You are on page 1of 12

KAJIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENYAKIT TUBERKULOSIS

TERKAIT INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS


(Review the Tuberculosis Minimum Health Service Standard Associated
to Indicators of Millinium Development Goals)
Agung Dwi Laksono1, Wahyu Dwi Astuti1, Erna Waty2, Atto'illah2

ABSTRACT
Background: Pulmonary tuberculosis is one of the chronic infectious disease that became a global issue that were
targeted in the MDGs and also listed in the SPM (Minimum Service Standards) of health. In Indonesia, the disease include
a national priority for disease control programs for broad impact on quality of life and economy, and often result in death.
Nevertheless, indicators of efforts to operationalize Tuberculosis is based on the MDGs as well as health SPM has not
been done. In order to finance the efficiency of the national development efforts need synchronization with reference to the
achievement of the MDGs SPM. For it is necessary to attempt the translation of operational and phasing of each indicator
SPM that supports the achievement of the MDGs target indicators to be more easily understood and applicable. This
step needs to be done to improve the accuracy of the policy in the budget allocation has been minimal so completely on
target. This research is explorative research type. This research carried out by purposive sampling study, was conducted
in West Papua Province (Sorong and Raja Ampat) and East Java Province (Blitar and Tulungagung). Methods: The data
collection is carried out through by NGT on field implementers and by FGD on tuberculosis experts as well as in-depth
interview on the program managers in the field. Results: The results found three sub-indicators of tuberculosis that can
be used as an indicator of the health sector SPM for tuberculosis, the invention Indicators of discovery with suspected
tuberculosis with an indication of cough with phlegm for more than 2 weeks of unexplained causes. If the child has a history
of contacts of patients diagnosed with tuberculosis. Handling Indicators of success rate of 90% with a minimum of 85%
cure rate. Conclusion: Indicator of the validity of the surveillance recording & reporting standards. To operationalize this
sub-indicators into SPM studies are still needed for the formulation of tuberculosis diagnosis methods and the formulation
of how to measure the validity of a standardized recording and reporting. Also further study is needed for the determination
of target achievement every year.

Key words: SPM, tuberculosis, indicators MDGs

ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular kronis yang menjadi isu global yang
menjadi sasaran di dalam MDGs dan juga tercantum di dalam SPM kesehatan. Di Indonesia penyakit ini termasuk salah
satu prioritas nasional untuk program pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi,
serta sering mengakibatkan kematian. Meski demikian upaya operasionalisasi indikator penyakit Tuberkulosis yang
berdasarkan MDGs sekaligus SPM kesehatan belum pernah dilakukan. Dalam rangka efisiensi pembiayaan pembangunan
nasional diperlukan upaya sinkronisasi pencapaian SPM dengan merujuk pada MDGs. Perlu dilakukan upaya penjabaran
operasional serta pentahapan dari setiap indikator SPM yang mendukung tercapainya indikator target MDGs agar lebih
mudah dipahami dan aplikatif. Langkah ini perlu dilakukan guna meningkatkan ketepatan kebijakan dalam pengalokasian
anggaran yang sudah minim agar benar-benar tepat sasaran. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian ekploratif.
Dengan purposif sampling penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Papua Barat (Kota Sorong dan Kabupaten Raja Ampat)
serta Propinsi Jawa Timur (Kota Blitar dan Kabupaten Tulungagung). Pengumpulan data dilaksanakan melalui NGT pada
pelaksana lapangan dan FGD pada para pakar tuberkulosis serta wawancara mendalam pada pelaksana program di

1 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
Alamat korespondensi: E-mail: agungdl@yahoo.com

259
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

lapangan. Hasil: Menemukan 3 sub indikator penyakit tuberkulosis yang bisa dijadikan sebagai indikator SPM bidang
kesehatan untuk penyakit tuberkulosis, yaitu Indikator Penemuan berupa penemuan suspek tuberkulosis dengan
indikasi batuk berdahak lebih dari 2 minggu yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Bila pada anak ada riwayat kontak
pasien yang didiagnosa tuberkulosis. Indikator Penanganan berupa success rate 90% dengan cure rate minimal 85%.
Kesimpulan: Indikator surveilans berupa validitas pencatatan & pelaporan yang standar. Untuk mengoperasionalkan sub
indikator ini ke dalam SPM masih dibutuhkan kajian untuk formulasi metode diagnosa tuberkulosis serta formulasi cara
pengukuran validitas pencatatan dan pelaporan yang standar. Selain itu kajian lebih lanjut dibutuhkan untuk penentuan
target pencapaian setiap tahunnya.

Kata kunci: SPM, tuberkulosis, indikator

Naskah Masuk: 7 Februari 2012, Review 1: 15 Februari 2012, Review 2: 15 Februari 2012, Naskah layak terbit: 2 Maret 2012

PENDAHULUAN Selain itu, di Indonesia juga dikembangkan


Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan Peraturan
Sasaran Pembangunan Millennium (Millennium
Pemerintah (PP) No. 25/2000 tentang Kewenangan
Development Goals atau disingkat dalam bahasa
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi tentang
Inggris MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan
otonomi daerah, maka diterbitkan surat keputusan
untuk dicapai pada tahun 2015 merupakan tantangan
(SK) Menteri Kesehatan dan Sosial (Menkesos)
utama pembangunan di seluruh dunia. Tantangan
Nomor 1747/2000 tentang Pedoman Penetapan
ini sendiri diambil dari seluruh tindakan dan target
Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan
yang dijabarkan dalam Deklarasi Milenium yang
di Kabupaten/Kota (SPM Kesehatan). Pelaksanaan
diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh
PP 25/2000 ditegaskan melalui surat edaran Menteri
147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada
Dalam Negeri (Mendagri) No. 100/757/OTDA tentang
saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di
Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan SPM yang
New York pada bulan September 2000 (http://www.
ditujukan ke Gubernur dan Bupati/Walikota se
undp.org).
Indonesia. SK Menkesos Nomor 1747/2000 kemudian
S e t i a p n e g a r a y a n g b e r ko m i t m e n d a n
dianulir dengan SK Menteri Kesehatan (Menkes)
menandatangani perjanjian diharapkan
Nomor 1457/2003 tentang Standar Pelayanan
membuat laporan MDGs. Pemerintah Indonesia
Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang
melaksanakannya dibawah koordinasi Bappenas
mempertimbangkan perlu ditetapkannya kembali SPM
dibantu dengan Kelompok Kerja PBB dan telah
bidang kesehatan oleh Menteri Kesehatan. Kebijakan
menyelesaikan laporan MDGs pertamanya yang ditulis
ini berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang
dalam Bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan
meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan
ke dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan rasa
target pada tahun 2010. SK Menkes No. 1457/2003
kepemilikan pemerintah Indonesia atas laporan
ini diikuti SK Menkes No. 1091/2004 tentang Petunjuk
tersebut. Laporan Sasaran Pembangunan Milenium
Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
ini menjabarkan upaya awal pemerintah untuk
di Kabupaten/Kota.
menginventarisasi situasi pembangunan manusia
Dengan berkembangnya waktu, UU Nomor
yang terkait dengan pencapaian sasaran MDGs,
22/1999 tentang Pemerintah Daerah direvisi dengan
mengukur, dan menganalisa kemajuan seiring dengan
UU Nomor 32/2004. Selain itu juga diterbitkan PP
upaya menjadikan pencapaian ini menjadi kenyataan,
Nomor 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
sekaligus mengidentifikasi dan meninjau kembali
Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Secara
kebijakan dan program pemerintah yang dibutuhkan
ringkas, PP ini memberikan rujukan bahwa SPM
untuk memenuhi sasaran ini. Dengan tujuan utama
adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan
mengurangi jumlah orang dengan pendapatan
dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
dibawah upah minimum regional antara tahun 1990
berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal
dan 2015, Laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia
terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar baik
berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut.
daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota.
Namun, pencapaiannya lintas provinsi tidak seimbang
(Wikipedia, 2010).

260
Kajian Standar Pelayanan Minimal Penyakit Tuberkulosis (Agung Dwi Laksono, dkk)

Selain itu, peraturan Mendagri No. 6/2007 tentang drastis (2016) menjadi Rp. 66,70 triliun. Tanpa upaya
petunjuk teknis penyusunan dan penetapan standar negosiasi pengurangan jumlah pembayaran hutang
pelayanan minimal diterbitkan. Dalam peraturan Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan
Mendagri ini pada pasal 29 ayat (3) dikatakan bahwa MDGs (Okezone, 2008).
SPM yang ditetapkan pemerintah daerah dapat Untuk itu, dalam rangka efisiensi pembiayaan
dilaksanakan sampai dengan Menteri/Pimpinan pembangunan nasional diperlukan upaya sinkronisasi
Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun pencapaian SPM dengan merujuk pada MDGs.
dan menetapkan SPM yang baru sesuai PP Nomor Perlu dilakukan upaya penjabaran operasional
65/2005. Untuk Departemen Kesehatan (Depkes) serta pentahapan dari setiap indikator SPM yang
terwujud melalui peraturan Menkes Nomor 741/2008 mendukung tercapainya indikator target MDGs agar
yang menganulir SK Menteri Kesehatan Nomor lebih mudah dipahami dan aplikatif. Langkah ini perlu
1457/2003. Peraturan Menkes Nomor 741/2008 berisi dilakukan guna meningkatkan ketepatan kebijakan
indikator kinerja dan target pelayanan kesehatan dalam pengalokasian anggaran yang sudah minim
pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Surat agar benar-benar tepat sasaran.
keputusan ini diikuti SK Menkes Nomor 828/2008 Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit
tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan menular kronis yang menjadi isu global yang menjadi
sebagai acuan penyusunan SPM bidang kesehatan di sasaran di dalam MDGs dan juga tercantum di dalam
kabupaten/kota dan meniadakan SK Menkes Nomor SPM kesehatan. Menurut WHO Global Tuberculosis
1091/2004. Control (2010), saat ini peringkat Indonesia sudah
Kini MDGs telah menjadi referensi penting menurun menjadi peringkat 5 dunia setelah India,
pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap Cina, Afrika Selatan dan Nigeria, dari sebelumnya
perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana peringkat ke-3 dalam beban penderita tuberkulosis.
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga Di Indonesia penyakit ini termasuk salah satu
pelaksanaannya. Walaupun mengalami kendala, prioritas nasional untuk program pengendalian
namun pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas
sasaran ini dan dibutuhkan kerja keras serta kerja sama hidup dan ekonomi, serta sering mengakibatkan
dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, kematian (Riskesdas, 2007). Meski demikian upaya
pihak swasta, dan lembaga donor. Pencapaian MDGs operasionalisasi indikator penyakit tuberkulosis yang
di Indonesia akan dijadikan dasar untuk perjanjian berdasarkan MDGs sekaligus SPM kesehatan tidak
kerja sama dan implementasinya di masa depan. Hal dilakukan, indikator SPM penyakit tuberkulosis hanya
ini termasuk kampanye untuk perjanjian tukar guling 'penemuan kasus baru', yang indikator ini belum
hutang untuk negara berkembang sejalan dengan secara penuh menggambarkan upaya penanganan
Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di daerah Asia penyakit tuberkulosis yang dilakukan.
dan Pasifik (Bappenas, 2008; Okezone, 2008). Berdasarkan uraian latar belakang diatas,
Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan permasalahan penelitian yang diangkat adalah:
Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 Bagaimanakah operasionalisasi indikator SPM
akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah penyakit Tuberkulosis yang terkait dengan pencapaian
juga harus menanggung beban pembayaran hutang target indikator MDGs? Untuk itu tujuan dari penelitian
yang sangat besar. Program MDGs seperti pendidikan, ini adalah mengembangkan indikator SPM 'Cakupan
kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, Penemuan dan Penanganan Pasien Baru Tuberkulosis
kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan BTA Positif dan Surveilans' yang lebih sensitif yang
membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data terkait dengan indikator MDGs.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang Departemen
Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran METODE
hutang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun
2009–2015 dengan jumlah berkisar dari Rp. 97,7 Penelitian ini adalah jenis penelitian eksploratif
triliun (2009) hingga Rp. 81,54 triliun (2015) rentang dengan desain penelitian yang dilakukan secara
waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah deskriptif eksploratif, yaitu menggambarkan proses
pembayaran hutang Indonesia, baru menurun penyusunan indikator SPM TB terkait dengan

261
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

MDGs. Secara purposive penelitian dilaksanakan di 2. Modifikasi pemeriksaan/pengambilan sampel


Kabupaten Raja Ampat dan Kota Sorong di Propinsi sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) untuk yang
Papua Barat, serta Kabupaten Tulungagung dan transportasinya sulit terjangkau Indikator;
Kota Blitar di Propinsi Jawa Timur. Masing-masing a) Proporsi BTA (+) di antara suspek;
kabupaten/kota dipilih 4 puskesmas, 2 daerah rural b) Proporsi BTA (+) di antara seluruh seluruh
dan 2 daerah urban, untuk mendapatkan variasi penderita Tuberculosis
terbaik. 3. Optimalisasi Foto Thorax untuk mendukung SPS
Langkah operasional penelitian terdiri atas Indikator;
beberapa langkah sebagai berikut; Langkah pertama a) Angka penjaringan suspek
eksplorasi sub indikator SPM penyakit tuberkulosis b) Angka penemuan kasus (Case Detection Rate/
yang terkait dengan indikator MDGs. Pada langkah CDR)
ini upaya pengembangan sub indikator dilakukan 4. Penegakan diagnosis Tuberculosis pada anak
oleh peneliti berdasarkan review isi dokumen berdasarkan scoring system Indikator; Proporsi
kebijakan dan konsultasi dengan pakar. Pada tahap Tuberculosis anak di antara seluruh penderita
ini akan dihasilkan draft sub indikator SPM penyakit Tuberculosis
tuberkulosis yang terkait dengan MDGs. Langkah ke- 5. Identifikasi dan evaluasi kontak intensif
dua adalah pelaksanaan Nominal Group Technique Indikator;
(NGT) pada pelaksana lapangan untuk eksplorasi a) Angka penemuan kasus (Case Detection Rate/
sekaligus penentuan sub-indikator SPM penyakit CDR)
tuberkulosis yang terkait dengan indikator MDGs. b) Angka notifikasi kasus Indikator Penanganan.
NGT dilaksanakan di daerah penelitian. Langkah ini
dilakukan untuk mencari kesepakatan para pelaksana Ada 5 (lima) item yang berhasil dieksplorasi dan
kebijakan di lapangan terhadap draft sub-indikator disimpulkan oleh peneliti pada tahapan penanganan
SPM penyakit tuberkulosis yang terkait dengan penderita tuberkulosis, yaitu;
indikator MDGs. Pada tahap ini akan didapatkan 1. Pengukuran kepatuhan minum obat Indikator;
keterkaitan indikator SPM dan MDGs terkait penyakit a) Angka konversi
tuberkulosis. Langkah terakhir adalah pelaksanaan b) Angka kesembuhan
Focus Group Discussion (FGD) pada pakar penyakit c) Angka keberhasilan pengobatan
tuberkulosis untuk penentuan sub indikator SPM 2. Manajemen persediaan obat Indikator; Tersedia/
penyakit tuberkulosis yang terkait dengan indikator tidak
MDGs, dengan berbasis pada temuan lapangan di 3. Penilaian respon obat:
dua propinsi yang diteliti. Pemeriksaan sputum 2 spesimen pada akhir fase
intensif. Pemeriksaan sputum 1 X pada akhir bulan
ke-5. Pemeriksaan sputum 1 X pada akhir terapi
HASIL (bulan ke Indikator;
Berdasarkan hasil review pada kebijakan a) Angka konversi
penanggulangan penyakit tuberculosis di level nasional b) Angka kesembuhan
maupun global, maka dilakukan eksplorasi dan c) Angka keberhasilan pengobatan (Success
dilanjutkan dengan pengelompokan setiap indikator Rate/SR)
berdasarkan tahapan tindakan penanggulangan 4. Konseling dan uji HIV untuk Penderita Tuberculosis
penyakit tuberculosis, yaitu tahap penemuan, Indikator; Dilakukan/tidak
penanganan dan surveilans. 5) Ketersediaan Obat Anti-Tuberculosis (OAT)
lini kedua Indikator; Tersedia/tidak, Indikator
Indikator Penemuan
Surveilans
Ada 5 (lima) item yang berhasil dieksplorasi dan Ada 4 (empat) item yang berhasil dieksplorasi
disimpulkan peneliti pada tahapan penemuan kasus dan disimpulkan peneliti pada tahapan surveilans
tuberkulosis, yaitu; tuberkulosis, yaitu;
1. Pengembangan penentuan kriteria suspek 1. Pengembangan Kultur Sputum untuk BTA (+)
Tuberculosis Indikator; Angka Penjaringan Indikator; Angka kesalahan laboratorium (Error
Suspek. Rate)
262
Kajian Standar Pelayanan Minimal Penyakit Tuberkulosis (Agung Dwi Laksono, dkk)

2. Pengembangan kultur untuk Penderita Tuberculosis kasus tuberculosis. Tiga upaya tersebut adalah
BTA (-) Indikator; Angka kesalahan laboratorium penemuan, penanganan dan surveilans. Hasil NGT
(Error Rate) pada para pelaksana lapangan di tingkat Kabupaten/
3. Kelengkapan medical record Kota dan Puskesmas pada sub indikator penemuan,
Indikator; Lengkap/tidak penanganan dan surveilans Tuberkulosis dapat dilihat
4. Pelaporan: kasus baru, kasus ulangan, hasil pada Tabel 1, 2, dan 3.
pengobatan. Indikator; Dilakukan/tidak
FGD oleh Pakar Penyakit Tuberculosis
NGT pada Pelaksana Lapangan Langkah terakhir adalah pelaksanaan Focus
N o m i n a l G r o u p Te c hn i qu e ( N GT ) p a d a Group Discussion (FGD). FGD dilaksanakan dengan
pelaksana lapangan dilakukan untuk eksplorasi melibatkan para pakar penyakit tuberkulosis yang
sekaligus penentuan sub indikator SPM penyakit beraliran public health (kesehatan masyarakat).
tuberkulosis yang terkait dengan indikator MDGs. Untuk itu maka dipilih para pakar yang terdiri dari
NGT dilaksanakan di daerah penelitian. Langkah ini akademisi (Universitas Airlangga, Universitas
dilakukan untuk mencari kesepakatan para pelaksana Jember, Universitas Brawijaya), klinisi (Rumah Sakit
kebijakan di lapangan terhadap draft sub indikator Paru Jember, Rumah Sakit Paru Surabaya, RSUD
SPM penyakit tuberkulosis yang terkait dengan dr. Soetomo), dan pemegang program (Sub Direktorat
indikator MDGs. Tuberkulosis Kementerian Kesehatan, pemegang
NGT dilaksanakan 3 (tiga) kali untuk menemukan program tuberkulosis Propinsi Jawa Timur, dan
masing-masing indikator dalam upaya penanggulangan penanggung jawab program DOTS penyakit

Tabel 1. Sub Indikator Penemuan Pasien Tuberkulosis Hasil Nominal Group Technique
Provinsi Papua Barat Provinsi Jawa Timur
Kabupaten Raja
Kota Sorong Kota Blitar Kabupaten Tulungagung
Ampat
1. Pemeriksaan BTA 1. Berdasarkan 1. Angka penjaringan 1. Penemuan gejala klinis
2. Gejala klinis tanda dan gejala suspek TB 2. Penemuan gejala batuk berulang lebih
3. Scoring pada saja 2. Angka penemuan 2 minggu dengan tanda keluhan klinis
anak 2. Pemeriksaan SPS kasus/penderita TB 3. Pemeriksaan kontak dan atau
4. Pemeriksaan 3. Scoring pada anak paru BTA positif serumah
ulang sputum 4. Menghitung angka 3. Pemeriksaan kontak 4. Pemeriksaan TB pada pengidap HIV
pada penderita penjaringan langsung dangan positif
dengan hasil SPS suspek penderita TB yang BTA 5. Pemeriksaan BTA pada dewasa,
negatif tapi klinis 5. Foto thorax positif sedangkan pada anak dengan
mendukung 6. OAT profilaksis 4. Proporsi TB anak pada sistem skoring, pada penderita asma
5. Riwayat kontak 7. Screening penderita TB dengan bronchiale & bronchitis kronis
6. Hasil rontgen (SPS dan scoring BTA positif 6. Pembacaan kuman
7. Modifikasi SPS, pada anak) pada 5. Proporsi suspek TB 7. Sweeping ke rumah suspect penderita
salah satunya puskesmas keliling paru dengan penderita 8. Pemeriksaan BTA pada sklofuroderma
sputum pagi 8. Active case finding paru positif 9. Proporsi penggunaan kategori 2 di
6. Proporsi BTA + pada antara kategori 1
seluruh penderita TB 10. Dukungan pemeriksaan laboratorium
7. Penderita TB yang LED & jumlah Leukosit pada penderita
positif dalam keluarga dengan BTA (–) yang batuk lebih dari
2 minggu
11. Proporsi penemuan MDR TB diantara
penderita TB dalam 1 wilayah
12. Penemuan gejala batuk berulang lebih
1 minggu dengan angka penggunaan
obat symtom hampir setiap bulan
dalam 1 tahun
Keterangan: Sumber data primer

263
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

Tabel 2. Sub Indikator Penanganan Pasien Tuberkulosis Hasil Nominal Group Technique

Propinsi Papua Barat Propinsi Jawa Timur


Kota Sorong Kabupaten Raja Ampat Kota Blitar Kabupaten Tulungagung
1. Kepatuhan minum obat 1. Pemeriksaan photo thorax 1. Angka konversi 1. Tingkat kepatuhan
2. Ketersediaan OAT 2. Angka konversi setelah masa minum obat
3. Keaktifan petugas TB 3. Pemeriksaan sputum selama intensif 2. Jumlah penderita
4. Ketersediaan SDM yang 3 kali jika setelah diberikan 2. Angka Kesembuhan drop out
profesional dalam menangani pengobatan 3 hari tidak ada penderita TB paru 3. Proporsi konversi
kasus pasien TB perubahan dengan BTA positif penderita TB
5. Keaktifan PMO 4. Jumlah pasien cek BTA 3. Angka Konseling 4. Proporsi kesembuhan
6. Ketersediaan logistik non (foto thorax) setelah fase pada penderita TB di antara penderita
obat pengobatan 4. Ketersediaan OAT 5. Kunjungan rumah
7. Cure rate 5. Keteraturan/kepatuhan 5. Pengawasan minum pada penderita TB
8. Angka konversi minum obat obat yang aktif oleh petugas
9. Jumlah pelacakan kasus drop 6. Penilaian respon obat 6. Jumlah kasus MDR 6. Frekuensi konseling
out 7. Rujukan ke RS untuk yang ditangani penderita TB
10. Kolaborasi TB HIV pemeriksaan sputum 7. Konseling uji HIV 7. Peningkatan berat
11. Jumlah pelatihan 8. Ketersediaan PMO untuk penderita badan penderita
12. Success rate 9. Keaktifan petugas TB TB yang gagal 8. Pendataan kepatuhan
13. Ketersediaan obat lini kedua 10. Ketersediaan obat pengobatan atau minum obat
14. Pemeriksaan sputum bulan 11. Ketersediaan OAT lini kedua tidak sembuh 9. Jumlah kematian
ke 5 dan akhir pengobatan 12. Pemeriksaan HIV 8. Proporsi kasus TB akibat TB selama
untuk cure rate dan success 13. Ketersediaan konseling yang di PHN masa pengobatan
rate 14. Pengumpulan data survei 9. Kepatuhan minum 10. Jumlah obat yang
15. Implementasi Angka konversi datang sendiri obat terdistribusi
pada kasus dengan sisipan 15. Makan makanan TKTP
negative 16. Kebersihan rumah dan diri
serta pola makan
Keterangan: Sumber data primer

Tabel 3. Sub Indikator Surveilans Penyakit Tuberkulosis Hasil Nominal Group Technique
Propinsi Papua Barat Propinsi Jawa Timur
Kota Sorong Kabupaten Raja Ampat Kota Blitar Kabupaten Tulungagung
1. Pemantauan dahak awal 1. Jumlah pasien sembuh/ 1. Laporan jumlah kasus 1. Pelaporan &
pengobatan, fase intensif, berhasil baru pemetaan kasus
dan fase akhir pengobatan 2. Angka pasien berobat 2. Kelengkapan TB 01 sd baru, kasus ulangan
2. Monitoring hasil pelaporan tuntas TB 13 & hasil pengobatan
3. Jumlah kasus TB dengan 3. Ketersediaan konseling 3. Angka kesalahan 2. Kelengkapan medical
HIV untuk penderita TB-HIV laboratorium record
4. Jumlah kasus drop out 4. Angka keberhasilan minum 4. Laporan jumlah gagal 3. Pelacakan TB
5. Kelengkapan medical record obat 5. Laporan jumlah kasus mangkir
6. Dilakukan cross check pada 5. Angka kepatuhan minum kambuh 4. Jumlah UPK
slide yang diperiksa obat 6. Laporan jumlah kasus (unit pelayanan
7. Pelaporan kasus baru, ulang 6. Ketersediaan PMO TB yang ditemukan kesehatan) yang
dan hasil pengobatan 7. Ketersediaan OAT dan diobati dan dirujuk melaksanakan uji
8. Jumlah tenaga laboratorium 8. Angka rujukan pemeriksaan ke UPK lain silang laboratorium
yang terlatih sputum 7. Laporan jumlah psien 5. Jejaring informasi
9. Cakupan penderita TB yang 9. Pemeriksaan HIV pada TB mangkir yang penderita TB yang
gagal penderita TB ditindaklanjuti ditemukan
10. Kultur pada kasus kronis 10. Melakukan health education 8. Laporan jumlah kasus 6. Pemeriksaan kultur
11. Pengembangan kartu kebersihan rumah dan diri, TB anak pada penderita HIV
monitoring khusus pada makanan bergizi 9. Laporan jumlah kasus dengan BTA (-)
kasus pengobatan ulang 11. Ketersediaan OAT lini TB HIV
(kategori 2) kedua 10. Laporan jumlah kasus
12. Pemberian antibiotik MDR
Keterangan: Sumber data primer

264
Kajian Standar Pelayanan Minimal Penyakit Tuberkulosis (Agung Dwi Laksono, dkk)

tuberkulosis RSUD Dr. Soetomo Propinsi Jawa PEMBAHASAN


Timur).
Kebijakan Tuberkulosis
Pada awal FGD didahului dengan paparan hasil
NGT di empat daerah penelitian terpilih, sebagai salah Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia
satu acuan yang menjadi bahan pertimbangan. Dalam telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
pelaksanaan FGD ini para pakar bersepakat bahwa Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
sub indikator penyakit tuberkulosis dalam Standar baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan yang Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat
terkait dengan Millenium Development Goals (MDGs) TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang
akan dibuat sesederhana mungkin tetapi masih bisa (Kemenkes RI., 2009).
mewakili seluruh kegiatan penanggulangan penyakit Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia
tuberkulosis. Untuk itu para pakar peserta diskusi yang paling produktif secara ekonomis (15–50 tahun).
kurang sependapat dengan pendapat pelaksana Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
lapangan dalam hasil NGT yang menurut para pakar kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.
cenderung memperrumit pelaksanaan di lapangan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion sub tahunan rumah tangganya sekitar 20–30%. Jika
indikator Standar Pelayanan Minimal yang terkait ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
dengan Millenium Development Goals adalah sebagai pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan
berikut: secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
1. Indikator penemuan penderita tuberkulosis lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh
Penemuan suspek penderita tuberkulosis yang masyarakat (Kemenkes RI., 2009; WHO, 2011).
berupa batuk berdahak lebih dari 2 minggu yang Di level global, situasi penyakit tuberkulosis
tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Sedang pada semakin membur uk, jumlah kasus penyakit
anak ada riwayat kontak dengan pasien yang tuberkulosis meningkat dan banyak yang tidak
didiagnosa menderita penyakit tuberkulosis. berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
Untuk sub indikator penemuan ini para pakar dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah
peserta diskusi merekomendasikan masih penyakit tuberkulosis besar (high burden countries).
diperlukannya formulasi metode diagnosa penyakit Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO
tuberkulosis yang baku sebagai acuan seluruh mencanangkan penyakit tuberkulosis sebagai
pelaksana di lapangan. kedaruratan dunia (global emergency) (Kemenkes
2. Indikator penanganan pasien tuberkulosis RI., 2009).
Success rate 90% dengan cure rate minimal 85%. Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah
Success rate adalah tingkat keberhasilan minum permasalahan penyakit tuberkulosis. Koinfeksi dengan
obat atau persentase yang menyelesaikan minum HIV akan meningkatkan risiko kejadian penyakit
obat dari seluruh penderita penyakit tuberkulosis tuberkulosis secara signifikan. Pada saat yang sama,
yang berhasil ditemukan. Sedang cure rate adalah kekebalan ganda kuman penyakit tuberkulosis terhadap
tingkat keberhasilan/kesembuhan dari seluruh obat anti tuberkulosis (Multi Drug Resistance =
penderita penyakit tuberkulosis yang berhasil MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang
ditemukan dan diobati. tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
3. Indikator surveilans penyakit tuberkulosis akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi
Tingkat validitas pencatatan & pelaporan yang tuberkulosis yang sulit ditangani. Diperkirakan pada
standar. Untuk melaksanakan indikator ke-tiga tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru
ini para pakar peserta diskusi merekomendasikan dan kematian 101.000 orang dengan Insidensi kasus
masih perlunya sebuah formulasi pencatatan TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk
pelaporan yang baku dan cara pengukuran (Kemenkes RI., 2009).
validitasnya.

265
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

Di tingkat global WHO telah merekomendasikan Di tingkat nasional, situasi perkembangan penyakit
strategi DOTS (Directly Obser ved Treatment tuberkulosis sama saja dengan situasi di level global.
Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan Fakta menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis masih
TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan
yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia
dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah
bahwa dengan menggunakan strategi DOTS dapat Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit
menghemat biaya program penanggulangan TB TB merupakan penyebab kematian nomor tiga
sebesar US$ 55 selama 20 tahun (Kemenkes RI., (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
2009). saluran pernafasan pada semua kelompok usia,
Renc ana global untuk p enanggulangan dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
tuberkulosis (Global Plan to Stop TB) menetapkan Sedang hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun
agenda yang ambisius untuk menjangkau lebih 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA
banyak orang daripada sebelumnya dengan metode positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk.
diagnosis tuberkulsisyang akurat dan pengobatan Berdasarkan hasil survey yang sama, diperkirakan
yang efektif. Saat ini ada kekurangan lebih dari US penurunan insiden TB Basil Tahan Asam (BTA) positif
$ 10 miliar dalam pendanaan yang diperlukan untuk secara Nasional 2–3% setiap tahunnya. Sampai tahun
memenuhi ambisi tersebut saat ini sampai dengan 2005, program Penanggulangan penyakit tuberkulosis
tahun 2015, namun dengan pertimbangan human dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas,
cost (biaya kemanusiaan) yang lebih besar jika dunia sementara rumah sakit dan Balai Besar Kesehatan
gagal untuk mencapainya (WHO, 2010). Paru Masyarakat (BBKPM)/Balai Kesehatan Paru
Strategi DOTS sendiri terdiri dari 5 (lima) Masyarakat (BKPM)/Balai Pengobatan Penyakit
komponen kunci. Kelima komponen tersebut adalah: 1) Paru-Paru/Rumah Sakit Paru (RSP) baru sekitar 30%
Komitmen politis, 2) Pemeriksaan dahak mikroskopis (Kemenkes RI., 2009).
yang terjamin mutunya, 3) Pengobatan jangka Kebijakan penanggulangan penyakit tuberkulosis
pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan termaktub dalam Keputusan Menteri Kesehatan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
langsung pengobatan, 4) Jaminan ketersediaan OAT tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
yang bermutu, 5) Sistem pencatatan dan pelaporan Secara garis besar ada 14 (empat belas) poin dari isi
yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil kebijakan tersebut, antara lain:
pengobatan pasien dan kinerja program secara 1. Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan
keseluruhan (Kemenkes RI., 2009; WHO, 2010). azas desentralisasi yaitu kabupaten/kota sebagai
Tuberkulosis termasuk salah satu tujuan dari titik berat manajemen program yang meliputi:
Tujuan Pembangunan Global (Millenium Development perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
Goals/MDGs). Tuberkulosis masuk pada tujuan ke-6, evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber
yaitu 'Combat HIV/AIDS, Malaria and Other Diseases' daya manusia, sarana dan prasarana.
(Penanggulangan HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit 2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan
Lainnya). Masuk sebagai Target 6c, yaitu 'Halt and menggunakan strategi DOTS
begin to reverse the incidence of malaria and other 3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan
major diseases' (Menghentikan dan mulai membalik komitmen daerah terhadap program
tingkat penyebaran malaria dan penyakit utama penanggulangan TB.
lainnya), Indikator 6.9, yaitu 'Incidence, prevalence 4. Pengembangan strategi DOTS untuk peningkatan
and death rates associated with TB' (Insidensi, mutu pelayanan, kemudahan akses, penemuan
prevalensi dan angka kematian yang berhubungan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan
dengan tuberkulosis) (WHO, 2011). rantai penularan dan mencegah terjadinya TB-
MDR

266
Kajian Standar Pelayanan Minimal Penyakit Tuberkulosis (Agung Dwi Laksono, dkk)

5. Penanggulangan TB dilaksanakan oleh yang sangat lekat dengan stigma dan kemiskinan ini
seluruh sarana pelayanan kesehatan, meliputi di level nasional.
Puskesmas, Rumah Sakit Umum Pemerintah
Sub Indikator SPM Tuberkulosis
dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Penemuan pasien merupakan langkah pertama
Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Balai dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), dan Klinik Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan
Pengobatan lain serta Dokter Praktik Swasta suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan
(DPS). tipe pasien (Kemenkes RI., 2009).
6. P e n g e m b a n g a n p e l a k s a n a a n p r o g r a m Strategi penemuan pasien tuberkulosis yang
penanggulangan TB di tempat kerja (TB in dipakai oleh Kementerian Kesehatan seperti tertulis
workplaces), Lembaga Pemasyarakatan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
dan Rumah Tahanan (TB in prison), TNI dan Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
POLRI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis adalah
7. Program penanggulangan TB dengan pendekatan sebagai berikut;
program DOTS Plus (MDR), Kolaborasi TB-HIV, 1. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif
PAL (Practical Approach to Lung Health), dan dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka
HDL (Hospital DOTS Linkages). pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan;
8. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik
promosi, penggalangan kerja sama/kemitraan oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
dengan lintas program dan sektor terkait, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pemerintah dan swasta dalam wadah Gerakan pasien TB.
Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas 2. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama
TB). mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak
9. Peningkatan kemampuan laboratorium TB di yang menderita TB yang menunjukkan gejala
berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk sama, harus diperiksa dahaknya.
peningkatan mutu pelayanan dan jejaring. 3. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah,
10. Menjamin ketersediaan Obat Anti TB (OAT) dianggap tidak cost efektif.
untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada Berdasarkan kesepakatan dalam FGD para pakar
pasien secara cuma-cuma. penyakit tuberkulosis memilih 'Penemuan Suspek
11. Menjamin ketersediaan sumberdaya manusia Penderita Tuberkulosis Yang Berupa Batuk Berdahak
yang kompeten dalam jumlah yang memadai Lebih dari 2 Minggu yang Tidak Bisa Dijelaskan
untuk meningkatkan dan mempertahankan Penyebabnya. Sedang pada Anak Ada Riwayat Kontak
kinerja program. dengan Pasien yang Didiagnosa Menderita Penyakit
12. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada Tuberkulosis' sebagai sub indikator penemuan pasien
kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap tuberkulosis. Dibedakannya penemuan suspek
TB. pada anak dari orang dewasa lebih karena metode
13. Menghilangkan stigma masyarakat terhadap penemuan suspek pada orang dewasa tidak applicable
Pasien TB agar tidak dikucilkan dari keluarga, bila diterapkan pada anak-anak. Metode penemuan
masyarakat dan pekerjaannya. suspek pasien tuberkulosis pada anak-anak ini belum
14. Memperhatikan komitmen internasional yang terwadahi dalam kebijakan penanggulangan penyakit
termuat dalam MDGs. tuberkulosis yang telah ada sebelumnya.
Bila kebijakan penanggulangan penyakit Indikator penanganan pasien tuberkulosis yang
tuberkulosis yang sudah selaras antara kebijakan di merupakan titik berat pada proses pengobatan menurut
tingkat global maupun tingkat nasional ini betul-betul para pakar sudah cukup baik penanganannya. Sistem
dijalankan dengan konsekuen, maka bisa diprediksikan pengobatan di tingkat nasional juga sudah up to date
kita akan mampu menurunkan prevalensi penyakit sesuai dengan perkembangan pengobatan di tingkat

267
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

global. Untuk itu para pakar penyakit tuberkulosis penderita tuberkulosis, yang menurut para pakar
mengajukan 'Success Rate 90% dengan Cure Rate hal tersebut tidak berhubungan. Sub indikator ini
Minimal 85%' sebagai sub indikator penanganan justru dikemukakan para pelaksana lapangan di dua
pasien tuberkulosis. kabupaten/kota di Propinsi Papua Barat yang seperti
Success rate adalah tingkat keberhasilan minum diketahui bersama ketersediaan sarana-prasarana
obat atau persentase yang menyelesaikan minum masih menjadi masalah.
obat dari seluruh penderita penyakit tuberkulosis yang Contoh lainnya adalah usulan ketersediaan obat
berhasil ditemukan. Sedang cure rate adalah tingkat anti tuberkulosis (OAT) yang diusulkan tersedia di
keberhasilan/kesembuhan dari seluruh penderita level pelayanan. Para pakar terutama dari pemegang
penyakit tuberkulosis yang berhasil ditemukan dan program kurang setuju dengan usulan para pelaksana
diobati (Kemenkes RI., 2009). lapangan ini, mereka menyatakan bahwa untuk OAT
Proses surveilans menduduki proses yang sangat lini ke-dua seharusnya hanya tersedia di level program
penting selain dua proses sebelumnya. Menurut WHO, saja, bukannya di level pelayanan. Hal ini menjadi
surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, masuk akal bila kita beranggapan bahwa OAT lini ke-
analisis dan interpretasi data secara sistematik dan dua lebih merupakan pengobatan lanjutan bila OAT
terus menerus serta penyebaran informasi kepada lini pertama menemui kegagalan.
unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
Keterbatasan Penelitian
tindakan (Kemenkes RI., 2003a). Sedang menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, seperti Dalam penelitian ini metodologi untuk pemilihan
termaktub dalam Keputusan Menteri Kesehatan para pelaksana lapangan peserta Nominal Group
Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Technique (NGT) diserahkan sepenuhnya pada
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi pemegang program tuberkulosis di tingkat kabupaten/
Penyakit Menular dan Penyakit tidak Menular Terpadu, kota. Kriterianya adalah pelaksana lapangan (kepala
surveilans adalah kegiatan analisis secara sistematis puskesmas atau dokter puskesmas dan pemegang
dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah- program) di puskesmas dengan tingkat pencapaian
masalah kesehatan dan kondisi yang memengaruhi indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM)
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit bidang kesehatan untuk penanggulangan penyakit
atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar tuberkulosis yang mewakili prevalensi tinggi, sedang
dapat melakukan tindakan penanggulangan secara dan rendah.
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, Konsekuensi dari metode pemilihan ini menurut para
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi pakar peserta Fokus Group Discussion (FGD) adalah
kepada penyelenggara program kesehatan (Kemenkes keterbatasan bahwa ada kemungkinan para pelaksana
RI., 2003c.). lapangan yang terpilih tersebut belum terlatih dalam hal
Pemilihan ’Tingkat Validitas Pencatatan & penyakit tuberkulosis. Meski dalam pemilihan metode ini
Pelaporan yang Standar’ oleh para pakar peserta FGD peneliti beralasan bahwa pemilihan pelaksana lapangan
sebagai sub indikator surveilans penyakit tuberkulosis sebagai peserta NGT berdasarkan kondisi realitas
semakin menegaskan betapa vitalnya informasi yang ada di lapangan, dan bahwa akan dimungkinkan
yang valid yang dimulai dari proses pencatatan dan terpilihnya petugas pelaksana lapangan yang belum
pelaporan yang valid. terlatih, maka hal tersebut merupakan gambaran realitas
Dalam diskusi ber s ama pakar penyak it yang ada di lapangan.
tuberkulosis yang berkembang adalah bahwa usulan
para pelaksana lapangan yang merupakan hasil KESIMPULAN DAN SARAN
Nominal Group Technique (NGT) sering kali terlalu
Kesimpulan
rumit dan tidak applicable. Menurut para pakar sub
indikator itu cenderung sulit dan bahkan tidak bisa Berdasarkan hasil penelitian maka dapat
dilaksanakan di lapangan, dan cenderung mempersulit disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan
para pelaksana lapangan itu sendiri. penyakit tuberkulosis di tingkat nasional maupun global
Salah satu contohnya adalah pemilihan foto sudah pro poor, atau mengadopsi kepentingan rakyat
thorax sebagai indikator penemuan suspect miskin, sudah berpihak kepada rakyat miskin.

268
Kajian Standar Pelayanan Minimal Penyakit Tuberkulosis (Agung Dwi Laksono, dkk)

Ada 3 (tiga) sub indikator penanggulangan Kemenkes RI. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri
penyakit tuberculosis yang dapat dipergunakan Nomor 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
sebagai indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal, Jakarta.
bidang Kesehatan yang terkait dengan indikator
Kemenkes RI. 2008a. Keputusan Menteri Kesehatan
Millenium Development Goals (MDGs), yaitu:
Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Standar
a) Indikator Penemuan; Penemuan suspek penderita Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/
tuberkulosis yang berupa batuk berdahak lebih dari Kota, Jakarta.
2 minggu yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Kemenkes RI. 2008b. Peraturan Menteri Kesehatan
Sedang pada anak ada riwayat kontak dengan pasien Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar
yang didiagnosa menderita penyakit tuberkulosis; Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/
b) Indikator Penanganan; Success rate 90% dengan Kota,Jakarta.
cure rate minimal 85%; c) Indikator Surveilans; Tingkat Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
validitas pencatatan & pelaporan yang standar.
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
Saran (TB). Jakarta.
Program perlu mengaplikasikan indikator Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Laporan
Trimester Pertama Perkembangan HIV-AIDS di
penanggulangan penyakit tuberkulosis yang lebih
Indonesia, Jakarta. KPAN.
sensitif, yang bisa mewakili seluruh kegiatan
Krippendorff, Klaus, 2004. Content Analysis, An Introduction
penanggulangan penyakit tuberkulosis. to Its Methodology. Sage Publications, California.
Masih diperlukan kajian lebih lanjut untuk indikator Murti B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian
penemuan dengan menentukan metode diagnosa Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan.
penyakit tuberkulosis yang baku sebagai acuan Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
seluruh pelaksana di lapangan. Okezone. 2008. Pencapaian Target MDGs Terkendala
Masih diperlukan kajian lebih lanjut untuk indikator Beban Utang. Diunduh dari http://economy.okezone.
surveilans, yaitu untuk menyusun sebuah formulasi com/index.php/ReadStory/2008/09/25/20/149390/
pencapaian-target-mdgs-terkendala-beban-utang.
pencatatan pelaporan yang baku dan cara pengukuran
pada bulan Juli 2010.
validitasnya.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik
Bila sub indikator penemuan, penanganan dan Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
surveilans penyakit tuberkulosis ini disepakati sebagai Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
indikator SPM bidang Kesehatan untuk penyakit Minimal, Jakarta.
tuberkulosis, maka perlu kajian lebih lanjut untuk Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah
penentuan target pencapaian setiap tahunnya. Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
DAFTAR PUSTAKA Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta.
Badan Litbang, Kemenkes RI. 2009. Laporan Nasioanl Riset Setiawan, Nugraha, 2005. Perubahan Konsep Perkotaan
Kesehatan Dasar Tahun 2007, Jakarta. di Indonesia dan Implikasinya terhadap Analisis
Bappenas. 2008. Laporan Millenium Development Goals Urbanisasi. Universitas Padjadjaran, Bandung.
(MDG) Indonesia, Jakarta. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
Kemenkes RI. 2003a. Kepmenkes No. 1116/Menkes/SK/ International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).
VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical
Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Jakarta. Assistance, Geneva.
Kemenkes RI. 2003b. Kepmenkes No. 1457/Menkes/SK/ UNDP, 2010. Basic facts about MDGs. Diunduh dari
X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang http://www.undp.org pada bulan Juli 2010-07-10.
Kesehtan di Kabupaten/Kota, Jakarta. United Nations. 2010. Millenium Development Goals.
Kemenkes RI. 2003c. Kepmenkes No. 1479/Menkes/ Wikipedia. 2010. Sasaran Pembangunan Milenium. Diunduh
SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan dari http://id.wikipedia.org pada bulan Juli 2010.
Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan World Health Organisation, 2011. Global Tuberculosis
Penyakit tidak Menular Terpadu, Jakarta. Control; WHO Report. WHO, Geneva.

269
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 3 Juli 2012: 259–270

World Health Organization. 2004. Kebijakan Sementara Elimination of Tuberculosis. Stop TB Department,
Kegiatan Kerja sama TB/HIV (Terjemahan). Stop WHO, Geneva.
TB Department and Department of HIV/AIDS, WHO, World Health Organization. 2010. Treatment of Tuberculosis
Geneva. Guidelines, Fourth Edition. WHO, Geneva.
World Health Organization. 2010. The Global Plan to
Stop TB 2011–2015, Transforming the Fight Toward

270

You might also like