Professional Documents
Culture Documents
Discrimination based on Socio-cultural Identity and Human Rights Aducation in Indonesia through Social Psychology
Perspective
Diskriminasi berdasar Identitas Sosial-Budaya dan Pendidikan HAM di Indonesia dalam Perspektif Psikologi Sosial
Author :
Monica E. Madyaningrum | eviandaru@yahoo.com
-
-|-
-
-|-
-
-|-
-
-|-
-
Abstract
The high rate of serious human rights abuses in Indonesia has many cases of human right abuses which happen
among common people in their everyday life unnoticed. One of the examples is the cases of discrimination based on
one's socio-cultural identity . The paper argues that discrimination based on one's socio-cultural identity is a form of
human right violation which its mechanism involves one's social cognitive system. That is why its intervention
could not rely solely on judicial intervention. An intervention which is addressed the psychological functioning of
individuals which contributes to the occurrence of discrimination is also needed. It is therefore, using social psychology
perspective; the paper aims to identify the social cognitive functioning which may become the
underlying mechanism of discriminative attitudes and behavior among common people in Indonesia. Later , the paper
uses the findings to discuss its implication in regard with the concept of human rights education.
Keyword : discrimination, social, psychology, stereotype, and, prejudice, , human, right, education, -,
Daftar Pustaka :
1. -, (0000). -. - : -
2. -, (0000). -. - : -
3. -, (0000). -. - : -
4. -, (0000). -. - : -
5. -, (0000). -. - : -
Monica E. Madyaningrum
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Sanata Dharma
Abstract
The high rate of serious human rights abuses in Indonesia has many cases of human right abuses
which happen among common people in their everyday life unnoticed. One of the examples is the
cases of discrimination based on one's socio-cultural identity. The paper argues that discrimination
based on one's socio-cultural identity is a form of human right violation which its mechanism involves
one's social cognitive system. That is why its intervention could not rely solely on judicial intervention.
An intervention which is addressed the psychological functioning of individuals which contributes to
the occurrence of discrimination is also needed. It is therefore, using social psychology perspective;
the paper aims to identify the social cognitive functioning which may become the underlying
mechanism of discriminative attitudes and behavior among common people in Indonesia. Later, the
paper uses the findings to discuss its implication in regard with the concept of human rights
education.
Keywords: discrimination, social psychology, stereotype and prejudice, human right education.
Gagasan awal dari makalah ini muncul dari banyak teman yang berasal dari ras dan
hasil pencermatan terhadap sebuah forum diskusi kalangan yang bermacam-macam. Yang ingin
on-line di situs komunikasi umum, kaskus: the saya sharingkan disini adalah, Pernah ga sih
largest Indonesian community (www.kaskus.us). kalian mengalami diskriminasi ras di tempat
Satu kanal dalam situs ini, bernama Debate Club, kerja. Contoh yang saya lihat sendiri:… Ada
memberi ruang bagi anggotanya untuk melempar teman pribumi yang bekerja menjadi
dan menanggapi topik perdebatan tentang segala programmer freelancer, yang kesusahan kalau
info, mulai gaya hidup, hal-hal yang sedang mendapati calon customer yang keturunan.
populer hingga peristiwa-peristiwa terkini. Dalam Dimana biasanya yang warga keturunan
salah satu posting-nya, seorang anggota dengan Tionghoa lebih mempercayai klien yang juga
nama samaran 'BayiBadaK' memunculkan topik keturunan Tionghoa juga. Ada juga teman
debat tentang 'Adanya diskriminasi ras di pribumi yang bekerja di suatu perusahaan,
l i n g k u n g a n k e r j a ' ( w w w. k a s k u s . u s / dimana dia merasa susah dalam hal promosi,
showthread.php?t=1053093). Berikut adalah gaji, relasi. Jika dibandingkan dengan teman
potongan tampilan dari posting tersebut. kerjanya yang keturunan Tionghoa. Ada juga
Saya adalah seorang indo yang mempunyai teman pribumi yang mendirikan usaha sendiri,
darah keturunan Tionghoa. Saya juga memiliki pernah juga ia mendapati kesusahan jika mau
Korespondensi: Monica E. Madyaningrum, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Sanata Dharma.Paingan, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Yogyakarta. Telp (0274) 883037 Fax (0274) 886529 email: eviandaru@yahoo.com
bekerja sama dengan keturunan Tionghoa. diskusi on-line seperti inilah, dimana seseorang
Karena pengusaha keturunan Tionghoa lebih dapat berkomentar tanpa diketahui identitas
percaya dengan pengusaha yang keturunan aslinya, mereka yang memiliki sikap dan
Tionghoa juga. Contoh-contoh yang saya pandangan yang bertentangan dengan standar
berikan diatas memang bukan meliputi ideal masyarakat menemukan ruang aman untuk
semuanya. Tetapi hanya contoh kecil dari fakta menyatakan pendapatnya.
yang ada di masyarakat. Oya, saya belum Sikap dan pandangan diskriminatif semacam
menemui sih kalau ket Tionghoa di- inilah yang sedianya akan disasar dengan KUHP
diskriminasi di dunia pekerjaan, kecuali di anti diksriminasi (Saptaningrum & Wiryawan,
bidang: politik dan pemerintahan (co : PNS, 2007). Persoalannya, sikap dan pandangan
polisi, ABRI, dll). Nah, saya sampai sekarang diskriminatif semacam ini seringkali sangat sulit
masih bingung. Mengapa adanya diskriminasi untuk dibuktikan secara legal formal karena sikap
ras di dunia kerja ini… dan pandangan semacam ini lebih banyak muncul
dalam ruang-ruang percakapan dan interaksi
Topik ini mendapat sekitar 200 tanggapan
sehari-hari. Disinilah terletak tantangan
dengan beragam isi dan nada. Sejumlah anggota
persoalan yaitu di satu sisi ada individu yang
memberikan pembenaran atau dukungan
merasa dilanggar hak asasinya akibat sikap dan
terhadap topik yang dilemparkan tersebut dengan
perlakuan diskriminatif berdasar identitas sosial-
menambahkan bukti pengalaman pribadi atau
budayanya, namun di sisi lain sangat sulit untuk
orang lain disekitarnya yang dipercaya merupakan
membuktikan dasar-dasar sikap dan perlakuan
bentuk diskriminasi rasial.
diskriminatif tersebut secara legal formal.
Menimbang karakteristik forum diskusi on-
Diskriminasi rasial di dunia kerja seperti
line, dimana keanggotaan peserta seringkali
yang terekam dalam kutipan diatas bisa jadi hanya
bersifat anonymous, tentu saja sangat sulit
satu contoh dari masih banyak bentuk-bentuk
menakar kesungguhan intensitas dari komentar-
diskriminasi lain yang ada di tengah masyarakat.
komentar yang terlontar dalam Debate Club di
Kutipan diatas mencontohkan apa yang disebut
atas. Sama sulitnya untuk memastikan apakah
sebagai 'everyday racism' (Jones, 1997). Istilah ini
pengalaman-pengalaman yang dimunculkan
digunakan untuk menengarai bentuk-bentuk
sebagai data pendukung komentar mereka
diskriminasi berdasar identitas sosial budaya
merupakan sesuatu yang sungguh terjadi dan
seseorang, yang susah untuk dibuktikan dan
dialami atau hanya karangan dari pemberi
diintervensi secara legal formal, namun terus
komentar. Dengan demikian, signifikansi
muncul dalam percakapan, perilaku dan
komentar-komentar diatas sebagai potongan
kebiasaan sehari-hari. Bukti keberadaannya ada
potret sosial masyarakat Indonesia dapat dengan
pada pengalaman-pengalaman pribadi dari orang-
mudah disangsikan. Namun demikian, terlepas
orang yang merasa didiskriminasi karena identitas
dari persoalan kesahihan komentar-komentar
sosial budayanya, seperti agama, etnis, gender dan
tersebut, kemunculannya dalam forum diskusi on-
atau gabungan dari kesemuanya. Inilah yang
line menegaskan bahwa (masih) ada sikap dan
mendasari makalah ini untuk menggunakan
pandangan yang diskriminatif dalam masyarakat
istilah 'diskriminasi berdasar identitas sosial-
kita.
budaya' dan bukan 'diskriminasi rasial' meski
Menggunakan istilah psikoanalisa Freudian
contoh kasus yang digunakan dalam makalah ini
(Hjelle & Ziegler, 1992), barangkali sikap dan
merupakan bentuk diskriminasi rasial. Istilah
pandangan diskriminatif yang muncul dalam
'diskriminasi berdasar identitas sosial-budaya'
forum diskusi tersebut dapat dilihat sebagai id
didefinisikan sebagai segala bentuk sikap dan
yaitu suatu dorongan dan kebutuhan yang tidak
perilaku yang membedakan atau menghalangi
dapat dimunculkan secara terbuka dalam interaksi
seseorang untuk menggunakan hak-haknya atas
sosial sehari-hari di tengah masyarakat karena
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
bertentangan dengan superego masyarakat yang
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
berisi standar moral, norma, kaidah dan nilai yang
kelamin, bahasa, atau keyakinan politik
diidealkan secara sosial. Maka dalam kanal-kanal
(Saptaningrum & Wiryawan, 2007).
Dalam rangka mempertegas upaya negara pada upayanya untuk menjelaskan proses mental
untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang mendasari kemunculan perilaku individu
yang melanggar hak asasi manusia, pemerintah dalam kelompoknya (Baron & Byrne, 2000;
telah mensahkan Undang-Undang Anti Feldman, 1998; Taylor, Peplau & Sears, 2009).
Diskriminasi pada tahun 2008. Mengacu pada Demikian halnya dalam persoalan diksriminasi.
undang-undang tersebut, maka kini segala bentuk Fokus perhatian psikologi sosial adalah mengkaji
diskriminasi berdasar identitas sosial-budaya proses mental atau dinamika psiko-sosial yang
seseorang sebagaimana didefinisikan diatas dapat mendasari kemunculan sikap dan perilaku
dilihat sebagai tindak pidana (Saptaningrum & diskriminatif (Jones, 1997; Plous, 2003).
Wiryawan, 2007). Banyak studi psikologi sosial meyakini
Beberapa bulan setelah pengesahan undang- bahwa stereotip merupakan motor yang
undang tersebut, surat kabar nasional Jakarta Post menggerakkan prasangka (Baron & Byrne, 2000;
memuat laporan berjudul "Ethnic Chinese still face Jones, 1997). Selanjutnya, ketika mendapat
hurdles to get ID cards: Survey" (16 Desember stimulasi dan konteks sosial yang tepat, prasangka
2008). Laporan ini hanyalah satu contoh dari akan mendorong munculnya sikap dan perilaku
sejumlah laporan sejenis yang dapat ditemukan di diskriminatif (Jones, 1997). Berangkat dari
media massa. Hal ini menunjukkan bahwa meski pandangan dasar inilah, maka banyak studi
Undang-Undang Anti Diskriminasi telah psikologi sosial tentang diskriminasi difokuskan
disahkan, praktek diskriminatif tetap terjadi di pada upaya menjawab pertanyaan bagaimana
tengah masyarakat. Contoh ini menggambarkan proses terbentuknya stereotip dan prasangka
ungkapan yang menyatakan bahwa "Stateways dalam diri individu (Jones, 19997).
cannot change folkways" (Sumner dalam Jones, Secara klasik, ada dua model penjelasan yang
1997). Hal ini menegaskan bahwa upaya ditawarkan studi-studi psikologi sosial dalam
menghilangkan sikap dan praktik diskriminatif di menjawab pertanyaan tentang proses
tengah masyarakat tidak dapat dilakukan hanya terbentuknya stereotip dan prasangka. Pertama
dengan mengandalkan piranti hukum. adalah model yang disebut sebagai 'social
Dalam persoalan diskriminasi, intervensi competition approach' (Jones, 1997). Model ini
hukum biasanya difokuskan pada upaya mengasumsikan bahwa stereotip dan prasangka
penciptaan atau pembongkaran sistem dan merupakan respon kognitif yang dimunculkan
struktur sosial yang dinilai dapat mendukung atau individu sebagai strategi dalam menghadapi
menghambat penegakan hak asasi manusia. konf lik antar kelompok. Pendekatan ini
Namun demikian, artikel surat kabar yang dikutip berpandangan bahwa ketika interaksi antar
diatas menunjukkan bahwa seseorang tetap dapat kelompok diikuti dengan munculnya kompetisi
mengalami atau melakukan praktik diskriminatif sosial maka konflik antar kelompok akan hadir
terlepas dari sistem dan struktur sosial sebagai konsekuensinya. Konflik antar kelompok
masyarakatnya (Jones, 1997). Disinilah makalah inilah yang selanjutnya akan mendorong individu-
ini melihat perlunya mengkaji persoalan individu dari masing-masing kelompok untuk
diskriminasi dari sisi individu yang memunculkan respon kognitif berupa cara
melakukannya. Maka, psikologi sosial sebagai pandang yang mengunggulkan kelompok sendiri
disiplin yang berupaya menjelaskan keterkaitan dan merendahkan kelompok orang lain. Dari
antara perilaku individu dan konteks sosial yang sinilah pola pikir 'kita' dan 'mereka' terbentuk dan
melingkupinya, dinilai menjadi pendekatan yang selanjutnya dapat berkembang menjadi stereotip
tepat untuk mengulas topik tersebut. dan prasangka (Meek, 1998).
Menolak asumsi dasar model pertama,
Diskriminasi berdasar Identitas Sosial- model penjelasan klasik kedua berpandangan
Budaya dalam perspektif Psikologi bahwa kemunculan sterotip dan prasangka tidak
Sosial harus selalu terkait dengan adanya konflik antar
Sebagai satu disiplin dalam rumpun sosial- kelompok (Jones, 1997). Model ini dikenal dengan
humaniora, kekhasan psikologi sosial terletak istilah 'social categorization approach' (Jones,
1997, hlm. 208). Pendekatan ini berpandangan
bahwa pada dasarnya stereotip dan prasangka konsep-konsep yang dikembangkan untuk
merupakan konsekuensi alamiah dari pola pikir menjelaskan mengapa ketika seseorang
kategorial yang ada dalam setiap kognisi individu. bergabung dalam kelompok cenderung memiliki
Menurut model ini, setiap individu memiliki pola pikir bahwa kelompoknya lebih unggul dari
kecenderungan alamiah untuk mengolah kelompok lain. Salah satu konsep yang berusaha
informasi dalam kategori-kategori guna menjawab pertanyaan ini adalah Social Identity
memudahkan penentuan respon kognitif dan Theory (Jones, 1997). Teori ini mengasumsikan
perilaku yang dinilai tepat. Inilah yang mendasari bahwa identitas kelompok merupakan komponen
ke ce n d e r u n g a n s e t i a p i n d i v i d u u n t u k penting dalam pembentukan identitas diri
membedakan kelompoknya dari kelompok yang seseorang. Maka sebagai konsekuensinya, setiap
lain dengan cara membuat kategori-kategori sosial individu akan berusaha memiliki kebanggaan
yang memisahkan 'kita' dan 'mereka' (Meek, akan kelompoknya agar sebagai akibatnya ia
1998). merasa bangga dengan dirinya. Kebanggaan ini
Disinilah letak perbedaan dasar model biasanya dibangun dengan cara membentuk dan
penjelasan pertama dan kedua. Dalam model mengenakan berbagai atribut positif pada
penjelasan pertama, konflik antar kelompok kelompok yang dinilai dapat mengunggulkan
dilihat sebagai motor penggerak munculnya kelompoknya dari kelompok yang lain. Dari
kecenderungan pengkategorian 'kita' dan 'mereka' sinilah kecenderungan untuk merendahkan
yang selanjutnya dapat berkembang menjadi kelompok lain dengan menggunakan setereotip
seterotip dan prasangka. Dengan demikian, dan prasangka dapat bermula.
pendekatan ini berpandangan bahwa tanpa Selain konsep diatas, ranah kedua yang juga
konflik tidak akan ada stereotip dan prasangka. banyak dikembangkan dalam studi psikologi
Sebaliknya, model penjelasan kedua sosial adalah konsep-konsep yang bertujuan
berpandangan bahwa stereotip dan prasangka menjelaskan strategi-strategi sosial dan kognitif
merupakan hasil dari adanya kecenderungan yang dikembangkan seseorang untuk secara
kognitif alamiah dalam setiap individu untuk psikologis mempertahankan keunggulan
mengolah informasi secara kategorial. Dengan kelompoknya dibanding kelompok lain. Diantara
kata lain, menurut model penjelasan kedua, tanpa konsep-konsep dalam kelompok ini misalnya
konflik antar kelompok pun, pola kognitif adalah konsep 'out-group homogenity' (Jones,
kategorial 'kita' dan 'mereka' tetap akan ada dalam 1997). Konsep ini menerangkan kecenderungan
struktur kognitif setiap individu ketika mereka seseorang untuk melihat secara seragam individu-
terlibat dalam interaksi antar kelompok. individu yang menjadi anggota kelompok lain.
Meski kedua model penjelasan klasik diatas Dalam konsep ini diterangkan bahwa, ketika
memiliki perbedaan asumsi dasar tentang seseorang mengenakan stereotip dan prasangka
bagaimana setereotip dan prasangka terbentuk, pada individu-individu dari kelompok lain, orang
namun terlihat bahwa keduanya meletakkan tersebut akan melakukan proses de-individuasi
seterotip dan prasangka sebagai bagian dari proses pada anggota-anggota kelompok lain tersebut.
kognitif individu. Keduanya mengasumsikan Proses de-individuasi menggambarkan bias
bahwa ada kecenderungan kognitif dalam setiap kognitif yang terjadi ketika seseorang cenderung
individu untuk mengunggulkan kelompoknya dan melihat seluruh anggota kelompok lain sebagai
merendahkan kelompok lain (Plous, 2003). satu entitas yang sama. Dalam proses ini, anggota-
Berangkat dari sinilah kemudian muncul konsep- anggota kelompok yang lain, tidak dilihat sebagai
konsep berikutnya yang difokuskan pada upaya individu yang masing-masing memiliki keunikan
mengidentifikasi lebih jauh proses kognitif yang identitas. Bias kognitif inilah yang diasumsikan
dialami individu ketika terlibat dalam interaksi mendasari bekerjanya seterotip dan prasangka.
antar kelompok yang diwarnai dengan sikap dan Ketika satu kelompok distereotipkan memiliki
perilaku diskriminatif. atribut negatif tertentu misalnya, maka diyakini
Secara garis besar ada dua ranah utama yang bahwa atribut tersebut dapat ditemui pada seluruh
coba ditelusuri lebih jauh oleh studi-studi anggota kelompok tanpa kecuali (Meek, 1998;
psikologi sosial di wilayah ini. Pertama adalah Plous, 2003).
diskriminasi berdasar identitas sosial budaya yang sah dan dapat diterima. Inilah yang disebut
terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. dengan illusory correlation (Jones, 1997),
Analisa yang menjadi isi dari bagian ketiga kedisiplinan atau kemalasan seseorang dalam
makalah ini lebih dimaksudkan sebagai sebuah bekerja dianggap sebagai akibat dari identitas
proses identifikasi awal. etnisnya. Dalam bias kognitif semacam ini, setiap
Dari hasil pencermatan terhadap 200 entry pihak korban ataupun pelaku diskriminasi
pada kanal debate club dari situs komunikasi dianggap telah mendapatkan apa yang
umum, kaskus; serta sejumlah komentar yang sepantasnya didapatkan (Plous, 2003).
dimuat dalam kolom surat pembaca, surat Kabar Berikut adalah contoh komentar lain yang
nasional Jakarta Post, terkait dengan topik menggambarkan bias kognitif yang serupa.
diskriminasi rasial; berikut adalah kutipan- Komentar ini dikirimkan oleh anggota dengan
kutipan yang diduga mencerminkan bentuk inisial 'x369z5qq6'
keterperangkapan berpikir atau bias kognitif yang "Kuncinya jangan kerja sama Cina…Kalaupun
mendasari sikap dan perilaku diskriminatif dalam terpaksa kerja sama Cina, niatin buat belajar,
masyarakat. Ada tiga bentuk bias kognitif yang walopun cina2 itu pelit, diem2 curi aja
muncul dalam sejumlah komentar. ilmunya… dah pinter buka sendiri deh… intinya
1. Menyalahkan Korban, Membenarkan biar gimanapun Cina tuh eksklusif &
Diskriminasi rasis…baru baik kalo ada kepentingan…jadi
Berikut ini adalah kutipan komentar dari dalam hal apapun jangan terlalu percaya sama
kanal diskusi on-line kaskus, menanggapi lontaran c i n a … " ( w w w. ka s k u s . u s / s h o w t h r e a d .
topik dari salah satu anggota tentang adanya php?t=1053093)
diskriminasi rasial ditempat kerja. Kutipan ini
Kembali tampak dalam kutipan diatas bahwa
dikirim oleh anggota dengan inisial
di mata pemberi komentar tindakan
'Raiders':
mendiskriminasi dianggap sah untuk dilakukan
"…secara garis besar hal ini [diskriminasi] karena 'kesalahan' yang dilakukan korban yaitu
terjadi karena perilaku dan sifat dasar. Kenapa korban dinilai 'ekslusif dan rasis'. Tampak dalam
Cokin [Tionghoa] lebih diminati daripada kedua contoh kutipan diatas bahwa bias kognitif
pribumi?. 1. Dari segi kerajinan: Cokin lebih 'menyalahkan korban' menghalangi munculnya
rajin, pekerjaan diselesaikan tanpa banyak pemahaman kritis bahwa adanya tindakan atau
omong, Pribumi suka mengeluh, gaji kecil, kebiasaan yang dinilai merugikan dalam diri
kerjaan susah…, 2. Dari segi kerapian: Cokin seseorang tidak dengan sendirinya melegitimasi
lebih rapi n teliti, lebih bertanggung jawab, atau memberi hak pada pihak yang merasa
Pribumi suka teledor dan masa bodoh, toh dirugikan untuk melakukan diskriminasi pada
bukan perusahaannya…, 3. Dari segi orang tersebut dan kelompoknya.
pemakaian waktu: Cokin lebih disiplin, datang
2. Stereotip dinilai sebagai produk genetis
tepat waktu, pulang sesudah pekerjaan selesai,
Bias kognitif berikutnya yang muncul dalam
Pribumi datang sering telat, 1001 alasan, 20
sejumlah komentar adalah asumsi bahwa stereotip
menit sebelum pulang udah beres-beres n
yang digunakan sebagai dasar pembenaran
begitu teng kabur…" (www.kaskus.us/
diskriminasi diyakini bersumber pada sifat dasar
showthread.php?t=1053093)
yang secara inheren dimiliki seseorang karena
Kutipan diatas mencontohkan bias kognitif terlahir dengan identitas etnis tertentu. Berikut
yang disebut dengan istilah victim blaming adalah salah satu contoh kutipan yang dikirimkan
(Nelson & Prilleltensky, 2005). Kutipan diatas oleh anggota dengan inisial 'Hakim Garis'
mencerminkan asumsi dasar bahwa situasi "kalo dipikir kadang tidak logis. Cina cuma
ketidakadilan, dalam hal ini diskriminasi, berapa persen sih di Indo? Dibandingkan
dipercaya sebagai akibat dari kekurangan atau dengan pribumi yang jumlahnya berapa ribu
kesalahan yang dilakukan oleh korban. Dengan kali lipat dari mereka, kalo mereka diskriminan
menempatkan korban sebagai 'sumber masalah' dan memprioritaskan ras sendiri dalam setiap
maka praktik diskriminatif yang terjadi dianggap aspek kehidupan tapi toh pada akhirnya lebih
maju dari pribumi salah siapa coba? kelompok mayoritas. Hal ini tentu saja
Penjelasannya yang paling logis cuma satu: berkebalikan dengan prasyarat ideal dari
Keturunan Cina emang lebih superior dalam masyarakat yang mengedepankan hak asasi
segala hal dibandingkan pribumi asli" manusia, yang salah satunya ditandai dengan
(www.kaskus.us/showthread.php?t=1053093) adanya kesadaran dan inisiatif dari kelompok
mayoritas untuk memiliki kepekaan terhadap
Bias kognitif semacam inilah yang
kelompok minoritas (Fritzsche, 2004; Nelson &
mengakibatkan keyakinan seseorang akan
Prilleltensky, 2005). Terbentuknya kepekaan itu
stereotip menjadi sulit dibongkar. Hal ini karena
sendiri mensyaratkan adanya kesadaran kritis dari
seterotip dianggap bersumber pada kebenaran
kelompok mayoritas akan status mayoritasnya dan
faktual yang bersifat kodrati (Setiawan, 2005).
segala konsekuensi yang melekat padanya yang
3. Besar berarti benar dapat secara sengaja atau tidak sengaja merugikan
Bentuk bias kognitif ketiga yang dijumpai kelompok minoritas (Green & Sonn, 2006).
dalam komentar-komentar awam terhadap Berikut adalah contoh kutipan lain yang
persoalan diskriminasi rasial adalah pandangan mengambarkan bias kognitif serupa. Kutipan ini
bahwa menjadi mayoritas dengan sendirinya diambil dari kolom surat pembaca surat kabar
memberi hak untuk mendahulukan kepentingan nasional Jakarta Post. Surat ini dikirimkan
kelompoknya dan memarginalkan minoritas. pembaca yang bernama Sumarsono
Berikut adalah contoh kutipannya dari anggota Sastrowardoyo sebagai tanggapan terhadap artikel
dengan inisial 'JJRambo' berjudul "Equality and pluralism in the Citizenship
"Halaaaah itu diskriminasi mah biasa, coba law" yang ditulis oleh Frans H. Winarta (Jakarta
kalo Cokin [Tionghoa] kerja di perusahaan Post, 28 September 2006).
pribumi apa gak digencet juga gajinya? Apa "…Discrimination is a natural fact in this world,
gak dikatain Cina2 mulu saat kerja di dalam and even in democratic countries like the
perusahaan pri [pribumi] nih???...gw pernah United States it still flourishes, although
kerja di tengah pribumi dan bosnya pribumi… according to the U.S. constitution all men are
apaan gw juga mendapat kepretan pelecehan created equal. The best attitude toward
rasialis dan gaji ndak adil tuh! Tapi gw discrimination is to join the crowd: don't stay in
akhirnya sadar… gw dimana? Ini salah gw your own compound, go to a government
sendiri kenapa mau kerja di sikon begini. school, join the bureaucracy as a village head,
Ujungnya gw harus menyadari ini semua regent or minister. Join a political party and
kesalahan diri sendiri kenapa mau kerja dalam become a legislator, join the police and army.
lingkungan mereka [pribumi]…" Work with the locals how to find a solution for
(www.kaskus.us/ showthread.php?t=1053093). our common problems. Be proud of our
Tampak dalam komentar diatas bahwa country, our flag and national hymn and worry
pemberi komentar menilai diskriminasi terjadi together with the rest of us over the future of
karena 'kesalahan' korban sendiri yang memilih this country… When I was in the U.S. for a
untuk bekerja di lingkungan yang limited time with my family, I put my children in
menempatkannya dalam kategori minoritas. a public school; my wife participated in
Komentar semacam ini menegaskan bias kognitif neighborhood activities and I joined my friends
yang memandang bahwa diskriminasi yang drinking beer and we went to church and had a
dilakukan kelompok mayoritas terhadap Christmas tree at home, although we are
minoritas merupakan suatu kewajaran. Lebih Muslims. At the end of our stay we said goodbye
lanjut, bias kognitif semacam ini biasanya to our friends and they were all surprised that
kemudian diikuti dengan pandangan bahwa untuk we were going home. They thought we were full-
menghindari situasi diskriminatif yang lebih blooded American citizens. And we never
buruk diharapkan mereka yang dari kelompok discussed discrimination" (Jakarta Post, 23
minoritas harus dapat menyesuaikan diri dengan Oktober 2006)
'aturan main' yang ditetapkan sepihak oleh Komentar diatas menegaskan dua bias
payung intervensi yang lebih tepat. pembongkaran bias kognitif yang mendasari
Apabila program pendidikan HAM munculnya sikap dan perilaku diskriminatif dapat
diletakkan dalam konteks spesifik pendidikan berkontribusi. Model ini diandaikan dapat
HAM di sekolah, maka persoalan diskriminasi memfasilitasi peserta belajar untuk menyadari
memang telah menjadi salah satu pokok bahasan bahwa melalui bias kognitif yang dimiliki
dalam materi pendidikan HAM di sekolah seseorang dapat menjadi pendukung atau pelaku
Indonesia (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, diskriminasi.
2004). Pokok bahasan ini termasuk dalam Dalam materi tentang diskriminasi yang
kelompok materi yang ditargetkan bagi siswa disusun oleh Pusat Kurikulum Balitbang
sekolah menengah. Dalam buku panduan Depdiknas (2004) disebutkan bahwa di akhir sesi
Rencana Pelajaran Hak Asasi Manusia, yang pelajaran guru diharapkan untuk:
disusun oleh Pusat Kurikulum Balitbang "mengatakan kepada siswa bahwa setiap orang
Depdiknas (2004, hlm. 78), disebutkan 3 tujuan memiliki bias dan stereotip terhadap orang
yang ingin dicapai melalui pokok bahasan lain. Guru menjelaskan bahwa hak asasi
diskriminasi adalah 1. Membuat siswa mampu manusia mengandung prinsip-prinsip yang
menyebutkan dampak diskriminasi etnis, 2. dapat dipakai untuk memeriksa dan
Membuat siswa mampu menyebutkan sikap dan mengoreksi bias dan setereotip kita itu
perilaku yang menunjukkan kejujuran, tenggang mengingat bahwa stereotip mudah mengarah
rasa dan pengertian, dan 3. Mengajak siswa ke praktik-praktik diskriminasi" (hlm. 81).
membahas konsep 'bebas dari diskriminasi'.
Bentuk kegiatan kelas yang dirancang untuk Hanya saja belum dibahas dalam buku acuan
mencapai tujuan tersebut salah satunya adalah tersebut bagaimana bentuk-bentuk bias kognitif
dengan mengenali dan mendiskusikan stereotip- dapat terbentuk dalam diri seseorang dan melalui
stereotip etnis yang ada di masyarakat. Selanjutnya mekanisme semacam apa hal itu akan
s i s wa d i m i n t a m e n j e l a s k a n b a g a i m a n a dimunculkan. Disinilah model intervensi
keberadaan setereotip-stereotip tersebut dapat psikologi sosial yang difokuskan pada
mempengaruhi interaksi sosial antar kelompok pengidentifikasian dan pembongkaran bias
etnis. Dikaitkan dengan materi pembelajaran kognitif yang mendasari munculnya sikap dan
semacam ini, maka dimanakah nilai kontributif perilaku diskriminatif dinilai dapat memperkaya
model intervensi yang ditawarkan psikologi pengalaman pembelajaran. Dengan mengenalkan
sosial? bentuk-bentuk bias kognitif beserta proses
Salah satu prinsip yang ditekankan dalam pembentukan dan mekanisme kemunculannya
perumusan konsep ideal pendidikan HAM, dalam sikap dan perilaku seseorang, diharapkan
terutama dalam konteks spesifik pendidikan di pembelajaran pada materi diskriminasi dapat
sekolah, adalah bahwa materi dan metode menghantarkan peserta belajar bukan hanya
pembelajaran harus berangkat dari pengalaman sampai pada pengetahuan tentang pengertian dan
nyata peserta belajar. Dalam kerangka ini maka bentuk diskriminasi. Lebih luas, diharapkan hal
praktek pendidikan HAM diharapkan bukan ini dapat memfasilitasi peserta untuk sampai pada
hanya bertujuan untuk mengenalkan kepada kesadaran bahwa pelanggaran HAM dapat
peserta belajar konsep HAM dan kondisi dilakukan bukan hanya oleh para pemilik
masyarakat yang diidealkan, tetapi juga berisi kekuasaan, baik kekuasaan politis, ekonomis
proses refleksi atas pengalaman sehari-hari maupun budaya, tetapi juga oleh setiap warga
peserta belajar yang memungkinkan peserta negara melalui praktek dan kebiasaan hidup
untuk memiliki kesadaran kritis akan peran dan mereka sehari-hari yang salah satunya adalah
posisinya sebagai anggota masyarakat yang dapat melalui cara mereka menerima dan memproses
secara langsung atau tidak langsung menjadi informasi tentang kelompok lain (Frietzsche,
penegak, pelanggar atau korban pelanggaran 2004). Terlebih lagi, hal ini dinilai penting karena
HAM (Frietzsche, 2004; Ramdhan, 2008). mengutip Plous (2003) seringkali membongkar
Disinilah dinilai model intervensi psikologi sosial akar diskriminasi pada level individual inilah yang
yang difokuskan pada pengidentifikasian dan paling susah:
"Although many countries have passed civil ideal of equality… Despite the prevalence of
rights legislation over the past 50 years, discrimination, however, one of the greatest
discrimination continues to be a serious barriers to its removal is, strangely enough, the
problem throughout the world even in difficulty people detecting it at the individual
democratic countries that publicly affirm the level…" (hlm. 21).
PUSTAKA ACUAN
Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social psychology (9th ed.). Boston: Allyn & Bacon
Feldman, R.S. 1998. Social psychology. (2nd ed.). New York: Prentice Hall
Fritzsche, K. P. (2004). Human rights education: What is it all about? Diambil dari
www.menschenrechtserziehung.de/publikationen/pdfs/HREtheses.pdf, pada tanggal 23 Juni 2009
Green, M. J., & Sonn, C. C. (2006). Problematising the discourse of the dominant: Whiteness and reconciliation.
Journal of Community & Applied Social Psychology, 16, 379 - 385.
Hjelle, L.S. & Ziegler, D.J. (1992). Personality theories: Basic assumptions, research and applications. Singapore:
McGraw Hill, Inc
Jones, J. M. (1997). Prejudice and racism (2nd ed.). New York: The McGraw-Hill Companies Inc.
Meek, N. (1998). Racism, collectivism and social psychology. Pyschological Notes, 12. Diambil dari
www.libertarian.co.uk/lapubs/psycn/psycn012.pdfTwenty pada tanggal 22 Juni 2009.
Nelson, G. & Prilleltensky, I. (Ed.). (2005). Community psychology: In pursuit of liberation and wellbeing. New
York: Palgrave Macmillan
Plous, S. (2003). The psychology of prejudice, stereotyping and discrimination: An overview. Diambil dari
www.understandingprejudice.org/draft/pdf/OverviewEnglish.pdf - pada tanggal 18 Juni 2009
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2004). Rencana pelajaran hak asasi manusia untuk sekolah-sekolah
Asia Tenggara. Diambil dari www.unescobkk.org/fileadmin/user_upload/.../HRLP_Indonesian.pdf -
pada tanggal 22 Juni 2009
Ramdhan, D. (2008). Mendiskusikan konsep dan praktek pendidikan HAM di sekolah. Diambil dari re-
searchengines.com/dadan1108.html, pada tanggal 22 Juni 2009
Richards, G. (1997). Race, racism and psychology: Towards a reflexive history. London: Routledge
Saptaningrum, I. D., & Wiryawan, S. M. (2007). Upaya memerangi praktik diskriminasi rasial melalui sarana
hukum pidana: Tinjauan atas pasal penghinaan terhadap golongan penduduk dalam rancangan kitab
undang-undang hukum pidana. Diambil dari kuhpreform.files.wordpress.com/.../tindak-pidana-
diskriminasi-rasial_4.pdf, pada tanggal 5 Juni 2009
Setiawan, K. (2005). Human rights for kids: It's Difficult to get human rights education into Indonesian schools.
Diambil dari http://www.insideindonesia.org/content/view/178/29/, pada 23 Juni 2009
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial (Edisi ke-12). Jakarta: Kencana Predana Media
Group
Jakarta Post, 28 September 2006
Jakarta Post, 23 Oktober 2006