You are on page 1of 12

KITAB SYARAH HADIS

SYARH MISHBAH AL ZUJAJAH ‘ALA SUNAN IBN


MAJAH

Disusun oleh:
Anisah Naela Fitri (1900027011)

PRODI ILMU HADIS


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2020/2021
MISHBAH AL ZUJAJAH ‘ALA SUNAN IBN MAJAH

A. Biografi Imam Jalaluddin as-Suyuthi


Beliau memiliki nama lengkap yaitu Abdul Rahman bin al-Kamal bin
Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Suyuthi.1 Ada juga yang menambahkan
Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Al-Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq ad-
Din ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi al-Sayuthi.
Dalam kitab Mu’jam al-Malifin ditambahkan dengan Athaluni al-Mishri Asy-
Syafi’i, dan diberi gelar Jalaluddin. Serta dipanggil dengan nama Abdul Fadhal.
Sebutan al-Suyuthi diambil dari nama daerah tempat kelahirannya Suyuth yaitu
Sebuah daerah pendalaman di Mesir.2
Beliau juga diberi gelar Ibnu al-Kutub karena dilahirkan diantar buku-
buku milik Ayahnya dan karena ketika beliau lahir, ia diletakkan ibunya diatas
buku. Beliau hidup pada masa dinasti Mamluk pada abad ke - 15 M dan berasal
dari keluarga keturunan Persia yang pada awalnya berukim di Baghdad
kemudian pindah ke Asyuth. Keluarga ini merupakan orang terhormat pada
masanya dan ditempatkan pada posisi-posisi penting dalam pemeritahan.
Beliau dilahirkan di sebuah daerah yang terletak di Mesir yaitu Suyuth
pada awal bulan Rajab tahun 849 H, dan hidup menjadi seorang piatu setelah
ibunya wafat sesaat setelah beliau lahir, dan setelah usianya baru beranjak lima
tahun Ayahnya pun pergi menyusul ibunya. Ia hidup di lingkungan yang penuh
dengan keilmuwan serta ketaqwaan.
Imam Suyuthi telah menghabiskan waktunya untuk mengajar,
memberikan fatwa, dan mengarang. Akan tetapi, menjelang usia tuanya ia
meninggalkan tugas mengajar dan berfatwa, dan lebih memilik ber-Uzlah dari
keramaian dunia untuk beribadah dan mengarang saja. Imam Suyuthi meninggal
pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari, yaitu pada malam jum’at tanggal 19
juamdil Ula tahun 911 H. Di Khusy Qusun di luar pintu Qarafah Kairo, Mesir,
jasad mulainya disemayamkan. Letaknya berdekatan dengan makam imam
Syafi’i dan Imam Waqi’ (Guru imam Syafi’i). Makamnya selalu tertutup, tidak
bisa masuk ke dalam kecuali dengan menghubungi juru kunci. Akan tetapi,
menurut Al-Idrusi, “Imam as-Suyuthi meninggal pada waktu ashar tanggal
Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M. Beliau di shalatkan di Masjid Jami’ al-Fariqi
di ruangan bawah. Kemudian beliau di makamkan di sebelah timur pintu al
Qarafah, sebelum meninggal dia mengalami sakit selama 3 hari”.3
Pada usia masih muda 17 tahun Suyuthi telah menekuni dunia
pendidikan dan tulis menulis. Hal ini telah diakui oleh para saingan yang telah
melihat Suyuthi mampu menulis berbagai buku dalam bermacam-macam

1
Muhammad Husain al-Dzahabi, Ilmu Tafsir,( Darr al-Ma’arif,tt), h. 180. Selanjutnya kami sebut
Husain al-Zahab
2
Jalaluddin al-Suyuthi, al-itqan fi ‘ulum al Qur’an (Mesir: Dar al Salam,2008), Cet. Ke-1, juz 1,
hal, 6-7.
3
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an; Penerj: Ainur Rafiq el-Muzni) Cet.II
(Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 109.
disiplin pengetahuan, dapat di katakan, tidak ada disiplin ilmu yang tidak di
jamah oleh karya-karya Suyuthi. Beliau pernah mengatakan: “Sekiranya saya
ingin menulis suatu masalah yang mengandung kontroversi disertai bukti-bukti
yang kuat, maka akan saya lakukan sepenuh hati karena saya anggap sebagai
suatu karunia dari Allah.4 Adapun murid-murid Suyuthi yang menonjol antara
lain : Muhammad Ali ad-Dawudi (w. 945 H) penulis Thabaqat al-Mufassirin,
Zainuddin Abu Hafz Umar bin Ahmad al-Syama’ (w. 936 H) seorang
Muhaddits di Halaba dan penulis al-Kawakib an-Nirat fi Al-Arba’in al-
Buldaniyat, Muhammad bin Ahmad bin Iyas (w. 930), penulis Bada’i al-
Zhuhur, Muhammad bin Ysuf al-Syami’ al-Shalihi al-Mishri, Ibnu Thulun bin
Ali bin Ahmad (w. 953 H), dan al-Sya’rani Abdul Wahhab Ibnu Ahmad (w. 973
H).5
Karir pendidikan Imam Suyuthi dimulai dari perhatian Ayahnya terhadap
pendidikannya, karena kehadiran suyuthi disambut baik oleh Ayahnya bahkan ia
memberi perhatian penuh terhadap Suyuthi, mendidiknya menghafal al Qur’an,
bahkan menemaninya belakjar hadis kepada Ibnu Hajar al-Asqalani. Maka
Suyuthi kecilnya tumbuh dengan baik karena mendapat perhatian yang utuh dari
orang tua dan para gurunya. Ia mampu menyelesaikan studinya di MAsjid al-
Syaikhuni setelah kematian Ayahnya. Berkat kercerdasannya, ia mampu
menghafal al-Qur’an sebelum genap berusia 8 tahun.6 Setelah menghafal al-
Qur’an melanjutkan petualangan intelektualnya dengan mendalami fiqh mazhab
Syafi’i kepada ‘Alamuddin a;-Bulqaini dan diteruskan dengan Putra al-Bulqaini.
Ia mendalami Ilmu-ilmu keagamaan dan bahasa Arab dengan Syekh
Syarafuddin al-Minawi dan Muhyiddin al-Kafiyaji (w. 889 H), Selanjutnya
mendalami kitab Shahih Muslim, as-Syifa’ fi Ta’rif Huquq al-Musthafa, dan
sebagainya bersama Syekh Syamsuddin Muhammad Musa. Kemudian
mempelajari hadis dan Bahasa Arab sekitar empat tahun bersama taquyuddin al-
syumani al-Hanafi (w.872 H).7

B. Kontribusi al-Zarqani dalam bidang hadis


Al-Zarqani merupakan seorang ulama yang mahir dalam beberapa
bidang keilmuan, seperti dalam ilmu musthalahul hadis, Ushuluddin, fiqih, ushul
fiqih, dan ilmu kalam. Beliau juga merupakan seorang ulama besar pada
masanya, hal ini dapat dilihat dari beberapa karya ilmiyah yang beliau wariskan
sampai saat ini, seperti yang diungkapkan oleh al-Kattaniy, diantaranya sebagai
berikut:
 Syarh al-Mawahib. (dicetak pertama kali pada tahun 1278 H)
 Syarh al-Muwattha’. (dicetak pertama kali pada tahun 1280 H)
4
Ibid, h. 88.
5
Ibid
6
Ibid, h. 87.
7
Ibid.
 Syarh al-Baiquniyah fi al-Isthilah (dicetak pertama kali pada tahun 1305
H)
 Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy,
 Mukhtashar Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy
 Ikhtishar Ta’lif al-Sakhawiy fi al-Khishal al-Mujibah li al-dlalal, dan
lain-lain.

Sebagai ulama besar beliau tidak hanya dilihat dari karya besarnya yang
ia wariskan saja, tapi juga dapat dilihat dari beberapa gelar yang di berikan oleh
murid-muridnya. Oleh muridnya al-Syabrawiy beliau diberi gelar “Khatimah al-
Huffadh”8. Bahkan seperti yang tertulis dalam cover kitabnya beliau di beri
gelar “al-Imam al-‘Arif, Khatimah al-Muhaqqiqin”. Itu semua diberikan oleh
murid-muridnya bukan tanpa alasan, tetapi karena memnag al-Zarqaniy adalah
seorang ulama besar yang memiliki sifat tawaddlu’, mukhlis, hati dan
perkataannya selalu terkait dengan Allah SWT dan memiliki bahasa dan
ungkapan yang indah. Salah satu bukti bahwa al-Zarqani benar-benar merupakan
seorang ulama yang memiliki sifat tawaddlu ialah dengan melihat bahwa dia
tidak pernah menyebut tentang dirinya sebagai seorang yang terkesan lebih ‘alim
dari yang lain dalam karyanya, seperti dalam ungkapan murid-muridnya di
dalam cover kitab yang sudah disebutkan di atas. Selain itu beliau juga
mengungkapkan tentang dirinya sebagai “al-‘Ajiz al-Dla’if al-Faniy” bahkan
pada akhir penulisan kitabnya beliau mengatakan “Jama’ahu al-‘Abd al-Faqir
al-Haqir”9, yang menunjukkan bahwa apa yang ia tulis di dalam kitabnya tidak
lebih dari seorang hamba yang lemah, yang hanya mengumpulkan pendapat-
pendapat ulama sebelumnya.

C. Latar belakang al-Zarqani mensyarah kitab al-Muwattha’

Tidak diketahui pasti apa alasan kuat yang menyebabkan al-Zarqani


mensyarah kitab hadis al-Muwatto’, yang kala itu kitab hadits al-Muwattha’
cukup mendapat perhatian yang besar dari para pensyarah kitab-kitab hadits.
Menurut data yang diungkapkan oleh Abd al-Wahhab Abd al-Lathif tatkala
mentahqiq kitab Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-
Syibaniy bahwa terdapat sekitar 92 orang yang mensyarah kitab hadits al-
Muwattha’, namun yang terkenal di antaranya hanya dua belas orang dan al-
Zarqaniy tarmasuk salah satunya10.
Apabila kita lihat dari catatan di awal penulisan syarah al-Zarqaniy dapat
dipahami setidaknya ada tiga alasan sederhana yang menjadi sebab pensyarahan
kitab hadis tersebut, Pertama bahwa belum banyak kitab-kitab syarah hadis yang
8
al-Katttaniy, Ibid, h. 456
9
Syarh al-Zarqaniy, Ibid, Jilid IV, h. 436
10
Abd al-Wahhab Abd al-Lathif “Muqaddimah” dalam Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad
bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-
Jumhuriyah al-Arabiyah al-Muttahidah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Lajnah Ihya’ al-Turats al-
Islamiy, 1967
terdapat di negerinya, kedua supaya terdapat kitab syarah al-Muwattha’ yang
lebih sederhana, tidak terlalu pendek dan tidak juga terlalu panjang, dan ketiga
dalam segi pendhabitannya cocok dan cukup untuk orang yang terbatas seperti
dia. Namun meskipun demikian, ia mengakui bahwa apa yang ia lakukan tidak
berarti terhindar dari kekeliruan dan kesalahan bahkan hal itu cukup banyak,
apa lagi bagi pakar di zaman sekarang.
Al-Zarqaniy menyadari dan juga mengakui bahwa kitab hadits al-
Muwattha’ tersebut bukan hanya beliau yang mensyarahkan, tetapi sudah
banyak yang juga ulama lain mensyarahkannya. Bahkan dalam
mensyarahkannya beliau tidak sedikit menukil pendapat para pensyarah
sebelumnya. Hingga pada akhirnya dalam jenjang waktu lebih dari tiga tahun
setengah itu, al-Zarqaniy dapat mensyarahkan kitab al-Muwattha’ dalam empat
jilid besar menurut terbitan Dar al-Ma’rifah, Beirut tahun 1978 M/ 1398 H.
Tidak diketahui secara jelas siapa yang memberi nama kitabnya ini dengan
nama Syarh al-Zarqaniy, al-Zarqaniy sendiri nampaknya tidak memberi nama
syarh hadits tersebut, kecuali pernyataanya bahwa syarh tersebut tulisannya
sendiri.

D. Sistematika penulisan kitab syarh az-Zarqani


Kitab syarh al-Zarqaniy terdiri dari empat jilid besar yang di dalamnya
sudah tersusun sesuai dengan urutan yang sudah tertulis di dalam kitab hadits
Muwattha’ karya imam Malik. Dari segi penulisan, al-Zarqani meletakkan Teks
hadits al-Muwattha’ yang dipisahkan. dari teks syarh al-Zarqaniy oleh garis
lurus, teks hadits al-Muwattha’ di atas garis dan syarh al-Zarqaniy di bawah
garis. Dalam penulisan isinya juga berurutan sesuai dengan susunan dari kitab
Muwatto’, yang terdiri dari 61 bab. dengan gambaran isi perjilidnya sebagai
berikut:
 Pada jilid pertama diawali dengan menggoreskan lafadh basmalah,
tahmid dan taslim serta muqaddimah. Kemudian mensyarahkan apa
yang tertera dalam kitab al-Muwattha’ diawali dari mensyarahkan lafadh
basmalah, bab wuqut al-shalat dan diakhiri dengan bab ma ja’a fi al-
qiblat.
 Pada jilid kedua, pensyarahan diawli dari bab ma ja’a fi masjid al-
Nabawiy SAW dan diakhiri dengan bab Shiyam al-tamattu’.
 Pada jilid ketiga pensyarahan diawali dari Kitab Jihad bab al-Targhib fi
al-jihad dan diakhiri dengan bab al-qadla’ fi syahadat al-shibyan.
 Pada jilid keempat pensyarahan diawali dari bab ma ja’a fi al-hantsi ‘ala
minbar al-nabiy SAW dan diakhiri dengan bab Asma al-nabiy SAW.

E. Metode syarah hadis.


Dalam hal menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah
hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis dalam al-Kutub al-
Sittah.
Adapun dalam mensyarah kitab Syarh Az-Zarqani ‘ala al-muwaththa’, imam
Az-Zarqani menggunakan metode tahlili. Tahlili itu sendiri berasal dari bahasa
Arab “hallala-yuhallilu-tahlil” yang berarti “menguraikan”, menganalisis.
Namun yang dimaksudkan tahlili di sini adalah mengurai, menganalisis, dan
menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam hadis Rasulullah
‫ﷺ‬, dengan memaparkan aspek-aspek yang terkandung di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarahnya.
Pensyarah memulai penjelasannya dengan mengutarakan makna kalimat
demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang terkandung dalam hadis, seperti kosakata, konotasi
kalimatnya, asbabul wurudnya (jika ada), kaitannya dengan hadis lain dan
pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik dari
sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis. Muammad al-Fatih Suryadilaga
menerangkan metode tahlili yakni dengan; syarah hadis yang di dalamnya akan
ditemui uraian pemaparan segala aspek yang terkandung dalam hadis serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
kecenderungan dan keahlian pensyarah. Misalnya diuraikan secara sistematis
sesuai dengan urutan yang terdapat dalam al-kutub al-sittah11.

F. Pemikiran tokoh terhadap hadis


 Contoh satu tema dalam kitab Syarah al-Zarqani ‘Ala al-Muwattha’

11
Tesis, Metodologi syarah hadis nabi (tela’ah kitab Tanqih al-qaul al-hasis fi Syarh Lubab al-Hadis karya
Imam Nawawi al-Bantani, fakhri tajuddin mahdy, UIN Alauddin Makassar.
Äǂǿȋ
± ¦Äǂǐ ŭňƢ
¦ ǫ°DŽ
dz
¦Ǧ LJ Ʀdz
ȂȇǺƥȆǫƢ¦ƾƦǟ ǺƥƾǸŰ :Ǧƚŭ
dz¦

ƾǠLJ»   ǂ dz
¦ƾƦǟ ǾǗ :ǪȈǬŢ

¨ ǂǿƢ
Ǭdz
¦-ƨȈǼ
ȇƾ dz
¦ƨǧƢ
Ǭưdz
¦ƨƦƬǰǷ :ǂ Njdz
Ƣ
Ǽ¦

¿ 2003 -ºǿ1424 ńÂȋ ¦:ƨǠƦǘdz


¦

4 : ¦DŽ
Ƴȋ ¦®ƾǟ

459-458 :ƨƸǨǏ
 Keutamaan shalat jama’ah:
“Telah berkata kepadaku Yahya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin
Umar bahwasannya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “shalat jama’ah lebih
utama dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendirian”.
Bab shalat jama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian.
‫ض‬ yang berarti tambahan dan ‫الف ّذ‬ yang berarti sendirian. Dikatakan: ‘seorang
laki-laki menyendiri dari teman-temannya maka dia menjadi sendirian’.
(Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah
‫ ﷺ‬bersabda: shalat ‫) ص الة اجلماع ة ثفضل‬ dengan fathah di awalnya

dan sukun pada huruf ‫ ف‬dan dhamah pada huruf )‫ (صالة الف ّذ‬.‫ ض‬dengan fathah
pada huruf ‫ ف‬dan tasydid yang berarti sendirian, dan dalam riwayat imam
Muslim dari ‘Ubaidillah dengan dhamah pada huruf ‫ ع‬dari Nafi’ dari Ibnu
Umar: ‘shalatnya seorang laki-laki dengan berjama’ah itu lebih utama dari
shalatnya yang sendiri’. (‫درجة‬ ‫ )بسبع و عشرين‬At-Tirmidzi berkata: secara umum,
mereka yang meriwayatkan berkata ‫ مخسا وعشرين‬kecuali Ibnu Umar, ia berkata:
‫س بعا وعش رين‬, al-Hafizh berkata: “tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu
kecuali yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dari Abdullah dengan fathah pada
huruf ‫ ع‬al-‘umari berkata: ‫ و عشرين مخس‬akan tetapi al-‘umari dha’if, dan yang
12
Syarh az-Zarqani ala al Muwatha', Maktabah at tsaqafah ad Diniyah, Kairo, 2003. juz 1, hal 458-459
diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dari Abu Usamah dari Ubaidillah dengan
dhamah pada huruf ‫ ع‬dari Ibnu Umar dari Nafi’ beliau berkata:’‫‘ خبمس وعشرين‬
yaitu dengan ‫ ض‬yang berarti tambahan, dan ‫ الف ّذ‬yang berarti sendirian.
Dikatakan: “seorang laki-laki menyendiri maka ia menjadi sendirian”.

DAFTAR PUSTAKA

 Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik yang diterbitkan oleh


Dar al-Ma’rifah Bairut 1978.
 Al-Baiquni, Al mandzumah al-Baiquniy bi Syarh az Zarqoniy, kajian
ilmu hadis, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut.
 Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattaniy, Fahras al-Faharis wa al-
Atsbat wa Mu’jam, al-Ma’ajim wa al-Masyikhat wa al-Musalsalat, Dar
al-Gharb al-Islamiy Bairut, Cet. II, 1982
 Tesis, Metodologi syarah hadis nabi (tela’ah kitab Tanqih al-qaul al-
hasis fi Syarh Lubab al-Hadis) karya Imam Nawawi al-Bantani, fakhri
tajuddin mahdy, UIN Alauddin Makassar. http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/2326/1/FAKHRI%20TAJUDDIN%20MAHDY.pdf
 Abd al-Wahhab Abd al-Lathif “Muqaddimah” dalam Muwttha’ al-
Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-
Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-
Jumhuriyah al-Arabiyah al-Muttahidah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-
Islamiyah, Lajnah Ihya’ al-Turats al-Islamiy, 1967.
 Mengenal Kitab Syarah Al-Zarqaniy ‘Ala Muwattha’ al Imam Malik,
Muhammad Tauhid, LSQ Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan
Lampung 2012. http://laboratoriumstudial-
quran.blogspot.com/2012/03/mengenal-kitab-syarh-al-zarqaniy-ala.html?
m=1
 Syarh az-Zarqani ala al Muwatha', Muhammad bin Abdul Baqi bin
Yusuf az Zarqani al Mishri al Azhari, Tahqiq Thaha Abdur Rauf Sa'ad,
Maktabah at tsaqafah ad Diniyah, Kairo, 2003.

You might also like