You are on page 1of 16

Jurnal Psikologi Undip (JPU) telah terindeks di: Google Scholar; Portal Garuda/Indonesian

Publication Index (IPI); Indonesian Scientific Journal Database (ISJD); Directory of Open
Access Journals (DOAJ)

Profil Sitasi di Google Scholar per 31 Maret 2016:

 Jumlah sitasi : 203


 h-index : 7

DOI: 10.14710/jpu.15.1.77-91
Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91

KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI SERTA FASILITAS KESEHATAN


DI LOKASI PROSTITUSI: COMMUNITY BASED PARTICIPATORY RESEARCH
DENGAN PHOTOVOICE PADA PEKERJA SEKSUAL
DI GUNUNG LAWU, BALI

Made Diah Lestari, Ni Made Dian Sulistiowati, Ni Putu Natalya

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana


Jl. Panglima Besar Sudirman Denpasar

mdlestari@unud.ac.id

Abstract

Sex workers are victims of prostitution because prostitution endangers their physical, social, and psychological
health; therefore, a movement/action that empowers the community in protecting the physical, social, and
psychological health of sex workers is needed. This study tries to see the views of sex workers on reproductive
health and the support of health facilities in their community. The research subjects were female sex workers
who work within the scope of localization (complexes) in Bali. The research approach used was a community -
based participatory research (CBPR) using the photovoice method as a media to answer the research questions.
Participants were 11 sex workers and social workers in Gunung Lawu. The data were analyzed using a
participatory analysis and coding system. The results show stigma and discrimination were still exsist.
Reproductive health is important for sex workers, but they realize that the control of their health conditions is on
the external side namely the customers, pimps, and the availability of health facilities in their environment.
Unfortunately, health facilities are also still limited.

Keyword : prostitution; photovoice; sexual and reproductive health

Abstrak
Pekerja seksual adalah korban dalam prostitusi sebab prostitusi mengancam pekerja seksual dalam area fisik,
sosial, dan psikologis sehingga diperlukan sebuah gerakan memberdayakan komunitas dalam menjaga kesehatan
fisik, sosial, dan psikologis pekerja seksual. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pandangan pekerja seksual
terhadap kesehatan reproduksi dan dukungan fasilitas kesehatan di komunitasnya. Subyek penelitian adalah
pekerja seksual wanita yang bekerja dalam lingkup sebuah lokasi di Bali, yaitu Gunung Lawu. Pendekatan yang
digunakan adalah community – based participatory research (CBPR) dengan metode photovoice yang
menggunakan foto sebagai media untuk menjawab pertanyaan penelitian. Responden adalah pekerja seksual dan
pendamping lapangan di lokasi prostitusi Gunung Lawu dengan jumlah 11 orang. Data dianalisis dengan
participatory analysis, dan sistem coding. Hasil menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi masih dirasakan
oleh pekereja seksual. Kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hal yang penting bagi pekerja seksual,
namun kontrol akan kesehatan reproduksi mereka ada di tangan pelanggan, mucikari, dan juga keterjangkauan
fasilitas kesehatan di lingkungan mereka.

Kata kunci : prostitusi; photovoice; kesehatan seksual reproduksi

PENDAHULUAN memiliki potensi yang besar untuk menjadi


kajian sebuah bidang ilmu dikarenakan
Studi mengenai prostitusi telah dilakukan efek yang timbul dari prostitusi, apakah itu
bertahun – tahun di berbagai negara. efek bagi komunitas di sekitar lokalisasi,
Pendekatan yang digunakan pun beragam. tingkat kriminalitas, peredaran penyakit
Mulai dari pendekatan budaya, sejarah, menular seksual, maupun eksploitasi serta
kedokteran, kesehatan, komunitas, sosial, diskriminasi terhadap pekerja seksual.
psikologi, hingga ilmu hukum. Prostitusi

77
78 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

Secara umum, prostitusi didefinisikan tersebut, infeksi menular seksual (IMS)


sebagai keterlibatan dalam perilaku atau serta HIV-AIDS adalah kategori yang
aktivitas seksual, dalam hal ini intercourse paling banyak mendapatkan sorotan karena
dengan tujuan untuk mempertukarkan dinilai berkorelasi paling tinggi terhadap
aktivitas tersebut dengan sesuatu, biasanya kesehatan pekerja seksual, dalam hal ini
dalam bentuk sejumlah uang (Nazemi, kesehatan reproduksi dan seksual
2011, Monto dalam Rosenthal, 2013). (Alexander,2008) Selain itu pekerja
Lehmiller (2014) memberikan definisi seksual dianggap sebagai salah satu
yang lebih luas lagi terkait dengan perantara penularan penyakit tersebut.
prostitusi dimana tidak hanya menyangkut
intercourse, namun bentuk aktivitas Program pencegahan dan penanggulangan
seksual lainnya juga termasuk di terhadap IMS serta HIV-AIDS telah
dalamnya. Pertukarannya pun tidak hanya dilakukan bertahun – tahun di berbagai
mencakup uang, tapi bisa berupa perhiasan belahan dunia. Kajian terkait IMS dan
ataupun napza. Di Indonesia terdapat HIV-AIDS meningkat sejak kasus HIV-
produk perundangan yang mengatur AIDS pertama di dunia, yakni pada tahun
mengenai prostitusi, namun kita temui di 1959 (Rosenthal, 2013). Program
beberapa wilayah di Indonesia, prostitusi pencegahan yang dilakukan salah satunya
menjadi sebuah komoditas besar. Prostitusi penyuluhan untuk setia pada satu
telah mereduksi individu dari wujud pasangan, menunda pengalaman seksual
manusia menjadi komoditas yang pertama kali, penggunaan kondom saat
diperjualbelikan (Nazemi, 2011). berhubungan seksual, abstinence,
Pandangan ini menghadirkan pertentangan pernikahan monogami (Bancroft, 2009),
antara dorongan untuk mendapatkan uang dan program-program yang termasuk di
guna pemenuhan kebutuhan pekerja dalam harm reduction (Barrows, 2008).
seksual itu sendiri hingga suatu tindakan Di Indonesia, program ini sudah berjalan
ekploitasi yang mengorbankan mereka. selama 20 tahun sejak kasus HIV dan
Pada akhirnya pekerja seksual bukan lagi AIDS pertama kali ditemukan di tahun
pelaku dalam prostitusi, namun pekerja 1987 (Ditjen PP dan PL Kementrian
seksual justru adalah korban prostitusi. Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
Sebagai korban, prostitusi mengancam Program ini diinisiasi oleh pemerintah dan
pekerja seksual dalam area fisik, sosial, sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
dan psikologis sehingga diperlukan sebuah Program pencegahan dan penanggulangan
gerakan memberdayakan komunitas dalam yang dijalankan berfokus pada
menjaga kesehatan fisik, sosial, dan pencegahan, pengobatan, perawatan, dan
psikologis pekerja seksual. dukungan yang ditujukan pada kelompok –
kelompok berisiko, salah satunya pekerja
Penelitian ini ingin menggali mengenai seksual. Tujuannya adalah untuk
dampak fisik dan kesehatan yang dialami meningkatkan kesadaran para pekerja
oleh pekerja seksual. Studi literatur yang seksual terhadap pentingnya memelihara
dilakukan oleh Priscilla Alexander di tahun kesehatan reproduksi dan seksual bagi
1998 menunjukkan sejumlah penyakit pencegahan IMS serta HIV-AIDS.
yang dikeluhkan oleh pekerja seksual. Hal
yang sama diungkap oleh Kramer (dalam Jika ditelaah lebih lanjut, program –
Lehmiller, 2014) dimana pekerja seksual program yang selama ini diinisiasi oleh
mengalami sejumlah penyakit yang terkait pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan
dengan kondisi fisik maupun psikologis. beserta lembaga swadaya masyarakat bisa
Dari sekian penyakit yang dikeluhkan dikatakan bersifat menyeluruh, karena

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 79

telah menjangkau program pencegahan, psikologis. Walau demikian masih ditemui


perawatan, pengobatan, hingga beberapa kendala, yang ditunjukkan oleh
pendampingan. Akan tetapi kelemahannya stabilnya angka prevalensi IMS di
adalah pada jangkauan komunitas yang kalangan pekerja seksual di Gunung Lawu.
berisiko, salah satunya adalah komunitas Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini
pekerja seksual. Pekerja seksual yang ingin melihat hal-hal yang masih menjadi
sejauh ini terjangkau adalah yang kendala dalam pemeliharaan kesehatan
berpraktek prostitusi di lokalisasi, reproduksi pekerja seksual di Gunung
sedangkan mereka yang berpraktek di Lawu. bagaimana pekerja seksual di
lokasi – lokasi tertentu di luar lokalisasi sebuah lokasi prostitusi menilai kesehatan
seperti hotel, bar, café, lokasi prostitusi reproduksi dan seksual mereka? Siapa
(tapi bukan lokalisasi), dan pekerja seksual yang menentukan kesehatan reproduksi
panggilan, cenderung susah untuk didata dan seksual mereka? Bagaimana layanan
dikarena tempatnya yang menyebar dan kesehatan reproduksi dan seksual di
sulitnya menjalin kerjasama dengan lingkungan mereka? Hasil dari penelitian
mucikari. Wagenaar dan Altink (2012) ini diharapkan mampu menjadi media
dalam konteks prostitusi, data yang valid advokasi bagi program pemeliharaan
dan reliabel sangat sulit untuk didapat kesehatan reproduksi di lokasi prostitusi.
karena mobilitas pekerja seksual yang
sangat tinggi dan juga karena alasan METODE
moralitas sehingga kajian mengenai
prostitusi mendapatkan porsi yang kecil Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan
untuk disentuh oleh para pemangku dengan melibatkan 11 pekerja seksual dan
kebijakan baik di kalangan praktisi pendamping yang mewakili 15 wisma
maupun akademisi. yang ada di lokasi prostitusi Gunung
Lawu. Subjek adalah pekerja seksual,
Inisiatif untuk menjangkau lokasi ini lahir berjenis kelamin perempuan, menjalankan
dari beberapa lembaga swadaya pekerjaannya di lokasi prostitusi Gunung
masyarakat. Relawan yang terlibat di Lawu, aktif bekerja, lama bekerja minimal
dalamnya melakukan pendataan lokasi, 1 tahun dan mampu baca tulis.
jumlah pekerja seksual, pemberian Keseluruhan subjek telah mengisi informed
program pencegahan, kesadaran untuk consent sebagai bukti kesediaan menjadi
melakukan pemeriksaan, dan pen- partisipan dalam penelitian.
dampingan. Salah satunya adalah program
yang dijalankan oleh Yayasan Kesehatan Lokasi Prostitusi Gunung Lawu di daerah
Bali (Yakeba) di lokasi prostitusi Gunung Kuta Selatan, Badung, Bali berdiri sejak
Lawu di daerah Kuta Selatan, Badung, tahun 1987. Saat ini terdapat 217 pekerja
Bali. seksual yang tersebar di 15 wisma. Praktek
prostitusi di daerah ini tergolong lokasi,
Layanan yang dilakukan mulai awal tahun artinya secara hukum tidak diakui dan
2013 ini bertujuan untuk meningkatkan terdaftar oleh pemerintah. Tentu saja
kesadaran pekerja seksual dalam kondisi ini berdampak pada perlindungan
melakukan pemeriksaan IMS secara hukum dan layanan publik termasuk
berkala sebulan sekali dan screening HIV- layanan kesehatan. Merujuk pada data dari
AIDS atau voluntary counseling and Yakeba pada tahun 2013, melalui Zero
testing (VCT) untuk menekan peredaran Survey, dari 150 sampel darah, ditemukan
penyakit, mempercepat perawatan dan 20 kasus HIV. Artinya layanan kesehatan
pengobatan, serta pendampingan menjadi hal yang penting bagi lokasi

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91


80 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

tersebut. Melalui sharing session awal penelitian ini diawali dengan kunjungan
terhadap 30 pekerja seksual yang ada di komunitas secara berkala selama seminggu
Gunung Lawu, ditemukan pula bahwa sekali sejak Desember 2013.
layanan kesehatan dan tata aturan yang
tepat dalam pemeliharaan kesehatan
reproduksi menjadi kebutuhan mereka,
yang hingga saat ini masih dirasakan
terbatas.
Penelitian ini, menggunakan pendekatan
community-based participatory research
(CBPR). CBPR adalah sebuah pendekatan
yang mengutamakan kolaborasi antara
peneliti dan komunitas. Dengan kata lain,
komponen terpenting dari CBPR adalah
relationship building. CBPR lalu
berkembang sebagai sebuah metodologi
yang memberikan penghargaan kepada
komunitas dalam menciptakan ilmu dan
perubahan (Shallwani & Mohammed, Gambar 1. Desain Penelitian CBPR dengan
2007). Photovoice di Lokasi Gunung Lawu

CBPR dipilih sebagai pendekatan dalam Metode pengambilan data yang digunakan
penelitian ini karena pertanyaan penelitian dalam pendekatan CBPR ini adalah
berasal dari permasalahan yang ditemui di photovoice (Wang & Burris dalam
komunitas Gunung Lawu. Pemecahan O’Grady, 2008). Photovoice adalah
masalahnya juga diharapkan berasal dari pendekatan kualitatif yang lahir dari
kekuatan dan sumber – sumber yang prinsip critical consciousness, feminisme,
berasal dari komunitas. CBPR meyakini konstrutivisme, dan foto dokumentasi
bahwa peneliti sebagai agen luar mampu (Hergenrather, dkk.,2009, Wang & Pies,
bekerjasama dengan anggota komunitas 2004). Proses dalam photovoice meminta
yang sebenar paling memahami kondisi anggota dari komunitas untuk mengambil
yang dialami komunitas tersebut gambar yang menunjukkan keseharian
(Hergenrather, dkk., 2009). Proses CBPR mereka yang terkait dengan kondisi sehat,
meliputi identifikasi pertanyaan penelitian, berpartisipasi dalam diskusi kelompok
penilaian terhadap kekuatan dan set yang terkait gambar yang mereka potret, dan
dimiliki oleh komunitas, menetapkan membangun kebijakan publik untuk
prioritas dan target, membangun rencana membangun perubahan terkait isu yang
penelitian dan metode pengumpulan data, dibahas (Wang & Burris, Wang dalam
implementasi dan rencana penelitian, Wang & Pies, 2004). Secara spesifik
interpretasi dari temuan, melakukan photovoice meminta anggota komunitas
diseminasi hasil penelitian, dan untuk mengabadikan foto yang terkait
implementasi dari temuan untuk dengan variabel penelitian, terlibat dalam
meningkatkan community well-being diskusi, mendorong partisipan untuk
(Hergenrather, dkk., 2009) Tantangan yang merefleksikan kekuatan personal dan
dihadapi kemudian dalam menjalankan komunitasnya, membangun dialog yang
pendekatan ini adalah pembentukan kritikal, berbagi pengetahuan dan
rapport dan komitmen yang berkesinam- pengalaman yang terkait dengan isu
bungan dengan komunitas. Untuk itu personal dan komunitas (Streng, Rhodes,

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 81

Ayala, Eng, Arceo & Phipps, 2004, Wang, selanjutnya, peneliti melakukan proses
Morrel-Samuels, Hutchison, Bell, & open coding, axial coding, dan selective
Pestronk, 2004 dalam Hergenrather, coding.
Rhodes, & Clark, 2006). Photovoice sangat
efektif digunakan pada riset yang bergelut HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan kaum marginal, komunitas yang
resisten, untuk membangun kepercayaan di Melalui participatory analysis dan coding
level komunitas (Haque & Eng, 2011). Lal, analysis, didapat empat tema, yakni stigma
Jarus, dan Suto (2012) dalam sebuah studi dan penilaian masyarakat yang
mereka terkait dengan review terhadap berkembang terkait dengan status pekerja
metode photovoice menemukan bahwa seksual, bagaimana peranan relawan
metode ini banyak digunakan dalam studi- pendamping di lokasi prostitusi, kesadaran
studi kesehatan masyarakat, promosi pekerja seksual akan kondisi kesehatan
kesehatan, dan kesehatan dalam tataran reproduksi mereka, dan kendala yang
mikro atau individual. ditemui saat ini dalam pemeliharaan
kesehatan reproduksi.
Pada penelitian ini media foto digunakan
Stigma dan Diskriminasi
untuk mengidentifikasikan dan meng-
Stigma yang berkembang di masyarakat
komunikasi bagaimana pandangan pekerja
terkait dengan pekerja seksual adalah
seksual di Gunung Lawu terhadap
sekelompok individu yang cenderung tidak
kesehatan reproduksi dan fasilitas
dihargai dan kotor. Hal ini tampak pada
kesehatan di komunitasnya. Identifikasi
sebuah photo yang diabadikan oleh peserta
dilakukan oleh subyek penelitian dengan
dan pada focused group discussion dipilih
memotret kejadian di sekitarnya yang
sebagai photo yang mewakili apa yang
menjawab pertanyaan penelitian. Elisitasi
mereka rasakan (gambar 2). Subjek
foto dilakukan melalui interview
melaporkan bahwa orang-orang di
mendalam dengan teknik SHOWED dan
sekeliling mereka seperti tetangga dan
focused group discussion. Interview
lingkungan rumah, masih menganggap
mendalam dengan teknik SHOWED terdiri
mereka bersalah dan kotor. Hal ini pun
dari lima pertanyaan, yakni what do you
berdampak pada perlakuan lingkungan
SEE here, what’s really HAPPENING
terhadap mereka. Seperti mencemooh,
here, how does this relate to OUR lives,
membicarakan, dan memandang sebelah
why does this situation EXIST, what can
mata. Mereka menganggap kondisi mereka
we DO about it, yang diterjemahkan ke
tertekan apalagi mengingat kebutuhan
dalam Bahasa Indonesia menjadi apa yang
ekonomi yang mendesak.
anda lihat dalam foto, apa yang
sesungguhnya terjadi, bagaimana hal
Peran Relawan Pendamping
tersebut berkaitan dengan kehidupan anda,
Pendampingan relawan menjadi hal yang
mengapa situasi tersebut terjadi, dan apa
krusial dalam pemeliharaan kesehatan
yang bisa kita lakukan untuk
seksual dan reproduksi di lokasi Gunung
mengatasinya.
Lawu. Tiga orang relawan yang ikut serta
Data diolah dengan participatory dan dalam penelitian ini tidak henti-hentinya
coding analysis. Analisis partisipatori mendorong para pekerja untuk rutin
berarti, responden penelitian memiliki memeriksakan kesehatan mereka. Relawan
kesempatan untuk memberikan makna pendamping pada Lokasi Gunung Lawu
pada foto yang mereka kumpulkan dan berasal dari komunitas prostitusi. Ketiga
memberikan narasi yang tepat yang orang relawan tersebut ada yang berstatus
menggambarkan foto. Tahapan relawan yayasan, mantan pekerja seksual,

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91


82 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

dan juga mucikari yang memiliki kekuatan Secara rutin para relawan melakukan
dalam pembentukan kesadaran dan penyuluhan dan mendekati pekerja seksual
perilaku sehat di kalangan pekerja seksual. baru untuk memberikan informasi seputar
infeksi menular seksual dan bahaya HIV
dan AIDS (gambar 5). Lewat
pendampingan, tidak hanya pekerja
seksual yang mendapatkan manfaat
psikologisnya, namun relawan juga

Biar kami dibilang kayak gerobak sampah ini,


apa pun yang terjadi di tempat kami kerja, ada
yang bilang kami sampah masyarakat, kondisi
kesehatan kami memprihatinkan, biar pun
kami dibuang jauh-jauh, biarkan saja (FR, 36
tahun)
Saya ibaratnya lampu yang ingin selalu
Gambar 2.
menerangi teman-teman yang ada di Gunung
Stigma dan Penilaian Masyarakat
Lawu. Ada teman-teman baru yang belum
paham tentang kesehatan, IMS itu apa
misalnya. Saya ingin menerangi seperti lampu
sehingga teman-teman tidak menjadi gelap
(SL, 30 tahun)

Gambar 4. Lampu Yang Senantiasa Menerangi

Pohon rindang ini ibaratnya posisi saya di


Gunung Lawu ini. Pohon rindang ini seperti
saya melindungi pekerja, memberikan
informasi dan pelajaran-pelajaran tentang
kesehatan. Saya juga melindungi mereka yang
HIV-AIDS jangan sampai terkena stigma dan
diskriminasi (ST, 46 tahun)
Hidup saya ini seperti kapal yang membawa
Gambar 3. misi. Banyak tantangan di tengah jalan hingga
Peran Pendamping Layaknya sampai ke tujuan. Banyak hal yang sudah saya
Pohon Yang Melindungi alami dalam perjalanan hidup saya. Demikian
juga dengan pengalaman sebagai pendamping
Bagi relawan yang berasal dari mucikari, di lokasi ini, banyak yang bertanya kenapa
dapat diibaratkan sebagai pohon yang saya berinteraksi dengan mereka dan
berusaha melindungi para pekerja seksual mencemoohkan, tapi saya tetap membantu
dengan bertukar informasi dan mencegah karena saya juga mendapatkan kekuatan dari
diskriminasi dari lingkungannya (gambar pendampingan ini dengan bertemu dengan
3). Relawan yang lain, merasa bagaikan mereka yang senasib. Kapal yang
sebuah lampu yang siap dan senantiasa mengantarkan dan menyambung informasi
menerangi rekan-rekannya khususnya bagi teman-teman (UM, 41 tahun)
dalam hal kesehatan reproduksi (gambar
4). Gambar 5. Kapal Layar Yang Membawa Misi
Kehidupan

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 83

mengaku mendapatkan penguatan dan Salah satu relawan melaporkan bahwa


dampak teraupetik dari proses ketika pertama kali datang di tahun 2008
pendampingan. ke lokasi ini masih harus bersusah payah
membujuk para pekerja seksual untuk
memeriksakan kesehatan mereka dari satu
Kesadaran Akan Kesehatan Seksual dan
wisma ke wisma yang lain.
Reproduksi
“Pertama kali saya datang tahun 2008,
Usaha yang dilakukan oleh relawan situasi disini pekerjanya masih malu-malu.
pendamping tersebut secara perlahan Saya harus keliling untuk ajak mereka
membuahkan kesadaran di kalangan memeriksakan diri. Sekarang saya tidak usah
pekerja seksual di Gunung Lawu. seperti itu lagi. Saya hanya menyambung
informasi layanan ada atau tidak, mereka
datang sendiri”

Sosialisasi pemakaian kondom pun


dilakukan di beberapa wisma. Bahkan ada
sebuah wisma yang mewajibkan
pemakaian kondom.

Pohon ini adalah pohon kering yang


seandainya tidak dirawat akan mati. Sama
seperti kami, jika tidak merawat diri, bisa
terkena penyakit (SI, 44 tahun)

Gambar 6. Kesadaran Akan Pentingnya


Kesehatan Reproduksi
Di beberapa wisma sudah ada sosialisasi
Gambar 6 menunjukkan pentingnya terkait dengan pemakaian kondom.Wisma ini
kesehatan seksual dan reproduksi bagi hanya diperuntukan bagi yang bersedia
pekerja seksual di lokasi Gunung Lawu. menggunakan kondom (MR, 37 tahun)
Saat ini alat kontrasepsi seperti kondom
sudah didapat dengan mudah lewat Gambar 8. Wisma Wajib Kondom
relawan pendamping.

Café ini tempat kami melakukan penyuluhan


bagi pekerja seksual di lokasi. Walau pun
Tidak perlu risau jikan kondom habis. Saat ini, terbatas, gelap, tapi selama ini tempat ini
kondom sudah rutin dibagikan oleh petugas membantu kami untuk menyebarkan informasi
lapangan. Kita pun mendapatkannya dengan dan layanan pendampingan. Banyak yang
mudah (BG, 38 tahun) sudah mau datang (RI, 31 tahun)
Gambar 7. Tersedia dengan Mudah
Gambar 9. Café Tempat Berkumpul

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91


84 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

Penyuluhan dilakukan secara rutin dengan untuk tidak menggunakan kondom. Tidak
memanfaatkan ruang yang ada di sedikit juga mucikari yang enggan
sekeliling mereka. Salah satunya sebuah bekerjasama dengan petugas kesehatan
ruangan yang setiap malamnya adalah café atau relawan lembaga swadaya masyarakat
untuk menjamu pelanggan yang dalam program – program kesehatan
berkunjung untuk minum dan karaoke. Di karena cemas akan intervensi pihak luar
ruang ini pekerja seksual dari berbagai terhadap usaha mereka. Pelanggan tentu
wisma dikumpulkan untuk berbagai saja berorientasi kepuasan atas
informasi terkait dengan layanan pembayaran yang mereka keluarkan tanpa
kesehatan, update terbaru isu-isu kesehatan berpikir mengenai risiko bagi kesehatan
reproduksi, dan pendataan dari relawan mereka, keluarga, dan orang lain. Pihak
pendamping terkait dengan data pribadi lain yang memiliki peran penting, namun
dan data kesehatan pekerja seksual. terkadang tidak disadari adalah teman
dekat, baik pasangan dalam bentuk suami
atau pacar. Boleh jadi pekerja seksual
Kendala Yang Dihadapi
dalam melayani pelanggan menggunakan
Perubahan kesadaran ini merupakan suatu
kondom, tapi mereka lupa ketika
kemajuan yang patut diapresiasi. Artinya
berhubungan dengan pasangan sebab
usaha yang dilakukan oleh relawan
dirasa tidak membahayakan dan karena
pendamping memperlihatkan hasilnya.
alasan psikologis, emosional, dan
Bertolak belakang dengan kondisi tersebut,
keterikatan secara fisik, seperti
ada sejumlah hal-hal kritikal yang masih
kepercayaan dan intensi untuk memiliki
menjadi hambatan sehingga usaha
keturunan (Nazemi, 2011). Kondisi di
pemeliharaan kesehatan reproduksi tidak
Gunung Lawu menunjukkan bahwa tidak
sepenuhnya dapat dijalankan.
semua mucikari memiliki pandangan yang
sama terkait dengan pentingnya
memelihara kesehatan reproduksi pekerja
seksualnya.

Kendala yang masih timbul adalah terkait


pemakaian kondom yang tidak bisa 100%
ditekan karena kembali lagi tadi ke faktor
ekonomi. Jika ditolak, akan kehilangan Batu karang ini, meskipun dihempas
customer (MR, 37 tahun) gelombang dari kiri dan kanan tetap kokoh
berdiri di sini. Beberapa bos tidak sepaham
Gambar 10. Pakai Kondom Pelanggan Hilang dengan pekerjaan saya membantu pekerja di
sini. Ada juga yang memandang sebelah mata.
Pelanggan dan mucikari memegang Dia tidak peduli kepada saya sesama bos,
peranan yang sangat penting terkait dengan apalagi sama anak buahnya. Tapi saya peduli
alasan komersial, larisnya sebuah lokasi dengan semua pekerja di sini (ST, 46 tahun)
prostitusi ditentukan oleh kepuasan
pelanggannya, dan terbukti bahwa kondom Gambar 11. Batu Karang di Tengah Laut
tidak memberikan kepuasan dalam
hubungan seksual. Demi keuntungan, tidak Selain mucikari dan pelanggan, akses
sedikit mucikari yang mendorong atau layanan yang jauh dan membutuhkan
bahkan membebaskan pekerja seksualnya kendaraan juga menjadi kendala pekerja

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 85

seksual untuk memeriksakan kesehatannya Kendala ini sebaiknya dijadikan dasar


secara rutin. Kadangkala waktu layanan pertimbangan bagi perbaikan sistem dan
juga tidak sesuai dengan waktu yang fasilitas kesehatan di lokasi prostitusi.
dimiliki. Beberapa program sebaiknya dirancang
“Terus, yang ke sini kemarin gak ketemu sebagai sebuah bentuk program intervensi
dokternya. Berapa kali ke sana gak ada dokter. dan pencegahan untuk menurunkan belief
Udah nyampe sana kadang jam 12 kan, saya tradisional yang masih berkembang di
kan bangunnya siang. Jam 12 udah gak ada. kalangan pekerja seksual, mucikari,
Harus jam 10 gitu. Makanya kemarin waktu
pelanggan, dan masyarakat.
kita meeting di situ, sampai jam 2 ada.
Ternyata kadang ada, kadang dak. Hasil 2 Stigma yang terbentuk terhadap pekerja
bulan sekarang, belum periksa sekarang” seksual yang ada di Gunung Lawu adalah
“Ya, kita maunya kan kita semua di sini. Biar kumpulan dari individu dengan latar
tetap adalah dokternya kayak di tempat lain belakang pendidikan rendah, kumpulan
kan. Tempat lain kan sewaktu-waktu kita ke individu yang bersalah, mengalami
sana walaupun kita nda perlu ngebel, perlu
depresi, dan kotor. Lawan, Abubakar,
apa kan. Pasti udah ada kan dokternya. Kan
sehari-hari dia di situ” Ahmed (2012) menyatakan bahwa pekerja
seksual lahir dari kelompok yang latar
Belief yang berkembang seputar sirkumsisi belakangnya memprihatinkan. Sebagian
juga menjadi kendala dalam pemakaian besar dari mereka berpendidikan rendah,
kondom. Salah seorang pekerja seksual kurang pengetahuan, dan memiliki
mengatakan bahwa pada pelanggan suku ketrampilan yang terbatas. Alasan menjadi
tertentu yang di budaya mereka pekerja seksual adalah unemployement dan
menerapkan sirkumsisi, maka ia akan lebih tekanan ekonomi (Bharat, Mahapatra, Roy,
toleran dalam penggunaan kondom. Jika & Saggurti, 2013)
budaya dalam suku tertentu tidak Stigma yang ada menjadi unconscious self
mewajibkan sirkumsisi pada laki-laki, – perceptions di kalangan pekerja seksual.
maka penggunaan kondom menjadi sebuah Mead (dalam Macia, dkk., 2009)
keharusan. mengatakan bahwa persepsi diri adalah
produk dari sikap sosial terhadap
Melalui hasil photovoice, dapat dilihat kelompok dimana individu
bahwa kesadaran pekerja seksual di mengidentifikasikan dirinya. Sikap yang
Gunung Lawu akan pentingnya kesehatan positif atau negatif terhadap diri kemudian
seksual dan reproduksi sudah mulai terinternalisasi dan menjadi bagian dari
tampak. Beberapa perangkat kesehatan keseluruhan diri. Jadi jika masyarakat atau
yang menunjang di lokasi tersebut adalah lingkungan memiliki penilaian yang
ketersediaan tenaga relawan pendamping negatif terhadap pekerja seksual, maka
yang menjadi pusat informasi, pusat pekerja seksual akan membangun sikap
ketersediaan kondom, dan penyambung yang negatif terhadap diri mereka sendiri.
jadwal layanan kepada pekerja seksual
sudah memadai. Beberapa kendala yang Persepsi diri yang negatif adalah sumber
ditemui terkait dengan sikap sebagian bagi kesenjangan yang terjadi antara
mucikari yang masih acuh tak acuh, risk pekerja seksual dan masyarakat atau
taking behavior pelanggan yang tidak kelompok lain di luar mereka. Kondisi ini
menggunakan kondom, belief terkait melahirkan kerugian dari sisi akses
sirkumsisi, jarak layanan yang jauh dan terhadap fasilitas kesehatan dan layanan
keterbatasan kendaraan, serta waktu sosial lainnya bagi pekerja seksual
layanan yang terbatas. (Lawan, Abubakar, & Ahmed, 2012). Jie,
dkk (2012) menemukan bahwa lebih dari
Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91
86 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

50% pekerja seksual di lokasi prostitusi di kebijakan terkait prostitusi di suatu negara
Guangzhou, Cina tidak menjalani tes bukanlah perkara mudah. Norwegia
screening HIV-AIDS karena beberapa membutuhkan waktu 39 tahun untuk
alasan. Salah satu alasannya adalah stigma membangun sebuah kebijakan yang
yang berkembang di masyarakat sehingga mengatur bahwa prostitusi adalah kriminal
membuat mereka ketakutan membuka dan illegal (Skilbrei, 2012). Itali juga
identitas pekerjaan kepada orang lain dan mengalami hal yang sama dengan kajian
juga kepada profesional di bidang pro-kontra yang berkepanjangan
kesehatan. Akibatnya para pekerja seksual (Crowhurst, 2012). Skilbrei (2012) dalam
tersebut memilih untuk tergantung pada kajian terkait dengan proses pembangunan
antibiotik, pengobatan herbal dan kebijakan mengenai prostitusi di Norwegia
tradisional, serta belief systems yang salah mengungkapkan bahwa kebijakan terkait
saat mereka berhadapan dengan isu-isu legalisasi atau kriminalisasi prostitusi
terkait kesehatan seksual dan reproduksi. harus diikuti dengan kebijakan yang ketat
Kramer (dalam Lehmiller, 2014) terkait kontrol terhadap pelaku tindak
menemukan sejumlah kondisi psikologis kriminalitas dan kontrol terhadap imigrasi.
yang dirasakan oleh pekerja seksual, Belanda salah satunya dengan tegas
seperti kemarahan, kesedihan, kecemasan, menyatakan legalisasi terhadap prostitusi,
dan rasa malu. namun yang diperhatikan adalah kontrol
dan regulasi yang ketat bagi setiap
Stigma dan diskriminasi terhadap pekerja
komponen yang masuk ke dalam lingkaran
seksual mejadi isu utama di banyak negara
prostitusi, apakah itu pekerja seksual,
di Eropa. Porsinya hampir sama dengan
mucikari, maupun pelanggan (Outshoorn,
New Zealand dan Australia (Shannon,
2012). Prostitusi tidak dapat dilihat dari
et.al, 2009). Legalisasi dan dekriminalisasi
kacamata yang sederhana. Prostitusi adalah
prostitusi kemudian menjadi solusinya
hal yang kompleks sehingga regulasi
sehingga akses terhadap fasilitas
terkait prostitusi bisa dibangun dengan
kesehatan, kemandirian, dan pemahaman
lebih komprehensif dan jelas (Duarte,
akan keamanan serta keselamatan kerja
2012).
menjadi meningkat seiring dengan
berkurangnya tingkat kekerasan, stigma, Melibatkan mucikari dalam program
diskriminasi, dan eksploitasi fisik di pencegahan dan intervensi menghasilkan
kalangan pekerja seksual (Lutnick & beberapa keuntungan. Mucikari tidak
Cohan, 2009). Di sisi lain, beberapa negara hanya tampil sebagai bos, namun juga
Skandinavia di Eropa, contohnya Swedia orang dan role model bagi pekerja seksual.
menerapkan hukuman bagi mereka yang Regulasi terkait pemeliharaan kesehatan
terlibat di dalam prostitusi dan menemukan seksual dan reproduksi di lokasi prostitusi
bahwa sistem ini adalah sistem yang juga sangat tergantung pada mucikari.
efektif dalam menekan angka praktek Perlu ditumbuhkan insight di antara
prostitusi, IMS, dan HIV-AIDS. Rosenthal mucikari terkait pentingnya kesehatan
(2013) memaparkan sejumlah pertim- seksual dan reproduksi. Mucikari perlu
bangan terkait dengan legalisasi ataupun dibekali dasar-dasar pengetahuan yang
ilegalisasi prostitusi. terkait dan bagaimana menjalin kerjasama
dengan pihak terkait, seperti layanan
Lebih lanjut Rosenthal (2013)
puskesmas, lembaga sosial dan dinas
mengungkapkan bahwa setiap keputusan
kesehatan. Mucikari menjadi agen yang
memiliki sisi positif dan negatif.
menjembatani program-program pemeli-
Pertimbangan paling penting yang harus
haraan kesehatan dengan pekerja seksual.
dicermati adalah membangun sebuah
Penelitian ini melibatkan beberapa relawan

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 87

pendamping yang dulunya berprofesi dibangun di lokasi prostitusi (Yang, Xia,


sebagai pekerja seksual dan juga mucikari. Li, Latkin, & Celentano dalam Volkman,
Melalui pendampingan tersebut, tidak dkk., 2014).
hanya pekerja seksual saja yang merasakan
Pola pencegahan lainnya adalah
keuntungan psikologis, namun relawan
memberikan ketrampilan terkait dengan
pendamping juga merasakan efek
negosiasi penggunaan kondom di kalangan
terapeutik dari proses pendampingan
pekerja seksual (Sarkar, dkk., 2008).
tersebut. Pendamping merasakan kompeten
Terbatasnya kemampuan negosiasi dalam
dan bermakna bagi komunitas. Bharat,
penggunaan kondom berkaitan dengan
dkk. (2013) mengatakan bahwa dalam
nilai-nilai budaya tertentu. Pada budaya
setting lokasi prostitusi, intervensi
patrilineal dimana laki-laki dianggap lebih
struktural yang melibatkan mucikari
berkuasa dibandingkan dengan perempuan,
menjadi lebih efektif dalam membangun
pekerja seksual mengalami kendala dalam
lingkungan yang bebas dari perilaku
menampilkan persuasi terhadap pelanggan
seksual berisiko.
laki-laki. Terkait seksualitas, laki-laki juga
Program pencegahan bagi pelanggan dinilai memiliki sejumlah keuntungan
sangat penting, mengingat jumlah dibandingkan dengan perempuan. Hal-hal
prevalensi HIV-AIDS yang tinggi di antara yang menyangkut peselingkuhan dan
laki-laki dengan orientasi heteroseksual perilaku seksual yang menyimpang dinilai
(Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan biasa di kalangan laki-laki, namun dinilai
Republik Indonesia, 2014). Program negatif jika dilakukan oleh perempuan
pencegahan meliputi sharing knowledge (Matlin,2008). Kinsey (dalam Brannon,
terkait HIV-AIDS, keuntungan peng- 2011) menyebut dengan istilah double
gunaan kondom, mobile VCT, dan standard for sexual behavior.
meningkatkan tanggung jawab pencegahan
Terlebih lagi, pekerjaan seorang pekerja
IMS dan HIV-AIDS di kalangan
seksual mengharuskan mereka untuk
pelanggan.
memuaskan pelanggan mereka. Beberapa
Pengetahuan yang dimiliki, regulasi diri, belief yang salah terkait kondom juga
sexual compulsivity, sexual sensation mempengaruhi sikap pelanggan terhadap
seeking, perilaku risk taking , sikap penggunaan kondom. Kondom dirasakan
terhadap kondom, dan dukungan sosial menyiksa, tidak nyaman, dan tidak
adalah beberapa variabel yang berkaitan memberikan kepuasan bagi hubungan
dengan efikasi diri dalam penggunaan seksual. Belief ini adalah kendala bagi
kondom. Volkmann, dkk. (2014) penggunaan kondom. Kemungkinan lain
menemukan bahwa skor yang rendah pada yang menghambat adalah kecenderung
perilaku sexual sensation seeking, untuk menjadikan pelanggan sebagai
tingginya dukungan sosial, dan pelanggan tetap, pacar, atau suami,
kemampuan negosiasi terhadap hubungan sehingga pekerja seksual menganggap
seksual yang baik berkaitan dengan efikasi bahwa penggunaan kondom bukan sesuatu
diri yang tinggi terhadap penggunaan yang penting. Di sisi lain, permintaan agar
kondom. Temuan ini memberikan pasangan menggunakan kondom justru
pengaruh besar bagi program-program akan menimbulkan kecurigaan terkait
pencegahan bagi pelanggan dan kelompok dengan dugaan perselingkuhan (Jie, dkk.,
berisiko. Lingkungan sosial yang positif 2012)
dimana terdapat akses informasi yang
Bharat, dkk (2013) membangun sebuah
terpercaya dan terdepan terkait dengan
program yang melatih pekerja seksual
perilaku sehat perlu dihadirkan dan
dalam melakukan negosiasi penggunaan
Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91
88 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

kondom. Tujuan dari program tersebut kepedulian dari mereka sendiri, orang-
adalah bagaimana pekerja seksual orang terdekat mereka, mucikari,
memiliki kekuatan untuk menolak pelanggan, teman, dan para praktisi
hubungan seksual berisiko tanpa pengaman kesehatan. Kendala yang dihadapi dalam
dan bernegosiasi dengan pelanggan- pemeliharaan kesehatan seksual dan
pelanggan sulit. Pekerja seksual diberikan reproduksi pada pekerja seksual menjadi
psikoedukasi agar mampu mempersuasi dasar bagi penelitian dan program
dan meyakinkan pelanggan tentang penyuluhan selanjutnya. Penyuluhan
keuntungan dari penggunaan kondom. mengenai pentingnya penggunaan kondom
Pelanggan adalah pusat dari epidemik pada pelanggan dan bagaimana
HIV-AIDS. Pelanggan adalah jembatan mengembangkan sifat asertif pekerja
antara pekerja seksual dengan significant terhadap pelanggan.
others dari pelanggan, yang sebagian besar
Photovoice sebagai metode pengambilan
merupakan kelompok yang berisiko
data dalam penelitian ini mampu
rendah, seperti istri, pasangan, dan anak
mengungkap pikiran, perasaan, dan
(Volkmann, dkk., 2014) Klusman dan
pengalaman pekerja seksual terkait dengan
Schmitt (dalam Rathus, Nevid, & Rathus,
isu kesehatan seksual dan reproduksi di
2009) mengungkapkan bahwa laki-laki
lingkungan mereka. Bagi pekerja seksual
pelanggan prostitusi rata-rata berstatus
yang latar belakang pendidikannya rendah
menikah, memiliki anak, dan dari kelas
dan mengalami keterbatasan Bahasa serta
ekonomi menengah.
komunikasi, photovoice dinilai mampu
KESIMPULAN membantu mereka dalam mengutarakan
pikiran dan perasaan mereka. Responden
Prostitusi menjadi fenomena yang tidak
dalam penelitian ini melaporkan bahwa
pernah surut. Kebutuhan, permintaan,
mereka menyukai kegiatan photovoice dan
ketersediaan, budaya, dan tentu saja uang
diskusi kelompok. Bagi pengembangan
menjadi faktor pengikat yang sangat kuat
ilmu, perlu dibangun sebuah manual
sehingga prostitusi menjadi terkesan
prosedur bagi kegiatan photovoice yang
mustahil untuk diberantas.
bisa diaplikasikan pada beragam subyek
Imagining a world without prostitution is penelitian.
like imagining a world without slavery in
the United State in the 1820s (Barry, dalam UCAPAN TERIMA KASIH
Jeffreys, 2008)
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
Pekerja seksual adalah korban dalam
pekerja seksual Lokasi Prostitusi Gunung
prostitusi sebab prostitusi mengancam
Lawu dan rekan-rekan dari Yayasan
pekerja seksual dalam area fisik, sosial,
Kesehatan Bali.
dan psikologis sehingga diperlukan sebuah
gerakan memberdayakan komunitas dalam
DAFTAR PUSTAKA
menjaga kesehatan fisik, sosial, dan
psikologis pekerja seksual. Perdebatan
Alexander, P. (2008). Sex work and health:
mengenai prostitusi ini tidak akan ada
A question of safety in the
habisnya. Yang memungkinkan untuk
workplace. JAMWA, 53 (2), 77-82.
dilakukan saat ini adalah bagaimana
melindungi hak – hak para pekerja seksual
Barrows, J. (2008). An ethical analysis of
wanita, salah satunya adalah hak mereka
the harm reduction approach to
untuk kesehatan dan pengambil keputusan
prostitution. Ethic and Medicine,
bagi kondisi sehat mereka. Setidaknya
24(3), 151-158.

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 89

Bancroft, J. (2009). Human sexuality and Hergenrather, K.C., Rhodes, S.D., Clark,
its problems. 3rd ed. UK: Churchill G. (2006). Windows to work:
Livingstone Elsevier. Exploring employment-seeking
behaviors of persons with
Brannon, L. (2011). Gender: psychological HIV/AIDS through photovoice.
perspectives. 6th ed. Boston: AIDS Education and Prevention,
Pearson Education, Inc. 18(3), 243 – 258.

Bharat, S., Mahapatra, B., Roy, S., & Hergenrather, K.C., Rhodes, S.D., Cowan,
Saggurti, N. (2013). Are female sex C.A., & Bardoshi, G. (2009).
workers able to negotiate condom Photovoice as community-based
use with male clients? The case of participatory research: A qualitative
mobile FSWs in four high HIV review. Journal of Health
prevalence states of India. Plos Behavior, 33(6), 686 – 698.
One, 8(6), 1-7. Doi:
10.1371/journal.pone.0068043. Jeffreys, S. (2008). The idea of
prostitution. North Melbourne:
Crowhurst, I. (2012). Approaches to the Spinifex Pres Pty Ltd.
regulation and governance of
prostitution in comtemporary Italy Jie, W., Xiaolan, Z., Ciyong, L., Moyer,
[Special issue]. Sexual, E., Hui, W., Lingyao, H., &
Reproductive, Social Policy, 9, Xueqing, D. (2012). A Qualitative
223-232. exploration of barriers to condom
use among female sex workers in
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan China. Plos One, 7(10), 1-7. Doi:
Republik Indonesia. (2013). 10.1371/journal.pone.0046786.
Statistik kasus HIV/AIDS di
Indonesia. Dilaporkan s/d Lal, S., Jarus, T., & Suto, M.J. (2012). A
September 2013. Jakarta. scoping review of the photovoice
method: implication for
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan occupational therapy research.
Republik Indonesia. (2014). Canadian Journal of Occupational
Statistik kasus HIV/AIDS di Therapy, 79(3), 181 – 190.
Indonesia. Dilaporkan s/d
September 2014. Jakarta. Lawan, N.U., Abubakar, S., & Ahmed, A.
(2012). Risk perceptions,
Duarte, M. (2012). Prostitution and prevention and treatment seeking
Trafficking in Portugal: for sexually transmitted infections
Legislation, Policy, and Claims and HIV/AIDS among female sex
[Special issue]. Sexual, workers in Kano, Nigeria. African
Reproductive, Social Policy, 9, Journal of Reproductive Health,
258-268. 16(1), 61-67.

Haque, N., & Eng, B. (2011). Tackling Lehmiller, J.J. (2014). The psychology of
inequity through a photovoice human sexuality. Singapore: John
project on the social determinants Wiley & Son.
of health. Global Health
Promotion, 18(1), 16-19.

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91


90 Lestari, Sulistiowati, & Natalya
,

Lutnick, A., & Cohan, D. (2009). Rosenthal, M.S. (2013). From cells to
Criminalization, legalization or society: Human sexuality. Canada:
decriminalization of sex work: Wadsworth Cengage Learning.
What female sex workers say in
San Francisco, USA. Reproductive Sarkar, K., Bal, B., Mukherjee, R.,
Health Matters, 17(34), 38-46. Chakraborty, S., Saha, S., Ghosh,
A., & Parsons, S. (2008). Sex-
Macia, E., Lahman, A., Baali, A., Boetsch, trafficking, violence, negotiating
G., & Chapuis-Lucciani. (2009). skill, and HIV infection in brothel-
Perception of age stereotypes and based sex workers of Eastern India,
self-perception of aging: A Adjoining Nepal, Bhutan, and
Comparison of French and Bangladesh. Journal Health
Moroccan Populations. Journal of Population Nutrition, 26(2), 223-
Cross Cultural Gerontology, 24, 231.
391-410.
Shallwani, S., & Mohammed, S. (2007).
Matlin, M.W. (2008). The psychology of Community-based participatory
women. 6th ed. USA: Thomson research. A training manual for
Wadsworth. community-based researchers. New
York: McGraw Hills.
Nazemi, N. (2011). Legalizing prostitution
means legitimizing human rights Shannon, K., Strathdee, S.A., Shoveller, J.,
violation. International Journal of Rusch, M., Kerr, T., & Tyndall,
Humanities and Social Science, M.W. (2009). Structural and
1(9), 114-120. environmental barriers to condom
use negotiation with clients among
O’Grady, L. (2008). The world of female sex workers: Implications
adolescence: Using photovoice to for HIV-Prevention strategies and
explore psychological sense of policy. American Journal of Public
community and well being in Health, 4(99), 659-665.
adolescents with and without an
intelectual disability. PhD Thesis. Skilbrei, M. (2012). The development of
Melbourne: Victoria University. Norwegian prostitution policies: A
marriage of convenience between
Outshoorn, J. (2012). Policy change in pragmatism and principles [Special
prostitution in the Netherlands: issue]. Sexuality, Reproductive,
from legalization to strict control Social Policy, 9, 244-257.
[Special issue]. Sexual,
Reproductive, Social Policy, 9, Volkmann, T., Wagner, K.D., Strathdee,
233-243. S.A., Semple, S.J., Ompad, D.C.,
Chavarin, C.V., & Patterson, T.L.
Rathus, S.A., Nevid, J.S., & Rathus, L.F. (2013). Correlates of self-efficacy
(2009). Human sexuality in a world for condom use among male clients
of diversity. 7th ed. USA: Pearson of female sex workers in Tijuana,
Education, Inc. Mexico. Journal of Sexual
Behavior, 43, 719-727.

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77-91


Kesehatan seksual dan reproduksi: CBPR dengan photovoice 91

Wagenaar, H., & Altink, S. (2012). Wang, C.C., & Pies C.A. (2004). Family,
Prostitution as morality politics or maternal, and child health through
why it is exceedingly difficult to photovoice. Maternal and Child
design and sustain effective Health Journal, 8(2), 95 – 102.
prostitution policy [Special issue].
Sexuality, Reproductive, Social
Policy, 9, 279-292.

Jurnal Psikologi Undip Vol.15 No.1 April 2016, 77 - 91

You might also like