You are on page 1of 12

M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ...

1-12 1
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Received: January 4, 2019; Reviewed: May 4, 2019; Accepted: May 14, 2019.
To cite this article: Shohibuddin, M 2019, ‘Memahami dan menanggulangi persoalan ketimpangan agraria (1)’,
Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 1-12.
DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.315
Copyright: ©2019 Mohamad Shohibuddin. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a Creative
Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

MEMAHAMI DAN MENANGGULANGI PERSOALAN


KETIMPANGAN AGRARIA (1)*
UNDERSTANDING AND OVERCOMING THE PROBLEM OF
AGRARIAN INEQUALITY (1)

Mohamad Shohibuddin
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB University)
Email: m-shohib@ipb.ac.id

Abstract: This article offers two contributions to literature on agrarian inequality in Indonesia, namely a
conceptual approach for understanding this phenomenon and its implication on policy formulation. The
f irst contribution includes a synthesis of some literature on various aspects of agrarian inequality. In addi-
tion, two types of agrarian inequality are distinguished according to its locus of existence, i.e. inequality of
distribution which refers to unequal land tenure among different classes within smallholding agricultural
sector, and inequality of allocation which refers to unequal allocation of land and other natural resources
between small (family) farms and large (corporate) enterprises. The second contribution is formulation of
a policy framework to resolve these two types of agrarian inequality. First of all, the politics of agrarian
resources allocation should be based on the principle of positive discrimination which favors smallholders’
interests. Furthermore, to ensure this principle comes into reality, f ive schemes of tenure reform have to
be fully integrated, namely: (re)distribution, registration, recognition, devolution and restitution. This
article divided into two parts. Part 1 will focus on the f irst contribution (conceptual approach); mean-
while, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.
Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.

Intisari: Dua kontribusi diajukan artikel ini pada kepustakaan mengenai ketimpangan agraria di Indone-
sia, yaitu pendekatan konseptual untuk memahami gejala ketimpangan agraria ini dan implikasinya pada
penyusunan kebijakan. Kontribusi pertama mencakup sintesis atas sejumlah literatur mengenai berbagai
aspek ketimpangan agraria. Selain itu, dua jenis ketimpangan agraria juga dibedakan berdasarkan locus
keberadaannya, yaitu ketimpangan distribusi yang berarti kesenjangan penguasaan tanah di antara berbagai
kelas dalam sektor pertanian rakyat, dan ketimpangan alokasi yang berarti kesenjangan peruntukan tanah
dan sumber daya alam lain antara usaha tani skala kecil (keluarga) dengan usaha skala besar (korporasi).
Kontribusi yang kedua adalah formulasi suatu kerangka kebijakan untuk menanggulangi dua jenis
ketimpangan agraria di atas. Pertama-tama, politik alokasi sumber-sumber agraria harus didasarkan pada
prinsip diskriminasi positif yang memihak kepentingan produsen kecil. Lalu, agar prinsip ini bisa terwujud
di dunia nyata, lima skema pembaruan tenurial berikut ini mesti diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu:
(re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi dan restitusi. Artikel ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian 1
akan membahas kontribusi yang pertama (pendekatan konseptual), sementara kontribusi yang kedua
(formulasi kebijakan) akan dielaborasi lebih lanjut pada Bagian 2.
Kata Kunci: ketimpangan agraria, land reform, politik alokasi sumber-sumber agraria, Indonesia.

* Karena keterbatasan ruang, redaksi akan menerbitkan artikel ini dalam dua edisi, Mei dan November 2019 (red.).
2 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

A. Pendahuluan Besarnya peran faktor sumber daya alam terha-


Salah satu ironi terbesar pasca tumbangnya rezim dap ketimpangan di tingkat nasional ini pernah
otoriter Orde Baru adalah realitas berikut ini: ditengarai oleh Joyo Winoto sewaktu menjabat
demokratisasi politik yang diperjuangkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (2005-2012).
gerakan reformasi justru mengantarkan bangsa In- Menurutnya, kurang lebih 56% aset nasional yang
donesia pada kesenjangan sosial-ekonomi yang terkait tanah, sebagian besar dalam bentuk perke-
semakin tajam. Memang, banyak kemajuan di bidang bunan, dikuasai oleh hanya sekitar 0,2% populasi
politik yang berhasil diwujudkan oleh gerakan ini, Indonesia (Winoto 2007). Angka ketimpangan ini
seperti pelaksanaan otonomi daerah, pembaharuan ternyata nyaris identik dengan proporsi simpanan
sistem pemilu, reformasi sektor pertahanan dan uang di lembaga perbankan nasional. Berdasarkan
keamanan, dan sebagainya. Namun, alih-alih data Lembaga Penjamin Nasabah (per Oktober
mengantarkan pada tatanan demokrasi ekonomi 2017), sebanyak 56,87% dari total aset keuangan
yang kuat, semua kemajuan di bidang politik ini justru di bank-bank nasional ternyata dikuasai oleh hanya
berkontribusi pada fenomena konsolidasi kekuatan 0,11% pemilik “rekening gendut” di atas Rp 2 miliar.
oligarki serta akumulasi kekayaan pada segelintir elite. Kenyataan di atas mengisyaratkan bahwa aku-
Dengan kata lain, gerakan reformasi politik justru mulasi kekayaan pada segelintir orang kaya selama
turut menambah parah kondisi ketimpangan yang dua dasawarsa terakhir besar kemungkinan terkait
sudah ada di antara masyarakat. dengan sektor sumber daya alam. Atau tegasnya,
Banyak studi telah mengupas fenomena pena- sebagian besar kekayaan tersebut sangat boleh jadi
jaman ketimpangan kesejahteraan di era reformasi berasal dari ekstraksi berbagai kekayaan alam yang
ini. Namun, kebanyakan studi-studi itu berkutat terkandung di dalam perut bumi dan perairan In-
pada isu kesenjangan ekonomi yang diperhitungkan donesia, seperti batu bara, komoditas perkebunan,
terutama atas dasar ukuran pengeluaran (Bank kayu dan hasil hutan lainnya, minyak dan gas, dan
Dunia 2016, Suryadarma et al. 2005) atau ukuran sebagainya.
pendapatan (Megawati Institute 2017, Wicaksono Dengan demikian, hampir mustahil bisa mema-
et al. 2017). Sementara, isu kesenjangan yang ditin- hami kondisi ketimpangan di Indonesia tanpa
jau dari dimensi agraria cenderung absen dalam mengaitkannya dengan ketimpangan di bidang
berbagai studi ketimpangan tersebut.1 agraria. Artikel ini, karena itu, disusun untuk mene-
Kecenderungan “buta agraria” dalam berbagai kankan aspek keagrariaan ini, dan dengan begitu
studi ketimpangan di atas sebenarnya cukup meng- akan menutupi sebagian “blind spot” dalam studi
herankan. Sebab, bagi Indonesia yang perekono- ketimpangan di Indonesia di era reformasi.3 Untuk
miannya masih berciri ekstraktif, faktor sumber daya konteks Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya
alam memiliki peranan yang menentukan. Bukan saja masih sangat mengandalkan sektor sumber daya
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan tetapi
juga dalam akumulasi kemakmuran di antara berdasarkan data Sensus Pertanian. Studi-studi lain di era
segelintir elite ekonomi atau, sebaliknya, dalam reformasi yang mengangkat isu ketimpangan agraria pada
produksi kemiskinan pada mayoritas penduduk.2 umumnya adalah studi kasus pada aras mikro, misalnya
saja Sirait (2017) dan Fadjar (2009). Meski demikian, di
level nasional isu ketimpangan agraria terus disuarakan
1
Bahkan isu agraria ini juga sama sekali absen dalam oleh gerakan masyarakat sipil dari waktu ke waktu dalam
studi Prakarsa (2019) mengenai indeks kemiskinan yang berbagai pernyataan pers, kampanye dan advokasi yang
diklaim bersifat multi-dimensi. Dalam studi ini, indeks mereka lakukan.
3
kemiskinan diukur berdasarkan tiga kelompok indikator, Menurut White (2005), kelangkaan studi ketimpangan
yaitu kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Anehnya, agraria ini tidak muncul belakangan ini saja, melainkan sudah
di sini isu agraria tidak dipertimbangkan sebagai salah satu berlangsung sejak awal kelahiran rezim Orde Baru. Secara
indikator yang turut menentukan indeks kemiskinan. historis, hal ini berkaitan erat dengan sejarah pemberangusan
2
Sedikit pengecualian dari kecenderungan ini adalah gerakan kaum tani dan studi kritis agraria di Indonesia pasca
karya bersama Bachriadi dan Wiradi (2011) yang membahas tragedi nasional pada pertengahan 1965, yakni apa yang
ketimpangan penguasaan tanah pertanian selama 1963-2003 dijuluki oleh rezim Orde Baru sebagai “Gerakan 30 S/PKI”.
M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12 3
alam, penekanan semacam ini tidak dapat dihin- digunakan serta bagaimana kekayaan alamnya
darkan. Secara sosiologis, penekanan semacam ini dimanfaatkan dan dieksploitasi, tidak akan pernah
juga mendesak di tengah berbagai konflik hori- bersifat netral. Sebaliknya, kesemua relasi itu selalu
zontal dan vertikal di tanah air. Pada umumnya, mengandung kompetisi dan kontestasi. Dan
konflik-konflik itu terkonsentrasi di daerah-daerah mengingat posisi kekuasaan dari pihak-pihak yang
dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang menco- terlibat tidak pernah setara, maka keberadaan
lok. Yang terakhir ini terutama berkisar di seputar berbagai bentuk dominasi dan ketimpangan dalam
penguasaan dan kontrol atas sumber-sumber kesemua relasi di atas merupakan sesuatu yang
agraria serta pembagian manfaat dari eksploitasi tidak dapat dihindarkan (Shohibuddin 2018, 18).
kekayaan alamnya (Shohibuddin 2018). Dengan karakteristik demikian, tidak heran apa-
Untuk mengungkap kondisi ketimpangan bila ketimpangan agraria mendapatkan tinjauan
agraria dan kebijakan penanganannya, beberapa yang berlainan. Konsekuensinya, rumusan konsep
pertanyaan pokok di bawah ini akan dikaji secara ini pun amat bernuansa sesuai aspek yang diton-
mendalam dalam artikel ini. jolkan. Wiradi misalnya, memaknai konsep ini
1. Sejauh isu agraria menjadi fokus kajian ketim- untuk mengacu empat aspek sebagai berikut:
pangan, apa sajakah dimensi dan tipe ketim- 1. Ketimpangan dalam penguasaan sumber-
pangan yang harus diidentif ikasi? sumber agraria;
2. Respons kebijakan apakah yang sudah diupa- 2. Ketimpangan dalam peruntukan sumber-
yakan oleh pemerintah dan bagaimanakah sumber agraria;
capaiannya? 3. Ketidakserasian antara hukum negara dan
3. Bagaimanakah prof il ketimpangan agraria di hukum adat dalam persepsi dan konsepsi
Indonesia selama era reformasi, dan pem- mengenai agraria; dan
baruan tenurial apakah yang harus dilakukan 4. Ketidakserasian di antara berbagai produk
untuk mengoreksi kondisi ini? hukum negara sendiri sebagai konsekuensi
Dalam membahas ketiga pertanyaan di atas, dari pragmatisme dan kebijakan sektoral
artikel ini menerapkan library research, yaitu satu (Wiradi 2009, 3).
jenis penelitian yang mendasarkan analisisnya pada Dua poin pertama dari Wiradi patut dibedah
studi-studi terdahulu dan dokumen-dokumen yang secara khusus karena keduanya menyangkut
dipandang relevan, seperti undang-undang, kebi- ketimpangan dalam bagaimana sumber agraria
jakan, data statistik, dan sebagainya. Semua bahan tertentu dimiliki, dikuasai, dan digunakan. Ketim-
pustaka ini, setelah diolah dan dikategorisasi, lantas pangan agraria yang pertama diartikan Wiradi
dianalisis secara kritis sesuai konteks ketimpangan sebagai ketimpangan dalam “struktur penguasaan
agraria yang berlangsung di Indonesia. sumber-sumber agraria”. Adapun “struktur pengu-
asaan” itu sendiri menurut Wiradi adalah susunan
B. Berbagai Aspek Ketimpangan Agraria sebaran atau distribusi mengenai tiga hal berikut
Ketimpangan pada dasarnya adalah suatu atri- ini: (a) pemilikan atau penguasaan secara formal
but yang akan selalu hadir pada kesemua relasi sosio- atas sumber agraria tertentu; (2) penguasaan efektif
agraria, yaitu relasi antar-pihak di seputar aktivitas dalam arti penguasaan garapan atau operasional
kerja (produksi) atas sumber-sumber agraria.4 Hal atas sumber agraria tertentu; dan (3) alokasi sum-
ini karena semua jenis relasi yang terkait dengan ber-sumber agraria (Wiradi 2009, 9).
bagaimana suatu sumber agraria dikuasai dan Adapun ketimpangan agraria yang kedua diar-
tikan Wiradi sebagai ketimpangan yang “terkait
erat dengan soal penggunaan tanah atau tata guna
4
Yang dimaksud dengan sumber-sumber agraria tanah”. Apa yang dipedulikan Wiradi di sini adalah
(SSA) adalah bumi, air, dan ruang angkasa yang di dalam- ketimpangan terkait alih fungsi tanah, terutama
nya tercakup tanah, air, tubuh bumi dan perairan beserta
kekayaan alam yang dikandungnya.
konversi dari tanah pertanian ke non-pertanian.
4 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Menurutnya, pembangunan yang bersifat sektoral yang selalu hadir dalam semua jenis relasi sosio-
merupakan penyebab utama dari alih fungsi tanah agraria. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
pertanian yang terjadi sangat pesat ini (Wiradi keempat persoalan ini pada dasarnya mencermin-
2009, 25). kan beragam dimensi dari ketimpangan agraria itu
Agak berbeda dari rumusan Wiradi di atas, sendiri. Atas dasar ini, maka tidaklah berlebihan
penulis mengajukan pemaknaan lain atas ketim- apabila keempatnya dikonseptualisasi ulang men-
pangan agraria ini. Dengan menginsyaf i bahwa jadi empat aspek ketimpangan agraria sebagai
kompetisi, kontestasi, bahkan dominasi selalu berikut:
berlangsung di antara berbagai pihak pada setiap a. Ketimpangan dalam kepastian atas pengu-
relasi sosial di seputar sumber-sumber agraria, asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria;
maka ada empat dampak persoalan agraria yang b. Ketimpangan dalam penguasaan dan pemi-
penulis cermati selalu muncul dari dinamika ter- likan sumber-sumber agraria;
sebut, yaitu: c. Ketimpangan dalam hubungan produksi dan
1. Ketidakpastian (insecurity) dalam pengu- distribusi surplus; dan
asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria; d. Ketimpangan dalam alokasi dan pendaya-
2. Ketimpangan (inequality) dalam penguasaan gunaan ruang serta sumber-sumber agraria.
dan pemilikan sumber-sumber agraria; Jika dua konsepsi ketimpangan agraria dari
3. Ketidakadilan (unfairness) dalam hubungan Wiradi dan Shohibuddin di atas disandingkan satu
produksi dan distribusi surplus; sama lain, maka akan diperoleh sebuah perban-
4. Ketidakpastian, ketimpangan dan juga keti- dingan sebagai berikut:
daksesuaian dalam alokasi ruang maupun
pendayagunaan sumber-sumber agraria Tabel 1. Dua Konsepsi Ketimpangan Agraria
(Shohibuddin 2018, 20–21). Empat Kategori Rekonseptualisasi atas Empat
Ketimpangan Agraria Kategori Ketimpangan Agraria
Keempat persoalan ini tidaklah terisolasi satu Menurut Wiradi (2009) Menurut Shohibuddin (2018)
sama lain, melainkan berkaitan erat dalam hu- Kategori (1): Kategori (b):
Ketimpangan dalam pengua- Ketimpangan dalam penguasaan&
bungan yang saling mempengaruhi secara timbal saan sumber-sumber agraria pemilikan sumber-sumber agraria
balik. Hal ini digambarkan dalam bagan sebagai Salah satu bagian Kategori (d):
Kategori (2):
Ketimpangan dalam alokasi dan
Ketimpangan dalam peruntuk-
berikut (Shohibuddin 2018, 23): an sumber-sumber agraria
pendayagunaan ruang atau sum-
ber-sumber agraria
Kategori (3): Salah satu penyebab Kategori (a):
Ketidakserasian antara hukum Ketimpangan dalam kepastianatas
negara dan hukum adat dalam penguasaan dan pemilikan sum-
persepsi/konsepsi agraria ber-sumber agraria
Kategori (4):
Salah satu penyebab Kategori (a),
Ketidakserasian di antara ber-
Kategori (b) dan Kategori (d)
bagai produk hukum negara
Kategori (c):
Tidak Ada Ketimpangan dalam relasi
produksi dan distribusi surplus

Berdasarkan tabel di atas, beberapa butir kesim-


pulan berikut dapat dirumuskan. Pertama, terdapat
satu kategori ketimpangan agraria yang persis
berpadanan dalam kedua rumusan di atas, yakni
kategori (1) dan (b). Kedua, terdapat kategori
ketimpangan agraria yang mengandung sebagian
pengertian dari kategori pasangannya, yakni
Gambar 1. Empat Kategori Ketimpangan Agraria.
kategori (2) bagi kategori (d). Ketiga, terdapat
Seperti telah disampaikan di atas, empat perso- kategori yang menjadi penyebab bagi satu atau
alan agraria ini mengemuka sebagai akibat dina- lebih kategori pasangannya, yakni kategori (3) bagi
mika kompetisi, kontestasi dan bahkan dominasi kategori (a) serta kategori (4) bagi kategori (a),
M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12 5
(b) dan (d). Keempat, terdapat kategori yang dijum- sektor usahatani rakyat. Kedua, ketimpangan antar-
pai dalam satu rumusan tanpa ada padanannya, sektor dalam alokasi sumber-sumber agraria, yakni
yakni kategori (c). Walhasil, alih-alih berlawanan, antara yang ditujukan untuk usahatani rakyat
dua rumusan di atas sebenarnya saling melengkapi dengan untuk berbagai usaha korporasi. Ketim-
satu sama lain. pangan yang pertama dapat disebut sebagai ketim-
Untuk memotret ketimpangan agraria secara pangan distribusi, sementara yang kedua ketim-
utuh, semua kategori dalam Tabel 1 di atas idealnya pangan alokasi.6
dapat digali secara komprehensif. Namun, hal ini Pentingnya pembedaan dua jenis ketimpangan
secara praktis hanya dapat diupayakan pada unit di atas didasarkan pada dua kebutuhan berikut ini.
sosial dan kewilayahan yang kecil, misalnya desa. Pertama adalah kebutuhan diagnosis untuk menge-
Upaya semacam ini pernah dilakukan di era 1960- nali secara lebih akurat kondisi ketimpangan dalam
an melalui inventarisasi penguasaan tanah dan relasi penguasaan sumber-sumber agraria. Kedua adalah
produksi di tiap-tiap desa dalam rangka pelaksana- kebutuhan preskriptif untuk menentukan “resep”
an land reform dan perjanjian bagi hasil. Sayangnya, kebijakan apa yang paling tepat dalam menangani
metode inventarisasi semacam ini sulit dilakukan kondisi ketimpangan yang telah didiagnosis itu.
untuk analisis ketimpangan pada level supra-desa, Terkait kebutuhan diagnosis, penting dicatat
apalagi hingga level provinsi atau nasional. Hal ini bahwa ketimpangan penguasaan sumber-sumber
karena perwujudan berbagai kategori ketimpangan agraria terutama dipicu oleh ekspansi kapitalisme,
di atas amat bervariasi antar-lokasi sehingga sulit baik yang berlangsung “dari bawah” atau “dari atas”.
diagregasikan pada tingkatan di atas desa. “Ekspansi dari bawah” berarti perluasan kapitalis-
Karena itu, untuk memotret ketimpangan agra- me sebagai konsekuensi dari dinamika kompetisi,
ria di aras makro, mau tidak mau harus dipilih kontestasi dan dominasi yang mewarnai relasi sosio-
satu atau dua kategori ketimpangan yang memung- agraria di antara penduduk desa sendiri. Sedangkan
kinkan agregasinya pada berbagai level di atas desa. “ekspansi dari atas” berarti perkembangan kapi-
Untuk tujuan ini, dimensi ketimpangan agraria talisme yang terjadi berkat dukungan negara kepa-
yang biasa dipilih adalah yang terkait dengan pengu- da korporasi, terutama melalui pemberian lahan
asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria. Ini dan beragam insentif terkait.
adalah dimensi yang tercakup dalam kategori (1) Pada dasarnya, perluasan kapitalisme dari ba-
dalam pandangan Wiradi atau kategori (b) menu- wah berlangsung melalui mekanisme yang disebut
rut Shohibuddin. Memang, inilah dimensi yang “diferensiasi agraria”. White (1989) menjelaskan
paling sering menjadi fokus kajian karena signifi- istilah ini sebagai:
kansinya bagi program land reform.5
“… proses-proses perubahan yang kumulatif dan
permanen (…) dalam cara-cara di mana berbagai
C. Dua Tipe Ketimpangan Penguasaan
kelompok yang berlainan di dalam masyarakat
Sumber-Agraria
Berbicara mengenai ketimpangan agraria dari 6
Dua jenis ketimpangan tersebut sebenarnya sama-
segi penguasaan sumber-sumber agraria, dua tipe sama menyangkut ketimpangan dalam susunan sebaran
ketimpangan berikut ini penting dibedakan demi (distribusi) penguasaan, hanya saja yang pertama terjadi
di antara sesama petani kecil (skala rumah tangga), semen-
mempertajam analisis. Pertama, ketimpangan tara yang kedua terjadi antara petani kecil ini dengan kor-
antar-kelas dalam penguasaan lahan pertanian di porasi. Karena itu, penulis semula hendak menyebut yang
pertama “ketimpangan horizontal”, sementara yang ter-
5
Dimensi inilah yang selalu ditanyakan pada Sensus akhir “ketimpangan vertikal”. Namun, karena istilah “ketim-
Pertanian yang diadakan tiap sepuluh tahun sekali sejak pangan horizontal” telah lama dipakai para ahli studi kon-
1963. Anehnya, ketimpangan dalam relasi produksi dan flik untuk merujuk pengertian yang jauh berbeda (yakni,
distribusi surplus—kategori (c) menurut Shohibuddin— “inequalities between culturally formed groups”—lihat
jarang sekali dikaji, padahal dimensi ini sangat relevan Stewart 2002), maka penulis memutuskan untuk meng-
untuk pelaksanaan UU Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2 gunakan dua istilah di atas—sampai ditemukan istilah lain
Tahun 1960). yang lebih tepat.
6 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan “Introduksi tanaman komersial di wilayah per-


akses atas hasil jerih payah kerjanya sendiri atau bukitan suku Lauje [di Sulawesi Tengah] telah
kerja orang lain sesuai penguasaan mereka yang menghentikan siklus ladang berpindah. Pohon
berbeda-beda atas sumber-sumber produksi, kakao mulai ditanam bersama jagung di ladang
dan sering kali … menurut ketimpangan yang dan terus diulang di tahun-tahun berikutnya
kian meningkat dalam hal akses atas tanah.” sampai tak ada lahan yang tersisa untuk ditana-
(White 1989, 20). mi jagung. Seiring transformasi lanskap ini,
terjadi pula transformasi sosial yang terjadi
Demikianlah, perbedaan penguasaan warga
dalam tiga tahap: pengaplingan atau enclosure,
desa atas sumber-sumber produksi di pedesaan komoditisasi, dan akumulasi yang tak tuntas
(seperti tanah, sumber air, dan semacamnya) telah atas tanah hingga pada satu titik di mana
melahirkan perbedaan kuasa di antara mereka banyak petani Lauje kini secara efektif telah
sendiri dalam mengekstrak surplus produksi dan menjadi petani yang tidak lagi memiliki tanah.”
dalam mengakumulasi kekayaan lebih banyak lagi. (Li 2002, 422–23).
Hal ini pada gilirannya melahirkan kelas-kelas Untuk memahami dinamika ketimpangan
sosial-ekonomi dan sekaligus penajaman ketim- agraria di antara sesama petani inilah maka “ketim-
pangan agraria di pedesaan (Shohibuddin dan pangan distribusi” menjadi penting untuk dijadikan
Soetarto 2010). sebagai sebuah kategori tersendiri. Melalui kategori
Pemicu ekspansi kapitalisme dari bawah ini, ini, perhatian dapat difokuskan pada proses pem-
secara historis, berbeda-beda dari satu tempat ke bentukan ketimpangan penguasaan tanah yang
tempat lainnya. Di kantong-kantong produksi berlangsung di internal sektor pertanian rakyat
pangan, ekspansi semacam ini lahir dari dorongan sendiri sebagai dampak dari ekspansi kapitalisme
intensifikasi pertanian pangan yang semakin pesat dari bawah.
seiring pelaksanaan Revolusi Hijau. Seperti Dalam kasus ekspansi kapitalisme dari atas,
ditunjukkan sejumlah kajian, kebijakan intensi- kategori ketimpangan yang berbeda dibutuhkan
fikasi ini telah melahirkan pemusatan penguasaan untuk memahami pembentukan ketimpangan
tanah pertanian, kenaikan tingkat ketunakismaan agraria pada tataran yang sama sekali berlainan,
di pedesaan, peningkatan akses petani bertanah yakni ketimpangan yang justru diciptakan oleh
luas terhadap sumber pendapatan non-pertanian, politik alokasi negara. Di sini apa yang menjadi
dan prevalensi kemiskinan di antara petani gurem faktor penentu bagi ekspansi kapitalisme adalah
dan buruh tani.7 peranan negara dalam menetapkan peruntukan
Sementara di lahan kering dataran tinggi, sumber-sumber agraria dan pihak-pihak yang men-
ekspansi kapitalisme dari bawah ini terutama jadi penerimanya.
dipicu oleh introduksi dan perluasan tanaman Faktor peran negara dalam ekspansi kapitalisme
tahunan untuk pasar dunia (crops boom) yang dari atas inilah yang sering diistilahkan sebagai
menggusur berbagai tanaman lokal. Mengutip studi “politik konsesi agraria”. Dalam artikel Fauzi (2003)
Li (2002), diferensiasi agraria di lahan kering yang membahas konflik tenurial, politik konsesi
dataran tinggi ini berlangsung dalam tiga tahap, ini juga dinyatakan sebagai sumber konflik agararia
yaitu: privatisasi, komodifikasi, dan akumulasi. yang terjadi melalui mekanisme berikut:

“Pada dasarnya, penyebab utama dari konflik


tenurial bersumber dari adanya dominasi suatu
sistem penguasaan yang datang atau berasal
dari hukum negara, yang secara sepihak mem-
berikan layanan begitu besar kepada pemilik-
7
Lihat buku suntingan Shohibuddin (2009) yang pemilik modal untuk mengembangkan usaha-
memuat sejumlah kajian empiris mengenai dampak nya dalam mengelola tanah dan kekayaan alam
kebijakan Revolusi Hijau ini pada perubahan penguasaan lain, termasuk hasil-hasil hutan. Sementara itu
tanah dan hubungan kelembagaan di sejumlah desa di
hak-hak masyarakat setempat yang telah hidup
Jawa dan Sulawesi.
M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12 7
dan mengembangkan suatu sistem tersendiri D. Respons Kebijakan dan
untuk mengelola tanah dan kekayaan alam lain
Kemandegannya
tersebut diabaikan dan dilanggar dengan begitu
saja.” (Fauzi 2003, 53). Seperti terlihat dari pemaparan di atas, ketim-
pangan agraria memiliki dimensi dan corak yang
Dalam kaitan ini, perumusan “ketimpangan alo-
sangat beragam. Pemilahan atas “ketimpangan
kasi” sangat berguna sebagai kategori konseptual
distribusi” dan “ketimpangan alokasi” menjadi
untuk menguak peruntukan sumber-sumber
urgen di sini. Bukan saja untuk mengenali corak
agraria di Indonesia yang amat memihak kepen-
ketimpangan agraria apa yang sedang dihadapi,
tingan korporasi ketimbang petani kecil dan komu-
akan tetapi juga untuk menentukan “resep” kebi-
nitas adat di pedesaan. Perlakuan istimewa untuk
jakan apa yang paling tepat sesuai hasil identif ikasi
korporasi ini bahkan tidak sebatas dalam penye-
yang dilakukan.
diaan tanah belaka, namun sering kali juga disertai
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, para pe-
penyediaan berbagai paket insentif lain seperti
mimpin bangsa sebenarnya sudah memiliki kesa-
kemudahan perijinan, potongan pajak, pemberian
daran yang kuat atas dua jenis ketimpangan agraria
subsidi, dan lain sebagainya.
di atas. Kesadaran ini tentulah tidak terlepas dari
Di bawah rezim reformasi, ada empat jenis kon-
pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri yang
sesi agraria yang menjadi situs-situs utama terja-
hidup di bawah “penindasan agraria” yang multi-
dinya konflik dan ketimpangan agraria yang berdi-
dimensi di masa pra-kemerdekaan. Sebagian dari
mensi vertikal. Empat jenis konsesi agraria itu
bentuk penindasan agraria itu, seperti disajikan
adalah: konsesi hutan produksi, konsesi restorasi
dalam Tabel 2 di bawah, berwatak kolonial, seba-
ekosistem, konsesi perkebunan (terutama kelapa
gian berwatak feudal, dan sebagian lagi kombinasi
sawit), dan konsesi pertambangan (Siscawati dan
di antara keduanya.
Rachman 2014, 14–19).
Secara legal-formal, politik konsesi agraria
Tabel 2. Konteks Ketimpangan Agraria Selama
terjadi berkat keputusan pemberian ijin/hak/lisensi
Periode Kolonial
kepada badan-badan usaha skala besar yang
diterbitkan oleh pemegang otoritas sektor kehu- Faktor Ragam Perwujudan
Penentu Ketimpangan Agraria
tanan, perkebunan, dan pertambangan di tingkat Peningkatan ketimpangan penguasaan tanah
Ekspansi
pusat, maupun para gubernur, bupati dan wali kota dan ketunakismaan di antara penduduk desa,
kapitalisme
terutamadi Jawa. (Misal:hasil kajianMindere
di tingkat daerah. Melalui keputusan tersebut, maka dari bawah
Welvaart Comissie, 1902-1914.)
tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola di Ekspansi · Erfpacht · Penyewaan lahansekaligus
kapitalisme · Tanah penyediaan buruh murah
bawah penguasaan rakyat dijadikan konsesi-kon- dari atas partikelir oleh kerajaankepada
sesi agraria yang beroperasi dalam bidang ekstraksi, perkebunan besar(terutama
· Desa di Sumatera Timurdan Jawa
produksi, maupun konservasi berbasis sumber daya bagian tengah)
Warisan perdikan
alam (Rachman 2013, 2). feodalisme · Daerah · Perkebunan- perkebunan
besar milik kerajaan atau
Demikianlah, kategori “ketimpangan alokasi” swapraja
bangsawan pribumi
ini telah menyediakan perangkat konseptual untuk
memahami produksi konflik dan ketimpangan Konteks ketimpangan agraria di atas masih
agraria akibat politik konsesi agraria yang dilakukan sangat kuat mewarnai bangsa Indonesia di awal
negara. Melalui perangkat konseptual ini bisa kemerdekaannya. Tidak heran jika masalah ini
ditelusuri praktik pengadaan tanah skala luas oleh segera menjadi fokus perhatian para tokoh bangsa.
berbagai badan pemerintah dan penyediaannya Sebagai misal, dalam pidatonya pada 3 Februari
untuk aneka jenis konsesi agraria dalam rangka 1946, Wakil Presiden M. Hatta telah menyajikan
menopang sistem produksi dan konsumsi di ting- visi umum bagi kebijakan agraria yang hendak
kat global. dijalankan. Pidato ini diringkas Wiradi (2009, 113–
14) sebagai berikut.
8 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Ekonomi Indonesia di Masa Depan


(Ringkasan Pidato Wakil Presiden M. Hatta, 3 Februari 1946)

1. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan
memeras hidup orang banyak.
2. Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang di mana terdapat jumlah penggarap
yang besar, adalah bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil.
3. Perusahaan yang menggunakan tanah luas, sebaiknya diatur sebagai koperasi di
bawah pengawasan pemerintah.
4. Menurut hukum adat Indonesia, tanah itu pada dasarnya adalah milik masyarakat.
Orang berhak menggunakannya, sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya, tapi
dia tidak boleh menjualnya…
5. Tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan besar, pada dasarnya adalah
milik masyarakat. Kalau pengusahaan perkebunan itu dalam bentuk koperasi, maka
koperasi itu boleh menggunakan tanah itu selama diperlukan olehnya, tapi tidak
boleh memindahkan hak berusaha itu.
6. Perusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas, dan dapat dikerjakan sendiri, boleh
menjadi kepunyaan orang seorang. Jika orang yang bersangkutan menggabungkan
diri ke dalam koperasi, maka tanah milik yang dibawanya tidak diusik.
7. Tanah di luar tanah kediaman, hanya boleh dipandang sebagai faktor produksi saja,
dan tidak menjadi “obyek perniagaan” yang diperjualbelikan semata mata untuk
mencari keuntungan.

Sejalan dengan pidato Bung Hatta di atas, 86, pemerintah secara resmi mengambil alih peru-
beberapa langkah pendahuluan telah dilaksanakan sahaan milik Belanda, termasuk yang bergerak di
oleh pemerintah untuk merespons beragam bidang perkebunan. Hal ini dilakukan melalui
konteks ketimpangan agraria yang dihadapi di kebijakan nasionalisasi yang di dalamnya menca-
awal era kemerdekaan (Wiradi 2009, 115–16). kup pula ketentuan mengenai pemberian kompen-
Melalui UU No. 13/1946, pemerintah menghapus sasi. Sayangnya, hampir semua perusahaan yang
desa perdikan yang selama ini dikuasai oleh dinasionalisasi ini kemudian dipegang oleh TNI.
penguasa perdikan secara turun temurun. Separoh Akibatnya, di belakang hari kemudian, banyak
tanah perdikan tersebut kemudian diredistribusi komplikasi dan konflik sosial yang muncul di wila-
kepada para penggarap, petani kecil dan buruh yah eks perkebunan kolonial ini.
tani. Apabila dicermati, berbagai kebijakan di atas
Pada tahun 1948, melalui UU Darurat No. 13, secara parsial dan terpisah telah merespons entah
semua tanah di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan “ketimpangan distribusi” atau “ketimpangan alo-
Surakarta yang diberikan dengan “hak conversie” kasi”, atau bahkan kedua-duanya. Namun, karena
diambil alih pemerintah. Tanah-tanah yang semula masih merupakan langkah-langkah pendahuluan,
dikuasai oleh sekitar 40 pabrik gula milik Belanda semua kebijakan di atas belum menyediakan
itu kemudian diredistribusikan kepada petani kerangka kebijakan yang utuh untuk mengatasi dua
penggarap, petani gurem dan tuna kisma. jenis ketimpangan itu sekaligus. Rumusan yang
Sepuluh tahun berikutnya, pengambilalihan utuh semacam ini barulah muncul dua tahun
tanah-tanah luas yang dikuasai oleh bangsa atau berikutnya dengan terbitnya UU No. 5/1960 (atau
perusahaan asing dilakukan secara gencar. Pada biasa disebut UUPA). Dalam UUPA ini tercantum
tahun 1958, melalui UU No. 1, pemerintah meng- sejumlah pasal yang berisi ketentuan umum
hapus semua tanah partikelir. Tuan-tuan tanah untuk mengatasi dua jenis ketimpangan agraria
bangsa asing dengan semua hak istimewanya di atas.
dilikuidasi dan semua tanahnya diambil alih peme-
rintah untuk disediakan kepada para petani yang
membutuhkan.
Pada tahun 1958 ini juga, berdasarkan UU No.
M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12 9
Tabel 3. Beberapa Ketentuan Umum dalam Terkait jalur pertama, pengaturan lebih detail
UUPA untuk Menanggulangi Ketimpangan atas program land reform tertuang dalam UU No.
Agraria 56 PRP/1960 di mana ditetapkan batas penguasaan
tanah pertanian, baik menyangkut ambang mini-
Persoalanyang Diatur Pasal
Larangan pemilikan dan penguasaan tanahyang Pasal 7 mum maupun maksimumnya. Tujuan program ini
melampaui batas
Keharusan mengerjakan sendiri tanah pertanian Pasal 10 (1)
adalah untuk menata ulang distribusi penguasaan
Larangan menggunakan cara-cara pemerasan Pasal 10 (1) tanah yang timpang dalam rangka melahirkan kelas
dalam mengusahakan tanah pertanian
Pencegahan hubungan hukum yang dapat Pasal 11 (1) petani menengah yang kuat dengan penguasaan
berujung pada penguasaan atas kehidupan dan
pekerjaan orang lain yang melampaui batas
tanah sekurang-kurangnya seluas 2 ha (Pasal 8).
Perlindungan terhadap kepentingan golongan Pasal 11 (2); Pasal 15 Upaya restrukturisasi ini dilakukan melalui
yang lemah secara ekonomi
Dorongan mewujudkan usaha bersama dalam Pasal 12 (1) transfer tanah secara lintas kelas di internal sektor
bentuk koperasi atau bentuk gotong royong
lainnya pertanian rakyat sendiri. Sumber tanah yang
Pencegahan usaha-usaha
- agraria dari monopoli Pasal13 (2) dan (3) ditransfer, karena itu, berasal dari himpunan tanah
swasta, baik dilakukan organisasi atau
perseorangan pertanian milik rakyat, yakni tanah kelebihan batas
Kepastian dan jaminan sosial di bidang Pasal 13 (4)
perburuhan dalam usaha-usaha di lapangan maksimum dan tanah absentee (guntai).9 Di bawah
agraria ini diilustrasikan operasionalisasi land reform dan
Pengaturan luas maksimum dan/atau minimum Pasal 17 (1)
bagisatu keluarga atau badan hukum visi keadilan penguasaan tanah yang diandaikan.
Pembagian tanah kelebihan maksimum kepada Pasal 17 (3)
rakyat yang membutuhkan
Pembatasanpenggunaan tanah milik oleh bukan Pasal 24
pemiliknya
Pengawasan peralihan hak milik untuk melin- Pasal 26 (1) dan
dungi kepentingan golongan ekonomi lemah penjelasannya
Penghapusan hak milik tanah yang diterlantarkan Pasal 27

Selain ketentuan umum di atas, UUPA secara


khusus juga menggariskan dua jalur menuju trans-
formasi agraria8 yang melaluinya baik “ketim-
pangan distribusi” maupun “ketimpangan alokasi”
bisa ditangani. Jalur pertama adalah land reform
untuk mengatasi masalah ketimpangan agraria di
antara para petani. Sedangkan jalur kedua adalah
alokasi tanah untuk kepentingan usaha bersama Gambar 3. Skema Dasar Program Land Reform.
rakyat sekaligus mengoreksi alokasi tanah yang
timpang antar-sektor. Jalur yang kedua menuju transformasi agraria
adalah melalui kebijakan negara menyediakan
tanah, namun tidak diperuntukkan bagi keluarga
petani dalam rangka produksi pangan. Alih-alih,
tanah itu diberikan kepada koperasi atau kolekti-
fitas rakyat lainnya dalam rangka pengembangan
usaha bersama rakyat yang bersifat komersial di
lapangan agraria. Berbeda dari jalur pertama yang

saan dari struktur agraris-tradisional menjadi suatu struk-


tur baru di mana sektor pertanian makin terintegrasi ke
dalam pilar-pilar ekonomi nasional lainnya, lebih produktif
dan di mana kesejahteraan rakyat kian meningkat.
Gambar 2. Dua Jalur Menuju Transformasi Agraria. 9
Di luar ini, tanah obyek land reform juga dapat
berasal dari tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah
8
Transformasi agraria dijelaskan oleh Wiradi (2009, beralih kepada negara dan tanah-tanah lain yang dikuasai
96–97) sebagai perubahan atas sistem sosial-ekonomi pede- langsung oleh negara (PP No. 224/1961).
10 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dijalankan melalui land reform, maka jalur yang iklim radikalisasi politik di pedesaan (sebagai imbas
kedua ini diwujudkan melalui pemberian Hak persaingan partai-partai politik di pentas
Guna Usaha (HGU) atau hak lain kepada koperasi nasional), ironisnya justru telah memicu konflik
rakyat atau bentuk gotong royong lainnya. horizontal yang keras di desa selama paroh
Di dalam UUPA sendiri, kebijakan alokasi tanah pertama dekade 1960-an. Namun, bukannya
ini diatur dalam Pasal 12. Ayat (1) pasal ini menjamin berlangsung di antara kelas-kelas pedesaan yang
alokasi tanah untuk usaha bersama milik rakyat, berbeda kepentingan ekonomi, konflik itu justru
sementara ayat (2) memberi peluang negara untuk membelah penduduk desa menurut garis
bekerja sama dengan pihak ketiga, termasuk loyalitas ideologi partai dan keagamaan. Konflik
pengusaha swasta. Secara skematis, hal ini dapat semacam inilah yang turut mendidihkan suasana
digambarkan sebagai berikut: politik dan psiko-sosial di wilayah pedesaan dan
akhirnya memuncak menjadi “tragedi
kemanusiaan”, tidak lama setelah meletus apa yang
disebut “Gerakan 30 S/PKI” di Jakarta pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965.10
Pasca peristiwa ini, dan seiring peralihan keku-
asaan kepada rezim Orde Baru pada 1967, nasib
dua jalur untuk mewujudkan transformasi agraria
ini pun mengalami senja kala. Memang, di bawah
rezim Orde Baru, program land reform secara
resmi masih dijalankan pemerintah. Namun, pro-
Gambar 4. Politik Alokasi Tanah dalam UUPA.
gram ini dikerdilkan sebagai kebijakan sektoral
belaka dan tidak lagi diposisikan sebagai landasan
Sayangnya, seperti sejarah telah mencatat, dua
pembangunan, seperti cita-cita para pendiri bangsa.
jalur yang dibayangkan UUPA bakal mewujudkan
Pada level praktis, land reform dijalankan sebagai
transformasi agraria ini mandeg di tengah jalan,
kerja rutin birokrasi yang bersifat teknis-adminis-
dan bahkan mengalami anti-klimaks. Menjelang
tratif belaka, dan bukan sebagai satu agenda stra-
dekade 1960-an, secara realpolitik telah menjadi
tegis untuk mewujudkan transformasi agraria.
kepastian bahwa semua bekas perkebunan kolonial
Demikian pula, selama periode ini, ketentuan
“dikecualikan” dari pelaksanaan land reform. Mula-
UUPA Pasal 12 (1) boleh dikatakan tidak dilaksa-
mula, hal ini karena hasil Konferensi Meja Bundar
nakan sama sekali oleh pemerintah. Penyediaan
yang di antaranya mengharuskan pengembalian
tanah luas untuk koperasi dan kolektivitas usaha
dan perlindungan aset-aset ekonomi milik Belanda
rakyat lainnya hanya merupakan sebuah perkecu-
di Indonesia. Belakangan, ketika akhirnya semua
alian yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.11
perkebunan Belanda dinasionalisasi pemerintah,
Sembari mengabaikan Pasal 12 (1), pemerintah
pihak TNI segera mengambil alih manajemen
sebaliknya menggenjot pelaksanaan ketentuan
perkebunan tersebut. Penguasaan oleh militer ini
Pasal 12 (2) demi mengejar arus investasi asing dan
membuat eks perkebunan kolonial sama sekali
pertumbuhan ekonomi. Untuk ini, berbagai konsesi
tidak bisa disasar oleh legislasi land reform yang
agraria di sektor perkebunan, kehutanan, dan per-
mulai diundangkan sejak 1960.
tambangan diobral pemerintah kepada perusahaan
Semenjak itu, pelaksanaan land reform pun
bergeser secara mendasar. Setelah gagal menda- 10
Dalam tragedi kemanusiaan ini, ratusan ribu orang
patkan tanah-tanah di bekas perkebunan kolonial, (bahkan lebih) yang dituduh sebagai anggota komunis,
program ini lantas menyasar potensi tanah yang dipenjarakan atau bahkan dihilangkan nyawanya tanpa
melalui proses pengadilan.
bersumber dari sektor pertanian sendiri, seperti 11
Salah satu di antara sedikit perkecualian itu adalah
tanah kelebihan maksimum, tanah guntai, dan pemberian HGU kepada Koperasi Produksi Karet Wangun-
tanah terlantar. Pergeseran fokus ini, di tengah wati di Tasikmalaya. Lihat Shohibuddin (2014).
M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12 11
besar, termasuk yang dimiliki pemodal asing. Daftar Pustaka
Dengan mandegnya pelaksanaan land reform Bachriadi, D & Wiradi, G 2011, Enam dekade
dan alokasi tanah untuk usaha bersama rakyat, ketimpangan: masalah penguasaan tanah di
maka tidak ada lagi kebijakan yang secara langsung Indonesia, Bina Desa, Konsorsium
dan efektif berusaha mengoreksi kondisi ketim- Pembaruan Agraria, Agrarian Resource Cen-
pangan agraria. Di pihak lain, banyak kebijakan ter, Jakarta, Bandung.
lain yang dijalankan pemerintah justru mempro- Bank Dunia 2016, Ketimpangan yang semakin lebar:
duksi berbagai jenis ketimpangan agraria baru. mengapa, apa dampaknya, dan apa solusinya,
Akibatnya, selama periode Orde Baru skala ketim- World Bank, Jakarta.
pangan agraria ini makin meluas dan mendalam, Fadjar, U 2009, ‘Transformasi struktur agraria dan
baik yang terkait dengan “ketimpangan distribusi” diferensiasi sosial pada komunitas petani: studi
maupun “ketimpangan alokasi”. kasus pada empat komunitas petani kakao di
Kecenderungan ini ironisnya terus berlangsung Provinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh
pada masa reformasi, dan bahkan dengan laju per- Darussalam’, Disertasi pada Institut Pertanian
cepatan yang lebih kencang lagi. Oleh karena itu, Bogor.
dua bagian terakhir dari artikel ini akan mem- KLHK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehu-
bicarakan lebih mendalam prof il ketimpangan tanan 2018, ‘Evolusi kawasan hutan, TORA
agraria di era reformasi ini, baik yang terjadi di dan perhutanan sosial’, Paparan Menteri Ling-
antara sesama petani sendiri maupun antara petani kungan Hidup dan Kehutanan pada diskusi me-
dan korporasi. Dari sini, penulis selanjutnya akan dia Forum Merdeka Barat 9, Jakarta.
mengajukan satu usulan kerangka pembaruan te- Li, TM 2002, ‘Local histories, global markets: co-
nurial yang terpadu dalam rangka mengoreksi dua coa and class in upland Sulawesi’, Development
jenis ketimpangan agraria tersebut. (Bersambung and Change, vol. 33, no. 3, hlm. 415–37.
ke Bagian 2) Megawati Institute 2017, Hasil riset oligarki ekonomi,
Jakarta.
Pengakuan
Prakarsa 2019, ‘Indeks kemiskinan multidimensi:
Riwayat artikel ini cukup panjang dan bermula memotret wajah-wajah kemiskinan di Indo-
dari akhir 2017 ketika Pusat Studi Agraria (PSA) nesia’, Policy Brief, no. 3, Jakarta.
IPB memulai studi mandiri mengenai indeks keag- Rachman, NF 2003, Bersaksi untuk pembaruan agra-
rariaan. Proses penulisan artikel ini sendiri diakse- ria: dari tuntutan lokal hingga kecenderungan
lerasi oleh penelitian ketimpangan agraria yang global, Cetakan pertama, Insist Press, Yogya-
dilaksanakan PSA IPB bekerja sama dengan Kon- karta.
sorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada paroh Rachman, NF 2013, ‘Rantai penjelas konflik-konflik
akhir 2018. Untuk itu, terima kasih disampaikan agraria yang kronis, sistemik, dan meluas di
kepada para kolega di PSA IPB, Sajogyo Institute Indonesia’, Bhumi vol. 12, no. 37, hlm. 1–14.
(SAINS) dan KPA yang turut mematangkan gagasan Shohibuddin, M (ed.) 2009, Ranah studi agraria:
artikel ini. Versi-versi awal artikel ini telah disam- penguasaan tanah dan hubungan agraris, STPN
paikan di banyak forum dan penulis berterima kasih Press, Yogyakarta.
kepada para audiens yang telah menyumbang _____ 2014, ‘Managing land re/dis-possession from
pikiran dalam forum-forum itu. Akhirnya, penulis below: history of biopolitics countermovement
juga berterima kasih atas masukan dari para re- in two Javanese Rural Communities’, Paramita,
viewer anonim sehingga artikel ini dapat menjadi vol. 24, no. 2, hlm. 137–54.
seperti bentuknya saat ini. Terlepas dari kesemua _____ 2018, Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan
itu, seluruh tanggung jawab dari artikel ini berada dan kajian empiris, STPN Press, PSA IPB,
di pundak penulis sepenuhnya. Sajogyo Institute, dan KPA, Yogyakarta.
Shohibuddin, M & Soetarto, E 2010, ‘Krisis agraria
12 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

sebagai akar kemiskinan: menuju pandangan White, B 1989, ‘Problems in the empirical analysis
relasional mengenai kemiskinan’, hlm. 239– of agrarian differentiation’, Pp. 15–30 dalam
55 dalam Sejarah Indonesia: perspektif lokal dan Agrarian transformation: local processes and
global. Persembahan untuk 70 tahun Prof. Dr. the state in Southeast Asia, penyunting: Hart,
Djoko Suryo, penyunting: Margana, S dan G, Turton, A, dan White, B, University of Cali-
Fitrianingsing, W, Ombak, Yogyakarta. fornia Press, Berkeley, Los Angeles, London.
Sirait, MT 2017, Inklusi, eksklusi dan perubahan agra- Wicaksono, E, Amir, H, & Nugroho, A, 2017, ‘The
ria: redistribusi tanah kawasan hutan di Indo- source of income inequality in Indonesia: a
nesia, STPN Press, Yogyakarta. regression-based inequality decomposition’,
Siscawati, M & Rachman, NF 2014, ‘Gender dan ADBI Working Paper Series, no. 667, Tokyo.
politik konsesi agraria: dimensi gender dalam Winoto, J 2007, ‘Reforma agraria: mandat politik,
mekanisme-mekanisme penguasaan tanah, konstitusi dan hukum dalam rangka mewu-
perubahan tata-guna tanah, dan krisis sosial- judkan tanah untuk keadilan dan kesejah-
ekologis’, Sajogyo Institute’s Working Paper, teraan rakyat’, Kuliah Umum di Balai Senat
no. 12, Bogor. Universitas Gadjah Mada, 22 November 2007,
Stewart, F 2002, ‘Horizontal inequalities: a neglected diakses pada 7 September 2018, https://
dimension of development’, QEH Working ugm.ac.id/id/berita/1135-
Paper Series No. 81, Oxford. joyo.winoto.:.ketimpangan.kepemilikan.aset.
Suryadarma, D, Artha, RP, Suryahadi, A & Sumarto, sebagai.penyebab.kemiskinan.
S 2005, ‘A Reassessment of inequality and its Wiradi, G 2009, Seluk beluk masalah agraria, refor-
role in poverty reduction in Indonesia’, ma agraria dan penelitian agraria, Penyunting:
SMERU Working Paper, Jakarta. Shohibuddin, M, STPN Press dan Sajoyo
Institute, Yogyakarta.

You might also like