You are on page 1of 261
Belia Writing Marathon Series ries. Dest teart at Why Tim ? wer re ar Ea Ya = Buat apa bikin baper, kalau akhirnya cuma dijadiin temen? HAULA S. Testimont untuk Dear Heart, Why Him? “DHWH sukses buat perasaan saya campur aduk dan rasanya kayak permen Nano Nano: asem di awal, manis di akhir. Selain itu, DHWH juga bikin nyandu. Pokoknya cerita ini bikin gereget, deh, hehe. Terima kasih —@Jessiwx, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Novel Dear Heart, Why Him? itu sumpah kereeennn banget. Bikin baper? Pasti. Malah bikin geregetan pas baca novelnya. Ditambah, di tiap babnya ada qoutes yang cocok buat dijadiin caption foto di Instagram. Novel Dear Heart, Why Him? memang novel terkomplet ever.” —@VamPireChia, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “DHWH ini bagus, menarik, plus keren abisss!!! Cerita ini bisa bikin emosiku nggak stabil dan terbawa suasana. Sedih ya nangis, bahagia ya loncat-loncat, hehe ©. Sakit ya nangis lagi, baper ya .... Buat jantung dag- dig-dug nggak karuan, cepet banget detaknya, udah kayak balapan Moto GP. Cerita ini bisa bikin aku nggak bisa diem ngotak-atik handphone, nungguin terus update-nya. Kak @haulaa_s pinter bgt deh buat kata- katanya. Sukses selalu kak @haulaa_s. Kakak berhasil bikin aku jatuh cinta sama DHWH.” —@Syanstory, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Salah satu cerita Wattpad terbaik yang aku baca. Tentang pertemanan yang sukses bikin aku iri sendiri, tentang friend zone yang bikin baper. Ditambah lagi dengan masing-masing sikap dan sifat dari setiap tokoh, membuat konflik dan lain sebagainya mempunyai nilai plus di mataku. Bahasanya yang ringan bikin jadi makin enak dibaca. Cocok untuk anak- anak remaja zaman sekarang. Karena setiap sudut masalahnya tidak terlalu sulit dipahami. Selain itu, judulnya juga bikin penasaran gimana ceritanya. Jadi, pasti semangat buat baca sampe akhir ©©®, Sukses selalu untuk karya selanjutnya, Kak. Jangan lupa buat bikin cerita-cerita yang lebih seru di Wattpad.” —@QueenChoco12, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Ter-Baperrr 2K17!!! Ceritaini tuh beda banget. Kak Haulaciptain tokohnya untuk nggak terlalu berangan tinggi, tapi lebih ke mempersiapkan diri untuk hal yang nggak terduga. Mulai dari Dalvin yang nggak peka-peka, sampai Bela yang labil banget sama perasaannya. Move on or stayy? Let's see!” —Nisrina Mawar, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Novel DHWH keren dan pecah! Novel ini sangat cocok untuk remaja. Alur ceritanya cukup sulit untuk ditebak sehingga sukses membuat readers jadi penasaran. Saya sangat merekomendasikan para remaja untuk beli novel DHWH.” —efaiqahhanah, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Menurutku, Kak Haula begitu apik menyusun cerita. Begitu hebat membuat para pembaca membuang waktu hanya untuk membaca part 1 ke part berikutnya. Semua rangkaian kata yang Kakak bikin sangat menyentuh. Membuat para pembaca nggak sabar melihat bagaimana kelanjutan ceritanya. Bagiku, Bela merupakan gambaran kebanyakan remaja sekarang. Berusaha mengubur perasaan, tapi selalu mengurungkan niat saat sang cowok malah membuatnya semakin cinta. Kalian tidak akan menyesal mengenal Dalvin dan Bela.” —Shanata Aura, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Awalnya iseng cari-cari teenfic, akhirnya nemuin DHWH dan kepincut banget dari awal baca, lalu jatuh cinta sama cerita ini. Setiap baca DHWH tuh suka baper, sering banget, kadang sampai nangis baca perjuangan Bela buat dapetin Dalvin. Nunggu nih cerita update dari awal tuh emang bener-bener perjuangan. Waktu tahu ini cerita update rasanya seneng banget kayak tahu kalau doi kita tuh peka, wkwkwk. Nggak sabar banget pengin tahu kelanjutan perjuangan Bela buat dapetin Dalvin. Very nice and very Good!” —Azizah Rohmah, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “DHWH itu cerita yang kesannya ‘anak sekarang banget’ gitu. Bahasanya ringan, alurnya mudah dimengerti, nggak berbelit-belit, kekinian, setiap part-nya bikin penasaran, feeling-nya juga dapet banget! Dan, perpaduan yang sempurna antara Bela dan Dalvin. I like this story! Recommended banget buat remaja zaman sekarang.” —Michelle Najoan, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Cerita DHWH itu ngajarin kita buat nggak benci sama orang karena kalau kita nggak tahu gimana orang itu sepenuhnya, kalau kita terlalu benci, itu bisa jadi kita malah suka. Cerita ini juga ngajarin kita buat lebih pintar menilai cowok buat dijadiin pacar, takutnya kayak Jos kan, yaaa :v. Terus tentang pentingnya ngejaga perasaan orang, terutama orang yang deket sama kita buat nggak ngasih perhatian yang berlebihan kalau kita memang nggak punya perasaan apa-apa. DHWH juga ngajarin kita buat selalu berpikir positif, tetap semangat sama apa yang kita jalani, seberat apa pun cobaan yang Allah kasih. Sesakit apa pun semuanya, kita harus tetap berpikir positif dan mikir semuanya baik-baik aja walaupun hati kita bilang kalau kita nggak sanggup karena mungkin dengan kita berpikir positif dan tetap semangat, semuanya akan sedikit lebih ringan.” —@aprilliakayeylipity, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad Hak cipta dilindungi undang-undang, Dilarang mengutip atau memperbanyak cebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tert i dari penerbit. Deat {lear} WhY Thm ? HAULA S. Dear Heart, Why Him? Karya Haula S. Cetakan Pertama, November 2017 Penyunting: Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari Perancang & ilustrasi sampul: Dilidita Tlustrasi isi: Larasita Apsari Pemeriksa aksara: Achmad Muchtar Penata aksara: Rio Diterbitkan oleh Penerbit Bentang Belia (PT Bentang Pustaka) Anggota Tkapi Jin, Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 889248 - Faks. (0274) 883753 Surel: infoebentangpustaka.com Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com http://www:bentangpustaka.com Haula S. Dear Heart, Why Him?/Haula S.; penyunting, Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari.— ‘Yogyakarta: Bentang Belia, 2017. viii + 252 hlm; 20,8 cm ISBN 978-602-430-189-7 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing J. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Telp.: +62-21-7864547 (Hunting) Faks.: +62-21-7864272 Surel: mizandigitalpublishingemizan.com Untuk Mamak dan Bapak Daftar isi Prolog = 1 Balas. DenBawy Berujung Petula Musuly Baile Hat "i Mawar Migtonins- B Secuet Admixer 31 Gracious Dafiin 4 Kali, Kedua i] fosee 63 Peefect Steangers 69 Keneata Kanu, Dobra, 80 On, Felobet; Ow 50 The hut == 99 Don't let Me Down, 105 Raut 10 What fs Love? 120 Me cad: My Broken Heat 132 Fat 137 Aha Bises hoa? 183 Kencou, 194 Pete daw Teralhie, 20t Mengbifaarg rT Sadat, Pan, 14 Aebix, Conite Kita 232 Ucapan Tecima Kasif, 246 Profil Perbis 147 Pelajaran yang Bela dapatkan saat mencintai Dalvin adalah jangan mengharapkan sesuatu yang indah saat Jatuh cinta, tapi persiapkan hatimu untuk menghadapi seribu satu hal yang menyakitkan. I Bela bangun tepat setengah jam sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia duga sejak akan beranjak tidur. Semua ini karena ia menonton drama Korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Bela menyalahkan dramanya yang memiliki belasan episode dan membuat penasaran. Jadilah ia memaksa menghabiskannya hingga tengah malam. “Mamaaa, kok, nggak bangunin Bela, siiih?” Cewek itu mencebikkan bibir mendapati kedua orang tuanya kini hampir selesai sarapan sementara dia baru turun dari kamar dengan seragam yang terpasang acak-acakan. “Hei, kamu udah Mama bangunin dari dua jam yang alu!” Bela mendengus, cewek itu tidak membalas ucapan Mama dan buru- buru menyalami mama dan papanya. “Bela berangkat, ya, udah telat,” ucap Bela sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Usai berpamitan, tanpa babibu, Bela segera berlari menuju garasi, memasuki mobil putih kesayangannya, menyalakan mesin, dan menginjak pedal gas. Bersama Bela, si putih memelesat cepat menyisakan asap tipis. Bela termasuk siswa yang patuh akan peraturan lalu lintas, tapi tidak untuk hari ini, Dari kejauhan, Bela dapat melihat lampu dekat perempatan jalan menyala dengan warna merah. Cewek itu meringis. Jika dia menunggu lampu hijau menyala maka akan memakan banyak waktu. Percuma, dong, dia ngebut tadi. Tak ada pilihan lain. Bela menggigit bibir bawahnya, mengumpulkan keberanian untuk menerobos lampu merah. Sesekali melanggar tak apa, pikirnya. Dengan satu entakan kaki, mobil putih itu langsung melaju kencang menerobos aturan yang mengharuskannya berhenti. Bela hanya bisa mengucap maaf dalam hati kepada orang-orang di perempatan jalan yang menyumpahinya. Satu belokan lagi, Bela akan segera sampai di sekolah. Waktu yang tersisa hanya dua menit dan Bela harus benar-benar memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Beribu syukur Bela ucapkan melihat gerbang sekolah belum ditutup. Pak Satpam sepertinya baru akan menutup gerbang. Bela segera menekan klakson bersamaan dengan menginjak pedal gas. Mobil putihnya meraung hebat membuat Pak Satpam terkejut dan refleks melompat menjauh dari gerbang. “Yess!” Bela menyeringai, tepat setelah mobilnya sukses memasuki arena sekolah, bel masuk berbunyi. Kini ia bisa bernapas lega. Tidak perlu pusing memikirkan hukuman karena terlambat. Baru saja hendak memarkirkan mobil di tempat biasa ia parkir setiap hari, sebuah mobil CRV menyerobot dari arah samping dan menempati parkiran yang sudah Bela incar. “Lah, siapa yang berani ngambil tempat parkir gue?” sungutnya kesal. Ia menekan klakson berkali-kali, tetapi tak ada respons dari mobil di depannya. Tak mau berlama-lama, Bela memilih keluar dari mobil, kemudian menghampiri mobil CRV hitam tadi. “Woi, keluar lo!” suruh Bela sambil mengetuk kaca mobil tak sabaran. Bela tak ikhlas tempat parkir strategisnya diambil. “Lama banget, sih! Keluar lo!” Bela sedikit mundur ketika pintu mobil itu terbuka. Seorang cowok berperawakan tinggi dengan kulit putih keluar dari mobil tersebut. Bela harus mendongak saat menatap cowok itu karena tinggi mereka yang terpaut cukup jauh. “Ini tempat parkir gue. Kok, jadi lo yang ambil?” Dengan tampang angkuh cowok itu menatap Bela, kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Parkiran ini punya nenek lo?” tanyanya tenang. “Yaaa ... bukan, sih, tapi kan, tiap hari gue yang parkir di sini.” “Siapa cepat, dia dapat,” kata cowok itu cuek dengan nada menyebalkan, kemudian melangkah pergi. Baru satu langkah cowok itu menjauh, Bela segera menahan pergelangan tangannya. Bela tidak akan pernah ikhlas mobil kesayangannya parkir di luar sekolah, mengingat parkiran di dalam sudah penuh. “Pindahin mobil lo sekarang!” tandas Bela. “Gue yang duluan dateng,” lanjutnya menegaskan. “Kalau gue nggak mau?” tanya cowok itu sambil menaikkan alis. Bela membasahi bibir, emosinya mulai tersulut. “Lo jangan banyak gaya, deh. Gue bilang pindahin, ya, pindahin!” Bela berseru kesal. Cowok itu mengernyit. “Emang lo siapa berani nyuruh-nyuruh gue?” Sepertinya cowok itu juga mulai kesal, sama seperti Bela. “Gue yang punya tempat parkir ini, mau apa lo?!,” sahut Bela tersungut. Cowok menyebalkan itu berdecih. “Nggak usah mimpi lo! Ini parkiran sekolah. Jangan sok jadi ratu, deh. Semua orang juga bayar sekolah di sini. Sekarang mending mobil butut lo ini lo parkirin di luar.” “What?” Bela berkacak pinggang, memandang tak percaya. “Mobil butut?” Entah cowok itu buta entah apa, Bela tak tahu. Yang ia tahu mobil kesayangannya ini termasuk dalam golongan mobil mewah dengan harga tinggi. Satu lagi, mobil ini adalah mobil kesayangannya. Jelas saja ia semakin emosi karena hinaan itu. Kini ia tidak bisa menahannya lagi. Tangannya sudah mulai gatal ingin menjambaki rambut cowok tinggi itu. Jarinya mengepal, bogem mentahnya sebentar lagi akan lepas landas. Baru saja Bela mengambil ancang-ancang untuk membuat biru wajah cowok itu, tiba-tiba sebuah suara membuat kedua anak itu menoleh. “Bela! Dalvin! Apa yang kalian lakukan di sini? Mau bolos berdua? Mau pergi pacaran?” Hari yang sial bagi Bela, itu Pak Marta, guru berkumis lebat yang menyeramkan, baru saja meneriakkan namanya. “Eh? Nggak, kok, Pak, saya baru dateng. Lagian saya nggak kenal anak ini, kok. Dia ngambil tempat parkir saya,” jelas Bela setelah Pak Marta berdiri di hadapannya. “Jangan kamu pikir saya tidak tahu. Sudah banyak anak yang tertangkap seperti kalian berdua ini. Alasannya sama, itu-itu saja.” “Pak, Bapak salah paham. Ka—” “Masih saja mengelak.” Tangan guru itu terangkat menarik telinga Bela dan Dalvin bersamaan. “Kalian ikut Bapak ke Ruang BK! Jangan coba-coba membolos, ya.” I Sudah lima menit Bela mengomel menyalahkan Dalvin. Dia dan Dalvin diberikan hukuman karena disangka akan bolos. Sialnya lagi, ia dituduh berpacaran dengan Dalvin. Mereka berdua ditugaskan mengepel lantai aula sekolah yang luas. “Daripada kalian pergi pacaran, kalian pel aula saja. Pacaran bermanfaat, tidak perlu bolos,” begitu kata Pak Marta sebelum memberikan alat pel kepada Bela dan Dalvin. “Ribut banget, sih, lo. Udah, jalanin aja. Nggak usah lebay!” “Apa lo bilang?!” Bela memekik tak percaya. “Gue bilang lo lebay.” “What!” Mata Bela membuka lebar. Ia tak terima dikatai seperti itu. Dalvin orang pertama yang mengatakan bahwa ia lebay. Padahal, cowok- cowok selalu memujinya. “Bisa, nggak, sih, lo jangan teriak-teriak pakai suara cempreng gitu?” Dalvin yang sejak tadi sibuk mengepel, menghentikan aktivitasnya dan memandang Bela kesal. “Lo ngatain gue lagi?” tanya Bela geram. Sepertinya cowok ini diciptakan untuk membuat Bela emosi. “Iya, cempreng,” kata Dalvin memperjelas. “Berani lo, ya!” “Ngapain takut.” Cewek itu mengangkat alat pel yang dipegangnya, kemudian ia arahkan ke wajah Dalvin. “Mulut lo perlu dipel biar sopan!” Dalvin berjalan mundur. “Woi! Gila lo, ya?” Ekspresi takut Dalvin membuat Bela tertawa puas dan semakin maju menyodorkan alat pel ke wajah Dalvin. Semakin lama Bela semakin dekat. Wajah Dalvin makin menunjukkan rasa takut. Bela semakin senang dan merasa menang. Berkali-kali Dalvin mengancam Bela, tapi cewek itu tak peduli, ia tak takut. Hingga akhirnya tak sengaja kaki Bela menginjak lantai yang masih basah. Bela terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan, lantas ia jatuh dengan bokong terempas ke lantai. “Aduh!” ringisnya merasakan ngilu di bawah sana. Hening sejenak. “Wahahahahahahahahaha ....” Tawa Dalvin menggelegar, menggema, memantul di setiap sisi tembok, kemudian kembali ke telinga Bela. “Rasain lo!” Dalvin tersenyum miring, memasukkan kedua tangan ke dalam saku, kemudian pergi dengan langkah angkuhnya. Part 1 Balos Dendam, Berujung Petaka Tidak semua hal buruk adalah petaka. Bisa saja ia datang dengan kebaikan yang mengiringi di belakangnya. ajah Dalvin bermandikan keringat. Sepulang sekolah, ia dan tim berlatih futsal sampai sekarang. Tak ada rasa lelah yang Dalvin rasakan. Menurutnya, menggiring dan menendang bola adalah hal yang sangat menyenangkan. Dalvin dan tim berlatih hingga sore begini karena sebulan lagi mereka akan mengikuti perlombaan futsal antar-SMA tingkat kota. Pelatih meniupkan peluit, menandakan permainan selesai. Seluruh pemain berlari menuju tas masing-masing dan mengambil minum. Satu botol air mineral sudah Dalvin habiskan, setelah itu ia berlari kecil menghampiri pelatih tim yang memanggilnya. “Good job, Vin! Kamu dan teman-temanmu sudah menunjukkan banyak perubahan ke arah yang lebih baik.” Raka menepuk-nepuk pundak Dalvin. Ia merasa bangga memiliki Dalvin sebagai kapten di tim yang ja latih. Pelatih muda itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah pukul enam, saya harus pergi. Latihan kita tutup.” Dalvin mengangguk patuh. Tepukan tangan Raka mengumpulkan semua anggota. “Tetap semangat semuanya, kita pasti berhasil” ucap Raka menyemangati. Sebelum bubar, mereka semua berdoa terlebih dahulu. Setelahnya, dengan dipimpin Dalvin mereka berteriak, “Pasti bisa!” bersama-sama. Baju yang basah karena keringat, wajah kusam, dan rambut yang acak- acakan tidak menurunkan sedikit pun ketampanan seorang Dalvin. Tak heran banyak cewek yang diam-diam jatuh hati kepada Dalvin. Namun, sifat Dalvin yang cuek dan terkadang menyebalkan membuat semua cewek malas berdekatan dengannya. Cowok itu berjalan sendirian menuju parkiran. Sejenak ia terdiam memandangi mobilnya. Otaknya mengulang kejadian tadi pagi, ketika ia bertemu dengan cewek cerewet sekaligus menyebalkan. Rasa kesal masih melingkupi hati Dalvin, dalam diam ia berdoa agar ia tidak pernah bertemu cewek itu lagi. IIa Malam ini Bela sibuk mencari nama Dalvin di semua media sosial miliknya, tapiia tak juga menemukan akun milik cowok nyebelin itu. Bela berencana balas dendam. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengorek info tentang Dalvin. Empat kali ia bolak-balik mengganti kata kunci, membuka profil akun dengan username yang berhubungan dengan nama Dalvin, hasilnya masih sama. Bela tetap belum menemukan akun milik cowok itu. Tiba-tiba saja layar di ponsel Bela berganti dengan tulisan “Nanda is calling”. Alis Bela bertemu, untuk apa sahabatnya itu menelepon malam- malam begini. “Halo,” sebuah suara terdengar setelah ponsel Bela tersambung dengan ponsel Nanda di seberang sana. Bela menghidupkan mode speaker di ponselnya dan kembali mencari akun Dalvin. “Iya, Nan. Tumben telepon gue malem-malem. Kenapa?” “Nggak kenapa-kenapa, sih, gue bosen aja. Jos lagi pergi sama nyokapnya. Gue nggak ada temen chat, makanya nelepon lo.” Bela memutar bola mata. “Oh, jadi, gue cuma jadi cadangan kalo cowok lo lagi sibuk,” sindir Bela yang membuat Nanda terkekeh. “Bisa dibilang gitu.” “Ah, lo mah gitu. Gue matiin aja, deh, teleponnya. Lagian gue lagi banyak kerjaan.” Bela turun dari kasurnya dan keluar dari kamar untuk mengambil minum. Ia merasa haus setelah sekian lama mencari Dalvin di dunia maya. “Jomlo sibuk ngapain, sih? Paling juga nge-stalk doang sibuknya,” kata Nanda yang dibenarkan Bela dalam hati. “Jangan salah, Say! Jomlo gini, Bela banyak fannya.” ‘Apa yang Bela katakan memang benar, bukan hanya sekadar alibi untuk meninggikan derajatnya yang telah diturunkan Nanda karena ia tak punya pacar. Bela termasuk cewek most wanted di sekolah. Mungkin karena terlalu banyak cowok yang mendekati, makanya Bela malas berpacaran. “Yah, air habis.” Bela menatap sedih galon kosong di hadapannya. “Kenapa, Bel?” tanya Nanda heran dengan ucapan Bela yang tidak nyambung dengan topik percakapan mereka. “Ini, gue mau minum, tapi air di rumah habis.” “Yaelah gitu doang susah amat. Minimarket banyak, Coy, tinggal beli!” “Iya, ini gue mau pergibeli. Udah dulu, ya, Nan, bye.” Belamemutuskan sambungan tanpa menunggu persetujuan Nanda. Ia segera kembali ke dalam kamar dan mengambil kunci mobil serta meraih jaket berwarna biru tua di dalam lemari. Sebelum pergi membeli air, Bela terlebih dahulu pergi ke kamar Rani, mamanya, untuk meminta izin. “Mam, Bela keluar dulu, ya, mau beli air.” Rani yang sedang membaca majalah mengangkat wajah, lalu memandang Bela heran. “Minum air di rumah aja, Sayang” “Habis, Mam.” “Oh, ya udah, deh, hati-hati. Jangan ngebut, jangan lama-lama, cari jalannya yang ramai.” Bela hanya mengangguk. Tidak ada pilihan lain jika mamanya sudah mulai cerewet begini. “Sebelum ambil air, lihat tanggal kedaluwarsanya dulu. Jangan jajan sembarangan. Ja—” “Iya, Mamaku sayaaang, Bela pergi dulu.” Bela langsung menyalami Mama dan segera pergi. Jika tidak begini, khotbah panjang Mama tidak akan selesai, bisa-bisa Bela keburu dehidrasi. II Bela menelusuri rak-rak tempat snack berjejer dengan rapi. Walaupun Rani sudah berpesan kepadanya agar tidak jajan sembarangan, Bela tidak akan tahan saat berbungkus-bungkus snack melambai dengan cantik sambil memanggilnya. “Chitato, Lay's, Happy Tos, Taro, Ring, KitKat.” Bela mengabsen merek-merek snack yang kini memenuhi keranjang belanjaannya. “Ah, rumput laut tercinta belum,” gumamnya. Kemudian, ia mengingat-ingat tempat biasanya snack itu diletakkan. “Ah, itu dia.” Bela tersenyum cerah saat matanya menangkap snack yang ia sukai. Hanya tersisa satu bungkus, bersyukur Bela cepat melihatnya tadi. Tangan cewek itu segera mengambil snack rumput laut itu. Namun, di saat yang bersamaan, tangan seseorang juga mengambil snack yang Bela ambil. “Eh.” Bela menarik tangannya dan mengurungkan niat untuk membeli. Orang yang hendak mengambil snack yang sama dengan Bela juga tak jadi mengambil. “Ambil aja, Mbak, saya nggak jadi.” Baik banget ni orang, batin Bela. Dia segera meraih snack itu lagi dan hendak berterima kasih, tapi orang baik tadi sudah lebih dulu pergi. Bahkan, Bela juga belum sempat melihat wajahnya. Punggung orang itu masih dekat, Bela segera mengejar. “Mas, makasih, ya,” kata Bela mencolek lengan orang baik tadi. Cowok baik yang mengenakan kaus hitam itu pun berbalik. Bela terbelalak. Ia terkejut dengan mata yang membesar serta bibir terbuka. Sesaat setelah melihat wajah orang itu, otaknya terasa dipenuhi kobaran api. “Lo?!” pekik Bela sambil menunjuk wajah cowok baik di hadapannya yang ternyata adalah Dalvin. “Nggak perlu bilang makasih.” Dalvin berucap datar, seperti tidak ada keterkejutan di wajahnya saat melihat Bela. Tak mau berlama-lama, cowok itu kembali berbalik dan melangkah pergi mendorong troli belanjaannya. “Dih, songong banget!” Bela memandangi Dalvin yang terlihat buru- buru menuju meja kasir. “Awas aja lo!” Bela sangat ingin melempar kepala cowok itu dengan botol minuman yang ada di sampingnya. “Nggak mau tahu, gue harus bikin dia kesel!” Bela berjalan pelan sembari berpikir keras mencari ide yang bagus untuk membalas Dalvin. Hanya sebentar, ide itu langsung muncul karena rasa ingin balas dendam yang begitu menggebu dalam dirinya. Bela tersenyum licik. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berlari sambil mendorong troli belanjaannya sekuat tenaga. Persetan dengan orang- orang yang memandanginya dengan tatapan aneh. Hal yang terpenting sekarang adalah Bela ingin membalaskan dendamnya. Dalvin tersentak saat Bela tiba-tiba menyalipnya dengan kecepatan penuh dari arah samping. Bukan apa-apa, hanya saja troli yang didorong Bela hampir mengenaiDalvin. Untung cowokitu dengan cepat menghindar. IIa Bela menyeringai, melirik Dalvin dengan sudut matanya, setelah berhasil berdiri tepat di depan meja kasir lebih dahulu daripada Dalvin. “Maaf, ya, Mas, saya duluan, soalnya harus cepet-cepet,” ucapnya sambil menatap Dalvin dengan senyum manis yang mengejek. “Ya, nggak apa-apa.” Hanya itu sahutan dari Dalvin dan terdengar tak peduli. Bela mendengus, kemudian memindahkan belanjaannya dari troli ke atas meja kasir. Sok baik, Dasar muka dua! Ini belum seberapa, cowok songong! Lo harus ngerasain rasanya pantat kepentok lantai! “Totalnya delapan puluh lima ribu, Mbak.” Suara kasir tadi menyadarkan Bela yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Bela mengangguk, kemudian merogoh saku jaketnya, mencari uang seratus ribu yang ia bawa. Cukup lama jarinya mencari. Perlahan, keningnya muncul lipatan halus. Seingatnya ia menaruh uang itu di dalam jaket sebelum berangkat, tapi tak ada apa pun yang ia temukan di dalam saku. Tenang, Bela cantik, cari di celana, batinnya menenangkan diri sendiri. Bela kemudian memeriksa dua saku celananya. Tindakan yang sia-sia. Tidak ada apa-apa di dalam sana. Bela tak dapat mengelak bahwa ia mulai panik. Gelagat gugupnya tak bisa ia sembunyikan, membuat sang kasir menatapnya curiga. Dengan cepat, Bela memeriksa kembali semua saku di pakaiannya, tetapi tetap sama, nihil. Jantungnya berdegup tak karuan. Bela menggigit bibir bawah, wajahnya memucat. Mati gue! “Hmmm ... anu, Mbak.” Bela menelan ludah berusaha mati-matian agar suaranya tidak terdengar aneh. “U-uang saya ketinggalan.” Setelah mengumpulkan keberanian, Bela mengatakan yang sebenarnya meski terbata-bata. Kasir di depannya tersenyum masam. Bela langsung berpikir, Mbak Kasir di depannya ini pasti baru mengalami hal buruk. Tidak biasanya pegawai minimarket ini berwajah masam seperti itu. “Ya udah nggak apa-apa, Mbak. Tapi, barang belanjaannya kembalikan ke tempatnya, ya. Banyak antrean di belakang,” ujar kasir itu tanpa senyum. Bela mengangguk dan langsung mengulurkan tangan, hendak mengambil barang-barang yang tak jadi dibelinya. Namun, sebuah suara menghentikan gerakan tangannya. “Mbak, biar saya aja yang bayarin belanjaan cewek ini. Sekalian digabung sama punya saya aja.” Bela tersentak, kemudian mengangkat wajahnya. w90 Dengan tergesa, Bela mengikuti langkah lebar Dalvin hingga parkiran sambil membawa kantong plastik berisi penuh snack dan minuman. “Uang lo bakalan gue ganti. Gue nggak sudi berutang budi sama lo.” Tanpa menghiraukan perkataan Bela, Dalvin terus berjalan, sedikit pun ia tak berbalik memandang Bela yang mengekor di belakangnya. “Sombong banget, sih, lo!” teriak Bela geram karena Dalvin tak juga menghiraukannya. Bela mengentak-entakkan kaki ke tanah agar Dalvin mau berbalik. Akhirnya, Dalvin berhenti. Cowok itu menarik napas dalam, kemudian diembuskannya kasar seraya berbalik menatap Bela jengah. “Bisa, nggak, sih, lo diem?” tanya Dalvin risi karena tingkah Bela. “Masalah uang, lo lupain aja. Gue bayarin lo karena orang tua gue ngajarin gue untuk berbagi sama orang yang nggak mampu.” Dalvin memberi jeda. “Urusan kita selesai, jangan ngikutin gue lagi,” tambahnya. Ia lalu berbalik dan kembali melangkah menuju mobilnya. Rahang Bela terkatup rapat, giginya bergemeletuk. Dalvin merendahkan harga dirinya. Omongan cowok itu membuatnya kesal bukan kepalang. “Gue nggak butuh bantuan lo, cowok songong!” Bela melemparkan kantong yang ia bawa ke arah Dalvin hingga mengenai kaki cowok itu. Segala jenis makanan yang berada di dalam kantong itu berhamburan keluar, berserakan di atas tanah. Dalvin segera berbalik, kemudian menunduk, menatap snack yang berserakan di tanah. “Makan tuh!” sambung Bela masih dengan teriakan mautnya yang membuat dirinya kembali menjadi pusat perhatian semua orang, tapi kali ini ia tak peduli. Emosi Bela sudah di ubun-ubun. Cewek itu berjalan mendekat ke arah Dalvin dengan tatapan tajamnya sementara Dalvin berdiri menghadap Bela dengan wajah yang memerah. Emosi cowok itu juga sudah mulai terpancing. “Entah berbagi seperti apa yang orang tua lo ajarin. Yang pasti, dari penilaian gue, orang tua lo gagal total ngedidik anaknya,” ucap Bela menusuk serta penuh kemarahan dengan penekanan di setiap kata. Dalvin berdecak, sorot matanya tak kalah tajam menusuk bola mata Bela. “Seenggaknya orang tua gue nggak ngajarin anaknya belanja tanpa bayar.” Plak! Tamparan Bela dengan telak menyapa pipi Dalvin. “Itu cocok buat cowok yang mulutnya tajem kayak lo!” Bela bersungut. Kemudian, ia berbalik, meninggalkan Dalvin yang mengepalkan tangannya dengan kuat. Part 2 Musul Baik Hati Kamu boleh menganggapku musuhmu. Tapi. aku tak pernah ingin welihatmu terluka. go crius, Bel, longgak makan, nih?” tanya Nanda yang baru datang sambil membawa semangkuk mi ayam. Bela menggeleng, ia tidak suka makan sesuatu yang berkuah di pagi hari. Lagi pula, tadi ia juga sudah sarapan di rumah. Nanda mengangguk sambil meletakkan mangkuk mi ayamnya di atas meja, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Bela. “Surganya siswa itu pas perut laper, eh nggak ada guru,” ucap Nanda. Kemudian, ia mengaduk mi ayamnya hingga makanan itu mengeluarkan kepulan asap tipis. “Setuju! Apalagi pas pelajaran Fisika pula yang nggak ada guru. Beuh! Adem banget rasanya.” Nanda tertawa. “Ngomong-ngomong, Pak Guru ke mana, ya? Nggak biasanya dia nggak ngajar. Padahal, biasanya kan, dia guru paling rajin.” Bela mengedikkan bahu. “Bodo amatlah dia mau ke mana, yang penting kita nggak belajar pagi ini.” “Iya juga, sih. Hehehe “Nda, gue mau nanya, deh,” bisik Bela. “Nanya apaan?” Nanda menatap Bela heran, untuk apa Bela bisik- bisik jika hanya sekadar bertanya kepadanya. Bela menengok ke kiri dan kanan, waspada jika nanti ada yang mendengarnya. “Lo kenal Dalvin?” tanya Bela hati-hati. Nanda berhenti memakan mi ayamnya. Ia mengalihkan pandangan dari mangkuk ke wajah Bela yang penasaran. “Maksud lo, Dalvin anak kelas XI IPA 6?” “Nggak tahu. Gue cuma tahu namanya. Orangnya tinggi, putih, terus tampangnya sangar. Eh, sangar nggak, ya? Negak tahulah. Intinya, kalo dilihatin tuh, bikin kesel.” “Kayaknya sih, iya, kalo yang lo maksud tuh, Dalvin anak XI IPA 6, si Kapten Futsal itu. Setahu gue, nama Dalvin di sekolah ini, ya cuma dia. Tampangnya sih, emang sangar, tapi hatinya menawan,” jelas Nanda sambil tersenyum malu-malu. Bela mendelik. Sambil terkekeh, Nanda kembali menyantap mi ayamnya yang sudah mulai dingin. “Emang kenapa, Bel?” tanyanya penasaran. Tidak biasanya Bela menanyakan soal cowok kepadanya. Bela menggeleng. “Nggak, gue cuma nanya aja,” jawab Bela berbohong. Nanda memandang curiga, memicingkan mata sambil tersenyum usil. “Lo naksir, yaaa, sama dia?” “Th, amit-amittt! Nggak mungkin gue naksir cowok kayak gitu!” ucap Bela sewot. “Kok, lo sewot, sih? Tuh kaaannn, suka. Naksir, ya? Nggak apa-apa, kali, dia juga lagi jomlo sekarang. Lumayan, tahu! Udah ganteng, anak futsal, pinter, berkarisma, followers Instagram-nya juga banyak. Intinya kalo dia sama lo, nggak ada yang bakal kebanting, deh. Kalian selevel gitu,” cerocos Nanda. “Cerewet lo, ah! Cepetan habisin mi ayam lo. Entar keburu jam Fisika selesai.” Bela melipat tangannya di depan dada dengan wajah kesal. Tap ... tap... tap .... Terdengar suara derap langkah yang semakin lama semakin keras. Awalnya sih, Bela tak peduli, tapi karena namanya dipanggil, gadis itu menoleh ke belakang. Dia melihat Ira yang sedang berlari ke arahnya. Ira berdiri tepat di samping meja tempat Bela duduk. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasanya dia mau pingsan karena berlari dari lantai dua hingga ke kantin sekolah. “Gila! Kelas lagi kena bencana, kalian malah enak-enakan makan di sini.” Bela dan Nanda menatap Ira bingung. Baru datang, Ira sudah berkata seperti itu. “Kalian dicariin Pak Edi,” tutur Ira dengan wajah pucat pasi. Selain karena berlari, wajah pucatnya disebabkan oleh nama guru yang ia sebut tadi. Bela yang mendengarnya, lantas kaget. “PAK EDI?!” pekiknya bersamaan dengan Nanda. Bahkan, Nanda sampai menggebrak meja. Sedikit lebay. “Bukannya Pak Edinggak masuk?” tanya Bela khawatir. Ya, ia khawatir dengan keselamatannya setelah ini. “Aduh! Ceritanya panjang, sekarang lo berdua dicariin. Tadi Pak Guru di kelas marah-marah gara-gara kalian nggak ada di kelas. Katanya, sekalipun nggak ada guru, kita nggak boleh keluar.” ws90 “Ahhh, capek, nggak kuat gue,” keluh Nanda. Ia dan Bela sudah berlari mengelilingi lapangan lima putaran. Ada lima putaran lagi yang masih menunggu mereka. “Ayo, Nan, semangat! Kaloistirahat terus nanti nggak selesai-selesai!” teriak Bela yang berlari di depan Nanda. “Nggak, ah, gue mau istirahat,” kata Nanda, kemudian larinya semakin pelan. Cewek itu melangkah ke kursi besi panjang yang ada di pinggir lapangan. Sementara itu, Bela masih kekeh berlari. Sesekali Bela menengok ke belakang sambil melambaikan tangannya ke arah Nanda, mengajak temannya itu untuk berlari bersama. Bela merasa matanya sudah tak waras, larinya melambat. Baru saja ia melihat sesosok manusia yang paling dibencinya di muka bumi ini. Dan, what?! Orang itu sekarang sedang berjalan ke arahnya. Cowok itu tersenyum kepadanya, membuat Bela mengerjap tak percaya. “Itu cowok udah gila apa, ya? Ngapain nyamperin gue?” Seketika wajah Bela memerah karena malu. Bela sadar, ia baru saja kege-eran. Dalvin dan teman-teman datang ke lapangan untuk bermain bola. Bukan untuk menghampirinya. Cowok itu dan teman-temannya berjalan begitu saja melewati Bela, seakan-akan Bela tidak ada di sana. “Kok, gue ge-er gini, sih,” desis Bela. Kesal bercampur malu. Dia menjadi tidak bersemangat lagi untuk berlari. Bela memutuskan untuk mengikuti jejak Nanda, beristirahat sebentar. Kalau bisa, ia ingin mengajak Nanda kabur dari hukuman yang sedang mereka jalani. Dirinya malas jika dekat-dekat dengan Dalvin. “Nyerah, Bu?” Nanda yang duduk mendongak menatap Bela. “Males lari, ada sampah di lapangan.” Nanda mengangkat alis karena perkataan Bela. Dia tidak mengerti. Cewek itu segera memiringkan badan menghadap Bela yang kini sudah duduk di sampingnya. “Sampah? Siapa yang buang sampah sembarangan?” “Maksud gue bukan kotoran itu,” sahut Bela gemas. “Itu tuh kotorannya.” Nanda mengikuti arah telunjuk Bela. Titik pandangannya jatuh pada cowok tinggi yang sedang menguasai bola di tengah lapangan. “Itu Dalvin, kan?” “Ya, memang, Dalvin,” jawab Bela sensi. “Kok, bilang kotoran?” “JIHAN NABILA PRANJASDHINA! NANDA KUMALA! SIAPA YANG NYURUH KALIAN DUDUK?!” Bela dan Nanda lantas mendongak bersamaan. Tidak hanya Bela, semua orang yang ada di lapangan juga mendongak. Di atas sana, dilantai dua, Pak Edi sedang memelotot ke arah dua siswi yang ia beri hukuman. “Lariii!” Terdengar suara teriakan Pak Edi yang berasal dari pengeras suara yang dipegang guru itu. Bela dan Nanda langsung beranjak dari duduknya, kembali berlari pontang-panting di pinggir lapangan. “Hukuman kalian Bapak tambah, lima putaran lagi!” Bela mendesah gusar. Lima putaran saja ia sudah merasa nyawanya hampir melayang entah ke mana. Sekarang Pak Edi menambah hukuman mereka. Bisa-bisa Bela harus dibawa ke UGD. Cewek itu mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia menengok ke arah lapangan, semua anak yang sedang main bola malah jadi menonton ia dan Nanda berlari. “Sial,” bisiknya. Secara tak sengaja, mata Bela bertemu dengan iris hitam Dalvin. Betapa Bela ingin menjambak rambut cowok itu saat Dalvin tersenyum mengejek ke arahnya. Bela kembali meluruskan pandangannya ke depan. Ia tak mau emosinya terpancing. Tanpa Bela sadari, Dalvin, cowok yang teramat ia benci sedang berlari menghampirinya sambil membawa sebotol minuman dingin. Suara kor serta siulan memenuhi pendengaran Bela. Cewek itu menoleh, ia terperanjat. Bela terbelalak mendapati Dalvin yang kini sudah ikut berlari di sampingnya. Entah sejak kapan Dalvin ada di dekatnya, Bela tidak tahu dan tidak ingin tahu. Serta merta cewek itu mempercepat larinya untuk menghindari Dalvin. Tak mau tertinggal, Dalvin ikut mempercepat larinya. Menyejajarkan setiap langkah kakinya dengan Bela. “Cewek pembuat onar, lo bolos, ya, makanya dihukum? Ckckckck ....” Dalvin mendecakkan lidah sambil geleng-geleng. “Nggak heran, sih, gue.” Cowok itu tertawa kecil. Sesekali ia sengaja menyentuhkan botol minuman dingin itu di lengan Bela. Diam-diam Bela melirik minuman di tangan Dalvin. Si pemilik minuman itu menyadarinya. Dalvin tersenyum geli. “Mau?” tawar Dalvin mengangkat sebelah alisnya sambil menyodorkan minuman dingin itu ke hadapan Bela. Bela berdecih. “Sampe kiamat, gue nggak akan pernah mau nerima apa pun darilo.” Dalvin mengulum senyum, kemudian mengangguk. “Oke, nggak masalah.” Cowok itu berhenti berlari, membiarkan Bela terus melaju meninggalkannya. Bela tak bisa menahan kepalanya untuk tidak menengok ke belakang karena Dalvin tidak berlari di sampingnya lagi. Saat pandangan mereka bertemu, Dalvin tersenyum kepadanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Dasar cowok gila,” gerutu Bela jengkel. IIa Sore ini matahari bersembunyi di balik awan hitam yang menutupi langit. Rintik hujan mulai turun. Butir lembut air membasahi kaca depan mobil Bela. Hujan sebentar lagi akan turun dengan lebat. Bela menambah laju kendaraannya agar cepat sampai rumah. Jalanan luar tampak lengang. Hanya ada satu dua kendaraan berlalu lalang. Namun, bukan itu yang Bela khawatirkan. Jika hanya hujan deras dan jalanan sepi, Bela tak apa. Namun, jika hujan deras ditemani kilat dan guntur yang besar, tentu Bela akan ketakutan. Ya, dia menderita astraphobia, rasa takut yang berlebihan dan abnormal terhadap petir. 0 Sepertinya doa Bela tak dikabulkan. Hujan malah semakin deras, membuat jalanan luar tampak seperti berkabut. Cewek itu melipat bibir hingga setipis garis lurus. Sedikit demi sedikit rasa takutnya mulai datang. Di atas sana, awan semakin tebal, saling menggulung dan menggumpal. Warna putih tak lagi mendominasi. Gelap dan mengerikan, begitulah keadaan di atas sana. Kilatan cahaya merah memecah awan hitam di langit. Menghasilkan suara yang begitu Bela takuti. Keadaan semakin kacau. Tak hanya sekali, petir menyambar berkali-kali. Konsentrasi Bela melebur bersama rasa takutnya. AC mobil tak dapat mencegah keringatnya yang terus mengucur. Tangannya semakin dingin. Bibirnya memucat. Kesadaran Bela perlahan menghilang. Yang tersisa hanya rasa takut. Keselamatan tak lagi ia pikirkan. Satu hal yang ia mau sekarang adalah sampai rumah lebih cepat. Tiba-tiba sebuah mobil menyeberangi jalan yang dilalui Bela. Ketidaksiapan Bela serta rasa cemas berlebihan membuatnya hampir menabrak mobil itu. Bela yang kaget langsung membanting setir ke arah kanan. Bersamaan dengan guntur yang menggelegar, terdengar suara rem mobil berdecit dan disusul suara berdebam. Bagian depan mobil Bela mengeluarkan asap. Ia baru saja menabrak pohon besar di pinggir jalan. Gadis itu kehilangan kesadaran. Dahinya terluka dan mengeluarkan darah. Sebuah mobil CRV menepi tak jauh di belakang mobil Bela. Pemiliknya melihat ke arah mobil di depannya. Ia merasa mengenal mobil yang masih mengepulkan asap tipis itu. “Bela!” serunya kemudian. Tanpa pikir panjang, Dalvin segera keluar dan berlari menghampiri mobil itu. Ia mengabaikan hujan deras yang membasahi seragam miliknya. Dalvin mengintip dari balik kaca mobil bagian pengemudi. Di dalam sana, Bela tak sadarkan diri. Cowok itu 1 mengetuk kaca mobil. Sesekali mencoba membuka pintu mobil, tetapi tak bisa karena terkunci dari dalam. “Belaaall!!” teriaknya di tengah hujan deras. Sayang suara gemuruh hujan jauh lebih besar dari suaranya. Tak ada pilihan lain selain merusak mobil di hadapannya. Dalvin mencari batu besar untuk memecahkan kaca mobil Bela. Untung saja ia segera menemukan sebuah batu berukuran cukup besar. Dalvin langsung mengangkat batu itu. Kemudian, ia berlari memutari mobil hendak memecahkan kaca depan mobil bagian penumpang. Dengan dua kali pukulan keras, kaca itu pecah, remuk menjadi kepingan-kepingan kecil. Dalvin merasa jalan untuk mengeluarkan Bela dari mobil sudah cukup. Ia pun memulai aksi penyelamatannya. Rasa benci dan dendam Dalvin buang jauh-jauh karena jika bukan dia yang menyelamatkan Bela, lantas siapa lagi? Tidak ada satu pun orang di sana. Jalanan yang biasanya ramai mendadak sepi karena hujan turun. Orang-orang lebih memilih untuk menunda perjalanannya demi menghindari hujan deras. l © or, Pact 3 Mawar Nisterins- Orang bilang. mawar merah berarti ‘aku mencintaimu. Bolehkah aku berharap mawar ini darimu? alvin duduk di kursi panjang rumah sakit. Saat ini pikirannya sudah kembali normal setelah kalut karena kejadian beberapa saat yang lalu. Tatapannya kosong. ‘Ada perasaan janggal yang mengganggu Dalvin. Ia melirik ruangan tempat Bela ditangani. Cowok itu bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia merasa khawatir? Dalvin menepuk pipi berkali-kali, berniat menyadarkan diri. Mengusir sesuatu yang asing dalam hatinya. Ia terus berusaha mengingat bagaimana Bela menampar dan mempermalukannya waktu itu. Namun, otaknya mulai ikut-ikutan melawan. Sama seperti yang dilakukan hatinya. “Sial!” Dalvin mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya dirinya kenapa, sih? “Bodo amat! Gue nggak peduli,” bisiknya jengkel pada diri sendiri. Susah sekali otaknya memaksa hati untuk meninggalkan tempat itu. Ia ingin pulang, tetapi sesuatu dalam dirinya menolak. Lagi pula ia tidak ada hubungannya dengan ini semua. Dirinya hanya bertindak sebagai penolong. Dan juga, pasti sebentar lagi keluarga Bela datang. Ia sudah memberitahukan kepada mereka bahwa Bela kecelakaan. Jadi, tak ada yang perlu dipusingkan. “Gue harus pulang!” katanya mantap. Tepat saat Dalvin berdiri, seorang wanita setengah baya dan Nanda berjalan ke arahnya. Cowok itu gelagapan dan tak tahu harus bagaimana. Dalvin yakin, wanita setengah baya itu adalah orang tua Bela. Terlihat dari raut wajahnya yang sangat khawatir. “Keadaan Bela gimana?” “Bela di mana, Nak?” Dua pertanyaan dari kedua orang itu langsung menyerbunya. Dalvin sempat bingung menjawab yang mana lebih dahulu. Namun, ia lebih dahulu menjawab pertanyaan ibu bermata sembap di hadapannya. “Bela di dalam, Tante, masih ditanganin dokter,’ jawabnya berusaha sesopan mungkin. Dirinya kini beralih kepada Nanda. Sebenarnya, Dalvin tidak mengenal cewek itu. Ia hanya tahu nama dan wajahnya saja. “Kita doain aja, semoga dia nggak kenapa-kenapa.” “Ya Allah, Belaaa ....” Rani menutup wajahnya dengan tangan, terisak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Bela sekarang. “Insya Allah, Bela nggak apa-apa, Tante.” Dalvin tak mengerti apa yang mendorongnya untuk berucap seperti tadi. Nanda mendekat, alu memeluk Rani dari samping. Mengelus lengan Rani. “Bener yang dibilang Dalvin, Tan, Bela pasti nggak kenapa-kenapa.” Nanda memaksakan senyum, walau dirinya juga merasa khawatir. 1h “Hmmm ... Vin,” panggil Nanda. “Gimana ceritanya? Kenapa bisa gini?” Mata Dalvin tak bisa beralih dari wanita yang mengenakan baju berwarna hijau muda itu. Ia sedang membayangkan mamanya yang menangis. Hatinya tak kuat mendengar tangisan pilu Rani. “Biar Tante duduk dulu aja, Nan, baru gue cerita.” Nanda mengangguk menyetujui usulan Dalvin. Cewek itu menuntun Rani yang sudah tak bertenaga untuk duduk di kursi panjang, Setelah itu, Nanda dan Dalvin juga ikut duduk. Dalvin menarik napas, setelah tangis Rani sudah mulai mereda. “Jadi gini ceritanya, tadi pas pulang sekolah itu hujan lebat banget. Lo tahu, kan?” Dalvin memandang Nanda, cewek itu mengangguk. “Kebetulan mobil gue ada di belakang mobil Bela. Awalnya, gue nggak tahu itu mobil dia. Bela ngebut banget bawa mobilnya. Terus, tiba-tiba ada mobil nyeberang. Mungkin Bela nggak siap atau gimana, gue nggak tahu. Yang gue lihat, Bela tiba-tiba banting setir. Terus mobilnya nabrak pohon di pinggir jalan.” “Terus?” “Gue langsung berhenti. Gue tunggu sebentar, tapi nggak ada pergerakan. Jadi, gue keluar buat mastiin. Bagian depan mobil dia berasap. Pas gue lihat, Bela udah nggak sadarkan diri.” Dalvin berhenti, ia terdiam sesaat. Tiba-tiba saja ia teringat tentang kaca mobil Bela yang ia pecahkan. Sebenarnya, Dalvin ragu untuk mengaku, tapi ia tidak suka lari dari masalah. “Tante, maaf ....” Rani menoleh. “Untuk apa?” Ia bertanya dengan suara seraknya. Wajahnya terlihat bingung. “Kaca mobil Bela saya pecahin. Soalnya pintu mobil Bela terkunci, terus saya juga panik.” Dalvin berdeham. “Nanti akan saya ganti,” lanjutnya. 5 Rani menggeleng. “Nak, kamu nggak perlu minta maaf atau ganti apa pun. Makasih udah nolongin Bela, ya,” tutur Rani sambil memberikan senyum terima kasihnya kepada Dalvin. Dalvin menunduk sambil mengangguk. Sementara itu, Nanda sibuk dengan pikirannya. Ia membayangkan aksi heroik Dalvin. Bodohnya, dia yang melting sendiri karena khayalannya. “Tante, saya izin pulang. Udah sore banget, takut waktu Ashar habis. Saya belum shalat. Maaf, nggak bisa nemenin lama.” Dalvin memegang bagian depan kerah bajunya. Seakan menunjukkan keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk menunaikan salat dengan baju basahnya. Rani tertegun. Saat ini, ia sudah jarang bertemu dengan remaja seperti Dalvin. Remaja yang rela meninggalkan pekerjaan lain demi menunaikan kewajiban utamanya sebagai seorang Muslim. Rani buru- buru mengangguk. “Iya Nak. Kamu hati-hati di jalan, ya. Terima kasih banyak, ya, Nak.” Dalvin mengulum senyum, kemudian menyalami tangan Rani. “Nan, gue cabut, ya,” ucapnya. Nanda mengangguk sebagai jawaban. Dalvin kemudian beranjak. “Assalamualaikum,” ucapnya, kemudian pergi. Hingga punggung Dalvin tak terlihat, mata Nanda masih belum bisa lepas dari cowok itu. Dia masih penasaran. Dia merasa ada sesuatu antara Bela dan Dalvin. Seorang dokter keluar dari ruangan tempat Bela ditangani. Rani dan Nanda buru-buru berdiri dan menghampiri dokter laki-laki yang baru saja melepas maskernya. “Anda keluarga pasien?” tanya si dokter. Rani mengangguk pelan. Dokter itu tersenyum. Senyum menenangkan khas seorang dokter seperti biasanya. “Pasien tidak apa-apa, hanya pingsan biasa. Ia juga mendapatkan beberapa jahitan di dahi karena ada luka. Tapi, tidak banyak. Sekarang pasien sudah sadar.” 2b “Kami boleh ketemu Bela?” tanya Nanda tak sabar. “Oh, tentu. Pasien sekarang sudah dibawa ke Ruang Rawat,” jawab dokter muda itu ramah. “Terima kasih, Dokter,” kata Rani. Kemudian, perawat yang mendampingi dokter itu memberi tahu di kamar mana Bela dirawat. Rani berterima kasih sekali lagi sebelum dokter dan perawat itu melangkah pergi. Rani langsung memeluk Bela saat bertemu dengannya. Wanita setengah baya itu bersyukur dalam hati, tidak ada luka berat di tubuh anak gadisnya. “Mama,” panggil Bela lirih. “Iya, Sayang,” jawab Rani masih memeluk Bela. “Pucing pala berbi ....” Nanda mendengus geli mendengarnya. Dia tersenyum. Jika kegilaan sahabatnya itu masih ada, berarti Bela baik-baik saja. “Papa mana?” Bela celingukan mencari seseorang di belakang punggung Rani. Rani terdiam. “Hmmm .... Papa tadi berangkat ke luar kota, ada urusan mendadak,” jawabnya tak tega. Pasalnya, jika Bela sedang sakit dia akan terus mencari Papa. Anaknya itu memang sangat anak papa sejak kecil. Ia sering sekali menangis seperti anak kecil jika papanya pergi ke luar kota untuk mengurus masalah perusahaan. “Jangan bilang Papa, ya, Mam,” bisik Bela. Rani mengernyit. “Bela nggak mau Papa khawatir.” Sedetik kemudian, senyum di bibir Rani mengembang. Kemudian, mengangguk menyanggupi permintaan anaknya. Perlahan Rani melepaskan pelukannya. Ia mengelap air matanya yang sempat tumpah. “Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” q Bela mengangguk meski kepalanya terasa sedikit sakit. “Mama mau telepon kakak-kakakmu dulu. Mereka belum tahu.” “Iya, Mam, sekalian suruh pulang,” kata Bela antusias. Dia sangat setuju, karena jika kedua kakaknya tahu, pasti mereka khawatir dan tentu akan pulang ke rumah. Bela bosan sendirian. Kedua kakak perempuannya terlalu sibuk kuliah di luar kota. Rani mengeluarkan ponselnya sembari melangkah keluar. Kini Nanda yang mendekat kepada Bela. Bela mendadak bingung karena Nanda memandangnya dengan ekspresi yang aneh. Marahkah? Seharusnya, kan, Nanda sedih. “Lo ada hubungan apa sama Dalvin?” tanyanya tiba-tiba. Bela mengernyit bingung. “Bel, gue ini sahabat lo. Kenapa lo harus nyembunyiin sesuatu, sih, dari gue?” “Maksud lo?” Nanda mendelik. “Nggak usah sok nggak ngerti, lo udah jadian, kan, sama Dalvin?” “Apaan, sih, ini anak? Yang habis dibius, kan, gue, bukan lo.” Bela terkekeh. “Lo tahu siapa yang nolongin lo dan bawa lo ke sini?” “Nggak lah, kan gue pingsan, Kakaaak ....” “Dalvin.” “April mop!” teriak Bela seakan dia yang memberi kejutan. “Eh, tapi, ini bukan bulan April,” lanjutnya. “Gue nggak main-main. Dalvin yang bawa lo ke rumah sakit, Bel,” ucap Nanda serius. Bela mulai merinding. Nanda tak pernah seserius ini. Benarkah Dalvin yang menolongnya? Dia sama sekali tak ingat apa-apa soal kecelakaannya. Bel! Woy! Lo denger gue, nggak, sih?” “Bentar, Nan, gue masih belum bisa percaya,” ucap Bela lemas. 2B “Ya ampun, ini anak dibilangin juga. Sumpah gue, Dalvin yang nolongin lo!” “tni gila. Nggak masuk akal.” “Tya, lo yang gila,” celetuk Nanda, kemudian mengempaskan tubuhnya di sofa hijau yang ada di kamar rawat inap Bela. Tok tok tok. Nanda menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk. “Masuk aja, nggak dikunci,” ucapnya agak keras. Namun, sesaat kemudian, suara ketukan pintu terdengar lagi. Sepertinya orang itu tidak mendengar teriakan Nanda. “Yaelah,” Nanda memutar bola mata. “Bukain, Nan.” “Males gue, baru juga duduk.” “Bukain, nggak?” “Nggak lah! Males.” “Serius nggak mau?” Nanda mengangguk. “O iya, kemarin gue lihat lo jalan sama Radit? Kayaknya Jos harus tahu, nih!” “Sialan, mainnya curang,” Mau tak mau Nanda bangun, ia tak ingin kisah cintanya dengan Jos berakhir hanya karena ia selingkuh sehari saja. Cewek itu kemudian melangkah gontai menuju pintu sambil mendumel kesal. Bela memang selalu menyebalkan bila sedang sakit. Alis Nanda menyatu saat ia membuka pintu dan tak ada orang di luar. “Lah?” “Kenapa?” “Nggak ada orang,” sahut Nanda sambil celingukan. Kepalanya menyembul keluar, mencari sosok yang tadi mengetuk pintu kamar. 4 “Mama, kali.” “Bukan. Itu Tante masih telepon.” Nanda menunjuk Rani yang sedang duduk serius di kursi panjang tak jauh dari kamar Bela. “Orang iseng, udah biarin aja.” Nanda berdecak kesal. “Awas aja kalo ketahuan siapa yang iseng!” Akan tetapi, saat Nanda hendak kembali menutup pintu kamar, matanya tak sengaja melihat sesuatu berwarna merah terletak di lantai. Alisnya terangkat. “Apaan, nih?” Nanda menunduk, kemudian mengambilnya. “Mawar?” ucapnya penuh tanya. Nanda kembali berdiri. “Cewek cakep emang punya banyak secret admirer, ya,” gumam Nanda sedikit geli. Kemudian, ia menutup pintu kamar kembali. Cewek itu mengangkat bunga di tangannya tinggi-tinggi, bermaksud menunjukkannya kepada Bela. “Ternyata yang tadi tuh kerjaannya fan lo.” Nanda melempar bunga itu ke arah Bela. Dengan sigap Bela menangkap mawar merah yang terbungkus plastik bening dengan pita di bagian bawahnya itu. “Mereka nggak tahu apa, ya. Gue itu makannya nasi, bukan bunga.” “Dia ngasih bunga bukan buat lo makan, cuy!” “Get well soon.” Bela membaca keras-keras tulisan di kertas putih yang menempel pada plastik mawar itu. “Setrip ‘G’,” lanjutnya. “G’?” Nanda mendekat. “Iya ‘G’. Pake inisial, nih.” “@ siapa, ya?” pikir Nanda penasaran. Mereka berdua terdiam, bergulat dengan pemikiran masing-masing. Menebak dalam hati siapa sebenarnya pengirim bunga bernama ‘G’ ini. “Cepet banget dia tahu gue habis kecelakaan,” komentar Bela. “Nah!” Nanda menjentikkan jari, membuat Bela mengernyit heran. “Gue tahu ini siapa yang ngasih,” katanya tersenyum bangga. “Siapa?” 30 “Dalvin.” “Lo sehat nggak, sih, Nan?” tanya Bela gemas. “Thhh, seriussssss! Yang tahu lo sakit cuma gue, nyokap lo, dan Dalvin doang, Bel.” “Cukup, Nan. Jangan ngayal kejauhan, deh. Gue ngantuk, mau tidur.” Bela meletakkan bunga itu di atas nakas. Lalu, ia merebahkan badan, menarik selimut, kemudian tidur membelakangi Nanda, yang menurutnya, sudah mulai tidak waras. Sejak tadi Nanda terus-menerus menyebut Dalvin. Jujur saja, Bela capek mendengarnya. Ia saja masih belum bisa menerima kenyataan bahwa yang menolongnya adalah Dalvin. Sekarang Nanda menambah pusingnya dengan dugaan-dugaan tak berlandasan itu. Bela melirik Nanda dengan sudut matanya. “Lo pulang, gih, beli air mineral biar fokus. Jelas-jelas huruf awal namanya Dalvin itu ‘D’ bukan ‘G’” ucap Bela sedikit kesal. Nanda melipat tangan di depan dada. “Satu hal yang lo nggak tahu, Bel, nama panjangnya Dalvin itu Gracious Dalvin. Jadi, huruf awal namanya yang asli itu ‘G’ bukan ‘D’. Nggak menutup kemungkinan kalau si pengirim bunga ini dia.” 31 Part 4 Secret Adminer Kau bintang yang terlalu terang untuk Langit gelap sepertiku ela baru saja selesai menceritakan semua kepada Gya, kakak keduanya, melalui telepon. Mulai dari bagaimana ia dan Dalvin bertemu, bertengkar, sampai Dalvin menolongnya. Gya menyarankan agar Bela meminta maaf kepada Dalvin dan menghapus dendamnya. Menurut Gya, cowok itu telah menyelamatkan hidup Bela, jadi tidak ada salahnya untuk berdamai dengan Dalvin. Awalnya, Bela menolak mentah-mentah saran Gya, tetapi lama- kelamaan ia berubah pikiran. Bela akan mengikuti saran Gya untuk berdamai dengan dendamnya, tetapi setelah itu Bela bertekad untuk melupakan semua tentang Dalvin. Ia akan menghapus Dalvin dari ingatannya. “Selamat pagi, Bela,” sapa seorang dokter perempuan, yang baru saja masuk ke ruang rawat inap Bela, dengan ceria. Seorang perawat turut masuk ke dalam kamar Bela, membawa botol infus baru dan peralatan periksa lainnya. Cewek itu segera memperbaiki tidurnya. Kakinya yang semula menekuk ia luruskan. “Pagi juga, Dok,” balas Bela memberikan senyum pertamanya pagi ini. “Ini, tadi ada di depan kamar kamu.” Dokter itu meletakkan setangkai mawar merah disisi Bela. Mawar itu terlihat seperti mawar yang ditemukan Nanda di depan pintu. Bela sempat mengira mawar itu adalah mawar yang kemarin, tetapi ternyata bukan. Di atas nakas, mawar merah itu masih tetap ada. Dokter itu terkekeh karena wajah Bela langsung menunjukkan ekspresi terkejut. “Mungkin dari pacar kamu,” celetuk si dokter sambil mulai melakukan pemeriksaan rutin pada Bela. “Saya nggak punya pacar, kok.” “Berarti penggemar rahasia.” “Penggemar rahasia?” “Iya. Dia suka sama kamu, tapi dia takut nunjukin dirinya ke hadapan kamu karena alasan sesuatu.” “Maksud Dokter?” sambar Bela cepat. Bela tak peduli lagi dengan apa yang dilakukan si Doker. Bahkan, ketika dokter itu menyuntik tangannya, Bela tidak merasakan apa-apa. Rasa penasaran menutupi rasa ngilu akibat jarum suntik. “Gimana, ya? Simpelnya, penggemar rahasia itu orang yang nggak berani jujur sama perasaannya sendiri. Seperti yang saya bilang tadi, karena alasan tertentu.” Bela semakin penasaran. “Contoh alasannya?” Dokter muda itu tertawa kecil sembari membereskan barang- barangnya. Kini ia sudah selesai melaksanakan tugasnya. “Contohnya, dia takut nunjukin diri karena nggak percaya diri. Atau, mungkin dia orang terdekat kamu, jadi dia takut sesuatu yang buruk terjadi kalau dia jujur.” “Terus—” “Maaf, ya, Bela, saya harus periksa pasien yang lain dulu.” Dokter cantik itu mencubit pipi Bela. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama, lalu 33 memberikannya kepada Bela. “Nih, ada info kontak saya. Kalau kamu mau curhat atau tanya-tanya soal kesehatanmu. Tapi, jangan sekarang, ya. Saya lagi sibuk.” Bela memandangi kartu nama yang diberikan dokter itu. Sejenak, ia membaca nama lengkap si pemilik kartu nama. Bela merasa familier dengan nama yang tertulis di sana. “Saya lanjut periksa pasien lain dulu, ya. O iya, panggil saya Kak Jessie aja, Dokter Jessie juga boleh. Tapi, kayaknya lebih enak pake ‘Kak’, umur kita nggak beda jauh, kok. Hahaha ....” Jessie tertawa renyah. “Sepertinya kamu nggak perlu lama-lama di rumah sakit. Asalkan kamu rajin minum obatnya dan makan teratur. Tetap semangat, ya. Cepat sembuh. Semoga penggemar rahasiamu cepet ketahuan.” Senyum tak luput dari wajah ramah Jessie hingga ia meninggalkan kamar Bela. Tepat setelah Dokter Jessie keluar, Nanda datang dengan cengar- cengir konyol yang menghiasi wajahnya. “Lo nggak sekolah?” tanya Bela heran, karena sekarang Nanda seharusnya berada di dalam kelas dan mengikuti pelajaran sejarah. “Lo amnesia juga, ya? Kan, kelas XII lagi TO, kita libur hari ini.” “Astaga, gue lupa. Ya ampun kenapa liburnya pas gue lagi sakit, sih?” keluh Bela dengan wajah sedih. Nanda cepat-cepat menghampiri sambil menyodorkan kantong plastik hitam ke hadapan Bela. Hidung Bela mengendus bau yang menyeruak dari bungkusan itu. “Siomay!!!” pekik Bela dengan wajah happy. “Yups! Karena gue sahabat yang baik, jadi gue beliin, nih, buat lo!” “Ada gunanya juga lo jadi temen.” “Ya emang selama ini gue nggak berguna, gitu?” “Berguna, sih, tapi lebih sering nyusahin.” “Semerdeka lo aje, deh!” “Nan, gue bosen. Kita makan di rooftop aja, yuk!” 3h Diam-diam Bela sudah menyembunyikan mawar tadi di bawah selimutnya. Antisipasi sebelum Nanda sadar dan berkoar mengatakan itu dari Dalvin. “Panas, kali, Bel.” “Masih pukul setengah delapan, matahari masih bobok. Ayo, ah!” “Infus lo?” “Bisa diurus.” IIT langsung memberikan infus yang sedang ia pegang kepada pemiliknya. “Eh, eh, jangan ninggalin gue, dong!” pinta Bela sambil meraih botol infusnya. “Nanda! Woi!” teriak Bela memanggil Nanda, yang sudah berlalu pergi meninggalkan dirinya sendiri di atas atap rumah sakit. Bela mendecak. “Dasar! Siomay gue dibawa pipis, lagi!” omel Bela. Ia kemudian menoleh ke sisi berlawanan. Matanya langsung disuguhi banyak jemuran seprai putih. Angin berembus menerbangkan seprai-seprai yang masih basah itu. “Seger banget!” Bela menghirup napas dalam-dalam. Ia kemudian melangkah, memasuki lorong-lorong yang terbentuk akibat jemuran seprai yang banyak. Wangi segar detergen, ditambah sejuknya angin pagi, membuat Bela semakin menyukai tempat itu. Bela berhenti. Ia mendengar sayup-sayup suara. Ini antara telinganya yang bermasalah atau memang ada orang sedang bernyanyi di tempat itu. Penasaran, sambil membawa botol infusnya, Bela kembali melangkah, mencari-cari dari mana suara tadi berasal. Cewek itu membekap bibirnya sendiri agar tak memekik saat itu juga. Bela buru-buru bersembunyi di belakang seprai yang menggantung. Ia baru saja melihat beberapa anak duduk di atas kursi roda ditemani satu 33 orang cowok yang sedang bermain gitar sambil bernyanyi. Yang tak bisa ia percaya adalah ia mengenal cowok itu. Dalvin. “Kak Dalvin mainin lagu ‘Bintang Kecil’, dong, pake gitarnya,” pinta seorang anak berwajah pucat, tepat ketika Dalvin menyelesaikan sebuah lagu. “Thhh, Hadi, jangan ‘Bintang Kecil’, dong! Itu lagu anak-anak banget. Aku nggak suka,” sahut teman anak berwajah pucat itu tak setuju. “Mendingan lagunya 5SOS.” “Latifa 5SOS melulu, deh! Bosen, tahu! Sekarang giliran aku yang request. Kak, aku mau lagunya EXO, dong” Keisya mengedip-ngedipkan kedua matanya. Dalvin tak dapat menahan tawa karena tingkah ketiga anak di hadapannya. “Daripada kalian berkelahi, Kakak mainin lagu yang lain buat kalian bertiga aja, ya.” Dalvin memperbaiki letak gitarnya. Ia kemudian tersenyum karena ketiga anak itu mengangguk semringah. Jari-jari Dalvin mulai memetik senar gitar. Membunyikan alunan merdu nan lembut. Seiring dengan musik yang terus mengalun, Dalvin pun mulai bernyanyi. Suara beratnya memang tak terlalu bagus. Namun, karismanya saat bermain gitar mampu memukau siapa pun yang melihat. Semakin lama tubuh Bela semakin keluar dari persembunyian. Yang semula hanya kepalanya saja yang menyembul kini seluruh badannya sudah berpindah tempat. Suara Dalvin seolah seperti magnet bagi tubuhnya sehingga Bela sendiri tak sadar ia berjalan ke arah Dalvin. Nyanyian Dalvin tiba-tiba saja berhenti. Bela tersentak mendapati dirinya kini hanya berjarak satu meter dari Dalvin. Astaga! Siapa yang bawa gue ke sini? batin Bela. “Hai, Kakak cantik!” sapa seorang anak yang ada di situ sambil melambaikan tangannya kepada Bela. “Wah, cantik banget!” 36 “Kakak bidadari, ya? Turun dari langit karena denger suaranya Kak Dalvin?” Dalvin berdiri dengan angkuh, meletakkan gitar akustiknya di atas kursi yang baru saja ia duduki. Bela bisa merasakan tatapan tak suka cowok itu kepadanya. “Ngapain lo di sini?” tanya Dalvin dingin. Tatapannya persis seperti di tempat parkir waktu itu. Menyebalkan. “Lo mau minta maaf? Atau, mau bilang makasih karena udah gue tolongin? Lupain aja kalau gue pernah nolongin lo. Anggep aja kejadian kemarin nggak pernah terjadi. Gue cuma ngelakuin yang menurut gue bener. Jadi, lo nggak usah kege-eran.” Kadar benci Bela yang semula hampir menyentuh angka nol, kembali memelesat naik, menembus batas, memelesat menuju ketinggian tak hingga. Jika tenaga Bela seperti orang sehat pada umumnya, sudah pasti sekarang dia akan mengamuk dan menerjang cowok itu. Sayangnya, sekarang dia sedang tidak fit. Ditambah lagi, infusnya yang sangat tidak memungkinkan dirinya untuk meninju Dalvin. Jadilah dia hanya bisa diam mendengar perkataan menusuk cowok itu. Sombong sekali kata- katanya tadi. Hampir Bela mengajaknya berdamai. Untung saja Dalvin menunjukkan wujud aslinya sebelum Bela meminta maaf. Bersama kobaran kemarahannya, Bela melangkah perlahan menuju Dalvin dan berhenti saat jarak wajah mereka hanya tiga jengkal saja. “Asal lo tahu, gue lebih milih kejebak di dalem mobil daripada ditolongin cowok songong kayak lo!” seru Bela berapi-api. Dalvin berdecih. “Sakit aja masih belagu. Terus lo mau ngapain ke sini?” “Terserah gue lah! Gue bayar, kok, nginep di rumah sakit ini!” sahut Bela tak mau kalah. 3] “Tapi, gue nggak suka lihat lo di sini. Lihat muka lo bikin mual.” “Lo pikir muka lo nggak bikin mual?” Bela tertawa sinis. “Gue lebih milih lihatin bekicot sejam daripada lihat muka songong lo, walau cuma sedetik!” Perang kata itu semakin lama semakin sengit. Bela berusaha sekuat tenaga menahan kemarahannya yang sudah membulat dan hampir meledak. Dalvin menaikkan sebelah alis, satu sudut bibirnya terangkat. Memasang ekspresi cool ala cowok ganteng andalannya. Biasanya cewek akan langsung meleleh jika ia seperti itu. “Yakin lo bakalan mual kalo lihat gue?” Cowok itu memajukan wajahnya, refleks Bela menjauh dengan mata membulat lebar. Siapa pun yang melihat Dalvin saat ini, dipastikan akan langsung lumer layaknya keju mozarella yang terpanggang. Bahkan, jantung Bela mengakui itu. Bela tak tahu energi apa yang memacu jantungnya di dalam sana hingga berdetak lebih kuat daripada biasanya. Ini kali pertamanya Bela menatap Dalvin sedekat ini. Rambut Dalvin yang naik, alis tebal, rahang tegas, dan senyum mematikan di bibir tebalnya mampu menyihir Bela. Ia tak bisa mengerjap barang sekali saja. Wajah itu membawa imajinasi Bela mengudara. Meninggalkan darat tanpa berniat kembali. Bela menggeleng pelan dengan tatapan lurus ke depan. “Gila, cakep banget!” bisiknya tanpa sadar. Sekalipun suara Bela kecil, tentu Dalvin masih mendengarnya. Jarak mereka benar-benar dekat. “Huahahahaha merasa bangga karena berhasil mengerjai Bela. “Sana deh, lo lihatin bekicot. Kalo kelamaan lihat gue, bisa-bisa lo ngiler lagi.” Suara tawa Dalvin lantas menyadarkan Bela dari dunia yang sempat .” Dalvin tertawa, kemudian menjauhkan wajahnya, menguncinya sejenak. Wajahnya seketika memerah. Cewek itu gelagapan, seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya tertahan. 38 Bela meringis, menahan malu. Ia baru saja memuji Dalvin yang sebelumnya ia caci maki. Setelah ini, di mana ia akan menempatkan wajahnya? Jika wajahnya bisa disembunyikan di dalam saku, tentu sudah ia lakukan sejak tadi. Bela tak mampulagimembendungrasa kesal dan malu yangbercampur aduk. Ia kemudian cepat-cepat berbalik, berlari kecil meninggalkan Dalvin yang kini menertawainya dengan keras. Bela semakin mempercepat langkah sambil merutuki diri sendiri dalam hati. Tepat saat Bela berbelok, ia berpapasan dengan Nanda. “Mau ke mana?” “Balik ke kamar, Nan,” jawab Bela tanpa menghentikan langkah. “Katanya mau makan di sini?” “Nggak jadiiil!!” kata Bela, meninggalkan Nanda yang kebingungan. “Dasar, ABG labil” Nanda bergumam. Ia kemudian mengikuti Bela dari belakang. Langkah Bela yang terlalu cepat mengharuskan Nanda sedikit berlari untuk menyejajarkan langkah dengannya. “Bela” panggil Nanda yang masih tetap tertinggal di belakang punggung Bela. “Kenapa, sih?” tanyanya gemas. Bela tidak menjawab, cewek itu malah semakin mempercepat langkah membuat Nanda semakin tertinggal. “Sini infus lo gue pegangin,” ujar Nanda, kasihan melihat Bela yang kesusahan. “Cepet, Nandaaa “Astaga, Bel! Gue udah lari gini, masih lo suruh cepet....” “Kelamaan!” Sudah tidak mungkin bagi Nanda untuk menambah kecepatannya. Mereka sedang menuruni tangga. Nanda tak ingin ikut dirawat di rumah sakit itu juga karena jatuh dari tangga. 39 “Kenapa, sih, lo?” tanya Nanda begitu ia dan Bela kini berada di depan kamar Bela. “Bukain pintu, Nan,” pinta Bela memelas mengingat tangannya sedang memegang infus sekarang. Nanda menghela napas, cewek itu kemudian membukakan pintu untuk Bela. Mereka berdua segera masuk. Bela mengambil mawar yang ia sembunyikan di samping bantalnya dan meletakkan bunga itu di atas nakas. Tepat di samping mawar yang sudah ada sebelumnya. Kening Nanda berkerut melihat dua bunga mawar di atas nakas. “Kok dua, Bel?” “Tadi pagi ada lagi di depan pintu,” sahut Bela. “Wah, itu orang niat banget kayaknya!” Bela hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan Nanda. Sejenak, Bela melirik kedua mawar yang baru selesai ia rapikan, lalu merebahkan tubuhnya. “Bel, kayaknya orang yang ngasih bunga mawar itu satu sekolah sama kita. Buktinya, pagi-pagi dia nganterin bunga buat lo. Kan, harusnya dia sekolah. Sekolah yang libur karena try out cuma sekolah kita.” Bela memutar mata. Nanda mulai mengeluarkan praduga-praduga absurd-nya. “Bisa jadi dia udah lulus, Nan.” “Iya juga, ya. Tapi, kalo ini beneran dari anak sekolah kita, gue curiga ini dari Dalvin.” Bela menelan ludah. Dalvin? Sekelebat bayangan wajah cowok itu muncul di pikirannya. “Muka lo kenapa?” tanya Nanda melihat wajah Bela yang memerah. “Emang, kenapa muka gue?” Bela balik bertanya sambil menangkup kedua pipinya yang terasa panas. “Ditanya, malah balik nanya. Merah tuh, muka lo.” 40 “Masa, sih?” Bela membuang muka. Cewek itu menggosok-gosok pipinya, berusaha menghilangkan rona merah di sana. Masih dengan tangan di kedua pipi, Bela melirik Nanda. “Nan,” panggilnya. Nanda menyahut hanya dengan dehaman. Bela menggigit bibir bawahnya. “Gue ketemu Dalvin tadi, di atap.” Nanda yang semula tiduran di sofa langsung melompat bangun. Reaksi anak itu memang selalu berlebihan. “Serius lo?!” Matanya melebar. “Apa gue bilang? Dia yang ngasih lo bunga,” tuturnya semringah. “Tapi, nggak mungkin, Nandaaa! Ada hal yang belum gue ceritain ke lo. Gue pernah ada masalah sama dia, kami itu musuhan. Dan, sampai sekarang sikap dia ke gue makin nggak sopan. Dia itu selalu ngeselin setiap ketemu gue.” “Ya ampun! Bel, cowok punya seribu cara aneh buat narik perhatian cewek yang dia suka. Termasuk bersikap jutek dan bikin gebetannya kesel.” Bela terdiam, memandang kosong tembok putih di depannya. Pikirannya kini penuh pertanyaan yang tak terjawab. Hatinya perlahan luluh menerima asumsi Nanda yang mengatakan Dalvin adalah si pengirim bunga itu. Namun, jika mawar itu dari Dalvin, untuk apa cowok itu memberikan bunga untuknya? Sukakah? 4 Part § Gracious Dalvin Cinta tidaklah mudah karena urusan cinta dengan hati, bukan dengan otak yang bisa kita atur semaunya. INTU kamar itu terus-menerus digedor, hingga sang pemilik di dalam sana merasa risi dan pada akhirnya menyerah. Cowok itu menghela napas. Ia memandang malas pintu kamarnya yang diketuk seorang wanita dari luar. Dalvin bangkit dan meletakkan gitar cokelat yang sejak tadi ia mainkan. “Dalvin! Buka pintunya, Dalvin!” Suara nyaring itu tak henti menyerukan namanya. Dalvin mengacak rambut frustrasi sambil berjalan ke arah pintu. “Iya, iyaaa, tunggu,” teriaknya kesal, kemudian membuka pintu kamar dengan kasar. “Dalvin! Ya ampun, ini anak kebiasaan banget! Kalau dipanggil itu nyahut, dong!” semprot kakak sulungnya berkacak pinggang. Wajah wanita itu terlihat jengkel. Jessie, yang sudah lengkap dengan seragam dokternya itu, memperhatikan Dalvin dari ujung kaki sampai rambut. “Astaghfirullah. Lo adik gue atau gembel, sih?” Dalvin menunduk. Memandangi tubuhnya yang hanya mengenakan celana longgar dan baju kaus rumah. “Gembel,” celetuknya dengan cengar-cengiran. Wanita itu memutar bola mata. “Lo udah mandi?” tanya Jessie. Dalvin menggeleng, membuat Jessie menepuk jidat. “Ya ampun! Ini udah jam delapan!” “Terus?” tanya Dalvin cuek. “Gue harus berangkat kerja sekarang,” “Terus?” “Terus melulu lo, macem tukang parkir. Anter gue ke kantor.” “Nggak maul” tolak Dalvin cepat. Ini hari libur terakhir. Dia ingin menikmati waktu luangnya tanpa keluar rumah. Cowok itu hendak menutup pintu, tetapi Jessie lebih dahulu menahannya dengan kaki. Dalvin mendesah. “Minta Pak Umang aja yang anterin.” “Pak Umang pulang kampung. Istrinya habis melahirkan,” jelas Jessie. “Lo naik taksi aja, Jes.” Jessie memelotot. “Panggil gue ‘Kakak’!” “Iya, Jessie” “Gracious Dalvin!” bentak Jessie jengkel. “Gracious Jessie!” Dalvin mengikuti gaya Jessie membentaknya, kemudian terkekeh pelan. “Ya Allah, beri hamba kesabaran.” Jessie memejamkan mata, mengangkat tangan seakan-akan sedang berdoa. “Ayo deh, Dik, anter Kakak, ya?” Jessie berucap lembut. Memanggil Dalvin dengan sebutan ‘Dil dan dirinya ‘Kak’ persis seperti waktu mereka masih kecil. “Tapi, gue belum mandi” “Ya udah, mandi sana,” suruh Jessie. “Bh, sebentar deh, ada bayarannya, nggak, nih?” 43 “Hmmm... ada.” “Apa?! Gitar baru, ya?” tanya Dalvin semringah. Jessie menggerutu dalam hati. Giliran ada hadiah, adiknya itu bersemangat. “Lihat aja nanti, bagus banget bayarannya. Tapi, lo mandi dulu.” Jessie membalik tubuh Dalvin, kemudian mendorong cowok itu masuk ke dalam kamar. Untuk memastikan Dalvin benar-benar mandi, Jessie ikut masuk ke dalam kamar adik laki-lakinya itu. Warna gelap biru dongker langsung menyambut penglihatan Jessie. Bau khas kamar anak cowok menyeruak, membuat Jessie mengibas- ngibaskan tangan di depan hidung. “Ish, bau banget kamar lo, Dik,” gerutu Jessie membuat Dalvin menoleh sambil memelotot. “Siapa suruh masuk, keluar sana,” cibir Dalvin sewot, dirinya merasa tersinggung, Jessie malah terkekeh, kemudian duduk di pinggiran kasur. “Dasar cumi.” Dalvin bergumam sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. Sebuah bingkai foto kecil di atas meja belajar Dalvin menarik perhatian Jessie. Ia bangkit dari duduk, kemudian mendekat menuju meja bersama rasa penasarannya. Jessie tersenyum miris ketika foto itu kini berada di tangannya. Kapan Dalvin bisa melupakan masa lalu jika hal sekecil ini masih ia simpan. Jessie tidak mau adik kecilnya itu terus berkubang dalam lingkaran yang itu-itu saja. Gadis yang ada di dalam foto itu sudah tidak memiliki harapan hidup. Dalvin tak boleh berharap terlalu besar kepadanya, karena Jessie yakin gadis berambut hitam dengan lesung pipit di dalam foto itu juga ingin Dalvin hidup lebih bahagia. Jika terus begini, Jessie harus bertindak. Salahnya juga dahulu ia mengenalkan Dalvin dengan gadis manis itu. Tak butuh waktu lama, Dalvin kini sudah selesai mandi. Cowok itu keluar hanya dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. hh

You might also like