You are on page 1of 51
_ CINTA DALAM RAHIM AKUNTANSI 1a menengarai bahwa akuntansi memilikj rful dalam menciptakan tatanan n kapitalisme (Mathews and Sombart (1924) telah lam: kekuatan tersembunyi dan nyata yang ne i ‘onomi baru yang disebut dengai ane Siac in perkawinannya dengan ilmu pengetahuan) secara pasti telah melahirkan teknologi yang membawa perubahan radikal dunia modern. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapitalisme akhirnya menjadi tiga pilar yang saling berperan (interplay) dalam membentuk jaringan rasionalitas instrumental, rasionalitas efisiensi, birokrasi, dan kalkulasi cost/ benefit untuk memerdekaan dan mencerahkan manusia sesuai dengan cita- cita Pencerahan (Budiman, 1997: 73). Semula Pencerahan berupaya untuk membebaskan manusia dari Keterbelengguan untuk menjadi manusia sejati, tetapi dalam kenyataannya justru manusia terperangkap dalam belenggu yang lain, yaitu rasionalitas instrumental ilmu pengetahuan dan kapitalisme. Manusia tergolek tidak Pane karena rasionalitasnya sendiri dan bahkan diperbudak oleh karya- rya rasionalitasnya, yaitu ilmu Pengetahuan dan kapitalisme. msi, yay i Maka bab ini i “magic.” y yaitu suatu bentuk disiplin dan ‘mendiktekeputusan-keputeen mampu Menghipnotis jalan ‘an manusia, danm k 2 emperbudal manusia. Deskripsi dimulai dengan episode carut-marutnya kapitalisme, dilanjutkan dengan deteksi karakter akuntansi, dekonstruksi akuntansi, dan peran nilai cinta-kasih akuntansi dalam upaya membentuk masyarakat dengan jaringan realitas profetik-ilahiyat (jaringan kuasa ontologi tauhid). Carut-Marut Kapitalisme Kapitalisme adalah wujud pikiran manusia yang direfleksikan dalam kehidupan nyata. Kehidupan dengan jaringan realitas dan karakter yang terkandung dalam diri kapitalisme. Bagi Emile Durkheim, sebagaimana dituturkan oleh Budiman (1997: 57-8), konsekuensi logis dari dipraktik- kannya pabrikasi kapitalisme telah membuat rusak bentuk tatanan sosial tradisional yang sebetulnya sarat dengan nilai solidaritas dan persaudaraan. Pada tatanan sosial tradisional, menurut Durkheim, pembagian kerja berdasarkan pada keahlian belum ada. Namun demikian, pada tatanan yang demikian bukan berarti tidak ada pembagian kerja. Pembagian kerja yang ada pada waktu itu dalam bentuk dan dalam konteks similaritas yang tinggi, misalnya pembagian kerja berdasar pada usia atau jenis kelamin. Pada masyarakat semacam ini kohesi sosial sangat kuat mengikat kebersamaan anggotanya. Pada masyarakat industri, masih menurut Durkheim, pembagian kerja menghendaki spesialisasi tinggi yang mengakibatkan individu saling bergantung dan dapat mengembangkan bentuk-bentuk patologis. Pada ketinggian spesialisasi ini tugas-tugas semakin sulit dilakukan dan bahkan pada titik tertentu dapat mengisolasi pekerja, sehingga mereka tidak mengerti proses produksi secara keseluruhan. Kebersamaan anggota masyarakat se- makin pudar, karena setiap individu disibukkan oleh pekerjaannya masing- masing. Individualisme, akhirnya diletakkan di atas kolektivitas, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki daya kohesif dan pemaksayangkuatuntuktetap membuat utuh kesadaran diri dalam setiap pribadi yang terfragmentasikan. Masyarakat secara tidak sadar telah meninggalkan kepatuhan terhadap imperatif-imperatif norma kehidupan, norma agama, dan norma sosial yang semula disepakati bersama. Pada keadaan ini masyarakat kehilangan pe- gangan hidup dan akhirnya terperangkap dalam dunia yang keadaan hampa norma (normlessness) (Budiman, 1997: 60). Kapitalisme industrial, bagi Durkheim, jelas-jelas mengandung benih patologis dan benih pribadi yang jayanya, kemudian inivdvais, dan tererabot GOTT sog7: 60) exit : alis, hi ee Pekerja-pekeri@ ae dat a an ai ay me menghendaki agar mereka terlepas |. Mereka juga ceate ania ee ak mem MARE 2 anya Bien sebag dengan kalkulasi yanB aan indust egois, masuk dalam perant an manusia g tena i pentuk-bentuk kontrol dan pesialisasi dapat rasional ( trialis menghendaki jaan yang ters! t produksi dan efisiensi yan maksimum, m mekanisme kontrol impersonal tiftradisional (lihat Budiman, Pola perusah: hierarki birokrasi dikendalikan dan men Manusia dalam kondist ini yang menolak kepatu 1997: 62). Weber juga melihat bahwa mendukung spiritakumulasi kapi capai targe terpilin dala han pada imperatif-impera Calvinisme menyuburkan asketisme yang tal dalam arti untuk keagungan Tuhan yang Iebih besar dan bukan untuk kesejahteraan duniawi. Semangat a mampu mengubah feodalisme menjadi kapitalisme. Namun demikian, a industrial yang semula banyak dibantu agama, kemudian justru berbalikarah dengan membuka jalan bagi kehancuran agama. Artinya, jika semula manusia bekerja untuk memenuhi panggilan suci ‘Tuhan, kemudian berbalik menikam dirinya sendiri. Hal ini demikian, karena jaringan kerja kapitalisme menyeret manusia pada sistem ekonomi yang merontokkan sistem kepercayaan (Budiman, 1997: 138). Kehidupan manusia menjadi sangat mekanis seperti mesin. Pemahaman pada manusia hanya dilihat dari aspek rasionalitas efisiensi. Ketika manusia bekerja tidak produktif dan efisien, maka yang bersangkutan akan diganti dengan manusia yang lebih produktif dan efisien sebagaimana layaknya mengganti mesin yang sudah tidak lagi produktif. Nilai manusia dalam kondisi ini tidak berbeda dengan sebuah “benda” (Budiman, 1997: 122). Kepribadian ee esensi cs dan sejati dalam dirinya menjadi bagian yang ga dan termarginalkan. tet toa semacam ini adalah aringan yons oral) dengan mengesamping nilai “rasionalitas-tujuan” (zweckra- igkan sama sekali “rasionalitas-nilal 110 BAB S:CINTA DALAM RAHIM AKUNTANS| (wertrationalitat). Rasionalitas-tujuan dalam wilayah tekno-ekonomi selalu disibukkan pada kalkulasi laba-rugi tanpa melakukan konsiderasi serius terhadap aplikasi norma dan nilai etika. Jasa yang ditawarkan manusia tidak lebih dari jual-beli komoditas dengan prinsip maksimasi utilitas hedonis. Di mana utilitas hedonis ini dapat bertindak sebagai “prinsip-dalam’, yang menurut Hegel sebetulnya berarti the Geist, Roh Absolut (Budiman, 1997:109), dalam arti yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, utilitas hedonis memiliki makna the Geist dalam arti metaforis, namun berfungsi nyata sebagai prinsip-dalam; sebagaimana Karl Marx memahami mode produksi yang mendeterminasi seluruh relasi kehidupan manusia. Sebagai prinsip-dalam yang menghubungkan relasi-relasi realitas, maka utilitas hedonis dapat semakin memperkuat samsara materialisme dalam kehidupan kapitalisme modern saat ini. Jika semula kapitalisme, menurut Max Weber, tumbuh dan berkembang karena menggunakan prinsip-dalam etika Protestan, maka kemudian— karena adanya pergantian prinsip-dalam—kapitalisme dengan cepat meng- hancurkan agama dan menikam diri manusia. Tengara Weber sebetulnya telah lama diindikasikan oleh Ibnu Khaldun lima abad sebelumnya. Utilitas hedonis, menurut Ibnu Khaldun, mengikis habis bentuk kesungguhan dan ketabahan yang ada dalam diri masyarakat. Artinya, anggota masyarakat dipaksa untuk saling berkompetisi demi kemewahan hidup individual yang akhirnya meluluh-lantakkan asabiyah, yaitu rasa persaudaraan yang dilandasi nilai kasih sayang antarsesama. Lalu apa akibat selanjutnya? Manusia kehilangan dimensi penolakan diri karena proses desublimasi represif—istilah Marcuse yang menunjukkan dominasi rasionalitas eksternal atas diri manusia. Dengan desublimasi represif ini manusia sebagai subjek aktif, akhirnya selalu bertindak afirmatif, permisif, dan tunduk pada kekuatan impersonal yang berada di luar dirinya. Karakter Akuntansi Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme tidak saja mengubah perilaku seperti yang diuraikan di atas, tetapi juga mewarnai bentuk akuntansi yang disebut-sebut sebagai instrumen penting dalam dunia bisnis, Akuntansi dalam lingkungan tersebut menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalisme. Selaras dengan pandangan ; sebagai anak dari budaya di ncaish rE : Ta i anak eek ¥ : IC cial ir skuntansieberade, PT cangatompleks pase 1993). nt as, i jal \. by }. melalui interaksi ae 1988; Hines, 1989 dan Ba (iat misalnya Morgan, cjapun akuntansi memang dibento oly Namun demikian, me ruhi lingkungannya Sebagainan a : nga . la berbalik memens: i kungannya, o moore rt (1924) di atas. Substansi dua pandanga, di telah diungkapkal jews dan Perera (1993 : 15) dengan mengataka,, ii ithe’ Y : Hi atas dipertegas oleh Mal : iew is that accounting is socially constructeg 9, Although the conventional a i eal events, there are a iternative appa, i ic el ; a ofartocnunting ‘may be socially constructing. ic akuntansi laksana pedang bermata dua, la dapat dibentuk oleh lingkungannya (socially constructed) dan Sekaligus membentuk lingkungannya (socially constructing). Ini akhirnya days, dijadikan sebuah kepastian bahwa akuntansi bukanlah suatu bentuk im pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktik yang sangat sarat dengan nilai. Klaim terhadap eksistensi nilai universal boleh dikatakan merupakan sebuah ciri yang dimiliki oleh akuntansi modern atau modernitas. Klaim ini adalah salah satu bentuk “logosentrisme,” yaitu sistem pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal (Rosenau, 1992: xii). ini Tricker (1978: toy chy Hakikatnya adalah jelas; Logosentrisme ini terutama dicirikan dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner (dualistik, dikhotomis) yang hierarkis, dan kedua ilmu penge- ‘ahuan positivistik yang mekanis, linier, dan bebas-nilai, Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa logosentrisme sebagai produk modernisme mempunyai cin “penunggalan” melalui universalitas. Konsekuensi dari eee inl adalah bahwa “sang lain” (the others) yang berada di lua ae ear disubordinasikan, dieliminasikan, dan jika_mungkin Berbeda .: pesnedenisne meng me Yang dicirikan oleh logosentrism®, dengan menempatkan “sang. lai erusaha menciptakan “kemajemukat demokratis kooperati, human's, an Pada relasi yang bersifat terbul® Semula didominasi dan dilguasay sn terdesentralisasi ke dalam wacanayans Oleh logosentrisme, Dengan cara semacal™ i: CINTA DALAM RaKing ITAN 12 BABS:CINTA Daw) IM AKUNTA} SI ini, tatanan sosial dan jaringan kerja yang ada di dalamnya akan bekerja secara lebih baik, lebih demokratis, dan egalitarian dibanding dengan tatanan sosial modern. Ontologi Secara ontologis akuntansi mainstream sangat dipengaruhi oleh physical realism yang menganggap realitas objektif berada secara bebas dan terpisah diluar diri manusia. Dalam hal ini Chua mengatakan: ‘Apa yang ada “di luar sana” (objek) dianggap independen dari yang menge- tahui (subjek), dan pengetahuan dicapai ketika subjek merefleksikan secara benar dan “menemukan” realitas objektif (1986: 606). Anggapan ini meniadakan fakta tentang manusia aktif yang secara sosial mampu mengonstruksi realitas kehidupannya (lihat Berger dan Luckmann, 1966; Blumer, 1969; Morgan, 1988; Hines, 1989). Realitas (yang sebenarnya diciptakan secara aktif oleh manusia) “diukur,’ “dianalisis, “dideskripsikan” secara objektif sebagaimana layaknya benda mati. Konsekuensinya adalah adanya jarak antara objek dan subjek.! Karya-karya ilmiah akuntansi keuangan yang dilakukan oleh, misalnya: Ball dan Brown (1968), Kaplan dan Roll (1972); Beaver et,al. (1979); Beaver et, al, (1980); Grant (1980), dan semua penulis di Accounting Review, Journal of Accounting and Economics, Journal of Accounting Research, menggunakan pandangan ontologi physical realism seperti yang diterangkan di atas. Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis sebetulnya, menurut Capra (1997: 252-53), adalah pandangan ontologi yang tidak tepat untuk memahami fenomena sosial. Capra berargumentasi bahwa: . ilmuwan sosial telah mencoba dengan sangat keras untuk memperoleh kehormatan dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan metode- metode fisika ala Newton [yang sangat mekanistis]. Namun demikian, kerangka ala Descartes sering kali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang mereka gambarkan, danakibatnya model-model mereka telah menjadi semakin tidak realistik (1997: 253; huruf miring dari penulis). ‘rak objek-subjek ini tampak pada penggunaan teknik kuantitatif, reduksi realitas kompleks menjadi ‘Dalam metode penelitia Pengukuran, quisionnaire, analisis variabel-variabel, dan lain-lainnya. AVIAFFANICICVARIAH 443. Hadas ra mengatakan: / Lebih lanjut Cap! atiniaitandal dengan pendekatan regu, : Pal i kuntansi) bia mi {dan akuntansi] stn an al vei Para ae ‘akuntansi} anyalah Satu aspek day < nomi dan sosial; suatu sistem hidup yang ena S vag-menerus.- (1997: 253). i IImuekon« dan terpecahpecah | engetahui bahwa el [ qeseluruhan susunan ekologis de” ‘manusia dalam interaksi yan mnya akuntan gagal memahami bahwa realitas i jhadapinya adalah sebuah entitas YanB tidak cael cs Rest = dihadapi a adalah realitas interdependen yang dibentuk melalui prose. ae yang kompleks dan berlangsung secara terus-menens soi Z bukan suatu hal yang aneh bila terjadi gap yang lebar antara teo,; jehingga, dan praktik. Implikasi logis dari pand: idia ve ahaa harus rasional, objektif, kuantitatif, near, dan causal, Cii-cin jn bila dilihat dari kacamata Tao, tidak lain adalah sifat maskulin dari Yang Bila kita melihat lebih kritis, kita dapat memahami bahwa bentuk ilmy pengetahuan akuntansi yang netral sebetulnya tidak ada sama sekali, Karena apa yang mereka (proponen akuntansi mainstream) anggap bebas nilai, ternyata mengandung nilai-nilai maskulin. Anggapan ilmu pengeta-huan akuntansi yang bebas nilai adalah ilmu pengetahuan yang ilmiah justru tidak ilmiah, sebagaimana dikemukakan oleh Capra di bawah ini: Memang, pada umu langan ontologi di atas adalah bahwa penelitiay .~ tidak ada yang disebut dengan ilmu sosial [akuntansi] yang “bebas nilai” Imuwan sosial [peneliti akuntansi] yang menganggap pertanyaan tentang nilai-nilai sebagai sesuatu yang “non-ilmiah” dan berpendapat bahwa mereka akan menghindarinya berarti melakukan suatu yang tidak mungkin. Setiap analisis fenomena sosial yang “bebas nilai” didasarkan atas asumsi sistem nila yang ada secara diam-diam yang implisit di dalam seleksi dan interpretasi data. Dengan menghindariisu tentang nilai, ilmuwan sosial [peneliti akuntansi] tidak lebih ilmiah, tetapi sebaliknya justru menjadi kurang ilmiah karena mereka Jalai menyatakan asumsi-asumsi yang mendasari teori mereka secara eksplisit (1997: 255-6). babs ue oar Capra (1997) di atas dapat dipahami bahwa ilmu peng in rae yang “bebas nilai” adalah suatu hal yang mengada-ad2 aa Stora id Pertama, akuntan sendiri tidak akan bist see (oi, imu pengetahuan, pengalaman, sifat, dan nilal “tabula rasa" Koda, ieee inheren dalam “dirinya, Akuntan buke™ ah dua, realitas yang diteliti 4 i . nilai, Karena realitas tersebut dibaigth Priel wut 7 melalui proses interaksi sosial. Da ‘114 BAB S:CINTA DALAM Rating AKUNTANS| ketiga, metodologi yang mereka bangun adalah metodologi yang sarat dengan nilai-nilai maskulin. Ketika sifat-sifat maskulin Yang ini dominan dan “mematikan” (atau paling tidak memarginalkan) sifat-sifat feminin Yin, maka ketidakseimbangan, atau destruksi, atau krisis, tatanan sosial akan tercipta (lihat Rosenau, 1992; Seidman, 1994; Lyotard, 1994; dan Rorty, 1994) di mana keadaan tersebut tidak lain disebabkan oleh metodologi ilmu pengetahuan modern yang sangat maskulin. Peran Cinta-Kasih Destruksi yang ditimbulkan oleh akuntansi pada dasarnya dapat dieli- minasi dengan memasukkan nilai cinta. Cinta adalah karakter Tuhan yang membawa kedamaian. Dalam Al-Qur’an dikatakan: Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah:"Salaamun-alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-An‘am [6]: 54) Karakter ini juga terdapat pada diri manusia sebagai wakil-Nya di bumi seperti yang diungkapkan dalam ayat berikut ini. Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang. (QS Maryam [19]: 96) Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS Thaha [20]: 39) Cinta membutuhkan pengorbanan, yaitu meleburkan “aku” yang kecil dan menyatukannya dengan “Aku” Semesta. Cinta semacam ini yang mema- bukkan Mansur al-Hallaj, seorang sufi termasyhur, sehingga ia bersajak: 1am He Whom I love and He Whom I love is , We are two spirits indwelling on body, When thou seest me, thou seest Him, And when thou seest Him, then thou dost see us both. Cinta, kata Krishna (1999: 85), adalah jalan sekaligus tujuan. Seorang Pemabuk cinta akan selalu memasrahkan diri dan menghancurkan acinta yang diungkapkan Sha}, mm i jmana Fas! keangkuhan dirinya sebagaiman Latif di bawah ini: Pasrahkan dirimv, Dan kau baru akan a Rasa pedih karen perpisah dar wa Hasrat yang membara ‘untuk ment Jadikan keduanya teman ido : encin' Jika ingin disebut seorang P i pengorbana ie eh af kan dirimu terbakar © pe n keangkuhan, keangkaramurkaan, ker, i kal inta kasih akan melenyapkan : ner kenistaan, dan sebaliknya menciptakan sorga atau nirwan, sakan, 5 bagi semua makhluk. lepaskan keangkobari™ ‘mengensal cinta ng diberikan) Allah, dan Janganlah kamy jinumlah rezeki fee di aa ‘bumi dengan berbuat kerusakan, (QS Al-Bagarah (2) 60). Kerusakan diciptakan manusia karena “aku” yang, ada dalam diri manusiy memiliki kadar yang sangat tinggi, sehingga menghancurkan “yang lain’ (the others). Seorang pencinta mampu merasakan pisau pengorbanan sebagz| kenikmatan. Pencinta Allah mengatakannya demikian (Krishna, 1999: 85): Jika kau seorang pencinta, Jangantah mengeluh sewaktu Ja menyayatmu dengan pisau-Nya.. Nikmatilah setiap luka Yang kau peroleh dari kekasihmu Rayakan kematianmu di tangan-Nya... __,. Peneinta Allah akan selalu “memenggal” kepala “ego"nya, memenggzl a ya, sehingga tidak ada lagi Keangkuhan, tidak ada lagi Kejayaan dats cenistaan, dan tidak ada lagi rintihan “sang lain” yang disingkirkan. Sudah tiba waktunya, Sesaat lagi kepalamu dipengeal.,. Apabila tidak. ‘Siap, ‘Tinggalkan tempat i ‘Tempat ini hanya bagi igi para pemberani, bagi yang berani memenggal kepalanya seni, aan Fi. 196 BAB S:CINTA DALAM Ravin, AKUNTAN: 1 Akuntansi harus dapat memenggal kepala “ego"nya yang besar dan menumbuhkan anaman| altruisme agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas kehidupan bisnis. Akuntansi harus mengurangi “kejantanan"nya dan menumbuhkan “kebetinaan’nya dengan menggunakan sudut pandang yang Jain, yaitu holistic worldview, Holistic woraview, Capra (1996: 6) juga menamakan pandangan dunia ini dengan ecological worldview atau deep ecology—memandang dunia (reali- tas) sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah sebagaimana yang dikatakan Capra di bawah ini: Deep ecology tidak memisahkan manusia—atau apa pun—dari lingkungan alam. Deep ecology memandang dunia bukan sebagai kumpulan objek yang diisolasi, tetapi sebagai jaringan kerja fenomena yang secara fundamental bersifat saling-berhubungan dan saling-bergantung. Deep ecology mengakui nilai intrinsik dari semua makhluk hidup dan memandang manusia hanya sebagai satu mata rantai khusus dalam jaring kehidupan (1996: 7). Paradigma ini jelas memiliki nilai feminin Yin yang eco-action, caring, nurturing, intuitive, dan spiritual. Capra (1996: 7) memahami deep ecology ini sebagai sebuah konsep yang bersifat spiritual seperti yang dikatakannya di bawah ini: _. kesadaran ekologis (deep ecological awareness) adalah kesadaran spiritual atau religius. Ketika konsep spirit (ruh) manusia dipahami sebagai bentuk kesadaran di mana seorang individu merasakan sense of belonging, sense of connectedness, terhadap kosmos secara keseluruhan, kesadara tersebut menjadi jelas bahwa kesadaran ekologis adalah bersifat spiritual pada esensi yang paling dalam, Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh bahwa lahirnya pandangan baru tentang realitas berdasarkan pada kesadaran ekologis yang konsisten dengan apa yang disebut filosofi perennial dari tradisi spiritual. Pendapat Capra (1996) tentang realitas yang spiritual tidak bertentangan dengan tradisi Islam—paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri, 1996: 44)—yang melihat realitas sebagai suatu entitas yang tidak terpisah-pisah sebagaimana dipahami oleh akuntansi mainstream. Menurut tradisi Islam, realitas bersifat hierarkis (Nasr, 1993; Bakar, 1994; Triyuwono, 1997a, 1998) yang terdiri dari: realitas materi, realitas sikis, realitas spiritual, asma’ sifatiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), berturut-turut dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Antara Tealitas yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan atau intercon- nected [menurut istilah Capra (1996)]- iciptakan Tuhan agar m, : put diciptaxal anys, ghatan realitas 2° "6) Untuk itu, Tuban mening 8 ‘Tingkatan-tin} t " a hanya (Bakar | s piri-Nya dan sebagai refleys; dapat mengenal Tu sh rendah di realitas-realitas lain yang lebih ren uhal yanganel bahwa imu Pengetahaay Diri-Nya, Oleh Karenaitu,bukansv tyhan sebagai Realitas a jbangun untuk meng . ' a ake sebagai bagian yanB tidal terpisahkan a Pemahaman atas kita pada pemahaman bahwa tujuan ily Realitas Absolut akan mengarahkan we alam adalah: memati kaa pengetahuan {akuntansi) dalam es akan Tuba, imentunfalkkan oe nyata dari segala sesuatu yang eet achaual refleksi dari ke-Esaan Ty, me e ia eksistensi Realitas Tertinggi. Inj beran a a esa diarahkan pada Patt yang mendalan tentang Sang Pencipta, tujuan akhir dari semua yang ada. Pemahaman yang komprehensif ini jelas berbeda dengan pemahamay, yang dimiliki oleh akuntansi mainstream. Secara umm, Pemahamay akuntansi mainstream atas realitas terbatas pada realitas materi, Realitas materi biasanya dicirikan oleh sifatnya yang konkret, nyata, dapat diuku, berada di luar diri subjek, dan dianggap sebagai realitas tunggal. Dekonstruksi Bentuk-bentuk (Eksoteris) Akuntansi Dengan cinta bentuk-bentuk eksoteris akuntansi dapat didekonstruksi, yaitu meleburkan logosentrisme dan keangkuhan akuntansi mainstream dengan menghadirkan yang marginal. Cinta kemudian dapat bersemi dalam diri akuntansi. Egoisme Akuntansi Mainstream Akuntansi mainstream dengan kepala egonya direfleksikan dalam bentuk konsep income. Dengan e, J ‘60 yang tertanam dalam diri i an menekankan pada terciptan annotate ranteag tidak lain adalah pandan, ¥ income bagi pemegang saham. Pandangan i imeligatakaie San entity theory. Berkaitan dengan teori ini Kam Bagi entity theo, oleh karte itu veronenetanan dilakukan pada penentuan income, 12 Penekanan pada income mee 2 @bih penting dibanding dengan ne ™mempunyai kepentinpan een eetvai dua alasan: (1) equityholders terut™ en terhadap income, karena sami in menunju i CINTA 18 BABS:CINTA DALAM RAHIM AKUNTAN: S| hasil investasi mereka dalam periode terse! bila menghasilkan laba (1990: 307-8). but; dan (2) perusahaan akan eksis Menurut pandangan teori ini, perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan profit/income. Dan income ini semata-mata diperuntukkan pada pemegang saham (the concept of income for stockholders). Secara eksplisit, dalam hal ini, Kam (1990, 315) mengatakan bahwa “the traditional accounting income is a measure of the wealth created for the benefit of the stockholders.” Memperuntukkan income semata-mata kepada pemegang saham merupakan bentuk pandangan yang sangat sarat dengan nilai egoisme. Nilai ini tidak lain adalah nilai yang dimiliki oleh Yang. Nilai ini selanjutnya akan berkembang menjadi ekspansif, yang dalam Neraca terlihat pada Laba yang Ditahan. Bila kita menggunakan konsep “berpasangan,” maka sifat egoistik tidak akan pernah dibiarkan sendirian, Sifat egoistik harus diimbangi oleh sifat altruistik yang feminin. Sifat altruistik ini akan terlihat bila akuntansi menggunakan konsep value-added income. Konsep ini, menurut Kam, adalah: ukuran kinerja, pengukuran nilai atau kekayaan yang diciptakan perusahaan dalam periode tertentu.., ukuran tersebut mengukur kinerja dari partisipan di perusahaan tersebut (1990: 315). Konsep yang menggunakan enterprise theory ini memandang bahwa income yang diperoleh perusahaan merupakan hasil dari usaha kooperatif dari banyak partisipan (stakeholders) (Kam, 1990: 315). Oleh karena itu, income harus didistribusikan kepada stakeholders. Atau, konsep yang lebih luas menghendaki bahwa income harus didistribusikan kepada stakeholders dan universe (alam) (lihat Triyuwono, 1997b). Pendistribusian income kepada stakeholders dan universe ini hanya bisa dilakukan oleh sifat altruistik, yaitu sifat yang lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Internalities Akuntansi Mainstream Implikasi lain dari sifat egoistik yang dimiliki oleh akuntansi mainstream adalah terletak pada konsepnya yang hanya mengakui biaya-biaya pribadi (private costs) yang kerap disebutinternalities- sebagai lawan dari externalities (public costs) yang meliputi biaya-biaya polusi tanah, air, udara, dan suara. Sementara ini, akuntansi mainstream tidak bertanggung jawab terhadap public costs yang terjadi akibat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, tetapi sebaliknya yang menanggung adalah masyarakat (dan alam) secara AKUNTANSISYARIAH 119° banyak upaya yang di 9-1). Belum fete al mmbangkan pada suatu Dentuk Ana ts ini. ews, 1993: 13 j untuk meng@! ' fa ngjawabkan public cost dang dikembangkan untuk menginteraj. iB ae konsep Total Impact Accounting nm ih del i didefinisikan sebagal: r I biaya yang dj m unit moneter, total a iB igual ntlrmengue dat biaya tersebut dapat dikelompog iblic costs (1993: 130). keseluruhan (Math oleh peneliti akuntan: yang dapat mempertange Salah satu upaya yam! sikan public costs ini adalal TIA ini, menurut Mathews, upaya-upaya U nak melanin Pers jadi private costs dan mh a kuntansi yang mencoba menampilkan dua ied ‘ dike luarkan dalam menjalankan operas Perusahaan, Yay eae ublic costs. Pengakuan (recognition) private costs, Menuryt ie ae representasi dari sifat maskulin (Yang) yang egoistik as fa0, : action), sedangkan internalisasi public costs merupakan tindakan ekologi TIA adalah bentuk al (eco-action) yang feminin (Yin). 2 Upaya mendudukkan public costs pada posisi yang sejajar dengan Private costs merupakan langkah dekonstruksi terhadap akuntansi mainstream, Namun, sayangnya tidak banyak peneliti akuntansi yang memiliki perhatian pada isu ini. Karya-karya Linowes (1972), Dilley dan Weygant (1973), Ullman (1976), Estes (1976,1977), Dierkes dan Preston (1977), Eichhorn (1979), Gray et,al. (1987) (lihat Mathews, 1993) memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya mengembangkan TIA yang sadar lingkungan. Angka-angka Akuntansi Akuntansi mainstream sangat angka adalah “pusat;” dan ini adalah akuntansi mainstream, Tanpa angka ai bagi akuntansi, dan implikasinya ada dapat menggambarkan ke; Hines di bawah ini: identik dengan angka-angka. Angle salah satu bentuk logosentrisme dati dalah suatu hal yang sangat mustabil lah bahwa tanpa akuntansi kita tidak ‘adaan perusahaan Sebagaimana dikemukakan oleh Akan jadi apa “posisi lc euangan” Perusahaan tanpa akuntanst keust modal,” dan “laba’ yang s a Pertanyaan-pertan aie sna ane “kinerja’ atau “ukuran’ [‘size"] sebuah in? Tanpa konsep “aktiva,” “kewajiba diterjemahkan dalam bentuk angi tan, Kinerja, dan ukuran perusalatt 120 BAB S:CINTA Das itologi angka-angka Vane li Se He a ka akuntansi—yang juga ternyata merupakan sifat dari Yang—Pel i astral mengingat informasi kuantitatif tidak cukup memadai untuk memberikan gambaran yang relatif lebih utuh tentang keadaan perusahaan. Dengan kata lain, informasi kualitatif—yang selama ini dimarginalkan—perlu diangkat dan diposisikan sejajar dengan informasi kwantitatif. Penelitian-penelitian di bidang Social Responsibility Accounting (SRA) menunjukkan keberadaan kedua jenis informasi tersebut. SRA sendiri adalah: Pengungkapan informasi yang dilakukan secara sukarela, baik kualitatif maupun kuantitatif, yang dibuat oleh organisasi untuk memberikan informasi atau memengaruhi pihak-pihak yang berkepentingan. Pengungkapan kuanti- tatif bisa dalam bentuk keuangan atau nonkeuangan (Mathews, 1993: 64). Dalam laporan Committee on Social Costs dari The American Accounting ‘Association (1975) mengusulkan tiga tingkatan pengukuran, yaitu: ‘Tingkat | di mana aktivitas diidentifikasi dan dijelaskan. Contohnya bisa tentang identifikasi bahan-bahan polutan yang dike luarkan ke alam. ‘Tingkat II di mana aktivitas diukur dengan menggunakan unit non-moneter. Polutan diukur dalam tingkat emisi, waktu peredaran, dan kepatuhan pada standar yang ada yang diformulasikan dalam bentuk fisikal seperti parts per million (ppm). ‘Tingkat 1 di mana usaha-usaha dilakukan untuk menilai efek dari emisi polutan tadi. Pengukuran dikonversikan dalam bentuk estimasi finansial dari costs dan benefits pada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), mulai dari pemegang sahan hingga masyarakat umum (Mathews, 1993: 60). Pengukuran tingkat pertama jelas merupakan pengukuran yang akan menghasilkan informasi kualitatif. Sedangkan pengukuran tingkat kedua dan ketiga adalah pengukuran yang akan memberikan informasi kuantitatif, yaitu berturut-turut informasi nonmoneter dan moneter. Penelitian-penelitian SRA yang dilakukan di Australia, Selandia Baru, dan Kanada, misalnya, oleh Trotman (1979), Kelly (1979), Trotman dan Bradley (1981), Pang (1982), Guthrie (1982), dan Gul et, al. (1984) (lihat Mathews, 1993: 97-101), menemukan bahwa beberapa perusahaan secara sukarela menyajikan informasi-informasi eualitatif (di samping informasi kuantitatif) dalam Laporan Keuangannya. '|AKUNTANSISYARIAH=— 121 sini, kita dapat memahamj bah staan empiri Dengan melihat hasil pene"? et oran Keuangan bukan kebyty kebutuhan informasi kualitatif dalam 12P | narnyata.Peranan penelitiakunt, ’ Zeman kebutuan treet Unt ig ee a : ‘nodehmodel yang dibuat oleh ae oe Ramanathay eae 1984) Wartick dan Cochran eee oe (1986), Gray etal. (1987), dan lain-lainnya inst Ma eater fh Pay ditingkatkan untuk mendapatkan model yang komp! ati, Positive Accounting Wacana akuntansi sangat didominasi oleh diskusi yang menekankay pada praktik atau fungsi akuntansi Sangat jarang diskusi menyentuh asp pemikiran yang fundamental bagi perkembangan akuntansi baik konsep keeilmuan maupun praktik. Wacana yang dominan ini terbatas pada penje lasan dan prediksi atas femomena yang. sedang menjadi perhatian. Kajian tersebut juga terbatas pada pola cause-effect yang sequential (mekanis) dan linear. Peneliti akuntansi positif terperangkap pada asumsi kaku bahwa “reality exists concretely and independently of social actors and social practices” (Hines, 1989: 53). Asumsi ini yang menyebabkan model-model penelitian berpola cause-effect yang sequential dan linear, Sekali lagi, pola ini tidak lain sifat dati Yang. Wacana dan bentuk akuntansi akan menjadi kaya pola di atas tidak dijadikan satu-satunya pola yang dianggap sahih. Oleh karena itu, pola lain yang memiliki ciri Yin, seperti: synchronicity, simultaneous, non-linear perl dimunculkan ke atas permukaan wacana akuntansi. Bentuk pola pikir yang terakhir ini akan memberikan warna yang berbeda dengan yang pertama. Bentuk ini tidak lain adalah Accounting Thought ten. Non-Mainstream Accounting) yang sifatnya bertolak belakang dengan Positive (Practical) Accounti a i a. Paradigma, yaltu: Paradigma Inert Ghat Prone ee a anaes Tinker, 1984; 1988; Tinker, Merino dan Neimark 1999), Di pied Cp nmdeentae (misalnya, Arrington dan Francs mc ian Ponmainstream ini sangat kecil, paling tidak vid (1995) dan Triyuwono (1998p) dari Paradigm? ‘122 _BABS:CINTADALAM RAHIM art Interpretif, Sawarjuwono (1995) dari Paradigma Kritikal, Sukoharsono (1995) dan Triyuwono (1995, 1997c) dari Paradigma Posmodernisme. Kajian akuntansi dari paradigma non-mainstream sangat berguna untuk mengembangkan akuntansi baik dari segi konsep maupun arah praktik akuntansi itu sendiri. Hal demikian karena paradigma non-mainstream melihat dengan pandangan mata bird’s eyes yang holistik, sedangkan para- digma mainstream menggunakan pedestrian’s eyes yang jarak pandangannya sangat terbatas. Oleh karena itu, hadirnya paradigma non-mainstream sebagai mitra dari paradigma mainstream sangat membantu untuk mengembangkan akuntansi, khususnya di Indonesia. Jaringan Kuasa Ontologi Tauhid Substansi wacana di atas pada dasarnya meletakkan peran subjek sebagai posisi penting yang menanamkan bibit cinta pada diri akuntansi. Akuntansi dengan ruh yang dimilikinya akan mampu membentuk jaringan- jaringan kuasa. Usaha pencarian jaringan-jaringan kuasa sebetulnya bukan pekerjaan yang sederhana dan mudah. Karena usaha ini tidak hanya melibatkan kajian akan hakikat diri manusia (human nature), tetapi juga kajian ontologis, epistemologis, metodologis dan aksiologis. Hakikat diri manusia dan pandangan ontologis terhadap realitas, dalam konteks tulisan ini, adalah dua hal yang sangat penting. Karena, hakikat tentang diri akan memengaruhi cara pandang seseorang terhadap realitas yang ia hadapi dan yang akan dikonstruksi, Dengan mempersepsikan diri sendiri sebagai homo economicus, misalnya, akan mengantarkan cara pandang orang tersebut kepada realitas dari sudut pandang ekonomi saja. Akibatnya tindakan- tindakan yang akan dilakukan akan cenderung mengarah pada pembentukan realitas yang berkonsentrasi pada ekonomi. Tentu hal ini sangat berbeda bila seseorang mempersepsikan dirinya sebagai Khalifatullah fil Ardh (QS Al-Baqarah [2]: 30). Dengan persepsi semacam ini, ia secara etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk (QS Al-Anbiya [21]:107) dengan jalan amr ma’ruf nahy munkar (QS Ali ‘Imran [3]: 110). Pencapaian akan hakikat diri ini dapat dilakukan dengan melakukan proses dialektik dalam dirinya sendiri (internal dialectic process of self) yang melibatkan akal dan qalbunya. Bila ia telah mencapai dan menemukan hakikat dirinya, maka ia dapat menggunakan . ektif untuk melihat dan vataltah fit Ardh seb364! perm lingkungannya, Dan gy konsep Khalifatullal J alitas sosial dala! fee len, bangun kembali realitas-re# ‘memperol ich kesadaran vies iia aes 8 cara yang sama, ia dapat 1 sakan bahwa rea ial sebety, kesadaran atau pengertian yang, dengan nilai-nilaj i lekat i ,, realitas yang «© : adalah kreasi manusia rea ‘emia juga tidak terlepas dengan a dimiliki manusia itu sen iri, gal nilai etika. Dengan ast , diminta secara kritis melihat sendiri dengan apa yang harus ¢¥ (Morgan, 1988: 484), tetapi juga dit . ontologis semacam itu, seorang akuntan tidak hanyy umsi ontologi: aovengert mubungaD antara alntan je dia pertanggungjawabkan (accounteg fo) untut akuntansi macam apa yang han. : iptakannya. Untuk menjawab pertanyzan, ia ci dan bagaimana menciptal < a‘ és eee oan akuntan, dengan perspektif Khalifatullah fil Arjy yang dimilikinya akan merujuk pada ayat berileut ini: we 1 : rang beriman, apabila kamu bermu’‘amatal tidak secara tungj ee eaten yons dental, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulisenggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, mala hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnyo, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya (QS Al-Baqarah [2]: 282). Ayat tersebut bisa dijadikan acuan untuk merefleksikan potensi nilai- nilai keadilan yang dimilikinya dalam bentuk tindakan nyata. Kata “dengan adil atau “keadilan’—yang menurut Departemen Agama diterjemahkan —o ‘dengan benar*—dalam pengertian “keadilan Mahi,” dalam ayst os ‘ on Pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar, yaitu tauhid 'm dalam arti penyerahan dan ketundukan kepada Allah, dan keadilan A ae alam art keyakinan bahwa segala perbuatan manusia kelak akan dinilaicleh Allah. Jadi, i lah. Jadi, sagen melihat unsur yang terkandung di dalamnya ini, adil tidak terlepas darinilai-nila etika ata u moralitas ie ' hukum-hukum Allah itu sendir (Rahardj, ty A een adalah walja Dalam konteks akuntansi aa “keadilan Iahi” 7 124 BAB S:CINTA DALAM Rang AKUNTAL NSH pada realitas sosial di mana akuntansi itu dipraktikkan. Hal ini karena akuntansi dikiaskan sebagai cermin yang digunakan untuk merefleksirealitas sosial (Morgan, 1988; Dillard, 1991), Dan perlu diketahui bahwa cermin itu sendiri juga adalah produk dari nilai-nilai ideologis di mana cermin itu dibuat (Tricker, 1978: 8). Pernyataan ini juga mempunyai makna bahwa “keadilan Ilahi” harus terkandung dalam realitas sosial dan akuntansi. Mengapa demikian? Karena jika akuntanst dikonstruksi dengan nilai ideologis lain yang tidak kompatibel dengan nilai “keadilan Iahi;” maka informasi akuntansi yang direfleksikan dari realitas sosial yang dibangun dengan nilai “keadilan Ilahi” akan berbias dan terdistorsi oleh nilai ideologis yang digunakan untuk mengonstruksi bangunanakuntansi itu. Tentang hal ini Dillard mengisyaratkan, "Persepsi kita tentang ‘realitas’ adalah seperti pada saat kita menatap permukaan cermin. Kita hanya dapat melihat apa yang direfleksikan oleh cermin itu pada kita. Permukaan cermin yang berbeda [karena kerangka ideologi yang berbeda] akan merefleksikan realitas yang berbeda pula” (1991: 9). Dengan demikian, semakin jelas bahwa akuntansi yang dikonstruk dengan dasar ideologi yang berbeda akan merefleksikan realitas (yang sama) dengan bentuk yang berbeda. Keadaan ini akan menjadi semakin krusial, ketika hasil refleksi tersebut—yaitu informasi akuntansi—kemudian dikonsumsi oleh orang lain yang pada akhirnya akan membentuk realitas- realitas baru. Konsekuensi ontologis yang harus disadari oleh akuntan adalah bahwa ia secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari realitas-realitas semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, realitas alternatif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri (self:consciousness) secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada kuasa Ilahi, Dan dengan kesadaran ini pula, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada. Inilah yang dimaksud dengan ontologi tauhid itu. Jadi, dengan asas keadilan Tlahi, realitas sosial yang direkonstruk mengandung nitai tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi; yang semuanya dilakukan dengan per- spektif Khalifatullah fil Ardh, yaitu suatu cara pandang yang sadar akan tanggung jawab kelak di kemudian hari di hadapan ‘Tuhan Yang Maha Esa. AKUNTANSISYARIAH 125 parkan konsekuensj yang s Dengan ego, realitas Yang pada nilai rasionalitas ty ploitasi manusia, tetap; f mii at mene! Ego akuntansi mainstream ps ee rhadap realitas YanB icip' a dalah realitas erdasal he yang tidak saja menge! imperatif te mungkin tercipta a (eweckra-tionalitat) alam semesta. pasionalitas-tujuan” jinar bagaimana yan} Allah tidak men, sebaliknya, membi (eweckra-tionalita!) dapat ae jika cinta} srasionalitas-nilal” (wertrationalitat). Cinta dg iB disenandungkan oleh Rabi’ah aby yisakan ruang di dalam hatiky ung awa rahmat bagi umat manus lr dan memancarkan SI membunuh benci, se wiyah, “Cintaku pada membenci setan.” Cinta, dan seluruh alam semesta- Wahai Kebahagiaanku, walal Wahai Pelindungku, Wahai Sahabathu, ketentuan Jalanku, dan Tujuanku, Engkaulah Ruhku, Engkaulah Harapanku, Engkaulah Sahabatku, Kerinduanku, Tanpa Diri-Mu, wahai Hidup dan Cinta-Mu Takkan pernah aku mengembara melintasi negeri-negeri tak terbatas ini, Betapa banyak rahmat, betapa banyak anugerah, Karunia dan nikmat telah Kau tunjukkan padaku. Cinta-Mulah yang kucari Dan di dalamnya aku menemukan berkat Wahai Cemerlang mata kalbu kerinduanku! Engkaulah pembimbing kalbuku! Selama hayatku masih dikandung badan, ‘Aku takkan pernah lari ' Menjauhi-Mu. Ridhailah aku, wahai Hasrat jiwaku, Dan ak. u pun akan berbahagia sejati (Rabi'ah al-Adawiyah) Kerinduanku, dan dan Keselamatanku, Dengan cinta, reali 1 realitas kehi 's kehidupan manusia akan sarat dengan rash sayang, sarat dengan nilai nil: sarat dengan nilai tauhi lai kesadaran ketuhai ivi ‘ gan nilai tauhid, nan (divine consciousness), dan 126 BABS: S:CINTA DALAM RAHIM AKUNTAN st pokokPikran asst tahen tT ne eure oe modern dicirikan dengan berpikir logosentris(me), yaltu sistem pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran 7 eksternal. Logosentrisme ini ditandai dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner (dualistik, dikhotomis) yang hierarkis, dan hedua ilmu pengetahuan yang mekanis, linier, dan bebas-nilai. Dengan demikian, dapatdimengerti bahwa logosentrismesebagaiprodukmodernisme mempunyai cirl ‘penunggalan” melalui universalitas. Konsekuensi dari pe- nunggalan ini adalah bahwa “sang lain” (the others, sing liyan, sé laén) yang berada di luar dirinya selalu disubordinasikan, dieliminasikan, dan jika mungkin harus “dibunuh,” Bentuk logosentrisme lainnya dari akuntansi modern adalah adanya nilai egoistik. Dari sifat ini akhirnya akuntansi modern hanya mengakui private costs saja. Sementara public costs yang timbul sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh perusahaan tidak pernah diungkapkan dan dilaporkan. Dengan kata lain, akuntansi modern hanya mengadopsi nilai-nilai maskulin dalam dirinya. Tidak heran dengan ciri kemaskulinannya ini akhirnya akuntansi modern hanya melaporkan informasi yang sifatnya kuantitatif. Logosentrisme akuntansi modern telah melahirkan kerusakan nyata. Kerusakan itu tidak saja meliputi kerusakan alam, tetapi juga kerusakan pada kehidupan sosial manusia itu sendiri. Sifat egoistik akuntansi telah memengaruhi pikiran pengguna dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dilakukan secara nyata telah mengeksploitasi alam dan kehidupan manusia. Destruksi yang diakibatkan akuntansi modern dapat dihentikan jika kita melakukan dekonstruksi terhadap logosentrisme yang dikandung cara adalah dengan menghadirkan cinta ke dalam diri akuntansi. Cara yang lain adalah memasukkan sifat lawan yang dimiliki akuntansi modern. Sebagai contoh, jika akuntansi modern memil iki sifat egoistik, maka langkah dekonstruksinya adalah memasukkan sifat kebalikannya, yaitu altruistik. Jika akuntansi modern bersifat sekuler, maka langkah dekonstruksinya adalah memasukkan nilai-nilai religius ke dalam dirinya, Dengan cara menyeimbangkan ini, akuntansi akan memiliki wajah yang lebih humans dan “religius’ seinggs ja dipraktikkan akan mencip- takan realitas ontologi tauhid. akuntansi modern. Salah satu AKUNTANSISYARIAH 127 6 —— AKUNTAN DAN AKUNTANSI DALAM KACAMATA POSMODERNISME Praktik akuntansi yang digunakan dalam dunia bisnis sekarang tidak lain merupakan konsep yang dibuat dan dihasilkan oleh akuntan. Praktik ini niscaya menciptakan dan membentuk relitas sosial (social reality) yang melingkupi dan hadir secara samar dalam kehidupan sosial masyarakat bisnis. Dengan kehadirannya yang samar ini, individu-individu anggota masyarakat (bisnis), secara sadar atau tidak, terperangkap dalam jaringan-jaringan kerja (networks) realitas sosial yang sudah tercipta tadi. Jaringan-jaringan kerja realitas sosial ini merupakan jaringan kuasa yang dengan power (kuasa)-nya mampu memikat, mengikat dan memilih kehidupan sosial masyarakat ke dalam jaringan kerjanya. Menyadari bahwa realitas sosial mempunyai kuasa yang memperang- kap individu-individu anggota masyarakat ke dalam suatu jaringan tertentu, maka suatu hal yang krusial dan patut dicermati di sini adalah: (1) realitas sosial macam apa yang harus dibentuk atau diciptakan sehubungan dengan konsep, prinsip, dan praktik akuntansi; dan (2) apa serta bagaimana peran akuntan dalam upaya menciptakan realitas sosial yang dimaksud. Atensi terhadap kedua hal ini sangat penting mengingat nasib dan destinasi individu-individu masyarakat, secara sosial, dipengaruhi dan ditentukan oleh kedua faktor tersebut. Ketika, misalnya, realitas sosial yang diciptakan adalah realitas sosial yang kering akan nilai-nilai etika, maka realitas sosial semacam ini akan besar pengaruhnya dalam membentuk perilaku individu untuk berperilaku sama dengan “warna” realitas sosial yang mengikatnya, yaitu 133 jlai etika (non-ethical behaviour), Perty sosial yang melingkunginya, yaity real kondusif untuk mengarahy. n H ing akan nil perlaeu yang ken hbilarealitas initentu dapat berubal wr etl, canal sosial yang sarat dengal rilakuyange perilaku tersebut wake ji secara kritis kedua aspek terseby, Bab ini mencoba ‘ fu areal dan peran akuntan, dalam keray tas sosial ( ie dari tulisan ini adalah (1) Memberika, Tin kritis terhadap fenomena-fenomena Sosial. Temelali proses praktik-praktik akuntansi dan iy, ari “perangkap logosentrisme’ realitas Sosial yap, berikan arah pembentukan realitas dan tatanan emberikan pandangan kritis tentang ethicg) dan peran akuntan dalam keterlibatan aki atas, yaitu realil analisis postmodernis! wawasan yang luas, ce! terutama yang terbentw —dengan cara “keluar” di ada, untuk kemudian mem sosial yang lebih baik, (2) ™ consciousness (kesadaran etis) akuntan membentuk realitas sosial. Posmodernisme Sebelum membahas inti permasalahan, tulisan ini mencoba memberi- kan pandangan singkat dan padat tentang posmodernisme. Posmodernisme pada dasarnya adalah sebuah worldview yang mencoba “meletakkan dirinya ‘di luar’ paradigma modern dalam arti bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi” (Hadiwinata, 1994, 23). la (posmodernisme) bukanlah suatu bentuk gerakan yang utuh dan homogen di dalam dirinya sebagaimana ditemui dalam bentuk pemikiran modernisme yang selalu sarat dengan sistematika, formalitas, dan keteraturan. Sebaliknya, ia adalah sebuah gerakan yang mengandung keanekaragaman pemikiran “yang meliputi Marxisme rs em enine keberagaman inilah akhimya ‘winata, 1994: 31). Mungkin karena adani? | Posmodernisme tidak mempunyai “bentuk erbentuknya” posmodernisme ini justru merupakan “bentuk asli dari dirinya, Gerakan ini muncul karena moden oleh posmodernisme—telah menci tak. manusia. Modernisme, demikian me ; ni melbatkanpenyebaranhegemonipe i ra nisme—sebagaimana yang diklaim ‘an ketidakberesan dalam kehidupa" rut Hadiwinata (1994: 23), tidak $4 aban Barat, industrialisasi,urbanis® 134 BAB 6:AKUNTAN DAN ‘AKUNTANGI q teknologi, dan konsumerisme, tetapi juga melahirkan rasisme, perbedaan kaya-miskin, diskriminasi, pengangguran dan Stagnasi. Pada ‘posisi yang sama, Sugiharto (1996, 29-30) juga berpendapat bahwa modernisme telah menciptakan banyak konsekuensi buruk pada tatanan praksis kehidupan sosial manusia, paling tidak dalam beberapa hal, seperti: ; pertama, pandangan dualistiknya {modernisme] yang membagi seluruh enyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagai berikut, telah menyebabkan objektivikasi alan b es jektivikasi alam secara berlebihan nen ae ae Kedua, pandangan modern ea Nn positivistis akhirnya cenderung menjadikan nusia se jek juga, masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi Ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah, bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah disorientasi moral- religius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan seterusnya. Keempat adalah materialisme, {yaitu], [b]ila kenyataan terdasar tidak lagi ditemukan dalam religi, maka mmaterilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar...Kelima adalah militerisme. Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma-norma objektif pun cenderung hilang, ‘Akibatnya, Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu- satunya cara untuk mengatur manusia, [dan] ... keenam adalah bangkitnya Kembali Tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri (yang merupakan] konseluensi logis. dari hukum survival of the fittest (Sugiharto, 1994: 29-39). Realitas buruk yang ditampilkan modernisme tidak saja memperangkap individu-individu masyarakat ke dalam jaringan kerja realitas buruk tadi, jkitkan kekecewaan yang mendalam bagi mereka dap keadaan lingkungannya. menjadi suatu gerakan baru tetapi juga memban, yang dapat berpikir kritis dan sensitif terha Kekecewaan ini akhirnya mengkristal sehingga yang disebut dengan posmodernisme. Dengan melihat realitas buruk di atas, secara tegas posmodernisme dapat menyatakan bahwa modernisme telah gagal dalam melakukan misinya meskipun tokoh modernisme semacam Habermas tentu saja menyangkal dengan keras pernyataan ini. Realitas tersebut, kata Hadiwinata (1994: 23), sudah cukup untuk menghujat kegagalan modernisme, yaitu kegagalan mmodernisme dalam memenuhi janj-janji membebaskan manusia dari kesia- sian, ketidakpedulian, dan irasionalitas. AKUNTANSISYARIAH 135, Logosentrisme axvensi 10855 dari ‘ketidakmampy, ani merupakan Kons®” ra utuh. Ini tercermin day at hakikat manusi@ = ng berpikir TO 20Senttgn . modenisme untuk 76 umuannyayen6 or" adanya legitimasi de . misalnya, pandangan ken" yang engklaim 1992: xi). Cin ‘Ngan yaitu sistem pola berpikir al (Rosenay, ; si - Citi utam, referensi kebenaran — pola perpikir ae iner (uatisy, dari logosentrisme ini adala sr Meensi-eksistensh substansi-akside, dikhotomis) yang hierarkis, positif-negatif, Bahasa lisan, den-empiris, 7 -bentuk, transenden"emP | i, mana bagia El i nse /mettor dan lain-lainny di mi igian pertam, asa tulisan, wee asal-muasal dari bagian dianggap sebagai pusat, fondasi Paes ini; menurdt'Sahal (ised kedua (lihat Sahal, 1994 a fat jat {hersifat]totaliter, sehingga om 5 a ; . Pe nn nore dalamnya Dengan kata an logosentrismecender DS ‘menin i” ‘Sang lain’ (the other, yitusesuatuyanglan yangberada di Juar hegemoni dan kekuatay mainstream) yang berada dalam posisi marginal. Ini merupakan ciri khas yang melekat kuat pada tubuh modernisme, ciri arogans! yang melecehkan nila-niai, kekuatan, kekhasan, dan Kelokalan yang dimiliki oleh “sang lain’ Ciri kedua terletak pada aspek keilmuan. Imu-ilmu positif produk modernisme banyak menekankan pada aspek praksis dan fungsi, dan sebaliknya, melecehkan aspek nilai (etika)—ingat bahwa ilmu-ilmu posi mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus netral dan bebas dari nilai (value-free). Ini adalah sebuah bentuk logosentrisme yang dengan kekuatan hegemoninya mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang tidak mengikuti metode (prosedur) ilmiah (scientific method) yang telah diformat oleh ilmu positif/ Re i tidak ilmiah; yaitu ilmu yang tidak sabih p, dikembangkan, dan apalagi “dipraktikkan” Dak il , a aspek (ke)ilmu(an) akuntansi, juga ditemui hal serupa. Apa yang disebut dengan positive accounting theory, dan Zimmerman (1986: 199 instream dal )), boleh di i ; fi oa : in merupakan mai akuntar jodern. Dari kacamata Positive a akuntansi yang berada di “luar” iccounting theory, karya-kary* Tinker (1980, 1984, 195; ‘ar’ arus ini—seperti misalnya yang ditulis ole! Preston (1986), Chua (988 ‘nker etal. (1982), Tomkins dan Groves (1983) ), Hines (1988, 1989a, 1989), Laughlin (198 lihat misalnya karya Watts » 136 BAB6:AKUNTAN DaN ‘AKUNTANS} 1990), Arrington dan Francis (1989, 1993 oe aan pevetite (1993), Alagiah and Gaffikin (1996), Andrew dan waigonis ei illard and Yuthas (1996), Ezzamel and Hoskin (1996), dan lain-lainnya—tidak akan pernah dianggap sebagai akuntansi yang “ilmiah” Karena karya-karya mereka ini tidak mengikuti icuti dengan modernisme, gikuti prosedur filosofis yang sama ), Francis (1990), Roslender (1992, a yang sama juga dijumpai pada jurnal-jurnal semacam Accounting, Organizations and Society (AOS), Accounting, Auditing, and Accountability Journal (AAA)), dan Critical Perspectives on Accounting (CPA). Jurnal-jurnal ini adalah jurnal-jurnal yang berada “di luar” mainstream yang diikuti oleh misalnya Accounting Review. Ini, sekali lagi, menandakan bahwa positive accounting theory dan Accounting Review (dan beberapa jurnal lainnya dari aliran yang sama) adalah sebuah bentuk logosentrisme dalam dunia akuntansi. Ciri ketiga terletak pada aspek praksis. Pada aspek ini, logosentrisme juga dapat ditemui, yaitu bentuk standar dan praktik akuntansi yang mengklaim bahwa praktik akuntansi harus berlaku secara universal/internasional. Klaim ini terwadahi dalam bentuk sebuah gerakan yang dinamakan dengan harmonization of accounting atau international accounting. Apa pun alasan dipraktikkannya harmonization of accounting atau international accounting, bagi seorang posmodernis, praktik semacam ini tetap dianggap sebuah “kesewenangan” yang memarginalkan praktik-praktik atau nilai-nilai lokal (sebuah negara, misalnya) yang mungkin sangat sesuai dengan kondisi dan konteks kelokalan negara atau masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra dengan harmonization of accoun- ting atau international accounting ini bisa berpendapat bahwa sebetulnya bentuk praktik akuntansi sangat ditentukan oleh faktor-faktor, seperti: kultur masyarakat (Hofstede, 1987; Gray, 1988; Perera, 1989; Riahi-Belkaoui and Picur, 1991), sistem ekonomi (Abdel-Magid, 1981; Bailey 1988), sistem politik (Solomons, 1978; 1983; Tinker, 1984; O'leary, 1985; Daley and Mueller, 1989), dan sistem sosial (Gambling, 1974; Burchell et al, 1985). Pada tingkat mikro (organisasi), akuntansi juga telah berubah sesuai dengan arah dan pengaruh ti restrukturisasi dan perbaikan organisasi; struktur, dan pendekatan dalam pembagian nflik sosial dalam organisasi (Hopwood, rakat, lingkungan organisasi, sepel tugas-tugas organisasi; strategi, kerja, teknologi dan praktik; dan kor 1987), Fakta ini menunjukkan bahwa faktor-faktor Kultur masya AKUNTANSISYARIAH 137, dan sistem sosial abd ek iy iti conifikan dalam memben: 7 & i eee sangat SH ee posmodernis untuk relat ee if i lokal yanB aikehenda “menentang” logosenty;, akuntansi. Nilai-nilai ‘et marginal yaitu oe eee triste ditempatkan pada posis! i tional act ‘ harmonization of accouncing atau ine sistem ekonomi, sistem Genealogi aniogosentrises Michel Foucault, rere melakukay Dern arn bagi Foucault, hegemoni logosentrism, sebuah a ie jelas-elas mengesampingkan “sang lain” (4, dengan klaim ae al verupakan” “tidak berarti” atau baba, other) pada posisi vate latn, 20 pentuk-bentuk ilmu pengetahuan Yang “terhinakan.” Dengan ‘ tiadakan” demi menjaga tegakny, i i hkan “dit tertindas, disembunyikan, atau bal aaa y cana atau narasi besar yang sedang berkuasa secara fungsiong dan sistematis. ; Bagi Foucault, kemerdekaan pengetahuan-pengetahuan yang tertindas ini hanya bisa dilakukan melalui “kritik.” Yaitu wacana kritik yang dapat menempatkan pengetahuan tingkat rendahan atau pengetahuan yang "tidak ilmiah” pada posisi (wacana) yang layak. Wacana kritik ini oleh Foucault dinamakan dengan “genealogi” yang mempunyai misi perjuangan melawan wacana-wacana global dan universal yang saat ini menjadi kekuatan yang sedang berkuasa (Foucault, 1980; 82). Foucault (1987: 221-4) juga mengartikan genealogi ini sebagai suatu proses sejarah yang tidak linear Artinya bahwa terbentuknya sejarah (realitas sosial) sebetulnya tidak melalui suatu proses linear yang menuntun kepada tujuan tertentu, tetapi melalui suatu proses yang polivalen dan “acak” yang menuntun kepada tujuan yang benar-benar belum diketahui secara pasti. Secara implisit, pengertian ini mempunyai makna bahwa genealogi memberikan fleksibilitas dan kebebasat dob oot aren hence ee ae 'entu sangat berbeda dengan pandangan seorang modernis-positivistik dalam melihat realitas sosial sebagai suatu bentuk tatanan sosial yang konkret, formal, dan pasti, Bagi pemikir Iloeitianse a Foucault cana “global” dan “universal” adalah bentvk aneh, karena Poets (9p ‘9288 (Power). Hal ini bukan sesuata y= 80: 98) beranggapan bahwa kuasa tidak hat? 138 BABG:AKUNTAN DAN, AKUNTANS} terpusat dan terkonsentrasi Pada para penguasa yang sedang berkuasa dalam organisasi-organisasi formal seperti negara, perusahaan, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, organisasi agama, dan lain-lainnya, tetapi juga masuk ke dalam semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan (knowledge). Tambahan lagi, Foucault berpendapat bahwa terdapat hubungan timbal balik (reciprocal) antara ilmu pengetahuan dan kuasa. Kuasa terartikulasi dalam pengetahuan, dan pengetahuan terartikulasi dalam kuasa. Hubungan ini tidak hanya dalam bentuk hubungan dua unsur yang berbeda, tetapi juga dalam pengertian “fusi.” Artinya, kuasa itu sendiri adalah (mengandung) pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri terdiri dari kuasa (Foucault, 1980: 52). Dekonstruksi Dari uraian-uraian tersebut di atas akhirnya dapat dimengerti bahwa logosentrisme sebagai produk modernisme mempunyai ciri “penunggalan” yang berpijak pada hal-hal yang bersifat universal dan mensubordinasikan “sang lain” yang berada di “Iuar” dirinya. Bentuk penunggalan seperti ini, dalam pandangan posmodernisme, adalah bentuk yang tidak dibenarkan. Penunggalan ini dapat dilumerkan, demikian yang diusahakan oleh posmodernisme, dengan menggunakan dekonstruksi. Wacana “kritik” Foucault, seperti disinggung di atas, adalah sebuah bentuk “dekonstruksi,” yaitu sebuah upaya yang menyebabkan, dalam bidang filsafat, “lumernya batas-batas [pola berpikir oposisi biner] yang selama ini dipertahankan secara keras antara konsep dan metafor, antara kebenaran dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi, antara keseriusan dan permainan” (Sahal, 1994: 20). Dekonstruksi dapat juga diartikan sebagai upaya pencarian alternatif untuk menolak sesuatu yang sudah dianggap baku (Ridwan dan Rigo, 1992; Assyaukanie, 1994: 25), mapan, dan diakui secara dhiversal kebenarannya. Di bidang (ilmu) ekonomi, dekonstruksi berarti menghadirkan aspek- aspek lain yang berada di luar narasi besar (logosentrisme) sistem ekonomi modern semacam efisiensi, produktivitas, maksimalisasi laba, dan akumulasi modal. Aspek-aspek lain yang berada pada posisi marginal itu antara lain: pedagang asongan, pedagang kaki lima, industri kecil, gelandangan, kaum pengangguran, pengemis, dan kelompok non-elite lainnya. Posmodernisme AKUNTANSISYARIAH 139. nempatkan ke ava berusaha me lompoy dekonstruksiny’ ok yang berada dalam p,. dengan semangst | gsejoar cena” ne ae Nes A Pos marginal ini ke posis! va 14994: 29 procacci, 1994: 1887 eT demikian, pusat (lihat Hadiwinata, : perusaha menciptakan kemajemukay. relasi yang bersifat terby,, posmodernisme ™menBAK”! dengan menempatlan sa sf dan terdesentralisast ke dalam wacana yang tif, humanis, golongan elite semacam, i iat i osentrisme jdominasi dan dikuasa! oleh log! an semula didomins ene glen onglomerat, kapitalis.2°P kerja secara lebih baik, lei aa aes kerja yang ada di galamnye Lalpeeie ae aoe demokratis, dan egalitarian dibanding dené! eh Hadiwi : singkatnya, mengutip apa yang dikemukakan © leh Hadiwinata (1994, 30-1), posmodernisme adalah sebuah bentuk gerakon ae [yang] . merupakan .otokritik dalam filsafat Barat yanB rik ; “— untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk ‘i ial agi melihat hubungan antarparadigma maupun antarwacana sebagai sua Galea seperti yang diajarkan Hegel... [GJerakan baru ini pengalak kita untuk tnelihat hubungan antarwacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama Jain” Atau, dengan kata lain, posmodernisme menolak adanya penunggalan dan, sebaliknya, mengakui adanya kemajemukan, serta sekaligus melihat hubungan kerja dalam kemajemukan itu sebagai hubungan - kerja yang sinergis, yaitu hubungan yang saling memperkuat antara yang satu dengan yang lain. Akuntansi dalam Panggung Politik? Posmodernisme “versi” Foucault (1980) terutama yang diartikulasikan dalam Power/Knowledge-nya jelas-jelas mengatakan bahwa ada hubungan timbal-balik antara kuasa dan pengetahuan. Atau, bahkan dikatakan bahwa kuasa adalah pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri adalah kuasa. Dalam kajian mikro individual atau “diri” (self), pengetahuan dapat SC membentuk pola berpikir individu yang bersangkuta™ air ntuk buah pikiran dan aksi. Buah pikiran dan #5! ini, adalah kuasa atau, memiliki kuasa eal menciptakan dan membentuk nee mempunyai kemampwan Be s sosial maupun pengetahuan iw sendiri. Proses ini berj ; rjalan terus i i end oes bea tanpa henti, sehingga kuasa, disadari a 140 BAB 6: AKUNTAN DAN AKUNTANS| Pada skala makro, pengetahuan dengan kuasa yang kuat akan mampu membentuk tatanan sosial yang kuat pula, dan bahkan, memperangkap individu-individu anggota masyarakat ke dalam jaringan kuasa dan pengetahuan yang bersangkutan. Hadiwinata (1994), misalnya, menyajikan metafor yang apik tentang kuasa dan pengetahuan sistem ekonomi kapitalis sebagai produk modernisme. Untuk menggambarkan hal ini, ia menggunakan metafor “theatrum politicum” (panggung politik), yaitu “pertemuan antara bermacam-macam karakter dalam berbagai wacana yang telah diatur sedemikian rupa, oleh para pengatur laku” (Hadiwinata, 1994: 24). Bagi Hadiwinata, kapitalisme dalam kenyataannya tidak beda dengan “panggung politik,” yaitu sebuah ajang yang menunjukkan bahwa kepuasan akan terjadi apabila para pelaku yang terlibat di dalamnya dapat memainkan perannya masing-masing dengan baik seperti yang dinginkan oleh para pengatur laku. Dalam konteks ini, para pemainnya adalah pemilik modal, buruh, dan negara; sedangkan yang bertindak selaku sutradaranya adalah tokoh-tokoh seperti Adam Smith, John Stuart Mill, David Ricardo, John Maynard Keynes, Max Weber, Paul Samuelson, Joseph Schumpeter, F. A. Hayek, dan lain-lain (1994: 24). Hadiwinata (1994: 25) selanjutnya berpendapat bahwa kepentingan para pelaku dan pengatur laku dipersatukan oleh kekuatan (kuasa) hegemoni kapitalisme yang terwujud dalam bentuk maksimalisasi laba, akumulasi Kapital, produksi massa, dan konsumerisme. Interaksi yang dilakukan oleh para pelaku membuahkan realitas sosial dengan tatanan ekonomi kapitalis sebagaimana dikehendaki oleh para sutra- daranya. Tatanan ini begitu kuatnya, sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemonis yang mengesampingkan “sang lain” (misalnya, sistem ekonomi sosialis, sistem ekonomi Islam, dan lain-lain) di luarerbitnya. Perilakeu pemain, karena begitu kuatnya hegemoni ini, benar-benar menyatu dengan “karakter” yang dikehendaki oleh sutradara. Bahkan, perangkat kehidupan lainnya seperti bentuk dan struktur organisasi, instrumen sistem informasi organisasi, skill, dan pengetahuan yang ditanamkan pada sumber daya manusia, dibuat dan dibangun sedemikian rupa berdasarkan jiwa hegemoni kapitalisme. i sekadar menunjukkan bagaimana pengetahuan yang hal ini adalah Adam Smith, John Stuart Mill, ‘eynes, Max Weber, Paul Samuelson, Joseph Tlustrasi_ ini dibangun oleh sutradara (dalam David Ricardo, John Maynard K AKUNTANSI SYARIAH 141 mel esuai dengan yang diinginkan 7 k js dari hal ini adalah tercipta kerja sistem ekonomi tanita jain-lainny?) mmiliki kuasa untuk m, embey jan sehumpeter FA aye para pelaku s' perilaku dan mengger sxuensi log sebaga! an sutradara. Dam, a realitas sosial dengan tatanan am PerangkaP Kapitalisme agai pengetahuan dengan kuasa yang kuat mam, sebagai pent ung di atas, pola pikir seorang indiyig - . rapikirsemacam ini KOnsekuensin jj (serta perilaku) dengan wan ksi sedemikian rupa sehingga akin -nilai kapitalisme sebagai warna utamg Akuntansi dal Kapitalisme membentuk, seperti menjadi polapikirya™ akan menghasilkan pengetahual apitalisme. Semuanya perinteral terbentuk realitas sosial dengan nil sebagal h terbentuk dengan nilai-nilai kapitalisme, Karena realitas sosial tela v ; maka mau tidak mau akuntansi akhirnya nf mempunyai warna yang sama dengan realitas sosial yang melingkunginya. Mengapa demikian? Kareng akuntansi dibentuk oleh, seperti pernah disebut sebelumnya, faktor kultur sistem politik, sistem sosial, dan bentuk masyarakt, sistem ekonomi, am organisasi. Karya Bailey (1988; 1990), dalam hal ini cukup memberikan gambaran yang jelas tentang bentuk akuntansi yang dipraktikkan di negara. negara sosialis. Dari penelitian Bailey terungkap bahwa akuntansi yang dipraktikkan di negara-negara tersebut ternyata sarat dengan nilai-nili sosialis yang tentu sangat berbeda dengan Kapitalisme, Sedang karya Wats dan Zimmerman (1986) dalam bukunya yang berjudul Positive Accounting Theory juga memberikan gambaran yang jelas tentang sistem ekonomi \eapitalis yang mempunyai pengaruh kuat dalam membentuk praktikepraktik akuntansi khususnya di negara-negara yang menggunakan sistem ini. __ Dari arya Bailey (1988; 1990), Watts dan Zimmerman (1986) deft fie ina faktor sistem politik (ideologi) dan ekonomi adalah fakor aaah hea dante andil besar dalam memberikan kontribis “terperangkap” untuk eats misalnya penguasa dari suatt n°&" menggunakan sistem ae s Bele coals aa oe ak dapat Nelikban deaihane oils adalah menjadi Konsekuensi Y2"8 instrumen sistem ekonomi yan ni untansi yang akan digunakan se plan in jtuh pada kpitaisme, nate eee ia sebaliknys, bit menggunakan aluntansikapitalig, > Sa2K #48 pilihan Tain untuk tid 142 _ BAB G:AKUNTAN DAN AKUNTANS} Karena saat ini yang sedang menjadi logosentrisme adalah ideologi kapitalisme, maka adalah suatu hal yang logis bila akuntansi kapitalis (dalam hal ini adalah akuntansi positif) juga akhirnya menjadi logosentrisme. Begitu kuatnya hegemoni yang ditanamkan oleh akuntansi positif, sehingga Hines pernah menyatakan: Sungguh, sangat sulit dibayangkan bagaimana perusahaan-perusahaan bisa eksis tanpa akuntansi keuangan. Tanpa akuntansi keuangan, perusahaan- perusahaan tidak mungkin dapat diukur, Dari mana kategori-kategori tertentu bisa diperoleh, yang dengannya kita bisa memikirkan, mengakui, dan membuat keputusan serta melakukan tindakan berdasarkan kategori-kategori tersebut, jika tidak dari akuntansi keuangan? Apa jadinya “posisi keuangan” (financial position) atau "kinerja" (performance) atau "besar’nya (size) perusahaan tanpa akuntansi Keuangan? Tanpa konsep “aktiva” (assets), “hutang” (liabilities), “modal” (capital) dan "laba” (profit) pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan, kinerja, dan ukuran perusahaan akan sulit dijawab, Sulit membayangkan dunia ekonomi tanpa akuntansi keuangan (dan manajemen)... tanpa akuntansi keuangan, atau ketiadaannya, seperangkat alternatif praktik-praktik sosial, dunia ekonomi, dan kemudian masyarakat seperti yang kita ketahui sekarang, tidak akan eksis (1989b: 60). Pernyataan Hines ini, kalau tulisannya yang berjudul The Sociopolitical Paradigm in Financial Accounting Research dibaca secara cermat, sebetulnya adalah pernyataan yang menggunakan gaya sinisme, karena dia sendiri memberikan kritik-kritik tajam terhadap akuntansi positif yang mengklaim dirinya sebagai praktik yang independen, netral, dan bebas dari nilai. Klaim- Klaim semacam ini merupakan klaim yang khas dan banyak ditemui pada akuntansi positif dan ilmu-ilmu positif lainnya termasuk ilmu ekonomi kapitalis. Dan, klaim ini memang merupakan logosentrisme dalam ilmu-ilmu positif produk modernisme. Oleh karena itu, selanjutnya Hines (1986b: 61) mengingatkan bahwa praktik dan standar akuntansi, yang berpengaruh terhadap ukuran, kinerja, dan kesehatan perusahaan, sehingga memengaruhi perilaku dan Tealitas sosial, tidak terlepas dari campur tangan politik yang boleh jadi bersifat kontroversial dan bertentangan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Sejak penetapan standar (standard-setting), akuntansi_ mulai dimengerti sebagai kegiatan politik, pihak profesi akuntansi dan badan yang menetapkan standar (standard-setting boards) menghadapi masalah dalam mempertahankan "kesucian” pengertian bahwa akuntansi secara independen dan netral "mengukur” realitas. AKUNTANSI SYARIAH 143, an metinat bahwa akUntans! Positif mer, pada skala mikr0s capitalist Ciri maksimalisasi Ss oa ‘ anak dari sistem ekonomi ‘tas utama yanB aes oetattenat & apital meruparan ba misalnya, akanteriiatPa E oer i statement) dengan nama ba = a (retro an tujuan utama (manajemen) perysy in bagi pemilik perusahaan/pemegang . igor posit. semakin tN aTEKG alan narepel pada laba ae ee Semakin bay , Sedangkan ciri akumulasj,,. kinerja dari perusahaan. Urbs be oir yang Ditahan yang mer akan tampak nee diporkan scare Khusus dla Lp bagian dari ekult Retained Earning Statement). Atau, akumulasi kapitaiy Laba yang Ditahan ee iri beserta komponen-komponennya seperti moda, berupa ets i) agio/dsagio saham,laba yang ditahan, dan saham (biasa atau preferen),agio/disagio sahe i — lainnya, Semakin besar komposisi ekuitas ini terhadap jumlah utang maj semakin aman investasi yang ditanamkan oleh investor (atau kreditor) pai perusahaan. Ini merupakan ilustrasi sederhana dari dua ciri utama akuntang Laba bersih yam j jadi yang juga mena (shareholders), invest0" {accounting number) yane kepentinga yang menonjol. ‘Analisis-analisis tertentu seperti analisis rasio (profitabilitas, rentabilita, aktivitas, solvabilitas, dan likuiditas) juga dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang terkait dengan perusahaan (stakeholder) untuk menilai perusahaan. Secara sepintas kita dapat melihat bahwaalat-ala analisis ini sebetulnya juga tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme. Adalah suatu hal yang logis bila akhirnya perilaku dan aksi (tindakan) stakeholdes merupakan perilaku dan aksi kapitalistik. Hal ini demikian, karena informasi yang digunakan oleh stakeholders adalah angka-angka akuntansi (accounting ae) yang disajikan dalam laporan keuangan dan alat analisis ya"8 dipakal juga mempunyai nilai yang sama, meningkatkan Tesapthisetis eae sakral” yang dianggap dapatmenb ‘onomi bagi pihak-pihak yang berkepentin# i. Dan, sebagai penyedia informas! i, misalnya alat pengawasan ma” tuk meningkatkan efektivitas dan Jemen (management contro), at cr | costs, dan lain sebagainya 1 efisiensi, alat untuk men i, urunkan agency 144° BABG:AKUNTAN Dany AKUNTANS| Hegemoni akuntansi positif italistil i ketika seseorang membicarakan sah wane llaan sa 4 politik, dan filsafat, atau mengajukan bentuk akuntansi lain, a ce a akan sulit diterima, karena semuanya berada di luar orbit los escaniet akuntansi positif. Hal ini dibuktikan juga oleh, misalnya, see seoran; akuntan senior di Indonesia yang bereaksi ketika penulis melontarkan fe *pembaruan” pemikiran akuntansi dengan pendekatan filsafat dan nilai-nilai etika Islam. Akuntan senior tersebut kemudian berkomentar: .» nggak bisa itu... Pokokny i ipraktil int sah Denar nggokada yon sah hn Pehl eck or ee macem memikirkan rekonstruksi akuntansi rcuma, nggak ada ce : gala... itu pe ng Komentar yang senada dapat ditemui pada salah seorang referee dari Critical Perspectives on Accounting yang masih berada dalam lingkaran orbit logosentrisme akuntansi positif. Komentar ini timbul ketika Penulis mengajukan pemikiran filosofis dan etika akuntansi, yaitu Shari’ate Accoun- ting? sebagai sebuah alternatif dalam pemikiran akuntansi (accounting thought). Dia mengatakan: w the author ends with an attempt to create an ethnic accounting system, which he refers to as “Shari’ate Accounting’. This view is, in my opinion, a rather negative view. It could lead to adopting “Divine Accounting Principles” instead of GAAP [Generally Accepted Accounting Principles] (1996). Bagaimana mungkin bisa terjadi atau ada bentuk akuntansi di luar GAAP? Apakah mungkin akuntansi yang berada di luar GAAP bisa diterima? Bagi seorang modernis, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak mungkin! Karena, pemikiran-pemikiran akuntansi yang berada pada posisi marginal adalah tidak layak untuk diperhitungkan. Namun, nada-nada komentar seperti tersebut di atas adalah “wajar,” karena hegemoni akuntansi positif cukup lama berlangsung dan bahkan dapat dikatakan seumur dengan modernisme itu sendiri, Keterangan-keterangan di atas tidak lain merupakan refleksi atas realitas sosial yang ada sekarang, yaitu realitas yang sarat dengan hegemoni akuntansi positif yang tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis dan kehidupan masyarakat. perjudul Shari'ate Accounting: An Ethical is menyampaikan makalah tersebut pada 26-28 April 1996 di New York. ’Materi ini ada dalam makalah yang Construction of Accounting Knowledge. Pen Critical Perspectives on Accounting Conference, AKUNTANSISYARIAH 145, i” yang Egoistik se italistik merupal Kapitalisme, akuntansi, dan eer ee toda iene th ( akuntansh CN aairi” (sel) il dari isasi, sifat "dir" 5070" role eel ig waatia vonvadie yaitu sifat egoistik ey =) Yang sea ie a a diri sendiri, dan sifat altruistik ae a J MB Mendahy, n : Py on ae es orang lain. Kedua sifat int mel BE cara beri, 5 "diy t i i yang dilakukan oleh “dirt perilaku, dan aksi yang di ipa ’ Pada saat sifat egoistik sangat dominan dibanding dengan sifataltruiy maka sifat ini menstimulasikan pikiran “diri” une aa ™embenyy konsepsi ekonomi dan akuntansi secara teore A nie Praktis, day membangun struktur dan sistem yang dapat ae " M Secara maya, konsep-konsep tadi. Sifat ini, misalnya, terungkap dalam pernyataan Adan Smith yang mengatakan bahwa: ther, the brewer, or the baker th “itis not fromthe benevolence of the butcher, | 7 ae butfrom their regard to their own interest” (1776, 27), Akuntansi dan "Dir Sifat ini mempunyai pengaruh besar terhadap terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mementingkan “diri" sendiri atau kelompok tertenty, yaitu kapitalis, Dalam skala yang lebih kecil, sifat ini mendasari bentuk dan tujuan organisasi (perusahaan). Perusahaan akhirnya, dimengerti sebagi sebuah entitas yang digunakan untuk menghimpun laba sebanyak-banyak- nya bagi kepentingan pemilik kapital. Kemudian, atas dasar ini, perangkat- perangkat perusahaan dari sistem informasi akuntansinya sampai pada pole- pola bisnisnya disusun sedemikian rupa untuk mendukung pencapaian lata yang maksimal tadi. Hal yang sama juga terjadi pada sifat altruistik. Sifat ini dapat mendasari semua tindakan yang dilakukan “diri.” Secara konkret, sifat ini memelopori terbentuknya konsep dan sistem ekonomi sosialis. Konsep dan sistem ini, dengan kuasa yang dimilikinya, mampu membentuk sifat dan operas organisasi serta perangkat organisasi, termasuk di dalamnya sistem informas! akuntansi, dengan corak altruistik (Ithat Bailey, 1988; 1990). eae ees Maupun sosialis adalah bentukc-bentdé iciptakan, karena akuntansi-yang demikia" Self adalah perspek mbote ieee ee eteonat dalam psikologi sosial khususnye sebagai “diri” atau “jiwa.” alam bahasa Indonesia self dapat diterjema! 146 BAB 6: AKUNTAN DAN ‘AKUNTANS| terbentuk dari sifat yang melekat secara inheren dalam “diri” Tambahan “cemudahan” itu juga tercipta karena realitas yang melingkungi akun- lagi, sif untuk tansi (yaitu, sistem politik, ideologi, dan ekonomi) sangat kondu: menciptakan akuntansi dengan sifat tertentu, Realitas yang dominan dan memiliki hegemoni yang kuat saat ini adalah realitas dengan tatanan kapitalistik. Karena akuntansi adalah bagian dari sistem dan tatanan kapitalistik, maka adalah suatu hal yang logis bila akuntansi tidak dapat melepaskan diri dari perangkap dan pilihan jaringan kerja realitas dengan tatanan kapitalistik. Jaringan Kerja Realitas Sosial Humanis Sifat egoistik dan altruistik adalah sifat yang secara inheren tertanam dalam "di Sifat-sifat ini menjadi tidak humanis manakala keduanya ditempatkan pada posisi ekstrem dan mutually exclusive (saling meniadakan) antara sifat yang satu dengan yang lain. Modernisme, dengan pola pikir oposisi biner, dapat menempatkan sifat egoistik pada kedudukan sentral dan sebaliknya mensubordinasikan sifat altruistik yang berada dalam posisi hierarki lebih rendah. Bagi posmodernisme, hal semacam ini dapat menimbulkan ketimpangan dan kerusakan. Karena dengan caramenempatkan egoistik pada posisi sentral dan mengeliminasikan altrui k tidak saja dapat mengalienasikan “diri” yang menciptakan konsepsi ini, tetapi juga dapat memperbudak dan mengeksploitasi manusia (“dir”) lain serta alam \ingkungannya, Dan akhirnya manusia akan menyerahkan dirinya, secara sadar atau tidak, sebagai elemen yang mati dalam proses produksi, meka- nisasi, otomatisasi dan standardisasi yang diciptakan sendiri oleh manusia modern. Bukti konkret dari hal ini bisa kita lihat dalam fenomena sosial kehi- dupan sehari-hari, Tidak jarang terjadi peristiwa demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah. Mengapa peristiwa demikian bisa terjadi? Karena perusahaan yang menggunakan konsep maksimalisasi laba sebagai refleksi dari sifat egoistik, enggan memberikan upah yang layak dengan alasan menekan biaya, atau demi “efisiensi.” Perusahaan juga merasa enggan untuk menanamkan dananya pada, misalnya, mesin pemurni limbah industri. Karena investasi pada mesin ini sama sekali tidak dapat memberikan manfaat ekonomi (economic benefits). Akibat yang ditimbulkan adalah polusi AKUNTANSISYARIAH 147 «gan akhirnya yang dirugikan adajy, dan eksploitasi manusi meat sear eseluruhan- Se aan lingkungan alam dan masv* hierarki Yan8 tings! tidak : a elaskan mendudukkan sifat ini pa a ae limbah industri ata m : ayar Upah bahwa investasi pada mes a memberikan manfaat sosial (social benefit, oa _ ei = eee tidak mengatakan “sudah lazimn — Praki a can ooo oe mengesampingkan etika (bisnis). Sehingga praktik bisnis yang ada Selah > pahwabisnis terpisah dari nila etka) ungkapan “bisnis adalah bisnis fa Dan, Kecenderungan Pencapain bukan merupakan ungkaPir eee ont of. ‘material needs) merupakan, kebutuhan-kebutuhan mate rial (achieveme! iain agian yang tidak terelakkan, dan ini merupakan ciri dari, kehidupan modern itu sendiri. Kondisi ini semakin kua sistem pendidikan (perguruan ting! justru memapankan kondisi tersebut (1991: 350) mengatakan bahwa: Lembaga-lembaga pendidikan tinggi misalnya telah berubah sekadar sebagai pelayan kepentingan-kepentingan bisnis dan politik... Dibukanya banyak program pendidikan profesional seperti MBA dan MM di beberapa pergurvan tinggi negeri, misalnya membuktikan bahwa tanpa disadari, lembaga pendidikan tinggi—alih-alih daripada melaksanakan cita-cita otonominya— malah terjebak sekadar untuk melayani kepentingan-kepentingan bisnis yang membutuhkan tenaga-tenaga profesional untuk melestarikan pengaruhnya dalam masyarakat. , karena— kalau ditelusuri lebih jauh lagi— gi) juga telah terseret pada arus yang t. Sehubungan dengan ini Kuntowijoyo Secara implisit, pernyataan ini memberikan indikasi bahwa sistem pendidikan telah tereduksi kepada pemenuhan kepentingan-kepentingan bisnis (materi) semata. Sistem pendidikan dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan tersebut dengan membekali peserta didik dengan Keterampilan (profesional) dan ilmu pengetahuan rasional praktis yang dihasilkan oleh akal. Dengan kata lain, ini merupakan proses pereduksian bentuk kepribadian manusia yang utuh, . P. i ; manusia ituadalah makhluk yong ent earget ec tidak hanya dilengkapi denga oleh rasa hath en Cone akal dan Keterampilan, tetapi juga dilengk@?! dengan makdluk lainnya. {dar yen Sadi yang membedakan manus manusia yang memasyarakat, any Tt") Mmanusia seutuhnya [adalat] mengakui Tuhan sebagai Pence, e¢82% iujur, harmonis, dan secara alamith al Pencipta, mengabai kepada Nya, garderung untOk memaksimalkan potensi pribadinya, bertanggung jawab kepada sesama manusia dalam masyarakat... Bagi modernisme, pereduksian dan simplifikasi (yang tampakjelas dalam jImu-ilmu positif), penempatan akal pada posisi sentral dan menempatkan erarki yang lebih rendah dan marginal, penempatan nilai etika pada posisi sentral, meru- iki kuasa (power) dalam hati pada hit pada posisi marginal, penempatan sifat egoistik pakan simbol-simbol logosentrisme yang memil pembentukan realitas sosial. Mustrasi diatas adalah bentukrealitas sosial yang tidak bisa terlepas dari sifat-sifatkemanusiaan, karenarealitas sosial tersebutsecara sosial diciptakan oleh manusia (socially constructed reality) (lihat Berger dan Luckmann, 1966). Ketika sifat egoistik dan materialistik manusia berada pada posisi dominan, maka realitas yang diciptakan [seperti, imu pengetahuan (ekonomi , sistem ideologi dan politik, sistem ekonomi, sistem organisasi, dan tif, dan tatanan kehidupan sosial positi sistem informasi (akuntansi), akuntansi posi Jainnya] adalah realitas sosial dengan nilai-nilai egoistik dan materialistik. Inj adalah realitas sosial yang diciptakan oleh modernisme yang hadir dalam semua aspek kehidupan manusia modern, yaitu realitas yang bersifat abstrak dan/atau konkret, hidup, bergerak dinamis, dan berproses dengan jaringan- jaringan kerja (networks) yang bekerja aktif memilih kehidupan manusia, baik secara individu maupun komunal, dalam perangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Posmodernisme memandang bahwa re: dan materialistik) adalah realitas yang menga manusia. Tidak aneh bila akhirnya posmodernisme modernisme telah gagal dalam mengangkat manusia pada posisi “diri,” dan yang “utuh.” Oleh karena itu, dengan metode dekonstruksinya, memberikan pemikiran-pemikiran alternatif erubahan. Langkah yang dapat dilakukan adalah lam wacana-wacana yang selama ini alitas yang demikian (egoistik lienasikan hakikat diri mengecam bahwa tatanan sosial, posmodernisme berusaha dalam rangka melakukan p' dengan menghadirkan “sang lain” dal “mengharamkan” “sang Jain” untuk hadir di dalamnya. Dekonstruksi meman- dang bahwa sesuatu yang berbeda, misalnya, “logosentrisme” dengan "sang lain” materi dengan spirit, akal dengan hati, egoistik dengan altruistik, dan lain-lainnya, sebagai sesuatu yang saling mengisi atau melengkapi (mutually inclusive), dan sebaliknya bukan merupakan sesuatu yang saling meniadakan (mutually exclusive). Oleh karena itu, peniadaan sesuatu yang lain akan AKUNTANSI SYARIAH = 149 han, ketidakseimbangan, dan Alhinn ya ketidakut ial diatas. Va Ce ae erusahaan sebagai sebuah entitas y, ea tama memaksimalkan laba yy 8 Whores)? oiaNBE2P oleh posmodernisng han yang fatal, karena konsep ini ™eniadakay r altruistik)- i konsep teori maupun sistem Praksis, telah saan a eh ot tidak lagi sebuah ent y i Tingkung. Frere ae oleh paham mod yang fungsionalis dan postvstil, namun fa bagian yang tidak terisah kan dari Hingkungannya, hidup karena ia berada dalam lingkaran proses interaksi sosial. Atas dasar pemikiran ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai lembaga bisnis yang semata-mata beroperasi untuk meraih keuntungan, tetapi ia mulai melihat sisi lain yang berupa peningkatan kesejahteraan sosial bagi masyarakat interen perusahaan maupun eksteren perusahaan (stakeholders). Konsep ini menempatkan posisi perusahaan sebagai entitas yang lebih altruistik (sosial), atau, less egoistc, karena sebaran “kesejahteraan” (yang pengertian “kesejahteraan” itu sendiri tidak semata-mata dalam bentuk materi) tersebar lebih merata dibanding dengan'konsep yang pertama. Kesejahteraan, dalam hal ini, dapat dirasakan oleh komunitas yang lebih Juas, yaitu pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan, seperti: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditor, investor, pelanggan, pemerintah, dan lain-lainnya. menyebabkan_adan, kerusakan, seperti yang Modernisme, yang mengon! didirikan (oleh pendirinya) denge” kepentingan pemilik kapita sebagai suatu bentuk kesalal unsur “sang lain” (yaitu, unsu Upaya perbaikan, baik dari sisi Dalam konsep yang lebih advanced, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang bertujuan menciptakan kesejahteraan untuk stakeholders, tetapi menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan untuk “semua” (for all) (Triyuwono, 1995). Pengertian “semua” di sini tidak saja mencakup kesejahteraan untuk stakeholders (manusia), tetapi juga kese febteann ont lingkungan alam. Konsep ini lahir, boleh jadi lores pertama, i i iri : Seid desian kesadaran diri (sel/-consciousness) yang menyadaribahwa rganisasi) adalah bagian (organisme) yang tidak terpisahkan *Konsep perusahaan yanj " bu i yang ditebarkan oleh ating ring Mana ae ‘merupakan logosentrisme dari m, tidak terlepas dari pengaruh kos? i Konsepsi ae i dernier, “konom! Kapitalstik (egoistik), yane J 150 BAB 6: AKUNTAN DAN AKUNTANS|

You might also like