi lainnya, Rian terus memerhatikan apa yang sedang
terjadi dengan mereka, karena Rian pikir tingkah laku mereka
ada yang salah. Terlebih lagi saat dua orang dia antara mereka
membawa seorang gadis itu ke tepi sungai.
“Apa yang mereka lakukan?" Rian mulai berlari ke arah
mereka, berniat mencari tahu apa yang sebenarnya sedang
terjadi.
"WOEI. APA YANG KALIAN LAKUKAN?" teriak
Rian sembari terus berlari, membuat mama tirinya Raina dan
selingkuhannya terkejut melihatnya, lalu dengan cepat
mendorong Raina ke sungai.
"Tante ... akhhhh ...." Raina berteriak keras saat tubuhnya
didorong masuk ke sungai, sedangkan orang-orang yang sudah
mendorongnya kini pergi melarikan diri.
Rian sempat terdiam melihat tubuh gadis itu melayang
masuk ke sungai, jantungnya berdebar tak karuan seolah ingin
berhenti di saat itu juga. Sampai saat Rian tersadar, lalu
membuka sepatu, kaos kaki, dan jaketnya. Rian berniat terjun
ke sungai untuk menyelamatkan gadis itu.
"Tuhan, apa benar ini akhir dari hidupku? Tapi aku masih
ingin hidup, aku harus menjaga Papa. Tolong berikan aku
seseorang untuk menyelamatkan aku, Tuhan. Aku janji, aku
akan mencintainya dan mau menikah dengannya bila dia
seorang lelaki. Tapi jika seorang perempuan, aku rela menjadi
Ikesweetdevil - 9pelayannya sampai kapanpun yang dia inginkan" Raina
memejamkan matanya sampai saat tubuhnya basah dan
tenggelam, ia masih berusaha menggapai udara, meskipun ia
tidak bisa berenang sebelumnya.
Sekarang yang Raina lakukan hanya berusaha menggapai
sesuatu yang bisa menahan tubuhnya, dengan hati yang terus
berdoa dan memohon, berharap ia bisa diselamatkan seseorang.
Sampai saat tubuhnya serasa lemas, udara yang sejak tadi
ditahannya sudah tidak lagi ada, Raina mulai menyerah,
kesadarannya mulai menghilang.
“Papa, maafkan aku ...."
soko
Rian menggapai tangan gadis yang hampir terbawah arus,
lalu menariknya sekuat tenaganya dan merengkuh tubuhnya
untuk dibawa ke tepian sungai. Setelah berhasil, Rian langsung
memberikan pertolongan pertama dengan cara memberinya
nafas buatan dan menekan dadanya beberapa kali.
“Ayo, ayo, bangun ...," gumam Rian khawatir, ia berusaha
melakukan apapun yang sudah menjadi kewajibannya sebagai
dokter. Sampai gadis itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan air
dari mulutnya, Rian seketika bernafas lega melihatnya.
"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Rian sembari
membantu gadis itu bangun.
"Iya. Tidak apa-apa. Terima kasih ...," jawabnya dengan
berusaha bernafas sebisanya.
"Kenapa kamu didorong ke sungai oleh mereka? Itu bisa
membunuh kamu, apalagi kamu tidak bisa berenang." Rian
bertanya ke arah Raina, namun gadis itu justru menangis
mendengar pertanyaannya.
"Dia Mama tiriku dengan selingkuhannya. Mereka
memang berniat membunuhku, karena mereka ingin
In Bed Doctor - 10mendapatkan harta Papaku." Raina menjawab lirih dengan
sesekali terisak, membuat Rian terdiam tak bisa berkata apa-
apa.
“Aku bersyukur karena kamu menyelamatkan aku, kalau
tidak, bagaimana nasib Papaku nanti? Mereka pasti akan
memperalat Papa sampai mereka berhasil menguasai
semuanya." Raina terus menangis sembari menatap ke arah
Rian yang masih menampilkan ekspresi yang sama.
"Kenapa kamu tidak melaporkan mereka ke polisi? Aku
bisa membantumu, aku juga mau menjadi saksi atas apa yang
sudah mereka lakukan ke kamu." Rian menawarkan
bantuannya, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menghibur
gadis itu.
"Aku tidak mau melaporkan mereka, aku terlalu takut.
Aku cuma ingin tinggal bersama Papaku dan sembunyi dari
mereka sampai kapanpun." Raina menekuk lututnya lalu
merengkuh tubuhnya yang basah dan kedinginan.
"Kalau kamu membiarkan mereka, itu sama saja kamu
memberikan apa yang mereka inginkan dengan percuma.”
"Aku tidak apa-apa. Aku juga tidak butuh harta, karena
bagiku harta yang paling berharga cuma Papa. Aku akan
melindungi dan menjaga Papa apapun yang terjadi, meskipun
itu artinya harus kehilangan semua harta yang Papa miliki. Bisa
hidup dengan tenang bersama Papa, itu sudah cukup."
"Baiklah, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Tapi
kamu harus menjalani beberapa tes medis, aku takut masih ada
air di paru-parumu. Kamu _perlu dirawat." Rian
membangunkan tubuhnya sembari mengulurkan tangannya
untuk membantu Raina.
"Aku tidak mau dirawat, aku merasa baik-baik saja."
Raina menerima uluran tangan Rian lalu mendirikan tubuhnya
yang masih terasa lemas.
Ikesweetdevil - 11"Kenapa tidak mau? Aku ini seorang dokter, aku tahu
kondisimu sekarang masih kurang baik. Jadi aku mohon
ikutlah denganku ke rumah sakit, aku akan membantumu."
"Aku benar-benar tidak apa-apa. Aku takut kalau aku
berkeliaran di tempat umum, Mama tiriku akan berusaha
membunuhku lagi." Raina menjawab lirih, yang mau tak mau
harus Rian mengerti, karena ia sendiri juga paham dan tahu
bagaimana mama tiri dari gadis itu begitu tega mendorongnya
ke sungai.
"Kalau begitu kamu ke rumahku dulu, aku akan
meminjami kamu baju dan memeriksakan kondisimu di sana."
Raina sempat terdiam saat Rian menawarkan bantuannya lagi,
ia sendiri masih bingung dengan bagaimana cara untuk
membawa papanya pergi dari panti jompo.
"Aku mau ikut denganmu, tapi apa aku bisa meminta
bantuanmu lagi?" Raina bertanya penuh harap yang hanya bisa
Rian angguki, Rian sendiri tidak pernah tega melihat seorang
gadis kebingungan dan ketakutan seperti itu.
"Kamu mau aku melakukan apa?"
"Papaku sedang sakit stroke, tapi Mama tiriku
membawanya ke panti jompo. Tidak bisa kah kamu
membantuku untuk membawa Papaku dari sana? Aku tidak
ingin ada yang menyakitinya lagi terutama Mama tiriku, aku
harus bisa menjaga dan melindungi Papaku dari mereka."
Raina menundukkan wajahnya, ia tahu bila permintaannya
mungkin dikategorikan tidak tahu malu, karena sudah ditolong
tapi masih mau minta tolong lagi, namun ia sendiri juga
bingung harus meminta bantuan ke siapa lagi kalau bukan ke
lelaki yang sudah menyelamatkan nyawanya.
Sedangkan Rian hanya menghela nafas panjangnya, ia
hanya tidak menyangka saja bila di dunia ini masih saja ada
gadis setulus itu, yang begitu menyayangi orang tuanya tanpa
In Bed Doctor - 12memikirkan harta terlebih lagi hidupnya sendiri. Sekarang
Rian tahu harus berbuat apa, ia akan membantu gadis yang
belum diketahui namanya itu.
"Itu mudah, aku akan membantumu. Tapi aku belum tahu
nama kamu, nama kamu siapa?" Rian menjulurkan tangannya
ke arah Raina yang tersenyum lega mendengar jawabannya.
"A-aku Raina. Kamu serius mau membantuku?" Raina
menerima tangan Rian, merasa belum percaya saja bila lelaki
itu masih mau membantunya.
"Iya, aku mau. Kamu tenang saja." Rian menarik
tangannya, namun Raina justru menahannya, matanya berbinar
seolah Rian adalah pangerannya.
"Maaf, tanganku ...." Rian menunjuk ke arah tangannya,
namun Raina justru menggeleng sembari tersenyum manis ke
arah Rian.
"Nama kamu siapa?"
“Aku ... Rian ...." Raina terus tersenyum sembari melepas
tangan Rian secara perlahan, seperti pada janjinya, ia akan
berusaha mencintai lelaki itu apa adanya, karena dialah yang
sudah menyelamatkan nyawanya.
Ikesweetdevil - 13Part O14.
Raina menurunkan tubuhnya dari mobil Rian setelah
mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana namun
nyaman dipandang mata. Raina hanya bisa berjalan mengikuti
langkah Rian, sembari merengkuh tubuhnya sendiri yang
terasa semakin dingin, padahal Rian sudah memberikan
jaketnya untuk ia pakai. Sampai saat keduanya masuk ke dalam
rumah, Raina menghentikan langkahnya berniat menunggu
Rian di ruang tamunya.
“Aku akan menunggu di sini, bajuku juga masih basah,
aku tidak akan duduk di sofa." Raina berujar lirih sembari
tertunduk tanpa mau menatap ke arah Rian yang mengangguk.
“Baiklah, aku akan kembali membawa baju untuk kamu
pakai." Rian berjalan ke arah kamarnya, sedangkan Raina
hanya mengangguk samar, merasa canggung saja bila harus
bersama dengan Rian di sebuah rumah.
Tak lama dari itu, Rian kembali dengan memakai baju
yang berbeda dari sebelumnya. Karena sudah menyelamatkan
Raina, tentu saja baju lelaki itu juga basah, membuat Raina
merasa sangat bersalah saat melihatnya.
In Bed Doctor - 14"Ini bajuku, mungkin sedikit besar untuk tubuh kamu, tapi
cuma itu bajuku yang paling kecil."
"Iya, tapi di mana aku harus berganti baju?"
“Di kamar itu," tunjuk Rian yang diangguki mengerti oleh
Raina yang mulai berjalan ke arah sana.
"Jangan lupa jaketnya juga dipakai, kamu harus tetap
hangat agar tidak sakit."
"Iya, terima kasih." Raina menundukkan kepalanya ke
arah Rian lalu kembali berjalan ke arah kamar yang baru lelaki
itu tunjuk.
Di dalam sana, Raina kembali menangis menahan semua
luka-luka yang berada di tubuhnya. Gesekan baju yang berada
di kulitnya terasa perih untuk Raina rasakan, belum lagi
kondisi tubuhnya yang masih basah, membuat luka itu terasa
sakit dua kali lipat dari biasanya.
Raina mengembuskan nafasnya beberapa kali menahan
semua rasa sakitnya, sampai ia berhasil mengganti bajunya lalu
memakai jaketnya. Dengan cepat, Raina menghapus air
matanya, berusaha terlihat baik-baik saja, lalu keluar dari sana.
"Sudah?" tanya Rian yang sedang menunggunya, yang
langsung diangguki oleh gadis itu.
"Kalau begitu kita ke ruanganku ya? Kamu harus aku
periksa lebih dulu."
"Iya," jawab Raina seadanya, lalu berjalan mengikuti Rian.
"Kamu tidurlah di sana, aku akan mulai memeriksa
kondisimu." Rian menunjuk ke arah brankar, yang hanya Raina
angguki lalu melakukan apa yang Rian perintahkan.
Saat sedang diperiksa, Raina hanya bisa merapatkan
bibirnya saat Rian mengetuk dadanya beberapa kali dengan
jari-jarinya, ia hanya tidak ingin lelaki itu tahu bagaimana
jantungnya berdebar tak karuan di dalam sana. Sedangkan Rian
sendiri justru terlihat tenang dengan sesekali mendengarkan
Ikesweetdevil - 15bunyi ketukan jarinya yang berada di dada Raina, dengan
sesekali memindahkannya ke beberapa tempat.
“Sepertinya air yang berada di paru-parumu tidak
banyak." Rian menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah
lemari kaca, di mana banyak berbagai obat berada di sana.
"Jadi bagaimana kondisiku? Aku tidak perlu dirawat
kan?" Raina bertanya kaku sembari membangunkan tubuhnya
dari brankar.
"Iya, cukup baik." Rian mengangguk setuju lalu
memberikan obat dan air putih ke Raina.
"Kamu harus minum ini untuk mengurangi rasa sesak
akibat air di paru-parumu." Raina mengangguk mengerti
sembari mengambil obat itu lalu meminumnya dan diakhiri
dengan meminum air.
"Kamu akan merasa lebih baik setelah beberapa jam.
Lebih baik sekarang kamu istirahat di sini, aku akan
menyiapkan makanan untuk kamu." Rian melangkahkan
kakinya, namun Raina sudah cepat menarik kemejanya.
"Kamu tidak perlu repot-repot sampai seperti itu,
kondisiku tidak apa-apa kan? Bagaimana kalau kita ke panti
jompo menemui Papaku? Kamu bilang mau membantuku ...."
Raina berujar cepat, ia tidak ingin merepotkan Rian lebih jauh
lagi.
“Tapi perutmu kosong, kamu belum makan."
"Tidak apa-apa, aku juga tidak lapar ...." Raina
menghentikan ucapannya setelah mendengar bunyi dari
perutnya, membuat Rian terdiam menatap tak percaya ke
arahnya.
"Jelas-jelas kamu sedang lapar," jawabnya tak habis pikir
Jalu kembali berjalan keluar, tanpa menyadari bagaimana
wajah Raina memerah karena malu. Namun karena tidak ingin
In Bed Doctor - 16semakin merepotkan, Raina turun dari brankar lalu berjalan
mengikuti Rian.
"Kenapa kamu kemari? Kamu kan harus istirahat?" tanya
Rian setelah mengetahui Raina tengah berjalan di belakangnya.
“Aku tidak mau semakin merepotkanmu, jadi biarkan aku
membantumu." Raina menjawab lirih, ia tidak bisa melihat
Rian kerepotan hanya karena dirinya, lelaki itu sudah sangat
baik mau menolongnya.
"Itu tidak perlu. Aku hanya memanaskannya. Mamaku
sering mengirimiku banyak makanan matang.” Rian kembali
berjalan ke arah dapur lalu mengambil beberapa makanan yang
berada di kulkas lalu memanaskannya, sedangkan Raina hanya
terdiam menatapnya.
"Kenapa kamu tidak memasak sendiri?" tanya Raina tak
mengerti, karena baginya makanan hasil masakan sendiri itu
lebih enak dinikmati.
“Aku tidak punya waktu, aku seorang dokter. Pagi hari
sampai siang aku ada di rumah sakit, setelah pulang, aku harus
membuka klinik praktikku sendiri sampai malam." Rian
meletakkan makanan itu ke tempatnya masing-masing.
"Emh ... istrimu ... di mana?" tanya Raina ragu-ragu,
namun justru disenyumi oleh Rian.
"Aku belum punya istri." Rian berjalan ke arah meja
makan dan menyiapkan makanan di sana, tanpa menyadari
bagaimana Raina tersenyum lega mendengarnya.
"Kalau kekasih apa kamu memilikinya?"
"Maksudmu pacar?" tanya Rian yang diangguki kaku oleh
Raina.
"Iya ...." Raina merapatkan bibirnya, merasa takut saja
bila Rian ternyata sudah memiliki wanita yang dia cintai.
“Aku juga tidak memilikinya ...." Rian menjawab lirih di
akhir kalimatnya, ucapannya itu justru mengingatkannya pada
Ikesweetdevil - 17Sinta. Namun Rian tidak akan tahu, bagaimana Raina merasa
bahagia mendengarnya, setidaknya ia akan mencintai lelaki
yang belum memiliki dambaan hati.
"Oh iya? Kenapa?" tanya Raina penasaran, rasanya
hampir tidak mungkin saja bila lelaki tampan seperti Rian
belum memiliki istri ataupun pacar.
"Kamu sendiri kenapa banyak bertanya?" Rian
memicingkan matanya ke arah Raina yang terkejut sembari
membungkam mulutnya.
“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf, seharusnya
aku tidak selancang ini. Maaf, maaf ...." Raina menyatukan
telapak tangannya ke arah Rian, berharap Rian tidak terganggu
dengan kelancangannya.
"Sudahlah. Ayo makan, kebetulan aku juga belum
sarapan."
“Tapi kamu mau membantuku menjemput Papaku kan?"
Raina berjalan di belakang Rian, ia tidak ingin lelaki itu
mengurungkan niatnya untuk membantunya.
"Kamu tenang saja, aku akan membantumu."
"Terima kasih." Raina mengembuskan nafasnya dengan
lega, Rian memanglah lelaki baik, Raina akan berusaha
memenuhi janjinya.
Rian dan Raina menatap ke arah gedung berlahan luas, di
mana ada tulisan panti jompo di atas gerbangnya. Rian merasa
belum yakin bila papa dari Raina itu berada di sana, apalagi
gadis itu juga belum tahu di mana persisnya tempat papanya
tinggal.
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Rian tak yakin.
"Ini panti jompo yang paling bagus di kota ini.
Fasilitasnya cukup lengkap, di sini juga mau menerima orang
In Bed Doctor - 18tua yang memiliki penyakit seperti Papa." Raina menjawab
mantap meski ia sendiri juga tidak yakin papanya berada di
sana, namun setidaknya ia harus tetap berusaha mencarinya.
"Ya sudah kalau begitu kita masuk sekarang." Rian
melangkahkan kakinya ke arah gerbang masuk, diikuti Raina
di belakangnya. Selama di perjalanan, Rian sempat
menanyakan ke beberapa perawat di mana tempat informasi
Jansia. Rian yang mengerti hanya berjalan mengikuti arahan
orang-orang yang membantunya, sedangkan Raina sendiri
mengikutinya dengan sesekali meneliti para lansia yang berada
di sana.
Melihat semua orang tua yang berada di sana, Raina
merasa ini salah. Papanya masih dikategorikan muda, umurnya
baru lima puluh tahun, masih jauh bila dibandingkan para
orang tua yang tinggal di panti jompo itu. Namun mama tirinya
itu begitu tega memasukkan papanya ke tempat yang tidak
seharusnya, membuat Raina tidak bisa memaafkannya meski
tidak ada yang bisa dilakukannya.
"Itu tempatnya, kita akan ke sana." Rian menunjuk ke
sebuah ruangan yang diangguki mengerti oleh Raina. Kini
keduanya berjalan beriringan, Rian tampak tenang, tapi tidak
dengan Raina yang merasa takut dan mengkhawatirkan kondisi
papanya.
“Permisi," sapa Rian ke arah seorang wanita yang tengah
duduk di kursinya.
"Iya, silakan masuk." Wanita itu mendirikan tubuhnya
Jalu menyalami Rian dan Raina.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya wanita itu yang
diangguki oleh Rian, lalu menoleh ke arah Raina.
"Siapa nama Papamu?" tanya Rian ke arah Raina yang
sempat kebingungan, namun pada akhirnya menjawab apa
yang baru Rian tanyakan.
Ikesweetdevil - 19“Adnan Handoko."
"Saya mencari lelaki lansia dengan nama itu, saya akan
membawanya pulang. Beliau ayah dari gadis ini." Rian
menunjuk ke arah Raina.
“Papa saya masih muda, dia belum lanjut usia. Hanya saja
kondisinya tidak bisa apa-apa karena penyakit stroke yang
dideritanya. Saya mohon, biarkan saya membawanya pulang,
Papa pasti mencari saya." Raina menyahut tegas, ia tidak ingin
papanya disebut lansia seolah beliau lelaki tak berguna.
“Adnan Handoko ya? Sebentar, saya carikan dulu ya?"
Wanita itu membuka komputernya lalu mencari nama yang
Raina sebutkan untuk mencari informasi nomor kamarnya.
"Beliau berada di kamar empat kosong empat. Mari saya
antarkan!" Wanita itu mendirikan tubuhnya sembari tersenyum
ke arah Raina.
"Jadi Papa saya ada di tempat ini?"
“Iya, apa kamu mau menemuinya?"
"Saya bahkan akan membawanya." Raina menjawab
mantap, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk
melindungi papanya dari mama tirinya.
"Lebih baik kita menemuinya dulu. Saya juga harus
memastikan Anda memang putrinya atau bukan? Apa Pak
Adnan ingin bersama dengan anda atau tidak." Wanita itu
menjelaskan semuanya, namun Raina tidak bisa menerimanya.
“Apa maksud anda? Anda tidak percaya dengan saya?"
“Bukan begitu, tolong tenanglah. Pak Adnan ini memiliki
wali yaitu Lina Sanjaya, istri sahnya. Kami tidak mungkin
Jangsung memberikannya ke anda, kalau kalian tidak memiliki
hubungan apapun."
“Anda pikir ini masuk akal? Bagaimana mungkin seorang
istri membiarkan suaminya yang sedang stroke untuk dirawat
ke sebuah panti jompo?" Raina bertanya menantang yang
In Bed Doctor - 20diam-diam wanita itu setujui, memang aneh rasanya bila
dipikirkan lebih jauh lagi, namun ia sendiri hanya seorang
pegawai, ia hanya melakukan pekerjaannya.
"Tenanglah, Raina. Ini masalah sepele, kamu pasti bisa
membawa Papamu pergi dari sini." Rian menyahut tenang
yang hanya bisa Raina diami.
"Baiklah. Mari saya antarkan." Wanita itu kini
mempersilakan Raina dan Rian untuk ikut dengannya, sampai
saat mereka berjalan keluar menuju ruangan Adnan.
Sesampainya di sana, mata Raina kembali menangis melihat
papanya berdiam diri di atas kursi rodanya di sebuah kamar.
"Papa ...," panggil Raina tak percaya lalu berjalan ke arah
Papanya untuk memeluk erat tubuhnya dan menyalurkan rasa
rindunya.
"Rai ... na ...." Lelaki itu menjawab terbata, matanya
memperlihatkan bagaimana ia begitu bahagia bisa melihat
putrinya.
“Anda bisa melihat sendiri kan, Raina memang putri dari
lelaki itu? Seharusnya anda tidak bisa menahannya lebih lama
lagi, karena Pak Adnan akan ada yang mengurusnya." Rian
berujar tenang ke arah pegawai panti jompo itu.
"Baiklah, Pak. Saya akan urus semuanya."
"Bagus." Rian menjawab singkat sembari terus menatap
ke arah Raina yang saat ini begitu erat memeluk tubuh papanya.
Mereka terlihat sangat bahagia dan lega bisa kembali bersama.
“Papa, maafkan aku ya, aku baru bisa menemui Papa
sekarang." Raina berujar serak, matanya kembali menangis
melihat tubuh papanya yang semakin kurus.
"Tidak apa-apa. Wanita ... itu ... pasti ... yang ... membuat
kamu ... tidak bisa ... menemui Papa kan?" Papanya itu
menjawab dengan suara terpotong yang Raina dengar dengan
penuh rasa sabar.
Ikesweetdevil - 21"Iya, Pa. Tapi Papa tenang saja, kita tidak usah kembali
ke rumah kita yang dulu. Aku masih memiliki uang tabungan
di rekeningku, kita bisa menggunakannya untuk mengontrak
rumah dan membuka usaha." Raina menyunggingkan senyum
hangatnya yang diangguki pelan oleh papanya yang tampak
merasa lega sekaligus bahagia.
Pemandangan itu terus ditatap oleh Rian, yang diam-diam
merasa kagum dengan sosok Raina yang begitu melindungi
papanya. Entah kenapa mengingatkannya akan sosok Sinta
yang begitu tegar, yang mau mengorbankan segalanya demi
seseorang yang paling disayanginya.
“Raina,” panggil Rian yang ditoleh oleh empunya.
"Iya," jawabnya sembari mendirikan tubuhnya lalu
menatap ke arah Rian.
"Kalau kamu tidak keberatan, kamu dan Papamu bisa
tinggal di rumahku. Rumahku cukup besar kan, di sana aku
juga membuka klinik untuk orang sakit seperti yang kamu lihat
tadi. Kamu bisa membantuku menjadi perawat, anggap saja
kamu bekerja di sana. Selain kamu bisa mendapatkan gaji, aku
juga bisa merawat Papamu sampai sembuh, dan kamu juga bisa
menjaga Papa kamu sepanjang waktu." Rian berujar tulus, ia
memang berniat membatu Raina untuk keluar dari
permasalahan hidupnya.
“Kamu serius?" tanya Raina tak percaya, matanya bahkan
hampir tidak berkedip sekarang.
"Iya ... aku pikir itu bagus, dari pada kamu harus
membuka usaha baru yang belum tentu berhasil, atau kamu
mencari pekerjaan lain, yang tentunya tidak bisa menjaga papa
kamu. Dan lagi, kalian juga bisa sembunyi di rumahku kan?
Tapi, itupun kalau kamu mau," jawab Rian yang seketika
disenyumi oleh Raina.
In Bed Doctor - 22"Tentu saja aku mau, terima kasih." Raina merengkuh
kedua tangan Rian, merasa sangat bersyukur karena lelaki itu
begitu baik dengannya dan juga papanya. Kalau terus seperti
ini, Raina yakin dirinya bisa dengan mudah mencintai Rian.
"Baguslah ...." Rian menyunggingkan senyum kakunya
saat jari-jari Raina begitu hangat merengkuh tangannya.
"Oh iya, aku perkenalkan kamu ke Papa ya?"
"Iya, tentu." Raina menarik tangan Rian lalu
menghadapkannya pada papanya.
"Pa, perkenalkan ini namanya Rian. Dia yang sudah
menolong kita untuk bebas dari Nenek sihir itu. Dia juga yang
akan memberiku pekerjaan dan Papa juga bisa dirawat oleh dia,
kebetulan dia seorang dokter, Pa. Hebat kan dia, Pa?" ujar
Raina penuh semangat yang sempat membuat Rian canggung
dengan suasana seperti ini.
"Terima ... kasih ...."
"Iya, Om. Om tidak perlu khawatir lagi mulai sekarang,
saya akan berusaha membantu Raina sebisa saya." Rian
menyunggingkan senyum tulusnya yang ditatap haru oleh
papanya Raina.
"Sekarang kita pulang ya?" ujar Rian sembari mendorong
kursi roda papanya Raina, membuat gadis itu merasa bahagia
bisa menemukan orang baik yang akan dicintainya.
Ikesweetdevil - 23Part 02.
Setelah sampai di depan rumah Rian, kini mereka turun
dari mobil, mereka sempat membantu Adnan turun lalu
mendudukkannya kembali di kursi rodanya. Raina hanya
tersenyum melihat Rian yang tengah mendorong kursi roda
papanya, lelaki itu terlihat tulus saat melakukannya. Dan entah
kenapa melihat Rian yang begitu baik pada papanya, membuat
Raina tak bisa mengelak lagi, bila hatinya memang sudah
mulai mencintai lelaki itu padahal mereka baru bertemu.
“Om, ini rumah saya. Mungkin terlalu sederhana untuk
Om, tapi saya harap Om bisa nyaman tinggal di sini bersama
Raina." Rian menyunggingkan senyumnya sembari membuka
pintu rumahnya, menunjukkan isi yang berada di dalamnya ke
arah Adnan.
"Bagus ... bagus kok ....". Adnan menjawab terbata,
ucapannya memang tidak bisa jelas dan cepat, namun masih
bisa dimengerti.
"Kalau begitu saya tunjukkan kamarnya Om dan Raina
ya?" Rian kembali mendorong kursi Adnan ke arah kamar
pertama yang cukup dekat dengan ruangan praktiknya.
In Bed Doctor - 24Sedangkan Adnan hanya mengangguk, ekspresinya tampak
nyaman dan bahagia bisa berada di rumah di mana ada putrinya
juga di sana. Tidak seperti saat di panti jompo, ia sempat
merasa kesepian dan takut terjadi sesuatu dengan Raina,
namun lagi-lagi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menghentikan tingkah laku istrinya.
"Nah ini kamarnya Om sama Raina. Kebetulan ada dua
ranjang, biasanya saya gunakan untuk pasien darurat yang
datang malam-malam dan harus diinfus." Rian terus masuk ke
dalam dan menunjukkan isi kamarnya yang cukup nyaman
seperti ruangan biasanya.
"Om istirahat ya sekarang, Om pasti lelah di panti jompo
tanpa mendapatkan penanganan medis. Kondisi Om bisa saja
Jebih buruk dari ini, bila tidak diterapi dan diobati. Jadi mulai
besok saya yang akan merawat Om, saya juga akan
menyiapkan beberapa alat dan obatnya, supaya Om tidak perlu
bolak-balik ke rumah sakit. Semoga setelah semua itu Om bisa
sembuh ya?" Rian berujar tulus sembari merengkuh tangan
Adnan dan memberinya kepercayaan untuk tetap semangat
menjalani pengobatannya.
"Apa Papaku akan sembuh seperti dulu?" Kini Raina
bertanya, nada suaranya terdengar tak yakin kali ini.
"Tentu saja bisa, asal Papa kamu mau menjalani
pengobatannya." Rian mendirikan tubuhnya yang disenyumi
Jega oleh Raina.
“Syukurlah. Terima kasih, Rian."
"Iya, ayo bantu aku membaringkan Papa kamu."
"Iya," jawab Raina terdengar sedikit lebih bersemangat
Jalu. membantu Rian membopong tubuh papanya dan
membaringkannya di ranjang.
Ikesweetdevil - 25"Papa istirahat ya, aku dan Rian keluar dulu." Raina
menyunggingkan senyum hangatnya yang diangguki mengerti
oleh papanya.
Setelah membaringkan tubuh papanya di kamar barunya,
kini Rian dan Raina berjalan ke arah luar. Dekat dari kamar itu
ada ruang yang Rian jadikan sebagai tempat praktiknya, yang
tadi Rian pakai untuk memeriksa kondisi Raina.
"Seperti yang kamu tahu, itu ruang praktikku, kamu akan
membantuku mulai besok." Rian menatap ke arah ruangan luas
itu yang diangguki mengerti oleh Raina yang sempat takjub
dengan kerapiannya di sana.
"Rian. Terima kasih ya, karena kamu _ sudah
menyelamatkan nyawaku dan membantuku lagi." Raina
berujar tulus, ia merasa sangat berhutang budi pada lelaki itu.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Menyelamatkan
nyawa orang adalah tugasku, tapi lebih dari itu semua karena
campur tangan Tuhan juga." Rian menjawab seadanya, namun
Raina justru tampak gelisah sekarang.
“ya itu ... saat kamu menyelamatkan aku, sebenarnya aku
sudah membuat janji pada Tuhan."
“Maksud kamu apa?" tanya Rian tak mengerti.
“Aku berjanji bila ada seorang lelaki yang menyelamatkan
aku pada saat itu, aku akan belajar mencintainya dan mau
menjadi istrinya. Tapi kalau yang menyelamatkanku
perempuan, aku rela menjadi pelayanannya sampai kapanpun
yang dia mau." Raina menjawab jujur dengan nada takut-takut,
tapi tidak dengan Rian yang terkejut.
"Jadi ... maksud kamu, aku akan menjadi suamimu
begitu?" tanyanya tak percaya, merasa konyol saja dengan janji
yang Raina ucapkan.
“Aku tidak akan memaksa kamu untuk menikahiku, aku
cuma akan mencintainya kan? Berarti aku akan belajar
In Bed Doctor - 26mencintai kamu, kalaupun suatu saat nanti kamu juga
mencintaiku, aku bersedia menjadi istrimu." Raina menjawab
cepat, ia berusaha menjelaskan janjinya.
"Tapi kamu tidak perlu memikirkan hal ini, kamu bisa
menganggap perasaanku tidak ada. Yang penting kamu
memperbolehkan aku memenuhi janjiku, yaitu belajar
mencintai kamu." Raina melanjutkan ucapannya yang kali ini
cuma bisa Rian diami. Rian sendiri tidak mengerti pada dirinya
sendiri kenapa ia justru merasa senang dengan apa yang Raina
ucapkan, walau sebenarnya perjanjian yang Raina katakan itu
cukup konyol didengar telinganya. Namun Rian juga tidak
menutup kemungkinan, bila suatu saat nanti mungkin ia dan
Raina bisa bersama dan menikah. Dia gadis yang baik,
mencintainya bukanlah kesalahan.
"Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjanjikan perasaanku ke
kamu. Andai suatu saat nanti kamu merasa lelah menungguku,
kamu bisa mengingkari janjimu." Rian menjawab seadanya, ia
tidak ingin membuat gadis sebaik Raina kecewa dan terluka
karena hidupnya sudah cukup berat untuk gadis itu sanggah
sendiri. Sedangkan Raina hanya mengangguk sembari
tersenyum tipis.
"Rasanya seperti tidak mungkin bila aku lelah
menunggumu, Rian. Kamu lelaki baik, aku bahkan akan
berusaha keras mendapatkanmu." Raina bergumam dalam hati,
merasa yakin dengan perasaannya sendiri.
"Kamu istirahatlah, aku juga akan istirahat. Besok aku
harus kembali bekerja. Dan oh iya, itu kamarku, kalau kamu
butuh apa-apa, kamu bisa memanggilku." Rian menunjuk ke
arah kamar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar yang
Rian sediakan untuk Raina.
Ikesweetdevil - 27"Iya, terima kasih. Istirahatlah." Raina tersenyum hangat
sembari terus menatap ke arah Rian yang tengah berjalan ke
arah kamarnya.
Rian menggosok rambut basahnya dengan handuk kering
setelah keluar dari kamar mandi. Hari ini cukup berat untuk
Rian jalani, namun ia senang karena kini ada Raina dan
papanya yang akan menemaninya di rumahnya yang sempat
sepi dan membosankan. Terlebih lagi, Rian memang tidak
pernah tega melihat seseorang menderita apalagi itu seorang
wanita dengan ayahnya yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Mungkin, karena alasan itu juga kenapa Rian memilih
menjadi dokter, ia merasa bahagia bisa membantu orang yang
membutuhkan bantuannya. Namun karena keinginannya itu
juga lah, ia kehilangan Sinta, kekasih pertamanya yang masih
sangat Rian cintai.
Dulu, Rian dan Sinta adalah sepasang kekasih semasa
SMA. Hubungan mereka cukup lama terjalin hingga mereka
duduk di bangku kuliah. Rian yang memilih jurusan berbeda
dengan kekasihnya itu justru membuatnya berpikir untuk
bermain-main dengan wanita lain, baginya saat itu adalah hal
biasa, karena teman-temannya juga melakukannya. Tapi tidak
dengan Sinta, wanita itu begitu menderita dan terluka parah
hingga trauma dan sempat tidak percaya pada cinta.
Sekarang Rian mengerti, bila kenakalan semasa kuliahnya
mungkin menjadi hal biasa untuk setiap orang, tapi tidak untuk
beberapa orang yang pernah mendapatkan luka yang sama.
Itulah kenapa Rian berusaha untuk tidak mudah mencintai
seorang wanita, karena ia takut akan melukai dan
mengecewakannya bila hatinya nanti berubah.
In Bed Doctor - 28,Rian pikir, hatinya harus benar-benar yakin mencintai
seseorang sebelum menyatakannya langsung pada orang
tersebut. Rian juga tidak mau bila suatu saat nanti ia justru
berpaling dan menyakiti hati perempuan lagi.
Rian menghela nafas panjangnya sembari berusaha
terlelap di atas ranjangnya. Hampir setiap malam Rian tidak
bisa tidur, bayang-bayang Sinta yang sudah bahagia dengan
kakaknya membuat hatinya resah, ada rasa di mana ia merasa
tidak rela. Otaknya selalu berpikir dan berpikir, bagaimana
nanti bila Sinta disakiti kakaknya dan kembali terluka.
Tanpa sadar, Rian terus mengkhawatirkan Sinta setiap
malam, padahal wanita itu sudah sangat bahagia hidup bersama
dengan kakaknya. Mungkin karena Rian belum bisa
melupakannya, ada rasa cinta yang masih tertinggal di hatinya
untuk wanita cantik itu.
Tidak, Rian menggeleng kuat, ia tidak boleh menyimpan
perasaan itu untuk wanita yang sudah menjadi kakak iparnya.
Namun lagi-lagi Rian menyerah, ia selalu berusaha melupakan
semuanya namun bayang-bayang Sinta masih terus memenuhi
otaknya.
"Aku harus melupakan Sinta. Harus!" Rian memejamkan
matanya berharap bisa tertidur, namun seperti malam-malam
sebelumnya, matanya menolak untuk terlelap.
“Akkhhhh ...." Rian berteriak frustrasi, hatinya kembali
tidak tenang, padahal tubuh dan matanya sudah sangat lelah
ingin beristirahat, namun hati dan otaknya justru menolak.
Tidak ingin terus-terusan terjaga, Rian memutuskan untuk
mencari obat tidurnya, tubuhnya terbangun setengah lalu
menjulurkan tangannya ke arah meja ranjang dan mengambil
botol yang berisikan obat di dalam laci.
Rian seketika terdiam saat merasakan botol obat tidurnya
terasa ringan digenggam tangannya, Rian memutuskan untuk
Ikesweetdevil - 29mengocoknya namun tidak ada suara yang keluar dari sana.
Pada saat itu Rian baru sadar, bila ia sudah kehabisan obat.
"Kenapa aku bisa melupakan ini? Padahal tadi pagi aku
sudah berniat untuk membeli obat, tapi aku malah jalan-jalan
dan menenangkan diri, lalu menyelamatkan Raina dan
membantunya, sampai aku lupa dengan kebutuhanku sendiri."
Rian bergumam tak percaya, bagaimana mungkin ia bisa
melupakan sesuatu yang sudah menjadi kebutuhannya sejak
Jama.
“Akhhhh ...," teriak Rian lagi terdengar semakin kesal
pada dirinya sendiri, padahal tubuhnya sudah sangat lelah,
namun sekarang ia harus pergi ke apotek untuk membeli obat.
Kalau tidak, Rian mungkin akan berakhir dengan tidak tidur
semalaman.
"Rian, ada apa?" Suara Raina kini terdengar dari luar
kamarnya, yang mau tidak mau harus Rian buka pintunya.
Sembari membawa jaket dan kunci mobil, Rian berjalan ke
arah pintu lalu membukanya dan mendapati Raina berada di
sana.
“Ada apa, Rain?" tanya Rian lelah, matanya tampak sayu
begitupun dengan wajahnya.
"Tadi aku ingin ke dapur, aku mau minum, tapi aku
mendengar kamu berteriak. Aku pikir kamu ada masalah, jadi
aku kemari untuk menanyakannya."
"Oh itu? Aku tidak apa-apa kok. Aku hanya kehabisan
obat tidur, aku akan membelinya di apotek terdekat." Rian
menjawab seadanya sembari berusaha terlihat baik-baik saja.
"Kalau boleh tahu, obat tidur itu untuk apa?" tanya Raina
hati-hati.
"Tentu saja untuk membantuku tidur, karena aku sering
insomnia, jadi aku membutuhkan obat itu."
In Bed Doctor - 30"Tapi aku pernah mendengar bila sering mengonsumsi
obat seperti itu akibatnya tidak baik." Raina menjawab
sepengetahuannya yang Rian angguki mengerti karena sebagai
dokter ia memang tahu hal itu.
“Aku tahu, tapi aku benar-benar membutuhkan obat itu.
Kalau aku tidak minum, aku tidak akan bisa tidur. Sedangkan
besok aku harus kembali bekerja di rumah sakit, aku harus
tetap terjaga untuk merawat para pasien." Rian menjawab jujur,
ia sendiri juga merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.
“Menurutku ketergantungan obat itu tidak baik, tapi aku
bisa membantumu." Raina menyunggingkan senyum
hangatnya, namun Rian justru tidak mengerti dengan
maksudnya.
"Membantuku? Caranya?" tanya Rian penasaran.
"Dulu, saat aku masih kecil, aku sering tidak bisa tidur,
tapi Mamaku membelai kepalaku secara perlahan dengan
sesekali memainkan rambutku, lalu aku bisa tertidur dengan
nyenyak. Kamu mau coba?" tawar Raina yang cukup membuat
Rian terkejut.
"A-pa?"
"Iya, seperti ini ...." Raina menggapai kepala Rian lalu
memainkan rambutnya secara perlahan.
"Apa itu bisa berhasil?" tanya Rian tak yakin setelah
Raina menurunkan tangannya dari kepalanya.
"Aku tidak tahu. Makanya aku bertanya kamu mau coba
atau tidak?"
"Baiklah, aku mau. Tapi apa itu tidak merepotkanmu?"
Rian mengangguk tak yakin, ia hanya tidak mau bila
keinginannya untuk tidur justru akan merepotkan Raina.
"Tentu saja, tidak. Aku bahkan akan melakukan apapun
supaya kamu bisa tidur, aku tidak ingin terus-terusan dibantu,
aku juga ingin membantumu." Raina kembali
Ikesweetdevil - 31menyunggingkan senyumnya, yang kali ini diangguki setuju
oleh Rian.
"Baiklah, aku mau."
"Ya sudah ayo, kamu harus berbaring di ranjang. Aku
akan duduk di tepi.". Raina menarik tangan Rian, lalu
menyuruh lelaki itu untuk terbaring. Dengan telaten, Raina
mengelus-elus puncak kepala Rian setelah lelaki itu berbaring
dengan berbagai peralatan tidurnya seperti selimut dan
bantalnya.
"Ini terasa aneh, aku tidak pernah seperti ini." Rian berujar
lirih yang justru disenyumi oleh Raina.
"Kenapa tidak pernah? Memangnya Mama kamu tidak
pernah melakukannya apa?"
"Tidak pernah. Mamaku memiliki empat anak, meskipun
aku anak terakhir, perhatian Mama lebih tertuju ke Kak Reyhan,
karena dia yang paling suka bersikap seenaknya, banyak dari
tingkah lakunya yang membuat Mama _ harus_ ekstra
memperhatikannya." Rian menjawab jujur, setidaknya itu yang
ia rasakan selama masa kecilnya.
"Woah jadi kamu memiliki banyak saudara? Pasti
menyenangkan ya memiliki mereka? Kamu tidak akan
kesepian, rumah juga akan terasa sangat nyaman kan?"
“Tidak juga. Kita bahkan sering bertengkar bila ada di
rumah." Rian menggeleng singkat, karena baginya saudara-
saudaranya itu justru terkesan menyebalkan, apalagi kakak
keduanya yang begitu usil.
"Itu bagus, dari pada aku yang tidak punya saudara sama
sekali. Setiap pulang ke rumah, semua terasa sepi dan sunyi,
tidak ada yang spesial. Itulah kenapa aku lebih memilih untuk
meninggalkan rumah dari pada berusaha mempertahankannya,
karena bagiku rumah itu tidak lebih dari tempat tidur. Sekarang
satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini cuma Papa,
In Bed Doctor - 32bagiku dia harta yang paling berharga."" Raina
menyunggingkan senyumnya, sedangkan Rian justru terdiam.
Lagi-lagi Raina mengingatkannya pada Sinta yang begitu
berusaha memperjuangkan adiknya untuk sembuh dan tetap
hidup di dunia ini, tapi sayangnya tuhan berkehendak lain.
Sinta harus rela ditinggalkan adiknya, yang dulu memiliki
penyakit kanker otak.
"Tapi tunggu, kenapa kamu masih belum tidur?" Raina
menatap ke arah Rian yang tersenyum tipis, ia justru lebih
terjaga dari sebelumnya.
"Tidak apa-apa. Kalau kamu merasa lelah, kamu boleh
berhenti."
"Seharusnya tidak seperti ini, aku mungkin yang terlalu
banyak bicara sampai kamu tidak bisa istirahat." Raina
menurunkan tangannya lalu membaringkan tubuhnya tepat di
depan Rian.
“A-apa yang kamu lakukan?" Rian memundurkan
kepalanya berniat menjauh dari dada Raina yang cukup dekat
dengan wajahnya.
"Biasanya aku memeluk tubuh Mamaku supaya aku bisa
semakin cepat tidur. Kamu boleh memelukku."
“Apa? Tidak. Aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak pernah seperti ini? Sebaiknya aku
membeli obat tidur." Rian membangunkan tubuhnya, namun
Raina justru menarik tangannya lalu merengkuh tubuh Rian
dengan wajah lelaki itu tepat di dadanya.
"Berhentilah mengonsumsi obat itu, aku yakin kamu bisa
tidur tanpa harus meminumnya setiap malam. Sekarang kamu
peluk tubuhku, aku akan mengelus puncak kepalamu sampai
kamu bisa tertidur." Raina mengarahkan lengan Rian untuk
Ikesweetdevil - 33memeluk pinggangnya lalu tangannya beralih ke puncak
kepala Rian dan mengelusnya kembali.
“Tapi ini aneh ...."
“Tidak apa-apa. Coba kamu tenangkan pikiranmu, buatlah
senyaman mungkin. Akan aku lakukan apapun untuk
membalas budiku, tanpa harus membiarkanmu merusak
dirimu." Raina berujar serius lalu bersenandung pelan sembari
terus mengelus puncak kepala Rian.
Sedangkan Rian yang tidak pernah di dalam posisi ini
cukup merasa tak nyaman, apalagi dada Raina cukup dekat
dengan wajahnya, namun anehnya apa yang Raina lakukan
membuatnya mengantuk, perlahan tapi pasti Rian merasa
nyaman berada di pelukan itu hingga saat matanya terlelap dan
tertidur dengan pulas.
Raina terus bersenandung dan terus mengelus-elus
puncak kepala Rian, sampai saat suara dengkuran halus mulai
terdengar dari bibir Rian. Mendengar itu Raina tersenyum, itu
artinya Rian sudah mulai terlelap sekarang.
Perlahan, Raina membangunkan tubuhnya dengan
sesekali menggeser kepala dan tubuh Rian agar tidak terganggu
dengan gerakannya. Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa
mengganggu Rian, kini Raina berjongkok di samping ranjang
sembari menatap wajah lelah Rian yang begitu meneduhkan.
“Maafkan aku, bila aku terlalu cepat mencintaimu. Kamu
lelaki baik, kamu bahkan sudah bisa membuatku jatuh hati saat
kamu memperlakukan Papaku dengan baik." Raina bergumam
dalam hati sembari mengelus pipi Rian lalu tersenyum manis
ke arahnya. Ia merasa bahagia bisa dipertemukan lelaki baik
seperti Rian, ia bahkan berjanji akan melakukan apapun agar
lelaki itu bisa mencintainya.
In Bed Doctor - 34Part 03.
Keesokan paginya, Rian terbangun dengan tubuh yang
cukup bugar tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Kalau
biasanya, Rian masih terasa remuk meskipun sudah berhasil
tidur dengan cara meminum obat tidur. Rian sendiri tidak tahu
kenapa Raina bisa membuatnya tidur senyaman tadi malam,
padahal ia baru bertemu dengan gadis itu, namun rasanya ia
sudah bisa menerima kehadirannya dengan sangat mudah.
Rian membangunkan tubuhnya lalu berjalan ke arah luar
kamar, langkah kakinya membawanya ke sebuah dapur di
mana aroma masakan menyeruak masuk ke dalam lubang
hidungnya. Dalam hati, Rian bertanya-tanya siapa yang sudah
memasak di dapurnya. Karena Rian sendiri tidak yakin, bila
gadis cantik yang biasa hidup kaya seperti Raina bisa memasak.
"Raina," panggil Rian tak percaya, gadis itu benar-benar
sedang memasak di dapurnya.
"Rian." Raina menyunggingkan senyumnya lalu
mematikan kompor dan berjalan ke arahnya.
“Aku tadi beli sayur di depan rumah kamu, jadi aku
memakai dapurmu untuk memasakkan kamu sarapan. Boleh ya?
Ikesweetdevil - 35Tadi aku mau minta izin, tapi sepertinya kamu tertidur pulas,
aku tidak mau mengganggumu." Raina berujar bersalah.
"Kamu bahkan boleh melakukan apapun di rumah ini.
Jangan sungkan-sungkan ya, anggap saja aku ini sauadarmu
sendiri." Rian menjawab tulus namun Raina justru terlihat
cemberut.
"Kenapa saudara?"
"Ya karena kamu bilang kalau kamu tidak pernah punya
saudara, lalu apa salahnya menganggap aku saudaramu?"
"Oh ... iya. Kalau begitu kamu ke meja makan ya, aku
akan menyiapkan sarapan untuk kamu dan Papa." Raina
menjawab kaku, ada rasa perih saat mendengar Rian ingin
dianggapnya saudara.
"Iya. Tapi, Rain. Aku mau bilang terima kasih sama kamu
untuk tadi malam. Gara-gara kamu, aku bisa tidur dengan
nyenyak tidak seperti biasanya, bahkan tanpa meminum obat.
Terima kasih ya?" ujar Rian tulus, membuat Raina tersenyum
bahagia mendengarnya, setidaknya ia bisa membantu lelaki itu
meskipun caranya tergolong aneh, namun Raina senang
melihat Rian menghargai bantuannya.
"Iya. Kalau kamu merasa terbantu dengan caraku, aku
mau melakukannya setiap malam, aku akan menemani kamu
sampai kamu bisa tertidur." Raina menjawab tulus, ia benar-
benar ingin membantu Rian.
"Itu berlebihan, tidak usah, aku tidak apa-apa kok." Rian
menjawab cepat, ia tidak ingin direpotkan oleh siapapun
apalagi Raina yang sudah pasti lelah mengurus papanya.
"Aku juga tidak apa-apa. Aku akan _berusaha
membantumu, bila kamu kesulitan tidur lagi. Terkadang,
sesuatu yang membuat kita tenang bisa mengurangi beban
pikiran kan? Kamu juga harus berusaha untuk mengurangi
sesuatu yang membuat kamu kepikiran. Mungkin saja, seiring
In Bed Doctor - 36berjalannya waktu, kamu bisa mengurangi insomniamu, asal
tidak dengan minum obat tidur lagi."
Rian hanya terdiam, apa yang Raina pikirkan itu memang
benar. Ia merasa kesulitan tidur karena hatinya masih dimiliki
Sinta. Rasanya Rian hampir tidak bisa tidur dengan tenang
memikirkan Sinta yang sebenarnya sudah sangat bahagia
dengan kakaknya, namun entah kenapa Rian masih belum bisa
merelakannya.
"Terima kasih, Rain. Tapi apa hal itu tidak berlebihan?
Kita bukan suami istri, tapi aku memelukmu di ranjang. Aku
malah merasa bersalah bila meneruskannya setiap malam."
Rian menjawab jujur, ia adalah lelaki yang sangat menghargai
perempuan, rasanya hampir tidak mungkin bila ia malah
memeluk Raina tanpa status hubungan apapun.
"Aku tidak apa-apa kok. Kan aku sudah bilang, kalau aku
akan belajar mencintai kamu, jadi hal ini tidak akan menjadi
masalah untukku. Kecuali kamu yang merasa tidak nyaman
berada di dekatku ....". Raina menjawab lesu di akhir
kalimatnya, namun Rian justru menggeleng pelan.
"Kalau aku tidak nyaman, mana mungkin aku bisa tertidur
tadi malam. Aku hanya tidak mau merepotkanmu, apalagi kita
tidak memiliki hubungan apa-apa. Jujur, aku bukan lelaki yang
biasa tidur dengan wanita, posisi kita tadi malam itu justru
membuatku merasa bersalah." Rian menjawab jujur sembari
menatap ke arah Raina yang justru semakin terpesona dengan
cara berpikir Rian yang begitu menghargai seorang wanita,
kalau terus seperti ini bagaimana Raina bisa tidak jatuh hati
dengan Rian. Rasanya hampir mustahil.
"Kalau begitu tidak apa-apa. Aku akan menemani kamu
tidur setiap malam, setelah kamu bisa tidur, aku akan pergi ke
kamarku. Bagaimana?" tawar Raina yang sebenarnya tidak
ingin Rian angguki, namun ia sendiri juga bingung harus
Ikesweetdevil - 37bagaimana menyembuhkan insomnianya. Padahal sudah
banyak cara yang sudah ia lakukan termasuk terapi alternatif,
namun tidak ada yang berhasil kecuali obat tidur. Namun
sebagai dokter, ia tahu konsekuensi apa yang akan
ditanggungnya bila terus-terusan bergantung pada obat itu.
“Baiklah. Aku minta maaf, bila akan terus merepotkanmu.
Aku janji, aku akan berusaha mengobati insomniaku."
"Iya, tidak apa-apa."
"Ya sudah, kalau begitu aku mandi dulu ya. Lalu kita
sarapan bersama dengan Papa kamu, setelah itu aku akan
berangkat bekerja ke rumah sakit."
“Jam berapa kamu pulang dari rumah sakit?"
"Mungkin jam satu atau jam dua sudah bisa pulang.
Setelah itu aku buka klinikku sendiri, nanti kamu juga
membantuku ya?"
“Pasti." Raina menjawab semangat, yang disenyumi oleh
Rian lalu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri.
sek
Rian tersenyum ke arah seluruh orang-orang yang
menyapanya saat berjalan memasuki ruangannya. Sebagai
seorang dokter, ia memang cukup dikenal banyak perawat,
petugas kebersihan, ataupun sesama dokter lainnya. Tak
terkecuali Sherly, seorang dokter cantik yang sama-sama
bekerja di ruangan yang sama.
"Halo, Dok." Seperti biasa, wanita itu akan
menyambutnya di depan pintu sembari tersenyum hangat ke
arahnya.
"Halo, Sherly." Rian menyapa seperti biasa dengan nada
ramahnya, namun wanita itu justru terlihat cemberut kali ini.
In Bed Doctor - 38"Kenapa ekspresimu seperti itu?” Rian menatap heran ke
arahnya, namun wanita itu justru semakin memanyunkan
bibirnya.
"Tentu saja saya merindukanmu, Dok. Sehari saja anda
berlibur, saya pasti akan merasa sangat kehilangan. Tapi apa
yang saya dapat? Dokter malah tidak memberi saya oleh-oleh."
"Saya saja tidak kemana-mana kemarin, mana mungkin
saya membelikanmu sesuatu." Rian menjawab tak habis pikir
sembari tersenyum tipis melihat juniornya itu cemberut seperti
itu.
"Sudahlah, lebih baik kita bekerja. Jangan memasang
wajah seperti itu, saya jadi takut melihatmu." Rian merangkul
pundak Sherly lalu mengajaknya untuk bekerja seperti biasa.
"Sepertinya Dokter hari ini terlihat lebih segar dan
bersemangat. Ada apa, Dok?"
"Tidak ada apa-apa. Memangnya saya seperti apa
biasanya?"
"Ya terlihat lelah meskipun baru datang, mungkin karena
Dokter sudah istirahat kemarin ya? Makanya sedikit lebih
bugar?" Rian tersenyum mendengar ucapan Sherly itu, iya
memang Rian cukup mengakui bila selama bekerja di rumah
sakit ini tepatnya setelah mengetahui Sinta menerima perasaan
kakaknya, Rian jarang bisa tidur, keadaan ini justru diperparah
semenjak pindah di kota tersebut. Jadi tidak akan
mengherankan bila orang-orang seperti Sherly berpikir sampai
seperti itu.
"Iya, saya kemarin beristirahat dengan cukup." Rian
menjawab bohong yang diangguki mengerti oleh Sherly.
"Makanya Dok, jangan buka klinik dulu, biar
pekerjaannya tidak terlalu banyak. Dokter setelah dari rumah
sakit langsung pulang dan harus bekerja di rumah." Sherly
menjawab kesal, ada nada kekhawatiran dari suaranya. Namun
Ikesweetdevil - 39Rian tidak memedulikannya, karena ia hanya ingin terus sibuk
supaya bisa melupakan Sinta tanpa harus terus-terusan
mengingatnya.
“Bukannya itu bagus ya? Mumpung masih muda, ya kita
harus bisa memanfaatkan ilmu kita lebih luas lagi."
“Tya sih, tapi kan Dokter belum punya istri, kan jadi tidak
punya waktu buat berkencan dengan wanita." Sherly
menyunggingkan senyumnya, ada debaran aneh saat
mengatakan hal itu.
“Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, saya hanya ingin
berguna untuk orang lain." Rian menjawab seadanya sembari
duduk di kursi kerjanya, menunggu pasien-pasien yang sedang
didata oleh beberapa pegawai lainnya.
"Apa Dokter tidak ingin menikah?" tanya Sherly
penasaran, ada rasa di mana ia juga ingin memiliki kesempatan
dekat dengan Rian.
“Untuk saat ini tidak."
“Kenapa? Kan Dokter sudah berumur dua puluh delapan
tahun? Bukannya di umur itu sudah cukup matang ya untuk
membangun rumah tangga?" Sherly memicingkan matanya, ia
juga penasaran kenapa Dokter yang ditaksirnya itu seolah tidak
memiliki niat untuk mendekati wanita terlebih lagi berusaha
mencari pendamping hidupnya.
“Saya belum mencintai wanita manapun, jadi kenapa
harus _repot-repot. + memikirkan pernikahan?" Rian
menyunggingkan senyum santainya, tanpa menyadari
bagaimana Sherly kecewa dengan jawabannya. Namun lagi-
lagi ia berusaha untuk bersikap biasa, ia tidak mungkin
memperlihatkan rasa sukanya begitu tiba-tiba apalagi ia
seorang wanita.
In Bed Doctor - 40Di sebuah panti jompo, wanita berdandan tebal dengan
seorang lelaki seumurnya itu berjalan angkuh ke arah ruang di
bagian informasi. Mereka adalah Lina dan selingkuhannya,
keduanya berniat menjemput Adnan pulang supaya harta lelaki
itu bisa mereka kuasai.
“Saya mau menjemput Pak Adnan, tolong bawa dia
kemari." Lina berujar penuh keangkuhan, membuat pegawai
itu merasa resah dan ketakutan.
"Maaf, Bu. Pak Adnan sudah dijemput putrinya pulang.”
Wanita itu menjawab jujur, membuat Lina dan selingkuhannya
terkejut.
“Apa maksud anda?" sentak Lina geram.
"Kemarin putrinya yang bernama Raina kemari dan
menjemput Pak Adnan, Bu."
"Apa?" gumam Lina tak percaya lalu melangkah keluar
ruangan sembari menarik tangan selingkuhannya.
"Bagaimana ini, Den? Ternyata Raina masih hidup,
buktinya dia sudah membawa Adnan pergi dari sini?" Lina
bertanya marah, ekspresi ketakutannya kini tampak di wajah
ayunya.
"Iya, aku pikir anak itu bakal mati di sungai. Tapi
bagaimana mungkin dia bisa selamat? Apa lelaki yang melihat
kita kemarin, yang sudah menyelamatkan anak itu?" ujar Deni
sembari berpikir yang diangguki setuju oleh Lina.
"Iya, sepertinya dia yang sudah menyelamatkan Raina.
Aakkhh," keluh Lina geram, merasa kesal dengan rencananya
yang sudah gagal.
"Jadi kita harus bagaimana sekarang? Kita tidak akan bisa
mendapatkan harta suamimu sebelum mendapatkan tanda
tangannya, apalagi putrinya masih hidup sampai sekarang."
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kita harus cari Raina dan
Adnan, kita harus bisa melenyapkan mereka sebelum Adnan
Ikesweetdevil - 41diobati dan kembali pulih. Kamu tahu kan alasanku membawa
Adnan kemari, karena aku ingin memperburuk kondisinya, tapi
karena Raina sudah membawanya, bisa saja anak itu
mengobati Adnan dan menggagalkan semua rencana kita," ujar
Lina terdengar frustrasi yang diangguki mengerti oleh Deni.
“Aku mengerti, kita harus menyuruh orang untuk
mencarinya. Kalau perlu membunuh semuanya, Raina dan
Adnan." Deni berujar mantap sembari menatap dingin ke arah
Lina yang mengangguk setuju.
kek
Setelah menyelesaikan tugasnya dan waktu kerjanya
sudah selesai, kini Rian berjalan ke arah bangku Sherly. Lelaki
itu berniat mengajaknya ke pusat toko pembelanjaan untuk
membeli perlengkapan baju buat Raina dan papanya. Karena
setelah memutuskan untuk tinggal di rumahnya, mereka tidak
membawa apa-apa. Kalau untuk papanya Raina, baju-bajunya
masih ada, yang dibawa dari panti jompo, namun Raina tidak
ada sama sekali kecuali baju yang gadis itu kenakan saat
pertama kali mereka bertemu.
"Sher," panggil Rian yang langsung ditatap oleh wanita
yang sedang sibuk menyiapkan barang-barangnya itu.
"Iya, Dok. Ada apa?"
"Kamu mau ikut dengan saya?" tawar Rian yang cukup
membuat gadis itu terkejut, karena tidak biasanya Rian mau
mengajaknya ke suatu tempat.
"Ke mana, Dok?"
"Ke mall. Kamu mau kan?"
"Iya, tapi untuk apa kita ke sana?" Sherly
menyunggingkan senyum tertahannya, merasa bahagia saja
bila dokter yang disukainya itu mulai menunjukkan
perhatiannya.
In Bed Doctor - 42"Saya mau membelikan seseorang baju, nanti kamu juga
saya belikan kok, kamu bisa pilih baju apapun yang kamu mau.
Asal ...." Rian menghentikan ucapannya yang ditatap
penasaran oleh Sherly.
“Asal apa, Dok?"
"Kamu pilihkan beberapa baju untuk seseorang itu juga
ya? Dia memiliki tubuh seukuran denganmu, kamu pasti bisa
membantunya."
"Kenapa dia tidak membeli sendiri, Dok? Kenapa harus
saya yang memilihkannya?" tanya Sherly terdengar tak suka,
yang disenyumi canggung oleh Rian. Andai saja Raina bisa
keluar dan bebas berkeliaran ke mana saja, Rian juga tidak
akan mungkin mengajak Sherly untuk membelikan Raina baju.
Rian hanya tidak mau mengambil risiko bila mengajak Raina
membeli baju sendiri, ibu tirinya bisa saja menemukannya dan
berusaha membunuhnya lagi.
"Saya tidak memaksa kamu kok, kalau kamu tidak mau
juga tidak apa-apa." Rian melirik ke arah beberapa perawat,
namun di antara mereka tidak ada yang dekat dengannya,
hanya Sherly yang paling akrab dan mau berbicara banyak hal,
rasanya canggung bila Rian meminta bantuan pada mereka.
"Saya mau membantunya memilih baju, tapi saya ingin
tahu, sebenarnya seseorang itu siapanya Dokter?"
"Dia ... emh saudara saya." Rian menjawab ragu yang bisa
Sherly baca dari ekspresi wajahnya bila Rian sedang tidak
yakin dengan ucapannya.
"Saudaranya Dokter? Untuk apa Dokter membelikannya
beberapa baju? Ini aneh. Jangan-jangan seseorang itu pacarnya
Dokter ya?"
"Bukan, dia hanya sedang menginap di rumah saya, tapi
dia kehilangan bajunya saat berada di perjalanan, makanya
saya ingin membelikannya." Rian menjawab cepat, ia tidak
Ikesweetdevil - 43ingin ada yang berpikir aneh-aneh tentang dirinya, apalagi
membelikan baju untuk seorang gadis itu cukup terlihat aneh
untuknya.
“Saudara Dokter? Perempuan?"
“Iya. Kenapa? Ah, dia bersama dengan Papanya, dia tidak
sendirian menginap di rumah saya. Jadi apa kamu mau
membantunya?" tanya Rian yang sempat lupa menceritakan
papanya Raina yang juga menginap di rumahnya.
"Saya mau membantunya kok, Dok. Hanya saja saya
cuma bingung kenapa dia tidak mau membeli baju sendiri? Dia
kan kehilangan bajunya, harusnya dia langsung berpikir untuk
membeli baju kan? Tanpa harus merepotkan Dokter."
"Iya, sebenarnya dia juga ingin melakukannya, hanya saja
Papanya sedang sakit stroke makanya dia tidak bisa pergi, dia
harus menjaga dan merawat Papanya." Rian menjawab
sebisanya yang sepertinya cukup Sherly mengerti terlihat dari
caranya mengangguk samar.
“Tapi kenapa mereka menginap di rumahnya Dokter?"
tanya Sherly kembali, nada suaranya terdengar penasaran kali
ini. Sampai Rian sendiri merasa risi, karena Sherly terus
menginterogasinya seolah dia adalah pacarnya yang harus tahu
semuanya. Namun Rian sendiri juga tidak mungkin
mengabaikan pertanyaannya, ia membutuhkan bantuan wanita
itu untuk membelikan baju dan pakaian dalam untuk Raina.
"Saudara saya ingin terapi stroke, mereka hanya ingin
saya membantu kesembuhannya." Rian kembali menjawab
bohong, ia sendiri tidak tahu harus mencari alasan apa.
"Oh, begitu ya? Baiklah, saya mau membantunya, Dok."
Sherly menyunggingkan senyumnya, merasa lega saja bila
perempuan yang ingin Rian belikan baju itu cuma saudaranya,
karena ia sempat berpikir bila perempuan itu calon istrinya
Rian.
In Bed Doctor - 44"Baguslah, kalau kamu mau. Saya sendiri juga bingung
harus meminta bantuan siapa." Rian menjawab lega yang
disenyumi malu oleh Sherly. Karena itu artinya ia cukup dekat
untuk menjadi orang yang dimintai tolong oleh Rian.
"Tapi kamu juga pilihkan dia pakaian dalamnya ya? Saya
tidak tahu hal-hal seperti itu," bisik Rian sembari mendekat ke
arah telinga Sherly dengan sesekali melirik beberapa perawat
yang mungkin saja bisa mendengar ucapannya.
"Oh masalah itu? Dokter tenang saja, saya pasti akan
membantunya." Sherly menjawab bersemangat, ia senang bila
Rian meminta bantuannya, ia jadi memiliki kesempatan untuk
semakin dekat dengan lelaki itu.
"Terima kasih. Kita berangkat sekarang ya? Saya juga
harus membuka klinik nanti sore."
"Siap, Dok." Sherly _ lagi-lagi menyunggingkan
senyumnya lalu berjalan beriringan dengan Rian ke arah luar
ruangan.
Ikesweetdevil - 45Part 04.
Setelah membelikan baju untuk Raina, Rian langsung
mengantarkan Sherly pulang, meskipun wanita itu sempat
ingin mampir ke rumahnya dan bertemu dengan saudaranya.
Namun Rian buru-buru menolaknya, ia tidak mau Raina
bertemu dengan siapapun termasuk Sherly sekalipun, terlebih
lagi orang-orang yang cukup dekat dengannya. Entahlah
kenapa Rian merasa begitu mengkhawatirkan keselamatan
gadis itu, namun bila mengingat kekejaman mama tirinya,
rasanya Rian tidak bisa membiarkan keberadaan Raina
diketahui semua orang.
“Rian, kamu baru pulang?" Kini suara Raina terdengar
menyapanya, gadis itu tersenyum dari balik pintu yang baru di
bukanya. Pemandangan seperti ini cukup aneh untuk Rian
rasakan, karena sebelum ini hari-harinya selalu membosankan.
Tidak ada orang yang menyambutnya seperti saat mamanya
menyambutnya pulang di rumah, namun sekarang Raina seolah
mampu menjelma menjadi wanita hangat yang mau
menyambutnya dengan senyuman manisnya. Aneh, Rian
In Bed Doctor - 46merasa istimewa saat kedatangannya justru ditunggu seseorang
seperti Raina sekarang.
"Iya," jawab Rian seadanya, masih belum terbiasa saja
dengan kondisi sepele itu namun mampu menggugah hatinya
yang tak pernah bergairah sebelumnya.
"Kamu baru beli apa?" Raina menatap ke arah beberapa
papper bag yang dibawa Rian sekarang, barang-barang itu
begitu banyak hingga Rian sendiri merasa kesulitan untuk
masuk rumah.
“Aku bantu ya?" tawar Raina sembari mengambil alih
beberapa papper bag.
“Aku membelikan kamu baju," ujar Rian sembari
tersenyum kaku, merasa nyaman saja di posisi seperti ini.
Sekarang otaknya justru berpikir bagaimana nanti kalau ia
memiliki istri dan anak? Mungkin hari-harinya yang lelah akan
terasa ringan bila pulang melihat mereka berdatangan untuk
menyambutnya.
“Baju? Untukku? Tapi kenapa?" tanya Raina tak mengerti,
padahal ia sudah sangat merepotkan di rumah lelaki itu, namun
Rian terus membantunya dengan banyak cara.
"Kamu kan ke rumah ini tidak membawa baju, jadi aku
membelikannya untukmu. Dan yang ini untuk Papa kamu,
tidak sebanyak milik kamu sih, kan Papa kamu sudah
membawa banyak baju." Rian menunjuk papper milik Raina
dan papanya, namun gadis itu justru terdiam menatapnya.
"Kenapa diam? Kamu tidak suka ya? Aku tidak tahu sih
kesukaanmu baju yang seperti apa, tapi aku mengukur
ukurannya dari temanku, dia memiliki tubuh seperti kamu, aku
pikir akan pas untuk kamu." Rian mencoba menjelaskan semua
ke Raina agar gadis itu tidak terlalu terburu-buru kecewa.
“Aku suka kok, terima kasih ya." Raina memeluk tubuh
Rian, menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu.
Ikesweetdevil - 47“Aku minta maaf, karena aku terus merepotkanmu. Aku
tidak tahu bagaimana hidupku kalau aku tidak bertemu dengan
kamu. Terima kasih," ujar Raina tulus yang sempat didiami
oleh Rian yang sempat terkejut dengan apa yang sedang Raina
lakukan pada tubuhnya. Gadis itu memeluknya, mengucapkan
banyak terima kasih untuknya. Rasanya aneh, karena sebelum
ini Rian merasa tidak pernah senyaman ini dipeluk seseorang.
"Iya, aku senang kok bisa bantu kamu." Rian menjawab
seadanya lalu Raina menarik diri dari pelukannya, gadis itu
tersenyum tulus lalu melihat ke beberapa baju yang dibelikan
Rian untuknya.
"Oh iya, kamu sudah makan? Aku memasak makanan
untuk kamu," tanya Raina yang kali ini sempat didiami oleh
Rian, karena sebelum ini ia sudah makan bersama dengan
Sherly.
“Aku minta maaf, Rain. Tadi aku sudah makan di luar."
Rian menjawab bersalah, namun sepertinya Raina terlihat baik-
baik saja.
"Tidak apa-apa. Besok-besok kamu makan di rumah ya,
aku akan menyiapkan makanan setiap kamu pulang." Raina
kembali menyunggingkan senyumnya, seolah tidak ada
amarah dari wajahnya padahal dia tampak lelah dengan peluh
keringat di tubuhnya.
“Iya, besok pasti aku makan di rumah." Rian menjawab
mantap, sampai tatapannya jatuh pada seluruh ruangan rumah,
di mana semuanya tampak bersih dan rapi.
"Kamu membersihkan rumahku?"
"Iya."
"Kenapa? Kamu tidak perlu sampai seperti itu, kamu kan
juga lelah merawat dan menjaga Papa kamu."
“Aku tidak apa-apa kok. Kan aku di sini menumpang di
rumah kamu, jadi aku juga harus membantu kamu
In Bed Doctor - 48membersihkan rumah ini." Raina kembali menyunggingkan
senyum hangatnya.
"Kamu tidak harus membersihkan semuanya. Biasanya
aku menyewa orang untuk membersihkan rumah ini seminggu
sekali." Raina sempat terdiam lalu mengangguk seolah setuju,
karena sebenarnya Raina akan sangat berusaha membantu Rian
selagi ia bisa.
"Iya. Tapi aku masih boleh kan bantu kamu di klinik?"
"Iya, tentu saja boleh. Nanti Papa kamu juga harus aku
periksa dan terapi, supaya beliau bisa cepat sembuh," jawab
Rian yang seketika membuat Raina lega sekaligus bahagia.
"Terima kasih, Rian. Aku ke tempat Papa ya? Kamu
mandi saja dulu, aku yang akan menyiapkan semuanya." Rian
hanya mengangguk sembari tersenyum lalu berjalan ke arah
kamarnya.
"Oh iya, Rain. Jangan lupa dipakai bajunya." Rian
kembali menghadap ke arah Raina, mengingatkan gadis itu
untuk memakai pemberiannya.
"Iya, pasti. Terima kasih." Raina menjawab tulus yang
lagi-lagi diangguki oleh Rian. Kini keduanya terpisah di kamar
masing-masing sembari tersenyum merasakan perasaan
mereka yang mulai aneh.
Raina berjalan masuk ke dalam kamar, di mana papanya
tengah duduk di ranjangnya. Melihat lelaki yang sangat
disayanginya itu, Raina tersenyum lalu berjalan ke arahnya.
“Pa, Rian membelikan aku baju, Papa juga dibelikan. Rian
baik ya, Pa?" Raina memperlihatkan isinya, sedangkan lelaki
itu tersenyum melihat senyum bahagia dari bibir putrinya.
"Apa ... kamu ... menyukainya ...?" tanya Adnan perlahan,
yang justru didiami oleh Raina, merasa bingung harus
Ikesweetdevil - 49