You are on page 1of 6
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA NASIONAL DI BIDANG PERPARKIRAN Adrianto Dwi Nugroho™ Abstract Double taxation does not only occur between two different taxation systems, but it may also ‘occur within a taxation system between national taxes and regional taxes. In Indonesia, regional ‘autonomy regulations have given provincial and residential government the authority 10 obtain its own regional income, one of which is the enforcement of regional taxes. However, the incompliance of regional taxes regulations with national taxes regulations has resulted double taxation on the implementation, as it is between parking service tax and value-added tax on parking service. The large potential of tax income from parking service had not been well-managed by the government until 2003 Kata kunci : pajak berganda, pajak parkir, pajak pertambahan nilai atas penyerahan jasa pe- nyediaan tempat parkir A. Pendahuluan Pajak berganda pada umumnya terjadi terhadap penghasilan orang atau badan yang sama akibat adanya perbedaan sistem perpa- jakan dan asas pemungutan pajak yang dianut oleh dua negara yang melakukan interaksi di bidang ekonomi, yang disebut dengan pajak berganda internasional. Syarat utama terjadinya pajak berganda adalah adanya dua pungutan pajak yang dikenakan atas objek yang sama, sehingga dapat pula terjadi pada suatu negara antara pajak pusat dan pajak daerah, yang dise- but dengan pajak berganda nasional. Pembagian jenis pajak menjadi pajak pusat dan pajak daerah didasarkan atas pemilik kewenangan untuk memungut dan menggu- nakan hasil pemungutan pajak. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara yang tampak sebagai komponen pendapatan dalam APBN, sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk mem- biayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di Indonesia, kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 seba- gaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya pada Pasal 21 huruf e. Ada- pun kedudukan pajak daerah dalam keuangan dacrah adalah scbagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Peme- rintah Daerah. Pengaturan mengenai pajak daerah pada legislasi nasional di Indonesia pertama kali dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retri- busi Daerah. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. *~ Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 226 MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292 Pada tanggal 20 Desember 2000, Un- dang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan pelaksanaan- nya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang menggantikan peraturan pelaksanaan yang lama. Pengaturan di tingkat nasional ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah masing-masing daerah (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000). Pajak daerah di Indonesia dibagi atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah dacrah tingkat provinsi, sedangkan pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat kabu- paten/kota.' Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000, yang termasuk pajak provinsi adalah Pajak Kendaraan Bermo- tor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan. Pajak provinsi bersifat limitatif. Artinya, pemerintah provinsi tidak dapat memungut pajak selain yang telah ditetapkan olch Un- dang-Undang dan hanya dapat menambah jenis, retribusi lain yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Pembatasan ini terkait dengan sifat kewenangan pemerintah provinsi yang lintas kabupaten/kota dan terbatas pada hal-hal yang belum dilaksanakan pemer- intah kabupaten/kota.” Sementara itu, yang termasuk pajak kabupaten/kota sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press. Yogyakarta, him. 3 Machfud Sidik, “Optimalisasi Pajak Dacrah dan Retribusi Dacrah dalam rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Orasi IImiah dalam rangka Wisuda XX1 STIA LAN. Bandung, 10 April 2002, him. 5 Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Peneran, gan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Gali Golongan C serta Pajak Parkir. Berbeda dengan pajak provinsi, paj kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, dim: pemerintah kabupaten/kota dapat melakul ekstensifikasi pajak melalui penetapan jeni pajak dacrah sclain yang telah ditentukan cara eksplisit dalam Undang-Undang dengan memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yaitu : (a) bersifat pajak dan, bukan retribusi; (b) objek pajak terletak atau terdapat di wilayah dacrah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersang- kutan; (c) objek dan dasar pengenaan pajak, tidak berientangan dengan kepentingan umum; (d) objek pajak bukan merupakan objek pajak. provinsi dan/atau pajak pusat; (c) potensinya memadai; (f) tidak memberikan dampak eko- nomi yang negatif; (g) memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan (h), menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal pengaturan pajak daerah dalam peraturan daerah bertentangan dengan kepent-_ ingan umum dan/atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah tersebut, sckaligus membatalkan pemungutan pajak daerah yang diatur didalamnya (Pasal I angka 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2000). Salah satu prinsip dalam menetapkan — pajak dacrah adalah bahwa objek pajak dacrah merupakan objek pajak yang belum ditetapkan sebagai objek pajak pusat. Pajak pusat di In- donesia dipungut atas penghasilan orang atau badan (dalam Pajak Penghasilan), pertambahan nilai (dalam Pajak Pertambahan Nilai), kepe- milikan tanah dan/atau bangunan (dalam Pajak Bumi dan Bangunan), peralihan hak atas tanah Nugroho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional ‘dan bangunan (dalam Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan dokumen (dalam pea Materai) serta barang-barang yang dapat merugikan kesehatan (dalam Cukai). Khusus fintuk Pajak Buri dan Bangunan, pelaksanaan pemungutznnya diserahkan kepada pemerintah Merah dan hasil pemungutannya akan diberikan sebagian besar kepada pemerintah daerah seba- gaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Sebaliknya, pemerintah pusat juga tidak poich memungut pajak yang telah dipungut oleh pemerintah daerah. Demikian halnya pemerin- tah kabupaten.kota tidak boleh memungut pajak yang telah dipungut oleh pemerintah provinsi. Walaupun demikian, dalam kenyataannya ter- dapat pajak daerah yang dipungut atas objek yang sama dengan objek pajak pusat. Hal yang demikian ini merupakan pajak berganda. ‘Apapun jenisnya, pemungutan pajak ber- ganda seperti ini harus dihindarkan, karena akan menghambat laju investasi yang berarti meng- ganggu perekonomian, dimana hal tersebut bertentangan dengan asas pemajakan. Akibat Jain yang mungkin terjadi adalah semakin gen- carnya usaha untuk melakukan penyelundupan pajak (fax evasion). Penghindaran pajak berganda sebagai salah satu manifestasi fungsi regulator dari pajak diarahkan pada upaya memberi kepastian hukum tentang pihak yang memiliki kewenang- an untuk memungut pajak dan/atau pihak yang menjadi subjek dan wajib pajak serta objek yang menjadi dasar pemajakan. Pajak berganda internasional dapat dihindarkan oleh suatu negara melalui cara unilateral. Artinya, negara menentukan sendiri jurisdiksi perpa- jakan internasionalnya yang berkaitan dengan objek dan subjek pajak luar negeri. Setiap negara mempunyai undang-undang pajak yang berbeda dalam menentukan hak pemajakan internasionalnya. Hak ini tidak dibatasi oleh 227 ketentuan- ketentuan dan kaidah-kaidah dalam perpajakan internasional.* Cara yang lebih efektif dalam meng- hindari pajak berganda antara dua negara adalah dalam bentuk Tax Treaty/Tax Convention (di Indonesia : Persctujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)). Melalui upaya ini, akan ada proses rekonsiliasi antara dua undang-undang pajak yang berbeda. Tulisan ini akan membahas satu kasus pajak berganda nasional yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu antara pajak parkir dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan jasa penyediaan tempat parkir, termasuk upaya penghindarannya. Namun sebelumnya perlu diketahui dulu mengenai masalah perparkiran di Indonesia serta jenis-jenis pajak yang ada didalamnya. B. Perparkiran di Indonesia Perparkiran merupakan salah satu sub sistem dari sistem lalu lintas dan transportasi.. Pengaturannya diserahkan kepada pemerintah daerah, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan otonomi daerah di bidang perhubungan. Pada awalnya terdapat satu jenis bentuk parkir yaitu parkir di tepi jalan umum (on street parking) yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah melalui badan pengelola perparkiran masing- masing daerah. Seiring dengan perkembangan perekonomian, yang mengakibatkan bertam- bahnya jumlah kendaraan, maka kebutuhan tempat parkir meningkat. Sementara itu, penye- diaan tempat parkir di tepi jalan umum menjadi sulit akibat lalu lintas yang padat. Hal inimem- buat pemerintah daerah kemudian menetapkan bentuk parkir yang lain, yaitu parkir di luar badan jalan (off street parking), yang terdiri dari parkir di gedung parkir dan pelataran parkir. Jenis parkir ini dapat diselengearakan oleh Rachmanto Surahmat, 2001. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda : Sebwah Pengantar. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Atrhur Andersen Prasctyo Utomo, Jakarta, him. 2 Ibid. him 3 228 MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292 pihak selain pemerintah yang telah mendapat izin penyelenggaraan parkir luar badan jalan. Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, perparkiran dalam jangka panjang diarahkan pada jenis parkir ini dan sekaligus mengurangi on street parking untuk mengurangi beban lalu lintas dan kemacetan. Penyclenggaraan tempat parkir ini bia- sanya berkaitan dengan usaha yang dilakukan pemilik tempat parkir. Namun ada juga pemilik tempat parkir yang menjadikan penyediaan tempat parkir (gedung parkir dan pelataran parkir) sebagai bentuk usahanya, Dalam perkembangannya, pemilik tempat parkir tidak mengelola sendiri tempat parkimya, melain- kan menggunakan jasa perusahaan pengelola tempat parkir. Perusahaan-perusahaan seperti Secure Parking, Sun Parking, EZ Parking menjadi- kan pengelolaan tempat parkir sebagai bentuk Membayar Jasa Pengelolaan Parkir usahanya. Keberadaannya berkaitan denga pemberian kewenangan mengelola t parkir luar badan jalan oleh pemerintah daerah kepada pihak non pemerintah yang memenuhj syarat. y Dalam pelaksanaan pengelolaan parkir, perusahaan pengelola tempat p adalah mengelola areal parkir sesuai cag kapasitasnya, antara lain memungut biaya _ parkir dari pengguna tempat parkir dan menjaga_ keamanan kendaraan yang parkir. Sementa itu, haknya adalah memperoleh imbalan dari_ pemilik tempat parkir, baik berupa nilai uang tertentu maupun prosentase pembagian h sesuai yang ditetapkan di dalam perjanj Bentuk kerjasama pengelolaan perparkiran ji digambarkan adalah sebagai berikut : Menyerahkan Jasa Pengelolaan Parkir Nugroho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional 229 Usaha ini berkembang pesat dan memi- liki prospek yang baik, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Jumlah perusahaan pengelola tempat parkir bertambah, sementara belum ada kontribusi mereka terhadap daerah. Hal inilah yang men- jadi latar belakang pemungutan pajak di bidang perparkiran. C. Pajak Pertambahan Nilai Atas Penye- rahan Jasa Penyediaan Tempat Parkir Usaha penyediaan tempat parkir meru- pakan Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pada Pasal 5 Undang-Un- dang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dinyatakan bahwaJasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuaian hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini. Un- dang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tidak me- nyebutkan jenis-jenis jasa kena pajak, namun sebaliknya menetapkan jenis-jenis jasa yang tidak terutang PPN, tepatnya pada Pasal 4A ayat 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Sebelum ada pengaturan mengenai jasa tidak kena pajak, telah ada ketentuan menge- nai terutangnya PPN atas penyerahan jasa perparkiran, yaitu Surat Dirjen Pajak Nomor S-2410/P}.53/1995 tentang Perlakuan PPN atas Jasa Parkir, sebagaimana telah diganti beberapa kali, terakhir dengan Surat Dirjen Pajak No- mor S-1320/PJ.53/1998 tentang PPN atas Jasa * Bid. Akuntansi di Indonesia, PT. Gram Perparkiran. Peraturan-peraturan. menyatakan bahwa penyerahan fog yang dilakukan oleh swasta —penyelenggara parkir- merupakan objek yang dikenakan PPN. Penyerahan jasa parkir bukan merupakan objek PPN bila pengelolaan parkir dilakukan lang- sung oleh pemerintah dacrah.> Alasannya, uang parkir yang dipungut oleh pemerintah daerah pada hakekatnya adalah retribusi, sehingga untuk menghindari double taxation, otoritas pajak menganggap penyerahan jasa parkir oleh pemerintah daerah bukan objek PPN. Namun bila pengelolaan parkir dilakukan oleh swasta —walaupun gedung parkir yang bersangkutan merupakan milik pemerintah daerah — maka otoritas pajak menganggap bahwa penyerahan jasa parkir merupakan objek yang dikenakan PPN.®° Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pada masa ini belum terdapat perusahaan, pengelola tempat parkir scbagaimana disebut- kan di atas, sehingga pada dasarnya pemilik tempat parkir adalah pihak penyedia sekaligus pengelola tempat parkir. PPN dikenakan terhadap suatu pertam- bahan nilai. Pertambahan nilai tercipta karena untuk menghasilkan, menyalurkan dan mem- perdagangkan barang ataupun memberikan pelayanan jasa membutuhkan faktor-faktor produksi pada berbagai tingkatan produksi, dimana setiap faktor produksi menimbukan biaya.” Faktor produksi yang menimbulkan biaya dalam jasa penyediaan tempat parkir adalah penyediaan gedung parkir/pelataran parkir beserta petak-petak parkirnya, tenaga kerja operasional, termasuk penjaga keamanan tempat parkir, Sesuai namanya, PPN atas penyerahan jasa penyediaan dan pengelolaan tempat parkir dipungut dan disetorkan oleh pemilik tempat parkir karena adanya penyerahan jasa penyc- dian tempat parkir dari pemilik tempat parkir NN. “Pajak Parkir dan PPN Parkir Riwayatmu Kini”, Indonesian Tax Review, Volume {11/Edisi 02/2003, him. 8 Rimsky K. Judisteno, 1997. Pafak dan Strategi Bisnis : Suaru Thyjauan tentang. Kepastian Hukum dan Penerapan 230 MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292 kepada pengguna parkir sebagai destinataris. Dengan demikian, mekanisme pajak masukan dan pajak keluaran yang ada dalam PPN tetap berlaku, sehingga sebenarnya tidak membebani pemilik tempat parkir. Hal ini sesuai dengan karakteristik PPN yang bersifat netral. Untuk dapat mengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran, pemilik tempat parkir harus dikukuhkan terlebih dahulu sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Khusus untuk pengusaha yang menyerahkan jasa penyediaan tempat parkir, tidak ada batasan pengusaha kecil se- bagaimana berlaku dalam pengukuhan PKP pada umumnya. Sehingga, pengusaha yang menjadikan penyediaan tempat parkir sebagai usahanya wajib mendaftarkan diri untuk diku- kubkan sebagai PKP. Pemberlakuan PPN atas penycrahan jasa penyediaan tempat parkir sebesar 10 % dari jumlah yang dibayarkan oleh pengguna parkir terkait dengan penetapan besar biaya parkir maksimum oleh pemerintah daerah. Dalam prakieknya, pengguna parkir membayar sesuai biaya parkir yang berlaku dan sudah termasuk pembayaran PPN. D. Pajak Parkir Pengaturan mengenai pajak parkir meru- pakan bentuk antisipasi pemerintah terhadap potensi pemungutan pajak di bidang perparkir- an, Sebelum pajak parkir diberlakukan, pemer- intah daerah umumnya mewajibkan penyeleng- gara perparkiran untuk memberi kontribusi antara 10% hingga 30% dari hasil penerimaan bruto usaha perparkiran. Namun berdasarkan Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, maka pemerintah daerah tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan pemungut- an pajak dan retribusi selain yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.* « Dewan Redaksi. op cit, him. 4 Dalam Pasal 68 ayat (1) Peraturan Peme- rintah Nomor 65 Tahun 2001 dinyatakan bahwa_ objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk pe- nyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor — dan garasi kendaraan bermotor yang memu- ngut bayaran. Val ini dkecualikan terhadap penyelenggaraan tempat parkir oleh pemerintah. pusat dan pemerintah daerah; penyelenggaraan parkir olch kedutaan, konsulat, perwakilan, negara asing, dan perwakilan lembaga-lem- baga intemasional dengan azas timbal balik; serta penyclenggaraan tempat parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah (Pasal 68 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001). Pihak-pihak yang dituju dalam pengaturan pajak parkir diatur pada Pasal 69 Peraturan Pemerintah 65 Tahun 200] dengan menggu- nakan terminologi Subjek Pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran, atas tempat parkir, dan Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menyclenggarakan tempat parkir. Bila ketentuan diatas dikaitkan dengan kewajiban pajak, maka subjek yang dituju untuk melakukan kewajiban pajak parkir hanyalah Wajib Pajak, bukan Subjek Pajak. Subjek Pajak pengguna yang hanya membayar tempat parkir belum perlu untuk melakukan. kewajiban pajak tersebut. Namun, bila Subjek Pajak membuka usaha perparkiran, maka sesuai ketentuan diatas, Subjek Pajak tersebut harus melakukan kewajiban pajak parkir® Perhitungan pajak parkir dilakukan den- gan mengalikan tarif sebesar 20% (Pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001) dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir (Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001), ° NNi. “Pajak Parkir dan PPN Parkir Riwayatmu Kini”, Jndonesian Jax Review. Volume HIVEdi=i 02/2003, him. 6 Nugroho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional 231 Pajak parkir berbeda dengan retribusi arkir. Setidaknya ada lima hal yang membe- dakan kedua jenis pungutan ini. Pertama, sifat pungutannya. Retribusi parkir dipungut dengan memberi kontra prestasi langsung, yaitu peng- gunaan tempat parkir untuk memarkir kenda~ raan, sehingga paksaannya bersifat ekonomis terhadap pengguna tempat parkir. Sementara itu, pembayaran pajak parkir tidak mendapat jmbalan yang langsung dapat diberikan dan dapat dipaksakan secara yuridis. Kedua, pihak yang wajib membayar pungutan. Wajib retribusi parkir adalah peng- guna tempat parkir, sedangkan Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Ketiga, tarif retribusi parkir ditetapkan oleh pemerintah daerah sebesar nilai uang ter- tentu untuk sejumlah golongan tempat parkir, sedangkan tarif pajak parkir ditetapkan oleh pemerintah daerah sebesar prosentase tertentu dari jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir, paling tinggi 20 %. Keempat, retribusi parkir dipungut Iangsung oleh pemerintah daerah melalui juru parkir, sedangkan pajak parkir dipungut dan disetorkan kepada pemerintah daerah oleh penyelenggara tempat parkir. Kelima, objck retribusi parkir adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) hurf e Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001), sedangkan objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha Maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kenda- Taan bermotor dan garasi kendaraan yang me- Mungut bayaran. "© bie, bim 8 th bia * Ibid. E. Penghindaran Pajak Berganda Nasi- onal antara Pajak Parkir dan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Berdasarkan paparan di atas dapat disim- pulkan bahwa telah terjadi pemungutan pajak berganda nasional antara pajak parkir dan PPN atas penyediaan jasa tempat parkir. Objek PPN atas penyediaan tempat parkir dan pajak parkir adalah sama, yaitu penyerahan jasa penyedia- an tempat parkir dari pemilik tempat parkir kepada pengguna tempat parkir, walaupun jika dilihat penanggung beban pajaknyay tidak terjadi masalah, karena PPN ditanggung oleh konsumen, sedangkan pajak parkir ditanggung oleh pemilik tempat parkir. Namun, sekali lagi, pajak berganda menekankan pada objek pajak, bukan pada subjek atau wajib pajaknya. Seluruh ketentuan PPN di atas diterbitkan sebelum diberlakukannya pajak parkir dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, se- hingga lumrah bila jasa tersebut dikelompokkan sebagai objek PPN dan lumrah pula bila pen- gelompokkan objek tersebut dalam beberapa kondisi dapat menyebabkan double taxation.'” Namun, pemerintah seharusnya sudah melaku- kan antisipasi terhadap terjadinya double taxation bila pemerintah akan mengundangkan ketentuan pajak parkir sebagai objek pajak dae- rah. Pengklasifikasian jasa parkir sebagai objek PPN semestinya tidak dilakukan.'! Menanggapi terjadinya pajak berganda, otoritas pajak menerbitkan Surat Dirjen Pajak Nomor S-213/PJ.532/2003 tentang Kewajiban PPN atas Pendapatan Parkir pada tanggal 28 Februari 2003. Peraturan ini menegaskan ten- tang pengenaan PPN atas pengelolaan parkir yang diserahkan oleh pengelola parkir kepada pemilik tempat parkir. Jika pemilik gedung mengelola sendiri gedung parkirnya, maka tidak ada PPN yang terutang. '? 232 MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292 Peraturan ini ternyata tidak menyele- saikan permasalahan pajak berganda tersebut. Otoritas pajak justru berusaha untuk melakukan ckstensifikasi pajak dengan memasukkan objek PPN baru, yaitu penyerahan jasa pengelolaan tempat parkir. Hal ini tentunya sebagai antisi- pasi atas eksistensi perusahaan pengelola tem- pat parkir sebagai ujung tombak dalam upaya memasukkan pendapatan dari biaya parkir yang dibayarkan oleh pengguna tempat parkir. Penghindaran pajak berganda akhirnya dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 419/ KMK.03/2003 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Pengelolaan Tempat Parkir pada tanggal 30 September 2003, yang mulai berlaku 1 Oktober 2003. Keputusan Men- teri Keuangan ini membedakan antara pemilik tempat parkir dan pengelola tempat parkir. Pada Pasal | angka 2 dinyatakan bahwa Pemilik tempat parkir adalah orang atau badan yang memiliki tempat parkir, sedangkan Pengusaha adalah orang atau badan yang mengelola tem- pat parkir yang disediakan oleh pemilik tempat parkir (Pasal | angka 3). Selanjutnya, jasa perparkiran juga dibagi 2, yaitu jasa pengelolaan tempat parkir dan jasa penyedizan tempat parkir. Pada Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa Jasa pengelolaan tempat parkir adalah jasa yang dilakukan oleh Pen- gusaha untuk mengelola tempat parkir yang dimiliki atau disediakan oleh pemilik tempat parkir dengan menerima imbalan dari pemilik tempat parkir, termasuk imbalan dalam bentuk bagi hasil, sedangkan Jasa penyediaan tempat parkir adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan atau Pengusaha kepada pengguna tempat parkir, dengan dipungut bayaran (Pasal 1 angka 6). Hal esensial dari Keputusan Menteri Keuangan ini yang menghindari pajak ber- "5 bid., him. 10 (Ibid. "8 Tid. ganda adalah Pasal 2 yang mengatur ob PPN. Pada Pasal 2 ayat | ditegaskan Alas penyerahan jasa pengelolaan temp, angka 5 dikenakan Pajak Pertambahan Nila Selanjutnya, pada ayat selanjutnya dinyat bahwa Aras penyerahan jasa penyediaan t pat parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasa 1 angka 6 tidak dikenakan Pajak Pertambaha Nilai. Dengan demikian, jelas bahwa objek PP adalah penyerahan jasa pengelolaan tempa parkir dari pengelola tempat parkir kepad pemilik tempat parkir. Sehingga, jika temp dapat dipersamakan dengan praktck outsour ing, yaitu usaha untuk meningkatkan efisier perusahaan dengan memanfaatkan sumber daya dari luar menggantikan sumber day: dalam perusahaan untuk menyelesaikan tertentu.'? Dalam Surat Edaran Dirjen oleh tenaga kerja pemberi jasa dengan dis keterlibatan langsung tenaga kerja te dalam pelaksanaannya." Dalam praktek, jasa outsourcing umnya diidentikkan dengan jasa manaj yaitu pemberian jasa dengan ikut serta langsung dalam pelaksanaan manajen dengan balas jasa berupa management fee (lihat Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 08/PJ.222.1984)'> Dengan demikian, pember lakuan PPN atas jasa pengelolaan tempat parki adalah wajar. Jumlah PPN yang terutang atas p rahan jasa pengelolaan tempat parkir ada sebesar 10 % (sepuluh persen) yang dikalil dengan Dasar Pengenaan Pajaknya, yaitu m liputi (a) nilai penggantian yaitu nilai berups ang, termasuk biaya yang diminta atau seha- rusnya diminta oleh pengusaha jasa pengelolaan tempat parkir kepada pemilik tempat parkir; dan (b) imbalan yang diperoleh dari pemilik tempat parkir termasuk bagi hasil (Pasal 2 ayat (4)). Penggantian sebagai DPP PPN adalah masuk akal untuk diterapkan bila penge- Jola parkir masih berada dalam lingkungan manajemen pemilik gedung. Pengelola parkir merupakan representasi dari pemilik gedung untuk memberikan pelayanan parkir kepada masyarakat pengguna jasa penyediaan tempat parkir.'° Imbalan yang diperoleh pengelola parkir termasuk bagi hasil akan masuk akal bila diatur dalam sebuah perjanjian.!7 Apabila pengelola parkir melakukan jasa perparkiran atas namanya sendiri, maka tidak ada jasa pengelolaan tempat parkir yang dilakukan pengusaha tersebut, sebab pengua- saan gedung parkir ada di pihak pengelola secara penuh. Transaksi tersebut lebih condong sebagai penyerahan jasa persewaan gedung yang diserahkan oleh pemilik gedung kepada pengelola parkir. Namun demikian, atas peny- erahan jasa persewaan gedung terutang PPN * yang dipungut oleh pemilik gedung kepada pengelola gedung.'* Berbeda dengan pengusaha di bidang usaha lainnya, pengusaha yang menyerahkan jasa pengelolaan tempat parkir diwajibkan untuk mendafiarkan untuk dikukuhkan sebagai PKP tanpa melihat batasan pengusaha kecil se- bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Nomor 552/KMK.04/2000.'° Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 419/KMK.03/2003 dinyatakan bahwa Peng- usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal J angka 3 yang melakukan penyerahan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal ] angka 5 wajib melaporkan usahanya ke Kantor Pela- bia. "Ibid. * ibid., him 11 "Ibid, Nugroho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional 233 vanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan pengusaha dan atau tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa dalam hal pen- gusaha tidak melaksanakan, Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan atau tempat usaha dilakukan wajib mengukuhkan pengusaha sebagai Peng- usaha Kena Pajak secara jabatan. Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka pemilik tempat parkir terhutang atas 2 jenis pajak, yaitu pajak parkir dan PPN. Pajak parkir dikenakan atas seluruh pendapatan di bidang perparkiran, yang tidak dapat dibebankan kepada pengguna tempat parkir. Demikian halnya dengan PPN atas penye- rahan jasa pengelolaan tempat parkir. Pemilik tempat parkir melakukan konsumsi atas jasa yang dibaerikan oleh pengelola tempat parkir, sehingga berkedudukan sebagai destinataris dari PPN dan tidak dapat membebankan PPN kepada pengguna tempat parkir. F. Penutup Meskipun potensi terbesar terjadinya pa- jak berganda nasional berasal dari kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang tidak terbatas untuk memungut jenis pajak baru, namun. ternyata penyebab terjadinya pajak berganda antara pajak parkir dan PPN atas penyerahan jasa penyediaan tempat parkir berasal dari legislasi di tingkat nasional. Ketidakcermatan pemerintah dalam mengatur objek pajak parkir dan PPN di bidang perparkiran mengakibatkan suatu ketidakpastian hukum bagi pemilik tem- pat parkir. Pemerintah pusat melalui Menteri Keuang- an melihat peluang penghindaran pajak bergan- 234 MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292 da dengan hadimya usaha pengelolaan tempat parkir yang terus berkembang dan menjadi trend masa depan pengelolaan perpakiran, khususnya di kota-kota besar. Agar tetap mendapat “ba- gian” dari bisnis multimilyuner ini, pemerintah menetapkan PPN atas penyerahan jasa penge- lolaan tempat parkir terhadap pemilik tempat parkir melalui Keputusan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 419/KMK.03/2003. Namun sesungguhnya, pemberlakuan PPN ini semakin menambah beban pajak yang harus ditang- gung pemilik tempat parkir, karena dilihat dari esensinya, pemilik tempat parkir melakukan konsumsi atas jasa pengelolaan tempat parkir, sehingga tidak dapat dikreditkan dari pajak keluaran yang dipungutnya. Walaupun dapat dikreditkan, pemilik tempat parkir juga harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Pajak Masu- kan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan Iangsung dengan kegiatan usaha. Hal ini dapat dikategorikan sebagai “hukuman” bagi pemilik ‘tempat parkir, khususnya di Jakarta, karena tidak pemnah melaksanakan kewajiban memberikan kontribusi kepada dacrah. Meskipun demikian, bisnis ini tetap menjanjikan keuntungan yang besar, terlihat dari jumlah perusahaan pengelola tempat parkir yang terus bertambah. Hal lain yang memunculkan permasala- han adalah mengenai banyaknya pengaturan tentang pajak, khususnya PPh dan PPN yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuang- an dan Surat Edaran Dirjen Pajak. Faisal Basri pemnah menyatakan bahwa perpajakan tidak dapat dipahami liku-likunya hanya dengan berbekal membaca Undang-Undang. Bukan sekedar Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang men- terjemahkan undang-undang itu, tetapi juga amat banyak Surat Edaran Dirjen Pajak yang menambah luas dan membuat perpajakan jadi rimba (Kompas, 26 November 2005). Hal ini tentunya akan memunculkan gray areas dalam hukum yang tidak memberikan kepastian hukum. Proses penyusunan RUU Perpajakan yang sedang berlangsung diharapkan dapat merangkum peraturan-peraturan perpajakan tersebut, sehingga lebih mudah diakses dan dipahami olch masyarakat, khususnya para Wajib Pajak DAFTAR PUSTAKA Judisseno, Rimsky K., 1997. Pajak dan Strategi Bisnis : Suatu Tinjauan tentang Kepas- tian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. NN, “Pajak Parkir dan PPN Parkir Riwayatmu Kini”, Indonesian Tax Review, Volume IIVEdisi 02/2003. Prakosa, Kesit Bambang, 2003. Pajak dan Re- tribusi Daerah. UII Press, Yogyakarta. Sidik, Machfud. “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Orasi Imiah dalam rangka Wisuda XXI STIA LAN, Bandung, 10 April 2002. Surahmat, Rachmanto, 2001. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda : Sebuak Pengantar. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Atrhur Andersen Prasetyo Utomo, Jakarta,

You might also like