Professional Documents
Culture Documents
Publication Index (IPI); Indonesian Scientific Journal Database (ISJD); Directory of Open
Access Journals (DOAJ)
DOI: 10.14710/jpu.15.1.77-91
Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91
mdlestari@unud.ac.id
Abstract
Sex workers are victims of prostitution because prostitution endangers their physical, social, and psychological
health; therefore, a movement/action that empowers the community in protecting the physical, social, and
psychological health of sex workers is needed. This study tries to see the views of sex workers on reproductive
health and the support of health facilities in their community. The research subjects were female sex workers
who work within the scope of localization (complexes) in Bali. The research approach used was a community -
based participatory research (CBPR) using the photovoice method as a media to answer the research questions.
Participants were 11 sex workers and social workers in Gunung Lawu. The data were analyzed using a
participatory analysis and coding system. The results show stigma and discrimination were still exsist.
Reproductive health is important for sex workers, but they realize that the control of their health conditions is on
the external side namely the customers, pimps, and the availability of health facilities in their environment.
Unfortunately, health facilities are also still limited.
Abstrak
Pekerja seksual adalah korban dalam prostitusi sebab prostitusi mengancam pekerja seksual dalam area fisik,
sosial, dan psikologis sehingga diperlukan sebuah gerakan memberdayakan komunitas dalam menjaga kesehatan
fisik, sosial, dan psikologis pekerja seksual. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pandangan pekerja seksual
terhadap kesehatan reproduksi dan dukungan fasilitas kesehatan di komunitasnya. Subyek penelitian adalah
pekerja seksual wanita yang bekerja dalam lingkup sebuah lokasi di Bali, yaitu Gunung Lawu. Pendekatan yang
digunakan adalah community – based participatory research (CBPR) dengan metode photovoice yang
menggunakan foto sebagai media untuk menjawab pertanyaan penelitian. Responden adalah pekerja seksual dan
pendamping lapangan di lokasi prostitusi Gunung Lawu dengan jumlah 11 orang. Data dianalisis dengan
participatory analysis, dan sistem coding. Hasil menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi masih dirasakan
oleh pekereja seksual. Kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hal yang penting bagi pekerja seksual,
namun kontrol akan kesehatan reproduksi mereka ada di tangan pelanggan, mucikari, dan juga keterjangkauan
fasilitas kesehatan di lingkungan mereka.
77
78 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,
tersebut. Melalui sharing session awal penelitian ini diawali dengan kunjungan
terhadap 30 pekerja seksual yang ada di komunitas secara berkala selama seminggu
Gunung Lawu, ditemukan pula bahwa sekali sejak Desember 2013.
layanan kesehatan dan tata aturan yang
tepat dalam pemeliharaan kesehatan
reproduksi menjadi kebutuhan mereka,
yang hingga saat ini masih dirasakan
terbatas.
Penelitian ini, menggunakan pendekatan
community-based participatory research
(CBPR). CBPR adalah sebuah pendekatan
yang mengutamakan kolaborasi antara
peneliti dan komunitas. Dengan kata lain,
komponen terpenting dari CBPR adalah
relationship building. CBPR lalu
berkembang sebagai sebuah metodologi
yang memberikan penghargaan kepada
komunitas dalam menciptakan ilmu dan
perubahan (Shallwani & Mohammed, Gambar 1. Desain Penelitian CBPR dengan
2007). Photovoice di Lokasi Gunung Lawu
CBPR dipilih sebagai pendekatan dalam Metode pengambilan data yang digunakan
penelitian ini karena pertanyaan penelitian dalam pendekatan CBPR ini adalah
berasal dari permasalahan yang ditemui di photovoice (Wang & Burris dalam
komunitas Gunung Lawu. Pemecahan O’Grady, 2008). Photovoice adalah
masalahnya juga diharapkan berasal dari pendekatan kualitatif yang lahir dari
kekuatan dan sumber – sumber yang prinsip critical consciousness, feminisme,
berasal dari komunitas. CBPR meyakini konstrutivisme, dan foto dokumentasi
bahwa peneliti sebagai agen luar mampu (Hergenrather, dkk.,2009, Wang & Pies,
bekerjasama dengan anggota komunitas 2004). Proses dalam photovoice meminta
yang sebenar paling memahami kondisi anggota dari komunitas untuk mengambil
yang dialami komunitas tersebut gambar yang menunjukkan keseharian
(Hergenrather, dkk., 2009). Proses CBPR mereka yang terkait dengan kondisi sehat,
meliputi identifikasi pertanyaan penelitian, berpartisipasi dalam diskusi kelompok
penilaian terhadap kekuatan dan set yang terkait gambar yang mereka potret, dan
dimiliki oleh komunitas, menetapkan membangun kebijakan publik untuk
prioritas dan target, membangun rencana membangun perubahan terkait isu yang
penelitian dan metode pengumpulan data, dibahas (Wang & Burris, Wang dalam
implementasi dan rencana penelitian, Wang & Pies, 2004). Secara spesifik
interpretasi dari temuan, melakukan photovoice meminta anggota komunitas
diseminasi hasil penelitian, dan untuk mengabadikan foto yang terkait
implementasi dari temuan untuk dengan variabel penelitian, terlibat dalam
meningkatkan community well-being diskusi, mendorong partisipan untuk
(Hergenrather, dkk., 2009) Tantangan yang merefleksikan kekuatan personal dan
dihadapi kemudian dalam menjalankan komunitasnya, membangun dialog yang
pendekatan ini adalah pembentukan kritikal, berbagi pengetahuan dan
rapport dan komitmen yang berkesinam- pengalaman yang terkait dengan isu
bungan dengan komunitas. Untuk itu personal dan komunitas (Streng, Rhodes,
Ayala, Eng, Arceo & Phipps, 2004, Wang, selanjutnya, peneliti melakukan proses
Morrel-Samuels, Hutchison, Bell, & open coding, axial coding, dan selective
Pestronk, 2004 dalam Hergenrather, coding.
Rhodes, & Clark, 2006). Photovoice sangat
efektif digunakan pada riset yang bergelut HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan kaum marginal, komunitas yang
resisten, untuk membangun kepercayaan di Melalui participatory analysis dan coding
level komunitas (Haque & Eng, 2011). Lal, analysis, didapat empat tema, yakni stigma
Jarus, dan Suto (2012) dalam sebuah studi dan penilaian masyarakat yang
mereka terkait dengan review terhadap berkembang terkait dengan status pekerja
metode photovoice menemukan bahwa seksual, bagaimana peranan relawan
metode ini banyak digunakan dalam studi- pendamping di lokasi prostitusi, kesadaran
studi kesehatan masyarakat, promosi pekerja seksual akan kondisi kesehatan
kesehatan, dan kesehatan dalam tataran reproduksi mereka, dan kendala yang
mikro atau individual. ditemui saat ini dalam pemeliharaan
kesehatan reproduksi.
Pada penelitian ini media foto digunakan
Stigma dan Diskriminasi
untuk mengidentifikasikan dan meng-
Stigma yang berkembang di masyarakat
komunikasi bagaimana pandangan pekerja
terkait dengan pekerja seksual adalah
seksual di Gunung Lawu terhadap
sekelompok individu yang cenderung tidak
kesehatan reproduksi dan fasilitas
dihargai dan kotor. Hal ini tampak pada
kesehatan di komunitasnya. Identifikasi
sebuah photo yang diabadikan oleh peserta
dilakukan oleh subyek penelitian dengan
dan pada focused group discussion dipilih
memotret kejadian di sekitarnya yang
sebagai photo yang mewakili apa yang
menjawab pertanyaan penelitian. Elisitasi
mereka rasakan (gambar 2). Subjek
foto dilakukan melalui interview
melaporkan bahwa orang-orang di
mendalam dengan teknik SHOWED dan
sekeliling mereka seperti tetangga dan
focused group discussion. Interview
lingkungan rumah, masih menganggap
mendalam dengan teknik SHOWED terdiri
mereka bersalah dan kotor. Hal ini pun
dari lima pertanyaan, yakni what do you
berdampak pada perlakuan lingkungan
SEE here, what’s really HAPPENING
terhadap mereka. Seperti mencemooh,
here, how does this relate to OUR lives,
membicarakan, dan memandang sebelah
why does this situation EXIST, what can
mata. Mereka menganggap kondisi mereka
we DO about it, yang diterjemahkan ke
tertekan apalagi mengingat kebutuhan
dalam Bahasa Indonesia menjadi apa yang
ekonomi yang mendesak.
anda lihat dalam foto, apa yang
sesungguhnya terjadi, bagaimana hal
Peran Relawan Pendamping
tersebut berkaitan dengan kehidupan anda,
Pendampingan relawan menjadi hal yang
mengapa situasi tersebut terjadi, dan apa
krusial dalam pemeliharaan kesehatan
yang bisa kita lakukan untuk
seksual dan reproduksi di lokasi Gunung
mengatasinya.
Lawu. Tiga orang relawan yang ikut serta
Data diolah dengan participatory dan dalam penelitian ini tidak henti-hentinya
coding analysis. Analisis partisipatori mendorong para pekerja untuk rutin
berarti, responden penelitian memiliki memeriksakan kesehatan mereka. Relawan
kesempatan untuk memberikan makna pendamping pada Lokasi Gunung Lawu
pada foto yang mereka kumpulkan dan berasal dari komunitas prostitusi. Ketiga
memberikan narasi yang tepat yang orang relawan tersebut ada yang berstatus
menggambarkan foto. Tahapan relawan yayasan, mantan pekerja seksual,
dan juga mucikari yang memiliki kekuatan Secara rutin para relawan melakukan
dalam pembentukan kesadaran dan penyuluhan dan mendekati pekerja seksual
perilaku sehat di kalangan pekerja seksual. baru untuk memberikan informasi seputar
infeksi menular seksual dan bahaya HIV
dan AIDS (gambar 5). Lewat
pendampingan, tidak hanya pekerja
seksual yang mendapatkan manfaat
psikologisnya, namun relawan juga
Penyuluhan dilakukan secara rutin dengan untuk tidak menggunakan kondom. Tidak
memanfaatkan ruang yang ada di sedikit juga mucikari yang enggan
sekeliling mereka. Salah satunya sebuah bekerjasama dengan petugas kesehatan
ruangan yang setiap malamnya adalah café atau relawan lembaga swadaya masyarakat
untuk menjamu pelanggan yang dalam program – program kesehatan
berkunjung untuk minum dan karaoke. Di karena cemas akan intervensi pihak luar
ruang ini pekerja seksual dari berbagai terhadap usaha mereka. Pelanggan tentu
wisma dikumpulkan untuk berbagai saja berorientasi kepuasan atas
informasi terkait dengan layanan pembayaran yang mereka keluarkan tanpa
kesehatan, update terbaru isu-isu kesehatan berpikir mengenai risiko bagi kesehatan
reproduksi, dan pendataan dari relawan mereka, keluarga, dan orang lain. Pihak
pendamping terkait dengan data pribadi lain yang memiliki peran penting, namun
dan data kesehatan pekerja seksual. terkadang tidak disadari adalah teman
dekat, baik pasangan dalam bentuk suami
atau pacar. Boleh jadi pekerja seksual
Kendala Yang Dihadapi
dalam melayani pelanggan menggunakan
Perubahan kesadaran ini merupakan suatu
kondom, tapi mereka lupa ketika
kemajuan yang patut diapresiasi. Artinya
berhubungan dengan pasangan sebab
usaha yang dilakukan oleh relawan
dirasa tidak membahayakan dan karena
pendamping memperlihatkan hasilnya.
alasan psikologis, emosional, dan
Bertolak belakang dengan kondisi tersebut,
keterikatan secara fisik, seperti
ada sejumlah hal-hal kritikal yang masih
kepercayaan dan intensi untuk memiliki
menjadi hambatan sehingga usaha
keturunan (Nazemi, 2011). Kondisi di
pemeliharaan kesehatan reproduksi tidak
Gunung Lawu menunjukkan bahwa tidak
sepenuhnya dapat dijalankan.
semua mucikari memiliki pandangan yang
sama terkait dengan pentingnya
memelihara kesehatan reproduksi pekerja
seksualnya.
50% pekerja seksual di lokasi prostitusi di kebijakan terkait prostitusi di suatu negara
Guangzhou, Cina tidak menjalani tes bukanlah perkara mudah. Norwegia
screening HIV-AIDS karena beberapa membutuhkan waktu 39 tahun untuk
alasan. Salah satu alasannya adalah stigma membangun sebuah kebijakan yang
yang berkembang di masyarakat sehingga mengatur bahwa prostitusi adalah kriminal
membuat mereka ketakutan membuka dan illegal (Skilbrei, 2012). Itali juga
identitas pekerjaan kepada orang lain dan mengalami hal yang sama dengan kajian
juga kepada profesional di bidang pro-kontra yang berkepanjangan
kesehatan. Akibatnya para pekerja seksual (Crowhurst, 2012). Skilbrei (2012) dalam
tersebut memilih untuk tergantung pada kajian terkait dengan proses pembangunan
antibiotik, pengobatan herbal dan kebijakan mengenai prostitusi di Norwegia
tradisional, serta belief systems yang salah mengungkapkan bahwa kebijakan terkait
saat mereka berhadapan dengan isu-isu legalisasi atau kriminalisasi prostitusi
terkait kesehatan seksual dan reproduksi. harus diikuti dengan kebijakan yang ketat
Kramer (dalam Lehmiller, 2014) terkait kontrol terhadap pelaku tindak
menemukan sejumlah kondisi psikologis kriminalitas dan kontrol terhadap imigrasi.
yang dirasakan oleh pekerja seksual, Belanda salah satunya dengan tegas
seperti kemarahan, kesedihan, kecemasan, menyatakan legalisasi terhadap prostitusi,
dan rasa malu. namun yang diperhatikan adalah kontrol
dan regulasi yang ketat bagi setiap
Stigma dan diskriminasi terhadap pekerja
komponen yang masuk ke dalam lingkaran
seksual mejadi isu utama di banyak negara
prostitusi, apakah itu pekerja seksual,
di Eropa. Porsinya hampir sama dengan
mucikari, maupun pelanggan (Outshoorn,
New Zealand dan Australia (Shannon,
2012). Prostitusi tidak dapat dilihat dari
et.al, 2009). Legalisasi dan dekriminalisasi
kacamata yang sederhana. Prostitusi adalah
prostitusi kemudian menjadi solusinya
hal yang kompleks sehingga regulasi
sehingga akses terhadap fasilitas
terkait prostitusi bisa dibangun dengan
kesehatan, kemandirian, dan pemahaman
lebih komprehensif dan jelas (Duarte,
akan keamanan serta keselamatan kerja
2012).
menjadi meningkat seiring dengan
berkurangnya tingkat kekerasan, stigma, Melibatkan mucikari dalam program
diskriminasi, dan eksploitasi fisik di pencegahan dan intervensi menghasilkan
kalangan pekerja seksual (Lutnick & beberapa keuntungan. Mucikari tidak
Cohan, 2009). Di sisi lain, beberapa negara hanya tampil sebagai bos, namun juga
Skandinavia di Eropa, contohnya Swedia orang dan role model bagi pekerja seksual.
menerapkan hukuman bagi mereka yang Regulasi terkait pemeliharaan kesehatan
terlibat di dalam prostitusi dan menemukan seksual dan reproduksi di lokasi prostitusi
bahwa sistem ini adalah sistem yang juga sangat tergantung pada mucikari.
efektif dalam menekan angka praktek Perlu ditumbuhkan insight di antara
prostitusi, IMS, dan HIV-AIDS. Rosenthal mucikari terkait pentingnya kesehatan
(2013) memaparkan sejumlah pertim- seksual dan reproduksi. Mucikari perlu
bangan terkait dengan legalisasi ataupun dibekali dasar-dasar pengetahuan yang
ilegalisasi prostitusi. terkait dan bagaimana menjalin kerjasama
dengan pihak terkait, seperti layanan
Lebih lanjut Rosenthal (2013)
puskesmas, lembaga sosial dan dinas
mengungkapkan bahwa setiap keputusan
kesehatan. Mucikari menjadi agen yang
memiliki sisi positif dan negatif.
menjembatani program-program pemeli-
Pertimbangan paling penting yang harus
haraan kesehatan dengan pekerja seksual.
dicermati adalah membangun sebuah
Penelitian ini melibatkan beberapa relawan
kondom. Tujuan dari program tersebut kepedulian dari mereka sendiri, orang-
adalah bagaimana pekerja seksual orang terdekat mereka, mucikari,
memiliki kekuatan untuk menolak pelanggan, teman, dan para praktisi
hubungan seksual berisiko tanpa pengaman kesehatan. Kendala yang dihadapi dalam
dan bernegosiasi dengan pelanggan- pemeliharaan kesehatan seksual dan
pelanggan sulit. Pekerja seksual diberikan reproduksi pada pekerja seksual menjadi
psikoedukasi agar mampu mempersuasi dasar bagi penelitian dan program
dan meyakinkan pelanggan tentang penyuluhan selanjutnya. Penyuluhan
keuntungan dari penggunaan kondom. mengenai pentingnya penggunaan kondom
Pelanggan adalah pusat dari epidemik pada pelanggan dan bagaimana
HIV-AIDS. Pelanggan adalah jembatan mengembangkan sifat asertif pekerja
antara pekerja seksual dengan significant terhadap pelanggan.
others dari pelanggan, yang sebagian besar
Photovoice sebagai metode pengambilan
merupakan kelompok yang berisiko
data dalam penelitian ini mampu
rendah, seperti istri, pasangan, dan anak
mengungkap pikiran, perasaan, dan
(Volkmann, dkk., 2014) Klusman dan
pengalaman pekerja seksual terkait dengan
Schmitt (dalam Rathus, Nevid, & Rathus,
isu kesehatan seksual dan reproduksi di
2009) mengungkapkan bahwa laki-laki
lingkungan mereka. Bagi pekerja seksual
pelanggan prostitusi rata-rata berstatus
yang latar belakang pendidikannya rendah
menikah, memiliki anak, dan dari kelas
dan mengalami keterbatasan Bahasa serta
ekonomi menengah.
komunikasi, photovoice dinilai mampu
KESIMPULAN membantu mereka dalam mengutarakan
pikiran dan perasaan mereka. Responden
Prostitusi menjadi fenomena yang tidak
dalam penelitian ini melaporkan bahwa
pernah surut. Kebutuhan, permintaan,
mereka menyukai kegiatan photovoice dan
ketersediaan, budaya, dan tentu saja uang
diskusi kelompok. Bagi pengembangan
menjadi faktor pengikat yang sangat kuat
ilmu, perlu dibangun sebuah manual
sehingga prostitusi menjadi terkesan
prosedur bagi kegiatan photovoice yang
mustahil untuk diberantas.
bisa diaplikasikan pada beragam subyek
Imagining a world without prostitution is penelitian.
like imagining a world without slavery in
the United State in the 1820s (Barry, dalam UCAPAN TERIMA KASIH
Jeffreys, 2008)
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
Pekerja seksual adalah korban dalam
pekerja seksual Lokasi Prostitusi Gunung
prostitusi sebab prostitusi mengancam
Lawu dan rekan-rekan dari Yayasan
pekerja seksual dalam area fisik, sosial,
Kesehatan Bali.
dan psikologis sehingga diperlukan sebuah
gerakan memberdayakan komunitas dalam
DAFTAR PUSTAKA
menjaga kesehatan fisik, sosial, dan
psikologis pekerja seksual. Perdebatan
Alexander, P. (2008). Sex work and health:
mengenai prostitusi ini tidak akan ada
A question of safety in the
habisnya. Yang memungkinkan untuk
workplace. JAMWA, 53 (2), 77-82.
dilakukan saat ini adalah bagaimana
melindungi hak – hak para pekerja seksual
Barrows, J. (2008). An ethical analysis of
wanita, salah satunya adalah hak mereka
the harm reduction approach to
untuk kesehatan dan pengambil keputusan
prostitution. Ethic and Medicine,
bagi kondisi sehat mereka. Setidaknya
24(3), 151-158.
Bancroft, J. (2009). Human sexuality and Hergenrather, K.C., Rhodes, S.D., Clark,
its problems. 3rd ed. UK: Churchill G. (2006). Windows to work:
Livingstone Elsevier. Exploring employment-seeking
behaviors of persons with
Brannon, L. (2011). Gender: psychological HIV/AIDS through photovoice.
perspectives. 6th ed. Boston: AIDS Education and Prevention,
Pearson Education, Inc. 18(3), 243 – 258.
Bharat, S., Mahapatra, B., Roy, S., & Hergenrather, K.C., Rhodes, S.D., Cowan,
Saggurti, N. (2013). Are female sex C.A., & Bardoshi, G. (2009).
workers able to negotiate condom Photovoice as community-based
use with male clients? The case of participatory research: A qualitative
mobile FSWs in four high HIV review. Journal of Health
prevalence states of India. Plos Behavior, 33(6), 686 – 698.
One, 8(6), 1-7. Doi:
10.1371/journal.pone.0068043. Jeffreys, S. (2008). The idea of
prostitution. North Melbourne:
Crowhurst, I. (2012). Approaches to the Spinifex Pres Pty Ltd.
regulation and governance of
prostitution in comtemporary Italy Jie, W., Xiaolan, Z., Ciyong, L., Moyer,
[Special issue]. Sexual, E., Hui, W., Lingyao, H., &
Reproductive, Social Policy, 9, Xueqing, D. (2012). A Qualitative
223-232. exploration of barriers to condom
use among female sex workers in
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan China. Plos One, 7(10), 1-7. Doi:
Republik Indonesia. (2013). 10.1371/journal.pone.0046786.
Statistik kasus HIV/AIDS di
Indonesia. Dilaporkan s/d Lal, S., Jarus, T., & Suto, M.J. (2012). A
September 2013. Jakarta. scoping review of the photovoice
method: implication for
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan occupational therapy research.
Republik Indonesia. (2014). Canadian Journal of Occupational
Statistik kasus HIV/AIDS di Therapy, 79(3), 181 – 190.
Indonesia. Dilaporkan s/d
September 2014. Jakarta. Lawan, N.U., Abubakar, S., & Ahmed, A.
(2012). Risk perceptions,
Duarte, M. (2012). Prostitution and prevention and treatment seeking
Trafficking in Portugal: for sexually transmitted infections
Legislation, Policy, and Claims and HIV/AIDS among female sex
[Special issue]. Sexual, workers in Kano, Nigeria. African
Reproductive, Social Policy, 9, Journal of Reproductive Health,
258-268. 16(1), 61-67.
Haque, N., & Eng, B. (2011). Tackling Lehmiller, J.J. (2014). The psychology of
inequity through a photovoice human sexuality. Singapore: John
project on the social determinants Wiley & Son.
of health. Global Health
Promotion, 18(1), 16-19.
Lutnick, A., & Cohan, D. (2009). Rosenthal, M.S. (2013). From cells to
Criminalization, legalization or society: Human sexuality. Canada:
decriminalization of sex work: Wadsworth Cengage Learning.
What female sex workers say in
San Francisco, USA. Reproductive Sarkar, K., Bal, B., Mukherjee, R.,
Health Matters, 17(34), 38-46. Chakraborty, S., Saha, S., Ghosh,
A., & Parsons, S. (2008). Sex-
Macia, E., Lahman, A., Baali, A., Boetsch, trafficking, violence, negotiating
G., & Chapuis-Lucciani. (2009). skill, and HIV infection in brothel-
Perception of age stereotypes and based sex workers of Eastern India,
self-perception of aging: A Adjoining Nepal, Bhutan, and
Comparison of French and Bangladesh. Journal Health
Moroccan Populations. Journal of Population Nutrition, 26(2), 223-
Cross Cultural Gerontology, 24, 231.
391-410.
Shallwani, S., & Mohammed, S. (2007).
Matlin, M.W. (2008). The psychology of Community-based participatory
women. 6th ed. USA: Thomson research. A training manual for
Wadsworth. community-based researchers. New
York: McGraw Hills.
Nazemi, N. (2011). Legalizing prostitution
means legitimizing human rights Shannon, K., Strathdee, S.A., Shoveller, J.,
violation. International Journal of Rusch, M., Kerr, T., & Tyndall,
Humanities and Social Science, M.W. (2009). Structural and
1(9), 114-120. environmental barriers to condom
use negotiation with clients among
O’Grady, L. (2008). The world of female sex workers: Implications
adolescence: Using photovoice to for HIV-Prevention strategies and
explore psychological sense of policy. American Journal of Public
community and well being in Health, 4(99), 659-665.
adolescents with and without an
intelectual disability. PhD Thesis. Skilbrei, M. (2012). The development of
Melbourne: Victoria University. Norwegian prostitution policies: A
marriage of convenience between
Outshoorn, J. (2012). Policy change in pragmatism and principles [Special
prostitution in the Netherlands: issue]. Sexuality, Reproductive,
from legalization to strict control Social Policy, 9, 244-257.
[Special issue]. Sexual,
Reproductive, Social Policy, 9, Volkmann, T., Wagner, K.D., Strathdee,
233-243. S.A., Semple, S.J., Ompad, D.C.,
Chavarin, C.V., & Patterson, T.L.
Rathus, S.A., Nevid, J.S., & Rathus, L.F. (2013). Correlates of self-efficacy
(2009). Human sexuality in a world for condom use among male clients
of diversity. 7th ed. USA: Pearson of female sex workers in Tijuana,
Education, Inc. Mexico. Journal of Sexual
Behavior, 43, 719-727.
Wagenaar, H., & Altink, S. (2012). Wang, C.C., & Pies C.A. (2004). Family,
Prostitution as morality politics or maternal, and child health through
why it is exceedingly difficult to photovoice. Maternal and Child
design and sustain effective Health Journal, 8(2), 95 – 102.
prostitution policy [Special issue].
Sexuality, Reproductive, Social
Policy, 9, 279-292.