HUBUNGAN HUKUM PIDANA,
SOSIOLOGI HUKUM PIDANA DAN
KRIMINOLOGI *)
Oleh :
Henkie Liklikuwata, SH
Pendahuluan
Dahulu sampai dewasa ini, di negeri Belanda dan juga Indonesia, pe-
ngetahuan kriminologi adalah suatu Pengetahuan Pembantu dari Ilmu Hu-
kum Pidana,
Pengetahuan Kriminologi di dalam sistem pendidikan di negeri Belanda dan
juga Indonesia, ditempatkan sebagai mata pelajaran pilihan bagi para ma-
hasiswa hukum,
Jelasnya, hanya para mahasiswa hukum yang memusatkan diri pada jurusan
Hukum Pidana, diwajibkan untuk memilih Kriminologi sebagai suatu mata
pelajaran pilihan.
Namun pada akhir-akhir ini terdapat gejala-gejala bahwa Kriminologi sebagai
suatu pengetahuan berkembang menjadi cabang dari Ilmu Péngetahuan So-
siologi yang berdiri sendiri, dengan pandangan yang tersendiri pula; terhadap
Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana. Di samping itu pula Ilmu Penge-
tahuan Kriminologi, menghadapi masalah-masalah yang terdapat pula di
luar bidang Hukum. Pengetahuan Kriminologi, dengan demikian, berkem-
bang dari Pengetahuan Pembantu menjadi Ilmu Pengetahuan yang mem-
punyai pandangan tersendiri terhadap Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana; dan bersamaan dengan ini ia makin lama menjadi suatu Ilmu yang
sangat penting terutama dalam rangka mempelajari Hukum Pidana dan Sis-
tem Hukum Pidana secara keseluruhan.
Gejala tersebut di atas adalah berkat perkembangan secara pesat pe-
nelitian di dalam bidang Sosiologi,’ terutama di dalam bidang Sosiologi
Hukum Pidana, pada tahun-tahun terakhir ini.
Dengan demikian Sosiologi Hukum khususnya Sosiologi Hukum Pidana,
memegang suatu peranan yang sangat penting, bagi para ahli Kriminologi.
Seorang Kriminolog, tanpa pengetahuan Sosiologi Hukum Pidana adalah
tidak sempurna, Juga pemahaman Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana tanpa
bantuan ahli Kriminologi yang otonoom, dan Sosiologi Hukum Pidana ada-
lah tidak sempurna pula.
Hal tersebut berarti, bahwa kini Sosiologi Hukum Pidana adalah suatu bagian
dari Kriminologi, Kini kegiatan Kriminologi tidak hanya terbatas pada pe-
melajaran ketidakadilan dengan berpedoman pada Undang-undang, akan
tetapi Kriminologi dewasa ini mempunyai fungsi membantu terwujudnya
keadilan masyarakat pada umumnya.
*) — Merupakan makalah yang diajukan dalam kuliah khusus pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung di Tanjungkarang tanggal 27-29 Maret 1980.Hubungan hukum Pidana 267
Universitas Indonesia, dengan Fakultas IImu-llmu Sosial yang mem-
punyai beberapa Departemen di mana Kriminologi adalah salah satu Jurusan
yang bernaung di bawah Departemen Sosiologi; pemasukan mata kuliah
Sosiologi Hukum Pidana, patut kiranya untuk dipandang sebagai sautu yang
menggembirakan.
Juga bari para mahasiswa Hukum yang mempunyai minat terhadap Hukum
Pidana di mana Kriminologi merupakan mata kuliah wajib pada tingkat
Sarjana Hukum mata Kuliah Sosiologi Hukum Pidana dapat kiranya diper-
timbangkan, untuk dimasukkan dalam rangka Perkuliahan Kriminologi.
Hukum Pidana
Seorang mahasiswa Fakultas Hukum, biasanya mengartikan Imu Pe-
ngetahuan Hukum Pidana, sebagai kesatuan kaedah-kaedah/norma-norma
yang disusun secara sistematis dan logis yang menerangkan perbuatan apa
yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, hukuman apa yang dapat
dijatuhkan, terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana.
Sistem perkuliahan, bertujuan agar supaya mahasiswa tersebut, setelah
menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum menjadi orang yang trampil di
dalam melaksanakan KUHP tersebut.
Dan kalau kita bandingkan sistem pendidikan yang terdahulu, maka tujuan
daripada sistem pendidikan dewasa ini adalah tidak jauh berbeda, Secara
lebih terang, dapat dikatakan bahwa para mahasiswa yang belajar pada
Fakultas Hukum (dulu RHS), dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai
negeri (ambtenar) dari Pemerintah (Hindia Belanda) yang trampil di dalam
melaksanakan Undang-undang. Biasanya jabatan yang diduduki adalah
Hakim dan Jaksa,
Memang harus diakui, bahwa dewasa ini model dari sistem pendidikan
Belanda dahulu, masih ada pengaruhnya walaupun kita ada suara-suara
yang menentang model tersebut.
Dan akibat daripadanya adalah banyak Sarjana Hukum mempunyai panda-
ngan yang legalitas, artinya memandang peraturan-peraturan Hukum Pidana
yang ada dan berlaku sebagai suatu yang sudah seharusnya berlaku dan
wajar (legitimacy).
Sehubungan dengan uraian di atas, maka timbul pertanyaan: apakah
KUHP yang ada dan berlaku, dengan begitu saja merupakan pancaran dari
pada budaya dan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini mengingat:
KUHP Indoensia dibuat oleh Pemerintah jajahan Belanda (1915)
dan concordant dengan WVS Belanda ?
Dan memang, untuk membicarakan hukum, tidak dapat tidak, haruslah se-
lalu dikaitkan dengan masyarakat tertentu, oleh karena hulam pada hake-
katnya meruapkan gagasan dari masyarakat tertentu pada saat tertentu.
Kalau kita memasuki arena Ilmu Sosiologi Hukum biasanya dikatakan
bahwa hukum merupakan kultur (gagasan nilai) dari suatu masyarakat.
Harus diakui bahwa antara masyarakat dan kultur memang sukar untuk
dipisahkan namun dalam melakukan suatu analisa perihal hukum, kedua
konsep seyogyanya untuk dibedakan,268 hukum dan pemoanugnan
Untuk sementara dapatlah kita katakan bahwa antara masyarakat dan kultur
tersebut, terdapat suatu mekanisme yang dialektik sifatnya.
Sosiologi Hukum Pidana
Ada suatu anggapan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada-
lah merupakan pencerminan daripada nilai-nilai di dalam masyarakat. De-
ngan demikian Hukum Pidana dipandang mengatur nilai dasar yang men-
dasari suatu struktur masyarakat. Ia dianggap sebagai suatu abstraksi daripada
nilai-nilai di dalam masyarakat, secara populer dikatakan berdasarkan anggap-
an ini, bahwa nilai Hukum Pidana dengan demikian dipandang sebagai ke-
kuatan dan sebagai instrumen, yang mana dapat memecahkan dan mengatur
sengketa-sengketa di dalam masyarakat.
Diskripsi perihal nilai-nilai konsensus tadi, hanya merupakan suatu as-
pek daripada tugas sosiologi hukum (pidana). Dan ada suatu pandangan sosio-
logi hukum lain yang menyatakan bahwa aturan-aturan hukum merupakan
secara tidak kurang dan/tidak lebih, sebagai suatu ”pelayanan di bibir” (lip
service). daripada sebagai indikator-indikator yang realistis daripada kelakuan
daripada anggota masyarakat. Apabila hal ini ditarik secara lebih jauh, orang
tiba pada "segi dalam” daripada Konsensus tadi, yaitu terdapatnya suatu
perjuangan kepentingan (struggle of interest) dan hukum (pidana) dipandang
sebagai senjata di tangan orang yang mempunyai kekuasaan, untuk dipergu-
nakan dalam rangka mencapai tujuannya.
Beberapa penulis dalam rangka ini menekankan bahwa Hukum Pidana meru-
pakan alat daripada elite yang mempunyai kekuasaan yang besar di bidang
politik dan ekonomi.
Di samping itu ada pandangan yang kompromis sifatnya, yang me-
ngatakan : Bahwa Undang-undang merupakan hasil daripada suatu
kompromis dari berbagai kepentingan kelompok yang mempunyai kekuatan
bahkan dari berbagai kepentingan kelompok yang berbeda.
Meskipun dua pandangan yang terakhir ini, saling berbeda dalam tingkat
tertentu, namun pandangan-pandangan itu mempunyai visi yang sama dalam
satu hal: Hukum Pidana tidak merupakan suatu Kodifikasi daripada suatu
masyarakat secara keseluruhan, dalam hal ini "apa yang merupakan sifat-
sifat jahat”? Kesemuanya mempunyai pandangan yang skeptis terhadap
pandangan Durkheim yang sudah sangat tersohor itu. Dalam rangka Hukum
Pidana ini, mereka pandang bahwa adalah tidak tepat-bahwa suatu peruatan
yang menggoncangkan kesadaran masyarakat umum, Karena ia adalah jahat,
melainkan bahwa perbuatan itu jahat, terlebih dahulu karena ia melanggar
setiap anggota masyarakat. Pandangan konsensus yang sampai sekarang
masih dianut oleh banyak penulis, bertolak daripada suatu alam pikiran fal-
safah, yang memandang hukum sebagai sesuatu yang mempunyai sifat nilai
bebas (waarde vry); bahkan di mana perbedaan-perbedaan nilai dapat di-
selesaikan di dalam suatu lapangan yang netral.
Sebaliknya banyak penulis mutakhir menyatakan bahwa suatu perbuatan
dipandang menyimpang (deviant), bukanlah suatu persoalan dalam bidang
moral, melainkan suatu persoalan politik. Banyak undang-undang lahir akibatHubungan hukum Pidana 269
daripada aktivitas kelompok kecil, yang mempunyai posisi politik dan eko-
nomi yang kuat.
Pandangan mutakhir yang boleh dianggap sebagai ”pandangan kritis”
ini mencoba untuk melakukan interaksi antara hukum (pidana) dengan
masyarakat.
Untuk menjelaskan tersebut di atas akan dikemukakan beberapa contoh di
bawah ini:
Zeden wetten’)
Pada waktu menteri kehakiman E.R.M. Regout harus mempertahan-
kan zeden wetten itu, maka Struktur Parlemen Belanda diwarnai oleh per-
juangan kepentingan golongan dari tiga eksponen: Partai Negara Roma Ka-
tolik, Partai Anti Revolusioner dan Partai Sosial Demokrat dari Kaum Buruh,
Ketiga partai itu dapat dikatakan merupakan partai-partai yang melakukan
gerakan emansipasi (kemajuan) di bidang agama dan ideologi.
Apabila kita telaah sepanjang pembentukan daripada undang-undang
dan langgengnya Undang-undang tadi, maka sebenarnya hal itu adalah hasil
perjuangan di bidang politik dan bagaimana peranan Regout di dalam hal in
Jelasnya bahwa Zeden wetten tersebut pada hakekatnya merupakan nilai-
nilai daripada Partai Negara Roma Katolik, dan Partai Anti Revolusioner
dalam kabinet mana kedua partai-itu duduk, Sedangkan Partai Sosial Demo-
krat daripada Kaum Buruh yang menghendaki perubahan daripada nilai tadi
(dalam hal ini merupakan partai oposisi dan pula merupakan partai dengan
anggota yang terbanyak) selalu ditolak oleh menteri kehakiman.
Juga peranan daripada Regout pribadi harus diperhitungkan, yaitu bahwa ia
melalui manipulatie mencoba untuk mempertahankan perasaannya, jelasnya
menjaga nilai-nilai di bidang seksuil pada umumnya dan pelanggaran-pelang-
garan terhadapnya, dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, dan dengan
dikuatkan oleh kawan-kawannya yang sehaluan mencoba untuk memberikan
pukulan yang berat di bidang politik dan moral terhadap lawandawannya,
Dikatakan oleh Kempe bahwa : di dalam hal ini di satu pihak Regout merupa-
kan pembawa salib (kruis vaarder) di lain pihak sebagai manipulator.
Perbuatan-perbuatan yang dipandang menumpang zeden wetten itu
misalnya, prostitusi, homoseksuil, pornografie, exhibisionist, anale coitus, dan
sebagainya.
Menjadi masalah apakah peranan Regout sepanjang masalah ini dapat diang-
gap sebagai pembawa salib (kruis vaarder) atau sebaliknya suatu hipokrisi ?
Marilah kita tinjau lebih lanjut, perihal akibat daripada penyimpangan-pe-
nyimpangan tadi, khususnya di bidang reaksi sosial. Hasilnya*adalah bahwa
reaksi sosial yang diterapkan menunjukkan adanya diskriminasi. Jelasnya
kalau penyimpangan-penyimpangan tadi dilakukan oleh golongan strata atas,
maka reaksi sosial tidak ada, sebaliknya reaksi sosial yang tajam dan keras
akan muncul bilamana penyimpangan tadi dilakukan oleh golongan strata
bawah,
1) Recht, Slackt, en manipulatie cetakan I, 1976; hal 47:
Vitvoerder of Kruisvaarder.
: Prof. dr. G. Th. Kempe:270 hukum dan pembangunan
Undang-undang Gelandangan (Wet op de landlopery) dari abad XIV di
Inggris? )
Undang-undang ini terbentuk tahun 1349 ia melarang memberikan
derma kepada orang-orang yang phisik mental adalah sehat yang menganggur.
Beberapa tahun kemudian larangan-laranagan itu diperluas sampai khusus
kepada perihal gelandangan, Kalau kita teliti maka terbentuknya Undang-
undang tadi tidak begitu saja datang. Hal-hal (kondisi-kondisi) yang mem-
pengaruhi adalah terutama kepentingan gereja, yang sangat membutuhkan
uang, untuk melakukan tugas-tugasnya yakni memberi makan kepada yang
lapar dan orang-orang miskin, Juga yang lebih penting lagi adalah penyakit
pes” yang melanda negeri itu, yang mengakibatkan banyak tenaga buruh
yang meninggal. Pada saat itu, di kota-kota besar sedang berlangsung "in-
dustrialisasi”, yang mana memberikan hasil yang lebih besar kepada kaum
buruh daripada kaum tani. Ini menyebabkan bahwa tenaga kaum petani
merupakan tenaga yang langka pada waktu itu. Untuk mencegah, bahwa
kaum petani, meninggalkan desanya, menuju kota, maka bergelandangan-
lah mereka ke Kota dijadikanlah tindakan terlarang.
Setelah ada perbaikan di bidang ekonomi, maka undang-undang itu tidak
berfungsi, sampai permulaan abad ke-XVI diaktifkan kembali yang mana
berisi:
Gelandangan yang bersalah melakukan aktifitas kriminil dipidana secara
berat. Hal ini dipengaruhi untuk mengamankan lalulintas perdagangan.
Karena sering terjadi para pedagang merupakan mangsa yang empuk dari-
pada penjahat; yang mengakibatkan ancaman terhadap laludintas perda-
gangan.
Undang-undang Kolonial yang melarang perserikatan politik di Indonesia
Pernah undang-undang ini berlaku di Indonesia pada abad ke-19 yang
kini telah dicabut.
Undang-undang cek kosong
Undang-undang ini melarang penarikan cek kosong, dan merupakan
produk periode Orde Lama, yang dicabut para periode Orde Baru; karena
larangan ini mengakibatkan kemacetan dalam lalu-lintas perdagangan
Kriminologi
Akibat adanya rekasi formil
Pada tahun 60-an, akibat-akibat daripada suatu reaksi formil merupakan
studi sosiologi terhadap perilaku menyimpang. Di dalam literatur Ilmu penge-
tahuan kriminologi studi ini memusatkan perhatiannya, kepada akibat negatip
daripada reaksi formil dari Hukum Pidana yakni labelling perspektif.
Ajaran ini dikemukakan
Oleh Merton tahun 30-an di dalam kasus sebagai berikut
Ada suatu bank internasional yang secara nyata adalah bonafid. Pada suatu
2) J. Chombliss; Elites and ctraction of Criminal Law, Part 7, Law and Society, hal
430 dan seterusnya.Hubungan hukum Pidana 271
saat, ada orang yang mengatakan (dengan tidak melihat pada kenyataan,
bonafiditas dari bank tersebut), bahwa bank itu tidak bonafid.
Dengan adanya issue itu, para nasabah mulai diliputi oleh kekuatiran, dan
mengakibatkan sebagian besar nasabah, mengambil depositonya, dari bank
tersebut, sehingga mengakibatkan bahwa bank-bank itu akhirnya betul-
betul tidak bonafid.*)
Inj adalah sekedar suatu contoh, perihal mekanisme pengaruh rekasi
terhadap Badan atau orang yang dikenai reaksi. Yaitu bahwa reaksi (formil)
yang pada hakekatnya merupakan “cap” terhadap orang yang dikenai cap;
mengdkibatkan cap yang diberikan akhirnya terwujud di dalam diri orang/
Badan yang dicap itu.
Pendekatan “labelling” ini bertolak dari suatu gambaran masyarakat; bahwa
di dalam kehidupan bersama terdapat perbedaan yang besar perihal nilai dan
norma, nilai dan norma-norma itu begitu abstrak, sehingga secara kongkrit
menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam hal interprestasi mengenai nilai
dan norma tadi.
Perilaku menyimpang pada dasarnya tidak ada, tetapi dihubungkan dengan
norma-norma dalam mana kita berpijak. Orang bertindak secara otomatis
sebagai jawaban dari faktor-faktor struktur sosial, tetapi juga berdasar inter-
pretasinya.
Bahwa pula tidak hanya faktor-faktor struktur yang ditarik dalam melakukan
penafsiran, tetapi juga orang dan barang-barang.
Becker mendefinisi perilaku menyimpang sebagai berikut: kelakuan menyim-
pang adalah tidak lagi merupakan pelanggaran dari norma masyarakat, tetapi
sebagai kelakuan yang dinamakan sebagai demikian.
Deviant gedrag niet louterals schending van de maatschappelyke nor-
men, maar als gedrag dat alders genoemd*)
Kalau kita gabungkan dengan pembicaraan maka kelompok tertentu di dalam
masyarakat (kelompok elite); dapat saja menciptakan Undang-undang yang
menyatakan bahwa perbuatan tertentu adalah terlarang (dan menerapkan
pada golongan tertentu di dalam masyarakat. Mis. UU gelandangan, UU ke-
susilaan dan sebagainya).
Dari perspektif ini, maka perilaku menyimpang bukan merupakan
sifat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, tetapi terlebihtebih
disebabkan oleh karena penerapan daripada Undang-undang dan sanksi
terhadap orang yang melanggar.
Kitsuse, memandang perilaku menyimpang sebagai suatu proses di mana
anggota kelompok tertentu (kelompok elite) di dalam masyarakat:
a) menafsirkan suatu perilaku sebagai perilaku menyimpang
b) terhadap orang yang berperilaku sesuai dengan definisi yang
dipakai
c) dan memberi perlakuan yang dipandang cocok dengan macam
perilaku yang menyimpang tadi.
3) Recht, Macht en manipul:
Eticketten Plakken, hal 162.
4) Recht, amcht en manipulatie: hal 157.
1976, cetakan I,: M. Moerings & H. van de Bunt:272 hukum dan pembangunan
Proses labelling digambarkan oleh Lemert dengan melakukan pembagi-
an sebagai berikut:5)
a) Primary deviant behavior
Perilaku menyimpang di dalam hal ini adalah perilaku yang dapat
dilakukan oleh setiap orang. Periode ini, menunjukkan adanya ke-
mungkinan besar, normalisasi terhadap perilaku menyimpang ter-
sebut, Misalnya: setiap orang di dalam kehidupannya, tentu pernah
mencuri.
b) Secondary deviant behavior
Orang yang melakukan perilaku menyimpang tadi didasarkan adanya
suatu reaksi sosial (label).
Reaksi sosial (formil) tersebut mengakibatkan timbulnya perilaku
menyimpang sebagai penyerangan, pertahanan atau penyesuaian kepada
hal-hal tersebut di atas. Dapat dikatakan bahwa orang yang digolongkan
dalam secondary deviant behavior, melakukan perbuatan menyimpang
tadi karena keadaan darurat/terpaksa artinya alternatif untuk memilih
adalah sempit.
‘Yang merupakan akibat daripada secondary deviant behavior ini adalah
bahwa orang tersebut melakukan hubungan dengan lingkungan sosial
di mana label itu tumbuh dengan suburnya, dan mengurangi kesempat-
an untuk menormalisir kelakuannya, dan akhirnya ia percaya bahwa
ia memang "abnormal”.
Pendek kata, orang yang dikenai label itu diisolir. Berdasarkan status
baru itu, kemudian diadakan ciri-ciri (yang tidak benar-benar) seperti:
Berasal dari kelas rendah, pendidikan rendah, malas bekerja. Ciri-ciri
itu kemudian mengakibatkan adanya ucapan bahwa seorang penjahat
mempunyai stereo type tertentu. Diadakan kemudian statistik kriminil,
dengan stereo type itu. Ini mengakibatkan bahwa terjadi suatu penggo-
longan atas dasar stereo type tertentu,
Pentingnya azas Hukum Pidana
Kalau kita melihat sejarah timbulnya azaz hukum pidana, maka azas-
azas tersebut tidaklah lahir dari udara begitu saja. Ia lahir, sebagai akibat
Kondisi sosial politik negeri Perancis pada waktu yang lalu. Code Penal Peran-
cis (1791) lahir, adalah akibat daripada Revolusi Perancis, yang berhasil me-
numbangkan kekuasaan Raja yang absolut dahulu. Ia merupakan moment
yang penting, dalam mana nilai-nilai dari akal dan budi sebagai manusia
harus dan ingin ditegakkan kembali dari tekanan kekuasaan yang sewenang-
wenang. Sejarah dengan perubahan struktur sosial politik itu, didapatkan
adanya pergeseran pendapat dalam bidang limu Sosial mengenai pelaksanaan
kekuasaan dan pengaruh dari pemegang kekausaan pada waktu itu.
Jelasnya ada suatu pembatasan-pembatasan yang diwujudkan dalam azas-azas
hukum (pidana). Kalau dahulu Raja bisa saja menuntut dan menghukum
orang (meskipun nyatanya tidak bersalah), maka kini ada azas “tidak dapat
x5) Edwin Lemert: Human deviance, Social Problems and Social Control, New Jer-
sey 1967,-hal 62 dan seterusnya.Hubungan hukum Pidana 273
dipidana kalau tidak ada kesalahan”, ”Undang-undang tidak berlaku surut”;
“persamaan di muka hukum”, Azas tersebut pada hekekatnya, merupakan
pembatasan daripada orang yang mempunyai kuasa dan bukan merupakan
pembatasan terhadap para warga yang tidak mempunyai kuasa.
Ta merupakan pada hakekatnya suatu pembatasan terhadap kekuasaan tadi.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam suatu negara faktor kuasa (yang biasanya
ada dalam golongan kecil masyarakat); adalah penting, namun sering sekali
terjadi; bahwa para pemegang kuasa menyalah gunakan kekuasaannya. Kami
anggap bahwa azas-azas hukum pidanalah yang merupakan batu ujian untuk-
nya. Bukankah kita menginginkan suatu Rule of Law (pemerintahan ber-
dasarkan hukum) dan tidak Rule of Man, seperti terlihat pula dalam muka-
dimah dan UUD 1945?
Penutup
Sebagai penutup akan kami paparkan bahwa Sosiologi Pidana merupa-
kan bagian integral dari Kirminologi:
a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Berdasarkan azas concordantie, KUHP adalah pada dasarnya adalah
sama dengan WVS Belanda. Ia pada hakekatnya terbentuk di atas kema-
panan sistem Borjuisme.
Penelitian Sosiologi Hukum Pidana menggambarkan: bahwa golongan
elite di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Pidana
tidak bisa melepaskan kepentingan daripada golongannya. Bahkan ia
merupakan alat dari golongan elite untuk mempertahankan kepenti-
ngannya.
b) Bahwa peneltian yang mutakhir mengungkapkan akibat yang negatip
daripada reaksi sosial yang formil.
Sosiologi Hukum Pidana mengungkapkan kondisi-kondisinya apa saja
yang melakukan reaksi, dan siapakah yang seringkali dikenai reaksi
sosial.
PEAK
RENE I eA ee
Ser Ian ee ea
P.T. COLORAMA-JAYA TRADING CO. (LTD.)
JALAN GAJAH MADA NO. 30
PHONE : 637846, 635687, 635913
JAKARTA BARAT — INDONESIA