EE EECE EE &£ Srsimnmn)
Waspadai i Tikus dan Penyebaran Pes (Plague)
Ok: Papi Astuti, SKB, BLSL & Mara ipa, SKM., MLSc.*)
PES (Oriental plague, pest, black death) adalah penyakit zoonosis yang
dilaporkan sejak tahun 3200 SM. Menurut laporan WHO, selama tahun 1990-
1995 telah terjadi kasus Pes sebanyak 12.998. Tiga bentuk pes terjadi pada
manusia yaitu Bubonik, Septosemik dan Paru-paru/Pneumonia. Tipe bubonik
ditularkan oleh pinjal-pinjal dan merupakan penyakit tular vektor. Pes
bubonik adalah satu penyakit yang sangat serius karena penyakit tersebut
seringkali terjadi dalam bentuk epidemik dan angka kematiannya tinggi yaitu
sekitar 60-65%".
Tanda dan gejala awal pada pes bubonik bisa tidak khas berupa panas
(39,5-40°C), demam, menggigil, lemah, nyeri otot, mual, diare atau konstipasi,
sakit tenggorokan dan sakit kepala. Umumnya muncul radang kelenjar getah
bening (lymphadenitis) yaitu kelenjar yang bermuara pada lokasi gigitan
pinjal, dimana lesi ini merupakan lesi awal. ini disebut dengan pes kelenjar
(bubonic plague), dan sekitar 90% terjadi pada kelenjar getah bening di
daerah selangkang (inguinal) dan jarang terjadi pada daerah ketiak atau leher.
Kelenjar yang terkena akan menjadi bengkak, meradang, dan menjadi lunak
serta kemungkinan bernanah, demam biasanya baru muncul’.
Pes tetap masih menjadi ancaman karena masih banyak tikus liar yang
terinfeksi pada daerah yang cukup luas. Kontak antara rodentia liar dengan
tikus rumah masih sering terjadi di daerah enzootik tertentu. Pengerat liar
(khususnya tupai tanah) adalah reservoar yang penting sebagai inang dari
basil pes sedangkan tikus, Lagomorph (kelinci dan sejenisnya), binatang
pemakan daging liar, anjing dan kucing domestik bisa juga menjadi sumber
infeksi bagi manusia. Mamalia dari 73 genus dapat terinfeksi dan sekitar 30
spesies dari pinjal mampu menularkan basil pes ini’.
Berdasarkan penelitian Tumer menyatakan bahwa kepadatan binatang
menyusui yang merupakan reservoir utama dari penyakit pes yaitu tikus
Rattus exulans dan R. tiomanicus lebih banyak pada daerah ketinggian di atas
1.000 m. Binatang mengerat dan pinjal jarang ditemukan di daerah ladang,
sedangkan jenis hutan dan pinggiran sering ditemukan di daerah tempat
tinggal, sehingga mengakibatkan kemungkinan terjadinya penularan penyakit
pes pada manusia”.
Agen penyebab pes atau kematian hitam (black death) adalah bacillus
Pasteurella pestis (Lehmann & Neumann). Yersinia pestis (Pasteurella pestis)
ini diidentifikasi dan dipublikasikan oleh Kitasato dan Yersin pada Juni 1894 diKitasato mengamati basil dari pes ini, sedangkan Yersin yang
menggambarkan morfologi secara akurat mengenai basil pes ini. Karakteristik
dari Yersinia pestis adalah bakteri gram negatif, kecil, pleomorfik, non-motile,
basil bipolar berbentuk “safety pin” avoid. Basillus ini mampu hidup beberapa
minggu di air, di makanan dan padi-padian yang lembab, namun akan mati
dengan paparan panas matahari beberapa jam setelah terpapar, suhu optimal
dari basil ini sekitar 30-37 °C’,
Pinjal Tikus
Ogata, di Formosa (Taiwan) pada tahun 1896 menyatakan bahwa pinjal
tikus yang terinfeksi Y. pestis akan meninggalkan host yang mati dan dapat
menyerang manusia dengan menularkan penyakit pes. Ogata dan Simond
(India) dalam penelitiannya mendemonstrasikan pinjal tikus yang menularkan
penyakit pes dari tikus yang sakit ke tikus yang sehat. Mereka menduga
masuknya basil ini kedalam sel darah melalui feses yang dikeluarkan oleh
pinjal di daerah yang luka/terkena gigitan pinjal. Vaksin basil Y. pestis
dikembangkan oleh Haffkine pada tahun 1896°.
Pinjal sebagai vector merupakan salah satu parasit yang paling sering dite-
mui pada hewan pengerat yaitu tikus atau pada hewan kesayangan baik an-
jing maupun kucing. Meskipun ukurannya yang kecil dan kadang tidak disadari
pemilik hewan karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang
serius, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapat men-
gakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa pen-
yakit pes. Kucing atau hewan piaraan menularkan pes melalui gigitan dan
cakarannya sehingga dapat berkembang abses pes yang merupakan sumber
penularan*,
Secara umum, pinjal adalah serangga yang sayapnya tidak berkembang
dengan baik, sehingga beberapa dari serangga ini disebut sebagai serangga
peloncat yang dilengkapi dengan tungkai-tungkai yang panjang dengan koksa
yang besar. Bagian mulut adalah tipe penghisap, baik jantan maupun betina
adalah penghisap darah.
Daur hidup pinjal adalah metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu
dari mulai telurarva—pupa dan dewasa. Telur sering diletakkan saat betina
sedang makan, dan segera jatuh ke dalam sarang atau pemukiman host. Telur
akan menetas menjadi larva yang tidak bertungkai, kecil, keputih-putihan,
yaitu dengan renggang tertutup oleh rambut-rambut seperti duri dan
memiliki sepasang embelan ujung yang tumpul, tidak terdapat mata. Terdapat
tiga instar larva yang berbeda sedikit kecuali dalam ukuran, hanya kepala dan
bagian mulut yang mengalami sklerotisasi*.
“INo.O1/ Juni 2Pinjal tikus Indian atau kutu tikus oriental, Xenopsylla cheopsis adalah
sebagian besar pinjal yang sangat efektif sebagai vektor dari penyakit pes,
walaupun di Eropa dan Amerika Utara Nosopsylius fasciatus dan Pulex
irritants juga mampu menularkan penyakit pes. Temperatur optimal yang
dibutuhkan Xenopsylla cheopsis sebagai vektor potensial adalah 23,5 °C, ini
berkorelasi dengan suhu dan insiden pes yaitu antara 20-25°C. Pinjal yang
terinfeksi dapat bertahan hidup selama lebih kurang 396 hari®.
Turner, dalam penelitiannya di Kab. Boyolali Jawa Tengah, menemukan
tiga jenis pinjal yaitu Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan Neopsylla
sondaica yang ada keterkaitan dengan binatang menyusui di daerah tersebut.
Di atas ketinggian 1.000 m, S. cognatus dan N. sondaica merupakan pinjal
yang paling banyak ditemukan di daerah ladang, dan X. cheopis di perumahan
desa. Pada ketinggian < 1.000 m tidak ditemukan S. cognatus dan N. sondaica
sedangkan X. cheopis ditemukan di daerah ladang dan perumahan desa’.
Walaupun X. cheopis merupakan vektor yang effisien dan jarang ditemu-
kan di daerah ladang maka diduga bahwa pinjal tersebut tidak utama me-
megang peranan dalam penularan ini. Namun demikian pada masa epizootik
X. cheopis mempunyai peranan pada siklus penularan antara binatang menyu-
sui, binatang mengerat dan manusia. Sedangkan S. cognatus diduga meru-
pakan vektor utama, dan N. sondaica vektor kedua, pada penularan pes.
Jarangnya vektor pada daerah ketinggian kurang 1.000 m, memperlihatkan
bahwa pes di Jawa bersifat pegunungan’*.
Upaya Pengendalian Tikus
Berbagai upaya bisa dilakukan untuk pengendalian vektor sehingga bisa
menurunkan kesakitan penyakit pes, yaitu melalui pengendalian fisik, kimia
maupun biologi. Pengendalian vektor ini dengan cara mengendalikan host/
inang utamanya, yaitu pengendalian tikus sebagai hama pertanian maupun
rumah tangga di masyarakat. Pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat
tentang penyakit tular vektor, terutama penyakit yang ditularkan oleh pinjal
di tikus atau binatang mamalia perlu ditingkatkan untuk kewaspadaan dini
terjadinya KLB penyakit pes di masyarakat khususnya di daerah endemis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim, 2001 di Wonosobo Jawa
Tengah menyatakan bahwa sebagian besar pengetahuan penduduk akan
penyakit bersumber mamalia kecil atau kurang sekali, hanya 7% dari
Fresponden yang mengetahui adanya penyakit tular vektor. Sehingga perlu
diadakan suatu bentuk penyuluhan untuk meningkatkan perilaku masyarakat
dalam rangka menurunkan kejadian penyakit pes terutama di daerah
endemis*.Sebagian besar rumah penduduk di desa endemis Kab. Wonosobo (87%)
memiliki tanda-tanda kehidupan tikus di dalam rumah dan 45% di luar rumah.
Ditemnukan sebanyak 235 ekor mamalia kecil liar yang terdiri dari tiga spesies
tikus yaitu Rattus exulans, Rattus rattus diardii, Rattus tiomanicus dan satu
species cecurut yaitu Suncus murinus berhasil ditangkap di dalam dan di luar
rumah. Species tikus dan curut ini dikenal sebagai reservoir penyakit pes.
Angka graviditas tikus betina cukup tinggi berkisar antara 50% sampai 78%
dengan jumlah embrio rata-rata 6,9 ekor pada musim kemarau dan 4,5 ekor
pada musim penghujan. Pinjal yang dikenal sebagai vektor penyakit pes dan
murine typhus ditemukan menginfeksi 16,2 % hewan dengan Indek Pinjal 22.
Beberapa cara yang bisa digunakan untuk pengendalian, yaitu (1)
Pengendalian tikus secara mekanik (penggunaan alat perangkap seperti
bambu, kawat, jaring dil), (2) Pengendalian tikus secara biologi (musuh alami),
misalnya, mengelabui tikus dengan membuat “ular buatan” dari daun nanas
yang dicat hitam dan putih secara berselang sehingga menampakkan ular
belang sawah dan dipasang di sekitar tempat lalu lalang tikus, (3)
Pengendalian tikus secara kimiawi (racun yang diaplikasikan dengan makanan
sebagai umpan dll)®.
Penelitian yang dilakukan oleh Tribuono (2000) adalah uji coba
pengendalian pinjal sebagai vektor penyakit pes dengan menggunakan pipa
paralon berinsektisida sebagai pengganti bumbung bambu berinsektisida
telah dilakukan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Hasil penelitian pipa
paralon berinsektisida dapat menurunkan pinjal sebesar 67,6% selama
penelitian yang dilakukan di habitat rumah, sedangkan penggunaan pipa
paralon di habitat kebun merupakan metode yang harus disesuaikan untuk
diterapkan di habitat/kebun’.
Cara penanganan tikus mati yang benar harus diinformasikan kepada
masyarakat karena penanganan yang salah akan mengakibatkan penularan
penyakit pes semakin tinggi terutama di daerah endemis. Pinjal pada tikus
mati yang infektif akan pindah ke manusia sebagai host accident dan melalui
gigitannya manusia akan terinfeksi jika terjadi kontak langsung. Seseorang
harus menggunakan alat pelindung diri (jaket, sarung tangan, celana panjang)
ketika mengambil atau membuang tikus mati untuk menghindari
berpindahnya pinjal ke tubuh manusia’.
Pengobatan Penyakit Pes
Pencegahan dan pengobatan penderita juga perlu dilakukan untuk
menekan angka kasus pes. Pencegahan pes ke host atau manusia yaitu bisa
dengan memberikan imunisasi aktif dengan vaksin yang berisi bakteri
memberikan proteksi terhadap pes bubo (tetapi tidak untuk pes pneumoniaprimer), minimal selama beberapa bulan bila diberikan sebanyak 3 dosis.
Dosis 1 dan 2 dengan interval 1-3 bulan diikuti dosis 3 diberikan 5-6 bulan
berikutnya; suntikan booster diperlukan setiap 6 bulan apabila risiko terpapar
berlanjut. Setelah pemberian booster ketiga, interval mulai jarang yaitu 1-2
tahun’.
Adapun pengobatan spesifik pada penderita penyakit pes yaitu dengan
pemberian Streptomycin merupakan obat pilihan utama. Gentamycin dapat
dipakai bila Streptomycin tidak tersedia. Tetrasiklin dan kloramfenikol
merupakan pilihan alternatif, kloramfenikol dipakai untuk pengobatan
meningitis pes.
Semua obat tersebut efektivitasnya sangat tinggi bila digunakan secara
dini (dalam waktu 8-18 jam setelah serangan pes pneumonia). Setelah timbul
respon yang memuaskan karena pemberian terapi, demam dapat timbul
kembali sebagai akibat dari infeksi sekunder atau bubo bernanah yang
memerlukan tindakan untuk pengeluaran pus’. [ad].***
Daftar Pustaka
1, Chin , J, | Nyoman Kandun. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit
Menular. Edisi 17. Depkes RI. Jakarta. Hal 397 — 403
2. Turner, W. Ronald et. all. Dynamic of the Plague Transmission Cycle in
Central Java (Ecology of Potential Fle Vektor).
3, Hubert, William et. all, 1975. Diseases Transmitted from Animal to Man.
Sixth edition. \llinois. USA. Page 147 - 159
4. Triplehorn, Borror. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 607 —617.
5. Ibrahim, Ima Nurisa. 2001. Peran Mamalia Kecil dalam Penularan be-
berapa Zoonosis di Pedesaan di Daerah Dataran Tinggi Dieng, Jawa Ten-
gah, Warta Litbangkes DEPKES RI Vol V: Jakarta.
6. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Teknologi
Pengendalian Tikus Spesifik Lokasi. DEPTAN. Jakarta.
7. Tribuono, Damar. 2000. Upaya Eliminasi Penyakit Pes di Daerah Enzootik
Pes : Pemacuan Pemasangan Bumbung Bambu Berinsektisida Secara Ru-
tin oleh Masyarakat. Center for Research and Development of Health
Ecology, NIHRD.
aaee
| 10 Vol. VLNo.0