You are on page 1of 26
7 SYAHADAT AKUNTANSI: TELAAH KRITIS MENUJU ONTOLOGI TAUHID AKUNTANSI Bagi orang awam, akuntansi barangkali dapat digambarkan sebagai sebuah media yang umum digunakan dalam dunia bisnis. Dengan teknik tata- buku berpasangan (double entry book-keeping)-nya, yang muncul kira-kira lebih dari dua abad sebelum Luca Pacioli mengangkatnya dalam Summa de Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalita pada 1494, ia mampu memberikan kontribusi yang besar dalam berkembangnya akuntansi itu sendiri—baik sebagai ilmu pengetahuan maupun praktik—dan pesatnya laju sistem ekonomi kapitalis. Bahkan Werner Sombart mengklaim bahwa tata buku berpasangan, yang merupakan elemen utama akuntansi modern, adalah representasi simbol dari semangat kapitalisme (the spirit of capitalism) (Storrar and Scorgie, 1988). Pada dasarnya tata buku berpasangan mulai dikembangkan dari persamaan aljabar yang kemudian dikenal dalam dunia akuntansi sebagai persamaan akuntansi (accounting equation). Dengan dasar persamaan ini transaksi-transaksi yang terjadi dalam sebuah entitas, hanya mempunyai pengaruh pada perubahan-perubahan persamaan akuntansi tersebut tanpa memengaruhi kesamaan (equality) dari unsur-unsur yang ada pada posisi kiri (debet) dan kanan (kredit) dari persamaan tersebut (Hatfield, 1976; lihat juga Sprague, 1907; dan Cronhelm, 1978). akuntansi tersebut sebetulnya, menurut Storrar s dari keterlibatan Leonardo da Pisa yang, perjalanan ke Mesir, Syria, Yunani, dan ardo da Pisa-lah Keberadaan persamaan and Scorgie (1988), tidak terlepa Pernah belajar dan melakukan Sisilia Storrar and Scorgie (1988) mengklaim bahwa Leon 169 emperkenallan 3 ka Arab-Hindy day ay, naya di beberapa tempat tersehyy iH i hay secara efektif telah van sil | a Barat dari has : ke Eropa carer gatuesauuny orang yang pertama mengenal ayy Meskipun i penarnya orang, pert Ya mendorong, pengyrunaay a 3, Se hari, termasuk tha tapi di untuk berbagi Kemudian dari P n secara tcl dalam kebidupan akuntans Arab-Hindu dan i ims, aj maksu bar ini, tata buy engenalan angke knis berkembangs- berpasangal Dengan melihat secara Sint i berusaha menjela nti angka Arab-Hindu, ilmu alje buku berpasangan jy snan umat Islam dalam meletalda, eletakan bar (matematia, day fi perkembangan akuntansi modern yang ada pad b pada pad n tidak terlepas dari pema tulisan dasar-dasar—sepe! sistem perdagangan—baf saat ini, Peranan ini sebetulny? teologi mereka, yang dipaham yang kokoh, Dalam kerangkka pemahaman (cologi semacam ini, me cara bebas dan ras tidak ar bagi akuntansi, tetapi jupa hanya mampu memberikan kontribusi yang, bes bagi peradaban manusia, Namun, ketika umat Islam meninggalkan dasar- dasar teologis yang bebas dan rasional tadi, karya-karya besar umat Islam zaman klasik diambil alih umat lain (Barat). Akibatnya, peradaban manusia didominasi oleh Barat—termasuk penguasaan sistem perdagangan dan akuntansi—yang tentu sangat Iekat dengan nila i Barat itu sendiri. Bahasan-bahasan berikutnya dalam tulisan ini berupaya memberikan foe os i akuntansi—yang sementara ini didominasi oleh Akun penis eas Perspektif Islam. Alternatif pemiliran ini terutame nea ee ay ontologi akuntansi—yang bertolak dari engl een ikat diti manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh— i yang bertauhid, yang sclanjutnya juga akan berpengarut Pada sisi pandang epi d ‘ang epistemologi a si tulisan ini juga nemaparian d rec eee ay Hegel, dan Karl Marx tentan, ‘Teori Krisis dengan misi em; dasar-dasar pemikiran Immanuel Kant GE B kritisisme” yang menjadi dasar bagi pemikiran tauhid akuntansiyangdikemm eee alin dilakukan, karena ontolti pada aspck terinty ontgigg sUa bersifat emansipatoris,na™" Teori Kritis. Perbeda, ‘ologi tauhid ini berbeda dengan dasar pemikira" ontologi tauhid pada awe terletak pada pengakuan dan otundula" "eringan-jaringan kuasa tlahi. Aspek tauhid inilah Kontribusi dan Kemunduran Umat Islam Tidak diketahui dengan jelas di mana sebenarnya tempat kelahiran pertama tata buku berpasangan ini, Klaim bahwa ia lahir di Italia—karena dihubungkan dengan Luca Pacioli yang dianggap sebagai pencipta tata buku berpasangan—adalah tidak benar. Karena teknik tata buku berpasangan itu sebetulnya sudah dipraktikkan lebih dari 200 tahun di Venice sebelum bukunya diterbitkan. Luca Paci dan memberikan penjelasan- sangan tersebut (Luzzatto, 1: berpasangan ini di Spanyol. | yang mengatakan bahwa: ioli hanyalah orang pertama yang mengangkat Penjelasan tentang teknik tata buku berpa- 961). Ada dugaan, tempat kelahiran tata buku ni sesuai dengan pernyataan Littleton and Yamey Pendapat ini sangat mungkin, ™engingat Spanyol merupakan salah satu bagian kekuasaan Islam di Erop: a. Pada waktu itu, sejak pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Bani Umayah (661-750) dan Dinasti Bani Abbas (750-1258), kekuasaan Islam meluas ke Bizantium, Mesopotania (Irak), seluruh Afrika Utara, daerah di Asia Timur sampai ke perbatasan Mesir, Palestina, Suriah, Spanyol di Eropa, dan daerah- Cina, Daerah-daerah seperti Mesir,Suriah, Irak, dan Persia di Timur Tengah merupakan daerah pusat perdagangan yang membawa barang dagangan ke Barat. Kota-kota seperti Kairo, Aleksanderia, Damsyik, Baghdad, dan Siraz merupakan kota-kota terpenting dalam lalu lintas perdagangan internasional Saat itu. Melalui perdagangan inilah, demikian Storrar and Scorgie (1988) juga berpendapat, kebudayaan dan teknologi Muslim tersebar di Eropa Barat. Amalfi, Venice, Pisa, dan Genoa merupakan pelabuhan-pelabuhan utama dan terpenting yang menghubungkan perdagangan dari pelabuhan-pelabuhan orang-orang Islam di Afrika Utara, dan Laut Tengah bagian Timur, dan kota- kota Kristen seperti Barcelona, Konstantinopel, dan Acre. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Lieber (1968: 230); ia mengatakan bahwa: Pedagang-pedagang Italia dan negara-negara Eropa lainnya memperoleh Pendidikan pertamanya dalam penggunaan metode-metode bisnis. yang canggih dari rekan bisnis mereka dari daerah sckitar Laut ‘Tengah; yang AKUNTANSISYARIAH 177, i, walapur terdapat Oe Debora py ; ri bahasa Aramaik, Arab atau Pers), kemy. j “douane, arsenal, magazine, traffic, tarj j.danmaona’ (Lieber, 1968:230), Perdagangy fondaco,senst a jeu meluas, sehingsa beberapa gudang dan bahay 7 clabuhan-pelabuhan Muslim disisihkan Untuk rkotaan dip ig sedang berkunjung (baik sementarg musim dagang) ke kota-kota Muslim, dari penguasa-penguasa Muslin, ja, trataa 2 Dari mereka: daerah-daerah pe pedagang:pedagan ‘maiupun secara perm dengan jaminan perl 4 Raymond, 1955)- be — melalui Kontak perdagangan, kebudayaan, dan teknologi is Muslim juga meluas ke Eropa melalui lense Menuet William Montgomery Watt (1972), superioritas Muslim pada _waktu itu terletak pada ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang matematika {aljabar), kedokteran dan astronomi, produksi barang-barang mewah, dan pengembangan teknik-teknik dagang yang N88 Salah satu pusat terpenting kegiatan akademis Muslim pada saat itu adalah kota Baghdad, yaitu pada zaman Khalifah Al-Ma'mun (813-833). Di kota itu, sebuah akademi telah didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun, yang kemudian selama bertahun-tahun banyak menarik minat orang-orang Islam sendiri dan orang-orang asing untuk belajar dan menerjemahkan bahasa Yunani, Sanskerta, dan teks- teks lainnya ke bahasa Arab. Menurut Lewis (1950), di antara orang asing itu, ada seorang India yang melalui dia untuk pertama kalinya angka Arab- Hindu mulai diperkenalkan. Ini terjadi kira-kira pada tahun 800. Kemudian Storrar and Scorgie (1988) berpendapat bahwa matematika Muslim abad pertengahan diturunkan sebagian dari Yunani dan sebagian dari India, tetapi sintesis dan pengembangan berikutnya asli kontribusi dari orang-orang Islam itu sendiri, seperti angka nol yang kemudian ditemukan dan difungsikan oleh a Seana ae pala karya orang yang paling tangguh yar pengembangan ratematita omay Pengaruh yang sangat besar dalam yang meletakkan ae Eropa, yaitu Al-Khawarizmi, Dialah orang modern seperti yang dkenal selene kat bagi pengembangan matemstié memberikan kontribusi yan sag Ne dnh dan sera dake tanesars modern. Dia pulalah yang bi angat besar dalam pengembangan akuntars’ mberikan konsep-konsep aljabar yang dapat ndungan keamanan m2 —__ BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS| digunakan untuk menemukan pemecahan terhadap masalah-masalah praktis seperti pembagian harta warisan, perkara hukum (lawsuits) dan transakst- transaksi dagang yang secara umum ditemui oleh masyarakat Muslim dalam kehidupan sehari-hari. imu inilah yang kemudian dipelajari oleh Leonardo da Pisa dan disebarkan di Eropa. Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus juga menunjukkan bahwa masyarakat di dunia Islam tidak lagi buta huruf, Hal ini terbuktijelas dalam sistem dagang dan tata buku yang dipraktikkan mereka. Keadaan ini juga didukung oleh tersedianya kertas yang murah (karena dihasilkan oleh teknologi yang cukup tinggi). Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, pada abad ke-10, demikian dikatakan oleh Lieber (1968), tata buku di Irak telah tersebar luas dan diterima secara umum (generally accepted) serta dipraktikkan di berbagai daerah. Bahkan kebutuhan akan penggunaan tata-buku ini merupakan persyaratan hukum bila terjadi perselisihan (dispute) antara dua pihak atau lebih, Oleh Karena itu, jika ada pihakepihak yang berselisih, maka mereka secara hukum harus menunjukkan catatan atas perkiraan semua penjualan, pembelian, laba, rugi, dan utang- uutang yang belum dilunasi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di muka pengadilan. Belum ada bukti-bukti pendukung tentang adakah keterkaitan antara praktik-praktik yang ada di Irak itu dengan praktik-praktik yang kemudian diungkap oleh Luca Pacioli di Italia. Namun yang jelas, pada abad-abad berikutnya dan sampai saat ini, akuntansi berkembang pesat di Eropa (dan negara-negara Barat lainnya) dan dikembangkan oleh orang-orang Barat sendiri yang perkembangannya boleh dikatakan selaras dengan berkem- bangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mereka, Sementara itu, keterlibatan “Mustim dalam wacana (discourse) pengembangan pengetahuan dan praktik akuntansi sampai saat masih sulit ditemukan; kecuali Karya dari Gambling and Karim (1991) yang mencoba secara eksplisit berdiri di atas paradigma Islam. dalam wacana ilmu pengetahuan sebe- n pengetahuan akuntansi, tetapi juga ahkan dalam berbagai bidang hidup adi sejak abad pertengahan (1250- kan tradisi berpikir rasional menuju if yang berciri irrasional, taglid, Minimnya keterlibatan Muslim tulnya tidak hanya terbatas pada disipli disiplin ilmu pengetahuan lainnya dan bs sehari-hari, Diduga, kemunduran ini ter} 1800), yaitu ketika umat Islam meninggal kepada pola berpikir tradisional-konservat AKUNTANSISYARIAH 173 sation (1995) mensinyalir bahwa keagay tikan secara fatalistik dalam pengertign n cara mutlak oleh Kehendak Tyha, pasif, Harun Na adiar eksklusif, dan i arena aga : disebabkan Karena agam™ ; ~ nasib manusia telah ditetapkan : wend wn a farNya. Nanusia, dalam pengertian ini, tidak ge ’ dan gad Paham ini, yang disebut dengan pabam Jabariyah, menurut Nasution {i999 prenaiudukan akal pada posist yang rendah, memereayai Retidaketae manusia dalam Kemauan dan perdu tatis, bersitgy skeptis terhadap keberadaan Sunnatullah dan kausalitas, dan men, kathy xstual Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan Jabariyah, naa, ianut oleh umat Islam pada era Klasik, menganggap babys mn yang sangat luas, Manusia bebee yang Kebebasannya hanyg ada Sunnatullah gy atan, berpikir dogma diri pada artitel Qadariyah yang di manusia sebetulnya mempunyai kebeb berkehendak, bebas berpikir rasional-dinami ran dasar Al-Qur’an dan Hadis, perca dan mengambil arti metaforis dari teks wahyu (Nasution, ya dibatas hukum kau: 1995). Dengan pola berpikir rasional, filosofis, dan iln iah ini, Islam dalam a dapat membe. peradaban yang berdasarkan iman ini hanya dapat dicapai umat Islam pada masa lampau, yaitu pada era klasik (650-1250), dan merupakan nostalgi ini, Pada era ki bagi umat Islam pada masa Al-Battani, Al-Farazi, Al-Farghani, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Mahani, Al Quhi, Al-Razi, A-Thabari, Al-Thusi, Al-Zahrawi, Ibn Haytsam, ln Rusyd, Iba Sina, Umar Al-Khayyam dan lain-lainnya dalam bidang ilmu pengetah tampil paling depan, Seba realitas-realitas umat yang cenderung berpikir fungsional-positivistis terperangkap dalam pola pikir yang terlanjur diformalkan, bers dan taglid, serta lebih berat perhatiannya kepada hal-hal yang ukhrawi, akhirya memang benar-benar tercipta, Akibatnya, Islam tereduts! dalam arti bahwa ia seolah-olah hanya berurusan dengan syariah ate fa saja. Schingga kaj rapakatt ya dengan pola pemikiran yang pe ian-kajian ke-Islam-an yang bersifat mendunia me! jembatan menuju kehidupan yang lebih kekal di akhirat menjadi terlewal ional) Dengan kata lain, Islam seolah dipandang sebagai agama syariat (t134 yang sarat dengan formalitas ketat—kalau tidak di an absolut—der melalaikan substansi yang hakiki dari Islam itu sendiri sebagai panda” nga 174 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS! hidup. Akibatnya, seakan urusan dunia (profane) bukan sesuatu ne aes dalam domain kajian Islam, Konsekuensi dari keadaan ini menyebabkan islam menjadi asing dan menempati posisi marginal—baik dalam pengertian nilai-nilai Islam maupun umat Islam itu sendiri—dalam wacana kekinian; dan akibat selanjutnya, distorsi kenyataan dan Islam ideal semakin besar, Jaringan Kerja Realitas Sosial Distorsi ini bisa semakin besar jika persepsi tentang Islam tadi dijadikan perspektif. Artinya, pengertian Islam (yang parsial) menjadi dasar rujukan untuk memandang, mendefinisikan, menilai, dan menafsirkan simbol-simbol sosial—yaitu fenomena-fenomena sosial, ilmu pengetahuan, peristiwa, perkataan, agama, dan lain-lainnya—yang ada dalam kehidupan nyata masyarakat. Perspektif ini sangat besar pengaruhnya terhadap diri orang itu sendiri dan terhadap orang lain, karena dengan perspektif tersebut realitas- realitas baru dapat dikonstruksi. Realitas sosial ini terbentuk dan mengkristal melalui interaksi sosial. Hal ini terjadi, karena, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Blumer (1969) seorang pakar psikologi sosial dari perspektif interaksionisme simbolik, pada hakikatnya seseorang melakukan suatu tindakan atas dasar makna-makna yang dapat ditafsirkan dari simbol-simbol sosial yang ia hadapi. Sementara, simbol-simbol itu sendiri sebetulnya tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, kecuali bila telah melalui proses interaksi sosial yang kompleks dan melibatkan banyak individu, Kemudian, berdasarkan pada makna-makna dari simbol-simbol tersebut dan setelah menilai situasi di sekelilingnya (yang tak lain adalah simbol lain), baru orang tersebut melakukan suatu tindakan. ‘Tindakan ini kemudian menjadi simbol bagi, dan akan dikonsumsi oleh, orang lain melalui proses yang sama seperti tersebut di atas. Demikian seterusnya proses ini berjalan sedemikian rupa dan kompleks tanpa mengenal titik akhir. Masing-masing elemen dan tahapan dari proses tersebut dan proses itu sendiri adalah realitas-realitas; yaitu realitas-realitas yang dapat bersifat abstrak dan/atau konkret, hidup, bergerak dinamis, dan berproses sepert jaringan-jaringan kerja (networks) yang memilin kehidupan manusia hae secara individu maupun komunal dalam perangkap nilai-nilai yang terkan- dung di dalamnya. se ari intervensi nilai-nilai i ‘ang tidak bisa terlepas di ; Realitas tersebut memang ti Se a esl ka adalah real kemanusiaan, karena memang mere AKUNTANSISYARIAH 175, z \ : reality). Bahkan d; mmanusia codons ce oleh Foucault (en ang terutama me ital dikatakan bahwa kebenaran m /Knowledge-rY> ae (out there) sebagaimana yang dikain tak “di veeinkan ada dalam kuasa (power). Bagi Fou ah relasi kuasa itu sendiri, Jadi tidak aneh yi, “x ahwa pada masa sekarang ini sul gj huan rasional sejati yang benar-benar bebas darj rea, Terena umumnya imu pengetahuan modern sy, vstorsioteh ieol0gi Bagi Kal Marx (1818-1883) ilmu pengetahuan yn, etd dan bias ideologi bisa $/4 diperoleh selama ada usahas, yang terbebas sidiri dari relasi-relasi kuasa yang opresif. Dan ini, bagi fay ewe masyarakat komunis, di mana kebenaran sudah tersedis ro obi dan berlaku universal (Sahal: 1994), Tetapi masalahnya adalah apakah benar masyarakat Komun's terbebas dari relasi-relasi tug gan bukankah komunis itu sendiri adalah ideologi? Sebaliknya, kalau pa yang dikatakan oleh Foucault ftu-—bahwa kebenaran itu adalah relasi kuasy itu sendiri—adalah benar, berarti kebenaran itu relatif. Lalu apa sebetulnya 1? Terlepas dari semua issue ini, ¥. petulnya tidak akan pernah bersif diciptakan oleh jelas onsepsi yang ™e! ditemukan pengetahuar relasi kuasa yang opresil ngatakan i kebenaranit ang jelas adalah bahwa realitas. realitas sosial sebagai kreasi manusia se objektf, netral atau bebas dari nilai (value-fre manusiatidakakan pernah terlepas dari sistem nilai apa pun jenis dan bentuk Jengan kata lain, kehidupan sistem nilai itu, Jadi, ketika umat Islam, misalnya, berpe} adisional-konservatif, maka secara sadar atau tida alitas sosial yang formal,statis, ang teguh pada pola pikirnya fp teguh p mereka telah yang membuat dan mengikatkan diri pad dan eksklu realitas ini di alita angat memprihatinkan ila Karena, tindakan manusit, Jam_bentuk tu hal ini menjadi sesuatu yang nggap sudah final dan mutlak ben; sebagai refleksi dari keimanan yang kemudian terwujud dal ses dan tidak pernah mengenal ta Dut adalah bentuk ekspresi yang berdimensi eksoter® n secate jatar" realitas sosial, sebenarnya terus berpri akhi dari iman kepada Tindakan uuhan yang berdimensi esoteris, yang dilakuka terus-menerus tanpa henti dalam upaya mendekati “radius kede! pada Tuhan, Hal ini harus dilakukan, karena, pertama, bila seseora"8 teh menghentikan tindakan-tindakan tersebut, maka ini berarti bah? menurut Nurcholish Madjid (1987: 243), telah mencapai Tuhan yane M*™ 176 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS) be a aula, padaha tidak demikian dalam kenyatzannya, Tentang hal ini, Madjid ju menjelaskan bahwa: setiap pemberhentian berarti mengaku telah sampai dan menjangkau Tuhan Yang Mutlak. Jadi, hal itu berarti telah menempatkan Tuhan dalam daerah jangkauan manusia, Dengan demikian, Tuhan mengalami relativisas, ehilangan kemutlakan-Nya, menjadi nisbi, sebagaimana alam dan manusia sendiri, dengan segala keterbatasan-keterbatasannya (1987: 243). ‘Alasan kedua, tidak ada patokan yang jelas di mana batas “radius kedekatan’” itu. Jadi di sinilah perlunya melakukan tindakan dan refleksi diri secara terus-menerus. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Madjid sebenarnya adalah nilai yang paling dasar, utama, dan esensial dari ajaran Islam, yaitu tauhid, Tak satu pun makhluk Tuhan di bumi ini yang memiliki sifat mutlak dalam berbagai aspeknya; apalagi segala sesuatu—realitas, pola pikir, imu pengetahuan, dan lain-lainnya—yang dibuat atau hasil kreasi manusia. Kemutlakan yang sebenarnya hanyalah milik yang Satu, yaitu Tuhan, Oleh karena itu, realitas yang statis dan eksklusif bukanlah realitas mutlak dan tunggal, atau hanya satu-satunya yang harus ada. Dengan berpegang teguh pada nilai tauhid ini, maka semestinya realitas tadi tidak mutlak dan tidak pula tunggal. Ini berarti bahwa harus terdapat alternatif atau perubahan atas realitas yang telah ada menuju pada terciptanya realitas baru yang lebih baik dari sebelumnya. Apa yang dicitakan ini bisa saja dilakukan dengan cara menggunakan perspektif (paradigma) yang mungkin berbeda dengan perspektif yang terdahulu. Banyak perspektif yang bisa digunakan, namun yang terpenting adalah perspektif yang membawa misi emansipasi dengan konsekuensi perubahan. Yaitu, misi membebaskan manusia sebagai anggota masyarakat dari pengaruh dominasi tunggal dan mutlak atas perspektif sebelumnya yang telah terlanjur dijadikan sebuah mitos. Semangat emansipasi ini sudah tersirat jelas dalam makna tauhid itu sendiri, sedangkan semangat perubahan diisyaratkan oleh Al-Qur’an (Surat Al-Ra'd 13: 11) yang menyatakan bahwa, “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaansuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Bila perubahan telah dapat dilakukan dan realitas baru juga telah bisa diwujudkan, maka ini bukan berarti bahwa tindakan-tindakan kreatif tadi boleh dihentikan. Tetapi sebaliknya, tindakan-tindakan eksplorasi untuk mencari alternatif baru—baik perspektif maupun realitas—yang lebih baik AKUNTANS! SYARIAH 177 semula harus terus dilakukan dengan tidak mengabaikan pj), historis dan sosio-kultural masyarakat setempat. Ini tentunya dia untuk menghindari adanya penunggalan, pemutlakan atau pemitosay sep, an yang telah diuraikan sebelumnya. erty Dekonstruksi Mitos Ketika sebuah perspektif telah menjadi mitos—demikian juga reaigg realitas yang terbentuk sebagai konsekuensi logisnya—maka bukansy sebuah pekerjaan yang mudah untuk ke luar secara sadar dar jaringay, jaringan kerja mitos tersebut. Perenungan-perenungan akan hakikat gy merupakan langkah awal untuk melakukan dekonstruksi dan perubahay, Namun, perenungan itu saja sebetulnya tidak cukup. la harus dibareng dengan kesadaran-kesadaran ontologis dan epistemologis sebagai prasyara Jainnya yang diperlukan untuk membaca realitas untuk kemudian melakukan sebuah aksi (tindakan) emansipasi. Namun emansipasi macam apa? Pemikiran-pemikiran besar dari misalnya, Immanuel Kant (1724-1804), G. W. E. Hegel (1770-1813), dan Karl Marx (1818-1883) juga selalu terkait erat dengan semangat emansipasi Ketiga orang besar ini adalah tokoh-tokoh pemikir utama dari Teori Kritis mahzab Frankfurt, yaitu teori kritik emansipatoris yang kritik-kritiknya selalu diarahkan pada berbagai bidang kehidupan manusia yang dianggap telah diselubungi oleh tabir-tabir ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sebaliknya telah mengasingkan manusia dari lingkungannya (Hardiman, 1990: 46). Masing-masing pemikir memiliki persepsi sendiri-sendiri atas "kriti sisme” yang mereka ajukan. Bagi Kant, misalnya, konsep kritisisme tidak lain adalah upaya manusia yang diarahkan untuk menentukan sahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka, yang semuanya dilakukan se mata-mata oleh rasio manusia. Konsep ini terbentuk dari hasil perlawana" Kant terhadap jalan yang ditempuh oleh para filosof pendahulunya ya" “dogmatis,” yaitu cara berpikir model gereja di mana faktor iman da" kepatuhan pada otoritas gereja sangat dominan (Hardiman, 1990; Sab 1994), Di sini jelas bahwa Kant mencoba menggantikan dogma dengan rs Namun pada tahap berikutnya, kritisi Hegel karena Kant mengklaim kritiknya ber me Kant ini disanggah oleh Ee ‘sift transendental, yang mengan’e 178 BAB T:SYAHADAT AKUNTANSI rasio tidak mengenal dimensi waktu, netral, dan ahstors, Bagi Hegel, stat Frio yang transendental ini adalah sesuatu tidak mungkin, Karena rasio yang kis bar tereapai bila telah melalui proses sejarah; dengan kata lain, io tidak ahistoris dan sempurna dalam dirinya sendiri, melainkan harus herproses. Sejarah yang dimaksudkan oleh Hegel di sini adalah perjuangan- perjuangan rasio untuk merefleksikan can membebaskan dri dari berbagai rintangan (konflik dan kontradiksi) menuju kepada kesadaran diri,yaitu diri yang saday, rasional, dan bebas. Jadi, Negel dengan berpegang pada filsafat idealismenya, memandang kritisisme sebagai refleksi diri atas rintangan- rintangan yang menghambat proses pembentukan diri atau kesadaran diri dengan jalan menegasi atau mengingkari rintangan-rintangan tersebut (Hardiman: 1990). Dengan proses sejarah inilah kualitas rasio meningkat pada tingkat kedewasaannya. Berbeda dengan Hegel, Karl Marx dengan filsafat materialismenya menganggap sejarah versi Hegel sebagai sejarah kesadaran diri atau rasio yang tidak memiliki bentuk konkret dan tidak memiliki sasaran fragmatis, sehingga akibatnya kritik Hegel tidak menghasilkan apa-apa bagi praxis dan tidak dapat merealisasikan janji-janji emansipatorisnya bagi kehidupan manusia, Oleh karena itu, Marx berpendapat bahwa sejarah dan kehidupan manusia itu tidak pernah terlepas dari kekuatan-kekuatan produksi masyarakat—alat-alat kerja, para pekerja dan pengalaman kerja—dan hubungan-hubungan produksi—hubungan antarpekerja dalam proses produksi. Keduanya memiliki sifat yang kontradiktif, Kekuatan-kekuatan produksi sifatnya progresif dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan produksi dapat secara terus-menerus diperbaiki, dirasionalisasikan, ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya untuk meningkatkan keuntungan bagi para pemilik modal (kapitalis). Sedangkan hubungan-hubungan produksi sifatnya konservatif, karena hubungan-hubungan ini melibatkan kekuasaan pemilik modal yang ingin menumpuk keuntungan di satu pihak, dan buruh yang selalu diperas untuk kepentingan pemilik modal di pihak lain. Dari sinilah kemudian terjadi pertentangan kepentingan (Kelas). Atas dasar ini, kritisisme bagi Marx adalah kritisisme yang berupaya mengemansipasi diri manusia dari penindasan dan alienasi yang diakibatkan oleh hubungan-hubungan Kekuasaan dalam masyarakat (Hardiman, 1990). Jadi kritisisme Marx adalah sme ideal-universal kritisisme praxis emansipatoris yang mendaratkan kriti Hegel, AKUNTANS! SYARIAH 179, nukakan otch Karl Mars, pada dasa, ddaknetralannya terutama terletak me pemihakannya terhadap tujuan praktisi ia aoe Ee SHan diri dengan praxis emansipatoris. Yaitu Kein = von gemansina ‘a dari perbudakan, membentuk masyarakat atas hubungan pripag: n dan kesadaran manusia sebagai mulibkan kedudukat ag sosialnya sendiri (Hardiman, 1990), nsipatorisnya itu pula Teori Kritik juga n terhadap modernitas terutama proses Tasionalisag, Rasionalisasi model modernisme pencerahan i kir positivistis yang menghasilkan Teori Trad. sional, yaitu teori yang mengangeaP dirinya bebas dari berbagai kepentingan (nilai), objektif, dan ahistoris. Cara berpikir semacam ini yang kemudian ghasilkan Perang Dunia Il, fasisme, Stalinisme, ran ini adalah ‘Teori Kritis,terutama yanB dike! adalah teori yang tidak netral. Ket manusis yang bebas, dan mel subjek yang mengonstruk reali Dengan sifat melancarkan serangat modernisme pencerahan. tidak lain adalah cara berpil axis emal dalam masyarakat modern men} dan konsumerisme (Hardiman, *pencerahan budi” (Hardiman, manusia terletak pada pengetal pengetahuan ini manusia mampu menyingkap tabir-tabir mistis masyarakat pramodern, dan menguasai alam. Dunia mitos yang mendominasi manusia berhasil ditumbangkan oleh pengetahuan, dan dengan demikian manusia dapat dibebaskan dari kekuasaan mitos. Namun, kepahlawanan pengetahuan—karena kepercayaan yang sangat berlebihan terhadapnya—mengakibatkan manusia modern terjerembab ke dalam jurang pemitosan pengetahuan yang kemudian mendominasi, mem bingkai, dan hadir secara anonim dalam kehidupan manusia modern; dan akhirnya manusia kembali hidup dalam dunia mitos. Melihat fenomena in rutama 1990: 60). Akar dari pemi 1990: 61). Dengan pencerahan, kedaulatan huan (rasio) manusia itu sendiri, Melalui mendekonstruksi mitos-mitos irrasional, osmoderni: posme Jernisme melancarkan serangan terhadap modernisme, te th cap ae neroleane) dan keseriusannya. Posmodernisme melihat bahwe Romer lan keseriusan sesungguhnya mencerminkan suatu arogansi dan bepereayan yng berlebihan terhadap kekuatan konsep, teori, argume™ts , dan proposisi ilmi: i . , a ‘° posisi ilmiah untuk sampai pada kebenaran” (Sahal, 1994 15 Untuk i i sea kenyataan ini, posmodernisme mencoba bert a hie ‘mn untuk menatap modernitas dengan cara kontem™ ruksi. Hal ini dilakukan karena posmodernisme kece™® 180 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANSt 4 Jap kenyataan modernitas yang ternyata “janji-janji modernisme terhad tern rembebaskan umat manusia dari kesia-siaan, ketidakpedulian, untuk m . on | dan jrasionalitas tidak pernah dipenuhi (Iadiwinata, 1994, 23), Apa yang dila- suikan oleh posmodernisme tidak lain adalah upaya menggoyang kekuasaan rnisme, Bila goyangan ini berhasil menjatuhkan modernisme dari tampuk kekuasaanny, tidak menutup kemungkinan posmodernisme akan menjadi penguasa baru yang akhirnya juga menjadi mitos, Demikian sete- rusnya, dinamika dan fenomena seperti ini akan terus terjadi, yang bagi Adorno dan Horkheimer (1973) hal semacam ini dinamakan “dialektika pencerahan,’di mana mitos dan rasio adalah dua hal yang berdialektik; mitos dapat melahirkan rasionalitas dan rasionalitas yang dapat membebaskan dari mitos akhirnya menjadi mitos baru. model manusia Akuntansi Sebagai Mitos Mitos yang terjadi dalam akuntansi terdapat dalam dua hal, yaitu ontologi-epistemologi dan praktik akuntansi itu sendiri. Dari sisi epistemo- bagaimana dikenal masyarakat bisnis—tidak lain adalah produk modernitas yang konsckuensinya sangat kental dengan nilai-nilai modernisme, terutama modernisme pencerahan yang positivistik dengan s; netral, objektif, dan ahistoris. Nilai-nilai inilah yang sekarang mendominasi akuntansi baik dalam pengertian teori maupun praktik, yang kemudian dikenal dengan sebutan (Teori) Akuntansi Positif [Positive ‘Accounting (Theory) atau Mainstream Accounting (Theory)]. Bagi pendukung ‘Teori Akuntansi Positif (TAP), misalnya Watts dan Zimmerman (1986), tujuan utama dari teori akuntansi tidak lain adalah menerangkan dan memprediksi praktik akuntansi (Watts dan Zimmerman, 1986: 2). Menurut mereka, yang dengan dimaksudkan dengan menerangkan ‘adap praktik akuntansi Jogi, akuntansi— disini adalah memberikan penjelasan-penjelasan terh yang, sedang diobservasi, Misalnya, teori akuntansi harus menerangkan mengapa perusahaan-perusahaan tertentu lebih suka menggunakan metode IFO untuk menilai persediaannya daripada metode FIFO. Sedang yang adalah bahwa teori dapat juga digunakan rvasi (unobserved dimaksud dengan memprediksi si fenomena akuntansi yang belum diobser ig akan datang maupun fenomena untuk mempredi ‘accounting phenomena) baik fenomena yan masa lampau (lihat juga Henderson dik, 1992). AKUNTANS! SYARIAH_ 181 akan teh pendtokun TAP di tay ggg ori hanya bisa diperoleh deny sebab-akibat dari elemen-olgyn dalam realitasobjektif—praktikeprajgy menunjukkan adanya j kom pkan bahwwa ungan Konsep teort yang cpistemologis mongers auares \ iti regularitas (a jalan meneliti ree! oo79.8) tertentu (Burrel dan Morgat 1 nt las cam las jansi, Pen} ertian semat . . iratkan:s ees subjeknya. Ini menyiratkan si . i srvasi dengan oie eed ritersebut dan sekaligus menampakkan kenetratanny, ue judgement dari subjek yang berarti juga ahistoris + teori semacam inilah yang berpredikat ilmiay 1986; Henderson et al. 1992), ral antary yang dianut olch teo tidak melibatkan val (Hines, 1989). Bagi mereka, (scientific) (Watts dan Zimmerman, : Hal itu demikian, karena secara ontotogis mereka berpijak pada filsafay realisme, Filsafat ini mengklaim adanya dunia realitas objektif (4 world oy objective reality) yang eksis secara independen terhadap = manu: sia dan memiliki sifat atau esensi tertentu yang, dapat diketahui atau ditelit yang ada "di luar sana’—praktikepraktik akuntansi—dianggap independen dari subjek (akuntan) dan konsekuensinya, pengetahuan (teori) hanya bisa diperoleh atau dianggap ilmiah bila subjek dapat secara tepat dan objektif menemukan realitas objektif tadi (Chua, 1986: 606). Penelitian-penelitian Akuntansi Positif (lihat Hines, 1989), misalnya capital market dan agency theory, biasanya menggunakan variabel-variabel seperti aktiva bersih atau kotor sebagai ukuran (size) perusahaan, dan Jad, apa rasio-rasio. neraca sebagai ukuran leverage, untuk menggantikan atau menggambarkan sifat-sifat atau keadaan perusahaan-perusahaan. Di sini tidak dikemukakan bahwa cara semacam tersebut di atas adalah usaha pengulangan yang tidak memberi kejelasan dalam upaya menerangkan peri- Jaku akuntansi yang menggunakan ukuran-ukuran yang sebetulnya adalah produk perilaku akuntansi itu sendiri. Para peneliti Akuntansi Positif tidak melihat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebetulnya tidak eksis secara independen terhadap peritaku akuntansi yang mengukur perusahaa"- Perusahaan itu.. Mereka tidak sadar bahwa se dari, yang menurutistilah Hines endeavour). mua penelitian tidak terlepas (1989: 56), usaha sosio-politik (sociopolitica! Namun bagi mereka yang anti ‘1 molopi TAP ara yang anti TAP, dasar pijakan ontologi dan episte” bide (1982: 167) ee aa, Karena seperti yang dikatakan oleh Tithe? +167), penelitian akuntansi (an ) samt sekali tidak bisa bebas nilai au ilmu pengetahuan lainny® AGW netral seca pbjektif ata” . Reali 182 EAB T:SYAHADAT AKUNTANS| -yebenaran’ tidak bisa berdiri sendiri atau tidak bisa bebas dari persepsi dan prasangka manusia, Bahkan secara ontologis, realitas "objektit” tadi tidak Tain adalah nama-nama, konsep-konsep, label-label hasil_ kreasi manusia semata yang digunakan Ennai mengonstruk realitas (Burrell dan Morgan, 1979: 4). Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, para penentang TAP secara epistemologis mengklaim bahwa realitas (sosial) pada dasarnya adalah relatif dan hanya bisa dimengerti oleh subjek yang secara langsung terlibat dalam aktivitas, dan masuk ke dalam kerangka referensi yang sedang berlangsung dari partisipan, di mana realitas “objektit” tadi sedang dipelajari, Jadi, sescorang harus mengerti dari “dalam,” bukan dari (Burrell dan Morgan, 1979: 5). “lar” (observasi) Sampai saat ini, pola pemikiran Akuntansi Positif masih tetap dominan— meskipun dalam dekade terakhir ini telah muncul pemikiran alternatif, yaitu (Teori) Akuntansi Interpretif [Interpretive Accounting (Theory)] dan (Te Akuntansi Kritis [Critical Accounting (Theory)|—dalam duni praktik-praktik akuntansi modern. Dan mem; kenyataannya permintaan dan ke ori) a pemikiran dan ang harus diakui bahwa dalam ‘butuhan akan ilmu-ilmu positif sangat tinggi karena sifatnya yang bebas nilai dan memberikan manfaat yang nyata (Hines, 1989) dalam kehidupan manu: Dalam dunia praktik, dominasi pola pemikiran ini bisa dilihat, misalnya, pada perilaku akuntan, Se 1a historis, akuntan berkeyakinan bahwa hakikat akuntansi sebetulnya terletak pada pencarian objektivitas, dan sebagai impli- kasinya, akuntan begitu yakin bahwa ia bisa bersikap objektif menyajikan realitas dengan cara-cara yang “benat” (Morgan, 1988), Namun, apakah benar demikian? Morgan dalam hal ini menyanggah: ~ int adalah keinginan yang tidak mungkin, .. para akuntan hanya mampu menangkap aspek-aspek yang terbatas dari realitas di mana pola akuntansi dihubungkan [dengan realitas tersebut}, Akuntansi tidak akan pernah benar-benar objektif.. Para akuntan selalu terikat pada observasi mereka melalul prinsip-prinsip dan praktik-praktik akuntansi yang pada hakikatnya berdasarkan pada metafor-metafor yang mengakibatkan cara pandang satu- sisi (one-sided) dan parsial atas dunia (realitas] (1988: 482). Mitos objektivitas, bagi Morgan (1988: 482), mengaburkan hakikat Sejati dari akuntansi dan menciptakan berbagai masalah operasional, karena seper “ti telah diketahui secara umum, akuntan menciptakan asumsi-asumsi dan konvensi-konvensi—misalnya, metode penyusutan, metode penilaian Persediaan, metode pengakuan pendapatan dan beban, dan Jain-lainnya, AKUNTANSI SYARIAH 183 gan asumsi-asumsi dan + (arbitrary). Dengan asvn> kone ang” (arb Tereduksi menjadi dunia ang, “"s mbers). Dan akuntan, dalam, hate dan meyakinkan pihak Jain tng in, Fan ssewenangwe™ but, dun untansi (accu yan rea secant Konvensi ters! angka-angka @ berusaha mengea renga vas yong tinggi, angka-angka akuntans{ Menjay: Dengan objel dan dianggaP dapat membantu meningkat K ng “sakeral” dan 1”, kepenti atkan oe i bagi pihak-pihak yang berkepentingan melaly bap i ™ i ia i : - kesejahteraan Ce exgroml Dan, sebagai penyedia informasi, akuntans ambilan kepatuea sebagai, misalnya alat_ pengawasan ™anajeme j jigunakan ly i, : < juga eh raruntuk meningkatkan efektvitas dan efisiens; 3.) ee agency costs, dan Jain sebagainya. Karena akuntangj telah aigentidan dengan angka-angka, maka tidak aneh bila kemudian timpy, oe erti yang dikatakan Morgan (1988) tadi, berbagai masalah operasional, p; wma sakit, misalnya, karena ingin memenuhi target efisiensi tertentu yang telahditetapkan dalam budget akhirnya orientasi kerja para pegawai berubah Mereka cenderung mengalihkan orientasi yang semula patient-orienteq Dari hasil penelitian memang menunjukkan ia realitas inting Mu) Jitas tadi, menjadi administrative-oriented. adanya peningkatan efisiensi, namun di pihak lain cara kerja para pegawai akhirnya kurang manusiawi (Morgan, 1988: 482). Fenomena ini adalah nyata, meskipun ia terjadi di rumah sakit yang notabene bukan organisasi bisnis. Apalagi dalam organisasi bisnis. Tidak jarang, untuk mencapai efisiensi dan angka laba yang tinggi serta untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu (kapitalis, misalnya), manajemen perusahaan tidak segan-segan membayar pegawainya (buruh) dengan upah yang sangat rendah. Dengan motif yang sama pula, perusahaan mengeksploitasi kekayaan alam, memproduksi barang tanpa melakukan treatment yang memadai atas limbah buangannya dan tanpa memerhatikan keseimbangan serta kesehatan lingkungan. Semua ini adalah segelintirrealitas negatif tanpa visi kemanusiaan dan lingkunga™ Yong frst arena mites akantas! yang objet, yang ering aka nh Yen ipraktkan secaratagidtanpa sama sekali melihatnilai-nilai loka 3” kemanusiaan, Begitu tingginya ke pai Hines (1989: 60) denpay Percayaan terhadap Akuntansi Positif, sampai-s™ gaya sinisme mengatakan: 184 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS| songguh, sangat sult dibayangkan bagaimana perusabaan-perusahaan bisa Sorestanpa akuntansi Keuangan. Tanpa akuntansi kevangan, perusahaan. Strusahaan tidak mungkin dapat diukur Dar mana kategor-kategortertenty pe aiperoleh, yang dengannya kita bisa memikirkan, mengakui dan membuat xeputusan serta melakukan tindakan berdasarkan kategor-kategor tersebut, jie tidak dari akuntansi Kevangan? Apa jadinya “posisi keuangan* (financial position) atau “Kkinerja" (performance) atau “besar'nya (size) perusahaan tanpa akuntansi keuangan? Tanpa konsep “aktiva” (assets), “utang" (liabilities), modal” (capital) dan"laba" (profit), pertanyaan-pertanyaan tentang keschatan, xinerja dan ukuran perusahaan akan sulitdijawab. Sulit membayangkan dunia ckonomi tanpa akuntansi keuangan (dan manajemen)... tanpa akuntansi keuangan, atau Ketiadaannya, seperangkat alternatif praktik-praktik sosial, dunia ekonomi, dan kemudian masyarakat seperti yang kita ketahui sekarang, tidak akan eksis. Apa yang dikemukakan oleh Hines tidak lain merupakan refleksi atas realitas sosial yang ada sekarang, yaitu realitas dominasi Akuntansi Positif yang tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis dan kehidupan masyarakat. Selanjutnya Hines (1989: 61) mengingatkan bahwa praktik dan standar akuntansi, yang berpengaruh terhadap ukuran, kinerja, dan kesehatan perusahaan, dan yang dengan demikian memengaruhi perilaku dan realitas sosial, tidak terlepas dari campur tangan politik yang bisa jadi kontroversial dan bertentangan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Sejak penetapan standar (standard-setting) akuntansi mulai dimengerti sebagai kegiatan politik, pihak profesi akuntansi dan badan yang menetapkan standar (stan- dard-setting boards) menghadapi masalah dalam mempertahankan “kesucian” pengertian bahwa akuntansi secara independen dan netral “mengukur” realitas. Sekali lagi, apa yang dikatakan Hines adalah goyangan terhadap kesaktian ajimat Akuntansi Positif. Syahadat Akuntansi Kondisi di atas memperlihatkan bagaimana Akuntansi Positif menggiring Perilaku manusia ke arah tertentu melalui jaringan-jaringan realitas yang diciptakannya, Dengan jaringan-jaringan realitas ini, manusia di dalamnya, secara sadar atau tidak, digiring oleh, dan tunduk pada arus positivisme yang kuat. Upaya untuk menghindari kondisi semacam ini ‘mulai tampak dengan munculnya Akuntansi Interpretif dan Akuntansi Kritis. Perubahan bisa saja terjadi, terutama hal ini bisa dilakukan oleh Akuntansi Kritis, karena Akuntansi Kritis membawa misi emansipatoris di samping memiliki AKUNTANSI SYARIAH 185 ma dengan ‘Akuntansi Interpretif. Namun, MT rpretif. ‘Akuntansi Interpretif tidak memb, inj riahankan status quo, namun d tv perikan kesadaran ontologis 5, gis yang 5 juntansi Inte! kesadaran ontolo} A berbeda dengan . rissi emansipasi 12 i eo a sia vat akuntansi, misalnya—sebenarnya ies a us manusia, ukan sesuatll YONB sudah ada “di ms taken for granted (lihat Chua, 1986). Dengan kata mn if ingin menunjukkan bahwa realitas sosial Sebetuln, pula independen dari nilai manys, ia if dan tidak pernah nde realitas sosial adalah subjektif. silih bergantinya realitas sosial atau “dialektika pencerahan”—menyryy istilah Adorno dan Horkheimer (1973)—adalah sesuatu yang tidak dapat idupan sosial manusia. Suatu kuasa dapat dihindarkan dalam realitas kehi a digantikan oleh kuasa yan Jain, dan kuasa yang kedua akhirnya juga dapat digantikan oleh kuasa_berikutnya dengan bentuk yang lain, demikian seterusnya. Masing-masing jenis kuasa secara lami akan selalu mendominas} dan menundukkan manusia dalam kekuasaannya. Ketika, misalnya Kar] membebaskan manusia dari ideologi Marx dengan Teori Kritisnya berusaha kapitalisme, maka secara tersirat terlihat bahwa setelah manusia terbebas dari kapitalisme—kalau berhasil—secara otomatis manusia yang sudah “dibebaskan’ tersebut akan masuk dan terikat ke dalam ideologi yang baru, Jadi, kuasa—mitos atau rasio atau kebebasan atau bentuk-bentuk lainnya— bisa saja berupa kuasa yang semu, atau sebaliknya kuasa yang sejat Masalahnya adalah bagaimana kuasa sejati itu bisa ditemukan dan dijadikan kuasa yang mendominasi dan menundukkan manusia dalam kekuasaannya. Fenomena ini sebetulnya sudah tersirat dalam kalimat “al-nafy wa al-itsbaat” atau “negasi dan konformasi,’ yaitu kalimat syahadat—Tiada Tuhan, kecuali Allah (laa ilaaha illAllah) yang merupakan esensi dari ajaran Islam. Kalimat pertama menunjukkan adanya negasi terhadap keberadaa" faserivasa semu, yaitu adanya semangat pembebasan dari kekuasa@" Eon ee tidak layake menguasai diri manusia. Namo terhadap sesuatu ees cee geen oes i aie a benar dan sejati sehingga manusia tidak = al dal aura yang tears atone ene semana cee an intrinsik benar, benar dalam dirinya Se" si k abi dan diterima secara ‘Akuntansi Interpret tidak pernah objektif dan yang menciptakanny2- jadi, 186 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANS| jukan faktor lwar untuk membenarkannya (Madjid, 1992; mer! tas jah tidak lain Tuhan Yang Maha Kuasa, idak me ee dimaksud di sini adal Kekuasaan-Nya dihamparkan dalam beatek ayat-ayat qauliyah dan ayat- yang darisisipandangan epistemologis merupakan duasumber komplementer harus digunakan untuk mengetahui kehendak- allah atau the will of God), yaitu kehendak yang diekspresikan ic hukum-hukum alam, sosial, dan spiritual, Di dalam kehendak katkan diri menundukkan dirinya secara total. ayat kauniyal yang secara Nya (Sunnat dalam bentul jnilah manusia sejati mengi Dengan ungkapan fain, manusia sadartunduk dan patub pada jaringan-jaringan kuasa Tuan yang diwujudkan dalam bentuk hukum-hukum tad, Untuk mengetahui jaringan-jaringan kuasa nusia dapat menggunakan akal dan hatinya, Keduanya adalab amanah jati, dalam Kehidupan sosialnya, secara ini, mat ‘Tuhan yang diberikan kepada setiap diri manusia, yang. bila digunakan dalam takaran yang proporsional dan seimbang, akan mampu menemukan jaringan- jaringan kuasa tersebut. Hakikat Diri Manusia dan Ontologi Tauhid Usaha pencarian jaringan-jaringan kuasa seperii tersebut di atas, sebetulnya bukan pekerjaan yang sederhana dan rnudah. Karena usaha ini tidak hanya melibatkan kajian-kajian akan hakikat diri manusia (human nature), tetapi juga kajian-kajian ontologis, epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Hakikat diri manusia dan pandangan ontologis terhadap realitas, dalam konteks tulisan ini, adalah dua hal yang sangat penting, Karena, persepsi tentang hakikat diri akan memengaruhi cara-pandang seseorang terhadap realitas-realitas yang dihadapi dan yang akan dikonstruksi. Dengan mempersepsikan diri sendiri sebagai homo economicuc, misalnya, akan mengantarkan cara-pandang orang tersebut kepada realitas dari sudut pandang ekonomi saja. Akibatnya, tindakan-tindakan yang akan dilakukan cenderung mengarah kepada pembentukan realitas yang berorientasi pada ekonomi. Tentu hal ini sangat berbeda bila seseorang mempersepsikan dirinya sebagai Khalitullah fil Ardh (QS Al-Bagarah [2]: 30). Dengan semacam ini, secara etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagl seluruh makhluk (QS Al-Anbiya [21}:107) dengan ja! munkar (QS Ali ‘Imran [3]: 110). Pencapaian akan peng Jan amr ma’ruf nahi vertian hakikat diri ini AKUNTANSISYARIAH 187 rs metakukan proses dialektik dalam dirinya sen, Z of sel) Y2P8 melibatkan akal dan Kalbunya, pj mnemukan hakikat dirinya, maka ia dapat menggun, ; perspektif untuk melihat dan memp, keonsep Khalitullah filArdh anand me Dan dengan ae kernbali reals eas ran ontologis, yaitu suatu kesadaran, = sama, a dapat See ahwa ralitas sosial sebetulnya adalah reas alts yang lekat dengan natal yang si manage itu sendiri, dan demikian juga tidak terlepas dengan nilai-nilai etika, Dengan asumsi ontologis semacam itu, seorang akuntan tidak hanyg diminta secara kritis melihat dan mengerti hubungan antara akuntan jty sendiri dengan apa yang harus dipertanggungjawablan (accounted joy (Morgan, 1988: 484), tetapi juga dituntut bagaimana menciptakannya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seorang akuntan dengan perspektif Kha. Iitullah fil Ardh akan merujuk pada ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditencukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulisenggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya (QS Al-Bagarah (2): 282), dapat dilakukan den (internal dialectic pro telah mencapai dan me! aig akan Ayat tersebut bisa dijadikan dasar acuan untuk merefleksikan potensi nilai-nilai keadilan yang dimilikinya dalam bentuk tindakan nyata. Kata “dengan adil” atau "keadilan’—yang menurut Departemen Agama diterje- mahkan sebagai “dengan benar” — dalam pengertian “keaditan Ilahi”, dalam ayat tersebut di atas, pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar, yaitu tauhid dan Islam (dalam arti penyerahan dan ketundukan kepada Allah), dat keadilan (dalam arti keyakinan bahwa segala perbuatan manusia kelak akan dinilai oleh Allah) Jadi, dengan melihat unsur yang terkandung di dalamnye ini, keadilan tidak terlepas dari nilai-nilai etika atau moralitas—yang tidak He - adalah wahyu atau hukum-hukum Allah ity sendiri (Rahardjo, 19% Dalam konteks akuntansi, aks seorat j nila keadilan lahi" sebagai dasar pij a DE ener akan dalam berinteraksi dan mengonst'™'S ‘188 BAB7:SYAHADAT AKUNTANS| = tas sosil. Ini berarti bahwa akuntansi —sebagai sebuah disiplin atau ar tidak dapat berdiri sendiri. Akuntansi selalu terikat pada realitas isl di mana akuntansi tersebut dipraktikkan, Hal ini karena akuntansi tikiaskan sebagai cermin yang digunakan untuk merefleksi realitas sosial {Mtorgan, 1988; Dillard, 1991), Dan perlu diketahui hahwa cermin itu sendiri juga adalah produk dari nilai-niai ideologis di mana cermin itu dibuat (Tricker, 1978: 8). Pernyataan ini juga mempunyai makna bahwa “keadilan Ilahi" harus terkandung di dalam realitas sosial dan akuntansi. Mengapa demikian? Karena jika akuntansi dikonstruksi dengan nilai ideologis lain yang tidak kompatibel dengan niiai “keadilan ahi,” maka informasi akuntansi yang direfleksikan dari realitas sosial yang dibangun dengan nilai “keadilan Ilahi" akan berbias dan terdistorsi oleh nilai ideologis yang digunakan untuk mengonstruksi bangunan akuntansi itu. Tentang hal ini Dillard mengisyaratkan: Persepsi kita tentang “realitas” adalah seperti pada saat kita menatap permu- kaan cermin, Kita hanya dapat melihat apa yang direfleksikan oleh cermin itu pada kita. Permukaan cermin yang berbeda (Karena kerangka ideologi yang berbeda) akan merefleksikan realitas yang berbeda pula (1991: 9). Dengan demikian, semakin jelas bahwa akuntansi yang dikonstruk dengan dasar ideologi yang berbeda akan merefleksikan realitas dengan bentuk yang berbeda. Keadaan semacam ini akan menjadi semakin krusial, ketika hasil refleksi tersebut—yaitu informasi akuntansi—kemudian dikon- sumsi oleh orang lain yang pada akhirnya akan membentuk realitas-realitas baru. Konsekuensi ontologis yang harus disadari oleh akuntan adalah bahwa ia secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas-realitas semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ahi yang rnengikat manusia dalam hidup sehari-hari, Dengan cara demikian realitas altematif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri (self consciousness) secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada kuasa Hahi, Dan dengan kesadaran diri ini pula, ia akan selalu merasakan kehadiiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada. Inilah yang dimaksud dengan ontologi tauhid itu. Jadi, dengan asas keadilan Hahi tadi,realitas sosial yang dikonstruk mengandung tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa ilahi; yang semuanya dilakukan dengan perspektif Khalifatullah fil Ardh, yaitu suatu cara-pandang yang sadar akan tanggung jawab kelak di kemudian hari di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, AKUNTANSISYARIAH— 189 Realitas Organisasi dan Dasar Epistemologi Akuntans) (ei ikro, realitas sosial tadi dapat diidentikkan den, emanate tas yang diciptakan dalam organisasi bisnig, eet ho g diciptakan dalam ontol, ‘gan Fealtas . Schin, organisasi, BS van i ta terbentuk suatu Kondis i a erat dak hy tadi, Bila realitas organis: ansasiint akan menebarkan rahmat yet kemungkinan realitas orem i tertiat dalam operas! organises 83 bagi mereka yang secara aktif terli ‘des masyarakat luas dan ingkungan alam sekitarnya, ser Cita yang cukup ideal ini bisa direalisasikan bila organisasi dij (metaphorised), misalnya dengan metafora jamanah) Penggunaan Metaforg semacaminisangatpenting, karenadengancarainiseseorangakan meraneay organisas (Iihat Morgen, 1986). Paling tidak, teori-teori manajemen Kacy terutama yang dipelopori oleh Taylor (1911), Fayol (1949), dan Webe, (1946) tentang teor birokrasi, adalah teor‘-teori yang dikembangkan unt, merancang organisasi berdasarkan pada sebuah metafora, yaitu metafry mesin. Mesin, sebagaimana umum mengetahui, adaiah sebuah benda yang secara rasional dirancang untuk melakukan suatu pekerjaan dalam upaya menghasilkan produk tertentu, Dengan menggunakan imajinasi mesin ini, ‘eorteori tersebut dikembangkan. Seolah-olah organisasi tersebut adalsh sebuah mesin yang dirancang sedemikian rupa, dengan menggunakan, misalnya struktur organisasi formal, deskripsi kerja dan lain sebagainya, untuk mencapai tujuan tertentu, Manusia, dalam konsep teori-teori semacam ini, dianggap sebagai “onderdil-onderdil (spare parts) yang dilatih dengan keahlian tertentu sesuai dengan fungsi di mana mereka akan ditempatkan Dan nilai mereka akan dihargai sesuai dengan kemampuan instrumental yang mereka miliki (lihat Morgan, 1980:614), Konsekyensi teori ini adalah terciptanya realitas yang menyel ‘erasing dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, Banyak metafora lain, Seperti cybernetic system, population ecology political system, theatre, culture, dan lain-lain, yang berdiri pada paradigm Positivistik yang bisa digunakan 1980). Namun, Xetapi jus laskan 190 bap 7, SYAHADAT AKUNTANS| SE + Realitas organisasi semacam ini yang harus direfleksikan oo ni Rel Ich akuntansi Karena dengan “objektivitas” ini, akuntans ida “i piatan tau mendstorsitan“ealasorganissiomanahkeberey realita lainnya. Objektvitas ini bisa dilakukan bila ada rekonstruksi teori akuntansi, terutama dari sisi pijakan epistemologinya. Dasar epistemologiterpenring, adalah sikap terbuka (open-minded) terhadap segala bentuk pemikiran, Ini berarti bahwa untuk merckonstruksi teori akuntansi diperlukan ae keterbukaan dalam menerima tcori-teor lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Atau dengan ungkapan lain, epistemologi ini tidak periu menolak secara total teori-teori akuntansi dari perspektit perspektif lainnya, melainkan harus secara rasional_ memanfeatkannya sebagai pelengkap bagi teori akuntansi (Islam) yang lebih komprehensif dan berwawasan taubid (cf. Bashir, 1986). Sikap terbuka mi merupakan salah satu konsep epistemologi Islam yang pada dasarnya menerima dan Seth adanya kemajemukan, Sikap ini dapat dipertegas oleh pemyataan Dhacuadi yang mengatakan: Islam tidak menerima dualisme, tetapi mengakui adanya pertemuan dan kesatuan dalam kemajemukan itu. Menurut pandangan Islam, memisahkan jasad dan ruh adalah tindakan melawan hakikat sesuatu, karena hal ini ‘elanggar prinsip Islam yang sangat fundamental, yaitu tauhid (1993: 155). Secara epistemologi, pandangan ini jelas menolakadanya dikotomiantara dua hal yang bersifat berlawanan, tetapi sebaliknya: la menerima bahwa dua {atau lebih) yang berlawanan (atau berbeda) itu saling melengkapi. Misalnya, jasad tidak dapat meniadakan ruh, dan ruh tidak dapat meniadakan jasad, Akal tidak dapat meniadakan galbu, dan qalbu tidak dapat meniadakan akal; keduanya adalah pasangan yang saling melengkapi. Demikian juga, objek imu pengetahuan (penelitian) tidak dapat dipisahkan dari subjek ilmuwan (heneliti), Ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah adalah ayat-ayat yang saling melengkapi, Agama dan ilmu pengetahuan juga adalah unsur-unsur Yang saling melengkapi dalam pengembangan ilmu pengetahuan itu sendii dan pemahaman terhadap agama, Dengan epistemologi semacam ini, produk teori akuntansi yang Ainasitkan akan memiliki wawasan yang lebih Iuas dibanding dengan teort akuntansi tradisional, Hal ini demikian, karena teort ini tidak hanya berdiri Pada asas etis-epistemologis yang universal, yaitu keadilan abi, tetapi [AKUNTANSI SYARIAH 191 ansendental dan teleologikal, la tidak han Yerpentingan duns (Diss) manus tiaktwalisasikan dalam kesadaran dirj untuy am asa Hai, Barangali ita soap rn bisa dijadikan teori alernayp hada sebelumnya, juga memitikisifat yang 10 memberikan perhatiannya pada juga kepentingan ura, yan lak hidup harmoni dengan jarin ring: (teori) akuntansi pada masa mmendata iL papi teori-teor’ akuntans! innya yang, te Penutup Peradaban Islam pada awal ke}ay’ i kemajuan peradaban mani Kontribusi terbesar yang diberikan Mustim dalam disiplin akuntansi ada, sistem angka Arab-Hindu, imu alba, dan sistem perdagangan yang cokyp mnaju. Majunya peradaban Islam ini tidak terlepas dari konsep teologis yang mereka anut, yang, memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya dalam kerangka iman yang tetap terpelihara. Ketika pola berpikir bebas ini ditinggalkan, peradaban Islam menjadi mundur dan berada pada posis marginal. annya banyak memberikan kontribus ia pada era berikutnya, yang, sangat berarti ba p teologis tradisional yang, konservatif dan eksklusif membawa Konsey lusif. umat pada Fenomena ini sebetulnya bukan khas milik umat Islam, tetapi juga bisa Jimensi kehidupan yang lain, ih tetap didominasi oleh mini hanya ingan kuasi ringan-jaringan realitas yang juga Konservatif dan eks ditemukan pada umat Jain, atau_dimensi seperti dunia akunt Akuntansi Positif, yang bisa diubah bila ada usaha pembebasan dari ikatan jaringan-ja aan, bila kemudian timbul pemikiran-pemikiran ke nt, G.W.E. Hegel, dan ila dasarnya masih realitas tadi, Tidak he! an yang, dipelopori oleh Immanuel Ki arah pembeba Karl Marx dengan teori-teori kritisisme mereka, yang fi berada dalam paradigma modernitas, Model serupa juga dikemukakan oleh para posmodernis yang menggugat kejumudan “proyek modernita Akuntansi Positif —yang juga produk dari modernitas dan yang terlanjur dijadikan mitos—juga tidak terlepas dari sasaran serangan teorikritis. Karen? Akuntansi Positiftelah, sedemikian rupa, menciptakan realitas yang mengikat ee pada kondisi tertentu dan membentuk perilaku serta pola berpikit ? et ve dalam eyatanya banyak memberikan dampak negatif dalam muneulnya Teor Ak paya untuk mencari alternatif telah dilakukan dené*" intansi Interpretif dan Kritis, 192 BAB 7:SYAHADAT AKUNTANSI ‘Alternatif| Jain juga bisa dilakukan aengan menggunakan Pendekatan endekatan ini mencoba memberikan Pengertian yang utuh akan am, Pei manusia yang dengan pengertian ini seseorang memiliki cara Jebih komprehensif, transendental, dan teleologikal tentang pan, Pendekatan ini memberikan Suatu pengertian bahwa rasa aris doebaskan dar katanjaTINB2Naringan kuasa semu—yang diciptakan oleh, misalnya, Akgntans! Positif atau yang lainnya—untuk emudian diikat oleh jaringan-jaringan aan ahi. Dengan cara mengikatkan dit padajaringan-jaringan kuasa lah ni diharapkan timbul kesadaran di yang penuh akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia setiap saat dan di Islam, pend pakikat diti pandang YanB realitas kehiduy mana saja. Realitas semacam ini, misalnya realitas organisasi, harus diciptakan, danakuntansi — sebagai salah satu bagian dari realitas itu —tidak bisa berdiri sendiri. Akuntansi dan realitas organisasi terpilih sedemikian rupa dan saling memengaruhi. Oleh karena itu, agar realitas organisasi tidak menyimpang dari nilai yang mendasarinya, maka akuntansi yang merefleksikan realitas organisasi ini juga secara epistemologis harus dikonstruksi berdasarkan atas nilai yang sama. Dengan cara demikian, keduanya akan saling memperkuat. Pokok Pikiran Peradaban Timur (Islam) pada dasarnya telah memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan—akuntansi. Namun pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim terperangkap pada sikap yang sangat konservatif. Sifat konservatif ini tampak pada sikap irrasional, taglid, eksklusif, dan pasif. Akhirnya masyarakat Muslim tertidur dengan mimpi indah tentang kejayaan masa lalu Islam, Umat Islam selalu berapologi dengan mimpinya. Ketika dikatakan kepada seorang Muslim bahwa masyarakat Barat saat ini sudah melakukan perjalanan ke luar angkasa, maka jawaban orang Muslim itu adalah; “di Al-Qur’an itu semua sudah ada dan sudah dijelaskan, mau apalagi kita? Bahkan perjalanan Nabi Muhammad Saw. dengan isra-mikrajnya jauh lebih hebat dibanding dengan orang Barat” Begitulah kira-kra jawaban seorang Muslim untuk berapologi tanpa menyadari keadaan dirinya, kan kontribusi terhadap tata buku berpasangan, k kontribusi ini secara Jslam sekarang hanya Selain perdagangan, umat Islam telah member Peradaban Barat (akuntansi) dalam bentuk sistem angka Arab-Hindu, dan Aljabar (matematika). Bentu! nyata mewarnai peradaban modern. Namun, umat AKUNTANS! SYARIAH = 193 1 dan perkembangan iim oq Be aya yang sunggub-sungeuh unt peradaban mans yong rh, an menonton bergulirnya peradaba fakuntansi) tanpa melakukan up berkontribusi bagi keberlangsungan aa lamiin. — ikap konservatif rupanya juga sedang menjangkiti para aly Sikap kons gap bahwa akuntansi modern yang sedang dip ‘Akuntan menganggap bahwa a x age saat ini adalah akuntansi yang sudah sempurna. Tidak perlu lagi gig, an dalam rangka menyempurnakannya, Jaditah ahan-perubah: pena 1 tidak sebetulnya telah meng, i i i atau tansi sebuah mitos yang disadari al 7 need realitas dengan nilai yang dikandungnya, yaitu nilai kapitalisme, kup, Plakay Langkah perubahan perlu dilakukan agar manusia tidak terperang., dalam jaringan kuasa materialisme yang sedang diusung kapitalsne Pembebasan perlu segera dilakukan dengan cara memahami dirt melyy proses dialektik dalam dirinya sendiri (internal dialectic process of ) yang melibatkan akal dan kalbunya, Proses ini mengantarkan akuntan padg Perspektif Khalifatullah fil Ardh yang dengan perspektif ini akuntansi dapat disyahadatkan, Jadilah akuntansi syariah! Akuntansi syariah dapat mem. bantu terbentuknya realitas yang bertauhid, Pertanyaan Tingkat Dasar 1. Apa saja_kontribusi umat Islam terhadap akuntansi (peradaban modern)? 2. Faktorapa yang menyebabkan umat Islam pada saat ini tidak lagi mampu memberikan kontribusi pada peradaban manusia? 3. Apa yang menyebabkan akuntansi modern dianggap sebuah mitos? Pertanyaan Tingkat Menengah ae 1. Bagaimana caranya melakukan perubahan pada akuntansi modern yang sudah terlanjur dianggap sebuah mitos? 2. Mengapa pertu dilakukan perubahan terhadap akuntansi modern? 3. Mampukah akuntansi syariah menciptakan realitas yang bertauhid? 194 BAB 7: SYAHADAT AKUNTANS

You might also like