You are on page 1of 8
HUBUNGAN HUKUM PIDANA, SOSIOLOGI HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI *) Oleh : Henkie Liklikuwata, SH Pendahuluan Dahulu sampai dewasa ini, di negeri Belanda dan juga Indonesia, pe- ngetahuan kriminologi adalah suatu Pengetahuan Pembantu dari Ilmu Hu- kum Pidana, Pengetahuan Kriminologi di dalam sistem pendidikan di negeri Belanda dan juga Indonesia, ditempatkan sebagai mata pelajaran pilihan bagi para ma- hasiswa hukum, Jelasnya, hanya para mahasiswa hukum yang memusatkan diri pada jurusan Hukum Pidana, diwajibkan untuk memilih Kriminologi sebagai suatu mata pelajaran pilihan. Namun pada akhir-akhir ini terdapat gejala-gejala bahwa Kriminologi sebagai suatu pengetahuan berkembang menjadi cabang dari Ilmu Péngetahuan So- siologi yang berdiri sendiri, dengan pandangan yang tersendiri pula; terhadap Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana. Di samping itu pula Ilmu Penge- tahuan Kriminologi, menghadapi masalah-masalah yang terdapat pula di luar bidang Hukum. Pengetahuan Kriminologi, dengan demikian, berkem- bang dari Pengetahuan Pembantu menjadi Ilmu Pengetahuan yang mem- punyai pandangan tersendiri terhadap Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana; dan bersamaan dengan ini ia makin lama menjadi suatu Ilmu yang sangat penting terutama dalam rangka mempelajari Hukum Pidana dan Sis- tem Hukum Pidana secara keseluruhan. Gejala tersebut di atas adalah berkat perkembangan secara pesat pe- nelitian di dalam bidang Sosiologi,’ terutama di dalam bidang Sosiologi Hukum Pidana, pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan demikian Sosiologi Hukum khususnya Sosiologi Hukum Pidana, memegang suatu peranan yang sangat penting, bagi para ahli Kriminologi. Seorang Kriminolog, tanpa pengetahuan Sosiologi Hukum Pidana adalah tidak sempurna, Juga pemahaman Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana tanpa bantuan ahli Kriminologi yang otonoom, dan Sosiologi Hukum Pidana ada- lah tidak sempurna pula. Hal tersebut berarti, bahwa kini Sosiologi Hukum Pidana adalah suatu bagian dari Kriminologi, Kini kegiatan Kriminologi tidak hanya terbatas pada pe- melajaran ketidakadilan dengan berpedoman pada Undang-undang, akan tetapi Kriminologi dewasa ini mempunyai fungsi membantu terwujudnya keadilan masyarakat pada umumnya. *) — Merupakan makalah yang diajukan dalam kuliah khusus pada Fakultas Hukum Universitas Lampung di Tanjungkarang tanggal 27-29 Maret 1980. Hubungan hukum Pidana 267 Universitas Indonesia, dengan Fakultas IImu-llmu Sosial yang mem- punyai beberapa Departemen di mana Kriminologi adalah salah satu Jurusan yang bernaung di bawah Departemen Sosiologi; pemasukan mata kuliah Sosiologi Hukum Pidana, patut kiranya untuk dipandang sebagai sautu yang menggembirakan. Juga bari para mahasiswa Hukum yang mempunyai minat terhadap Hukum Pidana di mana Kriminologi merupakan mata kuliah wajib pada tingkat Sarjana Hukum mata Kuliah Sosiologi Hukum Pidana dapat kiranya diper- timbangkan, untuk dimasukkan dalam rangka Perkuliahan Kriminologi. Hukum Pidana Seorang mahasiswa Fakultas Hukum, biasanya mengartikan Imu Pe- ngetahuan Hukum Pidana, sebagai kesatuan kaedah-kaedah/norma-norma yang disusun secara sistematis dan logis yang menerangkan perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, hukuman apa yang dapat dijatuhkan, terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana. Sistem perkuliahan, bertujuan agar supaya mahasiswa tersebut, setelah menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum menjadi orang yang trampil di dalam melaksanakan KUHP tersebut. Dan kalau kita bandingkan sistem pendidikan yang terdahulu, maka tujuan daripada sistem pendidikan dewasa ini adalah tidak jauh berbeda, Secara lebih terang, dapat dikatakan bahwa para mahasiswa yang belajar pada Fakultas Hukum (dulu RHS), dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai negeri (ambtenar) dari Pemerintah (Hindia Belanda) yang trampil di dalam melaksanakan Undang-undang. Biasanya jabatan yang diduduki adalah Hakim dan Jaksa, Memang harus diakui, bahwa dewasa ini model dari sistem pendidikan Belanda dahulu, masih ada pengaruhnya walaupun kita ada suara-suara yang menentang model tersebut. Dan akibat daripadanya adalah banyak Sarjana Hukum mempunyai panda- ngan yang legalitas, artinya memandang peraturan-peraturan Hukum Pidana yang ada dan berlaku sebagai suatu yang sudah seharusnya berlaku dan wajar (legitimacy). Sehubungan dengan uraian di atas, maka timbul pertanyaan: apakah KUHP yang ada dan berlaku, dengan begitu saja merupakan pancaran dari pada budaya dan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini mengingat: KUHP Indoensia dibuat oleh Pemerintah jajahan Belanda (1915) dan concordant dengan WVS Belanda ? Dan memang, untuk membicarakan hukum, tidak dapat tidak, haruslah se- lalu dikaitkan dengan masyarakat tertentu, oleh karena hulam pada hake- katnya meruapkan gagasan dari masyarakat tertentu pada saat tertentu. Kalau kita memasuki arena Ilmu Sosiologi Hukum biasanya dikatakan bahwa hukum merupakan kultur (gagasan nilai) dari suatu masyarakat. Harus diakui bahwa antara masyarakat dan kultur memang sukar untuk dipisahkan namun dalam melakukan suatu analisa perihal hukum, kedua konsep seyogyanya untuk dibedakan, 268 hukum dan pemoanugnan Untuk sementara dapatlah kita katakan bahwa antara masyarakat dan kultur tersebut, terdapat suatu mekanisme yang dialektik sifatnya. Sosiologi Hukum Pidana Ada suatu anggapan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada- lah merupakan pencerminan daripada nilai-nilai di dalam masyarakat. De- ngan demikian Hukum Pidana dipandang mengatur nilai dasar yang men- dasari suatu struktur masyarakat. Ia dianggap sebagai suatu abstraksi daripada nilai-nilai di dalam masyarakat, secara populer dikatakan berdasarkan anggap- an ini, bahwa nilai Hukum Pidana dengan demikian dipandang sebagai ke- kuatan dan sebagai instrumen, yang mana dapat memecahkan dan mengatur sengketa-sengketa di dalam masyarakat. Diskripsi perihal nilai-nilai konsensus tadi, hanya merupakan suatu as- pek daripada tugas sosiologi hukum (pidana). Dan ada suatu pandangan sosio- logi hukum lain yang menyatakan bahwa aturan-aturan hukum merupakan secara tidak kurang dan/tidak lebih, sebagai suatu ”pelayanan di bibir” (lip service). daripada sebagai indikator-indikator yang realistis daripada kelakuan daripada anggota masyarakat. Apabila hal ini ditarik secara lebih jauh, orang tiba pada "segi dalam” daripada Konsensus tadi, yaitu terdapatnya suatu perjuangan kepentingan (struggle of interest) dan hukum (pidana) dipandang sebagai senjata di tangan orang yang mempunyai kekuasaan, untuk dipergu- nakan dalam rangka mencapai tujuannya. Beberapa penulis dalam rangka ini menekankan bahwa Hukum Pidana meru- pakan alat daripada elite yang mempunyai kekuasaan yang besar di bidang politik dan ekonomi. Di samping itu ada pandangan yang kompromis sifatnya, yang me- ngatakan : Bahwa Undang-undang merupakan hasil daripada suatu kompromis dari berbagai kepentingan kelompok yang mempunyai kekuatan bahkan dari berbagai kepentingan kelompok yang berbeda. Meskipun dua pandangan yang terakhir ini, saling berbeda dalam tingkat tertentu, namun pandangan-pandangan itu mempunyai visi yang sama dalam satu hal: Hukum Pidana tidak merupakan suatu Kodifikasi daripada suatu masyarakat secara keseluruhan, dalam hal ini "apa yang merupakan sifat- sifat jahat”? Kesemuanya mempunyai pandangan yang skeptis terhadap pandangan Durkheim yang sudah sangat tersohor itu. Dalam rangka Hukum Pidana ini, mereka pandang bahwa adalah tidak tepat-bahwa suatu peruatan yang menggoncangkan kesadaran masyarakat umum, Karena ia adalah jahat, melainkan bahwa perbuatan itu jahat, terlebih dahulu karena ia melanggar setiap anggota masyarakat. Pandangan konsensus yang sampai sekarang masih dianut oleh banyak penulis, bertolak daripada suatu alam pikiran fal- safah, yang memandang hukum sebagai sesuatu yang mempunyai sifat nilai bebas (waarde vry); bahkan di mana perbedaan-perbedaan nilai dapat di- selesaikan di dalam suatu lapangan yang netral. Sebaliknya banyak penulis mutakhir menyatakan bahwa suatu perbuatan dipandang menyimpang (deviant), bukanlah suatu persoalan dalam bidang moral, melainkan suatu persoalan politik. Banyak undang-undang lahir akibat Hubungan hukum Pidana 269 daripada aktivitas kelompok kecil, yang mempunyai posisi politik dan eko- nomi yang kuat. Pandangan mutakhir yang boleh dianggap sebagai ”pandangan kritis” ini mencoba untuk melakukan interaksi antara hukum (pidana) dengan masyarakat. Untuk menjelaskan tersebut di atas akan dikemukakan beberapa contoh di bawah ini: Zeden wetten’) Pada waktu menteri kehakiman E.R.M. Regout harus mempertahan- kan zeden wetten itu, maka Struktur Parlemen Belanda diwarnai oleh per- juangan kepentingan golongan dari tiga eksponen: Partai Negara Roma Ka- tolik, Partai Anti Revolusioner dan Partai Sosial Demokrat dari Kaum Buruh, Ketiga partai itu dapat dikatakan merupakan partai-partai yang melakukan gerakan emansipasi (kemajuan) di bidang agama dan ideologi. Apabila kita telaah sepanjang pembentukan daripada undang-undang dan langgengnya Undang-undang tadi, maka sebenarnya hal itu adalah hasil perjuangan di bidang politik dan bagaimana peranan Regout di dalam hal in Jelasnya bahwa Zeden wetten tersebut pada hakekatnya merupakan nilai- nilai daripada Partai Negara Roma Katolik, dan Partai Anti Revolusioner dalam kabinet mana kedua partai-itu duduk, Sedangkan Partai Sosial Demo- krat daripada Kaum Buruh yang menghendaki perubahan daripada nilai tadi (dalam hal ini merupakan partai oposisi dan pula merupakan partai dengan anggota yang terbanyak) selalu ditolak oleh menteri kehakiman. Juga peranan daripada Regout pribadi harus diperhitungkan, yaitu bahwa ia melalui manipulatie mencoba untuk mempertahankan perasaannya, jelasnya menjaga nilai-nilai di bidang seksuil pada umumnya dan pelanggaran-pelang- garan terhadapnya, dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, dan dengan dikuatkan oleh kawan-kawannya yang sehaluan mencoba untuk memberikan pukulan yang berat di bidang politik dan moral terhadap lawandawannya, Dikatakan oleh Kempe bahwa : di dalam hal ini di satu pihak Regout merupa- kan pembawa salib (kruis vaarder) di lain pihak sebagai manipulator. Perbuatan-perbuatan yang dipandang menumpang zeden wetten itu misalnya, prostitusi, homoseksuil, pornografie, exhibisionist, anale coitus, dan sebagainya. Menjadi masalah apakah peranan Regout sepanjang masalah ini dapat diang- gap sebagai pembawa salib (kruis vaarder) atau sebaliknya suatu hipokrisi ? Marilah kita tinjau lebih lanjut, perihal akibat daripada penyimpangan-pe- nyimpangan tadi, khususnya di bidang reaksi sosial. Hasilnya*adalah bahwa reaksi sosial yang diterapkan menunjukkan adanya diskriminasi. Jelasnya kalau penyimpangan-penyimpangan tadi dilakukan oleh golongan strata atas, maka reaksi sosial tidak ada, sebaliknya reaksi sosial yang tajam dan keras akan muncul bilamana penyimpangan tadi dilakukan oleh golongan strata bawah, 1) Recht, Slackt, en manipulatie cetakan I, 1976; hal 47: Vitvoerder of Kruisvaarder. : Prof. dr. G. Th. Kempe: 270 hukum dan pembangunan Undang-undang Gelandangan (Wet op de landlopery) dari abad XIV di Inggris? ) Undang-undang ini terbentuk tahun 1349 ia melarang memberikan derma kepada orang-orang yang phisik mental adalah sehat yang menganggur. Beberapa tahun kemudian larangan-laranagan itu diperluas sampai khusus kepada perihal gelandangan, Kalau kita teliti maka terbentuknya Undang- undang tadi tidak begitu saja datang. Hal-hal (kondisi-kondisi) yang mem- pengaruhi adalah terutama kepentingan gereja, yang sangat membutuhkan uang, untuk melakukan tugas-tugasnya yakni memberi makan kepada yang lapar dan orang-orang miskin, Juga yang lebih penting lagi adalah penyakit pes” yang melanda negeri itu, yang mengakibatkan banyak tenaga buruh yang meninggal. Pada saat itu, di kota-kota besar sedang berlangsung "in- dustrialisasi”, yang mana memberikan hasil yang lebih besar kepada kaum buruh daripada kaum tani. Ini menyebabkan bahwa tenaga kaum petani merupakan tenaga yang langka pada waktu itu. Untuk mencegah, bahwa kaum petani, meninggalkan desanya, menuju kota, maka bergelandangan- lah mereka ke Kota dijadikanlah tindakan terlarang. Setelah ada perbaikan di bidang ekonomi, maka undang-undang itu tidak berfungsi, sampai permulaan abad ke-XVI diaktifkan kembali yang mana berisi: Gelandangan yang bersalah melakukan aktifitas kriminil dipidana secara berat. Hal ini dipengaruhi untuk mengamankan lalulintas perdagangan. Karena sering terjadi para pedagang merupakan mangsa yang empuk dari- pada penjahat; yang mengakibatkan ancaman terhadap laludintas perda- gangan. Undang-undang Kolonial yang melarang perserikatan politik di Indonesia Pernah undang-undang ini berlaku di Indonesia pada abad ke-19 yang kini telah dicabut. Undang-undang cek kosong Undang-undang ini melarang penarikan cek kosong, dan merupakan produk periode Orde Lama, yang dicabut para periode Orde Baru; karena larangan ini mengakibatkan kemacetan dalam lalu-lintas perdagangan Kriminologi Akibat adanya rekasi formil Pada tahun 60-an, akibat-akibat daripada suatu reaksi formil merupakan studi sosiologi terhadap perilaku menyimpang. Di dalam literatur Ilmu penge- tahuan kriminologi studi ini memusatkan perhatiannya, kepada akibat negatip daripada reaksi formil dari Hukum Pidana yakni labelling perspektif. Ajaran ini dikemukakan Oleh Merton tahun 30-an di dalam kasus sebagai berikut Ada suatu bank internasional yang secara nyata adalah bonafid. Pada suatu 2) J. Chombliss; Elites and ctraction of Criminal Law, Part 7, Law and Society, hal 430 dan seterusnya. Hubungan hukum Pidana 271 saat, ada orang yang mengatakan (dengan tidak melihat pada kenyataan, bonafiditas dari bank tersebut), bahwa bank itu tidak bonafid. Dengan adanya issue itu, para nasabah mulai diliputi oleh kekuatiran, dan mengakibatkan sebagian besar nasabah, mengambil depositonya, dari bank tersebut, sehingga mengakibatkan bahwa bank-bank itu akhirnya betul- betul tidak bonafid.*) Inj adalah sekedar suatu contoh, perihal mekanisme pengaruh rekasi terhadap Badan atau orang yang dikenai reaksi. Yaitu bahwa reaksi (formil) yang pada hakekatnya merupakan “cap” terhadap orang yang dikenai cap; mengdkibatkan cap yang diberikan akhirnya terwujud di dalam diri orang/ Badan yang dicap itu. Pendekatan “labelling” ini bertolak dari suatu gambaran masyarakat; bahwa di dalam kehidupan bersama terdapat perbedaan yang besar perihal nilai dan norma, nilai dan norma-norma itu begitu abstrak, sehingga secara kongkrit menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam hal interprestasi mengenai nilai dan norma tadi. Perilaku menyimpang pada dasarnya tidak ada, tetapi dihubungkan dengan norma-norma dalam mana kita berpijak. Orang bertindak secara otomatis sebagai jawaban dari faktor-faktor struktur sosial, tetapi juga berdasar inter- pretasinya. Bahwa pula tidak hanya faktor-faktor struktur yang ditarik dalam melakukan penafsiran, tetapi juga orang dan barang-barang. Becker mendefinisi perilaku menyimpang sebagai berikut: kelakuan menyim- pang adalah tidak lagi merupakan pelanggaran dari norma masyarakat, tetapi sebagai kelakuan yang dinamakan sebagai demikian. Deviant gedrag niet louterals schending van de maatschappelyke nor- men, maar als gedrag dat alders genoemd*) Kalau kita gabungkan dengan pembicaraan maka kelompok tertentu di dalam masyarakat (kelompok elite); dapat saja menciptakan Undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan tertentu adalah terlarang (dan menerapkan pada golongan tertentu di dalam masyarakat. Mis. UU gelandangan, UU ke- susilaan dan sebagainya). Dari perspektif ini, maka perilaku menyimpang bukan merupakan sifat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, tetapi terlebihtebih disebabkan oleh karena penerapan daripada Undang-undang dan sanksi terhadap orang yang melanggar. Kitsuse, memandang perilaku menyimpang sebagai suatu proses di mana anggota kelompok tertentu (kelompok elite) di dalam masyarakat: a) menafsirkan suatu perilaku sebagai perilaku menyimpang b) terhadap orang yang berperilaku sesuai dengan definisi yang dipakai c) dan memberi perlakuan yang dipandang cocok dengan macam perilaku yang menyimpang tadi. 3) Recht, Macht en manipul: Eticketten Plakken, hal 162. 4) Recht, amcht en manipulatie: hal 157. 1976, cetakan I,: M. Moerings & H. van de Bunt: 272 hukum dan pembangunan Proses labelling digambarkan oleh Lemert dengan melakukan pembagi- an sebagai berikut:5) a) Primary deviant behavior Perilaku menyimpang di dalam hal ini adalah perilaku yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Periode ini, menunjukkan adanya ke- mungkinan besar, normalisasi terhadap perilaku menyimpang ter- sebut, Misalnya: setiap orang di dalam kehidupannya, tentu pernah mencuri. b) Secondary deviant behavior Orang yang melakukan perilaku menyimpang tadi didasarkan adanya suatu reaksi sosial (label). Reaksi sosial (formil) tersebut mengakibatkan timbulnya perilaku menyimpang sebagai penyerangan, pertahanan atau penyesuaian kepada hal-hal tersebut di atas. Dapat dikatakan bahwa orang yang digolongkan dalam secondary deviant behavior, melakukan perbuatan menyimpang tadi karena keadaan darurat/terpaksa artinya alternatif untuk memilih adalah sempit. ‘Yang merupakan akibat daripada secondary deviant behavior ini adalah bahwa orang tersebut melakukan hubungan dengan lingkungan sosial di mana label itu tumbuh dengan suburnya, dan mengurangi kesempat- an untuk menormalisir kelakuannya, dan akhirnya ia percaya bahwa ia memang "abnormal”. Pendek kata, orang yang dikenai label itu diisolir. Berdasarkan status baru itu, kemudian diadakan ciri-ciri (yang tidak benar-benar) seperti: Berasal dari kelas rendah, pendidikan rendah, malas bekerja. Ciri-ciri itu kemudian mengakibatkan adanya ucapan bahwa seorang penjahat mempunyai stereo type tertentu. Diadakan kemudian statistik kriminil, dengan stereo type itu. Ini mengakibatkan bahwa terjadi suatu penggo- longan atas dasar stereo type tertentu, Pentingnya azas Hukum Pidana Kalau kita melihat sejarah timbulnya azaz hukum pidana, maka azas- azas tersebut tidaklah lahir dari udara begitu saja. Ia lahir, sebagai akibat Kondisi sosial politik negeri Perancis pada waktu yang lalu. Code Penal Peran- cis (1791) lahir, adalah akibat daripada Revolusi Perancis, yang berhasil me- numbangkan kekuasaan Raja yang absolut dahulu. Ia merupakan moment yang penting, dalam mana nilai-nilai dari akal dan budi sebagai manusia harus dan ingin ditegakkan kembali dari tekanan kekuasaan yang sewenang- wenang. Sejarah dengan perubahan struktur sosial politik itu, didapatkan adanya pergeseran pendapat dalam bidang limu Sosial mengenai pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh dari pemegang kekausaan pada waktu itu. Jelasnya ada suatu pembatasan-pembatasan yang diwujudkan dalam azas-azas hukum (pidana). Kalau dahulu Raja bisa saja menuntut dan menghukum orang (meskipun nyatanya tidak bersalah), maka kini ada azas “tidak dapat x5) Edwin Lemert: Human deviance, Social Problems and Social Control, New Jer- sey 1967,-hal 62 dan seterusnya. Hubungan hukum Pidana 273 dipidana kalau tidak ada kesalahan”, ”Undang-undang tidak berlaku surut”; “persamaan di muka hukum”, Azas tersebut pada hekekatnya, merupakan pembatasan daripada orang yang mempunyai kuasa dan bukan merupakan pembatasan terhadap para warga yang tidak mempunyai kuasa. Ta merupakan pada hakekatnya suatu pembatasan terhadap kekuasaan tadi. Tidak dapat disangkal bahwa dalam suatu negara faktor kuasa (yang biasanya ada dalam golongan kecil masyarakat); adalah penting, namun sering sekali terjadi; bahwa para pemegang kuasa menyalah gunakan kekuasaannya. Kami anggap bahwa azas-azas hukum pidanalah yang merupakan batu ujian untuk- nya. Bukankah kita menginginkan suatu Rule of Law (pemerintahan ber- dasarkan hukum) dan tidak Rule of Man, seperti terlihat pula dalam muka- dimah dan UUD 1945? Penutup Sebagai penutup akan kami paparkan bahwa Sosiologi Pidana merupa- kan bagian integral dari Kirminologi: a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Berdasarkan azas concordantie, KUHP adalah pada dasarnya adalah sama dengan WVS Belanda. Ia pada hakekatnya terbentuk di atas kema- panan sistem Borjuisme. Penelitian Sosiologi Hukum Pidana menggambarkan: bahwa golongan elite di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Pidana tidak bisa melepaskan kepentingan daripada golongannya. Bahkan ia merupakan alat dari golongan elite untuk mempertahankan kepenti- ngannya. b) Bahwa peneltian yang mutakhir mengungkapkan akibat yang negatip daripada reaksi sosial yang formil. Sosiologi Hukum Pidana mengungkapkan kondisi-kondisinya apa saja yang melakukan reaksi, dan siapakah yang seringkali dikenai reaksi sosial. PEAK RENE I eA ee Ser Ian ee ea P.T. COLORAMA-JAYA TRADING CO. (LTD.) JALAN GAJAH MADA NO. 30 PHONE : 637846, 635687, 635913 JAKARTA BARAT — INDONESIA

You might also like