7
SYAHADAT AKUNTANSI: TELAAH KRITIS
MENUJU ONTOLOGI TAUHID AKUNTANSI
Bagi orang awam, akuntansi barangkali dapat digambarkan sebagai
sebuah media yang umum digunakan dalam dunia bisnis. Dengan teknik tata-
buku berpasangan (double entry book-keeping)-nya, yang muncul kira-kira
lebih dari dua abad sebelum Luca Pacioli mengangkatnya dalam Summa de
Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalita pada 1494, ia mampu
memberikan kontribusi yang besar dalam berkembangnya akuntansi itu
sendiri—baik sebagai ilmu pengetahuan maupun praktik—dan pesatnya
laju sistem ekonomi kapitalis. Bahkan Werner Sombart mengklaim bahwa
tata buku berpasangan, yang merupakan elemen utama akuntansi modern,
adalah representasi simbol dari semangat kapitalisme (the spirit of capitalism)
(Storrar and Scorgie, 1988).
Pada dasarnya tata buku berpasangan mulai dikembangkan dari
persamaan aljabar yang kemudian dikenal dalam dunia akuntansi sebagai
persamaan akuntansi (accounting equation). Dengan dasar persamaan ini
transaksi-transaksi yang terjadi dalam sebuah entitas, hanya mempunyai
pengaruh pada perubahan-perubahan persamaan akuntansi tersebut tanpa
memengaruhi kesamaan (equality) dari unsur-unsur yang ada pada posisi
kiri (debet) dan kanan (kredit) dari persamaan tersebut (Hatfield, 1976; lihat
juga Sprague, 1907; dan Cronhelm, 1978).
akuntansi tersebut sebetulnya, menurut Storrar
s dari keterlibatan Leonardo da Pisa yang,
perjalanan ke Mesir, Syria, Yunani, dan
ardo da Pisa-lah
Keberadaan persamaan
and Scorgie (1988), tidak terlepa
Pernah belajar dan melakukan
Sisilia Storrar and Scorgie (1988) mengklaim bahwa Leon
169emperkenallan 3
ka Arab-Hindy day ay,
naya di beberapa tempat tersehyy iH
i
hay
secara efektif telah
van sil |
a Barat dari has :
ke Eropa carer gatuesauuny orang yang pertama mengenal ayy
Meskipun i penarnya orang, pert Ya mendorong, pengyrunaay a 3,
Se hari, termasuk tha
tapi di
untuk berbagi
Kemudian dari P
n secara tcl
dalam kebidupan
akuntans
Arab-Hindu dan i ims,
aj maksu
bar ini, tata buy
engenalan angke
knis berkembangs-
berpasangal
Dengan melihat secara Sint
i berusaha menjela
nti angka Arab-Hindu, ilmu alje
buku berpasangan jy
snan umat Islam dalam meletalda,
eletakan
bar (matematia, day
fi perkembangan akuntansi modern yang ada pad
b pada pad
n tidak terlepas dari pema
tulisan
dasar-dasar—sepe!
sistem perdagangan—baf
saat ini, Peranan ini sebetulny?
teologi mereka, yang dipaham
yang kokoh, Dalam kerangkka pemahaman (cologi semacam ini, me
cara bebas dan ras
tidak
ar bagi akuntansi, tetapi jupa
hanya mampu memberikan kontribusi yang, bes
bagi peradaban manusia, Namun, ketika umat Islam meninggalkan dasar-
dasar teologis yang bebas dan rasional tadi, karya-karya besar umat Islam
zaman klasik diambil alih umat lain (Barat). Akibatnya, peradaban manusia
didominasi oleh Barat—termasuk penguasaan sistem perdagangan dan
akuntansi—yang tentu sangat Iekat dengan nila
i Barat itu sendiri.
Bahasan-bahasan berikutnya dalam tulisan ini berupaya memberikan
foe os i akuntansi—yang sementara ini didominasi oleh Akun
penis eas Perspektif Islam. Alternatif pemiliran ini terutame
nea ee ay ontologi akuntansi—yang bertolak dari
engl een ikat diti manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh—
i yang bertauhid, yang sclanjutnya juga akan berpengarut
Pada sisi pandang epi
d ‘ang epistemologi a si
tulisan ini juga nemaparian d rec eee ay
Hegel, dan Karl Marx tentan,
‘Teori Krisis dengan misi em;
dasar-dasar pemikiran Immanuel Kant GE
B kritisisme” yang menjadi dasar bagi pemikiran
tauhid akuntansiyangdikemm eee alin dilakukan, karena ontolti
pada aspck terinty ontgigg sUa bersifat emansipatoris,na™"
Teori Kritis. Perbeda, ‘ologi tauhid ini berbeda dengan dasar pemikira"
ontologi tauhid pada awe terletak pada pengakuan dan otundula"
"eringan-jaringan kuasa tlahi. Aspek tauhid inilahKontribusi dan Kemunduran Umat Islam
Tidak diketahui dengan jelas di mana sebenarnya tempat kelahiran
pertama tata buku berpasangan ini, Klaim bahwa ia lahir di Italia—karena
dihubungkan dengan Luca Pacioli yang dianggap sebagai pencipta tata buku
berpasangan—adalah tidak benar. Karena teknik tata buku berpasangan
itu sebetulnya sudah dipraktikkan lebih dari 200 tahun di Venice sebelum
bukunya diterbitkan. Luca Paci
dan memberikan penjelasan-
sangan tersebut (Luzzatto, 1:
berpasangan ini di Spanyol. |
yang mengatakan bahwa:
ioli hanyalah orang pertama yang mengangkat
Penjelasan tentang teknik tata buku berpa-
961). Ada dugaan, tempat kelahiran tata buku
ni sesuai dengan pernyataan Littleton and Yamey
Pendapat ini sangat mungkin,
™engingat Spanyol merupakan salah
satu bagian kekuasaan Islam di Erop:
a. Pada waktu itu, sejak pemerintahan
Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Bani Umayah (661-750) dan Dinasti Bani Abbas
(750-1258), kekuasaan Islam meluas ke Bizantium,
Mesopotania (Irak), seluruh Afrika Utara,
daerah di Asia Timur sampai ke perbatasan
Mesir, Palestina, Suriah,
Spanyol di Eropa, dan daerah-
Cina,
Daerah-daerah seperti Mesir,Suriah, Irak, dan Persia di Timur Tengah
merupakan daerah pusat perdagangan yang membawa barang dagangan ke
Barat. Kota-kota seperti Kairo, Aleksanderia, Damsyik, Baghdad, dan Siraz
merupakan kota-kota terpenting dalam lalu lintas perdagangan internasional
Saat itu. Melalui perdagangan inilah, demikian Storrar and Scorgie (1988)
juga berpendapat, kebudayaan dan teknologi Muslim tersebar di Eropa Barat.
Amalfi, Venice, Pisa, dan Genoa merupakan pelabuhan-pelabuhan utama dan
terpenting yang menghubungkan perdagangan dari pelabuhan-pelabuhan
orang-orang Islam di Afrika Utara, dan Laut Tengah bagian Timur, dan kota-
kota Kristen seperti Barcelona, Konstantinopel, dan Acre. Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Lieber (1968: 230); ia mengatakan bahwa:
Pedagang-pedagang Italia dan negara-negara Eropa lainnya memperoleh
Pendidikan pertamanya dalam penggunaan metode-metode bisnis. yang
canggih dari rekan bisnis mereka dari daerah sckitar Laut ‘Tengah; yang
AKUNTANSISYARIAH 177,i, walapur terdapat Oe Debora py
;
ri bahasa Aramaik, Arab atau Pers), kemy.
j “douane, arsenal, magazine, traffic, tarj
j.danmaona’ (Lieber, 1968:230), Perdagangy
fondaco,senst a jeu meluas, sehingsa beberapa gudang dan bahay
7 clabuhan-pelabuhan Muslim disisihkan Untuk
rkotaan dip ig sedang berkunjung (baik sementarg
musim dagang) ke kota-kota Muslim,
dari penguasa-penguasa Muslin,
ja, trataa 2
Dari mereka:
daerah-daerah pe
pedagang:pedagan
‘maiupun secara perm
dengan jaminan perl
4 Raymond, 1955)-
be — melalui Kontak perdagangan, kebudayaan, dan teknologi
is
Muslim juga meluas ke Eropa melalui lense Menuet William
Montgomery Watt (1972), superioritas Muslim pada _waktu itu terletak
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang matematika
{aljabar), kedokteran dan astronomi, produksi barang-barang mewah, dan
pengembangan teknik-teknik dagang yang N88 Salah satu pusat terpenting
kegiatan akademis Muslim pada saat itu adalah kota Baghdad, yaitu pada
zaman Khalifah Al-Ma'mun (813-833). Di kota itu, sebuah akademi telah
didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun, yang kemudian selama bertahun-tahun
banyak menarik minat orang-orang Islam sendiri dan orang-orang asing
untuk belajar dan menerjemahkan bahasa Yunani, Sanskerta, dan teks-
teks lainnya ke bahasa Arab. Menurut Lewis (1950), di antara orang asing
itu, ada seorang India yang melalui dia untuk pertama kalinya angka Arab-
Hindu mulai diperkenalkan. Ini terjadi kira-kira pada tahun 800. Kemudian
Storrar and Scorgie (1988) berpendapat bahwa matematika Muslim abad
pertengahan diturunkan sebagian dari Yunani dan sebagian dari India, tetapi
sintesis dan pengembangan berikutnya asli kontribusi dari orang-orang Islam
itu sendiri, seperti angka nol yang kemudian ditemukan dan difungsikan oleh
a Seana ae pala karya orang yang paling tangguh yar
pengembangan ratematita omay Pengaruh yang sangat besar dalam
yang meletakkan ae Eropa, yaitu Al-Khawarizmi, Dialah orang
modern seperti yang dkenal selene kat bagi pengembangan matemstié
memberikan kontribusi yan sag Ne dnh dan sera dake tanesars
modern. Dia pulalah yang bi angat besar dalam pengembangan akuntars’
mberikan konsep-konsep aljabar yang dapat
ndungan keamanan
m2
—__
BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS|digunakan untuk menemukan pemecahan terhadap masalah-masalah praktis
seperti pembagian harta warisan, perkara hukum (lawsuits) dan transakst-
transaksi dagang yang secara umum ditemui oleh masyarakat Muslim dalam
kehidupan sehari-hari. imu inilah yang kemudian dipelajari oleh Leonardo
da Pisa dan disebarkan di Eropa.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus juga menunjukkan
bahwa masyarakat di dunia Islam tidak lagi buta huruf, Hal ini terbuktijelas
dalam sistem dagang dan tata buku yang dipraktikkan mereka. Keadaan
ini juga didukung oleh tersedianya kertas yang murah (karena dihasilkan
oleh teknologi yang cukup tinggi). Dengan dukungan ilmu pengetahuan
dan teknologi ini, pada abad ke-10, demikian dikatakan oleh Lieber (1968),
tata buku di Irak telah tersebar luas dan diterima secara umum (generally
accepted) serta dipraktikkan di berbagai daerah. Bahkan kebutuhan akan
penggunaan tata-buku ini merupakan persyaratan hukum bila terjadi
perselisihan (dispute) antara dua pihak atau lebih, Oleh Karena itu, jika ada
pihakepihak yang berselisih, maka mereka secara hukum harus menunjukkan
catatan atas perkiraan semua penjualan, pembelian, laba, rugi, dan utang-
uutang yang belum dilunasi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di
muka pengadilan.
Belum ada bukti-bukti pendukung tentang adakah keterkaitan antara
praktik-praktik yang ada di Irak itu dengan praktik-praktik yang kemudian
diungkap oleh Luca Pacioli di Italia. Namun yang jelas, pada abad-abad
berikutnya dan sampai saat ini, akuntansi berkembang pesat di Eropa (dan
negara-negara Barat lainnya) dan dikembangkan oleh orang-orang Barat
sendiri yang perkembangannya boleh dikatakan selaras dengan berkem-
bangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik mereka, Sementara itu, keterlibatan “Mustim
dalam wacana (discourse) pengembangan pengetahuan dan praktik akuntansi
sampai saat masih sulit ditemukan; kecuali Karya dari Gambling and Karim
(1991) yang mencoba secara eksplisit berdiri di atas paradigma Islam.
dalam wacana ilmu pengetahuan sebe-
n pengetahuan akuntansi, tetapi juga
ahkan dalam berbagai bidang hidup
adi sejak abad pertengahan (1250-
kan tradisi berpikir rasional menuju
if yang berciri irrasional, taglid,
Minimnya keterlibatan Muslim
tulnya tidak hanya terbatas pada disipli
disiplin ilmu pengetahuan lainnya dan bs
sehari-hari, Diduga, kemunduran ini ter}
1800), yaitu ketika umat Islam meninggal
kepada pola berpikir tradisional-konservat
AKUNTANSISYARIAH 173sation (1995) mensinyalir bahwa keagay
tikan secara fatalistik dalam pengertign n
cara mutlak oleh Kehendak Tyha,
pasif, Harun Na
adiar
eksklusif, dan
i arena aga :
disebabkan Karena agam™ ; ~
nasib manusia telah ditetapkan : wend wn
a farNya. Nanusia, dalam pengertian ini, tidak ge
’ dan gad
Paham ini, yang disebut dengan pabam Jabariyah, menurut Nasution {i999
prenaiudukan akal pada posist yang rendah, memereayai Retidaketae
manusia dalam Kemauan dan perdu tatis, bersitgy
skeptis terhadap keberadaan Sunnatullah dan kausalitas, dan men, kathy
xstual Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan Jabariyah, naa,
ianut oleh umat Islam pada era Klasik, menganggap babys
mn yang sangat luas, Manusia bebee
yang Kebebasannya hanyg
ada Sunnatullah gy
atan, berpikir dogma
diri pada artitel
Qadariyah yang di
manusia sebetulnya mempunyai kebeb
berkehendak, bebas berpikir rasional-dinami
ran dasar Al-Qur’an dan Hadis, perca
dan mengambil arti metaforis dari teks wahyu (Nasution,
ya
dibatas
hukum kau:
1995).
Dengan pola berpikir rasional, filosofis, dan iln
iah ini, Islam dalam
a dapat membe.
peradaban yang berdasarkan iman ini hanya dapat dicapai umat Islam pada
masa lampau, yaitu pada era klasik (650-1250), dan merupakan nostalgi
ini, Pada era ki
bagi umat Islam pada masa
Al-Battani, Al-Farazi, Al-Farghani, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Mahani, Al
Quhi, Al-Razi, A-Thabari, Al-Thusi, Al-Zahrawi, Ibn Haytsam, ln Rusyd, Iba
Sina, Umar Al-Khayyam dan lain-lainnya dalam bidang ilmu pengetah
tampil paling depan, Seba
realitas-realitas umat yang cenderung berpikir fungsional-positivistis
terperangkap dalam pola pikir yang terlanjur diformalkan, bers
dan taglid, serta lebih berat perhatiannya kepada hal-hal yang
ukhrawi, akhirya memang benar-benar tercipta, Akibatnya, Islam tereduts!
dalam arti bahwa ia seolah-olah hanya berurusan dengan syariah ate fa
saja. Schingga kaj rapakatt
ya dengan pola pemikiran yang pe
ian-kajian ke-Islam-an yang bersifat mendunia me!
jembatan menuju kehidupan yang lebih kekal di akhirat menjadi terlewal
ional)
Dengan kata lain, Islam seolah dipandang sebagai agama syariat (t134
yang sarat dengan formalitas ketat—kalau tidak di an absolut—der
melalaikan substansi yang hakiki dari Islam itu sendiri sebagai panda”
nga
174 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS!hidup. Akibatnya, seakan urusan dunia (profane) bukan sesuatu ne aes
dalam domain kajian Islam, Konsekuensi dari keadaan ini menyebabkan
islam menjadi asing dan menempati posisi marginal—baik dalam pengertian
nilai-nilai Islam maupun umat Islam itu sendiri—dalam wacana kekinian;
dan akibat selanjutnya, distorsi kenyataan dan Islam ideal semakin besar,
Jaringan Kerja Realitas Sosial
Distorsi ini bisa semakin besar jika persepsi tentang Islam tadi dijadikan
perspektif. Artinya, pengertian Islam (yang parsial) menjadi dasar rujukan
untuk memandang, mendefinisikan, menilai, dan menafsirkan simbol-simbol
sosial—yaitu fenomena-fenomena sosial, ilmu pengetahuan, peristiwa,
perkataan, agama, dan lain-lainnya—yang ada dalam kehidupan nyata
masyarakat. Perspektif ini sangat besar pengaruhnya terhadap diri orang itu
sendiri dan terhadap orang lain, karena dengan perspektif tersebut realitas-
realitas baru dapat dikonstruksi.
Realitas sosial ini terbentuk dan mengkristal melalui interaksi sosial. Hal
ini terjadi, karena, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Blumer (1969)
seorang pakar psikologi sosial dari perspektif interaksionisme simbolik, pada
hakikatnya seseorang melakukan suatu tindakan atas dasar makna-makna
yang dapat ditafsirkan dari simbol-simbol sosial yang ia hadapi. Sementara,
simbol-simbol itu sendiri sebetulnya tidak memiliki makna dalam dirinya
sendiri, kecuali bila telah melalui proses interaksi sosial yang kompleks dan
melibatkan banyak individu, Kemudian, berdasarkan pada makna-makna
dari simbol-simbol tersebut dan setelah menilai situasi di sekelilingnya (yang
tak lain adalah simbol lain), baru orang tersebut melakukan suatu tindakan.
‘Tindakan ini kemudian menjadi simbol bagi, dan akan dikonsumsi oleh, orang
lain melalui proses yang sama seperti tersebut di atas. Demikian seterusnya
proses ini berjalan sedemikian rupa dan kompleks tanpa mengenal titik
akhir. Masing-masing elemen dan tahapan dari proses tersebut dan proses
itu sendiri adalah realitas-realitas; yaitu realitas-realitas yang dapat bersifat
abstrak dan/atau konkret, hidup, bergerak dinamis, dan berproses sepert
jaringan-jaringan kerja (networks) yang memilin kehidupan manusia hae
secara individu maupun komunal dalam perangkap nilai-nilai yang terkan-
dung di dalamnya. se
ari intervensi nilai-nilai
i ‘ang tidak bisa terlepas di ;
Realitas tersebut memang ti Se a esl
ka adalah real
kemanusiaan, karena memang mere
AKUNTANSISYARIAH 175,z \
: reality). Bahkan d;
mmanusia codons ce oleh Foucault (en ang
terutama me ital dikatakan bahwa kebenaran m
/Knowledge-rY> ae (out there) sebagaimana yang dikain
tak “di veeinkan ada dalam kuasa (power). Bagi Fou
ah relasi kuasa itu sendiri, Jadi tidak aneh yi, “x
ahwa pada masa sekarang ini sul gj
huan rasional sejati yang benar-benar bebas darj rea,
Terena umumnya imu pengetahuan modern sy,
vstorsioteh ieol0gi Bagi Kal Marx (1818-1883) ilmu pengetahuan yn,
etd dan bias ideologi bisa $/4 diperoleh selama ada usahas,
yang terbebas sidiri dari relasi-relasi kuasa yang opresif. Dan ini, bagi fay
ewe masyarakat komunis, di mana kebenaran sudah tersedis
ro obi dan berlaku universal (Sahal: 1994), Tetapi masalahnya
adalah apakah benar masyarakat Komun's terbebas dari relasi-relasi tug
gan bukankah komunis itu sendiri adalah ideologi? Sebaliknya, kalau pa
yang dikatakan oleh Foucault ftu-—bahwa kebenaran itu adalah relasi kuasy
itu sendiri—adalah benar, berarti kebenaran itu relatif. Lalu apa sebetulnya
1? Terlepas dari semua issue ini, ¥.
petulnya tidak akan pernah bersif
diciptakan oleh
jelas
onsepsi yang ™e!
ditemukan pengetahuar
relasi kuasa yang opresil
ngatakan i
kebenaranit ang jelas adalah bahwa realitas.
realitas sosial sebagai kreasi manusia se
objektf, netral atau bebas dari nilai (value-fre
manusiatidakakan pernah terlepas dari sistem nilai apa pun jenis dan bentuk
Jengan kata lain, kehidupan
sistem nilai itu,
Jadi, ketika umat Islam, misalnya, berpe}
adisional-konservatif, maka secara sadar atau tida
alitas sosial yang formal,statis,
ang teguh pada pola pikirnya
fp teguh p
mereka telah
yang
membuat dan mengikatkan diri pad
dan eksklu
realitas ini di
alita
angat memprihatinkan ila
Karena, tindakan manusit,
Jam_bentuk
tu hal ini menjadi sesuatu yang
nggap sudah final dan mutlak ben;
sebagai refleksi dari keimanan yang kemudian terwujud dal
ses dan tidak pernah mengenal ta
Dut adalah bentuk ekspresi yang berdimensi eksoter®
n secate
jatar"
realitas sosial, sebenarnya terus berpri
akhi
dari iman kepada
Tindakan
uuhan yang berdimensi esoteris, yang dilakuka
terus-menerus tanpa henti dalam upaya mendekati “radius kede!
pada Tuhan, Hal ini harus dilakukan, karena, pertama, bila seseora"8 teh
menghentikan tindakan-tindakan tersebut, maka ini berarti bah?
menurut Nurcholish Madjid (1987: 243), telah mencapai Tuhan yane M*™
176 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS)
be aaula, padaha tidak demikian dalam kenyatzannya, Tentang hal ini, Madjid
ju
menjelaskan bahwa:
setiap pemberhentian berarti mengaku telah sampai dan menjangkau
Tuhan Yang Mutlak. Jadi, hal itu berarti telah menempatkan Tuhan dalam
daerah jangkauan manusia, Dengan demikian, Tuhan mengalami relativisas,
ehilangan kemutlakan-Nya, menjadi nisbi, sebagaimana alam dan manusia
sendiri, dengan segala keterbatasan-keterbatasannya (1987: 243).
‘Alasan kedua, tidak ada patokan yang jelas di mana batas “radius
kedekatan’” itu. Jadi di sinilah perlunya melakukan tindakan dan refleksi diri
secara terus-menerus. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Madjid
sebenarnya adalah nilai yang paling dasar, utama, dan esensial dari ajaran
Islam, yaitu tauhid, Tak satu pun makhluk Tuhan di bumi ini yang memiliki
sifat mutlak dalam berbagai aspeknya; apalagi segala sesuatu—realitas, pola
pikir, imu pengetahuan, dan lain-lainnya—yang dibuat atau hasil kreasi
manusia. Kemutlakan yang sebenarnya hanyalah milik yang Satu, yaitu
Tuhan,
Oleh karena itu, realitas yang statis dan eksklusif bukanlah realitas
mutlak dan tunggal, atau hanya satu-satunya yang harus ada. Dengan
berpegang teguh pada nilai tauhid ini, maka semestinya realitas tadi tidak
mutlak dan tidak pula tunggal. Ini berarti bahwa harus terdapat alternatif atau
perubahan atas realitas yang telah ada menuju pada terciptanya realitas baru
yang lebih baik dari sebelumnya. Apa yang dicitakan ini bisa saja dilakukan
dengan cara menggunakan perspektif (paradigma) yang mungkin berbeda
dengan perspektif yang terdahulu. Banyak perspektif yang bisa digunakan,
namun yang terpenting adalah perspektif yang membawa misi emansipasi
dengan konsekuensi perubahan. Yaitu, misi membebaskan manusia sebagai
anggota masyarakat dari pengaruh dominasi tunggal dan mutlak atas
perspektif sebelumnya yang telah terlanjur dijadikan sebuah mitos. Semangat
emansipasi ini sudah tersirat jelas dalam makna tauhid itu sendiri, sedangkan
semangat perubahan diisyaratkan oleh Al-Qur’an (Surat Al-Ra'd 13: 11) yang
menyatakan bahwa, “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaansuatu kaum,
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Bila perubahan telah dapat dilakukan dan realitas baru juga telah bisa
diwujudkan, maka ini bukan berarti bahwa tindakan-tindakan kreatif tadi
boleh dihentikan. Tetapi sebaliknya, tindakan-tindakan eksplorasi untuk
mencari alternatif baru—baik perspektif maupun realitas—yang lebih baik
AKUNTANS! SYARIAH 177semula harus terus dilakukan dengan tidak mengabaikan pj),
historis dan sosio-kultural masyarakat setempat. Ini tentunya dia
untuk menghindari adanya penunggalan, pemutlakan atau pemitosay sep, an
yang telah diuraikan sebelumnya. erty
Dekonstruksi Mitos
Ketika sebuah perspektif telah menjadi mitos—demikian juga reaigg
realitas yang terbentuk sebagai konsekuensi logisnya—maka bukansy
sebuah pekerjaan yang mudah untuk ke luar secara sadar dar jaringay,
jaringan kerja mitos tersebut. Perenungan-perenungan akan hakikat gy
merupakan langkah awal untuk melakukan dekonstruksi dan perubahay,
Namun, perenungan itu saja sebetulnya tidak cukup. la harus dibareng
dengan kesadaran-kesadaran ontologis dan epistemologis sebagai prasyara
Jainnya yang diperlukan untuk membaca realitas untuk kemudian melakukan
sebuah aksi (tindakan) emansipasi.
Namun emansipasi macam apa? Pemikiran-pemikiran besar dari
misalnya, Immanuel Kant (1724-1804), G. W. E. Hegel (1770-1813), dan Karl
Marx (1818-1883) juga selalu terkait erat dengan semangat emansipasi
Ketiga orang besar ini adalah tokoh-tokoh pemikir utama dari Teori Kritis
mahzab Frankfurt, yaitu teori kritik emansipatoris yang kritik-kritiknya
selalu diarahkan pada berbagai bidang kehidupan manusia yang dianggap
telah diselubungi oleh tabir-tabir ideologi yang menguntungkan pihak-pihak
tertentu dan sebaliknya telah mengasingkan manusia dari lingkungannya
(Hardiman, 1990: 46).
Masing-masing pemikir memiliki persepsi sendiri-sendiri atas "kriti
sisme” yang mereka ajukan. Bagi Kant, misalnya, konsep kritisisme tidak lain
adalah upaya manusia yang diarahkan untuk menentukan sahih tidaknya
klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka, yang semuanya dilakukan se
mata-mata oleh rasio manusia. Konsep ini terbentuk dari hasil perlawana"
Kant terhadap jalan yang ditempuh oleh para filosof pendahulunya ya"
“dogmatis,” yaitu cara berpikir model gereja di mana faktor iman da"
kepatuhan pada otoritas gereja sangat dominan (Hardiman, 1990; Sab
1994), Di sini jelas bahwa Kant mencoba menggantikan dogma dengan rs
Namun pada tahap berikutnya, kritisi Hegel
karena Kant mengklaim kritiknya ber
me Kant ini disanggah oleh Ee
‘sift transendental, yang mengan’e
178 BAB T:SYAHADAT AKUNTANSIrasio tidak mengenal dimensi waktu, netral, dan ahstors, Bagi Hegel, stat
Frio yang transendental ini adalah sesuatu tidak mungkin, Karena rasio
yang kis bar tereapai bila telah melalui proses sejarah; dengan kata lain,
io tidak ahistoris dan sempurna dalam dirinya sendiri, melainkan harus
herproses. Sejarah yang dimaksudkan oleh Hegel di sini adalah perjuangan-
perjuangan rasio untuk merefleksikan can membebaskan dri dari berbagai
rintangan (konflik dan kontradiksi) menuju kepada kesadaran diri,yaitu diri
yang saday, rasional, dan bebas. Jadi, Negel dengan berpegang pada filsafat
idealismenya, memandang kritisisme sebagai refleksi diri atas rintangan-
rintangan yang menghambat proses pembentukan diri atau kesadaran diri
dengan jalan menegasi atau mengingkari rintangan-rintangan tersebut
(Hardiman: 1990). Dengan proses sejarah inilah kualitas rasio meningkat
pada tingkat kedewasaannya.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx dengan filsafat materialismenya
menganggap sejarah versi Hegel sebagai sejarah kesadaran diri atau rasio
yang tidak memiliki bentuk konkret dan tidak memiliki sasaran fragmatis,
sehingga akibatnya kritik Hegel tidak menghasilkan apa-apa bagi praxis
dan tidak dapat merealisasikan janji-janji emansipatorisnya bagi kehidupan
manusia, Oleh karena itu, Marx berpendapat bahwa sejarah dan kehidupan
manusia itu tidak pernah terlepas dari kekuatan-kekuatan produksi
masyarakat—alat-alat kerja, para pekerja dan pengalaman kerja—dan
hubungan-hubungan produksi—hubungan antarpekerja dalam proses
produksi. Keduanya memiliki sifat yang kontradiktif, Kekuatan-kekuatan
produksi sifatnya progresif dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan produksi
dapat secara terus-menerus diperbaiki, dirasionalisasikan, ditingkatkan
efisiensi dan efektivitasnya untuk meningkatkan keuntungan bagi para
pemilik modal (kapitalis). Sedangkan hubungan-hubungan produksi sifatnya
konservatif, karena hubungan-hubungan ini melibatkan kekuasaan pemilik
modal yang ingin menumpuk keuntungan di satu pihak, dan buruh yang
selalu diperas untuk kepentingan pemilik modal di pihak lain. Dari sinilah
kemudian terjadi pertentangan kepentingan (Kelas). Atas dasar ini, kritisisme
bagi Marx adalah kritisisme yang berupaya mengemansipasi diri manusia
dari penindasan dan alienasi yang diakibatkan oleh hubungan-hubungan
Kekuasaan dalam masyarakat (Hardiman, 1990). Jadi kritisisme Marx adalah
sme ideal-universal
kritisisme praxis emansipatoris yang mendaratkan kriti
Hegel,
AKUNTANS! SYARIAH 179,nukakan otch Karl Mars, pada dasa,
ddaknetralannya terutama terletak me
pemihakannya terhadap tujuan praktisi ia aoe Ee SHan
diri dengan praxis emansipatoris. Yaitu Kein = von gemansina
‘a dari perbudakan, membentuk masyarakat atas hubungan pripag:
n dan kesadaran manusia sebagai
mulibkan kedudukat
ag sosialnya sendiri (Hardiman, 1990),
nsipatorisnya itu pula Teori Kritik juga
n terhadap modernitas terutama proses Tasionalisag,
Rasionalisasi model modernisme pencerahan i
kir positivistis yang menghasilkan Teori Trad.
sional, yaitu teori yang mengangeaP dirinya bebas dari berbagai kepentingan
(nilai), objektif, dan ahistoris. Cara berpikir semacam ini yang kemudian
ghasilkan Perang Dunia Il, fasisme, Stalinisme,
ran ini adalah
‘Teori Kritis,terutama yanB dike!
adalah teori yang tidak netral. Ket
manusis
yang bebas, dan mel
subjek yang mengonstruk reali
Dengan sifat
melancarkan serangat
modernisme pencerahan.
tidak lain adalah cara berpil
axis emal
dalam masyarakat modern men}
dan konsumerisme (Hardiman,
*pencerahan budi” (Hardiman,
manusia terletak pada pengetal
pengetahuan ini manusia mampu
menyingkap tabir-tabir mistis masyarakat pramodern, dan menguasai
alam. Dunia mitos yang mendominasi manusia berhasil ditumbangkan
oleh pengetahuan, dan dengan demikian manusia dapat dibebaskan dari
kekuasaan mitos.
Namun, kepahlawanan pengetahuan—karena kepercayaan yang sangat
berlebihan terhadapnya—mengakibatkan manusia modern terjerembab ke
dalam jurang pemitosan pengetahuan yang kemudian mendominasi, mem
bingkai, dan hadir secara anonim dalam kehidupan manusia modern; dan
akhirnya manusia kembali hidup dalam dunia mitos. Melihat fenomena in
rutama
1990: 60). Akar dari pemi
1990: 61). Dengan pencerahan, kedaulatan
huan (rasio) manusia itu sendiri, Melalui
mendekonstruksi mitos-mitos irrasional,
osmoderni:
posme Jernisme melancarkan serangan terhadap modernisme, te
th cap ae neroleane) dan keseriusannya. Posmodernisme melihat bahwe
Romer lan keseriusan sesungguhnya mencerminkan suatu arogansi dan
bepereayan yng berlebihan terhadap kekuatan konsep, teori, argume™ts
, dan proposisi ilmi: i . , a
‘° posisi ilmiah untuk sampai pada kebenaran” (Sahal, 1994 15
Untuk i
i sea kenyataan ini, posmodernisme mencoba bert
a hie ‘mn untuk menatap modernitas dengan cara kontem™
ruksi. Hal ini dilakukan karena posmodernisme kece™®
180 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANSt
4Jap kenyataan modernitas yang ternyata “janji-janji modernisme
terhad tern
rembebaskan umat manusia dari kesia-siaan, ketidakpedulian,
untuk m . on | dan
jrasionalitas tidak pernah dipenuhi (Iadiwinata, 1994, 23), Apa yang dila-
suikan oleh posmodernisme tidak lain adalah upaya menggoyang kekuasaan
rnisme, Bila goyangan ini berhasil menjatuhkan modernisme dari
tampuk kekuasaanny, tidak menutup kemungkinan posmodernisme akan
menjadi penguasa baru yang akhirnya juga menjadi mitos, Demikian sete-
rusnya, dinamika dan fenomena seperti ini akan terus terjadi, yang bagi
Adorno dan Horkheimer (1973) hal semacam ini dinamakan “dialektika
pencerahan,’di mana mitos dan rasio adalah dua hal yang berdialektik; mitos
dapat melahirkan rasionalitas dan rasionalitas yang dapat membebaskan
dari mitos akhirnya menjadi mitos baru.
model
manusia
Akuntansi Sebagai Mitos
Mitos yang terjadi dalam akuntansi terdapat dalam dua hal, yaitu
ontologi-epistemologi dan praktik akuntansi itu sendiri. Dari sisi epistemo-
bagaimana dikenal masyarakat bisnis—tidak lain adalah
produk modernitas yang konsckuensinya sangat kental dengan nilai-nilai
modernisme, terutama modernisme pencerahan yang positivistik dengan
s; netral, objektif, dan ahistoris. Nilai-nilai inilah yang sekarang
mendominasi akuntansi baik dalam pengertian teori maupun praktik,
yang kemudian dikenal dengan sebutan (Teori) Akuntansi Positif [Positive
‘Accounting (Theory) atau Mainstream Accounting (Theory)].
Bagi pendukung ‘Teori Akuntansi Positif (TAP), misalnya Watts dan
Zimmerman (1986), tujuan utama dari teori akuntansi tidak lain adalah
menerangkan dan memprediksi praktik akuntansi (Watts dan Zimmerman,
1986: 2). Menurut mereka, yang dengan dimaksudkan dengan menerangkan
‘adap praktik akuntansi
Jogi, akuntansi—
disini adalah memberikan penjelasan-penjelasan terh
yang, sedang diobservasi, Misalnya, teori akuntansi harus menerangkan
mengapa perusahaan-perusahaan tertentu lebih suka menggunakan metode
IFO untuk menilai persediaannya daripada metode FIFO. Sedang yang
adalah bahwa teori dapat juga digunakan
rvasi (unobserved
dimaksud dengan memprediksi
si fenomena akuntansi yang belum diobser
ig akan datang maupun fenomena
untuk mempredi
‘accounting phenomena) baik fenomena yan
masa lampau (lihat juga Henderson dik, 1992).
AKUNTANS! SYARIAH_ 181akan teh pendtokun TAP di tay ggg
ori hanya bisa diperoleh deny
sebab-akibat dari elemen-olgyn
dalam realitasobjektif—praktikeprajgy
menunjukkan adanya j
kom
pkan bahwwa
ungan
Konsep teort yang
cpistemologis mongers auares
\ iti regularitas (a
jalan meneliti ree! oo79.8)
tertentu (Burrel dan Morgat 1 nt las
cam las
jansi, Pen} ertian semat . . iratkan:s
ees subjeknya. Ini menyiratkan si .
i srvasi dengan
oie eed ritersebut dan sekaligus menampakkan kenetratanny,
ue judgement dari subjek yang berarti juga ahistoris
+ teori semacam inilah yang berpredikat ilmiay
1986; Henderson et al. 1992),
ral antary
yang dianut olch teo
tidak melibatkan val
(Hines, 1989). Bagi mereka,
(scientific) (Watts dan Zimmerman, :
Hal itu demikian, karena secara ontotogis mereka berpijak pada filsafay
realisme, Filsafat ini mengklaim adanya dunia realitas objektif (4 world oy
objective reality) yang eksis secara independen terhadap = manu: sia dan
memiliki sifat atau esensi tertentu yang, dapat diketahui atau ditelit
yang ada "di luar sana’—praktikepraktik akuntansi—dianggap independen
dari subjek (akuntan) dan konsekuensinya, pengetahuan (teori) hanya bisa
diperoleh atau dianggap ilmiah bila subjek dapat secara tepat dan objektif
menemukan realitas objektif tadi (Chua, 1986: 606).
Penelitian-penelitian Akuntansi Positif (lihat Hines, 1989), misalnya
capital market dan agency theory, biasanya menggunakan variabel-variabel
seperti aktiva bersih atau kotor sebagai ukuran (size) perusahaan, dan
Jad, apa
rasio-rasio. neraca sebagai ukuran leverage, untuk menggantikan atau
menggambarkan sifat-sifat atau keadaan perusahaan-perusahaan. Di sini
tidak dikemukakan bahwa cara semacam tersebut di atas adalah usaha
pengulangan yang tidak memberi kejelasan dalam upaya menerangkan peri-
Jaku akuntansi yang menggunakan ukuran-ukuran yang sebetulnya adalah
produk perilaku akuntansi itu sendiri. Para peneliti Akuntansi Positif tidak
melihat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebetulnya tidak eksis
secara independen terhadap peritaku akuntansi yang mengukur perusahaa"-
Perusahaan itu.. Mereka tidak sadar bahwa se
dari, yang menurutistilah Hines
endeavour).
mua penelitian tidak terlepas
(1989: 56), usaha sosio-politik (sociopolitica!
Namun bagi mereka yang anti ‘1
molopi TAP ara yang anti TAP, dasar pijakan ontologi dan episte”
bide (1982: 167) ee aa, Karena seperti yang dikatakan oleh Tithe?
+167), penelitian akuntansi (an ) samt
sekali tidak bisa bebas nilai
au ilmu pengetahuan lainny®
AGW netral seca pbjektif ata”
. Reali
182 EAB T:SYAHADAT AKUNTANS|-yebenaran’ tidak bisa berdiri sendiri atau tidak bisa bebas dari persepsi
dan prasangka manusia, Bahkan secara ontologis, realitas "objektit” tadi
tidak Tain adalah nama-nama, konsep-konsep, label-label hasil_ kreasi
manusia semata yang digunakan Ennai mengonstruk realitas (Burrell dan
Morgan, 1979: 4). Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, para penentang
TAP secara epistemologis mengklaim bahwa realitas (sosial) pada dasarnya
adalah relatif dan hanya bisa dimengerti oleh subjek yang secara langsung
terlibat dalam aktivitas, dan masuk ke dalam kerangka referensi yang sedang
berlangsung dari partisipan, di mana realitas “objektit” tadi sedang dipelajari,
Jadi, sescorang harus mengerti dari “dalam,” bukan dari
(Burrell dan Morgan, 1979: 5).
“lar” (observasi)
Sampai saat ini, pola pemikiran Akuntansi Positif masih tetap dominan—
meskipun dalam dekade terakhir ini telah muncul pemikiran alternatif, yaitu
(Teori) Akuntansi Interpretif [Interpretive Accounting (Theory)] dan (Te
Akuntansi Kritis [Critical Accounting (Theory)|—dalam duni
praktik-praktik akuntansi modern. Dan mem;
kenyataannya permintaan dan ke
ori)
a pemikiran dan
ang harus diakui bahwa dalam
‘butuhan akan ilmu-ilmu positif sangat tinggi
karena sifatnya yang bebas nilai dan memberikan manfaat yang nyata (Hines,
1989) dalam kehidupan manu:
Dalam dunia praktik,
dominasi pola pemikiran ini bisa dilihat, misalnya,
pada perilaku akuntan, Se
1a historis, akuntan berkeyakinan bahwa hakikat
akuntansi sebetulnya terletak pada pencarian objektivitas, dan sebagai impli-
kasinya, akuntan begitu yakin bahwa ia bisa bersikap objektif menyajikan
realitas dengan cara-cara yang “benat” (Morgan, 1988), Namun, apakah benar
demikian? Morgan dalam hal ini menyanggah:
~ int adalah keinginan yang tidak mungkin, .. para akuntan hanya mampu
menangkap aspek-aspek yang terbatas dari realitas di mana pola akuntansi
dihubungkan [dengan realitas tersebut}, Akuntansi tidak akan pernah
benar-benar objektif.. Para akuntan selalu terikat pada observasi mereka
melalul prinsip-prinsip dan praktik-praktik akuntansi yang pada hakikatnya
berdasarkan pada metafor-metafor yang mengakibatkan cara pandang satu-
sisi (one-sided) dan parsial atas dunia (realitas] (1988: 482).
Mitos objektivitas, bagi Morgan (1988: 482), mengaburkan hakikat
Sejati dari akuntansi dan menciptakan berbagai masalah operasional, karena
seper
“ti telah diketahui secara umum, akuntan menciptakan asumsi-asumsi
dan konvensi-konvensi—misalnya, metode penyusutan, metode penilaian
Persediaan, metode pengakuan pendapatan dan beban, dan Jain-lainnya,
AKUNTANSI SYARIAH 183gan asumsi-asumsi dan
+ (arbitrary). Dengan asvn> kone
ang” (arb Tereduksi menjadi dunia ang, “"s
mbers). Dan akuntan, dalam, hate
dan meyakinkan pihak Jain tng in,
Fan
ssewenangwe™
but, dun
untansi (accu
yan rea
secant
Konvensi ters!
angka-angka @
berusaha mengea
renga vas yong tinggi, angka-angka akuntans{ Menjay:
Dengan objel
dan dianggaP dapat membantu meningkat
K ng “sakeral” dan 1”, kepenti atkan
oe i bagi pihak-pihak yang berkepentingan melaly bap
i ™ i ia i : -
kesejahteraan Ce exgroml Dan, sebagai penyedia informasi, akuntans
ambilan kepatuea sebagai, misalnya alat_ pengawasan ™anajeme
j jigunakan ly i, : <
juga eh raruntuk meningkatkan efektvitas dan efisiens; 3.)
ee agency costs, dan Jain sebagainya. Karena akuntangj telah
aigentidan dengan angka-angka, maka tidak aneh bila kemudian timpy,
oe erti yang dikatakan Morgan (1988) tadi, berbagai masalah operasional, p;
wma sakit, misalnya, karena ingin memenuhi target efisiensi tertentu yang
telahditetapkan dalam budget akhirnya orientasi kerja para pegawai berubah
Mereka cenderung mengalihkan orientasi yang semula patient-orienteq
Dari hasil penelitian memang menunjukkan
ia realitas
inting Mu)
Jitas tadi,
menjadi administrative-oriented.
adanya peningkatan efisiensi, namun di pihak lain cara kerja para pegawai
akhirnya kurang manusiawi (Morgan, 1988: 482). Fenomena ini adalah nyata,
meskipun ia terjadi di rumah sakit yang notabene bukan organisasi bisnis.
Apalagi dalam organisasi bisnis. Tidak jarang, untuk mencapai efisiensi dan
angka laba yang tinggi serta untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu
(kapitalis, misalnya), manajemen perusahaan tidak segan-segan membayar
pegawainya (buruh) dengan upah yang sangat rendah. Dengan motif yang
sama pula, perusahaan mengeksploitasi kekayaan alam, memproduksi
barang tanpa melakukan treatment yang memadai atas limbah buangannya
dan tanpa memerhatikan keseimbangan serta kesehatan lingkungan. Semua
ini adalah segelintirrealitas negatif tanpa visi kemanusiaan dan lingkunga™
Yong frst arena mites akantas! yang objet, yang ering aka nh
Yen ipraktkan secaratagidtanpa sama sekali melihatnilai-nilai loka 3”
kemanusiaan,
Begitu tingginya ke
pai
Hines (1989: 60) denpay
Percayaan terhadap Akuntansi Positif, sampai-s™
gaya sinisme mengatakan:
184 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS|songguh, sangat sult dibayangkan bagaimana perusabaan-perusahaan bisa
Sorestanpa akuntansi Keuangan. Tanpa akuntansi kevangan, perusahaan.
Strusahaan tidak mungkin dapat diukur Dar mana kategor-kategortertenty
pe aiperoleh, yang dengannya kita bisa memikirkan, mengakui dan membuat
xeputusan serta melakukan tindakan berdasarkan kategor-kategor tersebut,
jie tidak dari akuntansi Kevangan? Apa jadinya “posisi keuangan* (financial
position) atau “Kkinerja" (performance) atau “besar'nya (size) perusahaan
tanpa akuntansi keuangan? Tanpa konsep “aktiva” (assets), “utang" (liabilities),
modal” (capital) dan"laba" (profit), pertanyaan-pertanyaan tentang keschatan,
xinerja dan ukuran perusahaan akan sulitdijawab. Sulit membayangkan dunia
ckonomi tanpa akuntansi keuangan (dan manajemen)... tanpa akuntansi
keuangan, atau Ketiadaannya, seperangkat alternatif praktik-praktik sosial,
dunia ekonomi, dan kemudian masyarakat seperti yang kita ketahui sekarang,
tidak akan eksis.
Apa yang dikemukakan oleh Hines tidak lain merupakan refleksi atas
realitas sosial yang ada sekarang, yaitu realitas dominasi Akuntansi Positif
yang tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis dan kehidupan masyarakat.
Selanjutnya Hines (1989: 61) mengingatkan bahwa praktik dan standar
akuntansi, yang berpengaruh terhadap ukuran, kinerja, dan kesehatan
perusahaan, dan yang dengan demikian memengaruhi perilaku dan realitas
sosial, tidak terlepas dari campur tangan politik yang bisa jadi kontroversial
dan bertentangan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Sejak penetapan
standar (standard-setting) akuntansi mulai dimengerti sebagai kegiatan
politik, pihak profesi akuntansi dan badan yang menetapkan standar (stan-
dard-setting boards) menghadapi masalah dalam mempertahankan “kesucian”
pengertian bahwa akuntansi secara independen dan netral “mengukur”
realitas. Sekali lagi, apa yang dikatakan Hines adalah goyangan terhadap
kesaktian ajimat Akuntansi Positif.
Syahadat Akuntansi
Kondisi di atas memperlihatkan bagaimana Akuntansi Positif menggiring
Perilaku manusia ke arah tertentu melalui jaringan-jaringan realitas yang
diciptakannya, Dengan jaringan-jaringan realitas ini, manusia di dalamnya,
secara sadar atau tidak, digiring oleh, dan tunduk pada arus positivisme
yang kuat. Upaya untuk menghindari kondisi semacam ini ‘mulai tampak
dengan munculnya Akuntansi Interpretif dan Akuntansi Kritis. Perubahan
bisa saja terjadi, terutama hal ini bisa dilakukan oleh Akuntansi Kritis,
karena Akuntansi Kritis membawa misi emansipatoris di samping memiliki
AKUNTANSI SYARIAH 185ma dengan ‘Akuntansi Interpretif. Namun, MT
rpretif. ‘Akuntansi Interpretif tidak memb, inj
riahankan status quo, namun d tv
perikan kesadaran ontologis 5,
gis yang 5
juntansi Inte!
kesadaran ontolo}
A
berbeda dengan .
rissi emansipasi 12 i eo
a sia vat akuntansi, misalnya—sebenarnya ies
a us manusia, ukan sesuatll YONB sudah ada “di ms
taken for granted (lihat Chua, 1986). Dengan kata mn
if ingin menunjukkan bahwa realitas sosial Sebetuln,
pula independen dari nilai manys,
ia
if dan tidak pernah nde
realitas sosial adalah subjektif.
silih bergantinya realitas sosial atau “dialektika pencerahan”—menyryy
istilah Adorno dan Horkheimer (1973)—adalah sesuatu yang tidak dapat
idupan sosial manusia. Suatu kuasa dapat
dihindarkan dalam realitas kehi a
digantikan oleh kuasa yan Jain, dan kuasa yang kedua akhirnya juga dapat
digantikan oleh kuasa_berikutnya dengan bentuk yang lain, demikian
seterusnya. Masing-masing jenis kuasa secara lami akan selalu mendominas}
dan menundukkan manusia dalam kekuasaannya. Ketika, misalnya Kar]
membebaskan manusia dari ideologi
Marx dengan Teori Kritisnya berusaha
kapitalisme, maka secara tersirat terlihat bahwa setelah manusia terbebas
dari kapitalisme—kalau berhasil—secara otomatis manusia yang sudah
“dibebaskan’ tersebut akan masuk dan terikat ke dalam ideologi yang baru,
Jadi, kuasa—mitos atau rasio atau kebebasan atau bentuk-bentuk lainnya—
bisa saja berupa kuasa yang semu, atau sebaliknya kuasa yang sejat
Masalahnya adalah bagaimana kuasa sejati itu bisa ditemukan dan dijadikan
kuasa yang mendominasi dan menundukkan manusia dalam kekuasaannya.
Fenomena ini sebetulnya sudah tersirat dalam kalimat “al-nafy wa
al-itsbaat” atau “negasi dan konformasi,’ yaitu kalimat syahadat—Tiada
Tuhan, kecuali Allah (laa ilaaha illAllah) yang merupakan esensi dari ajaran
Islam. Kalimat pertama menunjukkan adanya negasi terhadap keberadaa"
faserivasa semu, yaitu adanya semangat pembebasan dari kekuasa@"
Eon ee tidak layake menguasai diri manusia. Namo
terhadap sesuatu ees cee geen oes i
aie a benar dan sejati sehingga manusia tidak =
al dal aura yang tears atone ene semana cee an
intrinsik benar, benar dalam dirinya Se"
si
k
abi
dan diterima secara
‘Akuntansi Interpret
tidak pernah objektif dan
yang menciptakanny2- jadi,
186 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS|jukan faktor lwar untuk membenarkannya (Madjid, 1992;
mer! tas
jah tidak lain Tuhan Yang Maha Kuasa,
idak me
ee dimaksud di sini adal
Kekuasaan-Nya dihamparkan dalam beatek ayat-ayat qauliyah dan ayat-
yang darisisipandangan epistemologis merupakan duasumber
komplementer harus digunakan untuk mengetahui kehendak-
allah atau the will of God), yaitu kehendak yang diekspresikan
ic hukum-hukum alam, sosial, dan spiritual, Di dalam kehendak
katkan diri menundukkan dirinya secara total.
ayat kauniyal
yang secara
Nya (Sunnat
dalam bentul
jnilah manusia sejati mengi
Dengan ungkapan fain, manusia
sadartunduk dan patub pada jaringan-jaringan kuasa Tuan yang diwujudkan
dalam bentuk hukum-hukum tad, Untuk mengetahui jaringan-jaringan kuasa
nusia dapat menggunakan akal dan hatinya, Keduanya adalab amanah
jati, dalam Kehidupan sosialnya, secara
ini, mat
‘Tuhan yang diberikan kepada setiap diri manusia, yang. bila digunakan dalam
takaran yang proporsional dan seimbang, akan mampu menemukan jaringan-
jaringan kuasa tersebut.
Hakikat Diri Manusia dan Ontologi Tauhid
Usaha pencarian jaringan-jaringan kuasa seperii tersebut di atas,
sebetulnya bukan pekerjaan yang sederhana dan rnudah. Karena usaha ini
tidak hanya melibatkan kajian-kajian akan hakikat diri manusia (human
nature), tetapi juga kajian-kajian ontologis, epistemologis, metodologis, dan
aksiologis. Hakikat diri manusia dan pandangan ontologis terhadap realitas,
dalam konteks tulisan ini, adalah dua hal yang sangat penting, Karena,
persepsi tentang hakikat diri akan memengaruhi cara-pandang seseorang
terhadap realitas-realitas yang dihadapi dan yang akan dikonstruksi. Dengan
mempersepsikan diri sendiri sebagai homo economicuc, misalnya, akan
mengantarkan cara-pandang orang tersebut kepada realitas dari sudut
pandang ekonomi saja. Akibatnya, tindakan-tindakan yang akan dilakukan
cenderung mengarah kepada pembentukan realitas yang berorientasi pada
ekonomi.
Tentu hal ini sangat berbeda bila seseorang mempersepsikan dirinya
sebagai Khalitullah fil Ardh (QS Al-Bagarah [2]: 30). Dengan semacam ini,
secara etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagl
seluruh makhluk (QS Al-Anbiya [21}:107) dengan ja!
munkar (QS Ali ‘Imran [3]: 110). Pencapaian akan peng
Jan amr ma’ruf nahi
vertian hakikat diri ini
AKUNTANSISYARIAH 187rs metakukan proses dialektik dalam dirinya sen,
Z of sel) Y2P8 melibatkan akal dan Kalbunya, pj
mnemukan hakikat dirinya, maka ia dapat menggun,
; perspektif untuk melihat dan memp,
keonsep Khalitullah filArdh anand me Dan dengan ae
kernbali reals eas ran ontologis, yaitu suatu kesadaran, =
sama, a dapat See ahwa ralitas sosial sebetulnya adalah reas
alts yang lekat dengan natal yang si manage
itu sendiri, dan demikian juga tidak terlepas dengan nilai-nilai etika,
Dengan asumsi ontologis semacam itu, seorang akuntan tidak hanyg
diminta secara kritis melihat dan mengerti hubungan antara akuntan jty
sendiri dengan apa yang harus dipertanggungjawablan (accounted joy
(Morgan, 1988: 484), tetapi juga dituntut bagaimana menciptakannya. Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seorang akuntan dengan perspektif Kha.
Iitullah fil Ardh akan merujuk pada ayat berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditencukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulisenggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbya,
dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya (QS Al-Bagarah
(2): 282),
dapat dilakukan den
(internal dialectic pro
telah mencapai dan me!
aig
akan
Ayat tersebut bisa dijadikan dasar acuan untuk merefleksikan potensi
nilai-nilai keadilan yang dimilikinya dalam bentuk tindakan nyata. Kata
“dengan adil” atau "keadilan’—yang menurut Departemen Agama diterje-
mahkan sebagai “dengan benar” — dalam pengertian “keaditan Ilahi”, dalam
ayat tersebut di atas, pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar, yaitu
tauhid dan Islam (dalam arti penyerahan dan ketundukan kepada Allah), dat
keadilan (dalam arti keyakinan bahwa segala perbuatan manusia kelak akan
dinilai oleh Allah) Jadi, dengan melihat unsur yang terkandung di dalamnye
ini, keadilan tidak terlepas dari nilai-nilai etika atau moralitas—yang tidak
He
- adalah wahyu atau hukum-hukum Allah ity sendiri (Rahardjo, 19%
Dalam konteks akuntansi,
aks seorat j nila
keadilan lahi" sebagai dasar pij a DE ener
akan dalam berinteraksi dan mengonst'™'S
‘188 BAB7:SYAHADAT AKUNTANS|
=tas sosil. Ini berarti bahwa akuntansi —sebagai sebuah disiplin atau
ar tidak dapat berdiri sendiri. Akuntansi selalu terikat pada realitas
isl di mana akuntansi tersebut dipraktikkan, Hal ini karena akuntansi
tikiaskan sebagai cermin yang digunakan untuk merefleksi realitas sosial
{Mtorgan, 1988; Dillard, 1991), Dan perlu diketahui hahwa cermin itu sendiri
juga adalah produk dari nilai-niai ideologis di mana cermin itu dibuat (Tricker,
1978: 8). Pernyataan ini juga mempunyai makna bahwa “keadilan Ilahi" harus
terkandung di dalam realitas sosial dan akuntansi. Mengapa demikian? Karena
jika akuntansi dikonstruksi dengan nilai ideologis lain yang tidak kompatibel
dengan niiai “keadilan ahi,” maka informasi akuntansi yang direfleksikan
dari realitas sosial yang dibangun dengan nilai “keadilan Ilahi" akan berbias
dan terdistorsi oleh nilai ideologis yang digunakan untuk mengonstruksi
bangunan akuntansi itu. Tentang hal ini Dillard mengisyaratkan:
Persepsi kita tentang “realitas” adalah seperti pada saat kita menatap permu-
kaan cermin, Kita hanya dapat melihat apa yang direfleksikan oleh cermin itu
pada kita. Permukaan cermin yang berbeda (Karena kerangka ideologi yang
berbeda) akan merefleksikan realitas yang berbeda pula (1991: 9).
Dengan demikian, semakin jelas bahwa akuntansi yang dikonstruk
dengan dasar ideologi yang berbeda akan merefleksikan realitas dengan
bentuk yang berbeda. Keadaan semacam ini akan menjadi semakin krusial,
ketika hasil refleksi tersebut—yaitu informasi akuntansi—kemudian dikon-
sumsi oleh orang lain yang pada akhirnya akan membentuk realitas-realitas
baru.
Konsekuensi ontologis yang harus disadari oleh akuntan adalah
bahwa ia secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan
realitas-realitas semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian
memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa
ahi yang rnengikat manusia dalam hidup sehari-hari, Dengan cara demikian
realitas altematif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri (self
consciousness) secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada
kuasa Hahi, Dan dengan kesadaran diri ini pula, ia akan selalu merasakan
kehadiiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada. Inilah
yang dimaksud dengan ontologi tauhid itu. Jadi, dengan asas keadilan Hahi
tadi,realitas sosial yang dikonstruk mengandung tauhid dan ketundukan pada
jaringan-jaringan kuasa ilahi; yang semuanya dilakukan dengan perspektif
Khalifatullah fil Ardh, yaitu suatu cara-pandang yang sadar akan tanggung
jawab kelak di kemudian hari di hadapan Tuhan Yang Maha Esa,
AKUNTANSISYARIAH— 189Realitas Organisasi dan Dasar Epistemologi Akuntans)
(ei
ikro, realitas sosial tadi dapat diidentikkan den,
emanate tas yang diciptakan dalam organisasi bisnig,
eet ho g diciptakan dalam ontol,
‘gan Fealtas
. Schin,
organisasi, BS van i ta
terbentuk suatu Kondis i a erat dak hy
tadi, Bila realitas organis: ansasiint akan menebarkan rahmat yet
kemungkinan realitas orem i tertiat dalam operas! organises 83
bagi mereka yang secara aktif terli ‘des
masyarakat luas dan ingkungan alam sekitarnya, ser
Cita yang cukup ideal ini bisa direalisasikan bila organisasi dij
(metaphorised), misalnya dengan metafora jamanah) Penggunaan Metaforg
semacaminisangatpenting, karenadengancarainiseseorangakan meraneay
organisas (Iihat Morgen, 1986). Paling tidak, teori-teori manajemen Kacy
terutama yang dipelopori oleh Taylor (1911), Fayol (1949), dan Webe,
(1946) tentang teor birokrasi, adalah teor‘-teori yang dikembangkan unt,
merancang organisasi berdasarkan pada sebuah metafora, yaitu metafry
mesin. Mesin, sebagaimana umum mengetahui, adaiah sebuah benda yang
secara rasional dirancang untuk melakukan suatu pekerjaan dalam upaya
menghasilkan produk tertentu, Dengan menggunakan imajinasi mesin ini,
‘eorteori tersebut dikembangkan. Seolah-olah organisasi tersebut adalsh
sebuah mesin yang dirancang sedemikian rupa, dengan menggunakan,
misalnya struktur organisasi formal, deskripsi kerja dan lain sebagainya,
untuk mencapai tujuan tertentu, Manusia, dalam konsep teori-teori semacam
ini, dianggap sebagai “onderdil-onderdil (spare parts) yang dilatih dengan
keahlian tertentu sesuai dengan fungsi di mana mereka akan ditempatkan
Dan nilai mereka akan dihargai sesuai dengan kemampuan instrumental yang
mereka miliki (lihat Morgan, 1980:614), Konsekyensi
teori ini adalah terciptanya realitas yang menyel
‘erasing dengan dirinya sendiri dan lingkungannya,
Banyak metafora lain, Seperti cybernetic system, population ecology
political system, theatre, culture, dan lain-lain, yang berdiri pada paradigm
Positivistik yang bisa digunakan
1980). Namun,
Xetapi jus
laskan
190 bap 7, SYAHADAT AKUNTANS|
SE+ Realitas organisasi semacam ini yang harus direfleksikan oo
ni Rel Ich akuntansi Karena dengan “objektivitas” ini, akuntans ida
“i piatan tau mendstorsitan“ealasorganissiomanahkeberey
realita lainnya.
Objektvitas ini bisa dilakukan bila ada rekonstruksi teori akuntansi,
terutama dari sisi pijakan epistemologinya. Dasar epistemologiterpenring,
adalah sikap terbuka (open-minded) terhadap segala bentuk pemikiran, Ini
berarti bahwa untuk merckonstruksi teori akuntansi diperlukan ae
keterbukaan dalam menerima tcori-teor lain, sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran dasar Islam. Atau dengan ungkapan lain, epistemologi ini
tidak periu menolak secara total teori-teori akuntansi dari perspektit
perspektif lainnya, melainkan harus secara rasional_ memanfeatkannya
sebagai pelengkap bagi teori akuntansi (Islam) yang lebih komprehensif dan
berwawasan taubid (cf. Bashir, 1986). Sikap terbuka mi merupakan salah
satu konsep epistemologi Islam yang pada dasarnya menerima dan Seth
adanya kemajemukan, Sikap ini dapat dipertegas oleh pemyataan Dhacuadi
yang mengatakan:
Islam tidak menerima dualisme, tetapi mengakui adanya pertemuan dan
kesatuan dalam kemajemukan itu. Menurut pandangan Islam, memisahkan
jasad dan ruh adalah tindakan melawan hakikat sesuatu, karena hal ini
‘elanggar prinsip Islam yang sangat fundamental, yaitu tauhid (1993: 155).
Secara epistemologi, pandangan ini jelas menolakadanya dikotomiantara
dua hal yang bersifat berlawanan, tetapi sebaliknya: la menerima bahwa dua
{atau lebih) yang berlawanan (atau berbeda) itu saling melengkapi. Misalnya,
jasad tidak dapat meniadakan ruh, dan ruh tidak dapat meniadakan jasad,
Akal tidak dapat meniadakan galbu, dan qalbu tidak dapat meniadakan akal;
keduanya adalah pasangan yang saling melengkapi. Demikian juga, objek
imu pengetahuan (penelitian) tidak dapat dipisahkan dari subjek ilmuwan
(heneliti), Ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah adalah ayat-ayat yang
saling melengkapi, Agama dan ilmu pengetahuan juga adalah unsur-unsur
Yang saling melengkapi dalam pengembangan ilmu pengetahuan itu sendii
dan pemahaman terhadap agama,
Dengan epistemologi semacam ini, produk teori akuntansi yang
Ainasitkan akan memiliki wawasan yang lebih Iuas dibanding dengan teort
akuntansi tradisional, Hal ini demikian, karena teort ini tidak hanya berdiri
Pada asas etis-epistemologis yang universal, yaitu keadilan abi, tetapi
[AKUNTANSI SYARIAH 191ansendental dan teleologikal, la tidak han
Yerpentingan duns (Diss) manus
tiaktwalisasikan dalam kesadaran dirj untuy
am asa Hai, Barangali ita soap
rn bisa dijadikan teori alernayp
hada sebelumnya,
juga memitikisifat yang 10
memberikan perhatiannya pada
juga kepentingan ura, yan lak
hidup harmoni dengan jarin ring:
(teori) akuntansi pada masa mmendata iL
papi teori-teor’ akuntans! innya yang, te
Penutup
Peradaban Islam pada awal ke}ay’
i kemajuan peradaban mani
Kontribusi terbesar yang diberikan Mustim dalam disiplin akuntansi ada,
sistem angka Arab-Hindu, imu alba, dan sistem perdagangan yang cokyp
mnaju. Majunya peradaban Islam ini tidak terlepas dari konsep teologis
yang mereka anut, yang, memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya
dalam kerangka iman yang tetap terpelihara. Ketika pola berpikir bebas
ini ditinggalkan, peradaban Islam menjadi mundur dan berada pada posis
marginal.
annya banyak memberikan kontribus
ia pada era berikutnya,
yang, sangat berarti ba
p teologis tradisional yang, konservatif dan eksklusif membawa
Konsey
lusif.
umat pada
Fenomena ini sebetulnya bukan khas milik umat Islam, tetapi juga bisa
Jimensi kehidupan yang lain,
ih tetap didominasi oleh
mini hanya
ingan kuasi
ringan-jaringan realitas yang juga Konservatif dan eks
ditemukan pada umat Jain, atau_dimensi
seperti dunia akunt
Akuntansi Positif, yang
bisa diubah bila ada usaha pembebasan dari ikatan jaringan-ja
aan, bila kemudian timbul pemikiran-pemikiran ke
nt, G.W.E. Hegel, dan
ila dasarnya masih
realitas tadi, Tidak he!
an yang, dipelopori oleh Immanuel Ki
arah pembeba
Karl Marx dengan teori-teori kritisisme mereka, yang fi
berada dalam paradigma modernitas, Model serupa juga dikemukakan oleh
para posmodernis yang menggugat kejumudan “proyek modernita
Akuntansi Positif —yang juga produk dari modernitas dan yang terlanjur
dijadikan mitos—juga tidak terlepas dari sasaran serangan teorikritis. Karen?
Akuntansi Positiftelah, sedemikian rupa, menciptakan realitas yang mengikat
ee pada kondisi tertentu dan membentuk perilaku serta pola berpikit
? et ve dalam eyatanya banyak memberikan dampak negatif dalam
muneulnya Teor Ak paya untuk mencari alternatif telah dilakukan dené*"
intansi Interpretif dan Kritis,
192 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANSI‘Alternatif| Jain juga bisa dilakukan aengan menggunakan Pendekatan
endekatan ini mencoba memberikan Pengertian yang utuh akan
am, Pei manusia yang dengan pengertian ini seseorang memiliki cara
Jebih komprehensif, transendental, dan teleologikal tentang
pan, Pendekatan ini memberikan Suatu pengertian bahwa
rasa aris doebaskan dar katanjaTINB2Naringan kuasa semu—yang
diciptakan oleh, misalnya, Akgntans! Positif atau yang lainnya—untuk
emudian diikat oleh jaringan-jaringan aan ahi. Dengan cara mengikatkan
dit padajaringan-jaringan kuasa lah ni diharapkan timbul kesadaran di
yang penuh akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia setiap saat dan di
Islam, pend
pakikat diti
pandang YanB
realitas kehiduy
mana saja.
Realitas semacam ini, misalnya realitas organisasi, harus diciptakan,
danakuntansi — sebagai salah satu bagian dari realitas itu —tidak bisa berdiri
sendiri. Akuntansi dan realitas organisasi terpilih sedemikian rupa dan saling
memengaruhi. Oleh karena itu, agar realitas organisasi tidak menyimpang
dari nilai yang mendasarinya, maka akuntansi yang merefleksikan realitas
organisasi ini juga secara epistemologis harus dikonstruksi berdasarkan atas
nilai yang sama. Dengan cara demikian, keduanya akan saling memperkuat.
Pokok Pikiran
Peradaban Timur (Islam) pada dasarnya telah memberikan kontribusi
bagi ilmu pengetahuan—akuntansi. Namun pada perkembangan berikutnya,
masyarakat Muslim terperangkap pada sikap yang sangat konservatif. Sifat
konservatif ini tampak pada sikap irrasional, taglid, eksklusif, dan pasif.
Akhirnya masyarakat Muslim tertidur dengan mimpi indah tentang kejayaan
masa lalu Islam, Umat Islam selalu berapologi dengan mimpinya. Ketika
dikatakan kepada seorang Muslim bahwa masyarakat Barat saat ini sudah
melakukan perjalanan ke luar angkasa, maka jawaban orang Muslim itu
adalah; “di Al-Qur’an itu semua sudah ada dan sudah dijelaskan, mau apalagi
kita? Bahkan perjalanan Nabi Muhammad Saw. dengan isra-mikrajnya jauh
lebih hebat dibanding dengan orang Barat” Begitulah kira-kra jawaban
seorang Muslim untuk berapologi tanpa menyadari keadaan dirinya,
kan kontribusi terhadap
tata buku berpasangan,
k kontribusi ini secara
Jslam sekarang hanya
Selain perdagangan, umat Islam telah member
Peradaban Barat (akuntansi) dalam bentuk sistem
angka Arab-Hindu, dan Aljabar (matematika). Bentu!
nyata mewarnai peradaban modern. Namun, umat
AKUNTANS! SYARIAH = 1931 dan perkembangan iim oq
Be
aya yang sunggub-sungeuh unt
peradaban mans yong rh,
an
menonton bergulirnya peradaba
fakuntansi) tanpa melakukan up
berkontribusi bagi keberlangsungan
aa lamiin. —
ikap konservatif rupanya juga sedang menjangkiti para aly
Sikap kons gap bahwa akuntansi modern yang sedang dip
‘Akuntan menganggap bahwa a x age
saat ini adalah akuntansi yang sudah sempurna. Tidak perlu lagi gig,
an dalam rangka menyempurnakannya, Jaditah
ahan-perubah:
pena 1 tidak sebetulnya telah meng,
i i i atau
tansi sebuah mitos yang disadari al 7 need
realitas dengan nilai yang dikandungnya, yaitu nilai kapitalisme,
kup,
Plakay
Langkah perubahan perlu dilakukan agar manusia tidak terperang.,
dalam jaringan kuasa materialisme yang sedang diusung kapitalsne
Pembebasan perlu segera dilakukan dengan cara memahami dirt melyy
proses dialektik dalam dirinya sendiri (internal dialectic process of )
yang melibatkan akal dan kalbunya, Proses ini mengantarkan akuntan padg
Perspektif Khalifatullah fil Ardh yang dengan perspektif ini akuntansi dapat
disyahadatkan, Jadilah akuntansi syariah! Akuntansi syariah dapat mem.
bantu terbentuknya realitas yang bertauhid,
Pertanyaan Tingkat Dasar
1. Apa saja_kontribusi umat Islam terhadap akuntansi (peradaban
modern)?
2. Faktorapa yang menyebabkan umat Islam pada saat ini tidak lagi mampu
memberikan kontribusi pada peradaban manusia?
3. Apa yang menyebabkan akuntansi modern dianggap sebuah mitos?
Pertanyaan Tingkat Menengah
ae
1. Bagaimana caranya melakukan perubahan pada akuntansi modern yang
sudah terlanjur dianggap sebuah mitos?
2. Mengapa pertu dilakukan perubahan terhadap akuntansi modern?
3. Mampukah akuntansi syariah menciptakan realitas yang bertauhid?
194
BAB 7: SYAHADAT AKUNTANS