You are on page 1of 17

Paleovegetasi Berdasarkan Bukti Palinologi Kala Pliosen Cekungan

Banyumas

Kartika Anggi H., Sukarsa, dan Rachmad Setijadi


Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman
Jl Dr Soeparno 63 Purwokerto 53122 Indonesia,
Email: esakarsa@yahoo.co.id
Diterima April 2012 disetujui untuk diterbitkan Januari 2013

Abstract
Taxonomy is a branch of biology which is supported by palynological evidence. Palynology
concerns to pollen and spore. The purposes of this research were to figure out plant diversity of
Pliocene based on fossil pollens and to reconstruct vegetation and climates of Pliocene based on plant
diversity. A survey has been conducted in Bungkanel, Purbalingga. Sampling was done for 25
sediment samples and then they were crushed, carbonate-, sulfide-, fluoride-, and organic-separated,
centrifuged, oxidizing, alkali water-bathed, and mounted. Pollen and spore were identified in the
laboratory with a binocular microscope. Data were analyzed descriptively, clustering, biostratigraphic
Ranging-Zone, AP-NAP-Spore and PMI analysis has been done to determine the taxon, sediment
age, paleo-diversity, paleo-vegetation and paleo-climate. The result showed that there were sixteen
genera and three species of terrestrial palynomorph; two phyla, one class and one order of marine
palynomorph. The Age of Pliocene was indicated by the appearance of Podocarpus imbricatus and
Stenochlaena laurifolia (Stenochlaenidites papuanus). The results of clustering analysis showed that
there were six groups of samples with Shannon-Wienner H’ diversity index of <2. However, the
palinological diagram showed that there were three local zones of vegetation-alteration. In addition,
AP/NAP/Spores and PMI indicated that there were six zones of climate change.

Keywords: taxonomy, palynology, paleo-vegetation, Pliocene, Banyumas Basin

Abstract
Taksonomi adalah bidang ilmu bagian dari ilmu biologi yang didukung salah satunya oleh bukti
palinologi. Palinologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang polen dan spora. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan Kala Pliosen berdasarkan bukti palinologi dan
menggambarkan kondisi vegetasi dan iklim Kala Pliosen berdasarkan keanekaragaman tumbuhan
pada masa tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survei. Analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif, biostratigrafi Zona Kisaran, cluster, AP-NAP-Spora dan PMI untuk memperoleh
data takson, umur batuan, kondisi paleovegetasi, dan kondisi paleoiklim Pliosen. Materi penelitian
berupa 25 sampel batuan permukaan yang diambil dari singkapan di Desa Bungkanel Kabupaten
Purbalingga dengan menggunakan metode pengukuran stratigrafi. Sebanyak 25 sampel batuan
dipreparasi. Hasil identifikasi ditemukan 16 genus dan 3 spesies tumbuhan penghasil palinomorf
darat serta 2 phylum, 1 kelas dan 1 ordo palinomorf laut. Umur sedimen Pliosen ditunjukkan oleh
kemunculan Podocarpus imbricatus bersamaan dengan kemunculan Stenochlaena laurifolia
(Stenochlaenidites papuanus). Hasil analisis statistik menunjukan bahwa terdapat 6 kelompok sampel
berdasarkan taksa yang ditemukan dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner H’ < 2.
Berdarkan diagram polen dapat diperkirakan berubahnya vegetasi menjadi 3 zona lokal. Hasil
perbandingan AP/NAP/Spora dan PMI dapat diperkirakan perubahan iklim ke dalam 6 zona.
Kata kunci: taksonomi, palinologi, paleovegetasi, Plioseen, cekungan Banyumas,

Pendahuluan keleluasaan seluas-luasnya, dan


memberikan arahan langsung dalam
Taksonomi merupakan bidang ilmu
kaitannya dengan data, informasi, dan
yang mendasari ilmu biologi. Ilmu ini
pengetahuan. Taksonomi tumbuhan
merupakan prinsip yang mendasari
sendiri merupakan ilmu taksonomi yang
klasifikasi (Hilman, 2010). Tujuan utama
objeknya tumbuh-tumbuhan.
ilmu taksonomi adalah untuk menyusun
Komponen fundamental dari ilmu
elemen, komponen-komponen, objek,
taksonomi meliputi klasifikasi, identifikasi,
maupun taksa supaya dapat memberikan
deskripsi, dan penamaan menggunakan
informasi yang seefektif mungkin,
sistem tatanama. Aktifitas dasar dari
memberikan pengetahuan dengan
taksonomi meliputi determinasi posisi dan
tingkatan, pembatasan secara diagnostik, berubah menjadi padang rumput khas dan
serta penamaan. Komponen-komponen bahkan gurun stepa (Wang et al, 2005).
tersebut berkaitan erat meskipun masing- Data palinologi dapat juga
masing dapat berdiri sendiri (Radford, digunakan untuk pemecahan masalah
1986). tumbuhan asli, tumbuhan migrasi serta
Untuk memperoleh karakteristik evolusi tumbuhan. Menurut Moore dan
yang lebih komprehensif, pembatasan Webb (1978) data palinologi dapat juga
yang lebih efektif, dan perkembangan dari diaplikasikan dalam :
klasifikasi taksa yang lebih definitif serta 1. Mengetahui sejarah jenis dan
interpretasi fenetik dan filogenetik suatu kelompok tumbuhan
taksa yang lebih natural, diperlukan bukti 2. Penentuan umur endapan
karakter dari berbagai sumber. Dengan 3. Studi paleovegetasi
kata lain diperlukan bukti taksonomi. Bukti 4. Studi paleoiklim
taksonomi merupakan informasi yang 5. Mempelajari pengaruh manusia
digunakan dalam konteks pencapaian terhadap lingkungan
suatu tujuan. Secara intrinsik, bukti 6. Studi kandungan polen di atmosfer dan
taksonomi beragam yakni bukti fisik, dampaknya (aeropalinologi)
kimia, dan biologi (Radford, 1986). 7. Kandungan polen pada madu
Salah satu bukti taksonomi dalam (melissopalinologi)
sistem klasifikasi adalah palinologi. Data polen didapatkan dari
Palinologi merupakan ilmu yang identifikasi dan penghitungan kuantitas
mempelajari tentang polen dan spora polen yang terkandung dalam sampel
(baik fosil maupun modern). Umumnya hasil preparasi batuan. Data polen dapat
palinologi fokus terhadap struktur dari digunakan untuk mengetahui
dinding luar polen/spora dibandingkan keanekaragaman tumbuhan yang hidup di
dengan bagian internalnya. Salah satu kurun waktu tertentu saat polen tersebut
aspek palinologi adalah studi fosil dari diendapkan. Data keanekaragaman
polen dan spora baik yang kuno maupun tersebut kemudian dapat diaplikasikan
modern (Moore dan Webb, 1978). untuk merekonstruksi paleovegetasi
Bukti palinologi memiliki beberapa dalam kurun waktu yang sama. Kondisi
karakter dasar yaitu tipe unit polen, paleovegetasi ini dapat memberikan
polaritas polen, bentuk polen, simetrisasi informasi kondisi iklim masa tersebut
polen, bagian arsitektur dinding polen, (Bradley, 1999). Pengaplikasian data
stratifikasi eksin, struktur eksin, ukiran polen yang diperoleh digunakan untuk
eksin, tipe apertura, jumlah apertura, merekonstruksi kondisi vegetasi dan iklim
posisi apertura, bentuk apertura, dan Pliosen cekungan Banyumas, yang
struktur apertura. Bukti palinologi berguna berupa cekungan belakang busur (back
dalam seluruh tingkatan ilmu taksonomi, arc basin) Tersier sebagai akibat interaksi
terutama dalam verifikasi kekerabatan antara lempeng Samudra Hindia yang
suatu kelompok taksonomi yang sudah menunjam ke arah utara di bawah
ada (Radford, 1986). lempeng Asia (Hutamadi dan Mulyana,
Studi palinologi di Cina Utara pada 2006).
kala Miosen Akhir-Pliosen di Xifeng, Loess Batuan penyusun cekungan
Plateau pusat menunjukan selama periode Banyumas dari bawah ke atas adalah
6,2-2,4 juta tahun lalu tertutup oleh batuan Formasi Pemali yang berumur
vegetasi padang rumput. Tiga zona Eosen, kemudian diatasnya diendapkan
vegetasi yang diakui selama periode ini Formasi Rambatan yang berumur
yaitu: Zona A dicirikan oleh ekosistem Oligosen; Formasi Halang yang berumur
padang rumput; Zona B ditandai dengan Miosen Tengah; Formasi Kumbang
peningkatan yang signifikan dari tanaman berumur Miosen Atas; Formasi Tapak
hutan subtropics; dan Zona C ditunjukkan yang berumur Pliosen (Hutamadi dan
oleh ekosistem stepa khas. Pergeseran Mulyana, 2006).
vegetasi terjadi sekitar 4,5-3,7 juta tahun Formasi Tapak merupakan salah
lalu, ketika penurunan tanaman hutan satu formasi batuan berumur Pliosen di
subtropis, vegetasi secara bertahap cekungan Banyumas. Formasi Tapak
diendapkan secara tidak selaras di atas perubahannya yang dapat
Formasi Kumbang, terdiri dari satuan dimanfaatkan untuk data perubahan
batupasir gampingan dan napal berwarna iklim (climate change) yang mungkin
hijau mengandung pecahan molusca. diperkirakan penyebab/akibat
Pada formasi ini terdapat Anggota perubahannya untuk kemudian
Batugamping dari batugamping terumbu
diaplikasikan dalam persiapan
yang mengandung koral dan foraminifera
besar, napal dan batupasir yang perubahan iklim di masa mendatang.
mengandung molusca. Selain itu terdapat
juga Anggota Breksi yang terdiri dari Materi dan Metode
breksi gunung api yang bersusunan Materi Penelitian
andesit dan batupasir tufaan yang Bahan yang akan digunakan dalam
sebagian mengandung sisa tumbuhan. penelitian ini adalah : sampel batuan
Ketebalan formasi ini sekitar 500 meter, Formasi Tapak, larutan HCl 37%, larutan
yang diendapkan dalam lingkungan HF 40%, larutan ZnCl2 Bj 2,2, larutan
peralihan sampai laut. Sisa tumbuhan HNO3, larutan KOH 5%, akuades, kertas
yang terdapat pada formasi ini lakmus, dan entelan. Alat-alat yang akan
menunjukkan keberadaan vegetasi pada digunakan dalam penelitian ini adalah :
masa tersebut (Waryoeno, 2009). palu geologi, GPS (Global Positioning
Lokasi pengambilan sampel batuan System), meteran, kompas geologi, plastik
adalah Desa Bungkanel, Kabupaten ukuran 1 kg, timbangan, multiblade, baker
Purbalingga. Lokasi ini dipilih karena glass, mortar, mikroskop cahaya, kamera
terdapat singkapan Formasi Tapak. digital, kompor, saringan 5 mikron, botol
Formasi Tapak sendiri merupakan vial, tusuk gigi, object glass, cover glass,
endapan batuan penyusun cekungan hot plate, dan kotak sampel.
Banyumas yang mewakili umur Pliosen. Pengambilan sampel dilakukan di
Permasalahan yang diajukan dalam Desa Bungkanel, Kabupaten Purbalingga.
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Preparasi sampel dilakukan di
Bagaimana keanekara-gaman tumbuhan laboratorium Palinologi Teknik Geologi
Kala Pliosen di Cekungan Banyumas ITB. Pengamatan sampel dilakukan di
berdasarkan bukti palinologi. 2) laboratorium pengajaran Fakultas Biologi
Bagaimana kondisi vegetasi dan iklim Kala Universitas Jenderal Soedirman.
Pliosen di Cekungan Banyumas Penelitian dilakukan selama bulan Juni
berdasarkan keanekaragaman tumbuhan sampai dengan Oktober.
pada masa tersebut. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui Pengambilan Sampel
keanekaragaman tumbuhan Kala Pliosen Penelitian dilakukan dengan metode
di Cekungan Banyumas berdasarkan bukti survei di Desa Bungkanel, Kabupaten
palinologi. 2) Menggambarkan kondisi Purbalingga. Pengambilan sampel
vegetasi dan iklim Kala Pliosen di dilakukan di 25 titik berupa batuan
Cekungan Banyumas berdasarkan endapan sedimen berdasarkan metode
keanekaraga-man tumbuhan pada masa Penampang Stratigrafi Terukur atau
tersebut. measured section (MS). Metode ini
Penelitian ini diharapkan dapat terlebih dulu mengukur jalur
memberi manfaat untuk: 1) Memperoleh pengambilannya dengan menghitung dip
data tumbuhan Kala Pliosen di (kemiringan) dan strike (jurus) nya.
Cekungan Banyumas yang dapat Jurus atau strike adalah arah garis
dimanfaatkan untuk data konser-vasi yang merupakan perpotongan antara
bidang di alam dengan bidang horizontal,
tumbuhan yang mungkin ditemukan dinyatakan terhadap arah Utara, searah
namun sekarang tidak ditemukan lagi jarum jam ke Timur. Dip dan strike diukur
karena mengalami kepunahan di tempat dengan menggunakan kompas
(extinction). 2) Memperoleh data geologi yang dilengkapi dengan waterpas
kondisi vegetasi dan iklim Kala Pliosen dan klinometer (Marso, 2004). Kemiringan
di Cekungan Banyumas beserta atau dip merupakan sudut terbesar antara
bidang miring di alam dengan bidang kemudian disimpan dalam botol vial
horizontal yang dinyatakan dengan yang diberi label dan ditutup rapat.
derajat. m. Larutan sampel pada tahap k diambil
Sampel batuan diambil secukupya sebanyak 10 ml menggunakan pipet
dengan memecah batuan menggunakan dan diletakkan di atas object glass
palu geologi. Batuan yang diambil yang sudah diberi label sampel,
merupakan batuan bagian dalam yang kemudian dipanaskan di atas hot plate
masih ‘segar’ atau terhindar dari oksidasi, untuk menghilangkan air.
kemudian disimpan dalam plastik dan n. Setelah kering diberi entelan
kemudian dibawa ke laboratorium untuk di secukupnya kemudian ditutup dengan
preparasi. cover glass.
o. Gelembung udara dalam entelan
Preparasi Batuan dihilangkan dengan mengurut cover
Preparasi batuan yang dilakukan mengacu glass perlahan, kemudian dikering-
prosedur Rahardjo et al (1994). anginkan.
a. Sampel batuan dikupas dengan p. Sampel disimpan dalam kotak sampel
menggunakan multiblade untuk dan siap diamati.
membersihkan sisa kotoran.
b. Sampel batuan ditimbang masing- Pengamatan Sampel
masing seberat 50 gr. Sampel diamati di bawah mikroskop.
c. Sampel batuan dihaluskan dengan Parameter yang diamati adalah sifat dan
menggunakan mortar. ciri polen dalam hal ukuran, bentuk,
d. Tumbukan batuan tadi kemudian ornamentasi serta apertura.
direndam dalam larutan HCl selama 6
jam. Analisis Data
e. Sampel direndam dengan akuades, Taksa ditentukan dengan
dibiarkan 4 jam sampai mengendap, menggunakan analisis diskriptif yaitu
kemudian dibuang akuadesnya dan identifikasi polen dengan menggunakan
dicek pHnya menggunakan kertas mikroskop binokuler perbesaran 250X,
lakmus. Kegiatan diulangi sampai pH 400X dan 1000X. Acuan yang digunakan
sampel netral (± 8 kali ulangan). dalam identifikasi antara lain: (Huang,
f. Sampel kemudian direndam dengan 1972), (Erdtman, 1943), (Stuijts, 1993),
larutan HF selama 24 jam. Dilakukan (Kapp, 1969), (Nakamura, 1980), (Nasu
kegiatan e. dan Seto, 1986) dan (Moore dan Webb,
g. Sampel direndam dengan HCl panas 1978).
selama 6 jam. Dilakukan kegiatan e. Umur batuan ditentukan dengan
h. Sampel direndam dengan ZnCl2 Bj 2,2 Analisis Biostratigrafi menggunakan Zona
selama 10 menit. Kemudian di Kisaran. Zona kisaran (Range zone)
sentrifugasi, diambil cairan adalah tubuh lapisan batuan yang
supernatannya. mencakup kisaran stratigrafi unsur terpilih
i. Larutan sampel dibagi menjadi 2. Satu dari kumpulan seluruh fosil yang ada.
bagian disimpan dalam botol vial yang Zona kisaran dapat berupa kisaran umur
sudah diberi label sampel kemudian suatu takson, kumpulan takson, takson-
ditutup rapat. takson yang bermasyarakat, atau ciri
j. Satu bagian sampel yang lain paleontologi yang lain yang menunjukkan
direndam dengan larutan HNO3 panas kisaran (Komisi Sandi Stratigrafi
selama 7-8 menit. Dilakukan kegiatan Indonesia, 1996). Kegunaan zona kisaran
e. terutama untuk korelasi tubuh batuan dan
k. Larutan pada tahap i direndam dengan sebagai dasar penempatan batuan-batuan
larutan KOH lalu dipanaskan dalam dalam skala waktu geologi. Batas dan
waterbath selama 3 menit. Dilakukan kelanjutan zona kisaran ditentukan oleh
kegiatan e. penyebaran vertikal maupun horizontal
l. Larutan kemudian disaring dengan takson yang mencirikannya (Taufiq, 2009).
saringan 5 mikron. Endapan yang Analisis paleodiversitas
tertinggal di saringan diberi akuades menggunakan analisis cluster dengan
program Paleontologycal Statistic (PAST) Analisis paleovegetasi
versi 0.99. Analisis cluster adalah suatu menggunakan analisis Arboreal-Non
analisis statistik yang bertujuan Arboreal Pollen dan Spora. AP (Arboreal
memisahkan kasus/obyek ke dalam Pollen) menunjukkan bahwa polen berasal
beberapa kelompok yang mempunyai sifat dari tumbuhan bentuk pohon, sedangkan
berbeda antar kelompok yang satu NAP (Non Arboreal Pollen) menunjukkan
dengan yang lain. Dalam analisis ini tiap- bahwa polen berasal dari tumbuhan
tiap kelompok bersifat homogen antara bentuk selain pohon yang berarti herba
anggota dalam kelompoknya atau dapat dan semak. Sedangkan spora berasal dari
dikatakan variasi obyek/individu dalam tumbuhan lumut (briofita) dan paku
satu kelompok yang terbentuk sekecil (pteridofita).
mungkin (Raharto, 2008). Analisis cluster Analisis ini bertujuan untuk
digunakan untuk memisahkan sampel ke mengetahui perkembangan/ penyusutan
dalam kelompok berdasarkan kesamaan vegetasi dengan menghitung
kehadiran taksa dan kelimpahan tiap-tiap perbandingan polen arboreal, polen non
taksa. arboreal dan spora dengan rumus :

∑ AP
% AP = x 100 %
∑ (AP + NAP + spora)

∑ NAP
% NAP = x 100 %
∑ (AP + NAP + spora)

∑ spora
% spora = x 100 %
∑ (AP + NAP + spora)

Keterangan :
∑ AP : jumlah total Arboreal Polen
∑ NAP : jumlah total Non Arboreal Polen
∑ Spora : jumlah total spora
∑ (AP + NAP + spora) : jumlah total Arboreal, Non Arboreal Polen dan Spora

Analisis paleoiklim menggunakan mengukur perbandingan antara


analisis Pollen Marine Index (PMI). polen/spora (palinomorf darat) dengan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui dinoflagelata dan foraminifera lining test
regresi/transgresi air laut terhadap (palinomorf laut) menggunakan rumus:
daratan. Analisis ini dilakukan dengan
∑ palinomorf laut
PMI = x 100 %
∑ palinomorf darat

Hasil dan Pembahasan palinomorf darat; 2 taksa teridentifikasi


hingga tingkat kelas, 16 taksa
Inventarisasi
teridentifikasi hingga tingkat genus dan 3
Pengambilan sampel batuan
taksa teridentifikasi hingga tingkat spesies,
Formasi Tapak mendapatkan 25 sampel
sementara untuk palinomorf laut 1 taksa
batuan yang tersingkap. Hasil preparasi
teridentifikasi hingga tingkat filum dan 1
hanya memungkinkan analisis polen
taksa teridentifikasi hingga tingkat ordo.
dilakukan pada 24 sampel. Polen pada
Identifikasi polen dan spora berdasarkan
preparat sampel nomor 20 tidak dapat
(Huang, 1972), (Erdtman, 1943), (Stuijts,
diidentifikasi karena kandungan kristal
1993), (Kapp, 1969), (Nakamura, 1980),
silikat pada sampel yang terlalu banyak
(Nasu dan Seto, 1986) dan (Moore dan
sehingga menghalangi pandangan saat
Webb, 1978). Deskripsi polen dan spora
melakukan identifikasi.
berupa ciri-ciri morfologi yakni bentuk
Hasil analisis dari 24 sampel
dasar, ukuran, apertur, ornamentasi dan
ditemukan taksa tumbuhan penghasil
affinitasnya. Ciri-ciri morfologi butir polen Spora beraperture trilete, bentuk
dan spora akan mempermudah identifikasi umumnya semiangular, exin psilate,
dan determinasi suatu polen dan spora berukuran 30-50 μm (Gambar g).
baik yang berupa fosil maupun modern 6. Florshuetzia levipolii (nama fosil)
(Abbas et al, 2000). Lythraceae
Penamaan fosil polen dengan Polen beraperture triporate, berbentuk
menggunakan nama fosilnya (fossil name) spheroidal, eksin dengan ornamentasi
dan apabila ciri-ciri fosil polen sama scabrate, memiliki tutup psilate pada
dengan ciri-ciri polen modern dapat bagian atas dan bawah, kolumela tidak
menggunakan nama botaninya (botanical jelas, ukuran 30-60 μm (Gambar h).
name), misalnya beberapa takson indeks 7. Stenochlaenidites papuanus (nama
seperti Florschuetzia levipoli dengan nama fosil) - Blechnaceae
botani Sonneratia caseolaris, Polen berapertur monocolpate,
Florschuetzia meridionalis dengan nama berbentuk planokonveks, ornamentasi
botani Sonneratia alba serta verrucate, ukuran 40-50 μm, dengan
Stenochlaenidites papuanus dengan nama verucate berukuran 2,5-4 μm (Gambar
botani Stenochlaena laurifolia. Fosil polen i). Memiliki affinitas Stenochlaena
dan spora yang kemungkinan diturunkan laurifolia.
dari dua atau lebih taksa (pada tingkat 8. Camptostemon sp. - Malvaceae
famili) tumbuhan diikuti oleh kata “tipe” Polen beraperture periporate ,
(Morley, 1998). bentuknya globular, eksin dengan
Berikut merupakan deskripsi dan ornamentasi echinate, berukuran 40-
klasifikasi takson yang ditemukan : 60 μm (Gambar j).
9. Pinus sp - (Pinaceae
Palinomorf Laut Polen inaperturate, berbentuk globular,
1. Dinoflagellate cyst eksin dengan ornamentasi vesiculate,
Palinomorf laut dengan alat gerak memiliki 2 buah sacci yang
berupa flagelae, berukuran 20-150 μm berornamentasi reticulate kasar,
(Gambar a). berukuran 37-44 μm untuk badan dan
2. Foraminifera test lining 30-40 μm untuk sayap (Gambar k).
Palinomorf laut dengan banyak kamar, 10. Podocarpus imbricatus
berukuran 20-150 μm (Gambar b). Podocarpaceae
Polen inaperturate, berbentuk globular,
Palinomorf Darat eksin dengan ornamentasi vesiculate,
1. Monoporites sp. - Poaceae memiliki 3 buah sacci yang
Polen monoporate, berbentuk globular, berornamentasi reticulate halus,
eksin psilate, ukuran 25-40 μm berukuran 28-40 μm untuk badan dan
(Gambar c). 25-37 μm untuk sayap (Gambar l).
2. Laevigatosporites (nama fosil) 11. Pteris type - Polypodiaceae
Pteridophyta Spora beraperture trilete, berbentuk
Spora monolete, berbentuk seperti semiangular, eksin berornamentasi
ginjal, eksin psilate, ukuran 25-50 μm verrucate, memiliki cingulum dengan
(Gambar d). tebal 3-5 μm, berukuran 30-50 μm
3. Verrucatosporites (nama fosil) (Gambar m).
Pteridophyta, Filicinae 12. Lakiapollis sp. Malvaceae
Spora monolete, berbentuk seperti Polen beraperture triporate, berbentuk
ginjal, eksin dengan ornamentasi globular, eksin psilate, berukuran 50-
verrucate, ukuran 25-50 μm (Gambar 75 μm (Gambar n).
e). 13. Croton type Euphorbiaceae
4. Lycopodium sp. Lycopodiaceae Polen inaperturate, berbentuk
Spora trilete, berbentuk sirkular, eksin spheroidal, eksin berornamentasi
dengan ornamentasi foveolate, crotonoid, berukuran 40-60 μm
berukuran 25-40 μm (Gambar f). (Gambar o).
5. Acrostichum sp. Pteridaceae 14. Palaquium sp. Sapotaceae
Polen beraperture stephanocolporate, naharkotensis dan kemunculan awal
berbentuk spheroidal, eksin psilate, Florschuetzia trilobata.
berukuran 15-30 μm (Gambar p). 4. zona Florschuetzia levipoli.
15. Acacia sp. Fabaceae Zona ini ditandai oleh kehadiran
Polen polyad, terdiri dari 16 bulir, tiap Florschuetzia levipoli bersama
bulirnya memiliki 4-5 buah porus, eksin Florschuetzia trilobata tanpa
psilate, berukuran 35-50 μm Gambar kehadiran Florschuetzia meridionalis.
q). 5. zona Florschuetzia meridionalis.
16. Retitricolporites equatorialis (nama Zona ini ditandai oleh pemunculan
fosil) Guttiferae awal Florschuetzia meridionalis dan
Polen beraperture tricolporate, kehadiran Florschuetzia trilobata
berbentuk spheroidal, eksin psilate, bersama Florschuetzia levipoli.
berukuran 33-45μm Gambar r). 6. zona Stenochlaeniidites papuanus.
Memiliki nama botani Calophyllum sp. Zona ini dibatasi oleh kepunahan
(Gambar r). Florschuetzia trilobata serta kehadiran
17. Castanopsis sp. Fagaceae Stenochlaeniidites papuanus tanpa
Polen beraperture tricolporate, porus Dacrycarpidites australiensis ataupun
berukuran ± 2 μm terletak di tengah- Podocarpus imbriatus.
tengah colpus, colpus panjang 7. zona Dacrycarpidites australiensis.
berbentuk elips, bentuk polen Zona ini dibatasi oleh kepunahan
spheroidal, eksin psilate, berukuran Stenochlaeniidites papuanus serta
11-40 μm (Gambar s). kehadiran Dacrycarpidites
18. Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae australiensis atau Podocarpus
Polen beraperture tricolporate, porus imbriatus.
berukuran ± 1 μm terletak di tengah- 8. zona Monoporites annulatus.
tengah colpus, bentuk polen Monoporites annulatus dmelimpah
spheroidal, eksin psilate, berukuran 8- berasosiasi dengan Dacrycarpidites
15 μm (Gambar t). australiensis atau Podocarpus
imbriatus tanpa kehadiran
Penentuan Umur, Keanekaragaman, Stenochlaeniidites papuanus
Vegetasi dan Iklim Purba Menurut Rahardjo et al (1994), umur
1. Penentuan Umur Pliosen ditandai dengan kehadiran
Penentuan umur berdasarkan Stenochlaena laurifolia (Stenochlaenidites
palinologi dilakukan berdasarkan Zonasi papuanus) dan Podocarpus imbricatus
Palinologi Pulau Jawa yang membagi sedangkan umur Plistosen ditandai
Zaman Tersier ke dalam 8 zona. Zonasi ini dengan melimpahnya Graminae yang
ditentukan berdasarkan first appearance berasosiasi dengan Podocarpus
datum FAD) atau last appearance datum imbricatus tanpa kehadiran Stenochlaena
(LAD) dari suatu takson indeks pada laurifolia (Stenochlaenidites papuanus).
masing-masing zona. Berdasarkan hasil pengamatan,
Pembagian delapan zona palinologi Stenochlaena laurifolia (Stenochlaenidites
Pulau Jawa menurut Rahardjo et al (1994) papuanus) ditemukan pada sampel batuan
yaitu: 1, 5, 7, 10, 11, 15, 18, 22, 23 dan
1. zona Proxaperpites operculatus. kemunculan terakhir pada sampel 25.
Zona ini berumur Eosen dan ditandai Spesies Podocarpus imbricatus ditemukan
oleh kisaran Proxaperpites pada sampel batuan 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10,
operculatus. 11, 12, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24 dan 25
2. zona Meyeripollis naharkotensis (Lampiran 5). Kehadiran Podocarpus
Zona ini berumur Oligosen dan imbricatus dan kemunculan Stenochlaena
ditandai kehadiran Meyeripollis laurifolia atau Stenochlaenidites papuanus
naharkotensis tanpa kehadiran sebagai fosil indeks penanda Pliosen dari
Proxaperpites operculatus. sampel 1 hingga sampel terakhir
3. zona Florschuetzia trilobata. menunjukkan bahwa sampel sedimen dari
Zona ini berumur Miosin dan ditandai Formasi Tapak yang diambil merupakan
oleh kepunahan Meyeripollis sedimen yang berumur Pliosen.
Keanekaragaman Purba Lakiapollis sp., dan Palaquium sp.,
dengan nilai kemerataan individu diatas
Berdasarkan data inventarisasi
68,87%.
palinomorf darat teridentifikasi 2 taksa
Kelompok V memiliki
hingga tingkat kelas, 16 taksa hingga
keanekaragaman taksa sebesar 15 taksa,
tingkat genus dan 3 taksa hingga tingkat
taksa yang tidak muncul adalah
spesies; sementara untuk palinomorf laut
Florshuetzia levipolii, Podocarpus
teridentifikasi 1 taksa hingga tingkat filum
imbricatus, Retitricolporites equa-torialis,
dan 1 taksa hingga tingkat ordo (Lampiran
Castanopsis sp. dan Elaeocarpus sp.,
7). Pengelompokan sampel berdasarkan
dengan nilai kemerataan individu diatas
keanekaragaman taksa yang terdapat
72,19%. Kelompok VI memiliki
pada sampel dapat dilihat dengan
keanekaragaman taksa sebesar 13 taksa,
menggunakan analisis Cluster.
yakni Foraminifera test-lining, Monoporites
Dengan indeks similiarits sebesar
sp., Laevigatosporites, Verrucatosporites,
90%, sampel terbagi ke dalam 6
Lycopodium sp., Acrostichum sp.,
kelompok. Kelompok I beranggotakan
Florshuetzia levipolii, Stenochlaenidites
sampel 15. Kelompok II beranggotakan
papuanus, Pinus sp., Podocarpus
sampel 2, 4, 7, 10, 11, 12, 16, 17, 19, 21,
imbricatus, Camptostemon sp., Pteris-type
22 dan 25. Kelompok III beranggotakan
dan Lakiapollis sp., dengan nilai
sampel 14 dan 24. Kelompok IV
kemerataan individu diatas 67,66%.
beranggotakan sampel 9 dan 23.
Keanekaragaman taksa tiap
Kelompok V beranggotakan sampel 3, 6,
kelompok sampel menandakan
8, 13 dan 18. Kelompok VI beranggotakan
persamaan ekologi pada tiap kelompok
sampel 1 dan 5 (Gambar 3).
sampel. Kesamaan ekologi dapat berupa
Keanekaragaman pada kelompok I
lingkungan, iklim, substrat tanah, dan
sebesar 11 taksa yakni Dinoflagellate cyst,
sebagainya yang mendorong
Foraminifera test-lining, Monoporites sp.,
pertumbuhan vegetasi yang sama. Dari
Laevigatosporites, Verrucatosporites,
hasil analisis statistik dapat disimpulkan
Acrostichum sp., Stenochlaenidites
bahwa Formasi Tapak Cekungan
papuanus, Camptostemon sp., Pteris-type,
Banyumas memiliki indeks
Lakiapollis sp., dan Castanopsis sp.,
keanekaragaman yang kecil yakni hanya
dengan nilai kemerataan individu sebesar
berkisar 1,476 – 1,959 namun
75,9%. Pada kelompok II
ekuitilibitas/kemerataan di atas 65%.
keanekaragaman taksa sebesar 16 taksa,
Menurut Suedy et al (2006), indeks
taksa yang tidak muncul adalah
keanekaragaman yang kecil ditunjukkan
Palaquium sp., Acacia sp., Retitricolporites
dengan hasil analisis statistik Shannon-
equatorialis,dan Castanopsis sp., dengan
Wienner H’ < 2.
nilai kemerataan individu diatas 67,15%.
Kelompok III memiliki
Penentuan Vegetasi Purba
keanekaragaman taksa sebesar 13 taksa
Data vegetasi disajikan dalam
yakni Dinoflagellate cyst, Foraminifera
bentuk diagram palinologi yang dibuat
test-lining, Monoporites sp.,
dengan menghitung presentasi masing-
Laevigatosporites, Verrucato-sporites,
masing taksa di tiap-tiap sampel. Taksa
Lycopodium sp., Acrostichum sp.,
kemudian dikelompokkan berdasarkan
Camptostemon sp., Podocarpus
jenis ekologinya. Haseldonckx (1974)
imbricatus, Pteris-type, Lakiapollis sp.,
membagi lingkungan pengendapan
Croton-type, dan Retitricolporites
berdasarkan penyebaran fosil polen dan
equatorialis, dengan nilai kemerataan
spora yaitu lingkungan pengendapan
individu diatas 67,17%. Kelompok IV
danau, rawa air tawar, darat terdiri dari
memiliki keanekaragaman taksa sebesar
hutan dataran rendah dan hutan dataran
12 taksa yakni Dinoflagellate cyst,
tinggi, riparian, mangrove belakang,
Foraminifera test-lining, Monoporites sp.,
mangrove, laguna, pantai, sub litoral dan
Laevigatosporites, Verrucato-sporites,
laut terbuka.
Lycopodium sp., Acrostichum sp., Pinus
Lingkungan pengendapan
sp., Podocarpus imbricatus, Pteris-type,
pengendapan laut ditandai dengan
hadirnya Dinoflagellata dan cangkang Lingkungan pengendapan daratan yang
mikroforam, lingkungan mangrove ditandai berupa hutan dataran rendah ditandai
dengan pengaruh pasang surut dan dengan kumpulan Dipterocarpaceae
substrat lumpur dan kumpulan Rhizophora bersama dengan Myrtaceae (Eugenia
sp. dan Avicennia sp. Lingkungan spp.), Calophyllum sp., Annonaceae,
mangrove belakang merupakan daerah di Euphorbiaceae, Flacourtiaceae,
belakang mangrove sejati yang ditandai Rubiaceae dan Calamus sp., sedangkan
dengan salinitas yang lebih rendah lingkungan hutan dataran tinggi
dengan kumpulan Sonneratia sp., didominasi oleh kumpulan Fagaceae
Brownlowia sp., Nypa sp., Acrosthicum sp. (Quercus sp., Lithocarpus sp.,
dan Oncosperma sp. Lingkungan riparian Castanopsis sp.) bersama dengan
ditandai dengan kumpulan Pandanus sp. Lauraceae, Dacrydium sp., Engelhardia
Baringtonia sp., Calophyllum sp., Gluta sp. dan Podocarpus sp.
sp., Dipterocarpaceae dan Calamus sp.

Gambar 1. Dendrogram hasil analisis Cluster Q-mode


Figure 1. A dendrogram resulted from Cluster Q-mode analysis
Taksa yang ditemukan pada sampel Taksa yang termasuk dalam
dikelompokkan kedalam 5 kelompok kelompok hutan dataran rendah adalah
ekologi: Monoporites sp., Lycopodium sp., Croton-
a. Marine type, Acacia sp., Retitricolporites
Taksa yang termasuk ke dalam equatorialis dan Elaeocarpus sp.
kelompok ekologi ini adalah Dinoflagellate e. Hutan Montana
cyst dan Foraminifera lining test. Taksa yang termasuk dalam
b. Mangrove kelompok Montane Forest adalah
Taksa yang termasuk ke dalam Laevigatosporites, Verrucatosporites, Pinus
kelompok mangrove adalah Camptostemon sp., Podocarpus imbricatus, dan
sp., Acrostichum sp., dan Florshuetzia Castanopsis sp.
levipolii. Pembuatan diagram AP/NAP/ Spora
c. Perairan tawar dengan terlebih dahulu mengelompokkan
Taksa yang termasuk ke dalam taksa sesuai dengan asal tumbuhan
kelompok ekologi ini adalah penghasilnya :
Stenochlaenidites papuanus, Pteris-type,
Lakiapollis sp, dan Palaquium sp. Arboreal Pollen
d. Hutan dataran rendah Taksa yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah Florshuetzia levipolii,
Stenochlaenidites papuanus, zona ini terjadi penyusutan vegetasi
Camptostemon sp., Pinus sp., Podocarpus mengrove dan freshwater. Taksa mangrove
imbricatus, Podocarpus imbricatus, Camptostemon sp. mengalami puncak
Podocarpus imbricatus, Lakiapollis sp, pada zona ini yakni sebesar 2,5% pada
Palaquium sp., Acacia sp., Retitricolporites sampel 13. Acrostichum sp. mengalami
equatorialis dan Elaeocarpus sp. penurunan bertahap mulai dari sampel 9
sebesar 6,9% hingga sampel 14 sebesar
Non Arboreal Pollen 0,6% dan mengalami peningkatan 7%
Taksa yang termasuk ke dalam menjadi 7,6% pada sampel 15. Sonneratia
kelompok ini adalah Monoporites sp. dan caseolaris bahkan tidak muncul pada zona
Croton-type. ini. Taksa penciri freshwater Pteris-type
Spora mengalami penurunan selama zona ini dari
Taksa yang termasuk ke dalam 4,5% pada sampel 10 menjadi 0,9% pada
kelompok ini adalah Lycopodium sp., sampel 13. Lakiapollis sp. mengalami
Pteris-type, Laevigatosporites, penurunan sebesar 0,3% pada sampel 10
Verrucatosporites, dan Acrostichum sp. dan tidak muncul hingga sampel 15 dengan
Berdasarkan analisis diagram persentase 0,9%. Vegetasi hutan dan
palinologi (Gambar 2) dapat ditentukan 3 semak cenderung stabil pada zona ini
zona lokal: (Gambar 2).
Zona kumpulan I Zona kumpulan III
Zona kumpulan I merupakan zona Zona kumpulan III merupakan zona
antara sampel 1-8. Secara umum, terjadi antara sampel 15-25. Terjadi penyusutan
penyusutan hutan dan semak pada zona vegetasi Lowland Forest. Persentase
ini. Hanya taksa vegetasi Montane Forest Graminae dan Lycopodium sp. cenderung
yang cenderung mengalami perkembangan menurun pada zona ini. Graminae
pada zona ini. Pinus sp. mengalami mengalami penurunan dari 42,3% pada
perkembangan dari 0,43% pada sampel 4 sampel 16 turun menjadi 19,1% pada
menjadi 0,68% pada sampel 8. Presentasi sampel 18, persentasenya kemudian
golongan fern Montane Forest meningkat sebanyak 8,5% pada sampel 19
(Verrucatosporites dan Laevigatosporites) dan kembali turun menjadi 12,5% pada
meningkat dari 5,8% dan 23,4% menjadi sampel 24. Persentase Lycopodium sp.
12,5% dan 37,6% pada sampel 6. Vegetasi turun dari 2,9% pada sampel 16 menjadi
Lowland Forest cenderung menurun 0,3% pada sampel 23 dan kembali naik
dengan presentasi yang lebih besar dari sebesar 4,1% pada sampel 25. Callofilum
Montane Forest. Ditandai dengan sp. mencapai puncaknya pada zona ini
penurunan Graminae dari 33,65% pada yakni sebesar 0,32% pada sampel 24.
sampel 1 menjadi 11,85% pada sampel ke Elaeocarpus sp. muncul pada zona ini
8 serta penurunan persentase Lycopodium pada sampel 17 dan 18 sebesar masing-
sp. sebesar 3% antara sampel 4 dan 8. masing 0,32% dan 0,3%. Kondisi vegetasi
Croton-type mengalami puncaknya pada Montane Forest cenderung stabil, hanya
zona ini yakni pada sampel 8 sebesar terdapat beberapa peningkatan seperti
1,4%. Vegetasi Freshwater seperti Pteris- Podocarpus imbricatus pada sampel 24
type dan Lakiapollis sp. mencapai (naik 3,5%), Verrucatosporites pada
puncaknya pada zona ini yakni pada sampel 20 (naik 2,5%) dan 25 (naik 3,5%).
sampel ke 3 dan ke 2 masing-masing S. lauriflora sebagai taksa penciri
sebesar 4,5% dan 1,3%. Vegetasi Freshwater mencapai puncak pada sampel
mangrove seperti Sonneratia caseolaris 18 yakni 1,3%. Vegetasi mangrove
dan Camptostemon sp. juga mengalami mengalami beberapa fluktuasi pada zona
penurunan sebesar 0,3% dan 0,4%, hanya ini. Peningkatan Acrostichum sp. pada
Acrostichum sp. yang cenderung stabil sampel 17, 19, dan 25 masing-masing
selama zona ini (Gambar 2). sebesar 2,9%, 3,7% dan 4% dari
sebelumnya. S. caseolaris muncul kembali
Zona kumpulan II pada sampel 25 dengan persentase
Zona kumpulan II merupakan zona sebesar 0,3%. Camptostemon sp. naik
antara sampel 8-15 Secara umum pada menjadi 2,3% pada sampel 18, kemudian
turun sebesar 2% pada sampel 21 dan naik sampel 4 ditandai dengan peningkatan
kembali menjadi 1,9% pada sampel 24 muka laut akibat pencairan es kutub dan
(Gambar 2). peningkatan humidity yang ditandai dengan
peningkatan persentase spora.
a. Zona iklim II
Penentuan Iklim Purba
Zona iklim II merupakan zona antara
Berdasarkan analisis diagram sampel 5-8. Pada sampel 6 persentase
AP/NAP/Spora dan PMI (Gambar 3) dapat NAP naik dari 27,27% menjadi 37,72%
ditentukan 6 zona iklim : (10,45%) diiringi dengan penurunan
a. Zona iklim I persentase spora sebesar 11,27% dan
Zona iklim I merupakan zona antara peningkatan PMI sebesar 31,59%
sampel 1-5. Pada awal zona persentase sementara persentase AP cenderung
NAP tinggi mencapai 44,68% jauh di atas stabil. Pada akhir zona persentase AP,
AP yang hanya 3,83%. Persentase NAP Spora dan PMI naik masing-masing
menurun seignifikan menjadi 29,95% pada sebesar 3,67%, 8,62%, dan 55,94%
sampel 3 sedangkan persentase AP sementara persentase NAP turun sebesar
cenderung stabil. Penurunan NAP diiringi 11% (Gambar 3). Ini mengindikasikan
dengan peningkatan persentase spora bahwa pada awal zona II iklim sedikit lebih
sebesar 11,9% dan tetap stabil hingga hangat dan kering dari sebelumnya
akhir zona, sementara PMI tetap stabil. ditandai dengan peningkatan PMI yang
PMI baru secara signifikan naik dari lebih tinggi dari NAP dan penurunan
28,85% menjadi 100,61% pada sampel 4 persentase Spora. Dan pada akhir zona
dan turun secara signifikan pada sampel 5 kondisi iklim jauh lebih hangat dan lebih
menjadi 15,05% (Gambar 3). Ini lembab ditandai dengan peningkatan PMI
menunjukan pada awal zona iklim yang secara signifikan dipertkuat dengan
berlangsung adalah iklim dingin dan kering peningkatan AP dan Spora serta
ditandai dengan tingginya persentase NAP penurunan NAP sebagai indikator iklim
bersamaan dengan persentase AP, Spora dingin.
dan PMI yang rendah, perubahan iklim
menjadi hangat dan lembab terjadi pada
Gambar 2. Diagram Palinologi untuk Cekungan Banyumas
Figure 2. Palinology diagram for Banyumas River Basin
b. Zona iklim III persentase NAP menurun sebesar 3,8%,
Zona iklim III merupakan zona sedangkan persentase Spora stabil
antara sampel 8-13. Pada sampel 10 (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa
persentase AP, Spora dan PMI turun pada awal zona iklim kembali mengalami
bersamaan masing-masing sebesar perubahan menjadi dingin dan kering
2,84%, 9,41% dan 70,41%, sementara ditandai dengan peningkatan NAP
persentase NAP naik sebesar 12,25%. bersamaan dengan penurunan AP, Spora
Pada pertengahan zona (10-12) dan PMI. Kemudian iklim berubah dari
persentase AP, NAP dan Spora dingin menjadi panas secara bertahap
cenderung stabil, hanya PMI yang pada pertengahan dan akhir zona, namun
mengalami peningkatan sebesar 12,65%. kelembabannya tetap stabil ditandai
Sementara pada akhir zona persentase dengan peningkatan PMI dan AP secara
AP dan PMI naik bersamaan masing- bertahap dan persentase Spora yang
masing sebesar 6,22% dan 26,27%, stabil hingga akhir zona.
c. Zona iklim IV bahwa iklim pada awal zona lebih lembab
Zona iklim IV merupakan zona namun tetap dingin, ditandai dengan
antara sampel 13-16. Pada sampel 13 peningkatan presentasi Spora dan
persentase PMI dan NAP meningkat penurunan PMI yang lebih besar dari
sebesar 13,28% dan 19,39%, sementara NAP. Pada pertengahan zona, iklim
persentase AP dan Spora menurun berubah menjadi hangat dan lembab,
sebesar 7% dan 13,38%. Kemudian ditandai dengan peningkatan persentase
terjadi penurunan persentase PMI dan Spora, AP, dan PMI bersamaan dengan
NAP sebesar 28,15% dan 17,35%, diiringi penurunan persentase NAP. Iklim pada
dengan kenaikan AP dan Spora sebesar akhir zona kembali menjadi dingin dan
2,9% dan 14,45% pada sampel 15. Pada kering, ditandai dengan peningkatan NAP
akhir zona PMI kembali turun sebesar sebagai penciri iklim dingin bersamaan
16,93%, persentase Spora juga menurun dengan penurunan Spora sebagai penciri
sebesar 21,78%, sementara AP kelembaban serta AP dan PMI sebagai
cenderung stabil dan NAP mengalami penciri iklim panas.
kenaikan sebesar 23,10% (Gambar 3). e. Zona iklim VI
Fluktuasi ini mengintrepetasikan iklim Zona iklim IV merupakan zona
pada awal zona kering dan sedikit lebih antara sampel 21-25. Pesentase PMI dan
dingin ditandai dengan penurunan NAP turun sebesar 6,2% dan 5,45% pada
persentase Spora dan AP dan juga awal zona sedangkan persentase AP
peningkatan NAP yang lebih besar dari cenderung stabil, sementara spora naik
PMI. Pada pertengahan zona iklim masih sebesar 5,74%. Pada sampel 23
tetap dingin dibandingkan dengan persentase PMI dan Spora naik sebesar
sebelumnya, namun kelembabannya 60,38% dan 70,03%, persentase AP stabil
meningkat ditandai dengan peningkatan dan NAP turun 9,14%. Kemudian pada
persentase Spora dan juga penurunan sampel 24 persentase PMI, Spora dan
PMI yang lebih besar dari NAP. NAP turun sebesar 33,46%, 4,17% dan
Sementara pada akhir zona iklim berubah 5,36% sementara persentase AP
menjadi jauh lebih dingin dan kering, meningkat sebesar 9,52%. Pada akhir
ditandai dengan penurunan persentase zona persentase NAP meningkat sebesar
Spora dan PMI yang cukup signifikan dan 10,28%, sementara persentase PMI, AP
peningkatan NAP yang besar. dan Spora menurun masing-masing
d. Zona iklim V 36,9%, 6,91%, dan 3,38% (Gambar 3).
Zona iklim IV merupakan zona Hal ini menunjukkan bahwa iklim pada
antara sampel 16-21. Persentase PMI awal zona menjadi lebih hangat dan lebih
dan NAP turun sebesar 15,82% dan lembab dari sebelumnya ditandai dengan
8,31% pada sampel 17 sementara turunnya persentase NAP dan naiknya
persentase AP stabil dan Spora naik persentase spora. Pada pertengahan
sebesar 8,65%. Persentase Spora zona iklim berubah menjadi hangat dan
kembali naik sebesar 15,53% pada lembab ditandai dengan naiknya
sampel 18, diiringi dengan kenaikan AP persentase PMI, AP dan Spora serta
dan PMI masing-masing sebesar 4,9% turunnya persentase NAP. Di akhir zona
dan 35,97% sementara persentase NAP iklim menjadi lebih dingin dan sedikit lebih
kembali turun sebesar 20,44%. Pada kering, ditandai dengan penurunan penciri
akhir zona persentase PMI, Spora dan AP iklim panas yakni persentase PMI dan AP
turun sebesar 14,42%, 7,04%, dan 3,3% serta naiknya penciri iklim dingin yaitu
sementara persentase NAP naik sebesar NAP, juga penurunan Spora yang
10,34% (Gambar 3). Ini menunjukkan menandai penurunan kelembaban.
Gambar 3. Diagram AP/NAP/Spora dan PMI
Figure 3. Diagram of AP/NAP/Spora dan PMI
Gambar 4. Dari kiri ke kanan baris 1: a) Dinoflagellate cyst, b) Foraminifera test-
lining, c. Monoporites sp., d. Laevigatosporites, e) Verrucatosporites, f).
Lycopodium sp., g) Acrostichum sp., h) Florshuetzia levipolii, i )
Stenochlaenidites papuanus, j) Camptostemon sp., k) Pinus sp., l).
Podocarpus imbricatus, m) Pteris-type, n) Lakiapollis sp., o) Croton-type,
p). Palaquium sp., q) Acacia sp., r) Retitricolporites equatorialis, s).
Castanopsis sp., t) Elaeocarpus sp.

Figure 4. From left, row 1: a) Dinoflagellate cyst, b) Foraminifera test-lining, c.


Monoporites sp., d. Laevigatosporites, e) Verrucatosporites, f).
Lycopodium sp., g) Acrostichum sp., h) Florshuetzia levipolii, i )
Stenochlaenidites papuanus, j) Camptostemon sp., k) Pinus sp., l).
Podocarpus imbricatus, m) Pteris-type, n) Lakiapollis sp., o) Croton-type,
p). Palaquium sp., q) Acacia sp.,r) Retitricolporites equatorialis, s).
Castanopsis sp., t) Elaeocarpus sp.
Simpulan Erdtman, G. 1943. An Introduction of
Pollen Analysis. Chronica Botanica
Berdasarkan hasil dan pembahasan, Company. Waltham, Mass., USA.
diambil kesimpulan antara lain:
1. Jenis tumbuhan yang ditemukan Haseldonckx, P. 1974. A Palynological
(palinomorf darat) teridentifikasi 2 Interpretation of Paleoenvironment
hingga tingkat kelas, 16 hingga tingkat on Southeast Asia. Sain
genus dan 3 hingga tingkat spesies Malaysiana.
dari sampel batuan tersingkap di Desa Hilman, A. 2010. Revisi Taksonomi Bloom.
Bungkanel Kabupaten Purbalingga Go Blog Indonesia.
yang terbukti berumur Pliosen ditandai http://www.hilman.web.id/ diakses
dengan kemunculan Podocarpus tanggal 20 Mei 2010.
imbricatus dan Stenochlaena laurifolia Huang, T. C. 1972. Pollen Flora of
(Stenochlaenidites papuanus). Taiwan. National Taiwan University
2. Kondisi vegetasi saat itu berfluktuasi Botany Departement Press.
yang terbagi ke dalam 3 zona lokal
perubahan vegetasi dan selama Hutamadi, R. dan Mulyana. 2006. Evaluasi
pembentukkan sedimennya dapat Sumber Daya dan Cadangan Bahan
dibagi menjadi 6 zona lokal perubahan Galian untuk Pertambangan Skala
iklim. Kecil di Banyumas. Proceeding
Pemaparan Hasil-Hasil Kegiatan
Saran Lapangan dan Non Lapangan. Pusat
Sumber Daya Geologi. Badan
Berdasarkan hasil penelitian, maka Geologi-Kementerian Energi dan
disarankan untuk dilakukan hal-hal Sumber Daya Mineral. 4.
sebagai berikut : Kapp, R. O. 1969. How to Know Pollen
1. Perlu dilakukan penelitian tentang and Spore. WMc. Brown Company
morfologi polen segar di lingkungan Publisher. Dubuque, Iowa.
yang sama sebagai pembanding fosil
polen yang telah ditemukan. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996.
2. Perlu dilakukan penelitian tentang Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan
vegetasi masa sekarang di lingkungan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta.
yang sama sebagai pembanding Marso, J. 2004. Strike And Dip.
vegetasi purba untuk memperoleh data http://www.geology110.com/ diakses
perubahan/perbedaan kondisi vegetasi tanggal 4 Juni 2010.
serta anggota vegetasinya. Moore, P. D. and Webb, J. A. 1978. An
3. Perlu dilakukan penelitian tentang iklim Illustrated Guide to Pollen Analysis.
masa sekarang di lingkungan yang Wiley, New York.
sama sebagai pembanding iklim purba Morley, R. J. 1998. Palinological
untuk memperoleh data evidence for tertiary plant dispersal
perubahan/perbedaan kondisi iklim. in SE Asian region in relation to plate
tectonics and climate. Biogeography
Daftar Referensi and Geological Evolution of SE Asia,
Abbas, M., S. Samiyarsih dan pp. 211-234. Backhuys Publish-ers,
Rochmatino. 2000. Kajian Morfologi Leiden.
pada Tumbuhan Mangrove di Nakamura, J. 1980. Diagnostic
Cilacap. Laporan Penelitian Characters of Pollen Grain of
Fakultas Biologi Unsoed, Japan. Part I. Special Publications
Purwokerto. from Osaka Museum of Natural
Bradley, R.S., 1999. "Paleoclimatology: History. Vol 13, Nagai Park, Osaka.
Reconstructing Climates of the Nasu, T and Ko Seto. 1986. Spore
Quaternary". Academic Press, San Morphology of Japanese
Diego. Pteridophites Part I. Special
Publications from Osaka Museum of
Natural History. Vol 16-17, Nagai
Park, Osaka.
Radford, A. E. 1986. Fundamentals of
Plant Systematics. Harper & Row,
New York, NY.
Rahardjo, A. T., Poulhaupessy, A. A.,
Wiyono, S., Nugraha-ningsih, L dan
Lelono, E. B. 1994. Zonasi Polen
Tersier Pulau Jawa. Proc, PIT XXIII
IAGI, Jakarta (I) : 77-87.
Raharto, I.T. 2008. Analisis Cluster.
Universitas Hasanuddin. Makas-sar.
Stuijts. I. L. M. 1993. Late Pleistocene
and Holocene Vegetation of West
Java. Modern Quarternary
Research in Southeast Asia. A. A.
Balkema, Roterdam.
Suedy, S.W.A., Soeprobowati, T.R.,
Rahardo, A.T., Maryunani, K.A.,
Setijadi, R. 2006. Keanekaragaman
Flora Hutan Mangrove di Pantai
Kaliuntu-Rembang Berdasarkan
Bukti Palinologinya. ISSN: 1412-
033X.
Taufiq. 2009. Pendahuluan Biostratigrafi.
Free Geology.
http://www.taufiqy.co.cc/ diakses
tanggal 20 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara (USU). 2010.


Taksonomi Tumbuhan Tingkat
Tinggi. Open Course Ware.
http://ocw.usu.ac.id/course/ diakses
tanggal 20 Mei 2010.
Wang, L., dkk. 2005. Palynological
Evidence for Late Miocene–Pliocene
Vegetation Evolution Recorded in
the Red Clay Sequence of the
Central Chinese Loess Plateau and
Implication for Palaeoenvironmental
Change. Paleogeography,
Paleoclimatology, Paleoecology.
Volume 241. Issue 1. Monsoon and
Tectonic. 118-128.

You might also like