PENYELESAIAN SENGKETA DAN AKIBAT HUKUM WANPRESTASI
PADA KASUS ANTARA PT METRO BATAVIA
DENGAN PT GARUDA MAINTENANCE FACILITY (GMF) AERO ASIA
Ines Age Sa
, Rifgathin Ulya, Zhahrul Mar’atus Shi
Email: rifaathin.ulva@amall,com
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
ah
Abstract
According to Article 1234 of the Civil Code, the debtor is required to submitto creditors where achievement
achievements in the form of giving, doing, or not doing something. in the event that the debtor can not
meet the achievements that have been agreed, it is called a default. Authors interested in analyzing
a caso betwoen PT Metro Batavia, which is one of the leading aircraft companies with PT Garuda
Maintenance Facilly (GMF) Aero Asia. In the case explained that the alleged breach of contract case fo
PT Garuda Maintenance (GMF) Aero Asia do not meet achievement in terms of the warranty fulfliment
‘machine purchased by PT Metro Batavia. The purpose and usefulness of this paper is to determine
how the default settings and result in default if any dispute arises based on the Code of Civil Law ana
other lavis and regulations governing default. This booklet is designed with normative juridical method of
writing. Default is not always meant not at all able to meet the agroed performance, but can also occur
in the event that the debtor is not the right time to meet the achievement, and with not as requested by
creditors. Default itself have legal consequences set out in the Civil Code, Section 1236, Section 1237
and Saction 1266. As a result of the law of tort for damages, cancellation of the agreement, intermediate
risk, and pay court costs:
Key Words : breach of contract, alliance, effect of default
Abstrak
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, debitur diwajibkan untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana
prestasi berupa memberkkan, berbual, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam hal debitur tidak dapat memenuhi
prestasi yang telah diperjanjikan, hal tersebut disebut wanprestasi. Penulis tertarik untuk menganalisis
sebuah kasus yang terjadi antara PT Metro Batavia yang merupakan salah satu perusahaan pesawat
terkemuka dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Dikasus tersebut dijelaskan
bahwa kasus wanprestasi tersebut dituduhkan kepada PT Garuda Maintenance (GMF) Aero Asia tidak
memenuhi prestasi dalam hal pemenuhan garansi mesin yang dibeli oleh PT Metro Batavia, Adapun
tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan wanprestasi dan
akibat wanprestasi ika timbul sengketa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan
Perundang-undangan lain yang mengatur tentang wanprestasi. Tulisan ini disusun dengan metode
penulisan yuridis normatif . Wanprestasi tidak selalu dimaksudkan tidak dapat memenuhi sama sekali
prestasi yang diperjanjikan, namun dapat juga terjadi dalam hal debitur tidak tepat waktu dalam memenuhi
prestasi, serta dengan tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh kreditur. Wanprestasi sendiri memiliki
akibat hukum yang diatur dalam KUHPerdata, Pasal 1236, Pasal 1237 dan Pasal 1266. Akibat hukum
dari wanprestasi berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan risiko, dan membayar biaya perkara.
Kata Kunci: wanprestasi,akibat wanprestasi,perikatan
A. Pendahuluan
Didalam setiap kegiatan usaha yang
dilakukan, selalu ada suatu perjanjian atas
prestasi yang akan dipenuhi oleh kedua pihak
yang melakukan perjajian tersebut. Prestasi
rmetakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
atau memberikan sesuatu. (FX. Suhardana, 2009
12)
Dalam memenuhi prestasi juga harus
berpedoman dengan asas beritikhad baik. Jadi
adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi
atau dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
apa yang diperjanikan, wujudnya dapat berupa
Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015
ada prinsipnya saling memenuhi prestasi yang
telah disepakati antara kedua belah pihak. Apabila
salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dari
Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum. 87kesepakatan yang telah dibuat maka dapat
dikatakan telah terjadi suatu wanprestasi. Dalam
hal ini wanprestasi (breach of contract) adalah
tidak dlaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh
kontrak terhadap pinak-pihak tertentu seperti yang
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan
Wenprestasi bermula dari adanya kesepakatan
para pihak untuk membuat perjanjian, dengan
sejumiah klausul yang mengandung sejumlan hak-
hak dan kewaiiban-kewajiban dari antara kedua
belah pihak (dalam perjaniian timbal balk)
Dalam hal ini wanprestasi terjadi dan
menyebabkan suatu kerugian, maka perlulah
suatu penyelesaian wanprestasi yang diakukan
agar tidak menyebabkan kerugian yang lebih
besar dengan cara penyelesaian sengketa yang
disediakan seperti diselesaikan di jalur litigasi
maupun non litigasi. Dengan jalurltigasi pula
ada pengajuan sita jaminan agar pihak yang
melakukan wanprestasi mampu melaksanakan
pembayaran ganti rugi tepat waktu dan tidak
bertindak untuk lepas dari pembayaran gant
rugi. Maka penulis tertarik untuk menganasilis
sebuah kasus wanprestasi yang terjadi antara
PT Metro Batavia yang merupakan salah satu
perusahaan pesawat terkemuka dengan PT
Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia,
dengan kronologi sebagai berikut,
Kasus tersebut muncul saat kedua pihak
mengadakan kerjasama pada Juli 2006. Pada
waktu itu PT Metro Batavia membeli mesin ESN
857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply
Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF
untuk memenuhi standar nasional. Kemudian,
pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki
dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-
Balkpapan. Tak berselang lama dariitu, tepatnya
tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854
rusak setelah terbang 300 jam terbang. PT Metro
Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda
Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin
pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki
garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang.
Saat itu PT Metro Batavia meminta mesin
tersebut diservis kembali lantaran baru dipakal
300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak.
‘Alasannya, kerusakan itu diluar yang diperjanjkan,
Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan
karena kesalahan pengerjaan. Hal pada Apri 2007
PT Metro Batavia pun menggugat GMF USS 5 juta
(Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang
Mediasi memang sempat diakukan, tapi menemui
jalan buntu. Dengan dasar hasilitu, pada Agustus
2008 PT Metro Batavia mengalihkan gugatannya
58 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015
ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat,
Gugatan tersebut ditolak oleh pengaditan
Padahal di sisi lain, PT Metro Batavia memitki
hutang perawatan pesawat milik GMF sejak
Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaks
perjanjian tersebut PT Metro Batavia memutuskan
secara sepihak beberapa kontrak perjanjian
perbaikan dan pembelian pesawat, padahal
pesawat sudah siap untuk diserahkan sehingga
kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta
rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian
secara sepihak tersebut dan atas ini yang
kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh
tempo sejak awal 2007.
Hutang tak kunjung dilunasi oleh Batavia
hingga pertengahan tahun 2008, Pada mulanya
pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan
ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia
sangat baik, namun setelah dilakukan melalui
cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara
mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia,
tetap saja tidak ada respon timbalbalik dari
Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang
dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara
mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding
terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin
menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan
cara kekeluargaan tanpa ai bawa ke pengadilan.
Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama
tiga bulan, akhimya permasalahan ini diserahkan
kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng, "Batavia sebagai salah satu
perusahaan pesawat telah melakukan transaksi
hutang yang semena-mena dengan didasarkan
i'ikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi
dan kepentingan klien yang diajak bekerja sama
bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh
pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada
konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar
ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan
menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah,
Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
Dari salah satu contoh kasus tersebut dalam
tulisan ini penulis mengemukakan pembahasan
mengenai penyelesaian wanprestasi, gant ru
yang diderita oleh kreditur dan ruang lingkup sita
jaminan atas adanya wanprestasi
B. Wanprestasi dalam Perikatan
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu
Dijelaskan dalam KUHPerdata, sumber dari
perikatan itu sendiri yakni dari perjanjian dan
Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukumundang-undang. Dalam hal perikatan bersumber
dari undang-undang maka sudah jelas bahwa
perikatan tersebut lahir karena adanya undang-
undang yang mengaturnya. Perikatan yang
bersumber dari perjanjian inilah yang kemudian,
menjadi hal penting yang harus diperhatikan,
Melalui perjanjian para pihak dapat melakukan
atau membuat segala macam perikatan.
Pengertian perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1313 KUHPerdata, dalam pasal tersebut,
dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Dalam setiap perjanjian dikenal istiiah
prestasi. Prestasi merupakan sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan
sesuai dengan isi dari perikatan tersebut, Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata, debitur diwajibkan untuk
menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana
prestasi berupa memberikan, berbuat, atau tidak
berbuat sesuatu,
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan
apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia
melakukan ‘wanprestasi’. la alpa atau lalai atau
ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian,
bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak.
boleh dilakukannya. (Subekti, 1996 : 45).
Wanprestasi dalam bahasa Belanda ‘wan-
prestatie", yang artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perikatan, baikperikatan
yang timbul karena perjanjian maupun perikatan
yang timbul karena undang-undang, (Merry Tjoanda,
Jumal Sasi, Vol. 16, No, 4, 2010: 43),
Munculnya wanprestasi sudah dapat
dipastikan diawali dengan adanya perikatan atas
perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik debitur
maupun kreditur. Dalam hal seorang debitur
melakukan wanprestasi dapat dikategorikan dalam,
‘empat hal berupa: (Subekti, 1996 : 45)
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikannya
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat
4, Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya
Dari keempat hal tersebut dapat dikatakan
bahwa wanprestasi tidak selalu dimaksudkan
tidak dapat memenuhi sama sekali prestasi yang
diperjanjikan, namun dapat juga terjadi dalam
hal debitur tidak tepat waktu dalam memenuhi
prestasi, serta dengan tidak sebagaimana yang
dikehendaki oleh kreditur,
Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015
Tidak terpenuhinya kewajban melaksanakan
prestasi dapat disebabkan oleh dua kemungkinan
yakni:
1. Karena kesalahan debitur sendir balk dengan
‘sengaja maupun karena kelalaian
Wanprestasi yang disebabkan adanya
Kesalahan debitur itu sendir, dimaksudkan
debitur tidak melaksakan kewajiban bukan
dikarenakan oleh hal-hal yang diluar
kemampuannya, melainkan karena perbuatan
yang disengaja atau karena kelalaian. Untuk
menentukan apakah seorang debitur bersalah
melakukan wanprestasi dalam keadaan
bagaimana debitur sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Debitur dianggap lalai
ketikaia tidak memenui prestasi, maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan
wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada
debitur, Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi. Surat somasi tersebut
dapat dijadikan sebagai bukti bahwa debitur
telah wanprestasi. Penjelasan lebin lanjut
mengenai peringatan atau somasi diatur
dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
2. Karena keadaan memaksa/force majeur yang
terjadi diluar kemampuan debitur
‘Wanprestasi yang terjagi Karena keadaan
memaksa (overmacht)force majeur, yang mana
debitur tidak dapat memenuhi prestasinya
kepada kredtur, yangmana keadaan itu imbul
diluar kemampuan debitur itu sendiri dan
Keadaan yang timbul itu juga berupa suatu
keadaan yang tidak dapat diketahui pada
waktu perjanjin dibuat. Atau dengan kata lain
force majeur terjadi bukan atas kehendak
debitur. Keadaan overmacht/force majeur
mengakibatkan hal-hal sebagai berkut:
a. Krediturtidak dapat meminta pemenuhan
prestasi dari debitur
b, Debitur tidak dapat dinyatakan lalai
dan oleh karena itt debitur tidak dapat
dituntut untuk mengganti kerugian
cc. Resiko tidak berallh kepada debitur
Debitur yang lalai atau alpa tersebut dapat
memilki akibat-akibat sebagai berikut: (Subekt,
1996: 45).
1. Membayar karugian yang diderita oleh
kreditur atau disebut ganti rugi
2. Pembatalan perjanjian atau disebut
pemecahan perjanjian
3. Peralihan risiko
4. Membayar biaya perkara, ini berlaku untuk
masalah yang dibawa ke pengadilan (Pasal
181 ayat 1 HIR)
Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 59Secara singkat dapat dijelaskan dari
KUHPerdata yang juga mengatur mengenai akibat
hukum yang terjadi apabila tidak terpenuhinya
kewajiban sebagaimana mestinya, akibat hukum
yang dapat dirumuskan dalam KUHPerdata dapat
dilhat dalam pasal berikut
1. Pasal 1243 KUHPerdata, ‘penggantian biaya,
rugi dan bunga karena tak terpenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,
apabila si siberutang, setelah dinyatakan fatal
memenuhi perikatannya,fetep melalaikannya,
atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannye.”
2. Pasal 1237 KUHPerdata, “dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan fertentu, kebendaan itu semenjak
porikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan
si berpiutang.”
3. Pasal 1266 KUHPerdata, berbunyi “syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,
‘manakala salah satu ihak tidak memenuhi
kewajbannya.’
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat
yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih
dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi
atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya,
maka harus dibuktikan di muka hakim, Pengajuan
ke pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan
adanya somasi yang dilakukan oleh seorang
jurusita dari pengadilan, yang membuat proses
verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup
dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja
jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si
berutang. (Subekti, 1996 : 45).
Dalam proses penyelesaian wanprestasi
di pengadilan, diberlakukan penyelesaian
berdasarkan hukum acara perdata sebagaimana
penyelesaian perkara-perkara perdata lainnya,
Hal ini berarti dalam proses penyelesaiannya
dapat dikenakan ganti rugi maupun sita jaminan
apabila memang diperlukan dilaksanakan sita
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 HIR,
Penyelesaian melalui jalur pengadilan atau jalur
Iitigas! ini dimulai dengan pengajuan gugatan pada
pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat
ertama yang memeriksa dan memutus perkara,
Proses persidangan dimulai dari pembacaan
gugatan, replik duplik, pemeriksaan alat bukti,
kesimpulan hingga penjatuhan putusan oleh,
majelis hakim. Di pengadilan, kreditur harus sebisa
mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur)
tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan
overmacht.
60 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015
Penyelesaian melalui jalur non litigast ini
dibagi atas Arbitrase dan Alternative Dispute
Resolution (ADR). Sebelum menyelesaikannya
melalui dua jalur litigasi dan non litigasi, pada
dasamya hakim dapat menawarkan kepada para
pihak untuk melakukan mediasi atau mufakat.
C. Analisis Kasus
Perjanjian antara PT. Metro Batavia dengan
PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia adalah
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan
suatu barang, misalnya jual bell, tukar menukar,
penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam
pakai. Dituangkan dalam sebuah perjanjian
bernama Long Term Aircraft Maintenance
Agreement Number GMF/PERJ.IDT-3046/2003
tertanggal 16 April 2003 (selanjutnya disebut
sebagal “Perjanjian Jangka Panjang’) dan
Amendment Number 1 to Long Term Aircraft
Maintenance Agreement Number GMF/PERWJ./
AMAND-1/DT- 3046/03/06 tertanggal 5 September
2006 (selanjutnya disebut sebagai “Amandemen
Perjanjian Jangka Panjang’)
Berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang
dan Amandemen Perjanjian Jangka Panjang,
sebagai maskapai penerbangan telah meminta
jasa sebagai sebuah perusahaan perawatan
dan perbaikan pesawat terbang untuk melakukan
perawatan pesawat dan/atau perbaikan pesawat
dan/atau penjualan sparepart danvatau penyewaan
tools danfatau penggunaan tenaga kerja, dengan
Perjanjian-perjanjian pelaksanaan yang dibuat
oleh para pihak dalam bentuk repair order,
Customer Work Order, Faximile, Non Contracted
Sales Report, cost approval dan dokumen
perikatan lainnya. Berdasarkan perjanjian tersebut,
para pihak telah berjanji dan bersepakat atas (1)
pekerjaan yang akan dikerjakan oleh PT GMF (2)
spareparttools/barang yang dijual atau disewakan
dan penggunaan tenaga kerja (3) harga pekerjaan
dan/atau harga barang dan/atau harga sewa, dan
(4) cara pembayaran, dimana telah melaksanakan
kewajiban sebagaimana diperjanjian tersebut
PT Metro Batavia harus menyerahkan
ang pembayaran atas kewajiban atau prestasi
yang sudah dilakukan oleh PT GMF, PT Metro
Batavia Air telah melakukan wanprestasi dengan
tidak melakukan apa yang disanggupi akan
ditakukannya atas prestasi yang dilakukan oleh PT
GME, untuk tu PT GMF telah mengajukan gugatan
wanprestasi. Gugatan wanprestasi didaftarkan di
kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan register perkara Nomor 335/Pdt.G/2008/
PN.Jkt Pst. pada tanggal 25 September 2008.
Maka menurut hukum, PT Metro Batavia memilki
Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukumtang kepada PT GMF dan mempunyai kewajiban
hukum untuk melunasi utang kepada PT GMF
saat utang dimaksud telah jatuh tempo. Wataupun
sudah melewati jangka waktu yang ditentukan
dalam surat perintah bayarfinvoice tersebut, PT
Metro Batavia belum melaksanakan kewajibannya
Untuk membayar dan melunasi utang yang telah
jatun tempo kepada PT GMF . Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa nyata-nyata telah terjadi
wanprestasi tethadap PT GMF karena tidak
melakukan kewajibannya untuk melakukan
pembayaran berdasarkan perjanjian dalam
jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana
tertuang dalam surat perintah bayar/invoice
yang telah jatuh tempo yang dikirimkan PT
GMF oleh kepada PT Metro Batavia. Meskipun
telah mengingatkan agar segera memenuhi
kewajibannya berdasarkan Perjanjian Jangka
Panjang beserta Amandemennya, namun_tetap
tidak melunasi kewaliban pembayaran kepada PT
GMF. Maka dengan demikian sudah jelas dan
meyakinkan bahwa PT Metro Batavia melakukan
wanpresta
Berdasarkan kajian teori alternatif sanksi
yang dapat dikenakan atas PT Metro Batavia
ada empat macam yaitu: (1) membayar kerugian
yang diderita oleh PT. GMF atau dengan singkat
dinamakan gant-rugi; (2) pembatalan perjanjian
atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; (3)
peralinan resiko; (4) membayar biaya perkara,
kalau sampai diperkarakan di depan hakim. (hitp:,
blogprinsip.blogspot.com/2012/10/wanprestasi-
dan-akibat-akibatnya htm)
Tetapi dengan melihat posisi kasus yang
dialami oleh PT GMF dengan PT Metro Batavia
sanksi yang bisa diterapkan yaitu membayar
kerugian. Gantirugi sering dirinci dalam tiga unsur:
biaya, rugi dan bunga.
1. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh satu pihak. Dalam hal
ini sudah terlihat jelas bahwa PT GMF
sudah mengeluarkan biaya perawatan dan
penggantian mesin pesawat PT Metro Batavia
sebesar USD 1.191.615,02 (satu juta seratus
sembilan puluh satu ribu enam ratus lima
belas 2/100 Dollar Amerika Serikat)
2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Dalam
kasus diatas kerugian dari PT GMF adalah
kerugian sebesar USS 500.000 atas perbuatan
PT Metro Batavia yang tak mau membayar
biaya perawatan pesawat kepada PT GMF.
Nitai ganti rugi ini berdasarkan perhitungan
keuntungan investasi yang bisa diperoleh PT
Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015
GMF jika dulu PT Batavia Air telah membayar
utang itu
3. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Kreditur yang dirugikan_berhak menuntut
enggantian ganti rugi, biaya dan bunga. Untuk
menjamin gugatan yang diajukan oleh tidak
menjadi sia-sia/ jlusoir di kemudian hari, maka
memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berkenan untuk meletakkan sita jaminan terhadap
harta-harta kekayaan milk dan asetaset lainnya.
Oleh karena itu, mereservir atau mencadangkan
haknya untuk ‘mengajukan permohonan sita
jaminan atas harta kekayaan dan aset-aset lain
milk, Sita jaminan (Conservatoir beslag) diajukan
dengan tujuan untuk menjaga hak-hak dari agar
sebelum ada putusan hakim, barang-barang
milk tidak dihilangkan. Suatu pembatasan lagi
dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam
peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila
prestasi itu berupa pembayaran sejumlah wang,
maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau
pembayaranitu terlambat, adalah berupa intorest,
rente atau bunga
Sanksi yang lain yaitu membayar biaya
perkara. Tentang pembayaran ongkos biaya
perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang
debitur yang lalai adalah tersimpul dalam
suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak
yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya
perkara.(hitp:Ibloaprinsip bloaspot.com/2012/101
wanprestasi-dan-akibat-akibainya.himl)
Menurut pasal 1267 KUHPerdata, pihak
kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk
melakukan|
1. pemenuhan perjanjian;
2. pemenuhan perjanjian disertai gantirugi:
3. gantirugi saja;
4. pembatalan perjanjian; pembatalan disertal
ganti rug.
Tethadap perkara a quo, Mahkamah Agung
Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan
tingkat kasasi Nomor 2923K/Pat/2010 tanggal
21 Juni 2011. Terkait dengan Putusan Kasasi
No. 2923 tersebut perlu diinformasikan juga
bahwa pada tingkat pertama di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim Perkara
No. 335 telah mengeluarkan Penetapan Sita
Jaminan Nomor: 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst
tertanggal 4 Maret 2009 yang pada pokoknya
mengabulkan Permohonan Sita Jaminan atas
tujuh buah pesawat Boeing 737-200 beserta
mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang
melekat pada ketujuh pesawat milk PT Metro
Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 61Batavia tersebut ("Penetapan Sita Jaminan")
dan Hakim Majelis Perkara No. 335 telah
menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang
telah diletakkan, dengan Penetapan Nomor 335/
PDT.GI2008/PN.JKT.PST, tanggal 4 Maret 2009
jo. Penetapan Nomor 01,DEL/PEN.CB/2009/
PN.TNG, tanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara
Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/
PN.TNG tanggal 12 Maret 2009, Berdasarkan
Penetapan Sita Jaminan dimaksud, Pengadilan
Negeri Tangerang sebagaimana tertuang dalam
Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/
PEN. CB/2009/PN.TNG jo. No.: 335/PDT.G/2008/
PN.JKT.PST tertanggal 12 Maret 2009 telah
melakukan sita jaminan terhadap empat pesawat
milik , dalam penelitian ini selanjutnya disebut
‘Pesawat Sitaan’, yaitu
1. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan
nomor seri 22397 dan nomor registrasi
pesawat PK-YTF, beserta mesin dan Auxillary
Power Unit (APU) yang melekat pada
pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir
di Bandara International Soekamo Hatta;
2. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan
nomor seri 22453 dan nomor registrasi
pesawat PK-YTG, beserta mesin dan
Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat
pada pesawat, milik PT Metro Batavia, yang
diparkir diBandara International Soekamo
Hatta;
3. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan
nomor seri 21766 dan nomor registrasi
pesawat PK-YTR, beserta mesin dan Auxiliary
Power Unit (APU) yang melekat pada
pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir
di Bandara International Soekarno Hatta; dan
4. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan
nomor seri 22055 dan nomor registrasi
pesawat PK-YTS, beserta mesin dan Auxiliary
Power Unit (APU) yang melekat pada
pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir
diBandara International Soekarno Hatta.
Sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR,
Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR. Di
dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa, “Jika
ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan
menggelapkan atau memindahtangankan barang
miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang
tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan
Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan
agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk
menjaga/menjamin hak Penggugat’. Isi pasal
tersebut, sesual dengan permohonan sita jaminan
62 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015
yang diajukan PT GMF agar selama perkara
berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan
atau memperjualbelikan asetnya. Dengan tujuan
bahwa menjamin Batavia lari dari tanggung jawab
untuk membayar utang kepada PT GMF dengan
alasan tidak mempunyai aset. (http://www.
hukumonline.com/beritarbaca/hol2180 1/batavia-
terbukti-wanprestasiterhadap-gmf)
Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan
bukan dimaksudkan untuk meletang, atau menjual
barang yang disita, namun hanya disimpan
oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau
dijual ole termohonitergugat. Dengan adanya
penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya
untuk menguasai barang, sehingga seluruh
tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau
‘mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita
tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak
pidana, Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan
bahwa segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak, balk
yang sudah ada maupun yang baru akan ada
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perserorangan. Pihak GMF
sejak semula telah meminta kepada Batavia Air
agar hartanya, yaitu tujuh pesawat Batavia yang
merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh
nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda,
secara khusus dijadikan jaminan pembayaran
utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada
saat jatuh tempo PT Batavia Air tidak dapat
‘menepatijanjinya untuk membayar atau melunasi
utangnya maka harta tergugat tersebut dapat
dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur
tertentu,
Pengaturan Sita Jaminan atas pesawat
terbang diatur dalam Rv (Pasal 763 h — k) yang
berisitentang penyimpangan bagi sta jaminan atas
pesawat terbang, Diluar ketentuan penyimpangan
tersebut beriaku sepenuhnya ketentuan umum sita
jaminan dalam HIR atau Rv. Pembatasan atas
penyitaan tidak berlaku terhadap pesawat asing
yang negaranya tidak menjadi penandatangan
(contracting states) Perjanjian Roma, 1933.
Dengan perkembangan bisnis dunia penerbangan
sekarang, tentu saja ketentuan yang ada saat ini
tidak memadai, sehingga diperlukan pengaturan
yang lebih aktual dalam hukum normatif, Pesawat
terbang tidak termasuk barang yang dilarang untuk
disita sesuai Pasal 197 ayat (8) HIR. Jaditerkait hal
ini, pesawat milk PT Metro Batavia bisa dijadikan
objek sita oleh pengadilan. Sita jaminan tersebut
diperbolehkan dan sah. (hilo/annisapuspanica.
blogspot.com/2014 03 01 archive.html)
Penyelesaian Sengketa dan Akibat HukumD. Penutup
Didalam setiap kegiatan usaha yang
dilakukan, selalu ada suatu perjanjian atas
prestasi yang akan dipenuhi oleh kedua pihak
yang melakukan perjajian tersebut. Dalam
hal wanprestasi dapat dikategorikan dalam
tiga hal yakni, tidak memenuhi perikatan sama
sekali atau sama sekali tidak melaksanakan
prestasi, memenuhi prestasi tetapi tidak tepat
waktunya atau terlambat dalam memenuhi
prestasi, dan memenuhi prestasi tetapi tidak
dengan baik. Menurut pasal 1267 KUHPerdata,
pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang
Jalai untuk melakukan antara lain, pemenuhan
perjanjian; pemenuhan perjanjian disertai ganti
rugi; ganti rugi saja; dan pembatalan perjanjian;
pembatalan disertai ganti rugi.
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan
dalam pembahasan sebelumnya tindakan yang
dilakukan oleh PT Metro Batavia adalah salah
satu bentuk wanprestasi yaitu tidak melakukan,
apa yang disanggupi akan dilakukannya. PT
Metro Batavia tidak menepati pembayaran
pembiayaan perawatan mesin pesawat kepada
PT Garuda Mainteance Facility yang sudah
melakukan prestasi seperti apa yang telah
dijanjikan, Sebelumnya PT Metro Batavia juga
telah mengajukan gugatan kepada PT GMF
dengan dalih tidak memberi perawatan secara
maksimal tetapi gugatan PT Metro Batavia tidak
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat karena tidak ada kesalahan yang dapat,
dibuktikan. Keputusan hakim Pengadilan Negeri
untuk memutuskan sita jaminan dan ganti rugi
terhadap PT Metro Batavia sudah tepat sesuai
dengan KUHPerdata dan perundang-undangan
yang terkait. Penerapan sita jaminan terhadap PT
Metro Batavia sesuai bukti bukti dan fakta yang
terungkap di pengadilan yaitu adanya perjanjian
antara kedua belah pihak dan PT Metro Batavia
juga mengakui adanya perjanjian tersebut dan
tidak membantah
DAFTAR PUSTAKA
Burgerlf Wetboek Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjtrosuibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita
FX. Suhardana. 2009. Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak. Yoayakarta
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Subekti, 1996. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa
Merry Tjoanda. 2010. “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Jurnal Sasi,
1644).
-Batavia Terbukti Wanprestasi Terhadap Gmf Diunduh di htto:/iwww.hukumonline.com/beritalbacal
hol2180/1/batavia-terbukti-wanprestasi-terhadap-amf, diunduh pada tanggal 23 Desember 2014,
pada pukul 09.10 WIB
Wanprestasi Dan Akibat Akibatnya, Diunduh di btto-/bloaprinsip blogspot com/2012/1 0/wanorestasi-
dan-akibat-akibatnya. html, diunduh pada tanggal 24 Desember 2014, pukul 18.00 WIB
Annisa Puspanira, Diundub di http://annisapuspanira,blogspot,comv2014 03 01_archive.htm! , diunduh
pada tanggal 23 Desember 2014, pukul 09.00 WIB.
Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015 Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 63