You are on page 1of 6
{3} BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial SURAT EDARAN DIREKTUR PELAYANAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN NOMOR 55 — TAHUN TENTANG PENJELASAN SURAT EDARAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN NOMOR Hi 03 03/X/1 185/201 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN PERMASALAHAN KLAIM INA-CBG's DALAM PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN, Yth. Kepala Divisi Regional BPUS Kesehatan Divisi Regional | s.d. Xiti di Seluruh Indonesia Merujuk pada Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.03.09/X/1185/2018 Tahun 2015 Tentang Pedoman Penyelesaian Permasaiahan Kiaim INA-CBG's Dalam Penyelenggsraan Jaminan Kesehatan, bersama ini Direktur Pelayanan Badan Peryelenggara Jaminan Sosial Kesehatan periu menyampaikan penjelasan sebagai berikut 1. Diagnosa Utama HIV dengan Diagnosa Sekunder Candidiasis Sudah cukup jelas. 2. Diagnosa Utama Hipertensi ‘Sudah cukup jelas, 3, Diagnosa Utama Thalasemia Pada kunjungan penderita Thalasemia dengan pelayanan rawat inap kedua dan seterusnya dimana kunjungan tersebut masih dalam satu bulan yang sama dengan pelayanan rawat inap sebelumnya yang mendapatkan top up obat kelasi maka kunjungan tersebut tidak dapat dikoding top up obat kelasi kambali (top up obat kelasi yang diberikan sebelumnya telah memenuhi kebutuhan obat kelasi besi selama satu bulan), 4, Diagnosa Sekunder Hiperglikemia Hiperglikemia tidak dapat ditempatkan menjadi diagnosa utama/diagnosa primer pada kasus penyakit Diabetes Melitus maupun penyakit lain yang lebih spesifik dimana hyperglikemia merupakan bagian dari peyjalanan penyakit utamanya. 5. Prosedur Tonsilektomi dengan Kauter Faring Sudah cukup jelas. 6. Prosedur Appendectomy dengan Laparotomi Sudan cukup jelas. 7. Prosedur Herniotomi dengan Laparotomi ‘Sudah cukup jelas 8. Prosedur insisi Peritoneum Sudah cukup jelas. Kantor Pusat I Leten Suprapta Cempaka Puth 20 BOX 1391/JKT, Jakarta Pusat 10810-Indonesi Talp +6221 4212938 (Hunting), Fa. 462 21-421 2940, vw bos kesenatan go. 9. Prosedur Repair Perineum ‘Sudah cukup jelas. 10. Prosedur USG pada Kehamilan Tindakan USG pada kehamilan dikoding dengan kode 88.78 apabila terbukti tindakan USG telah ditakukan melalui resume/rekam medisicetak hasil USG/lembar interpretasi USG/dsb. 11. Prosedur Water Seal Drainage dan Puncture of Lung ‘Sudah cukup jelas. Prosedur Endotracheal Tube ‘Sudah cukup jetas. 13. Prosedur Skingraft Skin graft tidak dikoding pada kasus kelloid, selulltis, dsb dengan alasan estetika {kosmetik), Apabila ditakukan pada kasus lukalinjury kecil maka diperlukan konfirmasi kepada dokter yang menangani 14. Prosedur Educational Therapy ‘Sudah cukup jelas. 15, Prosedur Pemberian Collar Neck Sudah cukup jelas. 16. Diagnosa Utama DHF pada Pasien Hamil Sudah cukup jelas. 17. Kelas Rawat padia Pasien Rawat Inap di UGD atau Non Kelas Sudah cukup jelas. 18. Diagnosa Sekunder Anemia ‘Anemia dalam Persalinan dan penyakit lainnya dapat dikoding sebagai diagnosis sekunder apabila memenuhi semua kriteria sebagai berikut 1. Standar Diagnosis anemia menggunakan standar WHO 2. Terdapat bukti klinis (laboratorium) yang menunjang klinis anemia 3. Anemia merupakan komplikasi penyakit utama/diagnosa utama dimana terapi anemia berbeda dengan terapi utamanya, contoh pasien kanker payudara yg diadioterapi, pada perjalanannya timbul anemia maka anemia tersebut dapat dimasukkan diagnosa sekunder dan stadium lanjut, pasien persalinan yang setelah dilakukan tindakan persalinan pada perjalanannya selama Girawat timbul anemia yang memerlukan terapi tambahan dari terapi utama pasien pasca persalinan. 4. Khusus untuk penyakit kronis (gagal ginjal kronis, kanker) dikoding sebagai diagnosa sekunder apabila terdapat anemia gravis (dibawah 8) yang memerlukan pengobatan khusus. 12. 19. 20. 241 22. 23, 24. 25. 26. Diagnosa Sekunder Leukositosis Kode (072.8 (leukositosis) tidak dapat dikoding sebagai diagnosa sekunder apabila keadaan leukositosis tersaput disebabken karena infeksi atau pemberian obat-obatan (Granulocyte Colony Stirmatating Factor) atau MyeloProtiperatif Neoplasma (MPN) Diagnosa Sekunder Malnutrisi ‘Sudah cukup jetas Diagnosa Sekunder Kaheksia ‘Sudan cukup jelas Diagnosa Sekunder Gagal Ginjal Akut/AKI N17. (Gagal Ginjal Axut) dapat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder apabila pemeriksaan laboratorium Lrin menunjukkan rasil sebagai berikut : Terjadi peningkatan'penurunan kadar kreatinin serum sebanyak 20,3 mg/dl atau Terjadi penurunan jumiah urin <0, 5ml/Kg/Jam dalam 6 jam. Diagnosa Sekunder Leukopenia-Agranulositosis Kode D70 (Leukopenia agranulositosis depat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder pada pasien Ca dengan tindakan Kemoterapi dan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan : kadar Leukosi dibawaty <3000 seul darah. Kode 070 sebagai Diagnosa Sekunder pada kadar Leukosit <3000 seVul tetap dikoding sampai leukosit 25000 sel/uL. darah. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dicantumkan, Diagnosa Sekunider Gas Gangren Kode A48,0 (Gas Gangrene) dapat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder jika pada Pemeriksaan fisik dokter yang menangani (fekam medis mencantumkan hasil pemeriksaan fisik Dokter untuk Gas Gangrene) terdapat KREPITAS! (adanya udara didalam jaringan bisa dirasakan) dibawah kulit dan mukosa Kult atau pada foto rontgen menwnuikan adanya gas dilokasi gangren (dibuktikan dari hasil interpretasi foto roritgen oleh Dokter Spesialis Radiologi dan atau Dokter Spesialis Penyakit Dalam) Jika tidak terdapat krepitas| pada pemeriksaan fisik oleh Dokter atau foto rontgen tidak menunjukan adanya gas di lokasi gangren maka keadaan gangren saja dikode dengan kode R02. Sedangkan pada kasus DM, bile terbukti ada gas gangrene dikoding dengan kode A48.0 dan kode DM (sesuai jenis DM: E10-E 14). Diagnosa Sekunder Efusi Pleura Sudah cukup jelas. Diagnosa Sekunder Respiratory Arrest pada Kasus Pasien Meninggal Penggunaan kode Respiratory Arrest! sebagai Diagnosa Sekunder pada kasus pasien meninggal dapat dikading apabila memenuhi semua keadaan berikut 1, Terdapat usalra resusitasi dan atau pemakaian alat bantu nafas, 2. Bila terkait clengain diagnosis primer, dan 3, Merupakan perjalarian penyakit primer. 27. Diagnosa Sekunder Pneumonia/Bronkopneumonia Pneumonia sebagai Diagnosa Sekunder dapat dikoding apabila memenuhi semua kriteria dibawah ini 1. Hasil foto rontgen Thoraks menunjang keadaan klinis pneumonia (hasil = interpretasi hasil rontgen dari Dokte’ Spesialis Radiologi atau Dokter Spesialis yang menangani), dan 2. Pada resume medisirekam medis bagian anamnesis (wawancara) dokter kepada pasien tercantum keluhan pasien adalah batuk produktif (batuk berlendir) yang disertai perubahan wama sputum/dahak (purulensi), dan 3. Pada resume medisrekarn medis bagian pemeriksaan fisik oleh dokter terdapat suara nafas tambahan (+) berupa ronkhi (rh +) atau Suara nafas bronkhial 28. Diagnosa Sekuncler TB Paru TB Paru (A15-A19) dapat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder pada Diagnosa Primer apapun apabila TB Parv merupakan komorbid (penyakit penyerta) yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan penunjang yang menunjukan TB Paru masih dalam masa aktifiperlu pemantauan Sesuai Permenkes No. 27 Tahun 2014 Komorbiditas adalah penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi pasien saat masuk dan membutuhkain pelayanan/asuhan khusus setelah masuk dan selama rawat. 29. Diagnosa Sekunder Disfagia Kode R13 (Disfagia) dapat dikoding bersama prosedur tonsilektomi pada keadaan pasien adalah pasien aftak-anak (usia 14 tahun) dan terdapat keadaan gizi kurang akibat gangquan menelannya dimana berat badan kurang dibanding usia atau Indeks ‘Masa Tubuh (IMT) mienuru: usia yang dinyatakan oleh dokter ahli gizi klinik atau dokter spesialis anak (konsultast interna) 30. Diagnosa Sekunder Kejang Kejang dapat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder apabila terdapat hasil pemeriksaan penunjang Elektro Encephalo Grafi (EEG) yang mendukung atau terdapat pemberian tevapi anti kejang seperti : diazepam/fenitoin/Valproat. Hasil pemeriksaan penunjang EEG dicantumkan atau pada resume medis terdapat pemberian terapi anti kejeng (diazepanvfenitoin/valproat). 31. Diagnosa Sekunder Hemiparese/Hemiplegia Kode HemipareselHemiplegia (G81.9) dapat dikoding sebagai Diagnosa Sekunder apabila dibuktikan dengan hal berikut 1. Terdapat tanda klinis hemiparesis yang ditetapkan oleh DPJP sesuai pedoman klinis yang beriaku. 2. Tanda ktinis pada poin ? tercantum di rekam medis pasien. 32. Diagnosa Utama Vertigo Sudah cukup jelas. 33. 34. 35. 36. Diagnosa Utama Katarak dengan Penatalaksanaan Rawat Inap 1. Batasan insisi dapat dibuktikan pada laporan operasi yang mencantumkan ukuran insisi pada masing-masing jenis operasi katarak sesuai kesepakatan. 2. Komplikasi selama operasi merupakan komplikasi yang timbul pada saat operasi dilakukan bukan merupakan komplikasi yang telah diketahui atau ditegakkan sebelum pasien dioperasi (operasi dapat ditunda untuk menangani komplikasi yang timbul sebelum operasi katarak) 3. Lama waktu operasi tercantum pada laporan operasi sedangkan perbandingan lama waktu operasi katarak dengan metode ECCE/ICCE dan Teknik Phacoemulsifikasi mengacu kepada standar waktu operasi katarak sesuai SOP RS, standar nasional, maupun pedoman kedokteran yang berlaku. Diagnosa Utama Pterigium Kasus pterygium dapat dilakukan dengan pelayanan rawat inap apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut 1. Pterigium (H11.0) Grade IV, 2. Operasi dengan teknik Graft Conjungtiva, Flap conjungtiva, atau membran amnion baik dengan jahitan atau membran glue 3. Pasien anak-anak (usia $ 14 tahun) atau pasien yang tidak kooperatif yang Memerlukan anestesi umum dengan melampirkan keterangan DPJP di bidang Mata atau departemen lainnya (konsul internal) yang menyatakan pasien dalam kondisi tidak kooperatif. 4, Ada keperluan sistemik yang memerlukan evaluasi baik dibidang mata maupun dari departemen lain dengan melampirkan keterangan dari DPJP yang menunjang keadaan sistemik yang memerlukan evaluasi 5. Terdapat perdarahan masif atau komplikasi lain yang memerlukan evaluasi lebih fanjut. Rawat jalan Operasi Pterigium (H11.0) tanpa penyulit (Kondisi seperti yang diindikasikan pada Rawat Inap) dan dikerjakan dengan Barre Sclera. Untuk Kesepakatan poin 6 (Transportasi sulit atau Jauh dari tempat pelayanan) tidak dapat digunakan sebagai indikasi pelayanan rawat inap karena kondisi tersebut bukan merupakan manfaat jaminan kesehatan atas dasar indikasi medis sesuai Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Diagnosa Utama Chalazion ‘Sudah cukup jelas. Diagnosa Sekunder Ekstrapiramidal Sindrome Sudah cukup jelas. Penyelesaian permasalahan klaim INA CBG's yang belum termuat dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.03.03/X/1185/2015 Tahun 2015 tetap mengacu kepada surat Direktur Pelayanan No. 5529/lII. 2/0515 perihal Hasil Workshop Koding Klaim INA CBGs dan surat Direktur Pelayanan No. 7559/lII.2/0715 perihal Pembahasan Dispute Medis Klaim INA CBGs dengan Perhimpunan Profesi Demikian Surat Edaran ini dibuat untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya Ditetapkan di: Jakarta ; Pada tanggal: 2 — Sepremoer 2015 DIREKTUR PELAYANAN {\ BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIALKESEHATAN, tig , eae FAJRIADINUR AAlialPK.00

You might also like