You are on page 1of 7
PENYELESAIAN SENGKETA DAN AKIBAT HUKUM WANPRESTASI PADA KASUS ANTARA PT METRO BATAVIA DENGAN PT GARUDA MAINTENANCE FACILITY (GMF) AERO ASIA Ines Age Sa , Rifgathin Ulya, Zhahrul Mar’atus Shi Email: rifaathin.ulva@amall,com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta ah Abstract According to Article 1234 of the Civil Code, the debtor is required to submitto creditors where achievement achievements in the form of giving, doing, or not doing something. in the event that the debtor can not meet the achievements that have been agreed, it is called a default. Authors interested in analyzing a caso betwoen PT Metro Batavia, which is one of the leading aircraft companies with PT Garuda Maintenance Facilly (GMF) Aero Asia. In the case explained that the alleged breach of contract case fo PT Garuda Maintenance (GMF) Aero Asia do not meet achievement in terms of the warranty fulfliment ‘machine purchased by PT Metro Batavia. The purpose and usefulness of this paper is to determine how the default settings and result in default if any dispute arises based on the Code of Civil Law ana other lavis and regulations governing default. This booklet is designed with normative juridical method of writing. Default is not always meant not at all able to meet the agroed performance, but can also occur in the event that the debtor is not the right time to meet the achievement, and with not as requested by creditors. Default itself have legal consequences set out in the Civil Code, Section 1236, Section 1237 and Saction 1266. As a result of the law of tort for damages, cancellation of the agreement, intermediate risk, and pay court costs: Key Words : breach of contract, alliance, effect of default Abstrak Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, debitur diwajibkan untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana prestasi berupa memberkkan, berbual, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam hal debitur tidak dapat memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan, hal tersebut disebut wanprestasi. Penulis tertarik untuk menganalisis sebuah kasus yang terjadi antara PT Metro Batavia yang merupakan salah satu perusahaan pesawat terkemuka dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Dikasus tersebut dijelaskan bahwa kasus wanprestasi tersebut dituduhkan kepada PT Garuda Maintenance (GMF) Aero Asia tidak memenuhi prestasi dalam hal pemenuhan garansi mesin yang dibeli oleh PT Metro Batavia, Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan wanprestasi dan akibat wanprestasi ika timbul sengketa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan Perundang-undangan lain yang mengatur tentang wanprestasi. Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif . Wanprestasi tidak selalu dimaksudkan tidak dapat memenuhi sama sekali prestasi yang diperjanjikan, namun dapat juga terjadi dalam hal debitur tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi, serta dengan tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh kreditur. Wanprestasi sendiri memiliki akibat hukum yang diatur dalam KUHPerdata, Pasal 1236, Pasal 1237 dan Pasal 1266. Akibat hukum dari wanprestasi berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan risiko, dan membayar biaya perkara. Kata Kunci: wanprestasi,akibat wanprestasi,perikatan A. Pendahuluan Didalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan, selalu ada suatu perjanjian atas prestasi yang akan dipenuhi oleh kedua pihak yang melakukan perjajian tersebut. Prestasi rmetakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu. (FX. Suhardana, 2009 12) Dalam memenuhi prestasi juga harus berpedoman dengan asas beritikhad baik. Jadi adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan apa yang diperjanikan, wujudnya dapat berupa Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015 ada prinsipnya saling memenuhi prestasi yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dari Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum. 87 kesepakatan yang telah dibuat maka dapat dikatakan telah terjadi suatu wanprestasi. Dalam hal ini wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dlaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pinak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan Wenprestasi bermula dari adanya kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dengan sejumiah klausul yang mengandung sejumlan hak- hak dan kewaiiban-kewajiban dari antara kedua belah pihak (dalam perjaniian timbal balk) Dalam hal ini wanprestasi terjadi dan menyebabkan suatu kerugian, maka perlulah suatu penyelesaian wanprestasi yang diakukan agar tidak menyebabkan kerugian yang lebih besar dengan cara penyelesaian sengketa yang disediakan seperti diselesaikan di jalur litigasi maupun non litigasi. Dengan jalurltigasi pula ada pengajuan sita jaminan agar pihak yang melakukan wanprestasi mampu melaksanakan pembayaran ganti rugi tepat waktu dan tidak bertindak untuk lepas dari pembayaran gant rugi. Maka penulis tertarik untuk menganasilis sebuah kasus wanprestasi yang terjadi antara PT Metro Batavia yang merupakan salah satu perusahaan pesawat terkemuka dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia, dengan kronologi sebagai berikut, Kasus tersebut muncul saat kedua pihak mengadakan kerjasama pada Juli 2006. Pada waktu itu PT Metro Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta- Balkpapan. Tak berselang lama dariitu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. PT Metro Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu PT Metro Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakal 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak. ‘Alasannya, kerusakan itu diluar yang diperjanjkan, Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Hal pada Apri 2007 PT Metro Batavia pun menggugat GMF USS 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang Mediasi memang sempat diakukan, tapi menemui jalan buntu. Dengan dasar hasilitu, pada Agustus 2008 PT Metro Batavia mengalihkan gugatannya 58 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015 ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gugatan tersebut ditolak oleh pengaditan Padahal di sisi lain, PT Metro Batavia memitki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaks perjanjian tersebut PT Metro Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Hutang tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008, Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon timbalbalik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa ai bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, akhimya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H. Menurut Sugeng, "Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i'ikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerja sama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu. Dari salah satu contoh kasus tersebut dalam tulisan ini penulis mengemukakan pembahasan mengenai penyelesaian wanprestasi, gant ru yang diderita oleh kreditur dan ruang lingkup sita jaminan atas adanya wanprestasi B. Wanprestasi dalam Perikatan Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Dijelaskan dalam KUHPerdata, sumber dari perikatan itu sendiri yakni dari perjanjian dan Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum undang-undang. Dalam hal perikatan bersumber dari undang-undang maka sudah jelas bahwa perikatan tersebut lahir karena adanya undang- undang yang mengaturnya. Perikatan yang bersumber dari perjanjian inilah yang kemudian, menjadi hal penting yang harus diperhatikan, Melalui perjanjian para pihak dapat melakukan atau membuat segala macam perikatan. Pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam setiap perjanjian dikenal istiiah prestasi. Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan sesuai dengan isi dari perikatan tersebut, Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, debitur diwajibkan untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana prestasi berupa memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu, Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan ‘wanprestasi’. la alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak. boleh dilakukannya. (Subekti, 1996 : 45). Wanprestasi dalam bahasa Belanda ‘wan- prestatie", yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baikperikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang, (Merry Tjoanda, Jumal Sasi, Vol. 16, No, 4, 2010: 43), Munculnya wanprestasi sudah dapat dipastikan diawali dengan adanya perikatan atas perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik debitur maupun kreditur. Dalam hal seorang debitur melakukan wanprestasi dapat dikategorikan dalam, ‘empat hal berupa: (Subekti, 1996 : 45) 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 4, Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya Dari keempat hal tersebut dapat dikatakan bahwa wanprestasi tidak selalu dimaksudkan tidak dapat memenuhi sama sekali prestasi yang diperjanjikan, namun dapat juga terjadi dalam hal debitur tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi, serta dengan tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh kreditur, Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015 Tidak terpenuhinya kewajban melaksanakan prestasi dapat disebabkan oleh dua kemungkinan yakni: 1. Karena kesalahan debitur sendir balk dengan ‘sengaja maupun karena kelalaian Wanprestasi yang disebabkan adanya Kesalahan debitur itu sendir, dimaksudkan debitur tidak melaksakan kewajiban bukan dikarenakan oleh hal-hal yang diluar kemampuannya, melainkan karena perbuatan yang disengaja atau karena kelalaian. Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi dalam keadaan bagaimana debitur sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Debitur dianggap lalai ketikaia tidak memenui prestasi, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur, Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. Surat somasi tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Penjelasan lebin lanjut mengenai peringatan atau somasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata. 2. Karena keadaan memaksa/force majeur yang terjadi diluar kemampuan debitur ‘Wanprestasi yang terjagi Karena keadaan memaksa (overmacht)force majeur, yang mana debitur tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kredtur, yangmana keadaan itu imbul diluar kemampuan debitur itu sendiri dan Keadaan yang timbul itu juga berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjin dibuat. Atau dengan kata lain force majeur terjadi bukan atas kehendak debitur. Keadaan overmacht/force majeur mengakibatkan hal-hal sebagai berkut: a. Krediturtidak dapat meminta pemenuhan prestasi dari debitur b, Debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan oleh karena itt debitur tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian cc. Resiko tidak berallh kepada debitur Debitur yang lalai atau alpa tersebut dapat memilki akibat-akibat sebagai berikut: (Subekt, 1996: 45). 1. Membayar karugian yang diderita oleh kreditur atau disebut ganti rugi 2. Pembatalan perjanjian atau disebut pemecahan perjanjian 3. Peralihan risiko 4. Membayar biaya perkara, ini berlaku untuk masalah yang dibawa ke pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR) Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 59 Secara singkat dapat dijelaskan dari KUHPerdata yang juga mengatur mengenai akibat hukum yang terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban sebagaimana mestinya, akibat hukum yang dapat dirumuskan dalam KUHPerdata dapat dilhat dalam pasal berikut 1. Pasal 1243 KUHPerdata, ‘penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si siberutang, setelah dinyatakan fatal memenuhi perikatannya,fetep melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannye.” 2. Pasal 1237 KUHPerdata, “dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan fertentu, kebendaan itu semenjak porikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.” 3. Pasal 1266 KUHPerdata, berbunyi “syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, ‘manakala salah satu ihak tidak memenuhi kewajbannya.’ Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim, Pengajuan ke pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang. (Subekti, 1996 : 45). Dalam proses penyelesaian wanprestasi di pengadilan, diberlakukan penyelesaian berdasarkan hukum acara perdata sebagaimana penyelesaian perkara-perkara perdata lainnya, Hal ini berarti dalam proses penyelesaiannya dapat dikenakan ganti rugi maupun sita jaminan apabila memang diperlukan dilaksanakan sita sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 HIR, Penyelesaian melalui jalur pengadilan atau jalur Iitigas! ini dimulai dengan pengajuan gugatan pada pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat ertama yang memeriksa dan memutus perkara, Proses persidangan dimulai dari pembacaan gugatan, replik duplik, pemeriksaan alat bukti, kesimpulan hingga penjatuhan putusan oleh, majelis hakim. Di pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan overmacht. 60 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015 Penyelesaian melalui jalur non litigast ini dibagi atas Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Sebelum menyelesaikannya melalui dua jalur litigasi dan non litigasi, pada dasamya hakim dapat menawarkan kepada para pihak untuk melakukan mediasi atau mufakat. C. Analisis Kasus Perjanjian antara PT. Metro Batavia dengan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia adalah perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual bell, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai. Dituangkan dalam sebuah perjanjian bernama Long Term Aircraft Maintenance Agreement Number GMF/PERJ.IDT-3046/2003 tertanggal 16 April 2003 (selanjutnya disebut sebagal “Perjanjian Jangka Panjang’) dan Amendment Number 1 to Long Term Aircraft Maintenance Agreement Number GMF/PERWJ./ AMAND-1/DT- 3046/03/06 tertanggal 5 September 2006 (selanjutnya disebut sebagai “Amandemen Perjanjian Jangka Panjang’) Berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang dan Amandemen Perjanjian Jangka Panjang, sebagai maskapai penerbangan telah meminta jasa sebagai sebuah perusahaan perawatan dan perbaikan pesawat terbang untuk melakukan perawatan pesawat dan/atau perbaikan pesawat dan/atau penjualan sparepart danvatau penyewaan tools danfatau penggunaan tenaga kerja, dengan Perjanjian-perjanjian pelaksanaan yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk repair order, Customer Work Order, Faximile, Non Contracted Sales Report, cost approval dan dokumen perikatan lainnya. Berdasarkan perjanjian tersebut, para pihak telah berjanji dan bersepakat atas (1) pekerjaan yang akan dikerjakan oleh PT GMF (2) spareparttools/barang yang dijual atau disewakan dan penggunaan tenaga kerja (3) harga pekerjaan dan/atau harga barang dan/atau harga sewa, dan (4) cara pembayaran, dimana telah melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjian tersebut PT Metro Batavia harus menyerahkan ang pembayaran atas kewajiban atau prestasi yang sudah dilakukan oleh PT GMF, PT Metro Batavia Air telah melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan apa yang disanggupi akan ditakukannya atas prestasi yang dilakukan oleh PT GME, untuk tu PT GMF telah mengajukan gugatan wanprestasi. Gugatan wanprestasi didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor 335/Pdt.G/2008/ PN.Jkt Pst. pada tanggal 25 September 2008. Maka menurut hukum, PT Metro Batavia memilki Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum tang kepada PT GMF dan mempunyai kewajiban hukum untuk melunasi utang kepada PT GMF saat utang dimaksud telah jatuh tempo. Wataupun sudah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam surat perintah bayarfinvoice tersebut, PT Metro Batavia belum melaksanakan kewajibannya Untuk membayar dan melunasi utang yang telah jatun tempo kepada PT GMF . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nyata-nyata telah terjadi wanprestasi tethadap PT GMF karena tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran berdasarkan perjanjian dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana tertuang dalam surat perintah bayar/invoice yang telah jatuh tempo yang dikirimkan PT GMF oleh kepada PT Metro Batavia. Meskipun telah mengingatkan agar segera memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang beserta Amandemennya, namun_tetap tidak melunasi kewaliban pembayaran kepada PT GMF. Maka dengan demikian sudah jelas dan meyakinkan bahwa PT Metro Batavia melakukan wanpresta Berdasarkan kajian teori alternatif sanksi yang dapat dikenakan atas PT Metro Batavia ada empat macam yaitu: (1) membayar kerugian yang diderita oleh PT. GMF atau dengan singkat dinamakan gant-rugi; (2) pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; (3) peralinan resiko; (4) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. (hitp:, blogprinsip.blogspot.com/2012/10/wanprestasi- dan-akibat-akibatnya htm) Tetapi dengan melihat posisi kasus yang dialami oleh PT GMF dengan PT Metro Batavia sanksi yang bisa diterapkan yaitu membayar kerugian. Gantirugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga. 1. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Dalam hal ini sudah terlihat jelas bahwa PT GMF sudah mengeluarkan biaya perawatan dan penggantian mesin pesawat PT Metro Batavia sebesar USD 1.191.615,02 (satu juta seratus sembilan puluh satu ribu enam ratus lima belas 2/100 Dollar Amerika Serikat) 2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Dalam kasus diatas kerugian dari PT GMF adalah kerugian sebesar USS 500.000 atas perbuatan PT Metro Batavia yang tak mau membayar biaya perawatan pesawat kepada PT GMF. Nitai ganti rugi ini berdasarkan perhitungan keuntungan investasi yang bisa diperoleh PT Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015 GMF jika dulu PT Batavia Air telah membayar utang itu 3. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Kreditur yang dirugikan_berhak menuntut enggantian ganti rugi, biaya dan bunga. Untuk menjamin gugatan yang diajukan oleh tidak menjadi sia-sia/ jlusoir di kemudian hari, maka memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan untuk meletakkan sita jaminan terhadap harta-harta kekayaan milk dan asetaset lainnya. Oleh karena itu, mereservir atau mencadangkan haknya untuk ‘mengajukan permohonan sita jaminan atas harta kekayaan dan aset-aset lain milk, Sita jaminan (Conservatoir beslag) diajukan dengan tujuan untuk menjaga hak-hak dari agar sebelum ada putusan hakim, barang-barang milk tidak dihilangkan. Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah wang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaranitu terlambat, adalah berupa intorest, rente atau bunga Sanksi yang lain yaitu membayar biaya perkara. Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.(hitp:Ibloaprinsip bloaspot.com/2012/101 wanprestasi-dan-akibat-akibainya.himl) Menurut pasal 1267 KUHPerdata, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan| 1. pemenuhan perjanjian; 2. pemenuhan perjanjian disertai gantirugi: 3. gantirugi saja; 4. pembatalan perjanjian; pembatalan disertal ganti rug. Tethadap perkara a quo, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan tingkat kasasi Nomor 2923K/Pat/2010 tanggal 21 Juni 2011. Terkait dengan Putusan Kasasi No. 2923 tersebut perlu diinformasikan juga bahwa pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim Perkara No. 335 telah mengeluarkan Penetapan Sita Jaminan Nomor: 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang pada pokoknya mengabulkan Permohonan Sita Jaminan atas tujuh buah pesawat Boeing 737-200 beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada ketujuh pesawat milk PT Metro Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 61 Batavia tersebut ("Penetapan Sita Jaminan") dan Hakim Majelis Perkara No. 335 telah menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan, dengan Penetapan Nomor 335/ PDT.GI2008/PN.JKT.PST, tanggal 4 Maret 2009 jo. Penetapan Nomor 01,DEL/PEN.CB/2009/ PN.TNG, tanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/ PN.TNG tanggal 12 Maret 2009, Berdasarkan Penetapan Sita Jaminan dimaksud, Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/ PEN. CB/2009/PN.TNG jo. No.: 335/PDT.G/2008/ PN.JKT.PST tertanggal 12 Maret 2009 telah melakukan sita jaminan terhadap empat pesawat milik , dalam penelitian ini selanjutnya disebut ‘Pesawat Sitaan’, yaitu 1. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22397 dan nomor registrasi pesawat PK-YTF, beserta mesin dan Auxillary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekamo Hatta; 2. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22453 dan nomor registrasi pesawat PK-YTG, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir diBandara International Soekamo Hatta; 3. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 21766 dan nomor registrasi pesawat PK-YTR, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta; dan 4. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22055 dan nomor registrasi pesawat PK-YTS, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT Metro Batavia, yang diparkir diBandara International Soekarno Hatta. Sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR. Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa, “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat’. Isi pasal tersebut, sesual dengan permohonan sita jaminan 62 Privat Law Edisi 07 Januari - Juni 2015 yang diajukan PT GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya. Dengan tujuan bahwa menjamin Batavia lari dari tanggung jawab untuk membayar utang kepada PT GMF dengan alasan tidak mempunyai aset. (http://www. hukumonline.com/beritarbaca/hol2180 1/batavia- terbukti-wanprestasiterhadap-gmf) Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk meletang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual ole termohonitergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau ‘mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana, Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, balk yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT Batavia Air tidak dapat ‘menepatijanjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu, Pengaturan Sita Jaminan atas pesawat terbang diatur dalam Rv (Pasal 763 h — k) yang berisitentang penyimpangan bagi sta jaminan atas pesawat terbang, Diluar ketentuan penyimpangan tersebut beriaku sepenuhnya ketentuan umum sita jaminan dalam HIR atau Rv. Pembatasan atas penyitaan tidak berlaku terhadap pesawat asing yang negaranya tidak menjadi penandatangan (contracting states) Perjanjian Roma, 1933. Dengan perkembangan bisnis dunia penerbangan sekarang, tentu saja ketentuan yang ada saat ini tidak memadai, sehingga diperlukan pengaturan yang lebih aktual dalam hukum normatif, Pesawat terbang tidak termasuk barang yang dilarang untuk disita sesuai Pasal 197 ayat (8) HIR. Jaditerkait hal ini, pesawat milk PT Metro Batavia bisa dijadikan objek sita oleh pengadilan. Sita jaminan tersebut diperbolehkan dan sah. (hilo/annisapuspanica. blogspot.com/2014 03 01 archive.html) Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum D. Penutup Didalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan, selalu ada suatu perjanjian atas prestasi yang akan dipenuhi oleh kedua pihak yang melakukan perjajian tersebut. Dalam hal wanprestasi dapat dikategorikan dalam tiga hal yakni, tidak memenuhi perikatan sama sekali atau sama sekali tidak melaksanakan prestasi, memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat dalam memenuhi prestasi, dan memenuhi prestasi tetapi tidak dengan baik. Menurut pasal 1267 KUHPerdata, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang Jalai untuk melakukan antara lain, pemenuhan perjanjian; pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; ganti rugi saja; dan pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi. Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya tindakan yang dilakukan oleh PT Metro Batavia adalah salah satu bentuk wanprestasi yaitu tidak melakukan, apa yang disanggupi akan dilakukannya. PT Metro Batavia tidak menepati pembayaran pembiayaan perawatan mesin pesawat kepada PT Garuda Mainteance Facility yang sudah melakukan prestasi seperti apa yang telah dijanjikan, Sebelumnya PT Metro Batavia juga telah mengajukan gugatan kepada PT GMF dengan dalih tidak memberi perawatan secara maksimal tetapi gugatan PT Metro Batavia tidak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak ada kesalahan yang dapat, dibuktikan. Keputusan hakim Pengadilan Negeri untuk memutuskan sita jaminan dan ganti rugi terhadap PT Metro Batavia sudah tepat sesuai dengan KUHPerdata dan perundang-undangan yang terkait. Penerapan sita jaminan terhadap PT Metro Batavia sesuai bukti bukti dan fakta yang terungkap di pengadilan yaitu adanya perjanjian antara kedua belah pihak dan PT Metro Batavia juga mengakui adanya perjanjian tersebut dan tidak membantah DAFTAR PUSTAKA Burgerlf Wetboek Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjtrosuibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita FX. Suhardana. 2009. Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak. Yoayakarta Universitas Atma Jaya Yogyakarta Subekti, 1996. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa Merry Tjoanda. 2010. “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Jurnal Sasi, 1644). -Batavia Terbukti Wanprestasi Terhadap Gmf Diunduh di htto:/iwww.hukumonline.com/beritalbacal hol2180/1/batavia-terbukti-wanprestasi-terhadap-amf, diunduh pada tanggal 23 Desember 2014, pada pukul 09.10 WIB Wanprestasi Dan Akibat Akibatnya, Diunduh di btto-/bloaprinsip blogspot com/2012/1 0/wanorestasi- dan-akibat-akibatnya. html, diunduh pada tanggal 24 Desember 2014, pukul 18.00 WIB Annisa Puspanira, Diundub di http://annisapuspanira,blogspot,comv2014 03 01_archive.htm! , diunduh pada tanggal 23 Desember 2014, pukul 09.00 WIB. Privat Law Edisi 07 Januari- Juni 2015 Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum 63

You might also like