You are on page 1of 6
LINTAS § Oleh: Dheny Jatmiko Pengertian Bahasa Secara teknis, bahasa diartikan sebagai seperangkat ujaran yang bermakna, yang dihasilkan oleh alat ucap manusiar, secara praktis diartikan bahwa bahasa merupakan alat Komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bermakna yang dihasilkan alat ueap ‘manusia; sedangkan secara filosofis dapat dikatakan sebagai sistem tanda arbritrer yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengembangkan budayanya. Hal ini sesuai dengan pengertian bahasa dalam KBBI edisi ke-3 tahun 2001. yaitu (1) sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri; (2) pereakapan (perkataan) yang baik; tingkah faku yang baik, sopan santun, Sementara itu, Alisjahbana (dalam Pateda, 1993: 3) mengatakan bahwa bahasa ialah ucapan pikiran dan perasaan manusia dengan teratur dengan memakai alat bunyi Berdasarkan uraian di atas, diketahui hakikat bahasa adalah (1) bersifat mengganti; (2) bersifat individual; (3) Kooperatif; dan (4) sebagai alat komunikasi. Bahasa menggantikan pikiran dan perasaan manusia, Bahasa dapat digunakan sebagai pengganti maksud atau keinginan seseorang agar maksud dan keinginganan tersebut dapat diterima oleh orang lain. Tanpa ada bahasa, hal ini sulit untuk tercapai. Oleh Karena itu, bahasa juga bersifat individual, Bahasa ‘mewakili tiap-tiap individu, tiap-tiap pikiran, perasaan, ide, maksud, maupun keinginan individu. Bahasa yang disampaikan individu akan diterima oleh individu lain, sehingga maksud yang disampaikan akan juga diterima (diapahami). Inilah yang disebut sebagai bahasa bersifat kooperatif’ atau bekerja sama, Pada akhimya, proses tersebut menunjukkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi Pembicara > Pikiran (encoding) > Bahasa > Makna (decoding) > Penerima Dalam kaitannya dengan ini, Bolinger (dalam Pateda, 1993: 7) mengatakan bahwa bahasa (1) hanya ada pada manusia; (2) berwujud tingkah laku; (3) medium bahasa adalah bunyi; (4) bahasa bersifat hirarkis; (5) bahasa berkembang; (6) bahasa dapat diperas dalam gerakan badaniah; (7) bahasa bersifat arbitrer; (8) bahasa bersifat vertikal, namun lebih banyak bersifat horisontal; (9) bahasa mempunyai struktur; dan (10) bahasa berwujud sesuatu yang lebih banyak di dengar daripada dilafalkan. Selanjutnya perihal fungsi bahasa, Keraf (2001: 3-6) membagi menjadi 4 (empat) fungsi , yaitu (1) untuk menyatakan ekspresi diri; (2) sebagai alat komunikasi: (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; dan (4) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial Bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu tentang diri, sekurang-kurangnya, untuk memperlihatkan keberadaan diri. Hal ini menjadi dasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. ‘Tanpa ada penerimaan terhadap diri oleh orang lain, komunikasi tidak akan berjalan dengan sempuma. Bahasa merupakan salah satu. unsur budaya. Selain sebagai media untuk menyatakan cekspresi diri, bahasa juga merupakan ekspresi dari budaya. Bahasa mampu menjadi salah Satu tali pengikat, bahkan menjadi identitas untuk sebuah kelompok, sehingga hal ini memungkinkan adanya integrasi (pembauran) bagi individu dengan kelompok atau masyarakatnya, Sebagai bagian dari kebudayaan, bahasa dapat berfungsi untuk mengenal dan mempelajari segala adat-istiadat, tingkah laku, tata krama, dan budaya suatu masyarakat. Untuk proses penyesuaian diri (adaptasi) dengan sebuah masyarakat, mempelajari bahasa menjadi hal yang paling efektif. Kemahiran berbahasa juga akan mempermudah pengaturan sebuah kegiatan sosial. Seorang pemimpin akan kesulitan menyampaikan instruksi, bahkan dapat kehilangan wibaw bahasa yang digunakan kacau dan tidak teratur. Dari Melayu ke Bahasa Indonesia Pemakaian istilah “Bahasa Indonesia’ secara resmi ditetapkan pada Kongres Pemuda 28 ‘Oktober 1928 yang mengikrarkan bahwa pemuda dan pemudi Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebelum peristiwa tersebut, bahasa yang kemudian dinamakan Sbahasa Indonesia’ telah dipakai secara luas di nusantara, yaitu bahasa Melayu. Awalnya bahasa Melayu merupakan bahasa keseharian yang berkembang menjadi bahasa perdagangan atau perhubungan di wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya Ditilik dari penelitian paleografi, bahasa Melayu Kuna telah menjadi bahasa pengantar sejak abad VII Masehi. Dokumen tertua yang memuat bahasa Melayu Kuna ditemukan di desa Sajamerta dekat Pekalongan (Jawa Tengah) yang berasal dari awal abad VII Masehi, Wujud bahasa Melayu Kuna dapat dilihat dari beberapa prasasti, antara lain: (a) Kedukan Bukit di Palembang tahun 683 M; (b) Talang Tuo di Palembang tahun 684 M: (c) Kota Kapur di Bangka tahun 692; dan (d) Karang Brahi di Jambi tahun 692 M (Pateda dan Pulubuhu, 1993: 28), Bahasa Melayu berkembang pesat karena meluasnya pengaruh kerajaan Sriwijaya, Sebagai sebuah kerajaan maritim terbesar yang menguasai jalur perdagangan di Nusantara, Sriwijaya ‘menggunakan bahasa Melayu dengan pengaruh bahasa Sansekerta sebagai lingua franca. Setelah kekuasaan kerajaan Sriwijaya mulai mundur, kerajaan-kerajaan di Malaka bertambah maju karena jalur perdagangan melewati Selat Malaka juga bertambah maju, Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antara saudagar-saudagar yang datang untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama. Saudagar Parsi, Arab, Gujarat menyebarkan kebudayaan dan ajaran agama Islam dengan menggunakan medium bahasa Melayu. Dengan demikian, bahasa Melayu terus berkembang dengan pengaruh bahasa Sansekerta dan bahasa Arab. Orang-orang Cina juga memiliki peranan dalam pengembangan bahasa Melayu. Menurut Salmon (1985: 1), masyarakat-masyarakat Cina terbentuk di berbagai tempat di kepulauan Nusantara, yang paling tua ada di Jawa dan Sumatra dari abad ke-15. Orang-orang Cina ini mengawini Wanita setempat, menganut beraneka ragam kebudayaan setempat, dan terutama, bahasa. Selain menyebarkan bahasa Melayu melalui perdagangan, orang-orang Cina Peranakan menyebarkan bahasa Melayu melalui pers dan karya sastra mulai pertengahan abad ke-19 (1870- 80). Pada awal abad ke-19, Charles Francois Tombe (dalam Salmon, 2010: 14) yang telah ‘mempelajari bahasa Melayu selama tinggal di india Belanda menyatakan bahwa bahasa Melayu dipakai sampai ke pantai selatan Tiongkok; sesuatu hal yang sangat mungkin dalam hal komunitas pedagang, Tombe mengatakan: Di antara semua bahasa Timur, bahasa Melayu adalah yang paling halus dan paling luas tersebar. Bahasa ini dipakai di seluruh Asia ‘Timur, dan pulau-pulau di Laut Selatan. [...] Orang Tionghoa yang tinggal di Nusantara, orang Guangzhou dan mereka yang tinggal di pantai kekaisaran yang besar ini juga berbicara bahasa Melayu. Bangsa Belanda dan Portugal yang juga memiliki kepentingan perdagangan dan politis, pada abad ke-17 menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar baik dengan rakyat biasa ‘maupun dengan raja-raja. Para sarjana asing, terutama Belanda, menjadikan bahasa Melayu sebagai objek penelitian, Salah satu contoh penelitian dilakukan oleh Gerth van Wijk (1882) yang disalin oleh Sasrasoegonda (1932: 5) sebagai berikut: Scbab pada perasaan hamba perloe ada kitab bahasa Melajoe jang menjatakan djalan bahasa Melajoe, maka inilah hamba karangkan seboeah Kitab jang hamba koetip dari dalam Kitab karangan padoeka toean Gerth van Wijk. [...] Lagi poela hamba mengaharap moedah-moedahan kitab ini boleh mendjadi petolongan djoega kepada handai tolan hamba jang mengadjar pada sekolah ketjil dan bagi segala orang yang hendak mempeladjari bahasa Melajoe dengan sepatoetnja. Dalam konstalasi pemerintahan Belanda di Hindia Belanda, pemerintah membuat dikotomi antara pemerintah dan pribumi termasuk dalam ranah bahasa. Orang pribumi dibiarkan tetap memakai bahasa Melayu atau Jawa. Meskipun orang pribumi ada yang mahir berbahasa Belanda, orang Belanda akan tetap menggunakan bahasa Melayu atau Jawa untuk berbicara dengan orang pribumi, Orang-orang Belanda seolah-olah membuat ‘sakral’ bahasa Belanda. Faruk (2007, 24-43) menjelaskan bahwa bahasa Melayu yang akhimya dipilih sebagai bahasa nasional (Indonesia) bersifat dualistik: sebagai bahasa perlawannan, sekaligus sebagai bahasa penindasan, Kaum intelektual pribumi berkeinginan kuat untuk mempelajari bahasa Belanda sebagai media untuk mencari pengetahuan sekaligus untuk mobilisasi vertikal dalam stratifikasi sosial. Akan tetapi, Kondisi tersebut tidak memungkinkan, sehingga intelektual pribumi memilih bahasa Melayu, yang telah berkembang sebagai bahasa perdagangan, sebagai bahasa untuk memenuhi kebutuhan akan bahasa nasional, alat komunikasi yang berlaku dalam lingkup lintas-etnis, Hal ini menjadi bentuk perlawanan dari kaum elit intelektual pribumi terhadap pemerintah Hindia Belanda bahwa identitas Indonesia telah terbentuk. Namun di satu sisi, hal tersebut menjadi bom waktu bagi identitas etnis, Dikotomi pemerintah Hindia Belanda perihal bahasa diperjelas dengan pendirian Commissie voor de Volkslectuur pada tahun 1908. Pada tahun 1917, lembaga tersbeut diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Badan ini bertugas untuk menyelidiki bahan bacaan rakyat dan sekaligus memberikan bacaan ringan kepada rakyat (Pateda dan Puluhubu, 1983: 37). Balai Pustaka tidak hanya menempatkan golongan masyarakat pribumi sebagai penerima pasif, melainkan juga menjadi partisipan yang aktif dengan menulis sendiri bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain itu, Balai Pustaka juga bertujuan untuk menjadi pesaing bagi surat kabar: yang telah berkembang, Isi surat kabar tersebut cenderung mengikuti selera masyarakat seperti cerita seks dan kriminal, sedangkan bacaan yang memiliki orientasi politik-ideologis mengandung pandangan yang kebanyakan bersifat kritis terhadap pemerintah kolonial (Faruk, 2007: 39-40). Dalam upaya tersebut, Balai Pustaka menempuh dua langkah, yaitu langkah ideologis dan simbolis. Balai Pustaka menerbitkan bacaan dengan muatan ideologis yang “baik™ dan “patut”, yang tidak akan “merusakkan tertib” dan tidak mengganggu “keamanan negeri”, Langkah kedua dilakukan dengan menciptakan citra “keindahan’ dan “keberadaban’, melalui kualitas fisik buku yang mewah dan ragam bahasa yang disebut Melayu Tinggi. Balai Pustaka akan menolak karangan-karangan dalam bahasa Melayu Rendah, juga melakukan penyuntingan bahasa dengan standar bahasa yang telah ditentukan (Faruk, 2007: 41). Dengan demikian, Balai Pustaka menjadi Jembaga yang menentukan standar bahasa dan bacaaan bagi masyarakat. “Terlepas dari sikap politis pemerintah kolonial, kondisi ini juga dimanfaatkan secara politis oleh kaum elit intelektual pribumi, Pada tahun 1918, anggota-anggota Molksraad (DPR) menuntut agar bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di samping bahasa Belanda, Bahasa Melayu Kemudian dikukuhkan berdasarkan Ketetapan Ratu Belanda sebagai bahasa resmi pada bulan Juni 1918. Lebih lanjut, tanggal 28 Oktober 1928, dalam Kongres Pemuda If di Jakarta mengeluarkan gagasan dalam bentuk hasil kongres pemuda yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, dimana salah satu isinya adalah pernyataan menjunjung tinggi bahasa persafuan, bahasa Indonesia Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional, menurut Pateda dan Pulubuhu (1983: 30-36) dilandasi empat faktor, yaitu (1) bahasa Melayu telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahasa perhubungan dan pergaulan di Nusantara; (2) sistem bahasa Melayu sederhana; (3) faktor psikologis, yakni kesadaran untuk tidak memaksakan bahasa daerah, terutama Jawa, sebagai dasar bahasa Indonesia, dan (4) kesanggupan bahasa Melayu dalam menghadapi perkembangan zaman Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dan Bahasa di Indonesia Istilah “Bahasa Indonesia’ secara resmi ditetapkan tepat pada saat Sumpah Pemuda. Setelah kemerdekaan tahun 1945, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa resmi negara dan sebagai bahasa nasional. Kondisi kebahasaan di Indonesia terdapat tiga bahasa, yaitu. bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Dengan demikian bahasa Indonesia diartikan sebagai bahasa resmi negara dan bahasa persatuan bangsa Indonesia yang berasal dari ragam bahasa Melayu serta serapan bahasa daerah dan bahasa asing. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan; bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan; bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah; dan bahasa resmi di bidang kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Penggunaan bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi Kemerdekaan RI 1945 menjadi bukti bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa kenegaraan, Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di dunia pendidikan, bahasa harus menjadi bahasa pengantar dalam menyampaikan materi-materi pendidikan. Dunia pendidikan merupakan ruang yang paling efektif untuk mengkonstruksi kesadaran terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan demikian, dunia pendidikan ikut berperan menjadi kontrol dalam menjaga stanadar bahasa Indonesia. Pewarisan standarisasi bahasa sejak dini pada generasi penerus menjadi penting dalam Kaitannya untuk membentuk identitas nasional. Sebagai bahasa resmi dalam pethubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat, Bahasa Indoensia wajib dipakai sebagai bahasa pengantar, baik secara lisan maupun tulisan, di seluruh Jembaga-lembaga resmi pemerintahan. Dalam kaitannya sebagai penyebaran informasi, bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dipakai dalam Komunikasi massa. Oleh karena itu, mutu bahasa Indonesia yang disebarkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, ikut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bahasa Indonesia dalam masyarakat Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modem yang begitu pesat juga harus diimbangi dengan perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus mampu menopang dan merespon perkembangan tersebut. Hadimya kosakata-kosakata baru, terutama dari luar, harus diinternalisasi dengan baik oleh bahasa Indonesia. Tidak kalah penting adalah kemapuan bahasa Indonesia dalam bidang kebudayaan, sehingga fungsi bahasa Indoensia sebagai bahasa resmi di bidang kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dapat dicapai. Selanjutnya, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional; jati diri dan identitas nasional; alat pemersatu masyarakat yang beralatar sosial, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda; dan sebagai alat perhubungan fantardaerah dan antarbudaya. Scbagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia, Hal ini sekaligus menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia, Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia mesti memahai, menghayati, dan menghadirkan secara nyata nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa Indonesia Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam etnis. Bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa perhubungan dan persatuan bangsa Indonesia, schingga komunikasi antardaerah dan antarbudaya dapat dengan mudah dilakukan, Meskipun demikian, jika tidak dikontrol dengan baik, pemakaian bahasa Indonesia ini dapat mengancam eksistensi dari bahasa-bahasa daerah yang ada di Indoensia, Sebelum secara resmi menjadi “Bahasa Indonesia’, beberapa tokoh telah menciptakan sebuah klitab atau buku yang mengatur tentang tata bahasa Melayu, yaitu Raja Ali Haji dan Charles A. van Ophuysen. Ejaan Raja Ali Haji menunjukkan bahwa pengaruh budaya Islam begitu kental dalam bahasa Melayu, Sedangkan ejaan van Ophuysen merupakan ejaan yang digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui lembaga Balai Pustaka Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan negara pada tahun 1945, muneu keinginan untuk membentuk sebuah tata bahasa Indonesia baku, Oleh Karena itu, pada tahun 1947, Soewandi menyusun tata bahasa Indonesia baru yang dikenal dengan sebutan ejaan Republik atau ejaan Soewandi. Soewandi (dalam Pateda dan Pulubuhu, 1993: ) mengubah beberapa hal dalam ejaan van Ophuysen, yaitu: = Ce diganti dengan w * Tanda-tanda diakritik dihilangkan * Tidak dibedakan penulisan e untuk femah dan e untuk enak = Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 * Kata-kata baru dalam bahasa asalnya tidak memakai pepet, dalam bahasa Indonesia tidak perlu mendapat pepet > administrasi bukan adiministerasi Karena Keinginan kuat untuk melakukan penyempumaan bahasa Indonesia seeara menyeluruh, Muhammad Yamin memprakarsai penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia Il di Medan pada tanggal 28 Oktober ~ 2 November 1954. Kongres menyepakati untuk melambangkan satu fonem dengan satu huruf, Hal ini dipicu oleh pandangan tentang ejaan Republik masih ‘memiliki kekurangan, antara lain masih terdapat dua fonem yang dilambangkan dengan dua huruf, sebaliknya ada dua fonem yang berbeda yang dilambangkan dnegan satu huruf, misal /e! pada lemah dan /e/ untuk enak dan adanya bunyi-bunyi ng, dj, 4, nj; fonem-fonem serapan tidak dibicarakan; dan juga perihal penulisan kata ulang majemuk (Pateda dan Pulubuhu, 1993: 65-66). Sebagai realisasi, dibentuk Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Dr. Priyono dan E. Katoppo pada tanggal 19 Juli 1956. Panitia tersebut berhasil ‘membuat ejaan baru pada tahun 1957 dan disebut Ejaan Pmbaharuan atau Bjaan Priyono-Katoppo. ‘Namun ejaan ini tidak meluas pemakaiannya, bahkan tidak sempat dires Sementara itu, penganjur-penganjur bahasa kebangsaan di Malaysia mengadakan Kongres Bahasa dan Persekutuan Bahasa Melayu di Johor tahun 1956. Kongres tersebut memutuskan untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, Sebagai lankah lebih lanjut, diadakan perundingaan dengan Indonesia di Jakarta pada 4 — 7 Desember 1959 yang menghasilkan konsep jaan bersama Melayu-Indonesia (Melindo). Ejaan ini hampir sama dengan ejaan Pembaharuan, hanya pada huruf /fj/ diganti dengan huruf /c/, serta huruf baru untuk huruf /y/. Ejaan ini sulit dilaksanakan mengingat adanya huraf-huruf baru yang membawa akibat di dunia percetakan. Ditambah dengan kondisi hubungan politik yang buruk antara Indonesia dan Malaysia, ejaan ini akhimya ditolak. Sebagai ganti, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) mencoba menyusun konsep ejaan baru dengan berdasar pada ejaan Republik. Pada tahun 1968, dalam Seminar Bahasa Indonesia, disepakati untuk segera meresmikan konsep ejaan baru dari LBK dengan masa peraliha tahun, Polemik antara ejaan Republik dan LBK ini menggubah inisiatif Prof. Samsuri (dari IKIP Malang) untuk membuat ejaan sendiri yang disebut ejaan Samsuri. Namun pada akhimnya pada tanggal 16 Agustus 1972, pemerintah menetapkan ejaan baru bahasa Indonesia yang dinamakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan disingkat EYD. Daftar Pustaka Faruk, 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemioni Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Ende: Nusa Indah Peteda, Mansoer dan Yemnie P. Pulubuhu, 1993. Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Dasar ‘Umum, Ende: Nusa Indah Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka. 2010. Sastra Indonesia Awal: Koniribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Sasrasoegonda, Koewatin. 1932. Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe. Djokjakarta: Koewatin Sasrasoeganda

You might also like