Professional Documents
Culture Documents
Perubahan terpenting yang oleh stb. 11938-276 diadakan dalam KUHD ialah
penghapusan titel 1 buku ke I yang tadinya (dalam bahasa indonesia) berkepala “tentang
pedagang-pedagang dan perbuatan-perbuatan perniagaan” dan memuat pasal-pasal 2
sampai dengan 5 (lama).
Untuk mendapat suatu gambaran yang jelas dari perubahan itu sudah layak sekarang juga
ditunjuk pada penghapusan tujuan menjalankan usaha perniagaan bagi perseroan-
perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas itu sekarang juga dapat diadakan untuk
mendirikan bangunan-bangunan, untuk eksploitasi pertambangan, asal saja terbentuk
perusahaan.
Banyak orang dahulu menjalankan perusahaan dalam pengertian menurut stb. 1938-276,
tetapi tidak termasuk dalam pengertian pedagang menurut pasal 2 KUHD lama misalnya
mereka yang menjalankan perusahaan mendirikan bangunan-bangunan tersebut dimuka.
Sejak 17 juli 1938 itu, adalah menjadi soal, apakah perusahaan itu? Dalam undang-
undang, terutama dalam KUHD (seperti juga dalam wetboek van koophandel di
nederland) sendiri, tidak terdapat sebuah pasal yang secara penafsiran resmi memberikan
pengertian tentang soal tersebut sebagai halnya dengan pasal 2 KUHD tentang pengertian
“pedagang”.
Molengraff berpendapat bahwa pengertian perusahaan yang dipakai oleh Wet (Ned) Stb.
1934-347 adalah pengertian ekonomis. Beliau mengatakan (terjemahan di dalam bahasa
indonesia), ”secara terus-menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan
dengan memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-
perjanjian perniagaan.”
Pendapat itu pada pokoknya sesuai dengan pendapat minister tersebut di muka. Jadi
harus ada unsur-unsur, terus-menerus atau tidak terputus-putus, secara terang-terangan
karena berhubungan dengan pihak-pihak ketiga dalam kwalitet tertentu, karena kita
dalam lapangan memperniagakan, menyerahkan barang-barang mengadakan perjanjian-
perjanjian tersebut harus berniat memperoleh laba.
Unsur mengejar laba pada pengertian perusahaan adalah sebelum perubahan dalam
undang-undang juga telah dianggap harus dipenuhi untuk pengertian pedagang menurut
undang-undang lama.
Kita dengan ini sampai pada perbedaan antara pengertian “pekerjaan” dan “perusahaan”.
Pengertian yang terakhir ini adalah lebih terbatas daripada pengertian pekerjaan, karena
tidak semua orang yang menjalankan pekerjaan, menjalankan pula perusahaan.
Sebaliknya tiap-tiap pengusaha menjalankan pekerjaan juga.
Karena undang undang kita di dalam KUHD sendiri tak memberikan penafsiran resmi
tentang dua jenis pengertian itu, maka adalah terutama tugas hakim dan keilmuan untuk
menetapkan pengertian itu. Saya rasa sudah tepat, jikalau polak tersebut sudah
mengukurnya dengan unsur, ialah ada atau tidak adanya keperluan untuk mengadakan
perhitungan-perhitungan tentang laba rugi yang dapat diperkirakan dan mengenai segala
sesuatu itu diadakan pembukuan , singkatnya apakah suatu usaha dijalankan menurut
cara-cara yang lazim di dalam perniagaan atau tidak.
Kita perlu sekedar mempunyai pegangan bilakah ada perusahaan dan bilakah ada
pekerjaan, karena undang-undang kita sendiri memberikan beberapa peraturan tertentu
bagi pelaksanaan-pelaksanaan perusahaan dan mereka yang menjalankan pekerjaan.
Sebagai dalam banyak hal dalam ilmu hukum, disinipun kadang-kadang masih ada
keragu-raguan, misalnya terhadap seorang akuntan.
Dalam LN 1960-59 tersebut bab I ditetapkan secara ketentuan umum bahwa yang
dimaksudkan dengan perusahaan negara ialah semua perusahaan, dalam bentuk apapun
yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan negara republik indonesia, kecuali
jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan dengan undang-undang.
Usaha perniagaan berarti keseluruhannya atau kesemua yang termasuk dalam perusahaan.
Kesemuanya itu adalah untuk memudahkan atau melancarkan terwujudnya niat
mendapatkan laba, ialah sebuah unsur mutlak bagi pengertian perusahaan. Baik benda-
benda yang dapat diraba, dilihat dan sebagainya, maupun hak-hak, seperti simpanan
barang di dalam gudang, gudang kantor perusahaan perlengkapan mesin-mesin tulis dan
hitung, penagihan-penagihan hutan-hutan, juga para langganan, bahkan rahasia-rahasia
perusahaan termasuk dalam usaha perniagaan (handelszak).
Jadi sistim perundang-undangan kita yang sekarang masih berlaku pada umumnya terang
tidak memperkenankan memisahkan kekayaan yang dipergunakan untuk perbuatan-
perbuatan perusahaan dari kekayaan prive berhubung dengan pertanggungan jawab
pengusaha terhadap pihak-pihak ketiga, hanya saja ada pendapat pula untuk mengangap
keseluruhannya yang termasuk ke dalam perusahaan, baik subjek-subjek, seperti para
langganan. Maupun objek-objeknya, sebagai kesatuan. Dengan demikian kesatuan ini
akan lebih tinggi nilainya daripada tiap bagian dari usaha tersebut sendiri-sendiri.
Dapatkah usaha perniagaan itu diperalihkan atau dijual kepada orang atau orang-orang
lain atau kepada badan hukum? Dalam Praktek perniagaan toh acapkali terjadi bahwa
usaha perniagaan itu di jual dan terjadi pula penggadaian persediaan perusahaan atau
inventaris.Undang-undang tentang penjualan yang terjadi terhadap semacam
kesatuan.dapat kita jumpai dalam KUH perdata. Ialah didalam buku ke III title ke-5
mengenai perjanjian jual beli, pasal 1537 perihal penjualan sebuah harta waris dengan tak
diperincisebuah demi sebuah dari benda-bendanya harta warisan itu. Jadi muncullah dari
pasal ini suatu pikiran pembuat undang-undang yang tak menolak ide kesatuan yang
(seperti halnya pada harta waris itu) tempo-tempo memuat pula kredita dan debita.
Mengenai kredita (penagihan-penagihan atau “inschulden”) diatur dalam pasal 1553
KUH perdata.
kesimpulan setelah pelaksanaan Stb.1947-53 tak lagi balik nama temaksud dilaksanakan
di depan ketua pengadilan negeri dibantu oleh paniteranya, melainkan didepan kepala
kantor pendaftaran tanah. Akan tetapi berpedoman pada pasal 42 Stb. 1834-27 itu, ketua
PN dalam wilayah baliknama seorang kepala kantor pendaftaran tetap bertugas
menjalankan pengawasan dan tempo-tempo inspeksi atas perbuatan-perbuatan balik-
nama termaksud, terutama apakah akte-akte asli yang tersimpan sudah beres semua.
Dalam hal ketidakberesan ketua pengadilan negeri berkeharusan mengambil tindakan-
tindakan yang dianggap perlu.
Jadi janganlah sampai keliru, pejabat balik nama telah berubah tetapi pengawasan dan
inspeksi oleh ketua pangadilan negeri tetap dilangsungkan.
Dengan “pemindahan hak” dimuka tadi menurut penjelasan atas undang-undang darurat
no. 1 tahun 1952 dimaksudkan sama sebagai yang termuat didalam pasal 584 KUH
perdata yang menyebutkan, “penyerahan sebagai akibat dasar hukum untuk peralihan
milik, dilakukan oleh seorang yang berhak menguasai hak milik tersebut”, sedangkan
pemerintah maksudkan dengan “serah pakai” ialah “sewa menyewa dan lain-lain
perbuatan pemilik yang ditujukan kepada terbitnya atau lahirnya hak-hak yang ditunjuk
pada nomor-nomor 1 sampai dengan 6 pasal 508 KUH perdata.
Yang perlu kita ketahui adalah bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang no.24 tahun 1954 dan peraturan-peraturan lainnya maka, setiap
perbuatan yang menunjukan pemindahan hak dan setiap serah pakai buat lebih dari satu
tahun mengenai tanah-tanah dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah atas untuk
perkebunan dari bangsa belanda dan bangsa asing lainnya serta dari badan-badan hukum,
hanya dapat dilakukan dengan izin mentri agraria diwaktu itu (sekarang penguasa lain)
lihat diatas dengan persetujuan mentri pertanian.
Serah pakai tersebut memuat semua perbuatan yang berwujud pemindahan resiko untung
rugi pemakai tanah perkebunan orang lain, kecuali yang berwujud pemindahan hak.
Ditambah semacam pengawasan preventif oleh pihak resmi sebagai izin mana adalah
syarat mutlak mutlak untuk melakukan balik nama sebagai diatur didalam Stb.1834-27,
bertambah kuat lagi dugaan bahwa si penyerah hak milik di dalam stelsel negatif di
indonesia adalah benar-benar orang yang sesungguhnya berhak memperalihkan.
Soal yang terpenting dalam penjualan usaha perniagan adalah, apakah yang beralih
kepada pihak pembeli? Soal ini rapat hubungannya dengan hak-hak serta kewajiban-
kewajiban kedua belah pihak, yakni memperalihkan dan mengoper, terutama mengenai
penagihan-penagihan dan hutang-hutang yang belum selesai urusannya ketika terjadinya
peralihan itu. Teranglah bahwa segala sesuatu sebaiknya dengan diteliti diatur didalam
perjanjian tertulis dan ada baiknya dibuat didepan seorang notaris. Perjanjian itu sebagai
kita layak telah harus mengetahui, merupakan undang-undang bagi kedua belah pihak.
Didalam perjanjian ini dapat misalnya ditetapkan bahwa penagihan dan hutang-hutang
yang telah ada, ikut beralih kepada pembeli baru, dapat dituinjuk tentang barang-barang
mana termasuk dalam penjualan,mungkin semuanya mungkin hanya sebagian saja.dapat
ditetapkan bahwa perniagaan ikut beralih kepada pihak pengoper. Di indonesia hingga
sekarang belum ada peraturan perundang-undangan mengenai nama perniagaan. Di
nederland telah ada wet tentang nama perniagaan itu, ialah diundangkan dalam Stb. 1921-
842 dan menurut pasal 2 Wet Handelsnaam, itu nama perniagaan hanya dapat
diperalihkan bersambung dengan usaha perniagaannya, usaha ini dapat pula diperalihkan
tidak dengan namanya, tetapi nama saja tanpa usaha perniagaan tak boleh diperalihkan.
Demikianlah diaturnya di nederland. Bagaimana selayakya di indonesia? saya rasa bahwa
memperalihkan nama pprniagaan apalagi jikalau nama itu sudah baik dalam dunia
pembeli. Tanpa usahanya, akan membimbangkan pembeli-pembeli atau lain-lain pihak
yang biasa berhubungan lama dengan usaha tersebut. Tak hanya demikian tetapi juga
menyusahkan para kreditur dan debitur lama telah biasa juga berhubungan dengan usaha
lama itu dengan nama yang ternyata diperalihkan. Jadi adalah layak, jikalau kita di
indonesia menunggu sampai ada peraturan nasional sendiri tentang peraturan perniagaan
itu. Jadi negara kita ini berlaku pula sebagai hukum positif bahwa pemindahan hak
kepada orang lain dari sesuatu merek yang terdaftar menurut pasal 7 U2M-1961 itu hanya
di catat jika seluruh atau dari sebagian perusahaan yang menghasilkan atau yang
memperdagangkan barang yang bermerek termaksud, juga telah dipindahkan haknya
kepada orang lain itu.
Bila didalam perjanjian memperalihlan usaha perniagaan itu tak ada ketentuan-ketentuan
khusus sebagai tersebut dimuka, lalu juga akan berakibat bahwa si pengoper baru akan
menerima semuanya. Termasuk nama perniagaan, pengihan-penagihan dan hutang-
hutang tanda-tanda perniagaan dan perusahaan.
Dalam hal penjualan ini, penjual juga harus berusaha agar supaya pemindahan usaha
perniagaan lama kepada pihak pengoper baru dapat terjadi secara lancar, pengoper baru
dengan demikian akan dapat melangsungkan usaha yang dibeli itu dengan cara yang
lazim berjalan. Dapat mudah dimengerti bahwa pihak yang mengoperkan, juga
berdasarkan pasal 1338 ayat 3 KUH perdata tak boleh merintangi kepada pengoper baru
tersebut. Jika perlu pengusaha lama tersebut harus memberikan keterangan-keterangan
secukupnya kepada pihak-pihak pengoper dan tak boleh menyaingi pengoperan baru
secara yang tak layak menurut kebiasaan-kebiasaan komersiil.
Sudah barang tentu pihak penjual tak mungkin dapat menjamin supaya pihak pengoper
akan harus mendapat kondisi dan laba yang sama sebagai yang sudah-sudah, karena hal
itu sangat erat hubungannya dengan nilai hasrat pribadi penjual dan organisasinya, cara-
caranya memasang iklan yang menarik dan sebagainya.
Jikalau perjanjian sama sekali tak ada ketentuan bahwa penagihan-penagihan dan hutang-
hutang akan beralih, pengoperan usaha itu pada umumya tak ada berakibat apa-apa
terhadap para kreditur dan debitur lama. Pemilik lama di dalam hal itu tetap jadi kreditur
dan debitur mereka. Hanya pemilik lama harus menyerahkan penerimaan-penerimaan dan
debitur-debitur kepada pemilik baru, sedangkan yang terakhir ini harus mengganti
pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh pemilik lama kepada para kreditur-
kreditur.
Selain penjualan usaha perniagaan sebagai diterangkan dimuka, terjadi pula didalam
perniagaan bahwa pengusaha memerlukan akan kredit dan untuk memberikan jaminan
kepada krediturnya buat pembayaran kembali hutangnya, lalu mengadakan perjanjian
dengan kreditur itu yang bertujuan menyerahkan hak milik atas misalnya persediaan
barang-barang jualan yang bergerak kepada kreditur itu, tetapi kreditur ini pada
kekuasaannya tidak menguasai persediaan barang-barang itu, melainkan ditunjuk
kepadanya sebagai jaminan saja, jadi sementara masih dalam kekuasaannya debitur.
Penyerahan hak milik tersebut yang dinamakan “fiduciaire eigendomsoverdracht” antara
lain diakui sahnya dalam arrest (putusan) HGH dizaman belanda dahulu di jakarta
tertanggal 12 agustus 1932. dimuat dalam t. 136-311 dan seterusnya sedangkan majelis
itu (dalam terjemahannnya dalam bahasa indonesia) khusus mempertimbangkan , bahwa
peraturan-peraturan didalam titel ke 20 buku ke II KUH perdata, memang benar
mengatur tentang perjanjian gadai, tetapi peraturan-peraturan tersebut tidaklah bertujuan
mencegah kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan perjanjian lain,
apabila mereka menganggap perjanjiaan gadai biasa tak selaras dengan hubungan
kongkrit antar mereka , perjanjian lain dimana bertujuan penyerahan hak milik atas
barang-barang bergerak oleh debitur kepada pihak-pihak kreditur sebagai jaminan
pembayan hutang, akan tetapi dengan penentuan bahwa barang-barang bergerak itu
sementara akan tetap pada pihak debitur.
Mungkin terhadap usaha perniagaan itu diadakan perjanjian pemakaian hasil atau
vruhtgebruik pasal (756 dan seterusnya dahulu KUH perdata). Menurut no 4 diktum
UUPA (LN 1960-104). Buku ke II KUH perdata sepanjang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dicabut, kecuali ketentuan mengenai hipotik
yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA (24 desember 1960).
Tentang Vruchtgebruik tersebut di atas di konversi jadi hak pakai. Dilakukan oleh KKPT
yang bersangkutan dengan mencatatnya pada asli aktanya pasal 17 per mentri agraria
no.2/1960. Dalam pelaksanaannya perjanjian itu yang menjadi dasar terbitnya hak atas
benda fihak pemakai hasil boleh terus menjalankan usaha perniagaan bagi
kemanfaatannya sendiri, jadi dia dapat menggunakan segala yang perlu untuk jalannya
usaha tersebut, akan tetapi dia harus memeliharanya secara baik-baik. Berdasarkan pasal
1 ayat 6 ketentuan-ketentuan konversi di dalam UUPA tersebut, maka Vruchtgebruik
yang membebani hak eigendom (hak milik setelah konversi) tetap membebani hak milik
tersebut.
Terakhir perlu ditunjuk pada pasal-pasal 34-38 dari stb. 1923-176 bsd. 1923-551, mulai
berlaku sejak 15 Nopember 1923 tentang diberlakukannya di Hindia Belanda dahulu
dari Wet mengenai perusahaan – perusahaan pertanggungan jiwa. Dalam pasal-pasal
34 -38 tadi diaturlah Khusus perihal peralihan atau usaha menyatukan (samensmelting)
Usaha-usaha pertanggungan jiwa . Berlakunya Wet Nederlad itu untuk Indonesia
dihentikan dengan Ordonnasi tentang perusahaan-perusahaan pertanggungan jiwa. stb.
1941-101. mulai berlaku dengan tanggal 1 mei 1941 pasal 50-54 mengatur tentang
peralihan perikatan yang terbit dari perjanjian- perjanjian pertanggungan jiwa kepada lain
penanggung dan tentang menyatukan perusahaan-perusahaan pertanggungan jiwa.
Dalam pertumbuhan keadaan di indonesia diwaktu itu, terutama bersambung dengan aksi
pembebasan irian barat maka oleh jawatan perdagangan dalam negeri (bagian dari
departemen perdagangan) ditetapkan peraturan-peraturan pengawasan yang mulai
berlaku dengan tanggal 1 maret 1958 dan berdasarkan surat keputusan bersama mentri
perindustrian dan mentri perdagangan pertanggal 3 september 1957 nomor 3077/M/-
perind. 2430/M/perdag. Keputusan bersama ini berdasarkan pasal 3 peraturan pemerintah
no.1 tertanggal 19 januari 1957, mulai berlaku dengan tanggal ini juga (LN 1957-7),
segala sesuatu yang menjalankan pasal 3 ayat 2. ”Bedrijfsreglementeeringsordonnatie”,
Stb. 1938-86.
Menurut peraturan pengawasan itu diharuskan mendapatkan izin terlebih dahulu dari
pemerintah (yaitu mentri perdagangan mengenai bidang perdagangan dan mentri
perindustrian mengenai bidang perindustrian) bagi orang-orang asing yang mendirikan,
memperluas serta memindahkan tempat dan hak perusahaannya.
Yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan asing adalah :
a. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam cabang usaha perdagangan yang
tidak dimiliki oleh warga negara indonesia.
b. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam cabang usaha perdagangan yang
berbadan hukum atau berbentuk hukum lainnya.dari perusahaan mana satu atau
beberapa pemegang sahamnya atau pesertanya tidak berwarga negara indonesia.
Izin tersebut diatas diharuskan tidak saja bagi kantor pusatnya tetapi juga bagi kantor
cabangnya tersendiri, lagi pula mengenal :
a. Perusahaan-perusahaan perdagangan besar (yang bergerak dalam lapangan impor,
dan perdagangan yang berhubungan langsung dengan produsen besar).
b. Perusahaan-perusahaan perdagangan perantara (antara perusahaan-perusahaan
perdagangan besar dan perusahaan-perusahaan perdagangan kecil/eceran)dan
c. Perusahaan-perusahaan perdagangan kecil atau eceran (yang pada tingkat terakhir
memungkinkan konsumen memperoleh barang-barang yang diperlukan atau yang
membeli barang-barang dari produsen produsen kecil dan meneruskan pada alat-
alat perantara selanjutnya).
BAB 5
PEMBUKUAN
Pada pokoknya pembukuan ini diatur dalam pasal 6 dan seterusnya termaktub dalam titel
ke-2 buku I KUHD.
Sebelum Stb. 1927-146 itu tiap-tiap pedagang harus mengadakan buku harian (dagboek
atau jurnal ) dan buku kopy (berturut-turut diharuskan oleh pasal 6 dan 7 lama KUHD),
dalam buku harian harus setiap hari dengan sangat tertib pada umumnya disisi segala
penerimaan dan pengeluaran, bersifat apapun juga, buku kopy itu berisikan tembusan-
tembusan dari surat-surat pedagang yang keluar. Di samping dua jenis-jenis buku tersebut
yang diharuskan dapat pula si pedagang memelihara buku-buku lain yang lazim misalnya
buku gudang (Magazijn boek), buku kopy wesel (wissel kopy boek) serta buku rekening-
rekening dan buku rekening koran (rekeningen boek dan rekening coerant boek).
Setelah berlakunya Stb. 1927-146 tersebut keharusan pedagang untuk mengadakan dan
memelihara buku-buku tertentu diganti dengan keharusan untuk mengadakan catatan-
catatan mengenai keadaan kekayaannya dan tentang semuanya saja yang mengenai
perusahaannya. Catatan itu harus diadakan sedemikian rupa, sehingga daripadanya setiap
waktu dapatlah dipahami hak-hak dan kewajiban-kewajiban si pedagang.
Perihal pembuatan catatan-catatan itu, tidaklah diharuskan kepada pelaksana perusahaan
bahwa dia menulis atau mengetiknya sendiri. Dia dapat menugaskannya kepada orang
lain yang masih lazim disebut dengan buku (boekhouder), nama mana masih
mengingatkan akan keadaan sebelum Stb. 1927-146 tersebut. Pemegang buku pun pada
perusahaan-perusahaan besar mengepalai sebuah bagian khusus yang tak kecil, pada
mana bekerjalah banyak pegawai-pegawai.
Kita harus dengan masak-masak menyadari bahwa catatan-catatan tadi yang di wajibkan
meliputi keadaan kekayaan dari si pelaksana perusahaan, yang berarti bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut tidaklah terbatas pada yang mengenai perusahaan saja, ini ada
hubungannya erat dengan pasal-pasal 1131 dan 1132 KUH perdata. Pasal-pasal mana
mengutarakan bahwa seluruh harta benda dari seorang debitur, baik yang bergerak
maupun yang tetap , baik yang telah ada maupun yang masih diperbolehkan, semua itu
dipertanggung jawabkan bagi pemenuhan perikatan-perikatannya, semua harta benda itu
merupakan jaminan bersama bagi para kreditur-krediturnya si piutang. Berdasarkan
hubungan ini pasal 6 ayat 1 KUHD memisahkan istilah-istilah “keadan kekayaannya”
dari “semua yang mengenai perusahaan”.
Catatan-catatan tadi meliputi seluruh keadaan kekayaan, jika mengenai kekayaan pribadi
catatan-catatan itu cukup dengan menunjukkan keadaannya saja dengan tak perlu banyak
perincian.misalnya menunjukan keadaannya saja dengan tak perlu banyak perincian,
misalnya dalam tiap-tiap bulan mengeluarkan sekian ribu rupiah untuk kehidupan Prive.
Sebaliknya yang khusus mengenai jalannya perusahaan, harus diperinci secukupnya,
setiap peristiawa hukum (pinjaman, pengangkutan, pembelian, penjualan,penerbitan
wesel dan sebagainya) dalam perusahaan harus dicatat sebuah demi sebuah.
Apakah yang dimaksud dengan neraca?
KUHD sendiri tak menjelaskan perihal syarat-syarat tentang bentuknya neraca itu,
melainkan hanya menunjuk harus diperbuat menurut keperluan-keperluan perusahaan
yang bersangkutan. Terutama dalam KUHD tidak disebutkan pos-pos apakah harus
dimasukkan dalam neraca hingga manakah perincian diperlukan dan sebagainya. Dengan
tidak adanya syarat-syarat dalam KUHD mengenai bentuknya neraca terpaksalah kita
harus mengindahkan akan segala kebiasaan-kebiasaan yang baik di dalam perniagaan
perihal pembuatan neraca itu.
Polak menunjuk sehelai neraca sebagai daftar yang berisikan semua harta kekayaan
dengan harganya tiap-tiap bagian harta kekayaan itu pula menyebutkan segala hutang-
hutang dan saldonya. Dengan pengertian bahwa penunjukan bagian-bagian dari kredit
dan debet di dalam neraca itu hendaknya sesuai dengan bagian-bagian di dalam
pembukuannya sehingga neraca tersebut tak harus memuat perincian sekecil-kecilnya
dari tiap pendapatan dan hutang. Perlu di beritahukan bahwa sebagai kebiasaan di dalam
perniagaan mengenai pembuatan neraca itu menurut polak, tersebut dipakailah bentuk
“scontro” (“scontro-vorm”), artinya pemakaian dua halaman yang berdampingan.
Kalau pembuatan catatan-catatan pembukuan tak harus dilakukan oleh pelaksana
perusahaan sendiri, tetapi dapat ditugaskan kepada lain-lain orang ialah pegawai-
pegawainya, akan tetapi terhadap neraca tersebut KUHD mengharuskan
penandatanganan neraca itu oleh pengusaha sendiri, jadi pada persekutuan dengan firma
oleh semua sekutu, sekedar tak dilarang (menurut perjanjian) melakukan
pemeliharaan(beheer), perbandingan pasal 17 ayat 1 KUHD, pada perseroan terbatas oleh
semua pengurus dan komisaris-komisaris, sekedar mereka bertugas juga dalam
pemeliharaan (pasal 52 KUHD).
Catatan-catatan yang diharuskan kepada para pengusaha menurut pasal 6 ayat 1 KUHD
tersebut adalah perlu, agar dari catatan itu setiap waktu dapat diketahui hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya pengusaha, sehingga catatan-catatan itu dengan sendiri
mempunyai peranan penting (jika perlu) dalam hal pembuktian.
Buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan itu, begitupun neraca-neraca
tersebut harus disimpan oleh pengusaha selama tiga puluh tahun, tenggang mana erat
hubungannya dengan waktu untuk lampaunya memajukan penuntutan-penuntutan hak
(pasal 1967 KUH perdata). Jadi selama belum terlampau waktu, buku-buku surat-surat
dan neraca-neraca itu masih saja mungkin perlu kuat pembuktian. Karena demikian
sebenarnya tak ada alasan cukup untuk membedakan tentang waktu penyimpanan
terhadap catatan-catatan dan neraca itu dan terhadap surat-surat dan telegram-telegram
serta turunan-turunan mana waktu penyimpanan adalah hanya 10 tahun (pasal 6 ayat 3
KUHD), pada hal pembuktian itu lebih banyak terdapat dari surat-surat daripada dari
buku catatan termaksud.
Pembukuan buku dan sebagainya tersebut pada umumnya tak diperkenankan, pembukuan
adalah bersifat rahasia, hanya hakimlah dan khusus untuk mencapai pemecahan suatu
babak atau hal tertentu yang masih dalam perselisihan,
dapat memerintahkan penerobosan rahasia tersebut baik karena jabatan, maupun atas
permintaan pihak yang berkepentingan. Dalam keilmuan dan bacaan-bacaan hukum,
pembukuan itu sering ditunjuk dengan istilah representation. Setelah buku-buku, surat-
surat dan sebagainya diserahkan kepada
kepada hakim disidang, beliaulah yang juga berhak menentukan bagian mana yang erat
berhubungan dengan bab atau hal tertentu yang dalam perselisihan itu, misalnya
mengenai peristiwa penyerahan benda pembelian, tentang harga pembelian dan
sebagainya. Juga hakimlah yang jika perlu, memberikan izin kepada pihak lawan untuk
mengambil turunan atau membuat ikhtisar dari bagian dari pembukuan yang telah
ditetapkan oleh hakim.
Di luar perintah menurut pasal 8 KUHD setiap orang yang berkepentingan dapat
menawarkan pembuktian dengan buku-bukunya atau surat-suratnya kepada hakim. Sudah
barang tentu hakim dapat memutuskan menerima atau melampaui saja atas permintaan
pembuktian itu.
Karena dari hakim itu tak dapat diminta bahwa beliau mengetahui sendiri juga tentang
hal-hal diluar ilmu hukum, itulah sebabnya pasal 8 ayat 2 KUHD membuka kesempatan
bagi beliau untuk mendengar pendapat ahli-ahli perihal sifat dan isi surat-surat yang
diserahkan di sidang kepada hakim menurut pasal 8 ayat 1.caranya mendengar ahli-ahli
itu dewasa ini diatur dalam pasal 154 HIR atau untuk daerah-daerah di luar jawa
dan madura dalam pasal 181 R. Bgw. Jadi dalam penunjukan pasal 8 ayat 2 tersebut akan
pasal-pasal dari Rv. Harus dibaca seperti penunjukan akan pasal-pasal tersebut dari
berturut-turut HIR atau R. Bgw. Karena sejak dizaman pemerintah balatentara jepang Rv.
Itu sebagai demikian dianggap tak berlaku lagi dan paling banyak hanya kadang-kadang
masih dianggap sebagai pedoman dalam hal-hal yang tak diatur dalam HIR atau R. Bgw,
lagi pula jika perlu untuk melaksanakan hukum materiil dan perdata barat.
Hingga saat ini kita membicarakan tentang penyerahan dan pembukaan (representation).
Di samping ini kita mengenal cara lain pula yang berakibat juga penerobosan rahasia
pembukuan, yaitu yang didalam keilmuan dan bacaan-bacaan hukum sering ditunjuk
dengan communication atau dengan pemberitaan. Pemberitaan ini tidak harus dengan
pencampuran hakim sebagai dimaksudkan dalam pasal 8 KUHD, dan dapat dituntut oleh
mereka yang setidak-tidaknya, kalau tidak melebihi, berhak sama untuk melihat dalam
seluruh pembukuan, sebagai halnya dengan orang atau orang-orang yang pada suatu
ketika menguasai administrasi pembukuan itu. Penuntut untuk melihat itu harus diberi
kesempatan buat mempelajari seluruh pembukuan. Kalau mungkin harus kepada penuntut
diserahkan pembukuan itu untuk dipelajari kemudian dikembalikan. Semua ini adalah
diatur dalam pasal 12 KUHD. Communication ini jadi bersifat lain sekali daripada
representation. Yang terakhir ini adalah agak terbatas sebagai kita telah melihat dan
hanya di dalam jalannya pemeriksaan oleh hakim, sedangkan communication ini dapat
pula di luar suatu pemeriksaan sengketa perdata oleh hakim dan tidak terbatas yang
diharuskan menurut pasal 6 KUHD. Si penuntut communication menurut pasal 12
tersebut harus mempunyai kepentingan langsung untuk memahami isinya suatu
pembukuan.pasal 12 menyebut sebagai orang-orang yang berkepentingan langsung, ialah
para ahli waris, orang yang berkepentingan dalam suatu persekutuan, seorang sekutu atau
persero dan oarang-orang yang mengangkat pemimpin usaha perniagaan.dapat dikatakan
bahwa tiga golongan pertama tersebut mempunyai kepentingan bersama, sedangkan
pihak pengagkat orang atau orang-orang itu jika menuntut communucation, sebenarnya
minta pemeriksaan pembukuan dari usaha perniagaannya sendiri yang dijalankan oleh
pemimpin yang diangkat itu.
Masih perlu diterangkan tentang pemberitaan perihal isi pembukuan didalam hal
kepailitan (kalimat teakhir dalam pasal KUHD). Harus diketahui bahwa semenjak
diucapakannya putusan kepailitan terhadap seorang debitur, panitera dari pengadilan
negeri yang menjatuhkan penetapan kepailitan itu, kepada administrasi jawatan pos dan
telegrap,juga kepala kator pos dan telegrap, di tempat kediaman si pailit, pula kepala
balai harta peninggalan, kantor mana selekas-lekasnya harus juga menerima dari panitera
tersebut sehelai turunan sah pertama atau grosse dari putusan kepailitan ( pasal-pasal 13
ayat 3 bsd. 4 ayat 3 peraturan kepailitan, yaitu faillissementsoverordening dari Stb. 1905-
217, mulai berlaku pada tanggal 1 november 1906 untuk selanjutnya ditunjuk dengan
singkatan PK. Yang menerangkan bahwa sebagai akibat dinyatakan pailit itu si debitur
lalu menurut hukum dengan sendiri kehilangan kekuasaan dan pemeliharaannya atas
kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan, balai harta peniggalan yang menurut pasal
67 ayat 1PK ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel si pailit. Karena
tugas ini. Balai tersebut menurut pasal 89 PK setelah menerima pemberitaan dari panitera
pengadilan sebagai termaksud didalam pasal 13 ayat 3 PK harus antara lain
menyelenggarakan penyimpanan buku-buku dan surat-surat dari si pailit. Jadi karena
balai itu (selanjutnya akan ditunjuk dengan singkatan BPH) telah menyimpan pula
pembukuan dari si pailit, teranglah bahwa pasal 12 KUHD hanya ditunjukkan kepada
para kreditur dari si pailit.