You are on page 1of 261
Belia Writing Marathon Series ries. Dest teart at Why Tim ? wer re ar Ea Ya = Buat apa bikin baper, kalau akhirnya cuma dijadiin temen? HAULA S. Testimont untuk Dear Heart, Why Him? “DHWH sukses buat perasaan saya campur aduk dan rasanya kayak permen Nano Nano: asem di awal, manis di akhir. Selain itu, DHWH juga bikin nyandu. Pokoknya cerita ini bikin gereget, deh, hehe. Terima kasih —@Jessiwx, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Novel Dear Heart, Why Him? itu sumpah kereeennn banget. Bikin baper? Pasti. Malah bikin geregetan pas baca novelnya. Ditambah, di tiap babnya ada qoutes yang cocok buat dijadiin caption foto di Instagram. Novel Dear Heart, Why Him? memang novel terkomplet ever.” —@VamPireChia, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “DHWH ini bagus, menarik, plus keren abisss!!! Cerita ini bisa bikin emosiku nggak stabil dan terbawa suasana. Sedih ya nangis, bahagia ya loncat-loncat, hehe ©. Sakit ya nangis lagi, baper ya .... Buat jantung dag- dig-dug nggak karuan, cepet banget detaknya, udah kayak balapan Moto GP. Cerita ini bisa bikin aku nggak bisa diem ngotak-atik handphone, nungguin terus update-nya. Kak @haulaa_s pinter bgt deh buat kata- katanya. Sukses selalu kak @haulaa_s. Kakak berhasil bikin aku jatuh cinta sama DHWH.” —@Syanstory, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Salah satu cerita Wattpad terbaik yang aku baca. Tentang pertemanan yang sukses bikin aku iri sendiri, tentang friend zone yang bikin baper. Ditambah lagi dengan masing-masing sikap dan sifat dari setiap tokoh, membuat konflik dan lain sebagainya mempunyai nilai plus di mataku. Bahasanya yang ringan bikin jadi makin enak dibaca. Cocok untuk anak- anak remaja zaman sekarang. Karena setiap sudut masalahnya tidak terlalu sulit dipahami. Selain itu, judulnya juga bikin penasaran gimana ceritanya. Jadi, pasti semangat buat baca sampe akhir ©©®, Sukses selalu untuk karya selanjutnya, Kak. Jangan lupa buat bikin cerita-cerita yang lebih seru di Wattpad.” —@QueenChoco12, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Ter-Baperrr 2K17!!! Ceritaini tuh beda banget. Kak Haulaciptain tokohnya untuk nggak terlalu berangan tinggi, tapi lebih ke mempersiapkan diri untuk hal yang nggak terduga. Mulai dari Dalvin yang nggak peka-peka, sampai Bela yang labil banget sama perasaannya. Move on or stayy? Let's see!” —Nisrina Mawar, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Novel DHWH keren dan pecah! Novel ini sangat cocok untuk remaja. Alur ceritanya cukup sulit untuk ditebak sehingga sukses membuat readers jadi penasaran. Saya sangat merekomendasikan para remaja untuk beli novel DHWH.” —efaiqahhanah, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Menurutku, Kak Haula begitu apik menyusun cerita. Begitu hebat membuat para pembaca membuang waktu hanya untuk membaca part 1 ke part berikutnya. Semua rangkaian kata yang Kakak bikin sangat menyentuh. Membuat para pembaca nggak sabar melihat bagaimana kelanjutan ceritanya. Bagiku, Bela merupakan gambaran kebanyakan remaja sekarang. Berusaha mengubur perasaan, tapi selalu mengurungkan niat saat sang cowok malah membuatnya semakin cinta. Kalian tidak akan menyesal mengenal Dalvin dan Bela.” —Shanata Aura, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Awalnya iseng cari-cari teenfic, akhirnya nemuin DHWH dan kepincut banget dari awal baca, lalu jatuh cinta sama cerita ini. Setiap baca DHWH tuh suka baper, sering banget, kadang sampai nangis baca perjuangan Bela buat dapetin Dalvin. Nunggu nih cerita update dari awal tuh emang bener-bener perjuangan. Waktu tahu ini cerita update rasanya seneng banget kayak tahu kalau doi kita tuh peka, wkwkwk. Nggak sabar banget pengin tahu kelanjutan perjuangan Bela buat dapetin Dalvin. Very nice and very Good!” —Azizah Rohmah, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “DHWH itu cerita yang kesannya ‘anak sekarang banget’ gitu. Bahasanya ringan, alurnya mudah dimengerti, nggak berbelit-belit, kekinian, setiap part-nya bikin penasaran, feeling-nya juga dapet banget! Dan, perpaduan yang sempurna antara Bela dan Dalvin. I like this story! Recommended banget buat remaja zaman sekarang.” —Michelle Najoan, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad “Cerita DHWH itu ngajarin kita buat nggak benci sama orang karena kalau kita nggak tahu gimana orang itu sepenuhnya, kalau kita terlalu benci, itu bisa jadi kita malah suka. Cerita ini juga ngajarin kita buat lebih pintar menilai cowok buat dijadiin pacar, takutnya kayak Jos kan, yaaa :v. Terus tentang pentingnya ngejaga perasaan orang, terutama orang yang deket sama kita buat nggak ngasih perhatian yang berlebihan kalau kita memang nggak punya perasaan apa-apa. DHWH juga ngajarin kita buat selalu berpikir positif, tetap semangat sama apa yang kita jalani, seberat apa pun cobaan yang Allah kasih. Sesakit apa pun semuanya, kita harus tetap berpikir positif dan mikir semuanya baik-baik aja walaupun hati kita bilang kalau kita nggak sanggup karena mungkin dengan kita berpikir positif dan tetap semangat, semuanya akan sedikit lebih ringan.” —@aprilliakayeylipity, pembaca Dear Heart, Why Him? di Wattpad Hak cipta dilindungi undang-undang, Dilarang mengutip atau memperbanyak cebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tert i dari penerbit. Deat {lear} WhY Thm ? HAULA S. Dear Heart, Why Him? Karya Haula S. Cetakan Pertama, November 2017 Penyunting: Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari Perancang & ilustrasi sampul: Dilidita Tlustrasi isi: Larasita Apsari Pemeriksa aksara: Achmad Muchtar Penata aksara: Rio Diterbitkan oleh Penerbit Bentang Belia (PT Bentang Pustaka) Anggota Tkapi Jin, Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 889248 - Faks. (0274) 883753 Surel: infoebentangpustaka.com Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com http://www:bentangpustaka.com Haula S. Dear Heart, Why Him?/Haula S.; penyunting, Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari.— ‘Yogyakarta: Bentang Belia, 2017. viii + 252 hlm; 20,8 cm ISBN 978-602-430-189-7 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing J. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Telp.: +62-21-7864547 (Hunting) Faks.: +62-21-7864272 Surel: mizandigitalpublishingemizan.com Untuk Mamak dan Bapak Daftar isi Prolog = 1 Balas. DenBawy Berujung Petula Musuly Baile Hat "i Mawar Migtonins- B Secuet Admixer 31 Gracious Dafiin 4 Kali, Kedua i] fosee 63 Peefect Steangers 69 Keneata Kanu, Dobra, 80 On, Felobet; Ow 50 The hut == 99 Don't let Me Down, 105 Raut 10 What fs Love? 120 Me cad: My Broken Heat 132 Fat 137 Aha Bises hoa? 183 Kencou, 194 Pete daw Teralhie, 20t Mengbifaarg rT Sadat, Pan, 14 Aebix, Conite Kita 232 Ucapan Tecima Kasif, 246 Profil Perbis 147 Pelajaran yang Bela dapatkan saat mencintai Dalvin adalah jangan mengharapkan sesuatu yang indah saat Jatuh cinta, tapi persiapkan hatimu untuk menghadapi seribu satu hal yang menyakitkan. I Bela bangun tepat setengah jam sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia duga sejak akan beranjak tidur. Semua ini karena ia menonton drama Korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Bela menyalahkan dramanya yang memiliki belasan episode dan membuat penasaran. Jadilah ia memaksa menghabiskannya hingga tengah malam. “Mamaaa, kok, nggak bangunin Bela, siiih?” Cewek itu mencebikkan bibir mendapati kedua orang tuanya kini hampir selesai sarapan sementara dia baru turun dari kamar dengan seragam yang terpasang acak-acakan. “Hei, kamu udah Mama bangunin dari dua jam yang alu!” Bela mendengus, cewek itu tidak membalas ucapan Mama dan buru- buru menyalami mama dan papanya. “Bela berangkat, ya, udah telat,” ucap Bela sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Usai berpamitan, tanpa babibu, Bela segera berlari menuju garasi, memasuki mobil putih kesayangannya, menyalakan mesin, dan menginjak pedal gas. Bersama Bela, si putih memelesat cepat menyisakan asap tipis. Bela termasuk siswa yang patuh akan peraturan lalu lintas, tapi tidak untuk hari ini, Dari kejauhan, Bela dapat melihat lampu dekat perempatan jalan menyala dengan warna merah. Cewek itu meringis. Jika dia menunggu lampu hijau menyala maka akan memakan banyak waktu. Percuma, dong, dia ngebut tadi. Tak ada pilihan lain. Bela menggigit bibir bawahnya, mengumpulkan keberanian untuk menerobos lampu merah. Sesekali melanggar tak apa, pikirnya. Dengan satu entakan kaki, mobil putih itu langsung melaju kencang menerobos aturan yang mengharuskannya berhenti. Bela hanya bisa mengucap maaf dalam hati kepada orang-orang di perempatan jalan yang menyumpahinya. Satu belokan lagi, Bela akan segera sampai di sekolah. Waktu yang tersisa hanya dua menit dan Bela harus benar-benar memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Beribu syukur Bela ucapkan melihat gerbang sekolah belum ditutup. Pak Satpam sepertinya baru akan menutup gerbang. Bela segera menekan klakson bersamaan dengan menginjak pedal gas. Mobil putihnya meraung hebat membuat Pak Satpam terkejut dan refleks melompat menjauh dari gerbang. “Yess!” Bela menyeringai, tepat setelah mobilnya sukses memasuki arena sekolah, bel masuk berbunyi. Kini ia bisa bernapas lega. Tidak perlu pusing memikirkan hukuman karena terlambat. Baru saja hendak memarkirkan mobil di tempat biasa ia parkir setiap hari, sebuah mobil CRV menyerobot dari arah samping dan menempati parkiran yang sudah Bela incar. “Lah, siapa yang berani ngambil tempat parkir gue?” sungutnya kesal. Ia menekan klakson berkali-kali, tetapi tak ada respons dari mobil di depannya. Tak mau berlama-lama, Bela memilih keluar dari mobil, kemudian menghampiri mobil CRV hitam tadi. “Woi, keluar lo!” suruh Bela sambil mengetuk kaca mobil tak sabaran. Bela tak ikhlas tempat parkir strategisnya diambil. “Lama banget, sih! Keluar lo!” Bela sedikit mundur ketika pintu mobil itu terbuka. Seorang cowok berperawakan tinggi dengan kulit putih keluar dari mobil tersebut. Bela harus mendongak saat menatap cowok itu karena tinggi mereka yang terpaut cukup jauh. “Ini tempat parkir gue. Kok, jadi lo yang ambil?” Dengan tampang angkuh cowok itu menatap Bela, kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Parkiran ini punya nenek lo?” tanyanya tenang. “Yaaa ... bukan, sih, tapi kan, tiap hari gue yang parkir di sini.” “Siapa cepat, dia dapat,” kata cowok itu cuek dengan nada menyebalkan, kemudian melangkah pergi. Baru satu langkah cowok itu menjauh, Bela segera menahan pergelangan tangannya. Bela tidak akan pernah ikhlas mobil kesayangannya parkir di luar sekolah, mengingat parkiran di dalam sudah penuh. “Pindahin mobil lo sekarang!” tandas Bela. “Gue yang duluan dateng,” lanjutnya menegaskan. “Kalau gue nggak mau?” tanya cowok itu sambil menaikkan alis. Bela membasahi bibir, emosinya mulai tersulut. “Lo jangan banyak gaya, deh. Gue bilang pindahin, ya, pindahin!” Bela berseru kesal. Cowok itu mengernyit. “Emang lo siapa berani nyuruh-nyuruh gue?” Sepertinya cowok itu juga mulai kesal, sama seperti Bela. “Gue yang punya tempat parkir ini, mau apa lo?!,” sahut Bela tersungut. Cowok menyebalkan itu berdecih. “Nggak usah mimpi lo! Ini parkiran sekolah. Jangan sok jadi ratu, deh. Semua orang juga bayar sekolah di sini. Sekarang mending mobil butut lo ini lo parkirin di luar.” “What?” Bela berkacak pinggang, memandang tak percaya. “Mobil butut?” Entah cowok itu buta entah apa, Bela tak tahu. Yang ia tahu mobil kesayangannya ini termasuk dalam golongan mobil mewah dengan harga tinggi. Satu lagi, mobil ini adalah mobil kesayangannya. Jelas saja ia semakin emosi karena hinaan itu. Kini ia tidak bisa menahannya lagi. Tangannya sudah mulai gatal ingin menjambaki rambut cowok tinggi itu. Jarinya mengepal, bogem mentahnya sebentar lagi akan lepas landas. Baru saja Bela mengambil ancang-ancang untuk membuat biru wajah cowok itu, tiba-tiba sebuah suara membuat kedua anak itu menoleh. “Bela! Dalvin! Apa yang kalian lakukan di sini? Mau bolos berdua? Mau pergi pacaran?” Hari yang sial bagi Bela, itu Pak Marta, guru berkumis lebat yang menyeramkan, baru saja meneriakkan namanya. “Eh? Nggak, kok, Pak, saya baru dateng. Lagian saya nggak kenal anak ini, kok. Dia ngambil tempat parkir saya,” jelas Bela setelah Pak Marta berdiri di hadapannya. “Jangan kamu pikir saya tidak tahu. Sudah banyak anak yang tertangkap seperti kalian berdua ini. Alasannya sama, itu-itu saja.” “Pak, Bapak salah paham. Ka—” “Masih saja mengelak.” Tangan guru itu terangkat menarik telinga Bela dan Dalvin bersamaan. “Kalian ikut Bapak ke Ruang BK! Jangan coba-coba membolos, ya.” I Sudah lima menit Bela mengomel menyalahkan Dalvin. Dia dan Dalvin diberikan hukuman karena disangka akan bolos. Sialnya lagi, ia dituduh berpacaran dengan Dalvin. Mereka berdua ditugaskan mengepel lantai aula sekolah yang luas. “Daripada kalian pergi pacaran, kalian pel aula saja. Pacaran bermanfaat, tidak perlu bolos,” begitu kata Pak Marta sebelum memberikan alat pel kepada Bela dan Dalvin. “Ribut banget, sih, lo. Udah, jalanin aja. Nggak usah lebay!” “Apa lo bilang?!” Bela memekik tak percaya. “Gue bilang lo lebay.” “What!” Mata Bela membuka lebar. Ia tak terima dikatai seperti itu. Dalvin orang pertama yang mengatakan bahwa ia lebay. Padahal, cowok- cowok selalu memujinya. “Bisa, nggak, sih, lo jangan teriak-teriak pakai suara cempreng gitu?” Dalvin yang sejak tadi sibuk mengepel, menghentikan aktivitasnya dan memandang Bela kesal. “Lo ngatain gue lagi?” tanya Bela geram. Sepertinya cowok ini diciptakan untuk membuat Bela emosi. “Iya, cempreng,” kata Dalvin memperjelas. “Berani lo, ya!” “Ngapain takut.” Cewek itu mengangkat alat pel yang dipegangnya, kemudian ia arahkan ke wajah Dalvin. “Mulut lo perlu dipel biar sopan!” Dalvin berjalan mundur. “Woi! Gila lo, ya?” Ekspresi takut Dalvin membuat Bela tertawa puas dan semakin maju menyodorkan alat pel ke wajah Dalvin. Semakin lama Bela semakin dekat. Wajah Dalvin makin menunjukkan rasa takut. Bela semakin senang dan merasa menang. Berkali-kali Dalvin mengancam Bela, tapi cewek itu tak peduli, ia tak takut. Hingga akhirnya tak sengaja kaki Bela menginjak lantai yang masih basah. Bela terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan, lantas ia jatuh dengan bokong terempas ke lantai. “Aduh!” ringisnya merasakan ngilu di bawah sana. Hening sejenak. “Wahahahahahahahahaha ....” Tawa Dalvin menggelegar, menggema, memantul di setiap sisi tembok, kemudian kembali ke telinga Bela. “Rasain lo!” Dalvin tersenyum miring, memasukkan kedua tangan ke dalam saku, kemudian pergi dengan langkah angkuhnya. Part 1 Balos Dendam, Berujung Petaka Tidak semua hal buruk adalah petaka. Bisa saja ia datang dengan kebaikan yang mengiringi di belakangnya. ajah Dalvin bermandikan keringat. Sepulang sekolah, ia dan tim berlatih futsal sampai sekarang. Tak ada rasa lelah yang Dalvin rasakan. Menurutnya, menggiring dan menendang bola adalah hal yang sangat menyenangkan. Dalvin dan tim berlatih hingga sore begini karena sebulan lagi mereka akan mengikuti perlombaan futsal antar-SMA tingkat kota. Pelatih meniupkan peluit, menandakan permainan selesai. Seluruh pemain berlari menuju tas masing-masing dan mengambil minum. Satu botol air mineral sudah Dalvin habiskan, setelah itu ia berlari kecil menghampiri pelatih tim yang memanggilnya. “Good job, Vin! Kamu dan teman-temanmu sudah menunjukkan banyak perubahan ke arah yang lebih baik.” Raka menepuk-nepuk pundak Dalvin. Ia merasa bangga memiliki Dalvin sebagai kapten di tim yang ja latih. Pelatih muda itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah pukul enam, saya harus pergi. Latihan kita tutup.” Dalvin mengangguk patuh. Tepukan tangan Raka mengumpulkan semua anggota. “Tetap semangat semuanya, kita pasti berhasil” ucap Raka menyemangati. Sebelum bubar, mereka semua berdoa terlebih dahulu. Setelahnya, dengan dipimpin Dalvin mereka berteriak, “Pasti bisa!” bersama-sama. Baju yang basah karena keringat, wajah kusam, dan rambut yang acak- acakan tidak menurunkan sedikit pun ketampanan seorang Dalvin. Tak heran banyak cewek yang diam-diam jatuh hati kepada Dalvin. Namun, sifat Dalvin yang cuek dan terkadang menyebalkan membuat semua cewek malas berdekatan dengannya. Cowok itu berjalan sendirian menuju parkiran. Sejenak ia terdiam memandangi mobilnya. Otaknya mengulang kejadian tadi pagi, ketika ia bertemu dengan cewek cerewet sekaligus menyebalkan. Rasa kesal masih melingkupi hati Dalvin, dalam diam ia berdoa agar ia tidak pernah bertemu cewek itu lagi. IIa Malam ini Bela sibuk mencari nama Dalvin di semua media sosial miliknya, tapiia tak juga menemukan akun milik cowok nyebelin itu. Bela berencana balas dendam. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengorek info tentang Dalvin. Empat kali ia bolak-balik mengganti kata kunci, membuka profil akun dengan username yang berhubungan dengan nama Dalvin, hasilnya masih sama. Bela tetap belum menemukan akun milik cowok itu. Tiba-tiba saja layar di ponsel Bela berganti dengan tulisan “Nanda is calling”. Alis Bela bertemu, untuk apa sahabatnya itu menelepon malam- malam begini. “Halo,” sebuah suara terdengar setelah ponsel Bela tersambung dengan ponsel Nanda di seberang sana. Bela menghidupkan mode speaker di ponselnya dan kembali mencari akun Dalvin. “Iya, Nan. Tumben telepon gue malem-malem. Kenapa?” “Nggak kenapa-kenapa, sih, gue bosen aja. Jos lagi pergi sama nyokapnya. Gue nggak ada temen chat, makanya nelepon lo.” Bela memutar bola mata. “Oh, jadi, gue cuma jadi cadangan kalo cowok lo lagi sibuk,” sindir Bela yang membuat Nanda terkekeh. “Bisa dibilang gitu.” “Ah, lo mah gitu. Gue matiin aja, deh, teleponnya. Lagian gue lagi banyak kerjaan.” Bela turun dari kasurnya dan keluar dari kamar untuk mengambil minum. Ia merasa haus setelah sekian lama mencari Dalvin di dunia maya. “Jomlo sibuk ngapain, sih? Paling juga nge-stalk doang sibuknya,” kata Nanda yang dibenarkan Bela dalam hati. “Jangan salah, Say! Jomlo gini, Bela banyak fannya.” ‘Apa yang Bela katakan memang benar, bukan hanya sekadar alibi untuk meninggikan derajatnya yang telah diturunkan Nanda karena ia tak punya pacar. Bela termasuk cewek most wanted di sekolah. Mungkin karena terlalu banyak cowok yang mendekati, makanya Bela malas berpacaran. “Yah, air habis.” Bela menatap sedih galon kosong di hadapannya. “Kenapa, Bel?” tanya Nanda heran dengan ucapan Bela yang tidak nyambung dengan topik percakapan mereka. “Ini, gue mau minum, tapi air di rumah habis.” “Yaelah gitu doang susah amat. Minimarket banyak, Coy, tinggal beli!” “Iya, ini gue mau pergibeli. Udah dulu, ya, Nan, bye.” Belamemutuskan sambungan tanpa menunggu persetujuan Nanda. Ia segera kembali ke dalam kamar dan mengambil kunci mobil serta meraih jaket berwarna biru tua di dalam lemari. Sebelum pergi membeli air, Bela terlebih dahulu pergi ke kamar Rani, mamanya, untuk meminta izin. “Mam, Bela keluar dulu, ya, mau beli air.” Rani yang sedang membaca majalah mengangkat wajah, lalu memandang Bela heran. “Minum air di rumah aja, Sayang” “Habis, Mam.” “Oh, ya udah, deh, hati-hati. Jangan ngebut, jangan lama-lama, cari jalannya yang ramai.” Bela hanya mengangguk. Tidak ada pilihan lain jika mamanya sudah mulai cerewet begini. “Sebelum ambil air, lihat tanggal kedaluwarsanya dulu. Jangan jajan sembarangan. Ja—” “Iya, Mamaku sayaaang, Bela pergi dulu.” Bela langsung menyalami Mama dan segera pergi. Jika tidak begini, khotbah panjang Mama tidak akan selesai, bisa-bisa Bela keburu dehidrasi. II Bela menelusuri rak-rak tempat snack berjejer dengan rapi. Walaupun Rani sudah berpesan kepadanya agar tidak jajan sembarangan, Bela tidak akan tahan saat berbungkus-bungkus snack melambai dengan cantik sambil memanggilnya. “Chitato, Lay's, Happy Tos, Taro, Ring, KitKat.” Bela mengabsen merek-merek snack yang kini memenuhi keranjang belanjaannya. “Ah, rumput laut tercinta belum,” gumamnya. Kemudian, ia mengingat-ingat tempat biasanya snack itu diletakkan. “Ah, itu dia.” Bela tersenyum cerah saat matanya menangkap snack yang ia sukai. Hanya tersisa satu bungkus, bersyukur Bela cepat melihatnya tadi. Tangan cewek itu segera mengambil snack rumput laut itu. Namun, di saat yang bersamaan, tangan seseorang juga mengambil snack yang Bela ambil. “Eh.” Bela menarik tangannya dan mengurungkan niat untuk membeli. Orang yang hendak mengambil snack yang sama dengan Bela juga tak jadi mengambil. “Ambil aja, Mbak, saya nggak jadi.” Baik banget ni orang, batin Bela. Dia segera meraih snack itu lagi dan hendak berterima kasih, tapi orang baik tadi sudah lebih dulu pergi. Bahkan, Bela juga belum sempat melihat wajahnya. Punggung orang itu masih dekat, Bela segera mengejar. “Mas, makasih, ya,” kata Bela mencolek lengan orang baik tadi. Cowok baik yang mengenakan kaus hitam itu pun berbalik. Bela terbelalak. Ia terkejut dengan mata yang membesar serta bibir terbuka. Sesaat setelah melihat wajah orang itu, otaknya terasa dipenuhi kobaran api. “Lo?!” pekik Bela sambil menunjuk wajah cowok baik di hadapannya yang ternyata adalah Dalvin. “Nggak perlu bilang makasih.” Dalvin berucap datar, seperti tidak ada keterkejutan di wajahnya saat melihat Bela. Tak mau berlama-lama, cowok itu kembali berbalik dan melangkah pergi mendorong troli belanjaannya. “Dih, songong banget!” Bela memandangi Dalvin yang terlihat buru- buru menuju meja kasir. “Awas aja lo!” Bela sangat ingin melempar kepala cowok itu dengan botol minuman yang ada di sampingnya. “Nggak mau tahu, gue harus bikin dia kesel!” Bela berjalan pelan sembari berpikir keras mencari ide yang bagus untuk membalas Dalvin. Hanya sebentar, ide itu langsung muncul karena rasa ingin balas dendam yang begitu menggebu dalam dirinya. Bela tersenyum licik. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berlari sambil mendorong troli belanjaannya sekuat tenaga. Persetan dengan orang- orang yang memandanginya dengan tatapan aneh. Hal yang terpenting sekarang adalah Bela ingin membalaskan dendamnya. Dalvin tersentak saat Bela tiba-tiba menyalipnya dengan kecepatan penuh dari arah samping. Bukan apa-apa, hanya saja troli yang didorong Bela hampir mengenaiDalvin. Untung cowokitu dengan cepat menghindar. IIa Bela menyeringai, melirik Dalvin dengan sudut matanya, setelah berhasil berdiri tepat di depan meja kasir lebih dahulu daripada Dalvin. “Maaf, ya, Mas, saya duluan, soalnya harus cepet-cepet,” ucapnya sambil menatap Dalvin dengan senyum manis yang mengejek. “Ya, nggak apa-apa.” Hanya itu sahutan dari Dalvin dan terdengar tak peduli. Bela mendengus, kemudian memindahkan belanjaannya dari troli ke atas meja kasir. Sok baik, Dasar muka dua! Ini belum seberapa, cowok songong! Lo harus ngerasain rasanya pantat kepentok lantai! “Totalnya delapan puluh lima ribu, Mbak.” Suara kasir tadi menyadarkan Bela yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Bela mengangguk, kemudian merogoh saku jaketnya, mencari uang seratus ribu yang ia bawa. Cukup lama jarinya mencari. Perlahan, keningnya muncul lipatan halus. Seingatnya ia menaruh uang itu di dalam jaket sebelum berangkat, tapi tak ada apa pun yang ia temukan di dalam saku. Tenang, Bela cantik, cari di celana, batinnya menenangkan diri sendiri. Bela kemudian memeriksa dua saku celananya. Tindakan yang sia-sia. Tidak ada apa-apa di dalam sana. Bela tak dapat mengelak bahwa ia mulai panik. Gelagat gugupnya tak bisa ia sembunyikan, membuat sang kasir menatapnya curiga. Dengan cepat, Bela memeriksa kembali semua saku di pakaiannya, tetapi tetap sama, nihil. Jantungnya berdegup tak karuan. Bela menggigit bibir bawah, wajahnya memucat. Mati gue! “Hmmm ... anu, Mbak.” Bela menelan ludah berusaha mati-matian agar suaranya tidak terdengar aneh. “U-uang saya ketinggalan.” Setelah mengumpulkan keberanian, Bela mengatakan yang sebenarnya meski terbata-bata. Kasir di depannya tersenyum masam. Bela langsung berpikir, Mbak Kasir di depannya ini pasti baru mengalami hal buruk. Tidak biasanya pegawai minimarket ini berwajah masam seperti itu. “Ya udah nggak apa-apa, Mbak. Tapi, barang belanjaannya kembalikan ke tempatnya, ya. Banyak antrean di belakang,” ujar kasir itu tanpa senyum. Bela mengangguk dan langsung mengulurkan tangan, hendak mengambil barang-barang yang tak jadi dibelinya. Namun, sebuah suara menghentikan gerakan tangannya. “Mbak, biar saya aja yang bayarin belanjaan cewek ini. Sekalian digabung sama punya saya aja.” Bela tersentak, kemudian mengangkat wajahnya. w90 Dengan tergesa, Bela mengikuti langkah lebar Dalvin hingga parkiran sambil membawa kantong plastik berisi penuh snack dan minuman. “Uang lo bakalan gue ganti. Gue nggak sudi berutang budi sama lo.” Tanpa menghiraukan perkataan Bela, Dalvin terus berjalan, sedikit pun ia tak berbalik memandang Bela yang mengekor di belakangnya. “Sombong banget, sih, lo!” teriak Bela geram karena Dalvin tak juga menghiraukannya. Bela mengentak-entakkan kaki ke tanah agar Dalvin mau berbalik. Akhirnya, Dalvin berhenti. Cowok itu menarik napas dalam, kemudian diembuskannya kasar seraya berbalik menatap Bela jengah. “Bisa, nggak, sih, lo diem?” tanya Dalvin risi karena tingkah Bela. “Masalah uang, lo lupain aja. Gue bayarin lo karena orang tua gue ngajarin gue untuk berbagi sama orang yang nggak mampu.” Dalvin memberi jeda. “Urusan kita selesai, jangan ngikutin gue lagi,” tambahnya. Ia lalu berbalik dan kembali melangkah menuju mobilnya. Rahang Bela terkatup rapat, giginya bergemeletuk. Dalvin merendahkan harga dirinya. Omongan cowok itu membuatnya kesal bukan kepalang. “Gue nggak butuh bantuan lo, cowok songong!” Bela melemparkan kantong yang ia bawa ke arah Dalvin hingga mengenai kaki cowok itu. Segala jenis makanan yang berada di dalam kantong itu berhamburan keluar, berserakan di atas tanah. Dalvin segera berbalik, kemudian menunduk, menatap snack yang berserakan di tanah. “Makan tuh!” sambung Bela masih dengan teriakan mautnya yang membuat dirinya kembali menjadi pusat perhatian semua orang, tapi kali ini ia tak peduli. Emosi Bela sudah di ubun-ubun. Cewek itu berjalan mendekat ke arah Dalvin dengan tatapan tajamnya sementara Dalvin berdiri menghadap Bela dengan wajah yang memerah. Emosi cowok itu juga sudah mulai terpancing. “Entah berbagi seperti apa yang orang tua lo ajarin. Yang pasti, dari penilaian gue, orang tua lo gagal total ngedidik anaknya,” ucap Bela menusuk serta penuh kemarahan dengan penekanan di setiap kata. Dalvin berdecak, sorot matanya tak kalah tajam menusuk bola mata Bela. “Seenggaknya orang tua gue nggak ngajarin anaknya belanja tanpa bayar.” Plak! Tamparan Bela dengan telak menyapa pipi Dalvin. “Itu cocok buat cowok yang mulutnya tajem kayak lo!” Bela bersungut. Kemudian, ia berbalik, meninggalkan Dalvin yang mengepalkan tangannya dengan kuat. Part 2 Musul Baik Hati Kamu boleh menganggapku musuhmu. Tapi. aku tak pernah ingin welihatmu terluka. go crius, Bel, longgak makan, nih?” tanya Nanda yang baru datang sambil membawa semangkuk mi ayam. Bela menggeleng, ia tidak suka makan sesuatu yang berkuah di pagi hari. Lagi pula, tadi ia juga sudah sarapan di rumah. Nanda mengangguk sambil meletakkan mangkuk mi ayamnya di atas meja, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Bela. “Surganya siswa itu pas perut laper, eh nggak ada guru,” ucap Nanda. Kemudian, ia mengaduk mi ayamnya hingga makanan itu mengeluarkan kepulan asap tipis. “Setuju! Apalagi pas pelajaran Fisika pula yang nggak ada guru. Beuh! Adem banget rasanya.” Nanda tertawa. “Ngomong-ngomong, Pak Guru ke mana, ya? Nggak biasanya dia nggak ngajar. Padahal, biasanya kan, dia guru paling rajin.” Bela mengedikkan bahu. “Bodo amatlah dia mau ke mana, yang penting kita nggak belajar pagi ini.” “Iya juga, sih. Hehehe “Nda, gue mau nanya, deh,” bisik Bela. “Nanya apaan?” Nanda menatap Bela heran, untuk apa Bela bisik- bisik jika hanya sekadar bertanya kepadanya. Bela menengok ke kiri dan kanan, waspada jika nanti ada yang mendengarnya. “Lo kenal Dalvin?” tanya Bela hati-hati. Nanda berhenti memakan mi ayamnya. Ia mengalihkan pandangan dari mangkuk ke wajah Bela yang penasaran. “Maksud lo, Dalvin anak kelas XI IPA 6?” “Nggak tahu. Gue cuma tahu namanya. Orangnya tinggi, putih, terus tampangnya sangar. Eh, sangar nggak, ya? Negak tahulah. Intinya, kalo dilihatin tuh, bikin kesel.” “Kayaknya sih, iya, kalo yang lo maksud tuh, Dalvin anak XI IPA 6, si Kapten Futsal itu. Setahu gue, nama Dalvin di sekolah ini, ya cuma dia. Tampangnya sih, emang sangar, tapi hatinya menawan,” jelas Nanda sambil tersenyum malu-malu. Bela mendelik. Sambil terkekeh, Nanda kembali menyantap mi ayamnya yang sudah mulai dingin. “Emang kenapa, Bel?” tanyanya penasaran. Tidak biasanya Bela menanyakan soal cowok kepadanya. Bela menggeleng. “Nggak, gue cuma nanya aja,” jawab Bela berbohong. Nanda memandang curiga, memicingkan mata sambil tersenyum usil. “Lo naksir, yaaa, sama dia?” “Th, amit-amittt! Nggak mungkin gue naksir cowok kayak gitu!” ucap Bela sewot. “Kok, lo sewot, sih? Tuh kaaannn, suka. Naksir, ya? Nggak apa-apa, kali, dia juga lagi jomlo sekarang. Lumayan, tahu! Udah ganteng, anak futsal, pinter, berkarisma, followers Instagram-nya juga banyak. Intinya kalo dia sama lo, nggak ada yang bakal kebanting, deh. Kalian selevel gitu,” cerocos Nanda. “Cerewet lo, ah! Cepetan habisin mi ayam lo. Entar keburu jam Fisika selesai.” Bela melipat tangannya di depan dada dengan wajah kesal. Tap ... tap... tap .... Terdengar suara derap langkah yang semakin lama semakin keras. Awalnya sih, Bela tak peduli, tapi karena namanya dipanggil, gadis itu menoleh ke belakang. Dia melihat Ira yang sedang berlari ke arahnya. Ira berdiri tepat di samping meja tempat Bela duduk. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasanya dia mau pingsan karena berlari dari lantai dua hingga ke kantin sekolah. “Gila! Kelas lagi kena bencana, kalian malah enak-enakan makan di sini.” Bela dan Nanda menatap Ira bingung. Baru datang, Ira sudah berkata seperti itu. “Kalian dicariin Pak Edi,” tutur Ira dengan wajah pucat pasi. Selain karena berlari, wajah pucatnya disebabkan oleh nama guru yang ia sebut tadi. Bela yang mendengarnya, lantas kaget. “PAK EDI?!” pekiknya bersamaan dengan Nanda. Bahkan, Nanda sampai menggebrak meja. Sedikit lebay. “Bukannya Pak Edinggak masuk?” tanya Bela khawatir. Ya, ia khawatir dengan keselamatannya setelah ini. “Aduh! Ceritanya panjang, sekarang lo berdua dicariin. Tadi Pak Guru di kelas marah-marah gara-gara kalian nggak ada di kelas. Katanya, sekalipun nggak ada guru, kita nggak boleh keluar.” ws90 “Ahhh, capek, nggak kuat gue,” keluh Nanda. Ia dan Bela sudah berlari mengelilingi lapangan lima putaran. Ada lima putaran lagi yang masih menunggu mereka. “Ayo, Nan, semangat! Kaloistirahat terus nanti nggak selesai-selesai!” teriak Bela yang berlari di depan Nanda. “Nggak, ah, gue mau istirahat,” kata Nanda, kemudian larinya semakin pelan. Cewek itu melangkah ke kursi besi panjang yang ada di pinggir lapangan. Sementara itu, Bela masih kekeh berlari. Sesekali Bela menengok ke belakang sambil melambaikan tangannya ke arah Nanda, mengajak temannya itu untuk berlari bersama. Bela merasa matanya sudah tak waras, larinya melambat. Baru saja ia melihat sesosok manusia yang paling dibencinya di muka bumi ini. Dan, what?! Orang itu sekarang sedang berjalan ke arahnya. Cowok itu tersenyum kepadanya, membuat Bela mengerjap tak percaya. “Itu cowok udah gila apa, ya? Ngapain nyamperin gue?” Seketika wajah Bela memerah karena malu. Bela sadar, ia baru saja kege-eran. Dalvin dan teman-teman datang ke lapangan untuk bermain bola. Bukan untuk menghampirinya. Cowok itu dan teman-temannya berjalan begitu saja melewati Bela, seakan-akan Bela tidak ada di sana. “Kok, gue ge-er gini, sih,” desis Bela. Kesal bercampur malu. Dia menjadi tidak bersemangat lagi untuk berlari. Bela memutuskan untuk mengikuti jejak Nanda, beristirahat sebentar. Kalau bisa, ia ingin mengajak Nanda kabur dari hukuman yang sedang mereka jalani. Dirinya malas jika dekat-dekat dengan Dalvin. “Nyerah, Bu?” Nanda yang duduk mendongak menatap Bela. “Males lari, ada sampah di lapangan.” Nanda mengangkat alis karena perkataan Bela. Dia tidak mengerti. Cewek itu segera memiringkan badan menghadap Bela yang kini sudah duduk di sampingnya. “Sampah? Siapa yang buang sampah sembarangan?” “Maksud gue bukan kotoran itu,” sahut Bela gemas. “Itu tuh kotorannya.” Nanda mengikuti arah telunjuk Bela. Titik pandangannya jatuh pada cowok tinggi yang sedang menguasai bola di tengah lapangan. “Itu Dalvin, kan?” “Ya, memang, Dalvin,” jawab Bela sensi. “Kok, bilang kotoran?” “JIHAN NABILA PRANJASDHINA! NANDA KUMALA! SIAPA YANG NYURUH KALIAN DUDUK?!” Bela dan Nanda lantas mendongak bersamaan. Tidak hanya Bela, semua orang yang ada di lapangan juga mendongak. Di atas sana, dilantai dua, Pak Edi sedang memelotot ke arah dua siswi yang ia beri hukuman. “Lariii!” Terdengar suara teriakan Pak Edi yang berasal dari pengeras suara yang dipegang guru itu. Bela dan Nanda langsung beranjak dari duduknya, kembali berlari pontang-panting di pinggir lapangan. “Hukuman kalian Bapak tambah, lima putaran lagi!” Bela mendesah gusar. Lima putaran saja ia sudah merasa nyawanya hampir melayang entah ke mana. Sekarang Pak Edi menambah hukuman mereka. Bisa-bisa Bela harus dibawa ke UGD. Cewek itu mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia menengok ke arah lapangan, semua anak yang sedang main bola malah jadi menonton ia dan Nanda berlari. “Sial,” bisiknya. Secara tak sengaja, mata Bela bertemu dengan iris hitam Dalvin. Betapa Bela ingin menjambak rambut cowok itu saat Dalvin tersenyum mengejek ke arahnya. Bela kembali meluruskan pandangannya ke depan. Ia tak mau emosinya terpancing. Tanpa Bela sadari, Dalvin, cowok yang teramat ia benci sedang berlari menghampirinya sambil membawa sebotol minuman dingin. Suara kor serta siulan memenuhi pendengaran Bela. Cewek itu menoleh, ia terperanjat. Bela terbelalak mendapati Dalvin yang kini sudah ikut berlari di sampingnya. Entah sejak kapan Dalvin ada di dekatnya, Bela tidak tahu dan tidak ingin tahu. Serta merta cewek itu mempercepat larinya untuk menghindari Dalvin. Tak mau tertinggal, Dalvin ikut mempercepat larinya. Menyejajarkan setiap langkah kakinya dengan Bela. “Cewek pembuat onar, lo bolos, ya, makanya dihukum? Ckckckck ....” Dalvin mendecakkan lidah sambil geleng-geleng. “Nggak heran, sih, gue.” Cowok itu tertawa kecil. Sesekali ia sengaja menyentuhkan botol minuman dingin itu di lengan Bela. Diam-diam Bela melirik minuman di tangan Dalvin. Si pemilik minuman itu menyadarinya. Dalvin tersenyum geli. “Mau?” tawar Dalvin mengangkat sebelah alisnya sambil menyodorkan minuman dingin itu ke hadapan Bela. Bela berdecih. “Sampe kiamat, gue nggak akan pernah mau nerima apa pun darilo.” Dalvin mengulum senyum, kemudian mengangguk. “Oke, nggak masalah.” Cowok itu berhenti berlari, membiarkan Bela terus melaju meninggalkannya. Bela tak bisa menahan kepalanya untuk tidak menengok ke belakang karena Dalvin tidak berlari di sampingnya lagi. Saat pandangan mereka bertemu, Dalvin tersenyum kepadanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Dasar cowok gila,” gerutu Bela jengkel. IIa Sore ini matahari bersembunyi di balik awan hitam yang menutupi langit. Rintik hujan mulai turun. Butir lembut air membasahi kaca depan mobil Bela. Hujan sebentar lagi akan turun dengan lebat. Bela menambah laju kendaraannya agar cepat sampai rumah. Jalanan luar tampak lengang. Hanya ada satu dua kendaraan berlalu lalang. Namun, bukan itu yang Bela khawatirkan. Jika hanya hujan deras dan jalanan sepi, Bela tak apa. Namun, jika hujan deras ditemani kilat dan guntur yang besar, tentu Bela akan ketakutan. Ya, dia menderita astraphobia, rasa takut yang berlebihan dan abnormal terhadap petir. 0 Sepertinya doa Bela tak dikabulkan. Hujan malah semakin deras, membuat jalanan luar tampak seperti berkabut. Cewek itu melipat bibir hingga setipis garis lurus. Sedikit demi sedikit rasa takutnya mulai datang. Di atas sana, awan semakin tebal, saling menggulung dan menggumpal. Warna putih tak lagi mendominasi. Gelap dan mengerikan, begitulah keadaan di atas sana. Kilatan cahaya merah memecah awan hitam di langit. Menghasilkan suara yang begitu Bela takuti. Keadaan semakin kacau. Tak hanya sekali, petir menyambar berkali-kali. Konsentrasi Bela melebur bersama rasa takutnya. AC mobil tak dapat mencegah keringatnya yang terus mengucur. Tangannya semakin dingin. Bibirnya memucat. Kesadaran Bela perlahan menghilang. Yang tersisa hanya rasa takut. Keselamatan tak lagi ia pikirkan. Satu hal yang ia mau sekarang adalah sampai rumah lebih cepat. Tiba-tiba sebuah mobil menyeberangi jalan yang dilalui Bela. Ketidaksiapan Bela serta rasa cemas berlebihan membuatnya hampir menabrak mobil itu. Bela yang kaget langsung membanting setir ke arah kanan. Bersamaan dengan guntur yang menggelegar, terdengar suara rem mobil berdecit dan disusul suara berdebam. Bagian depan mobil Bela mengeluarkan asap. Ia baru saja menabrak pohon besar di pinggir jalan. Gadis itu kehilangan kesadaran. Dahinya terluka dan mengeluarkan darah. Sebuah mobil CRV menepi tak jauh di belakang mobil Bela. Pemiliknya melihat ke arah mobil di depannya. Ia merasa mengenal mobil yang masih mengepulkan asap tipis itu. “Bela!” serunya kemudian. Tanpa pikir panjang, Dalvin segera keluar dan berlari menghampiri mobil itu. Ia mengabaikan hujan deras yang membasahi seragam miliknya. Dalvin mengintip dari balik kaca mobil bagian pengemudi. Di dalam sana, Bela tak sadarkan diri. Cowok itu 1 mengetuk kaca mobil. Sesekali mencoba membuka pintu mobil, tetapi tak bisa karena terkunci dari dalam. “Belaaall!!” teriaknya di tengah hujan deras. Sayang suara gemuruh hujan jauh lebih besar dari suaranya. Tak ada pilihan lain selain merusak mobil di hadapannya. Dalvin mencari batu besar untuk memecahkan kaca mobil Bela. Untung saja ia segera menemukan sebuah batu berukuran cukup besar. Dalvin langsung mengangkat batu itu. Kemudian, ia berlari memutari mobil hendak memecahkan kaca depan mobil bagian penumpang. Dengan dua kali pukulan keras, kaca itu pecah, remuk menjadi kepingan-kepingan kecil. Dalvin merasa jalan untuk mengeluarkan Bela dari mobil sudah cukup. Ia pun memulai aksi penyelamatannya. Rasa benci dan dendam Dalvin buang jauh-jauh karena jika bukan dia yang menyelamatkan Bela, lantas siapa lagi? Tidak ada satu pun orang di sana. Jalanan yang biasanya ramai mendadak sepi karena hujan turun. Orang-orang lebih memilih untuk menunda perjalanannya demi menghindari hujan deras. l © or, Pact 3 Mawar Nisterins- Orang bilang. mawar merah berarti ‘aku mencintaimu. Bolehkah aku berharap mawar ini darimu? alvin duduk di kursi panjang rumah sakit. Saat ini pikirannya sudah kembali normal setelah kalut karena kejadian beberapa saat yang lalu. Tatapannya kosong. ‘Ada perasaan janggal yang mengganggu Dalvin. Ia melirik ruangan tempat Bela ditangani. Cowok itu bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia merasa khawatir? Dalvin menepuk pipi berkali-kali, berniat menyadarkan diri. Mengusir sesuatu yang asing dalam hatinya. Ia terus berusaha mengingat bagaimana Bela menampar dan mempermalukannya waktu itu. Namun, otaknya mulai ikut-ikutan melawan. Sama seperti yang dilakukan hatinya. “Sial!” Dalvin mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya dirinya kenapa, sih? “Bodo amat! Gue nggak peduli,” bisiknya jengkel pada diri sendiri. Susah sekali otaknya memaksa hati untuk meninggalkan tempat itu. Ia ingin pulang, tetapi sesuatu dalam dirinya menolak. Lagi pula ia tidak ada hubungannya dengan ini semua. Dirinya hanya bertindak sebagai penolong. Dan juga, pasti sebentar lagi keluarga Bela datang. Ia sudah memberitahukan kepada mereka bahwa Bela kecelakaan. Jadi, tak ada yang perlu dipusingkan. “Gue harus pulang!” katanya mantap. Tepat saat Dalvin berdiri, seorang wanita setengah baya dan Nanda berjalan ke arahnya. Cowok itu gelagapan dan tak tahu harus bagaimana. Dalvin yakin, wanita setengah baya itu adalah orang tua Bela. Terlihat dari raut wajahnya yang sangat khawatir. “Keadaan Bela gimana?” “Bela di mana, Nak?” Dua pertanyaan dari kedua orang itu langsung menyerbunya. Dalvin sempat bingung menjawab yang mana lebih dahulu. Namun, ia lebih dahulu menjawab pertanyaan ibu bermata sembap di hadapannya. “Bela di dalam, Tante, masih ditanganin dokter,’ jawabnya berusaha sesopan mungkin. Dirinya kini beralih kepada Nanda. Sebenarnya, Dalvin tidak mengenal cewek itu. Ia hanya tahu nama dan wajahnya saja. “Kita doain aja, semoga dia nggak kenapa-kenapa.” “Ya Allah, Belaaa ....” Rani menutup wajahnya dengan tangan, terisak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Bela sekarang. “Insya Allah, Bela nggak apa-apa, Tante.” Dalvin tak mengerti apa yang mendorongnya untuk berucap seperti tadi. Nanda mendekat, alu memeluk Rani dari samping. Mengelus lengan Rani. “Bener yang dibilang Dalvin, Tan, Bela pasti nggak kenapa-kenapa.” Nanda memaksakan senyum, walau dirinya juga merasa khawatir. 1h “Hmmm ... Vin,” panggil Nanda. “Gimana ceritanya? Kenapa bisa gini?” Mata Dalvin tak bisa beralih dari wanita yang mengenakan baju berwarna hijau muda itu. Ia sedang membayangkan mamanya yang menangis. Hatinya tak kuat mendengar tangisan pilu Rani. “Biar Tante duduk dulu aja, Nan, baru gue cerita.” Nanda mengangguk menyetujui usulan Dalvin. Cewek itu menuntun Rani yang sudah tak bertenaga untuk duduk di kursi panjang, Setelah itu, Nanda dan Dalvin juga ikut duduk. Dalvin menarik napas, setelah tangis Rani sudah mulai mereda. “Jadi gini ceritanya, tadi pas pulang sekolah itu hujan lebat banget. Lo tahu, kan?” Dalvin memandang Nanda, cewek itu mengangguk. “Kebetulan mobil gue ada di belakang mobil Bela. Awalnya, gue nggak tahu itu mobil dia. Bela ngebut banget bawa mobilnya. Terus, tiba-tiba ada mobil nyeberang. Mungkin Bela nggak siap atau gimana, gue nggak tahu. Yang gue lihat, Bela tiba-tiba banting setir. Terus mobilnya nabrak pohon di pinggir jalan.” “Terus?” “Gue langsung berhenti. Gue tunggu sebentar, tapi nggak ada pergerakan. Jadi, gue keluar buat mastiin. Bagian depan mobil dia berasap. Pas gue lihat, Bela udah nggak sadarkan diri.” Dalvin berhenti, ia terdiam sesaat. Tiba-tiba saja ia teringat tentang kaca mobil Bela yang ia pecahkan. Sebenarnya, Dalvin ragu untuk mengaku, tapi ia tidak suka lari dari masalah. “Tante, maaf ....” Rani menoleh. “Untuk apa?” Ia bertanya dengan suara seraknya. Wajahnya terlihat bingung. “Kaca mobil Bela saya pecahin. Soalnya pintu mobil Bela terkunci, terus saya juga panik.” Dalvin berdeham. “Nanti akan saya ganti,” lanjutnya. 5 Rani menggeleng. “Nak, kamu nggak perlu minta maaf atau ganti apa pun. Makasih udah nolongin Bela, ya,” tutur Rani sambil memberikan senyum terima kasihnya kepada Dalvin. Dalvin menunduk sambil mengangguk. Sementara itu, Nanda sibuk dengan pikirannya. Ia membayangkan aksi heroik Dalvin. Bodohnya, dia yang melting sendiri karena khayalannya. “Tante, saya izin pulang. Udah sore banget, takut waktu Ashar habis. Saya belum shalat. Maaf, nggak bisa nemenin lama.” Dalvin memegang bagian depan kerah bajunya. Seakan menunjukkan keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk menunaikan salat dengan baju basahnya. Rani tertegun. Saat ini, ia sudah jarang bertemu dengan remaja seperti Dalvin. Remaja yang rela meninggalkan pekerjaan lain demi menunaikan kewajiban utamanya sebagai seorang Muslim. Rani buru- buru mengangguk. “Iya Nak. Kamu hati-hati di jalan, ya. Terima kasih banyak, ya, Nak.” Dalvin mengulum senyum, kemudian menyalami tangan Rani. “Nan, gue cabut, ya,” ucapnya. Nanda mengangguk sebagai jawaban. Dalvin kemudian beranjak. “Assalamualaikum,” ucapnya, kemudian pergi. Hingga punggung Dalvin tak terlihat, mata Nanda masih belum bisa lepas dari cowok itu. Dia masih penasaran. Dia merasa ada sesuatu antara Bela dan Dalvin. Seorang dokter keluar dari ruangan tempat Bela ditangani. Rani dan Nanda buru-buru berdiri dan menghampiri dokter laki-laki yang baru saja melepas maskernya. “Anda keluarga pasien?” tanya si dokter. Rani mengangguk pelan. Dokter itu tersenyum. Senyum menenangkan khas seorang dokter seperti biasanya. “Pasien tidak apa-apa, hanya pingsan biasa. Ia juga mendapatkan beberapa jahitan di dahi karena ada luka. Tapi, tidak banyak. Sekarang pasien sudah sadar.” 2b “Kami boleh ketemu Bela?” tanya Nanda tak sabar. “Oh, tentu. Pasien sekarang sudah dibawa ke Ruang Rawat,” jawab dokter muda itu ramah. “Terima kasih, Dokter,” kata Rani. Kemudian, perawat yang mendampingi dokter itu memberi tahu di kamar mana Bela dirawat. Rani berterima kasih sekali lagi sebelum dokter dan perawat itu melangkah pergi. Rani langsung memeluk Bela saat bertemu dengannya. Wanita setengah baya itu bersyukur dalam hati, tidak ada luka berat di tubuh anak gadisnya. “Mama,” panggil Bela lirih. “Iya, Sayang,” jawab Rani masih memeluk Bela. “Pucing pala berbi ....” Nanda mendengus geli mendengarnya. Dia tersenyum. Jika kegilaan sahabatnya itu masih ada, berarti Bela baik-baik saja. “Papa mana?” Bela celingukan mencari seseorang di belakang punggung Rani. Rani terdiam. “Hmmm .... Papa tadi berangkat ke luar kota, ada urusan mendadak,” jawabnya tak tega. Pasalnya, jika Bela sedang sakit dia akan terus mencari Papa. Anaknya itu memang sangat anak papa sejak kecil. Ia sering sekali menangis seperti anak kecil jika papanya pergi ke luar kota untuk mengurus masalah perusahaan. “Jangan bilang Papa, ya, Mam,” bisik Bela. Rani mengernyit. “Bela nggak mau Papa khawatir.” Sedetik kemudian, senyum di bibir Rani mengembang. Kemudian, mengangguk menyanggupi permintaan anaknya. Perlahan Rani melepaskan pelukannya. Ia mengelap air matanya yang sempat tumpah. “Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” q Bela mengangguk meski kepalanya terasa sedikit sakit. “Mama mau telepon kakak-kakakmu dulu. Mereka belum tahu.” “Iya, Mam, sekalian suruh pulang,” kata Bela antusias. Dia sangat setuju, karena jika kedua kakaknya tahu, pasti mereka khawatir dan tentu akan pulang ke rumah. Bela bosan sendirian. Kedua kakak perempuannya terlalu sibuk kuliah di luar kota. Rani mengeluarkan ponselnya sembari melangkah keluar. Kini Nanda yang mendekat kepada Bela. Bela mendadak bingung karena Nanda memandangnya dengan ekspresi yang aneh. Marahkah? Seharusnya, kan, Nanda sedih. “Lo ada hubungan apa sama Dalvin?” tanyanya tiba-tiba. Bela mengernyit bingung. “Bel, gue ini sahabat lo. Kenapa lo harus nyembunyiin sesuatu, sih, dari gue?” “Maksud lo?” Nanda mendelik. “Nggak usah sok nggak ngerti, lo udah jadian, kan, sama Dalvin?” “Apaan, sih, ini anak? Yang habis dibius, kan, gue, bukan lo.” Bela terkekeh. “Lo tahu siapa yang nolongin lo dan bawa lo ke sini?” “Nggak lah, kan gue pingsan, Kakaaak ....” “Dalvin.” “April mop!” teriak Bela seakan dia yang memberi kejutan. “Eh, tapi, ini bukan bulan April,” lanjutnya. “Gue nggak main-main. Dalvin yang bawa lo ke rumah sakit, Bel,” ucap Nanda serius. Bela mulai merinding. Nanda tak pernah seserius ini. Benarkah Dalvin yang menolongnya? Dia sama sekali tak ingat apa-apa soal kecelakaannya. Bel! Woy! Lo denger gue, nggak, sih?” “Bentar, Nan, gue masih belum bisa percaya,” ucap Bela lemas. 2B “Ya ampun, ini anak dibilangin juga. Sumpah gue, Dalvin yang nolongin lo!” “tni gila. Nggak masuk akal.” “Tya, lo yang gila,” celetuk Nanda, kemudian mengempaskan tubuhnya di sofa hijau yang ada di kamar rawat inap Bela. Tok tok tok. Nanda menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk. “Masuk aja, nggak dikunci,” ucapnya agak keras. Namun, sesaat kemudian, suara ketukan pintu terdengar lagi. Sepertinya orang itu tidak mendengar teriakan Nanda. “Yaelah,” Nanda memutar bola mata. “Bukain, Nan.” “Males gue, baru juga duduk.” “Bukain, nggak?” “Nggak lah! Males.” “Serius nggak mau?” Nanda mengangguk. “O iya, kemarin gue lihat lo jalan sama Radit? Kayaknya Jos harus tahu, nih!” “Sialan, mainnya curang,” Mau tak mau Nanda bangun, ia tak ingin kisah cintanya dengan Jos berakhir hanya karena ia selingkuh sehari saja. Cewek itu kemudian melangkah gontai menuju pintu sambil mendumel kesal. Bela memang selalu menyebalkan bila sedang sakit. Alis Nanda menyatu saat ia membuka pintu dan tak ada orang di luar. “Lah?” “Kenapa?” “Nggak ada orang,” sahut Nanda sambil celingukan. Kepalanya menyembul keluar, mencari sosok yang tadi mengetuk pintu kamar. 4 “Mama, kali.” “Bukan. Itu Tante masih telepon.” Nanda menunjuk Rani yang sedang duduk serius di kursi panjang tak jauh dari kamar Bela. “Orang iseng, udah biarin aja.” Nanda berdecak kesal. “Awas aja kalo ketahuan siapa yang iseng!” Akan tetapi, saat Nanda hendak kembali menutup pintu kamar, matanya tak sengaja melihat sesuatu berwarna merah terletak di lantai. Alisnya terangkat. “Apaan, nih?” Nanda menunduk, kemudian mengambilnya. “Mawar?” ucapnya penuh tanya. Nanda kembali berdiri. “Cewek cakep emang punya banyak secret admirer, ya,” gumam Nanda sedikit geli. Kemudian, ia menutup pintu kamar kembali. Cewek itu mengangkat bunga di tangannya tinggi-tinggi, bermaksud menunjukkannya kepada Bela. “Ternyata yang tadi tuh kerjaannya fan lo.” Nanda melempar bunga itu ke arah Bela. Dengan sigap Bela menangkap mawar merah yang terbungkus plastik bening dengan pita di bagian bawahnya itu. “Mereka nggak tahu apa, ya. Gue itu makannya nasi, bukan bunga.” “Dia ngasih bunga bukan buat lo makan, cuy!” “Get well soon.” Bela membaca keras-keras tulisan di kertas putih yang menempel pada plastik mawar itu. “Setrip ‘G’,” lanjutnya. “G’?” Nanda mendekat. “Iya ‘G’. Pake inisial, nih.” “@ siapa, ya?” pikir Nanda penasaran. Mereka berdua terdiam, bergulat dengan pemikiran masing-masing. Menebak dalam hati siapa sebenarnya pengirim bunga bernama ‘G’ ini. “Cepet banget dia tahu gue habis kecelakaan,” komentar Bela. “Nah!” Nanda menjentikkan jari, membuat Bela mengernyit heran. “Gue tahu ini siapa yang ngasih,” katanya tersenyum bangga. “Siapa?” 30 “Dalvin.” “Lo sehat nggak, sih, Nan?” tanya Bela gemas. “Thhh, seriussssss! Yang tahu lo sakit cuma gue, nyokap lo, dan Dalvin doang, Bel.” “Cukup, Nan. Jangan ngayal kejauhan, deh. Gue ngantuk, mau tidur.” Bela meletakkan bunga itu di atas nakas. Lalu, ia merebahkan badan, menarik selimut, kemudian tidur membelakangi Nanda, yang menurutnya, sudah mulai tidak waras. Sejak tadi Nanda terus-menerus menyebut Dalvin. Jujur saja, Bela capek mendengarnya. Ia saja masih belum bisa menerima kenyataan bahwa yang menolongnya adalah Dalvin. Sekarang Nanda menambah pusingnya dengan dugaan-dugaan tak berlandasan itu. Bela melirik Nanda dengan sudut matanya. “Lo pulang, gih, beli air mineral biar fokus. Jelas-jelas huruf awal namanya Dalvin itu ‘D’ bukan ‘G’” ucap Bela sedikit kesal. Nanda melipat tangan di depan dada. “Satu hal yang lo nggak tahu, Bel, nama panjangnya Dalvin itu Gracious Dalvin. Jadi, huruf awal namanya yang asli itu ‘G’ bukan ‘D’. Nggak menutup kemungkinan kalau si pengirim bunga ini dia.” 31 Part 4 Secret Adminer Kau bintang yang terlalu terang untuk Langit gelap sepertiku ela baru saja selesai menceritakan semua kepada Gya, kakak keduanya, melalui telepon. Mulai dari bagaimana ia dan Dalvin bertemu, bertengkar, sampai Dalvin menolongnya. Gya menyarankan agar Bela meminta maaf kepada Dalvin dan menghapus dendamnya. Menurut Gya, cowok itu telah menyelamatkan hidup Bela, jadi tidak ada salahnya untuk berdamai dengan Dalvin. Awalnya, Bela menolak mentah-mentah saran Gya, tetapi lama- kelamaan ia berubah pikiran. Bela akan mengikuti saran Gya untuk berdamai dengan dendamnya, tetapi setelah itu Bela bertekad untuk melupakan semua tentang Dalvin. Ia akan menghapus Dalvin dari ingatannya. “Selamat pagi, Bela,” sapa seorang dokter perempuan, yang baru saja masuk ke ruang rawat inap Bela, dengan ceria. Seorang perawat turut masuk ke dalam kamar Bela, membawa botol infus baru dan peralatan periksa lainnya. Cewek itu segera memperbaiki tidurnya. Kakinya yang semula menekuk ia luruskan. “Pagi juga, Dok,” balas Bela memberikan senyum pertamanya pagi ini. “Ini, tadi ada di depan kamar kamu.” Dokter itu meletakkan setangkai mawar merah disisi Bela. Mawar itu terlihat seperti mawar yang ditemukan Nanda di depan pintu. Bela sempat mengira mawar itu adalah mawar yang kemarin, tetapi ternyata bukan. Di atas nakas, mawar merah itu masih tetap ada. Dokter itu terkekeh karena wajah Bela langsung menunjukkan ekspresi terkejut. “Mungkin dari pacar kamu,” celetuk si dokter sambil mulai melakukan pemeriksaan rutin pada Bela. “Saya nggak punya pacar, kok.” “Berarti penggemar rahasia.” “Penggemar rahasia?” “Iya. Dia suka sama kamu, tapi dia takut nunjukin dirinya ke hadapan kamu karena alasan sesuatu.” “Maksud Dokter?” sambar Bela cepat. Bela tak peduli lagi dengan apa yang dilakukan si Doker. Bahkan, ketika dokter itu menyuntik tangannya, Bela tidak merasakan apa-apa. Rasa penasaran menutupi rasa ngilu akibat jarum suntik. “Gimana, ya? Simpelnya, penggemar rahasia itu orang yang nggak berani jujur sama perasaannya sendiri. Seperti yang saya bilang tadi, karena alasan tertentu.” Bela semakin penasaran. “Contoh alasannya?” Dokter muda itu tertawa kecil sembari membereskan barang- barangnya. Kini ia sudah selesai melaksanakan tugasnya. “Contohnya, dia takut nunjukin diri karena nggak percaya diri. Atau, mungkin dia orang terdekat kamu, jadi dia takut sesuatu yang buruk terjadi kalau dia jujur.” “Terus—” “Maaf, ya, Bela, saya harus periksa pasien yang lain dulu.” Dokter cantik itu mencubit pipi Bela. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama, lalu 33 memberikannya kepada Bela. “Nih, ada info kontak saya. Kalau kamu mau curhat atau tanya-tanya soal kesehatanmu. Tapi, jangan sekarang, ya. Saya lagi sibuk.” Bela memandangi kartu nama yang diberikan dokter itu. Sejenak, ia membaca nama lengkap si pemilik kartu nama. Bela merasa familier dengan nama yang tertulis di sana. “Saya lanjut periksa pasien lain dulu, ya. O iya, panggil saya Kak Jessie aja, Dokter Jessie juga boleh. Tapi, kayaknya lebih enak pake ‘Kak’, umur kita nggak beda jauh, kok. Hahaha ....” Jessie tertawa renyah. “Sepertinya kamu nggak perlu lama-lama di rumah sakit. Asalkan kamu rajin minum obatnya dan makan teratur. Tetap semangat, ya. Cepat sembuh. Semoga penggemar rahasiamu cepet ketahuan.” Senyum tak luput dari wajah ramah Jessie hingga ia meninggalkan kamar Bela. Tepat setelah Dokter Jessie keluar, Nanda datang dengan cengar- cengir konyol yang menghiasi wajahnya. “Lo nggak sekolah?” tanya Bela heran, karena sekarang Nanda seharusnya berada di dalam kelas dan mengikuti pelajaran sejarah. “Lo amnesia juga, ya? Kan, kelas XII lagi TO, kita libur hari ini.” “Astaga, gue lupa. Ya ampun kenapa liburnya pas gue lagi sakit, sih?” keluh Bela dengan wajah sedih. Nanda cepat-cepat menghampiri sambil menyodorkan kantong plastik hitam ke hadapan Bela. Hidung Bela mengendus bau yang menyeruak dari bungkusan itu. “Siomay!!!” pekik Bela dengan wajah happy. “Yups! Karena gue sahabat yang baik, jadi gue beliin, nih, buat lo!” “Ada gunanya juga lo jadi temen.” “Ya emang selama ini gue nggak berguna, gitu?” “Berguna, sih, tapi lebih sering nyusahin.” “Semerdeka lo aje, deh!” “Nan, gue bosen. Kita makan di rooftop aja, yuk!” 3h Diam-diam Bela sudah menyembunyikan mawar tadi di bawah selimutnya. Antisipasi sebelum Nanda sadar dan berkoar mengatakan itu dari Dalvin. “Panas, kali, Bel.” “Masih pukul setengah delapan, matahari masih bobok. Ayo, ah!” “Infus lo?” “Bisa diurus.” IIT langsung memberikan infus yang sedang ia pegang kepada pemiliknya. “Eh, eh, jangan ninggalin gue, dong!” pinta Bela sambil meraih botol infusnya. “Nanda! Woi!” teriak Bela memanggil Nanda, yang sudah berlalu pergi meninggalkan dirinya sendiri di atas atap rumah sakit. Bela mendecak. “Dasar! Siomay gue dibawa pipis, lagi!” omel Bela. Ia kemudian menoleh ke sisi berlawanan. Matanya langsung disuguhi banyak jemuran seprai putih. Angin berembus menerbangkan seprai-seprai yang masih basah itu. “Seger banget!” Bela menghirup napas dalam-dalam. Ia kemudian melangkah, memasuki lorong-lorong yang terbentuk akibat jemuran seprai yang banyak. Wangi segar detergen, ditambah sejuknya angin pagi, membuat Bela semakin menyukai tempat itu. Bela berhenti. Ia mendengar sayup-sayup suara. Ini antara telinganya yang bermasalah atau memang ada orang sedang bernyanyi di tempat itu. Penasaran, sambil membawa botol infusnya, Bela kembali melangkah, mencari-cari dari mana suara tadi berasal. Cewek itu membekap bibirnya sendiri agar tak memekik saat itu juga. Bela buru-buru bersembunyi di belakang seprai yang menggantung. Ia baru saja melihat beberapa anak duduk di atas kursi roda ditemani satu 33 orang cowok yang sedang bermain gitar sambil bernyanyi. Yang tak bisa ia percaya adalah ia mengenal cowok itu. Dalvin. “Kak Dalvin mainin lagu ‘Bintang Kecil’, dong, pake gitarnya,” pinta seorang anak berwajah pucat, tepat ketika Dalvin menyelesaikan sebuah lagu. “Thhh, Hadi, jangan ‘Bintang Kecil’, dong! Itu lagu anak-anak banget. Aku nggak suka,” sahut teman anak berwajah pucat itu tak setuju. “Mendingan lagunya 5SOS.” “Latifa 5SOS melulu, deh! Bosen, tahu! Sekarang giliran aku yang request. Kak, aku mau lagunya EXO, dong” Keisya mengedip-ngedipkan kedua matanya. Dalvin tak dapat menahan tawa karena tingkah ketiga anak di hadapannya. “Daripada kalian berkelahi, Kakak mainin lagu yang lain buat kalian bertiga aja, ya.” Dalvin memperbaiki letak gitarnya. Ia kemudian tersenyum karena ketiga anak itu mengangguk semringah. Jari-jari Dalvin mulai memetik senar gitar. Membunyikan alunan merdu nan lembut. Seiring dengan musik yang terus mengalun, Dalvin pun mulai bernyanyi. Suara beratnya memang tak terlalu bagus. Namun, karismanya saat bermain gitar mampu memukau siapa pun yang melihat. Semakin lama tubuh Bela semakin keluar dari persembunyian. Yang semula hanya kepalanya saja yang menyembul kini seluruh badannya sudah berpindah tempat. Suara Dalvin seolah seperti magnet bagi tubuhnya sehingga Bela sendiri tak sadar ia berjalan ke arah Dalvin. Nyanyian Dalvin tiba-tiba saja berhenti. Bela tersentak mendapati dirinya kini hanya berjarak satu meter dari Dalvin. Astaga! Siapa yang bawa gue ke sini? batin Bela. “Hai, Kakak cantik!” sapa seorang anak yang ada di situ sambil melambaikan tangannya kepada Bela. “Wah, cantik banget!” 36 “Kakak bidadari, ya? Turun dari langit karena denger suaranya Kak Dalvin?” Dalvin berdiri dengan angkuh, meletakkan gitar akustiknya di atas kursi yang baru saja ia duduki. Bela bisa merasakan tatapan tak suka cowok itu kepadanya. “Ngapain lo di sini?” tanya Dalvin dingin. Tatapannya persis seperti di tempat parkir waktu itu. Menyebalkan. “Lo mau minta maaf? Atau, mau bilang makasih karena udah gue tolongin? Lupain aja kalau gue pernah nolongin lo. Anggep aja kejadian kemarin nggak pernah terjadi. Gue cuma ngelakuin yang menurut gue bener. Jadi, lo nggak usah kege-eran.” Kadar benci Bela yang semula hampir menyentuh angka nol, kembali memelesat naik, menembus batas, memelesat menuju ketinggian tak hingga. Jika tenaga Bela seperti orang sehat pada umumnya, sudah pasti sekarang dia akan mengamuk dan menerjang cowok itu. Sayangnya, sekarang dia sedang tidak fit. Ditambah lagi, infusnya yang sangat tidak memungkinkan dirinya untuk meninju Dalvin. Jadilah dia hanya bisa diam mendengar perkataan menusuk cowok itu. Sombong sekali kata- katanya tadi. Hampir Bela mengajaknya berdamai. Untung saja Dalvin menunjukkan wujud aslinya sebelum Bela meminta maaf. Bersama kobaran kemarahannya, Bela melangkah perlahan menuju Dalvin dan berhenti saat jarak wajah mereka hanya tiga jengkal saja. “Asal lo tahu, gue lebih milih kejebak di dalem mobil daripada ditolongin cowok songong kayak lo!” seru Bela berapi-api. Dalvin berdecih. “Sakit aja masih belagu. Terus lo mau ngapain ke sini?” “Terserah gue lah! Gue bayar, kok, nginep di rumah sakit ini!” sahut Bela tak mau kalah. 3] “Tapi, gue nggak suka lihat lo di sini. Lihat muka lo bikin mual.” “Lo pikir muka lo nggak bikin mual?” Bela tertawa sinis. “Gue lebih milih lihatin bekicot sejam daripada lihat muka songong lo, walau cuma sedetik!” Perang kata itu semakin lama semakin sengit. Bela berusaha sekuat tenaga menahan kemarahannya yang sudah membulat dan hampir meledak. Dalvin menaikkan sebelah alis, satu sudut bibirnya terangkat. Memasang ekspresi cool ala cowok ganteng andalannya. Biasanya cewek akan langsung meleleh jika ia seperti itu. “Yakin lo bakalan mual kalo lihat gue?” Cowok itu memajukan wajahnya, refleks Bela menjauh dengan mata membulat lebar. Siapa pun yang melihat Dalvin saat ini, dipastikan akan langsung lumer layaknya keju mozarella yang terpanggang. Bahkan, jantung Bela mengakui itu. Bela tak tahu energi apa yang memacu jantungnya di dalam sana hingga berdetak lebih kuat daripada biasanya. Ini kali pertamanya Bela menatap Dalvin sedekat ini. Rambut Dalvin yang naik, alis tebal, rahang tegas, dan senyum mematikan di bibir tebalnya mampu menyihir Bela. Ia tak bisa mengerjap barang sekali saja. Wajah itu membawa imajinasi Bela mengudara. Meninggalkan darat tanpa berniat kembali. Bela menggeleng pelan dengan tatapan lurus ke depan. “Gila, cakep banget!” bisiknya tanpa sadar. Sekalipun suara Bela kecil, tentu Dalvin masih mendengarnya. Jarak mereka benar-benar dekat. “Huahahahaha merasa bangga karena berhasil mengerjai Bela. “Sana deh, lo lihatin bekicot. Kalo kelamaan lihat gue, bisa-bisa lo ngiler lagi.” Suara tawa Dalvin lantas menyadarkan Bela dari dunia yang sempat .” Dalvin tertawa, kemudian menjauhkan wajahnya, menguncinya sejenak. Wajahnya seketika memerah. Cewek itu gelagapan, seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya tertahan. 38 Bela meringis, menahan malu. Ia baru saja memuji Dalvin yang sebelumnya ia caci maki. Setelah ini, di mana ia akan menempatkan wajahnya? Jika wajahnya bisa disembunyikan di dalam saku, tentu sudah ia lakukan sejak tadi. Bela tak mampulagimembendungrasa kesal dan malu yangbercampur aduk. Ia kemudian cepat-cepat berbalik, berlari kecil meninggalkan Dalvin yang kini menertawainya dengan keras. Bela semakin mempercepat langkah sambil merutuki diri sendiri dalam hati. Tepat saat Bela berbelok, ia berpapasan dengan Nanda. “Mau ke mana?” “Balik ke kamar, Nan,” jawab Bela tanpa menghentikan langkah. “Katanya mau makan di sini?” “Nggak jadiiil!!” kata Bela, meninggalkan Nanda yang kebingungan. “Dasar, ABG labil” Nanda bergumam. Ia kemudian mengikuti Bela dari belakang. Langkah Bela yang terlalu cepat mengharuskan Nanda sedikit berlari untuk menyejajarkan langkah dengannya. “Bela” panggil Nanda yang masih tetap tertinggal di belakang punggung Bela. “Kenapa, sih?” tanyanya gemas. Bela tidak menjawab, cewek itu malah semakin mempercepat langkah membuat Nanda semakin tertinggal. “Sini infus lo gue pegangin,” ujar Nanda, kasihan melihat Bela yang kesusahan. “Cepet, Nandaaa “Astaga, Bel! Gue udah lari gini, masih lo suruh cepet....” “Kelamaan!” Sudah tidak mungkin bagi Nanda untuk menambah kecepatannya. Mereka sedang menuruni tangga. Nanda tak ingin ikut dirawat di rumah sakit itu juga karena jatuh dari tangga. 39 “Kenapa, sih, lo?” tanya Nanda begitu ia dan Bela kini berada di depan kamar Bela. “Bukain pintu, Nan,” pinta Bela memelas mengingat tangannya sedang memegang infus sekarang. Nanda menghela napas, cewek itu kemudian membukakan pintu untuk Bela. Mereka berdua segera masuk. Bela mengambil mawar yang ia sembunyikan di samping bantalnya dan meletakkan bunga itu di atas nakas. Tepat di samping mawar yang sudah ada sebelumnya. Kening Nanda berkerut melihat dua bunga mawar di atas nakas. “Kok dua, Bel?” “Tadi pagi ada lagi di depan pintu,” sahut Bela. “Wah, itu orang niat banget kayaknya!” Bela hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan Nanda. Sejenak, Bela melirik kedua mawar yang baru selesai ia rapikan, lalu merebahkan tubuhnya. “Bel, kayaknya orang yang ngasih bunga mawar itu satu sekolah sama kita. Buktinya, pagi-pagi dia nganterin bunga buat lo. Kan, harusnya dia sekolah. Sekolah yang libur karena try out cuma sekolah kita.” Bela memutar mata. Nanda mulai mengeluarkan praduga-praduga absurd-nya. “Bisa jadi dia udah lulus, Nan.” “Iya juga, ya. Tapi, kalo ini beneran dari anak sekolah kita, gue curiga ini dari Dalvin.” Bela menelan ludah. Dalvin? Sekelebat bayangan wajah cowok itu muncul di pikirannya. “Muka lo kenapa?” tanya Nanda melihat wajah Bela yang memerah. “Emang, kenapa muka gue?” Bela balik bertanya sambil menangkup kedua pipinya yang terasa panas. “Ditanya, malah balik nanya. Merah tuh, muka lo.” 40 “Masa, sih?” Bela membuang muka. Cewek itu menggosok-gosok pipinya, berusaha menghilangkan rona merah di sana. Masih dengan tangan di kedua pipi, Bela melirik Nanda. “Nan,” panggilnya. Nanda menyahut hanya dengan dehaman. Bela menggigit bibir bawahnya. “Gue ketemu Dalvin tadi, di atap.” Nanda yang semula tiduran di sofa langsung melompat bangun. Reaksi anak itu memang selalu berlebihan. “Serius lo?!” Matanya melebar. “Apa gue bilang? Dia yang ngasih lo bunga,” tuturnya semringah. “Tapi, nggak mungkin, Nandaaa! Ada hal yang belum gue ceritain ke lo. Gue pernah ada masalah sama dia, kami itu musuhan. Dan, sampai sekarang sikap dia ke gue makin nggak sopan. Dia itu selalu ngeselin setiap ketemu gue.” “Ya ampun! Bel, cowok punya seribu cara aneh buat narik perhatian cewek yang dia suka. Termasuk bersikap jutek dan bikin gebetannya kesel.” Bela terdiam, memandang kosong tembok putih di depannya. Pikirannya kini penuh pertanyaan yang tak terjawab. Hatinya perlahan luluh menerima asumsi Nanda yang mengatakan Dalvin adalah si pengirim bunga itu. Namun, jika mawar itu dari Dalvin, untuk apa cowok itu memberikan bunga untuknya? Sukakah? 4 Part § Gracious Dalvin Cinta tidaklah mudah karena urusan cinta dengan hati, bukan dengan otak yang bisa kita atur semaunya. INTU kamar itu terus-menerus digedor, hingga sang pemilik di dalam sana merasa risi dan pada akhirnya menyerah. Cowok itu menghela napas. Ia memandang malas pintu kamarnya yang diketuk seorang wanita dari luar. Dalvin bangkit dan meletakkan gitar cokelat yang sejak tadi ia mainkan. “Dalvin! Buka pintunya, Dalvin!” Suara nyaring itu tak henti menyerukan namanya. Dalvin mengacak rambut frustrasi sambil berjalan ke arah pintu. “Iya, iyaaa, tunggu,” teriaknya kesal, kemudian membuka pintu kamar dengan kasar. “Dalvin! Ya ampun, ini anak kebiasaan banget! Kalau dipanggil itu nyahut, dong!” semprot kakak sulungnya berkacak pinggang. Wajah wanita itu terlihat jengkel. Jessie, yang sudah lengkap dengan seragam dokternya itu, memperhatikan Dalvin dari ujung kaki sampai rambut. “Astaghfirullah. Lo adik gue atau gembel, sih?” Dalvin menunduk. Memandangi tubuhnya yang hanya mengenakan celana longgar dan baju kaus rumah. “Gembel,” celetuknya dengan cengar-cengiran. Wanita itu memutar bola mata. “Lo udah mandi?” tanya Jessie. Dalvin menggeleng, membuat Jessie menepuk jidat. “Ya ampun! Ini udah jam delapan!” “Terus?” tanya Dalvin cuek. “Gue harus berangkat kerja sekarang,” “Terus?” “Terus melulu lo, macem tukang parkir. Anter gue ke kantor.” “Nggak maul” tolak Dalvin cepat. Ini hari libur terakhir. Dia ingin menikmati waktu luangnya tanpa keluar rumah. Cowok itu hendak menutup pintu, tetapi Jessie lebih dahulu menahannya dengan kaki. Dalvin mendesah. “Minta Pak Umang aja yang anterin.” “Pak Umang pulang kampung. Istrinya habis melahirkan,” jelas Jessie. “Lo naik taksi aja, Jes.” Jessie memelotot. “Panggil gue ‘Kakak’!” “Iya, Jessie” “Gracious Dalvin!” bentak Jessie jengkel. “Gracious Jessie!” Dalvin mengikuti gaya Jessie membentaknya, kemudian terkekeh pelan. “Ya Allah, beri hamba kesabaran.” Jessie memejamkan mata, mengangkat tangan seakan-akan sedang berdoa. “Ayo deh, Dik, anter Kakak, ya?” Jessie berucap lembut. Memanggil Dalvin dengan sebutan ‘Dil dan dirinya ‘Kak’ persis seperti waktu mereka masih kecil. “Tapi, gue belum mandi” “Ya udah, mandi sana,” suruh Jessie. “Bh, sebentar deh, ada bayarannya, nggak, nih?” 43 “Hmmm... ada.” “Apa?! Gitar baru, ya?” tanya Dalvin semringah. Jessie menggerutu dalam hati. Giliran ada hadiah, adiknya itu bersemangat. “Lihat aja nanti, bagus banget bayarannya. Tapi, lo mandi dulu.” Jessie membalik tubuh Dalvin, kemudian mendorong cowok itu masuk ke dalam kamar. Untuk memastikan Dalvin benar-benar mandi, Jessie ikut masuk ke dalam kamar adik laki-lakinya itu. Warna gelap biru dongker langsung menyambut penglihatan Jessie. Bau khas kamar anak cowok menyeruak, membuat Jessie mengibas- ngibaskan tangan di depan hidung. “Ish, bau banget kamar lo, Dik,” gerutu Jessie membuat Dalvin menoleh sambil memelotot. “Siapa suruh masuk, keluar sana,” cibir Dalvin sewot, dirinya merasa tersinggung, Jessie malah terkekeh, kemudian duduk di pinggiran kasur. “Dasar cumi.” Dalvin bergumam sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. Sebuah bingkai foto kecil di atas meja belajar Dalvin menarik perhatian Jessie. Ia bangkit dari duduk, kemudian mendekat menuju meja bersama rasa penasarannya. Jessie tersenyum miris ketika foto itu kini berada di tangannya. Kapan Dalvin bisa melupakan masa lalu jika hal sekecil ini masih ia simpan. Jessie tidak mau adik kecilnya itu terus berkubang dalam lingkaran yang itu-itu saja. Gadis yang ada di dalam foto itu sudah tidak memiliki harapan hidup. Dalvin tak boleh berharap terlalu besar kepadanya, karena Jessie yakin gadis berambut hitam dengan lesung pipit di dalam foto itu juga ingin Dalvin hidup lebih bahagia. Jika terus begini, Jessie harus bertindak. Salahnya juga dahulu ia mengenalkan Dalvin dengan gadis manis itu. Tak butuh waktu lama, Dalvin kini sudah selesai mandi. Cowok itu keluar hanya dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. hh Jessie yang sudah kembali duduk di pinggir kasur menoleh, kemudian mengangkat jempol. “Bagus,” pujinya. “Kan, ganteng kalo udah mandi.” “Ya udah sana, keluar. Gue mau pakai baju.” “Ya udah, pakai aja. Memang kenapa?” “Ya, lo keluar.” “Nggak mau, ah. Gue mau nunggu di sini aja. Biar lo cepet pakai bajunya.” “Lo mau ngintipin gue, ya? Parah lo, Jes!” Jessie buru-buru memukul kepala adiknya yang asal nyerocos. “Dulu juga gue makein lo baju,” sungutnya. “Dulu juga lo ngerengek minta mandi bareng sama gue.” “Ttu kan, dulu. Belasan tahun yang lalu. Gue aja udah lupa. Ayo, deh! Biar cepet, lo keluar dulu!” “Iya, iyaaa, tapi jangan lama-lama, ya?” “Zz2.... iya, iyal” I “Kalian nggak sarapan dulu?” tanya Mama sebelum Dalvin dan Jessie berangkat. Kedua bersaudara itu menggeleng. Pertama, karena Jessie harus cepat-cepat sampai kantor. Kedua, karena Dalvin ingin cepat-cepat sampai rumah sakit dan bertemu gadis itu. Di dalam mobil pun Jessie dan Dalvin tetap cekcok. Kali ini yang dipermasalahkan adalah musik yang mereka dengarkan. Dalvin ingin memutar lagu band rock yang ia suka sementara Jessie ingin mendengarkan lagu Justin Bieber. “Dalvin! Jangan diganti.” Jessie memarahi adiknya. Kini suara Justin Bieber telah berganti dengan suara teriakan dan musik perusak gendang telinga. Dalvin tak menghiraukan Jessie. Cowok itu sibuk mengangguk- anggukkan kepalanya. 45 Jessie mendengus, kemudian menekan tombol off. Hening. Anggukan kepala Dalvin terhenti. Cowok itu menoleh, memandangi Jessie dengan tatapan yang seakan berkata, Why? “Gue nggak suka lagunya.” “Tapi, gue suka.” Dalvin menghidupkan musik lagi. Suara tarikan urat leher itu terdengar kembali. “Dalvin setop! Ini mobil gue! Lo nggak boleh dengerin lagu aneh itu di sini.” “Tapi kan, gue yang nyetir.” Dalvin menyeringai. “Oh, atau lo mau gue turun?” Kecepatan mobil melambat. Mau tak mau Jessie mengalah. Dia memang yang punya mobil, tapi dia tidak bisa menyetir. Aneh, kan? Tapi, begitulah keadaannya. Jadi, kali ini Jessie harus mengalah. Ia terpaksa membiarkan telinganya mendengar sesuatu yang tak ia sukai pagi ini. Selesai satu lagu yang disukai Dalvin, akhimya mereka sampai di parkiran rumah sakit. Jessie membuang napas kasar. Akhirnya, suara yang tadi membuat kepala pening, menghilang. Cewek itu turun dari mobil. Ia menatap bingung Dalvin yang juga ikut turun. “Mau ngapain?” tanya Jessie heran, sambil memandangi Dalvin yang kini berdiri berhadapan dengannya. “Jenguk Kanya,” jawab cowok itu ceria. Air muka Jessie langsung berubah. Sebersit rasa tidak suka ia rasakan. Jessie tidak melarang Dalvin berteman dengan siapa pun, apalagi Kanya. Gadis belia itu adalah salah satu anak yang dibesarkan Yayasan Bakti Jiwa. Yayasan yang didirikan orang tuanya bagi yatim piatu yang mengidap penyakit serius, tetapi tak memiliki biaya untuk berobat. Tentu Jessie tidak akan keberatan, yang ia khawatirkan adalah Dalvin menyimpan hatinya untuk Kanya. Jessie bukan Tuhan, tetapi dia seorang dokter yang sudah cukup ilmu untuk tahu hidup Kanya tidak lama lagi. Bukankah lebih baik mencegah, sebelum nantinya rasa itu semakin dalam dan berakhir pada rasa sakit? hb IIa “Selamat pagi, Nona,” sapa Dalvin, layaknya resepsionis hotel. Kanya menoleh, bibir pucatnya tersenyum. “Dalvin!” Kanya memekik bahagia menyambut kedatangan sahabatnya itu. “Apa kabar?” tanya Dalvin sembari menutup pintu. “Selalu baik,” jawabnya ceria. Begitulah Kanya, sekalipun selang dan alat bantu hidup melilit tubuhnya, ia tetap akan mengatakan semua baik- baik saja. Dalvin terkekeh, melangkah ringan menuju ranjang tempat Kanya terbaring. “Aku capek, Vin, pengin pulang. Kangen anak Bakti Jiwa,” keluh Kanya dengan wajah sedih. Ia mengubah posisi, mendorong badan ke belakang menyandarkan punggung di sandaran tempat tidur. “Sabar, bentar lagi pasti sembuh,” ujar Dalvin sembari menarik kursi untuk duduk. Kanya tersenyum kecut. Sembuh? Lucu sekali. Bahkan, penyakitnya ini tak ada obat. “Mungkin, nggak, sih, aku bisa sembuh?” “Kamu sendiri yang pernah bilang, di dunia ini nggak ada sesuatu yang nggak mungkin.” Kanya menggaruk kepala. “Iya, ya?” “Dasar nenek-nenek,” celetuk Dalvin. Cewek itu terkikik, menciptakan senyum selebar mungkin agar terlihat baik-baik saja di hadapan Dalvin. Pada kenyataannya, apa yang ia tunjukkan itu palsu. Dirinya sakit. Jiwanya lelah menjalani kehidupan seperti itu. Keheningan sempat melanda, sesaat sebelum Kanya menyadari Dalvin yang terus memandanginya. Alisnya tertaut. “Kenapa lihatin aku kayak gitu?” “Nggak boleh?” 4] “Ya boleh lah.” Sudut bibir Dalvin terangkat. “Eh, Vin, aku mau cerita.” Ini yang Dalvin tunggu-tunggu. Bagian yang ia sukai. Memandangi wajah lucu Kanya yang sibuk mengoceh tentang ini dan itu. “Cerita, deh, sampe bosen,” ujar Dalvin memperbaiki duduknya. Sebelum mulaibercerita, Kanya meminta Dalvin untuk mengambilkan air putih untuknya. Dengan senang hati, cowok itu mengambilkan air dari galon yang tak jauh dari tempat ia duduk. “Nih, minumnya.” Dalvin menyodorkan gelas berisi air putih itu kepada Kanya. “Makasih.” “Yuhuuuuuu, Kanya!” Lengkingan suara tadi membuat Kanya dan Dalvin menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka, “Gue bawa siomay, nih!” Kanya menyambut suara itu dengan cengar-cengir bahagia sementara Dalvin mengerjap tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. “Ini dia yang mau aku ceritain, Vin,” bisik Kanya antusias. “Bela, sini! Kenapa diem di situ?” Kanya melambaikan tangan kepada Bela yang mematung di dekat pintu dengan gaya konyolnya. Satu tangan Bela, yang membawa kantong plastik, terangkat bersama dengan cengar-cengir bodoh yang menghiasi wajah. “Bell” Cewek itu kembali berdiri normal, menghapus ekspresi memalukan di wajahnya. Berdeham salah tingkah. “Eh, anu, itu, gue ... harus pergi,” ucapnya gelagapan, berusaha agar matanya tak bertemu dengan iris hitam seseorang di sana. Kenapa, sih, Dalvin ada di mana-mana?!!! “Th, baru juga dateng. Sini!” 48 “Tapi, Nya, gue ....” Mata mereka bertemu. Bela menelan ludah. Kejadian dua hari yang lalu terproyeksi di ingatannya. Saat ia keceplosan bilang Dalvin ganteng, Saat-saat ia mempermalukan dirinya sendiri. “Gu-gue mau ke situ,” tunjuk Bela ke sembarang arah. Bola matanya tak bisa diam, berusaha menghindari tatapan Dalvin. “Main aja dulu, sebentar aja.” Bela lantas menoleh. Siapa tadi yang berbicara? Bela berani bersumpah, telinganya sedang baik-baik saja. Namun, kenapa suara Kanya berubah menjadi seberat itu? Seperti suara laki-laki. “Nah, bener tuh, yang Dalvin bilang, main dulu. Aku mau kenalin kamu sama seseorang, nih!” Apa Kanya bilang tadi? Dalvin? Dalvin yang menyuruhnya? Tampaknya dunia ini sedang tidak beres. “Liya, deh.” Cewek itu berdoa dalam hati semoga keputusannya tak salah. Kakinya melangkah lamban. Otaknya sibuk berpikir, di mana ia harus berdiri? Di samping kanan ranjang? Tidak. Itu akan membuatnya berhadapan dengan Dalvin. Lalu, di sebelah kiri? Tidak, itu lebih gila lagi, ia tidak mau berdiri di samping cowok itu. Lantas, ia harus bagaimana? Menempel di langit-langit? Sayangnya itu tak mungkin dilakukannya. Karena terlalu sibuk berpikir, membuat Bela tak sadar bahwa dirinya sudah berada di sebelah Dalvin. Tak apalah, setidaknya ia tidak berhadapan langsung dengan Dalvin. Kalau tidak, bisa-bisa bibir embernya keceplosan lagi kalau melihat wajah cowok itu. “Ini, tadi dibeliin Nyokap.” Bela menyerahkan kantong plastik yang dibawanya kepada Kanya. “Huaaaaaa, makasih, yaaa!” Mata Kanya berbinar, mengambil siomay dari tangan Bela. “Mama kamu mana?” “Tuh, di kamar gue.” 49 Kanya merasa ada sesuatu yang aneh dari teman barunya itu. Ada yang kurang, diperhatikannya Bela lamat-lamat. “Eh, infus kamu udah dilepas?” “Hehehe ... iya, nih, gue pulang hari ini, makanya mau ngajak lo makan siomay bareng-bareng” “Yaaah, kamu udah boleh pulang?” Bela mengangguk, mengiakan. Melihat wajah sedih cewek itu, Bela buru-buru menggenggam tangannya. “Tenang aja, nanti gue bakal main ke sini lagi, kok.” “Hmmm ... ya udah, deh. Eh, aku kenalin dulu nih, sahabat aku, namanya Dalvin.” Kenalan? “Hai!” Bela menoleh. “Gue Dalvin.” Jika bisa, mungkin sekarang rahang Bela sudah terjatuh dan menggelinding di lantai. Bagaimana tidak? Dalvin tersenyum kepadanya sambil menyodorkan tangan. Ingin sekali Bela memberi tahu Kanya bahwa mereka sudah saling kenal, bahkan Dalvin itu adalah musuh bebuyutannya. Namun, dirinya tak tega, setelah melihat wajah Kanya yang terlihat begitu antusias. “Gue Bela.” Bela menyebutkan namanya seolah-olah sedang berkenalan dengan orang baru. Ragu-ragu, tangannya menyalami tangan Dalvin. Hanya sebentar dan Bela kembali menarik tangannya. Aneh rasanya bersikap baik kepada orang yang terlalu dibencinya. “Kalo udah saling kenal, kan, bagus, kapan-kapan kita bisa main bareng, kan?” “Pasti,” sahut Dalvin. Lagi-lagi Bela dibuat bingung oleh cowok itu. “Dalvin pinjem ponsel kamu, dong,” pinta Kanya. Kemudian, ia beralih pada Bela. “Bel, minta nomor kontak kamu, ya. Biar kapan-kapan kita bisa main-main bertiga.” 0 Barisan semut hitam di dinding UKS pun tahu. hati ini meleleh perlahan karenamu. ela tetap mengambil mawar dari tangan Mama, meski raut bingung mendominasi di wajahnya. Kata Mama Rani, itu ia dapatkan dari anak kecil yang entah datang dari mana. Anak kecil itu berpesan agar bunga tersebut diberikan kepada Bela. Saat Rani bertanya siapa yang menyuruh, anak kecil itu hanya mengangkat bahu, kemudian memperlihatkan deretan gigi susunya. “Aku udah ada empat mawar, loh, Mam.” Mata Bela menyipit takjub. Sudah empat mawar ia dapatkan. Yang Bela herankan adalah, kenapa harus mawar? Kenapa nggak siomay? “Mungkin orang iseng, biarin aja. Mama urus administrasi dulu. Kamu duluan ke mobil aja, Sayang.- Mama ambilin dulu kuncinya,” kata Rani merogoh tas hitamnya, mencari kunci mobil di dalam sana. “Nggak, Mam, Bela tunggu di sini aja.” Rani mengangkat wajah, tangannya yang sibuk mencari terhenti. Ia mengangguk tipis, urung memberikan kunci mobil kepada Bela. Kini ia celingukan mencari-cari sesuatu. Menengok kiri-kanan hingga menemukan sesuatu yang dicarinya, di belakang Bela. “Kamu duduk di sana dulu, nanti pusing kelamaan berdiri.” Mama menunjuk kursi panjang. Bela menengok ke belakang. “Okay, Mam,” sahutnya patuh. Rani segera pergi mengurus pembayaran rumah sakit. Mata Bela menyapu keadaan sekitar. Koridor rumah sakit tampak lengang. Mungkin karena masih pagi, jadi belum banyak orang yang datang menjenguk. Belum sempat Bela menjatuhkan pantatnya di kursi panjang, seseorang lebih dahulu menyerukan namanya. “Belaaa.” Wanita cantik itu kini berdiri di hadapan Bela dengan wajah semringah. “Kak, Jes!” “Sedih banget aku, kamu udah mau pulang.” Bela terkekeh. Dokter cantik ini sekarang sudah menjadi sahabat dan teman curhatnya. Selama Bela di rumah sakit, Dokter Jessie selalu menemani dan mendengarkan keluh kesahnya. “Kan, udah tukeran kontak, Kak, nanti bisa jalan bareng, kok.” “Iya juga, sih, tapi kan, nggak bisa main tiap hari, kayak kemarin- kemarin.” Jessie melirik tangan Bela. “Mawar itu lagi?” Bela menunduk melihat mawar di tangannya. Ia tersenyum, kemudian mengangkat wajah. “Iya nih, tadi dititipin lewat Mama.” “Parah, penggemar kamu ini gercep banget. Aku kalah start, deh.” Bela mengernyit. Seakan mengerti arti wajah bingung Bela, Jessie membuka suara. “Aku punya adik cowok. Rencananya, sih, aku mau ngenalin kamu sama dia, Bel. Kalian seumuran, loh, kali aja gitu bisa deket.” Bela tertawa setelah mendengar penuturan Jessie. “Aduh, ceritanya mau jadi makcomblang?” 2 “Hahaha ... iya. Bosen aja aku lihat dia di rumah. Sibuk sama gitar melulu. Kamu mau aku kenalin?” “Mau lah, Kak.” “Ekspektasi kamu jangan cowok ganteng, rapi, sopan, dan perfect, yah, Dia itu ugal-ugalan, ngomongnya ceplas-ceplos. Tapi, nilai plus dia itu pinter main gitar dan bisa ngelukis,” ucap Jessie mempromosikan adiknya dengan semangat ‘45. “Kalau dilihat dari kakaknya, sih, dia ganteng, ya?” “Bisa aja kamu, Bel.” Jessie tertawa renyah. Percakapan mereka terhenti ketika Mama Rani menghampiri. Rupanya ia sudah selesai mengurus pembayaran rumah sakit. “Hai, Tante,” sapa Jessie kepada wanita paruh baya yang terlihat mirip dengan Bela. Ia kemudian menyalami tangan Mama Rani. “Halo, Dokter cantik,” Mama Rani balas menyapa dengan pujian jujurnya. “Ah Tante, mah, mujinya bisa banget.” “Bisa, dong. Dokter, makasih, ya, udah rawat Bela selama tiga hari. Katanya dia ditemenin Dokter kalau lagi kesepian.” “Sama-sama, Tante. Udah kewajiban saya.” Mama Rani tersenyum lembut. Dia melirik Bela di sebelahnya. “Udah pamitan sama Dokter cantik?” “Ini mau pamitan, Mam,” kata Bela. Lalu, Bela dan Jessie berpelukan layaknya Teletubbies. “Jaga kesehatan, ya, Bel. Kalo sekolah jangan nyetir sendiri. berpesan saat mereka masih berpelukan. “Iya, Kak. Thanks udah jadi kakak aku selama tiga hari ini. Kak Jess juga jaga kesehatan.” Perlahan pelukan mereka melonggar dan akhirnya terlepas. 3B “Kami pulang dulu, ya, Dok.” Mama berpamitan. Bela melambaikan tangan. Rasanya sangat bahagia bisa mengenal dokter cantik dan ramah itu. Setelah berpelukan, akhirnya Bela dan mamanya pergi menuju parkiran. Saat di dalam mobil, Bela terus memandangi mawar merah di tangannya. Mawar yang kemarin masih ia simpan. Ia membawanya pulang meski sudah layu dan lusuh. Sampai sekarang ia masih belum mengetahui siapa gerangan yang memberikan mawar untuknya. Meski Nanda terus mengoceh, bilang bahwa mawar itu dari Dalvin, tapi itu belum bisa dipastikan benar. Bela memandang jalanan luar. Tiba-tiba saja dia teringat tentang Dalvin. Entah apa yang terjadi dengan otaknya, mungkin saja karena ia baru bertemu Dalvin. Bela bertanya-tanya kenapa ia dan Dalvin akhir- akhir ini sering bertemu. Di sekolah, minimarket, dan rumah sakit. Kenapa Dalvin ada di mana-mana? Dan, anehnya mereka selalu bertemu dengan cara yang mengejutkan. “Mikirin apa, Sayang?” “Uh?” Bela menoleh, lalu menggeleng. “Nggak ada, Mam.” “Bela, siapa itu nama temen kamu. Da ... Davin?” Rani berusaha mengingat nama anak cowok yang ia temui saat hari pertama Bela masuk rumah sakit. “Dalvin?” Bela menaikkan alis, ragu. “Iya, Dalvin.” Mobil berhenti di depan lampu alu lintas berwarna merah. ia bukan temen Bela.” “Iya, tapi kalian satu sekolah, kan? Mama lihat seragam dia sama kayak kamu.” Bela mengangguk tak peduli. “Dia baik banget, ya, orangnya. Hebat loh, dia berani nolongin kamu. Padahal, risikonya besar. Apalagi mobil kamu kekunci dari dalam. Gentle banget dia.” oh “Loh, terus gimana cara dia ngeluarin aku, kalau pintunya kekunci dari dalam?” “Kaca mobil kamu dia pecahin.” “What?!” Bela menjerit. “Kurang ajar tu bocah.” “Hei, hei, kamu harusnya bilang makasih.” “Haruskah aku bilang makasih sama orang yang udah hancurin mobil aku, Mam?” Kebencian Bela kepada Dalvin membuatnya merasa semua yang cowok itu lakukan salah. “Kalau nggak ada dia, kamu nggak bisa ada di mobil Mama dengan sehat sekarang. Masalah kaca mobil gampanglah, nyawa kamu jauh lebih penting.” Bela menghela napas. Ia memasang wajah cemberut, menyandarkan punggung, Dan, membuang pandangan ke arah luar. II Setelah istirahat sehari di rumah, Bela ngotot mau masuk sekolah. Ia rindu sekolah. Ah, tidak, lebih tepatnya, ia rindu suasana kelas dan teman-teman yang konyol. Pagi ini ia sekolah tidak membawa mobil sendiri seperti biasa, tetapi diantar Mama. Tak apa, yang terpenting ia bisa sampai di sekolah. Tidak sekolah empat hari, rasanya Bela sudah sangat merindukan dering bel masuk, suara penggaris yang dipukulkan guru di meja agar muridnya tenang, dan ocehan Nanda di kelas. Bela rindu semuanya, kecuali pelajaran yang menbuat pening. “Wuaaaaaa, Bela masuk! Cieee udah sembuh!” Teriakan bahagia anak kelas menyambut kedatangan Bela yang baru saja memasuki pintu. Nanda yang duduk di kursi paling belakang langsung berlari ke depan dan memeluk Bela erat, seperti mereka sudah tak bertemu sekian tahun. Padahal, setiap hari cewek itu menjenguknya ke rumah sakit. “Ya ampun, Nabila, akhirnya lo sekolah juga. Gue kirain lo bakalan lanjutin libur sampe minggu depan.” 5 “Enggaklah, emang lo, suka nyuri libur.” Bela memutar bola mata. “Nggak apa-apalah, ini aja sebenernya gue pengin lanjut libur. Kelas XII sebentar banget try out-nya, cuma tiga hari.” Bela langsung menoyor kepala Nanda. “Dasar, mau jadi apa lo nanti kalo libur melulu.” ‘Jadi istri salihah untuk Bang Jos,” jawab Nanda asal. Anak-anak lain yang mendengar ucapan Nanda menyahut. “Salihah dari mana? Kalau nggak ada Jos, kerjaannya lihatin cogan melulu.” “Masih SMA udah istri-istrian. PR aja belum becus lu urusin, Nda.” Nanda mendelik. “Yee ... sewot aja lu pada!” Sejurus kemudian, ketukan pintu mengalihkan perhatian semua orang. “Permisi, ada Bela di sini?” Seorang petugas piket, yang setiap hari mengantarkan titipan dan surat izin ke setiap kelas, berdiri di depan pintu. “Iya, saya Bela,” ucap Bela melangkah ke arah petugas piket. “Ini ada titipan surat dan mawar.” “Siapa yang nitip?” tanya Bela mengambil kedua barang tersebut dari tangan si petugas piket. “Katanya nggak mau disebutin namanya,” sahut petugas piket itu. Tanpa basa-basi ia langsung pergi. Kelihatannya sedang sibuk sekali. “Wow! Dalvin sweet banget!” Bela menoleh. Nanda sudah di sebelahnya. Dibukanya surat kecil yang sepertinya baru di tulis itu. Gue seneng lo udah sekolah lagi. —G I Gue seneng lo udah sekolah lagi. Kata-kata itu terus berputar di pikiran Bela. Tadi, saat di kelas, fokusnya terganggu karena mawar dan surat pendek yang ia dapat. Saat 36 di kantin pun, kata-kata itu masih mengganggunya. Sebenarnya, siapa sih, yang mengirim mawar-mawar itu? Kenapa harus sok misterius? Bela penasaran dan rasanya sangat mengganggu. “Ngelamunin Babang Dalvin, Neng?” Di hadapan Bela, Nanda menaikturunkan alisnya. Bela mendelik. Nanda sudah mulai kumat menyebut-nyebut nama Dalvin. Tadi saja saat di kelas, bibir cewek itu tak henti berkata Dalvin, Dalvin, dan Dalvin. Rasanya Bela ingin me-lakban bibir Nanda. Bela menghela napas dan menyandarkan punggung di kursi kantin. Siang ini kantin masih seperti hari-hari sebelumnya, ramai dan penuh. Suara bising geng cewek yang bergosip tentang drama Korea terbaru, geng cowok nerd yang membicarakan tentang game online, sampai para kutu buku yang membahas soal pelajaran. Semuanya ada, lengkap. Yang tidak ada hanyalah gosip tentang Pussy, kucing betina milik Mama yang hamil duluan di luar nikah. “Kenapa sih, lo nyebut Dalvin melulu. Gue tuh, nggak ada apa-apa sama anak itu, Nda. Kenal banget juga nggak.” Bela mengaduk-aduk jus apelnya malas. “Gue, kan, nggak bilang lo ada apa-apa sama dia. Pengin banget ya, lo dibilang ada apa-apa sama Dalvin?” Nanda menggoda Bela, membuat cewek itu memasang wajah masam. “Au ah, gelap!” sahut Bela tak ingin memperpanjang percakapan dengan topik Dalvin. “Huahhh, kenyang.” Nanda melepaskan garpu dan sendoknya. Mi ayamnya kini hanya tersisa kuah. “Cepet banget habis.” “Kelaperan.” Nanda memerkan cengar-cengir bodohnya, membuat Bela memutar bola mata. “Jos!” Cewek itu bangun dengan wajah semringah karena melihat kekasihnya yang baru memasuki pintu kantin. 7 “Mau ke mana?” Bela mendongak, menatap Nanda yang hendak meninggalkannya. “Sebentar, ada Jos.” Mendengar jawaban Nanda, Bela lantas menengok ke belakang karena posisinya duduk membelakangi pintu kantin. Di sana ia melihat Jos dan teman-temannya baru datang. Yang membuat Bela membulatkan mata adalah ada Dalvin di antara teman-teman Jos itu. “Sejak kapan cowok itu temenan sama Jos?” Pertanyaan Bela tak mendapat jawaban karena Nanda kini sudah ada di samping Jos. Nanda mendengus pelan. “Dasar, Nanda, ada pacar aja sahabat dilupain,” omel Bela. Kemudian, ia melanjutkan memakan mi ayamnya. Ia ingin cepat selesai dan segera ke kelas. Ia malas berlama-lama karena ada Dalvin di kantin. “Lo yang namanya Bela?” Bela mengangkat wajah. Keningnya mengerut. Seorang cewek yang tak ia kenal berdiri di depannya dengan kedua tangan tertumpu pada meja. Bisa Bela rasakan aura tak mengenakkan saat ia menatap tepat ke arah mata cewek tersebut. “Iya, gue Bela,” jawab Bela mengangguk pelan. “Jadi, lo cewek keganjenan yang godain Laskar?” Nada suara cewek itu tiba-tiba meninggi, membuat beberapa siswa yang duduk di dekat Bela menoleh, saling berbisik dengan teman yang ada di sebelah mereka. “Maksud lo?” “Ini peringatan ya, buat lo, Laskar itu cowok gue. Lo jangan coba-coba rebut dia atau lo bakalan gue empas.” Kening Bela mengerut. “Sori, gue nggak kenal Laskar.” “Halah! Bohong lo!” Bela berdecak. Waktunya terlalu berharga untuk mengurusi orang aneh seperti ini. Ia meminum jus apelnya, kemudian melanjutkan makan, 8 tak mengacuhkan cewek yang sedang mengamuk itu. Siapa cewek di depannya ini? Sejak kapan ia menggoda Laskar? Dan, yang terpenting, siapa pula Laskar itu? Palingan Laskar adalah salah satu cowok yang mengiriminya pesan singkat lewat LINE. Maaf saja, Bela tak pernah memedulikan ratusan chat yang masuk ke ponselnya. Tak ada waktu untuk meladeni cowok-cowok yang ingin mendekatinya. “Kalo orang ngomong tuh, didengerin!” teriak cewek itu menggebrak meja karena merasa diabaikan. Hampir seluruh pasang mata kini memperhatikan mereka. “Sopan dikit, bisa, nggak? Tadi kan, gue udah jawab, gue nggak kenal Laskar. Ya udah, selesai. Lo mau apa lagi? Lo mau gue rebut Laskar beneran?” “Berani lo, ya, ngejawab gue?” “Lah, labil. Tadi kan, lo yang ngamuk minta dijawab.” “Cewek sialan.” Bela membanting sendok dan garpu hingga mendenting keras. “Jaga ya, tu mulut!” Bela bangkit, berdiri menatap tajam cewek yang baru saja mengatainya. “Jaga kelakuan lo dulu, jangan gatel!” Srakkk! Tiba-tiba saja cewek tak dikenal itu mengangkat mangkuk mi ayam Nanda, lalu menyiramkan kuah berwarna cokelat kemerahan itu ke wajah Bela. Bela yang tak siap, hanya bisa menjerit ketika kuah mi ayam itu merembes melewati celah kelopak matanya yang terpejam kuat. Semua orang memekik. Terutama cewek-cewek yang sedang menonton adegan tadi. Nanda yang baru melihatnya, tergopoh-gopoh menghampiri Bela, lalu berteriak meminta sesuatu untuk mengelap wajah Bela. Panik, Nanda membuka paksa kardigan seorang adik kelas yang kebetulan sedang menonton. Digunakannya kardigan tersebut untuk Bi mengelap wajah Bela. Padahal, ada tisu makan di atas meja. Mungkin, karena terlalu panik Nanda tak menyadarinya. Nanda menoleh ketika seseorang menyentuh pundaknya, memberikan sebotol air mineral. “Pakai itu untuk bersihin.” Dalvin-lah yang menyentuh pundak Nanda tadi. Tak ingin terlena ke dalam pesona Dalvin, Nanda buru-buru mengambil air putih yang masih tersegel itu, lalu membukanya. Ia kemudian menyiramkan air ke wajah Bela dengan hati-hati. “Perih, Nda....,” lirih Bela, suaranya parau. “Lo bisa diskors karena tindakan lo tadi.” Cewek itu urung pergi. Alisnya naik, memandang Dalvin remeh. “Lo cowoknya?” Dalvin diam. Tidak menyanggah, tidak pula mengiakan. Cewek tak dikenal itu melipat tangan di depan dada dengan sombong. “Gue ini kelas XII, nggak mungkin kena skors. Jadi, percuma lo jadi pahlawan kesiangan di sini.” “Lo emang kelas XII, tapi gue pastiin lo bakalan kena skors.” Dalvin menjawab tenang. Dia beralih kepada Nanda. “Bawa Bela ke UKS,” suruhnya. Nanda langsung mengangguk, kemudian menuntun Bela. Semua orang yang menonton membukakan jalan bagi Bela dan Nanda untuk lewat. “Gue tunggu sampai besok, kalau lo belum minta maaf, lo bakalan nyesel seumur hidup.” “Aduh, gue takut nih ....” Cewek itu mengejek Dalvin. “Bisa baca, kan?” Dalvin menunjukkan badge name di bajunya. “Kenalin, nama gue Gracious Dalvin.” Cewek itu mendecih. “Nggak penting banget.” 60 “Dan, ah, siapa sih, nama kepala sekolah kita?” Dalvin berpura-pura lupa. Akting seperti sedang berusaha mengingat. Ia menunjuk salah satu cowok berkacamata di dekatnya. “Nama kepala sekolah kita siapa?” “G-Gracious Katherine, Kak,” jawab cowok nerd itu terbata-bata. Dalvin menyeringai. “Ah, iya, gue lupa! Kepala sekolah kita, kan, nyokap gue.” Cowok itu tersenyum puas, memandang wajah licik cewek di hadapannya yang mulai memucat. IIT Tanpa mengetuk pintu, Dalvin langsung menyelonong masuk ke dalam UKS. Dia lihat Bela yang duduk di atas ranjang. Kakinya terjuntai. Matanya masih memejam. Nanda terus-menerus meminta maaf kepada Bela karena merasa bersalah meninggalkan sahabatnya. Bela menggeleng dan berkata itu bukan salah Nanda. Tampaknya, kedua cewek itu tidak menyadari kehadiran Dalvin. Padahal, Dalvin sudah berdiri tepat di hadapan Bela. Wajar kalau Bela tak tahu Dalvin datang, matanya memejam, tapi Nanda, cewek itu masih belum ada tanda merespons kehadiran Dalvin. “Ehem ....” Dalvin berdeham. Nanda terlonjak kaget melihat tubuh tinggi Dalvin sudah di sebelahnya. “Siapa, Nan?” tanya Bela. Meski perawat di UKS bilang Bela sudah boleh membuka mata, tapi Bela masih belum berani. Makanya, sekarang dia masih memejamkan mata. “Dalvin.” “Kumat, deh, lo, Dalvin melulu.” “Serius gue.” “Aiiihhh, iya deh, lu seriusss. Mana, sih, Babang Dalvin lo? Mau ngapain dia ke sini? Ngasih gue bunga?” Bela terkekeh menertawai ucapannya sendiri. Dalam benaknya, yang datang paling ketua kelas atau anak kelas yang lain. Gl “Ini gue Dalvin. Gue ke sini bukan mau ngasih bunga. Gue mau ngasih ini.” Dalvin mengangkat ponsel di tangannya. “Tadi handphone lo ketinggalan di meja kantin.” Dalvin meletakkan benda persegi panjang itu di sebelah Bela. Jangan tanyakan bagaimana Bela saat ini. Wajahnya memerah, bahkan rona merah itu menjalar hingga ke telinga. Rasanya ia ingin mencabik-cabik wajahnya sendiri, malu sekali. Ini adalah kali keduanya ia bertingkah memalukan di hadapan Dalvin. 62 Part 7 Closer, Pikiranku mengatakan, “Lupakan!" tapi hati ini menggenggam namamu terlalu erat. eadaan di dalam UKS menjadi hening setelah Nanda keluar meninggalkan Bela dan Dalvin berdua di sana. Itu adalah permintaan Dalvin, ia hendak membicarakan sesuatu dengan Bela, jadilah Dalvin meminta Nanda untuk keluar. “Mata lo masih perih?” Dalvin memecah keheningan. Sejujurnya, mata Bela sudah bisa dibuka sejak tadi. Ia bahkan sempat mengintip beberapa kali. Namun, Bela merasa lebih baik memejamkan mata. Dirinya tak sanggup memandang Dalvin. Malunya sudah tak terbendung lagi. “Masih, sedikit,” Bela menjawab singkat. Dalvin kemudian mengangguk. Melangkah menuju ranjang. Duduk di samping Bela dengan jarak yang cukup jauh. “Gue mau minta maaf.” Hampir Bela membuka matanya mendengar penuturan Dalvin. Minta maaf? Jin jenis apa yang sedang merasukinya? “Lo nggak mau maafin gue?” tanya Dalvin karena tak kunjung mendapat respons dari Bela. “Eh?” Bela langsung menggeleng. “Nggak, kok, bukan gitu.” Bahkan, alasan Bela untuk memaafkan Dalvin terlalu banyak, hanya saja rasanya aneh Dalvin tiba-tiba berubah. “Gue heran aja, kenapa lo minta maaf. Gue jadi mikir lo ini lagi kesambet atau nggak.” Dalvin mengernyit. Aneh sekali pemikiran Bela. Tidak mungkin, kan, orang kesambet bisa ngomong jelas. Andai Bela membuka mata, tentu sekarang dia bisa melihat bagaimana Dalvin berusaha menahan tawanya. “Gue nggak kesambet. Gue cuma mau minta maaf. Kita nggak perlu musuhan kayak anak kecil lagi.” Dalam hati, Bela menggerutu. Yang memulai peperangan, kan, Dalvin sendiri. Kemarin-kemarin, kan, Dalvin yang seperti anak kecil, membuatnya kesal dan gondok. Sekarang malah Dalvin yang meminta maaf. Membingungkan. “Jadi?” Dalvin masih menunggu jawaban Bela. “Jadi, apa?” Bela balas bertanya. Bingung, tak mengerti maksud Dalvin. “Lo mau maafin gue atau nggak?” Pertanyaan simple yang mampu membuat Bela terdiam cukup lama, hingga ia akhirnya mengutarakan isi otaknya. “Setengah maafin, setengah nggak.” Jawaban Bela lantas membuat alis tebal Dalvin naik. “Lo masih dendam sama gue?” “Entahlah. Gue masih belum yakin. Emang kenapa, sih, lo minta maaf?” Bela benar-benar gemas dan penasaran. Tiada angin tiada hujan, Dalvin tiba-tiba minta maaf, untuk apa? “Nggak tahu juga.” “Lah, si cumi.” “Gue bukan cumi, ya.” “Ya, kan, gue nggak pernah bilang lo cumi.” “Tadi lo bilang gue cumi.” “Tadi gue cuma bilang, lah, si cumi, bukan Dalvin si Cumi.” Dalvin hendak membalas lagi, tetapi ia tahan. Jika dia membalas ocehan Bela maka mereka akan seperti hari-hari sebelumnya, bertengkar dan saling meneriaki satu sama lain. “Oke, gue salah.” “Kodrat itu, mah, cowok emang diciptakan untuk disalahkan.” Jika bukan demi misinya, Dalvin sudah sejak tadi menyumpal bibir cerewet Bela. Dilihatnya cewek yang masih memejamkan mata itu. Bibirnya mengerucut sebal. “Bel.” “Apa?” sahut Bela, kini lebih jutek. “Gue denger dari Kanya lo suka siomay.” Kanya? Gadis yang Bela temui di rumah sakit waktu itu? Mendengar nama Kanya, Bela jadi merindukannya. “Iya, suka banget,” jawab Bela dengan kejutekan yang perlahan berkurang. “Lo mau gue traktir siomay?” Sontak Bela menoleh ke arah Dalvin dengan mata memelotot, membuat Dalvin tersentak. “Eh, mata lo udah nggak sakit?” tanya Dalvin cepat setelah melihat Bela yang kini memandanginya dengan tatapan tak percaya. 6) “Nggak sakit. Gue mau ditraktir siomay.” Bela mengerjap, berharap Dalvin benar-benar akan mentraktirnya. Wajah Bela semakin condong ke arah Dalvin, membuat Dalvin mundur perlahan. “O-oke, lo gue traktir.” “Yes! Maaf buat lo gue tambahin setengah lagi, deh. Lo sekarang gue maafin seratus persen.” Bela kembali duduk tenang, wajahnya berbinar senang. “Thanks,” sahut Dalvin salah tingkah. Ia tak pernah menyangka meminta maaf kepada Bela sangat gampang. Ia hanya perlu menyogok dengan siomay dan bertingkah baik. Kalau tidak karena Kanya, Dalvin tidak akan mau minta maaf. Gengsinya jauh di atas sana, di puncak gunung tertinggi. Ini semua berawal dari Dalvin yang keceplosan bercerita kepada Kanya bahwa ia dan Bela sudah saling mengenal, dan status mereka adalah musuh bebuyutan. Kanya yang baru tahu, langsung mencak-mencak, ribut mengatakan Bela itu baik dan Dalvin tak sepantasnya memusuhi Bela. Kanya merajuk, jika Dalvin tak meminta maaf kepada Bela, Kanya tak mau berbicara dengan Dalvin lagi. Kartu as Dalvin dapatkan saat di kantin tadi. Ia yang melihat kejadian tadi langsung memikirkan cara agar Bela dengan cepat mau memaafkannya. Maka, muncullah ide cemerlang di otaknya. Pandangan Dalvin mengarah ke seragam Bela yang kotor. Sekalipun Bela adalah mantan musuhnya, tentu Dalvin masih memiliki rasa iba. Apalagi tadi Bela mau memaafkannya, membuat Dalvin semakin tak enak melihat keadaan Bela. “Gue ada baju olahraga di tas, lo mau pakai baju gue? Nggak mungkin juga lo seharian pake baju bau mi ayam. Tenang aja, tadi kelas gue nggak olahraga. Jadi baju olahraganya belum gue pakai sama sekali.” Belum juga Bela menjawab, suara Nanda menginterupsi, “Bela mau, kok, Vin!” Dalvin langsung menoleh, diikuti Bela. Bela memandang jengah 66 kepala Nanda yang menyembul di balik pintu. Ternyata sejak tadi cewek itu mengintip. “Lo tuh, yal” Bela menunjuk Nanda jengkel. Cewek itu pura-pura bersiul mengabaikan kemarahan Bela. “Ya udah.” Dalvin turun dari ranjang, menengahi keributan antara Nanda dan Bela. “Gue balik ke kelas dulu, Bel. Nanti temen gue yang bawain baju ke sini.” Bela mengangguk kaku. Nanda masuk ke dalam UKS sambil berpura- pura menghitung cecak di dinding. Padahal, tidak ada apa pun di sana, satu cecak saja tak ada. “Awas aja tu anak,” gumam Bela geram. “Gue balik, ya.” Sebelum keluar, Dalvin melempar senyum kepada Bela. Kali ini senyum tulus, bukan pura-pura. Bela mengangguk kaku, lalu Dalvin meninggalkan UKS. Aneh sekali rasanya cowok yang biasa ia teriaki dengan sumpah serapah itu kali ini bersikap lembut. Wajah Bela terasa lebih panas daripada sebelumnya. “Cieeeeeeeee! Awww, Dalvin sweet banget, cowok gula-gula.” Bela menguap, melirik sinis Nanda yang kini berjalan ke arahnya. “Terserah lo, deh, Nda.” “Ya ampun, Jos aja nggak pernah seunyu itu. Kalo bukan punya lo, Dalvin udah gue gebet jadi selingkuhan.” “Apa, sih! Nggak jelas lo, ah.” Bela mendelik sewot. “Bhem. Sebentar lagi ada yang taken, nih. Nggak jomlo lagi.” Nanda mencolek genit dagu Bela. “Ya ampun, Nda, dia itu sebelumnya musuh gue. Lo nggak tahu jalan ceritanya gimana gue kenal dia” “Tahu, kok, udah diceritain Jos.” “Kok, Jos?” 6) ‘Jos, kan, temenan sama Dalvin. Jos bilang Dalvin curhat semuanya tentang lo ke dia.” “Nah, bagus kalo lo udah tahu. Gue pernah benci setengah mati sama dia. Jadi, lo nggak usah bilang swat-swit gula kecap apalah, karena gue nggak akan mungkin jadi pacar Dalvin.” 68 Part 8 Perfect Strangers Ajari aku mencintai tanpa keinginan untuk memiliki. iang ini listrik di sekolah tiba-tiba padam, sehingga dua AC yang menempel di dinding kelas tak berfungsi. Panas matahari di luar sana menyengat hingga berefek ke dalam kelas. Belajar-mengajar dihentikan karena siswa yang tak bisa tenang. Mereka mengeluh karena tak bisa konsentrasi. Semuanya sibuk mengipas-ngipas dengan buku tulis atau buku pelajaran milik masing-masing. Pada akhirnya, kelas XI IPA 1 diberi tugas dan guru meninggalkan kelas. “Jadi, lo bakalan jalan sama Dalvin, dong?” Bela menggeram hendak mencakar Nanda. Bukannya kepanasan, cewek itu malah sibuk mengoceh tentang Dalvin. “Bisa, nggak, sih, Nda, lo diem, sekaliii aja, biar dunia gue tenang” Nanda memajukan bibir ikut mengipas-ngipas dengan buku tulisnya. “Ya, kan, cuma tanya, Bel.” Bela menghela napas, menjatuhkan kepala ke atas meja. Kepalanya menyamping menghadap Nanda. “Gue nggak jalan, cuma mau ditraktir siomay doang” “Sama aja, cuy.” “Gue aja nggak tahu tuh, jadi atau nggak.” Nanda tiba-tiba tertawa, membuat Bela memandangnya keheranan. “Lucu banget, deh! Bisa-bisanya lo langsung maafin Dalvin cuma karena siomay. Lima belas ribu doang dapet.” “Bhhh, bagi gue siomay tuh, emas.” “Iya, kayak emas. Nanti, kalo udah dimakan. Dicerna. Dikeluarin. Sama, deh, tu warnanya kayak emas.” Bela menjengit. “Iyuwhhh, jorok banget lo, Nandos!” “Memang bener, kan? Eh, nanti beliin gue sebungkus, yak. Terus, bawain ke rumah.” “Negak.” “Pelit lo, Nabola!” “Bodo amat, Nandos. “Weeeeeeiii Teriakan tadi berasal dari depan kelas. Bela mengangkat kepalanya. Di depan sana Saka—Ketua Kelas XI IPA 1—berdiri sambil berusaha menarik perhatian anak kelas. “Ada info penting, nih! Tapi, kalian jangan panik dulu” Keributan perlahan memudar. Fokus anak kelas kini beralih kepada Saka. “Hari ini kita pulang cepet. Sekarang lo semua udah boleh pulang.” Serentak anak-anak kelas _bersorak bahagia, semuanya mengekspresikan kebahagiaan dengan gaya masing-masing. Ada yang ber-high five dengan teman di sampingnya, ada yang menjerit, ada juga yang memukul bangku, lalu mengepalkan tangan. Namun, anehnya Bela tak merasa senang sedikit pun. Ia malah jadi deg-degan karena ekspresi Saka yang tegang. “Woi, tenang dikit kenapa!” Bentakan tadi dari Dede yang ada di pojok kelas. 10 “‘Jangan ribut dulu, please, belum selesai ngomong nih, gue.” Saka menginterupsi kegaduhan kelas. Ia memukulkan penggaris kayu di meja. Tak berselang lama, kelas kembali hening seperti sebelumnya. “Kita dipulangin karena ada kebakaran di—” Ucapan Saka langsung terpotong karena reaksi cepat para cewek. “What?” “OMAIGATTTT!” “MAMAAA"” “Ayaaaaaah!” “Neneeeeeekkk!” “Kakekkkkkk!” “Buyuuut!” Bela berdecak. “Lebay-nya kumat” “Cucukuuuuuu ....” Nanda di sebelah Bela berucap lirih. “Nandos, cucu lo belom lahir,” sahut Bela menyenggol lengan Nanda. Cewek itu hanya mengangkat bahu. “Biar nggak mainstream.” “Terserah lo, deh, terseraaaaaahhh.” “DENGERIN GUE, WOIII!!!” Saka berteriak saking gemasnya. Tak ada yang memedulikan dirinya di depan kelas. Semua anak tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Saka tampak seperti vokalis hand rock yang kesurupan di atas panggung. “KEBAKARANNYA DI SEBELAH, BUKAN DI SEKOLAH INI. SEKARANG LO SEMUA BERESIN BUKU, MASUKIN KE TAS, DAN PULANG!” Bela dan Nanda tertawa bersamaan. Anak yang lain juga banyak yang tertawa karenanya. Mereka hampir melupakan musibah kebakaran karena Saka. Bela segera memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas. Setelah meja Bela kosong, ponsel di dalam sakunya tiba-tiba bergetar. Ia kemudian mengeluarkan benda itu. Il Ada pemberitahuan LINE. Bela mengernyit. Dalvin: Gue di depan kelas lo. Refleks, Bela langsung melihat ke arah pintu kelas. Namun, pintu tertutup rapat, ia kembali pada ponsel. Nanda mulai mengintip layar ponselnya. “Wuih, udah temenan di LINE pula.” “Dia yang nge-save nomor gue.” Bela berucap sambil mengetik sesuatu. “Omaigattt! Sudah sejauh itukah hubungan kalian?” Nanda menutup mulutnya dengan lebay. Bela tak memedulikan sahabatnya kali ini. Ia capek menghadapi Nanda yang selalu berlebihan. “Gue pulang duluan, ya.” Bela meraih tas sekolahnya, kemudian disampirkan di bahu. “Bh, eh, kok, gue ditinggalin. Woi, Bela!” Tapi, yang dipanggil malah tak menoleh sedikit pun. Nanda mendengus. Begini ternyata rasanya ditinggal sahabat karena cowok. 90 “Hai” Dalvin menyapa kaku Bela yang baru muncul dari balik pintu kelas. “Hai juga.” Bela membalas senyum Dalvin. “BTW, thanks, ya, bajunya.” Bela saat ini masih mengenakan baju olahraga milik Dalvin. Meski sedikit kebesaran, tapi tak apa, baju Dalvin jauh lebih baik daripada dia harus mengenakan baju yang ketumpahan kuah mi ayam. “Sama-sama. Kita pergi sekarang, nih?” Dalvin memperbaiki posisi tasnya. “Boleh, sekarang,” “Mmm, ya udah, yuki” Bela mengangguk, kemudian mengikuti Dalvin yang lebih dahulu berjalan. Dari belakang, Bela memperhatikan cowok itu. Postur tubuh n Dalvin bisa dikatakan body goals buat para cowok. Dalvin tinggi, tetapi tidak berlebihan. Punggungnya terlihat sangat pelukable. Tangannya biasa saja, tak berotot, tapi tak gemuk ataupun kurus. Kulitnya lumayan putih dan terlihat lebih bersih dari remaja cowok pada umumnya. Anak rambut di leher bagian belakang tampak lucu di mata Bela. Bajunya yang dikeluarkan menambah kesan cool pada diri cowok itu. Tanpa memperhatikan arah, Bela tetap berjalan, mengikuti setiap Jangkah Dalvin. Sial, anak rambut di leher Dalvin menarik perhatian Bela, membuat matanya tak bisa lepas dari Dalvin. Bela terus memikirkan banyak hal tentang Dalvin. Dari hal-hal kecil sampai besar. Tiba-tiba saja wajahnya membentur sesuatu yang keras, hidung mancungnya terasa ngilu. Bela sadar, ia baru saja menabrak punggung Dalvin karena cowok itu tiba-tiba berhenti. Bukannya segera menjauh, Bela malah terlena dan diam di tempat. Ia menikmati wangi khas yang seakan membuatnya melayang. “Bela, kita udah di parkiran. Banyak orang di sini, lo jangan nyium punggung gue.” Perkataan Dalvin tadi langsung menyelusup masuk ke gendang telinga Bela, sepersekian detik langsung sampai di otak Bela, dan pada akhirnya berefek pada wajah Bela yang memerah. Secepat kilat Bela menjauh. Mengumpat dalam hati. “So-sori, tadi gue ngelamun.” Bela menunduk. Dalvin sudah berbalik dan menatapnya. Ia yakin dirinya tampak sangat aneh saat ini. “Santai aja, Bel, nggak usah tegang gitu.” Dalvin tertawa kecil, kemudian masuk ke mobil. Bela meringis, menepuk kepalanya sendiri. “Bego banget si, gue!” rutuknya. Ia berjalan gontai memutari mobil Dalvin, kemudian ikut masuk ke mobil cowok itu. B Bela tidak duduk di sebelah Dalvin, tetapi di bangku tengah mobil. Dalvin melirik Bela dari kaca spion. Keningnya mengerut. “Lo ngapain di sana?” jue? Gue duduk.” Bela melepas tas ranselnya. “Nggak, maksud gue, lo kenapa duduk di sana? Di depan aja.” Kalau Bela duduk di belakang, bagaimana nanti caranya Dalvin mengambil foto cewek itu diam-diam. Kanya tidak akan percaya jika Dalvin hanya mengatakan mereka sudah baikan, tentu harus ada bukti. “Nggak, gue di sini aja.” “Depan aja, nanti gue disangka taksi online, lagi. Biar gampang juga lo nunjukin jalan nanti. Gue nggak tahu tempat beli siomay yang enak.” “Tapi....” Bela menggaruk alisnya. Bela harus pikir-pikir dahulu untuk duduk sedekat itu dengan Dalvin. Punggungnya saja mampu membuat Bela bertingkah bodoh apalagi wajah Dalvin. “Nggak, deh, gue di sini aja.” Bela tetap kekeh pada pendiriannya. Dalvin menyalakan mesin mobil. “Ke depan pakai kaki sendiri atau gue gendong?” Tak ada cara lain selain memaksa Bela. Dalvin ingin cepat- cepat mendapatkan bukti dan menunjukkan kepada Kanya agar cewek itu mau berbicara dengannya. “Kok, lo jadi maksa, sih?” Dalvin mengedikkan bahu. “Pilih aja” “Demi siomay,” bisik Bela berusaha sabar, kemudian pindah dan duduk di sebelah Dalvin. “Demi siomay atau takut gue gendong?” Dalvin menyeringai karena kini Bela sudah duduk manis di sebelahnya. Mobil hitam itu mulai bergerak. Mundur perlahan hendak keluar dari parkiran. “Terserah lo mau mikir apa, tapi ini demi siomay.” Bela memutar bola mata. Dan, ini juga demi Kanya, sahut Dalvin dalam hati. 7h SI 0 Dalvin mengalihkan pandangan dari jalanan ke arah Bela. Bela terlihat masih sebal karena Dalvin memaksanya duduk di depan. Dalvin hendak mengajak cewek itu bicara, tetapi ekspresi Bela membuatnya mengurungkan niat. Merasa terlalu sunyi, Dalvin memutar lagu “All We Know” milik The Chainsmoker. Bela langsung menoleh mendengar lagu paling disukainya itu. “Lo suka lagu ini, kan?” tanya Dalvin dan kembali fokus ke depan. Bela tersenyum. “Iya! Kok, lo tahu?” “Tahu lah.” Dalvin tertawa. Untunglah tebakannya benar. Padahal, tadi dia asal sebut saja. “Th, kok, tahu, sih?” Bela memandangi Dalvin heran. Bingung, dari mana Dalvin bisa tahu lagu yang dia sukai. “Gue bisa baca pikiran orang,” jawab Dalvin asal. Lalu, dia melihat ada perempatan di depan. “Belok mana, nih? Gue nggak tahu tempat beli siomay-nya di mana.” “Belok kiri,” sahut Bela. Sesuai dengan apa yang Bela katakan, saat melewati perempatan, mobil cowok itu berbelok ke arah kiri. “Bener lo bisa baca pikiran orang?” tanya Bela takjub. “Coba, deh, baca pikiran gue.” Dalvin menelan ludah. Bagaimana ini? Tadi hanya kebetulan saja tebakannya benar. Dia berdeham beberapa kali, mengubah posisi duduk. Bela masih menatapnya, menunggu Dalvin menebak apa yang ia pikirkan. “Emmm....” Ponsel di tangan Bela berdering. Dalvin menghela napas. Seseorang menyelamatkannya. Dalam hati dia berterima kasih kepada orang yang menelepon Bela. “Angkat aja dulu,” suruh Dalvin. Bela mengangguk, mengusap layar ponselnya, kemudian ia dekatkan ke telinga. Dalvin melirik sekilas, mengecilkan volume lagu yang terputar. “Halo.” Bela menyapa. Ia tidak tahu siapa yang menelepon. Hanya nomor tak dikenal yang tertera di layar ponselnya tadi. Tidak ada balasan, hanya suara krasak-krusuk tidak jelas yang Bela dengar. “Halooo.” Bela mengeraskan suara. Masih saja orang yang meneleponnya tak menyahut. “Kalo nggak ngomong, gue matiin, ya?” “Eh, jangan.” Akhirnya, Bela mendengar suara seseorang. Bela yakin orang yang meneleponnya adalah cewek. “Ini siapa?” “Gue Vanda.” “Hah, panda? Hahaha .... Ya, kali, panda bisa ngomong. Bercanda, nih!” Bela tertawa sampai Dalvin menatapnya aneh. “Vanda pake ‘v’ bukan ‘p’.” Terdengar suara jengkel dari ponsel Bela. “Ohhhhhh, Vanda. Eh, tapi gue belum tahu, ini Vanda siapa, ya?” Tawa Bela perlahan memudar. Cukup lama tidak ada jawaban. Bela hampir saja mematikan telepon. Mungkin salah sambung. Namun, sebelum ia menjauhkan ponsel dari telinganya, suara kembali terdengar. “Gue yang nyiram lo pake kuah mi ayam dikantin.” Mata Bela membulat. Berani-beraninya cewek itu meneleponnya. Mau apa lagi dia sekarang? “Ngapain lo nelepon gue?” tanya Bela sinis. Kini suaranya tak seramah tadi. “Gue mau minta maaf.” Bela terdiam. “Lo mau maafin gue, kan? Sorry, gue nyesel banget. Gue sadar gue gegabah tadi, sorry banget ya. Gue juga mau minta tolong, bilangin ke cowok lo kalo gue udah minta maaf.” Ib Bela semakin tak mengerti dengan ucapan cewek itu. Ia menoleh kepada Dalvin yang sedang memandanginya. Dan, sekarang Bela teringat, “cowok lo” yang dimaksud Vanda adalah Dalvin. Karena saat di kantin tadi, Vanda mengira Dalvin adalah pacarnya. “Gue pikir-pikir dulu,” ucap Bela dingin, kemudian memutuskan sambungan. “Siapa?” tanya Dalvin. “Cewek yang nyiram gue di kantin.” “Ohhh,” Dalvin mengangguk-ngangguk. “Dia minta maaf, Vin.” “Bagus, dong?” “Tapi, dia minta tolong ke gue untuk bilang ke lo, kalo dia udah minta maaf. Aneh. Lo ngomong apa ke dia tadi pagi? Atau, jangan-jangan lo yang bikin dia minta maaf?” Mata Bela memicing. “Nggak tahu juga. Gue cuma ngenalin nama. Terus ngaku-ngaku kalo kepala sekolah kita itu nyokap gue. Padahal, sih, bukan. Dia percaya, ya? Bego banget emang.” “Hah? Kok, bisa dia percaya?” “Nama kepala sekolah kita siapa?” Dahi Bela mengerut. Untuk apa Dalvin bertanya nama kepala sekolah? Lagi pula, masa iya dia tidak tahu nama kepala sekolah sendiri. “Gracious Katherine,” jawab Bela bingung. “Nama lengkap gue?” Bela hendak menjawab. Namun urung, dia segera menggeleng. “Nggak tahu,” jawabnya berbohong. Dalvin sedikit memiringkan badan agar Bela bisa melihat badge nama di bajunya. “Baca tuh, nama gue” Bela pura-pura membaca nama Dalvin. Ia juga baru sadar nama Dalvin dan kepala sekolahnya mirip. “Kok, nama kalian bisa sama?” 1 “Bu Katherine adik bokap gue. Nama Gracious turunan dari nama keluarga Bokap.” “Wuahhh, gue nggak nyangka kalo lo masih saudara sama Kepala Sekolah.” “Kalo nggak salah, cewek tadi nyiram lo karena Laskar?” Bela kembali mengingat saat-saat Vanda memakinya. “lya, dia nuduh gue ngerebut Laskar. Gimana mau gue rebut, gue kenal Laskar aja enggak.” Bela menyandarkan punggungnya sebal. “Kayaknya Laskar yang dimaksud cewek itu sepupu gue, anaknya Kepala Sekolah. Dia juga kelas XII. Tapi, masih kayaknya, soalnya nama Laskar banyak.” “Astaga! Dunia ini sempit banget. Kalo emang bener, coba deh, lo tanyain sepupu lo itu. Gue masih penasaran kenapa gue dituduh ngerebut dia.” “Gue tanyain kalo gue ketemu dia, ya. Soalnya itu anak nggak pernah di rumah. Keluyuran melulu.” “Tanya pas di sekolah aja,” usul Bela. Dalvin malah tertawa. “Dia jarang sekolah, Bel, kerjaannya bolos. Untung aja anak Kepala Sekolah. Padahal, udah bolak-balik ditegur sama nyokapnya, lho.” “Buset! Ya udah, tanyain pas lo ketemu dia aja.” Disaat Bela tidak siap, tiba-tiba saja Dalvin mengerem mendadak. Bela menjerit karena tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir membentur dashboard mobil. Pemilik mobil di belakang Dalvin mengamuk, berteriak, dan mengumpat karena Dalvin berhenti di tengah jalan. Dalvin tidak memedulikan itu, gadis di sebelahnya jauh lebih penting dia urusi daripada bapak-bapak di belakang. B “Bela, longgak kenapa-kenapa?” tanya Dalvin panik. “Tadi ada nenek- nenek nyeberang.” Dalvin memberikan penjelasan. Ia menyumpahi dirinya sendiri. Hampir saja ia membuat celaka anak orang. Bela masih tampak terkejut. Napasnya tak beraturan. Melihatnya, Dalvin jadi semakin merasa bersalah. “Maaf, Bel.” “Gue nggak apa-apa.” Bela berusaha tersenyum, sambil susah payah mengatur napasnya. Cowok itu bergerak lembut. Mencondongkan tubuh ke arah Bela, menarik sesuatu dari balik punggung Bela. Tanpa Dalvin sadari apa yang ia lakukan telah membuat jarak antara dirinya dan Bela menjadi sangat dekat. Bela merasa seperti orang yang terkena serangan jantung karena Dalvin memasangkan seatbelt pada tubuhnya. Bela mematung, tak mampu bergerak. Arwahnya seakan terseret keluar dari tubuh, mengikuti wangi yang kini tercium sangat dekat. Wangi seperti saat Bela menabrak punggung Dalvin. Kali ini lebih dalam dan membuat Bela tak kuasa menahan sesuatu yang meletup-letup di hatinya. 4 Adakah yang bisa menjawab tanyaku? Siapa yang membawamu ke hatiku? Vin, aku menemukanmu di setiap sudutnya ini hanya tersisa deru mesin mobil dan akhir lagu “All We Know”. Bela bungkam setelah Dalvin memasangkan sabuk pengaman untuknya. Bela sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Rasanya seperti lumpuh total. “Bela, lo beneran nggak kenapa-kenapa, kan? Ada yang sakit?” Dalvin mulai khawatir karena Bela tak bersuara sedikit pun sejak tadi. Ia sangat khawatir mengingat Bela baru saja keluar dari rumah sakit. Artinya, kesehatannya belum pulih seratus persen. Bela berdeham. Membuang napas pelan, lalu menarik ujung bibir. “Gue nggak apa-apa, kok, Vin.” “Serius, nih?” tanya Dalvin meyakinkan. Ini semua juga tanggung jawabnya. Ia merasa kurang hati-hati hingga harus menginjak rem secara mendadak seperti tadi. “Serius, sumpah, gue nggak kenapa-kenapa,” jawab Bela. Tapi, jantung gue yang kenapa-kenapa, lanjutnya dalam hati. “Oke, deh. BTW, tempat makannya di mana? Lo bilang, kan, di jalan ini.” Dalvin memelankan laju mobil. Melihat-lihat keramaian di sisi kiri dan kanan jalan. Bela ikut melongokkan kepala. “Hmmm ... sebentar. Eh, itu tuh!” Bela menunjuk sebuah tempat makan sederhana yang tak jauh di depan mereka. “Ada tempat parkir mobilnya juga, kok. Jadi, nggak perlu khawatir lo parkir di jalanan.” “Rame banget, Bel,” komentar Dalvin melihat keadaan tempat parkir yang padat. Tempat parkirnya dibagi jadi dua. Di sisi kanan penuh dengan mobil, sedangkan sisi kiri dipadati kendaraan roda dua. Meski begitu, Dalvin masih mendapatkan tempat untuk memarkirkan mobilnya. “Emang gitu, soalnya enak banget, nih, siomay-nya. Nanti, deh, lo coba sendiri.” Dalvin mengangguk, kemudian keluar bersama dengan Bela. Tempat parkir dan tempat makannya bersebelahan. Dalvin dan Bela berjalan beriringan ke sana. “Ayo!” Bela menggenggam tangan Dalvin karena cowok itu melamun di depan pintu masuk. Bela menarik Dalvin menuju kursi kosong yang tersisa. Saat sudah sampai barulah Bela tersadar kalau ia baru saja menyentuh cowok itu. Ia buru-buru melepaskan tangan Dalvin. Bela berusaha bersikap biasa saja meski ada sesuatu di dalam dirinya yang tak biasa. Ia kemudian duduk di kursi plastik yang tersedia dan diikuti Dalvin. Seorang mas-mas dengan kain lap di tangan menghampiri meja Bela. “Mbak Bela udah lama nggak ke sini.” sini, deh. Eh, tapi beberapa hari yang lalu Mama beliin aku siomay.” 3 “Iya, Mbak Bela, Ibu beli siomay-nya di sini,” sahut Mas Uwi mengingat-ingat. Diliriknya Dalvin yang diam sejak tadi. “Ini pacar Mbak Bela? Haduhhh, ganteng sekali. Cocoklah sama Mbak Bela.” What? Bela melirik Dalvin, kemudian tawanya dibuat-buat. la mengayunkan telapak tangan. “Bukan, Mas, bukan, dia temen saya.” “Teman atau teman, nih?” “UWIIIIII, CEPAAAAAAT! BANYAK PELANGGAN. JANGAN NGEGOSIP KAMU!” Teriakan emak-emak cempreng dari arah dapur mendominasi. Uwi pun gelagapan. “Iya, Maaakkk!” Uwi balas berteriak. la kemudian mengeluarkan notes kecil yang sudah lusuh serta mengambil pulpen dari saku celana. “Mbak Bela pesan apa aja, nih?” “Saya siomay-nya yang seperti biasa. Nggak pakai kentang, nggak pakai pare, terus siomay-nya dibanyakin. Pakai sambel banyak-banyak.” Bela menoleh kepada Dalvin. “Lo mau siomay-nya yang gimana?” tanya Bela. “Yang biasa aja.” “Dia yang biasa aja, Mas. Terus minumnya, Bela mau teh dingin aja. Lo minum apa Vin?” “Samain.” “Oke, deh, saya permisi, ya, Mbak Bela. Takut Emak ngamuk lagi.” Bela tertawa renyah, lalu mengangguk. Sejak tadi Dalvin memperhatikan Bela. Awal melihat Bela, ia pikir Bela adalah jenis cewek jutek, sombong, dan manja. Namun, ternyata Dalvin salah. Sebaliknya, cewek itu ternyata mau makan di tempat sederhana. Tidak seperti cewek kebanyakan. Untuk ukuran cewek secantik dan sepopuler Bela, ini adalah hal luar biasa. SIT 82 Banyak hal yang Bela tahu setelah makan siomay bersama Dalvin. Cowok itu selalu ingat doa sebelum makan. Lucu sekali, seperti anak kecil. Namun, itu hal yang positif, Bela saja terkadang lupa berdoa. Biasanya dia berdoa setelah setengah makanan masuk ke perut. Cowok itu juga tak bisa makan yang pedas-pedas. Wajahnya terlihat memerah saat menghabiskan sepiring siomay. Padahal, menurut Bela, siomay Dalvin tidak pakai sambal sama sekali. Bela menggelengkan kepala. Kenapa dia jadi mikirin Dalvin? Sambil senyum-senyum lagi. Ia merasa otaknya sedang error. Bela buru-buru masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, Mama menyambut dengan tangan dilipat di depan dada. Siap menerkam mangsanya. “Habis dari mana aja?” “Hai, Mama, habis pergi makan, Mam,” sahut Bela riang. Biasanya, jika dia diinterogasi begini, Bela akan menunduk takut. Namun, kali ini tidak. “Ttu kamu, kok, pakai baju olahraga?” “Baju aku kotor kena kuah mi ayam pas di kantin. Ini baju temen aku, Mam.” “Cowok?” tanya Mama galak. “Iya, Mam.” “Namanya siapa?” “Dalvin,” jawab Bela malu-malu. “Dalvin?” Wajah Mama berbinar. “Yang nolongin kamu waktu itu?” tanya Mama antusias. Bela mengangguk. “Oalahhh, hahaha ... ya udah, masuk sana. Mandi, terus istirahat.” Ekspresi singa betina yang hendak mengamuk di wajah Mama hilang seketika, setelah Bela menyebut nama Dalvin. “Aye, aye, Captain!” Bela langsung berlari menuju lantai dua, masuk ke kamar, lalu membanting tubuhnya di kasur. 8 “Aduh!” Bela lupa kalau tas sekolah masih menempel di punggungnya. “Punggung gue encok, deh!” ucapnya dengan muka nelangsa, lalu segera duduk. Ia melepas tas sekolah, kemudian mengelus punggung. Pulang sekolah, sebelum bersih-bersih badan, Bela selalu duduk melamun dahulu. Biasanya ngelamunin apa yang sudah terjadi seharian ini. “Dalvin lagi ngapain, ya?” Bela memainkan kaki sambil tersenyum. “Thhh, kok, gue jadi nggak waras gini, sih?” Bela menutup wajah dengan kedua tangan. Ingat dengan perintah Mama, Bela segera melepas seragam, meraih handuk, dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tak lama, Bela keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit badan. “Ponsel, ponsel, ponsel,” katanya sambil membongkar isi tas dan mengambil ponselnya di sana. Setelah membuka pola kunci, layar ponsel Bela menunjukkan roomchat-nya dengan Dalvin. Senyum tipis terlukis di wajah Bela. Ia kemudian menutup aplikasi berlatar hijau tersebut, lalu membuka Instagram. Bela menyukai foto Nanda yang baru saja di-post beberapa menit yang lalu. Foto Nanda sedang di dalam mobil bersama Jos. Iseng-iseng, Bela mencari akun Instagram Dalvin. Kali ini dia menambahkan nama Gracious di depan nama Dalvin. Tidak seperti kemarin, saat dia hanya tahu nama panggilan cowok itu. Baru menekan tombol pencarian, akun dengan nama @GraciousDalvin muncul di kolom paling atas. Hampir Bela menjerit melihat foto profil akun itu. Bela membuka profilnya. Sayang, akunnya di-lock. Bela tak dapat melihat isi Instagram-nya sebelum menekan tombol follow. Namun, tidak mungkin juga dia follow Dalvin duluan. Gengsi. Bisa ketahuan kalau dia suka nge-stalk juga. Ah, Bela jadi bingung sendiri. “Follow, nggak, ya?” Bela melempar ponselnya ke kasur. “Ya ampun. Nggak! Ngapain juga gue follow dia.” Untuk kali kesekian, Bela tidak mengerti dengan jalan 8h pikirannya sendiri. Gila banget kalau dia follow Dalvin saat itu juga. Itu bakal jadi hal paling memalukan sepanjang sejarah per-Instagram-an Bela. Gengsi lah! Di saat Bela bingung dengan permasalahan Instagram, terdengar suara Nanda memanggil namanya disertai suara ketukan pintu. “Cumi, is that you?” tanya Bela dengan logat British-nya. Kemudian, ia berdiri dan melangkah ke arah pintu. “Ini Nanda cantique, Bel, bukan cumi-cumi. Bukain pintu, dong!” “Ngapain lo ke sini?” tanya Bela setelah Nanda masuk ke kamarnya. “Main lah, sekalian mau numpang mandi. Rumah gue kekunci, nggak ada orang.” Nanda melepas tas dan menaruhnya di atas meja belajar Bela. Bela menutup pintu kamar, kemudian menguncinya, seperti biasa. “Sahabat gue yang paling nyusahin, ya, cuma lo, Nda.” “Karena sahabat lo itu cuma gue. Jadi, gue itu ‘paling’ di segala hal, buat lo. Termasuk paling cantik juga.” Nanda cengar-cengir. Dia memandang heran Bela yang hanya mengenakan handuk. “Lo udah mandi atau baru mau mandi?” “Udah mandi lah! Cantik gini masa belum mandi.” Bela membuka lemari, kemudian mengambil beberapa lembar pakaian dari sana. “Lo tunggu sebentar, gue pakai baju dulu di kamar mandi. Habis itu, baru deh, giliran lo” “Oke, yang cantik ngalah,” kata Nanda mengibas rambutnya centil. “Ya, ya, ya, semerdeka lo aja.” “Gue udah merdeka sejak lahir,” sahut Nanda dan dibalas bantingan pintu oleh Bela. “Bela! Dasar lo, ya! Untung gue nggak punya riwayat penyakit jantung,” gerutu Nanda mengelus dada. Terdengar suara Bela yang ketawa ngakak di dalam kamar mandi. “Awas aja lo!” Mengingat dirinya yang hiperaktif, akan bosan jika Nanda hanya berdiam duduk menunggu Bela ganti baju. Cewek itu berkacak pinggang, 5 memperhatikan sekeliling. Pandangannya jatuh pada ponsel Bela yang ada di atas kasur. “Bajak sedikit nggak apa-apa, kali, ya?” bisik Nanda jail, lalu melompat riang ke tempat tidur Bela. Diraihnya benda elektronik itu. Seringaian Nanda muncul ketika layar ponsel Bela menyala. “Lagi nge-stalk Dalvin, ternyata,” cicitnya pelan. Jari usil Nanda kemudian menekan tombol follow pada layar touchscreen tersebut. Tentu saja, hal itu berimbas pada munculnya notifikasi di ponsel Dalvin. II Baru saja Dalvin sampai rumah, Mama meminta Dalvin untuk mengantar ke rumah Tante Katherine, saudara papa sekaligus kepala sekolahnya. Kata Mama, dia ada urusan penting. Mau tak mau, Dalvin merelakan waktu istirahatnya dan mengantar mama. Akan tetapi, sesampainya di tempat tujuan, Dalvin hanya bisa menganga tak percaya. Urusan penting yang dimaksud Mama itu adalah arisan. Parahnya, Mama tak mengizinkannya pulang setelah sampai di sana. Dalvin diajak masuk dan Mama menjebaknya di antara gosip ibu-ibu berlipstik merah itu. “Ma, Dalvin mau pulang,” bisik Dalvin kepada Mama, yang sedang mengoceh, membanggakan Dalvin di depan teman-teman arisannya, termasuk Tante Katherine. Di bawah sana, kaki Mama menginjak kaki Dalvin. “Pipin tenang, dong, Mama lagi ngomong, nih.” Mama balas berbisik kepada Dalvin. Thate that cheesy name, Dalvin menggerutu dalam hati. Mama memanggil Dalvin dengan panggilan masa kecil yang membuatnya serasa ingin muntah. Semakin lama ibu-ibu di sekitar Dalvin semakin ribut. Suaranya sekarang mirip seperti kumpulan lebah. Dalvin benar-benar sudah tak tahan. 86 “Ma, aku mau ke kamar Bang Laskar.” Ocehan Mama langsung berhenti. Semua perhatian langsung beralih kepada Dalvin. “Tante, Bang Laskar ada di dalam?” Tante Katherine mengangguk. “Tuh dia di kamar. Lagi dihukum nggak boleh keluar.” Dalvin terkekeh. Akhirnya, dia bisa terlepas dari kumpulan emak rempong di sekitarnya. Cowok itu bangun dari duduk. “Saya permisi,” ucapnya sebelum pergi dan berlari kecil ke lantai dua. Tepat seperti dugaan Dalvin, Laskar sedang bermain game di kamarnya, berteman tumpukan snack di sebelah kiri dan kanan. “Halo, Bro! Udah besar aja lo.” Laskar melepas stik PS di tangannya, kemudian merentangkan tangan, memberitanda agar Dalvin memeluknya. “Jangan ngarep gue peluk. Gue ke sini cuma menyelamatkan diri.” Laskar mengangguk-anggukkan kepala. “Yeah, I know that feel, bro. Sebelum gue jadi begundal, gue juga pernah dibangga-banggain di depan ibu-ibu itu.” Dalvin mengacak rambutnya, lalu merebahkan tubuh di kasur, tepat di sebelah Laskar yang duduk bermain game. “Baru pulang sekolah dan gue dijadiin sopir sama Nyokap, cuy!” Laskar tertawa. “Muka kayak lo emang pantes jadi sopir, Vin.” “Sialan lo, cumi.” Laskar terkekeh. “Kar,” panggil Dalvin. “Apaan?” tanya Laskar, yang kini sudah fokus lagi pada game yang sedang dimainkannya. “Lo kenal Bela?” “Bela?” Laskar menekan tombol pause. Dia menoleh menatap Dalvin. Dahinya mengerut berusaha mengingat-ingat. “Cewek cantik itu?” 8] “Cewek cantik mah, banyak. Tapi, lo kenal, nggak, sama yang namanya Bela?” “Nggak kenal, cuma tahu orangnya aja. Anak kelas XI di sekolah. Tapi, emang bener dia cakep. Kenapa?” “Tadi pagi ada cewek yang ngamuk nyiram dia pake kuah mi ayam. Katanya gara-gara Bela ngerebut cowok dia yang namanya Laskar.” “Serius lo?” tanya Laskar tak percaya, matanya membulat. Dalvin mengangguk. “Pasti mantan gue yang nyiram. Gila tu cewek, udah gue bilang bukan karena Bela juga.” “Mantan lo?” “Iya, gue baru putusin cewek gue. Dia ngamuk-ngamuk di mal gara- gara lihat foto Bela di handphone gue.” Laskar menggaruk tengkuk. Ia tak berpikir akan jadi seperti ini. “Gila apa tu anak, ya? Terus, kenapa foto Bela bisa di handphone lo?” “Gue stalk IG-nya, terus fotonya yang cakep-cakep gue capture. Habis itu, gue crop, biar nggak keliatan capture-an. Eh, pas cewek gue pinjem handphone gue, dia lihat foto itu. Berantem di mal, deh, gue sama dia.” “Kelakuan lo nggak berubah-berubah, Man.” Dalvin menggelengkan kepala seperti orang tua yang menghadapi tingkah nakal anaknya. Laskar tertawa. “Sialan lo.” Dalvin meraih sebungkus keripik kentang yang belum dibuka. Ia merobek bagian atas bungkus, kemudian mulai memakan isinya. “Gimana kabar Kanya, Vin?” Potongan kentang berbumbu itu urung masuk ke dalam mulut Dalvin. Cowok itu tersenyum pedih. Kanya? Kabar baik tidak akan pernah menjadi milik gadis malang itu. 88 “Biasa” Setiap hari Dalvin selalu mencuri waktu untuk pergi menjenguk Kanya dan ia tidak pernah mendapatkan kondisi cewek itu baik. Malah semakin hari semakin buruk. Laskar tak peduli lagi dengan game yang ia mainkan. Masa bodoh jika ia kalah. Ia membiarkan game tetap berjalan dan ia merebahkan diri di sebelah Dalvin. “Kalo gue jadi Kanya, gue nggak yakin bisa sekuat dia.” “Dia nggak sekuat yang kita lihat, Kar.” Laskar mengiakan ucapan Dalvin tadi. “Tapi, dia gadis hebat. Nggak heran kita berdua pernah naksir dia.” Laskar tersenyum tipis. “Tapi, untunglah gue udah move on. Gue ngalah buat Pipin.” “Sial.” 89 Pawt 10 Ow, Tefofet, Ow, Bahagja itu sederhana, salah satunya adalah bisa berteriak “Ow, Telolet, Om’ bersamamu. alvin baru saja pulang dari latihan futsal di sekolah. Hari Minggu pun dia tetap harus latihan karena sebentar lagi akan ada pertandingan. Mobil Dalvin sedang berhenti di depan lampu merah saat ponsel di dalam sakunya bergetar. Memanfaatkan waktu yang ada, tidak ada salahnya jika ia mengangkat telepon. “Beauty Jessie”. Begitu tulisan yang tertera di layar ponsel Dalvin. Cowok itu berdecak. Selalu saja kakak perempuannya itu mengubah-ubah nama kontak di ponsel Dalvin tanpa izin. “Halo.” “Dalviiin! Lo di mana? Kok, kamar lo kosong? Ini, kan, hari Minggu, kok, lo keluyuran melulu.” Dalvin mendengus. “Nyokap aja nggak marah.” “Maaah, Dalvin bilang Mama nggak marah, jadi dia bebas keluar,” Jessie berteriak membuat Dalvin menjauhkan ponsel dari telinga. “Pipitin, pulang, Nak! Kamu tadi pergi nggak izin Mama!” Teriakan Mama terdengar. “Tuh, denger,” kata Jessie. “Iya, iyaaa, ini gue mau pulang” Jika sudah berurusan dengan Mama, Dalvin tak dapat menolak. “Jangan mampir-mampir lagi.” “Ya Allah, iya!” “Ya udah. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Dalvin menggeleng heran. Sebenarnya ibunya itu Jessie atau Mama, sih? Setelah lampu hijau menyala, mobil Dalvin kembali memecah jalanan siang ini dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak ada kemacetan di sepanjang jalan. Mungkin karena hari Minggu. Jadi, Dalvin tak butuh waktu lama untuk sampai di rumahnya. Selesai memarkirkan mobil, Dalvin kemudian berjalan santai menuju pintu utama rumah. “Vin,” sapa Pak Rozak tukang kebun yang sedang merapikan rumput halaman. “Tya, Pak.” Dalvin membalas ramah, sambil melanjutkan jalan menuju rumah. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul 22.00, waktu yang tepat untuk dia istirahat. Rasanya capek sekali Dalvin hari ini. Semoga Jessie tidak merepotkannya. “Assalamualaikum.” “Aaak!” Dalvin berjengit mendengar teriakan tadi. Dia sangat terkejut. Baru masuk rumah sudah mendengar teriakan seperti itu. “Bela? Lo ngapain di sini?” Dalvin berpegangan pada gagang pintu, dia hampir terjatuh. 4 “L-lo yang ngapain di sini?” Bela balik bertanya. Ia sedang memikirkan Dalvin saat cowok itu tiba-tiba masuk lewat pintu, jelas saja dia berteriak. Bela pikir Dalvin hantu. i rumah gue.” “Rumah lo?” “Iya, jadi lo ngapain di sini?” Dalvin sudah berdiri dengan normal, tak lagi berpegangan. “Kalian udah saling kenal?” Suara Jessie menginterupsi. Wanita itu membawa dua gelas es menggunakan nampan. “Dia temen gue. Lo yang ajak Bela ke sini?” tanya Dalvin kepada Jessie. Jessie mengangguk. “lya, Bela juga temen gue. Dia pasien gue beberapa hari yang lalu di rumah sakit. Rencananya mau gue kenalin sama lo. Ternyata udah saling kenal, bagus, deh.” Jessie meletakkan nampan di atas meja. “Ooohhh.” Dalvin melangkah masuk, lalu mengambil satu gelas minuman yang dibawa Jessie tadi. “Gue haus,” tuturnya, kemudian meminum isi gelas tersebut. “Th, mandi dulu sana! Lo tuh, bau, tahu, nggak.” “Bau nggak apa-apa, yang penting ganteng,” kata Dalvin, kemudian meletakkan kembali gelas di atas meja. Jessie berdecih. “Ganteng dari Hongkong,” “Sewot melulu lo, ah. Bel, gue tinggal dulu, ya. Mau mandi,” kata Dalvin beralih kepada Bela. Bela mengangguk kaku. Rasanya senang sekali bertemu Dalvin hari ini. ws00 Selesai membersihkan badan dan berganti baju, Dalvin mengajak Bela ke salah satu ruangan yang ada di dalam rumahnya. Ragu-ragu, Bela mengikuti Dalvin, ikut masuk ke dalam kamar cowok itu. Di dalam sana Bela melihat Dalvin mendorong tembok kayu 2 di dekat lemari. Tembok itu terdorong ke belakang. Bela terkejut. “Wow!” komentarnya tak percaya. Jika hanya dilihat sekilas maka tak ada yang mengira bahwa di balik tembok tersebut terdapat sebuah ruangan tempat seorang Gracious Dalvin menyimpan semuanya. Bela termangu saat Dalvin menariknya masuk ke dalam ruang rahasia di balik tembok. Bukan tumpukan emas yang ia lihat, bukan pula segerobak siomay gratis, melainkan barisan kanvas dengan coretan warna cantik di atasnya. Ternyata ini yang dimaksud Jessie. Dokter muda itu bilang adiknya pintar melukis. “Ini lo yang lukis semuanya?” Pandangan tak percaya Bela membuat Dalvin terkekeh. Cowok itu menggaruk tengkuk, lalu mengangguk. “Ya, gue yang bikin” “Gila! Keren banget.” Dalvin tersenyum tipis. “Thanks,” bisiknya pelan. Bela balas tersenyum. Ini kali pertamanya Dalvin merasa malu dipuji orang. “Gue lihat-lihat boleh, ya?” Alis Bela terangkat, meminta persetujuan Dalvin. “Tentu,” Dalvin mempersilakan, memberikan jalan agar Bela lebih leluasa masuk ke dalam ruangan tersebut. Dengan riang, Bela melangkah mendahului Dalvin, sementara itu Dalvin yang masih tersenyum mengekor di belakang Bela. Mata Bela sibuk memperhatikan satu per satu lukisan yang menempel di dinding bercat putih itu. Bela sampai bingung harus melihat yang mana, banyak sekali dan semuanya menarik. Bahkan, untuk ukuran remaja seperti Dalvin, lukisannya terlalu bagus. “Terus, terus, ada yang beli lukisan lo? Ah, pasti lo banyak duit, dah. Pasti harganya mahal, bagus-bagus banget gi “Nggak, gue ngelukis buat hiburan aja, sih. Jadi, buat konsumsi pribadi. Lo harus merasa beruntung bisa masuk ke sini. Cuma orang- B orang tertentu aja yang boleh lihat lukisan gue.” Bela memutar bola mata mendengar penuturan Dalvin, tapi cowok itu malah menertawainya. Salah satu lukisan menghentikan kaki Bela, matanya terpaku pada lukisan sederhana yang terletak di baris kedua paling ujung. “Gembok? Why?” tanya Bela bingung. Ia dan Dalvin kini berdiri besebelahan dan menghadap ke lukisan yang di maksud Bela. “Ini paling beda di antara lukisan yang lain. Semua lukisan di sini kebanyakan pemandangan.” “Lucu, ya. Gue bikin lukisan ini pas kelas IX SMP.” “SMP aja lukisan lo udah sekeren ini?” Bela menyentuh lukisan itu. “Ini ada artinya, nggak, sih?” “Ada. Setiap lukisan di sini ada artinya.” “Lukisan nyentrik ini artinya apa?” Wajah Dalvin memerah. Ia teringat tentang gadis bermata jernih itu. Kanya-lah alasan kenapa dirinya melukis sebuah gembok di sana. “Sebenarnya gue lukis ini karena seseorang,” Bela menoleh. “Cewek?” tebaknya. “Iya.” Dalvin mengangguk. Padahal, tadi Bela hanya ingin menggoda Dalvin saja, tapi tebakannya benar. Entah kenapa Bela sedikit tak suka Dalvin membenarkan ucapannya. “Jadi, ceweknya siapa®” tanya Bela dengan nada sebal. Namun, untung saja Dalvin tak menyadarinya. “Kan, lo mau nanya arti gembok ini, kenapa jadi melebar ke cewek?” Dalvin tertawa renyah, berusaha menghindari pertanyaan Bela. “Ceweknya siapa?” “Ada, deh. Lo kenal, kok.” “Kak Jess?” Bela menaikkan alisnya. Dalvin mengerang, kemudian mengangguk ragu. Sebenarnya ia tak mau berbohong, tapi Dalvin juga tak mungkin jujur. 9h Bela merasa lega setelah mendengar jawaban Dalvin. “Jadi, artinya apa?” “Arti gembok buat gue adalah benda yang berguna banget. Bisa nyimpan sesuatu berharga. Tapi, gembok nggak akan bisa berfungai kalau nggak ada kunci. Kalo gembok cuma sendirian, nggak akan berguna. Setiap gembok punya kuncinya masing-masing. Nggak bisa dituker sama kunci lain, hanya satu kunci yang bisa buka satu gembok. Jadi, gembok dan kunci itu berhubungan.” “Tapi, lukisan lo nggak ada kuncinya.” “Gue cuma dikasih gemboknya, kuncinya dia yang megang. Gue nggak tahu gimana bentuknya kunci itu.” “Lo sama Kak Jess so swit banget, yah.” Dalvin hanya diam mendengar pujian Bela. Mata Bela kembali melirik ke sana kemari. Pandangannya berhenti pada satu titik. “Itu apa?” Bela bertanya, menunjuk gambar dengan warna crayon. Tidak menggunakan kanvas seperti lainnya, hanya robekan kertas tua. Dalvin melongo. Bela tak boleh melihat itu. Dalvin harus menyembunyikannya. Gambar itu sama sekali tidak bagus, malah berpotensi membuatnya malu. Hanya saja Dalvin terlambat, Bela sudah lebih dahulu melihatnya. Bela tersenyum geli melihat gambar dengan warna crayon yang mencolok. Sepertinya Dalvin menggambar itu saat masih kecil. Gambar sederhana keluarga bahagia yang bergandengan tangan. Ada figur seorang ayah, ibu, anak perempuan, dan anak laki-laki yang paling kecil. “Mama, Kakak, Pipin, dan Papa.” Bela tertawa kecil setelah membaca tulisan ceker ayam di sana. “Oh, damn.” Dalvin mengacak rambutnya. Bagaimana ini? Bagaimana jika Bela tahu nama panggilannya saat kecil adalah Pipin. Nama itu memalukan. 9 Bela yang membelakangi Dalvin berbalik. “Pipin? Who?” “Itu gambar temen SD gue yang ketinggalan. Namanya Pipin.” “Owhhh, lucu banget namanya, Pipin.” Bela terkekeh. Bela dan Dalvin menoleh, pintu yang seperti tembok itu terbuka. Ternyata yang masuk adalah Mama. “Kenapa, Ma?” tanya Dalvin. “Pipin, ajak temennya beli makan dulu, sana. Lagi nggak ada makanan di rumah.” Terbongkar sudah kebohongan Dalvin. II Tawa Bela tak bisa berhenti setelah mengetahui Pipin itu Dalvin. Lucu sekali nama panggilan cowok itu di rumah. Siapa sangka? Cowok cool dan ganteng kayak Dalvin dipanggil Pipin? Namun, Bela suka, cute. Mesin motor besar milik Dalvin menyala. “Ayo deh, naik,” perintah Dalvin kepada Bela. Cowok itu mendengus karena Bela terus menertawainya. “Bel,” panggil Dalvin kesal. “ya, iya, ini gue naik.” Seperti perintah Mama tadi, Dalvin sekarang akan mengajak Bela cari makan. Motor besar dengan suara gaduh itu memelesat pergi membawa Dalvin dan Bela meninggalkan rumah. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Jessie mengintip di balik pintu, melompat kesenangan karena apa yang direncanakannya berjalan lancar. “Mau makan apa?” tanya Dalvin, sedikit melirik Bela melalui kaca spion. “Apa lo bilang?” tanya Bela dengan suara keras karena suara Dalvin tak jelas. Cowok itu membuka kaca helmnya. Bela memajukan wajah agar bisa mendengar suara Dalvin. “Kita mau makan apa?“ Dalvin mengeraskan volume suara agar didengar Bela. 46 Akan tetapi, bukannya mendengar Dalvin, Bela malah terlena karena wangi tubuh cowok itu. Dia jadi melupakan sekitar. Bahkan, suara Dalvin yang memanggilnya berkali-kali Bela abaikan. “Bela! Lo denger gue? Bel, lo kenapa?” Dalvin mulai panik karena Bela diam bak patung di belakang punggungnya. Dalvin melambatkan laju motor, kemudian menepuk pipi Bela dengan satu tangan. “Eh? Lo bilang apa tadi?” “Dasar, lo jangan ngelamun di jalan, nanti jatuh. Kita mau makan apa, nih?” “Siomay aja,” jawab Bela. Wajahnya masih di dekat pundak Dalvin. “Ooohhh, oke, di tempat yang kemarin?” “Eh, ada bus!” pekik Bela karena melihat bus yang berada di depan motor Dalvin. “Terus?” “Mau minta telolet!” kata Bela. “Eh, gila, apa? Nggak usah!” Dalvin tersenyum geli. “Ayo, Vin, please.” Bela memelas. Tak ada alasan bagi Dalvin untuk menolak. Rasanya Dalvin tak bisa mengatakan tidak kepada Bela. Cewek itu seperti anak kecil saja. Dalvin kemudian menambah kecepatan motornya agar bisa menyamai kecepatan bus. “Om! Telolet, Om!” teriak Bela. Namun, mana bisa sopir busnya dengar. Motor Dalvin saat ini sejajar dengan badan bus, sedangkan sopir ada di depan. Motor besar Dalvin meraung, Dalvin berusaha agar kepala motornya sejajar dengan kepala bus. “Om! Telolet, Om!” Bela berteriak semangat. Dalvin hanya bisa tertawa ngakak karena kelakuan Bela. “Om, teloleeeeeeeeet.” Namun, lagi-lagi teriakan Bela tak didengar. Dalvin jadi gemas juga. Ia kemudian ikut berteriak meminta telolet. 3] “Om telolet-in kitaaaa!” Bela menepuk pundak Dalvin. “Vin teriak samaan! Lebih keras!” ajak Bela. “Satu ... dua ... tiga!” “Om! Telolet, Ooom!” Sejenak, setelah mendengar teriakan mereka, sopir bus tersebut akhirnya membunyikan klakson. Telolet telolet telolet. 98 Part: 11 Cowok itu kayak bunglon. Gampang banget berubah. Bunglon beda tempat, beda warnanya. Cowok beda cewek, beda omongannya. anda menghela napas melihat layar ponselnya. Tak ada balasan dari Jos. Ia mengirimi cowok itu pesan kemarin siang dan sampai hari ini belum dibalas juga. Nanda tak ingin curiga, tapi ada keterangan bahwa pesannya sudah dibaca Jos. “I said, back at it again with the jumpshot ....” Bela bernyanyi dengan telinga yang tersumpal headset. Nanda menoleh, lalu menarik headset di telinga cewek itu. “Gue lagi galau, lo malah nyanyi-nyanyi. Iya, tahu, deh, yang kemarin habis pergi ke rumah calon mertua.” Nanda mendengus. “Nanda ih, ganggu banget, sih, lo. Apaan dah, mertua.” “Halah, bilang aja lo seneng.” “Hehehe ... iya, sih, seneng. Eh, Nda, nyokap gue nitip oleh-oleh, nih, buat lo.” Nanda langsung terlihat antusias mendengar kata oleh-oleh. “Mana?” “Yeee ... giliran oleh-oleh aja lo cepet.” Bela memutar tubuh, membuka tas, dan hendak mengambil oleh-oleh yang dimaksudnya. Bukan oleh-oleh untuk Nanda yang ditemukannya di tas, tetapi mawar merah seperti yang sering ia dapatkan kemarin. “Lah, ini siapa yang naruh?” Nanda terkejut saat Bela mengeluarkan mawar dari dalam tas. “Mawar lagi? Gue kirain dia udah bosen jadi penggemar rahasia lo,” komentar Nanda. “BTW, oleh-oleh buat gue mana?” “Sebentar dulu, Nda.” Bela membuka kertas kecil yang ada bersama mawar tersebut. Apa kabar? —G “Bnak banget ada yang nanyain kabar lo, Bel. Cowok gue aja nggak peduli kabar gue gimana. LINE gue cuma di-read.” Bela tertawa. “Curhat, Bu?” “Iya, curhat.” Nanda menggaruk kepala. “Tadi siapa yang nggak ke kantin, ya? Gue yakin mawar ini ditaruh pas jam istirahat.” “Ah! Bener juga lo. Sebentar, gue tanyain.” Nanda berdiri, kemudian kedua tangannya bertumpu pada meja. “Guuuuuuys, siapa yang nggak ke kantin tadi?” Nanda berteriak. Namun, tidak ada seorang pun yang menggubrisnya. Nanda jadi gemas. “Woooiii! Pada punya telinga semua, kan, lo?” “Kenapa, sih, Nda?” Radin menyahut, tak ingin mendengar teriakan Nanda lagi. “Tadi siapa yang nggak ke kantin?” “Kayaknya, sih, Haula, coba tanya, tuh. Tadi dia nggak mau gue ajakin.” 100 Nanda dan Bela secara bersamaan menoleh ke meja paling depan. Namun, di bangku tempat biasa Haula duduk tidak ada siapa-siapa. “Din, Haula mana?” “Hah? Nggak tahu, deh.” Radin mengangkat bahu. “Kaaaaaai,” panggil Bela pada cowok yang duduk di belakang bangku Haula. Kai menoleh ke belakang, mencari suara yang memanggilnya tadi. “Kenapa, Bel?” “Haula mana?” “Haula, kan, udah pulang, sakit katanya.” “Sakit apa?” “Sariawan.” Nanda di sebelah Bela malah ngakak mendengar jawaban Kai. “Ya ampun, tu bocah, dikit-dikit izin pulang” Bela menggembungkan pipi, Hampir saja ia tahu siapa penggemar rahasianya itu. “Udah, jangan sedih, besok kita tanyain Haula. Sini, mana oleh-oleh buat gue.” Nanda menaikturunkan alis. “Lo ambil sendiri aja, deh, Nda,” sahut Bela malas. Ia menjatuhkan kepala ke atas meja. Matanya memandangi bunga itu. Mungkin, nggak, sih, ini Dalvin? batinnya berbicara. Dalam hati kecil Bela, ada harapan bahwa G ini adalah Dalvin. “Huaaahhh, cokelaaattt!” pekik Nanda dengan mata berbinar setelah mengambil oleh-oleh di tas Bela. “Bel, bilang ke Tante, makasih, ya. Tahu aja gue suka cokelat.” a0 “Belaaa, gue nebeng pulang sama lo, ya.” “Cowok lo mana?” Bela celingukan. Menunggu mobil mamanya di trotoar depan sekolah. lol “Nggak tahu, dia jadi aneh banget sekarang. Sibuk melulu, katanya ada latihan futsal.” “Nebeng boleh, tapi nanti lo beliin gue siomay, ya.” “Gue beliin, tapi lo yang bayar,” ucap Nanda polos, lalu cengar-cengir tak berdosa. “Yeeee ....” Bela menoyor kepala Nanda. Sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Dua cewek itu saling pandang. “Siapa?” bisik Nanda. Bela menggeleng halus. Perlahan kaca mobil bagian depan terbuka, menampakkan wajah Dalvin yang sedang tersenyum. Bela dan Nanda sama-sama terkejut melihatnya. Hari ini mobil yang dipakai Dalvin beda, jadi Bela tak mengenalinya. “Mau pulang bareng?” tanya Dalvin yang menyebabkan wajah Bela langsung terasa panas. “Bel, woi, ditanyain, tuh,” Nanda menyenggol Bela. “Hmmm, nggak, deh, udah minta jemput Nyokap.” Bela tersenyun kikuk. Padahal, di dalam hatinya ia ingin sekali mengiakan tawaran Dalvin, tetapi tak mungkin, saat ini mamanya pasti sudah di jalan. “Ohhh, ya udah, deh, hati-hati, ya.” Senyum tipis di bibir Dalvin tercipta. Kaca mobil bergerak naik. Bela menggigit bibirnya. Ia ingin pulang dengan Dalvin. Ponsel di tangan Bela bergetar menandakan ada pesan masuk. Cewek itu langsung membaca isinya yang mengatakan bahwa Mama Rani tak bisa menjemputnya karena ban mobil pecah di jalan. Mama menyuruh Bela pulang dengan taksi saja. Sesenti lagi kaca mobil Dalvin tertutup sempurna. “Dalvin, gue pulang sama lo!” Setelah berteriak seperti itu, keinginan Bela akhirnya terwujud. la pulang bersama Dalvin. Namun, tidak hanya dirinya, ada Nanda juga. Dalam perjalanan mereka bertiga sibuk berbincang-bincang, sesekali 102 menertawai Nanda yang melucu. Tak perlu waktu lama untuk Nanda akrab dengan orang baru karena dia memiliki kepribadian yang ramah dan supel. “Eh, Vin, lo nggak latihan futsal, apa?” Nanda baru ingat bahwa Dalvin itu kapten futsal, dan tidak mungkin kapten futsal tidak ikut latihan. “Hari ini nggak ada latihan, Nda, kenapa?” “Jos bilang dia latihan futsal hari ini,” tutur Nanda. Perasaan Nanda jadi tak enak. Ada rasa sakit yang dirasakannya saat tahu Jos berbohong. “Kalo emang ada latihan, pelatih kita biasanya ngasih tahu gue dulu, baru nanti gue yang bilang ke anak-anak.” “Ooohhh, gitu.” Nanda mengangguk-angguk. “Bh, bukannya itu mobil Jos, ya?” Bela menunjuk salah satu mobil yang tak jauh di depan mobil Dalvin. Nanda mengangkat wajah, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. “Iya, itu mobil Jos. Ternyata dia bohongin gue.” Bela, yang duduk di depan, menengok kepada Nanda, di belakangnya. “Nanda, jangan sedihhh.” “Gue ikutin mobilnya” kata Dalvin yang sudah sejak tadi berkonsentrasi mengekori Jos. “ya, ikutin, kali aja dia sakit, terus mau ke rumah sakit. Makanya dia bohongin Nanda. Biar Nanda nggak khawatir.” Nanda hanya tersenyum kecut mendengar Bela. “Tapi, ini bukan jalan ke rumah sakit.” Beberapa saat kemudian, mobil Jos akhirnya berhenti. Cowok itu keluar dari mobil dan berlari kecil masuk ke dalam suatu bangunan. Dalvin masih belum bisa memastikan tempat apa itu, mobilnya berhenti cukup jauh di belakang mobil Jos. “Itu apaan?” Dalvin menatap Bela. “Toko bunga.” Nanda menyahut di belakang. 108 “Tuh, kan, dia kayaknya mau bikin surprise buat lo, Nda.” Nanda menggeleng. “Jos tu nggak romantis, Bel.” Di dalam sana jantung Nanda rasanya mau copot. Ia berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Selama ini, ia mengabaikan sesuatu. Ia terlalu sibuk mencari hingga tidak menyadari seseorang itu adalah Jos. Kini Nanda bisa menyimpulkan, siapa sebenarnya si misterius G yang selalu mengirimi Bela bunga. 04 Part 12 Dowt let Me Down Friend zone adalah ketika lo baper saat cowok yang Lo suka baik sama lo. Fadahal, sih. dia baik karena dia nganggep Lo itu tewen. Wp ganda, mau ke mana?” Bela meneriaki Nanda yang sudah keluar dari mobil dan berlari menuju toko bunga tempat Jos berada. Khawatir dengan sahabatnya, Bela kemudian mengikuti jejak Nanda. Kini hanya tinggal Dalvin seorang diri di dalam mobil. Ia masih belum mengerti apa yang sedang terjadi sebenarnya. Cowok itu mematikan mesin mobil, kemudian ikut keluar. Rasanya ia tak bisa hanya menonton dari dalam. Pemandangan mengejutkan menyambut Dalvin di depan pintu masuk toko bunga. Nanda menampar pipi Jos dengan air mata yang mengalir di pipinya. Sementara itu, Bela berdiri tak jauh dari mereka. Dalvin kemudian menghampiri Bela, memandangi cewek itu. Ada yang aneh dari Bela, tangannya bergetar. “Nda, kok, lo bisa di sini?” Jos terlihat panik. la menangkup pipi Nanda dengan kedua tangan. “Kenapa lo jahat?” tanya Nanda dengan suara parau. “L-lo udah tahu?” Jos bertanya gugup. Cowok itu menunduk memandangi setangkai mawar, yang baru dibelinya, di lantai. Mawar itu terjatuh saat Nanda tiba-tiba datang. Tangan Jos perlahan turun, tak lagi menangkup pipi kekasihnya. “Sorry.” Nanda tersekat, tangisan membuat suaranya tak bisa keluar. Meskipun ia sering menerima tawaran cowok lain yang mengajak jalan, dalam hati Nanda, ia tetap menyayangi Jos dengan tulus. Ini benar-benar diluar dugaan Nanda. Semuanya melenceng dari perkiraannya. Kaki Nanda mundur perlahan. Ia berharap ini semua hanya mimpi. Jos tidak boleh suka Bela. Bela adalah sahabatnya sendiri. Nanda berbalik, matanya bertemu dengan pupil hitam Bela. Rupanya cewek itu juga sudah mengerti. Ada jejak air mata di pipi Bela. Nanda ingin memeluk Bela, tapi tak bisa karena ada rasa sakit yang menahannya. Ia kemudian berlari keluar. Dalvin memandangi Jos dan bunga yang terjatuh. Otaknya terasa pusing. Ingin Dalvin berteriak dan bertanya sebenarnya apa yang terjadi. Namun, itu tidak mungkin. Sudut matanya melirik Bela. Muncul setitik rasa kasihan melihat cewek di sebelahnya itu menangis. “Bela, gue minta maaf.” Jos maju mendekat. Bela berdecih. Mengusap air matanya. “Minta maaf? Lo pikir setelah ini persahabatan gue sama Nanda bakalan baik-baik aja?” “Makanya gue minta maaf.” “Enak banget lo ngomong,” “Lo masih bisa cari temen yang lain, Bel.” Plak! Bela menampar Jos dengan penuh emosi. Apa dia pikir mencari sahabat sebaik Nanda segampang minta telolet di pinggir jalan? 106 “Bel, gue minta maaf, please, jangan benci sama gue.” Jos meraih pergelangan tangan Bela. “Lepasin!” bentak Bela kemudian, berusaha menarik tangannya. “Nggak, Bel, gue suka sama lo udah lama. Gue udah berjuang dan lo nggak bisa benci sama gue gara-gara hal sepele kayak gini.” Bela berontak, berusaha melepaskan genggaman tangan Jos. Sayangnya jari Jos terlalu kuat untuk Bela lawan. “Lepasin gue.” “Nggak, sebelum lo maafin gue dan nggak benci sama gue lagi. Biarin aja kita di sini sampe malem. Sampe pagi pun nggak apa-apa.” “Lepasin tangan cewek gue sekarang atau lo mau berurusan sama gue?” Jos terkejut. Sejak tadi dia mengabaikan cowok itu. Jos baru tersadar bahwa Dalvin ada di sana sejak tadi. Dan, tadi Dalvin bilang apa? Cewek gue? Sejak kapan mereka jadian? Jos tersenyum miring, “Lo pikir gue bego kayak cewek di kantin waktu itu? Yang dengan gampangnya lo bohongin. Sorry, Vin, IQ gue lebih tinggi daripada lo.” Rahang Dalvin mengatup keras. Bodoh sekali selama ini dia berteman dengan Jos. Meskipun Dalvin tak tahu permasalahan sebenarnya, tapi Dalvin yakin, Jos melakukan kesalahan besar. “Dalvin emang pacar gue, dan sekarang lo bisa lepasin gue, kan? Atau, muka lo lebih tebal dari tembok?” Air mata Bela terus bercucuran, ia masih memikirkan Nanda. Dalvin melirik ke arah Bela, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Dalam hati ia berteriak kesenangan. Jos langsung melepaskan tangan Bela. “Gue nggak peduli lo punya pacar atau nggak, gue bakalan tetap suka sama lo, Bel. Gue nggak akan nyerah buat dapetin lo.” Jos menatap tajam Dalvin sementara cowok itu malah membalas dengan ekspresi menyebalkan. Untung Bela tak melihat wajah Dalvin saat itu. Jika ia melihatnya, mungkin sekarang Bela sudah tertawa. 107 “Ayo, Sayang, kita pulang,” Dalvin memeluk pundak Bela dan menarik cewek itu meninggalkan Jos yang semakin kesal. W907 Dalvin menggaruk kepalanya bingung. Ia tak bisa fokus pada jalan. Bela di sebelahnya masih menangis, meskipun tak bersuara, tapi Dalvin tahu itu. “Hmmm, Bel, maaf tadi gue lancang” “Nggak, Vin.” Bela menghapus air matanya. Mencoba tersenyum dan memandang Dalvin. “Makasih banyak.” “Lo jangan nangis gitu, dong. Gue nggak bisa lihat cewek nangis. Meskipun cewek itu mantan musuh gue sendiri.” Bela tertawa kecil. “Gue nggak nangis, kok. Sekali lagi, makasih, ya, mantan musuh.” “Sama-sama. Lo mau makan es krim? Siomay? Gue traktir, deh. Sekalian kita cari Nanda, ajak makan bareng.” Bela menggeleng. Ia sedang tidak mood untuk itu semua. “Nggak, deh, Vin, makasih. Lain kali aja.” Dalvin mengangguk. “Oke.” Dalam diam Bela tersenyum. Tak butuh waktu lama, Dalvin berhasil mengubah mood-nya. Rasa panas di hatinya tergantikan rasa sejuk yang sangat Bela sukai. Ia membuang pandangan ke jendela. Memandangi trotoar di luar. Selama ini ia mengira Dalvin yang mengiriminya bunga, tapi ternyata bukan. Malah pacar sahabatnya sendiri yang melakukan itu. Meski sedikit kecewa, tapi Bela tak apa-apa, kedekatannya dengan Dalvin sekarang sudah lebih dari cukup. “Bela, handphone lo bunyi tuh.” Dalvin melirik Bela yang melamun sendiri, mengabaikan ponselnya yang sejak tadi mengeluarkan suara. “Belaaa, handphone lo.” “Ha? Handphone?” tanya Bela yang baru sadar dari lamunan. 108 “Lo sering banget ngelamun, ya?” Dalvin terkekeh. Bela jadi merasa malu, sering sekali dia melamun tak jelas di depan Dalvin. Entah ini kali keberapa. Cewek itu mengambil ponsel dari dalam saku rok. Matanya membulat, Mama menelepon. “Halo, Mam.” Bela menyapa setelah ponselnya terhubung dengan ponsel Mama di sana. “Kamu ke mana aja? Mama udah pulang dan kamu belum di rumah. Kamu nggak dapet taksi?” “Bela pulang sama temen, Mam.” “Sama Nanda, ya? Bilang Nanda jangan ngebut. Jangan mampir-mampir.” Bela melirik Dalvin. “Aku pulang sama Dalvin, Mam,” Dalvin yang mendengar namanya disebut pun menoleh. “Ohhh, Dalvin? Ah, Mama, sih, percaya sama dia. Kamu yang baik-baik, ya, sama Dalvin. Bilangin salam dari Mama.” Bela mulai merasa risi. Jika sudah menyebut Dalvin pasti mamanya jadi berubah. “Iya, iyaaa, Bela matin, ya. Dadaaah .... Assalamualaikum.” “Nyokap lo?” Bela mengangguk. “Vin, dapet salam dari Mama,” ucap Bela sambil tertawa. “Kenapa ketawa? Salam balik, ya.” “Lucu aja, kayaknya Mama ngefan, deh, sama lo.” “Wajar, cogan, menantu idaman.” 109 Part 13 Remit Terkadang kenyataan pahit datang di saat yang tidak tepat. Sehingga kita merasa marah, sedih, dan kecewa. Tapi, percayalah, itu cara Tuhan untuk membuat diri kita menjadi lebih kuat. charian ini Bela melakukan aktivitas sendirian di sekolah. Tidak ada si pelawak Nanda yang menemaninya. Nanda hari ini tidak masuk sekolah. Entah apa alasan sebenarnya, tadi pagi surat izin Nanda diantarkan ke kelas. Dalam surat itu disebutkan bahwa Nanda sakit, tetapi Bela curiga Nanda tidak sekolah karena kejadian kemarin. Sejak kemarin sudah ratusan kali Bela menelepon Nanda, tetapi tak ada satu pun teleponnya yang dijawab. Bela juga sudah melakukan spam di seluruh akun media sosial milik Nanda, tetapi tetap saja tak ada respons dari cewek itu. Jika tahu akhirnya akan seperti ini, Bela berharap kemarin dia tidak mendapatkan bunga-bunga itu. “Gimana rasanya makan di kantin sendirian?” Bela tersentak ketika seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Mata Bela menyipit setelah mengetahui siapa orang yang duduk di sampingnya sekarang. “Lo ngapain ke sini?” tanya Bela ketus. “Mau nemenin lo makan.” Bela mendengus, lalu membasahi bibirnya. Ia merasa kesal sekali melihat wajah Jos di hadapannya. “Gila lo. Kalo Nanda tahu, dia bisa marah,” ucapnya dengan pandangan tak suka. Jos mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, pura-pura berpikir. “Hmmm ... gue udah putus.” Cowok itu tersenyum tanpa rasa menyesal sedikit pun. Wajah Bela seketika menegang. Ia tahu sekali Nanda sangat menyayangi Jos. Pasti Nanda sangat sedih saat ini. Dengan seenaknya cowok itu memutuskan hubungan mereka. Bela benar-benar geram. “Nggak bisa.” “Kenapa nggak bisa? Bisa ajalah. Gue yang mutusin. Lagian gue nggak pernah sayang sama dia,” tutur Jos santai. Bela menggeleng tak percaya. Ia bisa merasakan bagaimana sedihnya Nanda saat ini. “Kalo lo emang nggak sayang sama dia, kenapa lo malah macarin dia, hah?” Nada suara Bela meninggi disusul dengan gebrakan meja. Bela mengepalkan tangan. Ia sudah mulai berang. “Biar gue bisa deket sama lo. Tapi, ternyata dia nggak bisa diandelin. Temen lo itu nggak berguna.” Bela sudah tak tahan duduk di dekat cowok itu. Ia kemudian berdiri dan hendak beranjak pergi. Jos meraih pergelangan tangan Bela dan ikut berdiri. “Mau ke mana? Temenin gue makan dulu.” Mata Belamemejam sesaat, kemudian melepaskan genggaman tangan Jos. Ia sudah emosi. Bela merasa darah di dalam tubuhnya mendidih. Giginya bergemeletuk. Seketika tangannya terangkat, mengayun cepat menuju pipi Jos. Sedikit lagi ia akan berhasil menampar cowok itu, tetapi seseorang menghentikan Bela. Il “Jangan ngotorin tangan lo dengan nampar cowok ini.” Bela dan Jos serentak menoleh. “Dalvin?” Kening Bela mengerut. Saat ini Dalvin berdiri di samping Bela sambil menahan tangan Bela yang tadinya akan menampar Jos. “Maaf, gue telat dateng. Tadi dipanggil guru sebentar. Kita jadi makan bareng?” Dalvin menarik tangan Bela, menurunkannya, tetapi tidak melepaskan genggaman sama sekali. Perlahan cowok itu menautkan jarinya di sela jari milik Bela. Oksigen rasanya seperti terisap ke luar angkasa sehingga Bela tak bisa bernapas dengan normal. Cewek itu menelan ludah dengan mata melebar. Jantungnya berdebar di saat yang tidak tepat. Beberapa siswa teralih perhatiannya kepada Bela, Dalvin, dan Jos. Lagi-lagi Bela menjadi pusat perhatian, meski tidak seheboh insiden penyiraman kuah mi ayam. “Hei, kita jadi makan?” Dalvin tak tahu orang yang ia ajak bicara sedang tidak ada di tempat. Tubuh Bela memang ada di kantin, tapi jiwanya melayang entah ke mana. Sementara itu, Jos memandang aneh pada Bela yang mematung saat ini. Dalvin berdeham. Dia berusaha menahan senyum. Bela selalu melamun seperti ini, ia sudah mulai terbiasa dengannya. Namun, tetap saja. ini semua sangat lucu di mata Dalvin. “Sayang, lo nggak apa-apa?” Bela langsung tersadar, kemudian tersedak dan batuk-batuk. Panggilan itu lagi. Apa Dalvin berniat membunuh Bela sekarang? “Ya ampun.” Dalvin menepuk pelan punggung Bela. “Vin, ke kelas, yuk,” ajak Bela masih dengan batuknya. Ia sudah tak tahan dengan wajah menyebalkan Jos. Bela juga merasa tak kuat merasakan genggaman Dalvin. Jantungnya terasa akan meledak sebentar lagi. I “Iya.” Dalvin menjeda, lalu beralih pada Jos yang sedang memandangi mereka. “Lo masih nggak punya malu? Atau, emang nggak punya malu? Kali ini lo gue maafin, tapi lain kali gue nggak akan biarin lo ganggu Bela.” “Gue nggak peduli. Lo pikir gue percaya kalian ini jadian?” Jos tertawa kecil. “Nggak, kalian nggak mungkin jadian. Cukup, deh, akting lo itu nggak mempan bohongin gue.” Jos menepuk pundak Dalvin. “Gue duluan ya, Kawan.” Dia tersenyum miring, kemudian pergi dengan tangan dimasukkan ke saku celana. “Siall Ternyata temen juga bisa berubah jadi ular,” gerutu Dalvin membuat Bela di sebelahnya tertawa. I Sore hari, sepulang sekolah, Bela mengunjungi rumah sakit. Ia berniat menjenguk Kanya, temannya selama berada di rumah sakit dahulu. Tak tahu kenapa, ia ingin menceritakan masalahnya kepada cewek bermata jernih itu. Sebelum ke rumah sakit Bela mampir sebentar membelikan buah dan novel untuk Kanya. Dibukanya pintu kamar dengan nomor 245 itu. “Selamat sore.” “Belaaa.” Kanya yang semula tiduran langsung mengangkat tubuhnya. “Kanyaaaaaa, kangennn.” Bela langsung berlari menghampiri Kanya. Meletakkan barang bawaannya di atas meja, lalu memeluk Kanya. “Sorry, gue baru bisa dateng sekarang” Kanya mengangguk. “Nggak apa-apa, kok,” sahutnya tulus. Bela melepaskan pelukan mereka. Ia sempat terdiam sebentar melihat Kanya. Sepertinya Kanya kehilangan banyak berat badan. Di mata Bela, cewek itu terlihat lebih kurus. Namun, ia tak ingin khawatir dahulu, sekarang saatnya ia tertawa bareng dengan Kanya. “Bosen, nggak?” Bela duduk di kursi dekat Kanya tidur. Tangannya terlipat di pinggir ranjang. IB “Bosen banget, nggak ada temen ngobrol, Bel. Sesekali Dalvin jenguk aku, sih. Tapi, dia tuh, nggak asyik diajak curhat, nggak kayak kamu.” “Ya udah, lo anggep aja Dalvin itu gue.” Bela terkekeh. Kanya mencebikkan bibir. “Nya, gue mau curhat.” “Curhat ajaaa, usahain ceritanya yang panjang.” “Ah, gue tadi beli buah, lo boleh, kan, ya, makan buah? Gue kupasin apel dulu, deh, baru gue mulai curhat. Mau?” “Maulahhh, aku boleh makan semua jenis makanan, kok, Bel.” Kanya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Bela berdiri, kemudian mengambil buah dari dalam tas yang ia bawa tadi. “Terus, lo ngapain aja kalo lagi sendiri?” “Emmm.... Aku baca Wattpad, sih. O iya, aku udah save nomer kamu diponsel aku, Bel. Kemarin aku, kan, simpan nomer kamu di ponsel Dalvin karena ponsel aku sempet rusak.” “Bahagia banget, sih, fan aku.” Bela melangkah menuju wastafel. “Ternyata lo baca Wattpad juga, berarti kita sama. Baca novelnya siapa?” “Kamu tahu akunnya @Haula_s ? Aku baca cerita dia tuh, lucu, banyak lawakannya, tapi tetep sweet.” Langkah Bela berhenti, lalu dia berbalik menatap Kanya. “Itu temen kelas gue, tahu.” Kanya terlihat terkejut. “Eh, masa? Wah, seneng banget, dong.” “Mau gue salamin?” “Mau, mau.” Kanya terlihat sangat antusias. Dia bertepuk tangan, kemudian membuka sesuatu di ponselnya. “Lihat, nih, semua cerita dia ada di library aku.” Kanya memperlihatkan layar ponselnya kepada Bela. Bela hanya tertawa. Semua tingkah Kanya itu lucu. Ia jadi teringat tentang Nanda. Benar sekali, rasa bersalah tak dapat Bela hindari meski dia terus meyakinkan dirinya bahwa Jos yang bersalah. “Kanya, gue ini jahat, ya?” Mh “Jahat?” Kanya mengernyit, tak mengerti dengan pertanyaan Bela tadi, “Emang kenapa, kok, nanya gitu?” “Ah ... astaga, sorry, gue ngelantur.” Bela tertawa renyah. Kanya menyadari ada raut kesedihan di wajah Bela. Cewek itu tak seceria biasanya. Namun, Kanya bisa apa? Ia hanya bisa mengangguk, tak punya hak untuk ikut campur dengan urusan pribadi Bela. Meskipun rasanya Kanya ingin menanyakan apakah Bela baik-baik saja. Selesai mengupas dan memotong apel menjadi beberapa bagian kecil, Bela kembali duduk. “Kamu kenapa, Bel?” tanya Kanya dan meraih piring berisi apel yang diberikan Bela kepadanya. Bela menggeleng lemah, menciptakan senyum palsu di wajahnya. “Gue nggak apa-apa.” “Cerita aja, Bela. Kanya siap mendengarkan. Walaupun kamu baru kenal sama aku, tetapi aku tepercaya, kok. Nggak ember.” Kanya tertawa kecil, kini ia mulai memakan apel di tangannya. Hati kecil Bela mengatakan bahwa Kanya adalah orang yang tepat untuk mencurahkan semua isi hatinya. Senyuman tulus terlukis di wajah sendu Bela, kemudian ia berkata, “Iya gue cerita.” I Pelatih futsal mengejar langkah Dalvin yang hendak menuju tempat parkir. Ia menepuk pundak Dalvin setelah berhasil menyejajarkan langkah dengannya. “Dalvin, kamu tahu Jos ke mana? Dia nggak izin sama kamu?” Dalvin menoleh. “Saya nggak tahu, Bang, dia nggak izin,” ucap Dalvin malas. Ia juga sudah tak peduli dengan Jos. Dalvin merasa lebih baik jika teman duduknya itu keluar dari tim futsal sekolah. Melihat sikap Jos akhir- akhir ini membuat Dalvin muak. Ia juga tak suka jika Jos mengganggu Bela. 15

You might also like