You are on page 1of 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328449258

KETIMPANGAN GENDER DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA FORMAL DI


INDONESIA

Conference Paper · August 2018

CITATIONS READS

0 4,374

2 authors, including:

Ema Tusianti
Statistics Indonesia
12 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

POLICY BRIEF PENINGKATAN KINERJA PERTANIAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN View project

Analisis Rumah Tangga Sekitar Kawasan View project

All content following this page was uploaded by Ema Tusianti on 23 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KETIMPANGAN GENDER DALAM PENYERAPAN
TENAGA KERJA FORMAL DI INDONESIA1

Ema Tusianti (Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik BPS, tusianti@bps.go.id)


Abdurrahman (BPS Provinsi Kalimantan Selatan, abdurrahman@bps.go.id)

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan gender gap (ketimpangan gender) dalam
penyerapan tenaga kerja formal dan membandingkan faktor-faktor yang memengaruhi
peningkatan tenaga kerja formal antargender. Penelitian ini menggunakan analisis deksriptif
dan inferensia dengan model multilevel panel. Hasil analisis deskriptif menunjukkan masih
terdapat ketimpangan penyerapan tenaga kerja formal antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan berbagai karakteristik (daerah tempat tinggal, lapangan usaha, pendidikan dan
akses terhadap pelatihan kerja). Sementara analisis multilevel panel menunjukkan bahwa rata-
rata lama sekolah, penduduk usia produktif, pengeluaran per kapita, pelatihan, PDRB dan share
industri dalam PDRB berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja formal baik
laki-laki maupun perempuan.
Kata Kunci: ketimpangan gender, tenaga kerja formal, daya saing, multilevel, panel

Abstract
This research aims to analyse gender gap on formal employment and influential factors of
formal employment by gender. By harnessing descriptive analysis this study reveals that gender
gap exists in some characteristics (location, economic sector, education level, and access to
training). Meanwhile, multilevel panel analysis shows that mean year of schooling, population
of productive age, per capita expenditure, training accessibility, GRDP and manufacture share
on GRDP significantly determine number of female and male working on formal status.
Key Words: gender gap, formal employment, competitiveness, multilevel, panel

PENDAHULUAN
Masih tingginya proporsi sektor informal dalam perekonomian menjadi tantangan

tersendiri dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Meskipun jumlah tenaga kerja

informal menurun selama periode sepuluh tahun terakhir, namun masih terdapat banyak

1
Dipresentasikan pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ke XX di Trans Luxury Hotel Bandung, 9
Agustus 2018, file presentasi di http://kongres.iseibandung.or.id/download/

1
permasalahan pada sektor informal, di antaranya adalah tidak adanya jaminan hak-hak dan

proteksi sosial bagi para pekerjanya (World Bank, 2011; ILO, 2018; Vanek, dkk, 2014). Hal ini

bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menempatkan pekerjaan

layak (decent work) untuk semua sebagai target pembangunan (United Nations, 2014). Dalam

RPJMN 2014-2019, menciptakan pekerjaan layak bagi semua golongan merupakan bagian dari

tujuan pembangunan nasional, tidak terkecuali bagi kaum perempuan.

Selama kurun waktu satu dasawarsa terakhir, jumlah angkatan kerja perempuan memiliki

pertumbuhan yang cukup tinggi. Selama periode 2014-2017 saja, angkatan kerja perempuan

rata-rata tumbuh 2,09 persen per tahun, jauh di atas angkatan kerja laki-laki yang hanya 1,43

persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kaum hawa yang terlibat dalam

memproduksi barang dan jasa. Namun sayangnya status pekerjaan perempuan justru masih

banyak bersifat informal. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)

Agustus 2017, persentase perempuan di sektor informal sebanyak 61,37 persen, lebih tinggi

dari jumlah tenaga kerja laki-laki pada status yang sama yang hanya 54,34 persen.

Kecenderungan tersebut telah terjadi bertahun-tahun (Gambar 1).

Namun demikian, secara komposisi, proporsi perempuan yang menjadi pejabat, manajer

dan tenaga profesional, pada periode 2010-2016 meningkat cukup pesat. Pada tahun 2010,

perempuan yang menjadi pimpinan dan tenaga profesional masih berada pada posisi 44,02

persen, enam tahun kemudian sudah berada pada posisi 47,59 persen (BPS & KPPPA, 2017).

Artinya, secara komposisi jumlah perempuan pada posisi ini semakin mengurangi porsi tenaga

kerja laki-laki pada posisi yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daya saing

perempuan Indonesia sejatinya tidak kalah dari laki-laki.

2
66,46
64,95 65,22
68,84 64,13
62,22 61,84 61,37
64,66

59,78
57,25 57,02 56,52
55,11 54,95 54,34

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Laki-laki Perempuan

Gambar 1. Perkembangan Tenaga kerja Informal Indonesia menurut


Jenis Kelamin, 2010-2017
Sumber: BPS, Sakernas (Data diolah)

Salah satu ukuran lain untuk melihat perbandingan daya saing perempuan adalah Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) menurut jenis kelamin. Dalam periode 2010-2016, IPM

perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan laki-laki (Gambar 2). Namun, kecepatan

capaian IPM perempuan lebih tinggi dari laki-laki (BPS & KPPPA, 2017). Dengan kata lain,

kualitas perempuan Indonesia tumbuh lebih pesat.

73,36 73,58 74,26


71,98 72,69
70,94 71,45

66,98 67,44
65,56 66,27
64,83
63,43 63,96

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

IPM Perempuan IPM Laki-laki

Gambar 2. IPM Indonesia menurut Jenis Kelamin, 2010-2016


Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017 (BPS & KPPPA, 2017)

Peningkatan kualitas perempuan Indonesia selayaknya diikuti dengan peningkatan

kualitas pekerjaan yang dilakukan. Selanjutnya, kualitas tersebut akan mendorong

kontribusinya dalam perekonomian. Pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan yang

bersangkutan. Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (KPPPA) melalui program unggulan 3 ENDs berusaha mengakhiri

3
kesenjangan (ketimpangan) akses ekonomi bagi perempuan (BPS & KPPPA, 2016). Persoalan

ketimpangan gender dalam ekonomi tidak hanya sekedar terlibat atau tidak terlibatnya

perempuan dalam pasar tenaga kerja, tetapi juga ketika perempuan telah memasuki dunia kerja.

Faktanya, upah tenaga kerja perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki meskipun sama-

sama dalam status informal atau informal (Vanek, dkk, 2014 & World Bank, 2011).

Sejumlah faktor turut berpengaruh dalam membatasi keterlibatan perempuan dalam jenis

pekerjaaan tertentu. Banyak di antara jenis pekerjaan perempuan dicirikan dengan karakteristik

seperti paruh waktu (OECD, 2008), kasual, tidak tetap dan tidak menentu (World Bank, 2011),

musiman dan bahkan pekerjaan rumahan (home-based jobs) (ILO, 2018 & Vanek, dkk, 2014)

atau disebut sebagai pekerjaan informal. Mayoritas perempuan yang memilih bekerja di sektor

informal disebabkan karena pekerjaan tersebut fleksibel dan tidak harus meninggalkan tugas-

tugas rumah tangga (Maloney, 2004). Dengan demikian, tenaga kerja perempuan cenderung

lebih banyak yang tidak memiliki proteksi sosial ekonomi dalam pekerjaannya, dan dibayar

dengan upah lebih rendah dari laki-laki karena kebanyakan bekerja paruh waktu (World Bank,

2011).

Ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan akan berdampak pada ekonomi. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Klasen dan Lamanna (2009) memperlihatkan bahwa

ketimpangan dalam kesempatan kerja menghambat pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan

ekonomi yang hilang akibat ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan sekitar 4 kali lebih

besar dibandingkan ketimpangan gender dalam pendidikan.

Memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk bekerja di sektor formal

dapat membuat pasar tenaga kerja menjadi lebih kompetitif (World Bank, 2011). Daya saing

tenaga kerja & pool of talent yang dibutuhkan pengusaha perlu variasi (Esteve-Volart, 2009).

Sebagaimana diketahui, karakteristik laki-laki dan perempuan berbeda, tentu hal ini akan

4
memberi warna tersendiri dalam dunia kerja. Di sisi lain, pentingnya pelibatan perempuan

dalam dunia kerja adalah untuk meningkatkan daya saing global (Seguino, 2000). Masuknya

tenaga kerja asing, baik laki-laki maupun perempuan, yang lebih terampil akan semakin

membuat pekerja Indonesa kalah bersaing.

Pemberdayaan perempuan dalam pekerjaan formal juga akan meningkatkan bargaining

power dalam lingkup domestik (rumah tangga) dan publik, serta mengurangi kekerasan

terhadap perempuan. Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional

(SPHPN) 2016 yang dilakukan oleh BPS dan KPPPA, kekerasan fisik dan/ atau seksual lebih

banyak dialami perempuan yang berstatus tidak bekerja (35,1 persen). Selain itu, prevalensi

perempuan (16-64 tahun) yang pernah/sedang menikah dan pernah mengalami kekerasan

ekonomi selama hidup ada sekitar 24,5 persen. Kekerasan ekonomi ini dilakukan oleh

pasangannya.

Dengan melihat latar belakang di atas, penelitian ini akan memfokuskan ketimpangan

gender dalam penyerapan tenaga kerja formal. Pekerjaan formal tersebut mengacu pada konsep

BPS, yaitu pekerjaan dengan status berusaha dengan dibantu buruh tetap/dibayar dan status

karyawan/pekerja/buruh yang dibayar. Secara khusus studi ini juga melihat perubahan gender

gap (ketimpangan gender) penyerapan tenaga formal sebagai salah satu proksi dalam pekerjaan

layak (decent work). Di samping itu, juga menyelidiki faktor-faktor yang memengaruhi

peningkatan tenaga kerja formal antargender.

METODE PENELITIAN

Studi ini menggunakan dua pendekatan analisis. Pertama, analisis deskriptif yang berguna

untuk melihat perubahan ketimpangan gender (gender gap) dalam penyerapan tenaga kerja

formal ditinjau dari berbagai faktor pembeda. Data yang digunakan untuk analisis gap adalah

Sakernas 2008-2017 kondisi Agustus. Gap tersebut dihitung dengan formula sebagai berikut:

5
𝑇𝐾𝐹𝑙 𝑇𝐾𝐹𝑝
𝐺𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟 𝐺𝑎𝑝 ∗= ( 𝑥100%) − ( 𝑥100%)
𝑇𝐾𝑙 𝑇𝐾𝑝

Keterangan:
TKFl = Tenaga kerja formal laki-laki
TKl = Total tenaga kerja laki-laki
TKFp = Tenaga kerja formal perempuan
TKl = Total tenaga kerja perempuan

Catatan: *Diadaptasi dari ILO (2018) dalam publikasi Women and Men In The Informal Economy: A
Statistical Picture (Third Edition)

Kedua, untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan tenaga kerja

formal menggunakan analisis regresi multilevel panel dengan menggunakan data tahun 2010-

2016 seluruh provinsi di Indonesia. Regresi jenis ini digunakan karena teridentifikasi adanya

struktur data hirarki yakni klasifikasi kawasan Indonesia. Kawasan barat meliputi provinsi-provinsi

di pulau Sumatera, Jawa, dan Bali. Sementara kawasan Indonesia tengah meliputi provinsi-provinsi

yang ada di pulau Kalimantan dan Sulawesi. Selebihnya adalah kepulauan di Nusa Tenggara, kepulauan

Maluku dan Papua yang berada di kawasan timur Indonesia. Adapun data yang digunakan dalam

analisis ini tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Data yang Digunakan dalam Analisis Multilevel Panel

No Data Satuan Sumber


(1) (2) (3) (4)
1 Jumlah tenaga kerja formal Jiwa Sakernas (diolah)
Series Publikasi Indeks
2 Rata-rata lama sekolah (RLS) Tahun
Pembangunan Manusia BPS
Jumlah tenaga kerja yang mendapatkan
3 Jiwa Sakernas (diolah)
pelatihan kerja
Jumlah penduduk usia produktif
4 Jiwa Sakernas (diolah)
(penduduk usia 15-64 tahun)
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Miliar
5 Website BPS (www.bps.go.id)
harga konstan (PDRB riil) 2010 Rupiah
6 Kontribusi sektor industri dalam PDRB Persen Website BPS (www.bps.go.id)
Pengeluaran per kapita yang disesuaikan Ribu Series Publikasi Indeks
7
sebagai proksi dari pendapatan (daya beli) Rupiah Pembangunan Manusia BPS

6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sektor informal di Indonesia identik dengan aktivitas ekonomi skala kecil, kurang

produktif dan tidak mempunyai prospek yang menjanjikan. Di sisi lain, situasi menjadi rumit

karena tidak adanya jaminan hak-hak dan proteksi sosial bagi para pekerja sektor informal

(Pitoyo, 2007). Kondisi ini diperparah jika pemerintah lamban memberikan respon,

ketidakpastian dalam memberikan perlindungan dan intervensi kebijakan pelaku usaha

informal.

Dengan demikian, upaya yang perlu diangkat segera adalah bagaimana meningkatkan

jumlah tenaga kerja formal khususnya perempuan, sehingga lambat laun tenaga kerja di sektor

informal akan mulai berkurang. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari faktor-faktor

apa saja yang diduga kuat membedakan dan memengaruhi dinamika jumlah tenaga kerja

formal, sehingga intervensi kebijakan yang diambil dapat tepat sasaran.

Gender Gap dalam Penyerapan Tenaga Kerja Formal Menurut Provinsi

Perbandingan kontribusi tenaga kerja formal terhadap total tenaga kerja antargender

menunjukkan pola yang searah dengan indikator kesetaraan gender dan IPM. Di Sulawesi

Utara, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, justru share tenaga kerja formal laki-laki

lebih rendah di bandingkan perempuan. Hal ini dapat dimaklumi. Berdasarkan data BPS &

KPPPA (2017), Sulawesi Utara dan DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki Indeks

Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) pada urutan ke lima

terbesar pada tahun 2016.

Sedangkan Gorontalo memiliki proporsi tenaga kerja perempuan tertinggi di Indonesia

yang bekerja sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, teknisi tertinggi. Jumlahnya

mencapai 59,55 persen terhadap keseluruhan penduduk yang bekerja. Artinya rasio antara

7
tenaga kerja perempuan dan laki-laki dengan jenis pekerjaan tersebut sebesar 60:40. Di samping

itu, Gorontalo juga dikenal provinsi yang memiliki persentase anggota DPRD perempuan

tertinggi kedua di Indonesia.

Jika Laki-laki > Perempuan, gap 0-2,5% Jika Perempuan > Laki-laki, gap 0-2,5%

Jika Laki-laki > Perempuan, gap 2,5-5% Jika Perempuan > Laki-laki, gap 2,5-5%

Jika Laki-laki > Perempuan, gap 5-10%

Jika Laki-laki > Perempuan, gap >10%

Gambar 3. Gender Gap dalam Share Tenaga Kerja Formal terhadap Total Tenaga Kerja (%)
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2017 (Gambar diolah)

Sebaliknya, Papua dan Papua Barat yang memiliki IPG yang terendah di Indonesia,

memiliki gender gap dalam penyerapan tenaga kerja formal yang paling buruk. Hal ini

mengisyaratkan bahwa ketimpangan kualitas SDM antara laki-laki dan perempuan turut

menentukan ketimpangan penyerapan lapangan kerja yang berkualitas dan responsif gender.

Uniknya provinsi yang memiliki peringkat IPM tertinggi di Indonesia seperti Bali dan

Kalimantan Timur justru memiliki gender gap serapan tenaga kerja formal yang tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa pembangunan kualitas SDM yang telah diupayakan masih belum inklusif.

Gender Gap dalam Penyerapan Tenaga Kerja Formal Menurut Berbagai Karakteristik

Ditinjau dari berbagai karakteristik, gender gap dalam penyerapan tenaga kerja formal

terlihat cukup nyata. Berdasarkan hasil olah Sakernas 2008-2017 diperoleh fakta bahwa gender

8
gap penyerapan tenaga kerja formal di perkotaan semakin meningkat. Tren ketimpangan yang

meningkat juga terlihat dari penyerapan di Sektor Industri. Bahkan, pada sektor yang relatif

padat tenaga kerja ini, gender gap paling besar dibandingkan sektor lainnya.

Sementara itu, serapan tenaga kerja formal pendidikan SMA ke atas pada laki-laki

maupun perempuan gap nya relatif kecil. Demikian halnya dengan pelatihan kerja yang pernah

didapatkan tenaga kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan kerja dapat

meningkatkan daya saing perempuan di pekerjaan formal.

10,0% 22,0%
8,0% 17,0%
6,0%
12,0%
4,0%
7,0%
2,0%
2,0%
0,0%
-3,0%

Perkotaan Pedesaan Industri Pertanian Lainnya

Daerah Tempat Tinggal Sektor/Lapangan Usaha

10,0% 10,0%
8,0% 8,0%
6,0% 6,0%
4,0%
4,0%
2,0%
2,0%
0,0%
0,0%
-2,0%
-2,0%
-4,0%

SMA+ SMP Ke Bawah Dapat Pelatihan Tidak Dapat Pelatihan

Pendidikan Akses terhadap Pelatihan Kerja

Gambar 4. Gender Gap dalam Share Tenaga Kerja Formal terhadap Total Tenaga Kerja
Menurut Berbagai Karakteristik (%)
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2008-2017 (Gambar diolah)

9
Determinan Tenaga Kerja Formal
Ada dua model (persamaan dari regresi multilevel panel) yang terbentuk berdasarkan

jenis kelamin yakni model statistik untuk laki-laki dan model statistik untuk perempuan. Hasil

estimasi paramater dari kedua model ini kemudian dibandingkan agar diketahui faktor mana

yang dominan berpengaruh terhadap tenaga kerja formal laki-laki dan perempuan. Setelah

melalui serangkan pengujian baik simultan maupun parsial, didapatkan kedua model signifikan

sehingga dapat dilakukan interpretasi dan analisis lanjutan.

Tabel 2. Koefisien Variabel Menurut Jenis Model


Variabel Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3)
Rata-rata lama sekolah 0,89*** 0,89***
(0,167) (0,188)
Penduduk usia produktif -0,32* 0,34***
(0,186) (0,125)
Pengeluaran perkapita 0,83*** 0,27***
(0,109) (0,083)
PDRB 0,12*** 0,10***
(0,036) (0,031)
Pelatihan kerja 1,17*** 0,48***
(0,19) (0,123)
Share industri dalam PDRB 0,0046*** 0,0111***
(0,002) (0,002)
Konstanta -10,89 -5,07
N 238 238
Prob Chi2 0,00*** 0,00***
***siginifikan pada α=1%, **signifikan pada α=5%, *signifikan pada α=1%,
Keterangan:
( . . . ) nilai standard error
Semua variabel dalam bentuk LN (logaritma natural) kecuali share industri dalam PDRB

Pengaruh Rata-Rata Lama Sekolah Terhadap Tenaga kerja Formal

Kedua model (persamaan statistik), baik pada laki-laki dan perempuan menunjukkan

bahwa pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap tenaga kerja formal adalah positif dengan nilai

koefisien yang hampir sama, yakni 0,89. Jika rata-rata lama sekolah meningkat 1 persen, maka

akan berkontribusi meningkatkan tenaga kerja formal baik pada laki-laki dan perempuan

masing-masing sebesar 0,89 persen. Angka ini cukup besar. Peran pendidikan sangat

10
menentukan dalam meningkatkan akses dalam pasar kerja. Kajian yang dilakukan World Bank

(2011), menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir, perubahan tingkat pendidikan

perempuan telah meningkatkan jumlah perempuan dalam pasar tenaga kerja.

Di Negara Afrika dan Asia Pasifik, perbedaan jumlah pekerja di sektor formal sangat

nyata antara mereka yang menamatkan sekolah menengah ke atas dengan mereka yang tidak

sekolah atau hanya tamat SD (ILO, 2018). Hal ini disebabkan pekerjaan formal mensyaratkan

pendidikan tertentu. Di Indonesia, pada tahun 2016 rata-rata lama sekolah perempuan sebesar

7,84 tahun, sementara pada laki-laki mencapai 7,95 tahun (BPS & KPPPA, 2017). Faktor inilah

yang dapat menyebabkan serapan tenaga kerja formal perempuan lebih rendah dibanding laki-

laki. Oleh karena itu, memberikan kesempatan sekolah seluas-luasnya terutama bagi

perempuan adalah suatu keharusan dalam mengejar ketertinggalan dari kaum laki-laki.

Pengaruh Penduduk Usia Produktif terhadap Tenaga Kerja Formal

Pengaruh variabel penduduk usia produktif terhadap tenaga kerja formal menunjukkan

dua hal yang berbeda pada kedua model. Pada model statistik perempuan, semakin banyak

jumlah penduduk usia produktif akan semakin banyak jumlah perempuan pada perkerjaan

formal. Jika penduduk usia produktif perempuan tumbuh sebesar 1 persen maka akan mampu

menumbuhkan tenaga kerja formal perempuan sebesar 0,34 persen.

Faktor teknologi seperti terciptanya peralatan listrik rumah tangga dan alat transportasi

yang cepat dan efisien menyebabkan lebih banyaknya waktu luang perempuan (Ramey, 2009);

(Masse, 2003). Hal tersebut memberikan akses lebih luas pada kaum hawa untuk turut bersaing

di pasar tenaga kerja dengan pekerjaan full-time.

Sementara itu, pada laki-laki, hubungan antara penduduk usia produktif dengan

penyerapan tenaga kerja formal bersifat negatif. Hal ini bisa dimungkinkan terjadi karena pada

provinsi tertentu sudah berada pada kondisi jenuh, sehingga pertumbuhan penduduk usia

11
produktif laki-laki tidak serta merta meningkatkan tenaga kerja formal. Pada situasi ini

penduduk usia produktif laki-laki bertambah, namun ketersediaan pekerjaan formal terbatas

sehingga tidak mampu menyerap semua tenaga kerja. Pada akhirnya mereka akan masuk ke

dalam pekerjaan informal.

Diagram pencar antara penduduk usia produktif dengan jumlah tenaga kerja formal juga

menunjukkan kesimpulan yang sejalan (lihat pada lampiran). Diagram pencar antara jumlah

laki-laki usia produktif dengan jumlah pekerja formal ada penyimpangan pada beberapa titik.

Pada saat penduduk usia produktif meningkat jumlah tenaga kerja formal justru ada yang

menurun. Jika ditelaah lebih dalam, beberapa provinsi di Kalimantan dan Sulawesi mengalami

fluktuasi tenaga kerja formal. Pada periode 2010-2017 beberapa perusahaan pertambangan

melakukan PHK (Garaga, 2017), sehingga diduga kuat ada fenomena migrasi tenaga kerja

formal masuk ke sektor informal.

Pengaruh Pengeluaran Perkapita terhadap Tenaga Kerja Formal

Pengeluaran per kapita terhadap tenaga kerja formal berpengaruh positif dan signifikan.

Pengaruh ini lebih besar terjadi pada laki-laki daripada perempuan, 0,83 dibandingkan 0,27.

Jika pengeluaran per kapita meningkat 1 persen, maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja

formal laki-laki sebanyak 0,83 persen. Sedangkan pada perempuan, pengaruhnya hanya 0,27

persen.

Hubungan ini dapat dijelaskan melalui tingkat kesejahteraan. Pengeluaran per kapita

sendiri adalah proksi dari pendapatan atau tingkat kesejahteraan secara ekonomi. Kesejahteraan

yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi seorang untuk meningkatkan keahlian dan

pendidikan. Sementara keahlian dan pendidikan dapat mendorong pekerja masuk pada

pekerjaan formal. Dari sisi makro dapat dijelaskan bahwa kesejahteraan suatu daerah

12
berhubungan dengan ketersediaan pekerjaan yang laik (decent work) yang merupakan ciri dari

jenis pekerjaan formal.

Pengaruh PDRB terhadap Tenaga Kerja Formal

Kedua model menunjukkan bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap

tenaga kerja formal. Jika ekonomi tumbuh sebesar 1 persen, mampu mendorong tumbuhnya

tenaga kerja formal laki-laki sebesar 0,12 persen dan tenaga kerja formal perempuan sebesar

0,10 persen. Umumnya kondisi perekonomian yang terjaga serta terus tumbuh, mampu

mendorong jumlah tenaga kerja formal di suatu daerah. Ekonomi tumbuh memberi arti situasi

ekonomi yang stabil, sehingga akan mendorong ketersediaan pangsa pekerjaan formal di pasar

kerja. Ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan harus direduksi, karena pertumbuhan

ekonomi yang hilang akibat ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan sekitar 4 kali lebih

besar dibandingkan ketimpangan gender dalam pendidikan (Klasen & Lamanna, 2009).

Pengaruh Pelatihan terhadap Tenaga Kerja Formal

Jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan merupakan proksi dalam mengukur

seberapa besar jumlah tenaga kerja yang berkualitas dari sisi skill. Semakin besar jumlah tenaga

kerja yang mendapatkan pelatihan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas dari tenaga kerja.

Pada model statistik laki-laki dan perempuan, terbentuk elastisitas pelatihan sebesar 1,17 dan

0,48. Artinya, pengaruh jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan terhadap penyerapan

tenaga kerja sektor formal lebih besar pengaruhnya pada laki-laki. Pengaruh pelatihan pada

tenaga kerja laki-laki juga lebih besar dari pengaruh pendidikan. Hal ini dapat dimaklumi,

karena pendidikan belum menjamin akses pada pekerjaan yang lebih produktif (ILO, 2018)

Selain dapat ditujukan pada mereka yang sudah bekerja, pelatihan kerja juga dapat

diberikan kepada para pencari kerja, agar mereka mempunyai peluang lebih besar memasuki

13
pekerjaan formal atau bahkan dapat menciptakan suatu pekerjaan formal. Pelatihan menjadi

sangat penting bagi tenaga kerja terlebih lagi pada pekerjaan formal. Pelatihan terbukti

meningkatkan keahlian bagi tenaga kerja, sekaligus meningkatkan performance dan daya saing

suatu perusahaan (H.O. Falola, A.O. Osibanjo, S.I. Ojo, 2014).

Pengaruh Share Sektor Industri Dalam PDRB terhadap Tenaga kerja Formal

Pengaruh share sektor industri dalam PDRB terhadap tenaga kerja formal adalah positif

dengan nilai koefisien sebesar 0,00467 dan 0,01114. Karena struktur data dari share sektor

industri dalam bentuk persen, sementara modelnya adalah fungsional, maka agar dapat

diinterpretasikan sebagai elastisitas, maka dikali dulu dengan nilai 100. Dengan demikian,

pertumbuhan 1% share sektor industri dalam PDRB mampu meningkatkan tenaga kerja formal

laki-laki sebesar 0,47 persen dan tenaga kerja formal perempuan sebesar 1,11 persen.

Pada model perempuan, besaran 1,11 persen dari share sektor industri dalam PDRB

merupakan yang paling besar di antara variabel lainnya. Pada banyak kondisi tenaga kerja

formal di sektor industri sebagian besarnya diperlukan kekhususan dari tenaga kerja

perempuan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perempuan dapat mengerjakan

pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kesabaran dan kejelian. Hal ini terjadi di negara

Australia, pada sektor industri pekerja perempuannya cukup mendominasi (Australian Human

Rights Comission, 2013). Inilah sebabnya jika ingin meningkatkan peran perempuan sebagai

tenaga kerja formal, maka perlu didorong industri yang padat tenaga kerja dapat merekrut

tenaga kerja perempuan.

14
SIMPULAN DAN SARAN

Rata-rata lama sekolah, jumlah penduduk usia produktif, pengeluaran perkapita, PDRB,

pelatihan kerja, dan kontribusi industri dalam PDRB mempunyai pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap tenaga kerja formal laki-laki dan perempuan. Hanya jumlah penduduk usia

produktif pada model (persamaan statistik) laki-laki yang justru menurunkan penyerapan

tenaga kerja formal. Jika memperhatikan latar belakang penulisan ini, bahwa masih tinggi

proporsi tenaga kerja informal pada perempuan, maka rekomendasi penelitian adalah

bagaimana peran serta perempuan pada dunia kerja di sektor formal dapat meningkat.

Setidaknya ada tiga faktor yang berperan besar dalam mendongkrak tenaga kerja formal

perempuan. Tiga variabel terrsebut berdasarkan urutan pengaruh terbesar adalah share industri

dalam PDRB, rata-rata lama sekolah dan tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan.

Industri yang sifatnya padat tenaga kerja hendaknya memberikan kesempatan yang lebih

besar bagi perempuan. Terlebih lagi saat ini Indonesia sedang mengalami proses transformasi

ke sektor industri. Sementara dari sisi individu, perempuan harus diberikan kesempatan

setinggi-tingginya dalam pendidikan dan pelatihan kerja. Meningkatkan kesempatan

perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi

yang lebih besar. Secara makro, marginal return investasi pendidikan perempuan terhadap

ekonomi lebih besar dari laki-laki karena adanya dampak langsung dan tak langsung (World

Bank 2001; Knowles, Lorgelly, & Owen, 2002).

Jika ketiga hal ini bersinergi maka kesenjangan gender dalam status pekerjaan formal

akan mengecil. Pada saat bersamaan, daya saing perempuan dalam dunia kerja dan kualitas

perempuan juga akan meningkat. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tercipta juga

inklusif, dengan memberikan akses pekerjaan layak bagi semua (laki-laki dan perempuan)

secara berkeadilan.

15
Sinergitas peningkatan kesempatan kerja layak bagi perempuan terutama dengan

meingkatkan peran industri padat tenaga kerja dan pendidikan bagi kaum perempuan akan

mewujudkan empat tujuan SDGs sekaligus, yaitu tujuan 5 (mencapai kesetaraan gender dan

memberdayakan semua perempuan), tujuan 8 (mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif

dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua)

tujuan 9 (mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan), dan pada akhirnya tujuan

1 (mengakhiri kemiskinan di manapun dalam semua bentuk) akan tercapai.

REFERENSI

Australian Human Rights Comission. (2013). Women in Male-Dominated Industries; A


Toolkit of Strategis. Sidney: Department of Families, Housing, Community Services
and Indegenous Affairs.
BPS & KPPPA. (2016). Statistik Gender Tematik - Potret Ketimpangan Gender dalam
Ekonomi. Jakarta: KPPPA.
BPS & KPPPA. (2017). Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017. Jakarta: KPPPA.
Garaga, B. N. (2017). Hardiness Karyawan yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja.
Psiko Borneo 5(3), 642-653.
H.O. Falola, A.O. Osibanjo, S.I. Ojo. (2014). Effectiveness of Training and Development on
Employess Performance and Organisation Competitiveness in The Nigerian Banking
Industry. Economic Sciences Vol. 7 (56) No. 1, 161-170.
Hox, J. (2002). Multilevel Analysis: Techniques and Application. London: Lawrence Erlbaum
Associates Publisher.
ILO. (2018). Women and men in the informal economy: a statistical picture (third edition).
Geneva: ILO.
Klasen, S., & Lamanna, F. (2009). THE IMPACT OF GENDER INEQUALITY IN
EDUCATION AND EMPLOYMENT ON ECONOMIC GROWTH: NEW EVIDENCE
FOR A PANEL OF COUNTRIES. Feminist Economics 15(3) July, 91-132.
Knowles, Stephen, Paula Lorgelly, & Dorian Owen. (2002). ‘‘Are Educational Gender Gaps a
Brake on Economic Development? Some Cross-Country Empirical Evidence.’’ Oxford
Economic Papers 54(1), 118–49.
Maloney, W. F. (2004). Informality Revisited. World Development Volume 32 No 7, 1159-
1178.

16
Masse, R. (2003). Energy, Poverty, and Gender: Impacts of Rural Electrification on Poverty
and Gender in Sri Lanka. Washington DC: Wolrd Bank.
OECD. (2008). Gender and Sustainable Development MAXIMISING THE ECONOMIC,
SOCIAL AND ENVIRONMENTAL ROLE OF WOMEN. Paris: OECD.
Pitoyo, A. J. (2007). Dinamika Sektor Informal di Indonesia: Prospek, Perkembangan dan
Kedudukannya dalam Sistem Ekonomi Makro. Populasi Vol. 18 No. 2, 129-146.
Ramey, V. A. (2009). Time Spent in Home Production in the Twentieth-Century United
States: New Estimates from Old Data. THE JOURNAL OF ECONOMIC HISTORY
Volume 69, 1-47.
Seguino, Stephanie. (2000). ‘‘Accounting for Gender in Asian Economic Growth.’’Feminist
Economics 6(3), 27–58.
United Nations. (2014). WORLD SURVEY ON THE ROLE OF WOMEN IN
DEVELOPMENT 2014 GENDER EQUALITY AND SUSTAINABLE
DEVELOPMENT. New York: The Research and Data section of UN Women.
Vanek , J., Chen , M. A., Carré , F., Heintz , J., & Hussmanns, R. (2014). Statistics on the
Informal Economy: Definitions, Regional Estimates & Challenges. Cambridge:
WIEGO.
World Bank.(2001). Engendering Development. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2011). World Development Report 2012 Gender Equality and Development.
Washington DC: The World Bank.

17
LAMPIRAN
A. Diagram Pencar Rata-Rata Lama Sekolah dengan Tenaga kerja Formal
8000000

4000000
Pekerja Formal Perempuan (jiwa)
6000000

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000

0
0

6.00 8.00 10.00 12.00 4.00 6.00 8.00 10.00


Rata-Rata Lama Sekolah Laki-Laki (thn) Rata-Rata Lama Sekolah Perempuan (thn)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

B. Diagram Pencara Penduduk Usia Produktif dengan Tenaga kerja Formal


8000000

4000000
6000000

Pekerja Formal Perempuan (jiwa)

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000
0

0 5000000 10000000 15000000 20000000 0 5000000 10000000 15000000


Penduduk Usia Produktif Laki-Laki (jiwa) Penduduk Usia Produktif Perempuan (jiwa)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

C. Diagram Pencar Pengeluaran Perkapita dengan Tenaga kerja Formal


8000000

4000000
6000000

Pekerja Formal Perempuan (jiwa)

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000

0
0

5000.00 10000.00 15000.00 20000.00 0.00 5000.00 10000.00 15000.00


Pengeluaran Perkapita Laki-Laki (000Rp) Pengeluaran Perkapita Perempuan (000Rp)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

18
8000000
Gambar D. Diagram Pencar Pengeluaran Perkapita dengan Tenaga kerja Formal

4000000
Pekerja Formal Perempuan (jiwa)
6000000

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000

0
0

0 5.000e+08 1.000e+09 1.500e+09 0 5.000e+08 1.000e+09 1.500e+09


PDRB (miliar Rp) PDRB (miliar Rp)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

Gambar E. Diagram Pencar Tenaga kerja yang Mendapat Pelatihan dengan Tenaga kerja
Formal
8000000

4000000
6000000

Pekerja Formal Perempuan (jiwa)

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000
0

0 5000000 10000000 15000000 0 2000000 4000000 6000000 8000000


Pekerja Laki-Laki Ikut Pelatihan (jiwa) Pekerja Perempuan Ikut Pelatihan (jiwa)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

Gambar F. Diagram Pencar Share Industri dalam PDRB dengan Tenaga kerja Formal
8000000

4000000
6000000

Pekerja Formal Perempuan (jiwa)

3000000
4000000

2000000
2000000

1000000

0
0

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Share Industri dalam PDRB (%) Share Industri dalam PDRB (%)

Sumber: BPS (Gambar diolah)

19

View publication stats

You might also like